the travelist 1

72
FITUR MENDELIK DINAMIKA SURABAYA UTARA INTERVIEW AGUSTINUS WIBOWO, SEORANG MUSAFIR LAPUT JAKARTA TAK MELULU PUSAT PERBELANJAAN TRAVELIST SATISFYING YOUR CRAVING FOR TRAVEL EDISI 1 | JUNI-JULI 2012

Upload: travelist-e-magazine

Post on 25-Mar-2016

226 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Majalah online dua bulanan seputar traveling di Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: The Travelist 1

FiturMendelik dinaMika

Surabaya utara

interviewaguStinuS wibowo,Seorang MuSaFir

laputJakarta tak MelulupuSat perbelanJaan

TRAVELISTSatiSfying your Craving for travel

Edisi 1 | JUNi-JULi 2012

Page 2: The Travelist 1

Fellow Travelers!

Jaman sekarang ini para traveler kok sepertinya dikotak-kotakkan dengan berbagai istilah. Ada yang ngaku Backpaker, pejalan kere den-gan backpack sebesar pecahan gunung tambora. Ada yang ngaku Flash-paker, yang ngaku mau kere tapi tetep update dengan sejuta gear imut-nya. Serta ratusan istilah lainnya yang kami lupa namanya. Kami tak mau membeda-bedakan kalian. Apapun istilah yang dipakai, kita sama-sama pejalan. Kita saudara seperjalanan. Sebagai saudara yang baik, kami ingin berbagi kepada kamu. Dengan media The-Travelist ini, kami akan berbagi dengan kamu. Kami secara garis besar mempunyai dua fungsi. The-Travelist sebagai media berbagi dan media pembelajaran. Sebagai media berbagi, kami akan berusaha memberikan penge-tahuan kami tentang destinasi perjalanan yang menyenangkan. Tak ha-rus menembus rimba dan mengarungi lautan, di kota anda sendiripun sebenarnya banyak tempat yang ‘sexy’ untuk dijelajahi. Sebagai media pembelajaran, jelas, kami adalah media yang tumbuh berkembang. Kami membuka kesempatan untuk para kontributor yang ingin memasukkan tulisannya kesini. Rubrik Travelers Tale selalu dibuka untuk para traveler yang mempunyai pengalaman yang berlebi-han. Untuk para anak muda yang ingin berkiprah di dunia penulisan per-jalanan, kami sangat menunggu tulisan dari kalian. Hakikat seorang pejalan, selalu belajar ketika berjalan, dan selalu berbagi pengalaman sepulang dari perjalanan. Maka The-Travelist ada untuk para Traveler yang ingin belajar dan berbagi, karena kita bersauda-ra.

Cheers!

The-TravelistSatisfying Your Craving for Travel!

EDITORIAL NOTES

Page 3: The Travelist 1
Page 4: The Travelist 1

Editorial TeamEditor In Chief Ferzya (@ferzyaya)Reporter Farhaniza (@lafflyunya)Fikri (@hiumacan) Art Director Lingga (@linggabinangkit)

Contributor team Ary “siary” Hartanto (@desainary)Yudi Febri (@kudaliarr)Dwi Putri Ratnasari (@dwiputrirats) Ayos Purwoaji (@aklampanyun)Lusi Margiyani

Kontak RedaksiE: [email protected]: Travelist e-MagazineT: @travelistmagzW: www.the-travelist.com

REDAKSI

31

Majalah online dua bulanan terbitan pecinta traveling untuk memuaskan hasrat traveling para traveler dan calon traveler lainnya. Silahkan download dan sebarkan ke teman–teman kamu supaya sema-kin banyak orang Indonesia yang menjelajah Indonesia bagian lain, mungkin saja kita bertemu di suatu tempat.

TRAVELISTEdisi 1 | Juni-Juli 2011 DAFTAR ISIDAFTAR ISI

LAPUTJakarta tak Melulu Pusat PerbelanJaan

INTERVIEWagustinus WiboWo,

JEPRET

TRAVELER’S TALEStareMPa,kota PenikMat koPi

TRAVELER’S TALES Pulau banda, Pulau reMPah terbesar di dunia

TRAVELER’S TALES Mendelik dinaMika surabaya utara

REVIEW

|| || || ||

||

||

5

232741

49

59

69

||

|| || ||

||

||

||

Page 5: The Travelist 1

15

5343

15

Page 6: The Travelist 1

Layaknya kebanyakan ibu kota di dunia, Jakarta merupakan salah satu kota dengan aktivitas yang cukup

padat dan salah satu destinasi yang cukup penting selaku gerbang utama memasuki Indonesia. Sayang, kebanyakan orang menjadikan Jakarta sekedar tempat transit ataupun sekedar untuk merasakan riuhnya ibukota negara dengan ratusan mall yang tersebar di seluruh ibukota.

Jakartatak Melulu puSat perbelanJaan

tulisan oleh Ferzya & FarhanizaFoto oleh ary “siary” hartanto

LAPUTLAPUT

Page 7: The Travelist 1
Page 8: The Travelist 1

Kota yang dulu disebut Batavia oleh kaum kolonial, kini telah berubah menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat industri dengan pelabuhan yang padat dan aktivitas shopping yang tidak pernah mati. Tinggallah Museum Fatahillah yang terletak di Oud Batavia atau kini lebih kenal dengan sebutan Kota Tua Jakarta. Jika dilihat sepintas, selain mengunjungi mall, tempat yang sering dikunjungi adalah Kota Tua Jakarta. Tak hanya sekedar tempat untuk berjalan-jalan dengan ontel, kota tua juga menjadi tempat pemotretan untuk

prewedding, fashion, bahkan pembuatan film. Sayangnya kebanyakan orang hanya mengenal Jakarta sebagai pusat shopping dengan segudang mall-nya, dan Kota Tua sebagai bukti peninggalan sejarah. Padahal, tak sesempit itu. Jakarta, bukan hanya sekedar ibukota padat yang dijejali kendaraan, tapi juga dipadati oleh tempat menarik yang wajib untuk dijelajahi. Menjelajah Jakarta pun tidaklah sulit, kemudahan transportasi dalam kota merupakan fasilitas yang paling cocok untuk digunakan.

sebut saja pecinan di Glodok, Jakarta Barat merupakan daerah yang menarik untuk disinggahi, dengan klentengnya yang bernama

Klenteng Jin De Yuan atau Klenteng Petak Sembilan. Klenteng yang mula-nya bernama Guan Yin Ting (Paviliun Guang Yin) pada tahun 1740 musnah terbakar oleh padatnya api saat Tragedi Pembantaian Angke atau pembantaian massal Etnis Cina tanggal 14 November di tahun yang sama. Akhirnya nama Jin De Yuan menjadi nama tetap pada tahun 1755 setelah dilakukannya pemugaran kembali oleh Kapitien Tionghoa, nama tersebut memberi arti baginya; Klenteng Kebajikan Emas. Klenteng Petak Sembilan kini meru-pakan klenteng tertua di Jakarta. Tiap tahun, beribu-ribu warga Jakarta datang ke klenteng

ini untuk merayakan Imlek. Ya, warga Jakarta disini tidak hanya orang Cina itu sendiri, namun warga-warga non Tionghoa pun kerap hadir untuk menyaksikan beragam tata cara perayaan Imlek maupun hanya untuk sekedar mengais rezeki dari warga-warga yang merayakan dengan memberi angpao. Klenteng tertua di Jakarta ini konon tidak hanya unik karena luas bangunannya yang mencapai 3.000 meter persegi ataupun posisinya yang membelakangi laut, namun karena di Klenteng ini tidak secara khusus memuja satu aliran atau agama saja, namun ber-bagai agama seperti Tao, Khonghucu dan Buddha. Jika kita memasukinya, dan berdiri di halaman luar, maka akan terlihat tiga klenteng yang dipersembahkan untuk Leluhur Hakka, Raja Neraka dan Dewa Pemberi Kekayaan.

