tigo lareh sistem kekuasaan dan konsep estetika …

190

Seminar Nasional: Seni, Teknologi, dan Masyarakat III

Institut Seni Indonesia Surakarta, 25 Oktober 2018

PENDAHULUAN

Tigo lareh (tiga laras) merupakan simbolkekuasaan yang berpengaruh dalam membentuktatanan kehidupan masyarakat Minangkabausecara umum. Tigo lareh berarti tiga kekuasaanyang bersumber dari tiga orang tokoh legendaris, yaitu:(1) Dt. Katumanggungan; (2) Dt. Parpatiah NanSabatang; dan (3) Dt. Nan Sakelap Dunia. Masing-masing tokoh mempunyai konsep dan gaya‘pemerintahan’ kekuasaan, yang menjadi anutandalam sistem sosial kehidupan masyarakat. Secarakultural, sistem pemerintahan di Minangkabauberpusat pada nagari. Kumpulan nagari-nagaridalam sistem kekuasaan disebut Luhak (setaradengan kabupaten). Luhak Nan Tigo (Luhak Yang Tiga)

TIGO LAREH:SISTEM KEKUASAAN DAN KONSEP

ESTETIKA MUSIKAL TIGA GENRE MUSIK DI LUHAK NAN TIGO MINANGKABAU

Dr. Andar Indra Sastra, S.Sn., M. Hum.Email: [email protected]

Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang

Dr.Wilma Sriwulan, S.Sn.,M.Hum.Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang

Yon Hendri, S.Sn., M. Hum.Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang

ABSTRACT

The purpose of this study was to uncover and discover the influence of the power of tigolareh (three laras) inshaping the aesthetic concepts and theories of three traditional music genres in Luhak Nan TigoMinangkabau.TigoLareh’s system of power emerged as a political-legal reality that comes from two legendary Minangkabaufigures, namely Dt. Katumangguangan and Dt. Parpatiah Nan Sabatang. Told in a story of traditional historiog-raphy, the two involved in ideological conflict in establishing a system of ‘governance’ (power) in Minangkabaucalled LarehKotopiliang and LarehBodicaniago. LarehKotopiliang, in his system of government, is character-ized by royal autocracy and LarehBodicaniago is more democratic in nature. The ideological conflict betweenthe two figures gave rise to the third figure, namely RajoBabandiang, who held the title of Dt. Nan SakelapDunia,who then give birth to the concept of Lareh Nan Buntathat is a synthesis of both systems. The musical realityof bronze talempong music - is part of the (power) cultural system of LarehKotopiliang, and can be divided intotwo genres, namely: (1) the talempongbararak genre (procession), and; (2) talempong genre duduak (sitting).Talempongbararak appears in the form of “arakan” music and talempongduduak is played on the Java rea:rancakan and usually use gongs. LarehBodicaniago’s musical concept is populist and it is oriented to thepower of vocal music (dendang) which in its presentation it is tied to the concept of bagurau (joking) which isaccompanied by a musical instrument saluang (a type of wind instrument typical of Minangkabau). Meanwhile,the musical concept of Lareh Nan Bunta reflects the synthesis of both bronze musical concepts and vocalmusic (dendang). The musical concept of bronze music gave birth to the concept of talempongbasaua whichwas presented in the form of a hocketting technique. Tigolareh as a symbol of power synchronized with thereality of musical culture in its society.

Keywords: Tigolareh, power, musical aesthetic concept, three genres of music, Luhak Nan Tigo,Minangkabau.

merupakan simbol kekuasaan politik-hukum yangmencerminkan pengaruh tiga orang tokoh legendarisMinangkabau.

Dt. Katumanggungan dengan simbol kerajaanmemiliki gaya kepemimpinan sistem pemeritahanbercorak otokrat is (kerajaan) dan sistempemerintahannya disebut dengan Lareh Kotopiliang.Gaya pemerintahan Lareh Kotopiliang di Minangkabaudisebut manitiak dari ateh (menentes dari atas).Manitiak dari ateh artinya, sistem kekuasaandemokrasi yang dibangun oleh kalarasan tersebutmerupakan suatu bentuk perintah atas hasilmusyawarah pada tingkat pimpinan tertinggi yangharus dilaksanakan di kalangan bawah pangulu(penghulu) . Pada sisi lain, musik perunggu jenis

191

Tigo Lareh... - Andar Indra Sastra, Wilma Sriwulan, dan Yon Hendri


talempong menempati posisi penting simbol identitasdalam memberikan legitimasi kekuasaan pangulupada tingkat nagari.

Talempong yang menjadi objek kajian dalampenelitian ini dapat dikelompokan menjadi dua bagian,yaitu: (1) talempong bararak (jenis musik arakan atauprosesi); dan (2) talempong duduak (duduk) disebutjuga talempong rea (Jawa: rancakan). Kedua genretalempong tersebut lazim digunakan dalam prosesiupacara pengangkatan pengulu di Luhak Nan TigoMinangkabau. Pengangkatan pengulu merupakanbagian tidak terpisahkan dari sistem kekuasaan yangdibentuk atas konsep kepemimpinan dalam satu kaummenurut sistem matrilieal. Secara estetis, kedua genretalempong tersebut memiliki nilai filosofis dan konsepmusikal berbeda yang perlu diungkapkan tentunyamelalui penelitian.

