tau hid menurut fakhr al-dĪn al-rĀzi dalam mafĀtih...

81
TAU UHID ME Disus PROGRA U NURUT F MAF sun untuk M Gelar AL IMR NI AM STUDI FAKU UNIVERSIT SYAR 2 FAKHR A FĀTIH A SKRIP Memenuhi P Sarjana Str Oleh RAN IMAM IM: 111103 I AQIDAH ULTAS USH TAS ISLA RIF HIDAY JAKAR 2017 M./ 14 AL-DĪN A L-GHĀIB PSI Persyaratan ata Satu (S1 : M SANTO 33100034 DAN FILS HULUDDI M NEGER YATULLAH RTA 438 H. AL-RĀZI B Memeroleh 1) SO SAFAT ISL IN RI (UIN) H I DALAM h LAM M

Upload: dodieu

Post on 16-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

TAU

UHID ME

Disus

PROGRA

U

NURUT FMAF

sun untuk MGelar

AL IMRNI

AM STUDI

FAKU

UNIVERSIT

SYAR

2

FAKHR AFĀTIH A

SKRIP

Memenuhi PSarjana Str

Oleh

RAN IMAMIM: 111103

I AQIDAH

ULTAS USH

TAS ISLA

RIF HIDAY

JAKAR

2017 M./ 14

AL-DĪN AL-GHĀIB

PSI

Persyaratan ata Satu (S1

:

M SANTO33100034

DAN FILS

HULUDDI

M NEGER

YATULLAH

RTA

438 H.

AL-RĀZIB

Memeroleh1)

SO

SAFAT ISL

IN

RI (UIN)

H

I DALAM

h

LAM

M

Page 2: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan
Page 3: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan
Page 4: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan
Page 5: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

 

iv  

PEDOMAN TRANSLITERASI

 ا a ط �

 ب b ظ �

 ت t ع ‘

 ث ts غ gh

 ج j ف f

 ح ق � q

 خ kh ك k

 د d ل l

 ذ dz م m

 ر r ن n

 ز z و w

 س s ه h

 ش sy ء �

 ص ي � y

 ض ة � h

Vokal Panjang

ā آ

ī إى

ū أو

 

Page 6: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

 

v  

Abstrak

Mengesakan Allah (tauhid) dan menolak penyekutuan (syirik) terhadap-Nya merupakan doktrin terpenting yang menjadi prinsip dan vital dalam ajaran-ajaran agama samawi. Hal itu merupakan asas segala macam ilmu dan ajaran Ilahiyah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul, sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab suci yang diwahyukan kepada mereka. Selain itu, tauhid dan syirik termasuk di antara masalah-masalah yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin.

Seorang ulama sekaligus intelektual terdahulu, yakni Fakhr al-Dīn al-Rāzi, menjelaskan bahwa tauhid merupakan peneguhan diri seseorang atas pengetahuannya dengan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Artinya, bertauhid itu tidak sebatas ketetapan hati, pengakuan verbal, yang tanpa ilmu bahwa Allah itu Esa, melainkan meniscayakan dasar pengetahuan yang luas. Sebab, pengetahuan merupakan dasar untuk mengetahui hak Allah, sementara pengakuan verbal merupakan syarat yang menjadi hak makhluk.

Penelitian ini merupakan penelitian literatur dengan pendekatan kualitatif. Tujuannya adalah mengeksplorasi mengenai konsep tauhid yang terdapat dalam sumber-sumber tertulis/documenter. Adapun sumber utamanya adalah kitab Mafātih al-Ghaib karya Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Adapun manfaatnya bersifat dasar sebagai bentuk kontribusi terhadap keilmuan. Kemudian disimpulkan secara deskriptif.

Tauhid yang terdapat di dalam Mafātih al-Ghaib mendasarkan pada persoalan wahdāniah. Wahdāniah merupakan gagasan mengenai keesaan Allah yang mencangkup persoalan ulūhiah (ketuhanan) serta menegaskan antara Zat, Sifat dan Wujud hadir sekaligus sebagai bentuk keesaan Tuhan. Kemudian disusul dengan konsep Rubūbiah sebagai penegasan bahwa Tuhan-lah yang wajib di sembah serta Tuhan-lah yang mencukupi segala kebutuhan ciptaan-Nya.

Kata kunci: Tauhid, Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Wahdāniah, Rubūbiah.

Page 7: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

vi

KATA PENGANTAR

Bismillāhirra�mānirra�īm

Al�amdulillāh segala puji bagi Allah, yang telah menciptakan manusia

sebagai ‘duplikat’ alam yang besar. Atas kasih sayang dan pengetahuan yang Ia

berikanlah, peneliti bisa menyelesaikan skripsi dengan judul “TAUHID

MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH AL-GHAIB”.

�halawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad saw,

beserta sahabat, dan keluarganya. Nabi sebagai manusia tersempurna yang menuntun

kebodohan manusia menjadi bersinar penuh pengetahuan dan berahlak yang mulia.

Semoga Nabi membawa ummatnya bisa berkumpul dalam Majlis-Nya yang penuh

kebahagiaan dalam keabadian.

Penelitian ini dilakukan dalam rangka sebagai syarat dalam pengajuan gelar

Sarjana Strata Satu (S1) pada jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas

Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti

menyadari, penyusunan penelitian dari awal hingga ahir bukan sebatas hasil sendiri,

melainkan juga atas ‘pancaran’ motivasi baik secara material dan non-material .

Sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, patut

kiranya penulis sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaran

dekanatnya, dan sekaligus menjadi Dosen Pembimbing peneliti dalam skripsi,

Page 8: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

vii

yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan, masukan, saran, kritik dan

waktu untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini tanpa

lelah. Kebaikan Bapak akan menjadi nasihat yang mulia untuk peneliti.

Semoga Allah memberikan kebaikan untuk Bapak. Amin ya Rabbal Alamin.

2. Bapak Dr. Syamsuri, MA, selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam,

Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Ibu Dra. Tien Rohmatin, MA, selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat

Islam, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

4. Para Guru Besar yang mengajar di tingkat Strata Satu. Kepada Dosen-dosen

Fakultas Ushuluddin yang meluangkan waktunya untuk konsultasi penelitian

ini saya ucapkan terimakasih dan tidak bisa disebut satu persatu. Terima-kasih

pula kepada seluruh staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin, segenap Staf

perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Umum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memudahkan penulis dalam mencari referensi

terbaik semasa-masa perkuliahan hingga proses penyelesaian skripsi ini.

5. Teruntuk orang yang sudah mencintai penulis tanpa alasan, kedua orang tua.

Ayahanda Mursalim Muhaiyang dan Bunda Sumarni, atas cinta, kasih sayang

serta doanya penelitian ini terselesaikan. Terimakasih juga kepada Adinda

Qoriah indah, Iqro Saritilawah dan wanita spesial yang terpilih tuk mencintai

penulis Selfiana atas dorongan dan doa yang tidak ada hentinya untuk

Page 9: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

viii

menyelesaikan penulisan ini.

6. Terimakasih juga kepada teman-teman seperjuangan Aqidah dan Filsafat

Islam angkatan 2011 dan teman-teman Satu Korek yang ikut membantu

berdiskusi dengan penulis. Atas do’a kalian penelitian ini terselesaikan.

7. Akhirnya, peneliti berharap agar apa yang telah ditulis dapat bermanfaat bagi

semua kalangan pada umumnya dan dapat memperluas khazanah keilmuan

filsafat Islam. Peneliti menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.

Kritik dan saran yang sifatnya membangun skripsi ini sangat diharapkan.

Sebagai penutup, peneliti berharap semoga Allah SWT selalu membimbing

langkah kita menuju jalan yang benar dan lurus. Amin ya Rabbal ‘Alamīn

Jakarta, 13 Februari 2017

(Al Imran Imam Santoso)

Page 10: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persoalan mendasar dalam agama samawi adalah tauhid. Agama samawi

merupakan agama yang diturunkan oleh Tuhan dalam bentuk wahyu dan berikan

kepada para Rasul untuk disebarkan kepada manusia.1 Di antaranya adalah

agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Tauhid berarti mengesakan Allah (tauhid)

dan menolak penyekutuan (syirik) terhadap-Nya. Hal itu merupakan asas segala

macam ilmu dan ajaran Ilahiyah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul,

sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab suci yang diwahyukan kepada mereka.

Akan tetapi perkembangan tauhid dalam agama samawi mengalami

perbedaan. Aminuddin mengatakan bahwa Islam-lah merupakan satu-satunya

agama samawi yang sah. Agama Nasrani dan agama Yahudi hanya dapat disebut

sebagai agama semi- Samawi atau agama semu- Samawi, karena kedua kitab

suci kedua agama tersebut dalam bentuknya yang sekarang ini sudah sangat

banyak diinterpolasi dengan pikiran- pikiran manusia.2

Di dalam Islam, pembahasan mengenai tauhid berarti mengesakan

(mentauhidkan) Allah SWT dari segi Zat-Nya, perbuatan-Nya serta ibadah

1 Siti Hadidjah, “Hubungan Antar Nabi dan Agama Samawi” dalam Jurnal Hunafa,

IAIN Palu Vol 3, No. 4, Palu, Desember, h. 376. 2 Aminuddin, “Kebutuhan Manusia Terhadap Agama”, dalam Jurnal Jurnal Ilmi Agama,

UIN Raden Fatah, Th. XIV, No. 1, Palembang, 2013, h. 106.

Page 11: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

2

kepada-Nya. Dalam pandangan mereka semua, Allah adalah Esa, tidak ada yang

menyamai-Nya dan tidak ada padanan bagi-Nya, sebagaimana ia adalah satu-

satuNya yang berkuasa penuh dan merupakan pusat sumber segala pengaruh,

pelaku hakiki serta pencipta sebenarnya dari segala yang biasa di sebut sebagai

pelaku atau pencipta. Kalaupun ada pelaku atau pencipta selain-Nya, maka ia

hanya dapat melakukan atau menciptakan dengan kemampuan dan kemauan-

Nya semata-mata.3

Islam lahir membawa akidah ketauhidan, melepaskan manusia dari

ikatan-ikatan kepada berhala-berhala, serta benda-benda lain yang posisinya

hanyalah sebagai makhluk Allah SWT. Agama Islam disepakati oleh para

ulama, sarjana dan pemeluknya sendiri, bahwa agama Islam adalah agama

tauhid. Yang membedakan Islam dengan agama-agama lain adalah monoteisme

atau tauhid yang murni, yang tidak dapat dicampuri dengan segala macam

bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan agama Islam dari agama-

agama lain.4

Tauhid adalah salah satu ajaran pokok Islam yang diwahyukan Tuhan

kepada Nabi Muhammad. Bahkan, umum dikatakan bahwa ajaran tauhid

merupakan dasar dari segala dasar kebenaran, serta merupakan akar tunggang

3 Ja’far Subhani, Studi Kritis Faham Wahabi: Tauhid dan Syirik (Bandung: Mizan), h.

13. 4 Amin Rais, Tauhid Sosial (Bandung: Mizan, 1998), h. 35.

Page 12: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

3

dari ajaran Islam.5

Tauhid Islam dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 163:

وإلهكم إله واحد لا إله إلا هو الرحمن الرحيم

Artinya: Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan

melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ayat di atas menegaskan bahwa Allah merupakan Dzat yang Esa dan

Allah-lah satu-satunya Tuhan. Dengan demikian ayat tersebut menjelaskan

mengenai tauhid kepada Allah. Selain itu, dalam sebuah hadist juga dijelaskan:

Rasulullah saw bersabda “Jauhilah Tujuh hal yang membinasakan” Sahabat

bertanya “Apa itu ya Rasul?” Rasul menjawab: Syirik (menyekutukan Allah,

sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah, memakan harta anak yatim,

memakan riba, mundur dari peperangan, dan menuduh wanita baik-baik

berzina”.6

Sedemikian pentingnya tauhid maka Rasullullah melarangnya. Pertama

yang disebut adalah menyekutukan Allah. Berarti tidak lagi mengesakan, atau

dengan kata lain tidak bertauhid. Dengan demikian ayat maupun hadis yang di

atas sama sama menjelaskan mengenai tauhid serta pentingnya tauhid.

Secara historis, paham ketauhidan pada dasarnya sudah ada semenjak

5 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah atas Pemikiran

Hamka data teologi Islam (Jakarta: Paramadina, 1990), h. 4. 6 M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), h. 18.

Page 13: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

4

diturunkannya Nabi Adam as ke muka bumi ini. Namun demikian, seiring

berjalannya proses dialektika sejarah kehidupan manusia, konsep tauhid ini pun

secara berangsur-angsur mengalami sebuah distorsi pemahaman yang tentunya

bertentangan dengan apa yang telah diajarkan dan dimaksudkan oleh Nabi Adam

as.7 Oleh karena itu, hadirnya Nabi Muhammad ke muka bumi ini sebagai

utusan Tuhan yang terakhir berupaya menyempurnakan konsep tauhid tersebut

berdasarkan nilai-nilai ajaran yang telah diwahyukan Tuhan kepada-Nya yang

belakangan terdokumentasikan dalam sebuah “kitab suci” atau al-Qur’an.8

Ajaran dasar Islam adalah percaya terhadap kemahaesaan Tuhan (tauhid).

Kepercayaan tersebut menegaskan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.9

Seorang yang bertauhid memutlakkan yang Maha Esa sebagai Khalik dan

menisbahkan selain-Nya sebagai makhluk-Nya. Oleh karena itu, hubungan

manusia dengan Allah tidak bisa disejajarkan dan dibandingkan.10 Formulasi

tauhid yang demikian menunjukkan adanya komitmen manusia kepada Allah

sebagai fokus hormat, rasa syukur dan sebagai satu-satunya sumber nilai.

Formulasi tauhid ini dapat dilukiskan dengan pesan pendek kalimat tayyibah: Lā

ilāha ill Allāh, yang artinya tidak ada Tuhan selain Allah.

Dalam Islam, tauhid memiliki kedudukan sangat sentral dan esensial.

7 Taib Tahir Abd Mu’in, Ilmu Kalam (Jakarta: Penerbit Widjaya, 1975), cet ke-3, h. 15. 8 Taib Tahir, Ilmu Kalam, h. 16. 9 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Ajā’ib al-Qur’an (Beirut Libanon: Dr al-Qutub al-Ilmiyah,

1984), h. 7. 10 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, al-Arba’īn fī Usūluddīn (Kairo: Maktabah al-Kuliyat al-

Azhariyah, 1987), h. 138.

Page 14: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

5

Tauhid bukan saja sebagai sumber bermuaranya pola pikir, sikap dan tingkah

laku, tetapi juga merupakan syarat kunci diterima dan ditolaknya amal

seseorang.11 Dengan bertauhid, maka seseorang akan semakin tinggi

keilmuannya. Dengan ilmu tersebut Dengan ilmu seseorang akan mengetahui

macam-macam amal kebajikan.12 Amal kabajikan inilah yang kemudian akan

diterima oleh Allah.

Selain itu, tauhid yang benar menumbuhkan keikhlasan dan semangat

baru, memacu seseorang untuk lebih produktif dalam hal-hal yang positif.

Sebaliknya, tauhid yang salah tidak saja melemahkan imajinasi dan

membekukan inisiatif, tetapi juga membatalkan seluruh amal perbuatan.13

Oleh sebab itu, seorang ulama sekaligus intelektual terdahulu, yakni

Fakhr al-Dīn14al-Rāzi, menjelaskan bahwa tauhid merupakan peneguhan diri

seseorang atas pengetahuannya dengan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan

selain Allah.15 Artinya, bertauhid itu tidak sebatas ketetapan hati, pengakuan

verbal, yang tanpa ilmu bahwa Allah itu Esa,16 melainkan meniscayakan dasar

pengetahuan yang luas. Sebab, pengetahuan merupakan dasar untuk mengetahui

11 Abdul Hafidz, Risālah Aqīdah (Ciputat: Aulia Press, 2007), Cetakan Pertama, h. 9. 12 Jarman Armani, 13 Abdullah Ibn Wakil al-Syaikh dan Abdullah Ibn Muhammad al-Amru, al-Akhlāq wa

al-Adab (Dr Isbiliya, al-Tab’ah al-Ula, 2001), h. 12. 14 Fakhr al-Dīn berasal dari dua kata: Fakhr yang berarti kebanggaan dan al-Dīn yang

berarti agama. 15 Samih Daghim, Mausu’ah Musmalahāt al-Imām Fakhr al-Dīn al-Rāzi (Libanon:

Maktabah Libanon, 2001), h. 542. 16 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib

al-Attas (Bandung: Pustaka Mizan, 2003), h. 300.