Pecinan-Glodok

8| LAPUT8

Page 9: The Travelist 1
Page 10: The Travelist 1

10| LAPUT10

Page 11: The Travelist 1

Bangunan utama klenteng Petak Sembilan ini dikelilingi bangunan lainnya, jika dilihat dari depan maka bentuknya seperti aksara U terbalik. Apabila masuk ke halaman kedua dimuka klenteng utama jangan kaget karena kita akan mendapati dua singa yang berasal dari Provinsi Kangtung di Tiongkok Selatan. Konon kedua singa ini dibuat pada tahun 1812. Arsitektur pembuat klenteng ini sepertinya benar-benar mengerti hakikat sebuah klenteng umum dan sangat menjunjung tinggi filosofi Cina. Hal ini terlihat dari lambang-lambang yang terukir di dalam bangunan. Contohnya saja pada jendela bundar di gedung induk yang melambangkan Qi Lin, binatang yang menyerupai unicorn atau kuda bercula satu. Binatang ini dianggap lambang keberuntungan yang luar biasa. Jika diperhatikan lebih seksama, di bagian kanan dan kiri bangunan utama terdapat pintu samping yang jarang dibuka. Ujung bumbungannya mencuat ke atas dan terbelah dua dalam gaya yang disebut “Gaya Ekor Walet”, mungkin disebut seperti itu karena bentuk ekornya yang terbelah dua seperti ekor burung wallet. Uniknya, pada masa lalu ujung bumbungan seperti ini hanya boleh dipakai untuk menghiasi bangunan klenteng dan gedung-gedung pemuka masyarakat Tionghoa seperti Majoor, Kapitein dan Luitenant.

Page 12: The Travelist 1

Saya takjub pada keindahan arsitektur klenteng ini dan hanya kagum melihat ukiran-ukiran luar biasa yang terdapat di setiap bagian klenteng, baik di dalam maupun di luar. Setelah puas melihat bagian bangunan utama, saya beralih ke gedung samping kiri. Disini merupakan bekas kamar-kamar para rahib dan nama mere-ka masih tertulis pada beberapa lempeng batu. Dalam kamar pertama terpasang altar paling tua dari seluruh klenteng di Jakarta. Kamar kedua diisi oleh Dewa Tao Fu De Zheng Shen yakni dewa bumi dan kekayaan. Dewa Tao merupakan dewa yang paling dihormati mengingat pada jaman dahulu kaum Cina atau Tionghoa bekerja sebagai pedagang dan petani. Dari semua hal yang terdapat di Klenteng Petak Sembilan ini sebenarnya yang paling membuat saya berdecak kagum adalah betapa tegas klenteng ini mengukuhkan dirinya sebagai klenteng umum. Hal ini terlihat dari papan pujian yang digantung sejak tahun 1757 di atas ruang utama dengan huruf Jin De Yuan terbaca sepasang syair di kiri dan kanan pintu. Dipandang dari dalam klenteng, tulisan yang ditulis oleh ketua klenteng pada waktu itu memiliki arti: Pedupaan mas mengepulkan awan kebahagian, semua tempat terbuka, demikian pula dengan alam Dharma. Gedung kebajikan menampakkan atmosfir kejayaan yang menyebar luas di alam manusia.

12| LAPUT12

Page 13: The Travelist 1
Page 14: The Travelist 1

14| LAPUT14

Page 15: The Travelist 1

Jalan Surabaya-Menteng

dari Pecinan di sebelah barat Jakarta sekarang kita beralih ke bagian pusat, tepatnya daerah Menteng dengan rincian Jalan Surabaya atau dikenal juga dengan

sebutan Surabaya Street. Jalan yang konon katanya pernah dikunjungi oleh Mick Jegger, Sharon Stone, bahkan Bill Clinton ini penuh dengan barang-barang antik. Pengunjungnya dari kolektor-kolektor barang antik, biasanya yang mereka cari adalah barang-barang yang sulit ditemukan di pasar antik lainnya seperti guci porselen asli buatan Cina yang sudah lama, lampu minyak buatan Belanda, meriam buatan Portugis, hingga lampu kristal asli buatan Cekoslovakia. Pada akhir pekan biasanya jalanan ini akan padat dipenuhi oleh deretan mobil, baik dari warga Jakarta maupun luar Jakarta. Sejak diresmikan pada tahun 1974 oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, Jalan Surabaya kerap dikunjungi oleh berbagai kalangan. Kalangan yang datang dari luar negeri biasanya berasal dari Australia, Belanda, Spanyol, Jepang, Thailand, Cina, Amerika dan Turki. Sedangkan kalangan dari dalam negeri biasanya penggemar barang antik yang umurnya sudah separuh baya. Uniknya, akhir-akhir ini ada kalangan muda yang kerap datang ke jalanan ini, biasanya mereka adalah anak muda yang sedang menggandrungi vinyl atau piringan hitam. Adapun kalangan muda lainnya dari anak-anak yang sedang mengoleksi barang antik untuk fashion.

Page 16: The Travelist 1

Ya, siapa sangka daerah yang tadinya hanya terdiri dari pohon-pohon dan pedagang-pedagang yang tadinya berjualan dengan berkeliling kota lama kini menjadi salah satu tempat yang patut dikunjungi apabila ke kota Jakarta. Terletak di pusat kota, daerah ini dekat dengan kompleks Bioskop Megaria. Untuk mengunjunginya pun tidak sulit karena banyaknya kendaraan umum yang melewati daerah ini.

16| LAPUT16

Page 17: The Travelist 1
Page 18: The Travelist 1

dari jalan Surabaya, saya ingin melihat kembali daerah yang dulunya menjadi salah satu tempat mencari nafkah para

pedagang barang antik generasi pertama, maka saya memutuskan untuk pergi ke Kota Tua, tempat wisata yang marak dijadikan tempat pemotretan.

oud Batavia(kota Tua)

