tds...jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau...

88

Upload: others

Post on 12-Jul-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!
Page 2: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

TDS TIGA dalam SATU

WIRO SABLENG Judul: Srigala Perak ARIO BLEDEG (Bagian ke - 2) Judul: Petir di Mahameru KUNGFU SABLENG Judul: Pendekar Pispot Naga (The Dragon Pispot)

Page 3: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

WIRO SABLENG Srigala Perak

1

KI TAWANG ALU

MELIHAT siapa yang berdiri di depannya, Pen-dekar 212 Wiro Sableng merasa tidak enak. Dia lang-sung membentak. "Kau datang menyelinap dalam ke-gelapan malam! Membokong secara pengecut! Apa tu-juanmu Ki Tawang Alu?!"

Si kakek tertawa bergumam. Sambil pegangi lengan kanannya yang sakit akibat bentrokan dengan tangan Wiro tadi, dia menjawab.

"Malam boleh gelap! Kau boleh saja menuduh-ku sebagai pembokong pengecut! Tapi satu hal jelas bagiku, seperti terangnya matahari di siang bolong!"

"Tua bangka sialan! Aku tidak begitu suka me-lihat tampangmu yang putih seperti poncong hidup! Jadi jangan berpantun mengumbar syair di depanku! Katakan terus terang apa maksudmu muncul di tem-pat ini?!"

"Kalung kepala srigala perak! Aku tahu patung itu ada padamu!"

"Sebelumnya kau sudah memeriksa menggele-dah sendiri! Kau tidak menemukan kalung itu pada di-riku! Kau ini gila atau tolol?!"

"Aku tidak gila, tidak juga tolol! Aku terlalu cer-dik untuk kau tipu, anak muda bau kencur! Mana ka-lung perak kepala srigala itu! Lekas serahkan padaku!"

Page 4: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

Wiro tatap kakek bermuka putih. Sambil me-nyeringai dia membatin. "Aku ingat pembicaraan den-gan empat gadis anggota Kelompok Bumi Hitam itu. Antara mereka dengan kakek jelek ini seperti ada keti-dak cocokan...."

"Jangan cengangas-cengenges di hadapanku! Kalau kau tidak segera menyerahkan kalung kepala srigala itu, kau bakal menyesal sampai ke Hang ku-bur!"

"Busetttt! Matipun aku belum! Bagaimana kau bisa bilang aku bakal menyesal sampai ke liang ku-bur!"

"Kalau begitu biar sekarang kubunuh saja kau!" Kakek bernama Ki Tawang Alu lalu angkat tangan ka-nannya. Dalam gelap murid Sinto Gendeng melihat tangan si kakek bergetar pertanda ada hawa sakti atau tenaga dalam yang dialirkan ke tangan itu.

Wiro tetap saja menyeringai. "Kau bunuhpun aku sampai tujuh kali kalung kepala srigala itu tak bakal kau dapatkan!"

Ki Tawang Alu turunkan tangan kanannya. "Apa maksudmu! Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!"

"Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil! Malah pada orang-orangmu kau katakan kalung itu tidak ada padaku! Kau menipu me-reka! Berarti ada keculasan dalam hatimu!"

Tampang si kakek sesaat berubah. Rahangnya menggembung. "Urusanku dengan orang-orangku apa perduli mu! Hatiku culas atau tidak juga apa perduli mu! Sekarang katakan saja! Kau mau menyerahkan kalung kepala srigala itu atau tidak?!"

"Kalung itu tidak ada padaku!" jawab Wiro. "Kakek muka putih, terus-terang aku muak melihat-

Page 5: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

mu!" Wiro putar tubuh hendak berlalu. Tapi si kakek cepat menghadang.

"Tunggu! Kalau kalung itu sekarang tidak ada padamu, dimana beradanya? Kau serahkan pada sia-pa?!"

"Empat gadis berkerudung hitam itu mencegat ku di satu tempat. Mereka bilang kalung itu sangat mereka perlukan. Karena aku merasa kalung itu me-mang milik mereka, lalu kuserahkan pada salah seo-rang dari empat gadis itu...."

"Empat gadis! Bagaimana kau tahu mereka adalah empat orang gadis!" Ki Tawang Alu bertanya he-ran.

"Aku melihat sendiri wajah-wajah mereka. Can-tik semua! Mereka yang memperlihatkan wajah pada-ku!"

Ki Tawang Alu kelihatan terkejut mendengar keterangan Wiro itu, alisnya yang putih sampai ber-jingkrak ke atas. Rahangnya menggembung.

"Anak muda tolol! Kau sudah kena tipu! Empat gadis itu tidak berhak memiliki kalung itu! Kau ingat kepada siapa kalung itu kau serahkan?!"

"Gadis bernama Mentari Pagi!" jawab Wiro. Kembali rahang Ki Tawang Alu menggembung. "Kalau kau berdusta, kalau ternyata kalung itu

tidak ada pada gadis bernama Mentari Pagi itu, kau bakal tahu rasa. Gurumu si nenek bau pesing itu akan kubuat menemui ajal secara mengenaskan!"

Terkejutlah Pendekar 212 mendengar ucapan si kakek. "Jahanam keparat! Apa yang telah kau lakukan terhadap guruku?!" teriak Wiro. Sekali lompat saja dia ada di hadapan si kakek. Tangan kanannya menyam-bar. Lidah Ki Tawang Alu mencelat terjulur keluar be-gitu Wiro mencekik lehernya!

Megap-megap si kakek berkata. "Bunuh! Pa-

Page 6: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

tahkan batang leherku! Kau tak bakal melihat gurumu seumur-umur!"

"Jahanam!" Wiro kembali merutuk. Tangannya bergerak.

"Braaakkkk!" Ki Tawang Alu dibantingnya hingga jatuh pung-

gung di tanah. Tapi sambil menyeringai kakek ini be-rusaha bangkit berdiri. "Gurumu berada di tangan ku! Ku sembunyikan di satu tempat. Saat ini masih dalam keadaan aman. Tapi jika keteranganmu dusta dan aku tidak menemukan kalung itu, kematian guru mu se-mudah aku membalikkan telapak tangan!"

"Kurang ajar! Telapak tanganmu yang mana? Yang kiri atau yang kanan?!" Wiro membentak.

Ki Tawang Alu tertawa mengekeh. "Kau lihat sa-ja nanti...."

"Aku mau lihat sekarang!" kata Pendekar 212. Secepat kilat tangan kanannya menyambar ke depan.

"Kraaakkk!" Sekali remas saja patahlah tulang telapak tan-

gan kanan Ki Tawang Alu. Kakek ini menjerit kesakitan setinggi langit. Walau Wiro berhasil mematahkan tela-pak tangan kanan si kakek tapi dia harus membayar cukup mahal. Karena tak kalah cepatnya tangan kiri Ki Tawang Alu menghantam ke depan. Murid Sinto Gendeng berusaha mengelak dengan jurus Kilat Me-nyambar Puncak Gunung, yakni ilmu silat yang dida-patnya dari Tua Gila, namun jotosan si kakek masih mampu mendarat telak di dada kirinya.

Murid Sinto Gendeng laksana digebuk dengan palu godam raksasa. Tubuhnya mencelat lalu jatuh terjengkang di tanah. Dadanya serasa hancur dan mendenyut sakit. Sesaat dia sulit bernafas dan pe-mandangannya menggelap. Ketika dia berusaha me narik nafas dalam dari mulutnya keluar darah. Wiro

Page 7: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

berteriak marah. Kerahkan tenaga dalam lalu melom-pat bangkit. Gerakannya terhuyung-huyung. Meman-dang ke depan Ki Tawang Alu tak kelihatan lagi.

"Jahanam bermuka putih itu menculik Eyang Sinto Gendeng! Kalau sampai guruku cidera aku ber-sumpah akan menguliti tubuhnya!" Sambil pegangi dadanya yang sakit Wiro melangkah ke jurusan timur di mana dia menduga kaburnya kakek bernama Ki Ta-wang Alu itu.

*

* *

2

PELANGI INDAH MALAM gelap gulita. Udara dingin luar biasa

seolah tubuh dibungkus es. Semakin tinggi ke puncak Gunung Merapi, semakin sengsara keadaan Pendekar 212. Kakinya terasa sakit dan berat, sukar diajak me-langkah. Dadanya seperti di ganduli batu berat. Setiap dia menarik nafas tenggorokannya terasa panas dan lehernya seperti di cekik. Hanya semangat baja dan niat untuk menyelamatkan Eyang Sinto Gendeng yang tidak di ketahuinya dimana beradanya membuat Wiro akhirnya mampu sampai ke puncak timur Gunung Merapi. Inipun ditempuhnya satu hari perjalanan. Jika dia tidak cidera dalam waktu setengah hari saja pasti dia sudah sampai di tempat itu.

Di satu pendakian berbatu-batu Pendekar 212 jatuhkan tubuhnya, duduk menjelepok di tanah.

"Lereng timur gunung ini luas sekali. Malam ge-

Page 8: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

lap begini. Di mana aku harus mencari! Kalau sampai tidak bertemu markasnya orang-orang Ke lompok Bu-mi Hitam itu, bukan saja aku yang celaka, tapi Eyang Sinto Gendeng juga bakal sengsara sebelum menemui ajal! Bangsat Ki Tawang Alu! Apa yang telah kau laku-kan terhadap guruku!" Wiro kepalkan tinju kiri kanan lalu sandarkan punggungnya ke sebuah batu di bela-kangnya. Menurut jalan pikiran Wiro, setelah tahu di-mana beradanya kalung kepala srigala perak itu, Ki Tawang Alu pasti akan menuju ke markasnya di pun-cak timur Gunung Merapi. Itu sebabnya walau harus menyabung nyawa dan mungkin saja menemui ajal di tengah jalan, dia tetap bertekad naik puncak gunung itu untuk mencari si kakek. Kalau dia tidak sampai dapat mengorek keterangan dimana gurunya berada dan apa yang terjadi dengan nenek sakti itu, tekadnya sudah bulat untuk menyabung nyawa, memilih sama-sama mati dengan Ki Tawang Alu!

Dalam keadaan menderita sakit dan letih se-tengah mati serta lapar dan haus sepasang mata Wiro terasa berat. Sekejapan lagi matanya hendak terpejam tiba-tiba dia melihat nyala api, kecil dan jauh sekali.

"Nyala api itu..." desis Pendekar 212 sambil se-ka darah yang masih menetes di sela bibirnya. "Aku harus menyelidik. Mungkin itu tempat kediamannya orang-orang Bumi Hitam...." Wiro bangkit berdiri. So-soknya terhuyung-huyung. Dia memandang berkelil-ing. Matanya membentur satu pohon kecil. Di patah-kannya salah satu cabang kecil pohon ini. Lalu diper-gunakannya sebagai tongkat untuk membantunya ber-jalan.

"Aneh, pukulan apa yang dihantamkan kakek muka putih itu hingga aku sengsara setengah mati be-gini rupa. Kapak Naga Geni 212 tidak mampu me-nyembuhkan. Mungkin pukulan itu beracun dan ke-

Page 9: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

kuatannya sanggup menghancurkan gunung! Apalagi dadaku yang hanya terdiri dari tulang dan daging! Ku-rang ajar! Ki Tawang Alu kau tunggu pembalasanku!"

Tertatih-tatih Pendekar 212 melangkah dalam gelapnya malam dan dinginnya udara menuju nyala api di kejauhan.

*

* * EMPAT bayangan hitam berkelebat menuju le-

reng timur Gunung Merapi. Walau udara gelap dingin serta pohon dan semak belukar menghadang di mana-mana, namun ke empat orang itu mampu berlari sece-pat angin, pertanda mereka mengenal betul kawasan tersebut. Mereka bukan lain adalah Mentari Pagi dan Rembulan serta dua orang kawannya dari Kelompok Bumi Hitam.

Tak selang berapa lama ke empat gadis yang mengenakan jubah serta kerudung hitam itu sampai di sebuah bangunan besar terbuat dari kayu dan memili-ki kolong di sebelah bawahnya. Bangunan-bangunan serupa dalam bentuk lebih kecil kelihatan di sekeliling bangunan besar. Karena seluruh bangunan mulai dari tiang sampai dinding dan atap dilapisi cat hitam maka dalam gelapnya malam bangunan itu tampak angker sekali dan tidak ada satu penerangan pun kelihatan.

"Lekas naik ke atas dan salah satu dari kalian nyalakan pelita!" Mentari Pagi berkata pada teman-temannya. Dua orang segera melompati tangga rumah panggung. Mentari Pagi dan Rembulan menunggu di bawah tangga. Ketika di atas sana mereka melihat ada nyala pelita, keduanya segera melompat ke tangga. Namun gerakan mereka tertahan. Dari samping mele-sat satu bayangan hitam bermuka putih.

Page 10: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

"Ki Tawang Alu!" seru Mentari Pagi ketika men-genali siapa yang datang.

"Syukur kalian sudah sampai di sini. Tadinya aku merasa khawatir..." kata kakek muka putih seraya usap dagunya. Dua matanya sesaat jelalatan. Mem-buat Mentari Pagi dan Rembulan merasa tidak enak. Sebenarnya sudah sejak lama para gadis dalam Ke-lompok Bumi Hitam tidak menyenangi kakek ini. Na-mun karena kedudukannya sebagai Wakil Pimpinan membuat mereka merasa sungkan dan tetap menaruh hormat.

Ketika Rembulan melihat tangan kanan si ka-kek dibalut gadis ini langsung bertanya. "Ki Tawang Alu, mengapa tanganmu?"

Si kakek tarik nafas dalam. "Inilah yang harus aku beritahu padamu. Dalam perjalanan ke sini, aku di hadang oleh pemuda asing berambut gondrong...."

Mentari Pagi dan Rembulan saling berpandan-gan. "Maksudmu pemuda bernama Wiro Sableng ber-juluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu...?"

Si kakek mengangguk. "Pasal lantaran apa dia menghadang? Padah-

al...." "Bukan cuma menghadang. Tapi malah menye-

rangku tanpa sebab musabab! Dia membuat tangan kananku cidera. Tapi aku sendiri sempat menghajar-nya hingga jatuh terjengkang. Mungkin saat ini dalam keadaan sekarat atau mungkin juga sudah menemui ajal!"

Mentari Pagi dan Rembulan sama-sama kelua-rkan seruan tertahan. Sementara itu di atas tangga bangunan besar, beberapa orang gadis berkerudung hitam yang telah membuka kerudung masing-masing memberi isyarat pada Mentari Pagi dan Rembulan. Dua gadis di bawah bangunan balas memberi isyarat.

Page 11: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

"Ki Tawang Alu, pembicaraan kita lanjutkan nanti! Kami akan naik ke atas untuk mengobati Pimpi-nan..." berkata Mentari Pagi.

"Hai, rupanya kalian sudah mendapatkan ka-lung kepala srigala itu?" tanya si kakek.

Ketika Mentari Pagi mengangguk, Ki Tawang Alu berkata gembira. "Jasa kalian besar sekali! Pimpi-nan dan aku pasti tidak melupakan!"

"Jasa kami tidak apa-apa. Kami hanya menja-lankan tugas. Yang berjasa sebenarnya adalah pemuda bernama Wiro Sableng," kata Rembulan pula. "Dia yang menyerahkan secara suka rela kalung kepala sri-gala itu pada kami."

"Aneh, waktu kuperiksa benda itu tidak ada padanya. Tahu-tahu ada dan malah diberikan pada ka-lian. Kalau begitu, hemmm.... Perlihatkan dulu benda itu padaku. Biar kuperiksa...."

Mentari Pagi sebenarnya ingin cepat-cepat naik ke atas rumah. Tapi si kakek sengaja tegak di depan tangga seperti menghalangi dan ulurkan tangannya. Karena Ki Tawang Alu memang adalah pimpinan me-reka juga maka Mentari Pagi mau tak mau keluarkan kalung kepala srigala yang terbuat dari perak dan me-nyerahkannya pada si kakek.

Ki Tawang Alu menerima benda itu dengan wa-jah gembira dan mata berkilat-kilat. Diperhatikannya sesaat kalung kepala srigala itu. Lalu dia berbalik membelakangi dua gadis dan memegang kalung itu ke arah cahaya pelita yang memancar dari bangunan se-belah atas. Sambil anggukkan kepala kakek ini lalu balikkan tubuhnya kembali dan serahkan kalung ke pala srigala yang terbuat dari perak itu kepada Mentari Pagi.

"Lekas kau naik ke atas dan lakukan penyem-buhan terhadap pimpinan kita!"

Page 12: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

"Kau sendiri tidak turut menyaksikan Ki Ta-wang Alu?" tanya Mentari Pagi seraya mengambil ka-lung yang diserahkan si kakek muka putih.

"Aku biar tetap berada di sini. Berjaga-jaga! Aku khawatir pemuda jahat itu bisa saja muncul me-lakukan sesuatu yang tidak kita ingini!"

Rembulan hendak mengatakan sesuatu mem-bantah ucapan si kakek. Namun Mentari Pagi cepat memberi isyarat. Dua gadis ini membuka kerudung yang menutupi kepala serta wajah masing-masing. La-lu melompati tangga naik ke atas bangunan kayu.

Di atas bangunan kayu ada satu ruangan luas diterangi sebuah pelita besar. Di salah satu sudut ruangan ada sebuah perasapan besar, mengepulkan asap menebar harumnya bau setanggi. Suasana di ruangan itu terasa mencekam dan sakral karena setiap dinding dihias dengan bunga-bunga aneh terbuat dari kain berwarna hitam.

Tujuh orang gadis berjubah hitam tanpa keru-dung tegak mengelilingi sebuah pembaringan. Ada se-sosok tubuh terbujur di atas pembaringan ini, tertutup dengan sehelai kain sutera tipis berwarna hitam. Salah seorang dari tujuh gadis itu memegang sebuah bokor terbuat dari kuningan. Bokor ini berisi air sangat jer-nih dan dingin karena berasal dari embun yang di-kumpulkan. Tujuh bunga melati mengapung di per-mukaan air dalam bokor.

Ketika Mentari Pagi dan Rembulan masuk ke dalam ruangan, tujuh gadis segera menyibak memberi tempat. Mentari Pagi dan Rembulan mengambil tempat berdiri di dekat kepala sosok yang terbujur di atas pembaringan. Sesaat setelah menatap sosok yang ada di atas pembaringan itu, Mentari Pagi keluarkan ka-lung kepala srigala dari balik jubah hitamnya lalu di-masukkan ke dalam bokor kuningan.

Page 13: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

Seorang gadis memberikan sebatang tongkat kecil terbuat dari bambu. Dengan tongkat ini Mentari lalu mengaduk cairan dalam bokor Terdengar suara berkelentingan ketika kalung kepala srigala yang ber-putar-putar bersentuhan dengan dinding bokor. Sete-lah itu seorang gadis lain memberikan sebuah benda berbentuk koas terbuat dari benang sangat halus. Mentari celupkan koas ini ke dalam bokor lalu membe-ri isyarat pada Rembulan.

Dengan tangan gemetar Rembulan pegang ujung kain sutera hitam di bagian kepala orang yang terbujur di atas pembaringan. Semua mata yang ada di ruangan itu memandang tak berkesip. Mereka me-nunggu dengan dada berdebar.

Perlahan-lahan dan sangat berhati-hati Rembu-lan menarik kain sutera hitam itu dari kepala ke arah kaki. Beberapa mata tampak seperti mau dipicingkan begitu mereka melihat wajah yang tersingkap, di susul bagian dada dan perut terus ke paha dan sampai di ujung kaki. Rata-rata para gadis yang ada di situ me-rasakan tengkuk mereka menjadi dingin.

Sosok di atas pembaringan ternyata adalah sa-tu sosok seorang nenek berambut putih. Kulit di wajah maupun di sekujur tubuh sampai ke kaki hanya me-rupakan kulit keriput sangat hitam dan tak lebih seba-gai pembalut tulang. Sosok itu tidak bergerak bahkan bernafas pun seperti tidak. Dua matanya terpejam.