Page 15: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

6

hak Allah, sementara pengakuan verbal merupakan syarat yang menjadi hak

makhluk. Lebih dari itu, bertauhid juga harus dimanifestasikan dengan tindakan

nyata. Menururtnya, iman memiliki dasar dan buahnya. Iman merupakan dasar,

sedangkan amal merupakan wujud iman itu sendiri sebagaimana dimutlakannya

dasar pohon dan buahnya.17

Fakhr al-Dīn al-Rāzi selalu mengingatkan perlunya memperbaharui iman

dengan membaca kalimat tauhid Lā ilāha illa Allāh. Orang yang terbiasa

melafalkan kalimat tauhid niscaya imannya meningkat dan karenanya mampu

mencapai hubungan dekat dengan Tuhan. Kedekatan itu hanya bisa dicapai

dengan cara membersihkan hati. Jika hati bersih maka mengalir dari padanya

perbuatan yang baik, begitu pula sebaliknya.18

Meskipun demikian, sebagian besar orang tidak mengetahui, bahwa

peran tauhid sangat penting dalam kehidupan. Akibatnya, perilaku sopan santun

hilang, maksiat merajalela, kenakalan remaja tidak terkendalikan, bahkan yang

memprihatinkan lagi, banyaknya kasus berita pencabulan di bawah umur dan

kasus kejahatan seksual yang masih hangat sekali beredar di negara Indonesia ini

yang sangat mengecewakan masyarakat, padahal negara ini terkenal dengan

umat Islam terbanyak di seantero jagad. mereka telah menjadikan nafsu sebagai

dasar aktivitasnya. Itulah potret nyata degradasi moral dan rusaknya akhlak yang

telah tampak dewasa ini.

17 Ibn Hajar al-Asqolani, Fath al-Bari, jus 8 (tt.: t.p., tt.) h. 468. 18 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz 30, h. 81-82.

Page 16: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

7

Menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi, untuk pembersihan diri diperlukan

keberanian membebaskan diri dari kebodohan, kemaksiatan (sebab jiwa yang

kotor selalu senang terhadap hal-hal yang berbau maksiat), syirik, sihir, dan hal-

hal lain yang bertentangan dengan ajaran Islam.19 Dalam pandangannya,

membersihkan jiwa merupakan salah satu cara untuk menguatkan tauhid. Jika

jiwa bersih maka tauhid seseorang akan semakin kuat, dan jika tauhidnya kuat

maka akan kuat pula imannya. Iman yang kuat hanya bisa didapatkan oleh

mereka yang taat, sebaliknya iman akan turun dan berkurang jika melakukan

maksiat. Jika hal-hal yang bisa membawa kepada kesucian jiwa itu bisa

dilakukan baik, maka hati akan selalu bersih dan Allah pun akan selalu

menyukai orang-orang yang yang menyenangi kebersihan.

Sedangkan untuk membiasakan diri agar berpikir positif, diperlukan

kesadaran penuh untuk menghilangkan sekat-sekat yang menggangu pola pikir.

Untuk itu, ditekankan supaya selalu berpikir positif terhadap berbagai hal dan

kewajiban yang diperintahkan syariat, bahkan ditekankan pula untuk berupaya

membiasakan diri berbuat kebaikan. Dalam hal ini, menurut Fakhr al-Dīn al-

Rāzi, taat terhadap segala perintah-Nya, syukur, adil, jujur, dan tawakal adalah

kunci utamanya. Jika jiwa bersih maka tauhid dan iman akan kuat, dan jika

19 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz 28, h. 61.

Page 17: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

8

tauhid dan iman telah kuat maka pola pikir dan perilakunya akan bersih.20

Maka dari itu, untuk memperjelas kajian mengenai tauhid, maka penulis

menuangkan pemikiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi, dengan tema TAUHID

MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM KITAB MAFĀTIH AL-

GHĀIB.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Tauhid yang dijelaskan oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi dapat ditemui di

berbagai karya-karyanya. Salah satunya dalam kitab Mafātih al-Ghāib.

Pembahasannya antara lain terdapat pada surat al-ikhlās, surat al-Anbiā ayat 22,

Tafsir Bismillah, Surat al-Baqarah ayat 163, serta dalam surat al-Fatihah. Secara

umum gagasan tauhidnya mencangkup pembahasan wahdāniah, rubūbiah, wajib

al-wujūd, Dzat dan Sifat, Ilāh (Tuhan), dan ‘Alam (sesuatu selain Allah).

Penulis membatasi pembahasan dalam skripsi pada tema tauhid menurut

Fakhr al-Dīn al-Rāzi dalam kitab Mafātih al-Ghāib. Adapun rumusan

masalahnya adalah bagaimana tauhid menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi dan

Bagaimana konsep Wahdāniah dan Rubūbiah menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi?

20 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam An

Exposition The Fundamental Elemens of The World View of IslamI (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 14.

Page 18: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian adalah menjawab atas permasalahan yang diangkat

dalam penelitian mengenai ketauhidan menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi.

Ketauhidan tersebut telah dibahas dalam karyanya yang berjudul Mafātih al-

Ghāib atau yang dikenal dengan Tafsīr al-Kabīr. Selanjutnya

mengkontekstualkan pemikiran tauhid Fakhr al-Dīn al-Rāzi yang relevan dengan

kondisi saat ini dan menjadikan konsep Wahdāniah dan Rubūbiah sebagai

gagasan mengenai keesaan Allah sebagai Dzat sekaligus sifat yang

mengikutinya.

Sedangkan manfaat penelitian ini terdapat dua hal. Pertama, bagi peneliti

adalah untuk memperoleh persyaratan mencapai gelar sarjana strata satu dalam

Fakultas Ushuluddin, jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, selain itu, diharapkan

memberikan kontribusi pemikiran dan dapat dijadikan pedoman pada

pengembangan keilmuan Islam. Kedua, untuk pembaca dapat memperdalam

pengetahuan mengenai pentingnya tauhid serta implemetasinya dalam kehidupan

sehari-hari. Sekaligus sebagai wahana untuk menambah khasanah keilmuan agar

dapat memberikan penerangan atau informasi kepada pembaca tentang

pentingnya pemikiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi.

Page 19: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

10

D. Kajian Pustaka

Ada penelitian berkaitan dengan judul yang diangkat peneliti. Penelitian

yang dibuat oleh Djayadi Cahyadi berjudul Takdir Dalam Pandangan Fakhr al-

Dīn al-Rāzi. Di dalamnya menjelaskan bahwa takdir sebagai ketetapan yang

telah ditetapkan dan mustahil mengalami perubahan.

penelitian di atas memiliki persamaan dan perbedaan dengan judul yang

akan dibuat. Persamaannya adalah tokoh yang dikaji sama-sama Fakhr al-Dīn al-

Rāzi. Sedangkan perbedaannya adalah tema yang diteliti berbeda satu sama lain.

Antara tema takdir dan tauhid merupakan tema atau variable yang berbeda.

Dengan demikian, kajian yang menjelaskan tentang pemikiran tauhid menurut

Fakhr al-Dīn al-Rāzi bersifat baru dan original.

E. Metode Pengolahan dan Analisa

1. Sumber Data Penelitian.

Sumber data penulisan skripsi ini terdiri dari dua sumber, berupa sumber

data primer dan sumber data sekunder. Adapun sumber data primer diambil dari

Buku pokok Fakhr al-Dīn al-Rāzi antara lain, Mafātih al-Ghāib, kitab tersebut

merupakan karya monumental Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Kitab tersebut juga biasa

disebut dengan nama Tafsīr al-Kabīr. Kitab ini dicetak dengan jumlah 32 Juz

dengan 16 jilid.

Adapun mengenai sumber sekunder diambilkan dari penelitian terbuka

Page 20: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

11

terhadap berbagai macam kepustakaan, seperti buku-buku, majalah, Koran dan

jurnal yang tentu menyangkut mengenai pemikiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi dan

terutama pemikiran tauhidnya. Beberapa di antaranya buku sekunder yang

penulis pakai adalah, Risalah Tauhid, Sepintas Sejarah Islam, Ihya Ulumuddin,

Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat, Humanisme dalam Islam, Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya

(Harun Nasution), Ilmu Kalam (Abdul Aziz Dahlan), Risalah Aqidah (Abdul

Hafidz).

2. Metode Pengumpulan Data

Dalam rangka pengumpulan data-data yang diperlukan, penulis

menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan

cara menelaah kitab-kitab, literatur dan buku-buku yang ada relevansinya

dengan masalah yang diteliti (dibahas).

3. Metode Pengolahan dan Analisa Data

Setelah menentukan dan mengumpulkan data, peneliti kemudian

mengolah data dengan teknik deskriptis analitis. Deskriptif digunakan agar

mampu memahami dan memberikan gambaran yang jelas mengenai

permasalahan yang terkait dengan skripsi ini. Dalam metode deskripsi, penulis

menjelaskan judul yang diangkat dengan permasalahan yang berkaitan.

Penjelasan mengenai deskripsi dimulai dari konsep Tauhid secara umum,

pembahasan tauhid dalam golongan teolog dalam Islam.

Page 21: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

12

Sementara analisa digunakan untuk memahami lebih mendalam antara

konsep tauhid secara umum dan menyesuaikannya dengan konsep tauhidnya

Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengambil data

primer. Kemudian dianalisa dengan konsep umum tauhid serta

mensignifikasikan dengan kondisi yang relevan.

4. Pedoman Penulisan

Pedoman penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Akademik

tahun 2011/2012 Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang

diterbitkan oleh Biro Administrasi dan Akademik UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. Sedangkan mengenai transliterasi dalam penulisan skripsi ini mengacu

pada sistem transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin / Hipius (Himpunan Peminat

Ilmu Ushuluddin).

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab pertama berisi

pendahuluan yang membahas seputar latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan

sistematika pembahasan. Bab kedua membahas tentang biografi Fakhr al-Dīn al-

Rāzi. Bab ini memfokuskan diri pada biografi, karir intelektual, dan karya-karya

yang dihasilkannya, juga tokoh-tokoh yang memengaruhi Fakhr al-Dīn al-Rāzi

Bab ketiga membahas tentang tauhid dalam Islam. Bab ini diisi dengan

pengertian tauhid, unsur-unsur tauhid, serta pembahasan mengenai tauhid dalam

Page 22: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

13

Islam. Bab keempat membahas tentang pengertian makna, macam-macam,

fungsi menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi dan analisa tauhid. Bab kelima merupakan

penutup yang berisi kesimpulan dan kritik.

Page 23: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

13

BAB II

BIOGRAFI FAKHR AL-DIN FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI

A. Kehidupan Fakhr al-Dīn al-Rāzi

Fakhr al-Dīn al-Rāzi memiliki nama panjang Abu Abdillah

Muhammad Ibn Umar Ibn al-Husain Ibn ‘Ali al-Taimī al-Bakri al-Thibristāni.

Fakhr al-Dīn al-Rāzi lahir pada 25 Ramadhan 544 H atau pada tahun 1150

M.1 Fakhr al-Dīn al-Rāzi lahir di kota Ray, dimana kota tersebut ditinggali

oleh penduduk ‘ajm.2 Kota Ray terletak di wilayah Irak, namun kini telah

hancur dan kini kota tersebut dikenal dengan nama Teheran, Irak. Dahulu Ray

merupakan sebuah kota yang banyak melahirkan ulama. Setiap orang yang

menjadi ulama mendapatkan gelar al-Rāzi. Seperti Abu Bakar Ibn

Muhammad Ibn Zakaria al-Rāzi.3 Oleh karena itu, gelar al-Rāzi bisa

dikatakan bukan hanya untuk Fakhr al-Dīn al-Rāzi.

Semenjak kecil Fakhr al-Dīn al-Rāzi ikut bersama ayahnya. Ayahnya

merupakan ulama tersohor karena menjadi khatib di Ray. Ini membuat Fakhr

al-Dīn al-Rāzi mendapat julukan Ibn Khatib al-Ray. Selain itu nasab Fakhr al-

Dīn al-Rāzi memiliki garis keturunan dengan Abu Bakar al-Shidiq.4 Sampai

pada akhirnya ayahnya meninggal pada saat Fakhr al-Dīn al-Rāzi berusia 15

tahun. Selanjutnya Fakhr al-Dīn al-Rāzi melakukan pengembaraan mencari

                                                            1 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Roh Itu Misterius, Terj. M. Abdul Qadir al-Kaf, (Jakarta:

Cendekia, 2001), h.17. 2 Ajm adalah istilah untuk daerah yang ditempati oleh selain bangsa arab. 3 Madjid Fakhry, A Hystory of Islamic Philosophy, (Newyork: Colombia University

Press, 1970), h. 355. 4 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Roh Itu Misterius, h. 18

Page 24: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

14

ilmu.

Fakhr al-Dīn al-Rāzi hidup di tengah kondisi masyarakat yang

komplek. Kompletifitas masyarakat tersebut terlihat dari keragaman agama

dan aliran agama yang dianut masyarakat. Sebagai seorang ilmuan,

kematangan ilmunya terbangun dari sebuah dinamika dan dialektika dengan

kondisi yang mengitarinya. Misalnya, terjadi dialog pertama dengan kaum

mu’tazilah di Khawarizmi. Di samping itu, pernah pula terjadi dialog dengan

para ahli agama lain, terutama dengan seorang pendeta besar yang dikagumi

pengetahuannya oleh masyarakat Kristen pada waktu itu. Rekaman dialog itu

dituangkan dalam tulisannya yang berjudul al-Munāzarat Bayn al-Nasāra.5

Benturan pemikiran tidak hanya terjadi dengan kaum mu’tazilah dan

penganut agama non-Islam. Kelompok pengagum pemikiran filsafat Ibnu

Sina dikritik habis oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Sementara itu, ketika di

Transaksonia, ia harus berhadapan dengan kelompok yang menamakan

dirinya sebagai aliran Karamiyah, yang menyebabkan ia melakukan eksodus

ke Ghazna, Afganistan.6

Salah satu failasuf Islam yang juga lahir dari kota Ray adalah Ibn

Miskawaih.7 Pengaruh pemikiran filsafat terus berkembang. Namun al-

Ghazali yang membuat kitab Tahafut al-Falāsifah membuat sufistik jauh

lebih berkembang dibandingkan dengan ilmu filsafat. Bahkan al-Umari dalam

                                                            5 Syarifah Suminto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 171-172. 6 Madjid Fakhry, A Hystory, h. 355. 7 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UIN Press,

2002), h. 47.

Page 25: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

15

kitab Mafātih al-Ghāib karya Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzi mengatakan kaum

muslimin menjadi benci terhadap filsafat, khususnya kalangan fuqaha dan

golongan Asy’ariyah.8

Fakhr al-Dīn al-Rāzi sendiri hidup berada dalam besarnya peran Bani

Saljuk yang cenderung kepada Sunni dan Sufisme.9 Dengan tiga dari empat

madhzab fiqh yang mendominasi. Di antaranya adalah Syafi’iah sebagai

madzhab minoritas, Hanafiah sebagai madzhab mayoritas, dan Syi’ah sebagai

aliran yang juga sedikit diikuti oleh orang-orang Ray. Hanafiah sebagai

madzhab mayoritas tidak terlalu resisten terhadap serangan atau dakwah dari

madzhab lainnya. Akan tetapi untuk Syafi’iah dan Syi’ah masih berebut

pengikut. Namun kota Ray yang didominasi Ahlussunnah membuat golongan

Syafi’iah menjadi kelompok kedua di antara madhzab yang ada.10

Keadaan semacam inilah yang mendorong Fakhr al-Dīn al-Rāzi untuk

mencoba menghubungkan kembali tradisi pemikiran filsafat dalam dunia

Islam. Karena perjuangan itu, Fakhr al-Dīn al-Rāzi dapat dinyatakan sebagai

tokoh reformasi dunia Islam abad ke-6 H, sebagaimana Abu Hamid al-

Ghazāli pada abad ke-5 H. Bahkan ia dijuluki sebagai tokoh pembangun

sistem teologi melalui pendekatan filsafat.11

Kemudian Fakhr al-Dīn al-Rāzi menikah di Ray dengan salah satu

anak seseorang dokter ahli yang memiliki kekayaan melimpah. Sejak

                                                            8 Djayadi Cahyadi, “Konsep Takdir Fakhr al-Dīn al-Rāzi”, Skripsi Mahasiswa

Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadits, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h. 21. 9 Karen Amstrong, Sepintas Sejarah Islam, (Surabaya: Toralitera, 2004), h. 101. 10 Djayadi Cahyadi, “Konsep Takdir Fakhr al-Dīn al-Rāzi”, h. 21-22. 11 Madjid Fakhry, A Hystory, h. 356.

