teori hiper ige sindrom
DESCRIPTION
igeTRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Hiper- IgE sindrom
I. Pendahuluan
Hiper-IgE sindroma (HIES) adalah gangguan komplek imun primer yang
ditandai dengan infeksi Staphylococcus yang berulang pada kulit, paru-paru,
dermatitis atopik, peningkatan IgE serum. Kelainan non imun yang terjadi
termasuk tampilan wajah yang khas, fraktur setelah truma ringan, skoliosis,
hiperextensive sendi, dan retensi gigi sulung. Peneltian terbaru menunjukkan
bahwa mutasi domina terjadi pada sinyal tranduser dan aktivator transkripsi 3
(STAT 3), sedangkan defisiensi gen tirosin kinase 2 (TYK2) menyebabkan HIES
autosomal resesif terkait dengan virus dan infeksi mikrobakteri. Dalam kedua
kondisi tersebut, sinyal transduksi untuk beberapa toksin, termasuk IL-6 dan IL-
23 adalah cacat, sehingga fungsi TH17 terganggu. Temuan ini menunjukkan
bahwa cacat dalam sinyal sitokin merupakan dasar molekuler untuk kelainan
imunologi dan nonimunologi yang diamati pada HIES.1,2,3,4
Davis dan Wedgwood pertama kali menjelaskan penyakit ini pada tahun
1996, pada dua gadis yang menderita abses Staphylococcus berulang, radang
paru-paru, dan eksim. Pada laporan kasus ini mengidentifikasi adanya
peningkatan IgE serum. Sindrom ini diteliti lebih lanjut oleh Buckley yang
menemukan bahwa abses Staphylococcus berulang dan eksim kronis berkaitan
erat dengan tingginya konsentrasi serum IgE. Mereka juga menunjukkan bahwa
konsentrasi immunoglobulin serum lainnya (IgG, IgA, IgM, IgD). Sifat
multisistem dari HIES meliputi kelainan sistem kekebalan tubuh, kelainan
jaringan tulang dan jaringan ikat, seperti skoliosis, Fraktur osteoporosis, truma
minor, hyperextensive sendi, dan retensi gigi sulung. Pada tahun 2004 ditemukan
bentuk HIES autosomal resesif.5,6
Pada tahun 2006 defisiensi tirosin kinase 2 (TYK 2) diidenfikasikan pada
pasien HIES autosomal resesif. Pada tahun 2007 mutasi dominan-negatif pada
1
sinyal tranduser dan aktivator gen transkripsi 3 (STAT 3) yang diidentifikasi
sebagai molekul utama HIES.2,3,4,5,6
Manifestasi Klinis
HIES adalah penyakit multisistem dengan manifestasi klinis yang
bervariasi. Individu yang terkena mungkin memiliki beberapa ciri-ciri dari HIES,
tapi tidak semua gejala muncul, tergantung pada usia. Hampir semua pasien
dengan HIES menderita infeksi Staphylococcus berulang, dimulai pada watu bayi
dan sering melibatkan kulit dan paru-paru. Berbeda dengan penyakit gralumatosis
dimana infeksi Staphylococcus terjadi di berbagai organ, termasuk paru-paru,
kelenjar getah bening, kulit, hati, saluran pencernaan, ginjal dan otak.6,7,8,9
Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering terisolasi pada
pasien HIES namun Sterptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, dan
bakteri garam –negatif juga ditemukan pada pasien HIES. Infeksi jamur, termasuk
candidasi mukokutan dan aspegillosi paru, juga sering ditemukan pada HIES.
Dermatitis atopi biasanya dimulai selama periode neonatal, sebelum timbulnya
dermatits atopik. Pasien dengan HIES menderita dermatitis atopi terkait dengan
sangat tinggi tingkat IgE serum dan eosinofilia, tetapi biasanya bebas dari
manifestasi alergi lainnya, seperti rhinitis,urtikaria, dan reaksi anafilaktis.
Kelainan kraniofasial pada pasien HIES memiliki penampilan wajah yang
khas yang berkembang pada masa anak-anak dan remaja, ditandai dengan
asimetris, hidung lebar, dan mata cekung dengan dahi menonjol. Kulit wajah
sering memiliki tekstur kasar, berpori.7,9
Kelainan muskulosketal berupa skoliosis, patah tulang pada trauma
minimal, osteopenia, hiperextensibiltas dan penyakit sendi degeneratif. Skoliosis
sering muncul pada masa remaja. Fraktur trauma minimal terjadi pada 50% pasien
dengan HIES dimana osteopenia dan osteiporosis juga terjadi. Osteoklas
dimediasi reabsorpsi tulang yang tidak normal pada HIES dan kemungkinan
berhubungan dengan osteopenia dan patah tulang.
2
Kelainan gigi pada HIES adalah gigi sulung yang sulit tanggal dan
memerlukan ekstaksi pembedahan. Karakteristik variasi mukosa mulut, lidah,
langit-langit mulut dan pipi termasuk lidah yang mungkin berhubungan dengan
infeksi candida.
