tempoedisi-x

2
guru. “Saya merasa sedikit berjasa pada perpus- takaan ini, sebab usulan saya agar pihak per- pustakaan membeli sebuah tafsir berbahasa Jawa berjudul al-Ibriz karya KH. Bisyri Musto- fa, ayahanda Gus Mus, dikabulkan,” kata Ulil dalam surat elektroniknya kepada the WAHID Institute. Itulah fenomena al-Ibriz. Tafsir al-Quran 30 juz berhuruf pegon (aksara Arab berbahasa Jawa, red.) ini, sangat dikenal, terutama di pesantren Jawa. Diakui penulisnya, KH. Bisri, terjemah al- Quran telah banyak beredar dalam ragam ba- hasa. Bahasa Belanda, Inggris, Jerman, pun Indonesia. “Yang menggunakan bahasa dae- rah, seperti Jawa, Sunda, dan yang lain, juga banyak,” tulisnya. Dengan cara ini, ujarnya, umat Islam dari seluruh bangsa dan suku akan memahami makna al-Quran. “Untuk membantu mereka, saya suguhkan tafsir al-Quran yang ringan dan mudah dipahami,” sambungnya. Karena menggunakan bahasa lokal, tafsir ini penuh sopan-santun atau unggah-ungguh ala adat Jawa. Iblis, misalnya, yang menjadi simbol kejahatan dalam tafsir ini diposisikan santun di hadapan Allah. Inilah nuansa lokal yang tidak dimiliki tafsir lainnya. Berdasarkan aksaranya, tafsir bahasa Ja- wa sebetulnya terdiri dua jenis; Arab pegon dan latin. Jenis yang kedua misalnya al-Hu- da, Tafsir Qur’an Bahasa Jawi, karya Brigadir Jenderal Purnawirawan Drs. H. Bakri Syahid (baca: Tafsir Lokal Beraroma Orba). Selain berbahasa Jawa-Latin, tafsir berga- ya militer karya Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1972-1976), ini berani ‘melam- paui’ pakem penafsiran pada umumnya. Di dalamnya, penulisnya banyak memasukkan unsur-unsur negara: MPR, UUD 45, Demo- krasi Pancasila, BAKIN, dan sebagainya. “Diharapkan, dengan tafsir ini, pembaca bisa lebih mengerti, memahami dan juga pri- hatin atas nasib bangsa,” tulis mantan Kepa- la Pendidikan Pusat Rawatan Ruhani Islam Angkatan Darat, Wakil Kepala PUSROH Islam A.D. dan Asisten Sekretaris Negara RI pada masa Orde Baru ini. Ada juga tafsir al-Quran berbahasa Bugis, karya ulama kharismatik dari Sidrap, Sulawe- si Selatan, Gurutta H. Abdul Muin Yusuf (1920-2004). Beliau pendiri Pondok Pesan- tren al-Urwatul Wutsqa dan Ketua MUI Sulsel 1985-1995. “Karya tafsir utuh dalam Bahasa Bugis ter- golong langka. Ini yang menjadi obsesi Gu- rutta Muin. Pada 1985, beliau didesak ma- syarakat yang membutuhkan referensi tafsir dalam Bahasa Bugis. Tahun berikutnya, pe- nulisan tafsir dimulai,” tutur cucu Gurutta Muin, H. Imran Muin Yusuf kepada the WA- HID Institute. Menurut kandidat doktor UIN Alauddin Ma- kasssar ini, ciri khas tafsir ini menggunakan bahasa dan aksara Lontara Bugis. “Ini baha- sa utama masyarakat Bugis yang ada di Su- lawesi Selatan. Tafsir ini mendapat dukungan para ulama sepuh di Sulawesi Selatan,” jelas Imran. Terjemah al-Quran karya Hans Bague Jas- sin (1917-2000), lain lagi. Dengan titel al-Qur- anul Karim Bacaan Mulia, pria kelahiran Go- rontalo ini ingin menghadirkan terjemahan al- Quran bergaya puisi. Selama dua tahun, 1972-1974, terjemahan ini digarap Jassin, di sela kesibukan kerja sama kebudayaan Indo- nesia-Belanda. Belum apa-apa, reaksi bermunculan dari penjuru negeri. Dukungan dan cercaan hadir silih berganti. Kapabilitas Jassin disoal. Ia di- anggap tidak layak menerjemah al-Quran. Jassin dinilai mempuisikan al-Quran. Be- berapa orang mengharamkan membacanya. Tapi