Berbeda dengan Lareh Kotopiliang, LarehBodicaniago dengan tokoh utamnya Dt Parpatiah NanSabatang mengusung konsep demkorasi yang lebihmambumi (mambusek dari bumi) membersit daribumi, mencerminkan demokrasi yang bersifatkerakyatan. Sifat kerakyatan mencerminkankesetaraan dalam kewenangan yang berbeda, danmenurut konsep pemikiran masyarakat minangdisebut duduak samo randah-tagak samo tinggi(duduk sama rendah-berdiri sama tinggi). Sistemkepemimpinan yang merakyat juga berdampakterhadap budaya musikal yang dilahirkannya. Budayamusikal yang mencerminkan konsep filosoafi duduaksamo randah-tagak samo tinggi adalah bagurau(bergurau) saluang. Bagurau saluang merupakan modelpertunjukan rakyat seni vokal intrumental yang dalampertunjukannya memiliki nilai-nilai demokrasikerakyatan seperti tercermin dalam konsep duduaksamo randah-tagak samo tinggi kesetaraan dalamkewenangan yang berbeda.

Lareh Nan Bunta atau Lareh Nan Panjang yangdigagas oleh Dt. Nan Sakelap Dunia merupakansintesis dari konf l ik ideologis antara Dt.Katumanggungan dan Dt. Parpatiah Nan Sabatang.Konflik ideologis tersebut juga berdampak terhadappembentukkan konsep musikal yang secara estetismenjadi siqnifikan untuk diungkapkan. Siqnifikansimusikal dapat dilihat dari sistem musik yangdilahirkannya, baik dari musik perunggu (talempong)maupun konsep musik vokal yang dibangunnya musiktalempong yang dibangunnya mengusung konsepbasaua (hocketing teknic) teknik hocketing. Konsepbasaua merupakan teknik permainan talempong yangmenghasilkan melodi berbeda dengan penyajiantaempong bararak dan talempong duduak.

Tigo lareh sebabagai bentuk kekuasaan,memiliki konsep dan realitas musikal yang berbedadalam kehidupan masyarakat Luhak Nan TigoMinangkabau. Realitas musikal tersebut, secaraestetis dan musikal penting dan menarik untukdiungkapkan. Arti penting tersebut, berkaitan denganpengaruh kekuasaan dan memiliki landasan filosofisyang berbeda. Secara estetis, landasan filosofismempunyai makna tersendiri dalam membentukbudaya musikal dalam kehidupan masyarakatMinangkabau. Terkait dengan hal tersebut; tujuanpenelitian ini untuk mengungkap hubungan kekuasaanpolitik-hukum dengan realitas musik yang muncul darikonsep tigo lareh, yaitu yaitu Lareh Kotopiliang, LarehBodicaniago, dan Lareh Nan Bunta di Luhak Nan TigoMinangkabau.

METODE PENELITIAN

Pendekatan teoritik bertumpu pada datakualitatif yang didukung dengan data kuantitatif.Data kualitati f diperlukan untuk mendapatkaninformasi, konsep yang berkaitan dengan sistemmusik dan konsep musikal yang berkaitan denganobjek penelit ian talempong bararak, duduak,talempong basaua, dan bagurau saluang. Piranti kerasdan lunak dapat digunakan untuk analisis data, seperticromatic tuner, triangle, dan garputala, serta dilengkapidengan sofwer digital yang dapat diakses melaluiinternet, seperti notasi kepatihan, cool edit pro,sengpiel audio, digital metronom, Da Tuner Lite danlain-lain.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsep Estetika Musikal Oguang Dan TalempongBararak

Konsep Estetika musikal berkaitan denganprinsip-prinsip estetik diciptakannya bentuk permainanpertunjukan Oguang (ensambel gong) musik, dantalempong bararak musik prosesi. Aguang sebagai‘musik kebesaran’ dibunyikan ketika diadakan upacarapengangkatan penghulu di rumah gadang (rumahadat). Aguang; seperangkat alat musik terdiri dari duabuah gong, satu atau dua buah gendang bermuka dua(doble hedrum), dan salabuhan (seperangkat)talempong terdiri dari 6 (enam) buah talempong.Aguang sebagai ‘musik kebesaran’ dalam upacarapengangkatan penghulu di Minangkabau, khususnyadi Luhak Nan Tigo, tercermin dalam ungkapan adat dibawah ini.

192



Kalau alam alah takambang (Kalau alamsudah terkembang)Marawa tampak takiba (Bendera tampakterkibar)Aguang tasangkuik tinggi (Gong tersangkuttinggi)Tandonyo adaik badiri di nagari (Tandanya adatberdiri di nagari)Sambah manyambah pamuliakan (Sembahmenyembah pemiliakan)Silek Jo tari Ka bungonyo (Silat dan tarisebagai bunganya)Pupuik jo saluang ka gunjainyo (Pupuik josaluang ke gunjainya)Talempong bararak malewakan (Talempongberarak melewakan)

Kata alam pada baris pertama diartikansebagai pertanda akan adanya suatu perhelatan besarpengangkatan penghulu dalam satu nagari. Marawa(bendera kebesaran Luhak Nan Tigo Minangkabauhitam, kuning dan merah) kelihatan berkibar. Aguangtampak tasangkuik dipukul di tempat pertunjukanyang dibuatkan khusus untuk upacara pengangkatanpenghulu. Tempat pertunjukan disebut paleh-paleh atausemacam pentas 2 x 2,5 m berada pada ketinggianlebih kurang 20 m (lihat foto pada halaman berikut).Di atas paleh-paleh itu lah aguang dibunyikan.Tandonyo adaik badiri di nagari; suatu pertanda bahwaada suku atau kelompok suku dalam nagari yangmenyelenggarakan pengangkatan penghulu baru.Sambah manyambah pamuliakan; terjadinyaperundingan adat sembah-menyembah antarapenghulu sebagai bentuk musyawarah dialektika yangmembicarakan berbagai persoalan berkaitan dengannorma-norma adat. Seperti kelengkapan upacara,tugas dan tanggung jawab seorang penghulu, sifat-sifat seorang penghulu, pantangan-larangan seorangketika menduduki jabatan penghulu dan lain-lain yangberkaitan dengan norma-norma adat di lingkungannagari.

