template jurnal

15
ORGANISASI KERUANGAN INDUSTRI BUDAYA DI KOTA SURAKARTA PEMBAYUN SEKARINGTYAS PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA, JURUSAN ARSITEKTUR, FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA RIZON PAMARDHI UTOMO PROGRAM STUDI PERENCA NAAN WILAYAH DAN KOTA, JURUSAN ARSITEKTUR, FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA ISTIJABATUL ALIYAH PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA, JURUSAN ARSITEKTUR, FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA Abstract: The city of Surakarta is one of the city's potential to be the center for creative industry development in Indonesia,particularly artsbased creative industrie s and cultural or known by the term cultural industry. Cultural industries can not be separated from the city, especially the spatial dimension of clustering tendency. Creative milieu provides a major role for the cultural industry to experience the agglomeration or clustering into a cluster. Therefore, the need to explore the spatial organization of cultural industries in the city of Surakarta, to determine the impactof spatial interdependence in the activity of creation, production,and commercialization of cultural industries, as well as the relationship that exists between the culture industry with itssupporting infrastructure. Keywords : spatial organization, cultural industries, creative milieu,cluster PENDAHULUAN UNESCO (2008) mendefinisikan industri budaya (cultural industries) sebagai industri yang memproduksi output kreatif dan artistik baik intangible dan tangible, yang memiliki potensi untuk daya kreasi serta pembangkit pendapatan melalui eksploitasi aset budaya dan produksi berbasis pengetahuan barang dan jasa. Industri budaya merupakan tataran upstream dari industri kreatif yang menempatkan inovasi dan kreativitas sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Proses kreatif yang berkembang dalam suatu industri budaya memiliki kaitan erat dengan ruang kota, khususnya dari efek aglomerasi yang ditimbulkan (Cooke dan Lazzeretti, 2007). Creative milieu

Upload: yuniar-irkham-fadlli

Post on 05-Jan-2016

236 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

template contoh jurnal

TRANSCRIPT

Page 1: Template Jurnal

ORGANISASI KERUANGAN INDUSTRI BUDAYA DI KOTA SURAKARTA

PEMBAYUN SEKARINGTYASPROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA,

JURUSAN ARSITEKTUR, FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA

RIZON PAMARDHI UTOMOPROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA,

JURUSAN ARSITEKTUR, FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA

ISTIJABATUL ALIYAHPROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA,

JURUSAN ARSITEKTUR, FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA

Abstract: The city of Surakarta is one of the city's potential to be the center for creative industry development in Indonesia,particularly artsbased creative industries and cultural or known by the term cultural industry. Cultural industries can not be separated from the city, especially the spatial dimension of clustering tendency. Creative milieu provides a major role for the cultural industry to experience the  agglomeration or clustering into a cluster. Therefore, the need to explore the spatial  organization of cultural industries in the city of Surakarta, to determine the impactof spatial interdependence in the activity of creation, production,and commercialization of cultural industries, as well as the relationship that exists between the culture  industry with itssupporting infrastructure.

Keywords : spatial organization, cultural industries, creative milieu,cluster

PENDAHULUANUNESCO (2008) mendefinisikan

industri budaya (cultural industries) sebagai industri yang memproduksi output kreatif dan artistik baik intangible dan tangible, yang memiliki potensi untuk daya kreasi serta pembangkit pendapatan melalui eksploitasi aset budaya dan produksi berbasis pengetahuan barang dan jasa. Industri budaya merupakan tataran upstream dari industri kreatif yang menempatkan inovasi dan kreativitas sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.

Proses kreatif yang berkembang dalam suatu industri budaya memiliki kaitan erat dengan ruang

kota, khususnya dari efek aglomerasi yang ditimbulkan (Cooke dan Lazzeretti, 2007). Creative milieu memberikan peran yang besar bagi industri budaya untuk mengalami aglomerasi atau pengelompokkan menjadi sebuah klaster. Creative milieu adalah sebuah tempat—baik sekelompok bangunan, suatu bagian dari kota, maupun sebuah kota sebagai bagian dari satu kesatuan wilayah—yang mengandung prasyarat yang dibutuhkan untuk membangkitkan aliran ide dan penemuan, dalam hal ini infrastruktur lunak (soft) dan keras (hard) (Landry, 2008). Selain memberi kontribusi langsung di

Page 2: Template Jurnal

Region, Vol .4, No.1, Januari 2011: 1-10

sektor perekonomian, klaster industri budaya juga merupakan sarana city branding yang baik.

