teologi al-baqillani dan al-juwaini

38
TEOLOGI AL-BĀQILLĀNĪ DAN AL-JUWAINI, NEO LIBERAL? A. Pendahuluan Ilmu kalam pada mulanya bertujuan untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh ide-ide luar yang dapat merusak akidah Islam sehubungan dengan perubahan lingkungan yang terjadi tatkala meluasnya wilayah Islam sepeninggal Rasulullah SAW. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kalam memasuki persoalan-persoalan yang bersifat filosofis sehingga timbullah arus rasionalisme dalam Islam. Para teolog Islam adalah juga orang-orang yang yang sangat berperan di dalam mengembangkan semangat rasionalisme itu. Oleh karena itu, para teolog Islam seperti Abū Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), al-Nazhām (w. 2321 H), al-Jāhiz (w. 255 H), al- Jubbā’i (w. 3030 H), dan Abū Hāsyim dari kalangan Mu’tazilah, dan Abū Hasan al-Asy’ārī (324 H), al- Bāqillānī (403 H), dan al-Juwaini (w. 478 H) 1 dari kalangan Asy’āriyyah. Al-Asy’ārī yah adalah pengikut Abū Hasan Alī ibn Isma'il al-Asy’ārī, 2 yang kemudian berkembang menjadi salah satu aliran teologi yang penting dalam Islam, yang selanjutnya dikenal dengan aliran al- 1 Ahmad Mahmud al-Subhi, Fi ‘Ilm al-Kalam Dirasat Falsafiyyat, (tt: Dar al- Kutub al-Jam’iyyat, 1969), h. 83-84). 2 Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1992), jilid 1, h. 94. 1

Upload: sofia-rosdanila-adnan

Post on 02-Jan-2016

220 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

TEOLOGI AL-BĀQILLĀNĪ DAN AL-JUWAINI, NEO LIBERAL?

A. Pendahuluan

Ilmu kalam pada mulanya bertujuan untuk mengantisipasi pengaruh-

pengaruh ide-ide luar yang dapat merusak akidah Islam sehubungan dengan

perubahan lingkungan yang terjadi tatkala meluasnya wilayah Islam

sepeninggal Rasulullah SAW.

Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kalam memasuki

persoalan-persoalan yang bersifat filosofis sehingga timbullah arus

rasionalisme dalam Islam. Para teolog Islam adalah juga orang-orang yang

yang sangat berperan di dalam mengembangkan semangat rasionalisme itu.

Oleh karena itu, para teolog Islam seperti Abū Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), al-

Nazhām (w. 2321 H), al-Jāhiz (w. 255 H), al-Jubbā’i (w. 3030 H), dan Abū

Hāsyim dari kalangan Mu’tazilah, dan Abū Hasan al-Asy’ārī (324 H), al-

Bāqillānī (403 H), dan al-Juwaini (w. 478 H)1 dari kalangan Asy’āriyyah.

Al-Asy’ārī yah adalah pengikut Abū Hasan Alī ibn Isma'il al-Asy’ārī,2

yang kemudian berkembang menjadi salah satu aliran teologi yang penting

dalam Islam, yang selanjutnya dikenal dengan aliran al-Asy’āriyyah, yaitu

nama yang dinisbahkan kepada Abū Hasan al-Asy’ārī sebagai peletak dasar-

dasar Aliran ini. Al-Asy’ārī pada mulanya termasuk pengikut aliran Mu'tazilah

sampai beliau berumur 40 tahun dan pada akhirnya ia membentuk corak

pemikiran yang berbeda dari ketiga Alī ran tersebut, ia berusaha memadukan

keduanya dengan tetap berpedoman bahwa akal harus tunduk pakda nash.

Metode al-Asy’ārī ini, diikuti oleh ulama yang datang setelahnya dan

menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada al-Asy’āriyyah, mereka inilah

yang berperan dalam mengembangkan pendapat-pendapat al-Asy’ārī dengan

menggunakan dalil-dalil logika yang rasional menghampiri kerasionalan

Mu'tazilah. Tokoh tersebut ialah al-Bāqillānī, al-Juwaini, dan al-Ghazali.

1 Ahmad Mahmud al-Subhi, Fi ‘Ilm al-Kalam Dirasat Falsafiyyat, (tt: Dar al-Kutub al-Jam’iyyat, 1969), h. 83-84).

2 Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1992), jilid 1, h. 94.

1

Page 2: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

Al-Juwaini dan al-Baqilani merupakn dua tokoh penting pengembang

aliran asy’ariyyah. Tidaklah mengherankan jika mereka dikategorikan sebaga

Tidak bisa dilepaskan dari perkembangan intelektual Islam, baik yang

terjadi pada masa kejayaan Islam seperti digambarkan diatas, maupun pada

masa sesudahnya. Dalam konteks seperti inilah, penulis merasa perlu untuk

menilik lebih jauh pemikiran al-Bāqillānī dan al-Juwaini secara mendalam.

B. Tokoh-Tokoh

1. Al-Bāqillānī

a. Biografi

Nama lengkap al-Bāqillānī adalah Abū Bakar Muhammad Ibnu al-

Thayyib ibn Muhammad ibn Ja’far ibn al-Qāsim Abū Bakar al-Bāqillānī. Ia

lahir di Basrah3 pada 950 (338 H)4 dan wafat pada abad ke-10 (4 H).5 Ia

mendalami ilmu-ilmu keislaman dari banyak ulama, Qādhi Iyadh

menceritakan, bahwa al-Khatib al-Baghdadi menyebutkan bahwa al-Bāqillānī

juga belajar kepada Abū Bakar al-Abhari (w. 986/375 H) di bidang fikih yang

juga pemuka dalam mazhab Maliki6.

Muhammad ibn Abi al-Fawaris al-Hanbali dan Qādhi Abū Ja’far

Muhammad ibn Ahmad al-Samanati menyebutkan bahwa al-Bāqillānī juga

belajar hadis dari Abū Bakar al-Qāthi’i (w. 982/371 H) ahli hadis dari

kalangan Hanbali,7 dan Abū Muhammad ibn Masi dan Abū Ahmad al-Husain

3 ‘Abd al-Rahman al-Badawi, Mazahib al-Islamiyyin, jilid 1, (Dar al-‘Ilm li al-MAlī yyin, Beirut, 1983), h. 569.

4 Al-Bāqillānī, Al-Tamhīd fi al-Radd ‘ala al-Mulhidat wa al-Rafidhat wa al-Khawarij wa al-Mu’tazilat, editor oleh Mahmud Muhammad al-Khudri dan Muhammad Abd al-Hadi Abū Raydat, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1974), h. 7.

5 Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 166.6 Yusuf Ibish, The Political Doctrine of al-Bāqillānī, (Beirut: 1966), h. 6.7 Al-Baghdadi al-Khatib, Tarikh al-Baghdad, (Kairo: Maktabat al-Khanji, 1921), vol. 5, h.

