the president post indonesia liputan khusus 03

8
Sebagai negara agraris dengan tanah yang luas dan subur, tak semestinya Indonesia mengimpor bahan makanan dari negara lain. Tapi, kenyataan- nya Indonesia masih mengimpor 29 komoditas pangan. Kondisi ini harus segera diubah agar kedaulatan pangan cepat terwujud. Menurut Hartono Wignjopranoto, kedaulatan pangan adalah kemampuan negara untuk memenuhi kebutu- han dalam negeri dengan produksi sendiri, bukan dipasok oleh produk import. “Jika banyak produk impor beredar di pasar maka kedaulatan pangan negara itu rendah,” kata Hartono, Direktur Utama Pasar Komoditas Nasional (Paskomnas) kepada The President Post di Jakarta, Selasa (25/8/2014). Dia mengungkapkan, ada dua hal yang mesti dibenahi untuk mencapai kedaulatan pangan. Pertama, menata sistem distribusi komoditi pangan melalui pasar sebagai prasarana alami perjalanan barang/produk dari produsen ke konsumen. Kedua, melakukan produksi sesuai dengan permintaan pasar, menyangkut jumlah, mutu dan kontinyuitasnya. Menyangkut sistem distribusi, Hartono menekankan perlunya dibangun pusat-pusat distribusi (pasar induk) di setiap ibukota provinsi. Pembangunan pasar induk harus disesuaikan dengan kebutuhan pelaku pasar dan konsumen. Selanjutnya, pasar induk itu harus difungsikan sebagai pusat distribusi produk pertanian/pangan di suatu wilayah yang dikelola secara professional yang mampu mengatur keseimbangan antara kebutuhan pasar dan jumlah pasokan untuk menghindari fluktuasi harga yang tajam. “Pasar induk harus aman, adil dan transparan,” tambah Hartono. Dia mencontohkan, Pasar Induk Tanah Tinggi miliknya dikelola secara profesional. Tidak ada pungutan liar dan petani serta pedagang bisa mengak- ses informasi harga komoditas melalui situs milik Paskomnas. Jika pasar induk sudah ada di setiap provinsi maka bisa dibentuk jaringan pasar induk sebagai sistem distribusi pangan nasional. “Distribusi pangan nasion- al bisa mengatur keseimbangan pasokan antardaerah untuk menekan perbedaan harga antardaerah,” lanjutn- ya. Sementara itu, untuk masalah produksi pangan, Hartono mengatakan idiom lama “jual apa yang bisa kamu produksi” harus ditinggalkan dan diganti dengan semangat baru “produksi apa yang dibutuhkan pasar”. Produksi tersebut tentunya disesuaikan dengan jumlah, mutu dan kontinyuitasnya. Dia optimis melalui pembentukan pasar induk sebagai pusat distribusi, masalah kedaulatan pangan bisa diatasi. Pasar induk akan menuntaskan masalah yang dihadapi oleh petani dan pedagang. Problem serius yang dihadapi pedagang adalah sulitnya mendapatkan kontinyuitas pasokan barang, sedangkan masalah yang membelit petani yaitu tidak adanya jaminan harga dan jaminan pasar. “Siapa bilang tidak ada pasar. Kami memberi jaminan pasar,” tegasnya. Melaui pasar induk, petani bisa mengontrol harga. Pasar induk yang akan menentukan jumlah distribusi suatu komoditas untuk mendapatkan hasil maksimal. Misalnya, kebutuhan tomat setiap hari mencapai 60 ton maka pasar induk akan mengatur agar tomat yang beredar di pasar jumlahnya juga 60 ton. “Pasar induk tradisional tidak bisa mengontrol distribusi barang,” tambah Hartono. Hal ini terjadi karena tidak ada informasi akurat mengenai jumlah barang yang masuk dan keluar. Selain membangun pasar induk sebagai pusat distribu- si, Hartono juga mengingatkan pentingnya penguatan kelembagaan di kalangan petani. Dia menyarankan petani membentuk asosiasi, bisa dalam bentuk kopera- si atau kelompok tani. “Petani harus membentuk kelompok tani yang aktif bekerjasama dalam pelaksa- naan usaha taninya,” lanjut Hartono. Dengan berkelompok petani bisa menekan harga serta menga- tur kapasitas produksi. Kelompok tani itu nantinya membentuk asosiasi yang selanjutnya berinteraksi dengan asosiasi lain serta pasar induk untuk memban- gun jaringan distribusi pangan nasional. Pembentukan asosiasi petani sangat menguntungkan bagi petani itu sendiri. Memudahkan mereka mengak- ses lembaga keuangan seperti bank untuk mendapat- kan pinjaman modal. “Bank hanya mau bekerja sama dengan lembaga formal,” jelasnya. Apalagi, asosiasi sudah mendapatkan jaminan pasar dari pasar induk yang menjalin kerja sama dengan mereka. (jok) LIPUTAN KHUSUS / AGUSTUS 2014 / VOLUME #3 The President Post Twitter @TPP_Indonesia Facebook The President Post Indonesia THE SPIRIT OF INDONESIA Sekretaris Redaksi: Nourul Ulfah Redaktur: Inggit Agustina Joko Harismoyo Reporter: Heros Barasakti Desainer Grafis: Nike Andriana Marketing dan Event: Putri Kenanga Ronni Ferdy Account Executive: Achmad Iqbal Ike Mayasari Sirkulasi dan Distribusi: Maman Panjilesmana Rifki Amiroedin Penanggung Jawab Website: Reza Partakusuma Irawan Bambang Sugeng Alamat Redaksi dan Sirkulasi: Menara Batavia 2nd Floor Jl. K. H. Mas Mansyur Kav. 126 Jakarta 10220 Ph. (021) 57930347 Fax (021) 57930347 Email Redaksi: [email protected] Diterbitkan oleh PT. Media Prima Nusa www.readtpp.com www.thepresidentpost.com www.thepresidentpostindonesia.com Didukung Oleh: Riset dan Sumber Daya Manusia Bekerja Sama Dengan: Hartono Wignjopranoto: Membangun Kedaulatan Pangan Melalui Pasar Induk PRESIDENT UNIVERSITY Editorial Staff Editor In Chief: Rachmat Wirasena Suryo Advisor: Samsul Hadi Kunto Hernansaputro

Upload: the-president-post

Post on 03-Apr-2016

229 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Hartono Wignjopranoto: Membangun Kedaulatan Pangan Melalui Pasar Induk Sebagai negara agraris dengan tanah yang luas dan subur, tak semestinya Indonesia mengimpor bahan makanan dari negara lain. Tapi, kenyataannya Indonesia masih mengimpor 29 komoditas pangan. Kondisi ini harus segera diubah agar kedaulatan pangan cepat terwujud.

TRANSCRIPT

Page 1: The President Post Indonesia Liputan Khusus 03

Sebagai negara agraris dengan tanah yang luas dan subur, tak semestinya Indonesia mengimpor bahan makanan dari negara lain. Tapi, kenyataan-nya Indonesia masih mengimpor 29 komoditas pangan. Kondisi ini harus segera diubah agar kedaulatan pangan cepat terwujud.