Jassin berkilah hanya baris kalimatnya yang seperti puisi namun tidak dengan inti terjemahannya. “Tidak baris demi baris yang panjangnya memenuhi lebar halaman. Akan tetapi baris demi baris yang panjangnya ha- nya memenuhi sebagian lebar halaman saja,” katanya waktu itu. Empat tahun dalam kontroversi, pada 1978 karya pengagum Schopenhauer dan Ni- etzche ini diterbitkan dengan perbaikan di sa- na sini. “Karya Jassin harus diberi penghar- gaan yang layak. Kesalahan di dalamnya adalah bagian yang wajar dari proses ijtihad,” tulis penulis tafsir Al Azhar H. Abdul Malik Ka- rim Amrullah (Hamka) dalam pengantar terje- mahan itu. Mengapa berwajah puisi? “Firman Tuhan menjadi nafas saya, menjadi darah yang beredar dalam tubuh saya, dan menjadi da- ging saya,” terang Paus Sastra Indonesia ini. Tak hanya Jassin, Nazwar Syamsu (1921- edisi 10 edisi 10 Suplemen the WAHID Institute IX/Tempo 25 Juni - 2 Juli 2007 Suplemen the WAHID Institute IX/Tempo 25 Juni - 2 Juli 2007 Suplemen ini dipersembahkan the Wahid Institute. Dapat dijumpai setiap bulan pada pekan terakjhir di Majalah Tempo. Kritik dan saran kirim ke [email protected] - www.wahidinstitute.org Redaktur Ahli: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy, Lies Marcoes-Natsir, Budhy Munawar-Rachman Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Rumadi, Abd. Moqsith Ghazali, Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Nurul H. Maarif, Nurun Nisa ; Redaktur Pelaksana: Gamal Ferdhi Ajaran Universal Lewat Penafsiran Lokal Tafsir lokal dibuat agar makna al-Quran lebih dipahami umat. Namun ada yang menganggap sesat. SEKITAR 15 ribu warga nahdhiyin datang menyemut dari seluruh penjuru Jawa. Mereka rela duduk berdesakan sejak pukul 05.00 pa- gi hingga tengah hari. Tiga kiai besar dihadir- kan. KH. Ahmad Mustofa Bisri dari Pondok Pesantren Raudhatul Thalibin Rembang, KH. Abdullah Kafabihi dari Lirboyo, Kediri, Jawa Timur dan KH. Maimun Zubair dari Pesantren al-Anwar Sarang Lasem, Jawa Tengah. Begitulah suasana khataman pembacaan kitab al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa Rem- bang (1915-1977), di Pesantren al-Itqon, Bu- gen, Tlogosari Wetan, Semarang Jawa Te- ngah, pertengahan tahun lalu. Menurut pengasuh Ponpes al-Itqon, KH Ahmad Kharis Shodaqoh, tafsir al-Ibriz bisa dikhatamkan 12 tahun, 10 tahun, 5 tahun, bahkan setahun. “Kami sengaja membaca- nya ayat demi ayat selama 12 tahun, supaya jamaah memahami,” katanya. Kiai Kharis punya alasan memilih tafsir al- Ibriz. “Jamaahnya orang kampung. Mereka butuh tafsir dengan bahasa apa adanya, bu- kan bahasa yang tidak bisa mereka pahami,” tuturnya. Dalam ceramahnya, putera penulis tafsir ini, KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) menyatakan, al-Ibriz tidak hanya dibaca ma- syarakat Indonesia. Tapi juga Malaysia, Si- ngapura, bahkan Suriname. “Suatu hari saya kedatangan tamu dari Jo- hor Malaysia. Dia penceramah yang biasa ngaji di masjid-masjid. Setiap ngaji, dia sela- lu membawa tafsir al-Ibriz. Dia minta tafsir ini di-Indonesia-kan atau di-Melayu-kan baha- sanya,” terang Gus Mus. Bahkan menantu Gus Mus, Ulil Abshar Abdalla, turut mempro- mosikan kitab itu kepada Perpustakaan Wi- dener di Universitas Harvard tempatnya ber- Tafsir Al-Ibriz karya KH. Bisri Musthofa Dok.WI Al Quran Bacaan Mulia karya HB Jassin Dok.WI HB Jassin Dok.TEMPO

