tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

55
TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam proses perjalanan yang panjang, bangsa Indonesia telah melakukan beberapa proses politik yang disebut Pemilihan Umum (Pemilu). Tetapi dapat dirasakan bersama bahwa keberhasilan menyelenggarakan Pemilu tidak segera dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Hal ini disebabkan perilaku elit politik sangat berorientasi kepada kepentingan pribadi dan kelompok sempitnya (Kristiadi dalam Koirudin, 2004 : 13). Wilayah politik yang seharusnya menjadi tempat di mana para elit bertanding merebut dukungan rakyat dengan menawarkan gagasan-gagasan yang berorientasi kepada kepentingan umum, hanya menjadi ajang perburuan kekuasaan yang didominasi oleh intrik dan akrobat politik yang mengabaikan norma dan etik serta komitmen kepada kepentingan rakyat. Namun ironisnya meskipun pada tingkat persaingan memperebutkan pengaruh dapat diibaratkan menghalalkan cara untuk memperoleh kemenangan, tetapi setelah mereka mendapatkan kedudukan yang diinginkan, mereka dengan mudah melakukan deal-deal politik dengan bekas lawan-lawan politiknya untuk membuat oligarki politik. Sementara itu dalam mewujudkan demokrasi tidak ada pilihan lain kecuali dengan memulainya dari sebuah Pemilu yang bebas, jujur, adil dan kompetitif. Pengalaman Pemilu pada Orde Baru sangat traumatik bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka yang memahami hakekat Pemilu yang demokratik (Gaffar, 2005 : 11). Salah satu pilar penting demokrasi adalah partisipasi. Jika demokrasi diartikan secara sederhana sebagai suatu pemerintahan yang berasal dari dan untuk rakyat, maka partisipasi merupakan sarana di mana rakyat dapat menentukan siapa yang memimpin melalui pemilihan umum, dan apa yang harus dikerjakan oleh pemimpin (pemerintah) melalui keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan politik yang mengikat rakyat banyak. Dalam hubungannya dengan pengembangan demokrasi, partisipasi masyarakat sebenarnya tidak hanya sebatas dalam proses menentukan pemimpin dan apa yang harus dilakukan oleh pemimpin, tetapi juga menentukan proses demokrasi itu sendiri. Dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasi misalnya, masyarakat mempunyai peranan sangat signifikan dalam

Upload: hakhue

Post on 12-Jan-2017

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam proses perjalanan yang panjang, bangsa Indonesia telah melakukan beberapa proses

politik yang disebut Pemilihan Umum (Pemilu). Tetapi dapat dirasakan bersama bahwa keberhasilan

menyelenggarakan Pemilu tidak segera dapat menyelesaikan persoalan bangsa. Hal ini disebabkan

perilaku elit politik sangat berorientasi kepada kepentingan pribadi dan kelompok sempitnya

(Kristiadi dalam Koirudin, 2004 : 13).

Wilayah politik yang seharusnya menjadi tempat di mana para elit bertanding merebut

dukungan rakyat dengan menawarkan gagasan-gagasan yang berorientasi kepada kepentingan

umum, hanya menjadi ajang perburuan kekuasaan yang didominasi oleh intrik dan akrobat politik

yang mengabaikan norma dan etik serta komitmen kepada kepentingan rakyat. Namun ironisnya

meskipun pada tingkat persaingan memperebutkan pengaruh dapat diibaratkan menghalalkan cara

untuk memperoleh kemenangan, tetapi setelah mereka mendapatkan kedudukan yang diinginkan,

mereka dengan mudah melakukan deal-deal politik dengan bekas lawan-lawan politiknya untuk

membuat oligarki politik.

Sementara itu dalam mewujudkan demokrasi tidak ada pilihan lain kecuali dengan

memulainya dari sebuah Pemilu yang bebas, jujur, adil dan kompetitif. Pengalaman Pemilu pada

Orde Baru sangat traumatik bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka yang memahami

hakekat Pemilu yang demokratik (Gaffar, 2005 : 11).

Salah satu pilar penting demokrasi adalah partisipasi. Jika demokrasi diartikan secara

sederhana sebagai suatu pemerintahan yang berasal dari – dan untuk – rakyat, maka partisipasi

merupakan sarana di mana rakyat dapat menentukan siapa yang memimpin melalui pemilihan

umum, dan apa yang harus dikerjakan oleh pemimpin (pemerintah) melalui keterlibatan dalam

proses pembuatan keputusan politik yang mengikat rakyat banyak.

Dalam hubungannya dengan pengembangan demokrasi, partisipasi masyarakat sebenarnya

tidak hanya sebatas dalam proses menentukan pemimpin dan apa yang harus dilakukan oleh

pemimpin, tetapi juga menentukan proses demokrasi itu sendiri. Dalam proses transisi dan

konsolidasi demokrasi misalnya, masyarakat mempunyai peranan sangat signifikan dalam

Page 2: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

2

menentukan percepatan proses transisi dan konsolidasi demokrasi melalui berbagai bentuk

partisipasi dan gerakan sosial lainnya (Hollifield dan Jillson, 2003: 3-20) dalam Asfar (2006 : 12).

Partisipasi politik hanya mungkin terjadi dalam suatu sistem politik yang demokratis. Salah

satu bentuk partisipasi politik yang sangat penting dilakukan oleh warga negara adalah pemilihan

umum. Yang dimaksud pemilihan umum di sini adalah pemilihan legislatif, pemilihan presiden,

termasuk pemilihan kepala daerah (Asfar, 2006 : 12-13). Peserta Pemilu Legislatif adalah Parpol.

Sistem yang digunakan adalah sistem proposional dengan daftar calon terbuka atau semi distrik.

Dalam surat suara tertera tanda gambar parpol yang di bawah tanda gambar parpol bersangkutan

terdapat daftar nama calon wakil yang akan duduk di legislatif. Pemilih diberi kesempatan memilih

salah satu tanda gambar parpol dan calon yang terdapat di bawahnya.

Dari adanya perubahan aturan main tersebut, sejak Pemilu Legislatif 2004 sedikit membawa

angin segar karena adanya dinamika perilaku memilih. Pada tataran masyarakat terjadi

perkembangan yang positif bagi politik di Indonesia ke depan. Pertama, sebagian perilaku pemilih

masyarakat, meskipun masih banyak yang menjadi pendukung fanatik partai politik tertentu, tetapi

sebagian telah mulai bergeser dari pola panutan (tradisional) menjadi lebih rasional. Dalam arti

mereka tidak lagi berorientasi kepada tokoh yang dianggap sebagai panutan atau patronnya. Hal lain

yang dapat disebutkan adalah pergeseran pola tersebut terjadi dari sikap pemilih yang semula

menganggap Pemilu sebagai kewajiban telah mulai bergerak ke arah sikap yang menunjukkan pilihan

mereka di dasari atas kesadaran bahwa memilih itu adalah hak.

Pemilu Legislatif adalah pemilihan untuk calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),

Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/

Kota. Pemilu legislatif diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat, mulai dari tingkat pusat,

provinsi dan kabupaten/ kota. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2003, tentang Pemilu, pemberian suara

untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/ kota dilakukan dengan mencoblos salah

satu tanda gambar partai politik peserta Pemilu dan mencoblos salah satu calon di bawah tanda

gambar partai politik peserta Pemilu, sedang untuk DPD langsung mencoblos pada tanda gambar

calon yang bersangkutan.

Ketika pemilih akan melakukan pencoblosan, dalam menentukan pilihannya dipengaruhi

oleh beberapa faktor. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan

politik seseorang. Dengan demikian para pemilih bukan hanya pasif tetapi juga aktif, bukan hanya

terbelenggu oleh karakteristik sosiologis tetapi juga bebas bertindak. Faktor- faktor situasional itu

Page 3: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

3

bisa berupa isu-isu politik atau kandidat yang dicalonkan. Namun meskipun sistem Pemilu sudah

dilakukan perubahan, dari sistem proposional dengan daftar calon tertutup (tanpa daftar calon) ke

sistem proposional dengan daftar calon terbuka, ternyata belum memberikan adanya perubahan

yang berarti. Selain itu sikap apatis dari masyarakat secara umum masih menonjol, ini bila dicermati

terhadap penyelenggaraan Pemilu Legislatif yang telah dilakukan.

Faktor lain berdasarkan pengamatan pendahuluan, dengan melakukan wawancara terhadap

beberapa tokoh masyarakat dan beberapa masyarakat umum, diperoleh suatu gambaran adanya

kejenuhan terhadap Pemilu. Alasan lain, adanya anggapan Pemilu itu hanya merupakan kepentingan

partai politik, belum bisa menampung kepentingan masyarakat yang mempunyai kedaulatan rakyat.

Pandangan lain dari masyarakat adalah Pemilu, dengan sistem baru hanya menghabiskan anggaran

besar, apalagi banyaknya Parpol yang menjadi peserta Pemilu. Lebih parah para wakil rakyat yang

terpilih, sering melupakan kepentingan rakyat yang telah memilihnya.

Sementara itu, masyarakat cenderung masih memiliki pandangan yang kurang baik,

terhadap partai politik. Masih ada anggapan bahwa Pemilu tidak ubahnya hanya sebatas untuk

kepentingan orang-orang Parpol belaka. Sementara aspirasi yang disalurkan lewat Pemilu tidak

pernah tersalurkan melalui wakil-wakilnya.

Berdasarkan fakta di lapangan, beberapa isu atau fenomena muncul terkait partisipasi

masyarakat dalam pemilu yaitu di antaranya adalah :Kehadiran dan ketidakhadiran pemilih di TPS

(Voter turn-out), perilaku memilih (voting behaviour), politik uang (money politics), tingkat melek

politik warga (political literacy) dan kesukarelaan warga dalam politik (political voluntarism).

Tingkat kesukarelaan warga dalam masyarakat (political voluntarism) menjadi isu yang

paling menarik ketika dikaitkan dengan tujuan demokrasi yang menghendaki adanya masyarakat

yang cerdas secara politik, dan tujuan akhir dari pelaksanaan sistem demokrasi untuk mewujudkan

masyarakat madani dapat tercapai.

Khusus untuk Kabupaten Majalengka, berdasarkan data dari KPU Kabupaten Majalengka

bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilgub 2013 adalah 73.08 %, Pilbub 72,23 %, Pileg 2014

75,23 % dan Pilpres 75,76 %. Menurut penjelasan dari KPU Kabupaten Majalengka khususnya untuk

Pileg dan Pilpres 2014 ternyata memenuhi harapan yaitu 75 %, padahal jika dibandingkan dengan

kabupaten lain di wilayah Provinsi Jawa Barat, anggaran untuk sosialisasi termasuk minim akan

tetapi ternyata tingkat partisipasi dibandingkan dengan wilayah lain memiliki keunggulan. Tentunya

Page 4: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

4

hal ini menjadi fenomen menarik untuk dikaji jika dikaitkan dengan kecerdasan politik warga

Majalengka yang diindikasikan dengan tingkat kesukarelaan warga Majalengka dalam Pemilu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, dapat digambarkan secara

sederhana tingkat partisipasi terhadap Pemilu, sehingga perlunya suatu kajian tentang adanya

tingkat kesukarelaan warga dalam pemilu di Kabupaten Majalengka dan faktor yang

mempengaruhinya.

