teori sosial dan lingkungan

Upload: eko-prasetyo

Post on 10-Oct-2015

33 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Berisikan penjelasan mengenai bagaimana teori-teori sosial memandang dan menganalisa persoalan-persoalan lingkungan

TRANSCRIPT

PENDAHULUAN:

PENDAHULUAN: TEORI SOSIAL, DEGRADASI LINGKUNGAN DAN POLITIK LINGKUNGANBuku ini mengeksplorasi sumbangan yang telah diberikan oleh beberapa teoretisi teori sosial kontemporer terhadap dua pokok persoalan: yaitu asal-usul dan konsekuensi-konsekuensi dari degradasi lingkungan yang terjadi di dalam masyarakat modern, dan kondisi-kondisi yang memungkinkan bisa berhasilnya mobilisasi kekuatan-kekuatan politik untuk melawan degradasi lingkungan. Untuk isu yang pertama, tak bisa disangkal bahwa perubahan ekonomi dan demografis menjadi faktor-faktor penyebab yang signifikan dari degradasi lingkungan. Namun, masih perlu dieksplorasi lebih jauh bagaimana persisnya mekanisme-mekanisme sebab-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan itu secara lebih detil daripada yang telah sering dilakukan. Di samping mengikuti alur penjelasan yang sudah umum dipakai, saya juga akan mengkaji peran ganda dari kekuatan politik dan kultural dalam mendorong terjadinya degradasi lingkungan, dan - yang dalam kesempatan-kesempatan yang langka - dalam membatasi terjadinya degradasi lingkungan. Munculnya gerakan-gerakan politik yang berusaha untuk membatasi kerusakan lingkungan merupakan salah satu konsekuensi paling nyata dari degradasi lingkungan modern. Apakah gerakan-gerakan semacam itu akan bisa memenuhi panggilan politik mereka, hal tersebut merupakan soal lain. Persoalan-persoalan di atas akan saya bahas lewat sebuah pembahasan mengenai karya dari empat teoretisi teori sosial kontemporer: yaitu Anthony Giddens, Andr Malraux, Jrgen Habermas dan Ulrich Beck.

Ada beberapa alasan bagus mengapa kita tak merasa mantap dengan pendekatan teori sosial klasik. Yang pertama, warisan teoretis yang ditinggalkan buat kita oleh teori sosial klasik memiliki keterbatasan-keterbatasan substansial baik dalam hal kajiannya terhadap relasi antara masyarakat-masyarakat dan lingkungan-lingkungan mereka, maupun dalam hal eksplorasinya atas asal-usul dari politik lingkungan. Yang kedua, studi mengenai relasi antara lingkungan dan masyarakat manusia selalu merupakan suatu studi interdisipliner; jika hanya bergantung pada suatu disiplin ilmu tertentu, betapapun kaya atau beragam hal yang dibicarakannya, ruang lingkupnya akan sangat terbatas. Yang ketiga, keempat penulis yang menjadi fokus analisis saya bukanlah satu-satunya teoretisi teori kontemporer yang membicarakan relasi antara dunia sosial dan alam, atau yang membahas kemunculan dan prospek masa depan dari gerakan-gerakan sosial di ranah lingkungan. Pendekatan yang saya gunakan saya dasarkan pada penilaian bahwa fondasi-fondasi abad kesembilanbelas dari teori sosial kontemporer agak terbatas kemampuannya untuk membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, dan bahwa bagaimanapun kita harus menimba pengetahuan dari disiplin-disiplin ilmu yang lain. Meski memiliki keterbatasan-keterbatasan tersebut, namun dalam bagian pendahuluan ini, saya ingin mengkaji, meski secara ringkas, warisan dari teori sosial klasik dan terutama sekali karya Karl Marx, Max Weber dan mile Durkheim. Lewat pengkajian itu, saya ingin mengatakan bahwa, meski memiliki beberapa problem substansial, namun teori sosial kontemporer masih memiliki beberapa daya tarik dalam konteks topik yang menjadi perhatian saya.Pemikiran Marx, Weber dan Durkheim mengenai Lingkungan dan MasyarakatIde mengenai teori sosial bukanlah ide yang sederhana. Sosiolog-sosiolog yang lebih condong pada penyelidikan empiris melihat ide teori sosial sebagai pemikiran abstrak yang dibuat oleh ahli-ahli teori yang terceraikan dari penelitian empiris yang detil dan dari proses pembangunan teori tingkat rendah. Teori sosial memang memiliki tujuan yang lebih tinggi, namun hal itu hanya mungkin karena teoretisi-teoretisi teori sosial melepaskan diri dari beban keharusan untuk membangun kerangka analisa secara seksama dan untuk membangun hipotesis-hipotesis yang bisa diuji serta untuk melakukan penghimpunan secara detil data yang secara epistemologis masuk akal. Saya juga memiliki beberapa keraguan yang sama terhadap teori sosial sebagai suatu aktivitas. Meski begitu, saya percaya bahwa teori sosial menempati suatu ruang yang berbeda, penting dan valid di dalam spektrum metode-metode dan conjecture-conjecture sosiologis. Pada level yang sangat luas, penyelidikan terhadap asal-usul historis, struktur-struktur institusional dan lintasan-lintasan perubahan yang dominan dalam masyarakat-masyarakat modern merupakan alasan keberadaan (raison dtre) dari teori sosial sebagai disiplin ilmu. Tema dari teori sosial, selain juga metodenya, hal itulah yang membedakan teori sosial dari aktivitas-aktivitas sosiologis yang lain. Karena alasan inilah, selain karena alasan lain, kosa kata teori sosial abad kesembilanbelas masih tetap menjadi kerangka bagi setiap penyelidikan terhadap masalah degradasi lingkungan kontemporer. Kekuatan-kekuatan dari kosa kata tersebut hanya melemah ketika teori sosial memiliki ketertarikan yang terbatas dalam membahas relasi antara masyarakat manusia dan lingkungan alam mereka, serta dalam pemahaman mereka yang kuno atas relasi tersebut.1 Keterbatasan tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat kontingen, namun di dalam banyak hal memang terkandung di dalam struktur konseptual dari disiplin teori sosial tersebut. Ted Benton mengatakan (dalam komentarnya terhadap sosiologi secara umum, dan bukan hanya kepada teori sosial) bahwa cara sosiologi mendefinisikan dirinya sendiri, terutama dalam relasinya dengan disiplin-disiplin ilmu yang berpotensi menjadi pesaingnya, seperti biologi dan psikologi, secara efektif telah mengeksklusikan atau memaksa berada di posisi pinggiran pertanyaan-pertanyaan mengenai relasi-relasi antara masyarakat dan substrat alami atau material-nya.2

