teori hiper ige sindrom

39
TINJAUAN PUSTAKA Hiper- IgE sindrom I. Pendahuluan Hiper-IgE sindroma (HIES) adalah gangguan komplek imun primer yang ditandai dengan infeksi Staphylococcus yang berulang pada kulit, paru-paru, dermatitis atopik, peningkatan IgE serum. Kelainan non imun yang terjadi termasuk tampilan wajah yang khas, fraktur setelah truma ringan, skoliosis, hiperextensive sendi, dan retensi gigi sulung. Peneltian terbaru menunjukkan bahwa mutasi domina terjadi pada sinyal tranduser dan aktivator transkripsi 3 (STAT 3), sedangkan defisiensi gen tirosin kinase 2 (TYK2) menyebabkan HIES autosomal resesif terkait dengan virus dan infeksi mikrobakteri. Dalam kedua kondisi tersebut, sinyal transduksi untuk beberapa toksin, termasuk IL-6 dan IL-23 adalah cacat, sehingga fungsi TH17 terganggu. Temuan ini menunjukkan bahwa cacat dalam sinyal sitokin merupakan dasar molekuler untuk kelainan imunologi dan nonimunologi yang diamati pada HIES. 1,2,3,4 Davis dan Wedgwood pertama kali menjelaskan penyakit ini pada tahun 1996, pada dua gadis yang menderita abses Staphylococcus berulang, radang paru- paru, dan eksim. Pada laporan kasus ini mengidentifikasi adanya peningkatan IgE serum. Sindrom 1

Upload: dradrianramdhany

Post on 23-Dec-2015

36 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ige

TRANSCRIPT

Page 1: Teori Hiper IgE Sindrom

TINJAUAN PUSTAKA

Hiper- IgE sindrom

I. Pendahuluan

Hiper-IgE sindroma (HIES) adalah gangguan komplek imun primer yang

ditandai dengan infeksi Staphylococcus yang berulang pada kulit, paru-paru,

dermatitis atopik, peningkatan IgE serum. Kelainan non imun yang terjadi

termasuk tampilan wajah yang khas, fraktur setelah truma ringan, skoliosis,

hiperextensive sendi, dan retensi gigi sulung. Peneltian terbaru menunjukkan

bahwa mutasi domina terjadi pada sinyal tranduser dan aktivator transkripsi 3

(STAT 3), sedangkan defisiensi gen tirosin kinase 2 (TYK2) menyebabkan HIES

autosomal resesif terkait dengan virus dan infeksi mikrobakteri. Dalam kedua

kondisi tersebut, sinyal transduksi untuk beberapa toksin, termasuk IL-6 dan IL-

23 adalah cacat, sehingga fungsi TH17 terganggu. Temuan ini menunjukkan

bahwa cacat dalam sinyal sitokin merupakan dasar molekuler untuk kelainan

imunologi dan nonimunologi yang diamati pada HIES.1,2,3,4

Davis dan Wedgwood pertama kali menjelaskan penyakit ini pada tahun

1996, pada dua gadis yang menderita abses Staphylococcus berulang, radang

paru-paru, dan eksim. Pada laporan kasus ini mengidentifikasi adanya

peningkatan IgE serum. Sindrom ini diteliti lebih lanjut oleh Buckley yang

menemukan bahwa abses Staphylococcus berulang dan eksim kronis berkaitan

erat dengan tingginya konsentrasi serum IgE. Mereka juga menunjukkan bahwa

konsentrasi immunoglobulin serum lainnya (IgG, IgA, IgM, IgD). Sifat

multisistem dari HIES meliputi kelainan sistem kekebalan tubuh, kelainan

jaringan tulang dan jaringan ikat, seperti skoliosis, Fraktur osteoporosis, truma

minor, hyperextensive sendi, dan retensi gigi sulung. Pada tahun 2004 ditemukan

bentuk HIES autosomal resesif.5,6

Pada tahun 2006 defisiensi tirosin kinase 2 (TYK 2) diidenfikasikan pada

pasien HIES autosomal resesif. Pada tahun 2007 mutasi dominan-negatif pada

1

Page 2: Teori Hiper IgE Sindrom

sinyal tranduser dan aktivator gen transkripsi 3 (STAT 3) yang diidentifikasi

sebagai molekul utama HIES.2,3,4,5,6

Manifestasi Klinis

HIES adalah penyakit multisistem dengan manifestasi klinis yang

bervariasi. Individu yang terkena mungkin memiliki beberapa ciri-ciri dari HIES,

tapi tidak semua gejala muncul, tergantung pada usia. Hampir semua pasien

dengan HIES menderita infeksi Staphylococcus berulang, dimulai pada watu bayi

dan sering melibatkan kulit dan paru-paru. Berbeda dengan penyakit gralumatosis

dimana infeksi Staphylococcus terjadi di berbagai organ, termasuk paru-paru,

kelenjar getah bening, kulit, hati, saluran pencernaan, ginjal dan otak.6,7,8,9

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering terisolasi pada

pasien HIES namun Sterptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, dan

bakteri garam –negatif juga ditemukan pada pasien HIES. Infeksi jamur, termasuk

candidasi mukokutan dan aspegillosi paru, juga sering ditemukan pada HIES.

Dermatitis atopi biasanya dimulai selama periode neonatal, sebelum timbulnya

dermatits atopik. Pasien dengan HIES menderita dermatitis atopi terkait dengan

sangat tinggi tingkat IgE serum dan eosinofilia, tetapi biasanya bebas dari

manifestasi alergi lainnya, seperti rhinitis,urtikaria, dan reaksi anafilaktis.

