terapi oksigen
DESCRIPTION
terapi oksigenTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Oksigen (O2) merupakan salah satu komponen gas dan unsur vital dalam
proses metabolisme untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel
tubuh. Pada kondisi normal, sistem pernafasan menghirup udara atmosfir yang
mengandung 21% oksigen dengan tekanan parsial 150 mmHg.1
Oksigen sebagai obat dikemas dalam tabung bertekanan tinggi dalam bentuk
gas, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak mudah terbakar tetapi
menunjang proses kebakaran. Di dalam tabung silinder pada suhu 70°F memiliki
tekanan 1800-2400 psig. Berat molekulnya 32.00, berat jenisnya 1,1052,
temperatur kritisnya -118,4°C, dan titik didihnya pada tekanan 1 atmosfir adalah -
183,0°C. Oksigen yang dikemas dalam tabung dibuat dari proses likue faksi dan
destilasi fraksi oksigen dalam udara atau dari proses elektrolisis air. Oksigen
dalam tabung silinder harus dilengkapi dengan regulator, sistem perpipaan
oksigen sentral, meter aliran, alat hunidifikasi, alat terapi aerosol, dan alat pemberi
oksigen agar dapat digunakan untuk terapi oksigen.1
Terdapat dua jenis terapi oksigen, yaitu normobarik dan hiperbarik. Terapi
normobarik mempergunakan oksigen dengan tekanan 1 atm dan lazim diterapkan
di klinik kesehatan. Sedangkan terapi hiperbarik menggunakan oksigen dengan
tekanan tinggi (>1 atm) di dalam suatu ruang khusus dan dilakukan pada kasus
khusus, seperti penyakit dekompresi.2
Penyampaian oksigen ke jaringan tubuh ditentukan oleh interaksi sistem
pernafasan, kardiovaskuler, dan hematologi. Kekurangan oksigen ditandai dengan
keadaan hipoksia, yang dalam proses lanjut dapat menyebabkan kematian jaringan
bahkan dapat mengancam kehidupan. Terapi oksigen ini sangat penting di dalam
pengobatan dengan oksigen sebagai obat untuk mencegah atau memperbaiki
hipoksia jaringan dengan cara meningkatkan pemasukan oksigen dalam sirkulasi
dan meningkatkan pelepasan oksigen ke jaringan atau ekstraksi oksigen
jaringan.1,2
Oksigen telah digunakan dalam bidang kedokteran oleh Thomas Beddoes sejak
tahun 1800. Alvan Barach (1920) memperkenalkan keberhasilan terapi oksigen
2
pada pasien hipoksemia dan pemberian terapi oksigen jangka panjang pada pasien
penyakit paru obstruktif kronik. Penelitian oleh Menzies Research Institute (2005)
di Tasmania menyatakan bahwa terapi oksigen dapat menurunkan angka kematian
yang disebabkan oleh penyakit paru obstruktif menahun (PPOM). Terapi oksigen
tersebut dapat membantu menekan angka kematian akibat PPOM mencapai 78%.
Di samping itu, Chemiack (1967) melaporkan bahwa pemberian oksigen melalui
kanula nasal dengan aliran lambat pada pasien hiperkapnia mampu memberikan
hasil yang baik tanpa retensi CO2.2
Mengingat pentingnya peranan terapi oksigen dalam dunia kesehatan sehingga
diperlukan pengetahuan mengenai terapi oksigen yang lebih mendalam, seperti
indikasi pemberian oksigen, teknik pemberian terapi oksigen, dan efek samping
terapi oksigen.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Indikasi Terapi Oksigen
Secara umum, indikasi klinis terapi oksigen diberikan pada pasien yang
menderita ketidakadekuatan oksigenasi jaringan (hipoksia) yang terjadi
akibat:
a. Gagal nafas akibat sumbatan jalan nafas, depresi pusat nafas, penyakit
saraf otot, trauma thorax atau penyakit pada paru seperti misalnya ARDS.