18| LAPUT18

Page 19: The Travelist 1
Page 20: The Travelist 1

484 tahun yang lalu Fatahillah datang ke Sunda Kelapa mengusir Bangsa Portugis lalu mengganti namanya dengan Jayakarta. Hari itu kemudian dikenang sebagai hari ulang tahun jakarta, 22 Juni. Kota itu hanya seluas 15 hektar dan sekarang dikenal sebagai kawasan kota tua. Baru-baru ini saya kembali mengunjungi kawasan ini, ternyata banyak sekali perubahan terjadi. Di halaman rumah walikota yang sekarang berfungsi sebagai Museum Fatahillah diramaikan oleh kaki lima dan rental sepeda. Tidak jauh dari sana ada model model cantik berpose diikuti oleh model ‘wanna be’ di sudut lainnya. Daerah ini terasa sangat hidup. Selain menjadi tempat menghabiskan waktu sore, daerah ini juga kerap menjadi tempat untuk mengadakan acara-acara besar, terutama untuk membangkitkan kesadaran pergi ke museum. Acara terakhir yang diadakan adalah video mapping “Mystery of Batavia” menceritakan tentang adanya harta karun yang tersimpan di kota tua berupa karya besar seorang seniman yang untuk menemukannya harus menyatukan pecahan kunci yang tersebar entah dimana, hingga akhirnya harta karun tersebut berhasil dibuka dan ditemukanlah sebuah lukisan bercerita tentang musibah yang akan terjadi di Jakarta. Hebatnya, acara tersebut diprakasai oleh kalangan muda yang menandakan bahwa kalangan muda menyadari potensi

yang dapat digali dari Oud Batavia ini. Tidak hanya kaum muda yang kreatif memanfaatkan kembali kawasan yang dulu mati ini, saat ini semakin banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang memanfaatkan ruang terbuka publik ini untuk berbagai kegiatan mulai dari pengajian besar, acara amal, dan gathering. Di kawasan kota tua kita dapat mengunjungi pula beberapa museum disekitarnya seperti Museum Bank Mandiri dan Museum Fatahillah. Kini DKI Jakarta memiliki lebih dari 40 museum, namun sayang banyak diantaranya berada dalam kondisi tidak layak. Ketidaklayakan tersebut membuat kita sebagai penduduk jakarta lebih suka pergi ke mall. Melihat hal tersebut, saat ini sudah di-mulai pembaruan museum, seperti yang terlihat pada Museum Gajah dan Museum Bank Indonesia. Perlahan menampilkan sesuatu yang menarik tidak sekedar koleksi dan tulisan, tapi juga menambahkan video interaktif, penataan yang menarik, dan juga berbagai fasilitas tambahan Kembali lagi ke cerita kota tua, banyak yang menganggap Oud Batavia ini sekedar tempat untuk dijadikan background foto, tapi jauh didalamnya ada banyak legenda tersimpan dan berbaur dengan fakta yang membuat cerita tentang kota tua semakin menarik. Salah satunya adalah Menara Syahbandar yang dulunya juga tugu nol kilometer bagi Batavia sedikit demi sedikit menjadi miring seperti

20| LAPUT20

Page 21: The Travelist 1
Page 22: The Travelist 1

22| LAPUT22

Page 23: The Travelist 1

Menara Pisa, entah karena kondisi tanah atau ada cerita lainnya. Entahlah. Selain itu ada juga cerita tentang kampung luar batang, kampung itu disebut luar batang karena adanya batas batang di kanal besar yang hanya dibuka dua kali seminggu untuk memperbolehkan pedagang pribumi masuk ke Batavia dan bertransaksi. Ada juga ruang rahasia di Museum Fatahillah yang menyimpan lukisan berharga belum pernah dibuka sejak 35 tahun yang lalu. Mungkin kota tua akan kembali jadi daerah sibuk seperti zaman kejayaannya dulu. [T]

ARy ‘SIARy’ HARTANToSeorang arsitek pecinta fotografi dan kopi

Page 24: The Travelist 1

Briano Kawenang (@b121ano) Mahasiswa jurusan marketing UGM, melanjutkan double degree program di University of Melbourne

Brighton BEach, MELBoUrnE

Page 25: The Travelist 1

|25JEPRET 23

Page 26: The Travelist 1

Calvin Damas Emil (@calvinemil) Freelance Photographer yang

masih berusaha menyelesaikan kuliahnya di Jogja.

noL KiLoMEtEr JogJa

Page 27: The Travelist 1

|27JEPRET 25

Page 28: The Travelist 1
Page 29: The Travelist 1

aguStinuS WiboWoSeorang MuSafir

Gus Weng adalah panggilan akrab seorang Agustinus Wibowo. Ia adalah pelajar IT saat pertama kali mencoba untuk menjelajahi

dunia. Destinasi yang ia pilih pun ‘tidak biasa’, sebenarnya apa sih yang membuat ia memilih destinasi tersebut?

INTERVIEW

Page 30: The Travelist 1

68|69 Event30| INTERVIEW30

Page 31: The Travelist 1

Dalam buku Selimut Debu, Gus Weng menyebut diri adalah backpacker, tetapi edi-tor anda menyebut anda explorer, bukan traveler. Sebenarnya Gus Weng itu tipe traveler seperti apa?

Sebenarnya label-label itu tidak penting. Saya tidak menyebut diri saya sebagai backpacker, tetapi kebetulan pada saat menulis perjalanan itu, saya melakukan perjalanan dengan cara backpacking atau traveling secara independen dengan anggaran minim, jadi saya adalah backpacker. Tetapi bukan berarti ada tanda sama dengan antara Agustinus Wibowo dengan backpacker. Demikian juga turis, traveler, explorer, observer, dan sebagainya, buat saya itu adalah label-label saja. Ada backpacker yang menolak dirinya disebut turis dan keukeuh minta disebut traveler. Buat saya lucu juga, karena sebenarnya pada hakikatnya backpacker itu juga turis –mencari hal-hal yang “eksotik” yang berbeda dari kehidupannya demi kesenangannya sendiri. Kalau memang dipaksa harus menyebut, mungkin saya lebih suka disebut sebagai musafir. Ini adalah kata yang punya artian luas, karena musafir bukan hanya melakukan perjalanan perpindahan tempat, tetapi juga perpindahan dalam kehidupan. Kita semua adalah musafir dalam kehidupan kita masing-masing, musafir yang selalu belajar dari kehidupan.

Gus Weng kan anak IT, kok malah kesasar di dunia travel, bisa ceritain sedikit?

Saya dulunya kuliah IT di Beijing, tapi sebelum lulus saya kebetulan sempat ke Aceh untuk jadi sukarelawan bersama beberapa kawan jurnalis. Di sana saya kemudian tergerak untuk menjadi jurnalis, karena saya melihat jurnalis adalah pekerjaan yang mulia, jadi saya ingin berubah haluan dari insinyur komputer menjadi jurnalis. Tentu ini adalah proses yang berat untuk berpindah dari zona nyaman saya, menjajal kehidupan yang sama sekali baru, apalagi saya tidak pernah punya latar belakang pendidikan di bidang ini. Jadi setelah lulus saya memutuskan untuk melakukan perjalanan keliling dunia seorang diri untuk belajar fotografi dan jurnalisme selama di jalan, dan memimpikan bisa jadi jurnalis di Afghanistan –yang saat ini sudah terwujud.

Page 32: The Travelist 1

Perjalanan Gus Weng pertama kali kapan dan kemana?

Tahun 2002, ke Mongolia, waktu masih kuliah di Beijing. Perjalanannya cuma tiga minggu saja, berkemah keliling Mongolia dari utara ke selatan. Itu yang kemudian membuat saya cin-ta traveling ala backpacker.

Sampai sekarang jumlah total perjalanan udah berapa, dan kemana?