Kota Surakarta merupakan salah satu wilayah yang potensial untuk dikembangkan menjadi daerah industri kreatif Indonesia, bersama dengan DKI Jakarta, Denpasar, Bandung, Yogyakarta, Jember dan Batam. Hingga saat ini subesektor industri kreatif yang berpotensi di Kota Surakarta, antara lain adalah subsektor kerajinan, fesyen dan seni pertunjukkan (Depdag, 2010b: 31), yang jika ditinjau dari klasifikasi industri kreatif, ketiga subsektor tersebut termasuk ke dalam golongan industri budaya (Depdag, 2010a).

Dalam rangka mendukung pencitraan Kota Surakarta sebagai kota budaya, maka pengembangan klaster industri kreatif di Kota Surakarta prospektif untuk ditekankan pada subsektor industri budaya, yang dapat menonjolkan keunikan lokal setempat. Pengembangan klaster industri budaya dalam suatu kota, tidak terlepas dari aspek tata ruang. Analisis organisasi keruangan yang terbentuk dari industri budaya yang ada perlu dilakukan sebagai dasar kajian untuk mengetahui karakter keruangan yang terbentuk. Organisasi keruangan adalah konsep wilayah fungsional—suatu area yang didefinisikan oleh aktivitas ekonomi di dalamnya. Organisasi keruangan industri budaya dapat ditinjau melalui struktur dan pola keruangan yang tercipta akibat hubungan interdependensi yang terjadi antar elemen industri budaya maupun dengen infrastruktur keras dan lunak yang menunjang.

Dengan adanya globalisasi yang

membawa kota-kota ke dalam kompetisi ekonomi skala dunia, maka setiap kota akan berusaha memainkan perannya sebagai sentra

komando dan kontrol dari ekonomi global baru, mewujudkan diri sebagai lokasi yang lebih disukai oleh media, aktivitas kreatif, dan pariwisata (Hall dan Pfeiffer, 2000: 114). Maka dalam satu dasawarsa terakhir, sebuah paradigma pembangunan baru muncul, menghubungkan ekonomi dan budaya, mencakup pembangunan perekonomian, kebudayaan, teknologi dan aspek sosial baik pada tingkatan makro dan mikro. Menurut UNESCO (2008), industri budaya merujuk pada industri yang mengkombinasikan kreasi, produksi dan komersialisasi dari konten-konten kreatif yang sifatnya kebudayaan dengan menekankan pada warisan budaya, elemen artistik dan tradisional dari kreativitas manusia. Industri budaya adalah

industri yang memproduksi output kreatif dan artistic baik intangible dan tangible, yang memiliki potensi untuk daya kreasi serta pembangkit pendapatan melalui eksploitasi aset budaya dan produksi berbasis pengetahuan barang dan jasa (baik tradisional maupun kontemporer) (UNESCO, 2008).Istilah industri budaya seringkali

dipertukarkan dengan istilah industri kreatif, namun sebenarnya keduanya memiliki makna yang berbeda. Industri budaya merupakan bagian dari industri kreatif (UNCTAD, 2009). Dimana industri kreatif dapat didefinisikan sebagai lingkaran kreasi, produksi dan distribusi barang dan jasa yang menggunakan kreativitas dan modal intelektual sebagai input primer. UNCTAD (2009) membuat perbedaan antara “aktivitas upstream” (aktivitas kultural tradisional seperti seni pertunjukkan) dan “aktivitas downstream” (lebih dekat pada pasar, seperti periklanan, percetakan dan aktivitas terkait media). Aktivitas

78

Page 3: Template Jurnal

Pembayun Sekaringtyas dkk, Organisasi Keruangan...

