teori-teori perkembangan kota
DESCRIPTION
Teori-teori Perkembangan KotaTRANSCRIPT
-
Teori-teori Perkembangan KotaPosted on November 9, 2011
A. TEORI KONSENTRIS (THE CONSENTRIC THEORY)
Teori ini dikemukakan oleh E.W. Burgess (Yunus, 1999), atas dasar tudy kasusnya mengenai morfologi kota
Chicago, menurutnya sesuat kota yang besar mempunyai kecenderungan berkembang ke arah luar di semua
bagian-bagiannya. Masing-masing zona tumbuh sedikit demi sedikit ke arah luar. Oleh karena semua bagian-
bagiannya berkembang ke segala arah, maka pola keruangan yang dihasilkan akan berbentuk seperti
lingkaran yang berlapis-lapis, dengan daerah pusat kegiatan sebagai intinya.
Secara berurutan, tata ruang kota yang ada pada suatu kota yang mengikuti suatu pola konsentris ini adalah
sebagai berikut:
a. Daerah Pusat atau Kawasan Pusat Bisnis (KPB).
Daerah pusat kegiatan ini sering disebut sebagai pusat kota. Dalam daerah ini terdapat bangunan-bangunan
utama untuk melakukan kegiatan baik sosial, ekonomi, poitik dan budaya. Contohnya : Daerah pertokoan,
perkantoran, gedung kesenian, bank dan lainnya.
b. Daerah Peralihan.
Daerah ini kebanyakan di huni oleh golongan penduduk kurang mampu dalam kehidupan sosial-ekonominya.
Penduduk ini sebagian besar terdiri dari pendatang-pendatang yang tidak stabil (musiman), terutama
ditinjau dari tempat tinggalnya. Di beberapa tempat pada daerah ini terdapat kegiatan industri ringan,
sebagai perluasan dari KPB.
c. Daerah Pabrik dan Perumahan Pekerja.
Daerah ini di huni oleh pekerja-pekerja pabrik yang ada di daerah ini. Kondisi perumahannya sedikit lebih
buruk daripada daerah peralihan, hal ini disebabkan karena kebanyakan pekerja-pekerja yang tinggal di sini
adalah dari golongan pekerja kelas rendah.
d. Daerah Perumahan yang Lebih Baik Kondisinya.
Daerah ini dihuni oleh penduduk yang lebih stabil keadaannya dibanding dengan penduduk yang menghuni
daerah yang disebut sebelumnya, baik ditinjau dari pemukimannya maupun dari perekonomiannya.
e. Daerah Penglaju.
Daerah ini mempunyai tipe kehidupan yang dipengaruhi oleh pola hidup daerah pedesaan disekitarnya.
Sebagian menunjukkan ciri-ciri kehidupan perkotaan dan sebagian yang lain menunjukkan ciri-ciri
Pengembangan Perkotaan
-
kehidupan pedesaan, Kebanyakan penduduknya mempunyai lapangan pekerjaan nonagraris dan merupakan
pekerja-pekerja penglaju yang bekerja di dalam kota, sebagian penduduk yang lain adalah penduduk yang
bekerja di bidang pertanian.
B. TEORI SEKTOR
Teori sector ini dikemukakan oleh Homer Hoyt (Yunus, 1991 & 1999), dinyatakan bahwa perkembangan-
perkembangan baru yang terjadi di dalam suatu kota, berangsur-angsur menghasilkan kembali karakter yang
dipunyai oleh sector-sektor yang sama terlebih dahulu. Alasan ini terutama didasarkan pada adanya
kenyataan bahwa di dalam kota-kota yang besar terdapat variasi sewa tanah atau sewa rumah yang besar.
Belum tentu sesuatu tempat yang mempunyai jarak yang sama terhadap KPB akan mempunyai nilai sewa
tanah atau rumah yang sama, atau belum tentu semakin jauh letak atau tempat terhadap KPB akan
mempunyai nilai sewa yang semakin rendah. Kadang-kadang daerah tertentu dan bahkan sering terjadi
bahwa daerah-daerah tertentu yang letaknya lebih dekat dengan KPB mempunyai nilai sewa tanah atau
rumah yang lebih rendah daripada daerah yang lebih jauh dari KPB. Keadaan ini sangat banyak dipengaruhi
oleh factor transportasi, komunikasi dan segala aspek-aspek yang lainnya.
1. Pertumbuhan Vertikat, yaitu daerah ini dihuni oleh struktur keluarga tunggal dan semakin lama akan
didiami oleh struktur keluarga ganda. Hal ini karena ada factor pembatas, yaitu : fisik, social, ekonomi dan
politik.