379.2

Page 3: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

ibn ‘Alī al-Naysabūri.8 Al-Bāqillānī juga mendalalmi ilmu Ushul kepada Abū

Bakar ibn Mujāhid dan Abū Bakar al-Abhari dalam bidang fikih, kemudian ia

memperdalam ilmu kalam kepada Abū Abdillah al-Thā’i (murid Imam

Asy’ārī), dan dari Abū al-Hasan al-Bāhili (w. 981/370 H), (juga murid Imam

Asy’ārī).9

Al-Bāqillānī, ketika masih berada di Basrah dan masih dalam usia

muda, telah muncul sebagai ulama dan pengajar yang cemerlang, pintar-

bicara, mahir berdiskusi, memiliki argumen-argumen yang kokoh, dan kaya

dengan informasi serta penjelasan. Ketika Amir Buwaihi ‘Adūd al-Daulat,10

diberitahu tentang kemasyhurannya, ia diundang oleh Amir yang bermadzhab

Syi’ah dan berteologi Mu’tazilah itu, agar mau datang ke istanya di Syiraz. Ia

penuhi undangan itu dan terjadilah dialog-dialog antara ia dengan para ulama

Mu’tazilah yang berada di Syiraz. Karena kecermelangannya berdebat, Amir

‘Adūd al-Daulat, bersimpati dan menunjukkan sikap toleran kepadanya. Ia

tetap dirangkul leh Amir itu, diminta untuk menjelaskan paham Ahlussunnah

kepada putranya. Al-Bāqillānī ikut menyertai Amir tersebut pada waktu

memasuki Bagdad pada 978 (367 H) dan sejak itu menetap di Bagdad. Ia juga

pernah dipercaya sebagai ketua perutusan, yang diutus oleh Amir itu, pada

tahun 982 (371 H), ke Konstatinopel, untuk suatu perundingan dengan pihak

Imperium Romawi Timur. Memang ada upaya dari pihak Mu’tazilah untuk

menjatuhkannya atau menyingkirannya dari Amir Buwaihi, tapi tidak berhasil.

Ia dibiarkan mengajar, baik ketika bermukim di Syiraz maupun ketika

bermukim di Syiraz maupun ketika bermukim di Bagdad.11

Selama hidupnya al-Bāqillānī memiliki beberapa orang murid yang

menjadi ulama-ulama besar, diantaranya adalah Qādhi Abū Muhammad al-

Bagdadi (ulama MAlī ki-Asy’ārī), Abū Dzar al-Harawī (ulama MAlī ki-

Asy’ārī juga), Qādhi Abū Ja’far (ulama Hanafi), Abū Abdul ar-Rahman al-

8 Al-Qādhi Abū Bakar al-Bāqillānī, Al-Insaf, (Kairo: al-Maktabat al-Azhariyyat li al-Turats, 1369 H), h. 7.

9 Ensiklopedi Islam Indonesia, h. 166.10 ‘Adūd al-Daulat adalah seorang Amir Dinasti Buwaihi yang berkuasa di Bagdad dari tahun

978 sampai tahun 983 Masehi. Lihat, ‘Abd al-Rahman al-Badawi, Mazahib al-Islamiyyin, h. 576.

11 Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, h. 166.3

Page 4: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

Sulamī (seorang sufi), Qādhi Abū Muhammad al-Asbahānī (ulama Syāfi’ī).12

Kemudian Abū Muhammad ‘Ab al-Wahab ibn Naṣr al-MAlī ki, ‘Alī al-Harbi,

Abū Ja’far al-Samnānī, Abū ‘ccc al-Azdi, Abū al-Tahir al-Wa’iz, Abū ‘Umar

ibn Sa’id dan Abū Imrān al-Fāsi. Dua yang terakhir disebut berasal dari

Maroko. Abū āmengatakan, bahwa ia telah belajar fikih di Maroko dan

Andalus kepada Abū al-Hasan al-Qasibi dan Abū Muhammad al-Asili.

Keduanya ahlu ushul, tetapi ketika mereka bertemu dengan al-Bāqillānī dan

menyaksikan kuliah atau ceramahnya di bidang ushul dan fikih, mereka

merasa rendah diri dan mengakui di dalam hatinya betapa rendah dan sedikit

ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu mereka belajar kepada al-Bāqillānī

kembAlī dari dasar.13

Al-Bāqillānī wafat pada hari Sabtu, tanggal 21 Dzulqa’dah 403

Hijriyah bertepatan dengan tanggal 6 Juni 1013 Masehi. Jenazahnya

dishalatkan oleh anaknya al-Hasan dan dikebumikan di daerah Majusi..

kemudian dipindahkan ke pemakaman korban perang. Abū al-Ma’alī

mengatakan bahwa al-Bāqillānī dikebumikan di dekat pemakaman Imam

Ahmad ibn Hanbal.14

b. Situasi Politik

Al-Bāqillānī hidup pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah berada di

bawah kendAlī kesultanan Buwaihi (945-1055 M). Salah satu karyanya, kitab

al-Tamhīd15 ditulisnya untuk seorang putra ‘Adūd al-Daulat.16 Situasi politik

pada masa itu merupakan perkembangan lebih jauh dari berbagai persoalan

yang terjadi sebelumnya. Sejarah mencatat bahwa keadaan politik di dunia

Islam setelah Rasulullah SAW wafat mengalami sedikit kegoncangan karena

12 Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, h. 16613 Al-Bāqillānī, Al-Tamhīd fi al-Radd ‘ala al-Mulhidat wa al-Rafidhat wa al-Khawarij wa al-

Mu’tazilat, lihat juga, ‘Abd al-Rahman al-Badawi, Mazahib al-Islamiyyin, jilid 1, h. 571.14 ‘Abd al-Rahman al-Badawi, Mazahib al-Islamiyyin, jilid 1, h. 574-575.15Dalam al-Tamhīdnya, al-Bāqillānī, yang tidak henti-hentinya disibukkan dengan

ungkapan-ungkapan apologisnya, mencampur adukkan penyajian tentang kepercayaan dengan diskusi-diskusi panjang melawan sekte-sekte non muslim dan Alī ran-Alī ran Muslim sendiri.

16 Al-Bāqillānī, Al-Tamhīd fi al-Radd ‘ala al-Mulhidat wa al-Rafidhat wa al-Khawarij wa al-Mu’tazilat, h. 19.

4

Page 5: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

terdapat perbedaan pendapat antara Kaum Anshar dan Muhajirin di Bani

Saqifah Sa’idah di dalam menetapkan siapa yang akan menjadi khAlī fah.17

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka pada waktu itu di dunia Islam

telah timbul tiga golongan politik. Pertama, golongan yang setia kepada ‘Ali

yang kemudian dikenal dengan kaum Syi’ah. Kedua, golongan yang keluar

dari pasukan Alī , yaitu kaum Khawarij. Ketiga, golongan Mu’awiyah yang

kemudian berhasil membentuk Dinasti Bani Umayyah.

Kaum Khawarij mendasari kegiatan politiknya atas dua asas. Pertama,

la hukma illa li Allah (tidak ada hukum kecuali Allah),18 artinya masalah-

masalah seperti pemilihan khalifah harus diputuskan sesuai asas-asas al-

Qur’an. Dengan kata lain, negara Islam harus berdasarkan asas-asas al-Qur’an.

Kedua, bahwa pelaku dosa besar keluar dari Islam. Asas kedua ini

memperlihatkan suatu keprihatinan kualitas moral yang dalam, dan memiliki

nilai positif karena menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat salihīn.