Silek jo tari ka bungonyo; bahwa dalammenyambut para petinggi adat atau penghulu dari sukulain yang diundang datang menghadiri prosesipengangakat penghulu, biasanya disambut dengansilek (silat) dan tari galombang (gelombang). Pupuikjo saluang ka gunjainyo; pupuik dan saluang (jenisalat musik tiup) ikut memeriahkan. Saluangdipertunjukan setelah atau sebelum penghuludilewatkan kepada masyarakat banyak. Pupuikbiasanya dimainkan bersama talempong bararak

(berarak), yang digunakan khusus untuk mengarakpenghulu keliling pasar.

Gambar 1.Paleh-paleh: tempat pertunjukan aguang

(Dok. Andar 2018)

Secara estetik, konsep musikal aguang dantalempong bararak dalam upacara pengangkatanpenghulu dapat dibedakan menjadi dua bagian.Pertama, konsep musikal aguang terdiri dari: (1)sepasang agung; (2) gandang palalu (gendang pelalu)dan gandang paningkah (gendang peningkah); (3)salabuhan talempong terdiri dari 6 (enam) buahtalempong, yaitu talempong dasar (palalu; 5, dan 6);(4) talempong malagu (pembawa melodi; 1, 2, 3, dan4) – 3/4 dan 3/2 merupakan pukulan serentak. Enambuah talempong disusun berdasarkan tema lagu‘tataku’ misalnya. Talempong disusun dengan urutanbunyi (nada) 2, 4, 3, 1, 5, 6, dan disajikan dalam bentukensambel.

Konsep musikal aguang dan talempongbararak di atas substansinya mengungkap dua sisiyang saling melengkapi, yaitu bentuk dan isi. YakobSumarjo dalam Lalan Ramlan (2013), menyatakanbahwa bentuk merupakan representasi dari faktorinstrisik seni yang dibentuk oleh medium ataumaterialnya (Sumarjo, 2013: 43). Tjecep RohendiRohidi menyebut faktor instrik ini sebagai faktorintraestetik yang dibangun oleh sebuah struktur yangtersitematis, sehingga memiliki pola susunan tertentu(Rohidi, 2011: 53). Isi merupakan representasi dari nilaigagasan, pikiran, dan perasaan senimannya; olehSumarjo disebut faktor ekstrinsik (Sumarjo, 2000: 169).Sementara Rohidi menyebutnya sebagai faktorekstraestetik yang terkandung dalam latar belakangbudaya dari kehidupan senimannya (Rohidi, 2011: 53)dalam hal ini budaya Minangkabau. Implementasimusikalnya dapat dilihat pada notasi berikut.

193



Notasi 1. Lagu ‘Tataku’ dalam talempongGondang Aguang

(Transkrip I.D.N. Supenida, 2016).

Lagu ‘Tataku’ adalah salah satu repertoar yangdimainkan dalam prosesi pengangkatan penghuludalam suatu nagari dalam masyarakat SialangKabupaten 50 Kota, Minangkabau. Lagu talempongyang dimainkan dalam upacara pengangkatanpenghulu bisa saja berbeda antara satu nagari dengannagari lainnya. Perbedaan tersebut dapat dibacasebagai bentuk petanda bahwa setiap nagari diMinangkabau adalah ‘republik kecil’ dan mempunyaiciri khas tersendiri termasuk adat dan seninya.Konsep musikal talempong bararak digunakan khususuntuk acara maarak pangulu (mengarak penghulu),masing-masing disebut talempong jantan, talempongpaningkah, dan talempong pangawinan. Talempongjantan sebagai ‘imam’ berperan penting membawakantema lagu dan mengendalikan tempo permainan;talempong paningkah mengikuti ajakan permainantelampong jantan dengan pola ritem yang berbeda;keduanya berperan membentuk kerangka melodi.Talempong pangawinan dengan pola ritem yangberbeda pula, ikut menjustifikasi terbentuknya melodikhas talempong bararak (lihat gambar dan notasiGuguah (lagu) ‘Arak Kabau Gadang’).

Nama Guguah Arak Kabau Gadang (ArakKerbau Besar) merupakan simbol kebesaran seorang

penghulu dalam jabatan dan kewenangannya sebagaipimpinan kaumnya. Kebesaran seorang peghulutersebut diarak atau diperkenalkan kepada masyarakatbanyak dalam lingkungan nagari kalabuah nan golong(ke jalan yang datar) dan kapasa nan rami (ke pasayang ramai). Masyarakat banyak tersebut biasanyaberkumpul pada suatu tempat keramaian yang disebutpasar; di pasar itulah terjadi transaksi ekonomi,informasi, sosial budaya dan bertemunya masyarakatdalam berbagai kepentingan.

Gambar 2.Talempong Bararak Nagari Tabek,

Kabupaten Tanah Data(Dok. Andar 2018)

194



Notasi 2. Guguah Arak Kabau Gadang Nagari TabekKabupaten Tanah Data

Sumatera Barat (Transkrip Andar, 2016)

Keterangan;(1) Dst = BiramaTj = Talempong jantanTp = Talempong paningkahTpn = Talempong pangawinanGaluik = Fariasi pukulan ritme

Notasi di atas dengan jelas menyatakanbahwa 2 (dua) biteh (garis birama) pertama motiftalempong Jantan mengawali Guguah Arak KabauGadang. Talempong Paningkah merespon denganmotif berbeda pada ketukan keempat (aksen lemah)pada biteh 1 (satu). Melalui motif yang juga berbeda,talempong Pangawinan bergabung pada ketukankeempat (aksen lemah) pada biteh 2 (dua). Saputaran(satu siklus ) yang membentuk satu kalimat lagu terdiridari 10 biteh. Ketika kombinasi ketiga frasa salingberinteraksi dan dibumbui dengan galuik (variasipukulan). Interaksi musikal yang diikuti denganmunculnya galuik (cubitan musikal) dapat memberikankesan bagaluik (berkelakar) lihat biteh 8 (delapan) danbiteh 9 (sembilan). Variasi pukulan dalam pertunjukantalempong dapat memberikan kesan estetis bagaluikyang menyenangkan masyarakatnya menyebutbatalun (capaian kualitas estetik).