“upstream” memiliki nilai komersial di dalam dirinya sendiri, sementara aktivitas “downstream” memberikan nilai komersialnnya secara prinsip dari aplikasinya pada aktivitas ekonomi lain. Dalam hal ini, industri kreatif mencakup gabungan dari aktivitas “upstream” dan “downstream”, sementara industri budaya hanya terdiri dari aktivitas “upstream” saja.

Industri budaya memiliki kecenderungan untuk mengklaster sebagaimana karakter industri lainnya. Klasterisasi tersebut dipengaruhi oleh adanya tendensi aglomerasi ekonomi serta keberadaan creative milieu yang mendorong iklim kreatif. Klaster adalah sekelompok perusahaan dan institusi terkait pada bidang tertentu yang saling berdekatan secara geografis, terhubung oleh adanya persamaan dan hubungan saling melengkapi. Klaster dapat terbentuk karena beberapa faktor, antara lain: konsentrasi tenaga kerja terampil, diversitas produksi, berdekatannya para pemasok spesialis tersedianya fasilitas untuk mendapatkan pengetahuan, dan transfer pengetahuan antar pelaku industri. Satu hal spesifik yang membedakan karakter aglomerasi industri budaya dengan aglomerasi industri pada umumnya adalah unit ekonomi bergabung bersama dengan lingkungan sosial dan perkotaan dalam kombinasi yang sinergis.

Creative milieu adalah suatu karakteristik lingkungan kota yang mendorong aktivitas kultural, sosial, inovasi dan kreativitas, dan kelas kreatif (Landry, 2008). Dengan adanya creative milieu inilah sebuah klaster industri budaya akan dapat berkembang lebih maju. Faktor “soft agglomeration” seperti suasana, serta nilai simbolis dan kualitas tempat dianggap memiliki peran yang vital dalam klaster industri budaya yang semakin kurang

bergantung pada faktor-faktor “hard agglomeration” seperti bahan baku, ketersediaan bahan baku, harga sewa lokasi yang murah.

Dari interdependensi yang terjadi di dalam aktivitas kreasi-produksi-komersialisasi industri budaya, maupun hubungan yang muncul antara industri budaya dengan infrastruktur penunjang, kemudian akan menimbulkan dampak spasial berupa organisasi keruangan tertentu. Organisasi keruangan dapat ditinjau dari struktur dan pola keruangan yang terbentuk. Struktur keruangan industri budaya adalah susunan sistem jaringan antar elemen-elemen yang memiliki hubungan fungsional dalam suatu kesatuan ruang. . Struktur keruangan industri budaya dapat ditinjau dari hubungan horizontal dan vertikal yang terjalin di antara unit-unit produksi industri budaya atau para aktor yang terlibat (Heur, 2009: 1538), serta hubungan penunjang dengan infrastruktur terkait.

Hubungan vertikal terdiri dari titik-titik industri budaya, yang dalam hal ini adalah tempat proses kreasi-produksi-komersialiasi berlangsung yang mana secara fungsional berbeda, namun melakukan kegiatan yang saling melengkapi—sebuah situasi yang seringkali dideskripsikan sebagai sistem produksi dari hubungan input/output. Adapun dimensi horizontal terdiri dari titik-titik yang melakukan kegiatan serupa dan oleh karena itu hubungan yang terjadi bersifat kompetisi, karena keberhasilan dari satu pelaku akan mengorbankan pelaku yang lain. Hubungan penunjang merupakan hubungan yang terjadi antara industri budaya dengan infrastruktur lunak/keras, maupun hubungan yang terjalin di antara infrastruktur lunak/keras tersebut. Hubungan penunjang adalah hubungan yang menguatkan

79

Page 4: Template Jurnal

Region, Vol .4, No.1, Januari 2011: 1-10

pemaknaan kultural, sense of place, aliran pengetahuan, kreativitas dan inovasi yang tidak terkait dengan proses hierarki vertikal maupun horizontal dalam aktivitas ekonomi industri budaya. Hubungan penunjang ini menjadi elemen struktural yang penting dalam mengisi ruang antara unit industri budaya dengan creative milieu.

