tinajuan pengelolaan hutan lindung_sudirman
DESCRIPTION
hutanTRANSCRIPT
TINJAUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG
Oleh: Sudirman Dg. Massiri
I. PENDAHULUAN
Berdasarkan UU No 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa hutan lindung
adalah hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mencegah
erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
Kenyataannya, kawasan lindung tidak dalam kondisi baik sehingga fungsinyapun
tidak optimal justru menimbulkan bencana. Ini terjadi karena kejadian degradasi
dan deforestasi pada hutan lindung mesih terus meningkat, apalagi pada erah
otonomi daerah.
Desentralisasi pengelolaan hutan lindung yang tertuang dalam PP No
38 tahun 2007 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah belum
memberikan peluang yang positif terhadap kelestarian hutan lindung.
Pemerintah kabupaten/ kota seolah – olah tidak bersemangat menerima
wewenang yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat, dengan anggapan bahwa
hutan lindung tidak memberikan nilai ekonomi terutama penadapatan di
daerahnya. Justru yang terlihat bahwa hutan lindung menjadi beban bagi
pemerintah daerah, sehingga kehadirannya seolah olah tidak diharapkan.
Indonesia memiliki kawasaan hutan lindung seluas 32, 43 juta ha dari
luas total kawasan hutan 130,85 juta hektar. Akan tetapi, itu selalu mengalami
deforestasi hingga menduduki deforestasi peringkat ke tiga, setelah kawasan
hutan produksi dan dan areal pengggunaan Lain. Pada periode tahun 2000 –
2009 deforestasi di hutan lindung mencapai 2,01 juta ha (Sumargo, et al., 2011).
Kejadian deforerstasi pada hutan lindung disebabkan oleh aktivitas perambahan
oleh masyarakat, konversi menjadi lahan pertanian, dan kegiatan pertambangan.
Kejadian deforestasi tersebut sebenarnya dipahami dengan jelas oleh
Pemda, akan tetapi Pemda belum mempunyai keinginan dan kemampuan untuk
mencegah dari kerusakan, sehingga seolah tutup mata terhadap keadaan
tersebut. Pengelolaan hutan lindung menyebabkan biaya yang cukup tinggi
(high exclusion cost). Jika Pemda melakukan kegiatan menghalangi masyarakat
untuk merambah dan berkebun dalam kawasan hutan memerlukan biaya yang
cukup tinggi, apalagi kapasitas yang mereka miliki sangat terbatas, sehingga
hutan lindung hanyalah merupakan gugus kosong. Biaya untuk mencegah dari
kerusakan lebih besar dari manfaat yang diterima oleh Pemda. Akibatnya,
pengelolaan hutan lindung menjadi open akses. Menurut Ostrom (2008)
kepemilikan yang bersifat open akses mengancam sumberdaya tersebut menjadi
over eksploitasi.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan fungsi hutan
lindung adalah melakukan rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan Gerhan
dan HKm. Faktanya, kegiatan ini juga belum menunjukkan hasil yang optimal.
Kegagalan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di hutan lindung bukan hanya
disebabkan oleh faktor fisik dan iklim akan tetapi juga terkait dengan faktor
kelembagaan. Menjadi sangat berat mendorong masyarakat untuk melakukan
kegiatan rehabilitasi di dalam hutan lindung, jika tidak adanya jaminan bahwa
dialah yang akan menerima manfaat dari kegiatan itu. Ini terkait dengan rejim
property right.
Tulisan ini akan menguraikan tentang karakteristik hutan lindung dan
institusi pengelolaan hutan lindung yang merupakan faktor eksogen yang
menentukan kinerja pengelolaan hutan lindung. Pada akhirnya tulisan ini akan
mencoba untuk menemukan bentuk pengelolaan hutan lindung yang efektif dan
efisien.