Mentari Pagi memutar pandangan matanya berkeliling. Kecuali gadis yang memegang bokor dan dirinya sendiri, maka semua yang ada di tempat itu mengangkat tangan, menampungkan telapak tangan ke atas, sejajar dengan kepala. Mulut mereka berko-mat-kamit. Lalu terdengar suara menggema perlahan seperti orang berdoa. Mentari memegang gagang koas di dalam bokor. Lalu perlahan-lahan koas itu diang-

Page 14: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

katnya. Bagian koas yang basah dengan hati-hati di sapukannya ke wajah orang yang terbujur. Begitu air di permukaan koas mengering, koas di celupkannya ke dalam bokor lalu diangkat lagi dan kembali disapukan di seluruh permukaan wajah. Selesai membasahi wa-jah, koas berpindah disapukan ke bagian dada, perut, terus pada dua kaki. Tidak ada satu bagian tubuhpun, depan dan belakang yang tidak diusap dibasahi den-gan air dari dalam bokor itu.

Setelah selesai melakukan hal itu Mentari Pagi usap-usap dua tangannya lalu seperti teman-temannya dia menampungkan dua tangan ke atas. Da-ri mulutnya perlahan-lahan keluar ucapan. Bersamaan dengan itu semua mata dipejamkan.

"Gusti Allah, Penguasa Yang Maha Kuasa. Kau Yang Maha Pengasih. Dengan KasihMu Kau menjadi Yang Maha Penyembuh. Dengan Kasih dan KuasaMu kami memohon, sembuhkanlah Pelangi Indah Pimpi-nan kami. Ya Tuhan kembalikanlah pimpinan kami ke ujudnya semula. Ya Tuhan kiranya kau mau menga-bulkan permintaan kami. Karena hanya kepada Eng-kaulah tempat kami meminta."

Setelah beberapa saat, diikuti oleh gadis-gadis lainnya Mentari Pagi buka ke dua matanya. Mereka memandang ke sosok tubuh di atas pembaringan. Lalu saling pandang satu dengan lainnya. Paras mereka je-las tampak berubah, pucat dan sangat khawatir.

"Tuhan tidak mendengarkan permintaan kita! Sosok pimpinan kita tidak berubah..." kata Mentari Pagi dengan suara gemetar.

Beberapa mata mulai tampak berkaca-kaca. Di antara para gadis ada yang tidak dapat membendung tetesan air mata mereka. Rembulan tundukkan kepala menahan sesenggukan. Ketika dia hendak menu-tupkan kain sutera hitam itu kembali, Mentari Pagi

Page 15: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

mencegah. Gadis ini memberi isyarat pada temannya yang memegang bokor kuningan. Yang diberi isyarat datang mendekat. Dengan agak gemetar Mentari Pagi lalu celupkan tangannya ke dalam bokor, mengambil kalung kepala srigala yang terbuat dari perak murni. Lalu dia melangkah mendekati pelita besar di sudut ruangan.

Di bawah penerangan pelita Mentari Pagi dan Rembulan serta beberapa gadis perhatikan dengan seksama kalung perak itu.

"Palsu!" kata Mentari Pagi dengan suara keras tapi bergetar. "Kalung ini palsu!"

*

* *

3

MUSUH DALAM SELIMUT RUANGAN dl atas rumah panggung itu menjadi

geger. "Kita tertipu!" ujar Rembulan dengan muka pu-cat. "Pemuda bernama Wiro Sableng itu menipu kita! Memberikan kalung palsu mencuri yang asli!" kata Mentari Pagi penuh geram sambil kepalkan tangan.

"Rembulan! Pimpin enam orang kawanmu! Cari pemuda itu sampai dapat! Seret ke sini! Jika dia mela-wan bunuh di tempat!"

"Akan kulakukan!" jawab Rembulan. "Namun ada satu hal perlu aku tanyakan. Jika pemuda itu memang memalsukan kalung kepala srigala itu, kapan dan bagaimana dia bisa melakukannya? Membuat ka-lung tiruan tidak mudah. Perlu waktu dan perlu seo-

Page 16: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

rang juru tempa yang ahli! Sedang pemuda itu satu malam lalu kita temui. Mungkinkah kalung itu dida-patnya sudah dalam keadaan palsu?"

"Maksudmu Lima Laknat Malam Kliwon yang memalsukan?"

"Aku menduga begitu,". jawab Rembulan. "Aku tidak sependapat denganmu. Lagi pula

aku sangsikan kebenaran ucapanmu. Karena suara hati mu dipengaruhi oleh suara batin. Karena kau me-nyukai pemuda itu. Aku tetap yakin dia yang memal-sukan kalung itu. Bukankah sejak dulu aku sudah mengatakan dia bukan saja memiliki kepandaian silat dan kesaktian tinggi tapi juga kecerdikan luar biasa seperti ular! Dengar, aku tahu hatimu meragu! Biar aku sendiri yang akan memimpin pencarian atas di-rinya!"

"Aku tetap ikut bersamamu!" kata Rembulan. Begitu Mentari Pagi dan enam kawannya keluar dari kamar Rembulan segera mengikuti. Semua gadis ini kembali mengenakan kerudung masing-masing.

Di bawah tangga Ki Tawang Alu menunggu dengan muka menunjukkan kekhawatiran.

"Aku mendengar suara ribut-ribut di atas sana. Ada apa?" si kakek bertanya.

Mentari Pagi acungkan kalung kepala srigala sambil berkata. "Kalung yang diberikan pemuda ber-nama Wiro Sableng itu ternyata kalung palsu! Sama sekali tidak mempunyai kekuatan dan berkah kesak-tian untuk menyembuhkan pimpinan kita Pelangi In-dah!"

Muka putih Ki Tawang Alu menjadi merah sak-ing marahnya. "Sedari semula aku sudah tahu kalau pemuda itu licik! Saat ini dia pasti sudah meregang nyawa akibat hantaman ku!"

"Kita harus memastikan! Aku dan kawan-

Page 17: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

kawan akan mencarinya! Menggebuknya sampai se-tengah mati sebelum dia mengaku dimana beradanya kalung yang asli!"

"Mentari Pagi, sebaiknya kau tetap-berada di sini menjaga pimpinan kita. Biar aku yang mencari pemuda laknat itu!" kata kakek muka putih pula.

"Kalian tak usah bersusah payah! Aku sudah ada di sini!" Tiba-tiba satu suara menyeruak dari kege-lapan. Sesaat kemudian seorang berpakaian putih muncul dengan langkah terhuyung-huyung. Tak bera-pa jauh dari tangga, orang ini tergelimpang jatuh me-nelungkup.

"Pendekar 212 Wiro Sableng! Dia yang menipu kita!" teriak Ki Tawang Alu lalu melompat dan injakkan kaki kanannya ke tengkuk orang yang bergelimpang di tanah.

"Ki Tawang Alu, kau pasti telah menganiaya gu-ruku! Kalau kau tidak memberitahu dimana kau sem-bunyikan guruku, kubunuh kau saat ini juga!"

"Pemuda ular! Orang bicara lain kau bicara lain!" bentak Mentari Pagi. "Mana kalung kepala srigala yang asli!"

Wiro melirik ke atas. "Kau tentu Mentari Pagi. Bukankah aku sudah menyerahkan benda itu pada mu malam kemarin?!"

"Betul! Tapi yang kau berikan padanya adalah kalung kepala srigala palsu!" kata Ki Tawang Alu sam-bil pindahkan injakannya dari tengkuk ke kepala Pen-dekar 212. "Kau binatang cerdik! Penipu keparat!"

"Kakek muka putih! Jaga mulutmu! Bukan aku binatang cerdik tapi kau yang jahanam busuk! Malam lalu kau sengaja menghadangku menanyakan kalung kepala srigala itu, Karena kau tahu aku menyembu-nyikan kalung itu dalam mulutku! Kau kecewa begitu mengetahui kalung itu telah kuserahkan pada Mentari

Page 18: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

Pagi. Tapi dasar kau manusia jahat busuk! Sebelum-nya kau telah menganiaya dan menculik guruku!"

Kakek muka putih tertawa mengekeh. "Kau pandai bersilat lidah menutupi kekejianmu sendiri! Buat apa bicara panjang lebar denganmu! Mampus le-bih baik bagimu!"

"Tunggu! Jangan bunuh dia sebelum dia mem-beritahu dimana kalung asli itu berada!" Berseru Men-tari Pagi.

"Mentari Pagi, kau pernah bersumpah atas na-ma Gusti Allah bahwa kalung itu adalah milik pimpi-nan mu! Saat ini aku juga bersumpah demi Gusti Al-lah, kalung yang kuserahkan padamu adalah satu-satunya kalung yang ada padaku...."

Mentari Pagi dan Rembulan serta semua gadis berkerudung di tempat itu menjadi terkesima menden-gar ucapan Wiro itu. Namun Ki Tawang Alu cepat me-motong dengan hardikan.

"Siapa percaya sumpah manusia bejat seperti mu!"

Wiro tidak perdulikan hardikan si kakek. Dia tetap menatap ke arah Mentari Pagi dan lanjutkan ucapannya. "Kalau sekarang kalian cerita segala ma-cam kalung palsu pasti salah satu di antara kalian di sini yang telah melakukan keculasan!"

Mendengar kata-kata Wiro itu Rembulan berge-rak mendekati Mentari Pagi dan membisiki sesuatu.

"Mulutmu berbisa! Otakmu kotor! Kau memang layak mampus saat ini juga!" teriak Ki Tawang Alu ma-rah. Kaki kanannya di injakkannya keras-keras ke ke-pala Wiro. Bila hal itu sampai terjadi niscaya kepala murid Sinto Gendeng ini akan pecah berantakan. Ka-rena Ki Tawang Alu pergunakan kesaktian yang dis-ebut Injakan Seribu Kati. Jangankan batok kepala ma-nusia, batu besarpun akan hancur lebur!

Page 19: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

Sesaat sebelum kaki Ki Tawang Alu bergerak menginjak, Wiro selinapkan tangan kirinya ke ping-gang. Lalu tahu-tahu berkiblat sinar putih dalam ge-lapnya malam. Udara menjadi panas dan suara seolah ada seribu tawon menyerbu mengaungi tempat itu.

Semua orang berseru kaget sambil bersurut mundur. Ki Tawang Alu melompat sampai satu tom-bak. Sedikit saja dia terlambat kaki kanannya yang ta-di dipakai menginjak kepala Wiro akan terbabat putus.

Pendekar 212 tegak agak terhuyung. Di tangan kanannya tergenggam Kapak Maut Naga Geni 212.

Pengerahan tenaga dalam waktu membabatkan senjata mustikanya tadi membuat darah kembali men-gucur di sela bibirnya.

"Berani mencari mati! Makan tanganku!" teriak Ki Tawang Alu. Tangannya melesat ke depan. Tangan itu telah berubah menjadi kaki srigala. Kuku-kuku runcing mencuat ke depan, membeset ke arah batang leher Wiro. Wiro kembali kiblatkan kapak saktinya. Lawan bertindak cepat dan cerdik. Sambil tundukkan kepala dan mengelak ke samping si kakek kembali menyerang. Kali ini dengan tangan kirinya. "Breeettt!"

Pakaian Wiro robek besar di bahu sebelah kiri. Murid Sinto Gendeng cepat bertindak mundur. Merasa di atas angin Ki Tawang Alu kembali menggempur. Dia pergunakan dua tangannya yang berbentuk kaki-kaki srigala itu. Yang kiri menyambar ke muka sedang yang kanan membeset ke perut Pendekar 212. Kali ini si ka-kek terlalu menganggap enteng senjata di tangan la-wan.

Wiro tekuk salah satu lututnya seraya mun-durkan kaki yang lain. Kapak Naga Geni 212 yang su-dah dipindah ke tangan kanan. melesat ke depan. Si-nar putih menyambung di kegelapan malam disertai suara mengaung dan hamparan hawa panas. Lalu

Page 20: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

craasss! Ki Tawang Alu menjerit setinggi langit. Darah

muncrat dari tangan kirinya yang buntung karena ti-dak sempat ditarik selamatkan diri. Mukanya yang pu-tih berubah merah mengelam. Terhuyung-huyung dia mundur menjauhi lawan. Susah payah dengan tangan kanannya dia menotok urat besar di pangkal leher ser-ta lipatan siku. Darah serta merta berhenti tapi rasa sakit dan hawa panas menjalari sekujur tubuhnya. Tangan kirinya terkulai tak bisa digerakkan lagi. Kalau saja tadi dia tidak menotok lengannya niscaya racun Kapak Maut Naga Geni 212 akan menjalar sampai ke dalam jantungnya dan nyawanya tidak tertolong lagi. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan itu si ka-kek segera berteriak pada gadis-gadis berkerudung hi-tam.

"Orang telah mencelakai diriku! Jangan diam saja! Lekas bunuh pemuda jahanam itu!"

Beberapa orang gadis siap bergerak. Namun mereka menunggu isyarat dari Mentari Pagi yang saat itu tampak ragu. Apalagi gadis bernama Rembulan. Se-jak tadi dia tidak percaya pada semua ucapan kakek muka putih. Selain itu semua gadis merasa ngeri meli-hat kedahsyatan kapak bermata dua di tangan Wiro.

"Kalian boleh membunuhku!" kata Wiro seraya sisipkan senjata mustikanya ke pinggang. Lututnya tertekuk. Luka dalam akibat pukulan Ki Tawang Alu malam lalu cukup parah. Dalam keadaan jatuh berlu-tut dia teruskan ucapannya. "Tapi sebelum menghabisi ku, geledah dulu tua bangka muka putih itu. Bagai-mana caranya aku tidak tahu! Tapi aku merasa yakin kalung srigala yang asli itu ada padanya!"

"Aku pimpinan di sini! Aku yang memberi pe-rintah pada kalian! Jangan dengarkan ucapannya yang beracun! Lekas bunuh pemuda itu!" teriak Ki Tawang

Page 21: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

Alu. Tubuhnya terasa semakin panas dan jalan darah-nya tidak karuan.

Rembulan berbisik pada Mentari Pagi. "Apa yang dikatakan pemuda itu mungkin betul. Aku ingat sewaktu Ki Tawang Alu memegang kalung kepala sri-gala yang kau serahkan padamu. Saat itu dia memba-likkan. badan, mengarahkan kalung ke cahaya pelita di atas rumah. Kita semua tahu dia memiliki kepan-daian Secepat Kilat Membalik Tangan. Bukan mustahil dia menukar kalung itu dengan yang palsu...."

"Beri isyarat pada teman-teman untuk mengu-rung..." balas berbisik Mentari Pagi. Lalu dia maju mendekati si kakek.

"Ki Tawang Alu, kau terluka. parah. Perlu men-dapat rawatan. Sebaiknya kau lekas naik ke atas ru-mah. Tapi sebelumnya aku ingin mengatakan sesuatu dulu. Jika sekiranya kecurigaan kami keliru harap di maafkan. Menurut pemuda itu kau kembali mene-muinya untuk meminta kalung kepala srigala itu. Pa-dahal sebelumnya di depan kami kau telah menggele-dah dan menyatakan kalung itu tidak ada padanya. Mana yang benar. Kalung yang diberikan pemuda itu padaku aku yakin itu adalah kalung yang asli. Bagai-mana tiba-tiba berubah menjadi kalung palsu yang ti-dak ada khasiatnya, apakah kau bisa menerangkan?"

"Mentari Pagi!" kata Ki Tawang Alu dengan sua-ra bergetar dan rahang menggembung. "Kau tidak layak menanyai diriku. Jika kau memaksa kau akan ku pecat sebagai anggota Kelompok Bumi Hitam dan kuusir dari tempat ini! Kau dengar?!"

"Aku mendengar dan mohon maafmu. Tapi jika kau tidak mau menjawab pertanyaanku tadi, terpaksa kami menggeledah dirimu!"

"Gadis kurang ajar! Berani kau berkata begitu! Kau dan kawan-kawanmu telah termakan ucapan pe-

Page 22: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

muda sinting itu!" Ki Tawang Alu bicara setengah ber-teriak. Selain itu diam-diam dia memperhatikan kea-daan sekelilingnya. Ternyata para gadis yang berjum-lah lebih setengah lusin itu telah mengurungnya. "Ka-lian semua lekas naik ke atas rumah! Biar aku meng-habisi pemuda itu!"

Mentari Pagi dan Rembulan cepat menghadang gerakan si kakek ketika Ki Tawang Alu hendak mende-kati Pendekar 212 Wiro Sableng. Habislah kesabaran Wakil Pimpinan Kelompok Bumi Hitam ini. Didahului teriakan garang dia menyerang Mentari

Pagi dengan tangan kanannya yang cidera dan saat itu telah berubah menjadi kaki srigala. Mentari Pagi dan kawan-kawannya tak tinggal diam. Perkela-hian delapan lawan satu segera berkecamuk sementa-ra Pendekar 212 yang terduduk di tanah hanya bisa memperhatikan.

Sebagai Wakil Pimpinan Kelompok Bumi Hitam tentu saja Ki Tawang Alu memiliki kepandaian tinggi. Namun dikeroyok lawan begitu banyak yang rata-rata memiliki kepandaian hanya satu atau dua tingkat saja di bawahnya, apalagi dia dalam keadaan luka dan cu-ma punya satu tangan, setelah bertempur empat jurus si kakek muka putih segera terdesak hebat.

Mentari Pagi dan kawan-kawannya sebenarnya tidak bermaksud menurunkan tangan jahat terhadap Ki Tawang Alu yang bagaimanapun tetap mereka hor-mati sebagai pimpinan mereka. Karenanya mereka hanya berusaha merobek pakaian si kakek di beberapa bagian tertentu. Mengira dirinya hendak ditelanjangi orang Ki Tawang Alu jadi naik pitam dan mengamuk. Tapi gerakannya yang sembrawutan membuat kea-daannya malah tambah terdesak.

"Breettt!" Tangan kanan Mentari Pagi yang berubah ben-

Page 23: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

tuk seperti kaki srigala berhasil merobek pakaian Ki Tawang Alu di pinggang kiri. Sebuah kantong kain yang tergantung di balik pakaiannya ikut robek dan terpental ke udara. Dari robekan kantong melesat ke luar sebuah benda putih perak. Ki Tawang Alu cepat melompat, berusaha menjangkau benda itu. Namun satu sambaran angin dengan keras melabrak tubuh-nya hingga dia terpental dan jatuh terbanting di tanah. Ternyata dalam keadaan luka di dalam yang cukup pa-rah Pendekar 212 Wiro Sableng masih mampu lancar-kan pukulan Kunyuk Melempar Buah. Untuk sesaat si kakek terhenyak tak berkutik di tanah. Dari mulutnya meleleh darah kental!

Benda yang melesat ke udara jatuh ke bawah. Sebelum menyentuh tanah Wiro cepat ulurkan tangan kanannya menyambuti benda itu, yang ternyata ada-lah kalung kepala srigala terbuat dari perak putih. Be-gitu kalung berada dalam genggamannya satu hawa aneh mengalir masuk ke dalam tubuhnya. Rasa sakit di dadanya agak berkurang walau sekujur badannya masih terasa lemas.

Mentari Pagi, Rembulan dan semua gadis yang ada di tempat itu cepat mendatangi Wiro. Mereka memperhatikan tangan kanan si pemuda yang meng-genggam. Perlahan-lahan murid Sinto Gendeng buka genggaman tangannya. Terlihatlah kalung kepala sri-gala putih bermata merah. Wiro angkat tangannya ke arah Mentari Pagi.

"Ambillah! Aku yakin ini kalung yang asli. Aku merasakan ada hawa aneh masuk ke tubuhku begitu benda ini berada dalam genggamanku..." kata Pende-kar 212 pula.

Mentari Pagi segera ambil kalung kepala srigala itu. "Benar, ini memang kalung yang asli. Aku juga me-rasakan ada hawa aneh masuk ke dalam tangan ku!"

Page 24: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

Si gadis berpaling pada Rembulan. "Aku akan segera menuju kamar pimpinan kita bersama beberapa orang teman. Kau dan dua atau tiga orang harap memapah Pendekar212, bawa masuk ke salah satu kamar rumah besar. Periksa keadaannya...."

"Mentari!" tiba-tiba seorang anggota kelompok berseru. "Ki Tawang Alu lenyap!"

Semua orang menjadi terkejut. Memandang berkeliling ternyata kakek muka putih itu tak ada lagi di situ.

"Aku harus mengejarnya. Dia menculik guru ku..." kata Wiro seraya bangkit berdiri.