2. Pertumbuhan Memampat, yaitu apabila wilayah suatu kota masih cukup tersedia ruang-ruang kosong
untuk bangunan tempat tinggal dan bangunan lainnya.
3. Pertumbuhan Mendatar ke Arah Luar (Centrifugal), yaitu biasanya terjadi karena adanya kekurangan
ruang bagi tempat tinggal dan kegiatan lainnya. Pertumbuhannya bersifat datar centrifugal, karena
perembetan pertumbuhannya akan kelihatan nyata pada sepanjang rute transportasi. Pertumbuhan datar
centrifugal ini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
A. Pertumbuhan Datas Aksial, pertumbuhan kota yang memanjang ini terutama dipengaruhi oleh adanya
jalur transportasi yang menghubungkan KPB dengan daerah-daerah yang berada diluarnya.
B. Pertumbuhan Datar Tematis, pertumbuhan lateral suatu kota tipe ini tidak mengikuti arah jalur
transportasi yang ada, tetapi lebih banyak dilatarbelakangi oleh keadaan khusus, sebagai cintih yaitu
dengan didirikannya beberapa pusat pendidikan, sehingga akan menarik penduduk untuk bertempat
tinggal di daerah sekitarnya. Di lingkungan pusat kegiatan yang beru ii akan timbul suatu suasana
perkotaan yang secara administrative mungkin terpisah dari kota yang ada. Oleh karena jarak antara
pusast kegiatan yang baru dengan daerah perkotaan yang lama biasanya tidak terlalu jauh, maka
pertumbuhan selanjutnya adalah pada pusat yang lama dengan pusat yang baru akan bergabung
menjadi satu.
C. Pertumbuhan Datar Kolesen, perkembangan lateral ketiga ini terjadi karena adanya gabungan dari
perkembangan tipe satu dan dua. Sehubungan dengan adanya perkembangan yang terus-menerus dan
bersifat datar pada kota (pusat kegiatan), maka mengakibatkan terjadinya penggabungan pusat-pusat
tersebut satu kesatuan kegiatan.
Perumusan Kriteria Liveable Cities Yang Terdiri Dari 8 Variabel Dan 35 Kriteria Sebagai
Berikut : (Symposium Iap 2008)
1. Fisik Kota : Tata ruang, arsitektur, RTH, ciri dan karakter budaya lokal
-
2. Kualitas Lingkungan : kebersihan kota dan tingkat pencemaran.
3. Transportasi-Aksesibilitas : angkutan umum, kualitas jalan, waktu tempuh ke tempat aktivtas, pedestrian.
4. Fasilitas : Fasilitas kesehatan, pendidikan, peribadatan, rekreasi, taman kota.
5. Utilitas : Air bersih, listrik, telekomunikasi
6. Ekonomi : tingkat pendapatan, biaya hidup, ramah investasi
7. Sosial : Ruang publik, ruang kreatif, interaksi sosial, kriminalitas, tingkat kesetaraan warga kota,
partisipasi warga, dukungan terhadap orang tua, penyandang cacat, dan wanita hamil.
8. Birokrasi dan Pemerintahan : Leadership yang kuat, dukungan kebijakan, kepastian hukum, akuntabilitas
pemerintah, tingkat penerapan rencana kota, dukungan program pembangunan, dukungan pembiayaan.
C. TEORI PERTUMBUHAN KOTA
Menurut Spiro Kostof (1991), Kota adalah Leburan Dari bangunan dan penduduk, sedangkan bentuk kota
pada awalnya adalah netral tetapi kemudian berubah sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya yang
tertentu. Bentuk kota ada dua macam yaitu geometri dan organik.Terdapat dikotomi bentuk perkotaan yang
didasarkan pada bentuk geometri kota yaitu Planned dan Unplanned.
Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota eropa abad pertengahan dengan pengaturan
kota yang selalu regular dan rancangan bentuk geometrik.
Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota metropolitan, dimana satu segmen
kota berkembang secara sepontan dengan bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga
akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut dengan organik pattern, bentuk
kota organik tersebut secara spontan, tidak terencana dan memiliki pola yang tidak teratur dan non
geometrik.
