tesis pascasarjana program studi ppw
TRANSCRIPT
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
1/22
EVALUASI IMPLEMENTASI RENCANA TATA RUANG
WILAYAH KAWASAN PESISIR PERKOTAAN
KABUPATEN MUNA
OLEH:
NAMA : NATSIR, S.Sos
STAMBUK : G2F113006
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2013
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
2/22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan (archiphelagic state) dengan
jumlah pulau besar dan kecil lebih dari 17.500 buah dan panjang garis pantai lebih
dari 81.000 km (Dahuri, 2001) menjadikan wilayah pesisir memiliki potensi
sumberdaya alam yang sangat besar. Wilayah pesisir beserta sumberdaya alamnya
memiliki arti penting bagi pembangunan ekonomi bangsa Indonesia, terlebih pada
saat ini bangsa Indonesia dilanda krisis ekonomi yang berkepanjangan. Nilai dan arti
penting pesisir dan laut bagi bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua aspek,Pertama,
secara sosial ekonomi, wilayah pesisir dan laut memiliki arti penting karena:
a) dihuni oleh sekitar 140 juta (60%) penduduk Indonesia (denganpertumbuhan rata-rata 2 % pertahun);
b) sebagian besar kota (provinsi dan kabupaten) terletak di kawasan pesisir;c) kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional 20,06 % pada tahun 1998;d) industri kelautan (coastal industries) menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja
secara langsung (Kusumastanto, 2000).
Kedua, secara biofisik, wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki arti peting
karena:
a) Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada (sekitar81 km);
b) sekitar 75 % dari wilayahnya merupakan wilayah perairan (sekitar 5,8 jutakm termasuk ZEEI;
c) Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlahpulau sekitar 17.508 pulau;
d) memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi (Dahuri, 2001).Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Zone
Planning and Management) telah diadopsi oleh pemerintah sebagai suatu model
pengelolaan yang dinilai dapat menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya
yang ada di wilayah pesisir. Secara nasional, kisi-kisi pengelolaan mengamanatkan
perlunya aspek keterpaduan dalam penerapan sistem perencanaan sehingga unsur-
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
3/22
unsur perencana terlibat secara aktif dalam seluruh tahapan pengelolaan (Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan, 2006).
Implementasi pengelolaan terpadu telah diterapakan sejumlah daerah di
Indonesia sejak awal tahun 1990-an melalui beberapa proyek, seperti pengelolaan
terumbu karang (Coremap)dan proyek pengelolaan pesisir (CRMP). Dan pada tahun
2002, pemerintah merasa perlu menjabarkan sistem perencanaan pengelolaan wilayah
pesisir dan laut dalam bentuk Keputusan Menteri Nomor 10/2002 tentang Pedoman
Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut (Departemen Kelautan dan Perikanan,
2005).
Perencanaan pengelolaan terpadu wilayah pesisir yang dimaksudkan dalam
Kepmen ini merupakan suatu kebijakan riil dalam membangun sistem perencanaan
pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia. Dalam surat keputusan itu, diisyaratkan
bahwa perencanaan pengelolaan pesisir seyogianya didasarkan pada empat dokumen
perencanaan hierarkis, yaitu Rencana Strategis (Strategic Plan), Rencana Zonasi
(Zonation Plan), Rencana Pengelolaan (Management Plan) dan Rencana Aksi
(Action Plan). Keempat dokumen perencanaan tersusun secara hierarkis, artinya
dokumen yang satu merupakan penjabaran dari dokumen yang berada di atas
tingkatan dan bersifat koheren, artinya pendekatan dan substansi perencanaan harus
konsisten bagi pemerintah daerah yang menyusunnya.
Salah satu pedoman untuk melakukan implementasi pengelolaan yang baik
adalah dengan mengacu pada sebuah perencanaan yang terpadu, dalam bentuk
dokumen rencana pengelolaan terpadu yang disusun dengan mempertimbangkan
berbagai kondisi objektif, antara lain kondisi dan potensi geografis, kultural daerah,
kemampuan pembiayaan daerah, sumberdaya manusia sebagai pendukung, serta
kelembagaan yang terkait yang diharapkan mampu mengimplementasikan rencana
strategis tersebut (Jompa, 2006).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis mengadakan penelitian
tentang evaluasi implementasi rencana tata ruang wilayah kawasan pesisir perkotaan
Kabupaten Muna.
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
4/22
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka ditarik rumusan masalah:
Apakah rencana penataan tata ruang wilayah pesisir yang telah disusun oleh
Pemerintah Kabupaten Muna telah diimplementasikan sesuai dengan rencana yang
termuat dalam dokumen?