Wah, saya tidak pernah menghitung jumlah perjalanan, karena menurut saya perjalanan itu adalah “uncountable noun” atau kata benda yang tidak bisa dihitung. Bagaimana kita bisa menghitung perjalanan? Saya pun tidak lagi menghitung jumlah negara atau jumlah visa di paspor, karena menurut saya itu absurd. Bagi saya perjalanan adalah proses pembelajaran, yang membedakan adalah sedalam apa kita belajar, sedalam apa kita melepas ego, jadi bukan dihitung dengan jumlah.

Kenapa malah milih solo traveling? Padahal traveler lain biasa travel in pair?

Karena dengan solo traveling kita mendapat lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan penduduk/daerah yang kita kunjungi, atau dengan kata lain lebih banyak kesempatan belajar. Kita juga lebih harus bertanggung jawab kepada diri sendiri, dan ini penting untuk pembelajaran pembentukan karakter juga.

68|69 Event32| INTERVIEW32

Page 33: The Travelist 1
Page 34: The Travelist 1

68|69 Event34| INTERVIEW34

Page 35: The Travelist 1

Oiya, Gus Weng terkenal akan perjalanan ke Afgan dan Asia Tengah. Tetapi kenapa bukan memilih tuk keliling Indonesia saja? Padahal kalo cari thrill kan ada perang suku di Papua, ato hutan belantara di Kalimantan?

Kebetulan karena memang saya dulu mahasiswa di Beijing, dan lulusnya dengan uang ala kadarnya saya cuma bisa melakukan perjalanan dengan jalan darat, dan Asia Tengah serta Afghanistan itu semua adalah negara tetangga China. Tentu saya ingin keliling Indonesia. Tetapi pada saat ini, mengingat usia yang masih muda, saya ingin melakukan perjalanan dimana saya bisa belajar lebih banyak, misalnya perjalanan di Afghanistan yang sangat berat itu, atau pada usia muda kita juga lebih cepat belajar bahasa. Saat ini saya masih ingin belajar lebih banyak bahasa baru dan budaya yang sama sekali asing. Bagaimana pun juga indonesia adalah “rumah” saya, tentu saya akan kembali untuk “menemukan” rumah saya, tetapi dengan sudut pandang yang berbeda.

Gus Weng kan udah keliling Asia, juga udah nerbitin dua buku, berarti udah pen-galaman kan soal travel writing. Menurut Gus Weng sendiri, tulisan travel yang baik tuh gimana?

Travel writing itu adalah potret dari serpihan kehidupan yang bisa memberi gambaran yang lebih luas kepada pembaca tentang kehidupan di satu lokasi atau kehidupan kelompok masyarakat. Travel writer tidak melakukan survei dengan ribuan responden untuk menguatkan teori, travel writer hanya menulis pengalaman dan perenungannya. Tetapi bagaimana dari pengalaman yang personal itu bisa memberi gambaran yang lebih luas? Di sini diperlukan kejelian observasi sang penulis, serta kerendah-hatiannya dalam menerima realita yang ada yang seringkali bertentangan dengan konsep yang ada di benaknya.Selain itu, travel writing bersifat timeless, tetap relevan dibaca kapanpun. Travel writing bukan sekedar promosi tempat wisata, tetapi pengalaman personal sang penulis, di mana pembaca juga bisa meraba bagaimana karakter sang penulis lewat tulisannya. Tetapi di sini, penulis adalah pencerita, bukan tokoh utama atau lakon tulisannya. Fokus tulisan tetap berada di lokasi/masyarakat yang ia ceritakan.

Page 36: The Travelist 1

Kalo gitu contohnya penulis travel favorit Gus Weng?

V.S. Naipaul, Jasper Becker, Ryzard Kapus-cinski, Paul Theroux, dan sebagainya.

Dari foto-foto Gus Weng pas menjelajah Asia kelihatan banget kalo foto potretnya bisa dapet ekspresi manusia yang sangat natural, gimana si caranya biar bisa kayak gitu?

Kalau potret yang manusia yang bisa bercerita, dibutuhkan pendekatan yang sangat erat dengan subjek foto. Di sini dibutuhkan komunikasi, sehingga sang subjek bukan hanya sekedar orang yang dijepret oleh fotografer, tetapi orang yang dikenal secara personal. Di foto-foto potret itu saya mengobrol dulu dengan subjeknya, membina kepercayaan, mengetahui sedikit banyak kisah hidupnya, dan mengambil fotonya dalam keadaan yang paling natural. Karena ketika si fotografer sudah diterima subjek foto, foto yang dihasilkan seolah-olah si fotografer seperti sudah tidak ada, dan fotonya bisa jadi natural. Selain itu, komunikasi juga penting untuk mengenal si subjek foto luar dalam, sehingga bisa lebih jelas digambarkan ekspresinya.

68|69 Event36| INTERVIEW36

Page 37: The Travelist 1
Page 38: The Travelist 1

Kalo gitu fotografer acuan Gus Weng siapa?Saya tidak terlalu punya acuan. Bagi saya fotografi itu feeling, ungkapan seni juga. Saya hanya memotret dengan perasaan sendiri saja. Saya tidak terlalu punya acuan.

68|69 Event38| INTERVIEW38

Page 39: The Travelist 1
Page 40: The Travelist 1

68|69 Event40| INTERVIEW40

Page 41: The Travelist 1

Terakhir ya Gus Weng. Menurut Gus Weng, traveling yg beretika itu seperti apa?

Traveling dimana si pejalan sudah meluruhkan egonya, ia bukan lagi orang yang “mau mengubah dunia” tetapi “orang yang belajar dari dunia”. Kalau orang masih ingin mengubah dunia, ia akan menuntut ini itu, atau membuat destinasi wisata yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya supaya nyaman. Contohnya saja, di gunung-gunung di Nepal sudah tersedia hotel yang menyediakan hot shower, pizza, spaghetti, dan sebagainya, ini karena tuntutan kebutuhan para turis yang akhirnya jadi mengubah “dunia”. Kita juga lihat berbagai “racun turisme” yang ada di tempat-tempat wisata dunia dimanapun. Kalau si pelaku perjalanan bisa mengorbankan egonya, meluruhkan dirinya, ia akan berusaha meminimalkan pengaruh (negatif) keberadaannya terhadap daerah/lingkungan yang dikunjungi. [T]

Page 42: The Travelist 1
Page 43: The Travelist 1

Ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Tarempa setelah turun dari pompong (perahu motor) atau kapal laut, kesan pertama yang tertangkap adalah orang Tarempa sangat menyukai aktivitas meminum kopi. Hampir di setiap sudut terdapat warung kopi. Sejak pagi sampai sore warung-warung kopi ini tak pernah sepi.

tareMpakota penikMat kopi

tulisan dan Foto oleh yudi Febri

Traveler’s TalesTraveler’s Tales

Page 44: The Travelist 1

Tarempa merupakan sebuah kota yang terletak di Pulau Siantan, ia merupakan ibukota Kabupaten Kepulauan Anambas. Sebuah kepulauan yang terletak di sebelah

timur negara tetangga, Malaysia. Mungkin memang benar apa yang dikatakan oleh Andrea Hirata di novel Padang Bulan, bahwasanya kopi sudah menjadi bagian hidup orang Melayu. Di warung kopi inilah segala sesuatu bisa diobrolkan. Sembari meminum kopi, saya mendengar obrolan yang bermula dari gosip murahan, kelakuan anggota DPR, sampai perang di belahan dunia sana. Semuanya habis dikupas dengan berbagai sudut pandang. Saya tidak menyangka mendapat kesempatan untuk menginjakkan kaki dan tentunya minum kopi di kota Tarempa ini. Sebuah kota yang memiliki teluk dan menjadi pelabuhan utama, tempat singgah dan pusat informasi para wisatawan. Dari Tarempa lah wisatawan menuju Pulau Temawan, Pulau Penjaul, Pengunungan Lintang sampai Air Terjun Temurun, dan Air Terjun Air Bini. Terkenal sebagai pelabuhan utama, maka tak heran jika terdapat pangkalan TNI AL untuk memantau dan menjaga perairan Indonesia karena kabupaten ini berbatasan langsung dengan negara tetangga. Ternyata, di Pangkalan TNI AL ini terdapat banyak kapal-kapal nelayan asing yang tertangkap sedang mencuri ikan di perairan Indonesia. Akan tetapi, hati-hati jika hendak memotret kapal tangkapan nelayan asing di depan pos TNI AL tanpa ijin, karena bisa ditahan oleh petugasnya yang cukup ketat.