Page 26: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

16

pernikahannya terjadi, Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjadi orang yang

berkecukupan dalam hal ekonomi. Dari pernikahannya ini Fakhr al-Dīn al-

Rāzi dikaruniai tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Ketiga anak laki-

lakinya bernama Dhiya’ al-Dīn, Sams al-Dīn dan Muhammad meninggal

pada saat Fakhr al-Dīn al-Rāzi masih hidup dan membuatnya sangat bersedih.

Bahkan Fakhr al-Dīn al-Rāzi mengungkapkan kesedihannya dengan

menyebut nama Muhammad berkali-kali dalam tafsir surat Yunus, Hud, al-

Ra’d, dan Ibrahim.

Fakhr al-Dīn al-Rāzi meninggal di Herat pada hari senin tanggal 1

Syawwal 606 H./1209 M. bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Dikatakan

beliau meninggal, ketika beliau berselisih pendapat dengan kelompok al-

Karamiyah tentang urusan aqidah, mereka sampai mengkafirkan Fakhr al-Dīn

al-Rāzi, kemudian dengan kelicikan dan tipu muslihat, mereka meracuni al-

Rāzi, sehingga beliau meninggal dan menghadap pada Rabb-Nya.12

Fakhr al-Dīn al-Rāzi dimakamkan di gunung Musaqib desa

Muzdakhan tidak jauh dari Herat. Sebelum meninggal Fakhr al-Dīn al-Rāzi

meninggalkan wasiat yang dicatat oleh muridnya Ibrahim al-Asfahāni.

Wasiatnya berisi tentang pengakuannya bahwa ia telah banyak menulis dalam

berbagai cabang ilmu tanpa memperhatikan mana yang berguna dan mana

yang tidak. Dalam wasiatnya, Fakhr al-Dīn al-Rāzi juga menyatakan ketidak

puasannya terhadap filsafat dan ilmu kalam (teologi), ia lebih menyukai

metode al-Qur’an dalam mencari kebenaran. Ia juga menasihati untuk tidak

                                                            12 Djayadi, “Konsep Takdir”, h. 20.

Page 27: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

17

melakukan perenungan-perenungan filosofis terhadap problem-problem yang

tak terpecahkan.13

Fakhr al-Dīn al-Rāzi tidak ada yang menyamai keilmuan pada

masanya, ia seorang mutakallim pada zamannya, ia ahli bahasa, ia Imam

tafsir dan beliau sangat unggul dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga

banyak orang-orang yang datang dari belahan penjuru negeri, untuk meneguk

sebagian dari keluasan ilmu beliau. Ia juga seorang ahli bahasa asing, maka

tidak heran jika para ilmuan dari luar, banyak yang datang untuk berguru

dengannya karena bahasanya yang fasih dalam menerangkan beberapa

disiplin ilmu, baik bahasa Arab maupun bahasa non Arab.

B. Pendidikan dan Karya Fakhr al-Dīn al-Rāzi

Fakhr al-Dīn al-Rāzi dalam menguasai beberapa disiplin ilmu

pengetahuan pertama kali belajar pada ayahnya, Dhiyā’ al-Dīn yang terkenal

dengan nama al-Khātib al-Ray sampai menjelang meninggalnya sang ayah.

Dhiya’ al-Dīn merupakan seorang ulama besar di Ray, khususnya dalam

bidang ilmu fiqh dan ushul fiqh. Setelah ayahnya meninggal pada tahun 559

H. Saat Fakhr al-Dīn al-Rāzi berusia 15 tahun, ia memulai pengembaraannya

menimba ilmu.

Madjid Fakhry menjelaskan bahwa Fakhr al-Dīn al-Rāzi juga seperti

pelajar muslim lainnya. Dimana mereka melakukan pengembaraan dalam

pencarian ilmu ke seluruh Persia. Dari khawarizm ke Ghaznah, lalu ke Herat

                                                            13 Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode

Para Ahli Tafsir, (Jakarta: PT. Raja Grafindo), h. 322.

Page 28: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

18

kemudian menetap di Herat di bawah kekuasaan Sultan ‘Ala al-Dīn

Khawarazmsyah.14

Perjalanan pertamanya, menuju Simnan. Disana beliau belajar fiqih

dengan ahli fiqih dan teolog bernama al-Kamal al-Simnani. Setelah beberapa

saat Fakhr al-Dīn al-Rāzi kembali ke Ray dan belajar kepada Majd al-Dīn al-

Jalili yang merupakan murid Imam Al-Ghazāli, Fakhr al-Dīn al-Rāzi belajar

teolog dan filsafat. Setelah beberapa tahun belajar di Simnan, Fakhr al-Dīn al-

Rāzi melanjutkan perjalanan ke khawarizm. Akan tetepi di khawarizm

banyak berdebat dengan kaum mu’tazilah dan akhirnya ia kembali ke Ray.15

Selain itu, Fakhr al-Dīn al-Rāzi banyak belajar ilmu kepada ulama-

ulama besar pada masanya, diantaranya adalah Abi Muhammad al-Baghāwi,

kepada al-Baghāwi Fakhr al-Dīn al-Rāzi belajar ilmu kalam dan tasawuf

dalam kitab al-Majjad al-Jalili, kepada Yahya al-Suhrawardi ia belajar

filsafat dan ushul fiqh. Ia

juga belajar ilmu ushul fiqh dari karangannya al-Ghazāli dalam

kitab al-Mustafa dan kitab al-Mu’tamad karya Abi al-Husain al-Bisrī,

sehingga tidaklah diragukan ia menjadi seorang yang ahli dalam masalah

Ushul.16

Di antara gurunya yang mengajarkan ilmu fikih kepadanya adalah

ayahnya sendiri, dimana ayahnya juga belajar kepada Abi Muhammad al-                                                            

14 Madjid Fakhry, A hystory, h. 355. 15 Djayadi Cahyadi, “Konsep Takdir Fakhr al-Dīn al-Rāzi”, Skripsi Mahasiswa

Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadits, 2011, h. 25. 16 Muhammad Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Tafsir al-Kabir wa Mafātih al-Ghāib, (Bairut:

Dar al-Fikr, 1990), h. 5.

Page 29: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

19

Husain Ibn Mas’ud al-Faraq al-Baghāwi yang jika ditelusuri kepada guru-

guru yang lain sampai kepada Imam Syāfi’i. Fakhr al-Dīn al-Rāzi juga

belajar teologi (ilmu kalam) kepada ayahnya yang menganut paham

Asy’ariyyah yang jika ditelusuri para guru-gurunya sampai kepada Imam Abu

al-Hasan al-Asy’ar. Hal ini memberikan kejelasan bahwa Fakhr al-Dīn al-

Rāzi adalah salah satu mufasir yang bermadzhab Syāfi’ī. dalam masalah fikih

dan penganut madzhab Asy’ariyyah dalam masalah kalam.

Fakhr al-Dīn al-Rāzi berhasil dalam menguasai filsafat dan kedokteran

yang ia peroleh dari para gurunya yang ia refleksikan dalam karyanya yang

berjudul Syarah al-Isyārat karya Ibn Sina, Lubab al-Isyārah dan al-Mulkah fī

al-Falsafah. Dalam bidang ilmu kedokteran ia menulis kitab Syarh al-

Kulliyyāt li al-Qānūn karya Ibnu Sina. tidak heran jika dalam masanya dan

masa sesudahnya, Fakhr al-Dīn al-Rāzi banyak mendapatkan pujian yang

istimewa seperti yang di katakan oleh al-Qufti bahwa ia adalah seorang yang

memiliki pemikiran yang tajam serta memiliki daya analisa yang

kuat.17 Sehingga ia dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan termasuk

didalamnya ilmu kedokteran yang banyak di puji oleh para muridnya yang

mempelajari ilmu kedokteran darinya.

Dalam dunia islam Fakhr al-Dīn al-Rāzi merupakan salah satu penulis

produktif dalam sejarah. Tulisannya terdiri dari berbagai cabang keilmuan

mulai dari tafsir, teologi filsafat, kedokteran, linguistik, fisika, astronomi,

                                                            17 Anshori, Tafsir Bil Ra’yi: Menafsirkan Al-Quran Dengan Ijtihad, (Jakarta: Gaung

Persada Press, 2010), h. 100.

Page 30: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

20

sejarah, astrologi fisiognomi (firasat) dan masih banyak lagi. Konon karangan

Fakhr al-Dīn al-Rāzi lebih dari 200 buah karangan, baik beberupa risalah,

syarah, maupun kitab yang berjilid-jilid. Dalam buku Metodologi Tafsir, Al-

Baghdadi mengklasifikasikan karangan Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjadi

sepuluh. Namun di dalamnya tidak dijelaskan secara detail nama-nama karya

yang ditulis oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi. 18

Akan tetapi, Anshori dalam buku Tafsir Bil Ra’yi; Menafsirkan Al-

Quran Dengan Ijtihad menuliskan dalam Sembilan kelompok karya-karya

Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Berikut kelompok serta nama-nama karya Fakhr al-Din

Fakhr al-Dīn al-Rāzi:

1. Karya Bidang Tafsir

1.1. Tafsīr Kabīr (Mafātih al-Ghāib)

1.2. Asrār al-Tanzīl wa Asrār al-Tafsīr (Tafsīr al-Qur’an al-Saghīr)

1.3. Tafsīr Surat al-Fatihah,

1.4. Tafsīr surat al-Baqarah

1.5. Tafsīr surat al-Ikhlās, dan

1.6. Risālah fi Tanbīh ‘ala Ba’d al-Asrār al-Mudi’ah fi Ba’d Ayat

al-Qur’an al-Karīm.

2. Dalam bidang Ilmu Kalam (teolog)

2.1. Arba’īn fi Usūl al-Dīn

2.2. Asās al-Taqdīs

2.3. Asl al-Haqq

                                                            18 Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, h. 321.

Page 31: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

21

2.4. Al-Qada wa al-Qadar

2.5. Syarh al-Asmā Allah al-Husna

2.6. Ismah al-Anbiyā’

2.7. Al-Mahsul (fi ‘Ilm Kalam)

2.8. Al-Ma’alim fi Usūl al-Dīn

2.9. Nihāyah al-’Uqūl fi Dirāyah al-Usūl

2.10. Ajwibat al-Masā’il al-Najjāriyyah

3. Dalam bidang Ilmu Logika, Filsafat, dan Etika.

3.1. Ayat al-Bayyināt fi al-Mantiq,

3.2. Mantīq al-Kabīr

3.3. Ta’jiz al-Falāsifah

3.4. Syarh al-Isyārah wa al-Tanbīhāt (li Ibn Sina)

3.5. Syarh ‘Uyūn al-Hikmah (li Ibn Sina)

3.6. Al-Mabāhith fi al-Mashrīqiyyah

3.7. Muhassah Afkār al-Mutaqadimīn wa al-Muta’akhirīn min

‘Ulamā wa al-Hukamā’ wa al-Mutakalimīn.

3.8. Al-Matālib al-‘Aliyyah

3.9. Al-Akhlāq

4. Dalam permasalahan Hukum

4.1. Ibtal al-Qiyās

4.2. Ihkām al-Ahkām

4.3. Al-Ma’ālim fi Usūl Fiqh

4.4. Muntakhab al-Mahsūl fi Usūl Fiqh

Page 32: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

22

4.5. Al-Barāhim wa al-Barāhiyah

4.6. Nihāyah al-Bahāiyyah fi al-Mabāhith al-Qiyāsiyyah.

5. Dalam Ilmu Bahasa

5.1. Syarh Nahj al-Balāghah

5.2. Al-Muharrir fi Haqā’iq al-Nahw

6. Dalam bidang Sejarah

6.1. Fadā’il al-Shahābah al-Rāsyidīn

6.2. Manāqib Imām al-Syāfi’ī

7. Dalam bidang matematika dan Astronomi

7.1. Al-Handasah

7.2. Al-Risālah fi ‘Ilm Hay’ar

8. Dalam bidang kedokteran

8.1. Al-Tib al-Kabā’ir

8.2. Al-Asyribah

8.3. Al-Tashyīr

8.4. Syarh al-Qānūn li Ibn Sina

8.5. Masā’il fi al-Tib

9. Dalam bidang sihir dan astrologi

9.1. Al-Ahkām al-‘Alā’iyyah fi A’lan al-Samawiyyah

9.2. Kitab fi Raml

9.3. Sir al-Maktum19

Dan karya umum adalah I’tiqād Firaq al-Muslimīn wa al-Musyrikīn.

                                                            19 Anshori, Tafsir Bil Ra’yi: Menafsirkan Al-Quran Dengan Ijtihad, (Jakarta: Gaung

Persada Press, 2010), h.75-81.

Page 33: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

23

Dari sekian banyak karya-karyanya, yang menjadi unggulan adalah

kitab Mafātih al-Ghāib atau Tafsīr al-Kabīr yang fenomenal. Kitab ini

merupakan kajian yang komprehensif dari Tafsir Bil Al-Ra’y. kitab ini terdiri

dari 32 juz yang ditulis pada akhir masa dari kehidupannya. Melihat dari

kronologinya, kitab ini ditulis pada saat Fakhr al-Dīn al-Rāzi mencapai

kematangan dalam keilmuannya.

Mafātih al-Ghāib merupakan kitab tafsir bi al-ra’yi yang paling

komprehensif. Karena menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan

logika. Di antara aspek pembahasan tafsir terpenting adalah ilmu kalam. Di

dalamnya termasuk pembahasan mengenai hubungan antara Allah, alam

semesta dan manusia. Adapun corak penafsirannya adalah tahlīli, yakni

penafsiran dengan secara menyeluruh dan luas.20

Berbagai pendapat kuat mengatakan bahwa Fakhr al-Dīn al-Rāzi tidak

menyelesaikan tafsirnya. Bagian pertama ditulis oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi

dan bagian kedua ditulis oleh pengikutnya, yakni al-Syaekh Najm al-Dīn

Ahmad bin Muhammad al-Qāmūli (767 H) dan Syihāb al-Dīn bin Khalīl al-

Khuwayya. Secara berurutan Fakhr al-Dīn al-Rāzi menulis hingga surat al-

Anbiya’ (surat ke-21). Disamping itu, secara acak (tidak mengikuti mushaf)

Fakhr al-Dīn al-Rāzi menafsirkan surat-surat lainnya seperti al-Syu’arā, al-

Qiyāmah, al-Humazah, al-Qalam, al-Ma’ārij dan al-Naba’.21

Walaupun diyakini bahwa Fakhr al-Dīn al-Rāzi tidak menyelesaikan

                                                            20 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik

Modern, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 56. 21 Anshori, Tafsir Bil Ra’yi, h. 100.

Page 34: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

24

seluruh tafsirnya, namun kitab yang sekarang dinisbatkan kepadanya ini tetap

memiliki kesatuan ruh dalam pandangan, gaya bahasa, dan pemaparannya

sebagai buah karya dari satu orang. Dengan kata lain tidak terdapat

kontradiksi antara satu bagian dan bagian yang lainnya dengan ide serta

pemikiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Hal tersebut dijelaskan dalam pendahuluan

Mafātih al-Ghāib Juz I, bahwa “kitab tersebut (Mafātih al-Ghāib)

dinisbahkan kepadanya (Fakhr al-Dīn al-Rāzi)”.22

C. Tokoh-Tokoh yang Memengaruhi Fakhr al-Dīn al-Rāzi

Di dalam pendahuluan Mafātih al-Ghāib sebenarnya telah dijelaskan

mengenai guru yang memengaruhi Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Berikut penjelasan

detailnya:

1. Guru yang berpengaruh terhadap Fakhr al-Dīn al-Rāzi adalah Abi

Muhammad al-Baghāwi dalam bidang hadis. Adapun dalam

bidang teologi dan filsafat belajar kepada Madjid al-Jailī yang

merupakan murid imam al-Ghazāli.23 Setelah beberapa tahun

belajar di Simnan, Fakhr al-Dīn al-Rāzi melanjutkan perjalanan ke

Khawarizm. Akan tetapi di khawarizm banyak berdebat dengan

kaum mu’tazilah dan dan akhirnya ia kembali ke Ray.24

2. Dalam ilmu ushūl, Fakhr al-Dīn al-Rāzi belajar dari ayahnya

sendiri, yakni Dhiā al-Dīn Umar. Garis belajarnya sangat jelas,

dimana ayahnya belajar kepada Abī al-Qāsim Sulaimān Ibn Nāsir

                                                            22 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 3 23 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 4 24 Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, 322

Page 35: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

25

al-Anshāri dan seterusnya hingga Abu Hasan al-Asy’āri.25

3. Dalam ilmu fiqh beliau belajar ayahnya juga, namun guru ayahnya

dalam bidang fiqh adalah Abi Muhammad al-Husain Ibn Mas’ūd

al-Farā al-Baghāwi, seterusnya hingga sampai Imam Syāfi’ī.26

Dari berbagai tokoh yang mempengaruhi, Fakhr al-Dīn al-Rāzi

memiliki banyak gelar. Fakhr al-Dīn al-Rāzi dikatakan sebagai Ahli Fiqh.

