terapi cairan perioperatif

18
REFERAT TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF Oleh : Lydia 030.03.143

Upload: rizkidiantifitri

Post on 23-Oct-2015

87 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Terapi Cairan perioperatif

REFERAT TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF

Oleh : Lydia 030.03.143

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

PERIODE 21 JULI 2008 – 22 AGUSTUS 2008

RUMAH SAKIT OTORITA BATAM

Page 2: Terapi Cairan perioperatif

PENDAHULUAN

Terapi cairan perioperatif meliputi cairan pada masa prabedah, selama pembedahan

dan pascabedah. Terapi cairan meliputi penggantian kehilangan cairan, memenuhi

kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi untuk membantu tubuh mendapatkan kembali

keseimbangan normal dan pulihnya perfusi ke jaringan, oksigenasi sel, dengan demikian

akan mengurangi iskemia jaringan dan kemungkinan kegagalan organ.1

Penulis memilih judul Referat “Terapi Cairan Perioperatif” karena berdasarkan

pengalaman selama menjalani koassistan di Rumah Sakit Otorita Batam terapi cairan

merupakan hal yang penting yang mendukung keberhasilan operasi.Penulis pernah

menemui adanya pasien dengan operasi ringan tetapi mengalami syok karena dehidrasi

dan sebaliknya ada pasien yang kelebihan cairan sehingga mengalami oedem paru.Dari

pengalaman tersebut penulis merasa perlu menambah pengetahuan tentang terapi cairan

yang sesuai sehingga dalam operasi dapat memperhitungkan dengan tepat jumlah

kebutuhan cairan setiap pasien.Dalam pemberian cairan pada pasien perioperatif, kita

harus memperhitungkan kebutuhan cairan basal, penyakit yang menyertai, medikasi,

teknik dan obat anestetik serta kehilangan cairan akibat pembedahan.1

Tubuh kita terdiri atas 60 % air, sementara 40 % sisanya merupakan zat padat seperti

protein, lemak, dan mineral. Proporsi cairan tubuh menurun dengan pertambahan usia,

dan pada wanita lebih rendah dibandingkan pria karena wanita memiliki lebih banyak

lemak dibanding pria, dan lemak mengandung sedikit air. Sementara neonatus atau bayi

sangat rentan terhadap kehilangan air karena memiliki kandungan air yang paling tinggi

dibandingkan dengan dewasa. Kandungan air pada bayi lahir sekitar 75 % berat badan,

usia 1 bulan 65 %, dewasa pria 60 %, dan wanita 50 %. Air dan elektrolit yang masuk ke

dalam tubuh akan dikeluarkan dalam waktu 24 jam dengan jumlah yang kira-kira sama

melalui urin, feses, keringat, dan pernafasan. Tubuh kita memiliki kemampuan untuk

mempertahankan atau memelihara keseimbangan ini yang dikenal dengan

homeostasis.Namum demikian, terapi cairan parenteral dibutuhkan jika asupan melalui

oral tidak memadai atau tidak dapat mencukupi. Sebagai contoh pada pasien koma,

anoreksia berat, perdarahan banyak, syok hipovolemik, mual muntah yang hebat, atau

Page 3: Terapi Cairan perioperatif

pada keadaan dimana pasien harus puasa lama karena akan dilakukan pembedahan.

Selain itu dalam keadaan tertentu, terapi cairan dapat digunakan sebagai tambahan untuk

memasukkan obat dan zat makanan secara rutin atau untuk menjaga keseimbangan asam-

basa.

Dengan demikian, secara garis besar tujuan dari terapi cairan adalah :

1. Mengatur keseimbangan air dan elektrolit tubuh

2. Dukungan nutrisi

3. Akses intravena

4. Mengatasi syok

Page 4: Terapi Cairan perioperatif

Fisiologi Cairan Tubuh

Cairan tubuh didistribusikan ke dalam 2 komponen utama, yaitu cairan

intraselular dan ekstraseluler serta 1 kompartemen tambahan yaitu kompartemen

transelular. Cairan dapat berpindah-pindah secara bebas sampai terjadi

keseimbangan sehingga konsentrasi zat-zat terlarut dalam nilai osomalaritas di kedua