"Itu memang menjadi kewajibanmu Pendekar 212," kata Mentari Pagi. "Tapi keselamatan dirimu ha-rus diutamakan. Menurut penglihatanku kau terkena Pukulan Seribu Kati. Jika tidak diobati kau bisa me-nemui ajal sebelum matahari terbenam besok hari...."

Terkejutlah Pendekar 212 mendengar ucapan itu. Tubuhnya kembali terasa lemas. Dibantu tiga orang temannya Rembulan segera memapah si pemuda naik ke atas rumah besar.

* * *

4

SANTET SERATUS TAHUN REMBULAN dan tiga orang gadis anggota ke-

lompok yang menamakan diri Kelompok Bumi Hitam membawa murid Sinto Gendeng ke dalam sebuah ka-mar. Kamar ini bersebelahan dengan kamar besar di

Page 25: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

mana Pelangi Indah, pimpinan Kelompok Bumi Hitam berada. Wiro dibaringkan di atas sebuah ranjang kayu. Seseorang masuk membawa sebuah pelita kecil. Empat gadis membuka kerudung hitam masing-masing hing-ga Wiro dapat melihat wajah mereka yang cantik-cantik.

"Kalian hendak melakukan apa?" tanya Pende-kar 212. Matanya menatap ke arah Rembulan.

"Kau dalam keadaan terluka parah. Kakek mu-ka putih itu telah memukul dadamu di arah jantung dengan Pukulan Seribu Kati Jika tidak diobati nyawa-mu mungkin tidak tertolong. Tapi saat ini ada hal lain yang harus kami dahulukan. Yaitu menolong Pelangi Indah pimpinan kami. Kami akan kembali ke sini. Ka-lau kami kembali harap kau sudah membuka bajumu! Harap kau berbaring dan jangan banyak bergerak. Jangan sekali-kali turun dari atas ranjang. Apapun yang kelak kau dengar tidak usah menjadi perhatian-mu apalagi kau pikirkan."

"Membuka baju? Aku.... Hai tunggu!" Wiro ber-seru.

Rembulan berpaling. "Tetaplah tenang di atas ranjang. Jangan banyak bertanya, jangan bergerak. Kami harus menolong pimpinan kami. Jika dia bisa diselamatkan maka kau juga akan dapat disela-matkan. Tapi jika dia tidak bisa diselamatkan berarti nyawamu-pun tidak mungkin ditolong!"

Paras Pendekar 212 jadi berubah. "Rembulan, tunggu dulu. Ada yang hendak aku tanyakan..." kata Wiro.

Tapi gadis-gadis itu sudah meninggalkan kamar dan menutup pintu. Pendekar 212 memandang sepu-tar kamar. Dia mencium bau wangi setanggi. Tapi di kamar itu tak ada perasaan pertanda bau itu datang dari ruangan lain. "Aneh, bangunan dan juga kamar

Page 26: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

ini berwarna hitam pekat. Di dinding ada bunga-bunga hiasan terbuat dari kain. Juga berwarna hitam. Tem-pat apa ini? Siapa gadis-gadis itu sebenarnya? Hal apa yang menimpa diri pimpinan mereka? Lalu kalau mau mengobati mengapa aku harus berbaring begini rupa. Aku disuruh membuka baju! Aneh! Jangan-jangan me-reka bukan mau mengobati diriku. Tapi hendak mene-pati janji yang mereka ucapkan malam itu! Mau me-nyerahkan diri padaku...."

Selagi Wiro berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba dari ruangan sebelah dia mendengar suara orang ba-nyak seperti tengah membaca doa. "Gadis-gadis itu..." desis Wiro. "Mereka menyebut-nyebut nama Gusti Al-lah, menyebut Tuhan. Berarti mereka memang bukan orang-orang persilatan golongan sesat. Biar ku intip apa yang terjadi di ruang sebelah. Mendadak sang pendekar menjadi tercekat. Telinganya menangkap su-ara sesuatu. "Suara menggereng. Walau halus tapi aku yakin itu suara binatang...."

Perlahan-lahan Wiro turun dari atas ranjang. Tanpa suara dia melangkah mendekati dinding kamar dari balik mana dia mendengar suara orang berdoa. Mula-mula dia hanya menempelkan telinganya ke dinding. Lalu memperhatikan dinding itu dengan teliti Sambil meraba-raba. "Ini satu keanehan lagi. Dinding ini jelas terbuat dari kayu. Dari papan yang disambung satu dengan lain. Tapi mengapa tidak ada sedikit ce-lahpun? Aku tak bisa. mengintip...." Wiro memandang ke arah pintu di sebelah kanan. Dia dekati pintu ini dart pergunakan tangannya untuk membuka. Tidak bisa. Pintu tak dapat terbuka. Dicobanya mencongkel juga tak berhasil. Akhirnya dikeluarkannya Kapak Na-ga Geni 212. Namun baru tangannya meraba senjata mustika itu, di ruang sebelah terdengar suara riuh, diseling suara seperti isak tangis. Lalu ada suara kaki-

Page 27: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

kaki melangkah. Wiro batalkan niatnya membuka pin-tu dengan kapak lalu kembali naik ke atas tempat ti-dur.

*

* * Di kamar sebelah tempat pimpinan Kelompok

Batu Hitam terbaring dalam keadaan tubuh tak berge-rak, mata terpejam dan sekujur kulit berwarna hitam keriput. Mentari Pagi masukkan kalung kepala srigala yang asli ke dalam bokor kuningan. Saat itu juga air di dalam bokor mengepulkan asap putih. Hawa sejuk membungkus seluruh ruangan. Pelita besar menyala lebih terang dan bau setanggi di sudut ruangan mene-bar lebih wangi.

Seperti yang dilakukan sebelumnya, para gadis lalu memanjatkan doa meminta kesembuhan atas diri pimpinan mereka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Lalu dengan kaos halus Mentari Pagi sapukan air di dalam bokor ke seluruh permukaan kulit wajah dan tubuh orang yang terbaring di atas ranjang dalam ujud nenek-nenek. Juga seperti sebelumnya semua gadis itu menunggu dengan perasaan cemas khawatir. Namun perasaan itu serta merta lenyap. Di balik harapan yang muncul menyeruak rasa ngeri melihat apa yang kemu-dian terjadi, walau mereka telah pernah menyaksikan hal itu sebelumnya sampai dua kali.

Wajah dan sosok tubuh yang dipoles dengan air kembang dari dalam bokor kuningan mengeluarkan hawa seperti kabut tipis yang memancarkan tujuh warna pelangi. Kabut ini kemudian bergulung menjadi satu lalu perlahan-lahan bergerak ke arah bokor ku-ningan. Bokor yang dipegang salah seorang gadis itu tiba-tiba bergerak keras dan memancarkan cahaya te-

Page 28: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

rang. Laki terjadilah satu hal luar biasa. Dari dalam

bokor melayang keluar kalung perak berbentuk kepala srigala bermata merah. Sedikit demi sedikit kalung itu membesar. Sepasang matanya yang merah menyo-rotkan cahaya merah muda, lalu berubah menjadi me-rah pekat. Perubahan ukuran kepala srigala itu sema-kin besar hingga kini mencapai dua kali kepala srigala sungguhan. Sorotan dua sinar merah yang keluar dari mata semakin terang dan angker seperti sambaran nyala api. Tapi sebaliknya sinar itu tidak mengelua-rkan hawa panas melainkan sejuk luar biasa.

Kepala srigala julurkan lidahnya beberapa kali lalu bergerak melayang ke tengah ruangan. Setelah berputar-putar sebanyak tujuh kali di atas pembarin-gan, kepala ini bergerak menukik. Dua sinar merah yang keluar dari matanya menyapu wajah, dada, perut terus ke paha dan sampai ke ujung kaki orang yang terbujur di atas ranjang. Hal ini terjadi sampai tujuh kali berturut-turut.

Hal luar biasa kembali terjadi. Sosok wajah dan tubuh yang tadi keriput hitam itu perlahan-lahan be-rubah membentuk daging yang dilapisi kulit segar berwarna putih. Rambut panjang tergerai yang tadinya berwarna putih kini telah berubah menjadi subur hi-tam berkilat. Sepasang mata yang sejak tadi terpejam perlahan-lahan terbuka. Dan seulas senyum merekah di bibir yang sebelumnya selalu terkatup. Kini keliha-tanlah satu sosok tubuh seorang gadis berambut hi-tam, berwajah luar biasa cantiknya. Inilah Pelangi In-dah, pimpinan Kelompok Bumi Hitam. Wajah dan so-sok tubuhnya yang bagus mulus sesuai dengan na-manya.

Semua gadis yang ada di sekeliling pembarin-gan menyerukan rasa syukur, berulang kali menyebut

Page 29: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

nama Tuhan bahkan ada yang setengah berlutut dan keluarkan isak tangis.

Di udara dalam ruangan, kepala srigala raksasa perlahan-lahan menyusut menjadi kecil kembali hing-ga akhirnya kembali ke bentuknya semula berupa ka-lung perak. Kalung kepala srigala ini kemudian me-layang tujuh kali lalu masuk kembali ke dalam bokor berisi air kembang melati.

Mentari Pagi cepat ambil kalung di dalam bokor sementara di atas pembaringan sosok Pelangi Indah bergerak bangkit dan duduk. Rembulan cepat menu-tupi tubuh yang tidak terlindung itu dengan sehelai jubah tipis berwarna hitam: Mentari Pagi mengikatkan sehelai ikat kepala ke kening sang pemimpin. Ikat ke-pala ini terbuat dari kain sutera hitam yang di bagian tengahnya melekat satu batu permata berwarna hitam tapi memancarkan cahaya seperti pelangi. Dengan su-tera berbatu permata itu terikat di keningnya, Pelangi Indah bukan saja tambah cantik jelita tapi juga gagah sekali, penuh wibawa. Mentari Pagi ulurkan tangannya menyerahkan kalung kepala srigala yang terbuat dari perak kepada sang pemimpin. Pelangi Indah ambil benda itu lalu menciumnya penuh takzim, kemudian memasukkannya ke dalam satu kantong di sebelah da-lam pakaian * sutera hitamnya. Setelah itu dia me-mandang pada gadis-gadis yang mengelilinginya di se-putar ranjang.

"Untuk ke tiga kalinya kalian telah berbuat jasa besar. Menyembuhkan aku dari penyakit yang selama ini ku derita dan tak pernah bisa disembuhkan kalau tidak dengan kalung sakti kepala srigala yang terbuat dari perak murni itu. Beberapa waktu lalu kalung yang juga merupakan lambang kepemimpinan Kelompok Batu Hitam itu telah lenyap dicuri orang. Kalian ber-hasil mendapatkannya kembali dan menyembuhkan

Page 30: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

aku dari santet seratus tahun yang membuat aku be-rubah menjadi seorang nenek-nenek buruk mengeri-kan. Tidak tahu aku bagaimana harus membalas budi dan jasa kalian...."

Semua gadis yang ada di seputar ranjang ja-tuhkan diri berlutut. Mentari Pagi mewakili mereka bi-cara.

"Kami adalah anggota Kelompok Bumi Hitam. Kami adalah anak buahmu dan kau adalah pimpinan kami! Semua apa yang kami lakukan merupakan satu kewajiban. Lebih dari itu kami menganggapnya sebagai tugas suci. Jadi kami mohon pimpinan jangan bicara segala budi dan jasa."

Pelangi Indah tersenyum dan. pegang pundak Mentari Pagi. "Ada dua hal yang tidak biasanya ku li-hat dan ku rasakan saat ini. Pertama, aku tidak meli-hat Ki Tawang Alu, kakek yang menjadi Wakil ku. Ke-dua aku merasa ada tarikan nafas berat seseorang di-balik ruangan sebelah kiri. Dapatkah kalian mene-rangkan?"

"Pimpinan kami Pelangi Indah," berkata Mentari Pagi. "Sebenarnya kesembuhan mu itu sangat berkait dengan pertolongan seorang pemuda. Berminggu-minggu kami mencari kalung yang hilang. Ternyata ka-lung mustika itu ditemukan oleh si pemuda. Dengan sukarela dia menyerahkan patung itu pada kami. Men-genai Ki Tawang Alu, kakek muka putih itu ternyata memang ular kepala dua, musuh dalam selimut. Rem-bulan, harap kau menuturkan apa yang telah terja-di...."

Rembulan lalu menceritakan riwayat pengkhia-natan Ki Tawang Alu. Pelangi Indah gelengkan kepa-lanya. Wajahnya tampak merah pertanda marah. "Aku memang sudah lama menaruh curiga pada manusia satu itu. Kalau saja tidak mengingat pesan Eyang Pa-

Page 31: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

lopo, sejak dulu dia sudah kuusir dari sini. Tapi su-dahlah, buat apa memikirkan si pengkhianat itu. Dia sudah menerima balasan. Menjadi cacat seumur hi-dup. Tapi kita harus berwaspada. Dia pasti akan men-dekam dendam kesumat dan sewaktu-waktu muncul lagi membalaskan sakit hati."

"Kami siap siaga dan selalu waspada menjaga segala kemungkinan," kata Mentari Pagi.

Lalu Pelangi Indah bertanya. "Mengenai pemu-da yang telah menolong dan menyerahkan kalung mustika sakti, bahkan sampai mempertaruhkan ji-wanya itu, siapakah namanya dan dimana beradanya sekarang?"

"Namanya Wiro Sableng. Konon dia yang berju-luk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212..." jawab Mentari Pagi.

Terkejutlah Pelangi Indah sampai gadis ini ber-gerak turun dari atas ranjang dan menatap lekat-lekat pada Mentari Pagi, lalu memandang berkeliling pada anak buahnya.

"Tidak salahkah telingaku mendengar?!" "Tidak, yang aku ucapkan memang nama itu.

Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 dari Gunung Gede," mengulang Mentari Pagi.

Lalu Rembulan menambahkan. "Pemuda itu se karang ada di kamar sebelah. Dia berada dalam

keadaan...." Belum selesai ucapan Rembulan, Pelangi Indah

telah keluar dari pintu ruangan.

* * *

Page 32: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

5

KECUPAN DALAM GELAP BEGITU mendengar pintu terbuka, murid

Eyang Sinto Gendeng segera pejamkan mata, berpura-pura tidak sadarkan diri. Tubuhnya tidak bergerak se-dikitpun. Diam-diam dia alirkan hawa sakti dingin hingga sekujur permukaan kulitnya menjadi dingin.

Berdiri di depan tempat tidur, didampingi oleh para anak buahnya, Pelangi Indah pandangi wajah dan sosok Pendekar 212. Dari mulutnya meluncur perla-han kata-kata. "Sepuluh tahun lebih aku menunggu, akhirnya dapat juga aku bertemu muka dengan pen-dekar ini...."

Dua tangan Pelangi Indah bergerak ke depan lalu breettt! Dia robek dada pakaian Wiro. Seorang anak buahnya disuruh mengambil pelita dalam ruan-gan lalu didekatkan ke tepi tempat tidur.

"Pukulan Seribu Kati!" kata Pelangi Indah agak tercekat ketika melihat tanda biru pada bagian dada kiri Wiro yang menggembung bengkak. "Ki Tawang Alu benar-benar berniat jahat hendak membunuhnya den-gan pukulan beracun itu...."

"Setahu kami senjata berbentuk kapak yang terselip di pinggang Pendekar 212 adalah senjata yang sangat ampuh melindungi diri dari racun. Juga bisa dipakai untuk menyedot racun. Bagaimana mungkin sekarang dia tidak mampu melakukan sesuatu...?"

Pelangi Indah menjawab. "Setiap senjata musti-ka sakti bukanlah segala-galanya. Apa kau tidak per-nah mendengar ujar-ujar bahwa di atas langit masih ada langit lagi? Keadaannya cukup parah. Kalau tidak

Page 33: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

lekas ditangani nyawanya tak bakal tertolong...." Mentari Pagi ulurkan tangan memegang lengan

Wiro. "Dingin.... Aliran darahnya mungkin sudah mulai menyendat...."

Pelangi Indah cabut Kapak Naga Geni 212 dari pinggang Wiro lalu menyerahkannya pada Rembulan. Ketika dia memeriksa lagi bagian lain dari pinggang murid Sinto Gendeng itu dan menemukan batu hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 terkejutlah pim-pinan Kelompok Bumi Hitam ini. Tubuhnya bergetar dan perlahan-lahan dia jatuhkan diri, membungkuk dengan satu lutut bersitekan ke lantai kayu. Tentu sa-ja hal ini membuat heran semua gadis yang ada di si-tu. Dia adalah pimpinan tertinggi dalam Kelompok Bumi Hitam. Sementara Wiro walaupun punya nama besar di rimba persilatan tetapi adalah orang luar. Mengapa kini pimpinan mereka jatuhkan diri berlutut sambil pegang batu hitam dan menekapkannya ke da-da?

"Eyang Palopo..." suara Pelangi Indah bergetar perlahan. "Batu mustika sakti yang kau katakan itu te-lah kutemukan. Hanya sayang sudah menjadi milik orang lain. Aku tidak dapat mengikuti pesanmu. Aku tidak mau mengambil benda yang bukan milikku wa-lau menurutmu asal usul batu ini adalah milik nenek moyang kita...."

Pelangi Indah cium batu hitam itu dengan khidmat lalu diserahkannya pada Mentari Pagi. "Rem-bulan dan Mentari Pagi, jaga baik-baik dua senjata sakti milik pemuda ini: Kembalikan padanya jika dia sudah sembuh kelak. Sekarang kalian semua keluar-lah dari kamar ini. Aku akan mengobatinya. Semoga Tuhan menolong diriku dan dirinya...."

"Pimpinan kami Pelangi Indah, jika kau tidak berkeberatan, aku sanggup membebaskannya dari ra-

Page 34: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

cun Pukulan Seribu Kati," berkata Mentari Pagi. "Dia telah menyelamatkan diriku dengan me-

nyerahkan kalung kepala srigala. Kini giliranku untuk selamatkan jiwanya," jawab Pelangi Indah pula.

Mendengar ucapan sang pemimpin walaupun diam-diam merasa kecewa Mentari Pagi, Rembulan dan yang lain-lain sama membungkuk lalu tinggal kan ka-mar itu. Setelah hanya tinggal berdua, Pelangi indah sentuh kening Wiro dengan telapak tangan kirinya. Te-rasa dingin. Dia tersenyum lalu berkata.

"Pendekar dari Gunung Gede, aku kagum den-gan kekuatanmu, mampu bertahan terhadap pukulan beracun Seribu Kati. Orang lain mungkin sudah me-nemui ajal. Tapi bagaimanapun juga racun dalam tu-buhmu harus dikeluarkan. Hanya satu hal yang aku heran. Mengapa kau berpura-pura pingsan dan alirkan hawa dingin ke permukaan kulitmu? Aku mendengar selain berkepandaian tinggi kau adalah seorang pemu-da konyol yang suka menggoda orang. Mungkin hal itu benar adanya...."

Menyadari orang sudah mengetahui perbua-tannya berpura-pura, sambil menahan tawa murid Sinto Gendeng segera buka matanya. Begitu dia meli-hat wajah di atasnya langsung saja dia jadi terkesima. Dia telah menyaksikan kecantikan wajah Mentari Pagi yang anggun penuh wibawa. Dia juga telah melihat ke-jelitaan paras Rembulan yang sulit dicari bandingnya. Namun ternyata wajah gadis bernama Pelangi Indah yang jadi pimpinan Kelompok Bumi Hitam itu melebihi ke dua gadis itu. Selain cantik dan berkulit putih mu-lus, dengan ikatan kain sutera hitam di kepalanya Pe-langi Indah benar-benar tampak gagah. Selain itu dia juga memiliki sepasang mata yang tajam tapi bisa be-rubah lembut dan jika memandang seolah menyentuh sampai ke lubuk hati.

Page 35: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

"Pimpinan Kelompok Bumi Hitam...." "Kau boleh memanggil namaku...." "Hemmm.... Pelangi Indah, jangan menduga sa-

lah. Aku tidak tahu apa yang hendak dilakukan orang-orangmu terhadapku. Ternyata kini aku mendapat ke-hormatan besar. Kau sendiri yang hendak menolong-ku. Sejak satu hari ini dadaku sakit bukan kepalang dan darah masih mengalir dari mulutku. Belum per-nah aku mengalami cidera seperti ini. Apa benar kea-daanku gawat...?"