Menurut Hartono Wignjopranoto, kedaulatan pangan adalah kemampuan negara untuk memenuhi kebutu-han dalam negeri dengan produksi sendiri, bukan dipasok oleh produk import. “Jika banyak produk impor beredar di pasar maka kedaulatan pangan negara itu rendah,” kata Hartono, Direktur Utama Pasar Komoditas Nasional (Paskomnas) kepada The President Post di Jakarta, Selasa (25/8/2014).

Dia mengungkapkan, ada dua hal yang mesti dibenahi untuk mencapai kedaulatan pangan. Pertama, menata sistem distribusi komoditi pangan melalui pasar sebagai prasarana alami perjalanan barang/produk dari produsen ke konsumen. Kedua, melakukan produksi sesuai dengan permintaan pasar, menyangkut jumlah, mutu dan kontinyuitasnya.

Menyangkut sistem distribusi, Hartono menekankan perlunya dibangun pusat-pusat distribusi (pasar induk) di setiap ibukota provinsi. Pembangunan pasar induk harus disesuaikan dengan kebutuhan pelaku pasar dan konsumen.

Selanjutnya, pasar induk itu harus difungsikan sebagai pusat distribusi produk pertanian/pangan di suatu wilayah yang dikelola secara professional yang mampu mengatur keseimbangan antara kebutuhan pasar dan jumlah pasokan untuk menghindari fluktuasi harga yang tajam.

“Pasar induk harus aman, adil dan transparan,” tambah Hartono. Dia mencontohkan, Pasar Induk Tanah Tinggi miliknya dikelola secara profesional. Tidak ada pungutan liar dan petani serta pedagang bisa mengak-ses informasi harga komoditas melalui situs milik Paskomnas.

Jika pasar induk sudah ada di setiap provinsi maka bisa dibentuk jaringan pasar induk sebagai sistem distribusi pangan nasional. “Distribusi pangan nasion-al bisa mengatur keseimbangan pasokan antardaerah untuk menekan perbedaan harga antardaerah,” lanjutn-ya.

Sementara itu, untuk masalah produksi pangan, Hartono mengatakan idiom lama “jual apa yang bisa kamu produksi” harus ditinggalkan dan diganti dengan semangat baru “produksi apa yang dibutuhkan pasar”. Produksi tersebut tentunya disesuaikan dengan jumlah, mutu dan kontinyuitasnya.

Dia optimis melalui pembentukan pasar induk sebagai pusat distribusi, masalah kedaulatan pangan bisa diatasi. Pasar induk akan menuntaskan masalah yang dihadapi oleh petani dan pedagang. Problem serius yang dihadapi pedagang adalah sulitnya mendapatkan kontinyuitas pasokan barang, sedangkan masalah yang membelit petani yaitu tidak adanya jaminan harga dan jaminan pasar. “Siapa bilang tidak ada pasar. Kami memberi jaminan pasar,” tegasnya.

Melaui pasar induk, petani bisa mengontrol harga. Pasar induk yang akan menentukan jumlah distribusi suatu komoditas untuk mendapatkan hasil maksimal. Misalnya, kebutuhan tomat setiap hari mencapai 60 ton maka pasar induk akan mengatur agar tomat yang beredar di pasar jumlahnya juga 60 ton. “Pasar induk tradisional tidak bisa mengontrol distribusi barang,”

tambah Hartono. Hal ini terjadi karena tidak ada informasi akurat mengenai jumlah barang yang masuk dan keluar.

Selain membangun pasar induk sebagai pusat distribu-si, Hartono juga mengingatkan pentingnya penguatan kelembagaan di kalangan petani. Dia menyarankan petani membentuk asosiasi, bisa dalam bentuk kopera-si atau kelompok tani. “Petani harus membentuk kelompok tani yang aktif bekerjasama dalam pelaksa-naan usaha taninya,” lanjut Hartono. Dengan berkelompok petani bisa menekan harga serta menga-tur kapasitas produksi. Kelompok tani itu nantinya membentuk asosiasi yang selanjutnya berinteraksi dengan asosiasi lain serta pasar induk untuk memban-gun jaringan distribusi pangan nasional.

Pembentukan asosiasi petani sangat menguntungkan bagi petani itu sendiri. Memudahkan mereka mengak-ses lembaga keuangan seperti bank untuk mendapat-kan pinjaman modal. “Bank hanya mau bekerja sama dengan lembaga formal,” jelasnya. Apalagi, asosiasi sudah mendapatkan jaminan pasar dari pasar induk yang menjalin kerja sama dengan mereka. (jok)

LIPUTAN KHUSUS / AGUSTUS 2014 / VOLUME #3

The President PostTwitter @TPP_Indonesia Facebook The President Post Indonesia

T H E S P I R I T O F I N D O N E S I A

Sekretaris Redaksi:Nourul Ulfah

Redaktur:Inggit AgustinaJoko Harismoyo

Reporter:Heros Barasakti

Desainer Grafis:Nike Andriana

Marketing dan Event:Putri KenangaRonni Ferdy

Account Executive:Achmad IqbalIke Mayasari

Sirkulasi dan Distribusi:Maman PanjilesmanaRifki Amiroedin

Penanggung Jawab Website:Reza PartakusumaIrawan Bambang Sugeng

Alamat Redaksi dan Sirkulasi:Menara Batavia 2nd FloorJl. K. H. Mas Mansyur Kav. 126Jakarta 10220Ph. (021) 57930347Fax (021) 57930347Email Redaksi:[email protected]

Diterbitkan oleh PT. Media Prima Nusawww.readtpp.comwww.thepresidentpost.comwww.thepresidentpostindonesia.com

Didukung Oleh:

Riset dan Sumber Daya Manusia Bekerja Sama Dengan:

Hartono Wignjopranoto: Membangun Kedaulatan Pangan Melalui Pasar Induk

PRESIDENTUNIVERSITY

Editorial Staff

Editor In Chief:Rachmat Wirasena Suryo

Advisor:Samsul HadiKunto Hernansaputro

Page 2: The President Post Indonesia Liputan Khusus 03

LIPUTAN KHUSUS / AGUSTUS 2014 / VOLUME #3h a l . 2

SRI RACHMACHANDRAWATI

Segera Bentuk Peradilan PertanahanMasalah pertanahan di Indonesia semakin pelik. Sengketa tanah terus bertambah. Perlu dilakukan reforma agraria agar tercipta tanah untuk keadilan dan kesejahteran rakyat sesuai dengan amanat konstitusi. Untuk itu, pembentukan Peradilan Pertanahan yang bersifat adhoc sudah sangat mendesak.

Namun demikian pembentukan Peradilan Pertanahan harus memiliki payung hukum yang jelas. Sayangnya, hingga saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. “Saya rasa belum bisa selesai periode ini,” ujar Sri Rachma Chandrawati kepada The President Post di Jakarta, Jumat (22/8/2014). Seperti diketahui, masa tugas anggota legislatif periode 2009-2014 akan berakhir 30 Septemer 2014.

Melalui Peradilan Pertanahan, sengketa tanah mendapatkan kepastian hukum dan batas waktu yang jelas. “Kalau sekarang ini kita tidak tahu berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sengketa,” lanjut Alumni Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu. Karena sengketa diselesaikan melalui peradilan biasa maka waktu dan biaya yang diperlukan menjadi lebih banyak. Selesai di Pengadilan Negeri, pihak bersengketa bisa melan-jutkan ke Pengadilan Tinggi lalu mengajukan banding ke Mahkamah Agung.