kompartemen utama dipertahankan.Jumlah cairan/air tubuh total atau Total Body

Water (TWB) adalah 60% x berat badan, terdiri dari cairan intrasel (ICF) 40% dan

cairan ekstrasel (ECF) 20%. Cairan ekstrasel terdiri dari cairan interstitial (ICF) 15%

dan cairan intravaskular (IVF) 5% x berat badan. Cairan intravaskular (5%BB)

adalah plasma sel darah merah 3%. Jadi terdapat darah 8% BB atau kira-kira sama

dengan 65-70 ml/kg berat badan pada laki-laki dan 55-65 ml/kg pada wanita. Total

cairan tubuh bervariasi menurut umur, berat badan dan jenis kelamin.2,4,5,6,7

Air tubuh total maksimal pada saat lahir, kemudian berkurang secara progresif

dengan bertambahnya umur. Air tubuh total pada laki-laki lebih banyak daripada

perempuan dan pada orang kurus (650 ml/kg BB) lebih banyak daripada yang gemuk

(300-400 ml/kg BB).7

Distribusi cairan di dalam kompartemen diatur oleh osmosalitas, distribusi

Natrium dan distribusi koloid terutama albumin. Osmosalitas dikontrol oleh intake

cairan dan regulasi ekskresi air oleh ginjal.

Ada 2 jenis bahan yang terlarut didalam cairan tubuh, yaitu :

a.Elektrolit

Elektrolit ialah molekul yang pecah menjadi partikel bermuatan listrik yaitu kation

dan anion, yang dinyatakan dalam mEq/I cairan. Tiap kompartemen mempunyai

komposisi elektrolit tersendiri (tabel 2). Komposisi elektrolit plasma dan interstisial

hampir sama, kecuali didalam interstisial tidak mengandung protein.

b.Non elektrolit

Page 5: Terapi Cairan perioperatif

Non elektrolit ialah molekul yang tetap, tidak berubah menjadi partikel-partikel,

I. Terapi cairan resusitasi

Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa diberikan 2-3 l dalam 10 menit. Larutan plasma ekspander dapat diberikan pada luka bakar, peningkatan sirkulasi kapiler seperti MCI, syok kardiogenik, hemoragik atau syok septik. Koloid dapat berupa gelatin (hemaksel, gelafunin, gelafusin), polimer dextrose (dextran 40, dextran 70), atau turunan kanji (haes, ekspafusin)

Jika syok terjadi :

Berikan segera oksigen Berikan cairan infus isotonic RA/RL atau NS Jika respon tidak membaik, dosis dapat diulangi

Pertimbangan dalam resusitasi cairan :

1. Medikasi harus diberikan secara iv selama resusitasi2. Perubahan Na dapat menyebabkan hiponatremi yang serius. Na serum harus

dimonitor, terutama pada pemberian infus dalam volume besar.3. Transfusi diberikan bila hematokrit < 304. Insulin infus diberikan bila kadar gula darah > 200 mg%5. Histamin H2-blocker dan antacid sebaiknya diberikan untuk menjaga pH lambung

7,0

 II. Terapi cairan rumatan

Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi. Diberikan dengan kecepatan 80 ml/jam. Untuk anak gunakan rumus 4:2:1, yaitu :

4 ml/kg/jam untuk 10 kg pertama 2 ml/kg/jam untuk 10 kg kedua 1 ml/kg/jam tambahan untuk sisa berat badan

Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan karbohidrat atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit yang juga mengendung karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer's dextrose, dll. Sedangkan larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose 5%.

Page 6: Terapi Cairan perioperatif

Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi ruang antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena seperti sudah dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian.Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu :

6-8 ml/kg untuk bedah besar misalnya laparotomi 4-6 ml/kg untuk bedah sedang 2-4 ml/kg untuk bedah kecil misalnya debridement,FAM

Penatalaksanaan pemberian cairan perioperatif

1.Cairan pra bedah

Sebelum pasien masuk ke dalam ruang operasi perlu dilakukan penilaian status cairan

terlebih dahulu.Penilaian status cairan didapat dari :

Anamnesa

Apakah ada perdarahan?

Apakah ada muntah ?

Apakah ada diare ?

Apakah ada rasa haus ?

Berapa jumlah urin terahkir ?