Pola keruangan industri budaya adalah ekspresi keruangan secara morfologis yang merupakan dampak dari persebaran titik-titik industri budaya. Salah satu pendekatan untuk menganalisis pola keruangan adalah dengan menggunakan teknik tetangga terdekat (nearest-neighbor analysis). Dalam metode ini diterapkan pengukuran jarak terdekat antara sejumlah titik industri budaya dan infrastruktur penunjangnya dalam suatu luasan area tertentu.

Organisasi keruangan tersebut selanjutnya dapat memberikan konsekuensi perencanaan tata ruang. Pentingnya pertumbuhan industri budaya dan kebutuhan akan peremajaan dan inovasi kota membawa kebijakan ekonomi dan budaya pada level yang lebih strategis dalam konteks perencanaan tata ruang (spatial planning). Mommaas (2004: 521) menjabarkan beberapa manfaat dari klaster industri budaya yaitu: pertama, klaster industri budaya diekspektasikan untuk menciptakan sebuah iklim lokal yang menarik bagi pekerja budaya untuk bekerja di dalamnya; sehingga, untuk satu hal, menjaga talenta kreatif bertahan di dalam kota tersebut. Kedua, jika berfungsi dengan baik, klaster industri budaya akan memiliki produk infrastruktural dan simbolis yang lebih luas, yang akan menarik pekerja kreatif lainnya dari berbagai tempat. Manfaat yang lebih langsung, klaster industri budaya dapat berfungsi sebagai ekosistem

yang penuh kepercayaan, inspirasi, pertukaran dan inovasi pengetahuan dalam lingkungan produksi barang dan jasa yang dicirikan oleh tingginya resiko dan ketidakpastian. Selanjutnya, jika sukses, klaster industri budaya dapat menjadi brand, sebuah identitas spasial bagi kota.

METODE PENELITIANDitinjau dari tujuannya,

penelitian ini adalah penelitian eksploratif, yaitu penelitian dengan tujuan untuk menggali dan mengungkap keberadaan organisasi keruangan industri budaya di Kota Surakarta. Penelitian eksploratif merupakan penelitian untuk menggali suatu obyek permasalahan yang belum atau masih sedikit penelitian lain yang telah mengkajinya. Dalam penelitian ini dilakukan proses pemetaan dan pendeskripsian industri budaya serta creative milieu yang ada kemudian dilanjutkan proses analisis struktur dan pola keruangan, lalu diakhiri dengan sintesis mengenai organisasi keruangan industri budaya di Kota Surakarta.

Populasi dalam penelitian ini adalah industri budaya di Kota Surakarta, yang memiliki sifat kategorial berupa subpopulasi-subpopulasi yaitu terdiri dari subsektor fesyen, kerajinan, dan seni pertunjukan; serta memiliki kecenderungan untuk berlokasi pada suatu area geografis tertentu yang saling berdekatan atau menjadi suatu subpopulasi yang mengelompok. Teknik sampling subpopulasi dilakukan dengan metode stratified sampling dan cluster sampling, adapun teknik sampling responden dari subpopulasi dilakukan dengan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Adapun proses pengumpulan data dilakukan baik dengan survey primer maupun survey sekunder, melalui observasi lapangan, wawancara,

80

Page 5: Template Jurnal

Pembayun Sekaringtyas dkk, Organisasi Keruangan...

serta pengumpulan dokumen-dokumen terkait. Data yang didapatkan dari proses survey diolah melalui proses rekapitulasi data. Proses yang dilakukan dalam pengolahan data meliputi pemetaan, pengkodean, dan verifikasi data.

Proses analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini secara berurutan yaitu analisis struktur keruangan industri budaya, kemudian dilanjutkan dengan analisis pola keruangan industri budaya. Struktur keruangan industri budaya di Kota Surakarta dianalisa berdasarkan hubungan horizontal, hubungan vertikal, dan hubungan penunjang yang terjadi antara industri budaya dan infrastruktur keras/lunak. Metode yang digunakan dalam analisis struktur keruangan adalah dalah analisis kualitatif deskriptif.