Salah satu karyanya dalam bidang fiqh adalah Tharīqah al-‘Alāiyah yang

merupakan Syarah al-Wajīz milik al-Ghazāli. Kemudian Fakhr al-Dīn al-Rāzi

juga merupakan tokoh dalam bidang teologi, filosof, mufassir, dan

kedokteran.27

Penjelasan di atas merupakan kunci bagaimana memahami kedudukan

Fakhr al-Dīn al-Rāzi sesungguhnya. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa

Fakhr al-Dīn al-Rāzi merupakan tokoh di berbagai bidang. Fakhr al-Dīn al-

Rāzi berhasil dalam menguasai filsafat dan kedokteran yang ia peroleh dari

para gurunya yang ia refleksikan dalam karyanya berjudul Syarah al-

Isyārāt karya Ibn Sina, Lubāb al-Isyārah dan al-Mulkah fi al-Falsafah.

Dalam bidang ilmu kedokteran ia menulis kitab Syarh al-Kulliyyāt li al-

Qānūn karya Ibnu Sina.28

Dari pengertian di atas menimbulkan pertanyaan, siapakah Fakhr al-

Dīn al-Rāzi sesungguhnya? Lalu kedudukan yang pantas untuk Fakhr al-Dīn

                                                            25 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 4. 26 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 4. 27 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 5-6. 28 Anshori, Tafsir Bil Ra’yi: Menafsirkan Al-Quran Dengan Ijtihad, (Jakarta: Gaung

Persada Press, 2010), h. 100. Atau lihat Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 6.

Page 36: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

26

al-Rāzi? Untuk menjawab tersebut Madjid Fakhry menjelaskan, bahwa Fakhr

al-Dīn al-Rāzi merupakan teolog yang memoderasikan pemikiran teologi

tradisional. Fakhr al-Dīn al-Rāzi mencoba menjebatani antara teologi dan

filsafat yang menurutnya bertentangan. Dengan kata lain, pemikiran teologis

Fakhr al-Dīn al-Rāzi dikaji dengan pendekatan filosofis.29 Djayadi Cahyadi

menegaskan bahwa Fakhr al-Dīn al-Rāzi melakukan perdebatan dengan

ulama terkemuka dengan menggunakan dialektika filosofis.30 Dengan

demikian dapat disimpulkan dari tokoh dan karya yang ada Fakhr al-Dīn al-

Rāzi merupakan teolog yang filosofis.

Fakhr al-Dīn al-Rāzi banyak mendapatkan pujian yang istimewa

seperti yang di katakan oleh al-Qufti bahwa ia adalah seorang yang memiliki

pemikiran yang tajam serta memiliki daya analisa yang kuat. Sehingga ia

dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan termasuk didalamnya ilmu

kedokteran yang banyak di puji oleh para muridnya yang mempelajari ilmu

kedokteran darinya.31

                                                            29 Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. 121. 30 Djayadi Cahyadi, “Takdir”, h. 24. 31 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 7.

Page 37: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

  

 

27

BAB III

KONSEP TAUHID DALAM ISLAM

A. Pengertian Tauhid

Tauhid merupakan aspek mendasar dalam ajaran keagamaan. Secara

etimologis tauhid berarti membahas mengenai keesan Tuhan. Berbicara

mengenai keesaan Tuhan berarti bicara soal keimanan. Iman atau percaya

kepada Tuhan adalah prinsip dasar orang beragama. Oleh karena itu bertauhid

berarti membahas mengenai persoalan keimanan kepada Tuhan secara tuntas.

Tauhid ditinjau dari etimologis merupakan bentuk masdar dari kata

wahada, yuwahhidu, tauhīdan. Artinya adalah mengeesakan Allah.1

Keterkaitannya dengan iman atau percaya adalah membahas apa yang

dipercaya dan bagaimana mempercayainya. Maka dalam kajian tauhid

dibahas mengenai beberapa kriteria tauhid yang berisi percaya atau iman

kepada Allah.

Dari definisinya, Abduh menjelaskan bahwa tauhid adalah merupakan

bagian terpenting menetapkan sifat “wahdah“ (satu) bagi Allah dalam zat-

nya dan dalam perbuatannya menciptakan alam seluruhnya dan bahwa ia

sendiri pula tempat kembali segala alam ini dan penghabisan segala tujuan.2

Dari situ dapat dipahami ada pengeesaan zat, perbuatan Allah yang

menciptakan dan kepada Allah-lah semuanya kembali.

                                                            1 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo, 1993), h. 1. 2 Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Terj. Firdaus A.N. (Jakarta: Bulan Bintang,

1988), h. 8.

Page 38: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

28

 

Definisi di atas mengarahkan bahwa tauhid merupakan upaya penjelas

dari persoalan keimanan manusia kepada Allah. Sebab persolan keimanan

tidak hanya sebatas percaya secara harfiah saja, akan tetapi yang dimaksud

percaya dalam konteks iman adalah membenarkan dan meyakini hanya ada

Allah yang menciptakan dan kepada-Nya lah kita beribadah dan kembali.

Tauhid menjadi dasar seorang muslim beriman kepada Allah. Menurut

Syaikh Muhammad al-Tamimi, hakikat tauhid merupakan bentuk konkrit dari

konsep penyembahan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS Adz-

Dzāriat ayat 56 yang artinya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia

melainkan supaya beribadah kepada-Ku”. Ibadah yang dimaksud adalah

bentuk penghambaan manusia kepada Allah dengan senantiasa mentaati

segala perintah-Nya dan menjauh segala larangannya.3

Dengan tauhid yang kuat maka seorang muslim akan mampu

melaksanakan seluruh perintah Allah dengan keyakinan yang kuat pula. Nilai

keesaan Allah merupakan awal dari kewajiban-kewajiban manusia terhadap

Tuhan Nya tersebut. Manusia diciptakan di muka bumi ini hanya mempunyai

satu tugas yaitu menyembah Allah dengan segala bentuk ibadahnya

Adapun urgensi tauhid untuk manusia bersifat menjelaskan secara

detail mengenai aspek dasar kepercayaan manusia kepada Allah. Sebab hal

mendasar dari manusia adalah manusia merupakan makhluk yang bertauhid.

Mu�ahhari mengutip dari Max Mueller, manusia purba adalah manusia

                                                            3 Muhammad At-Tamami, Kitab Tauhid; Pemurnian Ibadah Kepada Allah, Terj. M.

Yusuf Harun, (Jakarta: Darul Haq, 2011), h. 1-4.

Page 39: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

29

 

tauhid. Adapun menyembah atau ibadah yang diajarkan oleh Nabi dan

lainnya bukan ibadah, melainkan tatacara beribadah yang baik dan benar.

Menyembah dan memuja inilah yang diartikan sebagai agama. Dengan

demikian inti dari agama adalah persoalan tauhid. 4

Lebih jelasnya dalam tauhid, manusia yang meyakini dan mengakui

bahwa Allah SWT semata, Rabb (Tuhan) segala sesuatu dan rajanya.

Sesungguhnya hanya Dia yang Maha Pencipta, Maha Pengatur alam semesta.

Hanya Dia lah yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Dan setiap yang

disembah selain-Nya adalah batil. Sesungguhnya Dia SWT bersifat dengan

segala sifat kesempurnaan, Maha Suci dari segala aib dan kekurangan. Dia

SWT mempunyai nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang tinggi. inilah

yang kemudian menjadi titik urgensi dalam memahami tauhid.5

Kedudukan Tauhid dalam Islam sangatlah fundamental, Karena dari

pemahaman tentang tauhid adalah itulah keimanan seorang muslim mulai

tumbuh. Konsep tauhid dalam Islam merupakan salah satu pokok ajaran yang

tidak dapat diganggu gugat dan sangat berpengaruh terhadap keislaman

seseorang. Apabila pemahaman tentang tauhid seorang tidak kuat, maka akan

goyah pula pilar-pilar keislamannya secara menyeluruh. Atau dengan kata

lain merupakan jiwa Islam dan dasar seluruh aqidah.6 Di sisi lain, ajaran

mengenai tauhid merupakan basi utama dalam agama monoteis. Islam

                                                            4 Murta�a Mu�ahhari, Tafsir Holistik: Kajian Seputar Relasi Tuhan Manusia dan

Alam, Terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Penerbit Citra, 2012), h. 303 – 304. 5 Muhammad Bin Abdullah al-Tuwajry, Tauhid, Keutamaan dan Macam-

Macamnya, Terj. Islam-House, (tt, Islam House, 2007), h. 1. 6 Yusuf al-Qardawi, Tauhidullah dan Fenomena Kemusyrikan, Terj. Rahim Haris,

(Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h. 13.

Page 40: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

30

 

merupakan agama monoteis, artinya meyakini hanya satu Tuhan, yakni Allah.

Islam mengajarkan jelas dan mudah tentang keesaan Allah yang berbeda dari

pandangan antromorpisme maupun mitologisme.7

Ajaran Islam tidak hanya memfokuskan pada persoalan keimanan

saja, tetapi memfokuskan pada tauhid sebagai dasar aqidah serta jiwa

keberadaan Islam. Dasar yang dimaksud adalah iman kepada Allah yang

maha esa yang mengatur dan mencipta alam semesta, dan kepada-Nya lah

semua akan kembali. Dengan demikian sebab menurut Yusuf Qardlawi tauhid

adalah i’tikadi (keyakinan), qasd (tujuan) dan iradah (kehendak).8

Persoalan utama dalam Tauhid adalah tentang Allah. Kenapa Allah?

Dan bagaimana cara memahaminya? Faris Pari menjelaskan bahwa

pengalaman agama adalah pengalaman berketuhanan, yaitu pengalaman

relasional dengan Tuhan, dan di antaranya adalah tentang pengalaman

pencarian existensi Tuhan. Idea tulisannya menjelaskan argumen-argumen

tentang bukti-bukti keberadaan Tuhan dan argumen bantahan tentang bukti

ke-tidak ada-an Tuhan.9

Dalil-dalil rasionalisme, empirisme serta sains tidak bisa

mengungkapkan eksistensi Allah. Bagi empiris Allah tidak bisa dibuktikan,

sebab Allah merupakan yang metafisik, sedangkan empiris berpihak pada

                                                            7 Antromorpisme merupakan aliran yang menggambarkan Tuhan sebagaimana

manusia. sedangkan mitologisme merupakan aliran yang menjadikan Dewa sebagai Tuhan dalam ajarannya). Lebih lengkap lihat Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 15.

8 Yusuf Qardlawi, Tauhidullah, h.16. 9 Faris Pari, “Pengalaman Rasional Eksistentis Tuhan: Pengantar Ontotheologi”,

diakses dari www.academia.edu pada tanggal 1 Desember 2016, h. 1.

Page 41: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

31

 

material. Dalam rasional hanya sebatas menggunakan pendekatan kausalitas

sebagai pembuktian adanya Allah. Namun tidak bisa mengupas tentang Allah

yang transenden. Sedangkan sains hanya tidak bisa membuktikan adanya

Allah dengan sesuatu yang ada dalam fisika saja. Kesimpulannya hanya iman

yang bisa menjawabnya. Dalam konsep iman, pada dasarnya, inheren di

dalamnya tidak diperlukan bukti. Jika kita masih mempertanyakan bukti,

berarti kita tidak atau belum percaya.10

Selain itu, Yusuf Qardlawi juga menjelaskan bahwa persoalan tauhid

dapat dibuktikan dengan beberapa argument. Pertama, adalah argument

fitrah. Dalam hal ini dijelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat fitrah

untuk mengakui kekuatan tertinggi di atas kekuatan manusia dan alam.

Kedua, argument akal yang menekankan bahwa ada pencipta dari segala

sesuatu ini (alam). Ketiga, argument wahyu yang berupa transformasi

generasi kitab-kitab Allah dan rasul-rasul-Nya kepada semua manusia

dibelahan bangsa yang mengajak beriman.11

Persoalan selanjutnya adalah bagaimana bertauhid itu? hal tersebut

dapat dipahami dengan satu pendekatan yang disebut ilmu tauhid. Ilmu tauhid

adalah ilmu yang membahas segala kepercayaan keagamaan dengan

menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan.12 Sedangkan menurut Teungku

Muhammad Hasbi Ash-Shiddīeqy, ilmu tauhid ialah ilmu yang

membicarakan tentang cara-cara menetapkan akidah agama dengan

                                                            10 Faris Pari, “Pengalaman Rasional”, h. 7. 11 Yusuf Qardlawi, Tauhidullah, h. 20 – 26. 12 Zainudin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta. 1996), h. 1.

Page 42: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

32

 

mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik berupa dalil aqli, dalil

naqli, ataupun dalil fitrah.13 Di sisi lain permasalahan aqidah yang menjadi

faktor utama munculnya disiplin ilmu keislaman yang dikenal dengan

nama Ilmu Tauhid atau juga disebut Ilmu Kalam, Ilmu Ushuluddin, Ilmu

Aqā’id, dan juga disebut Teologi Islam.14

Aspek dasar dari ilmu tauhid adalah masalah keyakinan akan adanya

eksistensi Allah. Keyakinan tersebut akan membawa kepada kepercayaan

terhadap malaikat, kitab Allah, Nabi dan Rasul Allah serta mempercayai

kehidupan setelah kematian. Adapun dinamakan ilmu tauhid karena pokok

utama pembahasannya adalah mengenai keesaan Allah dan hal-hal yang

berhubungan dengan Allah.15

Hal ini berkaitan ilmu tauhid dan pengertian tauhid. Dari segi bahasa

“mentauhidkan” sesuatu “berarti” menjadikan sesuatu itu esa. Dari segi

Syar’I, tauhid ialah “mengesakan Allah didalam perkara-perkara yang Allah

sendiri tetapkan melalui para nabi-Nya yaitu dari segi Rubūbiah dan

Ulūhiah.16

B. Unsur-Unsur Tauhid

Penulis mengambil titik fokus kajian tauhid dalam islam. Tauhid

sebagaimana yang telah dijelaskan mengarahkan pada dua poin. Pertama,

                                                            13 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddīeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid

atau Ilmu Kalam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 1. 14 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran – Aliran Sejarah Analisa

Perbandingan,(Jakarta : Universitas Indonesia UI-Press, 1986). Atau lihat juga dalam Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam, (Jakarta: Ushul Press, 2012), h. 1.

15 Muhammad Ahmad, Ilmu Kalam, h. 9. 16 Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, (Jakarta: Ummul Qura, 2014), h. 13.

Page 43: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

33

 

tauhid yang berorientasi bahwa Allah sebagai pencipta atau yang dikenal

dengan istilah Rubūbiah. Kedua, bertauhid dengan cara mengakui dan

menyembah kepada Allah, dan kepada-Nya lah semua akan kembali atau

yang dikenal dengan istilah Ulūhiyyah.

1. Tauhid Rubūbiah

Tauhid Rubūbiah diambil dari salah satu nama Allah al-Rabb, yang

memiliki beberapa makna yaitu: pemeliharaan, pengasuh, pendamai,

pelindung, penolong dan penguasa. Secara umum tauhid Rubūbiah ialah

yakin bahwa Allah adalah Tuhan langit dan bumi, Pencipta semua makhluk

dan penguasa seluruh alam.17 Meyakini tauhid ini berarti meyakini bahwa

Allah adalah Pencipta langit dan bumi sekaligus pengatur alam semesta ini.

Tauhid Rubūbiah adalah mengesakan Allah di dalam segala perbuatan-Nya,

dialah satu-satunya yang menciptakan sekaligus memiliki, dan mengatur.

Tauhid Rubūbiah adalah mengesakan Allah dalam segala perbuatan-

Nya dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan seluruh

makhluk.18 Secara umumnya dapat diartikan mentauhidkan Allah dalam

perbuatan-Nya, seperti mencipta, menguasai, memberikan rizki, mengurusi

makhluk. Yang semuanya hanya Allah semata yang mampu dalam semua

alam semesta. Dan semua orang meyakini adanya Rabb yang menciptakan,

menguasai, dll. Setelah mengetahui bahwa pencipta kita adalah Allah swt,

dan bahwa keberadaan dan managemen kita hanya berada di tangan-Nya, kita

                                                            17 Qardlawi, Tauhidullah, h. 35. 18 Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, h. 13.

Page 44: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

34

 

juga harus percaya bahwa tak seorangpun selain Dia yang mempunyai hak

untuk memerintah dan membuat hukum bagi kita.

