teknik kimia

25
Perbandingan Beberapa Metoda Praktis Polimerisasi Hamidah Harahap Renita Manurung Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara 1. POLIMERISASI CURAH (BULK POLYMERIZATION) Cara yang langsung dan paling sederhana untuk mengubah monomer menjadi polimer adalah polimerisasi curah (bulk), atau polimerisasi massa (mass polymerization). Biasanya umpan untuk proses ini terdiri dari monomer, sejenis inisiator yang dapat larut dalam monomer, dan suatu agen pemindah rantai (chain- transfer agent). Gambar Diagram Proses Polimerisasi Metil Metakrilat dengan Benzoil Peroksida Pada Temperatur 50°C dan Berbagai Konsentrasi Monomer di Dalam Benzen Beberapa parsoalan serius dapat timbul dalam polimerisasi curah ini, terutama bila melibatkan radikal bebas (free radical bulk polymerization). Salah satu persoalan tersebut ditunjukkan pada gambar di atas yang memperlihatkan peristiwa polimerisasi

Upload: khairunnisaicha

Post on 27-Oct-2015

22 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Perbandingan Beberapa Metoda Praktis Polimerisasi

Hamidah Harahap

Renita Manurung

Program Studi Teknik Kimia

Fakultas Teknik

Universitas Sumatera Utara

1. POLIMERISASI CURAH (BULK POLYMERIZATION)

Cara yang langsung dan paling sederhana untuk mengubah monomer menjadi

polimer adalah polimerisasi curah (bulk), atau polimerisasi massa (mass

polymerization). Biasanya umpan untuk proses ini terdiri dari monomer, sejenis

inisiator yang dapat larut dalam monomer, dan suatu agen pemindah rantai (chain-

transfer agent).

Gambar Diagram Proses Polimerisasi Metil Metakrilat dengan Benzoil Peroksida Pada

Temperatur 50C dan Berbagai Konsentrasi Monomer di Dalam Benzen

Beberapa parsoalan serius dapat timbul dalam polimerisasi curah ini, terutama

bila melibatkan radikal bebas (free radical bulk polymerization). Salah satu persoalan

tersebut ditunjukkan pada gambar di atas yang memperlihatkan peristiwa polimerisasi

matil matakrilat (Lucite, Plexiglass, Perspex) dengan konsentrasi yang bervariasi, di

dalam benzen yang merupakan pelarut inert. Reaksi dipertahankan pada temperatur

tetap. Pada konsentrasi monomer yang lebih tinggi, laju polimerisasi mengalami

percepatan yang berbeda, yang tidak sesuai dengan pola kinetik klasik. Fenomena ini

dikenal dengan berbagai istilah : autoacceleration, efek gel (gel effect), atau efek

Tromsdorff.

Alasan-alasan yang menjelaskan gejala di atas berkaitan dengan perbedaan

antara tahap propagasi dan tahap terminasi, serta larutan polimer kental yang memiliki

viskositas sangat tinggi (misalnya 106 poise). Pada tahap propagasi sebuah molekul

monomer yang kecil dan suatu ujung rantai polimer yang sedang tumbuh saling

mendekat dan kemudian bergabung, sedangkan pada tahap terminasi ujung-ujung dua

buah rantai yang sedang tumbuh saling bergabung. Pada konsentrasi polimer yang

tinggi, ujung-ujung rantai polimer yang sedang tumbuh akan sangat sulit menyeret

rantainya melalui massa perintang (entangled mass) berupa rantai-rantai polimer yang

sudah selesai tumbuh (dead polymer chains) jauh melebihi kesulitan yang dialami

1

e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara

sebuah molekul monomer sewaktu melewati campuran reaksi. Jadi, laju reaksi

terminasi dibatasi bukan oleh sifat dasar reaksi kimianya melainkan oleh laju difusi

dari reaktan yang akan bereaksi, dengan demikian proses ini dikendalikan oleh

peristiwa ditusi (diffusion controned). Pada konsentrasi polimer yang sangat tinggi

dan temperatur yang lebih rendah ketimbang temperatur pada saat rantai polimer

menjadi immobile (Tg), tahap propagasi juga dikendalikan oleh peristiwa difusi,

hingga grafik konversi terhadap waktu menjadi datar.