Kelainan vaskuler yang terjadi pada HIES biasanya berupa aneurisma
arteri koroner mengakibatkan infark miokard, aneurisma bilateral karotis, mikosis
arteri serebra, dan kelainan pembuluh darah kecil. Keganasan pada HIES
dikaitkan dengan tingkat kejadian limfoma non hodgkin yang sebagian besar
berasal dari sel B.7,9
Klasifikasi
HIES diklasifikasikan menjadi dua kategori:6,7,8,9
A. Tipe 1
Bentuk yang paling umum dan merupakan jenis yang disajikan
oleh kasus yang dilaporkan oleh Davis dan Buckley. Dalam jenis ini
pneumonia sering diikuti dengan pembentukan kista paru, kelainan pada
beberapa sistem dari tubuh, termasuk tulang dan gigi.
B. Tipe 2
Memiliki kelainan terbatas pada sistem kekebalan tubuh. Pada
pasien HIES tipe 2 tidak memiliki kelainan tulang, tetapi menderita
berulang infeksi virus , seperti moluskum kontangiosum dan herpes
simplek virus (HSV). Kebanyakan HIES tipe 2 dijumpai memiliki cacat
ringan pada tranduksi sinyal hilir dari reseptor sel T yang kompleks.
Patogenesis
Pengetahuan tentang patogenesis HIES dengan mutasi STAT 3 masih
terbatas, meskipun penemuan dari etiologi molekul HIES. Beberapa besaqr
pertanyaan belum terjawab yaitu molekul apa yang mendasari dernmatitis atopi
dan IgE serum yang tinggi. Sel TH 17 adalah substrat baru diidentifikasi dari sel T
helper terkait dengan eksaserbasi autoimun berbagai gangguan termasuk penyakit
radang usus, multiple sklerosis, psoriasis, dan rheumatoid arthritis. Sel TH 17
menghasilkan sitokin TH 17, termasuk IL-17 (IL-17A), IL-17F dan IL-22.
3
Fungsinya dalam tubuh manusia belum jelas, tetapi sel TH 17 memainkan peran
penting dalam pengambilan neutrofil dan memproduksi peptidaa
antimikroba.10,11,12
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan kecurigaan klinis dan peningkatan IgE serum lebih
dari >2000 U/L
II. Definisi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena
infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistim
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel
darah di dalam parenkim hati.1
III. Klasifikasi
Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amuba dan abses hati
piogenik. Abses hati amuba merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk
Indonesia. Abses hati piogenik dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial
liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess.1
ABSES HATI AMUBA
a. Epidemiologi
4
Amebiasis merupakan penyakit endemik yang berhubungan dengan
aspek sosial kemasyarakatan yang luas, terutama di daerah dengan sanitasi,
status hygiene yang kurang baik dan status ekonomi yang rendah. Indonesia
memiliki banyak daerah endemik untuk strain virulen E. histolytica. E.
histolytica hidup komensal di usus manusia, namun dengan keadaan gizi yang
buruk dapat menjadi patogen dan menyebabkan angka morbiditas yang tinggi.
Penelitian di Indonesia menunjukan perbandingan pria : wanita berkisar 3:1. Usia
penderita berkisar antara 20-50 tahun, terutama pada dewasa muda, jarang pada
anak-anak.4
Abses hati amuba lebih jarang ditemukan dibandingkan abses hati
piogenik, angka kejadiannya hanya sekitar 20% dari semua abses hati. Infeksi ini
sering terjadi di daerah tropis, dimana sekitar 10-20% populasi mengandung
organ ini. Pusat pengendalian penyakit melaporkan 1,3 kasus amubiasis per
100.000 populasi.3
b. Etiologi
Abses hati amuba terjadi karena Entamoeba histolytica terbawa aliran vena
porta ke hepar, tetapi tidak semua amuba yang masuk ke hepar dapat
menimbulkan abses. Untuk terjadinya abses, diperlukan faktor pendukung atau
penghalang berkembang biaknya amuba tersebut. Faktor tersebut antara lain
adalah pernah terkena infeksi amuba, kadar kolesterol meninggi, pascatrauma
hepar, dan ketagihan alkohol. Akibat infeksi amuba tersebut, terjadi reaksi radang
dan akhirnya nekrosis jaringan hepar. Sel hepar yang jauh dari fokus infeksi juga
mengalami sedikit perubahan meskipun tidak ditemukan amuba. Perubahan ini
diduga akibat toksin yang dikeluarkan oleh amuba.5
c. Patogenesis
5
E. Hystolitica memiliki dua bentuk yaitu tropozoit dan kista. Bentuk kista
ini dapat bertahan di luar tubuh manusia. Kista dipindahkan melalui kontaminasi
makanan dan air minum atau secara langsung. Tropozoid akan berubah dari
bentuk kista dalam usus kecil dan akan terus ke kolon dan dari sini akan
memperbanyak diri. Baik bentuk trophozoit maupun kista dapat ditemukan
pada lumen usus. Namun hanya bentuk trophozoit yang dapat menginvasi
jaringan. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cys-teine
protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh
organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amuba yang masuk ke
submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena
porta ke hati. Di hati E. hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis
jaringan hati, dan membentuk abses. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan
(70% - 90%), superfisial serta tunggal. Kecenderungan ini diperkirakan akibat
penggabungan dari beberapa tempat infeksi mikroskopik, serta disebabkan karena
cabang vena porta kanan lebih lebar dan lurus dari pada cabang vena porta kiri.