Meski demikian, hal tersebut haya berlaku buat gelombang kedua teori sosial klasik. Dalam paro pertama abad kesembilanbelas, baik Auguste Comte maupun Herbert Spencer memandang sosiologi sebagai sesuatu yang secara epistemologis dan ontologis dependen terhadap, atau subordinat pada, biologi. Comte menggunakan analogi-analogi dan metafora-metafora biologis mengenai bentuk, fungsi dan relasi atara organisme dan organ-organ untuk mengeksplorasi interrelasi antara individu-individu dan institusi-institusi di dalam masyarakat-masyarakat modern, sementara karya Spencer merupakan karya pertama dari banyak usaha untuk mengawinkan model-model evolusi, seleksi dan perubahannya Darwin dengan perkembangan sosial.3 Secara lebih kongkret lagi, karya ekonom-ekonom klasik berulang kali mengarahkan perhatiannya kepada relasi antara lingkungan alam dan masa depan ekonomi manusia. Malthus, sebagai contoh yang paling jelas, menyelidiki konsekuensi-konsekuensi sosial dari cepatnya pertumbuhan penduduk dalam konteks keterbatasan sumber-sumber daya lingkungan yang menghasilkan bahan pangan bagi penduduk. Baik David Ricardo maupun John Stuart Mill mengeksplorasi potensi keterbatasan-keterbatasan pertumbuhan di dalam ekonomi yang terus berkembang namun yang pada dasarnya masih berwatak agraris; dan keduanya menyimpulkan, meski dengan akar-akar argumentasi yang berbeda-beda, bahwa ledakan pertumbuhan pada awal abad kesembilanbelas pada akhirnya akan mencapai batasan-batasan alamiah dan ekonomi dari tanah yang semakin terkuras dan dari menurunnya tingkat kembalian (rates of return).4

Pada kuartal ketiga abad kesembilanbelas, kecepatan ledakan industrialisasi Barat telah membuat ramalan-ramalan suram dari demografinya Malthusian dan ekonomi agrarisnya Ricardo menjadi tampak berlebihan; pertumbuhan penduduk terus berlangsung pada tingkatan yang tinggi sepanjang sejarah, sementara produktivitas agraris terus meningkat dan membentuk peran pembatas (a diminishng role) di dalam proses pertumbuhan ekonomi. Itulah sebabnya, tak aneh jika usaha-usaha awal untuk menyelidiki asal-usul dan konsekuensi-konsekuensi sosial dan ekonomi dari perubahan lingkungan menjadi terlewatkan. Dalam karya Marx, yang diharapkan akan menyelidiki hal tersebut, dinamika industrialisasi kapitalis telah menggeser ekonomi pertanian ke pinggiran. Dalam setiap topik bahasan, suatu isu yang selalu mendesak untuk dijawab oleh sosiologi ialah bagaimana dengan ketergantungan atau ketersubordinasian yang diandaikan ada pada ilmu-ilmu alam secara umum dan biologi secara khusus. Jika sosiologi ingin tampil sebagai suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, maka hal yang menjadi subyeknya yaitu masyarakat haruslah dipisahkan dari ranah biologi dan alam. Inilah alur dari argumen-argumen metodologis baik Durkheim maupun Weber yang menolak segala bentuk determinisme biologis.

Di antara trio nama besar sosiologi itu, karya Weber merupakan yang paling terbatas dalam membicarakan tentang alam. Memang ada beberapa refleksi mengenai asal-usul lingkungan dan implikasi-implikasi dari nomadisme dalam studinya mengenai Yudaisme. Namun, penyelidikan-penyelidikan historisnya mengenai dunia kuno, meski meletakkan poduksi agraris sebagai pusat utama dalam karyanya, hanya menghasilkan studi langsung yang sangat minim mengenai dampak historis dan implikasi-implikasi sosial dari berbagai lingkungan alam.5 Suatu catatan ringkas mengenai pentingnya sungai-sungai dan transportasi air diletakkan sebagai bagian dari diskusi detil mengenai pola kepemilikan lahan dan dinamika modus produksi budak.6 Studi-studinya mengenai Cina dan India juga tak memberi lebih banyak pengetahuan mengenai lingkungan.7 Refleksi-refleksi teoretis Weber mengenai masalah ini juga sama minimnya. Satu-satunya diskusi yang relevan muncul di dalam sebuah paragraf yang singkat dalam bab pembuka karyanya Economy and Society. Perhatian utama Weber ialah untuk menyangkal relevansi dari penjelasan-penjelasan psikologis dan fisiologis dalam sosiologi. Meski begitu, dia berargumen bahwa di dalam semua ilmu mengenai tindakan manusia, analisis haruslah diarahkan kepada proses-proses dan fenomena yang lepas dari makna subyektif... yang bisa menguntungkan atau yang bisa merintangi terbentuknya situasi-situasi tertentu.8 Dengan kata lain, proses-proses non-manusiawi dan tak diniatkan, seperti iklim, memiliki arti penting karena bisa mempengaruhi tindakan manusia. Hanya saja, pernyataan tersebut tak banyak menjelaskan apa-apa.

Karena ekonomi dan demografi merupakan titik-titik interaksi yang nyata antara masyarakat dan lingkungannya, maka mengapa karya Marx dan Weber lebih memiliki kepekaan terhadap soal lingkungan menjadi jelas dengan sendirinya. Durkheim, saat membahas kepadatan penduduk dan relasinya dengan sumber-sumber daya material sebagai motor penggerak di balik stratifikasi evolusioner atas masyarakat-masyarakat manusia, meletakkan alam sebagai suatu faktor yang menentukan dalam sejarah manusia.9 Sementara Marx menimba gagasannya mengenai alam dari studinya atas Hegel. Namun, bukan diskusi-diskusinya mengenai kodrat manusia dan manusia sebagai makhluk yang unik yang menarik buat kita, tapi pemahaman materialnya mengenai kerja manusia.10 Seperti Durkheim, Marx menempatkan tatap muka ekonomi antara masyarakat-masyarakat manusia dan dunia alam sebagai pusat dari perubahan historis. Secara kontras, Weber tak pernah menjadikan hal-hal yang bersifat demografis sebagai suatu faktor penyebab yang inti dalam sejarah, dan teorinya mengenai tindakan ekonomi sangatlah berbeda dari Marx. Weber mendefinisikan tindakan dengan merujuk pada tipe ideal tindakan rasional bertujuan (purposive rational action). Karena itu, relasi antara cara-cara dan tujuan-tujuan menjadi lebih signifikan ketimbang relasi ontologis antara subyek manusia dan obyek alam. Apapun, sementara Marx mendefinisikan ekonomi dalam kerangka produksi dan transformasi dunia alam, Weber memahaminya terutama di dalam kerangka pertukaran yang damai.11