Berdasarkan pengalaman penulis selama menjadi koass anestesi pada pasien pasien

yang dipuasakan perlu ditanyakan kembali kapan terahkir pasien makan/minum karena

meskipun pada preoperasi sudah ditentukan jam puasa kadang kadang pasien puasa

lebih atau kurang dari jam yang ditentukan sehingga mempengaruhi status cairannya.

Pemeriksaan Fisik

Dari pemeriksaan fisik dapat diketahui status cairan pasien.Perlu dilakukan pengukuran

tanda vital seperti tensi,nadi ,suhu.Pasien yang mengalami dehidrasi mata cekung , turgor

Page 7: Terapi Cairan perioperatif

kulit kurang , tekanan darah turun , nadi meningkat , urin kurang.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan elektrolit, BUN, hematokrit,

hemoglobin dan protein.

Defisit cairan dapat diperkirakan dari berat-ringannya dehidrasi yang terjadi.8

Pada fase awal pasien yang sadar akan mengeluh haus, nadi biasanya meningkat sedikit,

belum ada gangguan cairan dan komposisinya secara serius. Dehidrasi pada fase ini

terjadi jika kehilangan kira-kira 2% BB (1500 ml air).

Fase moderat, ditandai rasa haus. Mukosa kering otot lemah, nadi cepat dan lemah.

Terjadi pada kehilangan cairan 6% BB.

Fase lanjut/dehidrasi berat, ditandai adanya tanda shock cardiosirkulasi, terjadi pada

kehilangan cairan 7-15 % BB. Kegagalan penggantian cairan dan elektrolit biasanya

menyebabkan kematian jika kehilangan cairan 15 % BB atau lebih.

Cairan preoperatif diberikan dalam bentuk cairan pemeliharaan, pada dewasa 2

ml/kgBB/jam. Atau 60 ml ditambah 1 ml/kgBB untuk berat badan lebih dari 20 kg.10

Pada anak-anak 4 ml/kg pada 10 kg BB I, ditambah 2 ml/kg untuk 10 kgBB II, dan

ditambah 1 ml/kg untuk berat badan sisanya.2,3,7

Kecuali penilaian terhadap keadaan umum dan kardiovaskuler, tanda rehidrasi tercapai

ialah dengan adanya produksi urine 0,5-1 ml/kgBB.2

2.Cairan selama pembedahan

Pemberian cairan selama operasi sebaiknya diperhitungkan terlebih dahulu.Pemberian

cairan yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan oedem paru sedangkan apabila

kekurangan dapat menyebabkan dehidrasi yang berahkir dengan syok hipovalemik.Terapi

cairan selama operasi meliputi :

a. kebutuhan dasar cairan(Maintenance)

Kebutuhan cairan dasar(Maintenance) dihitung berdasarkan Berat Badan.10 kg

pertama dikalikan 4,10 kg 2 dikalikan 2,dan 10 kg terahkir dikalikan 1.

b. penggantian sisa defisit pra operasi(P)

Sebelum operasi pasien dipuasakan.Cara menghitung jumlah pengganian sisa

Page 8: Terapi Cairan perioperatif

defisit operasi jumlah jam puasa dikalikan berat badan.Sebesar 50 % diberikan

pada jam pertama.

c.cairan yang hilang selama operasi(O) .

Cairan yang hilang selama operasi diperkirakan dari jenis pembedahannya

digolongkan menjadi 3 operasi ringan , operasi sedang dan operasi berat. Pada

pembedahan dengan trauma ringan diberikan cairan 2 ml/kg BB/jam untuk kebutuhan

dasar ditambah 4 ml/kg BB/jam sebagai pengganti akibat trauma pembedahan. Cairan

pengganti akibat trauma pembedahan sedang 6 ml/kg BB/jam dan pada trauma

pembedahan berat 8 ml/kg BB/jam.2,3

Selain memperhitungkan maintenance,jumlah puasa dan kehilangan cairan

selama operasi kita tidak boleh lupa menghitung jumlah perdarahan.Pada setiap status

anestesi harus dicantumkan jumlah perdarahan yang terjad iPerkiraan jumlah perdarahan

yang terjadi selama pembedahan sering mengalami kesulitan., dikarenakan adanya

perdarahan yang sulit diukur/tersembunyi yang terdapat di dalam luka operasi, kain kasa,

kain operasi dan lain-lain. Dalam hal ini cara yang biasa digunakan untuk memperkirakan

jumlah perdarahan dengan mengukur jumlah darah di dalam botol suction ditambah

perkiraan jumlah darah di kain kasa dan kain operasi. Satu lembar duk dapat menampung

