tesis evaluasi kebijakan kemitraan pengusahaan pariwisata alam ( ppa ) taman nasional bali barat

267
T E S I S EVALUASI KEBIJAKAN KEMITRAAN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM TAMAN NASIONAL BALI BARAT DALAM MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Disusun Oleh : NAMA : Nyoman Rudana NOMOR POKOK : 08.D.040 PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar Magister Administrasi Publik (M.AP) dalam Ilmu Administrasi 1

Upload: nyoman-rudana

Post on 27-Jul-2015

8.223 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

TESIS

DALAM MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

EVALUASI KEBIJAKAN KEMITRAAN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM TAMAN NASIONAL BALI BARAT

Disusun Oleh :

NAMA NOMOR POKOK PROGRAM STUDI

: Nyoman Rudana : 08.D.040 : MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar Magister Administrasi Publik (M.AP) dalam Ilmu Administrasi

PROGRAM MAGISTER ILMU ADMINISTRASI SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA JAKARTA 2009

1

PROGRAM MAGISTER ILMU ADMINISTRASI SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM STUDI MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH

LEMBAR PERSETUJUAN TESIS

Judul Tesis :

EVALUASI KEBIJAKAN KEMITRAAN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM TAMAN NASIONAL BALI BARAT DALAM MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Diterima dan disetujui untuk dipertahankan

Pembimbing Tesis

( Prof. Dr. Johanes Basuki, M.Psi )

(Prof. Dr. Juni Pranoto, M.Pd)

2

PROGRAM MAGISTER ILMU ADMINISTRASI SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM STUDI MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH

LEMBAR PENGESAHAN NAMA NOMOR POKOK JUDUL TESIS : NYOMAN RUDANA : 08.D.040 : EVALUASI KEBIJAKAN KEMITRAAN PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM TAMAN NASIONAL BALI BARAT DALAM MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH

Telah mempertahankan Tesis di hadapan Panitia Penguji Tesis Program Magister Ilmu Administrasi, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara, Pada : Hari Tanggal Pukul : Senin : 3 Agustus 2009 : 09.00 TELAH DINYATAKAN LULUS PANITIA PENGUJI TESIS : Ketua Sidang : Dr. Muhammad Taufiq, DEA Sekretaris : Dr. Adi Suryanto, M.Si : ............................... :

............................... Pembimbing Tesis : Prof. Dr. Johanes Basuki, M.Psi ............................... Pembimbing Tesis .............................. : Prof. Dr. Juni Pranoto, M.Pd : :

3

PERNYATAAN

Tesis ini merupakan tulisan murni saya dan bukan merupakan hasil tulisan/penelitian yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik tertentu pada universitas atau institusi maupun yang sederajat. Adapun isi dari tesis ini belum pernah ditulis atau dipublikasikan oleh orang lain, kecuali beberapa hal pokok yang berupa kutipan-kutipan yang telah mengangkat dan memberikan motivasi yang kuat untuk membantu terlaksananya penelitian ini.

Jakarta,

3 Agustus 2009

NYOMAN RUDANA NPM. 08.D. 040

4

PROGRAM MAGISTER ILMU ADMINISTRASI SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM STUDI MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH

ABSTRAK

Nyoman Rudana,08.D.040,Evaluasi Kebijakan Kemitraan Pengusahaan Pariwisata Alam Taman Nasional Bali Barat dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan 140 halaman, 5 Bab, 13 tabel, 3 gambar, 6 peta, 18 foto, 13 lampiran Daftar Pustaka 57 buku dan peraturan (1980-2008) Pembangunan berkelanjutan ( sustainability development ) dengan tiga pilar yaitu aspek ekonomi, lingkungan serta sosial dalam pelaksanaannya dilaksanakan dengan melibatkan pihak swasta, mengingat keterbatasan pemerintah dana, sumber daya serta keahlian, tidak terkecuali ekowisata, dimana pengelolaan Taman Nasional termasuk di dalamnya. Dalam kemitraan pemerintah dengan swasta, terdapat perbedaan kepentingan yang mendasar. Pemerintah ( Dephut ) berkepentingan memberikan pelayanan publik melalui pelestarian lingkungan hidup di Taman Nasional Bali Barat. Di sisi lain, PT SBW berorientasi mengejar keuntungan. Namun dalam kenyataan keduanya disatukan dalam kemitraan dalam bentuk konsesi yang berjalan saat ini. Fokus penelitian adalah evaluasi kebijakan kemitraan pengusahaan pariwisata alam (PPA ) Taman Nasional Bali Barat dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada PT. Shorea Barito Wisata (SBW ) antara tahun 2003 sampai 2009. Landasan kebijakan yang diteliti adalah Keputusan Menteri Kehutanan no 184 / Kpts II / 1998, tentang Pemberian Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT.Shorea Barito Wisata Pada Sebagian Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat, yang selaras dengan pembangunan berkelanjutan yaitu aspek pembangunan ekonomi, aspek lingkungan hidup, dan aspek sosial. Acuan teori yang kemudian diterjemahkan ke dalam kerangka berpikir adalah pembangunan berkelanjutan menurut Askarz dengan tiga pilarnya yang meliputi aspek ekonomi, lingkungan hidup dan aspek sosial

5

Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dengan melakukan observasi langsung dan wawancara dengan informan sebagai data primer dan telaah dokumen sebagai data sekunder, dengan melakukan triangulasi pada saat pengolahan data. Dari penelitian ditemukan bahwa menyangkut kebijakan kemitraan bidang pembangunan ekonomi, kurang ada koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, dimana wilayah TNBB sebagai kawasan ekowisata, tidak didukung oleh aliran listrik yang memadai. Kendala eksternal seperti krisis global, penyakit flu babi, flu burung, serta ancaman bom dan terorisme, harus pula dicermati. Terkait kebijakan kemitraan dalam aspek lingkungan hidup, PT. SBW sudah melakukan reforestasi,pelestarian curik Bali, pembersihan pantai, patroli bersama melalui FKMPP ( Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir ) dan lain-lain. Masyarakat desa Sumber Klampok mendukung dengan landasan awig awig adat. Namun upaya penegakan hukum bagi pelanggar hukum masih kurang optimal. Terkait aspek sosial, PT. SBW merekrut penduduk desa Sumber Klampok sebagai karyawan di Waka Shorea, Resort and Spa, bermitra dengan masyarakat dalam pengelolaan perahu motor untuk wisata bahari, pengelolaan lahan parkir, memberi bantuan bantuan bibit tanaman tahunan, serta bantuan bea siswa kepada siswa SD. Ditemukan juga inkonsistensi kebijakan antara pusat dan daerah yaitu adanya pungutan ganda untuk retribusi hotel dan restoran. Beberapa hal yang disarankan adalah bahwa untuk mendukung kebijakan kemitraan dalam pembangunan ekonomi diperlukan kebijakan TNBB yang dikelola swasta. Selain itu Pemda Buleleng harus mampu meningkatkan daya saing daerah dengan memberikan stimulus insentif bagi para calon investor untuk pengembangan wilayah TNBB sebagai kawasan ekowisata. Juga perlu ada promosi pariwisata bersama antara dinas budpar dan swasta. Terkait pelestarian lingkungan, dapat dilakukan program tree adoption untuk mempertahankan keasrian kawasan TNBB serta starling adoption, yaitu pelepasliaran curik ( jalak ) Bali untuk mempertahankan populasinya yang kian langka. Hal ini dapat dilakukan dengan upaya pemberdayaan masyarakat ( aspek sosial dari pembangunan berkelanjutan). Juga nilai nilai sakral di wilayah TNBB terutama di sekitar kawasan Waka Shorea Resort and Spa perlu dipahami sebagai modal budaya yang penting untuk dilestarikan. Terakhir, untuk mengatasi inkonsistensi kebijakan, perlu dilakukan sinkronisasi kebijakan antara pusat dan daerah dengan membuat perda yang tidak bertentangan dengan kebijakan di atasnya.

6

MAGISTER PROGRAM OF ADMINISTRATION SCIENCE GRADUATE SCHOOL OF ADMINISTRATION SCIENCE NATIONAL INSTITUTE OF PUBLIC ADMINISTRATIONMASTER DEGREE DEVELOPMENT PROGRAM ON THE MANAGEMENT OF REGIONAL

ABSTRACT

Nyoman Rudana ,08.D.040, Evaluation of The Partnership Policy on Nature Tourism Concession of West Bali National Park in Achieving Sustainable Deve-lopment. 140 pages 5 chapters, 13 tables, 3 pictures, 6 maps, 18 photographs, 13 appendices, bibliography of 57 books and regulations ( 1980 2008 ).

Sustainable development with its three pilars of economics, environment and social aspects are conducted with private sectors as government partners due to the limitation of the government in funding, resources and skills. In this case, ecotourism including the National Parks is also included. There is different interest in the Public Private Partnership ( PPP ) between the government ( The Ministry of Forestry ) and the private sector ( PT. Shorea Barito Wisata ), in which government must serve public in sustainable development in West Bali National Park situated in Buleleng and Jembrana regencies (or Taman nasional Bali Barat / TNBB ) in Bahasa, while the private sector has single interest in profit maximation. But in this study, both interests were united into concession form of PPP which has been lasted since 1998 up to now and the TNBB examined was the one in Buleleng regency only where Waka Shorea Resort and Spa was located. This study was focused on the Evaluation of The Partnership Policy on Nature Tourism Concession of West Bali National Park in Achieving Sustainable Development applied to PT. SBW between 2003 2009. The underlying policy examined was the Minister of Forestry Decree no 184/ Kpts II / 1998, on The Nature Tourism Concession Permit given to PT.Shorea Barito Wisata on Some Parts of the Intensive Use Zone of West Bali National Park ( TNBB ), in accordance to the sustainable development aspects that are economy viable, socially acceptable dan environmental sound. The theory reference depicted in the frame of thought was the theory of sustainable development from Askarz with the three pillars of economics, environment and social aspects. This study used descriptive method with qualitative approach, with direct observation and interviews with informants as primary data and documents 7

study as secondary data, using triangulation technique during data processing. Some facts found from the study was that referring to the partnership policy in economic development, where there was lack of coordination between central and regional governments, in which TNBB up to now is not fully supported by electricity infrastructure which is very essential for ecotourism development. External obstacles such as global economic crisis, disease ( swine flu, bird flu ), bomb threats and terrorism should also be acknowledged. Regarding the partnership policy in evnvironmental aspect, PT. SBW has managed some actions including reforestation, Bali starling conservation, coastal clean up, sea patrol program collaborating with the Coastal Care Society Communication Forum ( FKMPP ) etc. Local socities in Sumber Klampok village have also supported these environmental actions by implementing their own awig awig rules concerning resources conservation. But this action needs further law of enforcement which has not yet fully implemented yet. Regarding partnership policy in social aspect, PT SBW has also taken many actions in society empowerment, by recruiting the local people to be their employees at Waka Shorea Resort and Spa where they were trained according to the hotel standard. Also, this company has established partnership with the local people in marine tourism, gave away scholarships to children and seeds of productive plants ( bamboos, fruits, chillis ). During the study, there were some findings found regarding some policy inconsistencies between central and regional governments, with major finding related to double taxation for hotel and restaurant retribution. Some policy recommendations that could be taken into actions are as follow: infrastructured policy in power generation ( electricity ) for TNBB area is very much needed to support the partnership policy in economic aspect. Regional government of Buleleng should also be able to increase the competitive ability by establishing incentive stimulus for investors. Co promotion between PT SBW and local cultural and tourism office should also be taken into action. Regarding conservation effort, tree adoption and starling adoption can be applied to maintain the sustainability of the local origin trees and the starling birds. These actions can be done by involving local socities therefore they can also be considered as the people empowerment programs. Also, the value of local genious in the Waka Shorea Resort and Spa and its surrounding should also be preserved. At last, extra effort should be taken into consideration by both central and local governments for sincronizing the policies from top level to lower ones by developing perda or local regulations that are inline with the higher regulations.