Tauhid ini mengisyaratkan pada kita, bahwa Allah lah yang

menciptakan Alam semesta beserta isinya. Hal ini tertuang misalnya dalam

Q.S Az-Zumar ayat 62 yang artinya: Allah menciptakan segala sesuatu.

Dilihat dalam Al-Qur’an, istilah atau kata Rabb sering kita jumpai di

berbagai ayat. Secara etimologi, kata Rabb merupakan bentuk mashdar dari

kata Rabba, Yarubbu.19 Tauhid inilah yang terpatri didalam jiwa-jiwa

manusia, tidak seorangpun dari manusia yang menyelisihinya, baik yang

mukmin maupun yang kafir.20 Seperti yang terdapat dalam QS. Luqman ayat

25 yang artinya, Dan sesungguhya jika kamu tanyakan kepada mereka:

“siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”. Tentu mereka akan

menjawab “Allah”. Katakanlah: “segala puji bagi Allah”; tetapi mereka tidak

mengetahui”.

Yang dimaksud dengan hal ini ialah bahwa alam raya ini diatur oleh

mudabbir (pengelola), pengendali tunggal, tak disekutui oleh siapa dan

apapun dalam pengelolaan dan pen-tadbiran-Nya. Dialah Allah (Mahasuci

Dia) Pengelola alam semesta ini. Adapun pentadbiran para malaikat serta

semua sebab (lantaran) yang saling berkaitan, tidak lain adalah perintah-Nya.

Hal ini berlawanan dengan pendapat sebagian kaum musyrikin yang percaya

                                                            19 Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, h. 18 20 al-Faqih dan Abdus Salam, Aqidah Muslim; dalam tinjauan al-Qur’an dan as-

Sunnah, Terj. Hammad bin ‘amir Abu Mu’awiyah, (Bekasi: Maktabah Daar El-Salam, 2009), h. 4.

Page 45: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

35

 

bahwa yang berkaitan dengan Allah SWT hanyalah perbuatan penciptaan dan

pengadaan mula pertama saja, sedangkan pentadbiran dan pengaturan segala

jenis makhluk dan benda diatas bumi ini selanjutnya diserahkan sepenuhnya

kepada benda-benda langit, malaikat, jin, serta maujudat spiritual yang

diperankan oleh berhala-berhala yang disembah. Jadi menurut mereka tidak

ada sangkut paut Allah dalam hal pentadbiran dan pengelolaan urusan segala

nya.

Akan tetapi, dengan jelas dan terang Al-Qur’an menegaskan bahwa

Allah adalah sang pengatur dan pengelola (al-Mudabbir) bagi alam semesta,

maka yang demikian itu semata-mata atas izin dan perintah-Nya.

Allah SWT berfirman dalam QS.Al-A’rāf:

إن ربكم اهللا الذى خلق السموات واألرض فى ستة ايام تم استوى على العرش يغشى اليل النها ر

يطلبه, حثيثا والشمس والقمر والنجوم ميخرت بأمره أال له الخلق واألمر تبارآاهللا رب العلمين

Artinya :

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah SWT yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia menguasai diatas arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat dan (diciptakan–Nya pula) matahari, bulan dan bintang, yang semuanya tunduk kepada perintah-Nya.ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hal Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”.(QS.Al-A’raf : 54)

Maka, siapa saja yang memiliki pengetahuan, walaupun sedikit,

tentang ayat-ayat Al-Qur’an, pasti mengetahui manakala Allah SWT

menisbahkan banyak dari perbuatan atau tindakan kepada diri-Nya sendiri,

sementara disaat yang sama dan diberbagai ayat lain Ia menisbahkannya

Page 46: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

36

 

kepada selain Dia, maka yang demikian itu sama sekali tidak mengandung

pertentangan (kontradiksi). Sebab, adanya pembatasan timbulnya segala

perbuatan pada zat-Nya sendiri saja ialah yang semata-mata bersifat “mandiri

sepenuhnya”. Hal ini tidak bertentangan dengan penyekutuan sesuatu selain-

Nya dalam perbuatan itu, dalam arti bahwa ia hanya sebagai pelaksana

perintah dan kehendak-Nya.21

Dalam QS. Al-Mu’minun ayat 84-89 yang artinya; “Katakanlah:

Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu

mengetahui? Mereka akan menjawab: “milik Allah”. Maka apakah kamu

tidak ingat (bertaqwa)? Katakanlah: Siapakah Tuhan langit yang tujuh dan

Tuhan Arsy yang besar? Mereka akan menjawab: “Allah”. Maka apakah

kamu tidak bertaqwa? Katakanlah: “Siapakah yang ditangannya berada

kekuasaan atas segala sesuatu. Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat

dilindungi dari (azab-Nya), jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab:

“Allah”. Katakanlah: Kalau begitu, dari jalan manakah kamu ditiup?

Selain itu Istilah Rabb al-‘Alamin terdiri atas rabb dan al-‘alamin.

Rabb dalam bahasa digunakan dengan pengertian pemilik (al-Malik), tuan

(al-Sayyid), pengatur (al-Mudabbir), pengasuh (al-Murabbi), penanggung

jawab (al-Qayyim) dan pemberi anugerah (al-Mun’im). Pengertian-pengertian

ini menurut at-Thabari merupakan pengembangan dari tiga makna pokok al-

Rabb: Tuan, pembina (al-Mushlih) dan pemilik. Ketiga makna pokok ini

termuat dalam istilah rabb untuk Allah, sehingga Allah sebagai rabb

                                                            21 Ja’far Subhani, Tauhid dan Syirik, (Bandung: Mizan, 1987), h. 17 -19.

Page 47: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

37

 

berpengertian: Tuan yang tidak ada tandingan dalam kekuasaan-Nya,

pembina keberadaan makhluk-Nya dengan memberi karunia tak terhingga

dan pemilik yang mencipta dan mengurus mereka.

Adapun al-‘Alamin adalah jamak dari ’alam (alam). Alam adalah

semua wujud selain Tuhan. Semua wujud itu disebut alam (dalam bahasa

Arab ’alam juga berarti tanda), karena mereka menjadi media untuk mengenal

Allah, Penciptanya. Namun jika dihubungkan dengan istilah lain yang akar

katanya sama (al-Ilm), ’ilm, (ilmu), maka bisa dipahami bahwa alam itu

diciptakan dengan ilmu. Alam yang sedemikian kompleks tidak mungkin

diciptakan tanpa berdasar ilmu.

Sekedar sebagai gambaran betapa Allah menjadi Rabb dengan cinta

kasih dapat disebutkan awal surat al-A’la yang menjelaskan bahwa Dia

mencipta dengan menyempurnakan ciptaan-Nya dan memberinya potensi

disertai dengan pemberian bimbingan kepadanya. Penciptaan yang demikian

hanya bisa terjadi jika ia dilakukan berdasarkan cinta kasih sehingga hasilnya

indah, lestari, berguna dan tidak menimbulkan kerusakan, termasuk bagi diri

sendiri.

Berkaitan dengan hal itu di sini ditambahkan penghayatan Ibrahim.

Setelah menegaskan kepada kaumnya bahwa Allah Rabb al-‘Alamin itu

adalah Tuhannya, dia menjelaskan bahwa Dialah “Yang menciptakan aku,

kemudian memberi bimbingan kepadaku; Yang memberi makan dan minum

kepadaku; dan jika aku sakit, Dia menyembuhkanku” (QS. as-Syu’arā, 26:

Page 48: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

38

 

77-80).22 Bentuk tauhid semacam ini tidak ada yang mengingkarinya kecuali

penganut paham-paham materialisatheis yang mengingkari wujud Allah

SWT, seperti kaum dahriyyun pada masa lalu dan komunisme pada masa

sekarang.23

Dari sini sangatlah jelas bahwa yang meyakini tauhid macam ini

bukan hanya seorang mukmin saja melainkan orang-orang kafirpun

(penyembah berhala) meyakini bahwa Allah merupakan Dzat yang

menciptakan sekaligus penguasa bagi jagat raya ini.

2. Tauhid Ulūhiah

Kata Ulūhiah berasal dari kata ilāh yang berarti Tuhan. Maka tauhid

Ulūhiah berarti mentauhidkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya dzat yang

layak dipertuhankan. Hanya Dia yang layak dijadikan Tuhan oleh manusia.

Islam sendiri mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan yang pantas

disembah. Hal ini kembali pada lafadz “Lā ilāha illa Allāh”.24 Akan tetapi

makna Ulūhiah menurut Qardlawi adalah beribadah. Artinya mentuhankan

kepada Allah dengan cara kita menyembah kepada-Nya.25

Adapun pengertian tauhid Ulūhiah, penulis mengutip pandangan

menurut Yusuf Qardhawi. Menurut Qardlawi, tauhid Ulūhiah adalah meng-

                                                            22 Hamim Ilyas, “Tauhid Rahamutiyah: Reinterpretasi Doktrin Tauhid Dalam

Muhammadiyah Untuk Merespon Perubahan Sejarah” dalam makalah online diakses dari www.muhammadiyah.org pada tanggal 2 Desember 2016. h. 13.

23 Farid Wajdi Ibrahim, “Ilmu Ushuluddin Menjawab Problematika Umat Islam Dewasa Ini” dalam “Ar -Raniry: International Journal of Islamic Studies” Vol. 1, No.1, Juni 2014. h. 45.

24 Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, (Jakarta: Kencana, 2014) h. 24.

25 Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, h. 39.

Page 49: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

39

 

Esa-kan dalam beribadah, patuh dan taat secara mutlak kepada-Nya. Tidak

menghambakan diri kepada selain Allah dan tidak pula menyekutukan-Nya26.

Artinya, kita diwajibkan untuk menyembah ataupun menyerahkan diri kita

hanya kepada Allah semata bukan kepada yang lainnya. Atau yang

diungkapkan oleh Dr. Shalih Bin Fauzan bahwa tauhid Ulūhiah adalah

mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat taqarrub

yang disyaratkan seperti doa, nazar kurban, raja’ (pengaharapan), takut,

tawakal, senang, dan taubat.27

Tauhid macam ini dalam Al-Qur’an pun dijelaskan, misalnya QS. Al

‘Arāf ayat 59, 65, 73, 85 yang artinya: “Wahai kaumku sembahlah Allah,

sekali-kali tidak ada Ilāh (yang hak) bagimu selain-Nya”.

Yang dimaksud mengesakan kepada Allah adalah manusia diminta

untuk menyembah (beribadah), tunduk dan taat secara mutlak, tidak

disembahkan atau diibadati selain dari Allah SWT. Tidak ada satupun di

bumi atau di langit yang di sekutukan dengan-Nya. Tauhid Ulūhiah adalah

mengesakan Allah dalam hal peribadahan. Sehingga seorang insan tidaklah

layak mengangkat sekutu bersama Allah untuk disembah atau dipujanya atau

dijadikan sebagai tempat ketergantungan hati dan sasaran pendekatan diri.28

Rasyid Rida menjelaskan bahwa mentauhidkan Allah berarti beribadat

hanya kepada Allah dan tidak mensyirikan-Nya dengan yang lain. Jika salah

satu hak peribadatan diberikan kepada selain Allah, maka hal tersebut

                                                            26 Qardhawi, Tauhidullah, h. 37. 27 Qardhawi, Tauhidullah, h. 39 28 Abu Mushlih al-Jukjakarta, Hakikat dan Keutamaan Tauhid, tt.tt.tt, h. 15.

Page 50: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

40

 

dinamakan syirik. Pengertian tentang ibadat merupakan suatu nama bagi

sesuatu yang disukai Allah baik berbentuk perkataan atau perbuatan.

Tauhid inilah perintah paling agung yang dibebankan Allah kepada

seluruh umat manusia. Syaikh Muhammad At-Tamimi mengatakan, ”Perkara

teragung yang diperintahkan Allah adalah tauhid yaitu mengesakan ibadah

hanya untuk Allah.” Tauhid inilah yang tidak dimiliki oleh kaum musyrikin

yang diperangi oleh Nabi shallallāhu ’alaihi wa sallam. Karena itulah beliau

membolehkan darah mereka ditumpahkan, harta, tanah, dan rumah mereka

pantas untuk diambil. Dan karena itulah beliau memperkenankan istri dan

anak-anak mereka (kaum musyrikin) untuk ditawan.29

Tauhid Ulūhiah adalah berlandaskan pengakuan terhadap keesaan

Allah yang terangkum dalam lafadz Tiada Tuhan melainkan Allah.

Pengakuan itu selaras dengan firman Allah, Maksudnya: “Tidaklah Kami

ciptakan manusia dan jin melainkan untuk beribadat”30 Tauhid Ulūhiah yaitu

adalah kepercayaan untuk menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu hanyalah

milik Allah belaka dengan penyaksikan bahwa tiada Tuhan selain Allah yang

dilahirkan dengan mengucapkan kalimah thayyibah “ Lā Ilāha Illahllāh”

selain itu ia hanya berbakti kepadanya saja, jika ia mendapat musibah, ia lari,

mengadu dan berserah diri Cuma kepadanya saja. kalau mengerjakan suatu

amalan, maka tujuan utamanya hanyalah dia semata. singkatnya adalah

                                                            29 Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid atau Kalam, (Malang, UIN-MALIKI,

2010), h. 16. 30 Mustafa bin Abdullah dan Ahmad Zaki bin Ibrahim, “Tawhid Ulūhiah,

Rububiyyah Dan Al-Asma’ Wa Alsifat Menurut Tafsiran Muhammad Rasyid Rida Dalam Tafsir Al-Manar” dalam Jurnal Ushuluddin, 20.07/2011, h. 52.

Page 51: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

41

 

kepercayaan bahwa Tuhan yang menciptakan alam semesta ialah Allah dan

hanya berbakti kepada-Nya saja.”

Tauhid ini adalah inti dari dakwah para rasul, karena ia adalah asas

dan pondasi tempat dibangunnya seluruh amal. Tanpa merealisasikannya,

semua amal ibadah tidak akan diterima. Karena ia tidak terwujud, maka

muncullah lawannya, yaitu syirik.31 Hal ini sebagaimana yang difirmankan

Allah mengenai perkataan mereka itu “Mengapa ia menjadikan sesembahan-

sesembahan itu sesembahan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar

suatu hal yang sangat mengherankan.” Dalam ayat ini kaum musyrikin

Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam ibadahnya hanya

ditujukan untuk Allah semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka

dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka mengakui bahwa

Allah adalah satu-satunya pencipta alam semesta.32

Pada intinya dengan mentauhidkan Allah secara Rubūbiah sebagai

Tuhan pencipta segalanya, maka seharusnya manusia harus mengakui bahwa

yang berhak menerima ibadah hanyalah Allah semata. Dengan kata lain Allah

yang menciptakan segalanya, dan kepada-Nya kembali. Bentuk peribadatan

manusia kepada Allah pun berarti tidak ada yang diseru dalam doa selain

Allah. Tidak ada yang diminta pertolongan kecuali Allah. Dan hanya Allah

tempat bergantung serta meminta pertolongan.33

                                                            31 Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, h. 90-91. 32 Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, h. 95. 33 Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, h. 35.

Page 52: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

42

BAB IV

KONSEP TAUHID FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI

A. Tauhid dalam Mafātif al-Ghaib

Al-Qur'an merupakan mukjizat Nabi yang paling penting. Al-Qur'an

banyak sekali memuat bukti-bukti akal yang menunjukkan tauhid kepada-

Nya, hari kebangkitan, kenabian dan keterangan tentang sifat-sifat Allah yang

tidak ada di dalam kitab-kitab lainnya. Allah juga telah menganugerahkan

akal supaya mengenal-Nya. Dengan demikian dengan adanya al-Qur’an dan

akal dapat digunakan dalam memahami persoalan ketahuidan yang terperinci.

Salah satunya yang dijelaskan oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi dalam menafsirkan

al-Qur’an juga menggunakan rasionalisasi yang kuat dalam Mafātih al-

Ghāib.

Fakhr al-Dīn al-Rāzi mengawali penjelasan mengenai tauhid dengan

persoalan kalimat Lā Ilāha illa Allāh. Terkadang mengucapkan kalimat

tersebut sudah dianggap bermakna bertauhid. Akan tetapi Fakhr al-Dīn al-

Rāzi menjelaskan bahwa bertauhid tidak hanya mengucapkan kalimat

tersebut, melainkan wajib bertauhidnya sekaligus memahami asma Allah.