1.3.Tujuan Penelitian1. Untuk menganalisis dokumen rencana penataan tata ruang wilayah pesisir
yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Muna.
2. Untuk menganalisis sampai seberapa jauh implementasi dari dokumenrencana penataan tata ruang wilayah pesisir yang telah disusun oleh
Pemerintah Kabupaten Muna.
1.4.Manfaat PenelitianPenelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :
1. Sebagai bahan banding dan rujukan bagi para peneliti yang relevankhususnya dalam bidang penataan tata ruang wilayah pesisir.
2. Sebagai bahan informasi kepada stakeholder di Kabupaten Muna, khususnyainstansi teknis yang terlibat dalam menyusun rencana penataan tata ruang
wilayah pesisir yang telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Muna.
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
5/22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Ruang dan Wilayah
Ruang adalah wadah kehidupan manusia beserta sumberdaya alam yang
terkandung di dalamnya meliputi bumi, air dan ruang angkasa sebagai satu kesatuan.
Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: jarak, lokasi, bentuk, dan ukuran.
Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan
segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-
unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut
wilayah (Budiharsono, 2001).
Selanjutnya Budiharsono (2001) menyebutkan definisi wilayah sebagai suatu
unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung
secara internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan
sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak
sama. Disamping itu, perlu pula diperhatikan bahwa kegiatan sosial ekonomi dalam
ruang dapat menimbulkan dampak positif maupun negative terhadap kegiatan
lainnya.
Rustiadi et al. (2002) membagi konsep wilayah atas enam jenis, yakni:
(1) Konsep-konsep wilayah klasik, yang mendefinisikan wilayah sebagai unitgeografis dengan batas-batas spesifik dimana komponen-komponen dari
wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional;
(2) Wilayah homogen, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataanbahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen,
sedangkan faktor-faktor yang tidak dominant bisa bersifat heterogen. Pada
umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya
alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep
wilayah homogen sangat bermanfaat dalam penentuan sector basis
perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada
dan pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan
masing-masing wilayah;
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
6/22
(3) Wilayah nodal, menekankan perbedaan dua komponenkomponen wilayahyang terpisah berdasarkan fungsinya. konsep wilayah nodal diumpamakan
sebagai suatu sel hidup yang mempunyai inti dan plasma. Inti adalah
pusat-pusat pelayanan/pemukiman, sedangkan plasma adalah daerah
belakang (hinterland);
(4) Wilayah sebagai sistem, dilandasi atas pemikiran bahwa komponen-komponen di suatu wilayah memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu
sama lain dan tidak terpisahkan;
(5) Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataanterdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah
maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral;
(6) Wilayah administratif-politis, berdasarkan pada suatu kenyataan bahwawilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh
suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu.
wilayah yang dipilih tergantung dari jenis analisis dan tujuan
perencanaannya. Sering pula wilayah administratif ini sebagai wilayah
otonomi. Artinya suatu wilayah yang mempunyai suatu otoritas melakukan
keputusan dan kebijaksanaan sendiri-sendiri dalam pengelolaan sumberdaya-
sumberdaya di dalamnya.
2.2. Pengertian dan Definisi Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan darat dan laut, dengan batas darat
dapat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih
mendapat pengaruh sifat-sifat laut, seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air
laut. Ke arah laut, perairan pesisir mencakup bagian batas terluar dari daerah paparan
benua yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat, seperti
sedimentasi dan aliran air tawar.
Definisi wilayah seperti diatas memberikan suatu pengertian bahwa
ekosistem perairan pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai
kekayaan habitat beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi. Selain
mempunyai potensi besar wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang mudah
terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
7/22
maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem perairan pesisir
(Dahuri et al., 1996).
Menurut Dahuri et al. (1996), hingga saat ini masih belum ada definisi
wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia
bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir
mempunyai dua macam batas (boundaries)yaitu batas yang sejajar garis pantai (long
shore)dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore).
Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat suatu wilayah pesisir
ditetapkan dalam dua macam, yaitu wilayah perencanaan (planning zone) dan batas
untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day
management). Batas wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan
dimana terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak
secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan,
sehingga batas wilayah perencanaan lebih luas dari wilayah pengaturan.
Dalam day-to-day management, pemerintah atau pihak pengelola memiliki
kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan pembangunan.
Sementara itu, bila kewenangan semacam ini berada di luar batas wilayah pengaturan
(regulation zone), maka akan menjadi tanggung jawab bersama antara instansi
pengelola wilayah pesisir dalam regulation zone dengan instansi/lembaga yang
mengelola daerah hulu atau laut lepas.