Tetapi asas ini mudah pula disalahgunakan, terutama karena dosa besar dapat

menghilangnkan semua hak. Salah satu penerapan yang paling ekstrim dari

asas kedua ini adalah yang dilakukan oleh sekte Azariqah pimpinan Nāfi’ ibn

al-Azrāq. Bagi sekte ini penguasa yang melakukan dosa besar wajib dibunuh

dan yang membunuhnya tidak berdosa.19

Berbeda dengan kaum Khawarij, kaum Syi’ah mendasari kegiatan

politik mereka pada dua asas. Pertama, keistimewaan ‘Alī ibn Abi Thālib dan

keturunannya.20 Asas ini tampaknya berakar dari penghormatan yang meluas

terhadap keluarga Nabi Muhammad SAW. Asas ini juga tampaknya sesuai

dengan gagasan tradisional Arab bahwa orang mulia berasal dari bibit yang

mulia pula. Dengan kata lain, kapasitas untuk mencapai kualitas menonjol

diwariskan oleh suku dan keluarga. Berkaitan dengan ini berkembang

anggapan bahwa kualitas istimewa yang ada pada diri Nabi Muhammad SAW

akan ditemukan pula di dalam keluarga atau sukunya. Namun kemudian

17 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, (Kairo: al-Nahdat al-Mishriyyat, 1964), jilid 1, h. 205.

18 Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyat, 1992), jilid 1, h. 106-107.

19 Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, h. 115.20 Ibn Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, (Beirut: Dar Ihya al-Turats, 1991), jilid 4, . 471.

5

Page 6: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

muncul penyempitan pengertian tentang keluarga Muhammad, yaitu dari

pengikut Imamiyah belakangan, bahwa kualitas-kualitas istimewa itu hanya

terbatas pada keturunan ‘Alī ibn Abi Thalib dan Fatimah.21

Sesuai dengan asas di atas, kaum Syi’ah berpendapat, bahwa jabatan

kepala Negara bukanlah hak tiap orang Islam. Dalam paham Syi’ah jabatan

kepala Negara adalah hak monopoli ‘Alī ibn Abi Thalib dan keturunannya.

Gagasan ini sekAlī gus merupakan penolakan terhadap kekhalifahan Abū

Bakar, ‘Umar, ‘Utsmān.22

c. Pandangan Teologi al-Bāqillānī

Al-Bāqillānī adalah ulama yang memiliki ilmu yang luas. Ia menguasai

tafsir, hadis, ushul fikih, fikih, ia adalah pendukung kuat mazhab Maliki dan

dalam lapangan teologi ia merupakan pembela utama teologi Asy’ārī yang

dalam sejumlah masalah, seperti tentang zat dan sifat-sifat Tuhan, lebih jelas

tersanding dengan apa yang dapat disajikan oleh pendirinya, Imam Asy’ārī .

Dibawah ini adalah pemikiran-pemikiran teologi dari al-Bāqillānī:

1. Sifat-sifat Tuhan

Istilah sifat yang disebutkan oleh al-‘Asy’ārī bahwa Tuhan itu

memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan itu Mengetahui dengan sifat

ilmu-Nya (Allāh ‘Alīm bi ‘ilmih, wa ‘ilmuh sifātuh), bukan dengan

zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan qudrah-Nya,

bukan dengan zat-Nya. Oleh al-Bāqillānī dikatakan sebagai hāl.

Menurutnya, Allah itu mengetahui karena keadaan-Nya

mengetahui. Pengetahuan Allah itu bukanlah sifat dari Allah SWT.

Hal ini dilakukannya untuk menghindari pemahaman adanya yang

qadīm (sesuatu yang ada tanpa sebab) selain dari Allah SWT,

karena sifat dalam pengertian al-Asy’ārī adalah sesuatu yang

qadīm .23

21 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, h. 1.22 Muhib al-Din al-Khatib, al-Khutut al-‘Aridat, (tp., tt., 1986), h. 6.23 Al-Bāqillānī, Al-Tamhīd fi al-Radd ‘ala al-Mulhidat wa al-Rafidhat wa al-Khawarij wa al-

Mu’tazilat, h. 242-243. Lihat juga, Abdul Azis Dahlan, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), cet. 3, h. 51.

6

Page 7: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

Di dalam kitabnya, ia membicarakan hal-hal yang perlu

dipelajari sebelum memasuki ilmu kalam, antara lain pembicaraan

tentang jauhar fard (atom), ‘arad, yang telah dibicarakan Alī ran

Mu’tazilah dan dijadikan dasar penetapan adanya kekuasaan Tuhan

yang tidak terbatas. Menurutnya, alam ini terdiri dari atom-atom,

kumpulan jauhar (benda tunggal) yaitu bagian yang tidak dapat

dibagi-bagi lagi, akan tetapi benda-benda tunggal tersebut tidak

terdapat dalam wujud jika atom-atom itu dibubuhi dengan aksiden

(‘arad). Jisim, yaitu benda tersusun, terjadi dari gabungan benda-

benda tunggal jauhar) tersebut. Atom dan aksiden itu diciptakan

dan penciptaan ini terus menerus ada, karena ‘arad dan jisim tidak

mungkin terdapat lebih dari satu waktu (detik). Jika Tuhan berhenti

tidak menciptakan lagi, maka semua yang ada disini akan punah.

Penggabungan atom-atom atau perubahan aksiden tidak terjadi

dengan sendirinya, tapi karena kehendak Tuhan semata.24

Akibat penting dari pendapat tersebut adalah bahwa dalam

alam ini tidak ada hukum yang pasti. Karena penggAbūngan atom

dan pergantian ‘arad tidak terjadi karena sendirinya (karena

tabiatnya), tetapi karena kehendak Tuhan semata. Jika Tuhan

menghendaki perubahan hukum yang kelihatannya menguasai

jalannya alam, tentu bisa berubah dengan menggantikan apa yang

biasanya ada dan meletakkan ‘arad yang baru sebgai ganti ‘arad

yang sudah ada.

2. Perbuatan Manusia (al-Kasab)

Al-Bāqillānī menyatakan bahwa manusia mempunyai

sumbangan efektif dalam perbuatannya; Allah SWT hanya

menempatkan daya dalam diri manusia, sedangkan bentuk dan sifat

dari gerak tersebut dihasilkan oleh manusia sendiri. Katanya,

memang Tuhan yang mewujudkan gerak yang terdapat dalam diri

manusia, tapi sifat dan bentuk dari gerak itu, seperti duduk, berdiri,

24 Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 166-167.7

Page 8: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

berjalan, dan lain sebagainya, bukanlah diwujudkan oleh Tuhan,

tapi oleh manusia sendiri.25

Pendapat al-Asy’ārī bahwa kuasa manusia tidak mempunyai

pengaruh untuk mewujudkan perbuatannya, karena kuasa dan

kehendaknya adalah ciptaan Allah SWT karena lafaz ‘am dari

firman Allah dalam QS. al-Zumar (39): 6226 berarti Allah yang

menciptakan segala sesuatu.

Al-Bāqillānī dengan tetap berpegang pada teori al-Kasab secara

umum, yaitu Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia, tapi

ia lebih memperjelas bahwa perbuatan manusia tercipta karena

pengaruh dua kuasa, yaitu kuasa Allah dan kuasa manusia yang

diciptakan, kuasa Allah mempengaruhi pada perbuatan (al-Fi'l) dan

kuasa manusia berpengaruh dalam realisasi perbuatan. Perbuatan

inilah yang menjadi standar apakah baik atau buruk, mendapat

pahala atau siksa. Hal ini berarti bahwa perbedaan antara al-

Bāqillānī dan al-Asy’ārī dalam teori al-Kasab adalah bagaimana

pengaruh manusia dalam mewujudkan perbuatannya, al-Bāqillānī

melihat manusia mempunyai sumbangan yang efektif mewujudkan

perbuatannya sedangkan al-Asy'ārī tidak melihat pengaruh manusia

yang hakiki.