Persoalan-persoalan di atas makin dipersulit oleh sifat inheren dari campuran

reaksi. Monomer-monomer vinyl memiliki panas polimerisasi eksotermis yang agak

tinggi, biasanya antara -10 kcal/gmol dan -12 kcal/mol. Sistem-sistem organik juga

memiliki kapasitas panas dan konduktifrtas termal yang rendah, yaitu sekitar setengah

dari sistem encer. Persoalan paling besar adalah, viskositas yang sangat tinggi

menyebabkan perpindahan panas konveksi tidak efektif. Akibat dari semua itu,

koefisien pindah panas keseluruhan (overall heat-transfer coefficients) biasanya

kurang dari 1 Btu/jam-ft2 0F, sehingga sulit untuk memindahkan panas yang

dihasilkan reaksi. Hal ini menyebabkan kenaikan temperatur dan selanjutnya kenaikan

laju reaksi serta peningkatan panas, yang pada akhirnya dapat menimbulkan bencana.

Sekedar mengutip pernyataan Schildknecht tentang polimerisasi curah berskala

laboratorium : "Jika suatu polimerisasi curah dari monomer yang reaktif ingin

dilaksanakan secara cepat dan sempurna, peneliti harus bersiap-siap kehilangan

peralatannya, polimernya, atau bahkan dirinya sendiri".

lIIustrasi: Kenaikan temperatur maksimum yang mungkin dalam polimerisasi batch

dapat dihitung atas dasar asumsi tidak ada panas yang dipindahkan dari sistem, atau

kenaikan temperatur terjadi secara adiabatik. Perkiraan kenaikan temperatur adiabatik

untuk polimerisasi curah dari stiren, Hp = -16,4 kkal/gmol, berat molekul = 104.

Analisa : Polimerisasi 1 mol stiren melepaskan 16,400 cal (asumsi konversi

sempurna). Tanpa perpindahan panas, seluruh energi akan digunakan untuk

memanaskan campuran reaksi. Kapasitas panas senyawa-senyawa organik seringkali

sulit ditentukan, dan karena massa reaksi sedang berubah dari monomer menjadi

polimer yang secara umum memiliki perbedaan kapasitas panas, kapasitas panas

massa reaksi berubah dengan konversi dan mungkin juga dengan temperatur. Sebagai

pendekatan, kapasitas panas sebagian besar sistem organik cair dapat dianggap

sebesar 0,5 cal/g0C sehingga:

16.400

315C

Tmaks =

(104)(0,5)

Perlu diingat bahwa titik didih normal stiren adalah 146C.

Masalah-masalah yang disebutkan di atas dapat dielakkan dengan beberapa cara :

a. Paling tidak satu dimensi dari massa reaksi harus kecil, sehingga panas dapat

dikonduksikan keluar. Lembaran-lembaran polimetilmetakrilat dicetak, di antara

lempengan gelas, pada ketebalan maksimum sekitar 1 inci.

b. Laju reaksi diusahakan serendah mungkin dengan memilih temperatur dan

konsentrasi inisiator yang rendah. Pendekatan ini sebenarnya tidak

menguntungkan secara ekonomis.

c. Penggunaan sirup, bukan monomer murni. Sirup yang dimaksud adalah larutan

polimer dalam monomer. Sirup dapat dibuat dengan dua cara : (1) dengan

membiarkan monomer mengalami konversi parsial dalam sebuah ketal, atau (2)

2

e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara

dengan melarutkan polimer yangn belum dicetak ke dalam monomernya. Dengan

penggunaan sirup, seolah-olah sebagian konversi sudah dilaksanakan sehingga

sebagian pembangkitan panas terpotong dan konsentrasi monomer sisa pada akhir

polimerisasipun menjadi lebih rendah. Densitas suatu massa reaksi meningkat

dengan orde 10 - 20% pada selang konversi polimerisasi 0% - 100 %, sehingga

penggunaan sirup memberikan keuntungan lain yaitu mengurangi pengerutan

(shrinkage) yang dapat terjadi pada saat pencetakan polimer.

d. Pelaksanaan reaksi secara kontinu, dengan permukaan pindah panas per unit

konversi yang luas.

Polimerisasi curah pada umumnya digunakan untuk memperoleh benda-benda

dengan bentuk yang diinginkan dengan melaksanakan polimerisasi langsung dalam

cetakan. Beberapa contoh misalnya pengecoran, potting, dan pengkapsulan

(encapsulation) komponen-komponen elektrik dan pengresapan (impregnation)

bahan-bahan penguat (reinforcing agents) yang dilakukan dengan polimerisasi.