Metode analisis tetangga terdekat (nearest-neighbor analysis) dipilih sebagai pendekatan yang digunakan untuk menganalisis pola keruangan industri budaya di Kota Surakarta. Metode analisis tetangga terdekat sesuai untuk diterapkan dalam menganalisis karakteristik distribusi spasial bagi masing-masing subsektor industri kreatif di suatu area perkotaan untuk kemudian ditarik pada perspektif yang menyeluruh (Shuangshuang, 2007). Penerapan metode ini yaitu dengan pengukuran jarak terdekat antara sejumlah titik industri budaya dan infrastruktur penunjangnya dalam suatu luasan area tertentu untuk mengetahui apakah jenis pola keruangan apakah mengelompok, acak, atau seragam.

HASIL DAN PEMBAHASANIndustri budaya subsektor

fesyen (batik) menunjukan pola keruangan yang mengelompok secara signifikan di Kecamatan Laweyan dan Kecamatan Pasar Kliwon. Pola tersebut sejalan dengan

struktur keruangan yang menunjukan kecenderungan aglomerasi ekonomi di Kampung Laweyan (Kecamatan Laweyan) dan Kampung Kauman (Kecamatan Pasar Kliwon). Jangkauan hubungan vertikal dilakukan hingga di luar wilayah Kota Surakarta yang dimaksudkan untuk mencapai skala ekonomi. Kecenderungan evolutif yang tetap berakar kuat pada nilai kultural dan tradisi semacam itu merupakan karakteristik utama klaster dewasa (mature cluster) (Kuncoro, 2002: 47). Keberadaan infrastruktur keras berupa bangunan cagar budaya di dalam dan sekitarnya juga turut berperan menguatkan posisi kawasan tersebut sebagai klaster dewasa.

Industri budaya subsektor kerajinan menunjukan struktur keruangan yang cenderung beraglomerasi pada industri blangkon, mebel, warangka keris, kerajinan daur ulang limbah koran, dan sangkar burung. Sedangkan industri kaca hias, keris, gamelan, wayang batik carnival, dan wayang kulit belum menunjukan adanya kecenderungan aglomerasi ekonomi. Jika ditinjau dari pola keruangannya, industri kerajinan di Kota Surakarta secara signifikan membentuk pola seragam di Kecamatan Banjarsari dan pola acak di Kecamatan Serengan.

Di Kecamatan Banjarsari terdapat kelompok pengrajin kerajinan daur ulang limbah koran dan mebel yang secara struktur terpisah dan tidak memiliki keterjalinan dalam suatu creative milieu. Pola distribusi industri mebel yang cenderung teratur merupakan penyumbang pengaruh terbesar dari pola keruangan industri kerajinan yang seragam di wilayah Kecamatan Banjarsari. Sebagai sebuah sentra industri hasil relokasi yang direncanakan oleh pemerintah, titik-titik usaha Pasar Mebel Gilingan

81

Page 6: Template Jurnal

Region, Vol .4, No.1, Januari 2011: 1-10

memiliki keteraturan pola yang disengaja dan cenderung kurang evolutif serta kurang berakar kuat dalam konteks tradisional dan kultural. Sebagaimana yang diutarakan oleh Kuncoro (2002: 47), hal semacam itu adalah karakter yang lazim dijumpai dalam sebuah klaster baru (new cluster).

Sementara di Kecamatan Serengan dapat dijumpai kelompok subsektor industri kerajinan blangkon, mebel, dan warangka keris yang secara struktur keruangan kelompok-kelompok tersebut memiliki kecenderungan aglomerasi ekonomi. Namun, antar kelompok industri yang berlainan tidak terjadi hubungan saling berinterdependensi walaupun berada dalam satu wilayah kecamatan yang sama. Ketiadaan creative milieu di dalam area Kecamatan Serengan juga menjadi penyebab kurangnya kohesi antar kelompok industri tersebut.

Industri budaya subsektor seni pertunjukan di Kota Surakarta memiliki tingkat komersialisasi yang masih terbatas. Akan tetapi Kota Surakarta mempunyai creative milieu yang relatif berlimpah dan menunjang industri seni pertunjukan, baik berupa infrastruktur lunak maupun infrastruktur keras. Secara struktur keruangan, keberadaan creative milieu sangat vital karena sifat seniman dan pekerja kreatif cenderung footloose, lebih condong untuk terhubung pada lokasi yang memiliki prasyarat creative milieu yang kental.

