tari mung dhe

7
Tari Mung dhe Mung dhe merupakan salah satu seni tari yang berasal dari Desa Garu Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Kelahiran kesenian Mung Dhe terkait erat dengan ontran-ontran di Jawa Tengah pada awal abad ke-19, yakni terjadinya peperangan Diponegoro (1923-1930). Perjuangan Pangeran Diponegoro melawan bangsa kolonial di Jawa Tengah waktu itu mendapat kegagalan. Pengikut Diponegoro tercerai-berai dan tersebar di Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Setelah kalah perang, para prajurit Diponegoro terpencar , ibaratnya sebagai buronan, mereka selalu diawasi oleh Belanda. Para prajurit yang masih tersisa berupaya menyusun kekuatan. Namun upaya itu tidak berani secara terang-terangan melainkan melalui penyamaran, yaitu dengan berpura- pura menari dan mengamen keliling. Penciptaan kesenian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan prajurit Diponegoro yang tersebar di berbagai daerah. Cara seperti ini mereka tempuh untuk mengelabui Belanda yang selalu mengikuti dan mengintai ke mana sisa-sisa prajurit Diponegoro berada. Penyamaran mereka ternyata tidak diendus oleh Belanda. Belanda tidak mengetahui kalau para anggota kesenian Mung Dhe adalah prajurit yang sedang berlatih baris-berbaris dan latihan perang. Pimpinan prajurit menyamar dengan menggunakan topeng untuk menutup wajahnya sambil memainkan gerakan-gerakan lucu sebagai Penthul dan Tembem. Untuk mengumpulkan, sang ketua atau sang komandan memukul instrumen gamelan yang disebut dengan penitir dan yang menghasilkan bunyi mung, dipukul sebanyak tiga kali. Ketentuannya, mung pertama sebagai tanda persiapan, mung kedua tanda berkumpul, dan mung ketiga mulai bermain sedangkan bunyi dhe dihasilkan dari alat pengereng (pengiring) yang bernama Bendhe (kempul kecil). Kesenian ini kemudian keliling dan mengamen

Upload: apry-nur-sudi-yanto

Post on 11-Aug-2015

123 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tarian asli kabupaten nganjuk

TRANSCRIPT

Page 1: Tari Mung Dhe

Tari Mung dhe

Mung dhe merupakan salah satu seni tari yang berasal dari Desa Garu Kecamatan Baron

Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Kelahiran kesenian Mung Dhe terkait erat dengan ontran-ontran

di Jawa Tengah pada awal abad ke-19, yakni terjadinya peperangan Diponegoro (1923-1930).

Perjuangan Pangeran Diponegoro melawan bangsa kolonial di Jawa Tengah waktu itu mendapat

kegagalan. Pengikut Diponegoro tercerai-berai dan tersebar di Jawa Tengah hingga Jawa Timur.

Setelah kalah perang, para prajurit Diponegoro terpencar , ibaratnya sebagai buronan, mereka

selalu diawasi oleh Belanda. Para prajurit yang masih tersisa berupaya menyusun kekuatan. Namun

upaya itu tidak berani secara terang-terangan melainkan melalui penyamaran, yaitu dengan

berpura-pura menari dan mengamen keliling.

Penciptaan kesenian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan prajurit Diponegoro yang

tersebar di berbagai daerah. Cara seperti ini mereka tempuh untuk mengelabui Belanda yang selalu

mengikuti dan mengintai ke mana sisa-sisa prajurit Diponegoro berada. Penyamaran mereka

ternyata tidak diendus oleh Belanda. Belanda tidak mengetahui kalau para anggota kesenian Mung

Dhe adalah prajurit yang sedang berlatih baris-berbaris dan latihan perang. Pimpinan prajurit

menyamar dengan menggunakan topeng untuk menutup wajahnya sambil memainkan gerakan-

gerakan lucu sebagai Penthul dan Tembem.

Untuk mengumpulkan, sang ketua atau sang komandan memukul instrumen gamelan yang

disebut dengan penitir dan yang menghasilkan bunyi mung, dipukul sebanyak tiga kali.

Ketentuannya, mung pertama sebagai tanda persiapan, mung kedua tanda berkumpul, dan mung

ketiga mulai bermain sedangkan bunyi dhe dihasilkan dari alat pengereng (pengiring) yang bernama

Bendhe (kempul kecil). Kesenian ini kemudian keliling dan mengamen dari satu tempat ke tempat

lainnya. Tak ayal, kesenian ini kemudian menjadi tontonan rakyat yang digemari dan berkembang

dengan pesat.

