teori tentang industri kelapa sawit
DESCRIPTION
latar belakang dan hal hal yang berkaitan dengan industri kelapa sawitTRANSCRIPT
Dalam perekonomian Indonesia, komoditas kelapa sawit (terutama minyak sawit)
mempunyai peran yang cukup strategis. Pertama, minyak sawit merupakan bahan utama
minyak goreng, sehingga pasokan yang kontinu ikut menjaga kestabilan harga minyak
goreng. Ini penting, sebab minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan
pokok kebutuhan masyarakat sehingga harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat. Kedua, sebagai salah satu komoditas pertanian andalan ekspor non migas,
komoditas ini memiliki prospek yang baik sebagai sumber perolehan devisa maupun
pajak. Ketiga, dalam proses produksi maupun pengolahan juga mampu menciptakan
kesempatan kerja dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengembangan kelapa sawit di Indonesia sebagai suatu komoditas perkebunan
selalu dilakukan oleh perkebunan besar yang dimiliki baik oleh pemerintah dalam bentuk
Perkebunan Besar Negara (PBN) maupun oleh perusahaan swasta dalam bentuk
Perkebunan Besar Swasta (PBS). Pada masa kolonial Belanda, perkebunan kelapa sawit
yang ada di Indonesia seluruhnya dimiliki oleh perusahaan swasta asing. Ada beberapa
alasan, mengapa perkebunan kelapa sawit tidak muncul dikalangan masyarakat petani.
Salah satu alasan yang penting adalah karena membangun perkebunan kelapa sawit
membutuhkan sumber daya modal yang besar dan teknologi yang mahal. Sampai saat ini
belum ditemukan suatu teknologi yang sederhana yang bisa digunakan oleh petani untuk
memproses buah kelapa sawit menjadi minyak sawit yang siap untuk dipasarkan oleh
petani.
Kelapa menjadi salah satu hasil pertanian yang mengalami pengolahan lebih lanjut
yang diharapkan mampu memberikan pendapatan yang lebih tinggi bila dibandingkan
jika kelapa itu hanya dijual dalam bentuk buah saja. Pengolahan buah kelapa yang sering
dilakukan oleh pengusaha sebelum dikenal kembali pengolahan minyak kelapa murni
adalah pengolahan buah kelapa menjadi kopra.
Pengolahan kopra yang menggunakan buah kelapa sebanyak 5 butir mampu
menghasilkan 1 kg kopra. Menurut Rendengan (2004), harga jual kopra pernah mencapai
Rp 4.000,00/kg pada tahun 1998 namun harga jual turun pada tahun 2000 menjadi Rp
850,00/kg sedangkan pada pertengahan tahun 2003 mulai meningkat namun tidak
kembali ke posisi semula yaitu Rp 1.700,00/kg. Dengan menurunnya harga jual kopra
membuat para pengusaha mulai berpikir kreatif dalam mengolah buah kelapa baik yang
berasal dari usaha taninya maupun yang diperoleh dari pembelian. Pada akhirnya
pengolahan kelapa menjadi minyak kelapa murni atau sering disebut VCO (Virgin
Coconut Oil) kembali dilirik, 1 liter VCO dapat dihasilkan dengan mengolah 10 – 15
butir kelapa.
Permintaan dan Penawaran Minyak Kelapa
Industri yang menggunakan bahan baku minyak kelapa baik dari bahan olahan
kopra atau kelapa segar adalah industri minyak goreng, minyak kelapa dimurnikan,
desicated coconut, makanan dan minuman lainnya. Pada tahun 2001, total produksi
minyak kelapa Indonesia adalah 693,8 ribu metrik ton. Sebagian besar, yaitu 395,02 ribu
metrik ton diekspor ke luar negeri sehingga total penawaran domestik adalah 278,82 ribu
metrik ton. Permintaan berasal dari industri makanan sebesar 215 ribu metrik ton dan
penggunaan lainnya sebesar 63,82 ribu metrik ton. Dengan penawaran dan permintaan
seperti itu, kebutuhan domestik masih belum tercukupi sebesar 20 ribu metrik ton.
Konsumsi minyak kelapa domestik rata-rata per kapita tahun 1996, menurut data BPS
adalah 0,1 liter per minggu. Konsumsi ini paling tinggi diantara konsumsi minyak dan
lemak lainnya yang berkisar pada rata-rata 0 - 0,095 perkapita. Pada tahun 2003 pola
konsumsi minyak dan lemak tidak jauh berubah, di mana konsumsi minyak kelapa masih
cukup tinggi yaitu 0.1 liter per minggu sementara konsumsi minyak lainnya juga antara 0
- 0.01 liter per minggu (BPS, 2003).
Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa permintaan minyak
kelapa Indonesia juga berasal dari luar negeri. Perkembangan permintaan tersebut sangat
dipengaruhi oleh konsumsi minyak kelapa dunia. Pada tahun 2001, konsumsi minyak
kelapa dunia mencapai 3.366 ribu metrik ton. Konsumsi minyak kelapa tertinggi berasal
dari negara-negara Eropa Barat, yaitu 570 ribu metrik ton (20,3%), USA 467 ribu metrik
ton (16,6%), India 451 ribu metrik ton (16,1%), Philipina 289 ribu metrik ton (10,3%),
Indonesia 228 ribu metrik ton (8,1%), Mexico 123 ribu metrik ton (4,4%) dan negara
lainnya 677 ribu metrik ton (24,2%).
Persaingan dan Peluang
Pada umumnya, minyak kelapa yang diproduksi oleh industri kecil dijual dalam
bentuk minyak curah. Persaingan pada usaha ini berasal dari penjualan minyak goreng
perusahaan-perusahaan besar yang mempunyai merek dagang tertentu yang berasal dari
minyak kelapa sendiri ataupun minyak kelapa sawit namun dijual dalam bentuk minyak
curah. Mayoritas persaingan yang terdapat di daerah survei datang dari minyak kelapa
yang bermerek. Persaingan dapat diidentifikasi dari: harga, jenis dan mutu, dan
penyediaan input.
Meskipun demikian peluang usaha untuk usaha kecil masih tetap baik di daerah
survei. Hal ini disebabkan oleh beberapa sebab:
a) semakin langkanya minyak kelapa tradisional akan tetapi permintaan terhadap
minyak kelapa ini cenderung meningkat;
b) kecenderungan preferensi konsumen yang semakin tinggi terhadap minyak goreng
yang bebas dari bahan pengawet; dan
c) masih tingginya permintaan yang datang dari luar daerah maupun permintaan dari
luar negeri
Peningkatan produksi kelapa telah mendorong peningkatan volume dan nilai
ekspor minyak kelapa. Devisa negara yang diperoleh dari ekspor produk kelapa mencapai
US$ 320 juta pada tahun 2000 sedangkan perkembangan volume dan nilai ekspor-impor
minyak kelapa dari tahun 1968 – 2002.
Perkembangan volume dan nilai ekspor berfluktuasi yang sangat dipengaruhi oleh
kebutuhan dalam negeri yang cenderung meningkat dan harga di pasar internasional.
Pada tahun 1968, nilai ekspor minyak kelapa Indonesia hanya mencapai US$ 3,2 juta
atau 174,2 metrik ton. Ekspor minyak kelapa Indonesia mencapai puncaknya pada tahun
1997 yang mencapai 6,4 ribu metrik ton dengan nilai US$ 401,65 juta. Sementara itu,
pada tahun 2000, ekspor minyak kelapa mencapai 7,3 ribu metrik ton dengan nilai US$
319,67 juta. Tujuan ekspor utama minyak kelapa Indonesia adalah ke Amerika Serikat,
Eropa Barat, Irlandia, Singapura, Malaysia, Bangladesh, India, Srilanka, China, Taiwan,
dan Korea Selatan.
RESIKO ASPEK KEUANGAN
Didalam perusahaan, resiko dalam aspek keuangan cukup tinggi. Pada bagian ini
resiko keuangan yang akan dipaparkan adalah mengenai :
Biaya produksi yang berlebihan, biaya produksi yang tinggi akan mengakibatkan
harga jual produk yang tinggi pula, sehingga produk akan sulit bersaing di pasar.
Cara pengurangan biaya dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya, melalui
efisiensi dan otomatisasi. Efisiensi yang ditingkatkan dapat mengurangi biaya-
biaya, tetapi hal ini memerlukan perencanaan yang baik. Otomatisasi merupakan
salah satu jalan keuar untuk mengurangi biaya produksi, yaitu dengan
mengantikan peran manusia dengan mesin.
Biaya overheads yang tinggi, bagi perusahaan berskala besar, biasanya biaya per
unit produk yang dihasilkan lebih rendah dari perusahaan yang lebih kecil, hal ini
karena misalnya pangsa pasar yang dimiliki lebih besar. Bagi industry VCO yang
ada di Kabupaten Nias sendiri juga pasti mengalami hal yang sama. Oleh karena
itu, pemotongan biaya perlu dilakukan, tetapi hendaknya diprioritaskan pada biaya
kegiatan-kegiatan yang tidak signifikan untuk menghasilkan penjualan walaupun
tidak mudah melakukannya.