Oleh karena itu perlu adanya rumusan dan kajian permasalahan. Adapun rumusan

permasalahan kajian tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat kesukarelaan masyarakat Kabupaten Majalengka dalam Pemilu 2014?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat kesukarelaan tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui tingkat kesukarelaan masyarakat Kabupaten Majalengka dalam Pemilu 2014..

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesukarelaan masyarakat Majalengka

dalam politik.

D. Manfaat Penelitian

Ada beberapa manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, yaitu :

1. Manfaat Praktis

a. Bagi Masyarakat Akan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dalam usaha untuk

pemahaman terhadap arti pentingnya Pemilu dan pemilihan kepala daerah di masa yang akan

datang. Akan secara langsung dan tidak langsung meningkatkan pengetahuan yang luas bagi

masyarakat dengan sistem Pemilu Legislatif yang baru dalam usaha peningkatan pemberdayaan

masyarakat dalam partisipasi politik melalui Pemilu.

b. Bagi Lembaga Bisa digunakan untuk memberikan sumbangan pikiran kepada KPU Kabupaten

dalam rangka peningkatan partisipasi politik bagi masyarakat dalam menyongsong Pemilu yang

akan datang.

2. Manfaat Teoritis

Page 5: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

5

Akan dapat memberikan gambaran realistis yang terjadi di lapangan terhadap teori

pemikiran tentang keterlibatan masyarakat dalam partisipasi politik khususnya teori partisipasi

masyarakat.

Page 6: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

6

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Teori

1. Partisipasi Politik

a. Pengertian Partisipasi

Keith Davis dan W. Newstrom (1990 : 179) mengartikan partisipasi sebagai keterlibatan

mental dan emosional orang- orang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk

memberikan kontribusi kepada pencapaian tujuan kelompok dan bertanggung jawab dalam

pencapaian tujuan itu. Pendapat tersebut tidak begitu berbeda dengan pendefinisian menurut

Pariata Westra (1987 :17) yang menyatakan bahwa “partisipasi adalah penyertaan pikiran dan emosi

dari pekerjaan ke dalam situasi kelompok yang mendorong agar mereka menyumbangkan

kemampuan ke arah tujuan kelompok yang bersangkutan dan ikut serta bertanggung jawab atas

kelompoknya”. Dari pendapat di atas, ada tiga hal gagasan penting yaitu :

1) Keterlibatan Mental dan Emosional Dalam hal ini keterlibatan bersifat psikologis ketimbang fisik.

Pembedaan partisipasi yang didasarkan pada aktivitas atau didasarkan pada ego-psikologis

dapat dilihat dari apakah tindakan tersebut dilakukan karena tugas , anjuran atau perintah yang

ditetapkan baginya apakah tindakan tersebut dilakukan atas dasar kesadaran dan kesediaan

pribadi.

2) Motivasi Kontribusi Partisipasi akan memotivasi seseorang untuk memberikan kontribusi.

Kerelaan hati orang-orang akan menyalurkan inisiatif dan kreativitas mereka guna mencapai

tujuan organisasi. Partisipasi berbeda dari kesepakatan yang hanya menggunakan kreativitas

manajer yang mengajukan gagasan kepada kelompok untuk mereka sepakati, para penyepakat

tidak memberikan kontribusi, mereka sekedar menyetujui.

3) Tunjang Terima tanggung jawab Partisipasi mendorong orang-orang untuk menerima tanggung

jawab dalam aktivitas kelompok. Kemajuan kelompok adalah kemajuan orang-orang dalam

kelompok tersebut. Jadi mereka bertanggung jawab atas maju mundurnya kelompok.

Ada 3 (tiga) alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat penting.

Pertama, masyarakat merupakan suatu alat guna untuk memperoleh informasi mengenai kondisi,

Page 7: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

7

kebutuhan dan sikap masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta

proyek-proyek akan gagal. Kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program

pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka

lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek

tersebut. Ketiga, partisipasi menjadi penting karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak

demokrasi jika masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat (Diana Conyers dalam

Suparjan dan Hempri, 2003 : 53). Mubyarto dalam Sutrisno (2000: 76) berpendapat bahwa

partisipasi adalah kesediaan untuk membantu setiap program sesuai kemampuan setiap masyarakat

tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Sedangkan partisipasi menurut pandangan

Davis dalam Khairudin (1992) mendefinisikan sebagai keterlibatan mental atau pikiran dan emosi

atau perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan

sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut serta bertanggung jawab

terhadap usaha yang bersangkutan.

Ada 3 (tiga) ide dasar yang dikemukakan Davis, yaitu (a) partisipasi itu keterlibatan mental

dan emosi. Jadi bukan sekedar aktivitas fisik atau lahiriyah saja. Keterlibatan seseorang dalam

kelompok lebih bersifat psikologis daripada fisik. Oleh sebab itu keterlibatannya bukan hanya dalam

suatu tugas akan tetapi berupa keterlibatan diri; (b) ide dari partisipasi adalah motivasi seseorang

untuk memberikan sumbangan yang diwujudkan dalam kesempatan untuk mengembangkan inisiatif

dan kreativitas kearah tercapainya tujuan kelompok. Sehingga parisipasi mempunyai sumbangan

dalam memanfaatkan inisiatif dan kretaivitas dari seluruh anggota kelompok; (c) ide partisipasi

adalah mendorong seseorang agar menerima tanggung jawab dalam aktivitas kelompok. Partisipasi

merupakan proses sosial di antara yang menginginkan kerja berhasil. Perasaan kebersamaan lebih

menonjol dalam menghadapi problema kerja daripada kepentingan diri sendiri. Dengan adanya

partisipasi dapat mendorong masyarakat lebih bertanggung jawab secara sosial.

Wujud partisipasi itu sendiri sebenarnya terungkap pada sikap, tanggapan dan pemikiran

terhadap gejala-gejala dalam kehidupan suatu bangsa yang bernegara. Yang menjadi persoalan

adalah, bagaimana menghidupkan partisipasi positif bagi pembangunan tersebut, dimana rakyat

tanpa merasa terpaksa dan dipaksa, menjadi pendorong sekaligus pelaksana dari keputusan-

keputusan dan kebijaksanaan pembangunan nasional. Jelas bahwa partisipasi masyarakat

sebenarnya merupakan akibat komunikasi timbal balik yang positif (Rudini dalam Aida Vitayala 1992

: 30).

Page 8: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

8

b. Jenis dan Bentuk Partisipasi

Partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari yang berupa keikutsertaan

langsung masyarakat dalam program pemerintahan yang sifatnya tidak langsung, seperti berupa

sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuat kebijakan pemerintah

(Carolina, 2005 :1). Namun demikian, ragam dan kadar partisipasi seringkali hanya ditentukan secara

pasif, yakni dari banyaknya individu yang dilibatkan. Padahal partisipasi masyarakat hakekatnya akan

berkaitan dengan akses masyarakat untuk memperoleh informasi. Hingga saat ini partisipasi

masyarakat masih belum menjadi kegiatan tetap dan terlembaga khususnya dalam pembuatan

keputusan. Ada 4 (empat) jenis partisipasi yang dikemukakan oleh Cohen dan Uphoff (Ndara, 1990 :

16), yaitu :

1) Partisipasi dalam pengambilan keputusan, terutama berkaitan dengan alternatif tujuan dari

suatu rencana program. Partisipasi dalam pengambilan keputusan bermacam-macam

seperti kehadiran dalam rapat, sumbangan pikiran, gagasan diskusi dan lain-lain. Dengan

demikian partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan proses pemilihan alternatif

berasarkan musyawarah untuk mufakat.

2) Partisipasi dalam pelaksanaan merupakan kelanjutan dari rencana yang telah disepakati

sebelumnya, baik yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan tujuan. Di dalam

tahap pelaksanaan suatu program sangat dibutuhkan keterlibatan berbagai unsur,

khususnya pemerintah dalam kedudukannya sebagai fokus atau sumber utama usaha

peningkatan mutu.

3) Partisipasi dalam mengambil manfaat, yang tidak terlepas dari kualitas maupun kuantitas

hasil pelaksanaan program yang bisa dicapai. Dari segi kualitas akan ditandai dengan adanya

peningkatan output, sedangkan dari segi kuantitas dapat dilihat dari besar prosentase

keberhasilan program yang dilaksanakan.

4) Partisipasi dalam evaluasi bertujuan untuk mengetahui apakah pelaksanaan program telah

sesuai dengan rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat

atau ada penyimpangan. Partisipasi ini lebih mengedepankan tindakan preventif. Dengan

demikian diharapkan pelaksanan suatu program dapat sesuai aspirasi masyarakat.

Sedangkan menurut Sastro Poetro (1998), jenis-jenis partisipasi antara lain sebagai berikut :

1) Partisipasi buah pikiran yang diberikan dalam bentuk pemikiran, gagasan, rapat-rapat dan

pertemuan, dll. 2) Partisipasi yang diberikan dalam bentuk uang atau kekayaan. 3) Partisipasi yang

Page 9: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

9

diberikan dalam bentuk tenaga, mengemukakan ketrampilan atau ilmu yang dimiliki. 4) Partisipasi

sosial yang diberikan semata-mata sebagai tanda paguyuban. Supaya berbagai jenis partisipasi dapat

terwujud, maka masyarakat harus bergerak untuk berpartisipaasi. Smith dan Blustain (Ndraha, 1990)

mengemukakan bahwa masyarakat akan berpartisipasi jika : 1) Partisipasi dilakukan melalui

organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada di tengah masyarakat. 2) Partisipasi memberikan

manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan. 3) Manfaat yang diperoleh melalui

partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat. 4) Dalam proses partisipasi itu

terjamin adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat.

c. Indikator Partisipasi

Partisipasi tidak sekedar fisik saja, selama ini ada kesan bahwa masyarakat dikatakan sudah

berpartisipasi ketika sudah terlihat secara fisik, seperti mengikuti penyuluhan, mengikuti kerja bakti.

Esensi yang terkandung dalam partisipasi sebenarnya tidak sesempit itu. Inisiatif dan sumbang saran

dari warga masyarakat dikatakan sebagai wujud partisipasi.

Tjokroamidjojo dalam Hempri (2003: 58) mengungkapkan bahwa kaitan partisipasi

masyarakat dengan pembangunan sebagai berikut : 1) Keterlibatan aktif atau partisipasi masyarakat

tersebut dapat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan

pembangunan yang dilakukan pemerintah. Hal ini terutama berlangsung dalam proses politik tetapi

juga dalam proses sosial hubungan antara kelompok-kelompok kepentingan masyarakat. 2)

Keterlibatan dalam memikul beban dan tanggung jawab dalampelaksanaan pembangunan. Hal ini

dapat berupa sumbangan dalam memobilisasi sumber-sumber pembiayaan dalam pembangunan

dan lain-lain. 3) Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara

berkeadilan.Bagian-bagian daerah maupun golongan-golongan masyarakat tertentu dapat

ditingkatkan keterlibatannya dalam bentuk kegiatan produktif mereka melalui perluasan dan

pembinaan-pembinaan tertentu.

d. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Demokrasi

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan politik melalui Pemilu, khususnya masyarakat

yang telah memiliki hak memilih akan menentukan dalam proses pembangunan politik tersebut.