Tari Mung Dhe bertemakan kepahlawanan dan cinta tanah air , heroik patriotisme, sehingga

gerakan tari di ambilkan dari gerakan keprajuritan dan bela diri (silat). Pada dasarnya, cerita tari

mung dhe menggambarkan tari prajurit yang sedang berlatih perang yang lengkap dengan orang

yang membantu dan memberi semangat kepada kedua belah pihak yang sedang latihan . Pihak

yang membantu dan memberi semangat , di sebut botoh . Botohnya ada dua ,yaitu penthul untuk

pihak yang menang dan tembem untuk pihak yang kalah.

Mung Mung Dhe Kesenian ini disebut mung dhe atau mongdhe berawal dari paduan bunyi

dua alat musik tradisional yang mengiringinya. Alat musik pengiring itu adalah penitir, semacam

Page 2: Tari Mung Dhe

kempul yang berbunyi “mung”, dan bendhe, semacam kempul yang berbunyi “dhe”. Dari

perpaduan bunyi itulah, masyarakat menyebut kesenian itu mongde. Tetapi, dari literatur yang ada,

masyarakat lebih suka menuliskannya dengan Mung Dhe. Selain kedua alat tersebut, alat musik

pengiring lainnya adalah jur semacam tambur, kempyang atau kencer, timplung, kendang, dan

stling.

Pada awalnya, kesenian ini melibatkan 14 pemain dengan peran masing-masing. Dua orang

prajurit, dua orang pembawa bendera, dua orang botoh, dan delapan orang pemain dan pengiring.

Namun, pada perkembangannya Seni Mongde tidak lagi melibatkan 14 orang, tapi hanya 12

pemain. “Pengurangan dua pemain itu disesuaikan dengan jumlah alat musik pengiring. Ketika

mengabtraksikan sebuah lakon, kesenian ini tidak memerlukan ragam gerak yang banyak. Seni

keprajuritan ini hanya memiliki delapan gerak. “Jadi, walaupun dipentaskan dalam durasi yang lama,

para pemain hanya akan melakukan gerakan tertentu saja yang diulang-ulang.

Delapan gerak itu, menggambarkan kegiatan prajurit yang sedang berlatih pedang. Ada

gerak jalan berpedang, yaitu jalan dengan pedang diputar-putar di depan dada, sementara tangan

kiri di pinggang atau malang kerik dalam istilah Jawa. Ada gerak maju muncur, yakni gerakan

seperti jalan berpedang dengan gerakan maju mundur. Gerakan berikutnya tampak lebih garang,

seperti gontokan, perangan lombo rangkep, perangan rangkep, dan perang berhadapan, dan

srampangan. Gerak gontokan menggambarkan adu kekuatan di tempat sambil saling merapatkan

bahu kanan-kiri dengan pedang. Perang lombo rangkep melukiskan gerak pedang ditepiskan pada

tanah kemudian saling serang mulai tempo lambat hingga kian cepat (lombo rangkep).

Gerak perang rangkep mempertontonkan gerak prajurit yang saling berhadapan untuk adu

kekuatan pedang sambil saling serang maju-mundur. Gerak perang berhadap menunjukkan prajurit

adu pedang atas-bawah secara cepat, lalu pedang ditepiskan pada tanah diadu. Dan gerak

srampangan melukiskan penari saling menyerang dengan melemparkan pedang pada kaki lawan

secara bergantian dan saling menangkis. Tangkisan yang pertama di atas kepala dan yang kedua di

depan dada. Diantara semua gerak itu, ada gerak yang tak pernah ditinggalkan, yaitu kirapan.

Kirapan adalah gerak jalan berbaris sambail diiringi musik Mongde. Gerak ini menggambarkan

kebersamaan. Prajurit yang hendak menuju atau sedang perang harus dalam satu barisan, tidak

boleh cerai-berai.

Penthul & Tembem Hal unik pada kesenian Mongde diantaranya terletak pada tata rias

wajah dan busana para pemainnya. Tata rias itu menggambarkan seorang prajurit bangsawan yang

gagah. Kegagahan itu dibentuk dengan penambahan atau mempertebal bagian tertentu pada wajah,

Page 3: Tari Mung Dhe

seperti alis mata, kumis, godhek dan jawas. Tetapi untuk peran botoh yaitu Penthul memakai topeng

warna putih, sedangkan Tembem menggunakan topeng warna hitam,” lanjutnya.