Kelainan kraniofasial pada pasien HIES memiliki penampilan wajah yang

khas yang berkembang pada masa anak-anak dan remaja, ditandai dengan

asimetris, hidung lebar, dan mata cekung dengan dahi menonjol. Kulit wajah

sering memiliki tekstur kasar, berpori.7,9

Kelainan muskulosketal berupa skoliosis, patah tulang pada trauma

minimal, osteopenia, hiperextensibiltas dan penyakit sendi degeneratif. Skoliosis

sering muncul pada masa remaja. Fraktur trauma minimal terjadi pada 50% pasien

dengan HIES dimana osteopenia dan osteiporosis juga terjadi. Osteoklas

dimediasi reabsorpsi tulang yang tidak normal pada HIES dan kemungkinan

berhubungan dengan osteopenia dan patah tulang.

2

Page 3: Teori Hiper IgE Sindrom

Kelainan gigi pada HIES adalah gigi sulung yang sulit tanggal dan

memerlukan ekstaksi pembedahan. Karakteristik variasi mukosa mulut, lidah,

langit-langit mulut dan pipi termasuk lidah yang mungkin berhubungan dengan

infeksi candida.

Kelainan vaskuler yang terjadi pada HIES biasanya berupa aneurisma

arteri koroner mengakibatkan infark miokard, aneurisma bilateral karotis, mikosis

arteri serebra, dan kelainan pembuluh darah kecil. Keganasan pada HIES

dikaitkan dengan tingkat kejadian limfoma non hodgkin yang sebagian besar

berasal dari sel B.7,9

Klasifikasi

HIES diklasifikasikan menjadi dua kategori:6,7,8,9

A. Tipe 1

Bentuk yang paling umum dan merupakan jenis yang disajikan

oleh kasus yang dilaporkan oleh Davis dan Buckley. Dalam jenis ini

pneumonia sering diikuti dengan pembentukan kista paru, kelainan pada

beberapa sistem dari tubuh, termasuk tulang dan gigi.

B. Tipe 2

Memiliki kelainan terbatas pada sistem kekebalan tubuh. Pada

pasien HIES tipe 2 tidak memiliki kelainan tulang, tetapi menderita

berulang infeksi virus , seperti moluskum kontangiosum dan herpes

simplek virus (HSV). Kebanyakan HIES tipe 2 dijumpai memiliki cacat

ringan pada tranduksi sinyal hilir dari reseptor sel T yang kompleks.

Patogenesis

Pengetahuan tentang patogenesis HIES dengan mutasi STAT 3 masih

terbatas, meskipun penemuan dari etiologi molekul HIES. Beberapa besaqr

pertanyaan belum terjawab yaitu molekul apa yang mendasari dernmatitis atopi

dan IgE serum yang tinggi. Sel TH 17 adalah substrat baru diidentifikasi dari sel T

helper terkait dengan eksaserbasi autoimun berbagai gangguan termasuk penyakit

radang usus, multiple sklerosis, psoriasis, dan rheumatoid arthritis. Sel TH 17

menghasilkan sitokin TH 17, termasuk IL-17 (IL-17A), IL-17F dan IL-22.

3

Page 4: Teori Hiper IgE Sindrom

Fungsinya dalam tubuh manusia belum jelas, tetapi sel TH 17 memainkan peran

penting dalam pengambilan neutrofil dan memproduksi peptidaa

antimikroba.10,11,12

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan kecurigaan klinis dan peningkatan IgE serum lebih

dari >2000 U/L

II. Definisi

Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena

infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistim

gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan

pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel

darah di dalam parenkim hati.1

III. Klasifikasi

Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amuba dan abses hati

piogenik. Abses hati amuba merupakan salah satu komplikasi amebiasis

ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk

Indonesia. Abses hati piogenik dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial

liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess.1

ABSES HATI AMUBA

a. Epidemiologi

4

Page 5: Teori Hiper IgE Sindrom

Amebiasis merupakan penyakit endemik yang berhubungan dengan

aspek sosial kemasyarakatan yang luas, terutama di daerah dengan sanitasi,

status hygiene yang kurang baik dan status ekonomi yang rendah. Indonesia

memiliki banyak daerah endemik untuk strain virulen E. histolytica. E.

histolytica hidup komensal di usus manusia, namun dengan keadaan gizi yang

buruk dapat menjadi patogen dan menyebabkan angka morbiditas yang tinggi.

Penelitian di Indonesia menunjukan perbandingan pria : wanita berkisar 3:1. Usia

penderita berkisar antara 20-50 tahun, terutama pada dewasa muda, jarang pada

anak-anak.4

Abses hati amuba lebih jarang ditemukan dibandingkan abses hati

piogenik, angka kejadiannya hanya sekitar 20% dari semua abses hati. Infeksi ini

sering terjadi di daerah tropis, dimana sekitar 10-20% populasi mengandung

organ ini. Pusat pengendalian penyakit melaporkan 1,3 kasus amubiasis per

100.000 populasi.3

b. Etiologi

Abses hati amuba terjadi karena Entamoeba histolytica terbawa aliran vena

porta ke hepar, tetapi tidak semua amuba yang masuk ke hepar dapat

menimbulkan abses. Untuk terjadinya abses, diperlukan faktor pendukung atau

penghalang berkembang biaknya amuba tersebut. Faktor tersebut antara lain

adalah pernah terkena infeksi amuba, kadar kolesterol meninggi, pascatrauma

hepar, dan ketagihan alkohol. Akibat infeksi amuba tersebut, terjadi reaksi radang

dan akhirnya nekrosis jaringan hepar. Sel hepar yang jauh dari fokus infeksi juga

mengalami sedikit perubahan meskipun tidak ditemukan amuba. Perubahan ini

diduga akibat toksin yang dikeluarkan oleh amuba.5

c. Patogenesis

5

Page 6: Teori Hiper IgE Sindrom

E. Hystolitica memiliki dua bentuk yaitu tropozoit dan kista. Bentuk kista

ini dapat bertahan di luar tubuh manusia. Kista dipindahkan melalui kontaminasi

makanan dan air minum atau secara langsung. Tropozoid akan berubah dari

bentuk kista dalam usus kecil dan akan terus ke kolon dan dari sini akan

memperbanyak diri. Baik bentuk trophozoit maupun kista dapat ditemukan

pada lumen usus. Namun hanya bentuk trophozoit yang dapat menginvasi

jaringan. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cys-teine

protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh

organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amuba yang masuk ke

submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena

porta ke hati. Di hati E. hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis

jaringan hati, dan membentuk abses. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan

(70% - 90%), superfisial serta tunggal. Kecenderungan ini diperkirakan akibat

penggabungan dari beberapa tempat infeksi mikroskopik, serta disebabkan karena

cabang vena porta kanan lebih lebar dan lurus dari pada cabang vena porta kiri.

Ukuran abses bervariasi dari diameter 1-25 cm. Dinding abses bervariasi

tebalnya, bergantung pada lamanya penyakit.4,7

Abses ini sebetulnya bukan abses yang sebenarnya, tetapi lebih

menyerupai proses pencairan jaringan nekrosis multipel yang makin lama makin

besar dan bergabung membentuk apa yang disebut abses. Cairan abses terdiri atas

jaringan hati yang nekrosis dan eritrosit yang berwarna tengguli. Cairan ini

terbungkus oleh hiperplasia jaringan ikat yang disebut simpai walaupun bukan

berupa simpai sejati. Jaringan ikat ini membatasi perusakan lebih jauh, kecuali

bila ada infeksi tambahan. Kebanyakan abses hati bersifat soliter, steril dan

terletak di lobus kanan dekat kubah diafragma. Jarang ditemukan amuba pada

cairan tersebut; bila ada amuba biasanya terdapat di daerah dekat dengan

simpainya. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy paste” dan berwarna

coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang

dicerna. Evaluasi cairan abses untuk penghitungan sel dan enzimatik secara umum

tidak membantu dalam mendiagnosis abses amuba. Amuba bisa didapatkan

ataupun tidak di dalam cairan pus.4,5

6

Page 7: Teori Hiper IgE Sindrom

d. Gejala klinis

Pada penderita abses hepar amuba tidak selalu ditemukan riwayat diare

sebelumnya. Diare hanya dialami oleh 20-50% penderita. Penyakit ini timbul

secara perlahan, disertai demam, berkeringat, dan berat badan menurun. Tanda

lokal yang paling sering adalah nyeri spontan dan nyeri tekan perut kanan atas, di

daerah lengkung iga dengan hepar yang membesar. Kadang nyeri ditemukan di

daerah bahu kanan akibat iritasi diafragma. Hepatomegali dan nyeri biasanya

ditemukan, tetapi jarang sekali disertai ikterus, prekoma atau koma. Bila lobus

kiri yang terkena, akan ditemukan massa di daerah epigastrium. Gejala khas

adalah suhu tubuh yang tidak lebih dari 38,5°C. Penderita tak kelihatan sakit berat

seperti pada abses karena bakteria. Kadang gejalanya tidak khas, timbul pelan-

pelan atau asimptomatis.4,5

e. Pemeriksaan penunjang

• Laboratorium

Jumlah leukosit berkisar antara 5.000 dan 30.000, tetapi umumnya antara

10.000-12.000. Kadar fosfatase alkali serum meningkat pada semua tingkat abses

amuba. Tes serologi titer amuba di atas atau sama dengan 1:128. Dapat ditemukan

anemia ringan sampai sedang. Pada pemeriksaan faal hati, tidak ditemukan

kelainan yang spesifik. Kista dan tropozoit pada kotoran hanya teridentifikasi

pada 15-50% penderita abses amuba hepar, karena infeksi usus besar seringkali

telah mereda saat penderita mengalami abses hepar. Complement fixation test

lebih dapat dipercaya dibanding riwayat diare, pemeriksaan kotoran, dan

proktoskop.4,5

• Pencitraan

Tak ada perbedaan radiologi yang jelas antara abses hati piogenik dan

amuba. Perbedaan terlihat pada hasil tes serologi E. histolytica. Pada foto

roentgen pasien dengan abses hati amuba dapat terlihat kubah diafragma kanan

meninggi, efusi pleura, abses paru dan atelektasis. Pemeriksaan ultrasonografi

7

Page 8: Teori Hiper IgE Sindrom

merupakan pemeriksaan yang penting untuk membantu diagnosis serta

menentukan lokasi abses dan besarnya. Sensitivitasnya dalam mendiagnosis

amebiasis hati adalah 85%-95%. Gambaran ultrasonografi pada amebiasis hati

adalah:

1. Bentuk bulat atau oval

2. Tidak ada gema dinding yang berarti

3. Ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal.

