tarikat qadiriyah…, lathif purwa atmaja, fib ui, 2013
TRANSCRIPT
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
TARIKAT QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH
DI PONDOK PESANTREN AN-NAWAWI KABUPATEN PURWOREJO
Lathif Purwa Atmaja dan Siti Rohmah Soekarba
Program Studi Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia,
Depok 16464 – Indonesia
Tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
di Pondok Pesantren An-Nawawi Kabupaten Purworejo
Abstrak
Penelitian ini mendeskripsikan sejarah tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren An-Nawawi, ajaran yang terdapat di dalamnya, dan pengaruhnya untuk masyarakat di sekitar lokasi tersebut. Analisis penelitian ini diperoleh dengan kajian pustaka dan metode kualitatif, dengan menggunakan teori tasawuf, tarikat, dan gerakan sosial, serta mengkorelasikannya dengan fakta dan fenomena di lapangan. Dengan wawancara dan berpartisipasi aktif selama tiga bulan dalam setiap kegiatan tarikat di pondok pesantren tersebut, merupakan upaya untuk mendukung metodologi dan memperoleh tujuan dalam penelitian ini.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren An-Nawawi menjadi pusat perkembangan tarikat tersebut di Kabupaten Purworejo dan wilayah sekitarnya. Selain itu, tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat Kabupaten Purworejo di bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, dan agama.
Tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
in Pondok Pesantren An-Nawawi Kabupaten Purworejo
Abstract
The succeeded of tasawuf in the early period of Islamization was continued by a sufi from Nusantara who was Ahmad Khatib Sambas (d. 1878). It was proved by developing of a new tariqa called Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. The influence brought to Pondok Pesantren An-Nawawi located in Purworejo Regency, Central Java. The research describes the history of Qadiriyah wa Naqsyabandiyah in Pondok Pesantren An-Nawawi with all aspects and its influences toward society. Using tasawuf’s, tariqa’s, and social movement’s theories it was explained the corelation with actual condition by doing qualitative study with Qadiriyah wa Naqsyabandiyah’s participants within three months, including participation in tariqa activities.
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
The result shows this order becomes a center of the tariqa development in Purworejo Regency and around. This tariqa has a big influence for Purworejo Regency society in economic, social, politic, cultural, and religious aspect as well.
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Islam datang ke Indo-Melayu bersamaan dengan terjadinya masa perdagangan atau
the age of commerce, karena meningkatnya posisi Nusantara pada masa perdagangan Timur-
Barat. Hal ini menyebabkan kawasan Indo-Melayu mengalami internasionalisasi
perdagangan, percampuran budaya yang tidak pernah terjadi sebelumnya, menyebabkan
masyarakat lokal meninggalkan kepercayaan lama mereka, dan menerima Islam.1
Para pedagang Muslim berkat kekayaannya dapat memainkan peranan politik dalam
masyarakat pada waktu itu. Dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai dijelaskan
bahwa terbentuknya Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan Islam pertama di
Nusantara berawal dari bersatunya negara-negara kecil, menjadi kerajaan terpusat. Raja
pertama Samudera Pasai adalah Mirah Silau yang bergelar Sultan Malik as-Saleh. Makamnya
ditemukan di Pasai, dan bertuliskan tahun 1297 Masehi.2
Di Pulau Jawa, bukti-bukti arkeologis membuktikan bahwa Islam telah mendapatkan
tempat dalam pusat-pusat politik pada abad ke-11 (dimulai dengan ditemukannya batu nisan
Fatimah binti Maimun di Leran, Jawa Timur yang bertuliskan tahun 1082 Masehi)3, dan
Islam semakin berkembang hingga abad ke-14. Pada abad ke-15, komunitas Islam mulai
menunjukkan ancaman keagamaan—bagi penyebaran agama Hindu-Budha—dan politik bagi
pusat kekuasaan pada waktu itu, yaitu Kerajaan Majapahit. Keadaan Majapahit sedang
mengalami kericuhan dinasti dan pemberontakan dalam negeri pascakematian raja terbesar
Majapahit, Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada pada tahun 1380-an. Hal ini
menyebabkan posisi raja Majapahit yang terus melemah dan menyebabkan saudagar kaya
yang berada di pesisir menjauh dari kerajaan. Perdagangan internasional yang sebagian besar
dimainkan oleh para pedagang Muslim memberikan keuntungan yang sangat besar—
1 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara; Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 21-22.
2 Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique, peny. Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 64-65.
3 Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Terj. Tim Penerjemah Serambi (Jakarta: Serambi, Cet. II, 2009), hal. 4.