Ukuran abses bervariasi dari diameter 1-25 cm. Dinding abses bervariasi
tebalnya, bergantung pada lamanya penyakit.4,7
Abses ini sebetulnya bukan abses yang sebenarnya, tetapi lebih
menyerupai proses pencairan jaringan nekrosis multipel yang makin lama makin
besar dan bergabung membentuk apa yang disebut abses. Cairan abses terdiri atas
jaringan hati yang nekrosis dan eritrosit yang berwarna tengguli. Cairan ini
terbungkus oleh hiperplasia jaringan ikat yang disebut simpai walaupun bukan
berupa simpai sejati. Jaringan ikat ini membatasi perusakan lebih jauh, kecuali
bila ada infeksi tambahan. Kebanyakan abses hati bersifat soliter, steril dan
terletak di lobus kanan dekat kubah diafragma. Jarang ditemukan amuba pada
cairan tersebut; bila ada amuba biasanya terdapat di daerah dekat dengan
simpainya. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy paste” dan berwarna
coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang
dicerna. Evaluasi cairan abses untuk penghitungan sel dan enzimatik secara umum
tidak membantu dalam mendiagnosis abses amuba. Amuba bisa didapatkan
ataupun tidak di dalam cairan pus.4,5
6
d. Gejala klinis
Pada penderita abses hepar amuba tidak selalu ditemukan riwayat diare
sebelumnya. Diare hanya dialami oleh 20-50% penderita. Penyakit ini timbul
secara perlahan, disertai demam, berkeringat, dan berat badan menurun. Tanda
lokal yang paling sering adalah nyeri spontan dan nyeri tekan perut kanan atas, di
daerah lengkung iga dengan hepar yang membesar. Kadang nyeri ditemukan di
daerah bahu kanan akibat iritasi diafragma. Hepatomegali dan nyeri biasanya
ditemukan, tetapi jarang sekali disertai ikterus, prekoma atau koma. Bila lobus
kiri yang terkena, akan ditemukan massa di daerah epigastrium. Gejala khas
adalah suhu tubuh yang tidak lebih dari 38,5°C. Penderita tak kelihatan sakit berat
seperti pada abses karena bakteria. Kadang gejalanya tidak khas, timbul pelan-
pelan atau asimptomatis.4,5
e. Pemeriksaan penunjang
• Laboratorium
Jumlah leukosit berkisar antara 5.000 dan 30.000, tetapi umumnya antara
10.000-12.000. Kadar fosfatase alkali serum meningkat pada semua tingkat abses
amuba. Tes serologi titer amuba di atas atau sama dengan 1:128. Dapat ditemukan
anemia ringan sampai sedang. Pada pemeriksaan faal hati, tidak ditemukan
kelainan yang spesifik. Kista dan tropozoit pada kotoran hanya teridentifikasi
pada 15-50% penderita abses amuba hepar, karena infeksi usus besar seringkali
telah mereda saat penderita mengalami abses hepar. Complement fixation test
lebih dapat dipercaya dibanding riwayat diare, pemeriksaan kotoran, dan
proktoskop.4,5
• Pencitraan
Tak ada perbedaan radiologi yang jelas antara abses hati piogenik dan
amuba. Perbedaan terlihat pada hasil tes serologi E. histolytica. Pada foto
roentgen pasien dengan abses hati amuba dapat terlihat kubah diafragma kanan
meninggi, efusi pleura, abses paru dan atelektasis. Pemeriksaan ultrasonografi
7
merupakan pemeriksaan yang penting untuk membantu diagnosis serta
menentukan lokasi abses dan besarnya. Sensitivitasnya dalam mendiagnosis
amebiasis hati adalah 85%-95%. Gambaran ultrasonografi pada amebiasis hati
adalah:
1. Bentuk bulat atau oval
2. Tidak ada gema dinding yang berarti
3. Ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal.
4. Bersentuhan dengan kapsul hati
5. Peninggian sonik distal (distal enhancement)
Pemeriksaan CT-scan hati sama dengan pemeriksaan ultrasonografi. Pada
endoskopi, sebagian penderita tidak menunjukkan tanda kolitis amuba. Kadang
abses amuba baru timbul bertahun-tahun setelah infeksi amuba kolon.3,4,5
f. Diagnosis
Untuk membuat diagnosis abses hati amuba yang penting adalah
kesadaran akan kemungkinan penyakit ini. Bila ada nyeri daerah epigastrium
kanan dan hepatomegali serta demam yang tidak begitu tinggi, dugaan abses
hepar harus dipertimbangkan. Riwayat diare dan ditemukannya amuba dalam
feses membantu diagnosis meskipun tidak ditemukannya kedua hal ini tidak
berarti bukan abses hati amuba.5
g. Diagnosis banding
Penyakit lain yang gejala klinisnya mirip dengan abses hati amuba antara
lain:
• Abses hati piogenik
1) Disebabkan paling banyak oleh bakteri gram negatif yang terbanyak
yaitu E. coli serta kuman yang lainnya yaitu S. faecalis, P. vulgaris dan S.
typhi. Dapat juga disebabkan oleh bakteri anaerob yang berasal dari v.
porta, saluran empedu (yang paling sering), infeksi langsung (seperti luka
8
pada penetrasi, fokus septik berdekatan), septisemia atau bakterimia pada
infeksi tempat lain, kriptogenik terutama pada usia lanjut.