Upload: witjak

Post on 10-Jun-2015

329 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: tempoedisi-x

guru.“Saya merasa sedikit berjasa pada perpus-

takaan ini, sebab usulan saya agar pihak per-pustakaan membeli sebuah tafsir berbahasaJawa berjudul al-Ibriz karya KH. Bisyri Musto-fa, ayahanda Gus Mus, dikabulkan,” kata Ulildalam surat elektroniknya kepada the WAHIDInstitute.

Itulah fenomena al-Ibriz. Tafsir al-Quran 30juz berhuruf pegon (aksara Arab berbahasaJawa, red.) ini, sangat dikenal, terutama dipesantren Jawa.

Diakui penulisnya, KH. Bisri, terjemah al-Quran telah banyak beredar dalam ragam ba-hasa. Bahasa Belanda, Inggris, Jerman, punIndonesia. “Yang menggunakan bahasa dae-rah, seperti Jawa, Sunda, dan yang lain, jugabanyak,” tulisnya.

Dengan cara ini, ujarnya, umat Islam dariseluruh bangsa dan suku akan memahamimakna al-Quran. “Untuk membantu mereka,saya suguhkan tafsir al-Quran yang ringandan mudah dipahami,” sambungnya.

Karena menggunakan bahasa lokal, tafsirini penuh sopan-santun atau unggah-ungguhala adat Jawa. Iblis, misalnya, yang menjadisimbol kejahatan dalam tafsir ini diposisikansantun di hadapan Allah. Inilah nuansa lokalyang tidak dimiliki tafsir lainnya.

Berdasarkan aksaranya, tafsir bahasa Ja-wa sebetulnya terdiri dua jenis; Arab pegondan latin. Jenis yang kedua misalnya al-Hu-da, Tafsir Qur’an Bahasa Jawi, karya BrigadirJenderal Purnawirawan Drs. H. Bakri Syahid(baca: Tafsir Lokal Beraroma Orba).

Selain berbahasa Jawa-Latin, tafsir berga-ya militer karya Rektor IAIN Sunan KalijagaYogyakarta (1972-1976), ini berani ‘melam-paui’ pakem penafsiran pada umumnya. Didalamnya, penulisnya banyak memasukkanunsur-unsur negara: MPR, UUD 45, Demo-krasi Pancasila, BAKIN, dan sebagainya.

“Diharapkan, dengan tafsir ini, pembacabisa lebih mengerti, memahami dan juga pri-hatin atas nasib bangsa,” tulis mantan Kepa-

la Pendidikan Pusat Rawatan Ruhani IslamAngkatan Darat, Wakil Kepala PUSROH IslamA.D. dan Asisten Sekretaris Negara RI padamasa Orde Baru ini.

Ada juga tafsir al-Quran berbahasa Bugis,karya ulama kharismatik dari Sidrap, Sulawe-si Selatan, Gurutta H. Abdul Muin Yusuf(1920-2004). Beliau pendiri Pondok Pesan-tren al-Urwatul Wutsqa dan Ketua MUI Sulsel1985-1995.