Menurut Margono dalam Yustina dan Sudrajat (2003), partisipasi masyarakat dalam pembangunan

ialah keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, ikut kegiatan- kegiatan pembangunan dan ikut

serta memanfaatkan serta menikmati hasil-hasil pembangunan. Partisipasi begitu penting dalam

Page 10: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

10

sebuah sistem politik demokrasi. Demokrasi itu sendiri mengasumsikan bahwa yang paling

mengetahui tentang apa yang baik bagi seseorang adalah orang itu sendiri. Oleh karena itu

dibutuhkan partisipasi secara terus-menerus dari masyarakat untuk menunjukkan apa yang dianggap

baik bagi dirinya. Upaya masyarakat untuk menunjukkan apa yang dianggap baik (sesuai dengan

aspirasi dan kepentingannya) bisa dilakukan dengan melalui berbagai cara (Asfar,2006: 13).

Menurut Margono dalam Yustina (2003: 8), partisipasi dalam pembangunan dapat dibagi menjadi 5

(lima) macam, yaitu : 1) Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input

tersebut dan ikut menikmati hasilnya. 2) Ikut memberi input dan menikmati hasilnya. 3) Ikut

memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung. 4)

Menikmati (memanfaatkan) hasil pembangunan tanpa ikut memberi input. 5) Memberi input tanpa

menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya.

Dalam pembangunan politik yang menentukan arah bangsa dibangun, partisipasi masyarakat

khususnya yang telah mempunyai hak pilih dalam Pemilu sangat penting. Karena dalam

pembangunan dalam bidang apapun termasuk pembangunan politik melalui Pemilu, tanpa adanya

partisipasi masyarakat, keberhasilan pembangunan tersebut tidak dapat dapat dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat itu. Dengan demikian proses pembangunan itu dapat dikatan tidak

berhasil. Seperti yang dikemukanan oleh Margono dalam Yustina dan Sudrajat (2003), bahwa ada

tiga syarat yang diperlukan agar masyarakat berpartisipasi, yaitu adanya kesempatan untuk

membangun kesempatan dalam pembangunan, kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan dan

kemauan untuk berpartisipasi. Menurut Himawan S Pambudi (2003 : 60) yang berhubungan dengan

partisipasi dan pemberdayaan, dalam bidang politik adalah menggerakan perubahan sedemikian

rupa, sehingga dipenuhinya syarat minimal bagi sebuah kondisi baru. Syarat yang harus dipenuhi

menyangkut dua hal utama, yakni (1) kepastian mengenai pengakuan hak-hak dasar rakyat untuk

ambil bagian dalam proses politik; (2) adanya suatu kepastian mengenai mekanisme yang

memungkinkan adanya kontrol dari masyarakat terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan.

e. Partisipasi Politik

Partisipasi politik merupakan salah satu dari sejumlah istilah yang memiliki banyak arti,

namun biasanya istilah tersebut diterapkan pada aktivitas orang pada semua tingkat sistem politik,

pemilih berpartisipasi dalam kegiatan kampanye, pemberian suara pada pemilu, berpartisipasi

dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Akan tetapi dalam hal lain, partisipasi politik juga

diterapkan lebih kepada orientasi ketimbang aktivitas (Nie dan Verba, 1975) dalam Hadi (2006 : 19).

Page 11: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

11

Sebagai definisi umum, dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau

kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih

pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah

(public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum,

menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan

hubungan dengan pejabat pemerintahan atau anggota parlemen dan sebagainya (Budihardjo,

1998:1). Menurut Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Sciences :

“Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka

mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung,

dalam proses pembentukan kebijakan umum” (The term “political participation” will refer to those

voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers and, directly or

indirectly, in the formation of public policy).

Menurut Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science : “

Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung

bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan/ atau tindakan-tindakan yang

diambil oleh mereka”. (By political participation we refer to those legal activities by private citizens

which are more or less directly aimed at influencing the selection of government personnel and/ or

the actions they take).

Di negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah

bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk

menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dan untuk menentukan orang-orang yang

akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari

penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat (Miriam Budihardjo, 1998: 3). Partisipasi

politik ialah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan

kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan yang dimaksud

antara lain mengajukan tuntutan, membayar pajak, melaksanakan keputusan, mengajukan kritik dan

koreksi atas pelaksanaan suatu kebijakan umum dan mendukung atau menentang calon pemimpin

tertentu, mengajukan alternatif pemimpin dan memilih wakil rakyat dalam pemilihan umum. Oleh

karena itu yang dimaksud dengan partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam

menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya (Surbakti, 1992:

141).

Page 12: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

12

Menurut Keyth Fauls (1999: 133) dalam Krisno Hadi (2006: 19), ditegaskan bahwa partisipasi

politik adalah keterlibatan secara aktif (the active engagement) dari individu atau kelompok ke

dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan

keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah. Sehingga dari pengertian partisipasi politik

merupakan pengertian yang luas mencakup aktivitas mendukung atau terlibat dalam suatu

pemerintahan serta aktivitas mendukung atau terlibat dalam suatu pemerintahan serta aktivitas

yang berkaitan dengan penolakan atau beroposisi kepada pemerintah. Bentuk-bentuk partisipasi

politik, menurut Gabriel A Almond dalam Krisno Hadi (2006: 19) dibedakan menjadi kegiatan politik

konvensional dan non konvensional. Bentuk konvensional adalah bentuk partisipasi yang normal

dalam demokrasi modern. Bentuknya meliputi pemberian suara, diskusi politik, kegiatan kampanye,

membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, dan komunikasi individual dengan

pejabat politik dan administratif. Bentuk non konvensional adalah beberapa bentuk yang mungkin

legal (seperti petisi) maupun yang ilegal, penuh kekerasan dan revolusioner. Bentuknya meliputi

pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, tindakan kekerasan politik terhadap harta

benda, dan tindak kekerasan politik terhadap manusia.

2. Kesukarelaan Politik

Dalam Teori atau Model Voluntarisme Sipil (Civic Volunteerism Model) dijelaskan bahwa

seseorang akan berpartisipasi dalam politik jika memiliki kapasitas atau sumberdaya (resources) dan

hubungan masyarakat (Social network). Di dalam model ini dinyatakan bahwa ada tiga komponen

dalam voluntarisme, yaitu resources (kapasitas), engagement (keterikatan atau pilihan), dan

recruitment (mengajak atau menyuruh memilih). Akan tetapi, kapasitas sendiri lebih menjadi faktor

pendorong voluntarisme, sedangkan engagement dan recruitment menjadi output dari

voluntarisme. Lebih jauh lagi, model menyebutkan bahwa indikator dari kesukarelaan politik adalah

desire to vote (keinginan untuk memilih), the ability to vote (kemampuan mengambil keputusan

dalam memilih), being asked to vote (menyuruh atau meminta orang lain untuk memilih).

2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik dan kesukarelaan politik

Menurut hasil penelitian Seymour Martin Lipset, dalam Political Man : the Social Bases of

Politics (1960) dalam Miriam Budihardjo (1998 : 10) karakteristik sosial berpengaruh terhadap

partisipasi politik. Karakteristik sosial tersebut meliputi pendapatan, pendidikan, pekerjaan, ras, jenis

Page 13: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

13

kelamin, umur, tempat tinggal, situasi, status dan organisasi. Berdasarkan tinggi rendahnya faktor-

faktor yangg mempengaruhi partisipasi politik seseorang, Paige (1987) membagi partisipasi menjadi

4 (empat) tipe. Pertama, apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada

pemerintah yang tinggi, maka partisipasi politik cenderung aktif. Kedua, sebaliknya apabila

kesadaan politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah, maka partisipasi politik cenderung

pasif-tertekan (apatis). Ketiga, berupa militan radikal, yakni apabila kesadaran tinggi tetapi

kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah. Keempat, apabila kesadaran politik sangat rendah,

tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi maka partisipasi tersebut disebut tidak aktif.

Sedangkan menurut Ramlan Surbakti (1992: 144), dijelaskan bahwa faktor-faktor yang diperkirakan

mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang, ialah kesadaran politik dan

kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Yang dimaksud dengan kesadaran politik ialah

kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Sedangkan yang dimaksud dengan sikap

dan kepercayaan kepada pemerintah ialah penilaian seseorang terhadap pemerintah. Kedua faktor

di atas menurut Ramlan Surbakti (1992: 144), bukan faktor-faktor yang berdiri sendiri (bukan

variabel yang independen). Artinya, tinggi rendah kedua faktor tersebut dipengaruhi oleh faktor-

faktor lain, seperti status sosial dan status ekonomi, afiliasi politik orang tua dan pengalaman

organisasi.

Yang dimaksud dengan status sosial ialah kedudukan seseorang dalam masyarakat karena

keturunan, pendidikan dan pekerjaan. Sedangkan yang dimaksud dengan status ekonomi ialah

kedudukan seseorang dalam pelapisan masyarakat berdasarkan pemilikan kekayaan. Hal ini

diketahui dari pendapatan, pengeluaran, ataupun pemilikan benda-benda berharga.

3. Analisis Jalur

3.1 Sejarah Analisis jalur

Analisis jalur yang dikenal dengan path analysis dikembangkan pertama pada tahun

1920-an oleh seorang ahli genetika yaitu Sewall Wright (Joreskog dan Sorbom, 1996;

Johnson dan Wichern, 1992). Teknik analisis jalur sebenarnya merupakan perkembangan

korelasi yang diuraikan menjadi beberapa interpretasi akibat yang ditimbulkannya. Lebih

lanjut, analisis jalur mempunyai kedekatan dengan regresi berganda. Dengan kata lain,

Page 14: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

14

regresi berganda merupakan bentuk khusus dari analisis jalur. Teknik ini juga dikenal sebagai

model sebab akibat (causing modeling). Penanaman ini didasarkan pada alas an bahwa

analisis jalur memungkinkan pengguna dapat menguji proposisi teoritis mengenai hubungan

sebab akibat tanpa memanipulasi variabel-variabel (Sarwono, 2007).

1. Definisi Analisis Jalur

Telaah statistika menyatakan bahwa untuk tujuan peramalan atau pendugaan nilai Y

atas dasar nilai-nilai X1, X2, ….., Xi, pola hubungan yang sesuai adalah pola hubungan yang

mengikuti model regresi, sedangkan untuk menganalisis pola hubungan kausal antar variabel

dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung dan tidak langsung, secara serempak

atau mandiri beberapa variabel penyebab terhadap sebuah variabel akibat, maka pola yang

tepat adalah model analisis jalur. Analisis jalur (path analysis) dikembangkan oleh Sewall

Wright (1934). Path analysis digunakan apabila secara teori kita yakin berhadapan dengan

masalah yang berhubungan sebab akibat. Tujuannya adalah menerangkan akibat langsung

dan tidak langsung seperangkat variabel, sebagai variabel penyebab, terhadap variabel

lainnya yang merupakan variabel akibat. Terdapat beberapa defenisi mengenai analisis jalur,

diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Analisis jalur adalah suatu teknik untuk menganalisis hubungan sebab akibat yang terjadi

pada regresi berganda jika variabel bebasnya mempengaruhi variabel tergantung tidak

hanya secara langsung, tetapi juga secara tidak langsung (Robert D. Rutherford 1993).