68|69 Event44| traveler’s tales44

Page 45: The Travelist 1

“hati-hati jika hendak memotret kapal tangkapan nelayan asing di depan pos tni al tanpa ijin, kare-

na bisa ditahan oleh petugasnya yang cukup ketat”

Page 46: The Travelist 1

68|69 Event46| traveler’s tales46

Page 47: The Travelist 1

Di Pelabuhan Tarempa lah kapal KM Bukit Raya berlabuh, dari Tanjung Priok via Pontianak-Selat Lampa-Tarempa, ataupun dari Tanjung Pinang langsung. Ya, sejak terbentuknya Kepulauan Anambas sebagai kabupaten, maka transportasi menuju tempat ini semakin mudah. Terbukti dengan terbukanya bandara di Tarempa untuk Maskapai Wings Air melalui Batam ataupun Tanjung Pinang. Memasuki Tarempa seperti kembali ke jaman 40-50-an. Bangunan-bangunan seperti kios-kios, rumah-rumah, dan warung kopi yang banyak berjejer di sepanjang jalan dan sekitar pasar masih banyak yang terbuat dari kayu. Mungkin hanya bangunan pemerintah dan militer yang sudah memakai semen dan batu. Kota ini pada saat jaman penjajahan dahulu pernah menjadi Kota Keresidenan. Pemekaran diri dari Kabupaten Natuna pun baru terlaksana pada tahun 2008. Sebagaimana wilayah Propinsi Kepulauan Riau lainnya, Kabupaten Kepulauan Anambas sangat kaya akan seni dan budaya. Tarempa sebagai ibukota kabupaten menjadi pusat ragam budaya yang terutama berakar dari budaya Melayu. Kini, berbagai sanggar seni mulai bermunculan, dari seni tari, seni musik hingga seni beladiri daerah yang berupaya melestarikan budaya tradisional. Mayoritas penduduknya adalah Suku Melayu seperti masyarakat pesisir

pada umumnya, bersifat terbuka terhadap pendatang, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwasanya Etnis Tionghoa, Suku Bugis, Banten, Jawa, Minang, Batak dan Sunda juga menetap di pulau ini (dan juga tersatukan oleh kebiasaan minum kopi di warung kopi). Saya kembali menyeruput kopi –yang rasa kopinya sebenarnya tidak terlalu istimewa. Namun keistimewaannya justru terdapat pada suasananya yang mampu membuat orang betah berlama-lama di sini. Secangkir kopi bisa menjadi teman anda untuk mengobrol berjam-jam. Entah sejak kapan kebiasaan ini mulai ada. Sepertinya tidak ada yang tahu atau mungkin tidak ada yang peduli. Yang jelas, kebanyakan pemilik warung kopi adalah masyarakat dari Etnis Tionghoa. Bermacam menu kopi disuguhkan dengan sebutan yang khas. Ada Kopi O atau Kopi Obeng alias kopi hitam dengan kadar gula yang melebihi standar kemanisan kopi di Jawa. Ada Kopi Cantik, yaitu kopi yang diseduh di dalam kaleng bekas susu yang dibuka bagian atasnya. Kopi Cantik ini merupakan langganan para nelayan yang akan melaut karena lebih mudah dibawa. Tempat yang paling nyaman untuk menikmati kopi ada di sepanjang Jembatan Semen Panjang. Sebuah jembatan yang berada diatas laut yang jernih dan pemandang-an sekitar yang indah. Jembatan yang menghubungkan

Page 48: The Travelist 1

antara Kota Tarempa dengan Desa Tanjung Momong ini terletak di timur Pelabuhan Tarempa. Di sepanjang jembatan tersebut terdapat beberapa kafe yang cukup luas dan menu yang lebih beragam. Duduk di salah satu kafe ini serasa berada di suatu kafe di sebuah sudut kota kecil di Eropa. Hening, sepi, angin berhembus sepoi-sepoi ditingkahi oleh suara camar mengantarkan matahari kembali ke peraduannya di barat, sambil menikmati secangkir kopi menghadap ke lautan. Sungguh suatu pengalaman yang tak terlupakan. [T]

yUDI FEBRIAdventurer, Fotografer & Antropolog yang mencintai Indonesia.

68|69 Event48| traveler’s tales48

Page 49: The Travelist 1

“saya kembali menyeruput kopi –yang rasa kopinya sebenarnya tidak terlalu istimewa. namun keistime-

waannya justru terdapat pada suasananya yang mampu membuat orang betah berlama-lama di sini.”

Page 50: The Travelist 1

Hari itu kami tidak belanja apa-apa, hanya mengisi perut dengan es jagung favorit di foodcourt, sekaligus memuaskan hasrat saya sebagai fotografer abal-abal pecinta pasar tradisional. Duduk bersandarkan dinding sebuah toko, kami menikmati pisang goreng kipas panas yang sengaja dibeli untuk mengganjal perut yang mulai keroncongan. Ragam jajanan tradisional dari Ca Kwe hingga Bubur Madura membuat pengunjung di Pasar Atom tidak akan pernah didera kelaparan.

Surabaya utaraMendelik dinaMikatulisan dan Foto oleh dWi Putri ratnasari

Traveler’s TalesTraveler’s Tales

Page 51: The Travelist 1
Page 52: The Travelist 1

saya teringat kembali enam tahun lalu, sebuah pengumuman kelulusan masuk perguruan tinggi negeri menyeret badan saya pindah dari

kota kecil menuju si metropolitan, Surabaya. Sebuah kota, yang di mata saya, hanya identik dengan banjir yang merepotkan, panas yang menyengat, dan pusat perbelanjaan yang menjamur. Harus diakui, definisi ketiga adalah hal pertama yang membuat saya betah di kota ini. Berbagai macam great sale dari jam normal hingga midnite pernah saya rasakan. Saat itu, Surabaya Utara bagaikan itik buruk rupa bagi saya. Tidak ada mall-mall kece. Tidak ada gig band-band ternama. Tidak ada tempat nongkrong ber-wifi yang menyediakan lemon tea favorit.Tidak ada yang bisa saya lakukan di daerah ini. Surabaya Utara memang tidak seperti saudara-saudaranya di timur, barat, dan selatan yang tampak selalu diterangi oleh gemerlap ber-bagai hiburan warga kota. Hingga suatu hari saya tidak sengaja melihat sebuah sesi pemotretan prewedding di Jalan Karet, ketika dipaksa mengantarkan Ibu menuju pusat perbelanjaan paling nge-hype (versi Ibu saya) yaitu Jembatan Merah Plaza. Saya, yang memang narsis dalam hal foto-fotoan, langsung menggumam, “Eh, tempat apaan sih ini?”. Kalau cinta pada pandangan pertama memang ada, maka bisa jadi perbuatan saya yang bak ABG labil saat itu adalah awal mula terciptanya chemistry saya dengan Surabaya Utara, sebuah kawasan kota tua yang ternyata