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
terutama keuntungan material dan juga untuk menyebarkan agama Islam di Jawa—telah
membuat para saudagar kaya dari berbagai kadipaten tidak hanya masuk Islam, melainkan
juga membangun pusat-pusat politik yang berdiri sendiri. Demak, Jepara, Rembang, Tuban,
Gresik, dan Surabaya menjadi pusat-pusat perdagangan, kegiatan Islam, dan politik.4
Penyebaran Islam yang menyeluruh di Indo-Melayu pada waktu itu tidak hanya
berkaitan dengan para pedagang saja, melainkan bersamaan dengan para guru sufi
pengembara yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menyebarkan Islam.5
Hamka menjelaskan bahwa para sufi tersebut datang ke Pulau Jawa dengan sebutan wali
sanga (wali sembilan)6, yang sebagian besar merupakan guru-guru tasawuf. Menurutnya,
Islam tersiar di Nusantara dengan sangat pesat melalui tasawuf (antara lain dengan
mengajarkan Islam yang memuja kubur dan Islam yang memuja wali), karena sesuai dengan
jiwa masyarakat—mempunyai latar belakang Hindu-Budha yang sangat kuat—pada
umumnya. Dalam kedudukannya di kerajaan Jawa, para wali tersebut diberi gelar oleh raja
dengan sebutan Susunan atau lebih singkatnya disebut dengan Sunan, karena disesuaikan
dengan kebijakan politik di Jawa pada masa itu. Dalam perkembangannya, Demak yang
menjadi kerajaan Islam terbesar di Jawa menjadikan Islam sebagai agama negara.7
Tasawuf adalah suatu jalan yang ditempuh seorang Muslim agar berada sedekat
mungkin dengan Tuhan. Tasawuf mempunyai etimologi dari kata sufi. Harun Nasution
menyebutkan bahwa orang yang pertama memakai istilah sufi adalah seorang zâhid bernama
Abu Hasyim al-Kufi (w. 150 H/ 767 M) yang berada di Irak, dan sufi diartikan sebagai orang
yang memakai wol (shȗf, bahasa Arab) yang kasar untuk menjauhkan diri dari dunia yang
bersifat materi dan memusatkan perhatiannya pada alam rohani.8
Zamakhsyari Dhofier menjelaskan bahwa terdapat persamaan antara istilah tasawuf
dan tarikat di dalam tradisi pesantren. Tasawuf merupakan aspek intelektual dari jalan untuk
berada sedekat mungkin dengan Tuhan, sedangkan dalam aspek praktisnya dinamakan
4 Ibid., hal. 72-73. 5 Azra, op. cit., hal. 23. 6 Wali Sanga adalah tokoh legendaris yang dianggap sebagai penyebar agama Islam pertama di Jawa.
Sebagaimana ditetapkan dalam tradisi, jumlah mereka sembilan, dengan daftar sementara sebagai berikut: Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, dan Syekh Siti Jenar. Namun, daftar ini dapat berubah-ubah, dan tidak dibatasi pada sembilan orang saja. Terkadang dicantumkan juga Sunan Majagung, Sunan Sendang Duwur, Sunan Ngudung, Sunan Panggung, Sunan Geseng, Sunan Drajat, dan Sunan Tembayat. Lihat Claude Guillot dan Henri Chambert-Loir dalam Claude Guillot dan Henri Chambert-Loir, Ziarah dan Wali di Dunia Islam (Depok: Komunitas Bambu, Cet. II, 2010), hal. 228, note 2.
7 Hamka, Tasauf; Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, Cet. VIII, 1980), hal. 220-221.
8 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. II, 1980), hal. 56-57.
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
tarikat. Tarikat berasal dari bahasa Arab tharȋqah yang berarti jalan, lebih lengkapnya jalan
menuju surga dengan cara melakukan amalan-amalan tertentu dan berusaha sedekat mungkin
dengan Tuhan.9 Pada awalnya, tarikat dilalui oleh seorang sufi secara individu, selanjutnya
dalam perjalanan waktu, tarikat diajarkan kepada orang lain baik secara individual maupun
secara kolektif. Para murid tersebut berkumpul dan melakukan latihan-latihan tasawuf di
bawah bimbingan guru yang disebut mursyid. Pengajaran tarikat secara umum dilakukan
sejak zaman Al-Hallaj10 (w. 922 M). Pada perkembangan selanjutnya, kumpulan-kumpulan
sufi tersebut membentuk organisasi yang mempunyai corak dan peraturan-peraturan sendiri.
Organisasi-organisasi sufi tersebut dikenal dalam bahasa Arab dengan nama tarikat.11 Pada
pertengahan abad ke-19, Syekh Ahmad Khatib Sambas, yang berasal dari Sambas,
Kalimantan Barat, mendirikan suatu tarikat baru, dengan menggabungkan dua buah tarikat,
yaitu tarikat Qadiriyah dan tarikat Naqsyabandiyah. Tarikat yang baru ini dinamakan tarikat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.12
Tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tumbuh di Pondok Pesantren An-Nawawi,
yang terletak di Desa Berjan, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo sejak tahun 1870 M.
Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memperoleh gambaran umum tentang tarikat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren An-Nawawi dan pengaruhnya terhadap
masyarakat Muslim yang berada di sekitarnya.
2. Perumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana keberadaan
tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren An-Nawawi dan pengaruhnya
terhadap masyarakat Muslim di sekitarnya di bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya?
9 Zamakhsyari Dhofier; Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan
Indonesia (Jakarta: LP3ES, Cet. VIII, 2011), hal. 212-213. 10 Nama lengkapnya Husein Ibn Mansur al-Hallaj, lahir di Al-Madinah al-Baida’, terletak di Iran Selatan pada
tahun 858 M. Pada tahun 922 M dijatuhi hukuman mati, karena atas dasar ucapannya yang berbunyi Ana al-Haqq (Saya Yang Maha Benar), namun sebenarnya alasan itu bukan semata-semata penyebab hukumannya, namun atas dasar persoalan politik pada masa itu. Ajarannya yang terkenal adalah faham persatuan yang disebut al-hulûl. Al-hulûl dalam tasawuf adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, tetapi untuk itu seorang sufi harus terlebih dahulu menghancurkan sifat-sifat kemanusiaannya, sehingga yang terdapat dalam dirinya hanyalah sifat-sifat ke-Tuhanan. Pada saat itulah barulah Tuhan mengambil tempat dalam diri sufi yang bersangkutan. Lihat Harun Nasution, Islam; Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI-Press, Cet. VI, 1986), hal. 86-87.
11 Harun Nasution, peny. Thoriqot Qodiriyyah Naqsyabandiyyah; Sejarah, Asal-usul, dan Perkembangannya (Tasikmalaya: Institut Islam Latifah Mubarokkiyah (IAILM), 1990), hal. 25-26.
12 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat; Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Jakarta: Mizan, Cet. II, 1995), hal. 214-215.
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan perkembangan tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok
Pesantren An-Nawawi.