100 – 150 ml darah, sedangkan untuk kain kasa sebaiknya ditimbang sebelum dan setelah

dipakai, dimana selisih 1 gram dianggap sama dengan 1 ml darah. Perkiraan jumlah

perdarahan dapat juga diukur dengan pemeriksaan hematokrit dan hemoglobin secara

serial.3 Pada perdarahan untuk mempertahankan volume intravena dapat diberikan

kristaloid atau koloid sampai tahap timbulnya bahaya karena anemia.Perdarahan hebat

misalnya akibat atonia uteri pada Sectio caesarea. Pada keadaan ini perdarahan

selanjutnya diganti dengan transfusi sel darah merah untuk mempertahankan konsentrasi

hemoglobin ataupun hematokrit pada level aman, yaitu Hb 7 – 10 g/dl atau Hct 21 – 30%.

20 – 25% pada individu sehat atau anemia kronis.11

Selain cara tersebut di atas, beberapa pendapat mengenai penggantian cairan akibat

perdarahan adalah sebagai berikut :

A.Berdasar berat-ringannya perdarahan : 3,13

1.Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10 – 15%, cukup diganti dengan

cairan elektrolit.

Page 9: Terapi Cairan perioperatif

2.Perdarahan sedang, perdarahan 10 – 20% EBV, 15 – 30%, dapat diganti dengan cairan

kristaloid dan koloid.

3.Perdarahan berat, perdarahan 20 – 50% EBV, > 30%, harus diganti dengan transfusi

darah.

3. Cairan paska bedah

Terapi cairan paska bedah ditujukan untuk :

a.Memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi.

b.Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung, febris).

c.Melanjutkan penggantian defisit prabedah dan selama pembedahan.

d.Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan.

Nutrisi parenteral bertujuan menyediakan nutrisi lengkap, yaitu kalori, protein dan lemak

termasuk unsur penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan trace element. Pemberian kalori

sampai 40 – 50 Kcal/kg dengan protein 0,2 – 0,24 N/kg. Nutrisi parenteral ini penting,

karena pada penderita paska bedah yang tidak mendapat nutrisi sama sekali akan

kehilangan protein 75 – 125 gr/hari. Hipoalbuminemia menyebabkan edema jaringan,

infeksi dan dehisensi luka operasi, terjadi penurunan enzym pencernaan yang

menyulitkan proses realimentasi.6

Pemberian Loading cairan pada pasien Sectio caesarea

Berdasarkan pengalaman penulis di Rumah sakit Otorita Batam pada pasien Sectio

Caesarea yang mendapat regional anestesi mendapat loading cairan Asering sebesar

minimal 1 kolf pada jam pertama.Manfaat pemberian loading cairan pada saat induksi

anastesi, misalnya ditunjukkan oleh studi Ewaldsson dan Hahn (2001) yang menganalisis

efek pemberian 350 mL RA secara cepat (dalam waktu 2 menit) setelah induksi anestesi

umum dan spinal terhadap parameter-parameter volume kinetik. Studi ini

memperlihatkan pemberian RA dapat mencegah hipotensi arteri yang disebabkan

hipovolemia sentral, yang umum terjadi setelah anestesi umum/spinal. Untuk kasus

obstetrik, Onizuka dkk (1999) mencoba membandingkan efek pemberian infus cepat RL

dengan RA terhadap metabolisme maternal dan fetal, serta keseimbangan asam basa pada

20 pasien yang menjalani kombinasi anestesi spinal dan epidural sebelum seksio sesarea.