Utang yang berlebih juga menjadi factor utama penyebab suatu perusahaan
mengalami kabangkrutan, hal ini disebabkan karena kurangnya control pada
manajemen keuangannya. Oleh karena itu, kiranya setiap perusahaan khususnya
Industri VCO di Kabupaten Nias perlu mengendalikan uatang-utang agar terhindar
dari kebangkrutan usaha.
Pinjaman yang berlebihan, disebabkan oleh ketergesaan manajemen seperti
investasi yang berlebihan, diversivikasi yang lemah dan investasi pada saat yang
tidak tepat. Dan factor ketidakaktifan manajemen seperti kegagalan dalam
merespon periode jatuhnya penjualan, kegagalan mencegah jatuhnya penjualan
pada lokasi pasar yang ditentukan, dan harga barang terlalu tinggi. Serta factor
kenaikan nilai bunga seperti nilai utang yang harus dibayarkan ternyata lebih
tinggi, dan kebutuhan akan modal kerja yang juga lebih besar.
RESIKO ASPEK PEMASARAN
Kegagalan pemasaran tidak lepas dari banyak permasalahan yang ada, seperti :
kebijakan pemerintah, perubahan permintaan di pasar, perang harga, pemalsuan,
performance produk yang rendah, promosi yang kurang baik, kesalahan dalam merek,
kegagalan dalam mengembangkan produk baru, dan masalah distribusi.
Masalah kebijakan pemerintah seperti kenaikan pajak akan mengakibatkan
naiknya pajak kekayaan atau akan terjadi inflasi yang menyebabkan turunnya
permintaan, peraturan pemerintah yang berdampak pada meningkatnya biaya perusahaan.
Masalah perubahan permintaan di pasar, produk yang mempunyai daur hidup produk
yang pendek sangat sulit untuk dapat bertahan lama. Produk yang tidak memenuhi
standar yang diubutuhkan oleh pasar juga merupakan factor penyebab suatu perusahaan
mengalami kegagalan dalam menjalankan usahanya.
Masalah perang harga dapat terjadi antar produsen suatu produk sejenis oleh
beberapa sebab seperti dampak dari kapasitas produk, dan kegiatan inovasi yang rendah
di pasar serta pasar oligopoly. Pemalsuan atas merek produk merupakan ancaman bagi
perusahaan, selain akan mengurangi pendapatan, juga akan mengurangiu reputasi
perusahaan karena biasanya kualitas dari barang yang menggunakan merek palsu tersebut
tidak sebaik yang aslinya. Performance produk yang rendah akan menghambat proses
promosi produk tersebut. Ini sangat berbahaya karena konsumen hanya akan membeli
produk yang dapat memuaskan kebutuhannya, sehingga hanya produk dengan kinerja
terbaik saja yang akan menjadi pemimpin pasar.
Promosi hendaknya dilakukan secara berencana dan continyu agar efektif sesuai
dengan sasaran yang ingin dicapai. Perlu diingat bahwa konsumen potensial agar mau
melakukan action pembelian peerlu mendapat informasi, sedangkan konsumen yang telah
melakukan pembelian perlu terus dibina agar melakukan pembelian ulang atau mereka
dapat menjadi pemasar tidak langsung oleh karena kepuasan yang mereka terima
diinformasikan kepada orang lain. Setiap produk baru yang akan diluncurkan hendaknya
bagian riset dan pengembanga poerusahaan telah mantap dengan rancangan produk
barunya, sehingga kelak produk baru ini dapat diterima konsumen.
RESIKO ASPEK PRODUKSI
Didalam proses produksi/operasi produk barang dan jasa khususnya produk
minyak inti kelapa atau yang lebih dikenal dengan VCO cukup banyak resiko yang perlu
diantisipasai. Resiko-resiko tersebut yaitu mengenai :
Masalah pemasok, resiko terjadi apabila perusahaan mengunakan pemasok yang
ternyata tidak memenuhi komitmen yang sudah disepakati, misalnya komponen-
komponen yang dibutuhkan ternyata terlambat dikirim atau rusak.