2. Analisis jalur merupakan pengembangan langsung bentuk regresi berganda dengan tujuan

untuk memberikan estimasi tingkat kepentingan (magnitude) dan signifikansi (significance)

hubungan sebab akibat hipotetikal dalam seperangkat variabel (Paul Webley, 1997).

3. Model perluasan regresi yang digunakan untuk menguji keselarasan matriks korelasi

dengan dua atau lebih model hubungan sebab akibat yang dibandingkan oleh peneliti.

Modelnya digambarkan dalam bentuk gambar lingkaran dan panah dimana anak panah

tunggal menunjukkan sebagai penyebab. Regresi dikenakan pada masing-masing variabel

dalam suatu model sebagai variabel tergantung (pemberi respon) sedang yang lain sebagai

penyebab. Pembobotan regresi diprediksikan dalam suatu model yang dibandingkan dengan

matriks korelasi yang diobservasi untuk semua variabel dan juga dilakukan perhitungan uji

keselarasan statistik (David Garson, 2003).

Page 15: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

15

Dari defenisi-defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya analisis jalur

merupakan kepanjangan dari analisis regresi berganda. Jadi, model path analysis digunakan

untuk menganalisis pola hubungan antar variabel dengan tujuan untuk mengetahui

pengaruh langsung maupun tidak langsung seperangkat variabel bebas (eksogen) terhadap

variabel terikat (endogen). Oleh sebab itu, rumusan masalah penelitian dalam kerangka path

analysis berkisar pada:

a. Apakah variabel eksogen (X1, X2, ….., Xk) berpengaruh terhadap variabel endogen Y?

b. Berapa besar pengaruh kausal langsung, kausal tidak langsung, kausal total maupun

simultan seperangkat variabel eksogen (X1, X2, ….., Xk) terhadap variabel endogen?

2. Kegunaan Analisis jalur

Kegunaan model path analysis adalah untuk:

a. Penjelasan terhadap fenomena yang dipelajari atau permasalahan yang diteliti.

b. Prediksi nilai variabel terikat (Y) berdasarkan nilai variabel bebas (X), dan prediksi

dengan path analysis ini bersifat kualitatif.

c. Faktor determinan yaitu penentuan variabel bebas (X) mana yang berpengaruh dominan

terhadap variabel terikat (Y), juga dapat digunakan untuk menelusuri mekanisme (jalur-jalur)

pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y).

d. Pengujian model, menggunakan teori trimming, baik untuk uji reliabilitas konsep yang

sudah ada ataupun uji pengembangan konsep baru.

3. Asumsi-asumsi Analisis Jalur

Berikut adalah asumsi- asumsi dari analisis jalur :

a. Pada model analisis jalur, hubungan antar variabel adalah bersifat linier, adaptif dan

bersifat normal.

b. Hanya system aliran kausal kesatu arah artinya tidak ada arah kausalitas yang berbalik.

c. Variabel terikat (endogen) minimal dalam skala ukur interval dan rasio.

d. Menggunakan sampel probability sampling yaitu teknik pengambilan sampel untuk

memberikan peluang yang sama pada setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota

sampel.

Page 16: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

16

e. Observed variables diukur tanpa kesalahan instrument pengukuran valid dan reliable

artinya variabel yang diteliti dapat diobservasi secara langsung.

f. Model yang dianalisis dispesifikasikan dengan benar berdasarkan teori-teori dan konsep-

konsep yang relevan artinya model teori yang dikaji atau diuji dibangun berdasarkan teoritis

tertentu yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang diteliti

4. Model Analisis Jalur

Beberapa istilah dan defenisi dalam path analysis: (1) Dalam path Analysis, kita

hanya menggunakan sebuah lambung variabel, yaitu X. Untuk membedakan X yang satu

dengan X yang lainnya, kita menggunakan subscript (indeks). Contoh : X1, X2, X3, ….., Xk. (2)

Kita membedakan dua jenis variabel, yaitu variabel yang menjadi pengaruh (exogenous

variable), dan variabel yang dipengaruhi (endogenous variable). (3) Lambang hubungan

langsung dari eksogen ke endogen adalah panah bermata satu, yang bersifat recursive atau

arah hubungan yang tidak berbalik/satu arah. (4) Diagram jalur merupakan diagram atau

gambar yang mensyaratkan hubungan terstruktur antar variabel (Harun Al Rasyid, 2005).

Ada beberapa model jalur mulai dari yang paling sederhana sampai dengan yang

lebih rumit, diantaranya diterangkan di bawah ini:

a. Analisa Jalur Model Trimming

Model Trimming adalah model yang digunakan untuk memperbaiki suatu model

struktur analisis jalur dengan cara mengeluarkan dari model variabel eksogen yang koefisien

jalur diuji secara keseluruhan apabila ternyata ada variabel yang tidak signifikan. Walaupun

ada satu, dua, atau lebih variabel yang tidak signifikan, perlu memperbaiki model struktur

analisis jalur yang telah dihipotesiskan.

b. Analisis Jalur Model Dekomposisi

Model dekomposisi adalah model yang menekankan pada pengaruh yang bersifat

kausalitas antar variabel, baik pengaruh langsung ataupun tidak langsung dalam kerangka

path analysis, sedangkan hubungan yang sifatnya nonkausalitas atau hubungan korelasional

yang terjadi antar variabel eksogen tidak termasuk dalam perhitungan ini. Perhitungan

menggunakan analisis jalur dengan menggunakan model dekomposisi pengaruh kausal antar

variabel dapat dibedakan menjadi tiga:

1. Direct causal effects (Pengaruh Kausal Langsung) adalah pengaruh satu variabel eksogen

Page 17: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

17

terhadap variabel endogen yang terjadi tanpa melalui variabel endogen lain.

2. Indirect causal effects (Pengaruh Kausal Tidak Langsung) adalah pengaruh satu variabel

eksogen terhadap variabel endogen yang terjadi melalui variabel endogen lain terdapat

dalam satu model kausalitas yang sedang dianalisis.

3. Total causal effects (Pengaruh Kausal Total) adalah jumlah dari pengaruh kausal langsung

dan pengaruh kausal tidak langsung.

c. Model Regresi Berganda

Model ini merupakan pengembangan regresi berganda dengan menggunakan dua

variabel eksogenous, yaitu X1 dan X2 dengan satu variabel endogenous Y. model

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Model regresi berganda dua variabel

d.Model Mediasi

Model mediasi atau perantara dimana variabel Y memodifikasi pengaruh variabel X

terhadap variabel Z. Model digambarkan sebagai berikut

Gambar 2 Model Mediasi

X1

X2

Y

X

Y

Z

Page 18: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

18

e. Model Kombinasi Regresi Berganda Dan Mediasi

Model ini merupakan kombinasi antara model regresi berganda dan mediasi, yaitu

variabel X berpengaruh terhadap variabel Z secara langsung dan tidak langsung

mempengaruhi variabel Z melalui variabel Y . Model digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3. Model Kombinasi Regresi Berganda dan Mediasi

f. Model Kompleks

Model ini merupakan model yang lebih kompleks, yaitu variabel X1 secara langsung

mempengaruhi Y2 dan melalui variabel X2 secara tidak langsung mempengaruhi Y2,

sementara variabel Y2 juga dipengaruhi oleh variabel Y1. Model digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 4. Model Kompleks

X

Y

Z

X1

Y1 Y2

X2

Page 19: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

19

g. Model Rekursif dan Model Non Rekursif

Dari sisi pandang arah sebab dan akibat, ada dua tipe model jalur, yaitu jalur rekursif dan

non rekursif. Model rekursif ialah jika semua anak panah menuju satu arah seperti gambar dibawah

ini

P41

P21 P31

P32

P42

Gambar 5. Model Rekursif

Model tersebut dapat diterangkan sebagai berikut:

1. Anak panah menuju satu arah, yaitu dari 1 ke 2, 3, dan 4; dari 2 ke 3 dan dari 3 menuju ke

4. Tidak ada arah yang terbalik, misalnya dari 4 ke 1.

2. Hanya terdapat satu variabel exogenous, yaitu 1 dan tiga variabel endogenous, yaitu 2, 3,

dan 4. Masing-masing variabel endogenous diterangkan oleh variabel 1 dan error (e2, e3,

dan e4).

3. Satu variabel endogenous dapat menjadi penyebab variabel endogenous lainnya, tetapi

bukan ke variabel exogenous.

Model non rekursif terjadi jika arah anak panah tidak searah atau terjadi arah yang terbalik,

misalnya dari 4 ke 3 atau dari 3 ke 1 dan 2, atau bersifat sebab akibat.

2

3

1

4

Page 20: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

20

Gambar 6. Kerangka Pemikiran Penelitian

Tingkat kesukarelaan masyarakat dalam Pemilu 1. Desire to vote 2. The ability to vote 3. Being asked to vote

Kesadaran Politik : Kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara

Kepercayaan Terhadap Pemerintah (Sistem Politik) a. Kinerja Parpol dan

pemerintah b. Jalannya pemerintahan c. Dampak Kebijakan

1. Status Sosial - Usia - Pekerjaan - Latar belakang

keluarga - Pendidikan

2. Status Ekonomi - pendapatan

3. Afiliasi Politik 4. Pengalaman Organisasi

Page 21: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

21

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan mixed method research yang merupakan gabungan antara

metode kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan yang dipakai dalam metode penelitian campuran ini

adalah pendekatan pragmatis, dimana peneliti melihat kepentingan yang besar pada masalah yang

diangkat dalam penelitian (Rossman and Wilson, 1985). Di dalam penelitian ini juga dijelaskan

alasan penggunaan metode campuran serta proses pengambilan data(Tashakkori and Teddlie, 1998).

Metode campuran digunakan dengan alasan agar penelitian ini mendapatkan data yang

komprehensif baik dari lapangan melalui pertanyan-pertanyaan yang dirancang dalam kuesioner

juga dengan menggabungkan data hasi observasi melalui wawancara terbuka kepada pihak-pihak

yang dianggap berpengaruh.

Di dalam penelitian ini juga menggunaan data tambahan seperti data sensus, data observasi,

data mengenai sikap, data berupa dokumen. Peneliti melakukan dua analisa, yaitu analisis statistik

dan juga analisis tulisan serta gambar. Dengan kata lain, metode penelitian campuran dilakukan

dengan pengukuran data secara tertutup yang digabung dengan observasi data terbuka (Creswell,

2003).

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah wilayah Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat.

3.3 Jenis Data

Data yang dikumpulkan dalam pelaksanaan penelitian mencakup data primer dan data

sekunder. Data primer terdiri dari data karakteristik responden, persepsi dan perilaku pemilih,

partisipasi politik. Data primer ini akan didapatkan dari pengisian kuesioner dan dilengkapi dengan

informasi terkait yang didapatkan dari FGD dan wawancara mendalam (indepth interview).