“Karya tafsir utuh dalam Bahasa Bugis ter-golong langka. Ini yang menjadi obsesi Gu-rutta Muin. Pada 1985, beliau didesak ma-syarakat yang membutuhkan referensi tafsirdalam Bahasa Bugis. Tahun berikutnya, pe-nulisan tafsir dimulai,” tutur cucu GuruttaMuin, H. Imran Muin Yusuf kepada the WA-HID Institute.

Menurut kandidat doktor UIN Alauddin Ma-kasssar ini, ciri khas tafsir ini menggunakanbahasa dan aksara Lontara Bugis. “Ini baha-sa utama masyarakat Bugis yang ada di Su-lawesi Selatan. Tafsir ini mendapat dukunganpara ulama sepuh di Sulawesi Selatan,” jelasImran.

Terjemah al-Quran karya Hans Bague Jas-sin (1917-2000), lain lagi. Dengan titel al-Qur-anul Karim Bacaan Mulia, pria kelahiran Go-rontalo ini ingin menghadirkan terjemahan al-Quran bergaya puisi. Selama dua tahun,

1972-1974, terjemahan ini digarap Jassin, disela kesibukan kerja sama kebudayaan Indo-nesia-Belanda.

Belum apa-apa, reaksi bermunculan daripenjuru negeri. Dukungan dan cercaan hadirsilih berganti. Kapabilitas Jassin disoal. Ia di-anggap tidak layak menerjemah al-Quran.

Jassin dinilai mempuisikan al-Quran. Be-berapa orang mengharamkan membacanya.Tapi Jassin berkilah hanya baris kalimatnyayang seperti puisi namun tidak dengan intiterjemahannya. “Tidak baris demi baris yangpanjangnya memenuhi lebar halaman. Akantetapi baris demi baris yang panjangnya ha-nya memenuhi sebagian lebar halaman saja,”katanya waktu itu.

Empat tahun dalam kontroversi, pada 1978karya pengagum Schopenhauer dan Ni-etzche ini diterbitkan dengan perbaikan di sa-na sini. “Karya Jassin harus diberi penghar-gaan yang layak. Kesalahan di dalamnyaadalah bagian yang wajar dari proses ijtihad,”tulis penulis tafsir Al Azhar H. Abdul Malik Ka-rim Amrullah (Hamka) dalam pengantar terje-mahan itu.

Mengapa berwajah puisi? “Firman Tuhanmenjadi nafas saya, menjadi darah yangberedar dalam tubuh saya, dan menjadi da-ging saya,” terang Paus Sastra Indonesia ini.

Tak hanya Jassin, Nazwar Syamsu (1921-

edisi 10 edisi 10

Suplemen the WAHID Institute IX/Tempo 25 Juni - 2 Juli 2007Suplemen the WAHID Institute IX/Tempo 25 Juni - 2 Juli 2007

Suplemen ini dipersembahkan the Wahid Institute. Dapat dijumpai setiap bulan pada pekan terakjhir di Majalah Tempo. Kritik dan saran kirim ke iinnffoo@@wwaahhiiddiinnssttiittuuttee..oorrgg -- wwwwww..wwaahhiiddiinnssttiittuuttee..oorrgg

RReeddaakkttuurr AAhhllii:: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy, Lies Marcoes-Natsir, Budhy Munawar-RachmanSSiiddaanngg RReeddaakkssii:: Ahmad Suaedy, Rumadi, Abd. Moqsith Ghazali, Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Nurul H. Maarif, Nurun Nisa ; RReeddaakkttuurr PPeellaakkssaannaa:: Gamal Ferdhi

Ajaran Universal Lewat Penafsiran Lokal

Tafsir lokal dibuatagar makna al-Quranlebih dipahami umat.

Namun ada yangmenganggap sesat.