Analisis kebijakan adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan
berbagai metode penelitian dan argumen menghasilkan dan memindahkan informasi
yang relevan dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam
rangka memcahkan masalah kebijakan (Dun, 1998). Kebijakan adalah dasar bagi
pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan dengan maksud untuk membangun
suatu landasan yang jelas dalam pengambilan keputusan dan langkah yang diambil.
Kebijakan didasarkan pada masalah yang ada di daerah, selanjutnya kebijakan harus
secara terus menerus dipantau, direvisi, dan ditambah agar tetap memenuhi
kebutuhan yang terus berubah. Disebutkan juga bahwa analisis kebijakan tidak hanya
membatasi diri pada pengujian-pengujian teori deskriptif umum maupum teori-teri
ekonomi karena masalah-masalah kebijakan yang kompleks, dimana teori-teori
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
8/22
semacam ini seringkali gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para
pengambil kebijakan juga menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan
yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah, juga menghasilkan informasi
mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Jadi analisis kebijakan
meliputi dua hal yaitu sebagai evaluasi dan sebagai anjuran kebijakan.
Dun (1998) menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah setiap jenis
analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar
bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata analisa
digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung
menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya
pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen-komponen tapi juga
merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini
meliputi sejak penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang
mendahului atau untuk mengevaluasi program yang sudah selesai.
Ada tiga pendekatan dalam analisis kebijakan (Sugiyono, 2006), yaitu: (1)
pendekatan empiris, (2) pendekatan evaluatif dan (3) pendekatan normatif.
Pendekatan empiris adalah pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari kebijakan
publik, pertanyaan pokoknya adalah mengenai fakta yaitu apakah sesuatu itu ada.
Sementara pendekatan evaluatif adalah pendekatan yang berkenaan dengan
penentuan harga atau nilai dari beberapa kebijakan, pertanyaan pokoknya adalah
berapa nilai sesuatu. Sedangkan pendekatan normatif adalah pendekatan yang
terutama berkaitan dengan pengusulan arah tindakan yang dapat
memecahkan masalah kebijakan, pertanyaan pokoknya adalah tindakan apa yang
harus dilakukan.
Proses penelitian analisis kebijakan menggunakan prosedur analisis umum
yang biasa dipakai untuk memeahkan masalah-masalah kemanusiaan, yaitu :
deskriptif, prediksi, evaluasi dan rekomendasi. Dari segi waktu dan hubungannya
dengan tindakan maka prediksi dan rekomendasi, digunakan sebelum tindakan
diambil, sedangkan deskriptif dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi.
Dalam kaitannya dalam pembangunan sumberdaya wilayah pesisir dan laut,
pemerintah dan bangsa Indonesia telah memuat suatu kebijakan yang strategis dan
antisipatif. Kebijakann ini ditindaklanjuti dengan penetapan kebijaksanaan dan
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
9/22
strategi pembangunan yang mantap dan berkesinambungan (Dahuri dalam Ismail,
2000). Menurut Nurlia (1999), hal-hal yang perlu dilakukan dalam penataan ruang
kelautan dan pesisir adalah sebagai berikut :
2.3. Arah Kebijaksanaan Nasional Bidang Penataan Ruang
Kebijaksanaan pemerintah yang mempunyai peranan yang sangat penting
dan strategis untuk mnejaga kelestarian sumberdaya laut, adalah terbitnya Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, dimana secara tegas telah mengatur mengenai kewenangan
daerah dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang terdiri dari
wilayah darat dan laut sejauh 12 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas
dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), 1999-2004, mengamanatkan
agar pembangunan wilayah Indonesia dapat dilaksanakan secara seimbang dan serasi
antara dimensi pertumbuhan dengan dimensi pemerataan, antara pengembangan
Kawasan Barat dengan Kawasan Timur Indonesia, serta antara kawasan perkotaan
dengan kawasan perdesaan. Hal ini dimaksudkan agar kesenjangan pembangunan
antar wilayah dapat segera teratasi melalui pembangunan yang terencana dengan
matang, sistematis, dan bertahap. Dalam kaitan ini, maka pengembangan wilayah
merupakan sebuah pendekatan yang digunakan agar tujuan pembangunan nasional
sesuai dengan amanat GBHN diatas benar-benar dapat terwujud.