4. Bersentuhan dengan kapsul hati

5. Peninggian sonik distal (distal enhancement)

Pemeriksaan CT-scan hati sama dengan pemeriksaan ultrasonografi. Pada

endoskopi, sebagian penderita tidak menunjukkan tanda kolitis amuba. Kadang

abses amuba baru timbul bertahun-tahun setelah infeksi amuba kolon.3,4,5

f. Diagnosis

Untuk membuat diagnosis abses hati amuba yang penting adalah

kesadaran akan kemungkinan penyakit ini. Bila ada nyeri daerah epigastrium

kanan dan hepatomegali serta demam yang tidak begitu tinggi, dugaan abses

hepar harus dipertimbangkan. Riwayat diare dan ditemukannya amuba dalam

feses membantu diagnosis meskipun tidak ditemukannya kedua hal ini tidak

berarti bukan abses hati amuba.5

g. Diagnosis banding

Penyakit lain yang gejala klinisnya mirip dengan abses hati amuba antara

lain:

• Abses hati piogenik

1) Disebabkan paling banyak oleh bakteri gram negatif yang terbanyak

yaitu E. coli serta kuman yang lainnya yaitu S. faecalis, P. vulgaris dan S.

typhi. Dapat juga disebabkan oleh bakteri anaerob yang berasal dari v.

porta, saluran empedu (yang paling sering), infeksi langsung (seperti luka

8

Page 9: Teori Hiper IgE Sindrom

pada penetrasi, fokus septik berdekatan), septisemia atau bakterimia pada

infeksi tempat lain, kriptogenik terutama pada usia lanjut.

2) Pus yang diaspirasi kuning kehijauan dan berbau sedangkan pada abses

amuba coklat kemerahan (anchovy sauce) dan tidak berbau.

3) Manifestasi sistemik yang lebih berat, terutama demam yang dapat

bersifat remiten, intermitten dan kontinu yang disertai menggigil.

4) Ikterus yang lebih nyata karena adanya penyakit billier seperti kolangitis.

5) Abses biasanya didapatkan pada kedua lobus (53,2%) dan pada lobus

kanan (41,8%) sedangkan pada lobus kiri hanya 4,8%.

6) Pengobatan dilakukan dengan antibiotik.

7) Sering muncul pada pasien berusia diatas 50 tahun

8) Berhubungan dengan ikterus, pruritus, sepsis, dan peningkatan bilirubin

dan alkali fosfatase.

a. Keganasan (Ca. Hepatik primer) tipe febril

b. Kolesistisis akut

c. Hepatitis kronis, hepatitis virus akut

d. Kista hati

e. Massa intra abdomen

f. Kelainan intra torakal kanan bawah

g. Abdomen akut oleh karena adanya apendisitis atau ulkus peptikum

Untuk memastikan diagnosis perlu dilihat hasil pemeriksaan

ultrasonografi, pungsi dan percobaan pengobatan dengan amubisid yang

merupakan diagnosis per eksklusionem.2,5,7

h. Penatalaksanaan

• Pengobatan medis3,4,5

Obat amebisid digolongkan berdasarkan tempat kerjanya menjadi:

amebisid jaringan atau sistemik, yaitu obat yang bekerja

terutama di dinding usus, hati dan jaringan ekstra intestinal

lainnya; contohnya emetin, dehidroemetin, klorokuin,

9

Page 10: Teori Hiper IgE Sindrom

amebisid luminal, yaitu yang bekerja dalam usus dan disebut

juga amebisid kontak contohnya, diyodohidroksikuin,

yodoklorhidroksikuin, kiniofon, glikobiarsol, karbason,

klifamid, diklosanid furoat, tetrasiklin dan paromomisin dan

amebisid yang bekerja pada lumen maupun jaringan, contohnya

obat-obat golongan nitroimidazol

Abses hati ameba tanpa komplikasi lain dapat menunjukan

penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamuba. Pengobatan

yang dianjurkan adalah:

a) Metronidazole. Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole. Dosis

50mg/kgBB/hari. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amuba

adalah 3 x 750 mg/hari selama 7-10 hari. Derivat nitroimidazole lainnya

yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg perhari

selama 5 hari. Metronidazol merupakan obat terpilih dan telah dilaporkan

menyembuhkan 80-100% abses hati amuba. Pasien yang berhasil diterapi

dengan metronidazol mempunyai respon klinis dramatis, biasanya menjadi

tidak demam dan bebas nyeri dalam 24 dan 48 jam.

b) Dehydroemetine (DHE). Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis

yang direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg

perhari selama 10 hari.

c) Chloroquin. Dosis yang dianjurkan adalah 1g/hari selama 2 hari dan

diikuti 500mg/hari selama 20 hari. Absorbsi klorokuin di usus halus sangat

baik dan lengkap (kadar di hati 200-700 kali di plasma), sehingga kadar

dalam kolon sangat rendah. Oleh karena itu perlu ditambah amebisid

luminal untuk menghindari relaps. Pada penelitian ditemukan bahwa kadar

klorokuin setelah diabsorbsi tertinggi di dalam jaringan hati; maka sangat

baik untuk terapi abses hati amebiasis

• Terapi bedah

Terapi bedah berupa aspirasi dan penyaliran. Teknik aspirasi dapat

dilakukan secara buta, tetapi sebaiknya dengan tuntunan ultrasonografi sehingga

10

Page 11: Teori Hiper IgE Sindrom

dapat mencapai sasaran dengan tepat. Jika gejala menetap lebih dari 1 minggu dan

gambaran radiologi menunjukkan kista yang tetap ada setelah terapi antibiotika,

maka bisa diindikasikan aspirasi per kutis atau drainase bedah. Sumber lain juga

mengatakan, apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di

atas tidak berhasil (72 jam) atau bila terapi dengan metronidazol merupakan

kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dapat

dilakukan berulang-ulang secara tertutup atau dilanjutkan dengan pemasangan

kateter penyalir. Pada semua tindakan harus diperhatikan prosedur aseptik dan

antiseptik untuk mencegah infeksi sekunder. Cara aspirasi menguntungkan karena

tidak mengganggu fungsi vital, sedikit mempengaruhi kenyamanan penderita,

tidak menyebabkan kontaminasi rongga peritoneum dan murah. Aspirasi harus

dilakukan dengan kateter yang cukup besar. Kontraindikasi adalah asites dan

struktur vital menghalangi jalannya jarum.3,4,5

Penyaliran terbuka dilakukan bila pengobatan gagal dengan terapi

konservatif, termasuk aspirasi berulang. Indikasi lain adalah abses hati lobus kiri

yang terancam pecah ke rongga peritoneum dan ke organ lain termasuk ke dinding

perut, dan infeksi sekunder yang tidak terkendali. Angka kematian dengan cara ini

lebih tinggi.5

i. Komplikasi

Komplikasi abses hati amuba umumnya berupa perforasi atau ruptur abses

ke berbagai rongga tubuh (pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal) dan ke

kulit, sebesar 5-5,6%. Perforasi ke kranial dapat terjadi ke pleura dan perikard.