“Keputusan Peradilan Pertanahan bersifat final dan mengikat,” tambah perempuan kelahiran Ponorogo, 18 Januari 1958 itu. Oleh karenanya, hakim yang akan duduk di Peradilan Pertanahan harus mempunyai dedikasi dan moral yang mumpuni. Rekrutmen harus dilakukan secara terbuka dan transparan agar publik bisa menilai kredibilitas calon hakim.

Selain membentuk Peradilan Pertanahan, pemerintah baru harus segera membentuk Komite Pertanahan. Menurut Ketua Umum Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) itu, pembentukan Komite Pertanahan adalah amanat Peraturan Presiden RI Nomor 10 tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN). Tugas Komite Pertanahan adalah memberi masukan, saran dan pertimbangan kepapa Kepala BPN dalam perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan. Komite Pertanahan beranggotakan 17 pakar bidang pertanahan dan tokoh masyarakat yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BPN.

Masalah lain yang membelit persoalan agraria di Indonesia, menurut Rachma, adalah reformasi birokrasi. Pelayanan publik di bidang pertanahan belum optimal. Program layanan rakyat untuk sertifikasi tanah (Larasita) kurang berdampak secara nasional. Pengurusan sertifikat di berbagai daerah tetap mahal dan lama. Selain itu, komitmen bersama antarinstansi pemerintah dalam pengurusan sertifikat belum padu. Akibatnya, pemerintah pusat, provinsi, kota/kabupaten berjalan sendiri-sendiri.

Peraturan dalam hal pertanahan banyak yang tumpang tindih antara kementerian dengan BPN. “Hanya presiden yang bisa menyelesaikan masalah ini,” tegas wanita yang sudah menggeluti bidang pertanahan selama 23 tahun ini. Presiden bisa meminta kemen-terian untuk mencabut aturan soal tanah yang tidak sesuai dengan mandat konstitusi atau aturan di BPN.

Rachma mengingatkan agar pemerintah serius menjalankan reformasi agraria yang mengutamakan redistribusi tanah kepada masayarakat disertai proteksi para penerima reforma agraria dengan bantuan modal. Dengan demikian tidak ada lagi petani penggarap dan

www.readtpp.comWebsite Twitter @TPP_Indonesia Facebook The President Post Indonesia

kesejahteraan petani meningkat. “Redistribusi tanah dari penertiban tanah terlantar dilaksanakan dengan transparan, akuntabel, cepat dan terukur,” tegasnya. Dengan redistribusi tanah, para petani, nelayan dan petambak akan memiliki tanah.

“Pemerintah baru harus melaksanakan tiga agenda prioritas,” lanjut Rachma. Tiga prioritas itu disebut Tri Agung. Reforma agraria di atas adalah prioritas pertama. Sedangkan prioritas kedua adalah pelaksanaan sertifikasi tanah di seluruh Indonesia. Program Larasita harus diperluas dan dipercepat. Bisa menggunakan layanan pertanahan bergerak menggunakan mobil.

Untuk pengurusan balik nama tanah yang sudah bersertifikat dapat dilakukan dalam sehari, one day service. Perlu pula program penertiban tanah yang berdasarkan girik dan verponding. Jika tanah dikuasi secara mutlak oleh masyarakat dan di-tandai dengan bukti kepemilikan yang mutlak maka proses pembuatan sertifikat dipercepat dalam sebuah tim yang beranggotakan surveyor, PPAT, lurah serta pimpinan kantor pertanahan setempat.

Prioritas ketiga adalah pembentukan Peradilan Pertanahan untuk mempercepat penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan. Untuk itu pemerintah harus mendorong percepatan pe-ngesahan Rancangan Undang-Undang Pertanahan, Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat serta Penyusunan Rancangan Undang-Undang Tentang Penyelesaian Konflik-konflik Agraria. (jok)

Page 3: The President Post Indonesia Liputan Khusus 03

LIPUTAN KHUSUS / AGUSTUS 2014 / VOLUME #3www.readtpp.comWebsite Twitter @TPP_Indonesia Facebook The President Post Indonesia h a l . 3

ARYSUDARSONO

Jadikan Olahraga sebagai Lokomotif Ekonomi

Bangsa-bangsa besar di dunia menempatkan olahraga sebagai prioritas. Mereka sadar olahraga adalah pembangun karakter, kebanggan dan pemersatu bangsa. Bahkan, di masa mendatang olahraga bisa menjadi lokomotif ekonomi baru.

Sayangnya, kesadaran terhadap pentingnya olahraga belum dirasakan di Indonesia, kecuali era Soekarno. Hanya tiga tahun setelah merdeka, Soekarno me-ngadakan Pesta Olahraga Nasional (PON) pertama di Solo, 9-12 September 1948. Di zaman Soekarno pula Asian Games digelar di Indonesia pada tahun 1962. Soekarno sadar olahraga adalah alat pemersatu bangsa dan ajang diplomasi dunia.

“Bangun bangsa melalui olahraga,” ujar Ary Sudarsono menirukan ucapan Soekarno saat itu. Ary, yang ber-

pengalaman sebagai praktisi dan pengamat olahraga, semasa muda memang dekat dengan almarhum Soekarno. Mereka berdua sering bicara soal olahraga. Bagi Soekarno, orang sehat dan bugar lebih penting dibanding orang pintar. Hanya orang sehat yang bisa bangkit untuk membangun bangsa.

“Saya kecewa olahraga belum mendapat prioritas,” tambah Ary, mantan Direktur Utama Indonesian Basketball League (IBL) saat berbicara dengan The President Post di Jakarta, Jumat (22/8/2014). Menurut Ary, bangsa-bangsa besar di dunia sangat menghargai olahraga. Pada tahun 1963 presiden Amerika Serikat John F. Kennedy menempatkan olahraga sebagai mata pelajaran wajib dari pendidikan tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Jika nilai olahraga jelek, mesti mata pelajaran lain bagus, siswa tetap tidak lulus.

Saat ini, lanjutnya, negara-negara di Asia Tenggara sudah menyadari pentingnya olahraga. Thailand memiliki tujuh gedung ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang olahraga. Negeri Gajah Putih itu menargetkan untuk menjadi juara di Asia dan Dunia untuk cabang olahraga tertentu. “Kita satu pun tak punya gedung iptek olahraga,” ujar Ary dengan nada kecewa.

Dia berharap, pemerintahan Jokowi-JK memberi perhatian serius pada olahraga. Olahraga tidak bisa digabungkan dengan kementerian lain. Banyak persoalan di bidang ini yang harus dibenahi. “Harus mulai dari nol. Berani melakukan perubahan,” tegas pria berhidung mancung ini. Memang, butuh waktu lama untuk melakukan perombakan, sekitar lima hingga sepuluh tahun.Ary juga berharap anggaran untuk olahraga ditingkat-kan. Dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2013, anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga sebesar Rp1,96 trilyun. Anggaran itu dibagi untuk dua sektor, pemuda dan olahrga. “Anggaran olahraga di Vietnam sepuluh tahun silam sudah Rp3 trilyun,”jelas Ary.

Dengan anggaran yang mencukupi pemerintah bisa memberi perhatian kepada mantan atlet yang sudah pensiun. Dia prihatin, beberapa mantan atlet menderita di usia tua karena tak memiliki penghasilan yang memadai. Di China, atlet berprestasi mendapat kedudukan sebagai warga utama yang mendapatkan pelayanan istimewa. Ary mengingatkan, selain anggaran yang cukup, orang yang memimpin kementerian olahraga seharusnya seorang praktisi olahraga sehingga mengetahui seluk-beluk dan kebutuhannya.