"Memang gawat. Aku berusaha mengobati. Kau harap berdoa memohon pertolongan Tuhan..." kata Pe-langi Indah lalu keluarkan kalung kepala srigala perak dari balik pakaiannya. Saat itulah Wiro menyadari be-tapa tipisnya jubah hitam yang dikenakan si gadis hingga walau cahaya pelita dalam kamar tidak terlalu terang namun dia dapat melihat jelas lekuk-lekuk tu-buh Pelangi Indah mulai dari dada sampai ke ping-gang.

"Aku mau kencing..." kata Pendekar 212 tiba-tiba.

"Jangan berbuat macam-macam. Terlalu ba-nyak kau bergerak racun dalam tubuhmu akan me-nyebar kemana-mana...."

"Aku tidak bergurau. Tapi biar sekali ini aku mengikuti ucapanmu. Akan ku coba menahan kenc-ing!" kata Wiro sambil menyeringai dan hendak meng-garuk kepala. Tapi lengannya cepat ditahan oleh Pe-langi Indah. Kalung kepala srigala yang di keluarkan-nya dari balik pakaian diletakkannya di dada kiri Pen-dekar 212, tepat pada bagian yang bengkak membiru akibat jotosan Seribu Kati. Satu hawa sejuk masuk menembus permukaan kulit Wiro.

"Kau sudah siap...?" Pelangi Indah bertanya. "Aku... ya aku siap," jawab Wiro walau dia tidak

Page 36: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

tahu apa yang akan dilakukan si gadis. Pelangi Indah menatap ke arah pelita di sudut

ruangan. Perlahan-lahan nyala api pelita menjadi kecil meredup tapi tidak sampai padam. Ruangan yang ti-dak seberapa besar itu menjadi temaram. Si gadis de-kap pipi Pendekar 212 dengan ke dua tangannya. Ke-palanya lalu diturunkan mendekati wajah sang pende-kar. Lalu tiba-tiba saja bibirnya sudah menyentuh bi-bir Wiro. Wiro merasakan satu kecupan sangat keras hingga bukan saja lidahnya tertarik keluar tapi isi pe-rutnya juga seolah tersedot. Dari dadanya yang cedera dan dari perut keluar suara seperti air menggelegak. Suara aneh ini berpindah ke tenggorokannya lalu dia merasa ada cairan banyak sekali memenuhi mulutnya. Pelangi Indah menyedot. Cairan di dalam mulut Wiro berpindah ke mulutnya. Lalu dia menyemburkan cai-ran dalam mulutnya itu ke dinding. Dinding yang ta-dinya hitam berubah menjadi biru pekat. Pelangi Indah seka mulutnya yang basah. Bengkak membiru di dada kiri Wiro serta merta lenyap. Rasa sakit hilang dan ke-kuatannya pulih kembali.

"Racun jahat..." ujar Wiro seraya memperhati-kan cairan biru yang menutupi dinding.

"Kau selamat..." bisik Pelangi Indah. Wiro berpaling. Dilihatnya gadis cantik itu te-

gak berpegangan ke tepi ranjang. Tubuhnya mandi ke-ringat. Wajahnya kemerahan. Dia tertegak limbung. Wiro cepat memegang pinggang gadis itu agar tidak ja-tuh. Untuk menyedot racun pukulan yang ada dalam tubuh Wiro, si gadis telah mengerahkan tenaga luar dan dalam habis-habisan. Itu sebabnya tubuhnya mandi keringat dan menjadi lemah. Dalam keadaan terkulai letih tubuh si gadis jatuh di atas dada Pende-kar 212. Kening mereka saling bertindihan.

"Pendekar 212, sepuluh tahun aku menunggu

Page 37: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

kedatanganmu. Kau muncul membawa keselamatan bagi diriku! Kau datang membawa batu hitam mustika sakti pelambang kepada siapa aku harus tunduk dan menyerahkan diri. Wiro, kau tidak boleh meninggalkan tempat ini untuk selama-lamanya...."

Tentu saja Wiro merasa terkejut mendengar ucapan si gadis. "Aku berhutang nyawa padanya. Ka-lau dia sampai memaksa urusan bisa jadi tidak ka-ruan..." ujar Wiro dalam hati. Lalu dia berkata.

"Pelangi Indah, kau telah menyelamatkan jiwa ku. Aku mengucapkan terima kasih. Tapi aku tidak mengerti arti...."

Wiro tidak dapat melanjutkan ucapannya. Ka-rena bibir si gadis telah menempel di bibirnya. Kembali dia merasakan satu kecupan keras.

"Astaga, apakah ini masih merupakan kecupan untuk mengobati diriku atau kecupan lain..." kata Wiro dalam hati. Tangan kanannya menggaruk ke kepala. Namun kemudian perlahan-lahan tangan itu bergerak merangkul tubuh lembut Pelangi Indah. Dalam kea-daan seperti itu Pendekar 212 ingat akan niatnya un-tuk mendapatkan ilmu kesaktian yang bernama Sepa-sang Sinar Inti Roh. Dia harus menunggu 49 tahun karena Sinto Gendeng menganggap dirinya belum mampu menerima ilmu kesaktian itu mengingat dia merupakan seorang pemuda yang masih suka pada wajah cantik dan tubuh mulus. Dalam hati Wiro mem-batin. "Nenek itu benar. Dalam keadaan seperti ini ba-gaimana mungkin aku mau menolak. Siapa mau me-nyia-nyiakan kesempatan! Walah! Biar tidak aku pikir-kan dulu ilmu itu! Kalau memang aku harus menung-gu sekian lama apa boleh buat! Benar juga kata orang. Sehabis sengsara biasanya datang bahagia tak terdu-ga."

"Wiro, apakah kau masih kepingin kencing?" ti-

Page 38: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

ba-tiba Pelangi Indah berbisik. "Hemm.... Apa? Tadi aku cuma bergurau. Jan-

gan khawatir, aku tidak bakalan ngompol di celana!" Wiro menyeringai lalu tertawa tertahan-tahan.

Pelangi Indah sendiri tidak kuasa menahan ta-wanya. Untung saja Wiro cepat merangkul tubuhnya hingga suara tawanya tenggelam di atas dada bidang sang pendekar.

TAMAT

Segera terbit: TELUK AKHIRAT

Page 39: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

ARIO BLEDEG Petir di Mahameru

12

TASBIH KI AGENG BELA BUMI

DALAM kagetnya melihat kecepatan lawan

membuat gerakan mengelak Warok Wesi Gludug berbi-sik pada nenek di sebelahnya. "Setahuku kakek butut itu hanyalah orang tolol tukang pembuat keris. Ternya-ta dia memiliki ilmu silat tinggi dan sanggup menghin-darkan diri dari serangan kita berdua!"

"Kau bicara seolah nyalimu sudah leleh! Sung-guh memalukan Warok yang telah menggegerkan bela-han tengah tanah Jawa berucap seperti itu!"

Kata-kata nenek berjuluk Si Lidah Bangkai itu membuat tampang garang Warok Wesi Gludug menjadi kelam membesi. Rahangnya menggembung. Dua len-gannya digesekkan hingga mengeluarkan suara seperti dua batangan besi saling digosok!. Memandang ke de-pan dilihatnya Empu Bondan Ciptaning telah berada beberapa tombak di kejauhan, melangkah cepat me-ninggalkan telaga. "Empu keparat! Kau mau lari ke-mana!

Kau kira bisa lolos dari tanganku!" Habis berte-riak Warok Wesi Gludug gebuk pinggul tunggangan-nya. Kuda hitam itu meringkik keras lalu melesat ke depan.

Si Lidah Bangkai tertawa panjang. Dia merasa

Page 40: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

gembira dapat membakar semangat sobatnya itu. Tan-pa tunggu lebih lama nenek ini segera pula mengge-brak kuda hitamnya, Sesaat kemudian Empu Bondan Ciptaning telah dijepit oleh dua kuda besar itu hingga dia terpaksa menghentikan langkahnya.

"Empu tolol! Apa kau mau mati sia-sia hanya karena mempertahankan barang yang bukan milik-mu?!" membentak Si Lidah Bangkai.

Empu Bondan Ciptaning mengangkat kepa-lanya. Dengan suara dan sikap tenang dia menjawab. "Kalau barang-barang yang kalian minta memang mi-likku, sudah dari tadi aku serahkan secara ikhlas. Tapi seperti ku jelaskan. Kitab dan tasbih ini adalah barang titipan yang harus aku jaga baik-baik..."

"Pandainya kau berdalih memutar lidah!" har-dik Warok Wesi Gludug. Tangan kanannya yang seke-ras besi dipukulkannya ke batok kepala Empu Bondan Ciptaning. Di saat bersamaan Si Lidah Bangkai me-nyembur. Lidahnya yang merah bercabang melesat, bergulung menyambar ke arah leher sang Empu, me-muncratkan cairan merah.

"Kalian berdua, mengapa masih berkeras hati berusaha memiliki barang yang bukan hak kalian. Apakah hati dan benak kalian telah berubah menjadi batu hingga tidak mau berlaku sadar?!"

Sambil berucap begitu Empu Bondan Ciptaning rundukkan kepalanya, lalu untuk selamatkan diri dari dua serangan lawan dia cepat melompat ke bawah pe-rut kuda tunggangan Si Lidah Bangkai. Nenek ini ber-teriak marah. Dia sentakkan tali kekang kudanya hingga binatang ini menghambur ke depan. Jika Empu Bondan Ciptaning masih mendekam di bawah tubuh kuda, niscaya dirinya akan diterjang dua kaki bela-kang binatang itu. Tapi orang tua ini sudah tahu apa yang bakal terjadi. Begitu Si Lidah Bangkai menyen-

Page 41: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

takkan tali kekang dia sudah melompat ke kiri, ber-pindah berlindung di bawah sosok kuda tunggangan Warok Wesi Gludug.

"Jahanam benar! Dia berani mempermainkan kita!" teriak Sang Warok. Sambil bergelantungan di leher kuda dia jatuhkan diri ke samping kanan. Ber-samaan dengan itu kaki kanannya menendang ke ba-wah. Inilah tendangan mengandung tenaga dalam tinggi yang bisa memecahkan batu. Dan yang jadi sa-sarannya saat itu adalah kepala Empu Bondan Ciptan-ing yang tengah merunduk di bawah tubuh kuda!

Tendangan kaki kanan itu tidak terduga dan datangnya cepat sekali. Walau masih mampu melihat datangnya serangan namun Sang Empu tidak mung-kin mengelak dengan cara melompat atau merunduk-kan kepala. Satu-satunya yang bisa dilakukannya ia-lah menangkis dengan tangan kirinya.

"Bukkk!" Tangan dan kaki beradu keras. Empu Bondan

Ciptaning merasa lengannya seperti dihantam palang besi. Dia menggigit bibir menahan teriak kesakitan. Tubuhnya terpental beberapa langkah, terbanting ja-tuh punggung di tanah. Sebelum dia sempat bangkit Si Lidah Bangkai telah menggebrak kuda tunggangannya ke arah sosok Sang Empu yang masih tergeletak di ta-nah.

Di atas kuda si nenek tertawa mengekeh. Dia sudah mengira kaki-kaki kuda tunggangannya akan menghunjam menghancurkan tulang dada dan tulang-tulang iga Sang Empu. Tapi alangkah kagetnya si ne-nek dan suara tawanya serta merta lenyap ketika mendadak kuda tunggangannya meringkik keras lalu terangkat ke atas, berputar laksana titiran dan selan-jutnya terlempar sejauh dua tombak lalu tergelimpang di tanah!

Page 42: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

Apakah yang telah terjadi? Ketika Si Lidah Bangkai menghamburkan ku-

danya ke arah dirinya yang masih tergeletak di tanah, Empu Bondan Ciptaning sudah maklum bahaya apa yang akan melandanya. Dia tak berani melompat bangkit karena gerakan-nya pasti akan kalah cepat dengan kedatangan hantaman kaki-kaki kuda. Orang tua ini menunggu sesaat. Matanya mengawasi. Begitu dua kaki terdepan kuda tunggangan Si Lidah Bangkai menghunjam ke arahnya, Empu Bondan Ciptaning dengan cepat gulingkan diri ke depan. Dua kaki kuda lewat di kepalanya, membongkar tanah menerbangkan debu. Saat itu juga Empu Bondan Ciptaning lesatkan pinggangnya ke atas. Sementara punggungnya masih bertumpu di tanah, kaki kanannya melesat ke atas, menyodok perut kuda. Sebelum lawannya tahu apa yang terjadi, dengan satu kekuatan yang sulit diper-caya Empu Bondan Ciptaning angkat tubuh kuda. itu berikut penunggangnya lalu diputar dan dilemparkan!

Si Lidah Bangkai berteriak marah. Kalau dia ti-dak lekas melompat jungkir balik niscaya mukanya akan berkelukuran dimakan tanah walau terlapis sisik aneh hitam kebiruan. Sementara kudanya bangkit ter-huyung-huyung si nenek telah berdiri tegak, meman-dang ke arah Empu Bondan Ciptaning yang saat itu juga telah berdiri tegak, memandang dengan raut wa-jah kasihan kepada kuda hitam yang tadi dilempar-kannya.

"Kuda hitam, kau tak berdosa. Tapi terpaksa menerima derita. Maafkan perbuatanku itu..." Sang Empu mengeluarkan suara batinnya.

"Empu jahanam! Kau memang benar-benar minta mati!" Mulut si nenek membentak keras sedang matanya memandang berapi-api. Dua tangannya dis-ilangkan ke depan lalu didorongkan. Di saat bersa-

Page 43: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

maan Warok Wesi Gludug telah melesat turun dari ku-danya dan secara licik dia melompat ke belakang Em-pu Bondan Ciptaning. Dua tangannya yang penuh bu-lu dipentang ke atas. Bersamaan dengan gerakan me-nyerang Si Lidah Bangkai, Warok Wesi Gludug meng-gebrak pula dengan menghantamkan tangan kanannya ke bagian belakang kepala lawan.

Empu Bondan Ciptaning bukannya tidak tahu kalau salah satu lawan telah menyerangnya dari bela-kang secara pengecut. Tetapi saat itu dia lebih mem-perhatikan gerakan sepasang tangan Si Lidah Bangkai yang ada di depannya.

"Pukulan Gunting Iblis!" kata Sang Empu da-lam hati. Rupanya dia telah mengetahui dengan ilmu kesaktian apa si nenek hendak menghantamnya. Pu-kulan Gunting Iblis yang dimiliki nenek berjuluk Si Li-dah Bangkai memang telah menggegerkan dan mena-kutkan delapan penjuru angin rimba persilatan tanah Jawa, terutama menjelang berdirinya Kerajaan Demak dengan Rajanya yang pertama yakni Raden Patah. "Dia hendak menyerangku dengan pukulan maut itu!"

Dua tangan Si Lidah Bangkai bergerak bersi-langan.

"Clakk! Claakk!" Terdengar suara mengerikan. Lebih menggidik-

kan lagi ketika dari dua telapak tangan si nenek ber-tampang angker itu tiba-tiba melesat dua larik sinar hitam, bergerak meluncur bersilangan, mengeluarkan suara seperti sebuah gunting raksasa!

Seperti diketahui sebagai seorang Empu, Bon-dan Ciptaning sepanjang usianya memusatkan kepan-daian dan kesaktiannya pada ilmu membuat berbagai senjata sakti. Walau dia memiliki ilmu silat yang bu-kan sembarangan dan juga menguasai beberapa puku-lan sakti namun dibanding dengan ilmu kesaktian

Page 44: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

yang dimiliki sahabatnya Ki Suro Gusti Bendoro, Sang Empu jauh tertinggal.

Dan saat itu ketika dia menghadapi serangan maut dari depan dan dari belakang, walau masih me-nunjukkan sikap tenang namun hati kecilnya menge-luh. Dia tahu jarang ada orang yang sanggup atau bisa menyelamatkan diri dari serangan Pukulan Gunting Ib-lis. Mungkin juga dia adalah salah satu di antaranya!

"Aku tidak takut menemui kematian di tangan dua manusia sesat ini. Tapi kematianku akan memba-wa penyesalan sampai ke alam baka karena aku tidak bisa menyelamatkan dua barang titipan yang ada pa-daku...."

Di saat hatinya bersuara, di saat kematian su-dah di depan mata tiba-tiba Empu Bondan Ciptaning ingat pada salah satu barang yang diserahkan saha-batnya Ki Suro Gusti Bendoro kepadanya beberapa waktu sebelumnya. Yaitu yang kini terkalung di leher-nya!

"Tasbih sakti! Tasbih Ki Ageng Beta Bumi!" Tangan Sang Empu serta merta bergerak ke leher. "Sahabatku Ki Suro.... Harap maafkan kelancanganku. Aku terpaksa mempergunakan tasbih pusaka, barang sakti mandraguna milikmu ini untuk menyelamatkan diri.... Semoga Yang Maha Tunggal mengampuni kesa-lahanku! Semoga dua musuhku tidak akan mendapat celaka oleh tasbih sakti ini...."

Ketika tangan sekeras besi Warok Wesi Gludug hanya tinggal sejengkal lagi untuk menghancurkan ba-tok kepala sebelah belakang Empu Bondan Ciptaning dan dua sinar hitam menggidikkan dalam kejapan hampir bersamaan siap membantai putus pinggang-nya, tiba-tiba menggelegar suara menggaung. Bersa-maan dengan itu selarik sinar hijau berbentuk lingka-ran bergulung di udara, membungkus sosok Empu

Page 45: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

Bondan Ciptaning mulai dari kepala sampai ke ping-gul. Dua suara berdentrangan menggema membuat denyutan keras pada jantung. Dua jeritan setinggi lan-git menggelegar serasa membobol gendang-gendang te-linga!

Di tengah kalangan pertempuran Empu Bondan Ciptaning kelihatan tegak dengan tubuh bergetar dan dada terbungkuk menahan gejolak. Di tangan kanan-nya dia masih memegang Tasbih Ki Ageng Bela Bumi yang terbuat dari batu Giok hijau. Untuk beberapa la-manya tasbih sakti itu kelihatan mengepulkan asap kehijau-hijauan.

Empu Bondan Ciptaning berpaling ketika telin-ganya menangkap suara orang mengerang di bela-kangnya. Delapan langkah di sebelah sana sosok tinggi besar Warok Wesi Gludug terkapar di tanah dalam keadaan benar-benar mengenaskan. Rambutnya yang sebelumnya dikuncir kini kelihatan hangus awut-awutan. Begitu juga cambang bawuk.

janggut serta kumis tebal dan bulu-bulu yang memenuhi dadanya. Kulit mukanya dari kening sam-pai ke dagu, lalu di bagian badan mulai dari leher sampai ke perut yang telanjang tampak merah bahkan ada yang terkelupas. Yang paling mengerikan adalah tangan kanannya yang tadi dipergunakan memukul batok kepala lawannya. Tangan yang sekokoh besi itu kini tidak lagi memiliki jari barang sepotong-pun kare-na seluruh telapak tangannya telah hancur. Bagian ujung lengannya yang putus remuk, menggembung merah. Cidera inilah yang merupakan sumber sakit yang bukan alang kepalang hingga Warok Wesi Gludug melejang-lejang menggeliat-geliat sambil tiada hentinya mengerang.

Empu Bondan Ciptaning memandang berkelil-ing. Matanya mencari-cari. Tapi dia sama sekali tidak

Page 46: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

melihat Si Lidah Bangkai. Kemana lenyapnya nenek itu? Mungkin telah kabur melarikan diri. Kemudian pandangan sepasang mata Sang Empu membentur se-buah benda yang tergeletak di tanah, di dekat rerum-putan dan semak belukar rendah. Tengkuknya lang-sung terasa dingin. Bagaimanakah tidak. Benda yang tergeletak di tanah itu adalah potongan tangan kanan manusia mulai dari ujung-ujung jari sampai sebatas siku yang telah mengelupas seluruh dagingnya dan hanya tinggal tulangnya saja yang kelihatan memutih! Mungkinkah itu potongan tangan kanan Si Lidah Bangkai? Berarti nenek itu juga mengalami cidera be-rat akibat adu kekuatan dengan tasbih sakti tadi.