II. Memahami Karakteristik Hutan Lindung
Sifat pertama karakteristik sumberdaya hutan lindung merupakan
kategori sumberdaya yang bersifat Common Pool Resources (CPRS). Sifat
CPRs adalah sangat sulit mengeluarkan orang-orang untuk memanfaatkan
sumberdaya tesebut dan penggunaanya akan mengurangi kesempatan pihak
lain untuk memanfaatkan (Hess and Ostrom, 1987). Fungsi utama hutan lindung
adalah mengatur sistem tata air. Air merupakan barang public karena setiap
orang mempunyai hak untuk memperolehnya. Sumberdaya lahan yang terdapat
di kawasan hutan lindung, secara de facto banyak di kelola oleh masyarakat
dengan kepemilikan pribadi (private property) untuk kegiatan pertanian dan
dirambah dan bahkan ada yang dijadikan tambang. Meskipun, secara de jure,
pengelolaan kawasan hutan lindung diberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah (state property), akan tetapi kenyataannya pengelolaanya lebih bersifat
open akses.
Sifat kedua sumberdaya hutan lindung adalah adanya eksternalitas.
Eksternalitas merupakan pemanfaatan sumberdaya oleh individu – individu
menimbulan dampak. Eksternalitas terjadi jika suatu kegiatan menimbulkan
manfaat atau biaya bagi kegiatan atau pihak di luar pelaksanaan kegiatan
tersebut (Suparmoko dan Ratnaningsih, 2012). Pemanfaatan hutan lindung bisa
menimbulkan ekternalitas positif maupun negatif yang bukan hanya dirasakan
oleh individu yang mengelola sumberdaya tersebut tetapi juga pihak lain. Hutan
lindung pada umumnya berada pada bagian hulu Das. Jika hutan ini rusak maka
masyarakat di bagian hilir akan merasakan dampak negatif kerusakan tersebut.
Begitu juga sebaliknya, jika kawasan hutan lindung terkelola dengan baik maka
fungsi hutan lindung akan optimal yang bukan hanya dirasakan oleh pihak yang
mengelola. Hal ini terkadang menyebabkan pihak pengelola tidak serius
mengelolanya karena manfaatnya yang diterima tidak dirasakan sendiri. Ini
membutuhkan sebuah mekanisme pengelolaan dengan mengidentifikasi pihak
yang menerima manfaat dan pihak yang menyediakan manfaat. Hal ini
menunjukkan bahwa hutan lindung memiliki interdependensi yang cukup tinggi.
Interdependensi hutan lindung akan muncul jika posisi hutan lindung
dalam ruang Das berada lintas kabupaten atau manfaat hutan lindung tersebut
mempengaruhi kabupaten lainnya. Ini yang banyak terjadi di Indonesia, sehingga
kabupaten yang memiliki hutan lindung (penyedia manfaat) tidak mau mengelola
hutan lindung dengan baik karena ada kabupaten lain (kabupaten penerima
manfaat) yang memanfaatkan. Kondisi ini menimbulkan dilemma dalam
pengelolaan. Kebijakan yang ada belum membuka ruang untuk berkolaborasi
utamanya dalam hal pendanaan.
Sifat ke tiga hutan lindung adalah high exclusion cost. Kegiatan untuk
mengeluarkan masyarakat yang telah melakukan perembahan, kegiatan
perkebunan di hutan lindung tentunya memerlukan biaya yang cukup tinggi.
Permasalahan akan menjadi semakin kompleks jika hutan lindung memiliki biaya
ekslusi tinggi sedangkan manfaat yang diterima Pemda tidak jelas. Sudah dapat
diprediksi bahwa Pemda tidak mungkin mengeluarkan masyarakat dalam
kawasan hutan lindung jika tidak ada manfaat ekonomi yang diperolehnya.
Pengelolaan hutan lindung tentunya memerlukan pendekatan khusus seperti
pengelolaan kolaboratif. Hanya saja, pihak akan berkolaboratif jika ada manfaat
yang jelas untuk diterimanya (Bellamy, et al., 2002).
