tempoedisi-viii

2

Click here to load reader

Upload: witjak

Post on 10-Jun-2015

150 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: tempoedisi-viii

edisi 08 edisi 08

Suplemen the WAHID Institute VIII/Tempo 28 Mei - 3 Juni 2007Suplemen the WAHID Institute VIII/Tempo 28 Mei - 3 Juni 2007

nesia dengan motif tumbuh-tumbuhanbertuliskan Al-Asy’ariyyah yang disetujui.Ini agar nama pesantren kami terukir disana,” ungkap Malik yang kebagianmenggambar ornamen mushaf besar itu.

K h a t h atau tulisan Arab dalam mushafini ditulis Hayatuddin. Ia menggunakanperalatan tradisional. Karena kertasnyab e s a r, huruf dan ornamennya juga haruslebih lebar. “Jadi bambu wuluh kami rautmenjadi mata pena yang besarnya sesuaikebutuhan,” jelas Malik.

Penggagas Al-Quran raksasa itu ada-lah Pengasuh Ponpes Al-Asy’ariyyah(alm) KH Muntaha al-Hafidz yang akrabdisapa Mbah Mun. Mbah Mun ingin Al-Quran langgeng di seluruh Indonesia.

“Biar kita terpacu untuk menghafalnya.

Lebih baik lagi kalau mengamalkannya,”kata Mbah Mun ditirukan putra tertuanyaKH Ahmad Faqih Muntaha.

Ada alasan lainnya. Mbah Mun ber-maksud menjaga warisan kakeknya, KHA b d u r rohim, seorang ahli menulis mus-haf Al-Quran. Karya KH Abdurrohim ituhilang saat Al-Asy’ariyyah diserbu tenta-ra Belanda pada agresi militer II tahun1948.

Keberadaan mushaf itu ditelusuriMbah Mun. Hingga di tahun 1990, diamenemukan Al-Quran tulisan KH Abdur-rohim yang terbakar di sebuah lemari tua.“Dari situ timbul ide menulis Al-Quran da-lam bentuk yang besar,” ungkap Malikkepada Gamal Ferdhi dari the WAHIDI n s t i t u t e.

Awalnya Al-Quran raksasa itu ditulis diatas kertas berukuran 1 x 1,2 m. Kebetul-an saat mereka telah merampungkandua juz, Menteri Penerangan Harmoko,berkunjung ke Ponpes al-Asy’ariyyah.

Mbah Mun pun mengungkap pro y e kb e s a rnya kepada orang dekat Pre s i d e nSoeharto itu. “Lalu dikirimlah 1000 lem-bar kertas berukuran 1,5 x 2 m,” kenangMalik yang n y a n t r i kepada Mbah Mun se-jak 1988.

Dikatakan Malik, mushaf raksasa yangdikerjakan mulai Oktober 1991-Desem-ber 1992, itu ditulis dalam kondisi suci.“Sebelum menulis harus berwudhu. Jikabatal, wudhu lagi. Juga puasa dan t a h a j -j u d,” kata lelaki asli Sleman, Jogjakartaitu.

Pembuatannya pun dalam ruangankhusus yang tertutup. Orang yang da-tang ke ruang kerja mereka tak diperke-nankan menyentuh m u s h a f. Hasilnya,t e rcipta Al-Quran terbesar pertama buat-an Ponpes al-Asy’ariyyah. Karya adilu-hung berukuran 2 m x 1,5 m itu, lalu dise-rahkan kepada Presiden Soeharto danditempatkan di Bina Graha.

Sisa kertas besar dari proyek pertamaitu, mendorong Mbah Mun mengajak pa-ra santrinya berkarya lagi. Lahirlah mus-haf raksasa kedua dan ketiga yang kinidisimpan di Masjid at-Tin TMII danIslamic Center Jakarta.

Menurut KH Ahmad Faqih, pesantre nyang kini dipimpinnya tidak lagi membu-at mushaf raksasa. Karena mulai mushafkeempat, pembuatannya ditangani Uni-versitas Sains Al-Quran (Unsiq) Kali-b e b e r, Wonosobo, sebuah perg u r u a ntinggi yang berada dalam satu yayasandengan Ponpes Al-Asy’ariyyah.

“Penulisan mulai keempat hingga ke-enam, ornamennya sudah cetak dengankomputer walau k h a t h -nya dengan ta-ngan,” ungkap KH Ahmad.

Unsiq juga sukses membuat mushafraksasa yang ditempatkan di MasjidAgung Jawa Tengah. Mereka sudah me-menuhi pesanan Sultan Brunei Darussa-lam yang ditempatkan di Istana NurulIman Brunei. Kini, pesanan dari Pemerin-tah Daerah Kabupaten Pekalongan ham-

L U K I S A N itu menampilkan wayang Bata-ra Krishna. Ia berdiri gagah di antara duagunungan dengan latar empat baris tulis-an. Sekilas, tulisan itu seperti aksara Ja-wa, hanacaraka.