Elemen-elemen pembentuk kota pada kota organik, oleh kostol dianalogikan secara biologis seperti organ
tubuh manusia, yaitu :
1. Square, open space sebagai paru-paru.
2. Center, pusat kota sebagai jantung yang memompa darah (traffic).
3. Jaringan jalan sebagai saluran arteri darah dalam tubuh.
4. Kegiatan ekonomi kota sebagai sel yang berfikir.
5. Bank, pelabuhan, kawasan industri sebagai jaringan khusus dalam tubuh.
6. Unsur kapital (keuangan dan bangunan) sebagai energi yang mengalir ke seluruh sistem perkotaan.
Dalam suatu kota organik, terjadi saling ketergantungan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Contohnya : jalan-jalan dan lorong-lorong menjadi ruang komunal dan ruang publik yang tidak teratur tetapi
menunjukkan adanya kontak sosial dan saling menyesuaikan diri antara penduduk asli dan pendatang, antara
kepentingan individu dan kepentingan umum. Perubahan demi perubahan fisik dan non fisik (sosial) terjadi
secara sepontan. Apabila salah satu elemnya terganggu maka seluruh lingkungan akan terganggu juga,
sehingga akan mencari keseimbangan baru. Demikian ini terjadi secara berulang-ulang.
-
Menurut Kevin Lynch (1981), definisi model organik atau kota biologis adalah kota yang terlihat sebagai
tempat tinggal yang hidup, memiliki ciri-ciri kehidupan yang membedakannya dari sekedar mesin, mengatur
diri sendiri dan dibatasi oleh ukuran dan batas yang optimal, struktur internal dan perilaku yang khas,
perubahannya tidak dapat dihindari untuk mempertahankan keseimbangan yang ada, menurutnya bentuk
fisik organik :
Membentuk pola radial dengan unit terbatas.
Memiliki focused centre.
Memiliki lay out non geometrik atau cenderung romantis dengan pola yang membentuk lengkung tak
beraturan.
Material alami.
Kepadatan sedang sampai rendah.
Dekat dengan alam
Di dalam model organik ini, organisasi ruang telah membentuk kesatuan yang terdiri dari unit-unit yang
memiliki fungsi masing-masing. Kota terbentuk organik mudah untuk mengalami penurunan kualitas karena
perkembangannya yang spontan, tidak terencana dan sepotong-sepotong. Masyarakat penghuni kota ini
bermacam-macam yang merupakan percampuran antara berbagai macam manusia dalam suatu tempat yang
memiliki keseimbangan. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda, saling menyimpang tetapi juga saling
mendukung satu sama lain. Kota organik memiliki ciri khas pada kerjasama pemeliharan lingkungan sosial
oleh masyarakat.
D. TEORI TEORI PERTUMBUHAN KOTA
Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan perubahan suatu kawasan dan sekitarnya sebagai
bagian dari suatu kawasan perkotaan yang lebih luas, menurut Gallion dalam buku The Urban Pattern
disebutkan bahwa perubahan suatu kawasan dan sebagian kota dipengaruhi letak geografis suatu kota. Hal ini
sangat berpengaruh terhadap perubahan akibat pertumbuhan daerah di kota tersebut, apabila terletak di
daerah pantai yang landai, pada jaringan transportasi dan jaringan hubungan antar kota, maka kota akan
cepat tumbuh sehingga beberapa elemen kawasan kota akan cepat berubah.
Dalam proses perubahan yang menimbulkan distorsi (mengingat skala perubahan cukup besar) dalam
lingkungan termasuk didalamnya perubahan penggunaan lahan secara organik, terdapat beberapa hal yang
bisa diamati yaitu :
1. Pertumbuhan terjadi satu demi satu, sedikit demi sedikit atau terus menerus.
2. Pertumbuhan yang terjadi tidak dapat diduga dan tidak dapat diketahui kapan dimulai dan kapan akan
berakhir, hal ini tergantung dari kekuatan-kekuatan yang melatar belakanginya.
3. Proses perubahan lahan yang terjadi bukan merupakan proses segmental yang berlangsung tahap demi
tahap, tetapi merupakan proses yang komprehensif dan berkesinambungan.
4. Perubahan yang terjadi mempunyai kaitan erat dengan emosional (sistem nilai) yang ada dalam populasi
pendukung.
5. Faktor-faktor penyebab perubahan lainya adalah vision (kesan), optimalnya kawasan, penataan yang
-
maksimal pada kawasan dengn fungsi-fungsi yang mendukung, penggunaan struktur yang sesuai pada
bangunan serta komposisi tapak pada kawasan. (Cristoper Alexander, A New Theory Of Urban Design, 1987,
14:32-99).
Uraian diatas sesuai dengan kondisi kawasan penelitian yang berada di kawasan bencana alam, yaitu adanya
perubahan pola tata ruang lingkungan permukiman (kampung kota) mengarah kepada tatanan kawasan
mitigasi bencana alam yang nantinya melalui tahapan proses terus menerus yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan manusianya.