Insiden perforasi ke rongga pleura adalah 10-20%. Akan terjadi efusi pleura yang

besar dan luas yang memperlihatkan cairan cokelat pada aspirasi. Perforasi dapat

berlanjut ke paru sampai ke bronkus sehingga didapat sputum yang berwarna khas

cokelat. Penderita mengeluh bahwa sputumnya terasa seperti rasa hati selain

didapatkan hemoptisis. Perforasi ke rongga perikard menyebabkan efusi perikard

dan tamponade jantung. Bila infeksi dapat diatasi, akan terjadi inflamasi kronik

seperti tuberkulosis perikard dan pada fase selanjutnya terjadi penyempitan

jantung (perikarditis konstriktiva).4,5

11

Page 12: Teori Hiper IgE Sindrom

Perforasi ke kaudal terjadi ke rongga peritoneum. Perforasi akut

menyebabkan peritonitis umum. Abses kronik, artinya sebelum perforasi,

omentum dan usus mempunyai kesempatan untuk mengurung proses inflamasi,

menyebabkan peritonitis lokal. Perforasi ke depan atau ke sisi terjadi ke arah kulit

sehingga menimbulkan fistel. Infeksi sekunder dapat terjadi melalui sinus ini.

Meskipun jarang, dapat juga terjadi emboli ke otak yang menyebabkan abses

amuba otak.5

j. Prognosis

Tingkat kematian dengan fasilitas yang memadai di RS 2%, sedangkan

pada fasilitas yang kurang 10%, pada kasus yang membutuhkan operasi 12%, jika

ada peritonitis amebik 40–50%. Tingkat kematian akan semakin meningkat

dengan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus atau renjatan. Kematian

biasanya disebabkan oleh sepsis atau sindrom hepatorenal.7,8

ILUSTRASI KASUS

12

Page 13: Teori Hiper IgE Sindrom

Telah dirawat seorang pasien laki-laki berumur 48 tahun di bangsal

Penyakit Dalam RSUP M. Djamil sejak tanggal 18 Juni 2013 dengan

Keluhan Utama : Nyeri pada perut kanan atas yang semakin meningkat sejak 3

hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :

Nyeri pada perut kanan atas yang semakin meningkat sejak 3 hari

sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri

tidak berkurang dengan pergerakan. Nyeri tidak berhubungan

dengan makanan. Nyeri sudah mulai dirasakan sejak 2 bulan yang

lalu, namun nyeri tidak terlalu mengganggu, namun sejak 3 hari

terakhir, nyeri semakin meningkat. Pasien terlihat membungkuk

atau seperti menggendong perut pada saat berjalan

Bengkak pada perut kanan atas sejak 2 bulan yang lalu. Bengkak

awalnya tidak dirasakan oleh pasien. Semakin lama, bengkak

semakin membesar.

Penurunan nafsu makan sejak 1 bulan yang lalu.

Penurunan berat badan sejak 1 bulan yang lalu. Besar penurunan

berat badan tidak diketahui pasien.

Demam sejak 1 minggu yang lalu, demam dirasakan tinggi, terus

menerus, tidak menggigil, tidak berkeringat banyak. Keluhan

demam sebenarnya sudah mulai dirasakan sejak 2 bulan yang lalu,

namun pasien tidak merasa terganggu karena demam dirasakan

hilang timbul dan tidak tinggi.

Pucat-pucat disangkal oleh pasien.

Batuk tidak ada

Sesak nafas tidak ada. Pasien merasa nyaman bila berbaring ke sisi

manapun.

13

Page 14: Teori Hiper IgE Sindrom

BAB hitam tidak ada, BAB warna dempul tidak ada, riwayat BAB

encer tidak ada.

BAK berwarna teh pekat tidak ada

Riwayat trauma tumpul pada perut tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat sakit gula tidak ada

Riwayat hipertensi tidak ada

Riwayat sakit kuning tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada keluarga yang menderita sakit seperti ini

Riwayat Pekerjaan, sosial ekonomi, kejiwaan dan kebiasaan :

- Pasien adalah seorang petani

- Pasien tidak ada kebiasaan untuk mengkonsumsi kacang-kacangan

atau makanan berbahan dasar kacang berlebihan

- Pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol

Pemeriksaan Umum

Kesadaran : Compos Mentis Cooperative

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Nadi : 90 x/menit

Nafas : 22 x/menit

Suhu : 37,9°C

Keadaan umum : sedang

Keadaan gizi : kurang

Berat badan : 45 kg

Tinggi badan : 160 cm

BMI : 17,58 (underweight)

14

Page 15: Teori Hiper IgE Sindrom

Edema : (-)

Ikterik : (-)

Anemis : (-)

Sianosis : (-)

Kulit : turgor baik

Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran KGB

Kepala : tak ada kelainan

Rambut : tumbuh rata, tidak mudah dicabut

Mata : konjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Telinga : tak ada kelainan

Hidung : tak ada kelainan

Tenggorokan : tak ada kelainan

Gigi dan mulut : caries (-)

Leher : JVP 5 - 2 cmH2O

Dada : spider naevi (-)