Suparmoko dan Ratnaningsih (2012) menyatakan bahwa fungsi
lingkungan termasuk hutan akan merosot disebabkan oleh ciri atau sifat yang
menonjol dari sumberdaya tersebut meliputi a. adanya ciri atau sifat sebagai
barang public, b. memiliki sifat CPRs, c. adanya ciri atau sifat eksternalitas dan
d. tidak diberikan harga yang layak oleh penggunanya.
III. Landasan Hukum Pengelolaan Hutan Lindung
Landasan hukum utama pengelolaan hutan lindung di Indonesia antara
lain adalah:
1) Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 Ayat (3).
2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya
3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
5) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang.
6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah.
7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan.
8) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan.
9) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan.
10) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan.
11) Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
12) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 6/Menhut-II/2009 tentang
Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
13) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 6/Menhut-II/2010 tentang norma,
strandar, prosedur dan kriteria pengelolaan hutan pada kesatuan
pengelolaan hutan lindung (KPHL) dan kesatuan pengelolaan hutan
produksi (KPHP)
Pengelolaan hutan di Indonesia termasuk hutan lindung meliputi
kegiatan: a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b)
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; c) rehabilitasi dan
reklamasi hutan; dan d) perlindungan hutan dan konservasi alam (Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 21). Tata hutan dimaksudkan dalam
rangka pengelolaan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih
optimal. Tata hutan lindung meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok
berdasarkan ekosistem. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan
kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu
dan pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan dengan pemberian izin
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin
pemungutan hasil hutan bukan kayu (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
Pasal 26 Ayat 1 dan 2).
Pada tahun 2007 peraturan pemerintah nomor 62/1998 tersebut diganti
dengan Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan aturan ini,
urusan pemerintahan bidang kehutanan yang terkait dengan pengelolaan hutan
lindung yang diserahkan kepada kabupaten/kota, diantaranya: pertimbangan
penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah
pengelolaan hutan lindung, pertimbangan teknis pengesahan rencana
pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit Kesatuan Pengelolaan
Hutan Lindung (KPHL), pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan
lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL, pertimbangan teknis pengesahan
rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL, pemberian perizinan
pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak
dilindungi, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten/kota
IV. Institusi Pengelolaan Hutan Lindung
Desentralisasi pengelolaan hutan lindung yang menyerahkan
kewenangan kepada Pemda tidak mampu mendorong pengelolaan hutan lindung
yang lestari. Pada tingkat unit management, sebenarnya belum ada organisasi
pengelola sehingga lebih bersifat open akses. Keberadaan Dinas kehutanan
dengan segala keterbatasannya bukanlah merupakan organisasi pengelola
hutan karena hanya melakukan kegiatan administrasi kehutanan. Kegiatan yang
dilakukan Pemda yang diatur dalam PP No 38 Tahun 2007 dalam kawasan
hutan lindung adalah; a. Inventarisasi hutan, b. Rehabilitasi dan perlindungan
hutan c. Pemberian izin pemanfaatan hutan c. Pemungutan HHBK
Dalam rejim pengelolaan yang open akses, para pihak akan berupaya
untuk mengambil hasil secara berlebihan dari sumberdaya tersebut yang
melebihi daya dakung lingkungan. Kondisi ini menyebabkan over eksploitasi
yang mengarah pada kehancuran (Ostrom, 2008).
Hutan lindung yang memiliki fungsi sebagai penyangga sistem
kehidupan hingga saat ini masih mengalami deforestasi. Kelembagaan yang ada
sekarang tidak mampu mencegah kerusakan dari pelaku-pelaku ekonomi yang
ada dan kelembagaan tersebut juga tidak mampu mensukseskan program-
program rehabilitasi.
Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan di kawasan hutan lindung seperti
kegiatan Gerhan dan HKm masih banyak mengalami kegagalan. Hasil temuan
Muhtar,et all., (2010) pada pengembangan HKm di Hutan Lindung Sesaot
Lombok Barat mengungkapkan bahwa program HKm tersebut menjadi cela bagi
masyarakat melakukan eksploitasi pada kawasan hutan lindung yang
disebabkan oleh kesalahan persepsi terhadap program HKm tersebut.
Begitu juga dengan kegiatan Gerhan yang belum memberikan hasil
yang optimal untuk kelestarian hutan lindung. Kelembagaan yang dibentuk tidak
mengakar di masyarakat, artinya kelembagaan dibentuk jika ada proyek Gerhan
dan ketika proyek itu berakhir maka kelembagaan itu akan hilang dengan
sendirinya. Ada kecenderungan pemerintah melakukan kegiatan pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui organisasi formal, kenyataanya
keberhasilannya sangat terbatas dan organisasi tersebut tidak berkembang.
Menurut Syahyuti (2010) negara menginginkan masyarakat diorganisasikan
secara formal, sementara pasar cenderung menghendaki masyarakat (secara
individu dan kelompok) untuk berperilaku efisien dan menguntungkan.
Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan banyak
mengalami kegagalan karena kurang menghargai institusi lokal dan pendekatan
lebih bersifat seragam (Uphoof, 1986) . Horison (1986) dalam Sahyuti (2010)
menyatakan pemerintah lebih cenderung mengembangkan model modernisasi
dalam melibatkan masyarakat dalam pembangunan dan kurang memperhatikan
konteks sosial serta lebih cenderung mengembangkan pola yang seragam,
padahal kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat bervariasi.
Pembentukan organisasi formal dalam pelibatan masyarakat untuk
pengelolaan hutan lindung hanyalah merupakan sebuah pilihan atau wadah
untuk menjalankan tindakan kolektif. King (2008) menyatakan tanpa organisasi
formal masyarakat dapat melakukan tindakan kolektif. Masyarakat lokal yang
tidak bersifat formal mampu melakukan tindakan kolektif melalui kearifan lokal
yang dimilikinya. Hal ini diperkuat oleh banyak hasil penelitian, seperti Golar
(2007) tentang kelembagaan lokal dalam pengelolaan hutan di Taman Nasional
Lore Lindu, Arafat (2009) Adaptasi masyarakat dalam pengelolaan hutan di
Pulau Wangi-wangi, Sulawesi tenggara, Senoaji (2011) dalam Darusman, 2012,
Kearifan masyarakat Badui dalam pengelolaan hutan dan lingkungan.
V. Reformasi Tata Kelola Hutan Lindung
Evaluasi tata kelola hutan lindung dapat dinilai melalui kinerja. Kondisi
existing hutan lindung menggambarkan akumulasi dari sebuah proses yang
terdiri dari kebijakan, kelembagaan dan implementasi. Keban (2008)
menyatakan Kinerja program atau kebijakan berkenaan dengan sampai
seberapa jauh kegiatan-kegiatan dalam program atau kebijakan telah
dilaksanakan sehingga tujuan dari program atau kebijakan tersebut dapat
tercapai. Sedangkan kinerja institusi berkaitan dengan sejauh mana suatu
institusi telah melaksanakan semua kegiatan pokok sehingga tujuan dapat
tercapai.
Faktor kebijakan dan kelembagaan mempunyai posisi yang sangat
penting dalam menentukan keberadaan hutan lindung. Kebijakan seyogyanya
disusun berdasarkan karakteristik sumberdaya yang ada. Bad policy dan bad
institution akan menyebabkan bad implementation and bad performance, hal
tersebut dapat terlihat pada gambar 1. Berikut ini.