Polimerisasi ini juga digunakan secara luas untuk memproduksi resin-resin

termosetting, yang dilaksanakan sampai suatu tingkat konversi mendekati titik gel

(gel point) dalam reaktor. Proses sambung-silang (crosslinking) berlanjut sampai

selesai di dalam cetakan.

Polimerisasi curah kontinu menjadi makin penting dalam produksi senyawa-

senyawa bahan cetak yang termoplastik. Suatu proses curah sinambung ditunjukkan

oleh gambar di bawah ini.

Gambar Diagram Proses Polimerisasi Curah dari Stiren

Konversi dilaksanakan sampai 40% deism suatu tangki berpengaduk. Massa

reaksi kernudian dilewatkan menuruni suatu menara dengan temperatur yang

meningkat, untuk menjaga viskositas pad a tingkat yang maish dapat dikendalikan den

untuk memperbesar konversi. Menara tersebut dapat berupa kolom sederhana yang

memanfaatkan gravitasi untuk mengalirkan campuran reaksi, atau dapat juga

dilengkapi dengan bilah-bilah spiral yang berputar pelan mengeruk dinding menara

sehingga membantu terjadinya peerpindahan panas den mendorong massa reaksi ke

bawah. Massa reaksi diumpankan dari menara ke suatu ekstruder pada konversi yang

lebih besar dari 95%. Konversi tambahan terjadi dalam ekstruder, dan suatu sistem

vakum menghisap keluar mpnomer tak bereaksi yang dapat didaur ulang. Helaian

polomer leleh yang keluar dan ekstruder lalu didinginkan dengan air, dipotong-potong

3

e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara

menjadi pelet kasar berukuran 1/8 x 1/8 x 1/8 inci dan kemudian dijual kepada

pemroses lanjut sebagai "bubuk" bahan cetakan (molding powder). Lembaran-

lembaran (sheets) juga dicetak secara kontinu dari sirup di antara ban beralan yang

dibuat dari lembaran logam.

Keunggulan polimerisasi curah :

1. Karena hanya melibatkan monomer, inisiator, den mungkin bahan pemindah

rantai (chain-transfer agents), dengan polimerisasi ini dapat diperoleh polimer

semumi mungkin. Hal ini penting dalam aplikasi di bidang listrik dan optik.

2. Berbagai benda langsung dapat dicetak sebaik mungkin. Proses ini merupakan

satu-satunya cara mendapatkan benda-benda cetakan seperti itu tanpa berbagai

perlakuan terhadap bahan yang lebih besar.

3. Polimerisasi curah memberikan yield per volum reaktor paling besar.

Kekurangan polimerisasi curah hujan antara lain:

1. Seringkali sulit dikendalikan.

2. Untuk mengendalikannya, proses harus dilaksanakan perlahan, yang secara

ekonomis jelas tidak menguntungkan.

3. Sulit mendapatkan sekaligus laju dan panjang rata-rata rantai yang tinggi karena

efek-efek penghambat dari konsentrasi inisiator.

4. Akan sulit untuk menghilangkan sisa monomer yang tidak bereaksi. Hal ini akan

sangat penting, misalnya, jika polimer yang dihasilkan akan digunakan dalam

proses-proses yang melibatkan persentuhannya dengan makanan.

Sebagian besar polimerisasi curah dilaksanakan secara homogen. Tetapi jika

polimer yang dihasilkan tidak larut dalam monomernya, dan mengendap pada saat

reaksi berlangsung, proses tersebut kadang-kadang disebut sebagai polimerisasi curah

heterogen (heterogeneous bulk) atau polimerisasi pengendapan (precipitation

polymerization). Dua contoh polimerisasi semacam itu misalnya polyakrilonitril dan

polyvinyl chlorida (PVC). PVC diproduksi secara komersial dengan proses curah

heterogen, yang memungkinkan pengontrolan ukuran partikel dan porositas untuk

absorpsi plasticizer yang dapat digolongkan dalam kategori ini pula.