Kerusakan kualitas produk, misalnya kualitas dan kuantitas barang yang tidak
sesuai, misalnya ada barang yang hilang dan mutu produk yang rendah serta
karena barang ditawarkan di pasar adalah produk-produk yang tidak aman
dikonsumsi. Produsen harus sadar bahwa akan muncul resiko yang disebabkan
oleh produknya. Jadi harus sanggup mengidentifikasikan produk yang rusak atau
yang tidak aman juga sanggup untuk menarik kembali produk tersebut dari pasar
jika diperlukan.
Berkurangnya daya saing, resiko karena berkurangnya daya saing produk dengan
produk sejenis di pasar, misalnya karena desain yang dibuat dengan teknologi
yang sudah tertinggal.
A. Perkebunan Kelapa Sawit
Secara garis besar ada tiga bentuk utama usaha perkebunan, yaitu perkebunan
rakyat, perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara. Bentuk lain yang relatif
baru, yaitu bentuk perusahaan inti rakyat (PIR), yang pola dasarnya merupakan bentuk
gabungan antara perkebunan rakyat dengan perkebunan besar negara atau perkebunan
besar swasta, dengan tata hubungan yang bersifat khusus.
Produktivitas perkebunan kelapa sawit dipengaruhi oleh kelas lahan, tanaman, umur dan
jenis bibit yang digunakan. Lubis (1992) membedakan kelas lahan pengembangan kelapa
sawit ke dalam empat kelas dengan produktivitas rata-rata untuk kelas I, II, III dan IV
pada umur 4 – 25 tahun berturut-turut sebesar 25,10 ton TBS/ha/tahun; 22,95 ton
TBS/ha/tahun; 20,86 ton TBS/ha/tahun; dan 17,71 ton TBS/ha/tahun. Untuk semua kelas
lahan, produktivitas meningkat antara umur 15 hingga 21 tahun dan memasuki masa tua
pada umur 22 tahun. Berdasarkan data tersebut maka tanaman kelapa sawit digolongkan
ke dalam dua kelompok yaitu :
a. Tanaman belum menghasilkan (TBM) yaitu tanaman berumur 1-3 tahun.
b. Tanaman menghasilkan (TM) yaitu tanaman berumur 4 – 25 tahun.
Tanaman remaja menghasilkan (TRM) berumur 4 – 8 tahun.
Tanaman dewasa menghasilkan I (TDM I) berumur 9 – 14 tahun.
Tanaman dewasa menghasilkan II (TDM II) berumur 15 – 21 tahun.
Tanaman tua menghasilkan (TTM) berumur 20 – 25 tahun.
Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia,
baik dilihat dari devisa yang dihasilkan maupun bagi pemenuhan kebutuhan minyak
nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada tahun 2007. Mencapai Rp 8,97
miliar Dolar Amerika Serikat, nilai tersebut meningkat 39,5% persen menjadi senilai
12,38 Dolar Amerika Serikat pada tahun 2008 (Departemen Pertanian, 2009). Saat ini,
Indonesia merupakan negara produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar dunia setelah
menggeser dominasi Malaysia sejak tahun 2006
Sumber : MPOB dan Dirjenbun (2009)
B. Studi Kelayakan Proyek
Proyek merupakan suatu kegiatan yang mengeluarkan biaya-biaya dengan harapan
akan memperoleh hasil dan secara logika merupakan wadah untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan perencanaan, pembiayaan dan pelaksanaan dalam satu unit. Proyek
merupakan elemen operasional yang paling kecil yang disiapkan dan dilaksanakan
sebagai suatu kesatuan yang terpisah dalam suatu perencanaan menyeluruh perusahaan,
perencanaan nasional atau programpembangunan pertanian. Berdasarkan definisi tersebut
maka proyek dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang mengeluarkan biaya untuk
mendapatkan manfaat.
Kasmir (2003) menyimpulkan bahwa pengertian studi kelayakan adalah suatu
kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan atau usaha atau
bisnis yang akan dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak usaha dijalankan.
Umar (2007) menyatakan bahwa studi kelayakan proyek merupakan penelitian tentang
layak atau tidaknya suatu proyek dibangun untukjangka waktu tertentu.
Pemilihan proyek sebagian didasarkan kepada indikator, nilai dan hasilnya.
Manfaat suatu proyek didefenisikan sebagai segala sesuatu yang membantu suatu tujuan.
Sedangkan biaya suatu proyek merupakan segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan.
Paling tidak ada lima tujuan mengapa sebelum proyek dijalankan perlu dilakukan studi
kelayakan (Kasmir,2003) yaitu: (1) menghindari resiko, (2) memudahkan perencanaan,
(3) memudahkan pelaksanaan pekerjaan, (4) memudahkan pengawasan, dan
(5)memudahkan pengendalian.