Meski begitu, karya Marx dan Durkheim paling banter hanya memberi kita manfaat yang terbatas. Yang pertama, hal ini karena kerangka teoretis mereka untuk menyelidiki relasi antara masyarakat-masyarakat dan lingkungan-lingkungan terlalu tak spesifik untuk tujuan-tujuan kita. Pemahaman keduanya mengenai lingkungan alam selalu dibatasi oleh pengetahuan mereka yang terbatas mengenai biologi. Atau lebih tepat lagi, karya mereka dibatasi oleh pengetahuan dan cakupan ilmu biologi itu sendiri yang masih terbatas. Ini tentu saja tidak berarti hendak mengatakan bahwa karya keduanya abai terhadap ilmu biologi yang sezaman dengan masa mereka; dalam kenyataan, karya keduanya kaya dengan metafora-metafora biologi. Alih-alih, yang hendak saya katakan ialah bahwa dinamika internal dari dunia alam dan dampak-dampak dari proses-proses ekonomi dan demografis yang berbeda-beda terhadap fisiologi manusia dan eksosistem masih belum lagi menjadi bahasan keduanya. Ekologi, toksikologi, klimatologi dan epidemiologi masih berada pada tahap awal dan masih berada di bawah bayang-bayang dominasi intelektual teori evolusi pada masa mereka. Yang kedua, yang menjadi isu ekologis utama bagi teori sosial klasik bukanlah asal-usul degradasi lingkungan pada masa mereka, namun lebih pada bagaimana masyarakat-masyarakat pramodern dibatasi oleh lingkungan-lingkungan alam mereka, dan bagaimana masyarakat-masyarakat modern mentransendensi batas-batas tersebut atau memisahkan diri dalam artian tertentu dari asal-usul alamiah mereka. Dinamika di dalam proses modernisasi inilah yang ditangkap oleh Ferdinand Tnnies dalam deskripsinya mengenai transisi antara gemeinschaft dan gesellschaft.12

Jika disimak, pertengahan abad kesembilanbelas sampai abad keduapuluh terlihat seperti sebuah momen ambigu dalam sejarah ekologi masyarakat-masyarakat modern. Durkheim menjelaskan munculnya modernitas dan kapasitas-kapasitas ekonomi dan sosialnya yang unik dalam kerangka suatu pembagian kerja dan stratifikasi politik yang bersifat progresif, dimana di dalamnya individu-individu dan masyarakat-masyarakat menemukan titik keunggulan kompetitif mereka; tekanan jumlah penduduk dan sumber daya mendorong munculnya inovasi teknologi dan diferensiasi sosial yang merupakan basis yang di atasnya terbangun masyarakat industri modern. Begitu terstratifikasi, bentuk-bentuk pembagian kerja yang bersifat abnormal lebih menjadi pengacau bagi keseimbangan masyarakat-masyarakat modern ketimbang keterbatasan-keterbatasan sumber daya alam.13 Marx sendiri tak pernah menjadikan hal-hal yang bersifat demografis sebagai faktor penyebab penting. Hal ini karena, sebagaimana kita tahu, dia lebih memfokuskan pada sosiologi produksi. Manusia, dalam usahanya untuk mengejar kebutuhan-kebutuhannya lewat kerja kolektif, mentransformasi baik lingkungan maupun bentuk-bentuk organisasi sosial mereka. Hal inilah, dan modus-modus produksi yang kemudian bermunculan, yang membawa pada suatu dinamika yang tak bisa ditahan-tahan dari perkembangan ekonomi dan transformasi dunia material. Dengan bangkitnya kapitalisme dan teknologi industri, dinamika tersebut terbukti mampu menghasilkan keberlimpahan material yang di atasnya suatu bentuk organisasi sosial yang lebih maju dibangun. Masyarakat-masyarakat modern tak lagi terbatasi oleh batasan-batasan alamiah mereka. Pada saat itu juga, kapasitas ekonomi dari kapitalisme tampak belum merupakan sesuatu yang akan menciptakan problem lingkungan secara nyata.

Dari uraian di atas, menjadi jelas buat beberapa pengamat bahwa alam yang telah dimanusiakan oleh modernitas baru sedang pada tahap mulai memunculkan paksaan-paksaan baru terhadap masyarakat-masyarakat manusia. Engels, pada tahun 1840-an, menemukan bahwa lingkungan perkotaan begitu kumuh dan menjadi penyumbang aktif bagi penderitaan kaum miskin. Marx sendiri sadar akan kapasitas kapitalisme untuk menghancurkan kesuburan tanah dan merusak sumber-sumber daya alam.14 Namun refleksi-refleksi tersebut hanya memiliki arti penting yang sekunder bagi keduanya. Refleksi-refleksi tersebut paling banter hanya menerangi wilayah-wilayah pinggiran dan bukan area-area utama dari perhatian atau penyelidikan Marx dan Engels. Jadi, ahli-ahli teori sosial klasik secara historis memang telah cukup sadar bukan saja terhadap lepasnya masyarakat-masyarakat modern dari batasan-batasan organis mereka, namun juga terhadap kapasitas masyarakat-masyarakat tersebut untuk mentransformasi dunia alam. Hanya saja, ahli-ahli teori sosial klasik belum membicarakan secara utuh implikasi-implikasi dari transformasi-transformasi tersebut; bukannya mentransendensi keterbatasan-keterbatasan ekologis, masyarakat-masyarakat modern malah dengan cepat berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasan baru yang sesungguhnya mereka ciptakan sendiri.

