thp restorative justice
TRANSCRIPT
-
7/31/2019 THP Restorative Justice
1/6
Permasalahan Kesenjangan: Keadilan Restoratif
Dalam Teori dan Praktek
Abel pada Tahun 1980 telah menandai kematian 'studi gap' dalam penelitian sosial-
hukum, dia mengatakan bahwa seperti realis hukum, ilmuwan sosial sering 'dipaksa untuk
mengadopsi sikap membongkar'. Hasilnya yang utama adalah terjadi celah antara idealisme
dan praktek. Maka dari itu kemudian Abel mengusulkan pergeseran dari model
instrumentalis hukum, di mana efektivitas ditafsirkan secara sempit dan hanya sebagai
instrumen dari pemeriksaan apakah penyataan tujuan dari hukum atau badan hukum telah
dicapai.
Sementara itu, Nelken membantah argumentasi Abel yang menyatakan Studi Gaptelah pergi terlalu jauh' terlalu dibesar-besarkan. Nelken mengatakan 'Tidak ada yang
invalid tentang fokus pada perbedaan antara janji legislatif dan kinerja pada prakteknya.
Abel dan Nelken mengundang kita untuk berpikir mengenai permasalahan kesenjangan'
dalam arti teoritis, yaitu, tidak hanya untuk mengamati ruang antara platform dan kereta
api, tetapi juga untuk bertanya mengapa ruang ada. Kesenjangan bisa menandakan sesuatu
yang lebih mendalam daripada hal yang terlihat kasat mata.
Untuk keadilan restoratif, salah satu alasan kita harus berharap untuk melihat
kesenjangan dalam teori dan praktek adalah bahwa kebanyakan orang tidak sepenuhnya
memahami ide dari keadilan restorative tersebut. Pendukung keadilan restoratif berasumsi
bahwa setiap orang memiliki keterampilan yang diperlukan dan keinginan untuk
berpartisipasi. Namun, partisipasi yang efektif memerlukan derajat kematangan moral dan
empati keprihatinan yang tidak dimiliki banyak orang, khususnya kaum muda.
Keadilan Restoratif dan Konferensi Dalam Teori
Konferensi digunakan sebagai pengalihan dari pengadilan untuk para remaja yang
telah mengakui melakukan kejahatan. Pertemuan mengambil bentuk yang beragam dan
memiliki tujuan yang berbeda, tergantung pada yurisdiksi. Di Australia khususnya, terdapat
perbedaan jenis-jenis pelanggaran yang dapat diadakan pertemuan/konferensi. Tulisan ini
-
7/31/2019 THP Restorative Justice
2/6
dalam menganalisis konferensi berkaitan dengan keadilan restoratif menggunakan data dari
South Australia Juvenile Justice (SAJJ)
Data dari SAJJ berfokus pada komponen komponen dari
konferensi/pertemuan,dimana komponen yang dimaksud tersebut adalah:
1. Proses Konferensi/Pertemuan
Seorang korban, pelaku yang mengakui pelanggaran yang dibuatnya, dan
pendukung mereka berkumpul dalam satu tempat untuk membahas
mengenai pelanggaran, dampaknya, dan hukuman yang sesuai, dan hasilnya
akan dituangkan dalam suatu perjanjian kesepakatan.
Diskusi dalam pertemuan atau konferensi ini melibatkan perasaan bersalah
dari pelaku yang mengarah kepada permintaan maaf yang tulus dan
keinginan untuk memperbaiki kesalahannya. Semua peserta konferensi
diperlakukan dengan adil dan dengan hormat. Peserta kemudian
mendiskusikan hukuman yang sesuai. Setiap orang memiliki suara, dan
partisipasi. Petugas polisi dan koordinator memastikan bahwa unsur-unsur
perjanjian adalah tidak berlebihan.
2. Konteks Hukumnya
Anak dibawah umur sebagai pelaku kejahatan memahami hak mereka
dalam hukum, yang mencakup pemahaman tentang apa yang terjadi
didalam konferensi/pertemuan tersebut, apakah mereka dapat menerima
hasil dari konferensi tersebut atau tidak setuju dengan hasilnya
3. Hasil Konferensi dan Kepatuhan
Anak dibawah umur sebagai pelaku kejahatan, peserta diskusi
menandatangani perjanjian, yang berbentuk sebuah dokumen yang
mengikat secara hukum.
Kemudian anak dibawah umur sebagai pelaku kejahatan melengkapi
perjanjian dengan memasukkan surat permohonan maaf atau kompensasi
ganti kerugian (diberikan kepada korban/pelaku).
Jika hal tersebut diatas dilakukan, maka anak dibawah umur sebagai pelaku
kejahatan membantu berpartisipasi dalam hal memperbaiki
-
7/31/2019 THP Restorative Justice
3/6
kesalahan/pelanggaran yang dilakukan pelaku terhadap korbannya
4. Efek Konferensi/Pertemuan
Dari pertemuan/konferensi tersebut yang menyatakan bahwa pelaku telah
melaksanakan isi sesuai perjanjian dalam konferensi, maka dapat dikatakan
korban telah sembuh dari pelanggaran.