Ruang kebijakan yang tidak terdefinsi jelas terkait dengan hutan lindung
utamanya dalam erah otonomi daerah adalah tidak terdefenisi secara jelas
tentang ekternalitas dan interdependensi. Artinya, kalau kegiatan pengelolaan
hutan lindung di kabupaten A pada bagian hulu mengalami kegagalan dalam
pengelolaan maka menimbulkan ekternalitasi bagi kabupaten B. Dengan begitu,
perlu ada instrument kebijakan yang dapat mendorong agar penerima manfaat
dengan pemberi manfaat bertanggung jawab secara bersama untuk melestarikan
hutan lindung tersebut. Krott (2005) menjelaskan ada beberapa instrument
kebijakan meliputi regulatory instrument, Economic instrument, administrative
instrument dan information instrument. Keempat instrument kebijakan tersebut
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan
sumberdaya hutan (Nurrochmat, et al., 2010)
Desentralisasi pengelolaan hutan lindung yang tanpa ditunjang oleh
pendanaan merupakan faktor pembatas utama bagi Pemda untuk mengelola
hutan lindung. Perlu ada upaya untuk mentransformasi nilai ekonomi hutan
lindung yang potensial menjadi ekonomi yang real sehingga hutan lindung tidak
hanya menjadi cost centre bagi Pemda. Upaya ini akan berjalan jika ditunjang
dengan kebijakan. Artinya, jika hutan lindung itu menimbulkan eksternalitas bagi
pihak lain maka pihak lain harus bertanggung jawab untuk melestarikannya.
Kebijakan yang bisa ditempuh pemerintah untuk mengatasi masalah
pendanaan dan ekternalitas adalah melalui instrument ekonomi atau instrument
fiskal seperti skema pembayaran jasa lingkungan, purchasing landuse right, dan
Liability rule. Nurrochmat, et al., (2010) menyatakan pembayaran jasa lingkungan
merupakan skema pembayaran yang diberikan oleh penerima jasa lingkungan
kepada penyedia jasa lingkungan. Kebijakan ini akan sangat efektif pada hutan
lindung yang terletak di kabupaten A yang memberikan manfaat kepada
kabupaten B. Purchasing landuse right adalah pemberian kompensasi kepada
seseorang atau entitas yang sesungguhnya memiliki hak untuk menggunakan
lahan yang dimiliki untuk kepentingan apa saja agar menggunakan lahannya
sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian. Liability rule adalah ketentuan yang
menetapkan siapa yang bertanggung jawab. Liability rule ini sangat penting,
bahkan persyaratan ini harus terpenuhi dulu sebelum mekanisme pembayaran
jasa lingkungan atau purchasing landuse right berjalan.
Hambatan yang terjadi dalam pengelolaan hutan lindung sekarang ini
adalah sebagian besar hutan lindung belum memiliki organisasi pengelola di
tingkat tapak. Salah satu bentuk organisasi yang memungkinkan adalah
pembentukan Kesatuan pengelolaan hutan Lindung (KPHL). Meskipun begitu,
KPH yang dibentuk harus mampu lestari dari sisi finansial. Artinya, KPH itu
setidaknya harus dapat menyelesaikan persoalan pendanaan, eksternalitas,
meningkatkan partisipasi masyarakat lokal.
Bentuk Kelembagaan KPH harus bervariasi antara satu lokasi dengan
yang lainnya berdasarkan karakteristik sumberdaya yang dimiliki. Jika hutan
lindung berada dalam satu ekosistem Das yang lintas kabupaten maka KPH
tersebut oleh pemerintah pusat, jika dalam ekosistem dasa hutan lindung
tersebut berada lintas kabupaten maka KPH dikelola oleh provinsi, selanjutnya
jika hutan lindung berada dalam satu ekosistem Das yang terletak dalam satu
kabupaten maka KPH tersebut dikelola oleh kabupaten.