Sedangkan data sekunder di dapat dari data demografi.

Setelah semua data yang diperlukan telah terkumpul, peneliti melaksanakan manajemen

data yang terdiri dari pengolahan, penyuntingan, entri data, pembersihan, dan analisis data. Analisis

data yang dilakukan adalah analisis univariat dari setiap variabel yang diukur, analisis bivariat yang

Page 22: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

22

akan mengukur hubungan setiap variabel independen serta analisis multivariat untuk mengetahui

variabel independen apa yang paling mempengaruhi variabel dependen.

3.3 Responden

Populasi Penelitian adalah seluruh populasi pemilih di Kabupaten Majalengka, sedangkan

sampel penelitian adalah responden yang diambil secara Multi Stage Cluster Sampling dengan

berdasarkan dua pertimbangan, yaitu 1) jumlah atau prosentase tingkat partisipasi dari wilayah

kecamatan yang dibagi dua, tinggi dan rendah; dan 2) tiga tipologi wilayah, yaitu utara, tengah dan

selatan.

Berdasarkan pertimbangan tipologi wilayah:

1. Wilayah selatan; dengan tingkat partisipasi tertinggi adalah Kecamatan Banjaran (84,46 %) dan

tingkat partisipasi terendah yaitu Kecamatan Malausma (67,45 %).

2. Wilayah Tengah; dengan tingkat partisipasi tertinggi adalah Kecamatan Majalengka (81,59 %)

daan tingkat partisipasi terendah yaitu Kecamatan Sukahaji (72,77 %).

3. Wilayah Utara; dengan tingkat partisipasi tertinggi adalah Kecamatan Kasokandel (79,88 %) dan

tingkat partisipasi terendah yaitu Kecamatan Ligung (70,36 %).

Setelah didapat 6 Kecamatan sebagai lokasi penelitian, maka akan dipilih satu

Desa/Kelurahan dari tiap Kecamatan tersebut secara acak. Terpilih sebagai lokasi adalah Desa

Banjaran, Desa Malausma, Kelurahan Majalengka Kulon, Desa Sukahaji, Desa Kasokandel, dan Desa

Ligung.

Tahap terakhir, setelah didapat lokasi 6 Desa tersebut, ditentukan jumlah responden untuk

satu desa adalah 50 orang, sehingga total responden adalah 300 orang.

3.4 Durasi Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan mulai Bulan Maret sampai dengan Bulan Agustus 2015 dengan

rincian pelaksanaan seperti tabel berikut:

No. Kegiatan Bulan

April Mei Juni Juli

1. Penyusunan Proposal Penelitian

2. Pengumpulan data

3. Penulisan hasil penelitian

4. Ekspose hasil penelitian

Page 23: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

23

3.5 Biaya Penelitian

Sumber biaya penelitian berasal dari anggaran KPU dengan rincian biaya sebagai berikut :

No. Komponen Biaya Besaran Biaya (Rp)

1. Kajian pendahuluan dan penyusunan proposal

penelitian

1,000,000,00

2. Pengumpulan data

a. Biaya enumerasi (survei data) per wilayah @

Rp. 1 juta (total 6 kelurahan/desa)

6,000,000,00

b. Biaya pengumpulan data sekunder (fotokopi,

transport dll)

500,000,00

3. Penulisan hasil penelitian (pengolahan data) 1,000,000,00

4. Ekspose hasil penelitian 1,000,000,00

5. Publikasi hasil 500,000,00

Total 10,000,000,00

3.6 Analisis Data

Analisis data menggunakan metode Analisis Jalur (Path Analysis) untuk mengetahui

seberapa besar pengaruh dari faktor-faktor yang telah diduga terhadap tingkat kesukarelaan politik

warga.

Analisis Jalur adalah sebuah metode statistika untuk menganalisis pola hubungan kausal

antar variable dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung atau tidak langsung, secara

serempak atau mandiri beberapa variable penyebab terhadap sebuah variable akibat (Sambas 2007).

Analisis jalur (Path Analysis) dikembangkan oleh Sewall Wright (1934). Path Analysis digunakan

menurut teori apabila kita yakin berhadapan dengan masalah yang berkaitan dengan sebab akibat.

Tujuannya adalah menerangkan akibat langsung dan tidak langsung seperangkat variable, sebagai

variable penyebab, terhadap variable lainnya yang merupakan variable akibat.

Page 24: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

24

Gambar 7. Pengaruh antar Variabel secara Konseptual pada Penelitian

Tingkat Kesukarelaan Masyarakat Majalengka dalam Pemilu dan Faktor-faktor yang

mempengaruhinya

Hipotesis 1 : X2 = P*x1X1 + e

Hipotesis 2 : X3 = P*x2X2 + e

Hipotesis Y = P*Yx1X1 +P *Yx2 X2 + β *Yx3 X3 + ε dimana

Y= Tingkat Kesukarelaan Politik

X1 = Karakteristik Responden

X2 = Kesadaran Politik

X3 = Kepercayaan Terhadap Pemerintah

Metode jalur ini akan diolah melalui software SPSS.

X1

X3

Y

X2

Page 25: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

25

3.7 Definisi Operasional Variabel

3.7.1 status sosial ialah kedudukan seseorang dalam masyarakat karena umur,keturunan,

pendidikan dan pekerjaan.

3.7.2 status ekonomi ialah kedudukan seseorang dalam pelapisan masyarakat berdasarkan

pemilikan kekayaan. Hal ini diketahui dari pendapatan, pengeluaran, ataupun

pemilikan benda-benda berharga.

3.7.3 Umur adalah satuan usia responden yang dihitung sejak lahir sampai penelitian ini

dilakukan, dengan skala pengukuran rasio. Pengukuranya adalah dalam tahun pada

ulang tahun terdekat.

3.7.4 Pendidikan formal adalah jumlah tahun pendidikan formal yang pernah diikuti

responden.

3.7.5 Pekerjaan adalah kegiatan rutin sehari-hari yang bernilai ekonomis.

3.7.6 Latar Belakang Keluarga atau keturunan adalah galur silsilah keluarga yang

memberikan keterangan tentang pendahulu.

3.7.7 Pengalaman Berorganisasi adalah jumlah tahun menjadi anggota organisasi.

3.7.8 Kesadaran Politik adalah Kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara

yang diukur dari pengetahuan responden akan hak dan kewajibannya sebagai warga

negara.

3.7.9 Kepercayaan terhadap pemerintah diukur dari Kinerja Parpol dan pemerintah,

Jalannya pemerintahan, dampak Kebijakan

3.7.10 Kesukarelaan Politik adalah kemandirian responden dalam berpolitik yang diukur

dari memiliki minat untuk memilih, kemampuan memilih, dan mengajak orang lain

untuk memilih.

Page 26: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

26

3.7.2 Operasional Variabel

Tabel 3.1 Operasionalisasi Variabel

Variabel : Sub Variabel Indikator Parameter Satuan/Skor

Karakteristik Responden : Status

Sosial

Umur ≤16, 17 -29, 30 – 39, 40 – 49, ≥ 50 Tahun

Pendidikan formal Tidak sekolah/buta huruf, SD, SMP,

SMA, Sarjana ke atas

Rendah = tidak sekolah/buta huruf,

sedang = SMP-SMA, tinggi = sarjana

ke atas

Pekerjaan Pekerjaan utama PNS, wiraswasta, buruh, petani,

lainnnya

Rendah = buruh, sedang =

wiraswasta, petani, tinggi =

PNS/karyawan kantoran lainnya

Pekerjaan sampingan Wiraswasta, buruh, petani, lainnnya Rendah = buruh, sedang = petani,

tinggi = wiraswasta

Keturunan Memiliki Ketokohan generasi

pendahulu

Ya = tinggi, tidak = rendah

Karakteristik Responden : Status

Ekonomi

Pendapatan/penghasilan < 1 jt, Rp. 1.000.001 s.d Rp. Rendah < 1 jt, Sedang = Rp.

Page 27: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

27

1.500.000, Rp. 1.500.001 s.d Rp.

2.000.000, Rp. 2.000.001 s.d Rp.

2.500.000, > Rp. 2.500.000

1.000.001 s.d Rp. 1.500.000, Rp.

1.500.001 s.d Rp. 2.000.000, tinggi =

di atas 2 juta

Kepemilikan lahan Kepemilikan Ya = tinggi, tidak = rendah.

Luasan lahan Rendah = < 0.25 Ha, sedang = 0.26 –

1 Ha, tinggi = > 1 Ha

Kepemilikan kendaraan Kepemilikan roda empat Ya = tinggi, tidak = rendah

Karakteristik responden : Afiliasi

Politik

Afiliasi Politik Preferensi terhadap parpol tertentu Ya = tinggi, tidak = rendah

Keanggotaan dalam parpol tertentu Ya = tinggi, tidak = rendah

Karakteristik responden :

Pengalaman Berorganisasi

Pengalaman Berorganisasi Keanggotaan dalam organisasi ttt Ya = tinggi, tidak = rendah

Lama Berorganisasi Rendah = < 1 tahun, sedang = 1 s.d 5

tahun, tinggi = > 5 tahun

Kesadaran Politik Pengetahuan akan hak-hak WN Ya = tinggi, tidak = rendah

Tingkat pengetahuan akan hak-hak Jumlah hak-hak WN yang diketahui Rendah = 1, sedang = 2 s.d 3, tinggi =

Page 28: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

28

WN > 3

Pengetahuan akan kewajiban WN Ya = tinggi, tidak = rendah

Tingkat pengetahuan akan

kewajiban WN

Jumlah kewajiban WN yang

diketahui

Rendah = 1, sedang = 2 s.d 3, tinggi =

> 3

Kepercayaan Terhadap Pemerintah Prestasi Pemerintah Persepsi akan prestasi yang pernah

dicapai pemerintah

Ya= tinggi, tidak tahu= sedang, tidak

= rendah

Prestasi Parpol Persepsi akan prestasi yang pernah

dicapai parpol

Ya= tinggi, tidak tahu= sedang, tidak

= rendah

Evaluasi kinerja pemerintah Persepsi akan kinerja yang pernah

dicapai pemerintah

Ya= tinggi, tidak tahu= sedang, tidak

= rendah

Evaluasi kinerja parpol Persepsi akan kinerja yang pernah

dicapai parpol

Ya= tinggi, tidak tahu= sedang, tidak

= rendah

Tingkat Kesukarelaan Politik Minat untuk memilih Kedatangan ke TPS Tinggi = Ya, datang dengan

kesadaran sendiri, sedang = Ya,

datang dengan ajakan orang lain,

rendah = tidak datang ke TPS

Penggunaan hak suara Tinggi = ya, rendah = tidak

Kemampuan untuk memilih Memiliki pilihan sendiri Tinggi = ya, rendah = tidak

Pilihan sendiri berdasarkan Tinggi = Ya, berdasarkan pemikiran

Page 29: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

29

pemikiran sendiri atau pihak lain sendiri, rendah = tidak, ada ajakan

orang lain

Kemampuan mengajak orang lain Mempengaruhi orang lain untuk

datang ke TPS

Tinggi = Ya, mempengaruhi orang

lain untuk datang ke TPS, sedang =

tidak tahu/cuek, rendah =

mempengaruhi untuk tidak datang

ke TPS

Mempengaruhi orang lain untuk

memilih pilihan tertentu

Tinggi = tidak mempengaruhi orang

lain untuk memilih pilihan tertentu,

sedang = tidak tahu/cuek, rendah =

mempengaruhi orang lain untuk

memilih pilihan tertentu

Page 30: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

30

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Geografis Wilayah

Secara geografis Kabupaten Majalengka terletak di bagian timur Propinsi Jawa Barat.