Sistem Kekuasaan dan Konsep Bagurau dalamPertunjukan Saluang-Dendang

Secara kultural, sistem kekuasaan hegemonidi Minangakabau dipengaruhi oleh dua tokohlengendaris Dt. Parpatiah Nan Sabatang dan Dt.Katumanggungan. Naim mengatakan bahwa‘pertarungan’ dua ideologi kedua tokoh legendaris yangbersumber dari dua kekuatan dua kerajaan besar diNusantara. Sriwijaya yang Budis melambangkankekuatan kebudayaan bodi-caniago, sedangkanMajapahit yang Hinduistis melambangkan supermasidari kekuatan kebudayaan koto-piliang (Naim, 1983:88). Dendy Sugono mengatakan bahwa hegemonimerupakan pengaruh kekuasaan atas suatu kelompokdengan ideologi yang dianutnya dengan carasistematis (Sugono, 2009: 516). Edward Said (2010)

mengatakan bahwa hegemoni merupakan suatupandangan bahwa gagasan tertentu [ideologi] lebihberpengaruh dari gagasan yang lain sehinggakebudayaan tertentu lebih dominan dari kebudayaanlain (Andar, 2015: 19). Berbicara tentang hegemonisecara kultural, berarti membicarakan sistemkekuasaan; salah satu tokoh legendaris dalamhistoriografi tradisional Minangkabau disebut Dt.Parpatiah Nan Sabatang sistem pemerintahannyadisebut Lareh Bodicaniago.

Lareh Bodicaniago bersifat demokratis dandirepresentasikan dalam bagurau pada pertunjukansaluang di Luhak Nan Tigo Minangkabau. Sifatdemokratis tersebut dapat memberi kebebasan kepadasegenap pencandu gurau untuk menyampaikan hakestetiknya dalam pertunjukan salaung-dendang tanpamembedakan kedudukan dan status sosial dalammasyarakat. Sifat demokratis tersebut berpontensiterjadi pertentangan atau perbedaan pendapatdialektika antar sesama pencandu gurau. Ini dapatdilihat ketika janang yang bertindak sebagai modera-tor pertunjukan menciptakan suasana dialektis-dikotomis antara kelompok gurau atau penonton padasaat pertunjukan berlangsung. Adapun tema-temayang menjadi bahan pertengkaran dalam pertunjukanseperti: masalah profesi penonton; ditinggal istri; danberbagai hobi lainnya, seperti buru babi, memancing,penembak burung dan lain-lain. Tema-tema seperti itudapat menjadi sumber konflik psikologis dialektis yangdikemas secara estetik dalam pertunjukan saluang-dendang biasanya disampaikan melalui bahasaperumpamaan. Pertunjukan saluang yang dikemassecara dikotomis-estetik, merepresentasikan sistemdemokrasi model Kalarasan Bodicaniago; dalamungkap adat Minangkabau dikatakan duduak samorandah, tagak samo tinggi (duduk sama rendah, berdirisama tinggi) mencerminkan satu sistem ideologi.

Ideologi adalah “ide” yang dipegang bersamaoleh kelompok sosial dalam kehidupan sehari-harinya(Thwaites dalam Chaya, 2015: 41). Ia merupakansistem kepercayaan dan sistem nilai sertarepresentasinya dalam berbagai media dan tindakansosial (Piliang, 2003: 18). Bagurau dalam pertunjukansaluang-dendang merupakan media yangmerepresentasikan kehidupan sehari-hari berupatindakan sosial masyarakat Minangkabau yang beradadi bawah pengaruh sistem ideologi KalarasanBodicaniago. Ini berarti, ideologi sebagai sistem sangatlekat dengan pandangan hidup seseorang ataukelompok sosial yang dibingkai dalam sistem nilaibudaya. Pada titik ini, kita membicarakan hubunganseni musik dengan konsep kebudayaan

195



masyarakatnya. Dalam konteks ini, Merriammembedakannya menjadi dua hal: pertama, “Musikin Culture” (Musik dalam Kebudayaan) dan kategorikedua, “Musik as Culture” (Musik sebagai Kebudayaan)(Merraim, 1977: 202-204). Dari perspektif antropologibudaya, Ihromi menegaskan bahwa musik sebagaihasil perilaku manusia, mencerminkan sebagiansistem gagasan dan tindakan masyarakatnya. Bahwakebudayaan [musik] merupakan pencerminan atauperwakilan lahiriyah dari struktur pikiran manusia yangmendasarinya (Ihromi. 2009: 66).

Pada bagian lain, Merriam mengatakan bahwabunyi musik sebagai hasil perilaku manusia memilikistruktur tertentu; dan mempunyai suatu sistem, namunia tidak dapat berdiri sendiri atau tidak terpisah darikonsep kebudayaan masyarakatnya (Merriam, 1964:32). Dari perspektif sosiologi, Dasilva mengatakanbahwa adanya kehidupan musik di masyarakatsebenarnya menunjukkan fenomena atau kondisisosial budaya masyarakatnya (Dasilva dalam Jazuli,2014: 287). Apa yang dikatakan Merriam, T.O. Ihromidan Fabio Dasilva dapat memperkuat argumentasibahwa musik sebagai produk budaya mesti singkrondengan konsep kebudayaan yang malahirkannyamelalui sistem nilai budaya.