8

KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan tesis ini dapat terselesaikan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Administrasi Publik (MAP). Penulis yakin dalam penulisan ini masih perlu penyempurnaan materi, redaksi dan metodologinya, oleh karena itu dengan segala kerendahan

hati, kritik dan sumbang saran berbagai pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Penulis menghaturkan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Prof. Dr. Johanes Basuki, M.Psi selaku dosen pembimbing I dan Prof. Dr. Juni Pranoto, M.Pd selaku dosen pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Dengan segala hormat penulis mengucapkan terima kasih

sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Johanes Basuki, M.Psi, Ketua STIA LAN Jakarta, yang memiliki komitmen tinggi dalam memajukan ilmu pengetahuan dalam administrasi publik. 2. Para anggota majelis penguji, yang dengan tekun dan perhatian membangun disiplin serta sangat memperhatikan pendapat

pendapat peneliti selama ini.

9

3. Bapak/Ibu Para Dosen pengajar, yang telah mengajarkan ilmu yang bermanfaat bagi peneliti dan membangkitkan semangat belajar demi kemajuan ilmu pengetahuan. 4. Para Kabag beserta staf STIA LAN Jakarta, termasuk para sfat administrasi dan perpustakaan yang telah memberikan dukungan sehingga peneliti mampu menyelesaikan penelitian ini. 5. Ir. Iwan J Prawira, Direktur PT. Shorea Barito Wisata yang mengijinkan penulis untuk meneliti kebijakan kemitraan serta memberikan data dan informasi yang diperlukan, dan memberikan pemahaman mengenai usaha ekowisata yang bermanfaat bagi peneliti, serta memberikan tempat bermalam selama penulis mengadakan penelitian. 6. Drs.P.Bambang Darmadja,MS, Kepala Balai TNBB (Departemen

Kehutanan) dan Drs. Putu Tastra, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buleleng, yang telah memberikan kesempatan seluas luasnya bagi peneliti serta memberikan fasilitas bagi peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini. 7. Putu Artana ( Kepala Desa Sumber Klampok), Jero Made Kampium (Klian Desa pakraman Sumber Klampok), Moh. Djatim (Tokoh masyarakat Islam), Rusdi Dedeg (Prajuru adat) dan masyarakat desa Sumber Klampok yang telah banyak memberikan pencerahan kepada penulis mengenai peran masyarakat dalam pelestarian lingkungan hidup khususnya TNBB. 8. Istri Ni Wayan Olasthini tercinta dan anak anak saya ( Putu Supadma Rudana,MBA, Kadek Ari Putra Rudana,SE, Komang Kristina Rudana, MIB dan Friska Rudana yang senantiasa mendampingi,

10

memberi dukungan, doa serta semangat sehingga terselesaikannya penelitian ini. 9. Seluruh staf dan fotografer yang telah membantu dengan penuh rasa bakti dan tanggung jawab. 10. Rekan-rekan studiwan program magister MPD STIA LAN Jakarta angkatan 2008 serta semua pihak yang telah memberikan bantuan moril dan spirituil yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Akhir kata semoga STIA LAN Jakarta semakin maju dan mencetak insan insan pelayan publik yang menjunjung tinggi nilai nilai budaya bangsa dalam meweujudkan Indonesia yang kokoh dan unggul serta masyarakat yang sejahtera.

Jakarta, 3 Agustus 2009

Penulis

NR

11

DAFTAR ISI

Lembar Judul ........................................................... ............................... Lembar Persetujuan............................................................................. .... Lembar .....................................................................................

i ii

Pengesahan ....................iii iv v vii ix xii xvi xvii xix xx xxi

Pernyataan............................................................................. .................. Abstrak ( Indonesia )............................................................................. ... Abstrak ( Inggris )..................................................................................... Kata Pengantar................................................................. ....................... Daftar Isi.................................................................................. ................. Daftar Istilah.............................................................................. ............... Daftar Tabel.............................................................................. ................ Daftar Gambar.......................................................................................... Daftar Peta......................................................................... ...................... Daftar Foto................................................................... ............................

Daftar Lampiran............................................................ ........................... xxiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan ............................................ B. Pokok Permasalahan .......................................... ................ C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................ ........... 1. Tujuan Penelitian .................................... ......................... 2. Manfaat Penelitian ......................................... .................. BAB II KERANGKA TEORI A. Tinjauan Teori dan Konsep Kunci.......................... ................ 1. Kemitraan Pemerintah dan Swasta................................... 2. Kebijakan Publik........................................ ......................... a. Teori Kebijakan Publik....................... ............................. b. Evaluasi Kebijakan.................................. ....................... 3. Pembangunan. Berkelanjutan............................................. . 12 11 11 18 18 21 30 1 8 8 10 10

a. Teori Pembangunan Berkelanjutan................... .......... b. Kebijakan Terkait Pembangunan Berkelanjutan. ...... c. Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan dan Ekowisata ................................................................. ... d. Pengembangan Ekowisata Indonesia di Taman Nasional............................................................ ........... B Kerangka Berpikir................................................. .............. C Pertanyaan Penelitian.............................................. .......... BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ................................. ............................... B. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data ........................ 1. Instrumen Penelitian ................................ ...................... 2. Teknik Pengumpulan Data ............................... .............. a. Teknik Observasi ............................................. .......... b. Wawancara ....................................................... .......... c. Studi Dokumentasi dan Kepustakaan ........................ C. Prosedur Pengolahan Data dan Analisa ........................... BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Taman Nasional Bali Barat........................ 1. Data Pokok .................................................. ...................... 2. Visi, Misi dan Prinsip Pengelolaan TNBB......................... 3. Penataan Organisasi Taman Nasional Bali Barat............. 4. Pengembangan Pariwisata Alam...................................... a. Pengusahaan Pariwisata Alam.....................................

30 33 36 44 48 50

51 52 52 53 54 55 57 58

63 63 67 67 68 68

b. Sarana Penunjang Kegiatan Wisata Alam .................... 69 c. Lokasi Wisata di kawasan TNBB................................... 71 B. Pengusahaan Pariwisata Alam oleh PT. Shorea Barito Wisata Pada Sebagian Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat ...................................................................... .............. 1. Data Pokok ................................................................... a. Letak, Luas, dan Batas Areal Pengusahaan ................ b. Iklim...................................................................... ............ 13 73 74 74 76

c. Potensi Biologi..................................................... ...... 76 1). Flora................................................................. 2). Fauna.............................................. ..................... 3). Biota Perairan...................................... ................ 76 79 81

d. Aksesibilitas..................................................... ........... 83 e. Demografi Masyarakat Sekitar TNBB....................... 85 1). Kependudukan........................................... ........... 2). Pola Penggunaan Lahan........................ .............. 3). Kondisi Perekonomian....................................... ... 4). Pendidikan, Kesehatandan Fasilitas Umum........ 5). Budaya Masyarakat ......................................... 2. Dasar Dasar Kebijakan untuk Evaluasi Kebijakan Kemitraan PPA TNBB ............................................ 3. Struktur Organisasi PT. Shorea............................. C. Analisa dan Pembahasan ............................................... ..... 1. Peran Balai TNBB dalam Pengusahaan Pariwisata Alam TNBB................................................................... .. 96 2. Peran PT. SBW dalam Kemitraan Pengusahaan Pariwisata Alam dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan.......................................................... . 103 a. Peran PT.SBW dalam Pembangunan Ekonomi ........................................................... 103 1). Pelaksanaan Pembangunan Sarana dan Prasarana di TNBB .................................... 2).Pengembangan Kepariwisataan..................... b. Peran PT. SBW dalam Pelestarian Lingkungan Hidup 1). Pengelolaan Sumber Daya Alam........................... 114 2). Pengelolaan Kebersihan Lingkungan dan Pengendalian Kelestarian Perairan di Sekitar Wilayah PPA TNBB ............................ .................... 116 3). Upaya Pencegahan Dampak Perubahan Iklim...... 117 14 103 109 89 92 94 85 86 86 87 88

4). Upaya Perlindungan dan Keamanan Hutan Di Wilayah PPA TNBB.......................................... .. 118 5). Upaya Menjamin Keamanan dan Ketertiban Pengunjung..................................................... c. Peran PT. SBW dalam Aspek Sosial 1). Pemberdayaan Masyarakat............................... ..... 122 2). Mempertahankan Kearifan Lokal........................... 125 3. Kendala Kendala yang Dihadapi a. Terkait dengan Kebijakan Kemitraan dalam Aspek Pembangunan Ekonomi............................. ................... 127 b. Terkait dengan Kebijakan Kemitraan dalam Aspek Lingkungan Hidup..................................................... ...... 128 c. Terkait dengan Kebijakan Kemitraan dalam Aspek Sosial ( Pemberdayaan Masyarakat)............................ . 129 d. Inkonsistensi Kebijakan antara Pusat dan Daerah...... 130 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................... .............................. 133 B. Saran........................................................................ ................ 137 DAFTAR PUSTAKA 119

15

DAFTAR ISTILAH

1. TNBB 2. PPA 3. Wilayah PPA

Taman Nasional Bali Barat Pengusahaan Pariwisata alam Wilayah PPA yang dikelola oleh PT. Shorea Barito Wisata (PT. SBW ) yang meliputi Blok I Gilimanuk di kabupaten Jembrana, Blok II Tanjung Kotal dan Blok III Labuan Lalang. Blok II dan III berada di kabupaten Buleleng.