Dalam kaitanya dengan kota dan arsitektur, morfologi memiliki dua aspek yaitu aspek diakronik yang
berkaitan dengan perubahan ide dalam sejarah dan aspek sinkronik yaitu hubungan antar bagian dalam
kurun waktu tertentu yang dihubungkan dengan aspek lain. Aspek metamorfosis adalah sejarah individual
dari bangunan dan kota, kesemuanya harus dilakukan dalam analisis morfologi.
Karya arsitektur merupakan salah satu refleksi dan perwujudan kehidupan dasar masyarakat menurut makna
yang dapat dikomunikasikan (Rapoport, 1969). Keseragaman dan keberagaman sebagai ungkapan
perwujudan fisik yang terbentuk yaitu citra dalam arti identitas akan memberikan makna sebagai pembentuk
citra suatu tempat (place).
Ada tiga komponen struktural yang dapat dikaji (Schultz, 1984) :
X Tipologi : menyangkut tatanan sosial (sosial order) dan pengorganisasian ruang (spatial organization) yang
dalam hal ini menyangkut ruang (space) berkaitan dengan tempat yang abstrak.
X Morfologi : menyangkut kualitas spasial figural dan konteks wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca
melalui pola, hirarki, dan hubungan ruang satu dengan yang lainya.
Tipologi lebih menekankan pada konsep dan konsistensi yang dapat memudahkan masyarakat mengenai
bagian-bagian arsitektur. Morfologi lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometris, sehingga untuk
memberi makna pada ungkapan ruang harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu, nilai ruang sangat
berkaitan dengan organisasi ruang, hubungan ruang dan bentuk ruang, perwujudan spasial fisik merupakan
produk kolektif perilaku budaya masyarakat serta pengaruh kekuasaan tertentu yang melatarbelakanginya.
Karakteristik suatu tempat dalam hal ini penggunaan suatu lingkungan binaan tertentu bukan hanya sekedar
mewadahi kegiatan fungsional secara statis, melainkan menyerap dan menghasilkan makna berbagai
kekhasan suatu tempat antara lain setting fisik bangunan, komposisi dan konfigurasi bangunan dengan ruang
publik serta kehidupan masyarakat setempat.
Perubahan morfologi tidak lepas dari pendukung kegiatan (activity support) karena adanya keterkaitan antara
fasilitas ruang-ruang umum kawasan dengan seluruh kegiatan yang menyangkut penggunaan ruang yang
menunjang keberadaan ruang-ruang umum. Kegiatan dan ruang-ruang umum merupakan hal yang saling
mengisi dan melengkapi, keberadaan pendukung kegiatan mulai muncul dan tumbuh, bila berada diantara
dua kutub kegiatan yang ada di kawasan tersebut keberadaan pendukung kegiatan tidak lepas dari
tumbuhnya fungsi kegiatan publik yang mendominasi penggunaan ruang kawasan, semakin dekat dengan
pusat kegiatan semaking tinggi intensitas dan keberagaman kegiatan.
E. ELEMEN-ELEMEN FISIK KOTA
-
Dalam desain perkotaan (Shirvani, 1985) terdapat elemen-elemen fisik Urban Design yang bersifat ekspresif
dan suportif yang mendukung terbentuknya struktur visual kota serta terciptanya citra lingkungan yang dapat
pula ditemukan pada lingkungan di lokasi penelitian, elemen-elemen tersebut adalah :
a. Tata Guna Tanah
Tata guna lahan dua dimensi menentukan ruang tiga dimensi yang terbentuk, tata guna lahan perlu
mempertimbangkan dua hal yaitu pertimbangan umum dan pertimbangan pejalan kaki (street level) yang
akan menciptakan ruang yang manusiawi.
Peruntukan lahan suatu tempat secara langsung disesuaikan dengan masalah-masalah yang terkait,
bagaimana seharusnya daerah zona dikembangkan, Shirvany mengatakan bahwa zoning ordinace merupakan
suatu mekanisme pengendalian yang praktis dan bermanfaat dalam urban design, penekanan utama terletak
pada masalah tiga dimensi yaitu hubungan keserasin antar bangunan dan kualitas lingkungan.
Jika kita melihat dilokasi penelitian bisa dilihat dari zona mitigasi tiap-tiap wilayah kaitanya dalam
menyiapkan daerah yang masuk dalam wilayah bencana alam siap menghadapinya dan juga membentuk
kualitas hidup lingkungan dan bersifat kawasan yang manusiawi.
b. Bentuk dan Massa Bangunan
Menyangkut aspek-aspek bentuk fisik karena setting, spesifik yang meliputi ketinggian, besaran, floor area
ratio, koefisien dasar bangunan, pemunduran (setback) dari garis jalan, style bangunan, skala proporsi,
bahan, tekstur dan warna agar menghasilkan bangunan yang berhubungan secara harmonis dengan
bangunan-bangunan lain disekitarnya.