3. Keadilan Tuhan

Menurut Al-Bāqillānī, Allah memakmurkan orang yang

dicintai-Nya dan melindungi orang yang mentaati-Nya. Ia tidak

memberi pertolongan terhadap pelaku maksiat. Ia memberikan

kebaikan, keburukan, keuntungan, kerugian, kekayaan, kemiskinan

dan kesehatan kepada semua hamba-Nya sebagai keadilan-Nya.27

25 Harun Nasution, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, h. 167.26

“ Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”

27 Al-Qādhi Abū Bakar al-Bāqillānī, Al-Insaf, h. 25.8

Page 9: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

Dalam masalah pahala dan siksa, Al-Bāqillānī masih terikat

pada konsep kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Al-Bāqillānī

mengatakan bahwa semua yang terjadi di alam ini adalah atas

kehendak dan kekuasaan Tuhan. Berbeda pendapat dengan

Mu’tazilah yang memandang Allah hanya menghendaki ketaatan

dan keimanan, sementara kufur dan maksiat terjadi bukan atas

kehendak-Nya.

Bagi Al-Bāqillānī keadilan Tuhan tidak diukur berdasarkan

kepentingan manusia. Semua perbuatanya adalah keadilan-Nya.

Baginya Tuhan tidak lazim dalam menghukum orang yang berbuat

jahat karena meskipun perbuatan jahat, seperti kufur dan syirik,

atas kehendak-Nya tetapi perbuatan-perbuatan jahat tersebut tidak

disukai-Nya dan tidak memberikan perintah untuk melakukanya.

Berbeda dengan Al-Asy’ārī dalam memahami keadilan Tuhan. Al-

Asy’ārī menemukan jalan buntu karena ia hanya berpegang pada

konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, sehingga

pandanganya tentang keadilan Tuhan membawa kesan bahwa

Allah zalim dalam menghukum orang yang berbuat jahat.

4. Janji dan Ancaman

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa janji dan ancaman Allah

pasti terjadi. Dia wajib memberi pahala kepada orang yang berbuat

baik dan wajib menyiksa orang yang berbuat dosa besar kelak di

akhirat jika tidak bertaubat.28 Hal tersebut erat hubunganya dengan

keadilan. Tuhan bersifat tidak adil jika Ia tidak menepati janji

untuk memberi upah kepada yang berbuat baik dan jika tidak

menjalankan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang-

orang yang jahat.

Bagi kaum Asy’āriyyah, paham ini tidak dapat berjalan sejajar

dengan keyakinan mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak

28 Al-Asy’ārī , Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, (Jakarta: Erlangga, 2000), h. 118.

9

Page 10: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

Tuhan dan tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan.

Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan melakukan

ancaman.29

Al-Asy’ārī dan al-Bāqillānī membedakan antara syirik dan

perbuatan-perbuatan maksiat lainya. Menurut mereka Allah

mengampuni semua perbuatan maksiat kecuali syirik. 

Berbeda dengan Mu’tazilah yang bertitik tolak dari

pertimbangan akal, al-Asy’ārī maupun al-Bāqillānī berpandangan

bahwa perbuatan baik tidak wajib mendapat pahala dari Allah, dan

orang yang berbuat maksiat tidak wajib menerima hukuman.

Selanjutnya al-Bāqillānī mengatakan bahwa pelaku dosa besar

meskipun akan mendapat pengampunan dari Allah SWT. Di

Akhirat namun mereka tetap menerima hukuman (hudūd) di dunia,

sebab hukuman di dunia bukanlah siksaan (‘iqāb) tetapi hanya

merupakan ujian dan berlaku bagi orang-orang yang bertaubat.

Dalam memahami janji dan ancaman Allah antara al-Asy’ārī

dan al-Bāqillānī tampaknya tidak ada perbedaan pendapat. Mereka

sepakat bahwa mukmin pelaku dosa besar tetap sebagai mukmin

dan hukumanya terserah kepada Allah. Allah bisa menghukumnya

sesuai dengan kesalahannya dan bisa juga mengampuninya.

Kemudian Allah memasukkannya ke dalam syurga dengan rahmat-

Nya. Al-Asy’ārī dan al-Bāqillānī sependapat bahwa pelaku dosa

besar tidak kekal di dalam neraka bersama orang-orang kafir.30

5. Wujud Tuhan

Dalam menetapkan wujud Allah, al-Bāqillānī berangkat dari

penetapan akan kebaharuan alam, alam yang terdiri dari jism,

jauhar dan ‘arad, yang bergerak setelah diam, terpisah setelah

29 Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 12330 Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 118-126.

10

Page 11: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

terkumpul, berubah keadaaan dan sifat-sifatnya.31 Keduanya adalah

sesuatu yang baharu dan yang baharu pasti ada yang

mengadakannya dan yang mengadakannya itu adalah Allah. Dalil

al-Bāqillānī antara lain dengan menetapkan bahwa Allah adalah

qadīm dan alam adalah baharu, dan sesuatu yang baharu pasti ada

yang mengadakannya, dan yang mengadakannya tidak mungkin

dari sesama jenisnya yang baru, tetapi pasti adalah yang qadīm ,

yaitu Allah SWT.

6. Melihat Tuhan

Al-Bāqillānī berpendapat bahwa Allah dapat dilihat dengan

mata kepala (al-Abshār) sebab sesuatu yang maujūd dapat dilihat.

Yang ma’dūm lah yang tidak dapat dilihat dengan penglihatan

mata32 Ia mengemukakan ayat (Ya Tuhanku nampakkanlah diri-Mu

kepadaku agar aku melihat-Mu) QS. Al-A’raf: 143.33 Ia menolak

pandangan mayoritas kaum Mu’tazilah yang mengatakan bahwa

Allah tidak dapat dilihat dengan mata di akhirat, tetapi hanya akan

diketahui melalui hati.34

Bagi al-Bāqillānī pandangan di atas bertentangan dengan QS.

Al-Qiyamah: 22-2335, (Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada

hari itu berseri-seri, kepada Tuhannyalah mereka melihat.”)

Menurutnya, ayat tersebut diatas tidaklah menunjukkan bahwa

Allah menolak permohonan hamba-Nya yang ingin melihat-Nya

dengan terang, sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Allah hanya

menolak permintaan mereka, karena permintaan itu bertujuan

untuk menentang Nabi Musa AS dan Muhammad SAW,

31 Al-Qādhi Abū Bakar al-Bāqillānī, Al-Insaf, h. 15.32 Al-Bāqillānī, Al-Tamhīd fi al-Radd ‘ala al-Mulhidat wa al-Rafidhat wa al-Khawarij wa al-

Mu’tazilat, h. 304.33

34 Zuhdi Jar Allah, al-Mu’tazilat, h. 80.35

11

Page 12: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

meragukan kenabian keduanya dan menolak untuk beriman kepada

Allah sampai Allah melakukan keinginan mereka.36

Menurutnya, yang tidak diizinkan melihat Allah di akhirat

hanyalah orang-orang kafir sebagai penghinaan kepada mereka dan

perbedaan antara mereka dengan orang-orang mukmin,

sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-

benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka.”37

2. Al-Juwaini

a. Biografi

Nama lengkap al-Juwaini adalah Abd al-Malik ibn ‘Abdullāh ibn

Yūsuf ibn Muhammad ibn Abdullāh ibn Hayyuwiyah al-Juwaini al-NaisAbūri

Imam al-Haramain Abū al-Ma’ālī.38 Ayahnya ‘Abdullāh ibn Yusuf ibn

Muhammad ibn ‘Abdullāh ibn Hayyuwiyah berasal dari daerah Juwain,

sebuah tempat yang terletak di Bustam di antara Jajaran dan Baihāq.39

Ayahnya dijuluki Syaikh al-Islām, karena ilmu yang mendalam, pandangan

yang kritis, kefasihan bersastra Arab, dan kelihaian beretorika dalam ilmu

kalam yang tidak ada duanya.