4. PT. SBW

PT. Shorea Barito Wisata

5. Waka Shorea Resort and Spa Butik hotel yang merupakan bagian dari grup hotel Waka, yang dikelola oleh PT. SBW. Waka Shorea terletak di Blok II Tanjung Kotal, kabupaten Buleleng

16

DAFTAR TABEL

Nomor

Judul Tabel

Halaman

1. Alokasi Tanggung Jawab Berdasarkan Pilihan Bentuk PPP / KPS................................................................................ 17 2. Perbandingan antara Evaluasi Formatif dan Evauasi Sumatif... 3. Indikator evaluasi kebijakan menurut Dunn.............................. 4. Prinsip dan Kriteria Ekowisata.................................................. 5. Key Informan Penelitian................................................................. 6. Batas Areal Kerja Pengusahaan Pariwisata Alam (PPA) PT.SBW.................................................................................. 7. Struktur tegakan, Komposisi jenis, dominasi atau Indek Nilai Penting (INP), keanekaragaman jenis (H) dan jenis dilindungi .......................................................................... 8. Kondisi habitat, kelimpahan dan keanekaragaman jenis dan tropik satwa liar................................................................. 9. Penduduk di sekitar areal Pengusahaan Pariwisata Alam (PPA) .............................................................................85 10. Potensi Wisata Alam di wilayah PPA TNBB ......................... 11. Jenis kegiatan dan produk usaha yang akan dan sudah dikembangkan..................................................................... 12. Obyek Wisata Alam di Luar Kawasan TNBB........................ 106 110 105 79 77 74 25 27 42 56

13. Proyeksi dan pencapaian jumlah pengunjung baik di area kerja PPA maupun di kawasan TNBB secara umum .................... 111

17

DAFTAR GAMBAR

Nomor 1. 2. 3.

Judul Gambar Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan .. Kerangka berpikir ................................................. Struktur organisasi PT. Shorea Barito Wisata.......

Halaman 33 49 92

18

DAFTAR PETA

Nomor 1. 2. 3.

Judul Peta

Halaman I III IV V VI

50 Taman Nasional di Indonesia .............................. Peta Lokasi Taman Nasional Barat .......................... Lokasi Waka Shorea Resort and Spa.......................

4. Areal usaha Pengusahaan Pariwisata Alam PT. SBW.... 5. Hasil Uji Petik Sarana dan Prasana Blok II Tanjung Kotal ..

6. Hasil Uji Petik Sarana dan Prasarana Blok III Labuan Lalang... VII

19

DAFTAR FOTO Nomor Judul Foto Halaman 63 66 70 73 77 82 94 95 96

1. Penulis di TNBB............................................. 2. Curik Bali ( burung jalak putih )....................... 3. Kantor Balai TNBB di desa Cekik, Gilimanuk, kabupaten Jembrana ................................................................... 4. Dolpihin Watching di Pulau Menjangan 5. Hutan mangrove di TNBB 6. Terumbu karang di pulau Menjangan 7. Waka Shorea Resort and Spa ........................ 8. Pantai di Waka Shorea Resort and Spa.......... 9. Kepala Balai TNBB drs. Bambang Dharmadja.. 10. Kandang pelepasliaran curik Bali di Teluk Brumbun Kabupaten Buleleng................................................ 98 11. Polisi hutan Balai TNBB di Resort Teluk Brumbun Kabupaten Buleleng .......................................... 12. Kepala Desa Sumber Klampok, Klian Desa Pakraman dan stafnya di Kantor Kepala Desa.. 13. Direktur PT. Shorea Barito Wisata Ir. Iwan J. Prawira ... 108 14. Penulis bersama wisatawan Austria di Waka Shorea Resort and Spa ...................................................

98 102

114

20

Nomor

Judul Foto

Halaman

15. Warning sign bagi pengunjung.. 121 16. Perahu motor milik koperasi nelayan Desa Sumber Klampok.................................................................. 17. 18. Salah satu pura di kawasan TNBB...................... Menghaturkan sesajen sebagai salah bentuk kearifan lokal ............................................................. 127 123 126

21

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pedoman Observasi 2. Transkrip Wawancara 3. Keputusan Menteri Kehutanan no 184 / Kpts II / 1998 tentang Pemberian Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT.Shorea Barito Wisata Pada Sebagian Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat 4. Keputusan Menteri Kehutanan No. 566/Kpts-II/1999 tanggal 21 Juli 1999 tentang Penetapan Batas Areal Kerja PT.Shorea Barito Wisata 5. Surat Edaran Menteri Kehutanan RI no SE 2/ Menhut-IV / 2007 tentang Perijinan dan pungutan pajak / retribusi, dalam pengusahaan pariwisata alam di kawasan konservasi 6 Juli 2007 6. Surat dari Sekda Buleleng no 970/ 919 / Dispenda tentang Pengenaan Pajak Hotel dan Pajak Restaurant di Kawasan TNBB tanggal 17 September 2007 7. Surat dari PT. SBW kepada Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Dirjen PHKA Dephut tentang Pajak PHR tanggal 10 Januari 2008 8. Surat Teguran I dari Dispenda Kabupaten Buleleng kepada PT. SBW no973 / 02/ Pjk daerah / Dispenda / 08 tentang Tunggakan PHR , 8 Januari 2008 9. Surat Teguran II dari dari Dispenda Kabupaten Buleleng kepada PT. SBW no 973 / 1403 / Dispenda / 2008 tentang Tunggakan PHR, 17

22

Nopember 2008 10. Surat dari STIA LAN kepada Kepala Balai TNBB no 470 / II/3/6 /2009 tanggal 22 Juni 2009 11. Jawaban surat dari Balai TNBB ( Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi ( SIMAKSI ) no S 823 / BTNBB 1 /2009 12. Daftar Riwayat Hidup

23

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan Pembangunan berkelanjutan ( sustainability development ) bukanlah hal baru namun banyak yang masih mempunyai pengertian bahwa istilah berkelanjutan berkaitan dengan lingkungan hidup semata. Padahal ada tiga pilar dalam berlangsungnya pembangunan berkelanjutan yaitu aspek ekonomi, sosial serta lingkungan. Peraturan Presiden RI no 7 tahun 2005 tentang RPJMN 2004 2009 Bab 32 mengenai Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai upaya memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang. Seluruh kegiatannya harus dilandasi tiga pilar pembangunan secara seimbang yaitu menguntungkan secara ekonomi ( economy viable ), diterima secara sosial ( socially acceptable ) dan ramah lingkungan ( environmental sound ). Prinsip tersebut harus dijabarkan dalam bentuk instrumen kebijakan dan peraturan perundangan lingkungan yang dapat mendorong investasi pembangunan jangka menengah. Dalam pelaksanaannya, seringkali karena keterbatasannya, baik keterbatasan dana, sumber daya serta keahlian, melibatkan pihak swasta dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan di berbagai bidang, tidak terkecuali dalam bidang ekowisata, dimana pengelolaan Taman Nasional termasuk di dalamnya. Ekowisata telah menjadi trend baru di dunia Internasional sebagai salah satu dari isu 4T (Transportation, Telecommuni-cation, Tourism dan Technology) dalam milenium ketiga. Ekowisata tidak hanya diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara regional maupun lokal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun juga memelihara kelestarian sumber daya alam, dalam hal ini keaneka ragaman hayati sebagai daya tarik

24

wisata. Penyelenggaraan ekowisata secara umum tercantum dalam Undang Undang Alam. Khusus untuk propinsi Bali, Pemerintah Propinsi Bali merumuskan pembangunan berkelanjutan tersebut dalam Rencana Strategis atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah ( RPJM ) 2003 2008 yaitu Terwujudnya Bali Dwipa Jaya Berlandaskan Tri Hita Karana. Bali Dwipa Jaya dalam konteks pembangunan, merupakan suatu proses pembangunan yang dinamis dilandasi oleh nilai, norma, tradisi, dan kearifan lokal yang bersumber pada budaya Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu sehingga terwujud kesejahteraan sosial (jagadhita), ekonomi, kelestarian budaya dan lingkungan hidup yang harmonis dan berkesinambungan. Dalam RPJM ini terdapat tiga sektor utama pembangunan sebagai prioritas yaitu sektor pertanian dalam arti luas, sektor pariwisata yang bermodalkan kebudayaan dan sektor industri dan kerajinan terutama yang berkaitan pariwisata. Filosofi Tri Hita Karana ( tiga cara mencapai kedamaian ) terkandung makna hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya (parahyangan ), antara manusia dengan sesamanya dengan sektor pertanian dan Nomor 9 / 1990 tentang Kepariwisataan, pasal 18 mengenai Pengelompokan Pengusahaan Obyek dan Daya Tarik Wisata

( pawongan ), serta manusia dengan alam sekitarnya ( palemahan ). Tri Hita Karana diterapkan dalam setiap sektor kehidupan masyarakatnya. Salah satu unsurnya menjelaskan hubungan antara manusia dengan alam sekitar / lingkungannya, yang merupakan dasar yang kuat bagi masyarakat Bali untuk sedapat mungkin menjaga kelastarian alamnya,

25

tidak hanya untuk keberlangsungan pariwisata namun terutama untuk keberlangsungan hidup. Dalam Tri Hita Karana terkandung kemitraan di antara semua stakeholder / pemangku pentingan dalam pembangunan pariwisata, yaitu antara pemerintah, industri pariwisata, masyarakat ,lokal, Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ), serta lembaga donor internasional. Seperti sudah sempat disinggung di atas, dalam pengelolaan Taman Nasional, di beberapa daerah, pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan bermitra dengan dunia usaha swasta dalam mengembangkan wilayah taman nasional yang luas tersebut menjadi kawasan wisata potensial yang mampu menjadi destinasi wisata baru selain wisata pantai atau wisata budaya yang sudah lebih dahulu berkembang. Saat ini terdapat 50 Taman Nasional di Indonesia ( peta 1), menurut data dari Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan tahun 2004 yang pengelolaannya di bawah Departemen Kehutanan. Enam diantaranya, ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Sites), yaitu Taman Nasional Ujung Kulon ( Jawa Barat ), Taman Nasional Komodo ( NTT), Taman Nasional Lorentz di Papua, dan tiga Taman Nasional di Sumatra yang termasuk dalam Tropical Rainforest Heritage, yaitu Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Gunung Leuser ( http:// www.unep-wcmc.org/sites/ wh/ index.html ).

26

Satu satunya Taman Nasional di Bali adalahTaman Nasional Bali Barat (TNBB) ( peta 2 ), yang secara administratif terletak di kabupaten Jembrana dan Buleleng. Menurut Undang Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Sedangkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam dijelaskan lebih lanjut bahwa Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam tersebut untuk kegiatan pariwisata dapat diselenggarakan melalui kegiatan pengusahaan pariwisata alam, dimana penyelenggaraannya perlu dilakukan dengan sebaik - baiknya sehingga tidak merusak lingkungan kawasan.

Terkait dengan pengelolaan Taman Nasional Bali Barat ( TNBB ), Departemen Kehutanan bermitra dengan tiga perusahaan swasta, yaitu PT. Shorea Barito Wisata, PT. Trimbawan Swastama Sejati ( Penyediaan Resort dengan wisata alam sebagai atraksi wisata ) , dan PT. Disthi Kumala Bahari ( Pengusahaan pariwisata alam dengan penangkaran mutiara sebagai atraksi wisata ). Mengingat luasnya wilayah TNBB

maka penelitian ini difokuskan kepada kemitraan antara pemerintah dengan PT. Shorea Barito Wisata ( SBW ), sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan no 184 / Kpts II / 1998 tentang 27

Pemberian Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT.Shorea Barito Wisata Pada Sebagian Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat ( terlampir ). Penelitian dilakukan di wilayah pengelolaan yang berada di Blok II Tanjung Kotal, dan Blok III Labuan Lalang. Waka Shorea Resort and Spa ( peta 3 ) yang dibangun di blok II Tanjung Kotal, yang menjadi fokus penelitian, adalah hotel butik yang berada di bawah payung PT. SBW. Dalam websitenya ( http://www.tnbalibarat.com/ ) serta Buku Informasi Taman Nasional Bali Barat dijelaskan bahwa TNBB masih melimpah, habitat dan letak geomorfologinya serta keindahan alamnya. mempunyai luas 19.002,89 ha. terdiri dari kawasan terestrial seluas 15.587,89 ha. dan kawasan perairan seluas 3.415 ha. Sebagai salah satu kawasan konservasi, pengelolaan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) ditujukan untuk :

1.