Pengembangan wilayah menekankan pula keserasian dan keseimbangan
antara pembangunan pada wilayah hulu dengan wilayah hilir, antara wilayah daratan
(main-land) dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (perairan), serta antara
kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dengan kata lain, pengembangan wilayah
menekankan adanya keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi
dengan kelestarian lingkungan, demi terselenggaranya pembangunan yang
berkelanjutan untuk generasi mendatang (development sustainability) (Darwanto,
2000)
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang terpadu, terarah dan
holistik, maka pendekatan pengembangan wilayah untuk pembangunan nasional
ditempuh dengan instrumen penataan ruang, yang terdiri dari perencanaan,
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
10/22
pembangunan (pemanfaatan ruang) dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana
Tata Ruang merupakan landasan ataupun acuan kebijakan dan strategi pembangunan
bagi sektor-sektor maupun wilayah-wilayah yang berkepentingan agar terjadi
kesatuan penanganan yang sinergis sekaligus mengurangi potensi konflik lintas
wilayah dan lintas sektoral. (Kusumastanto, 2000), selanjutnya bahwa dalam upaya
memberikan respons terhadap beratnya tantangan yang akan dihadapi pada masa
mendatang, serta mendorong percepatan otonomi daerah, maka pada tingkat nasional
ditempuh kebijakan pokok revitalisasi penataan ruang yang bertujuan untuk
mengfungsikan kembali penataan ruang sejalan dengan paradigma baru, yakni
keterbukaan, akuntabilitas sehingga mampu menjawab berbagai persoalan dan
masalah aktual yang ada sekaligus meletakan landasan pembangunan ke depan yang
lebih baik.
Selain itu, kebijakan penting lainnya yang dikembangkan adalah:
(a) penyiapan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk per-cepatandesentralisasi bidang penataan ruang ke daerah;
(b)peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapanformat dan mekanisme kelembagaan penataan ruang,
(c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui publiccampaigndan
(d)penyiapan dukungan sistem informasi penataan ruang.Sebagai penjaga kepentingan nasional, pemerintah pusat juga
mengeluarkan kerangka perencanaan makro dalam wujud RTRWN dan RTR Pulau
sebagai operasionalisasinya. Pada tingkatan rencana makro tersebut, yang merupakan
fokus penataan adalah bagaimana mewujudkan struktur perwilayahan melalui upaya
mensinergikan antar kawasan yang antara lain dicapai dengan pengaturan hirarki
fungsional yaitu: sistem kota-kota, sistem jaringan prasarana wilayah, serta fasilitasi
kerjasama lintas propinsi, kabupaten, dan kota.
Kusumastanto (2000) menyatakan bahwa mengelola pembangunan kawasan
pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang
yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan
faktor-faktor berikut : Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah
dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
11/22
pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan
pesisir. Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory
planning process)dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan
dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi
seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan. Kerjasama antar wilayah
(antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan
dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi
pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan
keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah. Penegakan hukum
yang konsisten dan konsekuen baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk
menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang
seimbang antar unsur-unsur stakeholders. Dalam hal ini instrument pengaturan bagi
wilayah pesisir perlu dirumuskan sebagai turunan dan bagian yang tidak terpisahkan
dari UU 24/1992 tentang Penataan Ruang.
2.4.Implementasi Kebijakan Penataan RuangKebijakan penataan ruang wilayah pesisir pada dasarnya ditempuh untuk
memenuhi tujuan-tujuan sebagai berikut : Mewujudkan pembangunan berkelanjutan
pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan
kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota
sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung. ;
Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya
(inhabitants)dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam
(natural hazards) lainnya; Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial
sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah
pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya
alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management). (Darwanto,
2000)
Menurut Nurlia (1999), hal-hal yang perlu dilakukan dalam penataan ruang
kelautan dan pesisir adalah sebagai berikut :
1) Pengenalan kondisi pemanfaatan ruang laut dan pesisir yang ada mencakupkegiatan analisis sumberdaya di laut, batasan wilayah laut dimana suatu
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
12/22
wilayah atau negara mempunyai wewenang, analisis pendekatan teknologi
yang mungkin dibutuhkan dalam pengembangan sumberdaya yang ada,
identifikasi sektor-sektor dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya
kelautan, identifikasi kesepakatan nasional dan konvensi internasional
mengenai pemanfaatan ruang laut serta analisis hubungan fungsional secara
sosial ekonomi antara pemanfaatan ruang laut dan udara.
2) Pengenalan dimensi spasial pembangunan suatu daerah meliputi analisistujuan dan sasaran makro pembangunan daerah, analisis pola ekonomi ruang
darat dan laut yang sesuai untuk mewujudkan tujuan pembangunan serta
analisis skenario pembangunan laut dalam konstelasi pengembangan ruang
darat dan laut secara menyeluruh dan pemilihan alternatif yang ada.