C. Aspek-Aspek Analisis Kelayakan
Dalam menganalisis dan merencanakan suatu proyek harus mempertimbangkan
banyak aspek yang secara bersama-sama menentukan bagaimana keuntungan yang dapat
diperoleh dari suatu penanaman investasi tertentu. Masing-masing aspek saling
berhubungan dan saling mempengaruhi dengan yang lainnya. Aspek-aspek tersebut
terdiri dari aspek teknis, aspek institusional-organisasi-manajerial, aspek sosial, aspek
pasar, aspek finansial, dan aspek ekonomi. Pada penelitian ini aspek yang
dipertimbangkan dan dianalisis yaitu aspek teknis, aspek pasar, aspek institusional-
organisasi-manajerial, aspek finansial, dan aspek sosial/lingkungan. Urutan penilaian
aspek mana yang harus didahulukan tergantung dari kesiapan penilai dan kelengkapan
data yang yang ada. Tentu saja dalam hal ini dengan mempertimbangkan prioritas mana
yang harus didahulukan lebih dahulu dan mana yang berikutnya.
D. Analisis Sensitivitas
Salah satu keuntungan analisis proyek secara finansial ataupun ekonomi yang
dilakukan secara teliti adalah bahwa dari analisis tersebut dapat diketahui atau
diperkirakan kapasitas hasil proyek bila ternyata terjadi hal-hal di luar jangkauan asumsi
yang telah dibuat pada waktu perencanaan. Analisis sensitivitas adalah meneliti kembali
suatu analisa untuk dapat melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan
yang berubah-ubah. Yang dimaksud dengan analisis kepekaan atau sensitivitas adalah
suatu teknis analisis untuk menguji secara sistematis apa yang terjadi pada kapasitas
penerimaan suatu proyek apabila terjadi kejadian-kejadian yang berbeda dengan
perkiraan yang di buat dalam perencanaan.
Selain itu proyeksi selalu menghadapi ketidakpastian yang dapat saja terjadi pada
keadaan yang telah diperkirakan. Pada bidang pertanian terdapat empat masalah utama
yang sensitif yaitu: (1) harga, (2) keterlambatan pelaksanaan, (3) kenaikan biaya, dan (4)
hasil. Analisis sensitivitas dapat dilakukan dengan pendekatan nilai pengganti (switching
value), dilakukan secara coba-coba terhadap perubahan-perubahan yang terjadi sehingga
dapat diketahui tingkat kenaikan ataupun penurunan maksimum yang boleh terjadi agar
NPV sama dengan nol.
E. Arus Kas (Cash Flow)
Cash flow merupakan arus kas atau aliran kas yang ada di perusahaan dalam suatu
peride tertentu. Dalam cash flow semua data pendapatan yang diterima (cash in) dan
biaya yang dikeluarkan (cash out) baik jenis maupun jumlahnya diestimasi sedemikian
rupa, sehingga menggambarkan kondisi pemasukan dan pengeluaran di masa yang akan
datang (Kasmir,2003). Cash flow mempunyai tiga komponen utama yaitu Initial Cash
flow yang berhubungan dengan pengeluaran investasi, Operasional cash flow berkaitan
dengan operasional usaha dan Terminal cash flow berkaitan dengan nilai sisa aktiva yang
dianggap tidak memiliki nilai ekonomis lagi
Penilaian kelayakan proyek/ perbandingan costs dan benefits dimungkinkan,
karena seluruh items input dan output ditransformasi ke nilai rupiah. Hasil identifikasi
costs dan benefit dirangkumkan dalam proyeksi Cash Flow. Cash Flow ini digunakan
dalam evaluasi financial melalui analisis investment criteria, seperti NPV, Net B/C, dan
IRR.
a) Net Present Value (NPV)
NPV merupakan selisih antara nilai sekarang (present value benefit) dan nilai
biaya sekarang (present value cost) selama umur proyek dengan tingkat bunga
tertentu.