Al-Juwaini menimba ilmu kepada ayahnya sendiri dan sang ayah

sangat bangga dengan kemajuan putranya di bidang ilmu. Selain menimba

ilmu kepada ayahnya, ia juga menimba ilmu dan mengenyam pendidikan

kepada para alim ulama. Di Nisyapur, ia belajar fikih mazhab Syāfi’iyyah dan

teologi pada al-Qifal al-Marwazi. Di Isfahan, ia belajar pada ‘Abd Rahman al-

36 Al-Bāqillānī, Al-Tamhīd fi al-Radd ‘ala al-Mulhidat wa al-Rafidhat wa al-Khawarij wa al-Mu’tazilat, h. 310.

37 QS. Al-Muthaffiin: 15.38 Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (t.tp: Penerbit Erlangga, t.t),

h. 24.39 Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 24.

12

Page 13: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

Sulamī dan Muhammad ibn Babawaih. Di Baghdad, ia belajar pada Abū al-

Hasan Muhammad ibn Husein ibn Nāzif al-Farrā’. Setelah puas merantau di

luar negeri al-Juwaini kembali ke Nisyapur dan menetap di sana sampai akhir

hayatnya. Ia kembali ke Nisyapur sekitar 470 H dan wafat di sana sekitar 438

H.40

Di Nisyapur, ayahnya membeli budak wanita salihah dan baik hati

dengan uang halal yang diperoleh dengan bekerja. Dari umm al-Walad41 inilah

lahir Abd al-Malik ibn ‘Abdullāh yang kemudian terkenal dengan sebutan

Imam al-Haramain.

Tahun lahir al-Juwaini diperselisihkan para sejarawan. Al-Subki,42

Brockelmann,43 L. Gardet,44 Fauqiyyah,45 Abd al-‘Azim al-Daib,46 Ibn Katsir,47

Ibn Fadhlullāh al-Amri, dan al-Sam’ānī sepakat mengatakan bahwa al-Juwaini

dilahirkan pada tanggal 18 Muharram 419 H, atau bertepatan pada bulan

Februari tahun 1028 M, sedangkan tanggal umumnya juga diperselisihkan.48

Fauqiyyah mengatakan bahwa tanggalnya 22, Brockelman mengatakan

tanggal 12, sedangkan L. Gardet tanggal 17. Walaupun tanggal umumnya

diperselisihkan, namun mereka sepakat dalam bulan dan tahun umumnya.

Adapun tempat tumpah darahnya, beberapa sejarawan mengatakan

bahwa al-Juwaini dilahirkan di Busytanikan, sebuah desa yang merupakan

salah satu tempat rekreasi di Nisyapur. Umumnya para pekerja di Nisyapur

memilih bertempat tinggal di desa Busytanikan. Hal itu dilakukan sebab di

samping udara dan suasananya sejuk dan nyaman, juga karena airnya bersih

40Fauqiyah Husein Mahmud, A’lam al-‘Arab al-Juwaini Imam al-Haramain, (Kairo: Al-Mu’assasah al-Mishriyyah al-‘Ammah li al-Ta’lif wa al-Anba’ wa al-Nasyr, 1964), h. 16.

41 Umm al-Walad adalah penyebutan untuk budak wanita yang mempunyai anak dari majikannya.

42 Al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, (t.tp: Isa al-Bab al-Halab wa Syirkah, t.th), juz. III, h. 208.

43 “Al-Juwaini”, E.J. Brill’a First Encyclopedia of Islam, (Leiden, New York, Kobenhaven, Koln, Baba Fighani, Dwin: E.J. Brill, 1987), h. 1067. Lihat juga, Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teolog Rasional dalam Islam, h. 25.

44 Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teolog Rasional dalam Islam, h. 25. Lihat juga, “Al-Juwaini”, E.J. Brill’a First Encyclopedia of Islam, vol. II, h. 604.

45 Fauqiyah Husein Mahmud, A’lam al-‘Arab al-Juwaini Imam al-Haramain, h. 22.46 Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh li al-Juwaini, (t.t: t.p, t.th), ju. 1, h. 21.47 Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), juz XII, h. 128.48 Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teolog Rasional dalam Islam, h. 25.

13

Page 14: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

dan jernih. Sedangkan di Nisyapur, selain udaranya panas dan pengap, airnya

kotor dan tidak segar.

Membaca al-Qur’an , bahasa Arab, hadis, fikih, ilmu usul dan ilmu

khilaf (antara beberapa mazhab fikih), ia pelajari di rumah dengan berguru

pada ayahnya. Pada usia relatif muda, ia sudah dapat menghafal al-Qur’an dan

sudah menguasai beberapa ilmu keislaman lainnya. Kecerdasan akal,

kecerdikan, dan kegeniusannya telah tampak sejak muda. Ia tumbuh menjadi

anak yang sangat kritis. Jika ia mendapatkan hal-hal yang dianggapnya kurang

tepat atau kurang logis, ia tidak akan segan-segan menkritiknya walaupun hal

itu datang dari ayahnya sendiri. Kritikan ini tidak hanya datang sewaktu

ayahnya masih hidup, bahkan ketika ayahnya telah wafatpun, al-Juwaini

masih juga mengkritiknya, jika kebetulan ia mendapatkan kesalahan dalam

tulisan dan karya ayahnya. Ia selalu mengatakan bahwa itu merupakan

kesalahan ayahnya al-Marhum.

Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa al-Juwaini senantiasa

menggunakan akalnya dalam menerima segala ilmu pengetahuan. Ia tidak

pernah mau menerima segala ilmu informasi yang berbau taklid. Ia selelu

mengecek kebenaran informasi yang diterimanya. Ia kemudian mencerna

informasi itu menggunakan akal pikirannya. Hal ini pernah ia ungkapkan:49

“Aku pernah membaca lima puluh kali lima puluh ribu kitab, lalu aku mengasingkan diri dari mengambil ilmu pengetahuan pada para pakar ahli Islam. Kemudian ku telaah hal-hal yang dilarang oleh para ahli Islam itu dengan teliti untuk mendapatkan kebenaran yang meyakinkan. Dan aku berusaha lari sejauh-jauhnya dari taklid kepada orang-orang terdahulu.”50

Ketika ayah al-Juwaini wafat pada tahun 438 H, ia menggantikan

ayahnya mengajar di majelis ilmiahnya. Meskipun al-Juwaini telah menjadi

guru, namun ia tidak berhenti mencari ilmu. Ia belajar fikih dan teologi aliran

Asy’āriyyah pada Isfaraini.51 Ia belajar fikih mazhab Syāfi’iyah dan ilmu hadis

49 Riwayat ini dikisahkan oleh Abū Ja’far Muhammad ibn Abū Alī ibn Muhammad al-Hamazani al-Hafiz langsung dari al-Juwaini. Lihat al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, juz. V, h. 185.