Keadilan Restoratif dan Konferensi Dalam Praktek
1. Proses Konferensi
1.a. Korban dan Pelaku Duduk Bersamaan Untuk Membahas Pelanggaran
Dari sample dalam proyek SAJJ, 74 persen konferensi/pertemuan korban yang
hadir, dan 6 persen tambahan memiliki perwakilan dari layanan dukungan korban. Dari
Negara Australia bagian selatan dan New Zealand, menunjukkan bahwa korban umumnya
hadir di setengah dari konferensi (Wundeisitz, 1996: 109; Biro tindak kriminal Australia
Selatan, 1999: 131; Maxwell dan Morris, 1993: 118). Tidak termasuk korban kejahatan,
kehadiran korban kemungkinan akan meningkat sekitar 8 sampai 10 persen. Berdasarkan
angka-angka ini, kita berasumsi bahwa di daerah yang tingkat pelanggarannya tinggi,
korban dan pelaku tidak terdiri lebih dari 60 persen. Hal ini telah menunjukkan adanya
gap/kesenjangan antara teori dan praktek.
1.b. Diskusi Dalam Konferensi/Pertemuan Membangkitkan Perasaan Penyesalan dan
Malu Pelaku
Dari berbagai aksi, kata-kata, bahasa tubuh dapat terlihat dalam hal pelaku
pelanggaran adalah anak-anak 'Mengambil tanggung jawab untuk suatu pelanggaran',
'menunjukkan penyesalan', dan berharap untuk 'memperbaiki bahaya, dan kemampuan
korban untuk menjelaskan dampak pelanggaran dan untuk' membaca 'arti penyesalan dan
permintaan maaf tulus dari pelaku pelanggaran yang masih anak-anak. Untuk korban,
sebuah kompleksitas ditambahkan adalah bahwa hasilnya adalah janji dari pelaku
pelanggaran yang masih anak-anak tersebut untuk melakukan sesuatu, dengan demikian,
keuntungan dan kerugian bagi korban bergantung pada pelaku pelanggaran yang masih
anak-anak tersebut untuk mematuhi isi perjanjian dalam konferensi/pertemuan.
-
7/31/2019 THP Restorative Justice
4/6
Beberapa kesenjangan/gap jelas terlihat dalam konferensi, hal ini terlihat dalam hal
tindakan dan kata-kata yang muncul sebagai bentuk interpretasi dari korban dan pelaku
yang duduk bersama-sama dalam konferensi/pertemuan. Gap yang selanjutnya muncul
adalah mengenai apa yang kita harapkan harus terjadi dan apa yang terjadi dalam sebuah
konferensi kadang kala tidak sesuai dengan keinginan kita.
Bagaimana remaja pelaku pelanggaran meminta maaf kepada korban? Dalam
sebuah wawancara pada tahun 1998, 74 persen mengatakan mereka merasa menyesal atas
apa yang telah mereka lakukan. Namun, tidak sedikit juga yang mengatakan mereka
merasa kasihan bagi para korban (56 persen sebelum dan 47 persen setelah konferensi).
Sementarasebagian besar (43 persen) mengatakan bahwa cerita juga mempengaruhi
korban, sebagian mengatakan bahwa ia memiliki pengaruh yang kecil atau tidak. Remaja
pelaku pelanggaran Ketika ditanya apa yang penting bagi mereka dalam konferensi
tersebut, 'memperbaiki berbahaya' bagi korban kurang penting daripada membersihkan
nama dan reputasinya.Dari perspektif korban, kurang dari 30% dari para pelaku dianggapsebagai membuat alasan benar bahkan jika dilihat dari pelanggar, hanya lebih dari 60 per
100 mengatakan bahwa permintaan maaf mereka tulus. Hal hal ini menunjukkan adanya
gap/kesenjangan dalam teori dan prakteknya.
1.c. Peserta Konferensi Diperlakukan Adil dan Dengan Rasa Hormat
Dari para korban, dan subset remaja pelaku pelanggaran, 90-98 persen mengatakan
mereka diperlakukan dengan adil oleh co-ordinator dan polisi, bahwa koordinator itu tidak
memihak dan memperlakukan semua orang tampak adil, dan bahwa mereka diperlakukan
dengan hormat. Beberapa hal negatif dirasakan oleh remaja pelaku pelanggaran, dengan 28
persen mengatakan bahwa ide-ide dari orang lain dipaksakan atas mereka (dibandingkan
dengan 13 persen dari korban), dan dengan 26 persen mengatakan mereka dipojokkan
dalam satu hal ataskasus ini
1.d. Dalam Diskusi Masalah Sanksi/Hukuman, Semua Pihak - Pelaku, Korban, dan
Pendukungnya - Berhak Mengatakan Apa Yang Pelaku Harus Lakukan
-
7/31/2019 THP Restorative Justice
5/6
Permasalahan diskusi mengenai hukuman dalam konferensi/pertemuan terjadi
seperti bayangan para pihak yang ikut bagian dalam konferensi/pertemuan. Koordinator
dan polisi mundur untuk memungkinkan para pihak mengambil keputusannya. Pada
prakteknya, remaja pelaku pelanggaran tidak banyak mengambil bagian daripada korban
dalam menentukan hukuman yang tertuang dalam perjanjian.