Empu Bondan Ciptaning langsung pejamkan mata dan pegang keningnya dengan tangan kiri. "Tu-han Agung, Maha Kuasa, Maha Penolong! Ampuni dosa kesalahanku! Aku telah berani berlaku lancang melu-kai menciderai sesama umat. Penyesalan ku lebih mendalam lagi Ya Tuhan karena untuk berbuat dosa itu aku dengan lancang mempergunakan senjata milik orang lain. Tuhan, aku tahu dua musuhku tadi adalah orang-orang sesat dan jahat! Tapi dengan melakukan kekejaman ini terhadap mereka berarti aku tidak lebih baik dari keduanya. Ampuni dosa dan kesalahanku wahai Yang Maha Kuasa...."

Suara erang kesakitan yang keluar dari mulut Warok Wesi Gludug menyadarkan Empu Bondan Cip-taning. Dia kalungkan Tasbih Ki Ageng Bela Bumi ke lehernya lalu melangkah cepat mendekati kepala pe-rampok hutan Roban itu.

Meski sakit mendera dirinya- mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki namun Warok Wesi Glu-dug masih bisa melihat siapa yang datang dan kemu-dian berlutut di sampingnya.

"Aku mohon...." Suara Sang Warok sesaat ter-

Page 47: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

putus oleh erang kesakitan. "Aku mohon kau bunuh aku saat ini juga! Aku... tidak sanggup lagi menahan rasa sakit ini! Bunuh! Habisi aku saat ini juga!"

Empu Bondan Ciptaning benar-benar tidak tega melihat keadaan Warok Wesi Gludug. Ke dua tangan-nya bergerak. Bukan untuk memenuhi permintaan penjahat itu, tetapi malah sebaliknya. Dengan cepat Empu Bondan Ciptaning menotok tubuh Sang Warok di beberapa bagian. Lalu dari saku jubah birunya dike-luarkannya sebuah kantong kecil terbuat dari kain. Di dalam kantong ini ada sejenis bubuk berwarna putih. Sebagian dari bubuk itu dimasukkannya ke dalam mu-lut Warok Wesi Gludug, sisanya ditaburkannya di tan-gan kanan yang hancur. Tak selang berapa lama suara erang kesakitan dari mulut kepala rampok itu mulai perlahan lalu berhenti sama sekali. Matanya meman-dang sayu pada Sang Empu, mulutnya bergerak seper-ti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tak ada suara yang keluar karena sekujur tubuhnya saat itu berada dalam keadaan sangat lemah.

"Kau tak perlu mengucapkan apa-apa..." kata Sang Empu pula sambil memegang kening Warok Wesi Gludug. "Dengar, aku tak mungkin membawamu ke hutan Roban. Yang bisa kulakukan adalah menaikkan mu ke atas kudamu. Binatang itu akan membawamu ke tempat kediamanmu...."

Mulut Warok Wesi Gludug kembali bergerak. Namun tetap saja tak ada suara yang keluar. Cukup susah bagi Empu Bondan Ciptaning menggotong tu-buh tinggi besar Sang Warok lalu membaringkannya menelungkup membelintang di atas pelana di pung-gung binatang itu.

"Warok Wesi Gludug, aku mengaku telah bersa-lah besar mencelakaimu. Maafkan diriku. Aku berdoa agar kau bisa sampai di tempat kediamanmu dengan

Page 48: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

cepat dan selamat..." Empu Bondan Ciptaning mengu-sap punggung Sang Warok, lalu menepuk pinggul ku-da hitam. Binatang ini seperti segan hendak mening-galkan tempat itu. Empu Bondan Ciptaning membelai tengkuknya beberapa kali lalu menepuk pinggulnya sekali lagi. Setelah menggaruk-garuk tanah dengan dua kaki depannya, akhirnya kuda hitam itu mulai melangkah pergi. Empu Bondan Ciptaning menghela nafas dalam lalu tinggalkan pula tempat itu.

***

13 SEBELUM mengikuti kelanjutan apa yang dila-

kukan Empu Bondan Ciptaning, kemana perginya Sang Empu itu dan apa yang terjadi dengan Tasbih Ki Ageng Bela Bumi serta Kitab Hikayat Keraton Kuno ki-ta kembali dulu pada masa belasan tahun silam ketika Kesultanan Demak mulai dirundung kemelut dan tak habis-habisnya mengalami musibah berdarah.

Pada masa itu yang memerintah di Demak ada-lah Sultan Trenggono. Dalam usahanya memperluas daerah kekuasaan Demak dan sekaligus mengem-bangkan ajaran agama Islam, Sultan Trenggono me-nyerbu Pasuruan yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Malang bagi Sultan, dalam satu kecamuk perang yang dahsyat dia bersama sekelompok pasukannya terjebak. Usaha untuk meloloskan diri sia-sia saja ka-rena seluruh tempat sudah dikurung. Sultan akhirnya tewas di tangan musuh.

Gugurnya Sultan Trenggono bukan saja meng-gemparkan Demak tapi sekaligus menimbulkan keka-cauan besar. Beberapa orang yang merasa dirinya ber-

Page 49: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

hak menggantikan Trenggono saling berebut kekua-saan. Terjadi kekacauan besar karena mereka saling mempergunakan kekuatan senjata. Pertempuran terja-di dimana-mana. Kotaraja hancur. Mereka yang saling memperebutkan tahta kerajaan itu adalah Pangeran Tua Sekar Seda Lepen yang adalah adik mendiang Ra-den Patah, Raja pertama Kesultanan Demak. Sebagai adik kandung Raden Patah, Pangeran ini merasa kini dialah yang paling punya hak untuk memegang tam-puk kekuasaan tertinggi di Kesultanan Demak. Lalu yang menjadi lawan Pangeran Sekar Seda Lepen ada-lah Pangeran Prawoto yang bukan lain adalah putera Sultan Trenggono sendiri, jadi sebenarnya masih me-rupakan cucu Pangeran Sekar Seda Lepen sendiri.

Suatu ketika Pangeran Sekar bersama para pengikutnya memasuki Kotaraja dari arah timur. Saat itu malam hari. Udara mencucuk dingin karena siang-nya telah turun hujan cukup lebat. Dia sengaja men-gambil jalan berputar menyeberangi sebuah sungai un-tuk menghindari pasukan kerajaan yang setia pada Pangeran Prawoto yang berada di dalam kota dan pasti bersiap siaga di berbagai penjuru Kotaraja.

Rencana Pangeran Tua Sekar adalah akan ber-gabung dengan induk pasukannya di satu tempat ra-hasia sebelum menyerbu Keraton Demak. Karena hu-jan di siang hari, pada malam itu arus sungai cukup deras. Pangeran Sekar dan rombongannya dengan me-nunggangi kuda menyeberangi sungai dengan sangat hati-hati. Yang mereka awasi bukan cuma arus yang deras dan bisa menghanyutkan mereka, tetapi juga pinggiran sungai di seberang sana karena tidak mus-tahil bahaya bisa datang dari musuh yang bersem-bunyi di tebing sungai. Kekhawatiran Pangeran Sekar ternyata terbukti sesaat kemudian. Di malam yang dingin dan sunyi dimana hanya suara deru arus sun-

Page 50: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

gai yang terdengar tiba-tiba ada suara suitan dua kali berturut-turut. Lalu dari dalam rimba belantara gelap di seberang sungai kelihatan berkelebatan puluhan bayangan hitam.

Mata tajam Pangeran Sekar Seda Lepen segera melihat dan menyadari datangnya bahaya. Saat itu dia bersama tiga puluh orang anggota pasukannya telah berada di tengah-tengah sungai. Cepat Sang Pangeran berteriak.

"Musuh di depan kita! Semua lekas balik ke te-pi barat!"

Tiga puluh satu ekor kuda segera diputar ber-balik ke arah tepi sungai dari mana mereka datang se-belumnya. Ini bukan pekerjaan mudah. Selain bina-tang tunggangan mereka masuk ke dalam air hampir setinggi punggung, saat itu arus air deras sekali. Keti-ka dengan susah payah akhirnya mereka bisa memu-tar kuda masing-masing dan bergerak menuju tepian yang berlawanan tiba-tiba salah seorang anggota pa-sukan yang kini berada paling depan berseru tegang sambil menunjuk.

"Celaka Pangeran! Kita terjebak! Lihat di sebe-rang sana!"

Pangeran Tua Sekar Seda Lepen, diikuti semua anggota pasukan lainnya memandang ke arah yang di-tunjuk. Semua mereka sama terkejut. Wajah berubah tegang. Tangan langsung meraba ke pinggang dimana mereka menyisipkan senjata masing-masing.

Di seberang tepian sungai sebelah sana, pulu-han sosok hitam muncul laksana setan gentayangan. Rombongan Pangeran Tua Sekar Seda Lepen yang be-rada di tengah kini terkurung antara dua tepian sun-gai. Tak ada jalan untuk menyelamatkan diri. Jika ber-gerak ke arah kanan berarti akan dihantam arus sun-gai yang dahsyat. Jika membelok ke kiri bisa-bisa me-

Page 51: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

reka akan diseret arus. Selagi pasukan di tengah sun-gai itu berada dalam kebingungan tiba-tiba kembali terdengar dua kali suara suitan. Lalu menyusul suara menderu aneh. Di gelapnya malam puluhan benda me-lesat dari dua tepian sungai. Ketika Pangeran Sekar mendongak ke depan dan berpaling ke belakang terke-jutlah dia!

"Awas serangan panah!" Pangeran Sekar segera cabut golok besar yang

tersisip di pinggangnya lalu dibabatkan seputar kepala dan tubuhnya.

"Traangg... tranggg... trangg...!" Beberapa anak panah yang melesat ke arah ke-

pala dan badan Sang Pangeran terpental berpatahan. Belasan anggota pasukan melakukan hal yang sama. Coba membentengi diri masing-masing dengan putaran pedang atau golok. Tapi tingkat kepandaian mereka ti-dak setara Pangeran Sekar. Banyak dari mereka kelua-rkan suara menjerit lalu jatuh ke dalam sungai dengan tubuh ditancapi panah. Celakanya ternyata mata anak panah itu oleh musuh diberi racun. Jadi walaupun seandainya anggota pasukan yang terjebak di tengah sungai itu masih bisa menyelamatkan diri dalam kea-daan luka, racun panah tetap akan merenggut nya-wanya!

Makin lama anak panah beracun yang datang menyambar semakin banyak dan ganas. Jeritan ter-dengar di mana-mana. Yang masih bisa menyela-matkan diri dalam bingungnya mencoba menceburkan diri masuk ke dalam sungai. Tapi sosoknya segera dis-eret arus! Sungai itu kini berubah menjadi neraka di malam buta! Kalau saja kejadian itu berlangsung pada siang hari. akan terlihat bagaimana air sungai yang ta-dinya bening kebiruan telah berubah menjadi merah oleh tumpahan darah!

Page 52: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

*** KEESOKAN paginya, baru saja fajar menyings-

ing, dalam keadaan terang-terang tanah, di arah hilir sungai, tak berapa jauh dari tempat terjadinya peristi-wa pembantaian atas Pangeran Sekar Seda Lepen dan tiga puluh anggota pasukannya, kelihatan puluhan pasukan Kerajaan menarik sebuah jaring besar yang rupanya sengaja dipasang di tempat itu sejak satu hari sebelumnya. Begitu jaring diseret ke darat, yang berge-limpangan di dalam jaring besar itu bukan ikan atau makhluk penghuni sungai lainnya, tetapi sosok tubuh manusia yang sudah kaku, sembab membiru, penuh luka-luka dan ada yang masih ditancapi anak-anak panah beracun. Selain menghitung jumlah mayat yang mereka temukan, para prajurit kerajaan itu juga mene-liti satu persatu wajah para korban. Tak lama kemu-dian, salah seorang diantara mereka yang agaknya ber-tindak sebagai pimpinan meninggalkan tepian sungai di sebelah timur. Dia melangkah cepat masuk ke da-lam rimba belantara sejauh dua puluh tombak, baru berhenti ketika mencapai sebatang pohon besar di de-pan mana berdiri seorang berpakaian perwira muda bertampang keren tetapi memiliki pandangan mata se-dingin es. Perwira ini bernama

Tubagus Lor Putih. Di kalangan prajurit Demak perwira muda ini tidak disenangi karena sifatnya yang kasar suka memaki dan enteng tangan suka menempe-lengi bawahan.

"Apa yang akan kau laporkan! Aku lihat mu-kamu redup seperti pantat kuali! Agaknya ada yang ti-dak beres!" Sang Perwira menegur prajurit kepala yang mendatanginya.

Prajurit yang datang melapor itu kebetulan memang berkulit hitam pekat. Dengan gerak-gerik

Page 53: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

yang menunjukkan rasa takut dia memberi hormat la-lu berucap. "Mo-hon maafmu Perwira. Jaring telah di-angkat. Jumlah korban telah dihitung. Semua ada tiga puluh orang..."

"Tiga puluh?!" Tubagus Lor Putih mengulang. Pandangan matanya yang dibesarkan membuat tam-pangnya menjadi angker. "Hanya tiga puluh?!"

"Benar Perwira." "Mata-mata memberitahu rombongan itu ber-

jumlah tiga puluh satu orang. Termasuk Pangeran Se-kar Seda!"

"Mata-mata melaporkan hal yang betul. Tetapi diantara para mayat justru mayat Pangeran itu yang tidak ditemukan!"

Berubahlah air muka perwira muda Tubagus Lor Putih. "Prajurit Jangan kau berani bergurau!" Sang Perwira membentak.

"Saya tidak bergurau, Perwira! Mayat yang di-temukan hanya tiga puluh. Dan mayat Pangeran Sekar Seda Lepen tidak ada di antara mereka."

"Berarti Pangeran itu berhasil meloloskan diri! Luar biasa! Tidak mungkin!" Sepasang mata Perwira Tubagus Lor Putih memandang dingin menyeramkan pada prajurit kepala yang berdiri di hadapannya yang kelihatan mulai gemetar ketakutan. "Pangeran Sekar" memang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Tapi itu bu-kan jaminan dia bisa menyelamatkan diri dari kepun-gan malam tadi! Lagi pula dia tidak kebal racun. Ma-sakan tidak ada satupun anak panah yang sanggup menyerempet tubuhnya! Aku juga sudah memerintah-kan memasang jaring untuk menghambat setiap mayat agar tidak hanyut ke hilir! Tapi Pangeran itu tetap lo-los! Kau dan orang-orangmu bekerja tolol sembrono! Kau tahu apa artinya bagimu jika Pangeran itu benar-benar berhasil melarikan diri?!"

Page 54: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

Wajah prajurit kepala menjadi pucat. Dengan suara gemetar dia menjawab. "Saya tahu kesalahan saya Perwira. Saya siap dipancung...."

"Mauku memang menebas batang lehermu saat ini juga!" kata Tubagus Lor Putih. Lalu plaakk! Tampa-rannya mendarat di pipi prajurit kepala. Walau sakit-nya tamparan itu bukan alang kepalang dan bibirnya sampai pecah berdarah namun prajurit kepala ini ma-sih mampu bertahan, tegak berdiri dengan kepala menghuyung. "Dengar! Aku masih memberi kesempa-tan padamu dan anak buahmu! Lakukan pemeriksaan sekali lagi. Pergunakan kepandaian kalian menyelam. Selidiki sampai ke dasar sungai. Mungkin mayat Pan-geran itu terperangkap di dasar sungai atau tersangkut pada akar-akar pepohonan di salah satu sisi sungai!"

"Siap melakukan perintah," jawab si prajurit kepala walau diam-diam dia merasa yakin tidak akan menemukan mayat Sang Pangeran. Sebelumnya dia pernah mengabdi di tempat kediaman Pangeran Sekar. Dia tahu betul bahwa adik mendiang Sultan Demak itu memiliki kepandaian tinggi. Bukan mustahil dia telah berhasil menyelamatkan diri dan saat ini tentu sudah berada jauh dari tempat itu.

Sampai menjelang tengah hari dua sisi sungai telah diselidiki, rimba belantara di kiri kanan sungai diperiksa, selusin prajurit yang punya keahlian menye-lam telah memeriksa dasar sungai sepanjang puluhan kaki. Namun mayat, apa lagi sosok hidup Pangeran Sekar Seda tidak berhasil ditemukan.

Untuk kedua kalinya si prajurit kepala datang menghadap Tubagus Lor Putih.

"Mohon ampunmu, Perwira. Semua tempat su-dah diperiksa, sungai sudah diselami sampai jauh ke arah hilir. Tapi mayat Pangeran Sekar tetap tidak di-temukan...."

Page 55: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

"Hemmm.... Kalau begitu kau tunggu apa lagi?!" ujar Tubagus Lor Putih.

Mendengar kata-kata atasannya itu si prajurit kepala kelihatan menggigil sekujur tubuhnya. Dia ja-tuhkan diri, berlutut di tanah. Suaranya seperti terce-kik ketika berkata. "Perwira, saya tahu kesalahan. Saya siap dihukum mati. Namun jika kau mau berbe-las kasihan, aku mohon pengampunan darimu..."

Tubagus Lor Putih menyeringai. "Setiap prajurit yang tahu kesalahan, harus siap menerima hukuman! Bukannya mengemis minta pengampunan!" Perwira muda ini hunus golok panjang yang tergantung di pinggangnya.

"Perwira, aku mohon kau mau mempertim-bangkan. Istriku baru saja melahirkan anak kami yang pertama seminggu lalu...."

"Hemmmm... begitu? Lalu apa hubungan istri-mu atau anakmu dengan hukuman yang harus kau te-rima?! Sebagai prajurit kepala kau tidak berhasil me-mimpin anak buahmu menangkap Pangeran Sekar. Ini merupakan satu malapetaka besar bagi Demak. Diri-mu telah menjadi biang racun jatuhnya malapetaka itu. Lalu apakah artinya nyawa yang ada di dalam tu-buhmu?!"

Mendengar ucapan atasannya itu si prajurit kepala sadar bagaimanapun juga dia tidak bakal men-dapat pengampunan. Maka tanpa daya prajurit yang malang ini bungkukkan dadanya, angsurkan kepala ke arah sang perwira.

Tubagus Lor Putih sesaat pandangi sosok ba-wahannya itu dengan sikap dingin tanpa ada rasa be-las kasihan sama sekali. Dia berpaling ke kiri, ke arah seorang prajurit tua berwajah cekung. Perwira ini lem-parkan goloknya pada prajurit tua itu seraya berkata. "Kau kuberi kehormatan untuk memancung leher ata-

Page 56: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

sanmu itu!" Walau si prajurit tua menyambuti golok yang

dilemparkan, tapi apa yang didengarnya membuat tu-buhnya jadi menggigil. Dia jatuhkan diri di tanah dan berkata. "Perwira, ampuni diriku. Aku mohon jangan aku yang...."

"Tua bangkai tidak berguna! Kau harusnya bangga mendapat kepercayaan melaksanakan tugas itu! Seorang prajurit Demak tidak pantas menghindar diri dari tanggung jawab! Apalagi membangkang men-jalankan perintah atasan! Kurasa prajurit rongsokan sepertimu memang sudah saatnya harus disingkirkan lebih dulu!"

Selesai berucap kaki kanan perwira muda itu melesat ke depan. Sosok prajurit tua mencelat ke uda-ra lalu terbanting roboh di tanah begitu tendangan Tu-bagus Lor Putih melabrak dadanya. Prajurit tua ini tak berkutik lagi. Tulang dadanya remuk, jantungnya pe-cah. Darah mengucur dari mulutnya yang terbuka. Nyawanya putus!

Ketika tubuh prajurit tua itu mencelat ke uda-ra; golok yang dipegangnya ikut terpental. Dengan satu gerakan cepat dan ringan Tubagus Lor Putih melompat ke udara, menyambar gagang golok. Begitu dia me-layang turun, senjata itu dibabatkannya ke bawah. De-ras sekali golok panjang itu menyambar ke arah teng-kuk si prajurit kepala.

Pada saat itulah sekonyong-konyong dari arah hilir sungai terdengar satu teriakan lantang. "Hentikan hukuman! Orang yang kalian cari ada bersamaku!"