2) Pus yang diaspirasi kuning kehijauan dan berbau sedangkan pada abses
amuba coklat kemerahan (anchovy sauce) dan tidak berbau.
3) Manifestasi sistemik yang lebih berat, terutama demam yang dapat
bersifat remiten, intermitten dan kontinu yang disertai menggigil.
4) Ikterus yang lebih nyata karena adanya penyakit billier seperti kolangitis.
5) Abses biasanya didapatkan pada kedua lobus (53,2%) dan pada lobus
kanan (41,8%) sedangkan pada lobus kiri hanya 4,8%.
6) Pengobatan dilakukan dengan antibiotik.
7) Sering muncul pada pasien berusia diatas 50 tahun
8) Berhubungan dengan ikterus, pruritus, sepsis, dan peningkatan bilirubin
dan alkali fosfatase.
a. Keganasan (Ca. Hepatik primer) tipe febril
b. Kolesistisis akut
c. Hepatitis kronis, hepatitis virus akut
d. Kista hati
e. Massa intra abdomen
f. Kelainan intra torakal kanan bawah
g. Abdomen akut oleh karena adanya apendisitis atau ulkus peptikum
Untuk memastikan diagnosis perlu dilihat hasil pemeriksaan
ultrasonografi, pungsi dan percobaan pengobatan dengan amubisid yang
merupakan diagnosis per eksklusionem.2,5,7
h. Penatalaksanaan
• Pengobatan medis3,4,5
Obat amebisid digolongkan berdasarkan tempat kerjanya menjadi:
amebisid jaringan atau sistemik, yaitu obat yang bekerja
terutama di dinding usus, hati dan jaringan ekstra intestinal
lainnya; contohnya emetin, dehidroemetin, klorokuin,
9
amebisid luminal, yaitu yang bekerja dalam usus dan disebut
juga amebisid kontak contohnya, diyodohidroksikuin,
yodoklorhidroksikuin, kiniofon, glikobiarsol, karbason,
klifamid, diklosanid furoat, tetrasiklin dan paromomisin dan
amebisid yang bekerja pada lumen maupun jaringan, contohnya
obat-obat golongan nitroimidazol
Abses hati ameba tanpa komplikasi lain dapat menunjukan
penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamuba. Pengobatan
yang dianjurkan adalah:
a) Metronidazole. Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole. Dosis
50mg/kgBB/hari. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amuba
adalah 3 x 750 mg/hari selama 7-10 hari. Derivat nitroimidazole lainnya
yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg perhari
selama 5 hari. Metronidazol merupakan obat terpilih dan telah dilaporkan
menyembuhkan 80-100% abses hati amuba. Pasien yang berhasil diterapi
dengan metronidazol mempunyai respon klinis dramatis, biasanya menjadi
tidak demam dan bebas nyeri dalam 24 dan 48 jam.
b) Dehydroemetine (DHE). Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis
yang direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg
perhari selama 10 hari.
c) Chloroquin. Dosis yang dianjurkan adalah 1g/hari selama 2 hari dan
diikuti 500mg/hari selama 20 hari. Absorbsi klorokuin di usus halus sangat
baik dan lengkap (kadar di hati 200-700 kali di plasma), sehingga kadar
dalam kolon sangat rendah. Oleh karena itu perlu ditambah amebisid
luminal untuk menghindari relaps. Pada penelitian ditemukan bahwa kadar
klorokuin setelah diabsorbsi tertinggi di dalam jaringan hati; maka sangat
baik untuk terapi abses hati amebiasis
• Terapi bedah
Terapi bedah berupa aspirasi dan penyaliran. Teknik aspirasi dapat
dilakukan secara buta, tetapi sebaiknya dengan tuntunan ultrasonografi sehingga
10
dapat mencapai sasaran dengan tepat. Jika gejala menetap lebih dari 1 minggu dan
gambaran radiologi menunjukkan kista yang tetap ada setelah terapi antibiotika,
maka bisa diindikasikan aspirasi per kutis atau drainase bedah. Sumber lain juga
mengatakan, apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di
atas tidak berhasil (72 jam) atau bila terapi dengan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dapat
dilakukan berulang-ulang secara tertutup atau dilanjutkan dengan pemasangan
kateter penyalir. Pada semua tindakan harus diperhatikan prosedur aseptik dan
antiseptik untuk mencegah infeksi sekunder. Cara aspirasi menguntungkan karena
tidak mengganggu fungsi vital, sedikit mempengaruhi kenyamanan penderita,
tidak menyebabkan kontaminasi rongga peritoneum dan murah. Aspirasi harus
dilakukan dengan kateter yang cukup besar. Kontraindikasi adalah asites dan
struktur vital menghalangi jalannya jarum.3,4,5
Penyaliran terbuka dilakukan bila pengobatan gagal dengan terapi
konservatif, termasuk aspirasi berulang. Indikasi lain adalah abses hati lobus kiri
yang terancam pecah ke rongga peritoneum dan ke organ lain termasuk ke dinding
perut, dan infeksi sekunder yang tidak terkendali. Angka kematian dengan cara ini
lebih tinggi.5
i. Komplikasi
Komplikasi abses hati amuba umumnya berupa perforasi atau ruptur abses
ke berbagai rongga tubuh (pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal) dan ke
kulit, sebesar 5-5,6%. Perforasi ke kranial dapat terjadi ke pleura dan perikard.