1.e. Pihak Kepolisian dan Koordinator Memastikan bahwa Unsur Dalam Perjanjian
Tidak Berlebihan
Hal yang paling umum terlihat dalam perjanjian adalah permintaan maaf dari
remaja pelaku pelanggaran, unsur lain adalah konseling-konseling bahi para remaja pelaku
pelanggaran dalam hal kemarahan, program pendidikan, dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan perubahan tingkah laku agar dapat menjadi individu yang lebih baik
2. Konteks Hukum
Dalam pembukaan konferensi, koordinator menetapkan aturan dasar dan
menjelaskan peran serta masyarakat dan konteks hukum. Pengamat SAJJ mencatat
pemahaman mereka tentang aturan-aturan dasar dan peran, dengan asumsi bahwa ini
adalah konferensi pertama yang mereka amati. Kebanyakan mengatakan mereka
memahami peran koordinator's (80 persen), peran polisi (70 persen), dan apa yang harus
terjadi (85 persen). Untuk informasi hukum, di 83 persen dari konferensi tersebut,
koordinator mengatakan remaja pelaku pelanggaran memiliki hak untuk mengakhiri
konferensi setiap saat, dan pada sekitar 70 persen, bahwa remaja pelaku pelanggaran
berhak untuk mencari nasihat hukum setiap saat.
3. Hasil Konferensi dan Kepatuhan
Dari 107 remaja pelaku pelanggaran dalam sampel penuh, 6 persen tidak memiliki
unsur-unsur perjanjian untuk menyelesaikan (mereka mungkin harus meminta maaf kepada
konferensi atau menerima peringatan resmi.) Sebagian besar (80 persen) secara resmi
diklasifikasikan telah menyelesaikan semua elemen perjanjian, dan dua persen
menyelesaikan beberapa perjanjian dan sisanya dihapuskan. Dan dari hal tersebut diatas
(12 persen) dari remaja pelaku pelanggaran tidak menyelesaikan dan melanggar perjanjian.
-
7/31/2019 THP Restorative Justice
6/6
4. Efek dari Konferensi/Pertemuan
4.a. Efek Bagi Korban
Lebih dari 60 persen korban pada tahun 1999 mengatakan bahwa mereka telah
pulih secara penuh dari pelanggaran yang diterimanya. Pertemuan tersebut mungkin
bermanfaat dalam mengurangi kemarahan korban dan ketakutan. Lebih dari 75 persen
korban konferensi merasa marah terhadap pelaku sebelum konferensi, tapi ini turun
menjadi 44 persen setelah konferensi dan 39 persen setahun kemudian. Dekat dengan 40
persen dari korban takut pelaku sebelum konferensi, tapi ini turun menjadi 25 persen
setelah konferensi dan 18 persen setahun kemudian.
4.b. Efek Bagi Pelaku
Ketika remaja pelaku pelanggaran menyesali perbuatannya dan hasil yang dicapai
melalui perjanjian dengan konsensus yang jujur dari konferensi/pertemuan, hal tersbut
mungkin untuk pelecehan lagi. Variabel kontrol adalah prediktor terkuat residivisme,
bertanggung jawab atas sebagian besar variasi menjelaskan, bagaimanapun, dua konferensi
variabel memiliki pengaruh yang signifikan
Diskusi
Berdasarkan penelitian di Australia Selatan dan yurisdiksi lain di wilayah ini,
banyak terjadi kesenjangan/gap dalam teori dan praktek, namun tidak semua komponen
dari proses konferensi. Praktek yang terjadi yang dibayangkan dalam tingkat partisipasi dan
tertuang hasilnya dalam perjanjian yang berisi hukuman yang diperoleh dari diskusi antara
pihak korban, pelaku, dan pendukungnya, di mana profesional tidak mendominasi.
Sehingga, hasil yang didapat dari konferensi/pertemuan ini dapat dikatakan tepat sasaran,
karena tidak ada pihak yang tidak berkepentingan masuk didalamnya. Korban dan pelaku
memberitahu koordinator dan polisi memperlakukan mereka dengan adil dan dengan rasahormat, dan dalam batas-batas yang jelas dimana hukuman tidak berlebihan dan sesuai
dengan perjanjian dari konferensi/pertemuan tersebut