Menurut Ary, meski Indonesia sudah memiliki UU No. 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional yang menyebutkan ada tiga domain olahraga yakni Olahraga Pendidikan, Olahraga Rekreasi, dan Olahraga Prestasi namun pelaksanannya belum padu. Hanya olahraga Prestasi yang mendapat perhatian lebih, sedang Olahraga Pendidikan malah tumpah tindih pelaksanaannya karena dibimbing oleh Kemendikbud dan Kemenpora. Kondisi ini membuat pengelolaan olahraga nasional kurang efektif dan efesien.

Di samping itu, pemerintah dinilai terlambat dalam menggali potensi bisnis olahraga. Padahal, saat ini olahraga sudah menjadi industri yang mampu meng-gerakkan ekonomi suatu bangsa. Jika event olahraga dikemas secara professional maka akan memiliki daya tarik yang luar biasa. “Kalau Monaco saja bisa menggelar Formula1, masak kita gak bisa. Saya ngebayangin bisa mengadakan balap F1 yang melintasi istana negara,” ujarnya penuh harap.

Saat ini, produk-produk olahraga juga dikuasai oleh merk luar negeri, meski perlengkapan itu banyak yang diproduksi di Indonesia. “Saat Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang, bola yang dipakai produksi Indonesia,” tambah Ary. Seandainya pemerintah memiliki kesadaran terhadap kondisi ini, bukan tidak mungkin industri olahraga bisa maju dan menjadi lokomotif ekenomi baru bagi bangsa Indonesia. (jok)

Page 4: The President Post Indonesia Liputan Khusus 03

Jumlah penduduk yang terus meningkat membuat kebutuhan akan pangan juga bertambah. Akan tetapi, produktifitas pangan tidak bisa berlipat lantaran keterbatasan lahan pertanian. Pemerin-tah baru harus menyediakan lahan sekitar sejuta hekar per tahun untuk menciptakan surplus pangan.

Pembangunan pertanian selama ini belum menampak-kan hasil yang menggembirakan. Dari hasil sensus pertanian 2013, terdapat 14,25 juta rumah tangga petani gurem. “Jika satu rumah tangga terdiri dari empat orang, sudah ada 57 juta jiwa petani miskin,” ujar Ardiansyah Parman, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan tahun 2008-2012.

Petani gurem yang hanya mengelola lahan kurang dari setengah hektar tidak mungkin akan sejahtera karena produksi pangan yang dihasilkan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. “Petani gurem tidak berdaya. Mereka harus diberi lahan karena lahan kunci peningkatkan produktifitas,” lanjut Ardiansyah.

Berdasarkan perhitungan, saat ini penduduk Indonesia

berjumlah sekitar 250 juta, dan akan menjadi sekitar 267 juta pada tahun 2020. Agar suatu negara surplus pangan, diperlukan ketersediaan lahan (land/man ratio) >750 m2/kapita. Indonesia hanya tersedia lahan (basah & kering) 635 m2/kapita. Untuk mencapai land/man ratio >750 m2 pada tahun 2020 dibutuhkan lahan pertanian seluas 20.022.525 ha. Saat ini lahan pertanian (basah & kering) ada 15.312.000 ha, sehingga sampai tahun 2020 perlu perluasan areal pertanian sebesar 4.710.525 ha. Artinya, setiap tahun harus ada perluasan lahan pertanian sekitar 1.000.000 ha.

Untuk menambah lahan baru, lelaki kelahiran Banjar-masin, 24 Desember 1952 itu, mengusulkan agar pemerintah memanfaatkan lahan yang belum terpakai. Apabila ada kemauan, usaha meningkatkan produktif-itas pangan bisa tercapai. Ardiansyah melukiskan, tahun 2007 Jusuf Kalla menginginkan agar produksi padi Indonesia naik dua juta ton per tahun. Dan buktinya kita bisa mencapai target itu.

Ardiansyah juga menyoroti kemampuan pemerintah dalam menyediakan daging. Berdasarkan sensus

Ketersediaan Lahan Kunci Tingkatkan Produkti�tas

Masalah pertanahan di Indonesia semakin pelik. Sengketa tanah terus bertambah. Perlu dilakukan reforma agraria agar tercipta tanah untuk keadilan dan kesejahteran rakyat sesuai dengan amanat konstitusi. Untuk itu, pembentukan Peradilan Pertanahan yang bersifat adhoc sudah sangat mendesak.

Namun demikian pembentukan Peradilan Pertanahan harus memiliki payung hukum yang jelas. Sayangnya, hingga saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. “Saya rasa belum bisa selesai periode ini,” ujar Sri Rachma Chandrawati kepada The President Post di Jakarta, Jumat (22/8/2014). Seperti diketahui, masa tugas anggota legislatif periode 2009-2014 akan berakhir 30 Septemer 2014.

Melalui Peradilan Pertanahan, sengketa tanah mendapatkan kepastian hukum dan batas waktu yang jelas. “Kalau sekarang ini kita tidak tahu berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sengketa,” lanjut Alumni Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta itu. Karena sengketa diselesaikan melalui peradilan biasa maka waktu dan biaya yang diperlukan menjadi lebih banyak. Selesai di Pengadilan Negeri, pihak bersengketa bisa melan-jutkan ke Pengadilan Tinggi lalu mengajukan banding ke Mahkamah Agung.

“Keputusan Peradilan Pertanahan bersifat final dan mengikat,” tambah perempuan kelahiran Ponorogo, 18 Januari 1958 itu. Oleh karenanya, hakim yang akan duduk di Peradilan Pertanahan harus mempunyai dedikasi dan moral yang mumpuni. Rekrutmen harus dilakukan secara terbuka dan transparan agar publik bisa menilai kredibilitas calon hakim.

Selain membentuk Peradilan Pertanahan, pemerintah baru harus segera membentuk Komite Pertanahan. Menurut Ketua Umum Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) itu, pembentukan Komite Pertanahan adalah amanat Peraturan Presiden RI Nomor 10 tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN). Tugas Komite Pertanahan adalah memberi masukan, saran dan pertimbangan kepapa Kepala BPN dalam perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan. Komite Pertanahan beranggotakan 17 pakar bidang pertanahan dan tokoh masyarakat yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BPN.

Masalah lain yang membelit persoalan agraria di Indonesia, menurut Rachma, adalah reformasi birokrasi. Pelayanan publik di bidang pertanahan belum optimal. Program layanan rakyat untuk sertifikasi tanah (Larasita) kurang berdampak secara nasional. Pengurusan sertifikat di berbagai daerah tetap mahal dan lama. Selain itu, komitmen bersama antarinstansi pemerintah dalam pengurusan sertifikat belum padu. Akibatnya, pemerintah pusat, provinsi, kota/kabupaten berjalan sendiri-sendiri.

Peraturan dalam hal pertanahan banyak yang tumpang tindih antara kementerian dengan BPN. “Hanya presiden yang bisa menyelesaikan masalah ini,” tegas wanita yang sudah menggeluti bidang pertanahan selama 23 tahun ini. Presiden bisa meminta kemen-terian untuk mencabut aturan soal tanah yang tidak sesuai dengan mandat konstitusi atau aturan di BPN.