b. Kegagalan transportasi okisgen akibat syok (kardiogenik, hipovolemik dan
septik), infark otot jantung, anemia atau keracunan CO.
c. Kegagalan ekstraksi oksigen oleh jaringan akibat keracunan sianida.
d. Peningkatan kebutuhan jaringan terhadap oksigen, seperti pada luka bakar,
trauma ganda, infeksi berat, penyakit keganasan, kejang demam, dan
sebagainya.
e. Pasca anesthesia terutama anesthesia umum dengan gas gelak atau N2O.1,3
Untuk mendeteksi keadaan hipoksemia perlu dilakukan berapa
pemeriksaan antara lain:
a. Pemeriksaan gejala klinis, seperti sianosis, disorientasi, takipneu, dispneu,
nafas cuping hidung, retraksi sela iga, takikardi atau bradikardi, aritmia,
hipertensi atau hipotensi, dan polistemia.
b. Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk mendeteksi keadaan
hipoksemia yang dapat dilihat nilai PaO2 < 60 mmHg dan SaO2 < 90%.
c. Pulse oksimetri untuk mengukur kadar oksigen di darah arteri yang dapat
dilihat nilai SaO2 < 90%.3,4
Adapun tujuan terapi oksigen pada keadaan-keadaan seperti tersebut diatas
adalah untuk mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90% (dewasa,
anak, bayi) dan PaO2 > 50 mmHg atau SaO2 > 88% (neonatus) sehingga
dapat:
4
a. Mencegah hipoksemia
Terapi oksigen diberikan untuk mempertahankan penyediaan oksigen
dalam darah, misalnya pada tindakan bronkoskopi, perlu tambahan
oksigen pada udara inspirasinya atau pada kondisi yang menyebabkan
peningkatan konsumsi oksigen seperti pada infeksi berat, kejang, dan
sebagainya.
b. Menurunkan kerja pernafasan dimana tubuh berespon terhadap keadaan
hipoksemia melalui peningkatan laju pernafasan dan kerja otot-otot
tambahan pernafasan.
c. Menurunkan beban kerja otot jantung dimana jantung berusaha untuk
mengatasi gangguan oksigen melalui peningkatan laju pompa jantung
yang adekuat.
d. Mengobati keracunan karbon monoksida (CO)
Terapi oksigen diberikan untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen
dalam darah dan untuk mengurangi ikatan CO dengan hemoglobin.
e. Fasilitas absorpsi gas dari jaringan dan rongga-rongga dalam tubuh. Pada
kondisi seperti ini terapi oksigen diberikan untuk mempercepat proses
eliminasi obat anestesi inhalasi pasca anesthesia.
f. Mengoreksi hipoksemia
Pada gagal nafas akut, terapi oksigen diberikan sebagai upaya
penyelamatan nyawa, sedangkan untuk kasus-kasus yang lain adalah untuk
“membayar” hutang oksigen pada jaringan pada jaringan sehingga
peringai metabolisme kembali pada status aerob. “Hutang” oksigen terjadi
akibat gangguan keseimbangan dengan dominasi penurunan penyediaan
oksigen atau sebaliknya peningkatan konsumsi oksigen.1,3,5,6
2.2 Teknik Pemberian Terapi Oksigen
Terdapat bermacam-macam teknik dan model alat yang dapat digunakan
dalam terapi oksigen yang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing. Pemilihan teknik dan alat yang akan digunakan sangat ditentukan
oleh kondisi pasien yang akan diberikan terapi oksigen.1
5
Teknik dan alat yang akan digunakan dalam terapi oksigen hendaknya
harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Mampu mengatur konsentrasi atau fraksi oksigen udara inspirasi (FiO2).
b. Tidak menyebabkan akumulasi CO2.
c. Tahanan terhadap pernafasan minimal.
d. Irit dan efisien dalam penggunaan oksigen.
e. Diterima dan nyaman dipakai oleh pasien.1,3
Berdasarkan kriteria tersebut, alat-alat terapi oksigen digolongkan
menjadi:
a. Sistem Fixed Performance
Fraksi oksigen pada alat ini tidak tergantung pada kondisi pasien.