Kabupaten Majalengka terletak pada titik koordinat yaitu Sebelah Barat 108° 03' - 108° 19 Bujur

Timur, Sebelah Timur 108° 12' - 108° 25 Bujur Timur, Sebelah Utara 6° 36' - 5°58 Lintang Selatan dan

Sebelah Selatan 6° 43' - 7°44.

Bagian Utara wilayah kabupaten ini merupakan dataran rendah, sementara wilayah tengah

berbukit-bukit dan wilayah selatan merupakan wilayah pegunungan dengan puncaknya Gunung

Ceremai yang berbatasan dengan Kabupaten Kuningan serta Gunung Cakrabuana yang berbatasan

dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Sumedang. Secara administratif berbatasan dengan:

Sebelah Utara : Kabupaten Indramayu.

Sebelah Selatan : Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis.

Sebaleh Barat : Kabupaten Sumedang.

Sebelah Timur : Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan

Kabupaten Majalengka terdiri dari 26 Kecamatan, yang terbagi atas 330 Desa dan 13

Kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten berada di Kecamatan Majalengka.

Berikut adalah kecamatan-kecamatan dalam wilayah Kabupaten Majalengka:

1. Kecamatan Argapura

2. Kecamatan Banjaran

3. Kecamatan Bantarujeg

4. Kecamatan Cigasong

5. Kecamatan Cikijing

6. Kecamatan Cingambul

7. Kecamatan Dawuan

8. Kecamatan Jatitujuh

9. Kecamatan Jatiwangi

10. Kecamatan Kadipaten.

11. Kecamatan Kasokandel

Page 31: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

31

12. Kecamatan Kertajati

13. Kecamatan Lemahsugih

14. Kecamatan Leuwimunding

15. Kecamatan Ligung

16. Kecamatan Maja

17. Kecamatan Majalengka

18. Kecamatan Malausma

19. Kecamatan Palasah

20. Kecamatan Panyingkiran

21. Kecamatan Rajagaluh

22. Kecamatan Sindang

23. Kecamatan Sindangwangi

24. Kecamatan Sukahaji

25. Kecamatan Sumberjaya

26. Kecamatan Talaga

Topografi dan Geografi

Bagian utara wilayah kabupaten ini adalah dataran rendah, sedang di bagian selatan berupa

pegunungan. Gunung Ciremai (3.076 m) berada di bagian timur, yakni di perbatasan dengan

Kabupaten Kuningan. Gunung ini adalah gunung tertinggi di Provinsi Jawa Barat, dan merupakan

taman nasional, dengan nama Taman Nasional Gunung Ciremai

Keadaan geografi khususnya morfologi dan fisiografi wilayah Kabupaten Majalengka sangat

bervariasi dan dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian suatu daerah dengan daerah lainnya, dengan

distribusi sebagai berikut :

Morfologi dataran rendah yang meliputi Kecamatan Kadipaten, Kasokandel, Panyingkiran,

Dawuan, Jatiwangi, Sumberjaya, Ligung, Jatitujuh, Kertajati, Cigasong, Majalengka, Leuwimunding

dan Palasah. Kemiringan tanah di daerah ini antara 5%-8% dengan ketinggian antara 20-100 m di

atas permukaan laut (dpl), kecuali di Kecamatan Majalengka tersebar beberapa perbukitan rendah

dengan kemiringan antara 15%-25%.

Page 32: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

32

Morfologi berbukit dan bergelombang meliputi Kecamatan Rajagaluh dan Sukahaji sebelah

Selatan, Kecamatan Maja, sebagian Kecamatan Majalengka. Kemiringan tanah di daerah ini berkisar

antara 15-40%, dengan ketinggian 300-700 m dpl.

Morfologi perbukitan terjal meliputi daerah sekitar Gunung Ciremai, sebagian kecil

Kecamatan Rajagaluh, Argapura, Sindang, Talaga, sebagian Kecamatan Sindangwangi, Cingambul,

Banjaran, Bantarujeg, Malausma dan Lemahsugih dan Kecamatan Cikijing bagian Utara. Kemiringan

di daerah ini berkisar 25%-40% dengan ketinggian antara 400-2000 m di atas permukaan laut.

Geologi

Menurut keadaan geologi yang meliputi sebaran dan struktur batuan, terdapat beberapa

batuan dan formasi batuan yaitu Aluvium seluas 17.162 Ha (14,25%), Pleistocene Sedimentary Facies

seluas 13.716 Ha (13,39%), Miocene Sedimentary Facies seluas 23,48 Ha (19,50%), Undiferentionet

Vulcanic Product seluas 51.650 Ha (42,89%), Pliocene Sedimentary Facies, seluas 3.870 Ha (3,22%),

Liparite Dacite seluas 179 Ha (0,15%), Eosene seluas 78 Ha (0,006%), Old Quartenary Volkanik

Product seluas 10.283 Ha (8,54%). Jenis-jenis tanah di Kabupaten Majalengka ada beberapa macam,

secara umum jenis tanah terdiri atas Latosol, Podsolik, Grumosol, Aluvial, Regosol, Mediteran, dan

asosianya. Jenis-jenis tanah tersebut memegang peranan penting dalam menentukan tingkat

kesuburan tanah dalam menunjang keberhasilan sektor pertanian.

Hidrologi

Dari aspek hidrologis di Kabupaten Majalengka mempunyai beberapa jenis potensi sumber

daya air yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Potensi sumber daya air

tersebut meliputi:

Air permukaan, seperti mata air, sungai, danau, waduk lapangan atau rawa, Air tanah,

seperti sumur bor dan pompa pantek dan air hujan. Sungai yang besar di antaranya adalah Cilutung,

Cijurey, Cideres, Cikeruh, Ciherang, Cikadondong, Ciwaringin, Cilongkrang, Ciawi dan Cimanuk.

Iklim

Page 33: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

33

Curah hujan tahunan rata-rata di Kabupaten Majalengka berkisar antara 2.400 mm-3.800

mm/tahun dengan rata-rata hari hujan sebanyak 11 hari/bulan. Angin pada umumnya bertiup dari

arah Selatan dan tenggara, kecuali pada bulan April sampai dengan Juli bertiup dari arah Barat Laut

dengan kecepatan antara 3-6 knot (1 knot =1.285 m/jam).

Demografi

Jumlah Penduduk Kabupaten Majalengka Berdasarkan BPS Kabupaten Majalengka Tahun

2013 adalah 1.180.774 Jiwa terdiri dari 590.038 jiwa penduduk laki-laki dan 590.736 jiwa penduduk

perempuan. Rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Majalengka pada tahun 2013 adalah 981

jiwa/km². Kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Jatiwangi dengan kepadatan 2.087 jiwa/km².

Wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak adalah:

1. Kecamatan Jatiwangi : 83.450 jiwa.

2. Kecamatan Majalengka : 69.946 jiwa.

3. Kecamatan Cikijing : 60.581 jiwa.

4. Kecamatan Lemahsugih : 57.928 jiwa.

5. Kecamatan Sumberjaya : 57.353 jiwa.

Mayoritas Masyarakat Majalengka berasal dari etnis Sunda. Bahasa yang digunakan Bahasa

Sunda, akan tetapi memiliki perbedaan beberapa arti dan kosakata dengan Bahasa Sunda di

Kawasan Priangan. Bahasa Sunda di Majalengka merupakan bahasa Sunda dialek Tengah Timur.

Dibeberapa wilayah Majalengka masyarakatnya merupakan Etnis Cirebon/Wong Cerbon dan

menggunakan bahasa Cirebon, seperti di utara dan Timur Jatitujuh, Kertajati, Ligung, Sumberjaya

dan Desa Patuanan di Kecamatan Leuwimunding.

Page 34: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

34

4.2 Kondisi Lokasi Penelitian

4.2.1 Karakteristik Responden

4.2.1.1 Karakteristik Responden di Kelurahan Majalengka Kulon

Karakteristik responden dilihat dari sebarannya berdasarkan umur, tingkat pendidikan

formal, pekerjaan dan pendapatannya. Dari karakteristik ini akan dapat terlihat status sosial dan

ekonomi dari responden.

Tabel 4.1. Responden Berdasarkan Umur

No. Umur Responden Responden

Tahun Orang %

1. 0 – 16 0 0

2. 17 – 49 38 76

3. ≥ 50 12 24

Total 50 100

Sebaran responden berdasarkan umur, terlihat bahwa responden terpetakan pada

kelompok umur sedang dan tinggi yang berarti mayoritas masih berada pada usia produktif.

Tabel 4.2. Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal

No. Tingkat Pendidikan Responden

Orang %

1. Tamat SD 3 6

2. SMP – SMA 26 52

3. ≥ Sarjana 21 42

Total 50 100

Dilihat dari Tabel-tabel di atas, karakteristik yang tergolong ke dalam kategori tinggi adalah

karakteristik pendidikan dan pekerjaan. Responden dengan pendidikan dan pekerjaan yang baik

berada dalam jumlah yang cukup banyak walaupun dari segi pendapatan masih didominasi dalam

kategori pendapatan yang sedang, akan tetapi dengan pendidikan dan pekerjaan yang baik (kategori

tinggi) diduga hal ini akan berpengaruh terhadap pola pikir dari masyarakat itu sendiri.

Page 35: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

35

Tabel 4.3. Responden Berdasarkan Pekerjaan

No. Pekerjaan Responden Responden

Orang %

1. Buruh 9 18

2. Wiraswasta, petani 23 46

3. Pegawai Kantoran (PNS,Bank

dll)

18 36

Total 50 100

Tabel 4.4. Responden Berdasarkan Pendapatan

No. Pendapatan Responden Responden

Orang %

1. ≤ 1 jt 9 18

2. 1,1 jt – 2,4 jt 36 72

3. ≥ 2,5 jt 5 10

Total 50

4.2.1.2 Karakteristik Responden di Desa Banjaran

Tabel 4.5. Responden Berdasarkan Umur

No. Umur Responden Responden

Tahun Orang %

1. 0 – 16 0 0

2. 17 – 49 40 80

3. ≥ 50 10 20

Total 50 100

Page 36: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

36

Tabel 4.6. Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal

No. Tingkat Pendidikan Responden

Orang %

1. Tamat SD 3 6

2. SMP – SMA 36 72

3. ≥ Sarjana 11 22

Total 50 100

Tabel 4.7. Responden Berdasarkan Pekerjaan

No. Pekerjaan Responden Responden

Orang %

1. Buruh 10 20

2. Wiraswasta, petani 25 50

3. PNS dan Pegawai kantoran 15 30

Total 50 100

Tabel 4.8. Responden Berdasarkan Pendapatan

No. Pendapatan Responden Responden

Orang %

1. ≤ 1 jt 10 20

2. 1.1 jt – 2,5 jt 40 80

3. ≥2,5 jt 0 0

Total 50 100

Profil responden Desa Banjaran memperlihatkan gambaran yang tidak jauh berbeda dengan

kondisi di Kelurahan Majalengka Kulon, walaupun sedikit di bawah Kelurahan Majalengka kulon

untuk karakteristik pendidikan dan pekerjaan, akan tetapi dengan kecenderungan yang mendekati,

maka patut di yakini bahwa pola pikir masyarakat Desa Banjaran sudah cukup baik/maju.