Prinsip-prinsip dan teknik Urban Design yang berkaitan dengan bentuk dan massa bangunan meliputi :
1. Scale, berkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi dan dimensi bangunan sekitar.
2. Urban Space, sirkulasi ruang yang disebabkan bentuk kota, batas dan tipe-tipe ruang.
3. Urban Mass, meliputi bangunan, permukaan tanah dan obyek dalam ruang yang dapat tersusun untuk
membentuk urban space dan pola aktifitas dalam skala besar dan kecil.
c. SIRKULASI DAN PARKIR
Elemen sirkulasi adalah satu aspek yang kuat dalam membentuk struktur lingkungan perkotaan, tiga prinsip
utama pengaturan teknik sirkulasi adalah :
1. Jalan harus menjadi elemen ruang terbuka yang memiliki dampak visual yang positif.
2. Jalan harus dapat memberikan orientasi kepada pengemudi dan membuat lingkungan menjadi jelas
terbaca.
3. Sektor publik harus terpadu dan saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
-
d. RUANG TERBUKA
Ian C. Laurit mengelompokkan ruang terbuka sebagai berikut :
1. Ruang terbuka sebagai sumber produksi.
2. Ruang terbuka sebagai perlindungan terhadap kekayaan alam dan manusia (cagar alam, daerah budaya
dan sejarah).
3. Ruang terbuka untuk kesehatan, kesejahteraan dan kenyamanan.
Ruang terbuka memiliki fungsi :
1. Menyediakan cahaya dan sirkulasi udara dalam bangunan terutama di pusat kota.
2. Menghadirkan kesan perspektif dan visa pada pemandangan kota (urban scane) terutama dikawasan
pusat kota yang padat.
3. Menyediakan arena rekreasi dengan bentuk aktifitas khusus.
4. Melindungi fungsi ekologi kawasan.
5. Memberikan bentuk solid foid pada kawasan.
6. Sebagai area cadangan untuk penggunaan dimasa depan (cadangan area pengembangan).
Aspek pengendalian ruang terbuka pusat kota sebagai aspek fisik, visual ruang, lingkage dan kepemilikan
dipengaruhi beberapa faktor :
1. Elemen pembentuk ruang, bagaimana ruang terbuka kota yang akan dikenakan (konteks tempat)
tersebut didefinisikan (shape, jalan, plaza, pedestrian ways, elemen vertikal).
2. Faktor tempat, bagaimana keterkaitan dengan sistem lingkage yang ada.
3. Aktifitas utama.
4. Faktor comfortabilitas, bagaimana keterkaitan dengan kuantitas (besaran ruang, jarak pencapaian) dan
kualitas (estetika visual) ruang.
5. Faktor keterkaitan antara private domain dan public domain.
e. JALUR PEJALAN KAKI
Sistem pejalan kaki yang baik adalah :
1. Mengurangi ketergantungan dari kendaraan bermotor dalam areal kota.
2. Meningkatkan kualitas lingkungan dengan memprioritaskan skala manusia.
-
3. Lebih mengekspresikan aktifitas PKL mampu menyajikan kualitas udara.
f. ACTIVITY SUPPORT
Muncul oleh adanya keterkaitan antara fasilitas ruang-ruang umum kota dengan seluruh kegiatan yang
menyangkut penggunaan ruang kota yang menunjang akan keberadaan ruang-ruang umum kota. Kegiatan-
kegiatan dan ruang-ruang umum bersifat saling mengisi dan melengkapi.
Pada dasarnya activity support adalah :
1 Aktifitas yang mengarahkan pada kepentingan pergerakan (importment of movement).
2 Kehidupan kota dan kegembiraan (excitentent).
Keberadaan aktifitas pendukung tidak lepas dari tumbuhnya fungsi-fungsi kegiatan publik yang
mendominasi penggunaan ruang-ruang umum kota, semakin dekat dengan pusat kota makin tinggi intensitas
dan keberagamannya.