Tata busana para pemain, pada dasarnya sama menggunakan busana seorang prajurit.

Bedanya, pada masing-masing peran. Warna kostum banyak didominasi oleh perpaduan warna

hitam, merah, dan putih. Namun, pada saat ini, kostum yang dipakai para pemain sudah banyak

mengalami perubahan. Busana asli seorang prajurit, misalnya, adalah irah-irahan merah agak tinggi,

samping, kace berwarna merah, baju putih, memakai klat bahu, keris selendang merah, stagen

hitan, epek timang, berkain kuning, jarit parang putih, dan celana panji hitam. Sekarang, prajurit

memakai blangkon hitam bervariasi kuning keemasan dengan diikat udheng gilig (merah-putih),

kace merah, selendang merah, baju putih, memakai keris, stagen hitam, sampur merah dan putih,

jarit parang kuning dan celana panji hitam.

Busana pembawa bendera juga demikian. Busana aslinya memakai irah-irah merah agak

pendek dengan variasi kuning keemasan, sumping, kace berwarna merah, baju putih, memakai klat

bahu, selempang merah, stagen hitam, epek hitam, kain kuning, jarit parang putih dan celana

panjang putih. Namun kini, busananya sama dengan busana baru prajurit. Bedanya, tidak memakai

sampur merah dan putih.

Busana pembawa bendera seperti ini sama dengan busana baru para pengiring. Padahal,

busana asli pengiring memakai udheng cadhung hitam yang diikat udheng gilig merah putih, kace

berwarna merah, baju putih, keris, selempang merah, stagen hitam, epek timang, kain kuning, jarit

parang putih, dan celana panji hitam.

Busana pemeran botoh, yaitu Penthul dan Tembem, lebih kompleks lagi. Busana asli

pemeran Penthul memakai udheng cadhung hitam dengan diikat udheng gilig merah putih, kace

merah, sampur merah dikalungkan pada leher, baju lengan panjang putih, keris, stagen hitam, epek

timang, kain kuning, jarit parang putih dan celana panjang putih. Nyaris sama dengan busana asli

Tembem kecuali topngnya hitam dan dan tidak memakai keris, serta celana panjangnya berwarna

hitam.

Busana asli itu kini berubah menjadi seperti busana baru pembawa bendera. Hanya, busana

Penthul ada tambahan topeng warna putih dan sampur putih yang dikalungkan pada leher.

Sementara Tembem memakai blangkon ikan kepala warna merah putih, topeng hitam, sampur hijau

dikalungkan pada leher, baju lengan panjang hitam, dan celana kombor hitam.

Begitu detilnya kostum dan tata rias pemain kesenian Mongde, karena jenis kostum itu

menggambarkan nilai-nilai luhur. Bagi mereka yang berperan kalah memakai kace hitam, sampur

hijau, dan topeng hitam. Sementara pihak yang menang memakai maca merah, sampur putih, dan

Page 4: Tari Mung Dhe

topeng putih. Hal tersebut mengisyaratkan, kejahatan yang dilambangkan dengan hitam akan kalah

pada akhirnya melawan kebaikan dengan lambang putih.

Sempat Tenggelam

Menelusuri perkembangan seni khas Nganjuk ini tak beda dengan kesenian tradisi di

berbagai daerah lainnya. Untuk waktu yang lama, kesenian ini pernah tenggelam dan kalah pamor

dengan kesenian populer. Beruntung pada 1982 dilakukan penggalian kembali dari daerah asalnya.

Setelah ditemukan, oleh penggiat seni di SDN Garu II, Kecamatan Baron, kesenian ini dipelajari dan

dikembangkan. Dari SDN inilah Seni Mongde mulai dikenal oleh masyarakat luas di Kabupaten

Nganjuk. Seiring waktu, pada tahun 1985, atas prakarsa Bupati Ngajuk (waktu itu dijabat Drs. Ibnu

Salam), dikumpulkanlah para tokoh seni tari Nganjuk dan seniman dari Yogyakarta. Mereka diminta

untuk mengadakan pembaruan seperlunya tanpa mengurangi keasliannya. Akhirnya ditemukanlah

gerak tari yang enak ditonton dan sekarang digemari dan sudah dikenal masyarakat luas.

Page 5: Tari Mung Dhe