2. POLIMERISASI LARUTAN

Penambahan pelarut inert pada polimerisasi curah mengurangi berbagai

persoalan yang timbul dalam sistem tersebut. Hal itu mengurangi kecenderungan

autoacceleration pada adisi radikal babas. Pengencer inert meningkatkan kapasitas

panas campuran reaksi tanpa memberikan kontribusi pada pembangkitan panas, dan

juga mengurangi viskositas massa reaksi pada konversi tertentu. Selain itu, panas

polimerisasi dapat dihilangkan secara mudah dan efisien dengan merefluks pelarut

tersebut. Jadi, bahaya akibat reaksi yang berlebihan dapat dihindari.

Illustrasi : Perkirakan kenaikan temperatur adiabatik untuk polimerisasi larutan 20%

berat stiren dalam suatu palarut organik inert.

Penyelesaian : Dalam 100 g. massa reaksi, terdapat 20 g. stiren, sehingga energi yang

dibebaskan pada saat stiren terkonversi sempurna menjadi polimer adalah :

20 x 16.400/104 = 3150 cal.

4

e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara

Kenaikan temperatur adiabatik adalah :

Tmaks = 3150/(0,5 x 100) = 630C

Keunggulan polimerisasi larutan antara lain:

1. Pengendalian dan pemindahan panas lebih mudah.

2. Perancangan sistem reaktor akan lebih mudah, karena reaksi-reaksi yang terjadi

mengikuti hubungan-hubungan kinetika yang telah dikenal.

3. Larutan polimer yang diinginkan, untuk beberapa aplikasi tertentu, misalnya

pernis, dapat langsung diperoleh dari reaktor.

Kekurangan polimerisasi larutan antara lain:

1. Penggunaan pelarut akan menurunkan laju reaksi dan panjang rata-rata rantai,

karena laju dan sekaligus panjang rata-rata rantai polimer sebanding dengan [M]

(dalam adisi radikal bebas). Penurunan Xn juga akan terjadi jika pelarut berperan

sebagai bahan pemindah rantai (chaian-transfer agent).

2. Pelarut yang mahal, mudah terbakar, bahkan mungkin juga beracun, diperlukan

dalam jumlah besar.

3. Pemisahan polimer dan recovery pelarut memerlukan teknologi ekstra.

4. Pemisahan sisa pelarut den monomer mungkin akan sulit dilakukan.

5. Penggunaan pelarut inert dalam massa reaksi megurangi yield per volum reaktor.

Polimerisasi ionik merupakan proses larutan yang agak eksklusif. Sebagian

besar polimerisasi Zeigler - Natta juga merupakan proses larutan, meskipun beberapa

di antaranya dilaksanakan tanpa pelarut. Gambar berikut melukiskan sebuah proses

tipikal yang memanfaatkan suatu sistem katalis Zeigler - Natta.

Gambar Diagram Proses Polimerisasi

Pemindahan panas dari reaktor dapat ditakukan dengan merefluks pelarut,

menggunakan jaket-jaket pendingin atau dengan alat pemindah panas eksternal, atau

kombinasi dari berbagai cara tersebut. Bila produk yang diinginkan merupakan suatu

polimer kristalin, reaksi dapat dilaksanakan pada temperatur yang cukup rendah

sedemikian rupa sehingga polimer langsung mengendap saat terbentuk menghasilkan

slurry, bukan suatu larutan homagen. Katalis biasanya dideaktifasi menggunakan

metanol atau asam kemudian disaring, disentrifugasi, atau diendapkan. Namun

demikian, perkembangan akhir-akhir ini lebih ditekankan pada peningkatan yield

katalis (gram polimer yang dihasilkan per gram katalis) sehingga tahap deaktifasi

5

e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara

katalis yang sulit dan mahal tersebut dapat dihilangkan. Recovery pelarut dan

monomer yang tak bereaksi dilakukan pada proses stripping menggunakan air panas

dan kukus (steam), menyisakan slurry polimer yang kemudian dikeringkan sehingga

berbentuk "remah-remah". Bila bahan berupa karet, remah-remah itu dipadatkan lalu

digulung, sedangkan bahan plastik biasanya dicetak dalam bentuk pelet. Desain

reaktor untuk proses-proses baru dilaksanakan secara kontinu.