Berdasarkan aliran gasnya alat ini dibagi menjadi:
1. Aliran tinggi, misalnya pada sungkup venturi.
2. Aliran rendah, misalnya mesin anesthesia.
b. Sistem Variable Performance
1. Sistem No Capacity, misalnya kanul atau kateter hidung atau trakea.
2. Sistem Small Capacity, misalnya kateter atau kanul dengan aliran
tinggi dan sungkup semirigid, seperti sungkup Edinburg, Harris, dan
sebagainya.
3. Sistem Large Capacity, misalnya pneumask dan polymask.1
Berdasarkan ada atau tidak adanya aliran kembali udara ekspirasi pasien
selama terapi oksigen, pada sistem pemberian gas dalam terapi oksigen dapat
diklarifikasikan menjadi:
a. Sistem Non-rebreathing
Sistem ini kontak antara udara inspirasi dengan udara ekspirasi sangat
minimal. Udara ekspirasi langsung ke luar ke udara atmosfir melalui katup
searah yang dipasang pada hubungan antara pengalir gas dengan mulut
atau hidung pasien. Untuk itu harus diberikan aliran gas yang cukup agar
volume semenit dan laju aliran puncak yang dibutuhkan terpenuhi atau
memasang kantong penampung udara inspirasi yang memungkinkan
penambahan sejumlah gas bila diperlukan. Katup searah yang dipasang
tersebut, memberikan kesempatan masuknya udara atmosfir ke dalam alat
6
ini sehingga menambah jumlah aliran gas untuk memenuhi kebutuhan gas,
terutama pada sistem aliran gas tinggi.1
Gambar 2.1 Sistem Non-rebreathing2
b. Sistem Rebreathing
Sistem ini, udara ekspirasi yang ditampung pada kantong penampung
yang terletak pada pipa jalur ekspirasi, dihirup kembali setelah CO2nya
diserap oleh penyerap CO2 selanjutnya dialirkan kembali ke pipa jalur
inspirasi.1
Gambar 2.2 Sistem Rebreathing2
Berdasarkan kecepatan aliran, metode pemberian terapi oksigen dibagi
menjadi dua teknik, yaitu
a. Sistem aliran oksigen rendah
Teknik sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi
udara ruangan. Teknik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung
pada tipe pernafasan dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian
oksigen sistem aliran rendah ini ditujukan untuk seseorang yang
memerlukan oksigen tetapi dalam kondisi stabil dengan volume tidal
antara 300-700 ml (dewasa) dan pola nafasnya teratur. Alat yang umum
digunakan dalam sistem ini adalah kanul nasal, kateter nasal, sungkup
muka tanpa kantong penampung, sungkup muka rebreathing dengan
kantong penampung, dan sungkup muka non-rebreathing dengan kantong
penampung.1,3,5,6
7
1. Kanul nasal
Termasuk pada sistem non-rebreathing dan no capacity yang
sederhana, murah, dan mudah dalam pemakaiannya. Aliran oksigennya
berkisar antara 1-6 liter/menit dengan konsentrasi 24-44% tergantung
pada pola ventilasi pasien. Tergantung dari aliran oksigen/menit,
mampu memberikan FiO2 sebagai berikut:
a. Pada kecepatan aliran 1 liter/menit, FiO2 nya = 24%
b. Pada kecepatan aliran 2 liter/menit, FiO2 nya = 28%
c. Pada kecepatan aliran 3 liter/menit, FiO2 nya = 32%
d. Pada kecepatan aliran 4 liter/menit, FiO2 nya = 36%
e. Pada kecepatan aliran 5 liter/menit, FiO2 nya = 40%
f. Pada kecepatan aliran 6 liter/menit, FiO2 nya = 44%
Dengan kanul nasal, pemberian oksigen stabil dengan volume tidal
dan laju pernafasan teratur, mudah memasukkan kanul, pasien bebas
makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir dan nyaman. Kanul
nasal dapat menyebabkan terjadinya iritasi hidung, pengeringan mukosa
hidung, nyeri sinus, dan epitaksis serta mudah lepas karena kedalaman
kanul hanya 1 cm. 1,3,5,6
Gambar 2.3 Kanul nasal2
2. Kateter nasal
Alat ini mirip dengan kanul nasal, sederhana, murah dan mudah
dalam pemakainnya serta termasuk pada sistem non-rebreathing dan no
capacity. Tersedia dalam berbagai ukuran sesuai dengan usia dan jenis
kelamin pasien. Untuk anak-anak digunakan kateter nomor 8-10 F,
untuk wanita digunakan nomor 10-12 F dan untuk pria nomor 12-14 F.