Yang dimaksud adalah Allah sebagai Dzat yang Esa.1 Kalimat Lā Ilāha illa

Allāh tidaklah sulit untuk diucapkan, namun butuh dijelaskan secara tuntas

sehingga tercapai makna tauhidnya. Untuk memahaminya perlu membahas

secara terperinci dan luas.

Secara etimologis, tauhid berasal dari kata wahhada yang artinya                                                             

1 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz 1 h. 163.

Page 53: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

43

menjadi satu (ja‘alahu wāhidan). Dalam salah satu karyanya, Mukhtasar al-

bahhah, Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan bahwa kata wahada memiliki arti

al-infirād (sendirian) atau tauhada yang berarti terpisah dari yang lain. Jika

kata wahada dikaitkan dengan nama Allah maka menjadi wahdahu, artinya

Allah menjadikan diri-Nya sendirian.2 Berdasarkan arti bahasa tersebut bisa

disimpulkan bahwa tauhid merupakan iman akan keesaan Allah, yang tidak

bisa disamakan dengan selain-Nya. 3

Sebagaimana penjelasannya melalui tafsir surat Thaha ayat 14 yang

berbunyi:

Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang

haq) selain Aku.”

Menurut penafsiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi, lafadh Laa ilaaha anaa,

merupakan kalimat yang menunjukkan kepada istbat (ketetapan) Allah. Dan

tidak pantas menyandangnya kecuali diri-Nya.4 Ungkapan “tiada tuhan

selain-Ku” mengisyaratkan pengetahuan pokok mengenai tauhid.5

Adapun mengenai definisi tauhid bagi Fakhr al-Dīn al-Rāzi adalah

upaya peneguhan diri seseorang atas pengetahuannya dengan menetapkan

bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.6 Pemantapan terhadap pengetahuan

                                                            2 Jarman Arroisi, “Integrasi Tauhid dan Akhlak dalam Pandangan Fakhr al-Dīn al-

Rāzi”, dalam Jurnal TSAQAFAH, Vol. 9, No. 2, Institut Studi Islam Darussalam Gontor, November 2013, h. 311

3 Jarman Arroisi, “Integrasi Tauhid, h. 315. 4 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 22, h. 152. 5 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Kecerdasan Tauhid, Terj. (Jakarta: Penerbit Zaman, 2011),

h. 11 6 Jarman Arroisi, “Integrasi Tauhid , h. 311.

Page 54: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

44

adalah kunci utama dalam memahami tauhid. Sehingga bertauhid tidak

sebatas bentuk pengucapan secara lafdziah saja terhadap kalimah tauhid.

Hal di atas dikarenakan persoalan tauhid merupakan persoalan

mendasar dalam keimanan manusia. Allah berfirman kepada Nabi Musa yang

menunjukkan perintah Allah setelah tauhid adalah beribadah. Tauhid adalah

ushul, dan ubudiah adalah cabang (furu’). Tauhid itu seperti pohon, dan

ubudiah adalah dahannya. Keduanya tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, karena

keduanya saling berkaitan.7

Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan lebih lanjut melalui tafsir surat

Muhammad ayat 19:

تقلبكم ومثواآمم فاعلم أنه لا إله إلا الله واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات والله يعلم

Artinya: “Ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah, lalu mohonlah

ampunan atas dosamu serta dosa kaum mukmin, baik laki-laki maupun

perempuan”.

Ayat di atas digunakan oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi untuk menjelaskan

perihal tauhid. Dari ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa perintah untuk

mengenal tauhid lebih diutamakan ketimbang perintah untuk memohon

ampunan. Sebab, mengenal tauhid mengisyaratkan pengetahuan pokok

(ushul), sedangkan memohon ampunan menandakan pengetahuan cabang

                                                            7 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz 1, h. 254.

Page 55: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

45

(furu’). Yang pokok tentu harus didahulukan daripada yang cabang.8

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa tauhid menurut Fakhr

al-Dīn al-Rāzi merupakan mengesakan Allah sebagai Dzat tunggal dengan

kita memahami-Nya. Pemahaman yang dimaksud adalah dengan bertauhid

harus memahami persoalan Dzat, wujud, sifat serta hal-hal yang berkenaan

dengan persoalan ketuhanan lainnya.

Selanjutnya Fakhr al-Dīn al-Rāzi membeberkan mengenai tauhid

dalam Mafātih al-Ghāib dalam bentuk tafsir al-Qur’an. Sebagaimana yang

telah diketahui, Mafātih al-Ghāib merupakan kitab tafsir. Oleh karena itu

penulis menelusuri pemikiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi melalui penafsiran ayat-

ayat yang berkenaan dengan tauhid. Di antaranya tafsir surat al-Baqarah ayat

163, surat al-Anbia ayat 22, surat Muhammad ayat 19, surat al-Fatihah, dan

tafsir Bismillah.

Beberapa unsur yang terdapat dalam pengertian tauhid secara umum

pun dibahas juga oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Seperti Unsur tauhid asma, sifat

dan dzat, unsur Uhūliah, dan unsur Rubūbiah. Akan tetapi dalam unsur

Wujud, Dzat, asma wa sifat, Fakhr al-Dīn al-Rāzi menamakannya dengan

istilah Wahdāniah (keesaan). Secara terperinci akan dibahas satu persatu

dibawah ini.

B. Wahdāniah

                                                            8 Hendra Sugiantoro, “Bersama Fakhr al-Dīn al-Rāzi Mendalami Tauhid; Resensi

Buku Kecerdasan Bertauhid, diambil dari http://www.kabarindonesia.com diakses pada tanggal 5 Januari 2015.

Page 56: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

46

Dalam Mafātih al-Ghāib, Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan mengenai

tauhid dalam bentuk Wahdāniah (keesaan). Wahdāniah menurut Quraish

Shihab merupakan gagasan mengenai penjelasan Allah sebagai dzat yang esa

atau tunggal.9 Gagasan Wahdāniah inilah dapat dijadikan pondasi memahami

tauhid menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Hal tersebut senada dengan yang

diungkapkan Didik Purnomo bahwa gagasan tauhid Fakhr al-Dīn al-Rāzi

berpusat pada konsep wahdāniah atau keesaan Tuhan.10

Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan wahdāniah pertama terdapat pada

tafsir surat al-Baqarah ayat 163:

وإلهكم إله واحد لا إله إلا هو الرحمن الرحيم

Artinya: “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada

Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”

Kata wahdāniah pada dasarnya bersumber dari lafadz واحد dalam ayat

di atas yang berarti tunggal atau esa. Secara bahasa dasar makna tersebut

adalah keesaan. Akan tetapi kata tersebut juga memiliki dua sisi makna.

Pertama, makna yang berarti sifat dan Kedua, selain sifat.11 Pendekatan

bahasa dan membedakannya tersebut menjadi penting untuk membedakan

apakah antara Dzat dan Sifat itu tersusun atau tetap tunggal.

Dalam konteks tauhid, Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjabarkan panjang

                                                            9 M.Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi: Asma al-Husna Dalam Perspektif Al-

Quran, Jakarta: Lentera Hati, cet. 4, 2001, h. 302 10 Dedik Purnomo, Tafsir Kalimat Tauhid dalam al-Qur’an (StudiTafsir Mafātih al-

Ghaib karya Fakhr al-Dīn al-Rāzi), Tesis Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya: 2016, h. 3.

11 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 181.

Page 57: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

47

lebar mengenai kosakata واحد. Setidaknya Fakhr al-Dīn al-Rāzi

menyimpulkan bahwa secara etimologis kata tersebut berujung pada tiga

persoalan, yakni hakikat, sifat wāhidiah dan hakikat dengan wāhidiah.

Hubungan dari ketiganya itulah yang disebut dengan konsep Wahdāniah-

Nya.12

Salah satu permasalahan yang ditulis dalam Mafātih al-Ghāib adalah

persoalan Wahdāniah. Hal tersebut menjadi perselisihan mengenai apakah

Wāhidiah merupakan sifat tambahan atau bukan.13 Jawaban dari Fakhr al-Dīn

al-Rāzi sendiri adalah bahwa sesungguhnya Allah maha suci Dzat dan Sifat-

Nya dengan sifat-sifat-Nya, dan tidak ada ragu terhadap semua yang kurang

mencapai pada penyelidikan yang terperinci kecuali bahwasanya Dzat Allah

itu berdiri di atas diri-Nya sendiri dan wajib terhadap Dzat-Nya. Setelah ada

Wajib Dzat-Nya maka kemudian sifat akan mengikuti terhadap Dzat-Nya.14

Gagasan di atas menggambarkan bahwasanya bagi Fakhr al-Dīn al-

Rāzi antara sifat dan Dzat merupakan sesuatu yang ada dalam diri Tuhan.

Dengan jelinya Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan satu persatu dari segi

bahasa hingga segi makna yang berhubungan untuk menjelaskan Dzat dan

Sifat Allah yang esa. Hal tersebut tidak berlebihan, sebab secara teologis

Fakhr al-Dīn al-Rāzi sendiri memang sangat kental dengas Asy’ariahnya.15

Lebih tepatnya terdapat dalam pernyataannya tentang Wahdāniah

                                                            12 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4 h. 187. 13 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4 h. 188. 14 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4 h. 189. 15 Sudarsono, Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 59.

Page 58: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

48

Allah yang dapat diketahui dengan memahami segala petunjuk yang terdapat

di alam yang atas dan alam bawah, dari sesuatu yang baru, dan makhluk.

Setiap wujud yang satu dari yang esensi dan terperinci merupakan petunjuk

kesempurnaan pada tauhid kepada Dzat yang telah jelas.16

Penjelasan mengenai Wahdāniah kedua dijelaskan dalam tafsir surat

surat al-Anbiya ayat 22.

رب العرش عما يصفونلو آان فيهما آلهة إلا الله لفسدتا فسبحان الله

Artinya: “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain

Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang

mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.”

Menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi, surat al-anbiya hingga ayat ke 22

merupakan penjelas pada hal-hal yang berhubungan dengan konteks

kenabian. Khusus pada ayat tersebut menjelaskan persoalan Tauhid.17 Hal

tersebut dijelaskan untuk menangkis pertanyaan orang-orang kafir yang

meragukan keesaan Allah. Selain itu para teolog, ayat tersebut diartikan jika

ada sesuatu yang Esa pasti berkuasa terhadap segala sesuatu yang lainnya

serta menafikan kekuasaan lainnya. Serta wajib berkuasa dalam kekuasaanya

itu sendiri.18 Keesaan Allah inilah yang menjadi titik permasalahan yang akan

dijelaskan.

Ayat di atas menunjukkan arti yang lebih luas untuk menjelaskan

                                                            16 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 22, h. 152. 17 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 22, h. 149. 18 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 22, h. 151.

Page 59: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

49

persoalan keesaan Allah. Hal tersebut dibuktikan melalui ayat tersebut Fakhr

al-Dīn al-Rāzi memberikan empat belas ciri untuk memahami konsep

Wahdāniah itu sendiri. Pertama Wahdāniah, wajib wujud itu tidak ada selain

yang Esa. Segala sesuatu yang menunjukkan kepada selain Esa pasti bersifat

mumkin dan bermacam-macam. Dan setiap yang mumkin dan bermacam

pasti sesuatu yang baru dan pasti selain Allah. Dan kemungkinan tersebut

diciptakan sebagai tanda yang terdapat dalam tafsir ini. Kedua, Allah

Memiliki sifat sempurna. Apabila Tuhan tidak sempurna maka sifat yang

tidak sempurna akan mengurangi kesempurnaannya. Dan ketidaksempurnaan

merupakan bukan sifat ketuhanan.

Penjelasan mengenai kesempurnaan Allah pada dasarnya berkaitan

dengan konteks perbandingan dengan kekuarangan. Fakhr al-Dīn al-Rāzi

mengatakan:

“Jika ada dua Tuhan, maka salah satu diantara keduanya akan mengikuti dalam ketuhanannya. Maka salah satunya wajib memiliki kelebihan untuk memerintah, jika tidak maka akan berselisih. Dengan itu salah satu diantara keduanya harus ada yang sempurna dan satunya tidak sempurna.”19

Akan tetapi poin penting dari kesempurnaan dapat dipahami melalui

ciri kesempurnaan tersebut. Pertama, kesempurnaan tuhan yang lain adalah

Tuhan selalu mengampuni dan selalu pemberi kasih sayang.20 Kedua, tuhan

mampu melakukan apa yang ia inginkan.21 Selain itu kesempurnaan Allah ada

tanpa perlu dicari. Kesempurnaan adalah sebuah kondisi atau keadaan, jika

                                                            19 Al-Razi, Mafātih al-Ghāib, Juz 22, h. 235. 20 Al-Razi, Mafātih al-Ghāib, Juz 11, h. 236. 21 Al-Razi, Mafātih al-Ghāib, Juz 12, h. 145.

Page 60: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

50

Allah mencari kesempurnaan, maka justru menunjukkan adanya

kekurangan.22

Ketiga, fikiran tidak akan bisa mencapai pada kesempurnaan Tuhan

apabila ada dua Tuhan yang memiliki kelebihan diantara keduanya. Keempat,

jika ada dua Tuhan, dimana Tuhan yang satunya mampu mengurus alam,

maka dia tidak perlu Tuhan lain; Justru hal itu menunjukkan bentuk

kekurangan dari sifat ketuhanan. Dan sifat kekurangan bukan merupakan

sifat ketuhanan.

Kelima, jika ada dua Tuhan, setiap Tuhan pasti memiliki tempat.

Keenam apabila ada dua Tuhan, maka satunya akan menunjukkan bukti

kekuasaan yang dikhususkan padanya dirinya. Dan Tuhan yang lain bersifat

kondisional. keberadaan tersebut justru menjadi kelemahan Tuhan.

Sedangkan kelemahan bukan merupakan sifat ketuhanan. Ketujuh, Tuhan

harus memiliki sifat berkuasa, jika tidak memiliki kemampuan untuk

berkuasa maka menunjukkan kelemahan.

Kedelapan, jika ada dua Tuhan yang sama sama berkuasa maka

keduanya akan bersaing untuk saling menghabisi. Dan setiap persaingan akan

ada akhirnya. Kesembilan, sifat kekurangan pasti akan membutuhkan kepada

yang Esa. Dan kekurangan bukan bagian dari sifat ketuhanan. Kesepuluh,

Tuhan tidak memiliki kelemahan, karena kelemahan bukan sifat ketuhanan.

Kesebelas, Jika ada dua Tuhan apakah akan mampu menciptakan perubahan

yang serasi? Jika tidak mampu maka berarti lemah. Sedangkan jika mampu                                                             

22 Al-Razi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 226.

Page 61: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

51

membuat perubahan maka keduanya ada yang saling mendahului. Maka hal

tersebut (ketidakserasian) bukan bagian dari sifat ketuhanan.

Keduabelas, apabila ada dua Tuhan memiliki ilmu/pengetahuan, maka

keduanya akan saling memberikan contoh satu sama lain. Dengan demikian

keduanya justru memiliki sifat kehambaan yang memiliki kekurangan dan

kelememahan dan bukan bersifat ketuhanan. Ketigabelas, meniru merupakan

aib dan menunjukkan kekurangan dalam realitas. Adapun kesendirian dan

keesaan merupakan kesempurnaan tanpa meniru dari keberadaan Tuhan yang

lain. Keempatbelas, jika ada dua Tuhan yang saling membutuhkan maka hal

tersebut bukan sifat ketuhanan. Baik kepada Tuhan yang membutuhkan atau

kepada Tuhan yang dibutuhkannnya sama-sama memiliki kelemahan.23

Dari keempatbelas tanda penjelasan Wahdāniah merupakan penafsiran

yang sangat lengkap. Meskipun bentuk argumennya terkesan berulang-ulang,

akan tetapi setiap satu tanda memiliki kekhususan penjelasannya. Seperti

dalam persoalan sifat kekurangan bukan bagian dari sifat ketuhanan. Setiap

kekurangan yang dimaksud dijelaskan dalam konteks ketidakserasian dalam

membuat perubahan, adakalanya kekurangan dalam konteks karena saling

membutuhkan. Oleh karena itu sifat kekurangan bersifat umum namun

rinciannya pada beberapa permasalahan.

Kesimpulan yang bisa ditarik dari konsep Wahdāniah adalah

Wahdāniah merupakan penjelasan mengenai keesaan Allah sebagai Dzat

sekaligus sifat yang mengikutinya. Keberadaan Allah berarti sekaligus                                                             

23 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 22, h. 149 – 154.