Perlindungan populasi curik ( jalak ) Bali serta ekosistem lain seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, hutan pantai dan hutan daratan rendah sampai pegunungan sebagai sistem penyangga kehidupan terutama ditujukan untuk menjaga keaslian, keutuhan dan keragaman suksesi alam dalam unit-unit ekosistem yang mantap dan mampu mendukung kehidupan secara optimal.

2. Pengawetan keragaman jenis flora dan fauna serta ekosistemnya ditujukan untuk melindungi, memulihkan keaslian, mengembangkan populasi dan keragaman genetik dalam kawasan TNBB dari gangguan manusia.

28

3. Pemanfaatan secara lestari Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya ditujukan untuk berbagai pemanfaatan seperti: sebagai laboratorium lapangan bagi peneliti untuk pengembangan ilmu dan teknologi. 4. Sebagai tempat pendidikan untuk kepentingan meningkatkan

pengetahuan dan ketrampilan bagi masyarakat.

5.

Obyek wisata akan pada zona khusus pemanfaatan yang dapat dibangun fasilitas pariwisata.

6.

Menunjang budidaya penangkaran jenis flora dan fauna dalam rangka memenuhi kebutuhan protein, binatang kesayangan dan tumbuhan obat-obatan.

Menurut pengamatan awal dari penulis, kebijakan kemitraan pemerintah dengan PT. Shorea Barito Wisata ( SBW ) sebagai sebuah perusahaan swasta memiliki beberapa masalah yang perlu dicermati lebih jauh. Kepentingan antara pemerintah dan PT SBW pada dasarnya memiliki resiko yang cukup besar. Ini disebabkan perbedaan kepentingan yang mendasar dari kedua pihak yang bermitra. Pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Kehutanan memiliki kepentingan memberikan pelayanan publik melalui pelestarian lingkungan hidup di Taman Nasional Bali Barat. Disisi lain, PT SBW adalah sebuah perusahaan swasta yang berorientasi tunggal yaitu mengejar keuntungan. Namun dalam kenyataan kedua organisasi yang memiliki kepentingan berbeda tersebut bisa disatukan dalam kemitraan yang berjalan saat ini. Bentuk kerjasama yang dilakukan melalui cara konsesi memiliki resiko dimana PT SBW dapat saja bertindak yang bertentangan dengan prinsip sustainable development. Kedua, masalah potensi konflik antara PT SBW dengan masyarakat di sekitar Taman Nasional Bali Barat. Hal ini disebabkan persaingan dalam pemanfaatan sumber daya alam di dalam Taman Nasional tersebut. Untuk melihat lebih jauh permasalahan tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat penelitian ini dengan tema judul Evaluasi

29

Kebijakan Nasional

Kemitraan Bali

dalam

Pengusahaan

Pariwisata

Taman

Barat

dalam

Mewujudkan

Pembangunan

Berkelanjutan. Beberapa pertimbangan penting tentang mengapa penelitian ini dilakukan yaitu bahwa masih kurang atau bahkan belum ada penelitian menyangkut upaya kemitraan di TNBB. Juga sampai sekarang sebagian besar Taman Nasional masih dikelola oleh pemerintah sehingga belum optimal pemanfaatannya dalam menunjang pembangunan berkelanjutan termasuk dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Kemitraan dalam pengelolaan TNBB dapat dijadikan contoh bagi Taman Nasional lain. Selain itu lokasi TNBB yang berada di wilayah yang bukan merupakan sentra industri pariwisata yaitu di kabupaten Buleleng dan Jembrana yang jauh dari Denpasar ( sekitar 4 jam jarak tempuh dengan mobil ), juga merupakan tantangan tersendiri bagi para stakeholdernya dalam mengembangkan wilayah tersebut menjadi wilayah tujuan wisata. Dalam upaya kemitraan ini juga dapat diamati adanya berbagai kebijakan di daerah ( kabupaten Buleleng ) yang tidak konsisten dengan kebijakan di atasnya, sehingga dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang tentunya memberatkan pengusaha swasta, yang pada akhirnya membuat kemitraan tersebut tidak seimbang adanya. Kesadaran mengenai pentingnya pemeliharaan lingkungan hidup yang secara umum rendah pada masyarakat Indonesia, karena tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi yang rata rata masih rendah, sehingga kurang peleduliannya terhadap hal hal yang dianggap tidak langsung berhubungan dengan tingkat kesejahteraannya, serta tidak adanya sangsi yang tegas dari aparat penegak hukum terhadap pelaku tindak perusakan lingkungan hidup, juga menjadi pendorong yang kuat mengapa penelitian ini dilakukan. Dalam implementasi kemitraan dapat diamati bagaimana para pengusaha yang beroperasi di Bali berbisnis sambil tetap mempertahankan kearifan lokal yang menjadi landasan filosofi hidup masyarakat Bali yaitu Tri Hita Karana, yang menempatkan keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam sekitar sama pentingnya dengan keharmonisan hubungan antar manusia.

30

B. Fokus Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan seperti yang telah dijelaskan di atas, tentunya diperlukan pembatasan fokus permasalahan sehingga penelitian menjadi lebih terarah. Sebenarnya ijin PPA ( pengusahaan pariwisata alam ) sesuai SK Menteri Kehutanan no 184 / Kpts II / 1998 tentang Pemberian Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT.Shorea Barito Wisata Pada Sebagian Zona Pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat berlaku di Kabupaten Buleleng dan Jembrana namun karena wilayah yang dikembangkan oleh PT. Shorea Barito Wisata adalah blok II Tanjung Kotal ( dimana Waka Shorea Resort and Spa berada ) dan blok III Labuan Lalang, yang keduanya berlokasi di kabupaten Buleleng, sedangkan di Blok I Gilimanuk, lokasi masih berupa lahan kosong, serta adanya keterbatasan waktu penelitian, maka lokus penelitian dilakukan pada kabupaten Buleleng. ( peta 4,5,6 ). Fokus penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana evaluasi kebijakan kemitraan dalam pengusahaan pariwisata alam Taman Nasional Bali Barat dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan ?. Sebagai studi kasus adalah PT. Shorea Barito Wisata berdasarkan kepada Keputusan Menteri Kehutanan no 184 / Kpts II / 1998. Sedangkan dalam batasan waktu, penelitian ini mengambil data terkait dengan kebijakan kemitraan Departemen Kehutanan dengan PT SBW yang berlangsung dari tahun 2003-2009.

31

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kebijakan kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam pengelolaan pariwisata alam TNBB di Kabupaten Buleleng dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan studi kasus PT. Shorea Barito Wisata. Temuan temuan yang didapat nantinya dianalisa dan diberikan usulan jalan keluarnya.

2. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut : a. Aspek Akademis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi bagi penelitian tentang evaluasi kebijakan kemitraan antara

pemerintah dan swasta terkait metodologi yang digunakan dan interaksi antar stakeholders yang terkait dengan ekowisata, ataupun penelitian yang sejenis serta memperkaya dunia akademis di bidang kebijakan kemitraan dalam pengelolaan ekowisata.

b. Aspek Praktis

1. Departemen Kehutanan :Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan evaluasi kebijakan publik bagi Departemen Kehutanan dan pelaksanaan kebijakan oleh Balai TNBB sebagai kepanjangan tangan Departemen Kehutanan di lapangan dalam menjalankan kebijakan dari pusat

32

yang bersifat kemitraan, bersama dengan mitra swastanya yaitu PT. Shorea Barito Wisata.

2.

Kabupaten Buleleng : mendorong timbulnya political will dari pemda Buleleng untuk lebih mempromosikan kemitraan pemerintah swasta ( KPS ) obyek wisata alam di Bali.

3. Bagi pihak PT. Shorea Barito Wisata : Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penilaian yang obyektif mengenai keberlangsungan dan daya saing perusahaan dengan tetap mempertahankan kaidah pembangunan berkelanjutan. 4. Bagi masyarakat Bali ( khususnya di sekitar kawasan TNBB ) : Memberikan masukan yang berharga mengenai bagaimana

masyarakat dapat meningkatkan partisipasinya dalam menjaga lingkungan, dan bekerjasama dengan pemerintah Balai TNBB dan PT. Shorea Barito Wisata dalam budaya dan ekonominya. meningkatkan kegiatan sosial

33

BAB II KERANGKA TEORI

A. Tinjauan Teori dan Konsep Kunci Terkait dengan tema yang dipilih dalam penelitian ini, yaitu tentang evaluasi kebijakan kemitraan pengelolaan pariwisata alam ( PPA ) Taman Nasional Bali Barat ( TNBB ) di kabupaten Buleleng, maka beberapa teori dan konsep kunci yang dianggap relevan untuk dibahas, adalah tentang kemitraan, evaluasi kebijakan publik, pembangunan berkelanjutan,

pembangunan pariwisata berkelanjutan, ekowisata serta pengertian mengenai Taman Nasional.