Fraksi oksigen yang dihasilkan sama seperti kanul nasal, yaitu aliran 1-
8
6 liter/menit menghasilkan oksigen dengan konsentrasi 24-44%
tergantung pola ventilasi pasien. Melalui alat ini, pemberian oksigen
stabil, pasien bebas bergerak, makan, dan berbicara, murah dan nyaman
serta dapat juga dipakai sebagai kateter penghisap. Teknik memasukkan
kateter nasal lebih sulit daripada kanula nasal, dapat mengakibatkan
iritasi dan distensi lambung, mukosa hidung kering, nyeri sinus atau
epistaksis, dan kateter mudah tersumbat. 1,3,5,6
Gambar 2.4 Kateter nasal2
3. Sungkup muka tanpa kantong penampung
Alat ini termasuk ke dalam sistem aliran oksigen rendah yang
sederhana, murah dan mudah dalam pemakaiannya. Tersedia dalam
berbagai ukuran sesuai dengan usia dengan aliran 5-8 liter/menit yang
menghasilkan konsentrasi 40-60%. Alat ini menghasilkan FiO2 sebagai
berikut :
a. Pada kecepatan aliran 5-6 liter/menit, FiO2 nya = 40%
b. Pada kecepatan aliran 6-7 liter/menit, FiO2 nya = 50%
c. Pada kecepatan aliran 7-8 liter/menit, FiO2 nya = 60%
Sering kali ditolak pasien oleh karena menimbulkan perasaan tidak
enak dan dapat menyebabkan aspirasi bila muntah, penumpukan CO2
pada aliran O2 rendah, emfisema subkutan ke dalam jaringan mata pada
aliran O2 tinggi dan nekrosis apabila sungkup muka dipasang terlalu
ketat. 1,3,5,6
9
Gambar 2.5 Sungkup muka tanpa kantong penampung2
4. Sungkup muka rebreathing dengan kantong penampung
Alat ini termasuk ke dalam sistem aliran rendah 6-10 liter/menit
yang menghasilkan oksigen dengan konsentrasi 60-80%. Alat ini tidak
menyebabkan selaput lender kering, tetapi berbahaya apabila terjadi
aspirasi bila muntah, empisema subkutan ke dalam jaringan mata pada
aliran O2 tinggi, terjadi nekrosis apabila sungkup muka dipasang terlalu
ketat, aliran lebih rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2 dan
kantong O2 bisa terlipat.1,3,5,6
Gambar 2.6 Sungkup muka rebreathing dengan kantong penampung2
5. Sungkup muka non-rebreathing dengan kantong penampung
Termasuk kelompok aliran rendah, large capacity dan non-
rebreathing. Alat ini sama dengan alat di atas, hanya ditambah kantong
penampung oksigen pada muaranya untuk meningkatkan konsentrasi
oksigen udara inspirasi atau FiO2. Alat ini dengan sistem aliran rendah
6-10 liter/menit yang menghasilkan FiO2 sebagai berikut :
a. Pada kecepatan aliran 6 liter/menit, FiO2 nya = 60%
b. Pada kecepatan aliran 7 liter/menit, FiO2 nya = 70%
10
c. Pada kecepatan aliran 8 liter/menit, FiO2 nya = 80%
d. Pada kecepatan aliran 9 liter/menit, FiO2 nya = 90%
e. Pada kecepatan aliran 10 liter/menit, FiO2 nya = 99%