Page 10: Terapi Cairan perioperatif

Studi ini memperlihatkan pemberian RA lebih baik dibanding RL untuk ke-3 parameter

di atas, karena dapat memperbaiki asidosis laktat neonatus (kondisi yang umum terjadi

pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengalami eklampsia atau pre-eklampsia). Dr

Susilo Chandra SpAn dari Departemen Anastesi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM

memaparkan hasil studi komparartif penggunaan RA ( ASERING® ) dan RL pada pasien

sectio cesarean dengan Subarachnoid Anasthesia.Sebanyak 40 wanita dialokasikan

menjadi dua kelompok, yakni kelompok yang menerima RA dan kelompok RL. Sebelum

induksi, masing-masing kelompok mendapat 3 ml/kg/jam. Segera setelah induksi anestesi

subaraknoid, diberikan cairan yang sama sesuai kelompoknya namun dengan kecepatan

bolus 500 ml dalam 30 menit. Tanda-tanda vital, suhu timpani, suhu aksila dan

pengobatan yang diberikan dicatat, baik pada baseline maupun setiap 5 menit

sesudahnya.Dari data penelitian didapatkan bahwa parameter hemodinamik pada intra

dan postoperative tidak berbeda bermakna. Ini sekaligus membuktikan bahwa kristaloid

cukup efektif untuk mengatasi hipotensi akibat induksi anestesi regional dan tidak

satupun pasien sampai memerlukan cairan koloid yang harganya > 20 kali lebih tinggi

daripada kristaloid.Hasil studi juga memperlihatkan RA dapat mempertahankan suhu

tubuh lebih baik dibanding RL secara signifikan pada menit ke 5, 50, 55, dan 65, tanpa

menimbulkan perbedaan yang signifikan pada parameter-parameter hemodinamik (antara

lain denyut jantung dan tekanan darah sistolik/diastolik) di antara 2 kelompok. Untuk

insiden dan derajat menggigil, kelompok RA juga diperlihatkan mengalami insiden

menggigil yang lebih sedikit dibanding kelompok RL sampai dengan menit ke 25

(p<0.05), serta derajat menggigil yang lebih rendah pada 20 menit pertama dibanding

kelompok RL (p=0,029).

Page 11: Terapi Cairan perioperatif
Page 12: Terapi Cairan perioperatif

DAFTAR PUSTAKA

1.Sunatrio, 1997, Terapi Cairan untuk Resusitasi Pasien Traumatik, dalam Symposium of

Fluid and Nutrition Therapy in Traumatic Patients, Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM,

Jakarta.

2.Suntoro, A, Terapi Cairan Perioperatif, dalam Muhiman, M. dkk., Anestesiologi, CV.

Infomedika, Jakarta.

3.Ngurah, N., 1999, Terapi Cairan Perioperatif, Workshop Cairan, FK UGM, RSUP Dr.

Sardjito.

4.Mulyono, I., Jenis-jenis Cairan, dalam Symposium of Fluid and Nutrition Therapy in

Traumatic Patients, Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM, Jakarta.

5.Setiabudi, M., 1986, Fisiologi Cairan Tubuh, dalam Simposium Terapi cairan pada

Penderita Gawat.

6.Sutjahjo, RA., Sulistyono, H, Sunartomo, T., 1986, Terapi Cairan Paska Bedah, dalam

Simposium Terapi Cairan pada Penderita Gawat.

7.Tonessen AS., 1990, Crystalloids and Colloid, in Miller, RD., Anesthesia, Ed 3rd, Vol.

2. Churchill Livingstone, p : 1439-1465.

8.Collins, VI., 1996, Fluids and Electrolytes, in Physicologic and Pharmachologic Bases

of Anesthesia, Williams & Wilkins, USA, p : 165-187.

9.Sunatrio, 1998, Terapi Cairan Resusitasi, dalam Simposium dan Diskusi Panel Aspek

Klinis Pengguna Koloid, IDSAI & IDI Cab. Sleman, Yogyakarta.

10.Lennon, P., 1993, Administration of General Anesthesia, in Davison, MD., et all,

Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital, Ed 4th, Dept. of

Anesthesia, Massachusetts Hospital, USA, p : 188-197.

Page 13: Terapi Cairan perioperatif

11.Hansel, AC., 1993, Transfusion Therapy, in Davison, MD., et all, Clinical Anesthesia,

Massachusetts Hospital, USA, p : 511-526.

12.Baskett, PJF., 1990, Management of Hypovolenic Shock, British Medical Journal

(BMJ), Vol. 300 : 1453-1457.

13.Wirjo Atmadja, K., Megwae, HH., Rahardjo, E., 1986, Patofisiologi Cairan Tubuh

pada Trauma dan Perdarahan, dalam