Namun jika ditelisik, aksara dalam lu-kisan berjudul “Selalu Baik” itu tern y a t aQs. Al-Qashash: 77, yang berisi perintahAllah untuk menemukan keseimbangandunia dan akhirat.

Demikian pula kaligrafi “Allah, Muham-mad”. Penikmat lukisan yang melihat se-lintas, akan menyangka itu huruf kanji,aksara dari Jepang. Padahal itu kaligrafiArab dari Qs. Al-Ikhlash: 1- 4 dan Qs. Al-Ahzab: 40.

Nuansa lukisan China yang kerap me-nampilkan alam sebagai obyek, jugatampak dalam lukisan berjudul Asma UlHusna. Lukisan yang terdiri dari tiga fra-me ini menampilkan kaligrafi Al-A’ r a a f :1 8 0 .

Itulah keunikan lukisan kaligrafi multi-kultural karya Jauhari Abd. Rosyad.Alumni Ponpes Lirboyo Jawa Timur itumenampilkan lukisan kaligrafi denganmengadopsi berbagai aksara.

“Jenis tulisannya dari beragam kultur.Ada kaligrafi Arab, Mandarin atau Cina,Jawa, Jepang, bahkan Hirogliph,” ujarayah dua putera ini.

Melalui karyanya, Jauhari mendekon-

struksi kaligrafi yang selalu didentikandengan aksara Arab. ”Kultur non-Arabjuga bisa dijadikan alat memahami Al-Quran,” jelasnya (baca: Wajah IslamDamai di Dinding Kanvas).

Budaya Islam berbeda dengan budayaArab. Karenanya, Pengasuh Ponpes Al-Falah Tinggarjaya Mangunsari Jati-lawang Banyumas, KH Ahmad Sobrimembuat bedug-bedug raksasa. Ia kha-w a t i r, tradisi luhur peninggalan Wali So-ngo itu hilang.

“Saya takut dengan s y i a r Islam yanghampir hilang. Makanya, ini yang saya la-kukan,” ujarnya.

Di perkotaan, bedug banyak hilang,kata KH Sobri, karena ada kelompokyang menganggapnya sebagai b i d ’ a h(menyimpang, r e d.). “Kalau hal ini dibiar-kan, tradisi NU atau Wali Songo akan hi-lang,” imbuhnya (baca: Mengawal Tradi -si dengan Bedug) .

Pelestarian tradisi lokal ke dalam kha-zanah Islam, juga ditempuh para pembu-at Al-Quran raksasa dari Ponpes Al-Asy’ariyyah, Kalibeber, Wonosobo.

Abdul Malik, salah satu anggota timpembuat Al-Quran berukuran 1,5 x 2 mitu, menyatakan terjadi perdebatan saatmenentukan motif ornamen. “Ada yangingin sama dengan Al-Quran padaumumnya. Akhirnya, ornamen khas Indo-

Suplemen ini dipersembahkan the Wahid Institute. Dapat dijumpai setiap bulan pada pekan terakjhir di Majalah Tempo. Kritik dan saran kirim ke [email protected] - www.wahidinstitute.org

Redaktur Ahli: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy, Lies Marcoes-Natsir, Budhy Munawar-RachmanSidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Rumadi, Abd. Moqsith Ghazali, Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari, Nurul H. Maarif, Nurun Nisa ; Redaktur Pelaksana: Gamal Ferdhi

Kaligrafi ”Selalu Baik” karya JauhariAbd. Rosyad

Dok.WI/Witjak

KH. Ahmad Faqih dan Abdul Malik di depan mushaf besar PP Al-Asy'ariyyah,

Wonosobo. Dok.WI/Gamal

Al-Quran terberat di dunia karya PP Al-Ashriyyah, Parung. Dok.WI/Gamal

Seni IslamNuansa LokalKarya seni Islam yang bernuansa lokal kian terdesak. Kiai-kiai lokal kini mengkreasinya untuk syiar Islam dan reinvensibudaya. Ada yang dibuat dengan ritual khusus.

Page 2: tempoedisi-viii

edisi 08 edisi 08

Suplemen the WAHID Institute VIII/Tempo 28 Mei - 3 Juni 2007Suplemen the WAHID Institute VIII/Tempo 28 Mei - 3 Juni 2007

M E N A M P I L K A N wajah Islam yang da-mai tak mesti lewat orasi atau karya il-miah. Kanvaspun bisa dijadikan media.Itulah yang dilakukan kaligrafer JauhariAbdul Rosyad (34 tahun).