Penjabaran pola pembangunan ruang laut, kawasan-kawasan pesisir dan
kawasan konservasi di laut dan pantai. Untuk mencapai pembangunan wilayah pesisir
dsn lautan secara optimal dan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir dan laut secara terpadu (Integrated Coastal and Marine
Zone Management). Pada dasarnya arahan kebijakan pembangunan sumber daya
wilayah pesisir dan laut meliputi empat aspek utama yaitu:
(1) aspek teknis dan sosial,(2) aspek sosial ekonomi dan budaya,(3) aspek sosial politik, dan(4) aspek hukum serta kelembagaan termasuk pertahanan dan keamanan.
Implementasi kebijakan menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994)
ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasar Grindle adalah
bahwa kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual
dan biaya telah disediakan, maka implementasi kebijakan dilakukan. Tetapi ini tidak
berjalan mulus, tergantung pada implementability dari program itu, yang dapat dilihat
pada isi dan konteks kebijakannya.
Secara sederhana tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan
arah agar tujuan kebijakan dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan
pemerintah. Karena itu, hal ini akan menyangkut penciptaan sistem pelaksanaan
kebijakan yang juga merupakan alat khusus yang disusun untk mencapai tujuan
khusus. Dengan demikian, kebijakan adalah suatu pernyataan tujuan secara luas,
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
13/22
sasaran dan cara-cara, yang ekmudian diterjemahkan kedalam program-program
tindakan yang dimaksudkann untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam
kebijakan (Wibawa, 1994).
Selanjutnya Salusu (2005) menyatakan bahwa implementasi adalah
seperangkat kegiatan yang dilakukan menyusul suatu keputusan. Suatu keputusan
selalu dimaksudkan untuk mencapai sasaran tertentu, guna merealisasikan pencapaian
sasaran itu, sehingga diperlukan serangkaian aktivitas. Jadi dapat dikatakan bahwa
implementasi adalah operasionalisasi dari berbagai aktivitas guna mencapai sasaran
tertentu.
Menurut Abdullah (1988), pengertian dan unsur-unsur pokok dari proses
implementasi adalah sebagai berikut :
1) Proses implementasi program (kebijakan) adalah rangkaian tindak lanjut(setelah sabuah program atau kebijakan diterapkan), yang terdiri atas
pengambilan keputusan, langkah-langkah strategis maupun operasional yang
ditempuh guna mewujudkan suatu program atau kebijakan menjadi
kenyataan guna mencapai sasaran dari program yang ditetapkan semula.
2) Proses implementasi dalam kenyataan sesungguhnya dapat berhasil, kurangberhasil ataupun gagal sama sekali, ditinjau dari sudut hasil yang dicapai
atau out come, karena dalam proses tersebut turut bermain dan terlibat
sebagai unsur yang pengaruhnya dapat bersifat mendukung maupun
menghambat pencapaian sasaran program.
3) Dalam proses implementasi sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yangpenting dan mutlak yaitu:
a) adanya program/kebijakan yang dilaksanakan;b) target group yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan
diharapkan akan menerima manfaat dari program tersebut, perubahan
atau peningkatan; dan
c) unsur pelaksana (implementer)baik organisasi maupun perorangan yangbertanggung jawab dalam pelaksanaan dan pengawasan dari
implementasi tersebut.
Jones (1991) mengemukakan pendapat tentang pilar implementasi sebagai
berikut :
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
14/22
a. Pengorganisasian; yakni penataan kembali sumberdaya unit-unit sertametode untuk menjalankan program.
b. Interpretasi; yakni aktivitas menafsirkan agar program menjadi rencanadan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan.
c. Aplikasi; yaitu memberikan kelengkapan rutin bagi pelayanan,pembayaran, atau aktivitas lainnya sesuai dengan tujuan program.
Ada beberapa strategi yang harus ditempuh dalam proses implementasi,
strategi tersebut meliputi: (a) persiapan implementasi, dan (b) implementasi program.
Persiapan implementasi meliputi rencana program, pengumpulan data, sentralisasi
atau desentralisasi keputusan penentuan agen-agen pelaksana, sedangkan
implementasi program ada yang bersifat spasial atau sektoral. Dalam proses
implementasi ada banyak kenyataan yang dihadapi yang ikut mempengaruhi
keberhasilan program yaitu:
1) karakteristik lingkungan dimana program tersebut dilaksanakan,2) aparat pelaksana program menyangkut keterampilan, pengetahuan,
komitmen dan loyalitas,
3) otoritas yang berlaku dalam program,4) dukungan masyarakat, dan5) sistem administrasi yang berlaku dalam program (Keban, 1994).