Sistem nilai budaya itu direpresentasikanterakumulasi dalam bagurau pada pertunjukansaluang-dendang di Luhak Nan Tigo Minangkabau.Representasi ideologis tersebut dapat dilihat dari sta-tus dan hak dari penonton gurau yang ada dalampertunjukan saluang-dendang. Semuanya mempunyaistatus dan hak yang sama sebagai penontonpertunjukan duduak samo randah, tagak samo tinggi.Semua penontan mempunyai hak yang sama untukmenyampaikan pendapatnya melalui sang mediatorjanang. Mereka bebas berpolemik dan berbedapendapat yang dikontruksi oleh pendendang menjadipantun dan dikemas secara estetik.

Nyoman Chaya mengatakan bahwa nilaibudaya melibatkan keyakinan umum tentang carabertingkah laku yang diinginkan dan yang tidakdiinginkan serta tujuan dan keadaan akhir yangdiinginkan atau yang tidak diinginkan (Chaya, 2015:41). Leoner, W.J. dan Malapass mengatakan bahwanilai merupakan suatu keyakinan yang relatif satbiltentang model-model perilaku spesifik yang diinginkansecara pribadi atau sosial (Malapass, 1994: 49). Nilaibudaya bagurau dalam pertunjukan saluang-dendangmerepresentasikan sistem demokrasi yangmenjadikan dialektika – konflik psikologis – sebagaibagian dari dinamika yang harus ada dalampertunjukan saluang-dendang. Hidup tidaknya

pertunjukan saluang-dendang, amat tergantung padakepiawaian janang dalam menciptakan danmengendalikan konflik psikologis antar sesamapenonton.

Dibangunnya konf lik psikologis dalampertunjukan saluang-dendang karena adanyaperbedaan nilai dalam tema yang menjadi lahangarapan estetik. Taufik Abdullah mengatakan diMinangkabau, konsep tentang konflik tidak hanyadiakui, tetapi juga dikembangkan dalam sistem sosialitu sendiri [termasuk dalam seni pertunjukan saluang].Dari konteks sosilogis, konflik dilihat secara dialektis,sebagai unsur hakiki untuk mencapai keseimbangandalam masyarakat itu (Abdullah, 1987: 107). Artinya,konflik mempunyai kedudukan signifikan dalammenumbuhkan dinamika kebudayaan – seni.Dinamika kebudayaan itu menjadi komoditas dalambagurau pada pertunjukan saluang. Adat merekamengatakan basilang kayu dalam tungku, di sinanapi mangko iduik (bersilang kayu dalam tungku, disana api mau hidup). Dalam konteks pertunjukansaluang, perbedaan pendapat – konflik – menjadisarana untuk hidupnya “api pertunjukan” untukmencapai tujuan; kepuasan estetis. “Silang sangketa”atau perbedaan diakui sebagai suatu hal yangseharusnya ada.

Adanya konfl ik tersebut karena adanyaperbedaan nilai yang membentuk tingkah laku danpengetahuan masyarakat pencinta seni pertunjukan.Konfl ik yang dimaksud dalam bagurau padapertunjukan saluang-dendang, bukanlah konflik fisik,akan tetapi lebih menonjol kepada konflik psikologisatau pemikiran melalui perdebatan yang dikemasmelalui ungkapan sastra berbentuk pantun yangdidendangkan dialektis. Paradigma ideologis yangdirepresentasikan dalam bagurau dalam pertunjukansaluang-dendang dapat dilihat pada bagan berikut.

Bagan 1.Representasi ideologi bagurau

dalam pertunjukan saluang

196



Bagan di atas dapat menjelaskan kepada kitabahwa lareh bodicaniago dengan sistemdemokrasinya simbol ideologi menjadikan konfliksebagai bagian dari dinamika dalam kehidupanmasyarakat direpresentasikan dalam bagurau padapertunjukan saluang. Di situ terlihat, bagaimana peranjanang sebagai tokoh sentral dituntut harus mampumembangun suasana konflik psikologis dialetikaestetik dalam pertunjukan saluang.

Konsep Estetika Musikal Talempong Basaua

Terciptanya musik dalam masyarakat tidaklepas dari berbagai konsep, bahwa konsep merupakansumber pengetahuan yang bersumber dari dunia ide.Memahami musik dalam kehidupan masyarakattalempong lagu dendang, berarti kita berhadapandengan konsep-konsep yang kaya dengan berbagaimakna. Dari makna itulah nati akan muncul diskursus(discouse) tentang paradigma ilmu pengetahuantentang talempong basaua sebagai musik, baiksebagai kebudayaan maupun dalam kontekskebudayaan. J.O. Ihalau mengatakan bahwa konsepialah simbol yang diberi makna (konsepsi) tertentuuntuk peristiwa (objek) tertentu (John J.O.I. Ihalaw,2004: 27). Basaua adalah simbol yang dikonsepsikansebagai bentuk permainan – pertunjukan – talempongdengan teknik husus yang prinsip dasarnya dapatdianalogikan dengan teknik hocketing pada musikBarat.

Penamaan basaua (berjalin) diambil dari kesanpermainan basaua yang hadir dalam permainanmelodinya, sehingga sepintas memiliki kemiripandengan kesan permainan talempong renjeang(tenteng). Willi Apel mengatakan bahwa teknikhocketing yaitu teknik perselang-selingan yang cepatdan tidak terputus dari nada-nada tunggal ataukelompok-kelompok nada pendek yang dihasilkanoleh beberapa bagian sumber bunyi yang berbeda.Salah satu bagian akan diam ketika bagian yang lainmenghasilkan bunyi sehingga dalam proses ini tidakatau jarang sekali terjadi perbenturan nada [bunyi],karena akhir dari proses ini adalah melodi sempurna(perfect) (Apel, 1972: 389). Melodi yang dimaksudadalah melodi dari irama vokabuler dendang (musikvokal) ri tmis yang biasanya disajikan dalampertunjukan bagurau saluang (bergurau dalampertunjukan saluang; jenis musik tiup khasMinangkabau).