1. Kemitraan pemerintah dan swasta ( KPS ) Globalisasi yang begitu cepat menuntut pelayanan publik untuk dapat memenuhi harapan masyarakat yang kebutuhannya meningkat dan cakupannya makin luas. Untuk itu diperlukan kerjasama yang baik antara sektor publik, yaitu pemerintah dan swasta sebagai penggerak ekonomi, yang dapat diformulasikan ke dalam Kemitraan Sektor Publik dan Swasta yang dikenal dengan istilah Public Private Partnerships ( PPP ). Terminologi kerjasama ( partnership ) atau kemitraan, lazim

digunakan untuk menggambarkan sebuah jalinan kerja antara dua atau lebih individu / organisasi untuk memproduksi suatu barang (goods) atau memberikan suatu pelayanan jasa (service delivery) ( Kariem, 2003:12 ). Pakar lain (Savas, 1988; Donahue, 1992) menambahkan bahwa kemitraan sering juga dilihat sebagai proses peningkatan kualitas 34

layanan atau produk dengan atau tanpa penurunan beban biaya (increasing quality of service and reducing cost). Dengan demikian kemitraan dapat memainkan peran yang signifikan dalam menciptakan sebuah nilai yang terbaik di mana proses peningkatan mutu diharapkan terjadi dengan tanpa menambahkan beban biaya. Dalam kerangka kebijakan, kemitraan merupakan prinsip ke 11 dari good governance versi Bappenas, yaitu kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat ( private and civil society partnership). Menurut Bappenas, dalam Modul Penerapan Prinsip Prinsip Tata Pemerintahan yang Baik ( Bappenas 2007 : 105 ) , kemitraan harus didasarkan pada kebutuhan rill (demand driven). Sektor swasta seringkali sulit tumbuh karena mengalami hambatan birokratis (red tape) seperti sulitnya memperoleh berbagai bentuk izin dan kemudahan lainnya. Hambatan ini harus diakhiri antara lain dengan pembentukan pelayanan satu atap, pelayanan terpadu, dan sebagainya. Indikator minimal yang diperlukan adalah pemahaman aparat pemerintah tentang pola-pola kemitraan, lingkungan yang kondusif bagi masyarakat kurang mampu (powerless) untuk berkarya, terbukanya kesempatan bagi masyarakat / dunia usaha swasta untuk turut berperan dalam penyediaan pelayanan umum, pemberdayaan institusi ekonomi lokal/ usaha mikro, kecil dan menengah. Sedangkan perangkat pendukung indikatornya adalah peraturan - peraturan dan pedoman yang mendorong kemitraan pemerintah - dunia usaha swasta masyarakat, peraturan yang berpihak pada masyarakat kurang mampu, serta adanya program program pemberdayaan. Beberapa pertimbangan pengembangkan kemitraan ( Kariem, 2003 :16 )

35

: a. Efisiensi dan kualitas, dimana kemitraan merupakan sarana untuk meningkatkan efisiensi dan peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat. Hal ini dibangun melalui penyertaan modal ataupun bentuk kontrak (contracting out). b. Efektivitas, dimana setiap organisasi dalam rangka mencapai

tujuannya dituntut untuk semaksimal mungkin sesuai dengan yang telah ditetapkannya (efektif) dan dengan menggunakan sumber daya sekecil-kecilnya (efisien). Namun apabila terjadi dinamika internal misalnya, menonjolnya kepentingan pribadi (vested interest) dari para anggota organisasi dalam menjalankan tugasnya, keterbatasan

kemampuan pelaksana, dan konflik antar anggota, maka harus dilakukan monitoring dan pengendalian. c. Memacu dinamika organisasi, dimana dengan membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menjadi mitra, kerjasama pemerintah maka akan membuka peluang usaha lebih banyak bagi masyarakat. d. Membagi resiko dan keuntungan (risk and benefit sharing) dengan mitra kerjanya. Selain juga menciptakan keuntungan bagi kedua belah pihak. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan melakukan kemitraan menurut Society of Information Technology Management ( SOCITM ) (1999 ) adalah : (1)Fleksibilitas untuk menyelesaikan masalah, khususnya dalam

"transactional contract". (2) Menjadi jalan keluar dari permasalahan kekurangan modal dan atau kekurangan kompetensi keahlian untuk melakukan sebuah kegiatan (3) Mengeliminasi aspek duplikasi dalam alokasi sumber daya dan program kerja. (4) Menjaga keberlanjutan

36

keluaran (outcomes) dari produk dan jasa yang dihasilkan. Dalam kemitraan akan tercipta sebuah mekanisme check and balance dari dua belah pihak yang bekerjasama. Indikator yang dapat dipakai yang cenderung mengikat dalam kemitraan antara pemerintah dan swasta menurut Agenda 21 Sektoral Indikator Pembangunan Berkelanjutan ( Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2000:36 ) antara lain adalah : (1) rasa saling menghargai dan memahami misi dan mandat masing masing, (2) kepedulian terhadap mitra yang lemah, (3) komunikasi yang jelas dan lancar, (4) transparansi dalam pengambilan keputusan. Selain itu peran swasta juga dapat dipantau melalui hal hal : (1) menjaga ekonomi pasar yang kompetitif, (2) mengundang investor dalam dan luar negeri, (3) menciptakan lapangan kerja, (4) mengawasi jalannya pemerintahan dalam pelayanan kepada usaha swasta, (5) peduli terhadap masalah lingkungan dan manusia. Ada beberapa model kemitraan yang didasarkan pada derajat risiko yang ditanggung kedua belah pihak; jumlah keahlian yang diperlukan dari setiap pihak untuk menegosiasikan perjanjian; serta implikasi yang muncul dari hubungan tersebut, sebagai berikut ( Saleh, 2008: 30 38 ) :

1. Penjualan Aset ( Asset Sales ) yaitu penjualan aset sektor publik yangberlebihan. 2. Perluasan Pasar ( Wider Markets ) yaitu masuknya ketrampilan dan keu-angan sektor swasta untuk meningkatkan nilai guna aset ( fisik dan intelek-tual ) pada sektor publik.

37

3. Penjualan Usaha Bisnis ( Sales of Businesses ) yang merupakan penjualan sebagian kecil atau besar saham BUMN / BUMD dengan mengambangkan (floatation ) atau mengobralnya ( trade sale ) di bursa saham / pasar modal. 4. Perusahaan Berkemitraan ( Partnership Companies ), melalui

masuknya kepemilikan seckor swasta ke dalam BUMN / BUMD, dengan tetap menjamin / mengedepankan kepentingan public dan tujuan kebijakan publik melalui pengaturan, legislasi, perjanjian kemitraan atau menahan saham khusus pemerintah. 5. Prakarsa Pendanaan Swasta ( PFI = Financially Free Standing Projects ) yaitu kontrak jangka panjang sektor swasta untuk membeli kualitas pelayanan sektor publik dengan tingkat kinerja tertentu, termasuk memelihara dan atau membangun infrastruktur tertentu. 6. Kemitraan dalam Kebijakan ( Policy Partnership ) yaitu pengaturan yang melibatkan swasta baik sebagai individu maupun kelompok dalam mengem-bangkan atau melaksanakan kebijakan publik Selanjutnya Saleh mengatakan bahwa aplikasi dari model kemitraan di atas dapat dilakukan dalam bentuk : 1. Kontrak Pelayanan ( Service Contracts ) atau outsourcing, yang lebih banyak menitikberatkan pada peran pemerintah, dari sisi investasi maupun penyediaan jasa layanan. Outsourcing paling efisien dari segi biaya, namun tidak dapat diterapkan pada pelayanan publik yang pengelolaan utilitasnya tidak efisien dan pemulihan biayanya buruk. 2. Kontrak pengelolaan ( management contract ), yang melibatkan swasta dalam hal managerial atau lebih jauh lagi, menerapkan insentif

38

lebih

besar

untuk

mencapai

tingkat

efisiensi

tertentu

dengan

menetapkan target kinerja berdasarkan remunerasi minimal. 3. Kontrak sewa ( leases ) merupakan model kemitraan yang paling

tepat untuk mencapai efisiensi operasi tapi terbatas untuk lingkup proyek investasi baru. Sering direkomendasikan sebagai batu loncatan menuju peran serta . 4. Konsesi ( concession ), dimana swasta bertanggung jawab dalam pengoperasian, pemeliharaan serta nvestasi. Dalam praktek, sistem ini banyak dilaksanakan secara patungan ( joint venture ) antara pemerintah dan badan usaha dengan membentuk perusahaan baru. Ekuitas dalam perusahaan mayoritas dikuasai pemerintah. 5. Bangun Operasi Alih / Milik ( BOA ) atau Build Operate Transfer ( BOT ) / Own Contract pengaturannya mirip konsesi, diutamakan untuk menyediakan jasa layanan skala besar, tapi normalnya berlaku untuk proyek proyek yang kental dengan tuntutan berwawasan lingkungan. Peran swasta adalah membangun utilitas baru, mengoperasikan untuk jangka waktu tertentu dengan memperoleh manfaat dan menanggung resiko darinya, dan pada akhir kontrak mengalihkan semua hak kembali kepada sektor publik. BOM ( Bangun Operasi Milik ) adalah varian BOA, dimana setelah waktu tertentu asset menjadi milik swasta. 6. Divestasi Sebagian / Penuh ( Full or Partial Divestation ), dimana divestasi asset sektor publik dapat dilakukan melalui penjualan saham, asset, atau manajemen baik parsial maupun total Tugas

39

pemerintah terbatas pada pengaturan, yang menjamin terlindunginya kepentingan konsumen dari harga monopolistik dan buruknya layanan. Tabel 1. Alokasi Tanggung Jawab Berdasarkan Pilihan Bentuk PPP / KPSBentuk & Tanggung Jawab Pemilikan Asset Operasi & Pelihar a Modal Investas i Resiko Komersi al Jangka Waktu (th)

K o n tr a k P e la y a n a n K o n tr a k M a n aj e m e n P e n ye w a a an K o n se s i BOA D iv e s t as i

Publik

Publik & swasta Swasta

Publik

Publik

1 -2

Publik

Publik

Publik

3-5

Publik Publik Publik dan swasta Publik atau Publik dan swasta

Swasta Swasta Swasta Swasta

Publik Swasta Swasta Swasta

Publik dan swasta Swasta Swasta Swasta

8 - 15 25 - 30 20 - 30 Tidak terhingga( perlu dibatasi dengan ijin )

Model PPP juga dapat menjadi alternatif untuk mendorong investasi karena ada kepastian pengembalian modal dan keuntungan bagi pihak swasta yang menanamkan modalnya. PPP tidak hanya visibel bagi proyek-proyek infrastruktur yang padat modal, tapi juga dapat diterapkan untuk berbagai jenis pemeliharaan fasilitas publik, seperti pemeliharaan jalan, tempat rekreasi, dan gedung-gedung pemerintah. Biaya

pemeliharaan fasilitas tersebut umumnya menjadi beban anggaran publik,

40

padahal biaya yang diperlukan cukup besar, sehingga melalui PPP, biaya tersebut dapat ditanggung bersama oleh pihak-pihak yang bermitra.

Dalam penelitian ini, kemitraan antara pemerintah dan swasta merupakan kerjasama konsesi, dimana PT. Shorea Barito Wisata ( SBW ) mendapatkan hak pengusahaan pariwisata alam ( PPA ) di TNBB selama 30 tahun sejak tahun 1998 yang dapat diperpanjang kembali. Untuk itu semua pendanaan dalam pembangunan sarana prasarana serta pemeliharaan kelestarian alam serta perlindungan keamanan hutan menjadi tanggung jawab PT. SBW sepenuhnya. Dengan kemitraan ini, Departemen Kehutanan dapat membagi tanggung jawabnya dalam menjaga kelestarian hutan yang memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan pihak swasta selain mendapatkan keuntungan juga dapat membantu menjalankan fungsi pelayanan publik.