Warisan kerangka fokus dan argumen teoretis yang agak terbatas ini, setidaknya secara sebagian, turut bertanggung jawab bagi sedikitnya rekaman mengenai kajian-kajian lingkungan di dalam teori sosiologi arus utama pada awal dan pertengahan abad keduapuluh. Di kalangan banyak tradisi sosiologi interpretif, ketiadaan perhatian terhadap soal-soal lingkungan tak terlalu mengejutkan. Model-model yang amat idealis mengenai relasi-relasi sosial dan tindakan sosial kecil kemungkinan memasukkan substrat material yang mendasari masyarakat-masyarakat modern. Yang lebih mengejutkan ialah ketiadaan suatu perhatian yang intens dari Marxisme maupun dari fungsionalisme terhadap masalah lingkungan. Dengan semua keterbatasan historisnya, Marx hanya meletakkan suatu agenda teoretis dan seperangkat alat konseptual untuk menyelidiki relasi masyarakat-lingkungan. Memang, gagasan mengenai alam berulangkali muncul di sepanjang tulisan-tulisan kaum Marxis klasik maupun Barat, namun gagasan tersebut secara umum tak lebih dari suatu konstruk yang sepenuhnya bercorak filosofis. Di sisi teoretis, hanya Jean-Paul Sartre yang memberikan rujukan-rujukan pada transformasi-transformasi lingkungan lewat neologismenya yang begitu sulit ditangkap yaitu practio-inert.15 Di sisi historis, tokoh penyendiri Karl Wittfogel muncul dan menyatakan bahwa model Marx mengenai modus produksi Asia bisa dijelaskan di dalam kerangka kontrol yang tersentralisir atas sumber-sumber daya air oleh negara-negara timur di wilayah-wilayah yang langka air.16 Karya Talcott Parsons yang merupakan puncak dari fungsionalisme abad keduapuluh menunjukkan suatu kesenjangan serupa antara potensi dan apa yang dihasilkan. Yang menjadi inti dari karya Parsons ialah suatu konsepsi mengenai manusia dan masyarakat-masyarakat manusia yang dibatasi oleh lingkungan alam yang bersifat eksternal. Selain dari model masyarakat manusia yang bersifat statis ini, Parsons mengusulkan suatu model evolusi sosial dimana di dalamnya masyarakat-masyarakat secara terus-menerus merespon batasan-batasan yang diciptakan oleh lingkungan alam mereka, berkembang kompleksitas dan kapasitasnya sehingga mampu melampaui batasan-batasan tersebut. Namun, karena sifat abstraksi dari model Parsons tersebut, konsep mengenai lingkungan alam masih tetap kosong dari isinya sebagaimana yang diperlihatkan di dalam kotak-kotak diagramatis yang dia gunakan untuk melukiskan konsep tersebut.17Teori Sosial Kontemporer, Degradasi lingkungan dan Karya Giddens dan Gorz

Keterbatasan-keterbatasan teori sosial klasik bagi tujuan-tujuan yang hendak kita capai ialah yang pertama, bahwa teori tersebut tidak memiliki suatu kerangka konseptual yang memadai yang dengannya kita bisa memahami interaksi yang kompleks antara masyarakat-masyarakat dan lingkungan-lingkungan, dan yang kedua, bahwa ketika isu-isu tersebut dibahas, teori tersebut hanya memfokuskan diri pada cara dimana di dalamnya masyarakat-masyarakat manusia mentransformasi lingkungan mereka tanpa membicarakan sama sekali konsekuensi-konsekuensi negatif dari transformasi-transformasi tersebut.

Berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasan yang pertama, saya pertama-tama akan kembali kepada masalah metode dan perspektif mengenai sejarah lingkungan.18 Dalam artian yang paling luas, disiplin ilmu sejarah lingkungan telah menetapkan posisinya sebagai disiplin yang menyelidiki cara-cara dimana di dalamnya lingkungan alam menjadi suatu faktor yang amat signifikan dalam membentuk proses-proses historis. Fokus inilah yang menjadikan disiplin tersebut sebagai suatu sumber daya yang lebih cocok untuk tujuan-tujuan saya ketmbang teori sosial yang cederung mengeksplorasi interaksi antara dunia sosial dan dunia alam dalam kerangka gender, tubuh, seksualitas, dsb.19 Sejarah lingkungan juga telah dilengkapi dengan disiplin-disiplin lain: seperti antropologi, demografi dan geografi, dan yang tak ketinggalan oleh kemajuan-kemajuan di dalam disiplin ilmu ekologi itu sendiri.20 Yang paling penting, konsep statis mengenai dunia alam yang tidak berubah, dan yang terorganisir di dalam dirinya sendiri, di dalam disiplin ilmu biologi abad kesembilanbelas ditransformasi secara terus-menerus oleh konsep ekosistem dinamik.21 Sebagai konsekuensinya, para sejarawan telah belajar untuk memandang dunia alam sebagai suatu sistem interaksi yang kompleks antara komunitas-komunitas flora dan fauna, mikro-organisme-mikro-organisme, tanah, air dan iklim, dan untuk melacak setiap variabel ini di seluruh ekosistem dan masyarakat.22 Namun, sebagai suatu disiplin ilmu, sejarah lingkungan barangkali secara paradoks masih belum membicarakan apa yang menjadi perhatian paling mendesak dari masanya: yaitu asal-usul dan konsekuensi-konsekuensi dari degradasi lingkungan dalam dunia modern. Barangkali hal ini disebabkan karena fokus dari sejarah lingkungan ialah pada masyarakat-masyarakat agraris, masyarakat dimana level degradasi lingkungannya paling tak terlihat. Namun, setidaknya untuk sebagian, faktor sangat besarnya kejahatan dan kompleksitas dari proses sejarah degradasi lingkungan-lah yang telah menciutkan semangat sejarah lingkungan untuk mengerjakan tugas yang sangat berat, yaitu tugas rekonstruksi secara empiris. Karena besarnya kejahatan dan kompleksitas ini, teori sosial memiliki keunggulannya. Kita mungkin bisa meninggalkan pemahaman teori sosial klasik mengenai masyarakat dan lingkungan, namun kita tak akan bisa mengabaikan kapasitas unik dari teori sosial itu untuk menjelaskan proses-proses yang kompleks dan berskala-besar yang telah memproduksi dan mengorganisir masyarakat-masyarakat modern.23

Di kalangan ahli teori sosial kontemporer dan sosiolog historis, keterbatasan-keterbatasan yang diciptakan oleh dunia alam kepada masyarakat-masyarakat manusia telah diselidiki kembali dengan suatu semangat baru dan dengan suatu pandangan yang lebih sensitif secara ekologis.24 Meski demikian, yang kurang diperhatikan ialah asal-usul dan konsekuensi-konsekuensi dari degradasi lingkungan yang terjadi di dalam masyarakat-masyarakat modern. Karena alasan inilah, yang pertama-tama dan terutama, saya memilih untuk mengkaji karya-karya Giddens dan Gorz. Kedua penulis telah berusaha untuk mengintegrasikan suatu penjelasan mengenai asal-usul dan konsekuensi-konsekuensi dari degradasi lingkungan ke dalam suatu pemahaman yang lebih luas mengenai pembanguann dan dinamika masyarakat-masyarakat modern.25