Allison dalam Tangkilisan (2003) dalam menilai konteks implementasi
kebijakan, menampilkan tiga model pembuatan keputusan untuk implementasi yaitu:
aktor rasional, proses organisasional, dan model politik birokrasi. Kedua dan ketiga
model ini berfokus pada prosedur operasi standar (Standard Operating
Procedure/SOP) dan politik birokrasi secara berurutan dan telah memberi banyak
perhatian untuk pembuatan keputusan. Pendekatan dilakukan sesuai dengan kondisi
lingkungan masing-masing intitusi, namun tetap berfokus pada pentingnya faktor
dalam pembuatan keputusan. Dengan demikian, penekanan terhadap faktor tersebut
adalah bagaimana faktor-faktor domian tersebut mempengaruhi implementasi secara
khusus.
Mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk
memahami apa kenyataan yang terjadi sesudah program diberlakukan atau
dirumuskan, yakni peristiwa dan kegiatan terjadi setelah proses pengesahan
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
15/22
kebijakan, baik itu menyangkut usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada
masyarakat. Beberapa model dalam pengkajian implementasi kebijakan,
dikemukakan sebagai berikut (Pressman dan Wildavsky, 1984): implementation
problem approach, mengemukakan dua pertanyaan pokok, yaitu:
1) hal-hal apa saja yang merupakan prasyarat bagi suatu implementasi yangberhasil?
2) apa saja yang merupakan penghambat utama terhadap berhasilnyaimplementasi program?
Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dapat dirumuskan empat faktor atau
variabel yang merupakan prasyarat penting guna berhasilnya implementasi, yaitu:
a) Komunikasi menjadi penting karena suatu program hanya dapatdilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi pelaksana. Hal ini menyangkut
penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang
dibutuhkan.
(1)Sumberdaya; meliputi: staf yang cukup dalam arti jumlah dan mutu,informasi yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan
yang cukup untuk melaksanakan tugas serta fasilitas yang dibutuhkan
dalam pelaksanaan.
(2)Sikap birokrasi dan pelaksanaan; sikap dan komitmen para birokrasiterhadap program khususnya bagi implementasi dari suatu program
dalam hal ini aparatur birokrasi.
(3)Struktur birokrasi; adanya suatu SOP yang mengatur tata aliranpekerjaan program. Apabila tidak ada SOP maka akan sulit mencapai
hasil yang memuaskan karena penyelesaian masalah yang timbul akan
bersifat ad-hoc. Dengan demikian, penyelesaian masalah tanpa pola yang
baku.
b) Transactional model, merupakan suatu model yang memadai karena cukupkomprehensif sifatnya, sbagai kerangka pemikiran guna memahami masalah
yang dihadapi dalam proses pelaksanaan pembangunan. Pada prinsipnya
model ini bertolak dari pandangan bahwa guna memahami berbagai masalah
pada tahap pelaksanaan suatu rencana atau kebijakan, keterikatan antara
perencanaan dan implementasi tak dapat diabaikan. Proses perencanaan itu
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
16/22
sendiri tidak dapat dilihat sebagai suatu proses terpisah dari pelaksanaan.
Pada tahap implementasi berbagai kekuatan akan berpengaruh baik faktor
yang mendorong maupun menghambat pelaksanaan program.
c) Faktor-faktor untuk dipertimbangkan dalam implementasi (Chuse dalamAbdullah, 1988) mengemukakan bahwa hambatan dalam proses
implementasi program yang terkait dengan masyarakat dapat dibedakan
dalam tiga kategori, yaitu:
a. Masalah yang timbul karena kebutuhan operasional yang melekat padaprogam itu sendiri.
b. Masalah yang timbul dalam kegiatan dengan sumberdaya yangdibutuhkan guna pelaksanaan program.
c. Masalah lain yang timbul karena keterikatan dengan organisasi lainnnyauntuk memberikan dukungan, bantuan dan persetujuaan guna
melaksanakan program tersebut.
2.5.Evaluasi Implementasi KebijakanMenurut Wibawa (1994) kegiatan evaluasi dalam beberapa hal mirip dengan
pengawasan, pengendalian, penyeliaan, supervise, kontrol dan pemonitoran. Pelaku
utama kegiatan evaluasi adalah pemerintah dan juga dapat dilakukan oleh lembaga
lain. Tujuan evaluasi dapat berbeda-beda, misalnya untuk menunjukkan kegagalan
kebijakan dan untuk menunjukkan ketidakadilan yang melekat pada suatu kebijakan.