Bentuk actifity support adalah kegiatan penunjang yang menghubungkan dua atau lebih pusat kegiatan
umum yang ada di kota, mislnya open space (taman kota, taman rekreasi, plaza, taman budaya, kawasan PKL,
pedestrian ways dan sebagainya) dan juga bangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan umum.
g. Simbol Dan Tanda
Ukuran dan kualitas dari papan reklame diatur untuk :
1. Menciptakan kesesuaian.
2. Mengurangi dampak negatif visual.
3. Dalam waktu bersamaan menghilangkan kebingungan serta persaingan dengan tanda lalu lintas atau
tanda umum yang penting.
4. Tanda yang didesain dengan baik menyumbangkan karakter pada fasade bangunan dan menghidupkan
street space dan memberikan informasi bisnis.
5. Dalam urban design, preservasi harus diarahkan pada perlindungan permukiman yang ada dan urban
place, sama seperti tempat atau bangunan sejarah, hal ini berarti pula mempertahankan kegiatan yang
berlangsung di tempat itu.
F. TEORI DESAIN SPASIAL KOTA
Menurut Tracik (1986) dalam suatu lingkungan permukiman ada rangkaian antara figure ground, linkage dan
palce. Figure ground menekankan adanya public civics space atau open space pada kota sebagai figure.
Melalui figure ground plan dapat diketahui antara lain pola atau tipologi, konfigurasi solid void yang
merupakan elemtal kawasan atau pattern kawasan penelitian, kualitas ruang luar sangat dipengaruhi oleh
figure bangunan-bangunan yang melingkupinya, dimana tampak bangunan merupakan dinding ruang luar,
-
oleh karena itu tata letak, bentuk dan fasade sistem bangunan harus berada dalam sistem ruang luar yang
membentuknya. Komunikasi antara privat dan publik tercipta secara langsung. Ruang yang mengurung
(enclosure) merupakan void yang paling dominan, berskala manusia (dalam lingkup sudut pandang mata 25-
30 derajat) void adalah ruang luar yang berskala interior, dimana ruang tersebut seperti di dalam bangunan,
sehingga ruang luar yang enclosure terasa seperti interior. Diperlukan keakraban antara bangunan sebagai
private domain dan ruang luar sebagai public dominan yang menyatu.
Dalam lingkage theory sirkulasi merupakan penekanan pada hubungan pergerakan yang meruakan
kontribusi yang sangat penting. Menurut Fumihiko Maki, Linkage secara sederhana adalah perekat, yaitu
suatu kegiatan yang menyatukan seluruh lapisan aktivitas dan menghasilkan bentuk fisik kota, dalam teorinya
dibedakan menjadi tiga tipe ruang kota formal, yaitu : Composition form, Megaform dan groupform. Teori
linkage yang dapat diterapkan dalam kajian ini adalah group form yang merupakan ciri khas dari bentuk-
bentuk spasial kota yang mempunyai kajian sejarah. Linkage ini tidak terbentuk secara langsung tetapi selalu
dihubungkan dengan karakteristik fisik skala manusia, rentetan-rentetan space yang dipertegas oleh
bangunan, dinding, pentu gerbang, dan juga jalan yang membentuk fasade suatu lingungan perkampungan.
Linkage theory ini dapat digunakan sebagai alat untuk memberikan arahan dalam penataan suatu kawasan
(lingkungan). Dalam konteks urban design, linkage menunjukkan hubungan pergerakan yang terjadi pada
beberapa bagian zone makro dan mikro, dengan atau tanpa aspek keragaman fungsi yang berkaitan dengan
fisik, historis, ekonomi, sosial, budaya dan politik (danarti Karsono, 1996).
Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan elemen bentuk dan tatanan masa bangunan,
dimana pengertian bentuk dan tatanan massa bangunan tersebut akan meningkatkan fungsi kehidupan dan
makna dari tempat tersebut. Karena konfigurasi dan penampilan massa bangunan dapat membentuk,
mengarahkan, menjadi orientasi yang mendukung elemen linkage tersebut.
Bila pada figure ground theory dan linkage theory ditekankan pada konfigurasi massa fisik , dalam place
theory ditekankan bahwa integrasi kota tidak hanya terletak pada konfigurasi fisik morfologi, tetapi integrasi
antara aspek fisik morfologi ruang dengan masyarakat atau manusia yang merupakan tujuan utama dari teori
ini, melalui pandangan bahwa urban design pada dasarnya bertujuan untuk memberikan wadah kehidupan
yang baik untuk penggunaan ruang kota baik publik maupun privat.