2. Kebijakan Publik a. Teori Kebijakan Publik Secara Umum, istilah "Kebijakan" atau "Policy" dipergunakan untuk menunjukkan perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, ataupun suatu lembaga pemerintah atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Lembaga Administrasi Negara (1982 : 2), merumuskan pengertian kebijakan sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dari aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan. Mustopadidjaja dalam makalah Kebijakan Publik, Teori dan Aplikasi ( 2008 ) menyatakan bahwa kebijakan pubik adalah keputusan yang diambil oleh instansi yang berkewenangan, dan

41

dimaksudkan untuk mengatasi masalah tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu, yang penting bagi kepentingan publik. Thomas R. Dye ( 1998 : 2 ) mengatakan bahwa public policy is wahetever government choose to do or not to do. Sedangkan menurut William N. Dunn (2003 : 109), kebijakan publik adalah serangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah. Kebijakan publik sebagai keputusan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara tersebut ( LAN, 2005:106) : 1. merupakan kebijakan yang berupa pilihan bagi Pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 2. bertujuan menghadapi situasi atau permasalahan tertentu yang bermakna "demi kepentingan publik", dalam rangka memperbaiki kualitas kehidupan dan penghidupan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, aman, dan sejahtera. 3. memandu penyelenggaraan pelayanan publik yang dilaksanakan aparatur pemerintah; berdasarkan pada peraturan perundangundangan, yang dikeluarkan oleh lembaga negara yang berwenang 4. berdasarkan pada peraturan perundang undangan yang dikeluarkan oleh lembaga negara yang berwenang. Sedangkan sistem kebijakan menurut Mustopadijaja ( 2005: 7 ) adalah : Tatanan kelembagaan yang berperan atau merupakan "wahana" dalam penyelenggaraan sebagian atau keseluruhan "proses kebijakan" (formulasi, implementasi, dan evaluasi kinerja kebijakan) yang mengakomodasikan kegiatan tehnis (technical process) maupun sosiopolitis (socio- political process) serta saling hubungan atau interaksi antar empat faktor dinamik yaitu (1) lingkungan kebijakan, (2) pembuat dan pelaksana kebijakan, (3) kebijakan itu sendiri, dan (4) kelompok sasaran kebijakan. Lingkungan kebijakan (policy environment) adalah keadaan

42

yang melatarbelakangi atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya "issues" kebijakan (policy issues), yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh para pelaku kebijakan dan oleh sesuatu kebijakan; (2) pembuat dan pelaksana kebijakan (policy maker and implementer), adalah orang atau sekelompok orang, atau organisasi yang mempunyai "peranan tertentu" dalam proses kebijakan, sebab mereka berada dalam posisi menentukan atau pun mempengaruhi baik dalam pembuatan kebijakan ataupun dalam tahap lainnya, seperti pelaksanaan, pengawasan, dan penilaian atas hasil atau kinerja yang dicapai dalam perkembangan pelaksanaan kebijakan; (3) kebijakan itu sendiri (policy contents), adalah keputusan atas sejumlah pilihan yang kurang lebih berhubungan satu sama lain yang dimaksudkan untuk mencapai sejumlah tujuan tertentu; dan (4) kelompok sasaran kebijakan (target groups), adalah orang atau sekelompok orang, atau organisasi dalam masyarakat yang perilaku dan atau keadaannya ingin dipengaruhi oleh kebijakan bersangkutan" (Mustopadidjaja AR, 1988). Proses kebijakan publik dilakukan melalui beberapa tahapan ( LAN 2005:128): 1. Identifikasi permasalahan : mengemukakan tuntutan agar penguasa mengambil tindakan. 2. Menata agenda formulasi kebijakan ( agenda setting ) : memutuskan isu apa yang dipilih dan permasalahan apa yang hendak dikemukakan. 3. Perumusan proposal kebijakan : mengembangkan personal kebijakan untuk menangani permasalahan tersebut. 4. Legitimasi kebijakan : memilih satu buah proposal yang dinilai terbaik untuk kemudian mencari dukungan politik agar dapat diterima sebagai sebuah hukum. 5. Implementasi kebijakan ( merepresentasikan fungsi manajemen : actuating ) : mengorganisasi birokrasi dan menyediakan pelayanan serta pengumpulan pajak. 6. Evaluasi kebijakan (merepresentasikan fungsi manajemen controliing ) : melakukan studi tentang program, melaporkan outputnya, mengevaluasi pengaruh dan kelompok sasaran serta memberikan rekomendasi serta penyempurnaan kebijakan.

43

Berdasarkan keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah apa yang pemerintah memilih untuk lakukan atau tidak lakukan dan prosesnya terdiri dari tahap tahap identifikasi masalah, agenda setting, perumusan proposal kebijakan, legitimasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.

b. Evaluasi Kebijakan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara no Per / 15 / M.Pan / 7 / 2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi menyebutkan bahwa evaluasi adalah suatu kegiatan menilai hasil suatu kegiatan yang sedang atau sudah dilaksanakan. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini berbeda dengan monitoring dimana monitoring dilakukan ketika sebuah kebijakan sedang diimplementasikan ( Subarsono, cetakan II 2006 : 113). Mustopadidjaja (2003 : 45 ) mengatakan bahwa evaluasi merupakan kegiatan pemberian nilai atas suatu fenomena, yang di dalamnya terkandung pertimbangan nilai ( value judgement tertentu ). Fenomena yang dinilai adalah berbagai fenomena mengenai kebijakan, seperti tujuan dan sasaran kebijakan,kelompok sasaran yang ingin dipengaruhi, instrumen kebijakan yang dipergunakan, respons dari lingkungan kebijakan, kinerja yang dicapai, dampak yang terjadi dan lain lain. Sedangkan evaluasi kinerja kebijakan merupakan bagian

dari evaluasi kebijakan yang secara spesifik terfokus pada berbagai indikator kinerja yang terkait kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan.

44

Esensi dari evaluasi menurut buku SANKRI ( LAN 2005 : 131 ) adalah untuk menyediakan umpan balik ( feedback ), yang mengarah pada hasil yang baik (successful outcomes ) menurut ukuran nyata dan obyektif. Pada hakekatnya, tujuan evaluasi adalah untuk perbaikan ( bila perlu, bukan dalam rangka pembuktian / to improve, not to prove ). Dua hal yang ingin diungkap melalui evaluasi adalah : (1) Keluaran kebijakan ( policy output ), yaitu apa yang dihasilkan dengan adanya perumusan kebijakan; ( 2 ) hasil / dampak kebijakan ( policy outcomes / consequences ), yaitu akibat dan konsekuensi yang ditimbulkan kebijakan. Secara umum, tujuan evaluasi menurut Mark, et.al. (2000:13) ada empat: a. Penilaian terhadap unggulan dan nilai (assessment of merit and worth), yaitu mengembangkan penilaian-penilaian yang dapat dengan diterbitkan dan diimplementasikannya suatu

dipercaya, pada tingkat individu dan masyarakat, dari suatu kebijakan atau program. b. Penyempurnaan program dan organisasi (program and

organizational improvement), yait u usaha untuk m enggunakan inform asi yang s ec ar a langs ung m emodif ik as i dan

mendukung operasi program. c. Kekeliruan dan kesesuaian (oversight and compliance), penilaian terhadap perluasan dari program seperti status perintah,

peraturan, aturan, mandat baku dan harapan formal lainnya. d. Pengembangan pengetahuan (knowledge development),

pemeriksaan atau pengujian teori umum, proposisi hipotesis dalam

45

konteks kebijakan dan program. Langkah penting berikutnya adalah menentukan jenis atau metode penelitian yang digunakan. Menurut Mark, et.al.

(2000:15) terdapat 4 jenis/metode penelitian dalam pelaksanaan evaluasi: 1. Deskripsi, yaitu metode yang digunakan untuk mengukur atau menggambarkan kejadian-kejadian atau berbagai

pengalaman, seperti karakteristik klien, tingkat penyediaan pelayanan, ketersediaan sumberdaya, atau kemampuan

klien atas dasar berbagai variable outcome yang potensial yang dimiliki. ( 2008:116 ) mengatakan bahwa metode deskriptif lebih mengarah kepada tipe penelitian evaluasi proses ( process of public policy implementation ). 2. Klasifikasi, mengelompokkan yaitu metode yang digunakan utama untuk dari

dan

menyelidiki

struktur

s e s u a t u d a t a a t a u b e n d a - b e n d a , s e p e r t i pengembangan atau penerapan dari suatu taksonomi subtipe-subtipe program. 3. Analisis sebab akibat (causal analysis), yaitu metode yang digunakan untuk menggali dan menguji hubungan sebab akibat (diantara pelayanan program dengan pemanfaatannya oleh klien misalnya) atau untuk mempelajari mekanisme melalui akibat-akibat yang terjadi. Widodo ( 2008:116 ) mengatakan bahwa evaluasi ini lebih mengarah kepada penelitian evaluasi dampak ( outcomes of public policy implementation ). 4. Penyelidikan nilai-nilai (value inquiry), yaitu metode yang

46

digunakan alamiah,

untuk

membuat

model nilai-nilai

proses yang

penilaian ada, atau

mengidentifikasi

memisahkan/menentukan posisi nilai dengan menggunakan analisis yang bersifat formal atau kritis. Sedangkan jenis- jenis evaluasi kinerja kebijakan menurut LAN (2005:131 ) dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar : 1. Evaluasi proses, meliputi: a) Evaluasi implementasi, memusatkan perhatian pada (1) upaya mengidenfifikasi kesenjangan yang ada antara hal-hal yang

telah direncanakan dan realita, ( 2 ) upaya menjaga agar kebijakan / program dan kegiatan-kegiatan sesuai dengan rancangan dan bila diperlukan dapat dilakukan modifikasi dalam rangka penyesuaian dan penyempurnaan. b) Evaluasi kemajuan, memfokuskan pada kegiatan pemantauan indikator kebijakan. 2. Evaluasi hasil, dilakukan dalam rangka menetapkan tingkat pencapaian tujuan kebijakan. Termasuk di dalamnya analisis SWOT, dan rekomendasi untuk perbaikan di masa yang akan datang. Kedua jenis evaluasi tersebut perlu dilakukan untuk memastikan pencapaian tujuan kebijakan yang telah ditetapkan S ec a r a m et od o lo g is , ( 1 98 9: 5) m em be da k a n evaluasi dalam dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan sumatif. Evaluasi formatif biasanya melihat dan meneliti pelaksanaan suatu indikator dari kemajuan pencapaian tujuan

47

program, mencari umpan balik untuk memperbaiki pelaksanaan program tersebut. Sementara evaluasi sumatif biasanya

dilakukan pada akhir program untuk mengukur apakah tujuan program tersebut tercapai. Sedangkan Herman, Morris dan Gibbon ( 1987: 26 ) membedakan evaluasi formatif dengan evaluasi sumatif menurut fokus tindakannya sebagai berikut : ....formative evaluations, which focus on providing information to planners and implementers on how to improve dan refine a developing or ongoing program; and summative evaluations, which seeks to asses the overal quality and impact of mature program for purpose of accountability and policy making. (..... evaluasi formatif, yang memfokuskan pada pemberian informasi kepada perencana dan pelaksana mengenai bagaimana meningkatkan dan memperbaiki suatu program yang sedang dikembangkan atau berlangsung; dan evaluasi sumatif yang berusaha menilai kualitas dan dampak keseluruhan dari program yang matang untuk tujuan pertanggung jawaban dan pembuatan kebijakan ). Perbedaan yang lebih jelas antara keduanya dapat ilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Perbandingan antara Evaluasi Formatif dan Evaluasi Sumatif Evaluasi FormatifPenggunaan Utama Pengembang program Manager program Pelaksana Program