Menurut Lester dan Stewart (2000) dalam Winarno (2002) mengemukakan
bahwa evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu
kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah dijalankan meraih
dampak yang diharapkan, sedangkan menurut Jones (1991) dalam Winarno (2002)
mendefinisikan bahwa evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk
menilai manfaat suatu kebijakan. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Andeson
(1975) dalam Winarno (2002), evaluai kebijakan dapat didefinisikan sebagai
kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup
substansi, implementasi, dan dampak.
Berdasarkan beberap pengertian evaluasi kebijakan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa tujuan dilakukannya evaluasi kebijakan adalah untuk mengetahui
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
17/22
konsekuensi apa yang ditimbulkan dari pelaksanaan suatu kebijakan dengan cara
menggambarkan dampaknya dan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari
suatu kebijakan berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Secara singkat tujuan evaluasi kebijakan adalah untuk mendokumentasikan apa yang
terjadi dan mengapa itu terjadi, serta untuk mengetahui apakah ada kaitan dari
keduanya.
Perhatian khusus juga diberikan bagi pengembangan prasarana wilayah yang
strategis untuk pengembangan wilayah pesisir dalam rangka mewujudkan
pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruangnya menurut Darwanto (2000),
diantaranya:
a. Pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman, yang layak danterjangkau dengan menitikberatkan pada masyarakat miskin dan berpendapat
rendah (seperti pada permukiman nelayan), diantaranya melalui
pengembangan sistem pembiayaan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat
lokal.
b. Pengembangan prasarana dan sarana permukiman, khususnya untuk kota-kota pesisir, melalui: (a) peningkatan prasarana dan sarana perkotaan untuk
mewujudkan fungsi kota sebagai Pusat Kegiatan Nasional, Wilayah dan
Lokal; (b) pengembangan desa pusat pertumbuhan dan prasarana dan sarana
antara desa-kota untuk mendukung pengembangan agribisnis dan
agropolitan (termasuk sentra-sentra produksi kelautan); (c) mempertahankan
tingkat pelayanan dan kualitas jalan kota (arteri dan kolektor primer) bagi
kota-kota metro, besar, dan ibukota propinsi.
c. Pemantapan kehandalan prasarana jalan untuk mendukung kawasan andalan(laut dan darat), termasuk sentra-sentra produksi di wilayah pesisir, melalui:
(a) harmonisasi sistim jaringan jalan terhadap tata ruang, (b) pemantapan
kinerja pelayanan prasarana jalan terbangun melalui pemeliharaan,
rahabilitasi serta pemantapan teknologi terapan, (c) penyelesaian
pembangunan ruas jalan untuk memfungsikan sistem jaringan.
d. Pemantapan pelayanan sumber daya air, terkait dengan pembangunanwilayah pesisir melalui: (a) Pengelolaan dan konservasi sungai, danau,
waduk dan sumber air lainnya untuk menjamin ketersediaan air dan
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
18/22
pengamanan pantai untuk melindungi kawasan sentra ekonomi (termasuk
kelautan), pemukiman (perkotaan dan perdesaan) pada wilayah pesisir. (b)
Pengembangan pengelolaan sumber daya air yang terkoordinasi secara lintas
sektoral dan multi-stakeholders pada tingkat nasional, daerah dan wilayah
sungai.
Menuru Ripley dalam Wibawa (1994) terdapat beberapa persoalan yang
harus dijawab dalam suatu kegiatan evaluasi, yaitu:
1. Kelompok dan kepentingan mana yang memiliki akses di dalam pembuatankebijakan?
2. Apakah proses pembuatannya cukup rinci, terbuka dan memenuhi prosedur?3. Apakah program didesain secara logis?4. Apakah sumberdaya yang menjadi input program telah cukup memadai
untuk mencapai tujuan?
5. Apakah standar implementasi yang baik menurut kebijakan itu?6. Apakah program dilaksanakan sesuai standar efisiensi dan ekonomi?7. Apakah kelompok sasaran memperoleh pelayanan dan barang seperti yang
didesain dalam program?
8. Apakah program memberikan dampak kepada kelompok non-sasaran?9. Apa dampaknya, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan
terhadap masyarakat?