Page 37: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

37

4.2.1.3 Karakteristik Responden di Desa Kasokandel

Tabel 4.9. Responden Berdasarkan Umur

No. Umur Responden Responden

Tahun Orang %

1. 0 – 16 0 0

2. 17 – 29 38 76

3. ≥ 50 12 24

Total 50 100

Tabel 4.10. Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal

No. Tingkat Pendidikan Responden

Orang %

1. Tamat SD 4 8

2. SMP – SMA 31 62

3. ≥ Sarjana 15 30

Total 50 100

Tabel 4.11. Responden Berdasarkan Pekerjaan

No. Pekerjaan Responden Responden

Orang %

1. Buruh 9 18

2. Wiraswasta, petani 27 54

3. PNS dan Pegawai kantoran 14 28

Total 50 100

Page 38: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

38

Tabel 4.12. Responden Berdasarkan Pendapatan

No. Pendapatan Responden Responden

Orang %

1. ≤ 1 jt 9 18

2. 1,1 jt – 2,4 jt 37 74

3. ≥ 2,5 jt 4 8

Total 50 100

Profil Desa Kasokandel terlihat hampir mirip dengan Desa Banjaran, dengan kondisi yang

sedikit di bawah Kelurahan Majalengka Kulon, akan tetapi dapat dikatakan juga bahwa pola pikir

masyarakat Desa Kasokandel sudah cukup baik.

4.2.1.4 Karakteristik Responden di Desa Sukahaji

Tabel 4.13. Responden Berdasarkan Umur

No. Umur Responden Responden

Orang %

1. 0 – 16 0 0

2. 17 – 49 36 72

3. ≥ 50 14 28

Total 50 100

Tabel 4.14. Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal

No. Tingkat Pendidikan Responden

Orang %

1. Tamat SD 13 26

2. SMP – SMA 30 60

3. ≥ Sarjana 7 14

Total 50 100

Page 39: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

39

Tabel 4.15. Responden Berdasarkan Pekerjaan

No. Pekerjaan Responden Responden

Orang %

1. Buruh 12 24

2. Wiraswasta, petani 30 60

3. PNS dan Pegawai kantoran 8 16

Total 50 100

Tabel 4.16. Responden Berdasarkan Pendapatan

No. Pendapatan Responden Responden

Orang %

1. ≤ 1 jt 12 24

2. 1,1 jt – 2,4 jt 37 74

3. ≥ 2,5 jt 1 2

Total 50 100

Profil Desa Sukahaji memperlihatkan bahwa ada penurunan jumlah responden dengan profil

tingkat pendidikan yang maju, pekerjaan yang baik dan pendapatan yang tinggi bila dibandingkan

dengan profil yang ada di Kelurahan Majalengka Kulon, Desa Banjaran dan Desa Kasokandel.

4.2.1.5 Karakteristik Responden di Desa Ligung

Tabel 4.17. Responden Berdasarkan Umur

No. Umur Responden Responden

Tahun Orang %

1. 0 – 16 0 0

2. 17 – 49 37 74

3. ≥ 50 13 26

Total 50 100

Page 40: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

40

Tabel 4.18. Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal

No. Tingkat Pendidikan Responden

Orang %

1. Tamat SD 11 22

2. SMP – SMA 29 58

3. ≥ Sarjana 10 20

Total 50 100

Tabel 4.19. Responden Berdasarkan Pekerjaan

No. Pekerjaan Responden Responden

Orang %

1. Buruh 10 20

2. Wiraswasta, petani 29 58

3. PNS dan Pegawai kantoran 11 22

Total 50 100

Tabel 4.20. Responden Berdasarkan Pendapatan

No. Pendapatan Responden Responden

Orang %

1. ≤ 1 jt 10 20

2. 1,1 jt – 2,4 jt 37 74

3. ≥ 2,5 jt 3 6

Total 50 100

Profil Responden di Desa Ligung tidak jauh berbeda dengan Desa Sukahaji yaitu terdapat

jumlah yang cukup banyak untuk kategori pendidikan rendah, pekerjaan dan pendapatan rendah jika

dibandingkan dengan tiga wilayah pertama. Dengan profil yang tidak jauh berbeda, diperkirakan

pola pikir masyarakatnya hampir sama.

Page 41: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

41

4.2.1.6 Karakteristik Responden di Desa Malausma

Begitu juga dengan profil masyarakat Desa Malausma yang memiliki kedekatan kondisi

dengan Desa Sukahaji dan Desa Ligung. Dengan kecenderungan gambaran kondisi yang ada, dapat

disimpulkan bahwa profil yang dimiliki oleh Kelurahan Majalengka Kulon memiliki kecenderungan

kesamaan kondisi dengan Desa Banjaran dan desa Kasokandel sedangkan profil yang dimiliki oleh

Desa Sukahaji memiliki kecenderungan kesamaan kondisi dengan Desa Ligung dan Desa Malausma.

Profil responden terbaik secara umum dimiliki oleh masyarakat Kelurahan Majalengka Kulon. Hal ini

dapat diterima karena kecenderungan ketersediaan akan berbagai akses terhadap pelayanan publik

lebih mudah didapat dibanding wilayah penelitian lain.

Tabel 4.21. Responden Berdasarkan Umur

No. Umur Responden Responden

Orang %

1. 0 – 16 0 0

2. 17 – 49 36 72

3. ≥ 50 14 8

Total 50 100

Tabel 4.22. Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal

No. Tingkat Pendidikan Responden

Orang %

1. Tamat SD 13 26

2. SMP – SMA 30 60

3. ≥ Sarjana 7 14

Total 50 100

Page 42: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

42

Tabel 4.23. Responden Berdasarkan Pekerjaan

No. Pekerjaan Responden Responden

Orang %

1. Buruh 12 24

2. Wiraswasta, petani 30 60

3. PNS dan Pegawai kantoran 8 16

Total 50 100

Tabel 4.24. Responden Berdasarkan Pendapatan

No. Pendapatan Responden Responden

Orang %

1. ≤ 1 jt 12 24

2. 1,1 jt – 2,4 jt 35 70

3. ≥ 2,5 jt 3 6

Total 50 100

4.2.2 Tingkat Kesadaran Politik Masyarakat

Dari total responden,, dilihat dari tingkat kesadaran politiknya, mayoritas berada pada

kategori sedang hanya saja prosentase yang berada pada kategori tinggi juga cukup tinggi. Dapat

dikatakan ¾ dari responden sudah cukup mengetahui dan memahami akan hak-hak dan kewajiban

yang mereka miliki sebagai warga negara.

Tabel 4.25. Tingkat Kesadaran Politik

No. Tingkat Kesadaran Politik Responden

Kategori Orang %

1. Rendah 77 25.7

2. Sedang 174 58.0

3. Tinggi 49 16.3

Total 300 100

Page 43: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

43

4.2.3 Tingkat Kepercayaan Terhadap Pemerintah

Tidak jauh berbeda dengan tingkat kesadaran politik, kurang lebih ¾ responden mempunyai

tingkat kepercayaan yang cukup tinggi terhadap kinerja pemerintah, walaupun dari hasil penelitian

dapat diketahui bahwa masyarakat kurang percaya dengan kinerja parpol.

Tabel 4.26. Tingkat Kepercayaan Terhadap Pemerintah

No. Tingkat Kepercayaan Thd

Pemerintah

Responden

Kategori Orang %

1. Rendah 77 25.7

2. Sedang 175 58.3

3. Tinggi 48 16

Total 300 100

4.2.4 Tingkat Kesukarelaan Politik Masyarakat

Dari Tabel 4.27 terlihat bahwa ¼ responden memiliki tingkat kesukarelaan politik yang tinggi

dan lebih dari 50 % nya berada pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan fenomena tersendiri

bahwa masyarakat sedang merangkak menuju kecerdasan politik yang tinggi.

Tabel 4.27. Tingkat Kesukarelaan Politik

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 8 48 16.0 16.0 16.0

10 180 60.0 60.0 76.0

12 72 24.0 24.0 100.0

Total 300 100.0 100.0

Page 44: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

44

4.2.5 Uji Model Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kesukarelaan Politik Masyarakat

a. Pengujian Sub Struktur I

a.1 Pengaruh dari Karakteristik Responden terhadap tingkat kesadaran politik

Karakteristik umur dan lahan tidak memiliki kontribusi terhadap tingkat kesadaran politik

masyarakat, sehingga dikeluarkan dari model.

Tabel 4.28. Hasil Analisis Jalur Karakteristik responden terhadap tingkat kesadaran politik

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

95,0% Confidence Interval

for B

B Std. Error Beta Lower Bound Upper Bound

1 (Constant) 7.833 .496 15.782 .000 6.856 8.809

Pendidikan .832 .126 .403 6.586 .000 .583 1.081

Pekerjaan .514 .149 .269 3.450 .001 .221 .807

Pendapatan -.698 .205 -.265 -3.407 .001 -1.102 -.295

Umur .265 .166 .090 1.595 .112 -.062 .592

Lahan .124 .138 .048 .896 .371 -.148 .396

Afiliasi -1.051 .396 -.574 -2.652 .008 -1.831 -.271

Pengalaman .915 .346 .573 2.647 .009 .234 1.595

a. Dependent Variable: Kesadaran

a.2 Pengaruh Karakteristik responden terhadap Tingkat Kepercayaan masyarakat Terhadap

Pemerintah

Hal yang sama terjadi, yaitu karakteristik umur dan lahan harus tereliminir dari model

sehingga karakteristik responden yang dapat digunakan untuk pengujian selanjutnya adalah tingkat

pendidikan, pekerjaan, pendapatan, afiliasi dan pengalaman organisasi.

Page 45: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

45

Tabel 4.29. Hasil Analisis Jalur Karakteristik responden terhadap tingkat kepercayaan

masyarakat terhadap pemerintah

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

95,0% Confidence Interval

for B

B Std. Error Beta Lower Bound Upper Bound

1 (Constant) 8.016 .707 11.331 .000 6.624 9.409

Pendidikan 1.493 .180 .483 8.291 .000 1.139 1.847

Pekerjaan .745 .212 .260 3.510 .001 .327 1.163

Pendapatan -.863 .292 -.218 -2.953 .003 -1.438 -.288

Umur .394 .237 .089 1.664 .097 -.072 .861

Lahan .093 .197 .024 .471 .638 -.295 .480

Afiliasi -1.332 .565 -.485 -2.357 .019 -2.444 -.220

Pengalaman 1.145 .493 .479 2.325 .021 .176 2.115

a. Dependent Variable: Kepercayaan

b. Pengujian Secara Simultan (Keseluruhan)

H1 : Karakteristik responden yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, Kepemilikan lahan,

Afiliasi, pengalaman organisasi serta tingkat kesadaran politik dan tingkat kepercayaan

terhadap pemerintah berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap tingkat

kesukarelaan berpolitik.