Insiden perforasi ke rongga pleura adalah 10-20%. Akan terjadi efusi pleura yang
besar dan luas yang memperlihatkan cairan cokelat pada aspirasi. Perforasi dapat
berlanjut ke paru sampai ke bronkus sehingga didapat sputum yang berwarna khas
cokelat. Penderita mengeluh bahwa sputumnya terasa seperti rasa hati selain
didapatkan hemoptisis. Perforasi ke rongga perikard menyebabkan efusi perikard
dan tamponade jantung. Bila infeksi dapat diatasi, akan terjadi inflamasi kronik
seperti tuberkulosis perikard dan pada fase selanjutnya terjadi penyempitan
jantung (perikarditis konstriktiva).4,5
11
Perforasi ke kaudal terjadi ke rongga peritoneum. Perforasi akut
menyebabkan peritonitis umum. Abses kronik, artinya sebelum perforasi,
omentum dan usus mempunyai kesempatan untuk mengurung proses inflamasi,
menyebabkan peritonitis lokal. Perforasi ke depan atau ke sisi terjadi ke arah kulit
sehingga menimbulkan fistel. Infeksi sekunder dapat terjadi melalui sinus ini.
Meskipun jarang, dapat juga terjadi emboli ke otak yang menyebabkan abses
amuba otak.5
j. Prognosis
Tingkat kematian dengan fasilitas yang memadai di RS 2%, sedangkan
pada fasilitas yang kurang 10%, pada kasus yang membutuhkan operasi 12%, jika
ada peritonitis amebik 40–50%. Tingkat kematian akan semakin meningkat
dengan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus atau renjatan. Kematian
biasanya disebabkan oleh sepsis atau sindrom hepatorenal.7,8
ILUSTRASI KASUS
12
Telah dirawat seorang pasien laki-laki berumur 48 tahun di bangsal
Penyakit Dalam RSUP M. Djamil sejak tanggal 18 Juni 2013 dengan
Keluhan Utama : Nyeri pada perut kanan atas yang semakin meningkat sejak 3
hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
Nyeri pada perut kanan atas yang semakin meningkat sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri
tidak berkurang dengan pergerakan. Nyeri tidak berhubungan
dengan makanan. Nyeri sudah mulai dirasakan sejak 2 bulan yang
lalu, namun nyeri tidak terlalu mengganggu, namun sejak 3 hari
terakhir, nyeri semakin meningkat. Pasien terlihat membungkuk
atau seperti menggendong perut pada saat berjalan
Bengkak pada perut kanan atas sejak 2 bulan yang lalu. Bengkak
awalnya tidak dirasakan oleh pasien. Semakin lama, bengkak
semakin membesar.
Penurunan nafsu makan sejak 1 bulan yang lalu.
Penurunan berat badan sejak 1 bulan yang lalu. Besar penurunan
berat badan tidak diketahui pasien.
Demam sejak 1 minggu yang lalu, demam dirasakan tinggi, terus
menerus, tidak menggigil, tidak berkeringat banyak. Keluhan
demam sebenarnya sudah mulai dirasakan sejak 2 bulan yang lalu,
namun pasien tidak merasa terganggu karena demam dirasakan
hilang timbul dan tidak tinggi.
Pucat-pucat disangkal oleh pasien.
Batuk tidak ada
Sesak nafas tidak ada. Pasien merasa nyaman bila berbaring ke sisi
manapun.
13
BAB hitam tidak ada, BAB warna dempul tidak ada, riwayat BAB
encer tidak ada.