Page 62: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

52

mewajibkan adanya Dzat serta sifat yang ada. hal tersebut dapat dipahami

secara terperinci dari mulai perspektif bahasa, hingga perspektif pemikiran

teologis. Hal inilah bagi menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi tidak bertentangan

dengan akal.24

Pembahasan mengenai Wahdāniah berkaitan dengan wujud Allah dan

uluhiah-Nya. Hal tersebut dikarenakan adanya Dzat maka mewajibkan

keberadaan-Nya. Selanjutnya bentuk Wahdāniah menunjukkan ketuhanan-

Nya. Penulis akan membahas satu persatu di bawah ini.

Pertama mengenai hubungan Wahdāniah dengan wujud Allah. Fakhr

al-Dīn al-Rāzi menjelaskan wujud terbagi menjadi dua, wajib al-wujud dan

mumkinul wujud. Adapun yang wajib al-wujud adalah wujud Allah itu

sendiri, sedangkan yang mumkinul wujud adalah sesuatu yang selain Allah.

Para teolog menyebut mumkinul wujud dengan istilah alam.25

Wajib al-Wujud bagi Allah berupa Dzat juga harus bersifat wajib.

Keberadaan Allah tentu dengan Dzatnya yang esensi. Bukan bersifat mumkin

(mungkin). Adanya Wajib al-Wujud dan Wahdāniah inilah kemudian

memunculkan satu gagasan mengarah pada tauhid. Berikut kutipan

langsungnya:

“Ketahuilah, bahwasanya Allah yang Maha Suci terhadap ketetapan kesendirian dan keesaan-Nya memiliki beberapa macam petunjuk. Pertama bisa dijadikan petunjuk Wujud keberadaan-Nya. Kedua sebagai pemurnian tauhid dari ancaman yang merusaknya”.26

                                                            24 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4 h. 189. 25 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 233. 26 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 195.

Page 63: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

53

Argument di atas sangat jelas bahwasanya apa yang dimaksud dengan

Wahdāniah merupakan bentuk ketunggalan multak yang dimiliki Allah.

Adapun selain dari Tuhan itu sendiri merupakan wujud yang berkedudukan

sebagai tanda-tanda keesaan-Nya. Dengan demikian pembahasan mengenai

Wahdāniah tidak bisa dilepaskan dari konteks Wujud Allah itu sendiri.

Dengan demikian Wahdāniah bukan merupakan sifat tambahan yang

membuktikan secara logis bahwa dengan adanya sifat bukan berarti Allah

tersusun dengan sifatnya. Dengan memahami wajib al-wujud membawa pada

pemahaman tentang Dzat dan Sifat Allah yang Esa. Adanya Mumkinul

Wujud justru menjadi petunjuk terhadap adanya Allah yang Esa. Dengan

begitu maka kesempurnaan tauhid semakin nyata.

Kedua adalah Ulūhiah yang berarti mentauhidkan kepada Tuhan

sebagai satu-satunya dzat yang layak dipertuhankan. Hanya Dia yang layak

dijadikan Tuhan oleh manusia.27 Beberapa literature menjelaskan Ulūhiah

sebagai konsep tersendiri dalam ketauhidan. akan tetapi dalam Māfātih al-

Ghāib sangat sedikit keterangan yang menjelaskan secara luas mengenai

Ulūhiah. Penulis justru menemukan Ulūhiah daam Mafātih al-Ghāib sebagai

penguat dari konsep Wahdāniah.

Pada masalah ke tujuh,Fakhr al-Dīn al-Rāzi mengatakan:

“Kalimat “وإلهكم” menunjukkan makna pada Tuhan yang sah karena lafadz tersebut masuk sebagai pengakuan terhadap Ketuhanan

                                                            27 Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam Dari Khawarij ke Buya

Hamka Hingga Hasan Hanafi, (Jakarta: Kencana, 2014) h. 24.

Page 64: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

54

.dan bahwasanya tiada Tuhan selain Dia yang wajib disembah…(إله)Yang dimaksud adalah bahwa hanya Allah lah sebagai satu-satunya Tuhan.”28

karena pengucapan lafadz wahid jatuh setelah lafadz Ilāh. Hal tersebut

menunjukkan bahwa hanya ada satu pengakuan di dalam persoalan

ketuhanan. Dengan kata lain tidak ada Tuhan selain Allah itu sendiri.

Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan panjang lebar mengenai Ulūhiah

yang dimaksud. Ilāh yang dimaksud kembali kepada wahid. Dengan

demikian kata ilāh merupakan penjelas kepada wahid atau esa. Meskipun

para ahli bahasa mengartikan kalimat tersebut bisa saja kembali kepada Lā

ilāha illallāh namun tidak menjadikan tauhid yang mutlak. Namun di

paragraph akhir Fakhr al-Dīn al-Rāzi menegaskan bahwa Lā Ilāha illallāh

merupakan mutlak benar dan terpercaya tanpa membutuhkan pengakuan yang

lebih jelas di dalam kalimat tersebut.29

Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa Ulūhiah yang

bermakna ketuhanan secara otomatis kembali kepada Wahdāniah. Dengan

kata lain mengakui keesaan Tuhan berarti mengakui ketuhanan Allah yang

Esa. Dengan pengakuan terhadap keesaan Allah berarti kita menerimanya

sebagai bentuk tauhid.

C. Rubūbiah

Rubūbiah pada dasarnya diambil dari salah satu nama Allah, yakni al-

Rabb. Al-Rabb memiliki beberapa makna yaitu: pemeliharaan, pengasuh,

                                                            28 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 192. 29 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 193.

Page 65: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

55

pendamai, pelindung, penolong dan penguasa. Secara umum, tauhid

Rubūbiah ialah yakin bahwa Allah adalah Tuhan langit dan bumi, Pencipta

semua makhluk dan penguasa seluruh alam.30 Meyakini tauhid ini berarti

meyakini bahwa Allah adalah Pencipta langit dan bumi sekaligus pengatur

alam semesta ini. Tauhid Rubūbiah adalah mengesakan Allah dalam segala

perbuatan-Nya dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan

seluruh makhluk.31

Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan konsep Rubūbiah terdapat dalam

tafsir surat al-Fatihah ayat kedua. Khususnya dalam lafadz رب العالمين Fakhr

al-Dīn al-Rāzi mengartikannya Allah ta’āla merupakan Tuhan bagi seluruh

alam, sebab Dia yang menciptakan alam dari ketiadaan menjadi ada. Dia lah

yang menjadikan ketetapan ketetapan hukum terhadap alam semesta.32

Kata رب menunjukkan makna ketuhanan yang berkuasa serta

mengatur seluruh alam. sebagaimana definisi رب menunjukkan makna

memelihara, mengatur dan mencukupi kepada apa yang telah diciptakan.

Dengan demikian konteks رب menjadi salah satu kriteria dalam tauhid.

Sebagaimana pernyataan Fakhr al-Dīn al-Rāzi sebagai berikut:

“Ucapan ‘Allah’ terkenal dengan sebutan “Rabb” dan telah dijelaskan dalam tafsir asma Allah. Kemudian “Rabb” kerap digunakan sebagai permintaan dalam do’a seperti ya rabb, ya rabb, sebab didalamnya termuat apa yang dimaksud kepada Allah.”33

Pendapat di atas menegaskan bahwa ucapan “Rabb” juga dapat

                                                            30 Qardlawi, Tauhidullah, h. 35. 31 Shalih Bin Fauzan, Kitab Tauhid, h. 13. 32 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 234. 33 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 236.

Page 66: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

56

disamakan dengan mengucapkan Allah. Dengan kata lain “Rabb” sebutan lain

dari Allah. Yang dimaksud Allah disini adalah memahami segala aspek

tentang asma-asmanya.

Kedudukan Allah sebagai pengatur atau pengelola alam jelaskan

secara terperinci oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Terlebih dahulu dijelaskan bahwa

Rubūbiah itu terdiri dari dua macam. Pertama, Rubūbiah berdasarkan

pemberian kecukupan terhadap yang diciptakan dan adakalanya ketuhanan

yang memiliki kelebihan untuk ketuhanannya itu sendiri.34

Adapun penjelasannya adalah bahwa setiap ketuhanan mampu

menguasai untuk mengurus segala sesuatu yang diciptakan. Karena pada

dasarnya apa yang diciptakan membutuhkan pahala atau ganjaran dari Tuhan.

Adapun yang kedua, menjelaskan bahwa dia Tuhan yang maha suci.

Sebagaimana penjelasan firman-Nya bahwa “Aku telah menciptakan

semuanya bukan untuk keuntungan untuk-Ku atau kalian, akan tetapi untuk

mengurus dan memperbaiki”.

Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan Rubūbiah dari berbagai sisi.

Pertama, Allah mengurus hamba-Nya bukan untuk diri-Nya sendiri,

melainkan untuk hamba itu sendiri. Kedua, yang bisa mengatur dan mengurus

alam ini hanya Allah, sebab selain Allah pasti memiliki kekurangan ketika

mengurusinya. Ketiga, Allah tidak membenci kepada orang yang kekurangan,

sekalipun orang tersebut memintanya dengan mendesak. Keempat, Allah

tetap memberi tanpa diminta sekalipun. Sebab Allah itu sangat dekat, sedekat                                                             

34 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 1, h. 234.

Page 67: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

57

Rahim dalam ibu. Kelima, Allah tidak pernah memotong kebaikan sama

sekali. Keenam, Allah akan memberikan kepada manusia secara adil dan

secara menyeluruh.

Urgensi memahami Rubūbiah dijelaskan melalui pernyataan Fakhr al-

Dīn al-Rāzi dalam faidah ke tiga dalam tafsir رب العالمين. Berikut kutipan

langsungnya:

“Sesungguhnya, memuji dan mengagungkan Allah itu terdapat empat penjelasan lanjut. Pertama, bahwa Allah itu sempurna dari segala kekurangan dan kecacatan di dalam Dzat-Nya. Kedua, kesempurnaan-Nya menjadi kebaikan dan kenikmatan untuk makhluk. Ketiga, makhluk membutuhkan tercapainya kebaikan kepada-Nya dan kebaikan di waktu yang akan datang. Keempat, makhluk takut dari kemampuan, kekuasaan, dan kesempurnaan-Nya. Keempat, kondisi di atas akan mewajibkan makhluk untuk tunduk kepada-Nya.”35

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa adanya konsep

Rubūbiah menjadikan kita tunduk kepada Tuhan. Pengakuan terhadap

ketuhanan diperkuat dengan bukti tunduk dan patuh kepada Tuhan. Dengan

demikian ketaatan menjadi standar tauhid seseorang.36

D. Analisa Konsep Tauhid dalam Mafātih al-Ghāib

Konsep tauhid yang digagas oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi termuat dalam

satu pembahasan yang menyeluruh, yakni konsep Wahdāniah. Hal terpenting

dalam pandangan Wahdāniah beriringan dengan persoalan urgen dalam

tauhid tentang bagaimana memahami Allah yang Esa itu?

Penulis menganalisis konsep tauhid yang dijelaskan oleh Fakhr al-Dīn

                                                            35 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghaib, Juz 1, h. 235. 36 Jarman Arroisi, “Integrasi Tauhid”, h. 313.

Page 68: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

58

al-Rāzi dalam Mafātih al-Ghāib dengan satu kunci, yakni wahdāniah.

Dengan gagasan wahdāniah tersebut secara terperinci justru ditemukan

pembahasan seperti Dzat wa Sifat, ulūhiah, rubūbiah, ubūdiah, wajib al-

wujūd, mumkin al-wujūd, ‘alam, ilāh, serta term-term terkait tauhid yang

sering digunakan oleh pemikir lain dalam membahas tauhid.

Yusuf Qardhawi dalam buku Tauhidullah membagi tauhid hanya

dalam dua kelompok, yakni Tauhid Ulūhiah dan Tauhid Rubūbiah.37 Dua hal

tersebut dijelaskan secara terperinci sehingga menjelaskan mengenai tauhid.

Selain itu, Yunan Yusuf dalam Alam Pemikiran Islam justru membagi tauhid

dalam lima dimensi, yakni Tauhid Dzat, Asma, Af’āl, Ulūhiah, dan Rubūbiah.

38

Jika pemikir lain membagi tauhid dalam beberapa dimensi, baik dua

bahkan menjadi lima, maka Fakhr al-Dīn al-Rāzi secara umum menjelaskan

dalam satu gagasan wahdāniah. Akan tetapi dari wahdāniah tersebut

kemudian menjelaskan secara tuntas mengenai Dzat wa Sifat dan Ulūhiah..

Analisa pertama adalah terkait tauhid Dzat dan Sifat dalam pandangan

wahdāniah yang dijelaskan Fakhr al-Dīn al-Rāzi. Aliran Muktazilah

berpendapat tegas bahwa keesaan Allah adalah Dzat Allah itu sendiri. Sifat

yang diberikan kepada Allah justu menjadi tambahan. Artinya jika Allah

bersifat, maka Allah tersusun. Dengan demikian bertentangan dengan keesaan

                                                            37 Yusuf Qardlawi, Tauhidullah, h. 2. 38 Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam, h. 16.

Page 69: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

59

Allah itu sendiri.39

Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan bahwa Dzat Allah tidaklah tersusun

dari apapun. 40 Adanya Dzat Allah yang Esa mewajibkan keberadaan-Nya.

Dengan adanya keberadaan Allah yang wajib (wajib al-Wujūd) maka sifat

akan mengikuti kepada Dzat tersebut. 41 Pendapat tersebut tentu sangat

berbeda dengan pandangan Muktazilah mengenai Allah yang tersusun jika

disifati. Dzat Allah menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi merupakan wajib adanya.

Setelah adanya Dzat maka sifat akan mengikuti secara otomatis. Dengan

demikian sifat adalah keseluruhan yang kembali kepada Dzat.

Dalam memahami keesaan Allah pada dasarnya justru akan

menimbulkan tiga persoalan sekaligus. Pertama, mengenai Dzat itu sendiri,

Kedua, mengenai wajib al-Wujūd, dan ketiga persoalan sifat. Jika dipahami

secara jeli, Adanya Dzat maka mewajibkan keberadaan-Nya. Maka antara

Dzat dan Wujudnya dua hal yang berbeda, bisa saja menjadi pemahaman

yang berselisih mengenai keesaan. Memungkinkan muncul pertanyaan

apakah Dzat dan Wujud adalah hal yang sama? Selanjutnya pada persoalan

sifat, apakah sifat merupakan tambahan yang membuktikan Allah itu tidak

esa?

Untuk memahami persoalan Dzat dan Sifat juga dibahas secara

terperinci. Salah satunya persoalan yang bagaimana memahami Dzat dan

Sifat adalah dua hal yang berbeda namun tidak tersusun. Sehingga tetap

                                                            39 Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam, (Jakarta: Ushul Press, 2012), h. 26. 40 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 188. 41 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 189.

Page 70: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

60

menunjukkan bentuk keesaan Allah. Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan bahwa

terkadang sifat sebagai jiwa yang dapat dipahami dan juga terkadang tidak

bisa dipahami.

Dzat adalah sesuatu yang khusus, dan sifat adalah sesuatu yang dapat

diketahui. Dan pengetahuan akan sifat akan berubah apabila tidak memahami

sepenuhnya. Dengan demikian sifat tersebut dapat diartikan menjadi

tambahan atas Dzat.42 Dengan pendapat tersebut menegaskan kepada kita

bahwa Dzat Allah itu wajib wujudnya dan disifati dengan segala sifat-Nya.

Penekanan antara Dzat dan Sifat dalam penjelasan wahdāniah Tuhan

di atas menunjukkan kausalitas terhadap tauhid Dzat, Asma wa Sifat

sekaligus. Jika Yunan Yusuf memisahkan antara tauhid Dzat dan Sifat, maka

Fakhr al-Dīn al-Rāzi menjelaskan Dzat dan Sifat terdapat dalam wahdāniah-

Nya. Dengan demikian dapat disimpulkan penjelasan wahdāniah Fakhr al-

Dīn al-Rāzi mencangkup persoalan tauhid Dzat dan tauhid sifat sekaligus.

Analisa kedua adalah mengenai tauhid ulūhiah. Dalam pandangan

Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Ulūhiah atau ketuhanan merupakan tanda yang

menunjukkan terhadap ketuhanannya. Jika Yusuf Qardhawi mengartikan

Ulūhiah sebagai bentuk mentuhankan Allah dengan cara menyembah atau

beribadah, maka Fakhr al-Dīn al-Rāzi menekankan ketuhanan Allah berdasar

pada segala sesuatu kembali kepada Allah. Dengan kata lain, ulūhiah

mendasarkan manusia harus mempercayai secara mutlak tanpa bisa ditolak

                                                            42 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 188.