Konsentrasi oksigen yang diperoleh dapat mencapai 100% dan tidak
mengeringkan selaput lendir. Berbahaya apabila terjadi aspirasi bila
muntah, empisema subkutan ke dalam jaringan mata pada aliran
oksigen tinggi, nekrosis apabila sungkup muka dipasang terlalu ketat,
dan kantong oksigen bisa terlipat. 1,3,5,6
Gambar 2.7 Sungkup muka non-rebreathing dengan kantong
penampung.2
b. Sistem aliran oksigen tinggi
Sistem ini menggunakan sungkup venti atau venturi yang memiliki
kemampuan menarik udara kamar pada perbandingan tetap dengan aliran
oksigen sehingga mampu memberikan aliran total gas yang tinggi dengan
FiO2 yang tetap. Keuntungan alat ini adalah FiO2 yang diberikan stabil atau
konstan, dan tidak dipengaruhi oleh pola pernafasan, suhu, dan
kelembaban gas dapat dikontrol serta tidak terjadi penumpukan CO2
sehingga konsentrasi O2 lebih tepat dan teratur. Namun kelemahannya
adalah harganya mahal, mengganti seluruh alat apabila ingin mengubah
FiO2 dan tidak enak bagi pasien. 1,3,5,6
1. Sungkup muka venturi.
Alat ini termasuk ke dalam sistem aliran tinggi dan relatif mahal
dibandingkan dengan beberapa alat yang telah disebutkan di atas.
11
Aliran oksigennya antara 4-14 liter/menit dan menghasilkan konsentrasi
02 30-55%. Kelebihan alat ini adalah mampu memberikan FiO2 sesuai
dengan yang dikehendaki dan tidak tergantung dari aliran gas oksigen
yang diberikan. Tersedia dalam ukuran FiO2 24%, 35%, dan 40%.
Berbahaya apabila terjadi aspirasi bila muntah dan nekrosis karena
pemasangan sungkup yang terialu ketat. 1,3,5,6
Gambar 2.8 Sungkup muka venturi2
2. OEM Mix-O Mask
Alat ini hampir sama dengan sungkup venturi. Perbedaannya pada
alat ini ditambah dengan pipa korugated sepanjang 20-30 cm dan bisa
ditambah adaptor humidifikasi. 1
Gambar 2.9 OEM Mix-O Mask2
3. Sungkup muka tekanan positif.
Alat ini terdiri dari sungkup muka, ukuran tekanan yang ditara dari
0-4 cm HO, tali pengikat kepala, katup serarah, kantong dari karet
elastik, pipa karet diameter agak besar dan meter aliran untuk oksigen
dalam sistem perpipaan atau regulator untuk oksigen dalam silinder.
Alat ini digunakan untuk memberikan nafas buatan pada pasien yang
menderita depresi nafas.1
12
Gambar 2.10 Sungkup muka tekanan positif2
4. Kollar trakeostomi.
Digunakan pada pasien yang dilakukan trakeostomi. Alat ini mampu
memberikan humidifikasi tinggi dan FiO2nya dikendalikan dengan
mengatur aliran oksigen permenitnya.1
Gambar 2.11 Kollar trakeostomi2
5. Ventilator
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu
sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan
oksigenasi.