Dari 8 lokasi creative milieu yang dominan di Kota Surakarta, yaitu (1) kawasan budaya Keraton Kasunanan Surakarta dan sekitarnya hingga Pasar Gede Hardjonagoro; (2) kawasan Keraton Mangkunegaran dan sekitarnya; (3) kawasan Taman Sriwedari dan sekitarnya; (4) kawasan permukiman Kampung Batik Laweyan; (5) kawasan Taman Budaya Jawa Tengah, UNS, dan ISI

Surakarta; (6) Taman Balekambang; (7) SMK 8 Surakarta; dan (8) RRI Surakarta, tiga di antaranya termasuk berada dalam area pusat kota, yaitu Taman Sriwedari, kawasan Keraton Mangkunegaran dan kawasan budaya Keraton Kasunanan Surakarta hingga Pasar Gede Hardjonagoro. Menurut Landry (2008: 120), area pusat kota potensial untuk merepresentasikan komunalitas serta menjadi ‘teritori netral’ yang dapat menstimulasi inklusi sosial dan ide-ide kreatif dari segala lapisan masyarakat. Dengan demikian, area pusat kota adalah lokasi kunci dari ranah publik Kota Surakarta, karena selain adanya dominansi creative mileu, banyak fasilitas publik perkotaan juga teraglomerasi disana.

Dalam banyak kajian tentang potensi urban, istilah “sentra” seringkali diasosiasikan dengan klasterisasi (Landry, 2008: xli). Klasterisasi talenta kreatif, keterampilan dan infrastruktur penunjang yang terwujud dalam klaster industri budaya merupakan hal krusial dalam pengembangan ekonomi kreatif. Sebagaimana halnya klaster ekonomi lainnya, klaster industri budaya berperan untuk melejitkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, klaster industri budaya mampu menciptakan sebuah iklim lokal yang menarik bagi pekerja kreatif untuk bekerja di dalamnya; sehingga eksistensinya dapat menjaga talenta kreatif bertahan di dalam Kota Surakarta sekaligus menarik pekerja kreatif lainnya dari berbagai tempat. Klaster industri budaya juga dapat berfungsi menciptakan ekosistem yang penuh kepercayaan dan inspirasi, serta mendorong pertukaran dan inovasi pengetahuan dalam lingkungan produksi barang dan jasa yang dicirikan oleh tingginya resiko dan ketidakpastian. Selanjutnya, klaster industri budaya dapat menjadi place

82

Page 7: Template Jurnal

Pembayun Sekaringtyas dkk, Organisasi Keruangan...

branding yang bermanfaat dalam pemasaran Kota Surakarta di tengah kompetisi global kota-kota dunia.

Potensi klasterisasi industri budaya di Kota Surakarta dapat ditentukan berdasarkan kecenderungan aglomerasi ekonomi di masing-masing klaster. Kecenderungan aglomerasi ekonomi tersebut ditinjau dari beberapa teori yaitu hubungan horizontal dan vertikal yang terjadi di dalamnya (Heur, 2009), keterkaitan dengan creative milieu (Landry, 2008), kedekatan jarak (Porter, 2000), dan ragam industri dalam satu area (Jacobs, 1969). Dari organisasi keruangan ketiga subsektor industri budaya di Kota Surakarta menunjukan bahwa 7 kawasan pada 5 kecamatan di Kota Surakarta memiliki potensi menjadi klaster industri budaya (tabel 1 dan gambar 1).

Tabel 1. Potensi Klasterisasi Industri Budaya di Kota Surakarta

Keca

matan

Klasteri

sasiKeterangan

Banjarsari Klaster industri mebel

Merupakan “klaster baru”. Memiliki kecenderungan aglomerasi ekonomi berupa kedekatan lokasi masing-masing unit usaha, hubungan vertikal dan horizontal di dalam satu area, dan berada dalam satu naungan struktur kelembagaan (Paguyuban Pasar Mebel Gilingan).