50 Al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra.51 Nama lengkapnya adalah Abū al-Qāsim ‘Abd al-Jabbar ibn Alī Muhammad ibn Hiskan al-

Isfaraini al-Iskafi (wafat tahun 452 H), Dia adalah seorang ulama fikih dan teologi mazhab Asy’ārī yah. Kegatannya diisi dengan megajar, mengadakan diskusi ilmiah dan memberi fatwa. Lihat Fauqiyah,

14

Page 15: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

pada al-Baihāqi.52 Pada saat yang sama, ia juga turut menghadiri majelis al-

Khabazi untuk belajar ilmu al-Qur’an.

Ketika terjadi fitnah al-Kundūri53 (sekitar antara tahun 443 H dan 447

H), al-Juwaini pergi meninggalkan Nisyapur menuju Mu’askar, Isfahan,

Baghdad, Hijaz, dan terakhir ke Mekkah. Ia menetap di Mekkah selama

beberapa tahun. Ia pernah menjadi guru agama di dua tempat suci Mekkah dan

Madinah. Oleh sebab itu, ia terkenal dengan sebutan Imam al-Haramain,

berarti guru agama di dua tempat suci masjid al-Nabawi dan masjid al-Haram

di Mekkah.54

b. Pandangan teologi al-Juwaini

Al-Juwaini memiliki pandangan teologi yang unik. Ia memiliki

pemikiran ilmu kalam yang berbeda dengan Mu’tazilah, maupun Maturidiyah.

Walaupun ia menggunakan term-term yang sering digunakan dalam mazhab

Asy’ārī yah (seperti Kasab, Jawaz, Tuhan yang memiliki sifat), namun beliau

memiliki kesimpulan yang berbeda dengan mazhab Asy’ārī yah ketika

berbicara mengenai ilmu.

Tuhan bersifat metafisika yang tidak bisa ditembus oleh indera

manapun juga. Tetapi ia bisa dijadikan objek pemikiran manusia. Manusia

adalah makhluk Tuhan yang pAlī ng sempurna. Ia merupakan satu-satunya

makhluk Tuhan yang mempunyai akal dan perasaan. Karena

kesempurnaannya inilah ia mempunyai kewajiban untuk mengetahui

Tuhannya. Untuk mengetahui sesuatu, baik yang metafisika maupun yang

fisika, diperlukan adanya ilmu, cara atau proses.

1. Ilmu

A’lam al-‘Arab, h. 28.52 Nama lengkapnya ialah Ahmad ibn Husein ibn Alī ibn Abdullāh al-Baihaqi al-Khasrujardi.

Ia seorang ulama fikih mazhab Syafi’iyah yang dipelajari dari al-Marwazi (wafa tahun 458 H). Al-Baihaqi seorang ahli hadis. Konon, ia mencari hadis sampai ke Irak, Jibal, Hijaz dan Khurasan. Lihat Fauqiyah, A’lam al-‘Arab, h. 29.

53Fitnah ini dikobarkan oleh ‘Amid al-Mulk al-Kunduri, seorang wazir Tughril Bek, khAlī fah Bani Saljuk. Al-Kunduri mengumumkan bahwa pemerintah anti gerakan Ahl al-Bid’ah dan mengejar serta menankapi pemuka-pemuka Asy’ārī yah dan Rafidah. Bahwa al-Kunduri mengeluarkan perintah agar semua ajaran teologi termasuk Mu’tazilah diberhentikan. Lihat Fauqiyah, A’lam al-‘Arab, h. 35.

54 Fauqiyah, A’lam al-‘Arab, h. 38.15

Page 16: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

Menurut al-Juwaini, ilmu itu ada dua macam:

1. Ilmu Tuhan yang bersifat qadīm (kekal), yakni merupakan sifat

Tuhan yang ada pada zat-Nya, senantiasa berkaitan dengan objek

pengetahuan tiada henti-hentinya.55

2. Ilmu Hadis (baharu), yaitu ilmu atau pengetahuan yang dimiliki

manusia.56 Menurutnya, ilmu ini terbagi menjadi tiga bagian:

a. Ilmu Dharuri, yakni ilmu atau pengetahuan yang diketahui

manusia secara otomatis karena sesuatu yang mendesak atau

karena suatu kebutuhan.57 Manusia mengetahui dirinya sendiri

secara otomatis, misalnya ia mengetahui bahwa ia haus, lapar,

jengkel, sakit, bahagia, dan lain-lain karena adanya sebab-sebab

yang mendesak timbulnya perasan-perasaan itu.

b. Ilmu Badihi, yakni ilmu atau pengetahuan yang di dapat

manusia bukan karena terpaksa atau kebutuhan, namun

pengetahuan tersebut telah ada di dalam benak seseorang ketika

akalnya telah sempurna.58 Seperti manusia mengetahui bahwa

di antara dua hal yang bertentangan tidak mungkin dapat

bersatu dalam keadaan dan waktu yang sama, misalnya gerak

dan diam tak mungkin terdapat pada satu benda secara

bersamaan.

c. Ilmu Nazhari, yakni ilmu atau pengetahuan yang datang karena

diusahakan dengan memakai daya baharu manusia. Misalnya,

untuk mengetahui Tuhan perlu adanya pemakaian nalar

manusia. Penalaran tersebut menggunakan akal, sedangkan akal

merupakan bagian dari ilmu dharuri (spontanitas) juga.59 Bukti

bahwa akal merupakan bagian dari ilmu dharuri adalah 55Al-Juwaini, al-Irsyad ila al-Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, (Mesir: Maktabah al-

Khanji, 1950 M/1369 H), h. 13.56 Al-Juwaini, al-Syamil fi Ushul al-Din, (Iskandariyah: Al-Ma’arif, 1969 M), h. 103.57 Al-Juwaini, al-Irsyad ila al-Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, h. 14.58 Al-Irsyad ila al-Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, h. 14.59 Al-Irsyad ila al-Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, h. 14.

16

Page 17: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

mustahil ada manusia yang di dalam benaknya tidak

mengetahui apa-apa sama sekAlī , demikian menurut al-

Juwaini.60

2. Filsafat Alam

Ketika seseorang ingin melihat implikasi pandangan teologi al-

Juwaini, dia harus melihat pandangan filsafat alamnya. Karena di

dalam filsafat alamnya, beliau berbicara mengenai hubungan alam

dengan Sang KhAlī q, tentunya di dalamnya juga kita bisa lihat

hubungan manusia dengan Sang KhAlī q.

Menurut al-Juwaini, Tuhan tidak mungkin memberi beban

kepada makhluk-Nya kecuAlī mukallaf (orang yang diberikan

beban) itu bisa mengerti perintah dan kewajiban-kewajiban yang

dibebankan kepadanya.61 Kewajiban manusia yang pAlī ng utama

adalah mengadakan penalaran akal untuk mengetahui Tuhannya.

Sebagai seorang ulama fikih, al-Juwaini mensyaratkan adanya niat

atau maksud untuk mengadakan penalaran akal yang mengacu pada

pengetahuan tentang Tuhan. Setiap perbuatan yang disengaja harus

didahului oleh niat.62

Untuk mengetahui Tuhan yang immateri, terlebih dahulu harus

melihat bukti-bukti inderawi, yaitu alam. Alam merupakan dAlī l

adanya Tuhan. Alam merupakan bukti yang pAlī ng otentik akan

keberadaan Tuhan. Dengan melihat alam, manusia bisa mengetahui

Tuhannya.63

Bagi al-Juwaini, alam adalah setiap maujūd sebagai Tuhan

dan sifat zat-Nya. Alam tak ubahnya kumpulan-kumpulan subtansi

dan kumpulan dari aksiden.64 Menurutnya, sesuatu yang tidak

60 Al-Juwaini, al-Irsyad ila al-Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, h. 15. Lihat juga, Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teolog Rasional dalam Islam, h. 43-44.