Paru Depan

Inspeksi : Simetris statis dan dinamis

Palpasi : Fremitus kanan sama dengan kiri

Perkusi : Sonor

Auskultasi : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Paru Belakang

Inspeksi : Simetris statis dan dinamis

Palpasi : Fremitus kanan sama dengan kiri

Perkusi : Sonor

Auskultasi : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

15

Page 16: Teori Hiper IgE Sindrom

Jantung :

Inspeksi : iktus tidak terlihat

Palpasi : iktus tidak kuat angkat, teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung atas RIC II, kanan pada linea sternalis

dextra, kiri 1 jari medial LMCS RIC V, pinggang jantung

(+)

Auskultasi : bunyi jantung murni, irama jantung reguler, M1 > M2,

P2 <A2, bising (-)

Abdomen :

Inspeksi : tidak tampak membuncit, collateral (-), venectasia (-)

Palpasi : hati teraba 3 jari BAC, 4 jari BPX, pinggir tajam,

permukaan rata, konsistensi padat, nyeri tekan (+),

fluktuasi (+), bruit (-), lien S0

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Punggung : nyeri tekan dan nyeri ketok sudut CVA (-)

Alat kelamin : tidak ada kelainan

Anus : tidak ada kelainan

Anggota gerak : reflek fisiologis +/+, reflek patologis -/-,

edema pretibia -/- palmar eritema -/-

Laboratorium :

Darah

Hemoglobin : 9,1 g/dl Hematokrit : 28%

Leukosit : 14.400/mm3

Trombosit : 495.000/mm3

16

Page 17: Teori Hiper IgE Sindrom

DC : 0/8/0/58/30/4

Gambaran darah tepi : mikrositik hipokrom

Kesan : anemia mikrositik hipokrom, leukositosis, trombositosis

Urinalisa :

Leukosit : 1-2 /LPB Eritrosit : 0-1/LPB

Epitel : (+) gepeng Silinder: (-) Kristal:(-)

Protein (+) Glukosa (-) Bilirubin (-) Urobilinogen : (+)

Feses :

Makroskopik : warna coklat, konsistensi lembek, darah (-), lendir (-)

Mikroskopik : eritrosit 0-1/LPB, leukosit 0-1/LPB , amuba (-), cacing (-)

EKG :

- Irama : sinus - ST elevasi (-)

- HR : 78 x /1’ - ST depresi (-)

- Aksis : normal - Q patologis (-)

- Gel P : normal - SV1 + RV6 < 35 mm

- PR interval : 0,14 detik - R/S di V1 < 1

- QRS komplek : 0,06 detik - T inverted (-)

Kesan : normal

Daftar Masalah :

- Abses

- Hepatomegali

- Anemia

- Trombositosis

- Malnutrisi

17

Page 18: Teori Hiper IgE Sindrom

Diagnosis Kerja :

Abses hati ec amubik

Anemia ringan mikrositik hipokrom ec penyakit kronik

Trombositosis reaktif ec Abses hati

Diagnosis Banding :

Abses hati ec piogenik

Anemia ringan mikrositik hipokrom ec defisiensi besi

Trombositosis reaktif ec keganasan

Terapi :

Istirahat / MB DH II 1900 Kkal / hari

( karbohidrat 1100 Kkal / protein 100gr / lemak 600 Kkal )

Pasang inject pump

Metronidazol 3x 500 mg IV

Ceftriaxon 1 x 2 gram IV

Curcuma 3 x 1

Sistenol 3 x 500mg

Anjuran :

MCV, MCH, MCHC

Serum iron, TIBC, feritin

Faal hati(SGOT, SGPT)

Faal ginjal (ureum, kreatinin)

Elektrolit

Bilirubin serum

Hepatitis marker

Rontgen thoraks

Aspirasi cairan abses

Kultur cairan abses

Sitologi cairan abses

18

Page 19: Teori Hiper IgE Sindrom

Serologi anti amuba

FOLLOW UP

19 Juni 2013

S/ Pasien sadar, demam (-), sesak nafas (-)

0/ KU : sedang Kesadaran : CMC

TD : 130/70 mmHg Nadi : 80 x/menit

Suhu : 37,1ºC Pernafasan : 23 x/menit

Hasil Laboratorium

SGOT

SGPT

MCV

MCH

MCHC

Serum iron

TIBC

Ferritin

Total Bilirubin

Bilirubin 1

Bilirubin 2

32 u/l

26 u/l

72,8 um3

24,2 pg

33,2 g/dl

47 ug/l

138 ug/l

1021 ng/ml

0,28 mg/dl

-

-

Albumin

Globulin

LED

Ureum

Kreatinin

Natrium

Kalium

Clorida

HBsAg

2,6 g/dl

3 g/dl

85 mm/jam

33,9 mg/dl

0,9 mg/dl

135 mmol/l

3,3 mmol/l

107 mmol/l

negatif

Gambaran darah tepi :

Eritrosit : hipokrom anisositosis, polikrom (+)

Leukosit : leukositosis

19

Page 20: Teori Hiper IgE Sindrom

Trombosit : Kesan jumlah meningkat

Kesan :anemia mikrostik hipokrom ec penyakit kronik, hipoalbuminemia

Sikap : transfusi albumin 20 %

Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi

Kesan : Abses hati ec amubik

DD/ Abses hati ec piogenik

Advis :

- Aspirasi cairan abses

- Terapi lain lanjut

Konsul Konsultan Hematologi :

Kesan :

Anemia ringan mikrositik hipokrom ec penyakit kronik

Trombositosis reaktif ec Abses hati

Advis :