Ho : Karakteristik responden yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, Kepemilikan lahan,

Afiliasi, pengalaman organisasi serta tingkat kesadaran politik dan tingkat kepercayaan

terhadap pemerintah tidak berkontribusi secara simultan dan signifikan terhadap tingkat

kesukarelaan berpolitik.

Page 46: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

46

Dari Tabel Annova didapat F untuk model = 58.196 dengan nilai probabilitas (sig) = 0.000.

Karena nilai sig < 0.05, maka keputusannya Ho ditolak dan bisa dilanjutkan ke pengujian secara

individu.

b. Pengujian secara individu

Pengujian secara dilakukan untuk menguji kontribusi masing-masing faktor terhadap

kesukarelaan dalam berpolitik.

Tabel 4.31. Hasil Uji Model Keseluruhan

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

95,0% Confidence Interval

for B

B Std. Error Beta Lower Bound Upper Bound

1 (Constant) 5.431 .452 12.005 .000 4.540 6.321

Pendidikan 1.315 .100 .652 13.130 .000 1.118 1.512

Pekerjaan -.193 .111 -.103 -1.732 .084 -.412 .026

Pendapatan .288 .144 .112 2.002 .046 .005 .572

Afiliasi -.466 .289 -.260 -1.613 .108 -1.034 .103

Pengalaman .452 .252 .290 1.793 .074 -.044 .949

Kepercayaa

n

-.027 .040 -.042 -.694 .488 -.105 .050

Kesadaran .223 .056 .228 3.959 .000 .112 .334

a. Dependent Variable: Kesukarelaan

Tabel 4.30. Uji Model Fit

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 275.119 7 39.303 58.196 .000a

Residual 197.201 292 .675

Total 472.320 299

a. Predictors: (Constant), Kesadaran, Afiliasi, Pendapatan, Pendidikan, Pekerjaan, Kepercayaan,

Pengalaman

b. Dependent Variable: Kesukarelaan

Page 47: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

47

1. pekerjaan, afiliasi politik , pengalaman organisasi dan tingkat kepercayaan terhadap pemerintah

tidak berkontribusi secara signifikan terhadap tingkat kesukarelaan berpolitik sehingga dilakukan

metode trimming yaitu mengeluarkan variabel yang disebut di atas yang dianggal tidak berkontribusi

secara signifikan.

2. Hasil akhir setelah trimming adalah faktor pendidikan dan kesadaran berpolitik berkontribusi

signifikan terhadap tingkat kesukarelaan berpolitik. Dilihat nilai beta nya dapat diketahui bahwa

faktor pendidikan lah yang berkontribusi paling signifikan terhadap tingkat kesukarelaan berpolitik.

Tabel 4.32. Hasil Final Uji Model

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients

t Sig.

95,0% Confidence Interval

for B

B Std. Error Beta Lower Bound Upper Bound

1 (Constant) 5.387 .395 13.627 .000 4.609 6.165

Pendidikan 1.268 .094 .629 13.471 .000 1.083 1.453

Pendapatan .125 .110 .048 1.135 .257 -.091 .341

Kesadaran .194 .041 .199 4.715 .000 .113 .275

a. Dependent Variable: Kesukarelaan

4.3. Kesimpulan dan rekomendasi

4.3.1 Kesimpulan

1. Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesukarelaan politik adalah faktor tingkat pendidikan

dan tingkat kesadaran berpolitik.

2. Faktor tingkat pendidikan menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat kesukarelaan

berpolitik.

4.3.2. Saran dan Rekomendasi

1. Kebijakan dan Program Pemerintah untuk penguatan IPM (Indeks Pembangunan Manusia)

terutama sektor pendidikan harus terus ditingkatkan dari tahun ke tahun.

2. KPU perlu memiliki program untuk bekerjasama dengan berbagai stakeholder, khususnya

lembaga pendidikan, baik tingkat menengah maupun perguruan tinggi untuk melakukan

pembinaan mengenai kesadaran berpolitik dalam rangka mewujudkan kecerdasan politik.

Page 48: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

48

DAFTAR PUSTAKA

Affan Gaffar. 2005. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Anonim. 2003. Undang Undang Nomor. 2 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Jakarta : Komisi

Pemilihan Umum.

_______. 2003. Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jakarta

: Komisi Pemilihan Umum.

_______. 2003. Undang Undang Nomor 23 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Jakarta : Komisi Pemilihan Umum.

Asfar Muhammad, Ariwibowo,Zaidun, Wahyudi Purnomo, Bimo. 2003. Model- Model Sistem

Pemilihan di Indonesia. Surabaya : Pusat Studi Demokrasi dan HAM.

Asfar Muhammad. 2006. Mendesain Managemen Pilkada. Surabaya : Pustaka Eureka.

_______. 2006. Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004. Surabaya : Pustaka Eureka.

Gibson. James. 1986. Organisasi Perilaku, Struktur dan Proses (Edisi Terjemahan oleh Djoerban

Wahid). Jakarta : Erlangga..

Gouzali Saydam, Aswi Warman, Abdul Munir. 1999. Dari Bilik Suara Ke Masa Depan Reformasi.

Potret Konflik Politik Pasca Pemilu dan Nasib Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Indonesia.

Harry Hikmat. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung : Humaniora Utama Pers.

Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Page 49: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

49

KUISIONER PENELITIAN

TINGKAT KESUKARELAAN MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN MAJALENGKA DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Penelitian ini dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum bekerjasama dengan Lembaga Penelitian

dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Majalengka

DAFTAR PERTANYAAN

Nomor Responden :

Hari/Tgl :

Waktu :

Tempat/Desa/Kel :

IDENTIFIKASI RESPONDEN

1. Jenis Kelamin : Laki-laki

Perempuan

2. Kelompok Usia : ≤ 19 tahun

20 – 29 tahun

PENTING

Identitas anda tidak akan dipublikasikan. Jawaban yang anda berikan dijamin kerahasiaannya

Page 50: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

50

30 – 39 tahun

40 – 49 tahun

≥ 50 tahun

3. Status Perkawinan : Belum kawin

Kawin

Janda/Duda

4. Agama : _______________________

A. TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK

1. Apakah Bapak/Ibu/sdr mengikuti pemungutan suara pada Pemilu 2014 ?

Ya, datang ke TPS dengan kesadaran sendiri

Ya, datang ke TPS dengan ajakan orang lain

Tidak datang ke TPS

2. Apakah Bapak/Ibu/sdr menggunakan hak suara/mencoblos dalam pemilu?

Ya

Tidak

3. Apakah dari awal sebelum waktu pemungutan suara, Bapak/Ibu/Sdr telah memiliki pilihan

sendiri?

Ya

Tidak

4. Apakah pilihan sendiri itu berdasarkan pemikiran sendiri atau ajakan orang lain?

Page 51: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

51

Ya, berdasarkan pemikiran sendiri

Tidak, ada ajakan orang lain

B. STATUS SOSIAL

1. Pendidikan terakhir Bapak/Ibu/Sdr yang ditempuh :

Sarjana (S1/S2)

Sekolah Menengah Atas (SMA)

Sekolah Menengah Pertama (SMP)

SD/Buta huruf

2. Apa jenis pekerjaan utama Bapak/Ibu/Sdr ?

Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Wiraswasta

Buruh

Petani

Lainnya (sebutkan)

3. Apa jenis pekerjaan sampingan Bapak/Ibu/Sdr?

Wiraswasta

Buruh

Petani

Lainnya (sebutkan)

4. Apakah Bapak/Ibu/Sdr memiliki ayah/ibu/kakek/nenek yang menjadi tokoh masyarakat?

Page 52: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

52

Ya

Tidak

C. STATUS EKONOMI

1. Besarnya penghasilan.

< 1.000.000

Rp. 1.000.001 s.d Rp. 1.500.000

Rp. 1.500.001 s.d Rp. 2.000.000

Rp. 2.000.001 s.d Rp. 2.500.000

>Rp. 2.500.000

2. Apakah Bapak/Ibu/Sdr mempunyai lahan sawah/kebun ?

Ya

Tidak

3. Jika jawaban pertanyaan No.2 adalah Ya, Berapa luasan lahan

< 0.25 Ha

0.26 s.d 0.5 Ha

0.51 s.d 1 Ha

>1 Ha

4. Apakah Bapak/Ibu/Sdr memiliki kendaraan roda empat.

Ya

Tidak

Page 53: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

53

D. AFILIASI POLITIK

1. Apakah Bapak/Ibu/Sdr menyukai organisasi politik/partai politik tertentu?

Ya

Tidak

2. Apakah Bapak/Ibu/Sdr menjadi anggota organisasi politik/partai politik tertentu?

Ya

Tidak

E. PENGALAMAN ORGANISASI

1. Apakah Bapak/Ibu/Sdr menjadi atau pernah menjadi anggota organisasi tertentu?

Ya

Tidak

2. Jika Ya, berapa lama Bapak/Ibu/Sdr aktif di organisasi tersebut?

<1 tahun

1 s.d 3 tahun

3.1 s.d 5 tahun

>5 tahun

F. KESADARAN POLITIK

1. Apakah Bapak/Ibu/Sdr mengetahui sebagai warganegara, memiliki hak-hak tertentu?

Ya

Tidak

Page 54: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

54

2. Coba Bapak/Ibu/Sdr sebutkan hak-hak apa saja yang dimiliki

1.

2.

3.

4.

3. Apakah Bapak/Ibu/Sdr mengetahui sebagai warganegara, memiliki kewajiban tertentu?

Ya

Tidak

4. Coba Bapak/Ibu/Sdr sebutkan kewajiban apa saja yang mesti dilakukan

1.

2.

3.

4.

G. KEPERCAYAAN TERHADAP PEMERINTAH

1. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, pemerintahan SBY-Boediono sudah menghasilkan prestasi

dalam pemerintahannya?

Ya

Tidak

Tidak tahu

2. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, partai politik sudah menghasilkan prestasi dalam kinerjanya?

Ya

Tidak

Page 55: tingkat kesukarelaan politik masyarakat dalam pemilu di kabupaten

TINGKAT KESUKARELAAN POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMILU DI KABUPATEN

MAJALENGKA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

55

Tidak tahu

3. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, pemerintahan SBY-Boediono sudah menjalankan

pemerintahannya dengan baik?

Ya

Tidak

Tidak tahu

4. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, partai politik yang ada telah bekerja dengan baik di parlemen?

Ya

Tidak

Tidak tahu

5. Apakah Bapak/Ibu/Sdr, sudah merasakan dampak dari kebijakan pemerintah SBY?

Ya

Tidak

Tidak tahu