10. Kapan tindakan program dilakukan dan dampaknya diterima olehmasyarakat?
11. Apakah tindakan dan dampak tersebut sesuai dengan yang diharapkan?
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
19/22
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
20/22
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
Perkembangan Kota Muna akan membawa pengaruh besar terhadap
lingkungannya termasuk lingkungan pesisir. Hal ini karena perkembangan kota akan
diiringi dengan perkembangan teknologi, industri, pertumbuhan penduduk, sarana
pemukiman, fasilitas umum dan sosial, serta sarana transportasi yang akan
memberikan tekanan terhadap lingkungan. Apabila hal ini tidak dikelola, maka
kemungkinan besar akan menimbulkan masalah lingkungan (fisik, kimia, biologi,
sosial, ekonomi, dan budaya) yang lebih kompleks dan mengakibatkan degradasi
lingkungan termasuk degradasi lingkungan pesisir yang pada akhirnya akan
berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir terutama nelayan.
Kondisi eksisting di pesisir Kota Muna antara lain dapat dijelaskan sebagai
berikut:
A. Kondisi BiofisikBeberapa tahun terakhir ini terjadinya penurunan luasan terumbu karang dan
mangrove. Ancaman intrusi air laut di wilayah ini mulai dirasakan masyarakat
sekitar. Hal ini disebabkan antara lain oleh pemakaian air bawah tanah yang tinggi
untuk aktivitas perumahan. Ancaman lain yang juga kerap melanda pesisir Kabupaten
Muna adalah masalah banjir. Banjir yang terjadi antara lain disebabkan oleh alur
sungai yang menyempit karena permukiman atau reklamasi pantai di bantaran sungai
dan pembuangan sampah ke alur sungai.
B. Kondisi Sosial EkonomiPesisir Muna masih menyimpan potensi besar dalam pariwisata pantai yang
ditunjang oleh letaknya yang dekat dengan pusat kota. Sumberdaya alam berupa
pariwisata pantai yang besar ini sayangnya belum dikelola secara optimal dan
pengelolaan yang ada sekarang belum memperhatikan aspek keberlanjutan. Masalah
sosial ekonomi yang lain adalah tingginya tingkat pengeboman ikan. Cara seperti ini
memang mudah untuk dilakukan namun sangat membahayakan nelayan maupun
lingkungan sekitarnya. Penggunaan bahan peledak ini menjadikan metode
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
21/22
penangkapan ikan menjadi tidak selektif karena peluang matinya ikan-ikan berukuran
kecil menjadi semakin tinggi, bahkan tidak jarang dapat merusak terumbu karang.
Selain itu permasalahan sosial ekonomi lain di wilayah ini adalah rendahnya mutu
sumberdaya manusia (SDM) yang rata-rata tamat sekolah dasar.
C. Kondisi KelembagaanKelembagaan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pengelolaan
pesisir secara terpadu. Hal yang menjadi masalah berkenaan dengan kelembagaan
dalam pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Muna, antara lain: institusi pengelola
wilayah pesisir belum berfungsi secara optimal, rendahnya penaatan dan penegakan
hukum disamping belum adanya peraturan daerah yang mengatur secara khusus
pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan, serta penataan ruang wilayah pesisir yang
belum optimal.
Kondisi diatas merupakan permasalahan yang terdapat di wilayah pesisir
Kabupaten Muna. Pemerintah Kabupaten Muna sebenarnya telah menuangkan
berbagai kebijakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Namun sampai sejauh ini,
berbagai kebijakan yang telah dituangkan belum mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir secara luas dan merata.
Permasalahan-permasalahan yang saat ini melanda desa/kel di wilayah
pesisir Kabupaten Muna berakar pada belum optimalnya arahan pengembangan di
kawasan penelitian.
Kawasan pesisir merupakan kawasan yang paling mendapat tekanan di
Kabupaten Muna akibat tingginya intensitas pemanfaatan sumberdaya di kawasan ini.
Berkembangnya kawasan ini menjadi permukiman, perhubungan, pariwisata, dan
perikanan menjadikan kawasan ini salah satu kawasan yang paling terancam secara
ekologis dan rawan terhadap berbagai konflik sosial ekonomi. Identifikasi potensi dan
arah pengembangan desa/kel. di kawasan ini diharapkan dapat memberikan kerangka
dasar penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan.
Analisis pengembangan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
tipologi wilayah, yang terbagi atas dua, yakni dengan melihat keragaan relatif tingkat
perkembangan desa/kelurahan pesisir dibanding dengan desa/kelurahan umumnya di
Kabupaten Muna dan melihat keterkaitan antara tipologi dan perkembangan desa
-
7/22/2019 Tesis Pascasarjana Program Studi Ppw
22/22
dengan faktor-faktor penciri/karakteristik desa. Hasil analisis ini kemudian dijadikan
dasar pemikiran untuk menyusun strategi pengembangan dan pengelolaan sosial
ekonomi wilayah pesisir Kabupaten Muna.