61 Al-Juwaini, al-‘Aqidah al-Nizhamiyah, (t.t: Mathba’ah al-Anwar, 1367 H/1948 M), Muhammad al-Kautsari, ed., h. 42.62

63 Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 52.64 Al-Irsyad ila al-Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, h. 17.

17

Page 18: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

terbatas tidak mempunyai permulaan dan sesuatu yang tidak

memiliki permulaan itu qadīm . Al-Juwaini mengatakan bahwa

mustahil alam itu qadīm , sebab selalu berubah-ubah keadaannya.

Segala sesuatu yang berubah-ubah itu adalah baharu.65 Menurutnya

juga, alam itu mempunyai awal dan akhir. Segala sesuatu yang

memiliki awal dan akhir itu adalah baharu, dan sesuatu yang

baharu itu bersifat mumkin atau ja’iz al-Wujud, artinya boleh ada

boleh tiada. Sesuatu yang mumkin al-Wujud harus mempunyai

penentu (muqtadi), dan penentunya adalah qadīm yaitu Tuhan.66

Kesimpulan yang didapat al-Juwaini ialah bahwa alam ini nisbi,

eksistensi alam selalu bergantung pada eksistensi Tuhan.

3. Perbuatan Manusia

Sebagai seorang pemikir muslim, pendapat al-Juwaini tentang

perbuatan manusia ini perlu diketahui. Dalam pandangannya

mengenai perbuatan manusia, al-Juwaini mengatakan bahwa, jika

dilihat dari satu sisi, manusia harus percaya bahwa tiada pencipta

selain Tuhan, tiada pencipta selain Dia. Semua makhluk yang ada

di alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan belaka. Barang siapa

yang berkeyakinan bahwa ada pencipta lain selain Tuhan, maka

keyakinannya ini merupakan dosa yang pAlī ng besar, sebab ia

menyekutukan Tuhan dengan lain-Nya. Di dalam beberapa nash

al-Qur’an banyak disebutkan bahwa hanya Allah yang berhak

menjadi pencipta. Demikian juga dengan perbuatan manusia,

karena perbuatan manusia adalah makhluk Tuhan, pasti Tuhan

yang menciptakannya.67

Lanjut al-Juwaini, bahwa manusia dituntut untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya di akhirat berdasarkan

perbuatannya di masa hidupnya. Dari ini bisa diketahui, bahwa

manusia pasti mempunyai andil tersendiri di dalam mereAlī

65 Al-Juwaini, al-Syamil fi Ushul al-Din, h. 165.66 Al-Irsyad ila al-Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, h. 17.67 Al-Juwaini, al-‘Aqidah al-Nizhamiyah, h. 187-188.

18

Page 19: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

sasikan perbuatannya. Tidak adil rasanya, jika Tuhan meminta

pertanggungjawaban manusia yang hanya secara terpaksa

memperbuat perbuatan-perbuatan yang telah diciptakan Tuhan

atasnya.

Dalam hal ini, al-Juwaini berbeda pendapat dengan al-Asy’ārī ,

yang berpendapat bahwa perbuatan manusia tidak diwujudkan oleh

manusia sendiri dengan istilah kasab,68 dan dalam mewujudkan

perbuatan yang diciptakan itu, daya yang ada pada manusia itu

tidak mempunyai efek.69 Sedangkan al-Juwaini mengatakan bahwa

daya manusia diciptakan Tuhan, perbuatan yang diperbuat manusia

mempergunakan dayanya yang baharu, terjadi karena terdapatnya

daya yang baharu. Tetapi perbuatan itu disandarkan pada Tuhan

menurut ukuran (taqdiran) dan penciptaan (khalqan).70 Perbuatan

tersebut terjadi karena perbuatan Tuhan yakni penciptaan daya

pada manusia. Daya tersebut bukan perbuatan manusia. Daya itu

hanya merupakan sifat manusia, daya itu milik Tuhan dan ciptaan-

Nya. Tuhan memberikan hak kepada hamba-Nya untuk memilih,

maka manusia bebas mempergunakan daya yang diciptakannya

itu.71

Tampaknya dalam hal ini al-Juwaini memiliki pandangan yang

mirip dengan pandangan Mu’tazilah yang mendasarkan pada

persoalan sebab-akibat atau yang lebih dikenal dengan Sunnatullah.

Tidak mengherankan kalau Ahmad Amin menilai al-Juwaini dalam

uraiannya tentang perbuatan manusia sebagai: “KembAlī dengan

jalan berliku-liku kepada ajaran Mu’tazilah”.72

4. Janji dan Ancaman

68Abū Hasan Alī ibn Isma’il, Kitab al-Luma’, Richard J. McCaarthy, S.J., ed., (Beirut: Imprimerie Catholique, 1952), hlm. 71-72.

69 Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, h. 97.70 Al-Juwaini, al-‘Aqidah al-Nizhamiyah, h. 35.71 Al-‘Aqidah al-Nizhamiyah, h. 35.72Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, Vol.IV, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1964), h.

79.19

Page 20: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

Bagi al-Juwaini, janji dan ancaman Tuhan adalah benar dan

pasti terjadi. Bila Tuhan memberi pahala kepada orang yang telah

berbuat baik, itu merupakan kemurahan hati Tuhan. Dan bila

Tuhan menyiksa orang yang berbuat dosa, itu merupakan keadilan

dan kebijaksanaan Tuhan. Tetapi juga tidak mustahil Tuhan

memberikan ampunan dan membatalkan siksa bagi orang mukmin

yang berdosa, lalu memasukkannya ke surga. Tuhan sama sekAlī

tidak pernah membatalkan member pahala kepada orang yang

berbuat baik dan memasukkannya ke dalam neraka. Tuhan - bagi

al-Juwaini bagaikan seorang raja konstitusionil yang Maha

Pemurah dan Maha Penyayang.73

5. Kekuatan Akal

Menurut al-Juwaini, ditinjau dari mengetahui segi syari’at yang

terdiri dari ijma’ ulama, manusia wajib mengetahui Tuhannya.

Cara memperoleh pengetahuan tentang Tuhan adalah dengan

mengadakan penalaran akal. Dengan begitu, cara untuk mencapai

sesuatu yang wajib, menjadi wajib pula hukumnya. Artinya, karena

mengetahui Tuhan merupakan kewajiban dan kewajiban itu bisa

terlaksana bila menggunakan penlaran akal, maka penalaran akal

wajib pula hukumnya.74

Kewajiban menggunakan akal yang mengacu pada pengetahuan

tentang Tuhan, tidak hanya terbatas pada manusia yang

mempunyai akal tertinggi. Kewajiban ini berlaku untuk semua

orang yang telah menginjak dewasa atau aqil bAlī gh. Bahkan

orang yang telah menginjak masa mukallaf lalu meninggal sebelum

pernah mengadakan penalaran akal untuk mengetahui Tuhan,

hukumnya sama saja dengan hukum orang kafir dan ia masuk

neraka.75

Bagi al-Juwaini, syari’at mewajibkan manusia mengetahui

Tuhan. Adapun cara untuk melaksanakan kewajiban itu harus

73 Tsuroya Kiswati, Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 163.74 Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, h. 163.75 Al-Juwaini, al-Syamil fi Ushul al-Din, h. 122.