Hanya saja, ada alasan-alasan tambahan mengapa saya menganalisa karya dari kedua teoretisi tersebut. Dalam kasus Giddens, alasan pertamanya ialah bahwa penjelasannya mengenai degradasi lingkungan memfokuskan diri pada interaksi antara kapitalisme dan industrialisme. Saya akan mengajukan argumen dalam bab 1 bahwa penjelasan Giddens memberi kita suatu titik keberangkatan yang kuat, meski belum lengkap, yang darinya kita bisa menjelaskan asal-usul degradasi lingkungan. Yang kedua, teori sosialnya Giddens memberikan perhatian yang khusus kepada dimensi spasial dari proses-proses sosial dan metode-metode geografi. Hal ini memungkinkannya untuk menyelidiki kodrat sosiologis dari urbanisme dan globalisasi dan kontribusi kedunya terhadap problem-problem lingkungan. Dalam bab 2, saya akan mengajukan argumen bahwa penjelasan tersebut memungkinkan kita untuk memperluas secara jauh cakupan dari pemahaman kita mengenai degradasi lingkungan. Yang ketiga, pendekatan interpretatif Giddens terhadap teori sosial dan model-model multikausal dari proses-proses sosial yang telah dia kembangkan telah memungkinkan saya untuk memasukkan ke dalam studi saya kontribusi yang diberikan oleh kekuatan politik dan sikap-sikap kultural terhadap terjadinya degradasi lingkungan. Karena itu, saya akan melengkapi dan memperluas karya Giddens di dalam kedua bab tersebut. Jadi, karyanya akan memungkinkan kita untuk memperhatikan kualitas ganda dari kekuatan kultural dan politik: yaitu bahwa keduanya sekaligus memfasilitasi dan mengontrol proses degradasi lingkungan.

Relevansi dari karya Gorz buat topik kita terletak pada empat hal. Yang pertama, studi-studinya menimba pengetahuan dari karya ekonom-ekonom lingkungan, dan memperlihatkan suatu kepekaan terhadap dinamika yang detil dari ekonomi-ekonomi kapitalis kontemporer yang tidak diperhatikan di dalam karya Giddens. Yang kedua, dia mengeksplorasi mekanisme-mekanisme dari degradasi lingkungan yang tidak dieksplorasi oleh Giddens: yaitu dampak dari konsumsi modern dan dampak lingkungan dari teknologi-teknologi. Yang ketiga, dia memberikan perhatian yang sangat besar jika dibandingkan dengan Giddens terhadap konsekuensi-konsekuensi sosioekonomi dari degradasi lingkungan. Penekanan di dalam karya Gorz inilah yang akan memungkinkan kita untuk mengeksplorasi cara-cara dimana di dalamnya institusi-institusi politik dan ekonomi dari masyarakat-masyarakat modern mengakui dan menanggapi degradasi lingkungan yang telah mereka ciptakan. Aspek yang paling menarik dari karya Gorz ialah dalam refleksi-refleksinya mengenai sosialisme dan cara-cara yang dengannya preferensi-preferensi kultural dan tuntutan akan kelestarian lingkungan bisa dimenangkan atas dinamika kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Saya akan kembali kepada hal ini di bagian bawah nanti. Sebelum itu, saya ingin secara ringkas mengeksplorasi kontribusi dari teori sosial klasik terhadap penjelasan mengenai mobilisasi politik, teori sosialisme dan warisan yang telah ditinggalkan buat kita untuk mengeksplorasi mobilisasi politik lingkungan.Teori Sosial Klasik: Politik, Kultur dan Sosialisme

Jika teori sosial klasik sebagaimana yang kita pahami adalah suatu tradisi yang memiliki keterbatasan di dalam memahami degradasi lingkungan, apakah teori sosial klasik juga tidak lebih baik di dalam menjelaskan politik lingkungan? Marx, Weber dan Durkheim hidup cukup lama untuk menyaksikan dampak negatif dari masyarakat-masyarakat modern terhadap lingkungan. Meski demikian, mereka meninggal terlalu awal untuk membicarakan kemunculan suatu gerakan lingkungan yang secara politik signifikan. Marx meninggal persis ketika organisasi-organisasi lingkungan sedang terbentuk di Inggris dan di Amerika Serikat, sebagai misal Sierra Club, Royal Society for the Protection of Birds dan National Thrust. Di Prancis dan Jerman awal abad keduapuluh, konflik-konflik politik yang lain mendominasi lansekap yang dikaji oleh Durkheim dan Weber. Meksi begitu, para penulis tersebut telah meninggalkan warisan teoretis yang bernilai mengenai mobilisasi politik. Dalam sosiologi politik mereka, para teoretisi sosial klasik semuanya menderivasikan dua mekanisme dasar mobilisasi politik dari analisis mereka mengenai struktur-struktur institusional dari modernitas.Yang pertama, mereka mendeskripsikan bagaimana struktur sosial dari masyarakat-masyarakat modern mendeterminir kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik dari kelompok-kelompok sosial besar. Yang kedua, mereka semua menawarkan suatu analisis mengenai perkembangan kultural dari modernitas dimana di dalamnya tipe-tipe baru dari pengetahuan dan ideal-ideal moral muncul. Tipe-tipe baru dan ideal-ideal moral itu bertentangan dengan struktur kepentingan-kepentingan dan dinamika terkini dari masyarakat-masyarakat modern. Selain itu, mereka juga memunculkan refleksi mengenai politik oposisional paling signifikan di dalam masyarakat-masyarakat modern: yaitu gerakan-gerakan sosialis Barat. Refleksi-refleksi tersebut menyediakan suatu kaitan khusus dengan apa yang menjadi perhatian kita. Saya akan mengajukan argumen bahwa, meski saling berbeda dan berseberangan, debat mereka mengenai sosialisme masih tetap signifikan untuk mengeksplorasi gerakan lingkungan dan transformasi-transformasi yang diusulkannya. Sebelum mengkaji kaitan-kaitan tersebut, saya akan mensketsakan garis-garis besar yang relevan dari karya Marx, Weber dan Durkheim.

Durkheim, saat memandang periode panjang kelahiran masyarakat industri, melihat dirinya sendiri berada di dalam modernitas, hanya saja modernitas yang belum lengkap. Sebuah pembagian kerja yang terus meluas dan semakin kompleks menjadi ciri dari masyarakat modern. Saat memisahkan diri dari stratifikasi pemisahan dari masyarakat pramodern, spesialisasi fungsional menghasilkan konsekuensi-konsekuensi politik dan kultural yang bersifat campuran. Stratifikasi yang ekstensif telah menghasilkan suatu struktur kepentingan-kepentingan yang saling bergantung di dalam suatu dunia yang semakin kompleks. Kebutuhan akan solidaritas muncul akibat adanya diferensiasi yang semakin kompleks dari masyarakat modern, ketika spesialisasi dan semakin surutnya situasi-situasi swasembada ekonomi dan politik menuntut semakin menigkatnya level-level kerjasama. Meski demikian, kepentingan-kepentingan yang muncul secara struktural tak mencukupi untuk mempertahankan solidaritas sosial. Bertentangan dengan ekonom-ekonom politik, Durkheim menganggap bahwa masyarakat-masyarakat modern tak bisa direproduksi semata-mata dengan mengerahkan kepentingan-diri di dalam pertukaran pasar. Solidaritas sosial membutuhkan intervensi rasional dari agen-agen kolektif dalam masyarakat dan regulasi moral dari suatu kerangka normatif yang diakui bersama.