***

Page 57: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

14

KI DALEM SLEMAN SEMUA orang di tempat itu termasuk perwira

muda Tubagus Lor Putih palingkan kepala ke arah sungai. Mereka jadi terkesima melihat satu pemandan-gan luar biasa. Sebuah rakit kecil terbuat hanya dari beberapa potongan bambu hijau meluncur di permu-kaan sungai, datang dari arah hilir, melawan arus air yang siang itu masih cukup deras.

Di atas rakit itu tegak seorang kakek berjubah kuning. Walau sudah tua dan seluruh rambutnya telah putih sikapnya tampak gagah. Seringainya mem-bayangkan kekerasan hati. Di dadanya melintang se-batang tombak yang pada ujungnya terikat sehelai bendera berbentuk segi tiga warna kuning. Di bahu ki-ri si kakek membelintang satu sosok tak bergerak, en-tah masih hidup entah sudah jadi mayat. Yang jelas pada bahu kanan orang ini menancap sebatang anak panah yang telah patah bagian bawahnya. Sesekali kakek ini celupkan kaki kanannya ke dalam air sun-gai. Gerakannya ini membuat rakit bambu melesat ke depan!

Tegak di atas rakit kecil dengan beban manusia di bahunya, meluncur melawan arus sungai yang de-ras dan pergunakan kaki sebagai pendayung! Sungguh luar biasa! Siapa gerangan adanya kakek hebat ini?!

Di Keraton Demak orang tua itu dikenal dengan nama Ki Dalem Sleman. Selama masa pemerintahan Sultan pertama Kerajaan Demak yakni Raden Patah dia dikenal sebagai pengabdi yang setia. Ketinggian il-munya membuat dirinya bisa menduduki jabatan ting-

Page 58: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

gi serta kepercayaan dari Sultan. Namun dari beberapa kalangan tertentu diketahui bahwa walau Ki Dalem Sleman sebenarnya adalah seorang berilmu tinggi teta-pi tidak mempunyai pendirian. Hari ini dia bisa menja-di abdi atau sahabat setia, tetapi besok bila keadaan lebih menguntungkan baginya maka dia bisa saja ber-sikap culas menjadi pengkhianat tersembunyi. Ibarat tanaman Ki Dalem Sleman adalah sebangsa ilalang liar yang akarnya tumbuh merusak tanaman lain, dan bila angin bertiup ke satu jurusan, ke arah itulah dia con-dong meliuk dan memagut.

Ki Dalem Sleman rupanya tahu juga kalau ba-nyak orang baik di dalam maupun di luar

Keraton yang tidak menyukainya. Merasa ter-ganggu dengan orang-orang yang mengetahui sifat pri-badinya itu maka secara diam-diam satu persatu Ki Dalem Sleman dengan berbagai cara mulai menying-kirkan mereka. Banyak diantara orang-orang itu yang kemudian menemui kematian secara aneh. Atau le-nyap tak tahu rimbanya. Diantara mereka yang teran-cam kedudukan bahkan jiwanya namun tidak mau menantang Ki Dalem Sleman karena kekuasaan dan kepercayaan Sultan terhadapnya sangat besar, secara diam-diam menjauhkan diri dan meninggalkan kehi-dupan Keraton. Salah seorang diantara mereka adalah Ki Suro Gusti Bendoro, tokoh yang sudah pembaca ikuti riwayatnya di awal cerita (Petir Di Mahameru Ba-gian 1) Secara halus orang tua tokoh utama Keraton Demak ini menjauhkan diri lebih suka menghabiskan waktu di satu tempat terpencil dan dalam kehidupan-nya sehari-hari selalu menjalankan ibadah, mende-katkan diri kepada Ilahi.

Lambat laun Sultan Demak mengetahui juga perubahan sikap orang-orang kepercayaannya. Ki Suro Gusti Bendoro diminta menghadap lalu ditanyai apa

Page 59: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

sebabnya dia akhir-akhir ini lebih banyak berada di luar Keraton.

Sebagai orang berhati lurus dan selalu taat pa-da ajaran agama Ki Suro Gusti Bendoro tentu saja ti-dak mau menceritakan keburukan perilaku Ki Dalem Sleman. Orang tua ini ingat akan satu fatwa Junjun-gannya Nabi Muhammad Rasullullah yang kira-kira mengatakan: Belum sempurna iman seorang Muslim, jika dia membuka aib sesama Muslim lainnya. Ki Suro ingin agar kelak Sultan sendiri nanti yang akan menge-tahui sebab musababnya, atau ada orang lain yang memberitahu.

Sejak Ki Suro Gusti Bendoro tidak lagi berada di Keraton Demak, Ki Dalem Sleman boleh dikatakan telah menjadi bayang-bayang kekuasaan di belakang Sultan. Banyak sekali perkara atau keputusan yang berada di bawah pengaruhnya. Tak lama setelah per-temuan terakhir dengan Ki Suro Gusti Bendoro Sultan Demak mangkat. Tahta Kerajaan dipegang oleh putera mahkota Pati Unus yang dikenal dengan sebutan Pan-geran Sabrang Lor. Entah mengapa dan tidak diketa-hui Pati Unus hanya memerintah selama tiga tahun, Pada tahun 1548 saudaranya yang bernama Pangeran Trenggono menggantikannya sebagai Sultan Demak.

Semasa Ki Suro Gusti Bendoro berada Keraton Demak Pangeran Trenggono sangat dekat dengan orang tua itu. Karenanya begitu dia menduduki tahta Kerajaan, Sultan Trenggono segera memerintahkan un-tuk mencari dan meminta Ki Suro Gusti Bendoro da-tang menemuinya. Dalam pertemuan yang kemudian terjadi Sultan Trenggono meminta agar Ki Suro kemba-li berada di lingkungan Keraton. Menghormati Raja muda ini dan juga mengingat semua kebaikan men-diang ayahnya yakni Raden Patah, Sultan terdahulu Ki Suro bersedia kembali tapi dengan perjanjian dia

Page 60: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

hanya akan tinggal di lingkungan Keraton selama satu tahun. Sultan tak mau menampik karena merasa ke-lak nanti dia akan mampu membujuk Ki Suro agar mau tinggal lebih lama di lingkungan Keraton. Selama berada dalam Keraton Ki Suro pada Setiap pertemuan dengan Sultan Ki Suro lebih banyak membicarakan hal-hal yang menyangkut keagamaan. Dia sengaja menghindari pembicaraan yang berkaitan dengan Ke-rajaan karena saat itu dilihatnya pengaruh Ki Dalem Sleman sudah mulai merasuk masuk ke dalam hati dan pikiran Sultan. Apalagi Ki Dalem Sleman berhasil pula merangkul seorang perwira tinggi yang sedang naik daun yakni Brajanala hingga kekuatannya di da-lam Keraton bertambah besar. Bilamana Sultan pada akhirnya membawa pembicaraan pada hal-hal yang menyangkut Kerajaan, Ki Suro selalu bicara hati-hati. Dia tidak pernah menyalahkan orang lain, apa lagi menyebut nama. Namun dalam hati sebenarnya Ki Su-ro merasa sedih sekali. Dengan berbagai cara halus dia selalu mengingatkan Sultan, namun agaknya penga-ruh Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala su-dah terlalu dalam dan besar.

Pada hari terakhir dia berada di Keraton, sebe-lum pergi Ki Suro menghadap Sultan Trenggono. Un-tuk pertama kalinya dia menyampaikan suara hatinya. Dimintanya secara halus agar Sultan berlalu hati-hati, selalu waspada. Dalam setiap perkara jangan hanya membaca apa yang tersurat tapi coba menyelami arti yang tersirat, jangan melihat apa yang terlihat dengan mata kasar tetapi ada baiknya merenungi dengan mata hati. Ki Suro tahu sekali Sultan Trenggono adalah seo-rang Raja yang alim taat beribadat dan adil bijaksana dalam segala tindakannya. Namun Ki Suro meminta agar semua tindakan itu disertai dengan satu pemiki-ran akan hal-hal yang mungkin bisa terjadi seandainya

Page 61: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

dirinya kelak mangkat meninggalkan dunia fana ini. Dalam hal ini Ki Suro sebenarnya menginginkan agar sebelum wafat Sultan Demak itu membuat semacam surat wasiat, siapa kelak akan menjadi penggantinya menduduki tahta Kesultanan Demak.

"Ki Suro, mengapa Ki Suro meminta aku me-nyiapkan semacam surat wasiat?" bertanya Sultan Trenggono saat itu.

"Maafkan saya Sultan. Saya kira itu seyogianya merupakan satu tradisi baru Kerajaan. Agar kelak se-mua berjalan lancar di kemudian hari...."

"Agaknya kau menginginkan aku ini lekas mangkat!"

Ki Suro Gusti Bendoro membungkuk dalam-dalam. "Maaf dan ampuni diri saya ini Sultan. Tiada pernah terpikir oleh saya apalagi sampai menginginkan agar Sultan lekas mangkat. Seumpama kita berada di tepi pantai. Laut yang kita lihat. Hari ini mungkin saja keadaannya tenang, diselimuti segala keindahan. Teta-pi bisa saja, setelah kita pergi tiba-tiba cuaca berubah, badai datang, laut bergelombang. Kalau kita berlaku waspada dan jauh-jauh hari meminta penduduk untuk tidak membangun rumah terlalu dekat ke pantai, ma-ka niscaya mereka akan terhindar dari malapetaka yang tak satu manusiapun sanggup menghadapinya. Berwaspada biasanya dilakukan sebelum bencana da-tang melanda. Karena kalau bencana sudah di depan mata, sulit bagi kita untuk menghindari...."

"Agaknya ada satu bencana yang kau lihat akan menimpa Kerajaan Demak ini? Apakah ada pengkhianat busuk di dalam Keraton ini Ki Suro?" Tanya Sultan Trenggono pula yang membuat Ki Suro Gusti Bendoro jadi tambah terpojok. Sebenarnya su-dah sejak beberapa waktu lalu Ki Suro mendengar ka-bar bahwa di dalam Keraton tengah terjadi satu perse-

Page 62: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

kongkolan keji untuk menumbangkan tahta Sultan Trenggono. Walau diam-diam dia sudah bisa menduga siapa adanya orang-orang berhati culas itu, namun untuk mengungkap atau mengadukannya kepada Sul-tan, Ki Suro tak mau melakukan. Bisa saja keadaan berbalik dan dirinya dituduh sebagai tukang fitnah, culas.

"Sultan, segala apa yang bakal datang sulit bagi manusia untuk memastikan. Tetapi berjaga-jaga dan berwaspada sambil tiada lupa memohon petunjuk Ilahi adalah penting. Saya mohon agar Sultan tetap mem-percayai semua orang di dalam lingkungan Keraton, te-tapi sekaligus saya harap agar Sultan juga tidak begitu saja mempercayai semua orang itu. Saya harap Sultan mengerti maksud saya..."

Sultan Trenggono kerenyitkan kening lalu ge-leng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak mengerti mak-sud ucapan Ki Suro meminta aku mempercayai semua orang tapi sekaligus juga meminta tidak mempercayai semua orang. Bagaimana ini...?"

Sebelum Ki Suro sempat menjawab, sebelum pembicaraan selesai, saat itu ke dalam ruangan ma-suklah Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala. Mereka datang menghadap untuk melaporkan sesuatu yang penting. Ki Suro segera bangkit berdiri. Sultan memintanya agar tetap berada di ruangan itu tetapi dengan berat hati Ki Suro minta diri. Dia juga me-nyampaikan salam perpisahan pada Ki Dalem Sleman dan Brajanala.

Setelah menyampaikan laporannya kepada Sul-tan; Ki Dalem Sleman membungkuk lalu berucap. "Maafkan saya Sultan. Bukan maksud saya bersikap lancang ingin tahu urusan orang. Tapi sehubungan dengan salam perpisahan yang tadi disampaikan Ki Suro Gusti Bendoro, apakah Sultan memang telah me-

Page 63: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

lepas kepergiannya begitu saja?" "Apa maksud pertanyaan Ki Dalem?" balik ber-

tanya Sultan Trenggono. "Selama ini saya dan Perwira Ki Brajanala me-

mang tidak pernah ingin mengusik orang, termasuk di-ri Ki Suro Gusti Bendoro yang kami hormati itu. Na-mun sejak setahun dia berada sini, berbagai kabar menyangkut dirinya dibicarakan orang di luaran. Saya terus terang menaruh khawatir. Tanpa menyelidik saya tidak akan berani menjatuhkan tuduhan karena nanti bisa dianggap menyebar fitnah. Kabarnya beberapa waktu belakangan ini Ki Suro sering menemui Adipati-Adipati tertentu. Setiap dia selesai menemui Adipati anu, maka di. Kadipaten selalu terjadi latihan perang-perangan...."

Sultan Trenggono jadi terkejut mendengar kete-rangan Ki Dalem Sleman itu. "Mengapa sebelumnya Ki Dalem tidak memberitahu padaku?"

Perwira Brajanala mendehem beberapa kali lalu dia yang menjawab pertanyaan Sultan tadi. "Kami ti-dak berani melapor kalau belum menyelidik sampai ke akar-akarnya. Bisa saja latihan perang-perangan itu untuk lebih menggalang kekuatan dan kewaspadaan para prajurit Kadipaten." Ucapan sang perwira seperti membela tapi sesaat kemudian dia menyambung den-gan kata-kata yang membuat Sultan Trenggono jadi tercenung. "Namun bukan mustahil pula semua itu merupakan satu persiapan dari maksud atau tujuan jahat terhadap Kerajaan..."

"Apalagi yang kalian ketahui tentang Ki Suro Gusti Bendoro?" Sultan bertanya. Rahangnya nampak menggembung dan pelipisnya bergerak-gerak pertanda hawa kecurigaan yang menyatu dengan amarah mulai merasuk dirinya.

"Mohon maaf Sultan, beri waktu kami barang

Page 64: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

satu minggu lagi. Kami berjanji akan mengungkap sisi hitam dari Ki Suro Gusti Bendoro lalu melaporkannya pada Sultan. Hanya saja saat ini ada satu hal penting yang harus kami beritahu..."

Sultan menatap wajah Ki Dalem Sleman yang barusan bicara. Sultan anggukkan kepala. Menunggu agak tegang apa yang bakal diterangkan pembantu ke-percayaan, tokoh silat Keraton yang duduk di hada-pannya itu.

"Kemarin siang kami baru mengetahui kalau salah satu barang pusaka dan keramat Kesultanan Demak telah lenyap dicuri orang."

Sultan Trenggono sampai berdiri dari kursi ke-besarannya karena terkejutnya mendengar ucapan Ki Dalem Sleman itu. Dia memandang lekat-lekat ke wa-jah si orang tua, lalu berpaling pada Brajanala. Setelah duduk kembali ke kursinya diapun bertanya.

"Katakan, barang pusaka keramat yang mana yang lenyap dicuri orang?!"

Ki Dalem Sleman tak segera menjawab. Dia pe-jamkan matanya seolah apa yang hendak diucapkan-nya itu sangat menyakiti hati dan perasaannya.

"Katakan saja Ki Dalem, jangan biarkan Sultan menunggu," berbisik Perwira Brajanala.

"Kanjeng Kiai Pujoanom," ucap Ki Dalem Sle-man akhirnya dengan suara gemetar. "Bendera pusaka keramat itu yang lenyap dicuri orang."

Sultan Trenggono merasa seperti disambar pe-tir. Dia terhenyak di kursi kebesarannya. Mukanya se-saat pucat. Dua tangannya menggenggam ukiran tan-gan kursi yang berbentuk kepala naga.

"Kraakkk!" Tidak sadar Sultan telah kerahkan kekuatan

tenaga dalamnya hingga dua ukiran kepala naga tan-gan kursi yang terbuat dari kayu jati keras hancur!

Page 65: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

"Kalau bendera pusaka Kiai lenyap dicuri orang, pertanda cepat atau lambat Kerajaan akan di-landa malapetaka besar!" Sultan Trenggono untuk be-berapa saat lamanya duduk tak bergerak, hanya sepa-sang matanya saja yang memandang mendelik tak berkedip pada Ki Dalem Sleman dan Brajanala. Tiba-tiba dia membentak keras. "Kalian berdua! Apakah menurut kalian lenyapnya bendera keramat itu bu-kannya pekerjaan Ki Suro Gusti Bendoro?"

"Kami berdua tidak berani menuduh tanpa bukti..." kata Perwira Brajanala.

"Tapi," menyambung Ki Dalem Sleman. "Bukan mustahil memang dia pencurinya. Tadi ketika kami berdua masuk, bukankah Sultan sendiri menyaksikan bagaimana dia begitu tergesa-gesa ingin meninggalkan ruangan ini? Sebagai tokoh yang dituakan di Keraton, apalagi menjadi kepercayaan Sultan sungguh perbua-tannya itu tidak pada tempatnya."

"Aku perintahkan pada kalian berdua! Lekas kejar Ki Suro Gusti Bendoro. Hadapkan dia padaku!"

"Kami siap menjalankan perintah," kata Ki Da-lem Sleman dan Perwira Brajanala, lalu bangkit berdi-ri. Setelah membungkuk dan bersurut mundur ke dua orang ini segera tinggalkan ruangan itu.

Sesampainya di kandang kuda Brajanala dan Ki Dalem Sleman saling tersenyum-senyum. Setengah berbisik Ki Dalem Sleman berkata. "Apa yang kita ren-canakan segera berhasil! Ha... ha! Rasakan kau Ki Su-ro Gusti Bendoro!"

"Ki Suro pasti belum jauh. Kalaupun dia sudah meninggalkan Demak, kita bisa membentuk pasukan khusus. Paling lambat sebelum senja datang dia sudah bisa kita tangkap!"

Tapi ternyata tidak semudah itu mencari Ki Su-ro Gusti Bendoro. Orang tua berilmu tinggi itu seolah

Page 66: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

lenyap ditelan bumi. Sementara itu di Kesultanan De-mak acap kali terjadi kerusuhan atau pemberontakan. Ditambah pula dengan adanya kebijaksanaan memper-luas daerah kekuasaan dan menyebar agama Islam. Maka usaha untuk mencari Ki Suro Gusti Bendoro ser-ing kali tertunda atau terpaksa dihentikan. Baru seki-tar sepuluh tahun kemudian Ki Suro berhasil mereka temui di puncak Gunung Mahameru sebagaimana yang dituturkan dalam Bagian Pertama.

***

15

TAHTA DAN DARAH KEMBALI pada peristiwa di sungai. Dalam ke-

terkejutan hampir semua orang yang ada di tepi sungai mengenali siapa adanya orang tua di atas rakit bambu.

"Ki Dalem Sleman!" berseru perwira muda Tu-bagus Lor Putih. "Kedatanganmu sungguh tidak terdu-ga! Benarkah sosok di atas bahu Ki Dalem adalah pan-geran Sekar?!"

Ki Dalem Sleman tersenyum. "Silahkan kau me-lihat sendiri Perwira Muda!" katanya. Dengan tangan kirinya orang tua ini mengambil tombak yang bernama Kiai Sepuh Plered yang tergantung melintang di da-danya. Tombak ini ditancapkannya ke bambu rakit. Ketika dia membuat gerakan melompat ke udara, rakit bambu itu ikut terangkat ke atas, melayang sesaat lalu turun perlahan di tepi sungai di depan barisan pasu-kan kerajaan. Banyak mulut berdecak kagum, banyak mata membeliak besar melihat kehebatan ilmu kepan-

Page 67: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

daian yang dipertunjukkan Ki Dalem Sleman itu. Tu-bagus Lor Putih sendiri sebenarnya merasa sangat ka-gum namun dia tidak mau memperlihatkan hal itu. Perwira muda ini memang punya sifat sombong walau terhadap orang lain yang jelas-jelas memiliki kepan-daian atau kesaktian jauh lebih tinggi darinya.

Ki Dalem Sleman sesaat memandang berkelil-ing. Lalu perlahan-lahan dia turunkan tubuh yang ada di pundaknya, dibaringkan menelentang di tanah be-cek. Semua orang memperhatikan. Yang tergeletak di-tanah itu memang Pangeran Sekar adanya. Wajahnya yang tua agak kebiruan. Bukan saja karena lama teng-gelam di dalam air tetapi juga akibat racun panah yang menancap di bahu kanannya dan berada dalam kea-daan patah. Mungkin sang pangeran berusaha menca-but panah itu tetapi patah.