Rachma mengingatkan agar pemerintah serius menjalankan reformasi agraria yang mengutamakan redistribusi tanah kepada masayarakat disertai proteksi para penerima reforma agraria dengan bantuan modal. Dengan demikian tidak ada lagi petani penggarap dan

ARDIANSYAHPARMAN

h a l . 4

kesejahteraan petani meningkat. “Redistribusi tanah dari penertiban tanah terlantar dilaksanakan dengan transparan, akuntabel, cepat dan terukur,” tegasnya. Dengan redistribusi tanah, para petani, nelayan dan petambak akan memiliki tanah.

“Pemerintah baru harus melaksanakan tiga agenda prioritas,” lanjut Rachma. Tiga prioritas itu disebut Tri Agung. Reforma agraria di atas adalah prioritas pertama. Sedangkan prioritas kedua adalah pelaksanaan sertifikasi tanah di seluruh Indonesia. Program Larasita harus diperluas dan dipercepat. Bisa menggunakan layanan pertanahan bergerak menggunakan mobil.

Untuk pengurusan balik nama tanah yang sudah bersertifikat dapat dilakukan dalam sehari, one day service. Perlu pula program penertiban tanah yang berdasarkan girik dan verponding. Jika tanah dikuasi secara mutlak oleh masyarakat dan di-tandai dengan bukti kepemilikan yang mutlak maka proses pembuatan sertifikat dipercepat dalam sebuah tim yang beranggotakan surveyor, PPAT, lurah serta pimpinan kantor pertanahan setempat.

Prioritas ketiga adalah pembentukan Peradilan Pertanahan untuk mempercepat penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan. Untuk itu pemerintah harus mendorong percepatan pe-ngesahan Rancangan Undang-Undang Pertanahan, Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat serta Penyusunan Rancangan Undang-Undang Tentang Penyelesaian Konflik-konflik Agraria. (jok)

pertanian tahun 2011, jumlah sapi dan kerbau di Indonesia mencapai 16,2 juta ekor. Dua tahun kemudian, dalam sensus pertanian 2013, jumlah sapi dan kerbau menurun menjadi 14,24 juta ekor. Penurunan ini menyebabkan pemerintah gagal berswasembada daging.

Dia menyarankan agar pendekatan pemerintah dalam sektor pangan ini tidak menggunakan pendekatan sektoral melainkan pendekatan ekonomi kawasan (wilayah). Misalnya, dalam upaya mencapai swasembada daging, petani bisa melakukan penggemukan sapi. “Multi efek dari penggemukan sapi adalah lahirnya usaha pakan ternak,” jelas Ardiansyah.

Untuk menyediakan pakar ternak, petani bisa menanam sorgum di mana satu hektar lahan bisa menghasilkan 4 ton sorgum. Usaha lain yang bisa dihasilkan dari penggemukan sapi adalah pembua-tan energi berbahan kotoran sapi. Gas dari kotoran sapi bisa dimanfaatkan untuk keperluan mereka sendiri. Pendekatan semacam ini yang harus dikembangkan. (jok)

LIPUTAN KHUSUS / AGUSTUS 2014 / VOLUME #3 www.readtpp.comWebsite Twitter @TPP_Indonesia Facebook The President Post Indonesia

Page 5: The President Post Indonesia Liputan Khusus 03

h a l . 5

AHMADDIMYATI

Prospek dan Potensi Hortikultura Dilihat Sebelah MataHortikultura bisa menjadi sumber devisa yang sangat besar. Namun prospek dan potensi horti-kultura di Indonesia masih dilihat sebelah mata. Kemauan politik dari pemerintah terhadap sektor ini masih rendah yang menyebabkan pengembang-an hortikultura kurang memadai

Menurut Ahmad Dimyati, mantan Direktorat Jenderal Hortikulutura Kementerian Pertanian (Kementan) yang kini menjadi peneliti di Puslitbang Hortikultura Badan Litbang Kementan, akibat rendahnya hasrat politik untuk memperhatikan pengembangan horti-kultura ini segala aspek pendukung industri horti-kultura menjadi tidak memadai. “Lahan tidak cukup, infrastruktur kurang, akses kepada pembiayaan kurang, kelembagaan usaha kurang berkembang, riset dan inovasi lamban, pendidikan dan pelatihan juga lemah, demikian juga penyuluhan dan pendampingan usaha,” ujarnya kepada The President Post di Jakarta, Selasa (26/8/2014).

Dampak berikutnya adalah daya saing produk horti-kultura Indonesia kalah dibandingkan produk impor, termasuk untuk tanaman hortikultura asli Indonesia seperti durian. Impor durian cukup banyak dan semakin bertambah. Padahal, beberapa varietas durian lokal lebih enak dibanding durian impor. Tetapi jumlah durian unggul itu sangat terbatas sehingga tidak mencukupi. “Kualitas durian lokal sering tidak konsisten dan ketersediaan di pasar juga tidak kontinyu,” lanjutnya.

Meskpiun impor produk hortikultura tidak terlalu besar, di bawah 10% namun beberapa pihak meng-anggap impor produk hortikultura tetap melebih ekspor, baik jumlah maupun nilainya. Hal ini me-nunjukkan daya saing produk hortikultura umumnya

lebih rendah dari produk padanannya yang berasal dari luar negeri. Memang, sebagian besar dari produk impor tidak bisa atau kurang efisien diproduksi di Indonesia karena merupakan tanaman asli wilayah subtropik, seperti apel, anggur, pir, bawang putih, bawang bombay dan sebagainya.

“Melimpahnya produk hortikultura impor di Indonesia disebabkan oleh kombinasi antara besarnya jumlah konsumen dibandingkan dengan ketersediaan produk hasil negeri sendiri dengan kalahnya daya saing produk asli kita dibandingkan dengan barang impor,” ujar Dimyati.

Pemerintah tak perlu menghentikan impor horti-kultura karena daya beli yang menguat pasti meng-hendaki variasi yang semakin besar dari produk yang dikonsumsi. Mengurangi laju impor mungkin lebih realistis dan pragmatis. Maksud ini pun sebaiknya ditempuh dengan mengedepankan perbaikan di segmen hulu dan budidaya bukan dengan pengaturan di segmen perdagangan, misalnya dengan melarang impor, atau mengatur kuota impor.

“Cara yang lebih tepat adalah dengan memperbaiki segmen produksi dan distribusi produk lokal kita, sehingga lebih berdaya saing,” jelas Dimyati. Untuk produk buah tahunan, pemerintah harus mengembang-kan varietas unggul wilayah yang memenuhi selera konsumen, dengan kualitas yang konsisten serta pasokan yang tersedia lebih lama dalam setahunnya, bahkan kalau memungkinkan secara teknis tersedia sepanjang tahun.

Hal ini dimungkinkan dengan dua pendekatan. Pertama, memproduksi buah tahunan pada kawasan budidaya yang memiliki masa panen yang berbeda.

“Direktorat Jenderal Hortikultura seyogyanya sudah punya peta masa panen untuk beberapa jenis buah utama, seperti mangga, durian, dan manggis,” lanjutnya. Pendekatan kedua, dengan mengembangkan teknik pembuahan di luar musim. Teknik ini sudah berhasil diterapkan pada mangga. Di beberapa wilayah, panen mangga bisa dua kali dari plot yang berbeda. Jadi mangga bisa tersedia lebih lama. Sementara itu untuk sayuran dan buah semusim, pemerintah harus mengembangkannya dengan pengaturan luas tanam dan luas panen yang cukup untuk setiap bulannya.