menyimpan berbagai budaya dan tumpukan sejarah lawas. Surabaya Utara memang identik dengan wajah kota yang lusuh, tapi justru itulah yang menggambarkan betapa lawasnya daerah ini. Konon, di sinilah awal mula peradaban dan perekonomian Surabaya. Pedagang asing dan barang-barang dari luar daerah mengalir deras di sepanjang Sungai Kalimas. Tak heran bila Surabaya Utara juga terkenal dengan kemajemukan penduduknya. Pemukiman warga lokal, kampung Arab, Pecinan Kembang Jepun, hingga jejak-jejak kolonialisme tumbuh subur mengelilingi daerah ini. Entah sudah berapa ratus tahun usia mereka. Suatu hari, saya berjalan-jalan di seputar Jalan Dukuh dan mampir di sebuah klenteng tua bernama Hong Tiek Hian konon dibangun oleh Tentara Tartar pada zaman Kaisar Khu Bilai Khan pada 1899. Klenteng ini terdiri atas dua bangunan yang terpisahkan sebuah gang menuju pemukiman penduduk. Pada lantai atas dibangun sebuah jembatan pendek untuk menghubungkan bangunan yang satu dengan yang lain. Bangunan bawah klenteng lebih terkesan gelap karena penerangan hanya berasal dari ratusan lilin berbagai ukuran untuk sembahyang. Bau asap batang Hio dan kertas Kim yang dibakar memenuhi tiap sudut ruangan klenteng dan meninggalkan lapisan jelaga hitam pada dindingnya. Hong Tiek Hian adalah tempat ibadah bagi tiga agama, yaitu Buddha, Konghucu dan Tao.

68|69 Event52| traveler’s tales52

Page 53: The Travelist 1
Page 54: The Travelist 1

“Menarik, karena di sinilah satu-satunya tempat di surabaya untuk menikmati pertunjukan wayang tradisional tiongkok yaitu Potehi”

68|69 Event54| traveler’s tales54

Page 55: The Travelist 1

Menarik, karena di sinilah satu-satunya tempat di Surabaya untuk menikmati pertunjukan wayang tradisional Tiongkok yaitu Potehi. Sama halnya dengan wayang tradisional Indonesia, Potehi juga dimainkan oleh dalang yang piawai memainkan tangan untuk menggerakkan boneka-boneka sambil menceritakan satu kisah dengan iringan bunyi tetabuhan di balik sebuah panggung kecil. Bergerak ke Jalan Kapasan, sebuah klenteng tua bernuansa merah menyala nampak kontras dengan bangunan-bangunan ruko tua di sekitarnya. Mereka menyebutnya Boen Bio, sebuah klenteng bagi umat Konghucu yang berdiri di Jalan Kapasan sejak tahun 1907. Ketika melangkah memasuki altar utama, mata saya langsung tertuju pada sebuah foto potret mantan Presiden Indonesia yang juga dikenal sebagai Bapak Pluralisme, Gus Dur. Sebuah sentuhan kecil yang bermakna besar dalam perjalanan klenteng dan umatnya ini. Saya masih ingat, pertama kali saya bertandang di sini bertepatan dengan akan diadakannya pementasan wayang kulit yang digelar di Kampung Kapasan Dalam yang lebih terkenal dengan sebutan Kampung Kungfu. Sejarah mengatakan bahwa para Buaya Kapasan yakni para peranakan Tionghoa yang jago-jago Kungfu itu, memang pernah hidup dan tinggal di daerah belakang Klenteng Boen Bio ini. Konon, kampung ini cukup ditakuti oleh Pemerintah Belanda karena para Buaya Kapasan memang sering merepotkan dan tidak mau patuh begitu

Page 56: The Travelist 1

saja pada aturan penguasa. Tengah malam, tua muda di kampung ini, rajin berlatih kungfu secara diam-diam. Itulah yang meresahkan pemerintah kolonial, maka mereka membangun sebuah pos polisi yang hingga sekarang masih berdiri di sektor V Kapasan untuk mengawasi gerak-gerik yang mengacu pada pemberontakan para Buaya Kapasan. Seorang mayor dari Cina pun juga ditugaskan oleh Belanda untuk tinggal di dekat Kampung Kungfu untuk menjaga stabilitas keamanan kampung jagoan ini. Kediaman mewah sang mayor masih dapat ditemukan hingga sekarang, yaitu sebuah hotel yang masih terjaga arsitektur aslinya bernama Hotel Ganefo, terletak 100 meter dari Klenteng Boen Bio. Karena letak Hotel Ganefo yang agak menjorok, maka saya jadi terheran-heran sendiri ketika menyadari ternyata ada bangunan jadul dengan berbagai ornamen khas arsitektural Indische yang masih terawat dengan baik. Dua patung singa buatan Belanda menyambut kedatangan saya di pintu depan. Sebuah ukiran bertuliskan ora et labora (pray and work) terpatri di atas pintu masuk. Selanjutnya, deretan cermin-cermin lawas dengan ukuran super besar tampak bergelantungan di lobi hotel. Di bagian belakang terdapat sebuah pohon beringin yang sangat rimbun, membuat saya berpikir berulang kali untuk benar-benar menginap di hotel ini. Dua ranjang besi, kamar mandi ekstra besar, jendela dengan model trails sejajar dan langit-langit yang tinggi akan

Anda nikmati jika berminat menginap di salah satu kamar hotel ini. Suasana yang terlalu menyeramkan untuk saya yang penakut ini. Mendengarkan cerita demi cerita yang ada di sekitar klenteng dan kampung ini memang menyenangkan. Saking seringnya saya mampir ke Kampung Kapasan, seorang ketua karang taruna kawasan ini yang bernama Pak Gunawan sampai sudah bisa menghafal wajah saya. Beliau pun tidak sungkan memperlihatkan foto-foto tua kampung ini pada tahun 60-an. Sangat menarik ketika mengetahui bahwa dahulunya kampung ini juga menggelar rekonstruksi peristiwa sepuluh November. Saya melihat sosok remaja Pak Gunawan mengenakan ikat kepala berwarna merah-putih, siap bertempur bersama kawan-kawannya di dalam lembaran foto hitam putih. Gara-gara sering menjelajah ke Pecinan Surabaya Utara ini juga saya beruntung bisa mengetahui jadwal arak-arakan Dewi Laut dari klenteng tua Hok An Kiong di Jalan Cokelat. Sebagai festival hunter wannabe, maka saya tidak perlu banyak berpikir lagi untuk turut menonton kirab yang terakhir kali dilakukan pada tahun 1964 itu. Benar saja, acara keagamaan tersebut berlangsung sangat meriah karena diikuti ratusan umat dan sempat menjadi tontonan banyak warga. Mereka pasang tampang heran, ketika tiba-tiba di hari Minggu pagi itu, kawasan sepanjang Pecinan ini dipenuhi segerombolan orang memakai ikat kepala berwarna merah, membawa