Tubagus Lor Putih melangkah mendekati lalu memeriksa. Wajahnya berubah.

"Dia masih hidup!" ujar sang perwira muda. "Aneh, racun panah tidak membunuhnya. Tenggelam di dalam air tidak mematikannya. Kalau tidak ada yang menolong tak mungkin hal ini terjadi!" Perlahan-lahan perwira itu angkat kepalanya dan memandang pada Ki Dalem Sleman. Si orang tua mengerti maksud pandangan itu. Tapi selama orang tidak bertanya dia tidak akan mengatakan apa-apa.

Tiba-tiba Tubagus Lor Putih angkat golok pan-jang yang masih tergenggam di tangannya. Dengan ce-pat senjata itu hendak ditusukkannya ke leher Pange-ran Sekar. Tapi dua jari berkelebat menjepit badan go-lok hingga gerakan senjata ini tertahan. Itulah dua jari Ki Dalem Sleman. Tubagus Lor Putih memandang den-gan mata dibesarkan pada tokoh silat Keraton Demak itu. Dia segera kerahkan tenaga luarnya untuk mene-ruskan tusukan. Tapi golok itu tidak bergeming dalam

Page 68: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

jepitan dua jari Ki Dalem Sleman. Sang perwira ganti mengerahkan tenaga dalam. Golok sesaat memancar-kan cahaya terang namun cahaya itu meredup dan le-nyap begitu Ki Dalem Sleman alirkan pula tenaga da-lamnya.

Merasa malu dan agar orang lain tidak tahu ka-lau dia telah pecundang dalam pertarungan tenaga luar dan tenaga dalam singkat itu, sang perwira muda segera berucap lantang.

"Ki Dalem! Saya gembira berhasil menangkap Pangeran yang lolos ini. Tapi mengapa kini kau mence-gah saya membunuhnya?!"

Ki Dalem Sleman tersenyum. "Perwira sombong, rasakan olehmu sekarang!"

kata Ki Dalem Sleman dalam hati sementara wajah perwira muda di hadapannya tampak memercikkan keringat.

"Perwira Tubagus Lor Putih," Ki Dalem Sleman berucap. "Kau dan semua yang ada di sini tahu kalau aku adalah orang dalam pengabdi Keraton Demak. Adalah kewajibanku untuk menolong dan menyela-matkan Pangeran Sekar. Karena dia adalah orang Ke-raton. Lebih dari itu dia adalah adinda dari Sultan Demak pertama!"

"Semua yang Ki Dalem katakan memang benar. Tapi Ki Dalem lupa satu hal. Pangeran Sekar kini tak lebih dari seorang penghujat, seorang pemberontak tua renta yang hendak merebut tahta Kesultanan Demak dari tangan Pangeran Prawoto, pewaris syah tahta! Apakah Ki Dalem tidak merasa perbuatan Ki Dalem ini satu hal yang keliru?!

"Perwira Muda, kau dengar dulu jawabanku," kata Ki Dalem Sleman dengan sikap tenang sementara Tubagus Lor Putih tampak bergejolak dadanya tanda amarah mulai menguasai dirinya. "Siapa adanya Pan-

Page 69: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

geran Sekar dan juga siapa adanya Pangeran Prawoto kita semua sudah tahu. Tapi siapa sebenarnya yang berhak mewarisi tahta Kesultanan Demak, itu tergan-tung dari sudut mana kita melihatnya. Pangeran Sekar bisa menjadi Sultan karena dia adalah adik kandung mendiang Raden Patah. Di lain pihak Pangeran Prawo-to juga punya hak menduduki tahta Keraton Demak karena dia adalah putera mendiang Sultan Trenggono. Jadi dua-duanya sama-sama punya hak. Lalu siapa yang harus menjadi Sultan? Siapa yang akan menjadi Raja?!"

"Ki Dalem, dari ucapanmu jelas saya tangkap bahwa kau membela Pangeran Sekar. Kau ingin agar Pangeran Sekar yang mewarisi tahta Keraton Demak. Tetapi kau tidak mau melihat kenyataan. Pangeran tua ini terjebak di tengah sungai ketika dia bersama pasu-kannya bersiap-siap menyusun rencana menyerang Kotaraja! Dia adalah seorang jahat! Seorang jahat tidak pantas dijadikan Raja..."

"Itu menurutmu Perwira Muda. Tapi menurut orang lain, atau menurut Pangeran Sekar sendiri tin-dakannya itu adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Menegakkan yang hak dan menghan-curkan yang batil..."

"Ki Dalem, kita bisa berdebat sampai sehari semalam di tempat ini. Saya akan membawa pangeran Sekar ke Kotaraja. Kerajaan nanti yang akan memu-tuskan apakah dia ini seorang jahat atau seorang pembela kebenaran dan keadilan!"

"Perwira Muda Tubagus Lor Putih, menyesal sekali. Aku tidak akan menyerahkan Pangeran Sekar padamu..."

"Kalau begitu harap maafkan. Saya terpaksa memerintahkan pasukan untuk meminta Ki Dalem se-gera meninggalkan tempat ini...."

Page 70: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

"Tubagus... Tubagus...." kata Ki Dalem Sleman sambil geleng-gelengkan kepala. Kali ini dia menyebut langsung nama si perwira muda tanpa menyebut pangkatnya. "Kau terlalu pongah.... Kau ingin meng-habisi Pangeran ini? Lalu membawa jenazahnya ke ha-dapan Pangeran Prawoto sekaligus memperlihatkan bahwa kau adalah seorang. perwira yang telah sangat berjasa pada Kerajaan? Tubagus, kau menganggap di-rimu sebagai prajurit pembela Keraton Demak. Di mata Pangeran Prawoto kau adalah pahlawan. Tapi di lain pihak, di mata Pangeran Sekar kau adalah pengkhia-nat jahat!"

"Ki Dalem, mulutmu sungguh berbisa, uca-panmu mengandung racun!"

"Kau benar benar ingin menghabisi Pangeran ini, Tubagus?!" Ki Dalem mengulang pertanyaannya.

Tubagus Lor Putih tak menjawab pertanyaan orang. Dia kembali kerahkan tenaga dalam untuk me-lepaskan jepitan dua jari Ki Dalem Sleman yang masih mengancing goloknya. Kali ini tidak tanggung-tanggung. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada.

Apa yang dilakukan sang perwira sudah dimak-lumi oleh tokoh tua Keraton Demak yang jadi lawannya itu.

"Kau benar-benar mau menghabisinya, kau mau membunuhnya silahkan!" Ki Dalem Sleman reng-gangkan jepitan dua jari tangannya lalu mundur satu langkah,

Perwira muda Tubagus Lor Putih yang berada dalam pengaruh hawa amarah tidak berpikir lagi, mengapa mendadak orang berubah pikiran. Dia lang-sung saja tusukkan ujung golok ke leher Pangeran Se-kar. Tak banyak darah yang muncrat dari tubuh yang setengah kaku dan sudah lama pingsan itu.

Page 71: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

"Ku harap sekarang kau sudah puas, Tubagus! Tapi jangan harap kau akan mendapat bintang jasa atau kenaikan pangkat!" kata Ki

Dalem sambil menyeringai. Lalu dengan satu gerakan cepat orang tua ini menyambar jenazah Pan-geran Sekar, memanggulnya di bahunya dan melang-kah naik ke atas rakit bambu yang masih ditancapi tombak Kiai Sepuh Plered.

"Tunggu!" Perwira muda Tubagus Lor Putih berseru. Dia memberi isyarat pada pasukan. Belasan prajurit segera mengurung Ki Dalem Sleman yang te-nang saja melangkah ke arah rakit bambu.

Ki Dalem Sleman injakkan dua kakinya di atas rakit. Tangan kirinya memegang batangan tombak. Dia berpaling ke arah sang perwira muda.

"Hendak kau bawa kemana jenazah Pangeran Sekar?!" bentak Tubagus Lor Putih.

"Kemana aku mau membawa adalah urusanku. Kau sudah membunuhnya. Apakah menginginkan mayatnya pula?!"

"Benar! Kau tidak boleh membawa mayat itu. Tinggalkan di sini! Mayat itu milik Kerajaan!" jawab Tubagus Lor Putih.

Ki Dalem Sleman menyeringai. "Kau terlalu mengada-ada Tubagus Lor Putih.

Adat mu sungguh buruk. Harap kau mencoba mawas diri. Kalau tidak perjalanan hidup masa depanmu akan seburuk adat yang kau miliki!"

Air muka Tubagus Lor Putih merah mengelam. "Ki Dalem! Jika kau bersikeras hendak mem-

bawa mayat Pangeran Sekar, aku terpaksa memerin-tahkan pasukan untuk merampas mayat itu!"

"Hemmm.... Kalau begitu silahkan kau coba!" Mendengar kata-kata Ki Dalem Sleman, Tuba-

gus Lor Putih segera berteriak pada anggota pasukan-

Page 72: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

nya. "Kalian semua! Rampas mayat Pangeran Sekar!" Belasan prajurit yang memang sudah mengu-

rung segera menyerbu. Tanpa mempergunakan senjata mereka berusaha merebut jenazah Pangeran Sekar yang tergeletak di pundak kiri Ki Dalem Sleman.

"Prajurit-prajurit malang! Aku tahu kalian hanya menjalankan perintah! Aku tak mau menurun-kan tangan jahat pada kalian! Jangan berani mende-kat!" Ki Dalem Sleman berucap. Dia berkata tanpa memandang pada prajurit-prajurit yang mendatan-ginya tapi menatap ke jurusan Tubagus Lor Putih.

Sesaat anggota pasukan yang hendak menyer-bu jadi bimbang. Gerakan mereka tertahan. Tubagus Lor Putih jadi marah. Dia membentak keras. "Lakukan perintahku atau kalian semua akan menerima huku-man berat!"

Tak ada pilihan lain. Lebih dari selusin prajurit serta merta menyerbu.

Ki Dalem Sleman menghela nafas dalam. Tan-gan kiri dan salah satu kakinya bergerak. Lalu terden-garlah jeritan-jeritan kesakitan. Empat prajurit mence-lat mental, jatuh bergedebukan di tanah. Mereka men-gerang kesakitan sambil pegangi kepala yang benjut, hidung yang berdarah, dada yang patah tulang iganya atau perut yang mau jebol. Di atas rakit Ki Dalem ma-sih tampak tegak seolah tak bergerak dan matanya se-perti tadi masih terus saja menatap ke arah Tubagus Lor Putih.

"Cabut senjata! Habisi orang tua itu!" teriak sang perwira muda.

Golok dan pedang dicabut keluar dari sarang-nya. Belasan prajurit menghunus senjata. Lalu serem-pak mereka kembali menyerbu Ki Dalem Sleman. Orang tua di atas rakit ini gerakkan tangan kirinya, mencabut Tombak Kiai Sepuh Plered yang sejak tadi

Page 73: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

ditancapkannya di bambu rakit. Lalu di udara tiba-tiba berkiblat sinar hitam berbentuk setengah lingkaran, menyapu pulang balik tiga kali berturut-turut.

Suara beradunya senjata berdentrangan. Em-pat patahan pedang dan dua patahan golok mental ke udara. Lima prajurit berteriak kesakitan dan melompat mundur. Muka mereka seputih kain kafan ketika meli-hat tangan, dada dan perut mereka mengucurkan da-rah. Di sebelah kiri dua prajurit tergeletak di tanah dengan luka besar menguak di leher. Keduanya men-gerang panjang lalu tak berkutik lagi.

"Tubagus Lor Putih, jika kau masih hendak memberi perintah yang bukan-bukan, aku tak segan-segan membunuh semua anggota pasukanmu!"

"Ki Dalem Sleman! Apa yang kau lakukan ini menyatakan bahwa kau sudah menjadi pemberontak besar terhadap Kesultanan Demak! Aku akan mela-porkan hal ini pada Sultan!"

"Aku ingin tertawa bergelak mendengar. kata-katamu itu! Seharusnya aku yang akan melapor pada Sultan tentang kebodohan dan kegagalanmu membe-kuk Pangeran Sekar! Kalau aku tidak membantu me-nangkapnya apa kau kira kau bisa membunuh Pange-ran ini? Kau tidak lebih dari anak kecil yang hari ini menerima berkah dariku untuk aku suapi sesendok bubur enak! Ha... ha... ha!"

Merah padam muka Tubagus Lor Putih men-dengar ejekan Ki Dalem Sleman itu. Amarah membuat dia ingin menyerang sendiri si orang tua. Tangannya yang masih menggenggam hulu golok sampai bergetar menahan geram. Tapi dia maklum Ki Dalem Sleman bukan lawannya. Kalau dia nekad menyerang kakek sakti itu bisa merubuhkannya dalam satu gebrakan saja.

"Pemberontak tua! Lekas kau tinggalkan tempat

Page 74: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

ini! Mulai hari ini kau akan menjadi orang buronan!" Ki Dalem Sleman tersenyum. Dia memandang

pada prajurit kepala yang tadi hendak dipancung oleh Tubagus Lor Putih.

"Prajurit kepala, bangkitlah! Mendekat kemari!" Ki Dalem Sleman berkata pada prajurit itu seraya memberi isyarat dengan anggukkan kepala. Si prajurit sendiri sampai saat itu masih berlutut di tanah karena tadi sebenarnya dia sudah siap menerima hukuman. Inilah kehebatan sifat seorang prajurit Demak. Walau berbagai hal telah terjadi di sekitarnya di depan ma-tanya namun sebagai orang yang hendak dihukum dia tidak mempergunakan kesempatan untuk menyela-matkan diri. Bahkan sedikitpun dia tidak bergerak dari tempatnya semula. Namun kali ini suara ucapan Ki Dalem Sleman terdengar begitu berwibawa. Hingga prajurit kepala berkulit hitam ini bangkit berdiri dari berlututnya lalu melangkah mendekati Ki Dalem Sle-man.

Si kakek pandangi prajurit itu dari kepala sam-pai ke kaki. "Siapa namamu prajurit?"

"Saya bernama Gedeng Kemitir, Ki Dalem..." "Gedeng Kemitir, apakah kau merasa masih ada

gunanya bergabung dengan atasan yang hendak menghabisi nyawamu di kala istrimu baru satu minggu melahirkan? Padahal kesalahan itu semuanya adalah menjadi tanggung jawab atasanmu Perwira Muda ber-nama Tubagus Lor Putih itu?"

"Ki Dalem, apa maksud ucapanmu? Jangan kau berani menghasut! Jaga mulutmu! Aku sudah memberi kebebasan padamu untuk meninggalkan tempat ini! Mengapa masih mau berbuat macam-macam?!" Tubagus Lor Putih tak dapat menahan ama-rahnya. Lupa sudah dia kalau orang tua itu bukan tandingannya. Golok panjang di tangan kanannya di-

Page 75: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

babatkannya ke batok kepala Ki Dalem Sleman. Selagi senjata tajam itu terayun dari atas ke

bawah, tangan kanan Ki Dalem Sleman bergerak lebih dulu, menyodok kebagian tubuh antara tulang dada dan deretan tulang iga di rusuk kanan sang perwira muda.

"Bukkk!" Tubagus Lor Putih terlempar empat langkah, ja-

tuh duduk di tanah. Goloknya terlepas, jatuh menan-cap di sebelahnya. Dia berusaha bangkit tapi tidak mampu. Tubuhnya sebelah kanan terasa sakit dan ka-ku.

Seolah tidak terjadi apa-apa di tempat itu, Ki Dalem Sleman kembali bertanya pada prajurit kepala yang berdiri di depannya.

"Gedeng Kemitir, aku bertanya sekali lagi. Apa-kah kau masih ingin bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh seorang atasan berpikiran sesat berjiwa pongah?!"

"Saya... saya tidak tahu Ki Dalem," menyahuti si prajurit kepala.

"Dengar ucapanku Gedeng Kemitir. Kau tak punya tempat lagi dalam barisan prajurit Kerajaan. Ji-ka kau tetap bertahan nasib buruk menunggu masa depanmu. Sama saja kau diam di sarang harimau. Naik ke atas rakit ini. Ikut bersamaku. Aku akan memberikan beberapa ilmu kepandaian padamu. Lain waktu jika kau kembali ke Kotaraja, kau boleh menye-lesaikan urusan dengan atasan yang hendak meman-cung kepalamu itu!"

"Saya seorang prajurit Demak. Saya harus pa-tuh pada atasan dan Kerajaan!" jawab Gedeng Kemitir.

Ki Dalem Sleman tersenyum. "Seorang prajurit harus patuh pada atasan. Tapi atasan yang mana? Bukan pada atasan yang zolim, yang hendak mengha-

Page 76: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

bisi mu dan bersembunyi dibalik tanggung jawabnya. Kesetiaanmu pada Kerajaan akan diputar balik oleh Perwira Muda itu. Kau hanya akan dijadikan tumbal kesalahannya untuk melindungi dirinya sendiri di ha-dapan Sultan!"

"Ki Dalem! Kau benar-benar penghasut jahat! Busuk!" teriak Tubagus Lor Putih. Lalu dia berteriak pada prajurit kepala. "Lekas kembali ke tempatmu dan berlutut!"

Gedeng Kemitir memandang pada Ki Dalem Sleman lalu berpaling menatap atasannya sang perwi-ra, muda. Akhirnya prajurit kepala ini gerakkan ka-kinya melangkah. Bukan ke arah Tubagus Lor Putih, tapi naik ke atas rakit, tegak di belakang Ki Dalem Sleman.

Si orang tua tertawa mengekeh. "Tubagus Lor Putih, kau dan semua yang ada di sini melihat sendiri apa yang terjadi. Prajurit Kepala bawahan mu telah menjatuhkan pilihan. Dia ikut denganku! Kelak di ke-mudian hari apa yang telah kau perbuat terhadapnya akan kau terima balasannya langsung dari dirinya sendiri!"

"Tua bangka jahanam! Sultan akan menghu-kum mu!" Tubagus Lor Putih berusaha bangkit tapi dia mengerang kesakitan dan jatuh terduduk kembali di tanah. Di atas rakit Ki Dalem Sleman pegang Tombak Kiai Sepuh Plered dengan tangan kirinya. Kaki kanan-nya dijejakkan ke tanah. Debu mengepul. Rakit bambu itu melesat ke atas, melayang berputar lalu menukik ke arah tengah sungai. Tak lama kemudian rakit dan penumpang di atasnya meluncur ke hilir mengikuti ali-ran arus yang masih deras.

***

BERSAMBUNG KE BAGIAN - 4

Page 77: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

KUNGFU SABLENG OH-SE GONG WADAM

(WADAM SINTING PENGACAU DUNIA)

***

1 DI DALAM gelap, orang bertubuh pendek hitam

itu hampir tidak terlihat. Apalagi dia mengenakan pa-kaian serba hitam dan berdiri di bawah bayang-bayang satu pohon besar. Sambil mengusap dagunya yang di-tumbuhi bisul-bisul besar karena alergi akibat terlalu banyak makan udang rebus, dia menatap ke depan, ke arah sebuah gedung besar dan mewah.

"Jadi ini gedung kediaman Cong Wangwe (Har-tawan Cong) yang kesohor itu. Menurut keterangan yang aku dapat. Go Bang An, salah seorang murid Oh-se Gong Wadam alias Wa-dam Sinting Pengacau Dunia bekerja di sini. Jika aku bisa memancing si Gobangan itu keluar dari sarangnya, mungkin sekali aku bisa mengetahui dimana beradanya Oh-se Gong Wadam."

Selagi dia berpikir-pikir mencari akal mendadak orang di bawah pohon itu merasakan perutnya mulas. "Celaka! Mungkin ini gara-gara terlalu banyak makan bakpau basi!" Saking tidak tahannya, orang ini dodor-kan celananya lalu mendekam di dekat tembok gedung yang gelap. Baru sempat mengedan satu kali tiba-tiba ada suara gonggongan anjing. Sesaat kemudian seo-

Page 78: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

rang bertubuh tinggi besar, berewokan dan kumis me-lintang muncul. Sambil menghunus pedang orang ini membentak. Sebagai pengawal cabang atas dia sudah terlatih dalam hal penciuman (bukan berciuman) Segi-tu bau sedap menembus liang hidungnya dia segera mengetahui sedang apa si pendek hitam di dekat tem-bok itu.