Untuk meningkatkan daya saing, pemerintah harus memiliki strategi dan taktik yang sinergis di dalam memanfaatkan tiga komponen keunggulan komparatif, yaitu sumberdaya genetic hortikultura tropis yang melimpah, sumberdaya lahan dan iklim yang sangat beragam, dan sumberdaya manusia yang besar yang sekaligus berperan sebagai produsen maupun konsumen. Ketiga keunggulan komparatif ini harus bisa ditransformasikan menjadi komponen keunggulan kompetitif.

LIPUTAN KHUSUS / AGUSTUS 2014 / VOLUME #3www.readtpp.comWebsite Twitter @TPP_Indonesia Facebook The President Post Indonesia

Page 6: The President Post Indonesia Liputan Khusus 03

h a l . 6

Dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) ke-69, PT. Jababeka Tbk, menggelar lomba 17an yang diselenggarakan pada Rabu(20/8) di Hollywood Plaza, Kota Jababeka Cikarang. Lomba ini diikuti oleh para karyawan/i yang bekerja di unit- unit Jababeka. Pada lomba kali ini Jababeka menggelar beragam perlombaan diantaranya lomba memasak cap cay, karaoke, bulutangkis, futsal, lomba lari mengelilingi kota Jababeka dan aneka bazaar.

Dalam wawancaranya, Ketua Panitia Yoyok Permadi mengatakan lomba ini merupakan acara rutin yang dilakukan Jababeka setiap tahun. “untuk lombanya terbagi menjadi 2 yaitu ada yang sudah dimulai dari seminggu yang lalu (13/8) dan lomba yang dimulai hari ini (20/8),” jelasnya.

Ia memaparkan, jumlah peserta lomba tahun terdiri 30 tim yang mengikuti lomba memasak, 11 tim dan 100 peserta lomba lari.

Yoyok menjelaskan, acara ini juga bertujuan mem-perat silahturahmi. “tujuannya adalah menjalin tali sillatuhrahmi antara unit- unit yang ada di Jababeka, yang dalam kesehariannya tidak pernah bertemu” ungkapnya. Untuk tahun ini pihaknya juga mengajak Yayasan Pendidikan Universitas Presiden yang menaungi SMP, SMA Presiden dan President University untuk meramaikan acara ini.

Dalam Rangkaian acara ini, Jababeka juga mengada-kan pagelaran pentas seni dan budaya dalam rangka memperingati HUT ke- 25 Jababeka yang di adakan di aula Hollywood Plaza. Pagelaran ini dihadiri oleh jajaran Direksi PT Jababeka, Tbk diantaranya Hadi Rahardja, SD. Darmono, Tjahjadi Rahardja, Suteja Darmono, dan Hyanto Wihadhi.

Sambut HUT RI Ke-69, Jababeka Gelar Beragam Lomba

LIPUTAN KHUSUS / AGUSTUS 2014 / VOLUME #3 www.readtpp.comWebsite Twitter @TPP_Indonesia Facebook The President Post Indonesia

Page 7: The President Post Indonesia Liputan Khusus 03

h a l . 7

Hortikultura bisa menjadi sumber devisa yang sangat besar. Namun prospek dan potensi horti-kultura di Indonesia masih dilihat sebelah mata. Kemauan politik dari pemerintah terhadap sektor ini masih rendah yang menyebabkan pengembang-an hortikultura kurang memadai

Menurut Ahmad Dimyati, mantan Direktorat Jenderal Hortikulutura Kementerian Pertanian (Kementan) yang kini menjadi peneliti di Puslitbang Hortikultura Badan Litbang Kementan, akibat rendahnya hasrat politik untuk memperhatikan pengembangan horti-kultura ini segala aspek pendukung industri horti-kultura menjadi tidak memadai. “Lahan tidak cukup, infrastruktur kurang, akses kepada pembiayaan kurang, kelembagaan usaha kurang berkembang, riset dan inovasi lamban, pendidikan dan pelatihan juga lemah, demikian juga penyuluhan dan pendampingan usaha,” ujarnya kepada The President Post di Jakarta, Selasa (26/8/2014).

Dampak berikutnya adalah daya saing produk horti-kultura Indonesia kalah dibandingkan produk impor, termasuk untuk tanaman hortikultura asli Indonesia seperti durian. Impor durian cukup banyak dan semakin bertambah. Padahal, beberapa varietas durian lokal lebih enak dibanding durian impor. Tetapi jumlah durian unggul itu sangat terbatas sehingga tidak mencukupi. “Kualitas durian lokal sering tidak konsisten dan ketersediaan di pasar juga tidak kontinyu,” lanjutnya.

Meskpiun impor produk hortikultura tidak terlalu besar, di bawah 10% namun beberapa pihak meng-anggap impor produk hortikultura tetap melebih ekspor, baik jumlah maupun nilainya. Hal ini me-nunjukkan daya saing produk hortikultura umumnya

lebih rendah dari produk padanannya yang berasal dari luar negeri. Memang, sebagian besar dari produk impor tidak bisa atau kurang efisien diproduksi di Indonesia karena merupakan tanaman asli wilayah subtropik, seperti apel, anggur, pir, bawang putih, bawang bombay dan sebagainya.

“Melimpahnya produk hortikultura impor di Indonesia disebabkan oleh kombinasi antara besarnya jumlah konsumen dibandingkan dengan ketersediaan produk hasil negeri sendiri dengan kalahnya daya saing produk asli kita dibandingkan dengan barang impor,” ujar Dimyati.

Pemerintah tak perlu menghentikan impor horti-kultura karena daya beli yang menguat pasti meng-hendaki variasi yang semakin besar dari produk yang dikonsumsi. Mengurangi laju impor mungkin lebih realistis dan pragmatis. Maksud ini pun sebaiknya ditempuh dengan mengedepankan perbaikan di segmen hulu dan budidaya bukan dengan pengaturan di segmen perdagangan, misalnya dengan melarang impor, atau mengatur kuota impor.

“Cara yang lebih tepat adalah dengan memperbaiki segmen produksi dan distribusi produk lokal kita, sehingga lebih berdaya saing,” jelas Dimyati. Untuk produk buah tahunan, pemerintah harus mengembang-kan varietas unggul wilayah yang memenuhi selera konsumen, dengan kualitas yang konsisten serta pasokan yang tersedia lebih lama dalam setahunnya, bahkan kalau memungkinkan secara teknis tersedia sepanjang tahun.

Hal ini dimungkinkan dengan dua pendekatan. Pertama, memproduksi buah tahunan pada kawasan budidaya yang memiliki masa panen yang berbeda.

“Direktorat Jenderal Hortikultura seyogyanya sudah punya peta masa panen untuk beberapa jenis buah utama, seperti mangga, durian, dan manggis,” lanjutnya. Pendekatan kedua, dengan mengembangkan teknik pembuahan di luar musim. Teknik ini sudah berhasil diterapkan pada mangga. Di beberapa wilayah, panen mangga bisa dua kali dari plot yang berbeda. Jadi mangga bisa tersedia lebih lama. Sementara itu untuk sayuran dan buah semusim, pemerintah harus mengembangkannya dengan pengaturan luas tanam dan luas panen yang cukup untuk setiap bulannya.