68|69 Event56| traveler’s tales56

Page 57: The Travelist 1

Foto oLEH AYos PURwoAJI

“sejarah mengatakan bahwa para buaya kapasan yakni para peranakan tionghoa yang jago-jago kungfu itu, memang per-

nah hidup dan tinggal di daerah belakang klenteng boen bio ini”

Page 58: The Travelist 1

68|69 Event58| traveler’s tales58

Page 59: The Travelist 1

beberapa persenjataan seperti tombak serta beramai-ramai mengusung tandu. Ya maklum saja kalau banyak yang bertanya-tanya ada keramaian apa pagi itu, karena arak-arakan ini sudah 40 tahun lebih menghilang dari permukaan. Saya memang terlalu berjodoh dengan Pecinan Surabaya. Beberapa kali, saya harus terlibat melakukan city trip ke tempat-tempat yang belum pernah saya duga benar-benar ada di ujung Surabaya yang masih tetap ruwet ini. Sebuah rumah perkumpulan marga Liem, contohnya. Dua kali saya mengunjungi tempat yang terletak tak jauh dari Pasar Atom ini. Dimana ketika memasuki ruangan demi ruangan, saya serasa sedang melewati distrik-distrik di Beijing. Hampir semua lansia masih fasih bercakap menggunakan bahasa Mandarin. Pak Liem Oo Yen, menyambut kedatangan saya dan mempersilahkan saya untuk mencoba Chinese Calligraphy. Tapi daripada memalukan, saya memilih menonton saja. Rumah tua ini memang dipenuhi oleh para lansia peranakan Tionghoa yang menghabiskan akhir

minggu dengan mempelajari banyak budaya leluhur. Melukis, bernyanyi, dan bermain catur tradisional menjadi salah satu cara mereka untuk melepas penat, bertemu kerabat serta sahabat. “Daripada dicereweti mantu, mending datang ke sini tiap minggu,” canda Pak Lim Oo Yen, disambut gelak tawa beberapa lansia yang berkumpul di sampingnya. See, there’s a country for old men here. Saya percaya, bahwa jalan-jalan tak melulu tentang destinasi mewah yang jauhnya ratusan kilometer dari rumah. Munculnya berbagai komunitas independen seperti pecinta museum, penggemar sejarah, bangunan tua dan budaya adalah alternatif tepat untuk menjadi traveler cerdas bin hemat, bukan kere. Tak perlu repot menggendong ransel puluhan liter, cukup bermodal kamera pocket, sebotol air mineral, stamina oke, rasa ingin tahu yang besar, plus stok senyum yang lebar, maka segeralah melakukan ibadah city trip di tengah ruwetnya kota metropolitan dan bersiaplah menemukan cerita menarik di sudut-sudut yang tak terduga. [T]

DWI PUTRI RATNASARIWanita penggemar traveling yang bekerja sebagai freelance travel writer dan memiliki mimpi untuk membuat dokumentasi lengkap tentang berbagai festival budaya di Indonesia.

Page 60: The Travelist 1
Page 61: The Travelist 1

pulau bandapulau reMpah

terbeSar di dunia

tulisan dan Foto oleh lusi Margiyani

Traveler’s TalesTraveler’s Tales

Page 62: The Travelist 1

“Melimpah ruahnya hasil rempah pala ini tidak selamanya memberikan kesejahteraan masyarakat banda namun justru mengundang bencana karena keserakahan dari bangsa-bangsa pendatang khususnya inggris dan terutama belanda.”

68|69 Event62| traveler’s tales62

Page 63: The Travelist 1

Maluku memang tidak bisa dilepas-kan dari sejarah perdagangan rempah-rempah dunia. Di antara banyak pulau di Maluku, meski-

pun Pulau Banda tidak sebesar Pulau Seram, namun merupakan penghasil pala terbesar di provinsi ini. Sejak tahun 600 an Bangsa China sudah berdagang di pulau ini. Menyusul ke-mudian Bangsa Moro tahun 1500-an, Bangsa Portugis tahun 1611 dan diikuti Bangsa Ing-gris dan Belanda tahun 1621. Pala merupakan komoditas yang laku keras di pasaran dunia, khususnya di negara-negara Eropa. Wajarlah kalau berbagai bangsa berlomba-lomba untuk datang ke Pulau Banda. Bahkan ternyata pada abad ke 15, tujuan awal Christopher Columbus adalah mencari rempah-rempah di Pulau Banda. Setelah munculnya pengetahuan baru bahwa bumi itu bulat, Ratu Isabella dan Raja Ferdinand dari Spanyol membiayai pelayaran ini untuk mencapai pulau rempah. Namun, bukannya Pulau Banda yang ditemukan tapi malah sebuah benua baru, yang kemudian dinamakan Benua Amerika. Dengan demikian perdagangan antar bangsa sudah terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama di Banda.

Page 64: The Travelist 1

AbAd GELAp MAsyArAkAT bANdA Dari buku Sejarah Banda Naira karangan Des Alwi (anak angkat Bung Hatta ketika dalam masa pengasingan di Banda) dan juga dari beberapa peninggalan sejarah yang masih tersisa, sungguh mengerikan nasib orang Banda saat penjajahan Belanda dibawah bendera VOC (Vereenigde Oostindische Com-pagnie). Puncak kekejaman Bangsa Belanda adalah ketika saat pemerintahan Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen. Awal tahun 1621 Coen bertolak dari Batavia ke Ambon, kemudian langsung melanjutkan ke Pulau Banda. Dalam buku tersebut dijelaskan secara mendetail sejarah perdagangan rempah-rempah di Banda berikut kekejaman yang dilakukan Coen kepada masyarakat Banda. Sekitar 60% orang Banda terbunuh (dibunuh), sebagian dikirim ke Batavia sebagai budak dan sebagian yang masih tersisa lari ke Pulau Seram. Orang Banda yang tersisa hanya kaum perempuan dan anak-anak. Mereka yang “dibuang” ke Batavia dalam keadaan dirantai dan tidak diberi makan. Padahal saat itu perjalanan dari Banda ke Batavia menggunakan kapal merupakan perjalanan yang panjang. Akhirnya banyak tawanan yang meninggal dan dibuang ke laut. Kekejaman VOC dibawah Gubernur Jendral Coen tidak hanya sebatas membakar perkampungan, menawan para penduduk, dan melakukan pengejaran

hingga banyak orang Banda yang lebih baik mati menceburkan diri ke laut daripada ditangkap Belanda. Salah satu bentuk kekejaman Belanda yang masih dikenang karena kekejamannya adalah peristiwa pembantaian orang-orang kaya Banda yang ditebas tubuhnya menjadi dua atau empat. Peristiwa pembantaian orang kaya Banda ini dalam buku Sejarah Banda Neira diulas secara rinci berdasarkan tulisan saksi mata bernama Letnan Laut Nicolas van Waert tanggal 8 Mei 1621. Ada sekitar 40-an orang kaya Banda yang dibawa ke Benteng Nassau yang masing-masing tangannya diikat di belakang. Para algojo yang menebas tubuh-tubuh tidak berdosa ini adalah 6 serdadu Jepang. 400 tahun kemudian didirikan sebuah monumen untuk mengenang para orang kaya Banda yang merupakan pejuang bagi orang Banda. Monumen ini terletak di Pulau Neira, persisnya di sebelah kiri depan Benteng Nassau. Di monumen ini tertulis nama-nama para pejuang yang mati ditebas oleh algojo atas perintah Gubernur Jendral Coen. Selain monumen di depan Benteng Nassau, terdapat pula sebuah lukisan yang menggambarkan peristiwa sadis tersebut. Suasana mengerikan sangat terasa ketika saya memandang dan membayangkan peristiwa tersebut. Saya akhirnya memotret lukisan tersebut yang dipajang di Museum Banda Naira yang berada di dekat Pelabuhan Banda di Pulau Neira.