BAK berwarna teh pekat tidak ada
Riwayat trauma tumpul pada perut tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit gula tidak ada
Riwayat hipertensi tidak ada
Riwayat sakit kuning tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang menderita sakit seperti ini
Riwayat Pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan :
- Pasien adalah seorang petani
- Pasien tidak ada kebiasaan untuk mengkonsumsi kacang-kacangan
atau makanan berbahan dasar kacang berlebihan
- Pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis Cooperative
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Nafas : 22 x/menit
Suhu : 37,9°C
Keadaan umum : sedang
Keadaan gizi : kurang
Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 160 cm
BMI : 17,58 (underweight)
14
Edema : (-)
Ikterik : (-)
Anemis : (-)
Sianosis : (-)
Kulit : turgor baik
Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran KGB
Kepala : tak ada kelainan
Rambut : tumbuh rata, tidak mudah dicabut
Mata : konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : tak ada kelainan
Hidung : tak ada kelainan
Tenggorokan : tak ada kelainan
Gigi dan mulut : caries (-)
Leher : JVP 5 - 2 cmH2O
Dada : spider naevi (-)
Paru Depan
Inspeksi : Simetris statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Paru Belakang
Inspeksi : Simetris statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
15
Jantung :
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus tidak kuat angkat, teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung atas RIC II, kanan pada linea sternalis
dextra, kiri 1 jari medial LMCS RIC V, pinggang jantung
(+)
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama jantung reguler, M1 > M2,
P2 <A2, bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : tidak tampak membuncit, collateral (-), venectasia (-)
Palpasi : hati teraba 3 jari BAC, 4 jari BPX, pinggir tajam,
permukaan rata, konsistensi padat, nyeri tekan (+),
fluktuasi (+), bruit (-), lien S0
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : nyeri tekan dan nyeri ketok sudut CVA (-)
Alat kelamin : tidak ada kelainan
Anus : tidak ada kelainan
Anggota gerak : reflek fisiologis +/+, reflek patologis -/-,
edema pretibia -/- palmar eritema -/-
Laboratorium :
Darah
Hemoglobin : 9,1 g/dl Hematokrit : 28%
Leukosit : 14.400/mm3
Trombosit : 495.000/mm3
16
DC : 0/8/0/58/30/4
Gambaran darah tepi : mikrositik hipokrom
Kesan : anemia mikrositik hipokrom, leukositosis, trombositosis
Urinalisa :
Leukosit : 1-2 /LPB Eritrosit : 0-1/LPB
Epitel : (+) gepeng Silinder: (-) Kristal:(-)
Protein (+) Glukosa (-) Bilirubin (-) Urobilinogen : (+)
Feses :
Makroskopik : warna coklat, konsistensi lembek, darah (-), lendir (-)
Mikroskopik : eritrosit 0-1/LPB, leukosit 0-1/LPB , amuba (-), cacing (-)
EKG :
- Irama : sinus - ST elevasi (-)
- HR : 78 x /1’ - ST depresi (-)
- Aksis : normal - Q patologis (-)
- Gel P : normal - SV1 + RV6 < 35 mm
- PR interval : 0,14 detik - R/S di V1 < 1
- QRS komplek : 0,06 detik - T inverted (-)
Kesan : normal
Daftar Masalah :
- Abses
- Hepatomegali
- Anemia
- Trombositosis
- Malnutrisi
17
Diagnosis Kerja :
Abses hati ec amubik
Anemia ringan mikrositik hipokrom ec penyakit kronik
Trombositosis reaktif ec Abses hati
Diagnosis Banding :
Abses hati ec piogenik
Anemia ringan mikrositik hipokrom ec defisiensi besi
Trombositosis reaktif ec keganasan
Terapi :
Istirahat / MB DH II 1900 Kkal / hari
( karbohidrat 1100 Kkal / protein 100gr / lemak 600 Kkal )
Pasang inject pump
Metronidazol 3x 500 mg IV
Ceftriaxon 1 x 2 gram IV
Curcuma 3 x 1
Sistenol 3 x 500mg
Anjuran :
MCV, MCH, MCHC
Serum iron, TIBC, feritin
Faal hati(SGOT, SGPT)
Faal ginjal (ureum, kreatinin)
Elektrolit
Bilirubin serum
Hepatitis marker
Rontgen thoraks
Aspirasi cairan abses
Kultur cairan abses
Sitologi cairan abses
18
Serologi anti amuba
FOLLOW UP
19 Juni 2013
S/ Pasien sadar, demam (-), sesak nafas (-)
0/ KU : sedang Kesadaran : CMC
TD : 130/70 mmHg Nadi : 80 x/menit
Suhu : 37,1ºC Pernafasan : 23 x/menit
Hasil Laboratorium
SGOT
SGPT
MCV
MCH
MCHC
Serum iron
TIBC
Ferritin
Total Bilirubin
Bilirubin 1
Bilirubin 2
32 u/l
26 u/l
72,8 um3
24,2 pg
33,2 g/dl
47 ug/l
138 ug/l
1021 ng/ml
0,28 mg/dl
-
-
Albumin
Globulin
LED
Ureum
Kreatinin
Natrium
Kalium
Clorida
HBsAg
2,6 g/dl
3 g/dl
85 mm/jam
33,9 mg/dl
0,9 mg/dl
135 mmol/l
3,3 mmol/l
107 mmol/l
negatif
Gambaran darah tepi :
Eritrosit : hipokrom anisositosis, polikrom (+)
Leukosit : leukositosis
19
Trombosit : Kesan jumlah meningkat
Kesan :anemia mikrostik hipokrom ec penyakit kronik, hipoalbuminemia
Sikap : transfusi albumin 20 %
Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi
Kesan : Abses hati ec amubik
DD/ Abses hati ec piogenik
Advis :
- Aspirasi cairan abses
- Terapi lain lanjut
Konsul Konsultan Hematologi :
Kesan :
Anemia ringan mikrositik hipokrom ec penyakit kronik
Trombositosis reaktif ec Abses hati
Advis :
Aspilet 1x80 mg
Follow up trombosit dan ferritin ulang
Atasi penyakit dasar
Terapi lanjut
Rencana : Rontgen thorax PA
20 Juni 2013
S/ Pasien sadar, demam (-), sesak nafas (-), nyeri perut kanan atas (+) berkurang
0/ KU : sedang Kesadaran : CMC
TD : 130/80 mmHg Nadi : 84 x/menit
20
Suhu : 37ºC Pernafasan : 21 x/menit
Rencana hari ini:
USG Abdomen
Aspirasi cairan abses
Kultur cairan abses
Sitologi cairan abses
Serologi anti amuba
Jam 11.00
Dilakukan aspirasi cairan abses :
Didapatkan cairan berwarna coklat kemerahan, tidak berbau
USG abdomen
Hati membesar, permukaan rata, parenkim homogen, halus, didapatkan SOL
dengan ukuran 12x12 cm, vena portal tidak melebar.