SSEEKKIITTAARR 15 ribu warga nahdhiyin datangmenyemut dari seluruh penjuru Jawa. Merekarela duduk berdesakan sejak pukul 05.00 pa-gi hingga tengah hari. Tiga kiai besar dihadir-kan. KH. Ahmad Mustofa Bisri dari PondokPesantren Raudhatul Thalibin Rembang, KH.Abdullah Kafabihi dari Lirboyo, Kediri, JawaTimur dan KH. Maimun Zubair dari Pesantrenal-Anwar Sarang Lasem, Jawa Tengah.

Begitulah suasana khataman pembacaankitab al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa Rem-bang (1915-1977), di Pesantren al-Itqon, Bu-gen, Tlogosari Wetan, Semarang Jawa Te-ngah, pertengahan tahun lalu.

Menurut pengasuh Ponpes al-Itqon, KHAhmad Kharis Shodaqoh, tafsir al-Ibriz bisadikhatamkan 12 tahun, 10 tahun, 5 tahun,bahkan setahun. “Kami sengaja membaca-nya ayat demi ayat selama 12 tahun, supaya

jamaah memahami,” katanya. Kiai Kharis punya alasan memilih tafsir al-

Ibriz. “Jamaahnya orang kampung. Merekabutuh tafsir dengan bahasa apa adanya, bu-kan bahasa yang tidak bisa mereka pahami,”tuturnya. Dalam ceramahnya, putera penulistafsir ini, KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus)menyatakan, al-Ibriz tidak hanya dibaca ma-syarakat Indonesia. Tapi juga Malaysia, Si-ngapura, bahkan Suriname.

“Suatu hari saya kedatangan tamu dari Jo-hor Malaysia. Dia penceramah yang biasangaji di masjid-masjid. Setiap ngaji, dia sela-lu membawa tafsir al-Ibriz. Dia minta tafsir inidi-Indonesia-kan atau di-Melayu-kan baha-sanya,” terang Gus Mus. Bahkan menantuGus Mus, Ulil Abshar Abdalla, turut mempro-mosikan kitab itu kepada Perpustakaan Wi-dener di Universitas Harvard tempatnya ber-

TTaaffssiirr AAll--IIbbrriizz kkaarryyaaKKHH.. BBiissrrii MMuusstthhooffaaDok.WI

AAll QQuurraann BBaaccaaaann MMuulliiaa kkaarryyaa HHBB JJaassssiinn Dok.WI

HHBB JJaassssiinn Dok.TEMPO

Page 2: tempoedisi-x

edisi 10 edisi 10

Suplemen the WAHID Institute IX/Tempo 25 Juni - 2 Juli 2007Suplemen the WAHID Institute IX/Tempo 25 Juni - 2 Juli 2007

Islah Gusmian MA:1983) pun dipersoalkan. Melalui Al-Quran Da-sar Tanya Jawab Ilmiah, pria kelahiran Bukit-tinggi, Sumatera Barat, ini juga dinilai menya-lahi pakem penafsiran umumnya. Mantan Pe-mimpin Jamaah Islam Qur’ani yang gemarmenggunakan teori ilmiah atau saintifik, ini di-nilai memiliki pandangan yang menyempaldari keyakinan umat Islam kebanyakan. Ta-hun 1980-an pun menjadi hari kelabu bagiNazwar. Ia dianggap menolak Sunnah.

Mantan anggota polisi bagian reserse diPolsek Talawi, Sawah Lunto, Sijunjung, inimenuturkan, karyanya dirancang hanya untukmembantu pembaca mengetahui informasisains dan prinsip-prinsipnya dalam al-Quran.

Sebelumnya hal yang sama menimpa

Mahmud Yunus (1899-1982). Upayanya me-nerjemahkan al-Quran dengan bahasa Arab-Melayu pada 1922, dinyatakan haram olehpara ulama waktu itu. Ia dituding menyalahipakem. Padahal ia hanya ingin membantuumat Islam di negeri ini memahami kandung-an al-Quran.