Aspilet 1x80 mg

Follow up trombosit dan ferritin ulang

Atasi penyakit dasar

Terapi lanjut

Rencana : Rontgen thorax PA

20 Juni 2013

S/ Pasien sadar, demam (-), sesak nafas (-), nyeri perut kanan atas (+) berkurang

0/ KU : sedang Kesadaran : CMC

TD : 130/80 mmHg Nadi : 84 x/menit

20

Page 21: Teori Hiper IgE Sindrom

Suhu : 37ºC Pernafasan : 21 x/menit

Rencana hari ini:

USG Abdomen

Aspirasi cairan abses

Kultur cairan abses

Sitologi cairan abses

Serologi anti amuba

Jam 11.00

Dilakukan aspirasi cairan abses :

Didapatkan cairan berwarna coklat kemerahan, tidak berbau

USG abdomen

Hati membesar, permukaan rata, parenkim homogen, halus, didapatkan SOL

dengan ukuran 12x12 cm, vena portal tidak melebar.

Kandung empedu, pankreas, lien, dan ginjal dalam batas normal

Kesan : Abses hati

Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi

Kesan : Abses hati ec amubik

Advis :

- Serologi anti amuba

- Terapi lain lanjut

21 Juni 2013

S/ Pasien sadar, demam (-), sesak nafas (-), nyeri perut kanan atas (+) berkurang

21

Page 22: Teori Hiper IgE Sindrom

0/ KU : sedang Kesadaran : CMC

TD : 130/80 mmHg Nadi : 84 x/menit

Suhu : 37ºC Pernafasan : 21 x/menit

Keluar hasil parasitologi cairan abses : tidak ditemukan amuba

Keluar hasil sitologi cairan abses :

Mikroskopik : Dari sediaan cairan apus cairan abses berwarna kecoklatan ± 4cc,

mikroskopik tampak dengan latar belakang nekrotik, adanya sebaran padat

leukosit PMN, limfosit, makrofag, seluler debris. Tidak tampak adanya amuba

dalam sediaan ini.

Kesan : Radang akut supurativa (abses)

Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi

Kesan : Abses hati ec amubik

Kemungkinan Abses hati piogenik belum bisa disingkirkan

Advis :

- Tunggu hasil kultur cairan abses

- Tunggu hasil serologi anti amuba

- Terapi lain lanjut

22 Juni 2013

S/ Pasien sadar, demam (-), sesak nafas (-), nyeri perut kanan atas (+) berkurang

0/ KU : sedang Kesadaran : CMC

TD : 120/80 mmHg Nadi : 85 x/menit

Suhu : 36,9ºC Pernafasan : 22 x/menit

22

Page 23: Teori Hiper IgE Sindrom

Keluar hasil expertise Rontgen Toraks PA

Kesan : Cor dan pulmo dalam batas normal

24 Juni 2013

S/ Pasien sadar, demam (-), sesak nafas (-), nyeri perut kanan atas (+) berkurang

0/ KU : sedang Kesadaran : CMC

TD : 130/80 mmHg Nadi : 88 x/menit

Suhu : 36,8ºC Pernafasan : 21 x/menit

Keluar hasil Kultur cairan abses :

Kesan : Tidak ditemukan pertumuhan kuman patogen (aerob)

Keluar hasil serologi anti amuba :

Konsul Konsultan Gastroenterohepatologi

Kesan : Abses Hati Amubik

Advis :

Konsul bedah digestif untuk drainase abses

terapi lanjut

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien laki-laki usia 48 tahun di Bangsal Penyakit

Dalam dengan diagnosis akhir :

Abses hati amubik

Anemia ringan mikrositik hipokrom ec penyakit kronik

Trombositosis reaktif ec abses hepar

23

Page 24: Teori Hiper IgE Sindrom

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan penunjang. Dari anamnesis, didapatkan adanya keluhan nyeri pada perut

kanan atas, adanya demam, bengkak, dan tidak didapatkan adanya keluhan pada

buang air besar dan buang air kecil.

Dari pemeriksaan fisik, didapatkan adanya demam, adanya hepatomegali,

dan fluktuasi pada palpasi hepar. Dari pemeriksaan penunjang sederhana

didapatkan kesan adanya suatu anemia ringan dengan gambaran mikrositik

hipokrom dan adanya trombositosis.

Pada pasien ini, dikesankan bahwa abses yang diderita adalah abses

amubik. Hal ini didasari oleh adanya keluhan nyeri pada perut kanan yang sangat

mengganggu hingga membuat pasien memegang perut kanannya saat berjalan,

adanya demam, namun tidak ada keluhan gastrointestinal (seperti diare).

Berdasarkan kepustakaan, keluhan gastrointestinal tidak selalu terjadi pada abses

hati amubik. Kejadiannya justru hanya sekitar 25-30 %. Dari pemeriksaan fisik

ditemukan hepatomegali, dengan adanya fluktuasi positif pada palpasi. Dari

laboratorium sederhana ditemukan leukositosis dan trombositosis. Diagnosis

banding untuk abses piogenik belum bisa disingkirkan karena keduanya memiliki

gejala dan tampilan klinis yang sangat mirip. Untuk itu, dilakukan aspirasi cairan

abses, dan selanjutnya cairan tersebut diperiksa untuk dilakukan kultur dan

sitologi. Untuk mengkonfirmasi abses karena amubik, dilakukan juga

pemeriksaan serologi anti amuba.