Indikasi pemakaian ventilator
a. Henti jantung
b. Henti Napas
c. Hipoksemia yang tidak teratasi dengan pemberian oksigen non
invasive
d. Asidosis respiratori yang tidak teratasi dengan obat-obatan dan
pemberian oksigen non invasive.
e. Gagal napas atau manifestasi klinis
f. Takipneu
g. Penggunaan otot pernapasan tambahan
h. Penurunan kesadaran
13
i. Saturasi oksigen menurun drastis
j. Pembedahan yang memerlukan anasthesi umum.2
Gambar 2.12 Ventilator2
Langkah-langkah baku yang harus diikuti sebelum memberikan terapi
oksigen adalah :
a. Tentukan status oksigenasi pasien dengan pemeriksaan klinis, analisis gas
darah, dan pulse oksimetri.
b. Pilih sistem yang akan digunakan (aliran rendah atau tinggi).
c. Tentukan konsentrasi oksigen yang dikehendaki: tinggi (>60%), sedang
(35-60%) atau rendah (<35%).
d. Pantau keberhasilan terapi oksigen dengan pemeriksaan fisik pada sistem
respirasi dan kardiovaskular.
e. Periksa analisis gas darah secara periodik dengan selang waktu minimal 30
menit.
f. Apabila dianggap perlu ubah cara pemberiannya. Perhatikan pula efek
samping terapi oksigen.1,4
Apabila terjadi hipoksemia, pilihan terapi oksigen yang dapat digunakan
antara lain:
a. Hipoksemia ringan: (PaO2<80 mmHg) dapat digunakan nasal kateter 2-4
liter/menit atau sungkup 4 liter/menit
b. Hipoksemia sedang (PaO2<60 mmHg) dapat digunakan, yaitu apabila
tanpa retensi CO2 menggunakan sungkup=4-12 liter/menit, sedangkan
apabila dengan retensi CO2 menggunakan sungkup venturi mulai dengan
FiO2 24% (pantau AGD).
14
c. Hipoksemia berat (PaO2<40mmHg) merupakan indikasi penggunaan
ventilasi mekanik tanpa atau dengan PEEP.2
Pada kondisi kegawatan napas trauma, diberikan oksigen 6 liter/menit
dengan sungkup muka. Pada penderita kritis berikan 100% oksigen, meskipun
secara umum terapi oksigen memberikan manfaat yang bermakna pada bentuk
hipoksik hipoksemia dan anemia hipoksemia. Apabila tekanan oksigen arteri
(Pa02) tetap rendah (kurang dari 60 mmHg) meskipun telah diberikan oksigen
50%, berarti terdapat shunt yang bermakna dari kolaps alveoli dan perlu
dipertimbangkan pemberian inflasi paru dengan manuver reekspansi paru atau
intubasi endotrakhea dan ventilasi mekanik.3
Dalam pemberian terapi oksigen perlu diperhatikan adalah humidifikasi.
Hal ini penting diperhatikan oleh karena udara yang normal dihirup telah
mengalami humidifikasi sedangkan oksigen yang diperoleh dari sumber
oksigen (tabung) merupakan udara kering yang belum terhumidifikasi,
humidifikasi yang adekuat dapat mencegah komplikasi pada pernafasan.5
Terapi oksigen yang diberikan harus tetap dilakukan pemantauan dalam
pemberiannya untuk meminimalisasi efek samping terapi oksigen.
Pemantauan tersebut dapat dilihat berdasarkan keadaan umum pasien, hasil
analisa gas darah, dan pulse oksimetri.3
2.3 Efek Samping Terapi Oksigen
Seperti halnya terapi dengan obat, pemberian terapi oksigen juga dapat
menimbulkan efek samping, terutama terhadap sistem pernafasan sendiri,
susunan saraf, dan mata terutama pada bayi prematur serta dapat
menyebabkan terjadinya kebakaran.