20

Page 21: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

dengan menggunakan penalaran akal. Hal-hal yang berkaitan

dengan kewajiban syari’at harus ditetapkan dengan syari’at atau

wahyu, sedangkan akal hanya digunakan melaksanakan kewajiban-

kewajiban tersebut. Menurutnya, akal itu terbatas. Akal tidak

mampu mengethui adanya hal-ha ghaib yang ada di bAlī k

kewajiban-kewajiban itu.76 Pendapat seperti ini agaknya ditujukan

al-Juwaini untuk menolak pendapat Mu’tazilah yang mengatakan,

bahwa tanpa wahyu, manusia wajib mengetahui Tuhannya. Bila

ada orang meninggal sebelum ia mengetahui Tuhannya, meskipun

wahyu belum sampai kepadanya, ia dihukum siksa dan masuk

neraka, demikian ungkapan Abū al-Huzail.77

C. Kesimpulan

Peran al-Bāqillānī dalam teologi Asy’ārī yah adalah pengembangan

metode. Ia mengembangkan metode (thariqah) dan meletakan premis-premis

logika yang menjadi dasar pijakan dAlī l-dAlī l dan teori-teori, seperti

menetapkan substansi primer (al-Jauhar) dan accident ('Arad) tidak mungkin

berdiri di atas accident (Arad), tidak mungkin dua waktu yang bersamaan, dan

semisalnya yang menjadi dasar pijakan dAlī l-dAlī l mereka. Dan menjadikan

kaidah-kaidah ini sebagai dasar untuk menetapkan kewajiban dalam

beraqidah, karena kesalahan atau tidak benarnya suatu dAlī l berarti tidak

benar pula apa yang menjadi obyek suatu dAlī l. Maka metode ini merupakan

metode yang terbaik dalam ilmu-ilmu teori dan agama.

Salah satu pandangannya yang relevan adalah upayanya untuk

mengembangkan voluntarisme kasab Asy’ārī yah dengan ide kebebasan

qudrah manusia Mu’tazilah dengan menyatakan adanya qudrah yang

diberikan kepada hamba.

Begitu juga dengan al-Juwaini, secara sistematis ia mengklarifikasi

antar ilmu-ilmu filsafat dan ilmu-ilmu logika serta menjadikan metode

76 Al-Juwaini, al-‘Aqidah al-Nizhamiyah, h. 47.77 Al-Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, h. 45 dan 52.

21

Page 22: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

berpikir logika sebagai standar untuk menetapkan kebenaran suatu dAlī l. Ia

sangat mengandalkan akal untuk mencapai keinginannya.

Jelas tampak pemikiran kalam keduanya banyak yang hampir sama

dengan Mu’tazilah namun eksistensinya berbeda. Walaupun ia banyak

menggunakan istilah-istilah yang digunakan oleh al-Asy’ārī , karena titik

tolaknya berangkat dari ajaran-ajaran Asy’ārī yah, namun pemikiran al-

Juwaini membuahkan kesimpulan yang berbeda dari konsep al-Asy’ārī .

Keduanya juga bisa dianggap sebagai para tokoh pemikir dan

merupakan pintu gerbang masuknya paham neo liberal, sebab pemikiran-

pemikiran atau tindakan-tindakan keduanya dapat dikatakan telah

merekonstruksi pemikiran-pemikiran liberal masa lalu, dalam hal ini adalah

Mu’tazilah yang menggunakan paham rasional dan menjunjung tinggi

penalaran akal. Juga di dalam paham-paham keduanya memiliki kemiripan

substansi dan isi dari paham-paham yang ada sebelumnya, namun dikemas

dan diramu dalam bentuk yang berbeda.

22

Page 23: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

Daftar Pustaka

Abduh, Muhammad, Risalat al-Tauhid, Kairo: Dar al-Manar, 1366 H.

Abd. Al-Razi, Mustafa. Tamhīd li Tarikh al-Filsafat al-Islamiyat, Kairo:

Matba’at Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamat wa al-Nasyr, 1959.

Ahmad al-Iji, ‘Abd al-Rahman ibn. Al-Mawqaif fi ‘Ilm al-Kalam, Beirut:

Alam al-Kutub, t.th.

Alī ibn Isma’il, Abū Hasan. Kitab al-Luma’, Richard J. McCaarthy, S.J.,

ed., Beirut: Imprimerie Catholique, 1952.

Amin, Ahmad. Zuhr al-Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah,

1964.

Asqalani, Ibnu Hajar. Tahdzib al-Tahdzib, (Beirut: Dar Ihya al-Turats,

1991.

Azis Dahlan, Abdul dkk. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar

Baru Van Hoeve, 1999.

Badawi, ‘Abd al-Rahman. Mazahib al-Islamiyin, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-

MAlī yin, 1983.

Bāqillānī. Al-Insaf, Kairo: al-Maktabat al-Azhariyyat li al-Turats, 1369.

Bāqillānī. Al-Tamhīd fi al-Radd ‘ala al-Mulhidat wa al-Rafidhat wa al-

Khawarij wa al-Mu’tazilat, editor oleh Mahmud Muhammad

al-Khudri dan Muhammad Abd al-Hadi Abū Raydat, Kairo:

Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1974.

Husein Mahmud, Fauqiyah. A’lam al-‘Arab. Kairo: Al-Mu’assasah al-

Mishriyyah al-‘Ammah li al-Ta’lif wa al-Anba’ wa al-Nasyr,

1964.

Ibish, Yusuf. The Political Doctrine of al-Bāqillānī, Beirut: 1966.

Ibrahim, Hasan. Tarikh al-Islam, Kairo: Al-Nahdat al-Mishriyyat, 1964.

Jar Allah, Zuhdi, Al-Mu’tazilat.

Juwaini. Al-‘Aqidah al-Nizhamiyah, t.t: Mathba’ah al-Anwar, 1367

H/1948 M.

Juwaini. Al-Syamil fi Ushul al-Din, Iskandariyah: Al-Ma’arif, 1969 M.

Juwaini. Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh li al-Juwaini, t.t: t.p, t.th.

23

Page 24: Teologi Al-Baqillani Dan Al-Juwaini

Juwaini. E.J. Brill’a First Encyclopedia of Islam, Leiden, New York,

Kobenhaven, Koln, Baba Fighani, Dwin: E.J. Brill, 1987.

Juwaini. Al-Irsyad ila al-Qawa’id al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, Mesir:

Maktabah al-Khanji, 1950 M/1369 H.

Katsir, Ibnu. Al-Bidayah wa al-Nihayah, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

Khatib, al-Baghdadi. Tarikh al-Baghdad, Kairo: Maktabat al-Khanji, 1921.

Khatib, Muhib al-Din. Al-Khutut al-‘Aridat, tp., tt., 1986.

Khaldun Ibnu. Muqaddimah al-‘Allamah Ibn Khaldun, Beirut: Dar al-Fikr,

1981.

Kiswati, Tsuroya. Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam, t.tp:

Penerbit Erlangga, t.t.

Mahmud al-Subhi, Ahmad. Fi ‘Ilm al-Kalam Dirasat Falsafiyyat, tt: Dar

al-Kutub al-Jam’iyat, 1969.

Nasution, Harun, dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan,

1992.

Nasution, Harun. Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986.

Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, t.tp: Isa al-Bab al-Halab wa

Syirkah, t.th.

Syahrastani. Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyat, 1992.

24