3. POLIKONDENSASI

ANTAR-MUKA

(INTERFACIAL

POLYCONDENSATION)

Salah satu variasi dari polimerisasi larutan dikenal sebagai polikondensasi

antar-muka, dan telah digunakan dalam laboratorium sejak lama, dan belakangan juga

diterapkan untuk keperluan komersial. Salah satu monomer dari suatu pasangan

kondensasi dilarutkan dalam suatu cairan, sedang monomer pasangannya dilarutkan

dalam cairan yang lain. Kedua pelarut itu tidak saling larut. Polimer yang terbentuk

tidak larut pula dalam kedua cairan tersebut, dan terbentuk di daerah antar-muka dari

keduanya. Salah satu fasa biasanya juga dibubuhi bahan yang dapat bereaksi dengan

molekul kondensasi untuk mendorong reaksi mencapai kesempurnaan. Salah satu

contoh proses seperti itu adalah pembuatan nilon 6/10 dari heksametilen diamin dan

sebacoyl chlorida (bentuk khlorida asam dari asam sebacic).

Asam klorida dilarutkan, misalnya dalam CCl4, dan diamin dilarutkan di

dalam air, bersama-sama dengan sejumlah NaOH untuk mengambil HCl. Dalam suatu

demonstrasi, lapisan cair perlahan diapungkan di atas lapisan organik dalam sebuah

gelas kimia. Reaktan berdifusi ke bidang antar-muka, kemudian bereaksi dengan

sangat cepat membentuk film polimer. Polimer dapat ditarik dan bidang antar-muka

dengan sangat hati-hati dalam bentuk helaian kopong yang mengandung sejumlah

besar cairan. Polimer baru akan terbentuk di bidang antar-muka menggantikan

polimer yang telah diambil. Secara komersial akan lebih mudah jika kedua fasa

diaduk.

Salah satu keuntungan dari teknik ini adalah reaksi-reaksinya berlangsung

sangat cepat pada temperatur ruang dan tekanan atmosfir, berlawanan dengan

polikondensasi yang pada umumnya harus dilaksanakan dalam jangka waktu lama,

temperatur tinggi, dan tekanan vakum. Perbedaan ini seimbang dengan biaya untuk

penyediaan monomer khusus, seperti asam khlorida di atas, dan kebutuhan untuk

pemisahan dan daur ulang pelarut serta monomer yang tak bereaksi.

4.

POLIMERISASI SUSPENSI, MANIK-MANIK ATAU MUTIARA

(SUSPENSION, BEAD, OR PEARL POLIMERIZATION)

Pada saat membahas polimerisasi curah, dijelaskan bahwa salah satu cara

memudahkan pemindahan panas adalah dengan memilih salah satu dimensi massa

reaksi yang kecil. Hal ini dilakukan dalam polimerisasi suspensi sampai tingkat

ekstrem yang masih masuk akal, dengan jalan membuat suspensi monomer dalam

bentuk tetesan berdiameter 0,01 sampai 1 mm di dalam cairan bukan pelarut yang

inert (hampir selalu digunakan air). Dengan cara ini setiap tetesan berperan sebagai

satu reaktor curah tetapi dengan dimensi yang sangat kecil sehingga pemindahan

6

e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara

panas tidak menjadi mesalah dan panas dapat disingkirkan dari medium suspensi inert

yang memiliki viskositas rendah.

Karakteristik penting dari sistem ini adalah, suspensi yang terbentuk tidak

stabil secara termodinamik dan harus dijaga dengan pengadukan dan dengan

menambahkan bahan pensuspensi. Umpan yang biasa digunakan dapat terdiri dari:

Dalam proses ini digunakan dua jenis bahan pensuspensi. Suatu keloid

pelindung (protective colloid) merupakan polimer yang larut dalam air dan berfungsi

meningkatkan viskositas fasa air (continuous water phase). Koloid ini secara

hidrodinamika menghalangi penggabungan tetesan monomer; tetapi bersifat inert

terhadap reaksi polimerisasi. Garam anorganik halus seperti MgCO3 juga digunakan.

Garam ini akan terkumpul pada bidang antar-muka tetesan monomer-air karena

pengaruh tegangan permukaan, dan mencegah penggabungan tetesan yang dapat

terjadi akibat tumbukan. Untuk menjaga kestabilan sistem, kadang-kadang juga

digunakan suatu larutan penyangga pH (buffer).