Pentingnya place theory dalam spasial design yaitu pemahaman tentang culture dan karakteristik suatu
daerah yang ada menjadi ciri khas untuk digunakan sebagai salah satu pertimbangan agar penghuni
(masyarakat) tidak merasa asing di dalam lingkungannya. Sebagaimana tempat mempunyai masa lalu
(linkage history), tempat juga terus berkembang pada masa berikutnya. Artinya, nilai sejarah sangat penting
dalam suatu kawasan kota. Aspek spesifik lingkungan menjadi indikator yang sangat penting dalam menggali
potensi, mengatur tingkat perubahan serta kemungkinan pengembangan di masa datang, teori ini
memberikan pengertian bahwa semakin penting nilai-nilai sosial dan budaya, dengan kaitan sejarah di dalam
suatu ruang kota.
G. KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH PERKOTAAN
Kajian pengembangan wilayah perkotaan di Indonesia selama ini selalu didekati dari aspek sektoral dan aspek
spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran dari aktifitas masyarakat suatu wilayah
perkotaan dalam mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek spasial
-
(keruangan) lebih menunjukkan arah dari kegiatan sektoral atau dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi
kegiatan sektoral tersebut.
Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut mendorong lahirnya konsep pengembanan
wilayah perkotaan yang harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu
memberi kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan
kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah perkotaan
yang didasarkan pada penataan ruang.
Kaitan dengan perihal diatas, ada tiga kelompok konsep pengembangan wilayah yaitu konsep pusat
pertumbuhan, konsep integrasi fungsional dan konsep pendekatan desentralisasi (Alkadri et all, Manajemen
Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah, 1999). Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya
melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah
mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan
melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di Indonesia telah melahirkan
adanya 111 kawasan andalan dalam RTRWN.
Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja diantara
berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota
atau wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah yang lain.
Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari
sumberdana dan sumberdaya manusia.
Pendekatan tersebut mempunyai berbagai kelemahan. Dari kondisi ini muncullah beberapa konsep untuk
menanggapi kelemahan tersebut. Konsep tersebut antara lain people center approach yang menekankan pada
pembangunan sumberdaya manusia, natural resources-based development yang menekankan sumberdaya
alam sebagai modal pembangunan, serta technology based development yang melihat teknologi sebagai kunci
dari keberhasilan pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi konsep tersebut kurang
berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.
Fenomena persaingan antar wilayah, tren perdagangan global yang sering memaksa penerapan sistem
outsourcing, kemajuan teknologi yang telah merubah dunia menjadi lebih dinamis, perubahan mendasar
dalam sistem kemasyarakatan seperti demokratisasi, otonomi, keterbukaan dan meningkatnya kreatifitas
masyarakat telah mendorong perubahan paradigma dalam pengembangan wilayah. Dengan semakin
kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara
terpusat, seperti pada konsep-konsep yang dijelaskan di atas.
Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola
pembangunan di wilayahnya sendiri. Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi
dengan mengandalkan keunggulan komparatif berupa kekayaan alam berlimpah, upah murah atau yang
dikenal dengan bubble economics, sudah usang karena terbukti tak tahan terhadap gelombang krisis.
Walaupun teori keunggulan komparatif tersebut telah ber-metamorfose dari hanya memperhitungkan faktor
produksi menjadi berkembangnya kebijaksanaan pemerintah dalam bidang fiskal dan moneter, ternyata daya
saing tidak lagi terletak pada faktor tersebut (Alkadri etal, 1999).
-
Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing dapat pula diperoleh dari kemampuan untuk melakukan
perbaikan dan inovasi secara menerus. Menurut Porter (1990) dalam Tiga Pilar pengembangan Wilayah
(1999) keunggulan komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun demikian, setiap wilayah
masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada biaya produksi yang murah saja,
tetapi lebih dari itu, yakni adanya inovasi untuk pembaruan. Suatu wilayah dapat meraih keunggulan daya
saing melalui empat hal yaitu keunggulan faktor produksi, keunggulan inovasi, kesejahteraan masyarakat, dan
besarnya investasi.
Apabila dicermati maka paradigma pengembangan wilayah telah bergeser pada upaya yang mengandalkan
tiga pilar yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi. Ketiga pilar tersebut merupakan
elemen internal wilayah yang saling terkait dan berinteraksi membentuk satu sistem. Hasil interaksi elemen
tersebut mencerminkan kinerja dari suatu wilayah. Kinerja tersebut akan berbeda dengan kinerja wilayah
lainnya, sehingga mendorong terciptanya spesialisasi spesifik wilayah. Dengan demikian akan terjadi
persaingan antar wilayah untuk menjadi pusat spatial network dari wilayah-wilayah lain secara nasional.