2. Menjelaskan pengaruh tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terhadap masyarakat
Muslim di sekitar Pondok Pesantren An-Nawawi.
Tinjauan Teoritis
Tasawuf dan tarikat adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Dalam skripsi ini
digunakan teori tersebut sebagai alat bedah utama yang dikorelasikan dengan data dan fakta
yang berada di lapangan. Zamakhsyari Dhofier menjelaskan bahwa istilah tarikat berasal dari
bahasa Arab tharȋqah yang berarti jalan, atau lebih lengkapnya berarti jalan menuju surga, di
mana waktu melakukan amalan-amalan tarikat tersebut seseorang berusaha mengangkat
dirinya melampaui batas-batas kediriannya sebagai manusia dan mendekatkan dirinya di sisi
Tuhan. Seringkali terdapat persamaan antara istilah tasawuf dan tarikat, yaitu dimensi
esoteris13 dan aspek yang mendalam dalam agama Islam. Sebagai istilah khusus, perkataan
tarikat lebih sering dikaitkan dengan suatu “organisasi tarikat”, yaitu suatu kelompok
organisasi (dalam lingkungan Islam tradisional)14 yang melakukan amalan-amalan zikir
tertentu dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya telah ditentukan oleh pimpinan
organisasi tarikat.15
Dhofier menambahkan bahwa di dalam tradisi pesantren, istilah tasawuf merupakan
aspek intelektual dari jalan untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan, sedangkan dalam
aspek praktisnya dinamakan tarikat. Istilah tarikat dalam penelitian ini digunakan untuk
menunjukkan tradisi tasawuf yang berkembang dalam lingkungan pesantren. Dalam
13 Esoterisme merupakan “total kebenaran” (menjelaskan tentang aspek spiritual dan metafisika) atau dapat
disebut juga aspek batin dalam ajaran agama. Selain esoterisme, terdapat eksoterisme yang berarti aspek lahiriah serta bersifat umum dalam agama dan masyarakat yang bertujuan untuk mencapai keselamatan. Baik esoterisme maupun eksoterisme saling berkorelasi, yaitu sebagai teori dan praktik atau doktrin dan metode. Lihat William Stoddart, Aspect of Islamic Esoterism (Studies in Comparative Religion, Vol. 13, No. 3 & 4, Summer-Autumn, 1979), hal. 1.
14 Dhofier menjelaskan tentang faham ahli as-sunnah wa al-jâmi’ah atau dalam masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah Islam tradisional. Perkataan ahli as-sunnah wa al-jâmi’ah dapat diartikan para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijmâ’ (konsensus) ulama. Dengan menyatakan diri sebagai pengikut tradisi Nabi dan ijmâ’ ulama, para kiai secara eksplisit membedakan dirinya dengan “kaum modernis Islam” yang berpegang hanya kepada Qur`an dan Hadis dan menolak ijmâ’ ulama. Selengkapnya baca Dhofier, op. cit., hal. 228-257.
15 Ibid., hal. 212.
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
lingkungan pesantren, istilah tarikat bermakna sebagai suatu kepatuhan secara ketat kepada
peraturan-peraturan syari’ah (hukum) Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya,
yang bersifat ritual maupun sosial; dengan menjalankan praktik-praktik wira’i,16 mengerjakan
amalan yang bersifat sunnah17 baik sebelum maupun sesudah shȃlat wajib, dan
mempraktikkan riyâdhah.18
Amalan tarikat merupakan aspek yang inheren dalam tradisi pesantren tanpa harus
dihubungkan dengan dengan organisasi tarikat tertentu. Sebelum timbulnya organisasi-
organisasi tarikat, dalam masyarakat Islam telah berkembang amalan-amalan tarikat yang
semata-mata merupakan aliran-aliran doktrin tasawuf. Organisasi-organisasi tarikat pada taraf
awal pertumbuhannya merupakan kelanjutan dari paham-paham tasawuf yang berkembang
mulai abad ke-9 M, maka, istilah tarikat tetap dipakai sesuai dengan arti aslinya; yaitu suatu
cara atau jalan yang ideal menuju ke sisi Tuhan dengan menekankan pentingnya aspek-aspek
doktrin di samping pelaksanaan praktik-praktik ritual yang tidak menyeleweng dari contoh-
contoh yang diberikan Nabi dan para sahabatnya.19
Dengan demikian, dalam tradisi pesantren terdapat dua bentuk tarikat, yaitu: pertama,
tarikat yang dipraktikkan menurut cara-cara yang dilakukan oleh organisasi-organisasi
tarikat; dan kedua, tarikat dipraktikkan menurut cara di luar ketentuan organisasi-organisasi
tarikat. Oleh karena hampir semua kiai20 menjadi imam tetap di masjid tertentu, maka kedua
bentuk tarikat tersebut dipraktikkan dalam situasi konggregasi. Dengan kata lain, dalam
lingkungan pesantren, amalan-amalan tarikat dalam bentuk konggregasi tersebut bukanlah
monopoli dari organisasi-organisasi tarikat. Semua kiai pada umumnya memimpin
masyarakat dalam pelaksanaan shȃlat wajib, dan di samping itu, memimpin makmumnya
16 Wira’i adalah cara hidup yang “suci” di mana para pengamalnya selalu berusaha menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang haram serta makruh, dan banyak mengerjakan pranatan-pranatan wajib dan sunnah. Lihat ibid., hal 213, note 1.
17 Hukum Islam dibagi dalam beberapa kategori dan diklasifikasikan ke dalam tingkatan yang berbeda, yaitu: pertama, wajib, adalah tuntunan yang mutlak (melalaikan dan menyimpang dari hukum tersebut akan mendapat dosa); kedua, sunnah, adalah dianjurkan (melalaikan hal ini tidaklah berakibat dosa, sedangkan melakukannya mendapat pahala); ketiga, mubah, adalah bebas untuk mengerjakan atau meninggalkannya; keempat, makruh, disarankan tidak dikerjakan, namun jika hal itu dikerjakan juga tidak sampai mendapatkan dosa; dan kelima, haram, adalah harus ditinggalkan, tidak boleh dikerjakan, melalaikan lararan ini akan mendapatkan dosa. Lihat Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987), hal. 140.