Dengan alasan melanjutkan studi di Al-Az-har Cairo, Mahmud menghentikan penerje-mahan yang telah berjalan 3 juz, pada 1924.Pria kelahiran Batusangkar, Sumatera Baratini, pada 1935 melanjutkan kembali upaya-nya, hingga selesai 30 juz pada 1938. Pada1953, karya berjudul Tafsir Quran Karim ini di-cetak Penerbit al-Maarif Bandung. Ia dikenalsebagai “pelopor” karya tafsir di Indonesia

yang diterpa badai kontroversi. Apa yang diupayakan KH. Bisri Mustofa,

Drs. H. Bakri Syahid, Gurutta H. Abdul MuinYusuf, HB Jassin, Nazwar Syamsu, atauMahmud Yunus, hanyalah alat yang tak perludisoal. “Tafsir itu kan dalam konteks untukkepentingan masyarakat. Terlalu jauh kalaumau mempermasalahkan tafsir ini,” kata pe-nulis buku Khazanah Tafsir Indonesia; dariHermeunetika hingga Ideologi, Islah Gusmian(lihat: Umat Diuntungkan Tafsir Lokal).

Jadi siapapun tidak berhak untuk menu-ding para penafsir itu menyalahi pakem. Kre-ativitas lokal perlu digalakkan untuk mema-hami pesan universal Islam. []

NNuurruull HH.. MMaaaarriiff,, GGaammaall FFeerrddhhii,, AAhhmmaadd SSuuaaeeddyy

AAPPAA yang terjadi jika seorang jenderal menulistafsir al-Quran? Tentu semangat militeristik begi-tu kental di dalamnya. Itulah tafsir karya BrigadirJenderal (Pur.) Drs. H. Bakri Syahid dengan titelal-Huda: Tafsir Qur’an Bahasa Jawi. Dari judul-nya jelas bahwa ini tafsir berbahasa Jawa berhu-ruf latin.

Tafsir utuh 30 juz initelah diperiksa ulangoleh penghulu Kera-ton Yogyakarta KRTHWardanipaningratdan Ustadz RahmatQasim sebelum naikcetak di Bagus Ara-fah Yogyakarta,1979.

Bakri Syahidyang pernah menja-bat Kepala Staf Ba-talion STM-Yogya-karta, Kepala Pen-didikan Pusat Ra-watan Ruhani Is-lam Angkatan Da-

rat, Wakil Kepala PUSROH Islam AD, dan Asis-ten Sekretaris Negara RI, ini banyak memasuk-kan penafsiran bernada mendukung pemerintahOrde Baru Soeharto dan segala program-prog-ramnya.

Umpamanya, ketika menafsirkan Qs. al-Nisa’ayat 83 perihal Ulu al-Amri. Bakri Syahid menu-lis, “Untuk konteks sekarang, Ulu al-Amri itu pe-merintah yang menjalankan sistem demokrasi,seperti pemerintah Indonesia yang menerapkansistem Demokrasi Pancasila.”

Terkait Qs. Yunus ayat 7, Bakri Syahid menu-lis, “paham sekularisasi itu berlawanan denganajaran Agama Islam dan juga tidak bisa diterap-kan di negeri Pancasila Indonesia. Sebab, falsa-fah dan ideologi Pancasila itu menetapkan di Un-dang-Undang Dasar (UUD) 1945, Bab IX Pasal29, bahwa ‘Negara berdasar atas KetuhananYang Maha Esa.’”

Artinya, tulis Bakri Syahid, masyarakat ataunegara yang dicita-citakan pemerintah Indonesiaadalah sosialis-relijius. Yaitu masyarakat adilmakmur yang mencakup materiil dan spirituil, la-hiriah dan batiniah, dan dunia dan akhirat. Inilahmasyarakat yang diridlai Allah SWT.