Evaluasi SumatifPengambil kebijakan Pemerhati / peminat Penyandan g dana Dokumentasi outcome Dokumentasi implementasi

Tekanan utama dalam pengumpulan data

Peran utama pengembang dan pelaksana

Klarifikasi Tujuan Kematangan program, proses atau implementasi Klarifikasi persoalan dalam implementasi dan kemajuan terkait outcome Analisa level mikro dari implementasi dan outcome Kolaborator

Penyedia

48

program Peran utama evaluator Metodologi tipikal Frekuensi pengambilan data Mekanisme utama pelaporan Frekuensi pelaporan Penekanan pelaporan

Interaktif Kualitatif dan kuantitatif, dengan penekanan pada metode kualitatif Selama proses monitoring

data Independen Kuantitatif, kadang diperkaya dengan kualitatif Terbatas

Diskusi atau interaksi dalam pertemuan informal Selama proses berlangsung Hubungan antara elemen proses level mikro Hubungan konteks & proses Hubungan proses& outcome Implikasi terhadap pelaksanaan program & perubahan yang spesifik dalam operasi. Memahami program Adanya hubungan dengan pengembang atau pelaksana Advokasi atau rasa percaya

Laporan formal Pada akhir proses Hubungan dalam konteks makro dari proses dan outcomes. Implikasi terhaap kebijakan, kontrol administrasi dan manajemen. Aturan ilmiah yang ketat Kenetralan

Kredibilitas yang diper syaratkan

Sumber : Herman, Morris & Gibbon ( 1987:26)

Weis ( 1972:2526 ) seperti yang dikatakan oleh Widodo ( 2008:124 ) menjabarkan bahwa terdapat beberapa tahap dalam evaluasi kebijakan: 1. Formulating the program goals that the evaluation will use as criteria. 2. Choosing among multiple goals. 3. Investigating unanticipated consequences. 4. Measuring outcomes. 5. Specifying what the program is 6. Measuring program inputs and intervening processes. 7. Collecting the necessary data. Dengan mengacu pada uraian sebelumnya maka menurut Widodo (2008:125) untuk melakukan evaluasi kebijakan, program dan kegiatan terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan : a. Mengidentifikasi apa yang menjadi tujuan kebijakan, program dan

49

kegiatan. b. Penjabaran tujuan kebijakan, program dan kegiatan ke dalam kriteria atau indikator pencapaian tujuan. c. Pengukuran indikator pencapaian tujuan kebijakan program. tujuan kebijakan program tadi,

d. Berdasarkan indikator pencapaian data dicari di lapangan.

e. Hasil data yang diperoleh dari lapangan diolah dan dikomparasi dengan kriteria pencapaian tujuan. Sedangkan kriteria / indikator evaluasi menurut Dunn ( 2000 :61) sebagai berikut Tabel 3. Indikator Evaluasi Kebijakan menurut DunnTipe kriteria 1. Efektivitas 2. Efisiensi 3. Kecukupan 4. Pemerataan 5. Responsivitas 6. Ketepatan Pertanyaan Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai Seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada kelompok yang berbeda Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok tertentu Apakah hasil ( tujuan ) yang diinginkan benar benar berguna atau bernilai ?

Berdasarkan tingkat keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kebijakan, disusun rekomendasi kebijakan berkaitan dengan masa depan kebijakan publik yang sedang dievaluasi. Alternatif rekomendasi

kebijakan tentang nasib kebijakan publik meliputi beberapa hal yaitu apakah kebijakan program tersebut : (1) perlu diteruskan, (2) perlu

50

diteruskan dengan perbaikan, (3) perlu direplikasikan di tempat lain atau memperluas berlakunya royek, (4) harus dihentikan. Setidaknya. ada delapan faktor yang diidentifikasi Anderson yang menyebabkan k eb i j ak an t id ak m er ai h d am pa k ya n g

di i n g in ka n ( Winarno, 2005 : 179 ), yaitu: 1. Sumber-sumber yang tidak memadai. Banyak program pembangunan di negara berkembang yang tersendat-sendat dalam pelak sanaannya at au dihent ik an

karena sum ber yang dibut uhkan unt uk menunjang program tersebut tidak mencukupi. Faktor uang menjadi salah satu yang paling krusial dalam menentukan tingkat keberhasilan suatu

kebijakan. 2. Cara-cara yang digunakan untuk melaksanakan kebijakan. Kebijakan landreform di Indonesia atau negara berkembang l a i n n ya merupakan manifestasi dari strategi pembangunan di bidang pertanian, namun dalam pelaksanaannya berjalan

sangat lamban sehingga dampak yang diharapkan dari program itu sangat terbatas. 3. Masalah sementara publik seringkali yang disebabkan ada oleh banyak hanya faktor, kepada

kebijakan

ditujukan

penanggulangan dari satu atau beberapa masalah. 4. Cara orang menanggapi atau menyesuaikan diri terhadap

kebijakan publik yang justru m en i ad ak a n d am pa k k eb i j ak a n ya n g d i i ng i nk a n, m i s a l n ya : pr og r a m pe ng e nd a l ia n produksi pertanian yang didasarkan pembatasan - pembatasan luas tanah.

51

5. Tujuan kebijakan yang tidak sebanding dan bertentangan satu sama lain, misalnya: pembangunan jalan raya antar kota tidak konsisten dengan pengembangan jalan kereta api sebagai sarana transportasi yang murah dan aman. 6. Biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan masalah jauh lebih besar dibandingkan dengan masalah tersebut, misalnya : upaya penanggu-langan pencemaran lingkungan yang menelan biaya milyaran dollar Amerika. 7. Banyak masalah publik yang tidak mungkin dapat diselesaikan, misalnya banyak anak yang tidak dapat sekolah negeri,

sekalipun perbaikan-perbaikan dan perubahan kurikulum telah banyak dilakukan. 8. Menyangkut sifat masalah yang akan dipecahkan oleh suatu tindakan kebijakan. Suatu masalah, kemungkinkan telah

b e r k e m b a n g d a n m e n g a l a m i p e r u b a h a n s e m e n t ar a kebijakan yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut sedang dikembangkan atau diterapkan Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan adalah kegiatan menilai hasil suatu kegiatan yang sedang atau sudah dilaksanakan. Evaluasi bertujuan untuk memperbaiki ( to improve ) dan bukan membuktikan ( to prove ) dengan memberikan umpan balik. Pada penelitian ini, dilakukan evaluasi formatif untuk menilai kebijakan kemitraan dalam pengusahaan pariwisata alam Taman

Nasional Bali Barat dengan studi kasus PT. Shorea Barito Wisata dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

52

3. Pembangunan Berkelanjutan a. Teori Pembangunan Berkelanjutan Isu lingkungan hidup dan pembangunan menjadi agenda penting masyarakat internasional di forum regional dan multilateral sejak tahun 1972 setelah pelaksanaan konperensi internasional mengenai Human Environment di Stockholm, Swedia. Pengertian pembangunan

berkelanjutan, pertama kali muncul dalam seperti yang dijelaskan dalam dokumen Our Common Future, atau Brundtland Report yang dikeluarkan oleh World Commission on Environment and Development ( WECD ) di tahun 1987, sebagai berikut : Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. ( Pembangunan akan memungkinkan generasi sekarang meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya ) It contains within it two key concepts: the concept of needs, in particular the essential needs of the world's poor, to which overriding priority should be given; and o the idea of limitations imposed by the state of technology and social organization on the environment's ability to meet present and future needs." Setelah KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992 masyarakat internasional menilai bahwa perlindungan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama dan perlindungan lingkungan hidup tidak

53

terlepas dari aspek pembangunan ekonomi dan sosial. KTT Bumi 1992 telah menghasilkan Deklarasi Rio, Agenda 21, Forests Principles dan Konvensi Perubahan Iklim dan Keaneka-ragaman Hayati ( biodiversity ). Untuk pertama kalinya peranan aktor non pemerintah yang tergabung di dalam major groups 5 mendapat pengakuan dan sejak saat itu peranan mereka di dalam menjamin keberhasilan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan secara efektif tidak dapat diabaikan. KTT Bumi juga menghasilkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan yang mengandung 3 pilar utama yang saling terkait dan saling menunjang yakni

pembangunan ekonomi, sosial pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup yang juga menjadi landasan bagi penelitian ini. Ada persepsi bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang menyangkut lingkungan hidup, padahal sebenarnya istilah berkelanjutanmencakup segala bidang, dan lingkungan hidup hanya salah satunya. Istilah Pembangunan berkelanjutan pertama kali muncul dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the Conservation of Nature (1980), kemudian menjadi sangat popular melalui laporan Bruntland, Our Common Future (1987). Sedangkan menurut Sumarwoto ( 2006 ) ( Sugandhy, Hakim, 2007:21 ), pembangunan berkelanjutan adalah : Perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial di mana masyarakat bergantung kepadanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilitas politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahannya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan usahanya. Secara implisit, definisi tersebut menurut Hegley, Jr. 1992 mengandung pengertian strategi imperatif bagi pembangunan berkelanjutan sebagai

54

berikut. a. Berorientasi untuk pertumbuhan yang mendukung secara nyata tujuan ekologi, sosial, dan ekonomi. b. Memperhatikan batas-batas ekologis dalam konsumsi materi dan memperkuat pembangunan kualitatif pada tingkat masyarakat dan individu dengan distribusi yang adil. c. Perlunya campur tangan pemerintah, dukungan, dan kerja sama dunia usaha dalam upaya konservasi dan pemanfaatan yang berbasis sumber daya. d. Perlunya keterpaduan kebijakan dan koordinasi pada semua tingkat dan antara yurisdiksi politik terkait dalam pengembangan energi bagi pertumbuhan kebutuhan hidup. e. Bergantung pada pendidikan, perencanaan, dan proses politik yang terinformasikan, terbuka, dan adil dalam pengembangan teknologi dan manajemen. f. Mengintegrasikan biaya sosial dan biaya lingkungan dari dampak pembangunan ke dalam perhitungan ekonomi. Sedangkan Daniel M (2003) ( Kartawijaya, 2008 ) menyatakan bahwa pada pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada kepentingan ekonomi dan kepentingan lingkungan, terdapat 3 (tiga) pilar tujuan yaitu : (1) pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas dan efisiensi. (2) Pembangunan sosial yang bertujuan pengentasan kemiskinan, (3) pengakuan jati diri dan yang

pemberdayaan

masyarakat.

Pembangunan

lingkungan

berorientasi pada perbaikan lingkungan lokal seperti sanitasi lingkungan,

55

industri yang lebih bersih dan rendah emisi, dan kelestarian sumberdaya alam.