”Saya hanya bisa menulis kaligrafi.N g a j a r atau pidato n g g a k bisa. Ya n gpenting saya memberikan sesuatu un-tuk perdamaian dunia ini,” ujar alumni1996 Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri,Jawa Timur kelahiran Jakarta 1973 ini.

Peraih juara pertama lomba kaligrafise-Jawa Timur pada 1992 ini adalahpelukis otodidak. Ia sengaja memilih isupluralisme agama, keadilan sosial, jugamultikulturalisme, sebagai tema karya-nya.

”Saya prihatin! Sekarang banyakmuncul kelompok Islam radikal yangmengusung isu syariatisasi dan menafi-kan toleransi atau pluralisme,” ujar ayahdua putera ini beralasan.

Melukis kaligrafi dengan tema-tematersebut, diakui Jauhari memakan ba-nyak tenaga dan pikiran. ”Saya capek,

k a rena bergulat dengan pikiran. Kadangmenabrak teks lama,” katanya.

K a rena itulah, sebagian orang Islam–setelah melihat lukisannya- malah me-ragukan keislaman Jauhari. ”Pernah di-bilang m u r t a d, bahkan teman baik jadimenjauh. Ini resiko dari kebebasan pi-kiran saya,” imbuhnya.

Melalui lukisan-lukisannya, lulusanMadrasah Aliyah (MA) Lirboyo ini inginmengingatkan pentingnya mengharg a isesama manusia, termasuk sesamamuslim. ”Kita harus saling mengharg a i .W o n g kita masih sama-sama sembah-yang madep ngulon (menghadap kebarat, r e d .) k o k,” katanya.

Pandangan ini diakui Jauhari banyakdipengaruhi Gus Dur. ”Saya baca kar-ya-karya Gus Dur dan ngaji bulan pua-sa pada beliau di Pesantren Ciganjur, ”aku pria yang pernah melukis kaligrafidi beberapa masjid besar di Jawa ini.

Jauhari berencana menggelar pamer-an tunggal di Galeri Nasional Indonesia,Jakarta, pada 26 Mei hingga 3 Juni

2007 ini. Pameran bertema K a l i g r a f iMultikultural ini menampilkan 41 buahkaryanya, yang dilukis tiga tahun ter-a k h i r.

Pameran ini untuk menyampaikangagasan multikulturalisme dan toleran-si. ”Untuk mencapai tujuan itu, penik-mat lukisan saya harus melihatnya se-cara runtun. Makanya, itu saya susunsedemikian rupa; kita tahu Allah dulu, dimana posisi kita, baru masuk wilayahitu,” jelasnya.

Pada pameran perdananya ini, ia me-nampilkan kaligrafi dengan latar tulisandari beragam kultur. Ada kaligrafi Arab,Mandarin atau China, Jawa, Jepang,bahkan Hirogliph.

Bukankah kaligrafi Islam itu identikdengan tulisan Arab? ”Itulah masalah-nya. Islam diidentikkan dengan Arab.Padahal Islam y a Islam! Arab y a A r a b !Keduanya beda. Karena itu, kultur non-Arab saya jadikan media memahami Al-Quran,” ujarn y a . [ ]

Gamal Ferdhi, Nurul H Maarif

Mengawal Tradisi dengan Bedug

Bedug di masjid-masjid kota besar ba-nyak disingkirkan, lantaran dinilai bid’ah(menyimpang, red.). Bedug berukuranbesar-besar dibuat KH. Ahmad Sobrisebagai perlawanan. Berikut petikanwawancara Pengasuh Ponpes Al-FalahTinggarjaya Mangunsari Jatilawang Ba-nyumas itu dengan Nurul H. Maarif darithe WAHID Institute:

Apa latar belakang pembuatan bedug-bedug raksasa ini? Saya melihat, sepertinya bedug di mas-jid-masjid kota besar sudah pada pu-nah atau hilang. Saya takut sekali de-ngan syiar Islam yang hampir hilang.Makanya, inilah yang saya lakukan.

Hilangnya karena faktor apa?Karena ada yang menganggap bedugitu bid’ah. Kalau hal ini dibiarkan, tradisiNU dan Wali Songo akan hilang.

Bagaimana efek dibuatnya bedug inibagi masyarakat?Saya melihat, masyarakat menjadi se-mangat ke masjid, karena ada suarabedug sebelum Jum’at misalnya. Orangyang sedang bekerja tahu, o h b e d u g-

nya sudah berbunyi. Dan Kalau n g g a kada rumah-rumah, bunyinya bisa terd e-ngar sampai 5 km. Itu tanpa pengerass u a r a .