"Aku Go Bang An! Pengawal Kepala gedung ke-diaman Cong Wangwe! Monyet dari gunung mana be-rani mati buang air besar di depan gedung Cong Wangwe!"

Orang yang jongkok dalam gelap cepat rapikan celananya dan berdiri terbungkuk-bungkuk. Bukan menghormat sang Kepala Pengawal gedung tapi mak-lum masih ngepet alias belum cebok.

"Pengawal, Ose jangan salah sangka. Torang bukannya buang air besar tapi cuma berak sadikit. Kebelet mules!"

"Jangkrik! Berak itu masih keponakannya buang air besar tau?!"

"Kalau begitu maafkan torang. Torang trada ta-hu kalau ini Cong Wangwe pe rumah."

"Eh?!" Go Bang An kerenyitkan kening dan de-likkan mata. Dia baru sadar. "Manusia hitam pendek dan jelek! Tampang dan bentuk tubuhmu jelas bukan orang sini! Logat bicaramu apalagi! Siapa kau sebenar-nya?! Mungkin makhluk jejadian yang kesasar malam hari, mau berbuat jahat di gedung Cong Wangwe!"

"Ah, ose pe mata dan talinga tajam sekali! To-rang memang bukan orang sini. Tapi torang bukan makhluk jejadian bangsa jin atawa dedemit! Torang da-tang dari jau. Naek prau. Kerdampar di Tionggoan ini. Torang pe nama Pati Raja Lo Ngok!" (Tionggoan = Dara-tan Tiongkok).

"Pati Raja Lo Ngok! Mama aneh! Tapi cocok

Page 79: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

dengan kulitmu yang hitam seperti pantat kuali! Ha... ha... ha!" Go Bang An hentikan tawanya. Lalu berkacak pinggang. Sambil melintangkan golok di depan dada dia berkata.

"Tikus gosong! Untuk kekurang ajaran mu be-rani buang air di depan gedung Cong Wangwe kau ha-rus didenda setengah tail perak! Atau kau tinggalkan salah satu daun telingamu di sini! Boleh pilih! Ha... ha!"

Mendengar ancaman sadis itu orang mengaku bernama Pati Raja Lo Ngok jadi mengkeret nyalinya. Lengkap dengan dua daun telinga saja tampangnya sudah begitu jelek. Apa lagi kalau sempat dia harus menyerahkan salah satu daun telinganya! Dari dalam saku bajunya dia segera keluarkan satu tail perak. "To-rang tra sangka ose bisa ba pungli jua!" kata Pati Raja Lo Ngok. "Ini satu tail Kembalikan setengah tail!"

Go Bang An meraba-raba saku pakaiannya. Dia tidak punya kembalian setengah tail. Sesaat dia agak bingung. Tapi otaknya segera jalan dan mulutnya enak saja berucap. "Aku tak ada kembalian setengah tail. Sudah, begini saja. Situ buang air saja sekali lagi. Jadi pas! Tidak perlu kembalian setengah tail!"

"Pemeras kecil brengsek!" maki Pati Raja Lo Ngok.

"Kurang ajar! Kau berani menghina. Siapa bi-lang barang sex-ku kecil! Apa situ pernah lihat?!" Go Bang An marah besar akibat salah mengerti.

"Majikannya Cong Ngek. Pengawalnya To Rek!" Pati Raja Lo Ngok mendumal lalu tinggalkan tempat itu dalam keadaan ngepet alias belum cebok!

Keesokan paginya peristiwa malam itu dicerita-kan Go Bang An pada kawan-kawan nya sesama pen-gawal. Salah seorang diantara mereka yang bernama Tong Bo Khek lantas membisikkan sesuatu pada Go

Page 80: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

Bang An. Go Bang An menyeringai. "Kau betul. Kalau begitu mari kita cari dia. Tidak sulit menemukan orang asing di kota ini. Apa lagi orang pendek hitam! Ha... ha... ha!"

Sebenarnya bukan rahasia lagi. Go Bang An dan Tong Bo Khek serta dua kawannya yang bekerja sebagai pengawal di gedung kediaman Cong Wangwe adalah Juga orang-orang yang menyalah gunakan ke-kuasaan. Mereka diketahui adalah sebagai kelompok empat tukang peras.

***

2 HOTEL Hill Tong yang ada di pusat kota meru-

pakan hotel paling besar dan mewah di daratan Tiong-goan pada masa itu. Pati Raja Lo Ngok menginap di se-buah kamar di tingkat dua. Saat itu dia tengah asyik bersenang-senang dengan seorang gadis panggilan ke-las atas yang dikenal dengan nama Nio Ling Lung.

Sedang asyik-asyiknya dua makhluk di dalam kamar, tiba-tiba pintu didobrak dan empat orang me-lompat masuk ke dalam. Mereka bukan lain adalah Go Bang An, Tong Bo Khek dan dua kawannya.

Nio Ling Lung terpekik kaget. Cepat-cepat dia menyusup sembunyi di balik seperai. Sedang Pati Raja Lo Ngok yang marah besar lupa diri, langsung saja me-lompat dari ranjang dalam keadaan berbugil ria.

"Pemeras sialan! Ose lagi rupanya! Ose berani masuk kamar orang! Ose mau bikin apa?! Lekas ke-luar! Atau torang panggil keamanan hotel!"

"Aha! Loya! Tenang! Tenang...." kata Go Bang An menyeringai, (Loya = Tuan besar) Dia dan kawan-

Page 81: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

kawannya merasa lucu melihat sosok Pati Raja Lo Ngok yang berdiri marah tanpa pakaian seperti itu. Pa-ti Raja Lo Ngok rupanya sadar juga dan cepat-cepat menyambar selimut untuk ditutupi ke badannya. "Ka-mi mau bicara sikitlah sama loya!" kata Go Bang An sambil kedipkan matanya pada sobatnya yang berna-ma Tong Bo Khek.

"Setan! Torang seng ada waktu bicara dengan kalian!" (seng = tidak)

"Tenang loya. Seng ada atau seng atap harap suka dengar dulu!" kata Go Bang An. "Kami mendapat perintah melakukan pengusutan. Sebagai orang asing loya dituduh mengedarkan uang perak palsu. Satu tail perak yang Soya ada kasih tadi malam ternyata palsu. Luarnya memang perak tapi dalamnya timah! Loya ter-paksa kami bawa ke kantor pos. Maaf, maksudku ke kantor polisi!"

Pati Raja Lo Ngok kelihatan kaget. Sesaat ke-mudian mukanya jadi pucat. "Mana torang tahu kalau uang satu tail itu palsu!"

Tong Bo Khek melangkah mendekati Pati Raja Lo Ngok lalu menepuk-nepuk bahu si pendek hitam. "Loya kulit hitam. Kami tahu loya orang baik. Kami ti-dak mau bikin loya jadi susah. Bagaimana kalau kita atur damai saja. Semua bisa diatur di Tionggoan ini. Loya senang kami gembira. Pembeli dan penjual sama-sama untung! Hay yaaa!"

Go Bang An ikut menimbrungi ucapan teman-nya. "Jangan khawatir loya Pati Raja Lo Ngok. Kami ti-dak akan melakukan pengusutan. Apalagi membawa loya ke kantor polisi. Asal loya tau sama tau semua pasti beres!"

"Bilang saja, ose semua maunya apa?!" tanya Pati Raja Lo Ngok.

Go Bang An menyeringai. "Kami cuma butuh

Page 82: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

lima puluh tail perak! Begitu menerima, kami segera tinggalkan kamar ini. Loya bisa senang-senang lagi dengan nona cantik di balik seperai itu! Ha... ha... ha!"

Pati Raja Lo Ngok agaknya tidak mau mencari kesulitan. Dari dalam lemari hotel diambilnya sebuah kantong kain lalu diserahkan pada Go Bang An. "Ini ambil for ose! Di dalamnya ada lebih dari lima puluh tail perak!"

Go Bang An segera sambar kantong kain itu. Tapi Tong Bo Khek cepat pegang tangan temannya itu seraya berkata. "Tunggu dulu. Kita periksa dulu isi kantong ini!" Lalu Tong Bo Khek membuka tali ikatan kantong. Begitu kantong terbuka isinya ternyata bu-kan uang perak melainkan gundu alias kelereng! Tong Bo Khek langsung lemparkan kelereng itu ke lantai. Go Bang An dan dua kawannya meradang marah.

"Loya keparat! Berani menipu!" Serentak Go Bang An melompat menyergap Pati Raja Lo Ngok. Tong Bo Khek ikut hantamkan serangan. Dua orang lainnya juga tak tinggal diam. Perkelahian satu lawan empat segera berkecamuk di dalam kamar sementara Nio Ling Lung terpekik-pekik ketakutan.

Go Bang An dan kawan-kawannya tidak pernah mengetahui siapa sebenarnya si pendek hitam yang mereka keroyok ini. Setelah dua jurus menggempur dengan tangan kosong tanpa hasil, Go Bang An mem-beri isyarat. Kelompok empat pemeras segera cabut go-lok masing-masing kembali Nio Ling Lung menjerit-jerit ketakutan.

Sebaliknya Pati Raja Lo Ngok kelihatan tenang saja. Dengan satu gerakan enteng dia melompat ke atas ranjang. Begitu empat golok menderu ke arahnya, si pendek hitam ini berkelebat laksana angin. Terden-gar suara bak-buk-bak-buk berulang kali dibarengi suara jeritan Go Bang An dan kawan-kawannya.

Page 83: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

Sesaat kemudian empat penyerang sudah ber-geletak di lantai. Go Bang An bocor keningnya. Tong Bo Khek kucurkan darah dari mata kirinya yang me-lembung bengkak. Dua orang lagi melingkar sambil mengerang karena tulang hidung patah dan bibirnya pecah!

Go Bang An dan dua kawannya merangkak ke pintu. Tong Bo Khek rupanya masih penasaran. Sam-bil tekap matanya yang bocor dia bangkit berdiri, me-nyambar golok di lantai lalu kembali menyerang Pati Raja Lo Ngok. Dia menyerang dengan jurus bernama "Kuda hamil merangkul pejantan." Yang diserang ber-kelit ke kiri lalu kaki kanannya bergerak.

"Bukkk!" Tong Bo Khek meraung setinggi langit. Golok-

nya mental. Tubuhnya terlempar ke luar pintu kamar. Megap-megap dia berusaha bangun tapi rubuh lagi. Kawan-kawannya segera menolong.

"Apamu yang kena?!" tanya Go Bang An. "Torpedo ku.... Monyet hitam itu menendang

torpedo ku!" jawab Tong Bo Khek lalu lidahnya terjulur dan matanya mencelet. Pingsan!

***

3 SORE itu Pati Raja Lo Ngok baru saja selesai

mandi. Sambil bersiul-siul menyanyikan lagu O U La The dia berganti pakaian. Baru selesai mengenakan pakaian yakni sehelai baju hitam dan sehelai kain sa-rung, tiba-tiba ada orang mengetuk pintu. Yang datang ternyata adalah seorang pelayan. Mukanya pucat dan nafasnya memburu.

Page 84: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

"Celaka tayjin! Celaka!" (Tayjin = tuan be-sar/orang kaya)

"Tahi jin?! Ose bilang torang tahi jin?!" Pati Raja Lo Ngok pelototkan mata dan membentak marah.

Si pelayan gelengkan kepala. "Celaka, celaka tuan besar..."

"Eh, ose ini gila atau bagaimana? Apa yang ce-laka?!"

"Mereka datang! Go Bang An dan tiga kawan-nya. Tapi mereka bukan cuma berempat. Go Bang An membawa serta gurunya yang bernama Oh-se Gong Wa-dam alias Wadam

Sinting Pengacau Dunia. Dan Wadam ini mem-bawa pula empat orang anak muridnya!"

Si pelayan terheran-heran ketika melihat Pati Raja Lo Ngok bukannya terkejut mendengar keteran-gannya tapi malah tersenyum.

"Pelayan, bagus ose sudah memberitahu. To-rang sebenarnya memang sudah lama mencari Oh-se Gong Wa-dam. Ternyata torang pe pancingan berhasil. Oh-se Gong Wa-dam akhirnya keluar juga dari sarang-nya!"

Pati Raja Lo Ngok lalu melangkah ke jendela. Di halaman bawah sana dia melihat Go Bang An dan Tong Bo Khek serta dua kawannya. Keempatnya berte-riak-teriak sambil acungkan golok dan memandang ke arah jendela kamar Pati Raja Lo Ngok. Di dekat mereka berdiri empat pemuda berpakaian serba kuning. Ram-but dikuncir dan lucunya muka mereka dipoles bedak dan gincu tebal!

Agak ke depan dari barisan delapan orang itu berdiri seorang tinggi besar berpakaian dan berdandan aneh. Di sebelah atas orang ini mengenakan baju kembang-kembang. Rambut dipotong pendek alias yongen. Muka di pupur bedak tebal seperti dempul.

Page 85: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

Bibir dicat merah mencorong dan alis tebal sehitam arang. Pada daun telinganya mencantel anting-anting bundar besar. Di sebelah bawah orang ini mengenakan rok model pendek sekali, berkaos kaki merah dan me-makai sepatu lars! Inilah dia Oh-se Gong Wadam alias Wadam Sinting Pengacau Dunia.

"Pati Raja Lo Ngok! Jangan sembunyi di dalam. kamar! Lekas keluar menerima hukuman!" Go Bang An berteriak sambil acung-acungkan goloknya. Sementara Oh-se Gong Wa-dam tegak rangkapkan tangan di atas dada. Saat itu orang banyak mulai berkerumun di ha-laman hotel Hill Tong.

Pati Raja Lo Ngok kencangkan sarungnya, ke-nakan kain hitam pengikat kepala lalu keluar dari ka-mar. Begitu turun ke halaman dia segera melangkah ke tempat Go Bang An dan Kawan-kawannya dan ber-diri empat langkah di hadapan Oh-se Gong Wa-dam. Sesaat dua orang itu saling beradu pandang. Lalu Wa-dam Sinting Pengacau Dunia sunggingkan senyum si-nis dan membuka mulut.

"Pati Raja Lo Ngok! Lama tak bertemu ternyata kau masih jelek-jelek saja seperti dulu. Hik... hik! Aku sudah tahu apa tujuanmu muncul di kota ini. Ru-panya kau kurang menyadari tingginya gunung Thay-san. Jauh-jauh kau datang ke Tionggoan hanya untuk mencari mati! Sungguh satu kesia-siaan tolol!"

Pati Raja Lo Ngok balas menyeringai. "Ose kira dengan kabur ke Tionggoan ini bisa menyelamatkan dirimu dari pembalasan hukuman? Ose membunuh sahabatku Madame Du Lepet, Ketua Persatuan Wadam Taman Lawang. Torang datang untuk menjemput mu. Ose akan diadili di negeri asalmu. Tapi jika ose berani membangkang, maka terpaksa ose pe nyawa dihabisi di tempat ini juga!"

Wadam Sinting Pengacau Dunia tertawa gelak-

Page 86: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

gelak. "Pati Raja Lo Ngok, ternyata kesombonganmu ti-dak berubah sejak dulu! Seharusnya kepalamu ku pi-sahkan dengan badan saat ini juga! Tapi lama-lama kulihat kau kelihatan antik juga. Akhir-akhir ini aku suka barang antik. Dengar Raja Lo Ngok, aku akan ampuni selembar nyawamu. Tapi syaratnya kau suka ikut aku ke tempat kediamanku dan melayani diriku sebagai seorang istri!"

Tampang hitam Pati Raja Lo Ngok jadi menghi-tam legam. "Wadam Sinting buronan dari Taman La-wang! Kau juga tidak berubah. Seumur-umur hidup kacau balau tak karuan. Ajakanmu menarik juga! Tapi ose lupa! Tuan besarmu ini tidak suka main wadam. Perawan dan janda saja bertaburan di delapan penjuru angin. Masakan torang mau bersuka-suka dengan wa-dam rongsokan macam ose begini!?! Ha... ha... ha!"

Marahlah Oh-se Gong Wa-dam mendengar penghinaan itu. Apa lagi di hadapan sekian banyak mata, termasuk murid-muridnya sendiri. Dia maju sa-tu langkah tapi Tong Bo Khek dan Go Bang An serta empat muridnya yang berpakaian kuning segera men-cegah,

"Suhu, biar kami yang membereskan monyet hitam ini!"

Oh-se Gong Wa-dam gelengkan kepala. Ma-tanya tak berkesip. "Urusan ini aku yang harus menye-lesaikan. Monyet hitam ini sejak aku masih di Taman Lawang sudah bikin susah diriku!"

Tangan kanan Wadam Sinting Pengacau Dunia bergerak ke balik dada pakaiannya. Semula semua orang mengira dia akan mengeluarkan senjata berupa golok atau pedang. Tapi yang kemudian tergenggam di tangannya ternyata adalah sebuah BH alias kutang ukuran 42 B-Cup. Wadam Sinting Pengacau Dunia maju lagi satu langkah. Kali ini sambil putar-putar BH

Page 87: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

di tangannya. Begitu hebatnya hingga mengeluarkan suara menderu bersiuran. Debu dan kerikil beterban-gan. Daun-daun pepohonan berguguran. Ranting-ranting ada yang berpatahan. Dan BH itu terus mende-ru menebar bau aneh seperti bau minyak rem yang sudah apak!

"Pati Raja Lo Ngok! Diberi susu kau minta ra-cun! Biar kepalamu kuhancurkan dengan penutup su-su ini!"

"Wuuttt!" BH di tangan Wadam Sinting Pengacau Dunia

menghantam ke arah batok kepala Pati Raja Lo Ngok. Yang diserang cepat merunduk. Tapi secara aneh ujung BH membalik dan breett! Dada pakaian Pati Ra-ja Lo Ngok robek besar. Orang ini cepat melompat den-gan wajah berubah. Wadam Sinting Pengacau Dunia tertawa bergelak.

"Kini baru kau sadar kalau kau tak bakal bisa kembali ke kampung halamanmu! Hik... hik... hik!"

"Wadam sinting! Jangan bicara takabur! Lihat serangan!" teriak Pati Raja Lo Ngok. Lalu tubuhnya melesat ke atas. Sambil melompat tangannya menyeli-nap ke balik sarung. Sesaat kemudian ketika tangan itu keluar dari sarung kelihatan dia memegang celana kolornya yang dekil butut. Begitu celana itu dike-butkan di udara, angin laksana badai menggebu dan bau tidak sedap menyesakkan pernafasan. Go Bang An dan Tong Bo Khek serta dua kawannya, juga empat murid Oh-se Gong Wa-dam terhuyung-huyung lalu ja-tuh bergedebukan di tanah. Hanya Oh-se Gong Wa-dam sendiri yang masih tegak di tempatnya pertanda dia memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi.

Di halaman Hotel Hill Tong segera berkecamuk pertempuran seru jadi tontonan yang mengasyikkan dan aneh karena masing-masing yang berkelahi me-

Page 88: TDS...Jangan berdusta kalung itu tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di mulutmu!" "Kalau kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil!

megang senjata aneh. Satu selembar BH ukuran 42, satunya lagi sehelai kolor dekil.

Bagaimanapun tingginya ilmu silat Oh-se Gong Wa-dam ternyata masih berada di bawah tingkat ke-pandaian Pati Raja Lo Ngok. Setelah saling baku han-tam selama dua puluh jurus, pada jurus ke dua puluh satu Pati Raja Lo Ngok berhasil menyekap dan mema-sukkan kolornya ke kepala lawan. Oh-se Gong Wadam kelabakan, tak bisa bernafas dan tubuhnya menjadi lemas mencium bau kolor yang aneh itu. Sebelum wa-dam bersepatu lars itu rubuh ke tanah, Pati Raja Lo Ngok cepat menotok tubuhnya hingga sang wadam be-nar-benar dibuat tidak berdaya. Melihat kejadian ini Go Bang An dan kawan-kawan serta empat murid Oh-se Gong Wa-dam segera jatuhkan diri berlutut tanda menyerah.

Pati Raja Lo Ngok angkat kolornya dari kepala Oh-se Gong Wadam. Lalu tenang saja di hadapan begi-tu banyak orang dia kenakan kolor dekil itu kembali.

TAMAT

E-Book by Abu Keisel