Klaster kerajinan daur ulang limbah koran

Ada kecenderungan aglomerasi ekonomi berupa kedekatan lokasi masing-masing unit usaha, transfer pengetahuan, hubungan vertikal dan horizontal di dalam satu area, dan berada dalam satu naungan struktur kelembagaan (Paguyuban Bina Usaha Mandiri).

Jebres Klaster industri sangkar burung

Ada kecenderungan aglomerasi ekonomi berupa kedekatan lokasi masing-masing unit usaha, transfer pengetahuan, hubungan vertikal dan horizontal di dalam satu area, dan berada dalam satu naungan struktur kelembagaan (Paguyuban

Keca

matan

Klasteri

sasiKeterangan

Sangkar Manunggal). Selain itu kelompok pengrajin sangkar burung juga memiliki infrastruktur lunak berupa komunitas budaya.

Laweyan Klaster industri kerajinan dan batik

Merupakan “klaster dewasa” yang mendapatkan keuntungan aglomerasi dari kedekatan lokasi masing-masing unit usaha, transfer pengetahuan, hubungan vertikal dan horizontal di dalam satu area, berada dalam satu naungan struktur kelembagaan (Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan), dan adanya keanekaragaman produk (fesyen dan mebel batik). Kawasan ini memiliki creative milieu berupa kawasan warisan pusaka dan sejumlah infrastruktur lunak penunjang.

Serengan

Klaster industri batik dan kerajinan

Terdiri dari industri batik, kerajinan blangkon, warangka keris, dan wayang batik carnival. Kecenderungan aglomerasi ekonomi tampak dalam kelompok industri kerajinan mebel dan warangka keris. Adapun antar industri yang berbeda belum terdapat interrelasi yang signifikan, namun kedekatan lokasi dan keanekaragaman industri potensial mengalami klasterisasi.

Klaster industri mebel

Ada kecenderungan aglomerasi ekonomi berupa kedekatan lokasi masing-masing unit usaha, transfer pengetahuan, dan hubungan vertikal dan horizontal di dalam satu area.

Pasar Kliwon

Klaster industri batik dan kerajinan

Meliputi Kelurahan Kauman dan creative milieu kawasan budaya Keraton Kasunanan Surakarta. Keuntungan aglomerasi didapatkan dari kedekatan lokasi masing-masing unit usaha, transfer pengetahuan, hubungan vertikal dan horizontal di dalam satu area dan adanya struktur kelembagaan yang menaungi. Industri terdiri dari fesyen batik, kerajinan gamelan dan wayang kulit. Industri batik di Kelurahan Kauman dinaungi oleh Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, sedangkan kerajinan gamelan dan wayang kulit memiliki afiliasi dengan keraton.

Sumber: Hasil analisis penulis, 2010

83

Page 8: Template Jurnal

Region, Vol .4, No.1, Januari 2011: 1-10

KESIMPULANGagasan mengenai

pengembangan klaster industri budaya untuk memajukan pembangunan ekonomi dan regenerasi kota merupakan suatu strategi yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan tata ruang Kota Surakarta. Lokasi klaster industri budaya yang potensial di Kota Surakarta dapat menjadi aset bagi pengembangan ekonomi kreatif serta place branding. Pengembangan klaster industri budaya juga mampu untuk menghubungkan berbagai isu urban seperti daya saing ekonomi lokal, sustainabilitas, dan pemberdayaan masyarakat.

Keberadaan industri budaya dalam ruang kota bukanlah sebuah kebetulan yang acak atau hanya didorong oleh kekuatan ekonomi semata. Oleh karena itu, untuk mendorong terbentuknya klaster industri budaya yang mapan, diperlukan upaya untuk menstimulasi terciptanya creative milieu pada tiap-tiap klaster yang potensial. Infrastruktur keras dan lunak dapat mengisi, memerantarai, dan menguatkan kohesi antar kelompok-kelompok industri eksisting, serta memacu pertumbuhan unit-unit industri kreatif baru. Selain itu, dalam memformulasikan strategi pengembangan klaster industri budaya di Kota Surakarta, perencana perlu menempatkan infrastruktur lunak dan keras dalam posisi yang sederajat. Kombinasi infrastruktur penunjang yang tepat akan mendukung keberlanjutan klaster industri budaya dalam jangka panjang.