Maka Durkheim melihat ada dua dimensi dari perkembangan modernitas kultural: yaitu munculnya pengetahuan rasional mengenai bagaimana cara kerja dunia sosial, dan penciptaan gagasan-gagasan sekuler mengenai keadilan dan kesetaraan. Secara bersama-sama, transformasi-transformasi kultural tersebut menjamin terciptanya kontrol rasional atas dunia dan menjanjikan terbentuknya solidaritas normatif dari modernitas tanpa harus melumpuhkan dinamika kreatif dan tanggung jawab moral dari individu-individu. Keseimbangan yang halus ini tampaknya akan tercipta di masa depan. Sementara itu, bentuk-bentuk abnormal dari pembagian kerja telah menghasilkan perbedaan-perbedaan struktural dalam kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik, melahirkan konflik politik ketimbang menciptakan kebutuhan akan kerjasama saling bergantung. Selain itu, masyarakat-masyarakat modern masih belum lagi membangun suatu moralitas sekuler yang memadai atau mekanisme-mekanisme institusional yang lewat itu moralitas tersebut bisa diaktualisasikan. Karena telah terbebas dari keseragaman yang menindas yang diciptakan oleh solidaritas mekanis dari bentuk-bentuk masyarakat sebelumnya, kebutuhan dan hasrat-hasrat individu modern terbebaskan tanpa ada ikatan lagi dengan identitas-identitas atau sistem-sistem kolektif dari regulasi moral; sebagai konsekuensinya, berkembanglah anomi dan egoisme. Meski adalah mungkin, bahkan menjadi keniscayaan, untuk melakukan kontrol moral atas politik, namun yang muncul malah kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan di dalam mobilisasi politik, dan sebagai hasilnya berlangsunglah dislokasi sosial. Durkheim melihat sosialisme sebagai suatu usaha untuk meregulasi ketimpangan-ketimpangan dan ketidakteraturan-ketidakteraturan intrinsik dari suatu ekonomi yang telah maju. Hanya saja, sosialisme tidak mengarahkan perhatiannya pada persoalan pengaturan moral. Sosialisme mengasumsikan bahwa pengaturan moral yang sesungguhnya identik dengan penyetaraan ekonomi. Secara kontras, Durkheim berargumen bahwa pengelompokan-pengelompokan atas dasar pekerjaan merupakan mekanisme-mekanisme paling efektif bagi representasi kelompok-kelompok kepentingan yang terdiferensiasi secara fungsional untuk menciptakan suatu keseimbangan yang halus, dan bahwa pendidikan sekuler merupakan kunci untuk mempertahankan suatu solidaritas sosial yang bermoral.

Marx, seperti halnya Durkheim, mengakui adanya peran ganda dari kepentingan-kepentingan dan ideal-ideal dalam memobilisasi politik modern. Namun, munculnya kepentingan-kepentingan yang secara struktural saling bertentangan bukanlah suatu bentuk abnormal dari pembagian kerja, namun memang terkandung di dalam struktur-struktur ekonomi dasar dari masyarakat-masyarakat kapitalis: yaitu dalam kepemilikan alat-alat produksi yang tak setara dan dalam sifat dari kontrak buruh upahan. Pengaturan moral atas suatu sistem ekonomi dan politik yang secara inheren tak adil ditolak oleh Marx. Argumen-argumen moral dianggap sebagai refleks dan legitimasi ideologis atas kepentingan-kepentingan yang mapan secara struktural. Perubahan kultural memiliki makna penting dalam fakta bahwa transformasi dunia yang tiada henti yang disebabkan oleh dinamika akumulasi kapital telah melenyapkan kebodohan desa dan keterisolasian kehidupan petani pra-modern. Transformasi tersebut telah membawa kelas buruh industri berhadapan langsung dengan realitas kejam dari dinamika tersebut yang tak lagi terkekang oleh ilusi-ilusi metafisika dan ideologi-ideologi keagamaan yang sebelumnya menjadi pengikat generasi petani terdahulu pada tatanan yang dominan. Jadi, arti penting dari teori sosialismenya Marx ialah bahwa dinamika politik yang digerakkan oleh kepentingan dan yang terlihat secara blak-blakan dalam pola perubahan kultural akan mendorong terciptanya suatu masyarakat dimana perbedaan-perbedaan antar kepentingan akan lenyap: hak milik pribadi dan pembagian kerja akan lenyap, dan negara akan terhapuskan. Marx mampu mencapai kesimpulan yang menarik secara sosiologis ini dengan menjadikan kepentingan-kepentingan kelas buruh identik dengan kepentingan-kepentingan kemanusiaan secara keseluruhan, dan dengan mengasumsikan bahwa perubahan-perubahan ekonomi yang dia ramalkan akan terjadi sejalan dengan upaya mempertahankan tatanan industri modern yang sangat produktif. Jadi, kepentingan-kepentingan sektoral ditransformasi menjadi kebaikan umum. Keadilan bisa dicapai lewat gerak terarah dari sejarah yang bersifat tak terhindarkan ketimbang oleh keyakinan pelakunya atau kapasitas pelaku untuk memobilisasi aksi politik.