NPV =∑t=1
nBt−Ct(1+i)t
Dimana :
Bt = Manfaat tahun pada proyek t
Ct = Biaya Proyek pada tahun t
n = Umur Ekonomis Proyek
i = Tingkat bunga
t = Tahun
Dari perhitungan tersebut, apabila diperoleh:
NPV > 0, maka proyek layak diteruskan
NPV < 0, maka proyek tak layak diteruskan
NPV = 0, maka proyek akan mengembalikan tepat sebesar tingkat bunga
yang sedang berlaku
b) Net Benefit – Cost Ratio (Net B/C)
Net B/C merupakan perbandingan antara manfaat dan biaya, pada awalnya biaya
lebih besar daripada benefit sehingga Bt-Ct negatif, kemudian pada tahun-tahun
berikutnya benefit lebih besar dari biaya sehingga Bt-Ct positif. Jadi Net B/C
merupakan perbandingan antara jumlah present value Bt-Ct yang positif dengan
jumlah present value Bt- Ct yang negatif dengan persamaan sebagai berikut:
NetB /C=∑t=1
nBt−Ct(1+i )t
(Bt−Ct>0)
∑t=1
nBt−Ct
(1+i )t(Bt−Ct<0)
Dari perhitungan tersebut apabila diperoleh:
Net B/C Ratio >1, maka proyek layak diteruskan.
Net B/C Ratio < 1, maka proyek tidak layak diteruskan.
Net B/C Ratio = 1, maka proyek akan cukup menutupi biaya dan investasi
selama umur proyek
c) Internal Rate of Return (IRR)
IRR adalah nilai discount i yang membuat NPV daripada proyek = 0. Besarnya
IRR diketahui dengan rumus:
IRR=i + { NPV ' } over { NP { V } ^ { ' } −NPV ' ' } ¿
Dimana:
IRR = Tingkat keuntungan internal
NPV’ = Nilai Rp pada tingkat bunga terendah dengan NPV positif
NPV” = Nilai Rp pada tingkat bunga tertinggi dengan NPV negatif
i’ = Tingkat bunga terendah yang memberikan nilai NPV positif
i” = Tingkat bunga tertinggi yang memberikan nilai NPV negatif
Dari perhitungan IRR apabila diperoleh:
IRR > i, maka NPV > 0, maka proyek layak diteruskan.
IRR < i, maka NPV < 0, maka proyek tidak layak diteruskan.
IRR = i, maka NPV = 0, maka proyek akan cukup menutupi seluruh biaya
dengan tingkat bunga yang sedang berlaku
d) Payback Period (PBP)
Payback Period merupakan salah satu metode dalam menilai kelayakan suatu
investasi, yang digunakan untuk mengukur periode pengembalian modal. Dasar
yang digunakan untuk perhitungan adalah aliran kas (Net Cashflow). Semakin
kecil angka yang dihasilkan mempunyai arti semakin cepat tingkat pengembalian
investasinya, maka usaha tersebut semakin baik untuk dilaksanakan. Payback
period dapat dirumuskan sebagai berikut
P ayback Period= Nilai InvestasiManfaat Bersih Rata−rata
F. Kerangka Pemikiran Operasional
Industri hulu dan industri hilir kelapa sawit memiliki keterkaitan yang sangat erat
dalam perkembangan industri kelapa sawit. Di antara kedua industry tersebut terdapat
industri perantara yaitu pabrik kelapa sawit (PKS). Penelitian tentang analisis kelayakan
investasi pabrik kelapa sawit didasari oleh meningkatnya luas areal dan produksi
perkebunan kelapa sawit yang tidak dibarengi dengan penambahan jumlah pabrik kelapa
sawit. Lonjakan hasil produksi kebun kelapa sawit tidak dapat ditampung dengan baik
oleh pabrik kelapa sawit yang ada. Kondisi tersebut tentu saja tidak efisien bagi petani,
karena harus menambah biaya transportasi untuk mengangkut TBS ke pabrik pengolahan
yang jaraknya jauh dari areal perkebunan yang diusahakan. Berdasarkan kondisi tersebut
diperlukan pembangunan pabrik kelapa sawit untuk memaksimalkan potensi yang ada
secara optimal.
Sebelum pembangunan pabrik kelapa sawit maka diperlukan studi kelayakan
untuk menilai aspek-aspek yang terkait agar investasi yang dilakukan bisa memberikan
manfaat serta untuk menghindari resiko–resiko yang ditimbulkan oleh pembangunan
pabrik kelapa sawit. Studi kelayakan investasi dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif
dengan menggunakan kriteria-kriteria investasi. Hasil perhitungan kriteria investasi
digunakan untuk menentukan layak atau tidak investasi pabrik kelapa sawit dilaksanakan.
Hasil analisis diharapkan dapat membantu dalam pengabilan keputusan untuk
pembangunan pabrik kelapa sawit.
Gambar : Kerangka Pemikiran Operasional Pembangunan Pabrik Kelapa Sawit