Fasa monomer tersuspensi di dalam air pada perbandingan volum sekitar %

monomer/air. Reaktor dibersihkan (purge) dengan nitrogen kemudian dipanaskan

untuk memulai reaksi. Pada reaksi berlangsung pengendalian temperatur dalam

reaktor dimudahkan dengan tambahan kapasitas panas dari air, dan viskositas massa

reaksi yang rendah - terutama fasa yang kontinu yang memungkinkan pemindahan

panas melalui suatu jaket.

Ukuran manik-manik tergantung pada tingkat pengadukan, sifat dasar

monomer, dan sistem suspensi. Pada saat konversi 20% -70% , pengadukan menjadi

sangat panting. Pada saat konversi di bawah 20% fasa organik masih cukup cair untuk

kembali terdispersi, den diatas 70%, partikel-partikel menjadi cukup kaku sehingga

dapat mencegah penggumpalan, tetapi jika pengadukan terhenti atau berkurang

diantara kedua batas konversi itu, partikel-partikel yang lengket akan bergabung atau

menggumpal menjadi gumpalan massa yang cukup besar dan manik-manik yang

terbentuk pun akan lebih besar. Lagi-lagi menurut Schildknecht, "Suatu polimerisasi

yang tak terkendali dan menghasilkan gumpalan polimer yang besar seperti itu,

mungkin memerlukan bor bertekanan udara atau alat pertambangan yang lain untuk

menyelamatkan peralatan polimerisasi".

Oleh karena hampir semua sistem aliran memiliki ruang stagnan yang relatif

lebih banyak, sehingga pelaksanaan polimerisasi suspensi secara kontinu menjadi

tidak praktis. Reaktor-reaktor yang digunakan biasanya dilengkapi dengan jaket, dan

merupakan ketel baja bahan karat yang berkapasitas sampai 30.000 galon. Manik-

manik polimer disaring dan disentrifugasi dan dicuci dengan air untuk menghilangkan

7

e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara

keloid pelindung atau dibilas dengan asam encer untuk mengurangi MgCO3. Manik-

manik itu sangat mudah ditangani pada saat masih basah, tetapi cenderung menaikkan

muatan statis pada saat kering, sehingga cenderung saling lengket ataupun menempel

pada benda-benda lain. Manik-manik itu dapat dicetak langsung, diekstrusi dan

dicacah untuk membentuk "bubuk" bahan cetakan, atau digunakan sebagai resin

penukar ion atau bahan pembuat cangkir-cangkir busa polystiren dan gabus

penyangga kemasan.

Resin-resin penukar ion pada dasarnya merupakan manik-manik hasil suspensi

dari sambung-silang polistiren yang diperoleh dengan polimerisasi menggunakan

sedikit divinil benzen, yang kemudian diolah secara kimiawi untuk mendapatkan

fungsi yang dibutuhkan.

Untuk mengurangi tahanan perpindahan massa dalam proses penukaran ion,

suatu pelarut inert dapat ditambahkan ke dalam fasa suspensi organik. Pada saat

polimerisasi selesai, pelarut tersebut dipisahkan, menyisakan manik-manik yang

sangat berpori, sehingga memiliki permukaan internal sangat luas (macro reticular).

Manik-manik busalgabus merupakan polistiren linier yang mengandung bahan-bahan

inert penghembus cairan (inert liquid blowing agents), biasanya pentan. Pentan

tersebut dapat ditambahkan ke dalam monomer bahan polimerisasi, tetapi yang lebih

umum adalah menambahkannya ke dalam reaktor setelah polimerisasi, agar

teradsorpsi oleh manik-manik polystiren. Bila dipertemukan dengan kukus dalm suatu

cetakan, manik-manik itu menjadi lunak dan berbusa, serta mengembang karena

bahan penghembus yang menguap, sehingga terbentuk cangkir-cangkir gabus maupun

benda-benda gabus (foam) yang lain.

Keunggulan utama dari polimerisasi suspensi adalah :

1. Pemindahan diperoleh dalam bentuk yang mudah dilakukan.

2. Polimer diperoleh dalam bentuk yang mudah ditangani dan seringkali dapat

langsung digunakan.

Kekurangannya antara lain:

1. Yield per volum reaktor rendah.

2. Polimer yang dihasilkan sedikit kurang murni dibandingkan dengan hasil

polimerisasi curah, karena sisa-sisa bahan pensuspensi yang teradsorpsi di

permukaan partikel.

3. Polimerisasi tidak dapat dilaksanakan secara kontinu menggunakan beberapa

faktor batch secara berurutan.