Talempong basaua dimainkan oleh tiga orangpemain talempong; secara musikal Nadia Fulzimengatakan bahwa setiap pemain memegang dua

buah talempong, masing-masing disebut polong,tongah dan tingkah. Polong memainkan talempong 2dan 4; tongah memainkan talempong 1 dan 3, 5 dan 6memainkan talempong tingkah – instrumentasidilengkapi dengan satu buah gendang bermuka dua(double hedrum) (Nadia Fulzi, 2014: 64). Strukturinstrumentasi sebagaimana dimaksud sangat idealdalam membangun komposisi musik talempongbasaua yang berkarakter ritmis dengan pengembangangarapan melodi berupa improvisasi serta ornamentasiyang dinamis.

Secara musikal estetik ; polong, tongah dantingkah memainkan peran masing-masing sesuaidengan wilayah bunyi (nada) dari struktur melodisebuah dendang. Secara konseptual, ketiganyamemiliki hubungan yang saling terkait dalamkewenangan yang berbeda. Gi l les Deleuzemengatakan seluruh konsep dihubungkan denganpelbagai masalah yang tanpa mereka, maka konseptersebut menjadi tak bermakna ... Sebuah konsepmemiliki suatu kemenjadian yang melibatkanhubungan dengan pelbagai konsep yang terletak padatataran yang sama. (Gilles Deleuze & Fellex Guattari,2010: 18-20). Dari perspeksif antropologi musik, Alan.P. Merriam mengatakan bahwa pada keseluruhannya,konsep-konsep merupakan suatu kerangka atas musikyang diatur dalam masyarakat dan merupakan suatukerangka atas orang-orang yang memikirkan tentangapa musik itu dan seharusnya seperti apa musiktersebut (Merriam, 1964: 63). Sebagai konsep, polong,tongah dan tingkah merupakan suatu kerangkamusikal yang diciptakan oleh masyarakat yangmelahirkannya dengan segala keunikannya. SandieGunara (2016) dalam Harmonia mengatakan bahwadalam praktik musik ... ada cara yang unik yang bisadipelajari dan dapat diwarisi agar tidak hilang (Gunara,2017: 53).

Talempong basaua sebagai genre musikterkait erat dengan konsep kebudayaan masyarakatyang melahirkannya, yakni masyarakat Luhak 50Koto. Menurut konsep kebudayaan Minangkabau,masyarakat Luhak 50 Koto di bawah pengaruhkekuasaan Lareh Nan Bunta. Keterkaitan tersebutseperti dikatakan Alan P. Merriam bahwa bunyi musiksebagai hasil perilaku manusia memiliki strukturtertentu; dan mempunyai suatu sistem, namun ia tidakdapat berdiri sendiri – terpisah dari konsep kebudayaanmasyarakatnya (Merriam, 1964: 32). Dari perspektifsosiologi, Fabio Dasilva (1983) dalam M. Jazulimengatakan bahwa adanya kehidupan musik dimasyarakat sebenarnya menunjukkan fenomena ataukondisi sosial budaya masyarakatnya (Jazuli, 2014:

197



287). Apa yang dikatakan Merriam dan Fabio Dasilvadapat memperkuat argumentasi bahwa budaya musik– talempong basaua – harus singkron dengan konsepkebudayaan yang melahirkannya.

Dari aspek musikal – estetis; konseptalempong basaua berbeda dengan talempongrenjeang (tenteng). Perbedaan tersebut terlatak padapasangan talempong yang dimainkan oleh setiappemain talempong (lihat bagan berikut).

Bagan 2.Perbedaan pasangan talempong basaua dan

talempong renjeang

Bagan di atas dapat menjelaskan kepadakita bahwa, secara musikal terdapat perbedaankonsep pasangan talempong antara talempongbasaua dan talempong renjeang. Perbedaan tersebuttidak hanya berkaitan dengan prinsip musikal – estetik,tetapi sampai pada wujud musik atau meloditalempong yang dihasilkannya. Talempong renjeangmenghasilkan melodi yang dibangun dari permainanpola ritem – interlocking – tiga orang pemain.Talempong basaua dengan teknik hocketing jugadimainkan oleh tiga orang pemain, tapi menghasilkanmelodi ritmis dendang Minangkabau (lihat gambar dannotasi berikut).

Gambar 3.Permainan telempong basaua

(Foto. Andar 2017)

Notasi 3. Mudiak Arau(Transkripsi Nadya Fulzi 2011)

Notasi dendang Mudiak Arau di atas dihasilkanmelalui teknik hocketing melalui tiga orang pemaintalempong yang masing-masing disebut polong (2 dan4), tongah (1 dan 3), dan tingkah (5 dan 6). Ketiganyamemukul membunyikan – talempong pada posisinyamasing-masing sejalan dengan perjalan melodidendang. Semenara itu, talempong renjeang Jantan,Paningkah, dan Pangawinan – juga dimainkan olehtiga pemian talempong dengan teknik interlocking.Talempong basaua dengan teknik hocketing dapatdikatakan representasi dari Lareh Nan Bunta.Talempong basaua dengan teknik hocketing hanyaada di Luhak 50 Koto Minangkabau. Sementara itu,permainan ritme gandang (gendang) pada talempongbasaua merupakan bagian dari komposisi musiknya,terutama berfungsi sebagai pemberi aksentuasi ritmedan pengiring dalam melengkapi melodi lagu. Namungandang tidak memiliki fungsi sebagai penentu tempopermainan, karena kendali tempo permainansepenuhnya dipegang oleh pemain talempong.