Ada ritual khusus dalam proses pembu -atannya?Setiap membuat kita mulai di hari Rabu(menurut tradisi Islam, Rabu adalah hariyang paling baik, red.). Kita mengerja-kannya malam hari dengan didahului ta -hajjud. Yang kerja nggak boleh batalwudhu’ sebelum pasang welulang (ku-lit). Kalau kentut wudhu lagi.

Kenapa?Karena ini bukan untuk pameran, mela-inkan untuk memanggil umat mengha-dap Allah SWT. Jadi bukan sekedar bi-kin. Kita juga berdoa agar bedug inibermanfaat dan menggugah semangatumat untuk beribadah, karena ini salahsatu alat memanggil atau syiar untukmereka.

Kulit bedug dari hewan apa?Sapi carol. Itu sapi yang tidak ada pu-nuknya. Kelebihannya kulit sapi itu ka-lau ditarik lebih rata. Saya biasanya pe-

san dua tahun sebelum disembelih.Harga sapi itu rata-rata Rp 20 juta.

Bagaimana dengan rangkanya?Rangkanya kita pakai kayu Waru. Kare-na selain Waru, itu kalau di-bengkung-kan (dibengkokkan, red) akan patah. Ki-ta pernah mencoba kayu Nangka, La-ban, dan sebagainya, itu lurus saja dantidak bisa dibikin pinggul. Kayu Jati ju-ga tidak bagus. Hanya saja, pakai Waruini kita tidak bisa pakai satu batang.Namun hasilnya anggun karena adapinggulnya. Saya biasanya mencari ka-yu Waru seperti itu berbulan-bulan, danmenemukannya di tempat-tempat yangangker. Saya ijin kepada masyarakatsekitar untuk menebangnya.

Berapa besar bedug yang pernah Andabuat?Beduk terbesar buatan saya diametermukanya 315 cm. Ada juga Bedug Wu-lung Mangunsari yang diameter mukadan belakangnya 203 cm. Namanyakhas Banyumas. Nama yang agak ang-ker. Kalau Mangunsari itu dari bahasaArab ma’unatu al-sari, yang artinyapemberian Allah SWT kepada orangyang suka berjalan malam. Bukan jalankaki, melainkan banyak memohon diwaktu malam. Karena orang Jawakangelan (kesulitan, red) nyebut Arab-nya, jadinya Mangunsari.

Berapa bedug yang akan Anda buat?Saya merencanakan bikin sembilan bu-ah. Itu yang besar-besar. Yang kecil-ke-cil kita bikin banyak.

Bedug ini dipakai untuk acara apa saja?Hari raya, Jum’at, muktamar, juga MTQ(Musabaqah Tilawatil Qur’an). Dan su-dah dibawa ke banyak tempat, ke La-ngitan, Kediri, dan sebagainya.

Ada pesan untuk generasi NU?NU itu juga punya jutaan orang ortodok.Juga ada banyak thariqah (lembaga spi-ritual Islam, red). Ini kekayaan NU yangbelum tersentuh. Saya berharap, kita ti-dak meninggalkan tradisi yang sudahdigarap sejak zaman Rasulullah SAW.[]

KH Ahmad Sobri

pir rampung.K reasi unik lainnya adalah mushaf ter-

berat di dunia. Karya ini digagas olehPimpinan Ponpes Al-Ashriyyah NurulIman Parung Bogor Habib Saggaf binMahdi bersama sembilan ulama lainnya.Ketika menulis, mereka harus suci danb e r p u a s a .

Mushaf seberat 1,3 ton yang terbuat

dari lempengan alumunium, itu dibuat se-lama 5 tahun sejak 1985. “Mushaf ini di-buat sebelum adanya Ponpes al-Ashriy-yah Nurul Iman,” ujar Habib kepada NurulHuda Maarif dari the WAHID Institute.

Mushaf berukuran 120 cm x 100 cmitu, setiap juznya membutuhkan 10 lem-pengan. Total 300 lempengan untuk 30juz. “Kita membuat Al-Quran ini, intinya

ingin mencontoh Rasulullah dengan me-ngumpulkan naskah Al-Quran yang ber-serakan,” kata Habib .

Walau menggunakan medium berbe-da, kre a s i - k reasi unik itu dibuat denganalasan hampir sama. Para pembuatnyaingin menyebarkan Islam secara kultural,damai dan tanpa kekerasan.[]

Gamal Ferdhi, Nurul H Maarif

KH Ahmad Sobri dengan bedug raksasanya. Dok.WI/Nurul

WajahIslamDamaidi DindingKanvas Jauhari Abd. Rosyad dengan kaligrafi 'Allah & Muhammad'. Dok.WI/Witjak