Untuk meningkatkan daya saing, pemerintah harus memiliki strategi dan taktik yang sinergis di dalam memanfaatkan tiga komponen keunggulan komparatif, yaitu sumberdaya genetic hortikultura tropis yang melimpah, sumberdaya lahan dan iklim yang sangat beragam, dan sumberdaya manusia yang besar yang sekaligus berperan sebagai produsen maupun konsumen. Ketiga keunggulan komparatif ini harus bisa ditransformasikan menjadi komponen keunggulan kompetitif.

LIPUTAN KHUSUS / AGUSTUS 2014 / VOLUME #3

Lembaga Kajian Nusantara: Memberi Sumbangan Pemikiran untuk Pemerintah Baru

www.readtpp.comWebsite Twitter @TPP_Indonesia Facebook The President Post Indonesia

Untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, berdikari dan sejahtera bukanlah pekerjaan mudah. Dibutuhkan kerjasama seluruh elemen bangsa, termasuk sumbangan pemikiran dari para professional.

Lembaga Kajian Nusantara (LKN) yang berada di bawah organisasi masyarakat Rumah Kreasi Indonesia Hebat (RKIH) berusaha mengumpulkan para professional untuk memberi masukan kepada pemerintah dalam menghadapi berbagai tantangan. Setiap pekan, LKN menggelar diskusi panel dengan mendatangkan para ahli, akademisi dan praktisi.

“Hasil diskusi itu akan diberikan kepada pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan,” kata Samsul Hadi, Ketua Lembaga Kajian Nusantara (RKIH), di Jakarta. Beberapa bidang yang menjadi kajian tim ini adalah teknis, hukum dan ekonomi.

Menurut Samsul, pemerintahan baru yang dipimpin oleh Jokowi-JK berjanji melakukan perubahan untuk rakyat Indonesia guna mencapai kemandirian yang mensejahterakan. Kemandirian yang menyejahterakan berarti daulat pangan berbasis agribisnis kerakyatan, daulat energi berbasis kepentingan nasional, serta

restorasi ekonomi maritim Indonesia.Mantan Kepala Badan Penanaman Modal, Pember-dayaan Kekayaan, Usaha Daerah (BPMPKUD) Daerah Khusus Ibukota Jakarta ini menegaskan LKN sudah melakukan kajian di berbagai bidang jauh sebelum pemilihan presiden digelar. Mereka ingin memberi masukan kepada pemerintah baru agar keputusan yang diambil sesuai dengan kebutuhan program pemerintah ke depan.

“Kami terus melakukan kajian sebagai masukan dan pemikiran terhadap pemerintah baru 2014-2019 agar pemerintahan yang datang dapat menghadapi tantangan dan juga bekerja secara optimal,” lanjut Samsul. LKN senantiasa memperjuangkan pemerintahan yang bersih, efesien dan berdaulat.

Untuk menggapai cita-cita itu, LKN akan mengawal pemerintah baru mulai dari perumusan dan pembuatan kebijakan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi program. “Kita akan memantau pemerintahan baru. Jika ada kesalahan, kita ingatkan,” tambah Sekjen Institut Investasi Indonesia (3i) dan Sekjen Asosiasi Instasi Penanaman Modal Propinsi (AIPMP) itu.

Samsul menambahkan, pembentukan LKN dilatar-belakangi oleh kenyataan bahwa Indonesia mem-punyai banyak orang pintar. Sayang, orang-orang pintar ini berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak terkoordinasi. “SDM kita banyak yang pintar tapi jalan sendiri-sendiri, ego sektoral masih tinggi, perlu adanya revolusi mental,” kata Samsul yang juga Alumi Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

Dia pun berharap, LKN akan menjadi tempat ber-kumpul bagi para praktisi untuk memberikan pemikiran dan masukan agar Indonesia menjadi negara makmur dan sejahtera, sehingga program pembangunan dapat segera diimplementasikan. (jok)

SAMSULHADI

Saatnya Fokus ke Ekonomi KelautanSejak zaman kolonial hingga sekarang, visi

pembangunan Indonesia masih berorientasi pada

pembangunan daratan. Padahal, luas laut

Indonesia mencapai 75% dari seluruh luas

wilayahnya. Sudah saatnya Indonesia memusatkan

perhatian pada pembangunan ekonomi kelautan

guna mewujudkan bangsa yang hebat.

Hingga kini Indonesia masih menjadi negara

berkembang dengan pendapatan per kapita US$5.400.

Bandingkan dengan negara-negara lain, seperti

Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, yang sumber

daya alamnya terbatas tetapi berhasil menjadi negara

industri dengan penghasilan lebih dari US$30.000.

“IPM (Indeks Pembangunan Manusia) kita peringkat

keenam di ASEAN,” kata Rokhmin Dahuri, Guru

Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut

Pertanian Bogor (IPB) di Jakarta, belum lama ini.

Rokhmin mengatakan, sejatinya Indonesia memiliki

modal cukup untuk menjadi bangsa maju. Pertama,

jumlah penduduk yang besar, yaitu 250 juta jiwa

dengan usia produktif lebih banyak ketimbang usia

non produktif (bonus demografi). “Ini pasar yang luar

bisa besar,” tambahnya. Apalagi, jumlah kelas

menengah terus bertambah.

Modal kedua adalah kekayaan alam yang berlimpah,

baik di darat maupun laut. Ketiga adalah posisi

geoekonomis yang sangat strategis, di jantung

perdagangan global. Sekitar 45% dari seluruh

komoditas dan barang yang diperdagangkan di dunia

dengan nilai US$1.500 trilyun per tahun diangkut

melalui laut Indonesia. Sayangnya, sejak 1987 sampai

sekarang, Indonesia terus menghamburkan devisa

rata-rata US$16 miliar per tahun untuk membayar jasa

armada kapal asing yang mengangkut barang ekspor

dan impor maupun kapal asing yang beroperasi antar

pulau di dalam wilayah NKRI.

Namun demikian, pemerintah belum optimal

memanfaatkan potensi yang dimiliki bangsa

Indonesia. Selama 10 tahun terakhir, sebagian besar

(sekitar 70%) pertumbuhan ekonomi Indonesia

dihasilkan oleh sektor konsumsi, ekspor komoditas

mentah (seperti batubara, mineral, CPO, udang, ikan

tuna, dan rumput laut), jasa keuangan, dan sektor riil

non-tradeable, seperti perhotelan, apartemen, mall,

dunia hiburan, bangunan, dan jasa transportasi. Sektor

tersebut pada umumnya berada di wilayah perkotaan,

dan hanya menyerap sedikit tenaga kerja, sekitar

40.000 sampai 150.000 orang (tenaga kerja) per 1%

pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu Rokhmin menyarankan agar agenda

pembangunan ekonomi yang dikembangkan adalah

sektor-sektor (kegiatan) ekonomi yang mampu

menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar dan

memberikan penghasilan (income) yang dapat

menyejahterakan pelaku usaha dan seluruh rakyat

secara berkeadilan dan berkesinambungan sehingga

setiap warga negara minimal dapat memenuhi enam

kebutuhan dasarnya yang meliputi pangan, sandang,

perumahan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi.

Selain itu, sektor-sektor ekonomi itupun harus mampu

menghasilkan devisa secara signifikan dan

pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (di atas 7%

per tahun) secara berkesinambungan.