Nadya Fulzi mengatakan bahwa Permainandiawali dari pemain yang memegang nada pertama

Talempong Basaua Talempong RenjeangPasangan Talempong Pasangan Talempong

Polong Tongah Tingkah Jantan Paningkah Pangawinan 2 dan 4 1 dan 3 5 dan 6 1 dan 6 3 dan 5 2 dan 4

Gendang

Polong

Tongah

Tingkah

198



pada melodi lagu yang akan dimainkan. Lalu disusulpemain berikut yang akan memukul nada sesuaidengan urutan nada pembentuk melodi. Demikiandilakukan terus-menerus secara bergantian dengancepat dan tanpa putus (kecuali jika melodi lagumemang mengharuskan adanya tanda istirahat).

Pada prinsipnya ketiga pemain memiliki peranyang sama yaitu sebagai pembentuk melodi, namunberdasarkan pengamatan secara audio visual, pemaintalempong yang lebih dominan dalam pembentukanmelodi adalah pemain polong dan pemain tongah,disebabkan sebagian besar repertoar lagu saluangdendang darek yang dimainkan lebih banyak memakainada 1 sampai nada 4. Penggunaan nada 5 padapembentukan melodi lagu kebanyakan ditemui padabagian awal siklus melodi (meskipun terdapatpengecualian pada lagu Mudiak Arau), dan selanjutnyanada 5 lebih dominan berperan sebagai pemberit ingkah/garitiak atau ornamentasi sepanjangpermainan melodi berlangsung.

Kenyataan tersebut mengindikasikan adanyakualifikasi skill bermain talempong yang cukup tinggibagi seorang pemain polong dan tongah. Pemainpolong dan tongah harus memiliki musikalitas yangtinggi untuk dapat menghasilkan melodi lagu yang utuhdan sempurna, serta memiliki kreativ itas danspontanitas dalam melakukan pengembangangarapan melodi saluang dendang darek (memberisisik/sisipan atau bungo/bunga) menurut versitalempong lagu dendang, sehingga melodi yangdihasilkan berbeda garapannya dari versi aslinya. Istilahsisik atau bungo mengandung makna memberi hiasanpada permainan talempong sehingga bunyi yangdihasilkan menjadi lebih indah. Itu sebabnya pertukaranperan antar pemain talempong lagu dendang hanyadapat dilakukan oleh para pemain senior yang memilikimusikalitas dan jam terbang tinggi.

Untuk menerapkan teknik basilang, ketigapemain talempong akan memukul nada per nadasecara berurutan sesuai dengan melodi lagu yangdipilih. Dalam proses ini hal yang benar-benar harusdiperhatikan oleh ketiga pemain adalah ketepatanpukulan nada dan ketepatan durasi waktu dalamperjalanan ritme pada melodi lagunya. Karena itusyarat mutlak dalam menerapkan teknik basilang padatalempong lagu dendang ini adalah melodi lagu yangakan dimainkan sudah benar-benar dihafal terlebihdahulu, sehingga mereka tahu dengan tepat urutannada-nada yang akan mereka mainkan.

Masalah ketepatan waktu dalam memukultiap-tiap nada pun merupakan hal yang sangat pentingpada teknik basilang. Jika pukulan nada dilakukan

terlalu cepat maka akan mengakibatkan benturandengan nada lainnya, sedangkan keterlambatanpukulan akan berakibat terputusnya bangunan melodi.Inilah yang dimaksud oleh seniman talempong lagudendang sebagai donga-mandongakan (dengar-mendengarkan) atau nanti-banantian (tunggu-menunggu), yang maksudnya setiap pemain harusmenyimak dan memperhatikan permainan darirekannya, serta mampu mengendalikan emosi ketikabermain sehingga dapat membentuk lagu yangsempurna. Mereka mengibaratkan hal ini seperti or-ang yang sedang melakukan diskusi, bahwa ketikasalah seorang berbicara maka yang lain harus diamuntuk mendengarkan dan kemudian barulahmemberikan jawaban.

Pengembangan permainan talempong lagudendang berupa pemberian ornamentasi [atau tingkah/garitiak]; menurut Willi Apel ornamentasi adalahsebagai berkut:

Ornamentasi musikal berasal dari aksispontan pemain, yang dalam menampilkansebuah melodi tertulis atau tradisional,menambahi, mengembangkan ataumemvariasikan melodi itu melalui teknikimprovisasinya sendiri. Figur-figur melodi yanglebih kurang klise/stereotype, dalam prosesornamentasi tersebut, yang telah diganti atauditambahkan ke dalam nada-nada asli darimelodi tersebut itulah yang disebut sebagaiornamen. Salah satu bentuk ornamentasi ituadalah ornamentasi improvisasi, yaitumenyerahkan sepenuhnya pada improvisasipemain (Apel, 1972: 629-631).

Ornamentasi pada talempong lagu dendangberupa pukulan nada 5 dengan nilai not yang kecilserta pola ritme cenderung tetap oleh pemain tingkahsepanjang mengiringi permainan melodi. Pemberianornamentasi ini oleh seniman setempat disebutdengan istilah tingkah atau garitiak.

SIMPULAN

Secara estetik, konsep musikal aguangsebagai ensambel terdiri dari Aguang jantan danAguang batino; gandang palalu dan gandangpaningkah; salabuhan talempong terdiri dari 6 (enam)buah talempong. Enam buah talempong dibagi menjaditalempong dasar dan talempong malagu. Talempongdasar (5 dan 6) dan talempong malagu (pembawamelodi; 1, 2, 3, dan 4), masing-masing dimainkan olehsatu orang musisi. Gabungan pola ritem keduanya

199



membentuk satu melodi; masyarakat menyebutnyalagu. Sementara itu, konsep musikal talempongbararak terdiri dari tiga komponen, masing-masingdisebut talempong jantan, talempong paningkah, dantalempong pangawinan. Gabungan pola ritem ketigapermainan talempong membentuk melodi khastalempong bararak dan digunakan khsusu untukmengarak penghulu ke labuah nan golong (jalan yangdatar) dan ke pasar yang ramai.