5. POLIMERISASI EMULSI

Ketika suplai karet alam dari Timur dihambat oleh Jepang selama PD II,

Amerika Serikat tidak memilliki bahan penggantinya. Keberhasilan Program

Cadangan Karet, dalam mengembangkan pengganti sinstetis yang sesuai dan fasilitas-

fasilitas produksinya , merupakan salah satu hasil yang menonjol dari para ahli kimia

den rekayasawan (enggineers). Karet kopolimer stiren-butadien GR S (Government

Rubber-Styrene) atau sekarang dikenal sebagai SBR (Styrene Butadiene Rubber) -

dikembangkan selama berperang - masih merupakan karet sintetik yang paling

panting dan masih diproduksi bersama-sama dengan berbagai jenis polimer, sebagian

besar menggunakan proses polimerisasi yang dikembangkan kemudian.

Belakangan ini polimerisasi emulsi mulai tergeser oleh proses-proses

polimerisasi yang lain. Meskipun demikian, pengetahun mengenai sisa monomer yang

dalam jumlah sangat kecil sekalipun dapat menimbulkan efek-efek yang secara

8

e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara

fisiologis berbahaya, rnembuat orang kembali tertarik untuk menggunakan

polimerisasi emulsi. Partikel-partikel lateks yang berukuran sangat kecil memberikan

jalur difusi yang sangat pendek untuk menyingkirkan molekul-molekul kecil dari

polimer dengan cara, misalnya, stripping menggunakan kukus, memperkecil residu

monomer yang tertinggal.

Pada banyak aplikasi, polimer padat harus diambil dari lateksnya. Cara paling

mudah adalah dengan spray-drying, tetapi karena tak satu pun usaha dilakukan untuk

menghilangkan sabun, produk yang diperoleh dengan menambahkan sejenis bahan

yang dapat berperan paling tidak sebagai pelarut persist bagi polimer, misalnya

aseton. Penambahan ini membuat partikel bersifat lengket dan mengalami

penggumpalan. Lateks kemudian dikoagulasi dengan menambahkan suatu asam,

misalnya asam sulfat, yang akan mengubah sabun menjadi bentuk hidrogen yang tak

larut, atau dengan menambahkan garam elektrolit yang akan memecah stabilizing

double layers pada partikel, hingga memungkinkan partikel tersebut dapat

menggumpal oleh tarikan-tarikan elektrostatik. Cara pertama meninggalkan bahan-

bahan tak larut yang teradsorpsi di permukaan partikel, tetapi kadang-kadang hal ini

malah menguntungkan; misalnya asam lemak dapat berperan sebagai pelumas dalam

produksi ban. "Remah-remah" polimer yang terkoagulasi (kemudian dicuci,

dikeringkan, kemudian dikemas atau diproses lebih lanjut.

Keunggulan polimerisasi emulsi adalah :

1. Pengendalian mudah : viskositas massa reaksi jauh lebih kecil ketimbang larutan

dengan konsentrasi yang sebanding; air menambah kapasitas panas; dan massa

reaksi dapat direfluks.

2. Dengan menggunakan konsentrasi sabun yang tinggi dan konsentrasi bibit yang

rendah, akan diperoleh sekaligus laju polimerisasi dan panjang rata-rata rantai

yang tinggi.

3. Produk lateks sering dapat langsung digunakan, juga dapat jadi bahan pembantu

untuk mendapatkan senyawa-senyawa yang seragam melalui master-hatching.

4. Ukuran partikel lateks yang kecil akan menurunkan jumlah residu monomer.

Kekurangan polimerisasi emulsi antara lain:

1. Sulit untuk memperoleh polimer yang mumi. Permukaan partikel-partikel kecil

yang sangat luas memberikan ruang yang sangat besar bagi zat-zat pengotor yang

teradsorpsi meliputi penarikan air oleh sisa sabun, yang dalam jumlah sangat

kecilpun dapat menimbulkan masalah.

2. Diperlukan teknologi untuk mengambil polimer padat.

3. Air dalam massa reaksi menurunkan yield per volume reaktor.

DAFTAR PUSTAKA

C.E. Schildnecht, Polymer Processes, Interscience, New York, 1956.

H. D. Anspon, Manufacture of Plastics, W. M. Smith, Reinhold, New York, 1964.