Kandung empedu, pankreas, lien, dan ginjal dalam batas normal
Kesan : Abses hati
Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi
Kesan : Abses hati ec amubik
Advis :
- Serologi anti amuba
- Terapi lain lanjut
21 Juni 2013
S/ Pasien sadar, demam (-), sesak nafas (-), nyeri perut kanan atas (+) berkurang
21
0/ KU : sedang Kesadaran : CMC
TD : 130/80 mmHg Nadi : 84 x/menit
Suhu : 37ºC Pernafasan : 21 x/menit
Keluar hasil parasitologi cairan abses : tidak ditemukan amuba
Keluar hasil sitologi cairan abses :
Mikroskopik : Dari sediaan cairan apus cairan abses berwarna kecoklatan ± 4cc,
mikroskopik tampak dengan latar belakang nekrotik, adanya sebaran padat
leukosit PMN, limfosit, makrofag, seluler debris. Tidak tampak adanya amuba
dalam sediaan ini.
Kesan : Radang akut supurativa (abses)
Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi
Kesan : Abses hati ec amubik
Kemungkinan Abses hati piogenik belum bisa disingkirkan
Advis :
- Tunggu hasil kultur cairan abses
- Tunggu hasil serologi anti amuba
- Terapi lain lanjut
22 Juni 2013
S/ Pasien sadar, demam (-), sesak nafas (-), nyeri perut kanan atas (+) berkurang
0/ KU : sedang Kesadaran : CMC
TD : 120/80 mmHg Nadi : 85 x/menit
Suhu : 36,9ºC Pernafasan : 22 x/menit
22
Keluar hasil expertise Rontgen Toraks PA
Kesan : Cor dan pulmo dalam batas normal
24 Juni 2013
S/ Pasien sadar, demam (-), sesak nafas (-), nyeri perut kanan atas (+) berkurang
0/ KU : sedang Kesadaran : CMC
TD : 130/80 mmHg Nadi : 88 x/menit
Suhu : 36,8ºC Pernafasan : 21 x/menit
Keluar hasil Kultur cairan abses :
Kesan : Tidak ditemukan pertumuhan kuman patogen (aerob)
Keluar hasil serologi anti amuba :
Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi
Kesan : Abses Hati Amubik
Advis :
Konsul bedah digestif untuk drainase abses
terapi lanjut
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 48 tahun di Bangsal Penyakit
Dalam dengan diagnosis akhir :
Abses hati amubik
Anemia ringan mikrositik hipokrom ec penyakit kronik
Trombositosis reaktif ec abses hepar
23
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan penunjang. Dari anamnesis, didapatkan adanya keluhan nyeri pada perut
kanan atas, adanya demam, bengkak, dan tidak didapatkan adanya keluhan pada
buang air besar dan buang air kecil.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan adanya demam, adanya hepatomegali,
dan fluktuasi pada palpasi hepar. Dari pemeriksaan penunjang sederhana
didapatkan kesan adanya suatu anemia ringan dengan gambaran mikrositik
hipokrom dan adanya trombositosis.
Pada pasien ini, dikesankan bahwa abses yang diderita adalah abses
amubik. Hal ini didasari oleh adanya keluhan nyeri pada perut kanan yang sangat
mengganggu hingga membuat pasien memegang perut kanannya saat berjalan,
adanya demam, namun tidak ada keluhan gastrointestinal (seperti diare).
Berdasarkan kepustakaan, keluhan gastrointestinal tidak selalu terjadi pada abses
hati amubik. Kejadiannya justru hanya sekitar 25-30 %. Dari pemeriksaan fisik
ditemukan hepatomegali, dengan adanya fluktuasi positif pada palpasi. Dari
laboratorium sederhana ditemukan leukositosis dan trombositosis. Diagnosis
banding untuk abses piogenik belum bisa disingkirkan karena keduanya memiliki
gejala dan tampilan klinis yang sangat mirip. Untuk itu, dilakukan aspirasi cairan
abses, dan selanjutnya cairan tersebut diperiksa untuk dilakukan kultur dan
sitologi. Untuk mengkonfirmasi abses karena amubik, dilakukan juga
pemeriksaan serologi anti amuba.
Pada saat dilakukan aspirasi cairan abses, didapatkan cairan abses
berwarna coklat kemerahan dan tidak berbau. Hal ini mendukung temuan pada
abses amubik, dimana cairan aspirasi abses pada abses hati amubik biasanya
berwarna coklat kemerahan.. Berdasarkan kepustakaan, cairan abses pada abses
piogenik biasanya berwarna kuning kehijauan, dan berbau. Namun, walaupun
tidak berwarna kuning kehijauan, tidak menutup kemungkinan bahwa abses pada
pasien ini bukan disebabkan penyebab piogenik. Hal ini didasarkan kepustakaan
bahwa terdapat beberapa bakteri penyebab abses hepar, dan warna cairan abses
bisa berbeda-beda tergantung bakteri penyebab. Untuk mengkonfirmasi hal ini,
24
perlu dilakukan pemeriksaan parasitologi,sitologi dan kultur cairan abses, serta
pemeriksaan serologi cairan abses.