18 Riyâdhah adalah berperihatin, antara lain: puasa, menahan diri dari makan serta berpakaian sekadar kebutuhannya, dan lain-lain. Lihat Dhofier, op. cit., hal 213, note 2.
19 Ibid., hal. 212-213. 20 Kiai merupakan gelar bagi seorang ulama yang memimpin sebuah pesantren yang biasanya di daerah Jawa
Tengah dan Jawa Timur, sedangkan di Jawa Barat disebut dengan ajengan, namun, di zaman sekarang banyak juga ulama yang cukup berpengaruh di masyarakat juga mendapat gelar kiai, walaupun mereka tidak memimpin pesantren. Istri seorang kiai dan anak-anak perempuannya yang sudah menikah mendapat sebutan nyai, sedangkan putra-putra, cucu laki-laki, atau menantu laki-lakinya mendapat panggilan gus (dari kata si bagus). Lihat ibid., hal. 93, 109.
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
dalam pelaksanaan zikir setelah shȃlat. Dalam pelaksanaan zikir bersama ini, ayat-ayat Al-
Qur`an tertentu yang dipilih, diucapkan bersama-sama, dan nama Tuhan diucapkan secara
berulang-ulang. Dalam penelitian di berbagai pesantren, Dhofier menjelaskan bahwa para
santri secara bersama-sama melaksanakan amalan-amalan zikir di bawah bimbingan kiainya.
Bentuk zikir dan rumusan nama-nama Tuhan yang diucapkan oleh kiai dan santri tersebut
tidak jauh berbeda dengan yang dipraktikkan oleh anggota-anggota organisasi tarikat yang
dianggap sah oleh para kiai.21
Oleh karena penganut organisasi tarikat semakin berkembang dan bertambah banyak,
maka berkembanglah menjadi sebuah gerakan sosial keagamaan (Islam) dengan pengaruh
yang ditimbulkannya di bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya, maka, dalam skripsi ini
selain teori tasawuf dan tarikat, digunakan pula teori tentang gerakan sosial. Para sarjana
berpendapat mengenai apa itu gerakan sosial dan bagaimana mempelajarinya. Beberapa
sarjana menekankan aspek organisasi dan tujuan dari gerakan-gerakan sosial. Michael Useem
mendefinisikan gerakan sosial sebagai tindakan kolektif terorganisasi, yang dimaksudkan
untuk mengadakan perubahan sosial.22 John McCarthy dan Mayer Zald melangkah lebih
rinci, dengan mendefinisikan gerakan sosial sebagai upaya terorganisasi untuk mengadakan
perubahan di dalam distribusi hal-hal apa pun yang bernilai sosial.23 Sedangkan Charles Tilly
menambahkan corak perseteruan atau perlawanan di dalam interaksi antara gerakan sosial
dan lawan-lawannya. Dalam definisinya, gerakan-gerakan sosial adalah upaya-upaya
mengadakan perubahan lewat interaksi yang mengandung perseteruan dan berkelanjutan di
antara warga negara dan negara.24 Dalam pendefinisian ini, David Meyer dan Sidney Tarrow
memasukkan semua ciri yang sudah disebutkan di atas dan mengajukan sebuah definisi yang
lebih inklusif tentang gerakan sosial, yaitu tantangan-tantangan bersama, yang didasarkan
atas tujuan dan solidaritas bersama, dalam interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok
elit, saingan atau musuh, dan pemegang otoritas.25
21 Ibid., hal. 213-214. 22 Quintan Wiktorowicz, peny. Gerakan Sosial Islam; Teori, Pendekatan, dan Studi Kasus. Terj. Tim
Penerjemah Paramadina (Yogyakarta: Gading Publishing bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 2012), hal. 11.
23 Douglas McAdam, John D. McCarthy, dan Mayer N. Zald (ed.). Comparative Perspectives in Social Movements: Political Opportunities, Mobilizing Structures, and Cultural Framings (Cambridge: Cambridge University Press, 1996) dalam ibid., hal. 11.
24 Douglas McAdam, Sidney Tarrow, dan Charles Tilly, Dynamics of Contention (Cambridge: Cambridge University Press, 2001) dalam ibid., hal. 11.
25 David Meyer dan Sidney Tarrow, The Social Movements Society (Lanham, MD: Rowman and Littlefield, 1998) dalam ibid., hal. 11.
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
Penggunaan teori-teori tasawuf, tarikat, dan gerakan sosial dalam skripsi ini bertujuan
sebagai alat bedah utama untuk dapat mengungkapkan tasawuf sebagai dasar pemikiran,
menjadi sebuah organisasi bernama tarikat, dan berkembang menjadi suatu jaringan massa
yang membentuk suatu gerakan sosial khususnya keagamaan (Islam) yang mempunyai
pengaruh dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Metode Penelitian
1. Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menemukan amalan-
amalan dalam tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren An-Nawawi dan
pengaruhnya terhadap masyarakat Muslim di bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Prosedur penelitian yang dilakukan adalah pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis
data.
1.1 Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperoleh dalam skripsi ini berasal dari studi kepustakaan dan penelitian
lapangan. Sebelum melakukan penelitian, penulis melakukan studi pustaka yang berasal dari
buku-buku dan ensiklopedia. Sesudah itu, peneliti mengambil korpus data yang berasal dari
penelitian lapangan, yaitu observasi dan wawancara. Penulis melakukan observasi di Pondok
Pesantren An-Nawawi dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan di Pondok Pesantren
An-Nawawi. Selanjutnya peneliti menggunakan teknik wawancara untuk mendapatkan
keterangan dari narasumber dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terstruktur.