Rokhmin menambahkan, pembangunan ekonomi

tersebut dapat dipenuhi oleh ekonomi kelautan yang

berbasis pada pendayagunaan SDA (sumber daya

alam) dan jasa-jasa lingkungan (environmental

services) yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan.

Baik kegiatan ekonomi itu berlangsung di wilayah

pesisir dan lautan, maupun bahan baku SDA diambil

dari pesisir dan lautan, kemudian diolah di wilayah

daratan lahan atas (upland areas).

Menurutnya, Indonesia sedikitnya memiliki sebelas

sektor ekonomi kelautan, yakni: (1) perikanan

tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri

pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi

kelautan, (5) kehutanan pesisir (coastal forestry), (6)

pariwisata bahari, (7) ESDM, (8) perhubungan laut,

(9) industri dan jasa maritim, dan (10) SDA dan

jasa-jasa lingkungan kelautan non-konvensional

seperti gas hidrat, bioenergi dari alga laut, deep sea

water industries, energi laut (gelombang, pasang surut,

dan OTEC atau Ocean Thermal Energy Conversion),

dan benda-benda berharga asal muatan kapal

tenggelam (harta karun di dasar laut), serta (11)

sumberdaya wilayah pulau kecil. (jok)

LIPUTAN KHUSUS

The President PostTwitter @TPP_Indonesia Facebook The President Post Indonesia

T H E S P I R I T O F I N D O N E S I A

Pemimpin Umum/Pemimpin Perusahaan:

Pemimpin Redaksi:

Rachmat Wirasena SuryoSekretaris Redaksi:

Nourul UlfahRedaktur:Inggit AgustinaJoko Harismoyo

Reporter:Heros Barasakti

Desainer Grafis:

Nike Andriana

Advisor:Samsul HadiKunto Hernansaputro

Ali Basyah Suryo

Marketing dan Event:

Putri KenangaRonni Ferdy

Account Executive:

Achmad IqbalIke Mayasari

Sirkulasi dan Distribusi:

Maman Panjilesmana

Rifki Amiroedin

Penanggung Jawab Website:

Reza Partakusuma

Irawan Bambang Sugeng

Alamat Redaksi dan Sirkulasi:

Menara Batavia 2nd Floor

Jl. K. H. Mas Mansyur Kav. 126

Jakarta 10220Ph. (021) 57930347

Fax (021) 57930347

Email Redaksi:[email protected]

Diterbitkan oleh PT. Media Prima Nusa

www.thepresidentpost.com

www.thepresidentpostindonesia.com

Didukung Oleh:

Riset dan Sumber Daya Manusia

Bekerja Sama Dengan:PRESIDENTUNIVERSITY

LEMBAGA KAJIAN NUSANTARA

www.readtpp.comWebsite

Twitter @TPP_Indonesia

Facebook The President Post Indonesia

Read ItOnline

The President PostT H E S P I R I T O F I N D O N E S I A

Page 8: The President Post Indonesia Liputan Khusus 03

h a l . 8

ENERGI

Tim Kajian Rumah Koalisi Indonesia Hebat (RKIH) bekerjasama dengan The President Post mengadakan seminar energi dengan tema “Penge-lolaan Sektor Energi yang Memperhatikan Kepentingan Rakyat Banyak” pada Kamis, (21/8/2014) di President Lounge Menara Batavia, Jakarta. Hadir sebagai keynote speaker Luluk Sumiarso mantan Dirjen Migas Kementerian ESDM, para panelis Teguh Setiawan, Managing Director PT. Bekasi Power, Rudy Phoa, ahli geologi dan pengusaha perminyakan, dan peneliti dari Surya University Pudji Untoro.

Menurut Luluk Sumiarso, penyediaan energi di Indonesia masih didominasi oleh energi fosil (minyak bumi, gas dan batubara) sehingga belum mencermink-an energi berkelanjutan. Padahal potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia sangat besar. “Yang dimanfaatkan baru sekitar 5% karena dikesank-an mahal,” ujar mantan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam

Seminar Visi Kerakyatan Sektor Energi:Dorong Pengurangan Subsidi BBM

(2006-2008) itu.Sementara itu belum terciptanya kemandirian energi terlihat dari masih banyaknya BBM yang diimpor dari negara lain. Sekitar sepertiga kebutuhan BBM didatangkan dari luar negeri. Hal ini akan menyulitkan kita jika terjadi kenaikan harga BBM dunia. Sedang-kan prinsip berkeadilan juga belum tercipta lantaran masih ada ketimpangan dalam akses ke pasokan energi. Daerah penghasil BBM justru sering kesulitan mendapatkan BBM dengan harga wajar.

Luluk menyarankan Pemerintah baru diminta mengu-rangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) secara bertahap yang dibarengi dengan pengelolaan energi secara berkelanjutan, mandiri dan berkeadilan. Selama ini subsidi BBM salah sasaran karena justru dinikmati oleh kalangan menengah.

Rudy Phoa, ahli geologi dan pengusaha perminyakan, mengatakan sebenarnya Indonesia masih memiliki sumber minyak yang bisa dieksplorasi. Sebagian besar

eksplorasi hanya dilakukan di Indonesia bagian Barat dan Jawa, sementara di Indonesia Timur belum dimanfaatkan secara optimal. “Indonesia masih menarik untuk perusahaan pengobaran minyak,” katanya.

Soal birokrasi juga mendapat sorotan dari panelis lain, Teguh Setiawan, Managing Director PT. Bekasi Power. “Birokrasi mesti dibereskan,” ujarnya. Dari pengalaman mengelola pembangkit listrik, dia merasakan ketidakadilan. Ketika pengusaha sudah membangun pembangkit listrik tenaga gas, mereka malah dipersulit mendapatkan akses gas alam.Dia pun meminta Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak memukul rata harga listrik. “Penya-maan harga tidak fair dan menghambat investasi,” tambah Teguh. Penyamaan harga menyebabkan pembangkit listrik berbahan gas sulit bersaing dengan pembangkit berbahan batubara yang ongkos produksinya lebih murah.

Sementara itu, peneliti dari Surya University Pudji Untoro mengatakan selama ini pemerintah memili-ki banyak konsep pengelolaan energi tetapi lemah dalam implementasi. Untuk itu, pihaknya mencoba bertindak nyata mengatasi soal energi ini. Surya University menjalin kerjasama dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan menyediakan converter gas bagi kendaraan roda dua Kodam Jaya. “Ada 100 motor Kodam Jaya yang menggu-nakan converter gas,” ujar Pudji.

Pudji menghitung, jika 10% motor di Indonesia (sekitar 8 juta) menggunakan converter kit gas, pemerintah bisa menghemat anggaran Rp11 trilyun per tahun. Untuk satu liter BBM bersubsi-di motor bisa diganti dengan 0,4 kg gas. Harga premium Rp6.500, sedangkan harga 0,4 gas hanya Rp4.000 (tanpa subsidi). Selain mengembangkan converter kit untuk motor, Pudji juga mengem-bangkan listrik biofuel power plan dan pompa bahan bakar gas di Papua yang melibatkan masyarakat setempat.

LIPUTAN KHUSUS / AGUSTUS 2014 / VOLUME #3 www.readtpp.comWebsite Twitter @TPP_Indonesia Facebook The President Post Indonesia