“Negara Republik Indonesia itu Negara Kesa-tuan, Negara Hukum, serta Negara ber-Ketuhan-an Yang Maha Esa. Bukan negara ateis, negarasekuler, atau negara Islam,” kata Bakri di dalam

karya setebal 1411 halaman ini. “Bangsa Indonesia tidak memiliki cita-cita

membangun masyarakat sekuler (masyarakattanpa agami), melainkan masyarakat Pancasila,”tulis rektor pertama Universitas MuhammadiyahYogyakarta ini ketika menafsiri Qs. al-Nur ayat 28.

Bakri Syahid juga mengulas Sumpah Pemudaketika menafsirkan Qs. al-Ra’d ayat 21. Menurutdia, Sumpah Pemuda berawal dari perjumpaanatau silaturahim anak-anak muda waktu itu,yang peduli nasib bangsa.

“Lalu menjadi ikrar: Satu Nusa, Satu Bahasa,dan Satu Bangsa. Jujur saja, ini syarat mutlakkekuatan Ketahanan Nasional,” tulis pria kelahir-an Yogyakarta, 16 Desember 1918 ini.

Yang menarik, Bakri Syahid menghubungkanQs. al-Hujurat ayat 6 dan 7 dengan peran inteli-jen negara. “Di jaman modern ini disebut BadanKoordinasi Intelijen Negara (BAKIN, kini BadanIntelijen Negara/BIN) dalam Tata Bina Pemerin-tahan Republik Indonesia.” Dalam ayat yang sa-ma, Bakri mengatakan dalam negara Indonesiaintelejen negara dan stabilitas keamanan itu ke-wajiban pemerintah yang dibantu masyarakat.

“Ini inti kekuatan Angkatan Bersenjata Repub-lik Indonesia (kini Tentara Nasional Indonesia,red.). Sebab UUD 1945 Pasal 30 menyebutkan,setiap warga negara wajib dan berhak membelanegara,” tulisnya.

Inilah kontektualisasi tafsir karya Bakri Syahid.Melalui gaya dan caranya, Bakri Syahid inginmasyarakat lebih memikirkan nasib bangsa kedepan.

“Diharapkan, dengan tafsir ini, pembaca bisalebih mengerti, memahami dan juga prihatin atasnasib bangsa,” demikian harapan Rektor IAINSunan Kalijaga masa bakti 1972-1976 ini dalampengantar tafsir itu. [] NNuurruull HH.. MMaaaarriiff

Tafsir LokalBeraroma Orba

AAll--HHuuddaa kkaarryyaa BBrriiggjjeenn ((PPuurrnn)) BBaakkrrii SSyyaahhiidd.. Dok.WI

DDIIBBAANNDDIINNGG--

KKAANN tafsir ber-

bahasa dan

bertulisan

Arab, tafsir lo-

kal bahasa Ja-

wa, misalnya,

punya keung-

gulan. Pemba-

ca bisa tahu

makna kata-

perkata dan

tahu posisi ka-

limat. Sayang, tafsir ini kini tak banyak dipro-

duksi lagi. Berikut wawancara M. Subhi Az-

hari dari the WAHID Institute dengan dosen

dan peneliti tafsir lokal dari STAIN Surakarta,

Islah Gusmian.

KKaappaann ttaaffssiirr llookkaall mmuullaaii ddiibbuuaatt??

Di mulai pada abad ke-17. Yaitu Tarjuman al-

Mustafid karya Abdurrauf al-Sinkili. Tafsir

utuh 30 juz ini berbahasa Melayu-Arab atau

pegon. Para sejarawan menyebut karya ini

sebagai tafsir lokal pertama di Nusantara.

Pada abad yang sama ada juga Tafsir Surah

al-Kahfi. Tapi karya ini tidak diketahui penu-

lisnya.

BBaaggaaiimmaannaa ppeerrkkeemmbbaannggaann sseellaannjjuuttnnyyaa??

Pada abad ke-18, setelah Imam Nawawi al-

Bantani menulis Tafsir al-Nur di Makkah, di

Jawa dan Sunda mulai muncul tafsir-tafsir

berbahasa daerah. Ada Tafsir wal Ngasri

yang tersimpan di Museum Sono BudoyoYo-

gyakarta. Ini tafsir berbahasa Jawa.