Dalam teknik wawancara tersebut, penulis melakukan wawancara dengan narasumber yang
berhubungan langsung dan mempunyai otoritas dalam tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
di Pondok Pesantren An-Nawawi. Pelaksanaan penelitian lapangan ini berlangsung pada
bulan Maret, April, Mei 2012, dan Agustus 2013.
1.2 Teknik Pengolahan Data
Korpus data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan penelitian lapangan
dikumpulkan dan diolah menjadi hasil penelitian.
1.3 Teknik Analisis Data
Hasil dari penelitian dianalisis apakah mempunyai korelasi dengan data kepustakaan
ataukah tidak. Praktik tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren An-
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
Nawawi sesuai dengan ajaran yang berada pada data pustaka atau tidak, dan pengaruh tarikat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren An-Nawawi terhadap masyarakat
Muslim di sekitarnya.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian mengenai tarikat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Penelitian yang dilakukan di Pondok Pesantren An-Nawawi
menunjukkan bahwa tarikat mempunyai pengaruh terhadap masyarakat Muslim yang
berada di sekitarnya.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan-sumbangan
sebagai berikut:
1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang tarikat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren An-Nawawi beserta amalan-amalannya.
2. Memberikan penjelasan tentang pelaksanaan tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di
Pondok Pesantren An-Nawawi.
3. Memberi penjelasan kepada masyarakat tentang pengaruh tarikat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Hasil Penelitian
Sejarah panjang perkembangan tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok
Pesantren An-Nawawi Purworejo tentunya mempunyai penganut yang tersebar bukan hanya
di wilayah Kabupaten Purworejo, tetapi di luar Kabupaten Purworejo. Dalam sub bab ini
dijelaskan tentang demografi penganut tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Karena
keterbatasan data yang diperoleh, maka demografi penganut tarikat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren An-Nawawi hanya berdasarkan tiga kategori. Ketiga
kategori tersebut yaitu: kategori usia, kategori jenis kelamin, dan kategori domisili.
Kategori yang pertama merupakan kategori usia, yang bertujuan untuk mengetahui
persebaran penganut tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah berdasarkan usia. Dalam kategori
usia ini dibagi menjadi empat sub kategori. Pengkategorian ini merujuk pada definisi usia
menurut Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam Data
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 2007-2011.26 Keempat kategori
tersebut yaitu:
a. Anak-anak dan Remaja
Penganut tarikat yang masuk ke dalam sub kategori ini memiliki rentang usia 0-18
tahun.
b. Dewasa
Penganut tarikat yang masuk ke dalam sub kategori ini memiliki rentang usia 19-44
tahun.
c. Dewasa Pra-Lansia
Penganut tarikat yang masuk ke dalam sub kategori ini memiliki rentang usia 45-59
tahun.
d. Lansia
Anggota tarikat yang masuk ke dalam sub kategori ini memiliki usia 60 tahun ke atas.
Kategori yang kedua merupakan kategori jenis kelamin, yang bertujuan untuk mengetahui
proporsi penganut tarikat antara laki-laki dan perempuan. Kategori yang terakhir merupakan
kategori domisili, yang bertujuan untuk mengetahui bahwa penganut tarikat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren An-Nawawi telah berkembang ke daerah luar
Kabupaten Purworejo. Dalam kategori domisili dibagi menjadi dua sub kategori, yaitu yang
berasal dari Purworejo dan luar Purworejo.
Data yang diamati merupakan data dari bulan Juni 2008 sampai dengan Mei 2011.
Data diambil dari bulan Juni 2008, karena merujuk pada buku Pendaftaran Bai’at Tarikat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren An-Nawawi Purworejo yang
pencatatannya dimulai dari Juni 2008. Pengamatan ini dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
a. Periode I, yaitu dari bulan Juni 2008-Mei 2009
b. Periode II, yaitu dari bulan Juni 2009-Mei 2010
c. Periode III, yaitu dari bulan Juni 2010-Mei 2011
Pembagian periode seperti ini dilakukan, karena ketersediaan data yang hanya tercatat mulai
Juni 2008 hingga Mei 2011 dan penulis ingin melakukan analisis tahunan, sehingga untuk
setiap periode, rentang waktunya selama setahun.
26 Lihat Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Data Penduduk Sasaran
Program Pembangunan Kesehatan 2007-2011. (Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2009), hal. 6 dan lampiran 2 tabel 2.1.
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
Tabel 3. Demografi Peserta Bai’at
Kategori
Kategori Usia Periode I Periode II Periode III
Anak-anak dan remaja 1 (0%) 1 (0%) 2 (0%)
Dewasa 74 (16%) 66 (22%) 120 (30%)
Pra-Lansia 122 (27%) 95 (32%) 148 (37%)
Lansia 65 (15%) 79 (26%) 90 (23%)
Tanpa keterangan 192 (42%) 60 (20%) 38 (10%)
Jumlah 454 301 398
Kategori Jenis Kelamin Periode I Periode II Periode III
Laki-laki 160 (35%) 121 (40%) 175 (44%)
Perempuan 292 (64%) 180 (60%) 223 (56%)
Tanpa keterangan 2 (1%) 0 (0%) 0 (0%)
Jumlah 454 301 398
Kategori Domisili Periode I Periode II Periode III
Purworejo 301 (66%) 189 (63%) 213 (54%)
Luar Purworejo 153 (34%) 112 (375) 185 (46%)
Tanpa keterangan 0 (0%) 0 (0%) 0 (0%)
Jumlah 454 301 398
Selain menunjukkan demografi ba’iat, penulis juga ingin menunjukkan demografi
peserta khalwat. Hal ini bertujuan untuk dapat mengetahui demografi penganut tarikat yang
mempunyai tingkatan (maqȃmât) yang sudah tinggi dalam tarikat. Kategori yang digunakan,
sama dengan pengkategorian data peserta ba’iat, dan data yang diambil berdasarkan Buku
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
Kenang-kenangan Peserta Khalwat. Penulis mengambil dari buku tahun 2008 dan 2009
karena mempunyai ketiga kategori tersebut.