Bagurau saluang merupakan pertunjukanmusik yang juga merepresentasikan sistemdemokrasi; para penonton memiliki hak estetik yangsama dalam menyampaikan kehendak, kritikan, atauataupun ketidakpuasan melalui janang (wasitpertunjukann). Kehendak para penonton dikemasdalam bentuk teks pantun dan didendangkan denganirama sesuai dengan permintaan penonnton.Dialektika yang dikemas secara estetik dibawahkendali janang; menjadikan pertunjukan saluangdendang digemari masyarakat Luhak Nan TigoMinangkabau.

Konsep musikal estetis, talempong basauadibangun dari konsep polong, tongah dan tingkah.Artinya, masing-masing pemain memegang 2 buahtalempong. Polong dengan pasangan talempong 2 dan4; tongah dengan pasangan talempong 1 dan 3;talempong 5 dan 6 dinamakan tingkah. Talempongbasaua dengan teknik hocketing menghasilkan melodiritmis dendang Minangkabau. Talempong renjeangdengan konsep Jantan, Paninkah dan Pangawinan –masing-masing dengan pasangan talempong 1 dan6; 3 dan 5; 2 dan 4, juga dilakukan oleh tiga orangpemain. Pola ritem yang dibangun dengan teknik in-terlocking, menghasilkan melodi pendek khastalempong renjeang Minangkabau lihat notasi laguMalin Kailia. Secara ekstraestetis, talempong basauamerupakan representasi dari konsep Lareh Nan Bunta.

DAFTAR PUSTAKA

a. Sumber Tertulis

Abdullah, Taufik. (1987). Islam dan Masyarakat.Jakarta: Pustaka Pirdaus.

Apel, Willi. (1972). Harvard Dictionary Of Music.Massachussets: The Belknap Press OfHarvard University Press.

Deleuze, Gilles & Felix Guattari. (2010). What Is Phi-losophy? Reinterpretasi Atas Filsafat, Saindan Seni. Yogyakarta: Jalasutra.

Dasilva, Fabio (1984). The Socilogi of Music. Indiana:University of Notre Dame Press.

Dobbin, Christine. (1992). Kebangkitan Islam DalamEkonomi Petani Yang Sedang Berubah,Terj. Lillian D Tedjasudana. Jakarta: Innis.

Chaya, I Nyoman, (2015). Menguak Idiologi DibalikKehadiran Mabarung Seni Pertunjukan DiKabupaten Buleleng. Mudra Jurnal SeniBudaya. Volume 30. No1. Februari 2015 (37-46).

Fulzi, Nadia. (2011). “Nilai Budaya Musyawarah DanMumfakat Sebagai Dasar Filosofi TeknikBasilang Pada Kesenian Talempong LaguDendang Di Nagari Limbanang KabupatenLimo Puluah Kota Provinsi Sumatera Barat”.Duta Budaya Jurnal Fakultas Ilmu Budaya.14 (1), 60 - 69.

Gunara, Sandie. (2017). Local knowledge system inmusic education culture at indigenous com-munity Kampung Naga Tasikmalaya Re-gency. Harmonia: Journal of Research andEdication, 17 (1), 48-57.

Ihalaw, John J.O.I.. (2004). Membangun Teori. EdisiKetiga Milenium. Salatiga: Satya WacanaUniversity Press.

Ihromi, T.O. (2009). Pokok-pokok Antropologi Budaya.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Jazuli, M. (2011). Sosiologi Seni: Pengantar ModelStudi Seni. Cetakan I. Universitas SebelasMaret: Surakarta.

Leoner, W.J. dan Malapass R. (1994). Psyichologyand Culture, Allin and Bacon, Inc., Boston.

Merriam, Alan P. (1964). The Anthropology of Musik.Chicago: Univesity Illinois Press.

Naim, Mochtar. (1981/1982). “Minangkabau dalamDialektika Kebudayaan Nusantara.” DalamAnalisis Kebudayaan, 82, (2), 87-93.

Nettle, Bruno. (1964). Theory and Method inEthnomusicology. New York: SchirmerBooks.

Rohidi, Tjecep Rohendi (2011). Metodologi PenelitanSeni. Semarang: Cipta Prima Nusantara.

Ramlan, Lalan (2013). Jaipongan: Genre Tari GenerasiKetiga dalam Perkembangan SeniPertunjukan Tari Sunda. Dalam ResitalJurnal Seni Pertunjukan. Volume 14. No. 1-Juni 2013: (41-54).

Said, Edward W. (2010), Orientalisme: MenggugatHegemoni Barat dan Mendudukan TimurSebagai Subjek, Yogyakarta: PustakaPelajar.

Sastra, Andar Indra (2015). “Talempong RenjeangAnam Salabuhan: The Group Concept OfBuilding Raso Batalun In The Performance

200



Of Talempong Renjeang In Luhak Nan TigoMinangkabau”. Dalam Humaniora: JurnalBudaya, Sastra, Dan Bahasa (Journ of Cul-ture, Literature, And Linguistic). Volume 27,Nomor 1, Februari 2015.

Sugono, Dendy. (2008). Kamus Besar Bahasa Indo-nesia. Jakarta: Pusat Bahasa DepartemenPendidikan Nasional.

Piliang, Yasraf Amir. (2003). Hipersemiotika: TafsirCultutal Studies Atas Matinya Makna.Jalasutra: Yogyakarta.

b. Sumber Lisan

Hajizar, (64 th). Magister Seni, Pengamat seni,Pengajar Program Seni Karawitan InstitutSeni Indonesia –ISI- Padangpanjang.

M. Halim, (54 th). Seniman Saluang, Pengajar Pro-gram Seni Karawitan Institut Seni Indone-sia –ISI- Padangpanjang.

Tayali (68 th). Wiraswasta, Tuo (tetua) TelempongNagari Mungka Luhak 50 Koto.

tigo lareh sistem kekuasaan dan konsep estetika …

Documents