Gambar 1 . Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan

EKONOM IKeadilan dalam generasi pemberdaya

Efisiensi Stabilitas Pertumbuhan

Valuasi Internalisasi

SOSIALKeadilan generasi Partisipasi masyarakat Antar

LINGKUNGA N

Kemiskinan Pengakuan jati diri Pemberdayaan

Sanitasi Lingkungan Industri bersih SDA Keanekaragaman hayati

Sumber : Askarz 2003

b. Kebijakan Terkait Pembangunan Berkelanjutan Istilah Pembangunan Berkelanjutan secara resmi dipergunakan dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN. Dalam buku Agenda 21-Indonesia (1997:iii) dijelaskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan sudah dibahas pada Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (the United Nations Conference on Environmental Development UNCED ) yang diselenggarakan bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, atau yang dikenal dengan KTT Bumi

56

( Earth Summit ). Selama dua tahun,

lndonesia secara aktif

berpartisipasi dafarn proses persiapan konferensi tersebut (UNCED), dalam perumusan dan penyusunan dokumen Agenda 21 Global, yang berisikan program aksi menuju pembangunan berkelanjutan untuk abad ke 21. Menindaklanjuti Hidup, Agenda tersebut, UNDP Kementerianpada

Negara1997

Lingkungan

dengan

bantuan

Maret

mengeluarkan dokumen Agenda 21- lndonesia yang merupakan strategi nasional menuju pembangunan berkelanjutan di abad 21 agar kualitas

hidup munusia terus meningkat dan pembangunan tetap berlanjut, dan terdiri dari 4 program utama yaitu (1) aspek sosial ekonomi ( contoh : penanggulangan kemiskinan, kependudukan, pendidikan, kesehatan ), (2) konservasi dan pengelolaan sumber daya alam, (3) penguatan kelompok utama dalam masyarakat ( contoh: masyarakat adat, pemda, pekerja, kalangan industri), (4) pengembangan sarana untuk

pelaksanaan seperti pembiayaan, alih teknologi, kerjasama nasionalinternasional. Agenda 21-Indonesia Sektoral ( yaitu energy, dijabarkan ke dalam Agenda 21 pariwisata, pemukiman dan

kehutanan,

pertambangan ) yang merupakan advisory document bagi stakeholder dalam menyusun dan melaksanakan pembangunan sektor. Sejak Agenda 21 diperkenalkan pada tahun 1997, pemerintah Indonesia mempunyai tanggungan 21, untuk menyampaikan nasional dan dalam

mensosialisasikan

agenda

strategi

rencana

menghadapi abad 21 melalui PROPENAS (Program Pembangunan Nasional ) oleh Bappenas. PROPENAS 2001-2004 tentang

pembangunan berkelanjutan, terutama pembangunan ekonomi, dilakukan

57

berdasarkan kapasitas yang tersedia dari sumber daya alam, lingkungan dan karakter sosial. Pada masa lalu, aktifitas pembangunan aktifitas pembangunan dimana terfokus pada pertumbuhan mengakibatkan

dampak negatif dan meyebabkan penurunan kondisi ekologi dan deplesi sumber daya alam. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam nasional dan lingkungan di masa mendatang harus didasarkan pada aspek penting pada produksi dan ruang aktifitas untuk konservasi dan kesehatan lingkungan. Sedangkan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, mendeskripsikan mengenai pembangunan berkelanjutan

berwawasan lingkungan hidup yaitu : Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup ialah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Terkait dengan pengelolaan Taman nasional yang sebagian besar lahannya berupa hutan, maka perlu dipahami pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Dalam Agenda 21- Indonesia (1997:411) dijelaskan bahwa menurut Organisasi Perdagangan Kayu Tropis lnternasional ( ITTO ), adalah proses mengelola

"Pengelolaan hutan secara berkelanjutan

lahan hujan permanen untuk mencapai satu atau beberapa tujuan, yang dikaitkan dengan produksi hasil dan jasa hutan secara terus rnenerus

dengan mengurangi dampak Iingkungan fisik dan sosial yang tidak dinginkan. Sedangkan Lembaga Ekolabel Indonesia mendefinsikan bahwa Pengelolaan hutan berkelanjutan adalah berbagai bentuk

pengelolaan hutan yang memiliki sifat hasil yang lestari ditunjukkan oleh

58

terjaminnya keberlangsungan fungsi produksi hutan, fungsi ekologis lahan dan fungsi sosial, ekonomi, budaya hutan bagi masyarakat lokal. Mempertimbangkan definisi-definisi tersebut, tujuan umum Agenda 21lndonesia sektor kehutanan secara ringkas adalah upaya rnengembalikan dan rnempertahankan fungsi ekonomi ekologis dan sosial-budaya hutan. Berdasarkan definisi tersebut, maka Agenda 21- Indonesia sektor kehutanan mengajukan lima bidang program yaitu (1) Mengembangkan dan Memelihara Produksi Hutan Terpadu secara Berkelanjutan (2) Meningkatkan Regenerasi, Rehabiitasi dan Perlindungan Hutan, (3) Memperkuat Peraturan dan Penegakan Hukum bagi Pengelolaan Hutan Berkelanjutan, (4) Mempertahankan dan Meningkatkan Peran serta Kesejahteraan Masyarakat Penghuni Hutan, (5) Mernbangun dan

Mernperkuat Penelitian serta Kernampuan dalam Bidang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan berkelanjutan mencakup semua bidang kehidupan dan memungkinkan generasi sekarang meningkatkan kesejahteraannya, tanpa

mengurangi kemungkinan bagi generasi mendatang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Hal ini diperjelas didalam RPJMN 2004 2009 dengan tiga pilar pembangunan nasional, yaitu economy viable, socially acceptable instrumen dan environmental sound yang dijabarkan dalam berbagai kebijakan. Dalam kaitan dengan penelitian ini, maka

pengembangan pariwisatapun harus diarahkan kepada pengembangan pariwisata berkelanjutan ( sustainable lingkungan. tourism ), yang berwawasan

59

c. Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan dan Ekowisata E. Guyer Freuler dalam Yoeti (1996: 115) menyatakan: Pariwisata dalam artian modern adalah merupakan phenomena dari jaman sekarang yang didasarkan di atas kebutuhan akan kesehatan dan pergantian hawa, penilaian yang sada dan menumbuhkan (cinta) terhadap keindahan alam dan pada khususnya disebabkan oleh bertambahnya pergaulan berbagai bangsa dan kelas masyarakat manusia sebagai hasil daripada perkembangan perniagaan, industri, perdagangan serta penyempurnaan daripada alat-alat pengangkutan. Dari sasaran dalam RPJM 2004 2009 telah ditetapkan juga sasaran pembangunan kepariwisataan nasional seperti yang termuat dalam dokumen Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan Nasional 2005 2009 yaitu : 1) Terwujudnya pariwisata nusantara yang dapat mendorong cinta tanah air. 2) Meningkatnya pemerataan dan keseimbangan pengembangan destinasi pariwisata yang sesuai dengan potensi masing-masing daerah. 3) Meningkatnya kontribusi pariwisata dalam perekonomian nasional. 4) Meningkatnya produk pariwisata yang memiliki keunggulan kompetitif. 5) Meningkatnya pelestarian lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat. The International Ecotourism Society dalam Fact Sheet: Ecotourism Updated edition, September Pariwisata Global 2006

(http://www.ecotourism.org)

mendefinisikan

Berkelanjutan

sebagai Tourism that meets the needs of present tourist and host regions while protecting and enhancing opportunities for the future. Damanik dan Weber ( 2006 :26 ) menjelaskan bahwa konsep pariwisata berkelanjutan dikembangkan dari ide dasar pembangunan berkelanjutan yaitu kelestarian sumber daya alam dan budaya.

pembangunan sumberdaya (atraksi, aksesibilitas, amenitas) pariwisata yang bertujuan untuk memberikan keuntungan optimal bagi pemangku

60

kepentingan (stakeholders) dan nilai kepuasan optimal bagi wisatawan dalam jangka panjang. Jadi bila yang ingin dikembangkan adalah

infrastruktur pariwisata, ia harus memberikan keuntungan jangka panjang bagi semua pelaku wisata. Di sini kualitas jasa dan layanan yang dihasilkan dalam pengembangan tersebut harus terjamin supaya wisatawan yang menggunakannya dapat memperoleh kepuasan yang optimal. Jadi pariwisata hanya dapat bertahan lama atau berkelanjutan jika ia memberikan kepuasan bagi wisatawan dalam jangka panjang dalam bentuk pengalaman yang lengkap ( total experience ). Kepuasan inilah yang merupakan komoditas dan ditukarkan dalam bentuk keuntungan bagi pemangku kepentingan. Selain itu pariwisata berkelanjutan berkembang karena pariwisata konvensional cenderung mengancam kelestarian sumberdaya pariwisata itu sendiri. Tidak sedikit resort-resort eksklusif dibangun dengan mengabaikan daya-dukung ( carrying capacity ) fisik dan sosial setempat. Jika hal itu terus berlangsung maka kelestarian ODTW ( Obyek Daerah Tujuan Wisata ) akan terancam dan pariwisata dengan sendirinya tidak akan dapat berkembang lebih lanjut. Padahal permintaan pasar juga sudah bergeser ke produk wisata yang mengedepankan faktor

lingkungan dan sosial budaya sebagai daya tarik utama, sekaligus sebagai keunggulan komparatif suatu produk. Damanik dan Weber ( 2006 : 38 ) mengatakan dalam Deklarasi Quebec bahwa salah satu bentuk wisata yang mengadopsi prinsip pariwisata berkelanjutan adalah ekowisata yang prakteknya terlihat dalam bentuk kegiatan wisata yang :

61

1) 2)

Secara aktif menyumbang kegiatan konservasi alam dan budaya. Melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan, pengembangan dan pengelolaan wisata serta memberikan sumbangan positif terhadap kesejahteraan mereka

3)

Dilakukan dalam bentuk wisata independen atau diorganisir dalam bentuk kelompok kecil ( UNEP, 2000; Heher, 2003 ). Damanik dan Weber ( 2006 : 37 ) menyatakan bahwa dari definisi ini

ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni: 1. ekowisata sebagai produk, dimana ekowisata merupakan semua atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. 2. ekowisata sebagai pasar, merupakan perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan 3. ekowisata sebagai pendekatan pengembangan., yang merupakan metode pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya pariwisata secara ramah lingkungan. From( 2004 ), menurut Damanik dan Weber ( 2006 : 40 ) mendefinisikan ekowisata sebagai : Eco-tourism is outdoor travel, in natural setting, that causes no major harm to the natural environment in which that travel takes place. ( ekowisata adalah perjalanan luar ruang, dalam lingkungan alami, yang tidak menyebabkan kerusakan lingkungan alam dimana perjalanan itu berlangsung. Dari definisi di atas, dapat diidentifikasikan beberapa prinsip ekowisata ( TIES 2000 ) seperti disebutkan oleh Damanik dan Weber ( 2006: 39 - 40) : 1. Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata. 2. Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata, baik pada diri wisawatan, masyarakat lokal dan pelaku wisata lainnya.

62

3. Menawarkan pengalaman pengalaman positif bagi wisatawan dan masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan kerjasama dalam pemeliharaan atau konservasi ODTW. 4. Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan. 5. Memberikan keuntungan finasial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai nilai lokal. 6. Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan, dan politik di daerah