Namun, Weber melihat bahwa penyamaan antara kepentingan-kepentingan kelas buruh dan kebaikan umum, maupun implikasi-implikasi ekonomi dari sosialisme, agak problematis. Menurut Weber, politik memang dimobilisasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik yang tercipta secara struktural. Namun, jika yang diposisikan sebagai hal yang sentral oleh Marx adalah kepentingan-kepentingan ekonomi dan justifikasi-justifikasi ideologis dari posisi-posisi politik, Weber memberikan posisi sentral pada nasionalisme kultural dan pada pilihan nilai dalam memobilisasi politik modern. Weber, seperti halnya Durkheim, berargumen bahwa perubahan kultural akan bisa memobilisasi aksi politik. Namun, sumber-sumber daya kultural dari modernitas tak bisa menjamin terciptanya suatu kerangka normatif yang obyektif sebagaimana yang diusulkan oleh Durkheim. Karena terfragmentasi oleh proses spesialisasi tanpa bisa dibalikkan kembali dan terampas dari kekuatan-kekuatan pandangan dunia keagamaan yang bersifat menguniversalkan, kultur modern tak bisa menjamin secara rasional kebaikan bersama, dan karena itu masyarakat tak bisa memilih begitu saja alternatif posisi-posisi moral yang tersedia. Hanya ikatan-ikatan kebersamaan yang unik dan partikular dari bahasa dan etnisitas yang bisa mendekati fungsi tersebut. Solusi Durkheimian terhadap patologi-patologi modernitas karenanya gagal. Menentang pandangan Marx, Weber bersikap skeptis terhadap apakah pengerahan kepentingan-diri dari kelas buruh akan bisa melahirkan suatu masyarakat dimana di dalamnya konflik-konflik kepentingan akan lenyap. Pertama-tama, dia meletakkan kepentingan-kepentingan nasional di atas kepentingan-kepentingan kelas. Namun, kemudian dia secara tegas berargumen bahwa mobilisasi kepentingan-kepentingan berbasis kelas dalam negara-bangsa modern secara tak terelakkan akan menghasilkan birokratisasi atas politik dan partai-partai politik. Birokrasi, seperti halnya sistem ekonomi, tak akan memberikan respon terhadap seruan solidaritas atau keadilan, namun akan merespon tuntutan-tuntutan dari kepentingan-kepentingan dan tuntutan-tuntutan dari kekuasaan dan uang. Dalam konteks masyarakat yang semakin kompleks dan dengan terbangunnya demokrasi massa, birokratisasi institusi-institusi sosial dan organisasi politik hampir tak terelakkan. Sumber daya terbaik yang bisa disediakan oleh kultur modern buat pelaku-pelaku ialah harapan bahwa suatu kalkulasi rasional terhadap situasi-situasi politik akan menciptakan pilihan-pilihan moral dan implementasinya pun akan menjadi lebih cerah, dan nasionalisme mungkin akan bisa menjadi suatu mekanisme bagi redefinisi yang lebih tercerahkan atas kepentingan kelas.

Apakah arti penting dari diskusi kita di atas? Yang pertama, politik lingkungan dimobilisasi baik oleh kepentingan-kepentingan maupun oleh nilai-nilai ideal. Yang pertama mungkin meliputi ancaman kerusakan lingkungan dan ancaman berkurangnya laba atau pengangguran. Klaim-klaim moral dan nilai-nilai ideal mungkin meliputi hak-hak generasi masa depan atas generasi saat ini atau hak yang tak terhapuskan dari segala bentuk kehidupan. Yang kedua, adanya interkoneksi yang bisa ditarik antara kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai ideal, antara struktur sosial dan kultur, adanya fakta bahwa kepentingan-kepentingan bisa secara ideologis membentuk klaim-klaim moral, sementara pertumbuhan pengetahuan dan argumen moral bisa membawa pada suatu redefinisi yang lebih tercerahkan mengenai kepentingan-kepentingan. Yang ketiga, diskusi-diskusi mengenai sosialisme dalam teori sosial klasik semuanya mengarah pada suatu problem yang sama: bagaimana mungkin dinamika kehidupan ekonomi dan politik, yang dibentuk dan digerakkan oleh pengarahan kekuasaan dan pengaruh kepentingan-kepentingan, bisa dibuat sejalan dengan perspektif moral kultur modern? Dengan kata lain, bagaimana bisa kultur dan moralitas mengatur atau mengontrol sistem ekonomi dan politik? Bagaimana bisa solidaritas dan keadilan mengungguli kekuasaan dan uang sebagai motivasi bertindak? Problem-problem ini juga menjadi jantung dari politik lingkungan. Jika argumen saya dalam buku ini benar bahwa hal-hal yang bersifat ekonomi, demografis dan politik merupakan faktor-faktor sentral dari degradasi lingkungan, maka suatu politik yang berorientasi lingkungan dengan sendirinya harus mengarahkan perhatian kepada kontrol atau pengaturan atas ketiganya. Alih-alih hanya sekedar merespon apa-apa yang didiktekan oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik, pelaku moral bagi pelestarian alam dan kepentingan keberlanjutan lingkungan yang lebih tercerahkan haruslah memperhitungkan secara seksama pengerahan kekuatan ekonomi dan politik. Marx bergantung pada identitas antara kepentingan-kepentingan dan moralitas untuk memecahkan problem tersebut, sementara Durkheim menawarkan janji akan terciptanya suatu pergeseran evolusioner ke arah moralitas sekuler yang diorganisir oleh negara, dan Weber menolak keduanya. Dia lebih menyerukan dipertahankannya praktek-praktek sosial yang masih belum tercengkeram oleh organisasi birokratik, walaupun praktek-praktek sosial tersebut bergantung pada kekuatan demagogis dan kemauan moral dari para pemimpin plebisian. Di akhir abad keduapuluh ini, berhadapan dengan degradasi lingkungan yang semakin parah secara global, dua solusi yang pertama tak lagi mungkin dijalankan, sementara solusi yang ketiga merupakan solusi yang paling tidak mudah. Mobilisasi Politik Lingkungan dan Karya Jrgen Habermas

Dalam konteks tujuan pembicaraan kita, teori sosial klasik memiliki dua keutamaan besar: yaitu dalam kapasitasnya untuk mampu meletakkan mobilisasi politik di dalam konteks perubahan-perubahan dan dalam konteks struktur-struktur yang lebih luas dari masyarakat modern, dan dalam usahanya yang berkelanjutan untuk memahami interplay antara kepentingan, ideal-ideal dan pengertian-pengertian kognitif atas dunia di dalam proses mobilisasi politik. Meski begitu, argumen pentingnya, dan argumen inilah yang akan sering saya bahas kembali di dalam buku ini, ialah bahwa kita tak akan bisa memahami dinamika dari politik lingkungan sebelum kita telah memahami faktor-faktor penyebab dan konsekuensi-konsekuensi dari degradasi lingkungan. Karena terbatasnya tulisan dalam teori sosial klasik yang membahas wilayah tersebut, dan meski teori sosial klasik memiliki keutamaan besar seperti yang telah saya sebutkan, namun kegunaan teori sosial klasik bagi penyelidikan politik lingkungan dengan sendirinya terbatas. Dalam bab 1 dan 2, saya akan mulai mensketsakan peran politik dalam memfasilitasi dan mengontrol degradasi lingkungan. Dalam bab 3, saya akan mengembangkan sebuah model yang jauh lebih lengkap mengenai interrelasi antara ekonomi dan politik dalam konteks sebagai faktor penyebab dan konsekuensi dari degradasi lingkungan. Di atas basis inilah, saya akan mulai mengeksplorasi secara detil kondisi-kondisi yang di dalamnya suatu politik yang berorientasi lingkungan bisa dimobilisasi.