Namun pendekatan ini mempunyai kelemahan yang antara lain apabila salah didalam mengelola spatial
network tadi tidak mustahil menjadi awal dari proses disintegrasi. Untuk itu harus diterapkan konsep pareto
pertumbuhan yang bisa mengendalikan keseimbangan pertumbuhan dan dikelola oleh Pemerintah Pusat.
Konsep pareto ini diharapkan mampu memberikan keserasian pertumbuhan antar wilayah perkotaan dengan
penerapan insentif-insentif kepada wilayah perkotaan yang kurang berkembang.
H. INTERGRASI KAWASAN PERTUMBUHAN PERKOTAAN
Kawasan perkotaan di Indonesia tumbuh secara dinamis sejalan dengan dinamika perkembangan demografis,
ekonomi dan fisik-spaial. Secara fisik kota tumbuh ekspansif ke arah luar/pinggiran bahkan melampaui batas
wilayah administasi Kota. Dikaitkan dengan keterbatasan daya dukung, terutama lahan dan sumber daya air,
kebutuhan sarana-prasarana dasar perkotaan yang semakin meningkat menjadi persoalan yang semakin
serius untuk ditangani. Ditinjau dari aspek spasial, struktur dan pola pemanfaatan ruang kota/kawasan
perkotaan yang terbentuk cenderung bersifat ekspansif dan menunjukkan gejala urban sprawl yang semakin
tidak terkendali, mengkonversi lahan-lahan pertanian subur dengan berbagai dampaknya. Hal ini jelas jauh
berbeda dengan konsep dan prinsip compact city atau pendekatan kompaksi perkotaan (urban compaction)
yang diyakini di negara-negara maju mencerminkan kota yang berkelanjutan. Namun dalam konteks negara
berkembang, debat mengenai pengembangan compact city adalah sejauhmana konsep tersebut dapat
diterapkan padahal kota-kota di negara berkembang kondisinya jauh berbeda dengan di negara maju,
sebagai manifestasi proses urbanisasi dan perkembangan perkotaan yang berbeda pula.
Kajian empirik yang menyangkut relevansi penerapan kompaksi perkotaan di Indonesia dalam kaitannya
dengan aspek keberlanjutan perkotan dapat dikatakan belum pernah dilakukan secara khusus. Dalam kondisi
seperti itu, perumusan kebijakan yang menyangkut rencana struktur dan pola ruang kota yang sebagian telah
mengarah pada penerapan konsep compact city, seperti banyak dilakukan dalam perencanaan pembangunan
perkotaan, sebenarnya cenderung bersifat spekulatif karena tidak/ belum didukung hasil kajian empirik yang
memadai. Dalam hal ini pemahaman terhadap relevansi kompaksi perkotaan untuk diterapkan serta potensi
dan kendala penerapannya belum menjadi landasan bagi pengembangan kebijakan perencanaan tata ruang
kota.
Dalam konteks di atas, yang menjadi persoalan dalam pekerjaan ini adalah belum adanya kajian empirikIkuti
-
tentang kompaksi perkotaan sebagai struktur dan pola ruang kawasan perkotaan berkelanjutan yang
didasarkan pada keterkaitan antara bentuk perkotaan (urban form) dengan keberlanjutannya secara
ekonomi, sosial dan lingkungan.
Secara konseptual, kompaksi perkotaan (urban compaction) merupakan alternatif atau strategi untuk
mewujudkan stuktur dan pola ruang kawasan perkotaan yang berkelanjutan. Penerapannya dalam konteks
pertumbuhan fisik/ kawasan terbangun saat ini di berbagai kota besar atau Kawasan Pertumbuhan Perkotaan
yang cenderung ekspansif dengan pola sprawl yang tidak terkendali, mempunyai potensi untuk untuk
mengurangi ecological footprint, terutama yang disebabkan oleh segregasi spasial berbagai aktivitas
perkotaan dan implikasinya terhadap kebutuhan transportasi. Sasaran kompaksi perkotaan adalah:
1. Minimasi/reduksi footprint kota
2. Perlindungan terhadap penyusutan lahan pertanian
3. Peningkatan penggunaan transportasi umum
4. Peningkatan efisiensi kawasan perkotaan
5. Pengurangan ketidakseimbangan perkembangan kawasan di pusat dan kawasan perumahan di pinggiran
kota.
Share this:
Twitter 2 Facebook 35
Galeri | Tulisan ini dipublikasikan di Kajian Teoritis Perkotaan. Tandai permalink.
Pengembangan Perkotaan
Suka
One blogger likes this.
The Twenty Ten Theme Blog pada WordPress.com.
Follow
Pengembangan
Perkotaan
Get every new post delivered
to your Inbox.
Enter your email address
Sign me up
Pow ered by WordPress.com