Industri budaya di Kota Surakarta yang tersusun dari unit-unit usaha kecil dan mikro serta individu-individu kreatif seperti seniman dan

84

Page 9: Template Jurnal

Pembayun Sekaringtyas dkk, Organisasi Keruangan...

budayawan yang menciptakan nilai ekonomi dengan berkesenian atau berketerampilan, selanjutnya perlu disinergikan dalam satu jalinan klaster industri budaya yang terpadu dan terintegrasi dengan creative milieu secara menyeluruh. Creative milieu di kawasan pusat kota Surakarta dapat difungsikan sebagai lokasi sentral dan meeting-point bagi jalinan klaster-klaster industri budaya. Dengan demikian dapat tercipta hubungan (linkage) antara industri budaya dan creative milieu menjadi satu kesatuan simpul-simpul pusat kegiatan kreatif (creative hubs) yang utuh. Konstelasi dari pusat-pusat kegiatan kreatif dimana berbagai produksi budaya berakar dan tumbuh tersebut memiliki peran vital dalam menguatkan identitas Kota Surakarta sebagai kota budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Cooke, Philip dan Morgan, K. 1994. “The Creative Milieu: A Regional Perspectives on Innovation.” Dalam Dodgson, M. dan Rothwell, R. (ed). The Handbook of Industrial Innovation. Aldershot: Edgar.

Cooke, Philip dan Lazzeretti, L. (ed). 2007. Creative Cities, Cultural Clusters and Local Economic Development. Cheltenham: Edward Elgar.

Departemen Perdagangan RI (Depdag). 2010a. “Klasifikasi Industri Kreatif.” (http://www.indonesiakreatif.net/tentang-ekonomi-kreatif/industri-kreatif/klasifikasi-subsektor/ diakses 13 Januari 2010, 19:30 WIB)

Departemen Perdagangan RI (Depdag). 2010b. “Pemutakhiran Pemetaan Industri Kreatif Indonesia Tahun 2009.” (http://portal.indonesiakreatif.net

/upload/File/ diakses 7 Juli 2010, 09:37 WIB)

Hall, Peter dan Pfeiffer, U. (ed). 2000. Urban Future 21: A Global Agenda for Twenty-First Century Cities. Berlin: Ministry of Transport, Building and Housing of the Federal Republic Germany.

Heur, Bas van. 2009. “The Clustering of Creative Networks: Between Myth and Reality.” Urban Studies 46 (8), 1531-1552.

Jacobs, Jane. 1969. The Economy of Cities. New York: Vintage.

Kuncoro, Mudrajad. 2002. Analisa Spasial dan Regional: Aglomerasi & Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Landry, Charles. 2008. The Creative City: A Toolkit for Urban Innovators (2nd edition). London: Earthscan.

Mommass, Hans. 2004. “Cultural Cluster and The Post Industrial City: Towards The Remapping of Urban Cultural Policy.” Urban Studies 41 (3): 507-532.

Porter, Michael. 2000. “Location, Competition and Economic Development: Local Clusters in a Global Economy.” Economic Development Quarterly 14 (1): 15-34.

Shuangshuang, Tang. “Creative Industry Cluster in Shanghai: Spatial Distribution and Cause Analysis.” Disampaikan pada International Conference on China’s Urban Transition and City Planning, University of Cardiff, Wales, UK, 29 Juni 2007.

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). 2009. Economy Creative Report 2008. Geneva: United Nations.

United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). 2008. “Understanding Creative Industries: Cultural Indstries Statistics for Public-Policy Making.” (http://portal.unesco.org/culture/.../cult

85

Page 10: Template Jurnal

Region, Vol .4, No.1, Januari 2011: 1-10

ural_stat_EN.pdf diakses 5 Oktober 2009, 17:41 WIB)

LAMPIRAN

86

Page 11: Template Jurnal

Pembayun Sekaringtyas dkk, Organisasi Keruangan...

87