Tabel 4. Demografi Peserta Khalwat
Kategori
Kategori Usia Tahun 2008 Tahun 2009
Anak-anak dan remaja 0 (0%) 0 (0%)
Dewasa 15 (3%) 27 (5%)
Pra-Lansia 141 (32%) 151 (30%)
Lansia 286 (65%) 323 (64%)
Tanpa keterangan 1 (0%) 5 (1%)
Jumlah 443 506
Kategori Jenis Kelamin Tahun 2008 Tahun 2009
Laki-laki 173 (39%) 171 (34%)
Perempuan 270 (61%) 335 (66%)
Tanpa keterangan 0 (0%) 0 (0%)
Jumlah 443 506
Kategori Domisili Tahun 2008 Tahun 2009
Purworejo 200 (45%) 228 (45%)
Luar Purworejo 243 (55%) 278 (55%)
Tanpa keterangan 0 (0%) 0 (0%)
Jumlah 443 506
Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa penganut tarikat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren An-Nawawi sebagian besar merupakan kelompok
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
pralansia. Hasil ini mirip dengan penelitian Siti Rohmah27 dan Ahmad Syafi’i Mufid28,
keduanya juga mengungkapkan bahwa para penganut tarikat rata-rata sudah usia lanjut. Hal
yang unik terlihat jika membandingkan antara rata-rata usia yang baru pertama menganut
tarikat (bai’at) dengan mereka yang melaksanakan khalwat. Rata-rata usia peserta khalwat
memang lebih tua daripada peserta bai’at, padahal khalwat merupakan ibadah yang dapat
dikatakan berat untuk mereka yang berusia lanjut. Hal ini selaras dengan penjelasan Harun
Nasution, bahwa jalan yang harus ditempuh seorang sufi tidaklah mudah, namun sulit dan
penuh dengan rintangan. Untuk dapat berpindah dari satu tingkatan ke tingkatan selanjutnya
membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh dan waktu yang tidaklah singkat. Terkadang
seorang sufi harus tinggal bertahun-tahun pada satu tingkatan.29 Tidak mengherankan jika
untuk dapat mencapai tingkatan tertinggi, seorang sufi sampai pada usia lanjut, bahkan
menurut pengakuan panitia khalwat, pada tahun 2009 sampai ada peserta yang meninggal
dunia pada saat menjalankan khalwat.
Zamakhsyari Dhofier dalam penelitiannya di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
berkesimpulan bahwa sebagian besar penganut tarikat dewasa ini adalah orang-orang yang
sudah lanjut usia yang tidak lagi didorong oleh keinginan mengejar kehidupan duniawi
sebagai dasar utama untuk memperoleh kebahagiaan. Setelah menyadari bahwa akhir
hidupnya sudah semakin dekat, mereka merasakan bahwa kebutuhan spiritual untuk
mendekati Tuhan merupakan tuntutan hidupnya yang paling utama.30 Selain itu, para kiai
setuju jika asketisme dan praktik-praktik zikir sebaiknya dilakukan oleh orang yang sudah
lanjut usia. Pada umumnya para kiai menganjurkan anak-anak muda agar tidak terlibat
dengan organisasi tarikat, sedangkan orang yang sudah hampir menginjak umur lima
puluhan, terutama yang telah mulai berkurang keinginannya untuk mengejar kepentingan-
kepentingan duniawi, dianjurkan untuk memasuki organisasi tarikat.31 Hal inilah yang
sepertinya juga terjadi di Pondok Pesantren An-Nawawi.
Masuk kepada kategori kedua, data membuktikan bahwa penganut tarikat di Pondok
Pesantren An-Nawawi didominasi oleh perempuan, khususnya perempuan lanjut usia. Tidak
diketahui secara pasti mengapa jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki
27 Lihat Siti Rohmah, Tarikat Tijaniyah di Desa Mertapadakulon, Cirebon (Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, 1989), hal. 71. 28 Lihat Ahmad Syafi’i Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat; Kebangkitan Agama di Jawa (Jakarta:
Yayasan Obor, 2006), hal. 140, 189. 29 Nasution, Falsafat, hal. 63. 30 Dhofier, op. cit., hal. 217. 31 Ibid., hal. 230.
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
berdasarkan data tersebut. Perlu penelitian lebih lanjut untuk dapat mengetahuinya, apakah
jumlah penduduk perempuan lebih banyak atau faktor lainnya. Selain dari ketiga kategori
tersebut, penulis juga menambahkan bahwa sebagian besar dari penganut tarikat bekerja
sebagai petani. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena tarikat di pedesaan, rata-rata
pengikutnya sebagai petani, seperti juga yang terjadi di Desa Kajen, Pati32 dan Desa
Mertapadakulon, Cirebon33.
Kategori terakhir yang diambil dari dua tabel tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa penganut tarikat di Pondok Pesantren An-Nawawi tidak hanya berasal dari Kabupaten
Purworejo saja, melainkan dari luar daerah, uniknya para peserta khalwat lebih banyak
berasal dari luar Purworejo. Tidak mengherankan jika bercermin dari sejarah perkembangan
tarikat di pesantren tersebut sejak tahun 1870 sampai saat ini telah berkembang secara luas.