Dari hasil parasitologi cairan abses, tidak ditemukan adanya amuba. Dari
hasil sitologi cairan abses mengesankan adanya suatu radang akut supurativa, dan
tidak ditemukan adanya amuba. Hal ini justru mengesankan bahwa abses yang
diderita pasien adalah abses piogenik.
Berdasarkan kepustakaan, tidak ditemukannya amuba pada sediaan
aspirasi abses tidak langsung meniadakan diagnosis abses amubik. Amuba tidak
selalu terdapat pada cairan abses. Amuba juga bisa ditemukan pada dinding
kantong abses, yang mungkin luput dari pemeriksaan, sehingga mengesankan
bahwa abses pada pasien bukanlah suatu abses amubik.
Dari kultur cairan abses, tidak ditemukan adanya pertumbuhan kuman
aerob yang patogen. Namun, diagnosis abses piogenik masih belum bisa
disingkirkan karena kultur agar yang dipakai pada pemeriksaan adalah untuk
kuman aerob. Abses piogenik sendiri sangat memungkinkan untuk disebabkan
oleh kuman anaerob.
Nilai positif pada pemeriksaan serologi anti amuba menyatakan bahwa
pasien telah memiliki antibodi terhadap amuba (E.hystolitica) yang beredar di
dalam darah. Normalnya, serologi anti amuba bernilai negatif, karena Entamuba
hystolitica hidup di dalam saluran cerna, bukan di dalam darah. Pada saat terjadi
infiltrasi dan kerusakan saluran cerna karena penyebab tertentu, penetrasi E.
Hystolitica dapat terjadi, dan amuba dapat ditemukan dalam darah, dan beredar
dalam sirkulasi. Nilai positif serologi anti amuba pada pasien abses hati tidak
menjamin penuh bahwa penyebab abses adalah amuba, karena amuba yang
beredar dalam darah belum tentu selalu menyebabkan abses hati.
Terapi terpilih pada pasien abses hati amubik adalah metronidazole.
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, yang diberikan dengan dosis
50mg/kgBB/hari. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amuba adalah 3 x
750 mg/hari selama 7-10 hari. Berdasarkan kepustakaan, metronidazol merupakan
obat terpilih dan telah dilaporkan menyembuhkan 80-100% abses hati amuba.
25
Pasien yang berhasil diterapi dengan metronidazol mempunyai respon klinis
dramatis, biasanya menjadi tidak demam dan bebas nyeri dalam 24 dan 48 jam.
Hal ini sesuai dengan yang terjadi pada pasien dimana keluhan nyeri perut dan
demam segera berkurang dengan pemberian metronidazol. Pada pasien ini tetap
diberikan antibiotik sefalosporin generasi ketiga. Indikasi pemberiannya adalah
adanya keluhan demam, nyeri perut kanan atas, dan adanya leukositosis. Secara
klinis, sukar membedakan abses karena amubik ataupun piogenik. Pemberian
antibiotik dapat dihentikan bila secara hasil serologi anti amuba ditemukan
dengan nilai positif.
Prognosis pada pasien ini cukup baik, dimana keluhan klinis berkurang
setelah pemberian terapi. Terapi lanjutan yang akan dilakukan selanjutnya adalah
terapi bedah, yaitu aspirasi abses, mengingat ukuran abses yang cukup besar
(12x12 cm). Sesuai kepustakaan, terapi bedah merupakan suatu indikasi, bila
ditemukan abses hati dengan ukuran diatas 7 cm. Idealnya, terapi bedah dilakukan
apabila setelah pemberian terapi medika mentosa, tidak menunjukkan perubahan
yang berarti, baik pada perbaikan klinis ataupun penyusutan ukuran abses.
Walaupun pasien ini menunjukkan respon klinis perbaikan setelah terapi medika
mentosa, aspirasi dan penyaliran tetap dilakukan mengingat ukuran abses yang
cukup besar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru. W., dkk.. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006
2. Way. Lawrence. W. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Lange USA :
Medical Publication. 2003
26
3. Kortz, Warren J. & Sabiston, David C. Sabiston Buku Ajar Bedah, Bagian 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994
4. Junita, A., dkk. 2006. Jurnal Penyakit Dalam, Volume 7 Nomor 2 : Beberapa
Kasus Abses hati Amuba. Available from: Http://ejournal.unud.ac.id/. Accessed
on : June 02nd, 2009.
5. Sjamsuhidayat, R., Jong, Wim de. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta :
EGC. 2005
6. Moore, L. Keith., Agur, Anne. M. R. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta :
Hipokrates. 2002
7. Hetti. Liver Abses. Available from Http://wordpress.com/2010/03/17/liver-
abses. Accessed on : June 02nd, 2009.
8. Nickloes, Todd. A. Pyogenic Hepatic Abscess. Available from: Http://
wordpress.com /193182.htm. Accessed on : June 02nd, 2009.
27