Jadi, dalam bab 4, terkait dengan karya Habermas, saya akan mulai untuk seterusnya membahas mobilisasi politik lingkungan. Memang, Habermas bukanlah sau-satunya ahli teori sosial yang membahas isu ini.26 Namun, ada sejumlah alasan penting untuk memfokuskan diri pada karya Habermas. Yang pertama, karya mutakhirnya merupakan salah satu usaha untuk menilai kembali secara seksama teori sosial klasik, dan darinya telah dihasilkan reinterpretasi paling komprehensif baik atas organisasi institusional dari modernitas maupun atas perkembangan kulturalnya. Yang kedua, dia menggunakan kerangka ini untuk menyelidiki kelahiran gerakan-gerakan sosial baru dan untuk mengukur potensi politiknya. Yang ketiga, dia memberikan jalan kepada kita untuk menyelidiki cara-cara dimana berubah-ubahnya struktur sosial telah menghasilkan suatu organisasi baru dari kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik, dan bagaimana hal ini pada gilirannya membentuk mobilisasi politik lingkungan kontemporer. Yang keempat, dia memungkinkan kita untuk menyelidiki cara-cara dimana perubahan kultural dan pengetahuan moral modern mengenai lingkungan muncul, meredefinisi kepentingan-kepentingan dan turut berperanan terhadap kemunculan gerakan-gerakan politik yang berorientasi lingkungan. Yang kelima, sejalan dengan pendekatan interdisipliner yang saya dukung, karya Habermas menimba pengetahuan dan berusaha memasukkan beberapa wawasan paling signifikan dari ilmuwan-ilmuwan politik yang telah melakukan penyelidikan mengenai asal-usul struktural dari politik lingkungan.

Ulrich Beck, Politik Lingkungan dan Masyarakat Resiko (Risk Society)

Akhirnya, kita sampai pada karya Ulrich Beck. Apa yang sungguh-sungguh membedakan karya Beck dari yang lainnya ialah bahwa di kalangan ahli-ahli teori sosial kontemporer, hanya dialah yang meletakkan potensi malapetaka dari degradasi lingkungan di level global sebagai fokus utama pembicaraan. Bahkan Beck melangkah lebih jauh dengan berargumen bahwa modernitas yang telah dideskripsikan di dalam karya-karya ahli teori sosial klasik telah mengalami transformasi menjadi suatu tipe masyarakat yang sama sekali berbeda, yaitu sebuah masyarakat resiko. Transformasi itu, sebagian, diakibatkan oleh munculnya level-level perluasan bahaya dan resiko lingkungan yang belum pernah ada sebelumnya dan membentuk model-model masyarakat modern konvensional tanpa bisa dipahami asal-usul atau konsekuensinya. Selain itu, karya Ulrich Beck mengkaitkan analisisnya dengan isu-isu yang muncul di dalam semua bab dalam buku ini, serta menghadirkan pertanyaan-pertanyaan dan melakukan penyelidikan terhadap isu-isu yang belum disentuh sama sekali sebelumnya. Dalam bab 5, saya akan meninjau kembali model Beck mengenai masyarakat resiko dan mengeksplorasi dimensi lingkungan yang bersifat eksplisit dalam analisisnya. Klaim-klaimnya mengenai transformasi dari modernitas klasik menjadi suatu masyarakat resiko sangat sejajar dengan model Giddens mengenai suatu modernitas akhir yang teradikalisasi dimana di dalamnya gerakan-gerakan sosial di bidang lingkungan merespon resiko-resiko dan bahaya-bahaya lingkungan yang baru saja disadari. Beck juga menyelidiki cara-cara dimana relasi-relasi kekuasaan politik dan kultural kontemporer berfungsi untuk mengaburkan asal-usul degradasi lingkungan dan melindungi para penyebab degradasi lingkungan. Karyanya karenanya merupakan suatu pelengkap yang sangat berguna bagi model politik lingkungan dan proses pengambilan kebijakan lingkungan dalam karya Gorz. Yang terakhir, Beck seperti juga Habermas berargumen bahwa demokrasi dan demokratisasi atas proses politik konvensional dan atas wilayah-wilayah proses pengambilan keputusan ekonomi yang sebelumnya terdepolitisasi merupakan suatu elemen penting dari politik yang memperjuangkan keberlanjutan lingkungan.

Sosialisme dan Teori Sosial

Saya telah menulis di atas bahwa yang menjadi perhatian saya bukanlah hanya alasan-alasan terjadinya degradasi lingkungan, namun juga apa yang secara politik bisa kita lakukan terhadapnya. Lima bab pertama dari buku memfokuskan diri pada beberapa isu yang muncul akibat problem ini. Kita tak akan mungkin bisa melawan degradasi lingkungan sebelum kita memiliki suatu pemahaman yang relatif akurat mengenai bagaimana dan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Begitu juga, ketika kita telah memahami hal ini, kita tak akan mungkin mampu melakukan intervensi secara politik sebelum kita memahami kondisi-kondisi dimana di dalamnya politik lingkungan bisa dimobilisasi dengan berhasil dan memahami rintangan-rintangan dimana di dalamnya mobilisasi beroperasi. Salah satu rintangan bagi beroperasinya setiap politik ialah bahwa alternatif-alternatif ekonomi dan politik yang ditawarkan harus terasa masuk akal dan menarik. Karena itulah, saya akan mengarahkan perhatian saya kepada isu sosialisme dan politik lingkungan dalam bab penutup. Keempat ahli teori sosial yang saya analisa semuanya membangun gagasannya di atas wawasan kolektif dari ahli-ahli teori sosial klasik yaitu bahwa sosialisme menuntut diregulasinya kekuasaan ekonomi dan politik yang selaras dengan ideal-ideal kultural dan moral. Selain itu, masing-masing pemikir melakukannya dari suatu perspektif yang mengakui keterbatasan-keterbatasan dan kegagalan-kegagalan sosialisme sebagai suatu kekuatan politik dan sebagai sebuah bentuk organisasi ekonomi di abad keduapuluh. Karena itu, karya mereka masih tetap memiliki arti signifikan untuk memecahkan dilema-dilema yang dihadapi oleh seorang sosialis dan seorang penganut politik lingkungan. Dalam bab penutup, saya akan mengkaji usulan-usulan mereka dan berusaha memperlihatkan suatu neraca mengenai sumbangan dari ahli-ahli teori sosial kontemporer ini terhadap pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan, terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab oleh teori sosial klasik meski dengan semua keutamaannya.