Menurut Kiai Mustaqim, setiap kecamatan di Purworejo mempunyai penganut tarikat kurang
lebih seribu orang, jika di Kabupaten Purworejo terdapat enam belas kecamatan, berarti
penganut tarikat di kabupaten ini sekitar enam belas ribu orang.34 Dari hasil analisis kategori-
kategori tersebut, dapat dipastikan bahwa tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok
Pesantren An-Nawawi mempunyai pengaruh yang besar kepada masyarakat, khususnya
masyarakat Muslim baik di daerah Kabupaten Purworejo maupun dari luar daerah.
Pembahasan
Tarikat seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya merupakan suatu tindakan
yang semata-mata dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan melakukan
berbagai macam amalan sesuai yang telah diajarkan oleh pemimpinnya (mursyid) khususnya
dalam penelitian ini yaitu tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Data pada sebelumnya telah
menunjukkan bahwa penganut tarikat yang berada di Pondok Pesantren An-Nawawi begitu
besar dan mungkin menurut pengamatan penulis dapat dikatan sebagai tarikat terbesar di
Kabupaten Purworejo.
Dari fenomena tersebut, tarikat berkembang menjadi sebuah gerakan sosial
keagamaan (Islam) yang mempunyai pengaruh di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan
32 Lihat Mufid., op. cit, hal. 191. 33 Lihat Siti Rohmah, op. cit., hal. 71. 34 Kiai Mustaqim (45 tahun) adalah badal di Dusun Brengkelan, Kecamatan Purworejo. Di dusun ini, kegiatan
tarikat aktif dilakukan pada setiap malam Jumat setelah shalȃt Isya untuk melaksanakan khataman khwajagan, dan setiap bulannya juga diadakan sewelasan. Wawancara ini dilakukan di kediamannya (Jl. Pramuka, Brengkelan, Purworejo), pada 23 Maret 2012 (pukul 13.00-14.00 WIB).
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
politik. Pada pembahasan ini menjelaskan secara garis besar pengaruh tarikat sebagai sebuah
gerakan sosial Islam yang penulis mulai dari peran dan pengaruh yang ditimbulkan oleh
mursyid tarikat yaitu K.H. Achmad Chalwani dengan media Pondok Pesantren An-Nawawi
sebagai media dan pusat pengembagan tarikat, kemudian berkembang menjadi sebuah
organisasi formal tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Kabupaten Purworejo (Organisasi
Tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Kabupaten Purworejo), dan pada akhirnya mempunyai
pengaruh terhadap masyarakat di sekitar pondok pesantren maupun di Kabupaten Purworejo.
Kesimpulan
Tarikat Qadriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren An-Nawawi adalah salah
satu dari anggota federasi Jam’iyyah Alhi ath-Tharîqah al-Mu’tabarah an-Nahdhiyyah
(Jatman) yang berafiliasi ke Nahdhatul Ulama. Hal ini membuktikan bahwa tarikat yang
berada di lokasi tersebut menjunjung tinggi syari’ah sebagai pondasi utama dalam
mengembangkan tarikat. Oleh karena itu, dapat dikatakan tidak menyimpang dari ajaran
Islam, sesuai dengan tujuan dari federasi tersebut.
Kegiatan tarikat di Pondok Pesantren An-Nawawi mempunyai kegiatan atau amalan
yang rutin dilakukan oleh para penganutnya. Amalan yang mereka lakukan setiap hari, yaitu
setelah selesai ibadah shalȃt, kemudian amalan mingguan juga mereka lakukan, yang
dinamakan khataman khwajagan, amalan bulanan dengan membaca manâqib, dan amalan
tahunan berupa ẖaul dan khalwat. Semua itu bertujuan untuk mendekatkan diri dengan
Tuhan.
Para penganut tarikat di lokasi tersebut sebagian besar adalah lansia, baik laki-laki,
maupun perempuan, dan rata-rata bermata pencaharian sebagai petani. Tarikat di lokasi ini
dapat digolongkan menjadi tarikat pedesaan, karena sebagian besar penganutnya berasal dari
masyarakat desa dan bermata pencaharian sebagai petani. Di sisi lain, para santri Pondok
Pesantren An-Nawawi sangat jarang yang sudah menganut tarikat ini. Selain karena tarikat
tidak diajarkan dalam kurikulum pesantren, mereka juga beralasan bahwa belum siap dengan
amalan-amalan yang harus dilakukan setiap harinya. Dalam pondok pesantren tersebut, para
santri diajarkan ilmu syari’ah dahulu hingga sempurna sebelum masuk tarikat, sehingga
santri yang sudah sangat senior dan hampir meninggalkan pondok pesantrenlah yang
mendapat inisiasi tarikat, dengan tujuan agar dapat mengembangkan tarikat setelah keluar
dari pondok pesantren.
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
Di era sekarang ini, masyarakat cenderung jarang untuk tertarik dalam sebuah
organisasi tarikat, karena sebagian penganut tarikat adalah mereka yang sudah lanjut usia,
dan tidak berminat lagi terhadap kehidupan dunia. Namun, tarikat tidak sebatas hanya itu
saja, ternyata pengaruh yang ditimbulkan dari organisasi ini dapat dikatakan sangat
signifikan. Dengan jumlah penganut yang banyak, dan kepatuhan yang luar biasa terhadap
pemimpinnya (mursyid), tarikat menjadi “kekuatan” tersendiri dalam masyarakat.
Dari sisi lain, tarikat bukan saja sebuah ajaran agama yang hanya berfungsi spiritual,
namun tarikat adalah sebuah gerakan sosial yang terformalisasikan dengan segala kegiatan
yang ada. Hal ini tentunya menimbulkan peran baru kepada masyarakat. Dengan jaringan
yang kuat dan telah mapan dari segi usia, tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok
Pesantren An-Nawawi mempunyai peran dan pengaruh yang besar.