a. Sistem pernafasan
1. Depresi nafas
Keadaan ini terjadi pada pasien yang menderita PPOM dengan
hipoksia dan hiperkarbia kronik. Oleh karena pada penderita PPOM
kendali pusat nafas bukan pada kondisi hiperkarbia seperti pada
keadaan normal, tetapi oleh kondisi hipoksia sehingga apabila kadar
oksigen dalam darah meningkat malah akan menimbulkan depresi
15
nafas. Dianjurkan terapi oksigen pada penderita PPOM dilakukan
dengan sistem aliran rendah dan pemberiannya secara intermiten.1,3,5,6
2. Keracunan oksigen
Terjadi akibat pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi (>60%)
dalam jangka waktu lama biasanya setelah 24-48 jam. Timbul
perubahan pada paru dalam bentuk kongesti paru, penebalan membran
alveoli, edema, konsolidasi, dan atelektasis. Walaupun demikian pada
keadaan hipoksia berat, pemberian terapi oksigen dengan FiO2 sampai
100% dalam waktu 6-12 jam untuk penyelamatan hidup, seperti
misalnya pada saat resusitasi masih dianjurkan. Oleh karena itu
sedapat mungkin setelah masa kritis, terapi oksigen diturunkan
bertahap sampai FiO2 <60% dengan target untuk mendapatkan
minimal saturasi oksigen (SaO2) 90%. Setelah keadaan kritis teratasi,
segera FiO2 diturunkan. 1,3,5,6
3. Nyeri substernal
Keluhan ini terjadi akibat iritasi pada trakea yang menimbulkan
trakeitis. Hal ini terjadi pada pemberian oksigen konsentrasi tinggi dan
keluhannya akan lebih hebat lagi apabila oksigen yang diberikan
kering tanpa humidifikasi. 1,3,5,6
b. Susunan saraf
Pemberian terapi oksigen dengan konsentrasi tinggi akan menimbulkan
keluhan parestesia dan nyeri pada sendi.1,6
c. Mata
Pada bayi baru lahir terutama bayi prematur, hiperoksia menyebabkan
kerusakan pada retina akibat proliferasi pembuluh darah disertai
perdarahan dan fibrosis. Keadaan ini dikenal sebagai retrolental
fibroplasias. 1,3,5,6
d. Kebakaran
Oksigen bukan zat pembakar tetapi oksigen dapat memudahkan terjadinya
kebakaran. Oleh karena itu, pasien dengan terapi pemberian oksigen harus
menghindari merokok atau menggunakan alat-alat listrik di sekitar
sumber oksigen.5,6
16
BAB III
SIMPULAN
Adapun kesimpulan pada paper ini adalah
1. Indikasi klinis terapi oksigen diberikan pada pasien yang menderita
ketidakadekuatan oksigenasi jaringan (hipoksia) yang terjadi akibat beberapa
kondisi, sedangkan tujuan terapi oksigen adalah untuk mempertahankan PaO2
> 60 mmHg atau SaO2 > 90% (dewasa, anak, bayi) dan PaO2 > 50 mmHg atau
SaO2 > 88% (neonatus).
2. Terdapat bermacam-macam teknik dan model alat yang dapat digunakan dalam
terapi oksigen yang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing serta
sangat ditentukan pula oleh kondisi pasien.
3. Pemberian terapi oksigen dapat menimbulkan efek samping, terutama terhadap
sistem pernafasan sendiri, susunan saraf, dan mata terutama pada bayi prematur
serta dapat menyebabkan terjadinya kebakaran.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku, Gde dan Senapathi, Tjokorda Gde Agung. Buku Ajar Ilmu Anestesia
dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks. 2010.
2. Purnomo, Heri Dwi. Terapi Oksigen. Bagian/SMF Anestesiologi & Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Surakarta/RSUD Dr.
Moewardi. 2008.
3. Saryono. Terapi Oksigen. Lab. Ketrampilan Medik PPD. Universitas
Soedirman Jawa Tengah. 2008.
4. Semedi, Bambang Pujo dan Hardiono. Pemantauan Oksigenasi. Majalah
Kedokteran Terapi Intensif Volume 2 Nomor 2 April 2012 Hal. 85-93.
5. Harahap, Ikhsanuddin Ahmad. Terapi Oksigen dalam Asuhan Keperawatan
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. 2004.
6. Anonim. The Administration of Oxygen in Adults Guideline for
Administration of Oxygen in Adults. Nottingham University Hospitals. 2012.