AAppaa mmaakkssuudd ppeemmbbuuaattaann ttaaffssiirr bbeerrbbaahhaassaa lloo--

kkaall??

Agar bisa diakses dengan mudah oleh para

pembaca. Misalnya di Jawa, kenapa yang di-

pilih bahasa Jawa? Itu karena kepentingan

pembaca. Kalau di Jawa pedalaman, Yogya

atau kraton, itu menggunakan bahasa dan

tulisan Jawa. Tapi kalau di pesantren, itu

menggunakan tulisan Arab berbahasa Jawa

atau pegon. Itu karena segmennya. Kalau di

pesantren, kan tidak ada masalah membaca

tulisan Arab. Makanya kita mengenal al-Ibriz

karya KH. Bisri Mustofa. Ada juga tafsir ber-

bahasa Jawa dengan huruf latin. Misalnya Al

Huda karya Bakri Syahid tahun 1972.

AAppaa kkeeiissttiimmeewwaaaann ttaaffssiirr llookkaall ddiibbaannddiinnggkkaann

ttaaffssiirr llaaiinnnnyyaa??

Kalau kita bandingkan dengan tafsir yang

menggunakan bahasa dan tulisan Arab, tafsir

lokal bahasa Jawa, punya

keunggulan. Misalnya,

pembaca bisa tahu makna

perkata dan tahu posisi

atau kedudukan kalimat. Ini

kelihatan sekali pada al-Ib-

riz. Dengan demikian, umat

diuntungkan dengan ada-

nya tafsir lokal. Berbeda

dengan tafsir yang ditulis

bukan dengan bahasa dan

cara seperti tafsir bahasa

Jawa. Taruhlah tafsir berba-

hasa latin. Itu nggak akan

bisa. Karena biasanya, mo-

del penafsirannya langsung

satu paragraf.

AAddaakkaahh rreessiisstteennssii tteerrhhaaddaapp ttaaffssiirr llookkaall iinnii??

Belum ada. Sejauh saya melihat, tafsir itu

kan dalam konteks untuk kepentingan ma-

syarakat. Terlalu jauh kalau mau memperma-

salahkan tafsir ini. Kini yang terjadi adalah

orang memandang bahasa Arab itu penting,

sehingga membaca tulisan latin menjadi

agak phobi. Padahal aksara latin tidak perlu

dipermasalahkan, karena tidak semua buku

yang ditulis dengan aksara latin itu jelek.

BBaaggaaiimmaannaa ppeerrkkeemmbbaannggaann ttaaffssiirr ddii lluuaarr JJaawwaa

mmaassaa kkoonntteemmppoorreerr??

Ada tafsir berbahasa dan beraksara Bugis

(karya Gurutta Abdul Muin Yusuf, red.). Ada

lagi Tafsir Pase (karya H. Teuku Hasan Thal-

has dkk., red.), tahun 2000, menggunakan

bahasa Aceh dengan aksara latin. Tapi sa-

yang, karya-karya baru tidak lahir lagi di

Jawa. Bukan hanya dalam konteks kajian ke-

islaman, di dalam tradisi Jawa sendiri tulisan

Jawa telah kehilangan ruh. Terjadi kematian

bahasa, yaitu bahasa lokal menjadi tidak

penting digunakan.

MMeennggaappaa bbiissaa bbeeggiittuu??

Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang

umum digunakan, sehingga bahasa Jawa

atau bahasa lokal lainnya jarang digunakan.

Bahkan majalah yang dulu menggunakan ba-

hasa Jawa, kini sudah tidak mempunyai

penggemar. Bahasa akhirnya mati. Aksara

juga mati.[]

≈Umat DiuntungkanTafsir Lokal∆

TTaaffssiirr BBuuggiiss kkaarryyaa GGuurruuttttaa HH.. AAbbdduull MMuuiinn YYuussuuff Dok.WI