VI. PENUTUP
Kebijakan desentralisasi hutan lindung dalam otonomi daerah membuat
hutan lindung menjadi semakin terpuruk. Pengelolaan hutan lindung yang
dilimpahkan kepada Pemda seolah kehadirannya tidak diharapkan sehingga
tidak dipelihara dan bahkan diperlakukan tidak baik. Padahal, tidak disadari
bahwa hutan lindung merupakan penyangga sistem kehidupan. Ruang yang
terlupakan dalam kebijakan pengelolaan hutan lindung adalah tidak menyadari
karakteristik hutan lindung memiliki sifat interdependensi dan menimbulkan
eksternalitas.
Institusi yang bekerja selama ini juga belum memberikan harapan yang
positif terhadap kelestarian hutan lindung. Kegiatan Gerhan dan HKm yang
dilaksanakan di hutan lindung lebih cenderung tidak memperhatikan kondisi lokal
lambat laun merapuhkan modal sosial yang ada di masyarakat lokal. Hutan
lindung yang lebih bersifat open akses juga menjadi faktor yang mempercepat
terjadinya deforestasi pada hutan lindung. Kelembagaan yang diharapkan
mungkin memperbaiki kondisi yang ada adalah pembentukan organisasi
pengelola hutan lindung atau di sebut KPHL. Organisasi ini akan mampu
mengubah kinerja pengelolaan hutan lindung jika organisasi tersebut dapat
lestari secara finansial, menjawab persoalan interdependensi dan eksternalitasi
dan melibatkan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arafah Nur. 2009. Adaptasi masyarakat dalam pengelolaan hutan di Pulau wangi-wangi Kabupaten Wakatobi Sulawesi tenggara. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Bellamy,J., H, Ross., S, Ewing., and T, Meppem., 2002. Integrated Catchment Management: Learning from the Australian Experience for the Murray-Darling Basin. Overview Report. Australia.
Darusman D., 2012. Kehutanan Demi Keberlanjutan Indonesia. IPB Press. Bogor
Golar. 2007. Strategi Adaptasi masyarakat adat Toro, Kajian kelembagaan lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Taman nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi tengah. Disertasi. Pascasarjana IPB. Bogor.
Hess, C., and Estrom E., 2007. Understanding Knowladge as a Common; From Theory to Practice. The Mit Press. England.
Keban. 2008. Enam dimensi Strategi Administrasi Publik; Konsep, Terori dan Isu. Gava Meida. Yogyakarta.
King, B., 2008. A Sosial Movement Perspective of Stakeholder Collective Action and Influence. Sage Publication and International Association for Business and Society. http://bas.sagepub.com.
Krott, M. 2005. Forest Policy Analisis. Springer. Europan Forest Institute. Germany.
Mukhtar, 2010. Pengelolaan Program Hutan Kemasyarakatan Berbasis Kearifan Lokal : Studi Kasus Di Kawasan Hutan Lindung Sesaot Lombok Barat. Wacana Vol. 1 No. 13 Januari 2010
Nurrochmat, D.R., I, Solihin., E Meti dan A, Hadianto., 2010. Neraca Pembangunan Hijau. Konsep dan Implikasi Bisnis Karbon dan Tata Air di Sektor Kehutanan. IPB Press. Bogor.
Ostrom, E. 2008. . Institutions and the environment. Jurnal Compilation. Oxford, UK: Blackwell Publising. Institute of Economic Affair
Sumargo, W., S.G, Nanggara., F.A, Naninggolan., dan I, Apriani., 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000 – 2009; Edisi Pertama. Forest Watch Indonesia.
Suparmoko, M., dan M, Ratnaningsih, 2012. Ekonomika Lingkungan. BPFE- Yogyakarta.
Syahyuti, 2010. Lembaga dan Organisasi Petani dalam Pengaruh Negara dan pasar. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 28 No. 1, Juli 2010 : 35 - 53
Uphof, N., 1986. Lokal Institutional Development: An Analitical Sourcebook with Cases. Kumarian Press. States of America.