Page 71: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

61

lagi. 43

Dalam ulūhiah dijelaskan secara menyeluruh dari konteks bahasa

hingga pada Allah sebagai pencipta dan segala sesuatunya akan kembali

kepada Allah. Berbeda dengan Yusuf Qardhawi yang secara tegas menuliskan

dengan tauhid ulūhiah berarti menyembah dengan taat. Fakhr al-Dīn al-Rāzi

menjelaskan, dengan keesaan (wahdāniah) Allah maka secara mutlak Dia-lah

Tuhan satu-satunya. Allah sebagai satu-satunya Tuhan maka segala sesuatu

yang selain Allah berasal dari Allah sekaligus segalanya bersumber dan akan

kembali kepada Allah.44 Muara ulūhiah kembali pada persoalan wahdāniah.

Pandangan mengenai Wahdāniah juga menjadi tanda-tanda yang

menunjukkan Allah sebagai Tuhan. Dalam perspektif lain dikenal dengan

istilah Ulūhiah (ketuhanan). Fakhr al-Dīn al-Rāzi berpendapat bahwa

ketuhanan merupakan perumpamaan kumpulan dari berbagai macam dzat dan

sifat-Nya.45 Dengan kata lain sifat-sifat Allah kembali kepada Dzat Allah.

Fakhr al-Dīn al-Rāzi juga memberikan analogi mengenai esa adalah

sesuatu yang tidak bisa terbagi lagi. Fakhr al-Dīn al-Rāzi memberikan contoh

manusia yang baik. Baik sebagai sifat, tidak akan ada apabila tidak ada dzat

dan wujud manusia. Kemudian Fakhr al-Dīn al-Rāzi menegaskan Yang

namanya Esa itu sesuatu yang tidak bisa terbagi dari sisi manapun. Manusia

masih bisa dibagi dari berbagai bagian tubuhnya atau hal-hal yang berkaitan

dengan kemanusiaannya itu sendiri. sedangkan Allah merupakan Dzat yang

                                                            43 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 193. 44 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 195. 45 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4, h. 189.

Page 72: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

62

tidak bisa terbagi lagi sebab Allah itu esa.46

Pemikiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi ini sangat berdekatan dengan

Golongan Asy’ariah. Bagi Asy’ari Allah memiliki banyak sifat, seperti

mengetahui, melihat, berkuasa dan sebagainya. Dzat Tuhan bukan lah

pengetahuan, kehidupan sebagaimana sifat yang telah disebutkan, namun

yang maha mengetahui. Dalam keterangan Asy’ari terkandung pengertian

bahwa sifat-sifat Tuhan bukanlah Dzat Tuhan.47 Pendapat tersebut dikuatkan

oleh Jarman Aroisi bahwa Fakhr al-Dīn al-Rāzi hampir sama dengan

pemikiran pendiri madzhab Asy‘ari. Begitu juga dengan pendapat as-

Syahrastani yang menyatakan bahwa tauhid adalah mengenali kemahaesaan

Tuhan dalam segala zat, sifat, dan pekerjaan-Nya, serta taat menjalankan

segala perintah-Nya.48

Berkaitan Golongan Asy’ariah yang dianut oleh Fakhr al-Dīn al-Rāzi

menekankan Perbedaan yang mendasar antara golongan Mu’tazilah dan

Asy’ariah adalah epistemologi49 dalam memahami persoalan ketuhanan.

Mu’tazilah menggunakan epistemologi rasional untuk mencapai pemahaman

mengenai ketuhanan. Sedangkan Asy’ariah menggunakan epistemologi

wahyu dalam memahami persoalan ketuhanan.50

                                                            46 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, Juz 4 h. 187. 47 Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam, h. 86. 48 Jarman Aroisi, “Integrasi Tauhid dan Akhlak”, h. 312 – 313. 49 Epistemologi atau disebut juga dengan teori pengetahuan adalah upaya pencarian

pengetahuan secara kritis dan mendalam yang bermaksud memberikan pertanggungjawaban atas kebenaran pengetahuan yang didapatkan. Lihat J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 18.

50 Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Terj. Tim Mizan, (Bandung: Mizan, 2003), h. 156.

Page 73: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

63

Selain persoalan Dzat, Sifat dan Ulūhiah, penulis tidak menemukan

gagasan mengenai tauhid ‘ubūdiah maupun tauhid af’al. inti penjelasannya

adalah wahdāniah yang mencakup semua pembahasan tauhid. Gagasan itu

bermuara kepada penjelasan Tauhid dalam kitab Mafātih al-Ghāib.

Akan tetapi yang perlu diketahui adalah Fakhr al-Dīn al-Rāzi dapat

dipahami bahwa tauhid menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi merupakan pengesaan

Allah sebagai Dzat tunggal dengan kita memahami-Nya. Pemahaman yang

dimaksud adalah dengan bertauhid harus memahami persoalan Dzat, wujud,

sifat serta hal-hal yang berkenaan dengan persoalan ketuhanan lainnya.

Tauhid dalam Mafātih al-Ghāib lebih menekankan bagaimana kita

memahami Allah secara tuntas. Dimulai Allah sebagai Dzat, sifat yang

dimiliki-Nya, Allah sebagai pencipta, sebagai pengatur yang diciptakan, yang

mencukupi segala kebutuhan atas yang diciptakan-Nya serta segala sesuatu

kembali kepada-Nya. Dengan memahami tersebut maka kesadaran untuk

mengakui keesaan Allah adalah mutlak tanpa bisa diperdebatkan.

Selanjutnya Tauhid adalah persoalan Ushul atau pokok. Lebih utama

daripada persoalan yang furu’ (cabang). Dengan menguatkan pada Ushul,

maka hal yang furu’ akan mengikutinya. Dengan demikian menyembah

kepada Allah menjadi mutlak, mematuhi peraturan-Nya adalah harus, dan

menjauhi larangan-Nya juga wajib.

Oleh karena itu Fakruddin ar-Razi selalu mengingatkan perlunya

memperbaharui iman dengan membaca kalimat tauhid La ilaha illa Allah. Hal

Page 74: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

64

tersebut menjadi salah satu bentuk aktifitas yang bernilai ketauhidan. Orang

yang terbiasa melafalkan kalimat tauhid niscaya imannya meningkat dan

karenanya mampu mencapai hubungan dekat dengan Tuhan. Kedekatan itu

hanya bisa dicapai dengan cara membersihkan hati. Jika hati bersih maka

mengalir dari padanya perbuatan yang baik, begitu pula sebaliknya.51

Menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi, untuk pembersihan diri diperlukan

keberanian membebaskan diri dari kebodohan, kemaksiatan (sebab jiwa yang

kotor selalu senang terhadap hal-hal yang berbau maksiat), syirik, sihir, dan

hal-hal lain yang bertentangan dengan ajaran Islam.52 Dalam pandangannya,

membersihkan jiwa merupakan salah satu cara untuk menguatkan tauhid. Jika

jiwa bersih maka tauhid seseorang akan semakin kuat, dan jika tauhidnya

kuat maka akan kuat pula imannya. Iman yang kuat hanya bisa didapatkan

oleh mereka yang taat, sebaliknya iman akan turun dan berkurang jika

melakukan maksiat. Jika hal-hal yang bisa membawa kepada kesucian jiwa

itu bisa dilakukan baik, maka hati akan selalu bersih dan Allah pun akan

selalu menyukai orang-orang yang yang menyenangi kebersihan.

Sedangkan untuk membiasakan diri agar berpikir positif, diperlukan

kesadaran penuh untuk menghilangkan sekat-sekat yang menggangu pola

pikir. Untuk itu, ditekankan supaya selalu berpikir positif terhadap berbagai

hal dan kewajiban yang diperintahkan syariat, bahkan ditekankan pula untuk

berupaya membiasakan diri berbuat kebaikan. Jika jiwa bersih, maka tauhid

                                                            51 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz 30, h. 81-

82. 52 Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātih al-Ghāib, juz 28, h. 61.

Page 75: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

65

dan iman akan kuat, dan jika tauhid dan iman telah kuat maka pola pikir dan

perilakunya akan bersih.53

                                                            53 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam An

Exposition The Fundamental Elemens of The World View of IslamI (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 14.

Page 76: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

 

65

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pertama,

tauhid menurut Fakhr al-Dīn al-Rāzi adalah mengesakan Allah sebagai Dzat

tunggal yang mutlak disertai dengan pengetahuan kita terhadap Dzat Allah.

Upaya tersebut dilakukan untuk peneguhan diri seseorang dengan menetapkan

bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Artinya, bertauhid berarti tidak sebatas

mengakui secara verbal, tanpa ilmu, bahwa Allah itu Esa. Akan tetapi mengakui

keesaan-Nya dengan dasar pengetahuan yang luas. Penekanan ilmu yang

diberikan Fakhr al-Dīn al-Rāzi bertujuan untuk memperoleh kesempurnaan

iman.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam tauhid menurut Fakhr al-Dīn

al-Rāzi ada dua hal, yakni Wahdāniah dan Rubūbiah. Wahdaniah adalah gagasan

mengenai keesaan Allah sebagai Dzat sekaligus sifat yang mengikutinya.

Keberadaan Allah berarti sekaligus mewajibkan adanya Dzat serta sifat yang ada.

hal tersebut dapat dipahami secara terperinci dari mulai perspektif bahasa, hingga

perspektif pemikiran teologis. Adanya Dzat Mewajibkan adanya Wujud Allah.

Keberadaan Wujud Allah mewajibkan adanya Dzat, dan setiap Dzat memiliki

sifat. Dengan demikian sifat bukanlah tambahan yang ada dalam Dzat Allah.

Adapun Rubūbiah adalah Ketuhanan yang mampu menguasai, mengatur dan

Page 77: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

66

 

mengelola untuk mengurus segala sesuatu yang diciptakan. Karena pada dasarnya

apa yang diciptakan membutuhkan kepada yang menciptakannya.

B. Kritik

Pemikiran Fakhr al-Dīn al-Rāzi dalam Mafātih al-Ghaib kerap ditemui

satu pembahasan yang diulang-ulang. Sebagaimana yang terdapat dalam tanda-

tanda wahdāniah. Fakhr al-Dīn al-Rāzi mencoba menjelaskan ketidak

mungkinannya Tuhan memiliki kekurangan, namun dalam penjelasannya aspek

mendasarnya hanya persoalan kekurangan bukanlah sifat ketuhanan.

Page 78: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

 

67

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. Risalah Tauhid, Terj. Firdaus A.N, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.

Abdullah Ibn Wakil al-Syaikh dan Abdullah Ibn Muhammad al-Amru, al-Akhlak wa al-Adab, Dar Isbiliya: al-Tab’ah al-Ula, 2001.

Amstrong, Karen. Sepintas Sejarah Islam, Surabaya: Ikon Teralitera, 2004.

Anshori. Tafsir Bil Ra’yi: Menafsirkan Al-Quran Dengan Ijtihad, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010.

Arroisi, Jarman. Integrasi Tauhid dan Akhlak Dalam Pandangan Fakhr al-Dīn al-Rāzi, dalam Jurnal TSAQAFAH, Vol. 9, No. 2, Institut Studi Islam Darussalam Gontor, November 2013.

Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid, Jakarta: Raja Grafindo, 1993.

Al-Asqolani, Ibn Hajar. Fath al-Bari,TT. TP. TT.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Prolegomena to the Metaphysics of Islam An Exposition The Fundamental Elemens of The World View of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995.

Cahyadi, Djayadi. Konsep Takdir Fakhr al-Dīn al-Rāzi, skripsi mahasiswa Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadits, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Daghim, Samih. Mausu’ah Musmalahat al-Imam Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Libanon: Maktabah Libanon, 2001.

Daud, Wan Mohd Nor Wan. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung: Pustaka Mizan, 2003.

Fakhry, Madjid. A History of Islamic Philosophy, Newyork: Colombia University Press, 1970.

al-Faqih dan Abdus Salam. Aqidah Muslim: Dalam Tinjauan al-Qur’an dan as-Sunnah, Terj. Hammad bin ‘Amir Abu Mu’awiyah, Bekasi: Maktabah Daar El-Salam, 2009.

Page 79: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

68

 

Fauzan, Shalih. Kitab Tauhid, Jakarta: Ummul Qura, 2014.

Hafidz, Abdul. Risalah Aqidah, Ciputat: Aulia Press, 2007.

Ibrahim, Farid Wajdi. Ilmu Ushuluddin Menjawab Problematika Umat Islam Dewasa Ini, dalam Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies, Vol. 1, No. 1, Juni, 2014.

Ilyas, Hamim. Tauhid Rahamutiyah: Reinterpretasi Doktrin Tauhid Dalam Muhammadiyah Untuk Merespon Perubahan Sejarah, dalam makalah online diakses dari www.muhammadiyah.org.

Al-Jukjakarta, Abu Mushlih. Hakikat dan Keutamaan Tauhid, TT. TT. TT.

Mahmud, Mani’ Abdul Halim. Metedologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Mu’in, Taib Tahir Abd. Ilmu Kalam, Jakarta: Penerbit Widjaya, 1975.

Mulyono dan Bashori. Studi Ilmu Tauhid atau Kalam, Malang: UIN-MALIKI, 2010.

Mustafa bin Abdullah dan Ahmad Zaki bin Ibrahim. Tauhid Uluhiyyah, Rububiyyah Dan al-Asma’ Wa Alsifat, menurut tafsiran Muhammad Rasyid Ridho Dalam Tafsir Al-Manar, dalam Jurnal Ushuluddin, 20.07/2011.

Mutahhari, Murtada. Tafsir Holistik: Kajian Seputar Relasi Tuhan Manusia dan Alam, Terj. Ilyas Hasan, Jakarta: Penerbit Citra, 2012.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UIN Press, 2002.

Nasution, Harun. Theologi Islam, Depok: UI Press, 1986.

Pari, Faris. Pengalaman Rasional Eksistentis Tuhan: Pengantar Onthotheologi, diakses dari www.academia.edu.

Purnomo, Dedik. Tafsir Kalimat Tauhid dalam al-Qur’an (Studi Tafsir Mafatih al-Ghoib karya Fakhr al-Dīn al-Rāzi), Tesis Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya: 2016.

Al-Qardawi, Yusuf. Tauhidullah dan Fenomena Kemusykrikan, Terj. Rahim Haris, Surabaya: Pustaka Progresif, 2002.

Rais, Amin. Tauhid Sosial, Bandung: Mizan, 1998.

Page 80: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan

69

 

Al-Rāzi, Fakhr al-Dīn. Ajaib al-Quran, Cet I, Beirut: Dar al-Qutub al-Ilmiyah, 1984.

Al-Rāzi, Fakhr al-Dīn. Al-Arba’in fi Usuluddin, Kairo: Maktabah al-Kuliyat al-Azhariyah, 1987.

Al-Rāzi, Fakhr al-Dīn. Mafatih al-Ghaib, Juz 1-28, Cet I. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Al-Rāzi, Fakhr al-Dīn. Roh Itu Misterius, Terj. M. Abdul Qadir al-Kaf, Jakarta: Cendekia, 2001.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Shihab, Quraish. Menyingkap Tabir Ilahi: Asma al-Husna Dalam Perspektif Al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, cet. 4, 2001.

Subhani, Ja’far. Studi Kritis Faham Wahabi : Tauhid dan Syirik, Bandung: Mizan, 1987.

Sudarsono. Filsafat Islam, Cet. I, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Sugiantoro, Hendra. Bersama Fakhr al-Dīn al-Rāzi Mendalami Tauhid: Resensi Buku Kecerdasan Bertauhid, diambil dari www.kabarindonesia.com.

Suminto, Syarifah. Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Kencana, 2003.

At-Tamimi, Syekh Muhammad. Kitab Tauhid: Pemurnian Ibadah Kepada Allah, Terj. M. Yusuf Harun, Jakarta: Darul Haq, 2011.

Taymiyyah, Ibnu. Al-Aqidah al-Wasathiyyah, Beirut: Dar al-Arabiyyah wa an-Nashr, T. Th.

Al-Tuwajry, Muhammad Bin Abdullah. Tauhid, Keutamaan dan Macam-Macamnya, Terj. Islam-House, TT: Islam House, 2007.

Yusuf, Yunan. Alam Pikiran Islam: Pemikiran Kalam Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi, Jakarta: Kencana, 2014.

Yusuf, Yunan. Corak Pemikiran Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka data teologi Islam, Jakarta: Paramadina, 1990.

Zainudin. Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

Page 81: TAU HID MENURUT FAKHR AL-DĪN AL-RĀZI DALAM MAFĀTIH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34434/2/AL IMRAN... · bentuk non-tauhid atau syirik. Dan inilah kelebihan