Pada saat dilakukan aspirasi cairan abses, didapatkan cairan abses

berwarna coklat kemerahan dan tidak berbau. Hal ini mendukung temuan pada

abses amubik, dimana cairan aspirasi abses pada abses hati amubik biasanya

berwarna coklat kemerahan.. Berdasarkan kepustakaan, cairan abses pada abses

piogenik biasanya berwarna kuning kehijauan, dan berbau. Namun, walaupun

tidak berwarna kuning kehijauan, tidak menutup kemungkinan bahwa abses pada

pasien ini bukan disebabkan penyebab piogenik. Hal ini didasarkan kepustakaan

bahwa terdapat beberapa bakteri penyebab abses hepar, dan warna cairan abses

bisa berbeda-beda tergantung bakteri penyebab. Untuk mengkonfirmasi hal ini,

24

Page 25: Teori Hiper IgE Sindrom

perlu dilakukan pemeriksaan parasitologi,sitologi dan kultur cairan abses, serta

pemeriksaan serologi cairan abses.

Dari hasil parasitologi cairan abses, tidak ditemukan adanya amuba. Dari

hasil sitologi cairan abses mengesankan adanya suatu radang akut supurativa, dan

tidak ditemukan adanya amuba. Hal ini justru mengesankan bahwa abses yang

diderita pasien adalah abses piogenik.

Berdasarkan kepustakaan, tidak ditemukannya amuba pada sediaan

aspirasi abses tidak langsung meniadakan diagnosis abses amubik. Amuba tidak

selalu terdapat pada cairan abses. Amuba juga bisa ditemukan pada dinding

kantong abses, yang mungkin luput dari pemeriksaan, sehingga mengesankan

bahwa abses pada pasien bukanlah suatu abses amubik.

Dari kultur cairan abses, tidak ditemukan adanya pertumbuhan kuman

aerob yang patogen. Namun, diagnosis abses piogenik masih belum bisa

disingkirkan karena kultur agar yang dipakai pada pemeriksaan adalah untuk

kuman aerob. Abses piogenik sendiri sangat memungkinkan untuk disebabkan

oleh kuman anaerob.

Nilai positif pada pemeriksaan serologi anti amuba menyatakan bahwa

pasien telah memiliki antibodi terhadap amuba (E.hystolitica) yang beredar di

dalam darah. Normalnya, serologi anti amuba bernilai negatif, karena Entamuba

hystolitica hidup di dalam saluran cerna, bukan di dalam darah. Pada saat terjadi

infiltrasi dan kerusakan saluran cerna karena penyebab tertentu, penetrasi E.

Hystolitica dapat terjadi, dan amuba dapat ditemukan dalam darah, dan beredar

dalam sirkulasi. Nilai positif serologi anti amuba pada pasien abses hati tidak

menjamin penuh bahwa penyebab abses adalah amuba, karena amuba yang

beredar dalam darah belum tentu selalu menyebabkan abses hati.

Terapi terpilih pada pasien abses hati amubik adalah metronidazole.

Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, yang diberikan dengan dosis

50mg/kgBB/hari. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amuba adalah 3 x

750 mg/hari selama 7-10 hari. Berdasarkan kepustakaan, metronidazol merupakan

obat terpilih dan telah dilaporkan menyembuhkan 80-100% abses hati amuba.

25

Page 26: Teori Hiper IgE Sindrom

Pasien yang berhasil diterapi dengan metronidazol mempunyai respon klinis

dramatis, biasanya menjadi tidak demam dan bebas nyeri dalam 24 dan 48 jam.

Hal ini sesuai dengan yang terjadi pada pasien dimana keluhan nyeri perut dan

demam segera berkurang dengan pemberian metronidazol. Pada pasien ini tetap

diberikan antibiotik sefalosporin generasi ketiga. Indikasi pemberiannya adalah

adanya keluhan demam, nyeri perut kanan atas, dan adanya leukositosis. Secara

klinis, sukar membedakan abses karena amubik ataupun piogenik. Pemberian

antibiotik dapat dihentikan bila secara hasil serologi anti amuba ditemukan

dengan nilai positif.

Prognosis pada pasien ini cukup baik, dimana keluhan klinis berkurang

setelah pemberian terapi. Terapi lanjutan yang akan dilakukan selanjutnya adalah

terapi bedah, yaitu aspirasi abses, mengingat ukuran abses yang cukup besar

(12x12 cm). Sesuai kepustakaan, terapi bedah merupakan suatu indikasi, bila

ditemukan abses hati dengan ukuran diatas 7 cm. Idealnya, terapi bedah dilakukan

apabila setelah pemberian terapi medika mentosa, tidak menunjukkan perubahan

yang berarti, baik pada perbaikan klinis ataupun penyusutan ukuran abses.

Walaupun pasien ini menunjukkan respon klinis perbaikan setelah terapi medika

mentosa, aspirasi dan penyaliran tetap dilakukan mengingat ukuran abses yang

cukup besar.

DAFTAR PUSTAKA

1.    Sudoyo, Aru. W., dkk.. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi IV.

Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006

2.    Way. Lawrence. W. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Lange USA :

Medical Publication. 2003

26

Page 27: Teori Hiper IgE Sindrom

3.    Kortz, Warren J. & Sabiston, David C. Sabiston Buku Ajar Bedah, Bagian 2.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994

4.    Junita, A., dkk. 2006. Jurnal Penyakit Dalam, Volume 7 Nomor 2 : Beberapa

Kasus Abses hati Amuba. Available from: Http://ejournal.unud.ac.id/. Accessed

on : June 02nd, 2009.

5.    Sjamsuhidayat, R., Jong, Wim de. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta :

EGC. 2005

6.    Moore, L. Keith., Agur, Anne. M. R. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta :

Hipokrates. 2002

7.   Hetti. Liver Abses. Available from Http://wordpress.com/2010/03/17/liver-

abses. Accessed on : June 02nd, 2009.

8.    Nickloes, Todd. A. Pyogenic Hepatic Abscess. Available from: Http://

wordpress.com /193182.htm. Accessed on : June 02nd, 2009.

27