68|69 Event64| traveler’s tales64

Page 65: The Travelist 1

“lukisan para orang kaya banda yang menjadi korban keganasan serdadu belanda di era

penjajahan”

Page 66: The Travelist 1

“tidak hanya biji saja yang dapat dimanfaatkan, ternyata seluruhbagian buah pala ini juga bisa dimanfaatkan”

68|69 Event66| traveler’s tales66

Page 67: The Travelist 1

Banyak peninggalan sisa-sisa kejayaan Pulau Banda sebagai penghasil pala terbesar di dunia yang masih terlihat disini. Salah satunya adalah sebuah lonceng besar yang dahulu digunakan di Perk (perkebunan pala) untuk penanda saatnya orang bekerja atau istirahat. Selain itu ada banyak benda-benda yang masih tersimpan di Museum Banda Naira diantaranya berupa timbangan, alat untuk memetik pala, lukisan yang menggambarkan transaksi perdagangan pala dengan bangsa luar, dan benda-benda lainnya.

bUAh pALA dAri bANdA Sebelum saya pergi ke daerah ini, saya hanya mengetahui bahwa biji pala merupakan salah satu bumbu untuk memasak soto. Namun ketika saya berkeliling Pulau Ambon, Pulau Seram dan Pulau Nusa Laut barulah melihat secara langsung pohon pala berikut buahnya. Mulai dari bagian terluar buah pala yaitu kulit (yang berupa daging buah) biasa dibuat manisan pala atau untuk sirup. Kemudian bunga pala yang berwarna merah yang berada di dalam kulit buah ini menjadi komoditi ekspor

yang sangat mahal dibandingkan kulit buah atau biji palanya. Di sepanjang jalan kota di Banda, terutama jalan menuju pelabuhan, banyak sekali ditemui penjual aneka oleh-oleh yang terbuat dari pala. Ada yang berupa manisan kering maupun basah, dengan aneka rasa, dan ada juga yang berupa sirup yang bisa langsung diminum. Merupakan pemandangan yang biasa di Banda bila melihat anak-anak atau para ibu yang mengupas pala untuk dijadikan manisan. Di pelabuhan, terlihat orang-orang menaikkan berton-ton buah pala ke kapal untuk dijual ke pulau lain ataupun diekspor ke berbagai negara. Memang di Banda, khususnya di Pulau Banda Besar, nyaris setiap jengkal tanah ditanami pohon pala. Kebanyakan pohon yang ada sudah berumur puluhan tahun. Berdasarkan penuturan warga di situ, buah pala baru mulai berbuah setelah pohon berumur sepuluh tahun. Pohon pala ini memang hanya cocok di Maluku karena secara geografis dan iklim sangat mendukung. Seingat saya pohon pala ini hanya cocok hidup di daerah pegunungan dengan suhu tertentu dan berada di sekitar lautan.

Page 68: The Travelist 1

68|69 Event68| traveler’s tales68

Page 69: The Travelist 1

Pala tidak mengenal musim, boleh dikata sepanjang tahun berbuah. Dari sini dapat kita lihat betapa kekayaan nusantara yang luar biasa. Bayangkan saja harga bunga pala bisa mencapai harga sekitar Rp220.000 per kilo. Komoditi ini sampai dengan saat ini masih laku keras di pasaran dunia dan tiap tahunnya mengekspor ratusan kilo. Wajarlah kalau di Banda terkenal banyak orang kaya. [T]

LUSI MARgIyANISeorang aktivis perempuan dan pemerhati masalah pendidikan anak, salah satu nomina-si the Fearless Indonesian Women of the Year dari Majalah Kosmopolitan tahun 1999, seka-rang bekerja sebagai Field Education Special-ist (FES) di Save the Children di Maluku.

Page 70: The Travelist 1

Lumix DMC FS-62 adalah kamera 10 megapixel yang cocok untuk budget traveler. Kamera mungil ini dilengkapi dengan lensa buatan

Leica dengan range setara 33-132mm di 35mm, dengan kualitas gambar yang cukup mengagumkan untuk level budget-travel camera. Kamera ini memiliki ukuran setipis 97 x 54.4 x 21.2mm dan berat seringan 136g dengan body yang terbuat dari metal. Fitur menarik yang dimiliki kamera ini adalah Fitur Auto ISO dengan batas ISO maksimum yang bisa kita atur, sangat handy. [T]

pada tahun 1948, polaroid mengejutkan dunia dengan kamera instantnya. 60 tahun berselang, kini mereka mengeluarkan produk yang lagi-lagi

mengagetkan. Polaroid PoGo adalah sebuah printer foto portable yang menggunakan teknologi Zero Ink. Printer ini tidak menggunakan ink cartridge atau ribbon, tapi sebagai gantinya ia memerlukan kertas khusus berukuran 2x3 inchi dari ZINK Imaging. Cukup dengan koneksi USB dari kamera digital, atau koneksi Bluetooth dari handphone anda, tunggu sekitar satu menit, maka foto anda telah tercetak. Memang, hasil cetak dari printer ini tidak terlalu tajam, tetapi ukurannya yang tidak lebih dari telapak tangan pria dewasa – 11,9 x 7,2 x 2,2 cm dan harganya yang cukup bersahabat – USD$ 39.99 membuat benda mungil ini adalah pilihan tepat untuk mengisi backpack anda. [T]

luMix dMC FS-62

polaroid pogo

68|69 Event70| REVIEW70

Page 71: The Travelist 1

polaroid pogo

sangat jarang kita menemukan buku panduan fotografi buatan lokal, apalagi buku panduan fotografi khusus untuk fotografi perjalanan.Salah satu yang menarik adalah Lonely Planet Travel Photography: A Guide to

Taking a Better Pictures. Pada bab yang lebih dalam, buku ini mulai membuat kita mempelajari tentang subjek yang sering kita temui pada perjalanan kita, mulai dari manusia, hewan, lanskap, sampai makanan. Selain teknik fotografi, buku ini juga mengajarkan tentang post-production. Mulai dari cara mengedit foto, sampai cara kita menjual foto kita. Buku ini juga bisa diaplikasikan untuk kamera digital atau film, karena sebagian foto di buku ini merupakan foto dari kamera film. Foto-foto yang indah diatas 352 halaman full-color menjadikan buku ini pilihan yang baik untuk anda belajar fotografi perjalanan plus menghias coffee table anda. [T]

lonely planet travel photography:a guide to taking a better piCtureS

Page 72: The Travelist 1