Pengaruh yang sangat besar ditunjukkan dalam ranah politik, dengan tidak bermaksud
mengesampingkan pengaruh di ranah lainnya. Tarikat menjadi sebuah “gudang suara” yang
sangat diperlukan dan diperhitungkan pada saat pemilihan umum, terutama untuk kepala
daerah. Tarikat menjadi seolah-olah superior pada saat pemilihan kepala daerah, namun
menjadi nampak seperti kerumunan para lansia jika dalam kehidupan kesehariannya.
Tidak diragukan lagi, bahwa pengaruh dari pemimpin tarikat (mursyid) yang sangat
dihormati dan dijunjung tinggi oleh para pengikutnya, khususnya di Pondok Pesantren An-
Nawawi, yaitu K.H. Achmad Chalwani sangatlah besar. Ia adalah seorang pemimpin tarikat,
pemimpin pesantren, dan politisi sebuah partai. Hal ini menjadi menarik jika di kemudian
hari, organisasi tarikat menjadi sebuah organisasi berbasis massa yang besar, tidak hanya
kaum lansia, namun juga para pemuda, untuk dapat bersama-sama membangun bangsa ini.
Tidak hanya untuk menjadi objek suatu kepentingan pragmatis semata.
Dalam penelitian ini, penulis menemukan tentang pemikiran tasawuf K.H. Nawawi
yang ternyata berbeda dari teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli. Dia berpandangan
bahwa ilmu tasawuf berasal dari ilmu tarikat, karena tarikat adalah ilmu yang diwahyukan
Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, sedangkan tasawuf adalah ilmu yang dibawa oleh
Junaid al-Baghdadi. Selain itu, penulis menemukan bahwa penganut tarikat di Pondok
Pesantren An-Nawawi sebagian besar telah berusia lanjut. Dalam penelitian ini juga
ditemukan bahwa pihak-pihak yang menentang perkembangan tarikat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren An-Nawawi di wilayah Kabupaten Purworejo dan
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
sekitarnya sangatlah minim, karena budaya masyarakatnya yang cenderung homogen dan
sebagian besar menganut faham Islam tradisional.
Saran
Kendala yang penulis hadapi dalam penelitian ini, tidak dapat meneliti karya-karya
K.H. Nawawi khususnya di bidang tasawuf dan tarikat secara keseluruhan, karena karya-
karya tersebut sudah sangat lama dan tidak terdapat di perpustakaan pondok pesantren. Jika
di waktu mendatang akan ada lagi penelitian tentang tarikat di Pondok Pesantren An-
Nawawi, alangkah lebih bagus jika dapat meneliti karya-karya K.H. Nawawi tersebut, agar
penelitian lebih komprehensif.
Sangat menarik memang jika berbicara tentang tarikat, baik dari segi intelektual,
sejarah, maupun pengaruhnya. Tarikat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Pondok Pesantren
An-Nawawi adalah salah satu organisasi tarikat yang besar di Jawa Tengah bagian selatan.
Alangkah baiknya jika di waktu mendatang, dapat dilakukan suatu penelitian kembali tentang
jaringan ulama tarikat yang ada di wilayah ini, dan tentunya dengan pengaruh yang sangat
besar bagi masyarakat. Tidak hanya masyarakat Muslim saja, namun semua golongan
masyarakat. Selanjutnya, semoga akan bermunculan penganut-penganut tarikat dari kaum
muda, agar keilmuan dan tradisi tarikat tidak usang dimakan zaman. Para santri diberi waktu
untuk dapat lebih mendalami tarikat dan inisiasi tarikat dimasukkan dalam kurikulum
pesantren. Islam Indonesia adalah Islam bercorak sufistik, jika tidak ada penerus yang
melanjutkan tradisi keilmuan ini, tidak dipungkiri bahwa akar sejarah keislaman Indonesia
hanya dapat dinikmati melalui buku dan cerita.
Menarik jika menemukan suatu pertanyaan yang berbunyi, “Apakah tarikat punya
masa depan?” Jika penelitian tentang tarikat terus dikembangkan dan para penganut tarikat
sudah merambah ke berbagai usia, tanpa memandang status sosial atau pun tempat tinggal
(baik di pedesaan maupun perkotaan), maka, tarikat masih punya masa depan, dan menjadi
salah satu sumber keilmuan Islam.
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik dan Sharon Shiddique, peny. Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1989.
Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara; Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat; Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Jakarta: Mizan, Cet. II, 1995.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES, Cet. VIII, 2011.
Guillot, Claude dan Henri Chambert-Loir, Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Depok: Komunitas Bambu, Cet. II, 2010.
Hamka. Tasauf; Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul Islam, Cet. VIII, 1980.
Horikoshi, Hiroko. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987. Mufid, Ahmad Syafi’i. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat; Kebangkitan Agama di Jawa.
Jakarta: Yayasan Obor, 2006. Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. II, 1980.
______Islam; Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. Jakarta: UI-Press, Cet. VI, 1986. ______., peny. Thoriqot Qodiriyyah Naqsyabandiyyah; Sejarah, Asal-usul, dan
Perkembangannya. Tasikmalaya: Institut Islam Latifah Mubarokkiyah (IAILM), 1990.
Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 2007-2011. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2009.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Terj. Tim Penerjemah Serambi. Jakarta: Serambi, Cet. II, 2009.
Rohmah, Siti. Tarikat Tijaniyah di Desa Mertapadakulon, Cirebon. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1989.
Stoddart, William, Aspect of Islamic Esoterism. Studies in Comparative Religion, Vol. 13, No. 3 & 4, Summer-Autumn, 1979.
Wiktorowicz, Quintan, peny. Gerakan Sosial Islam; Teori, Pendekatan, dan Studi Kasus. Terj. Tim Penerjemah Paramadina. Yogyakarta: Gading Publishing bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 2012.
Tarikat qadiriyah…, Lathif Purwa Atmaja, FIB UI, 2013