tari mung dhe
DESCRIPTION
tarian asli kabupaten nganjukTRANSCRIPT
Tari Mung dhe
Mung dhe merupakan salah satu seni tari yang berasal dari Desa Garu Kecamatan Baron
Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Kelahiran kesenian Mung Dhe terkait erat dengan ontran-ontran
di Jawa Tengah pada awal abad ke-19, yakni terjadinya peperangan Diponegoro (1923-1930).
Perjuangan Pangeran Diponegoro melawan bangsa kolonial di Jawa Tengah waktu itu mendapat
kegagalan. Pengikut Diponegoro tercerai-berai dan tersebar di Jawa Tengah hingga Jawa Timur.
Setelah kalah perang, para prajurit Diponegoro terpencar , ibaratnya sebagai buronan, mereka
selalu diawasi oleh Belanda. Para prajurit yang masih tersisa berupaya menyusun kekuatan. Namun
upaya itu tidak berani secara terang-terangan melainkan melalui penyamaran, yaitu dengan
berpura-pura menari dan mengamen keliling.
Penciptaan kesenian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan prajurit Diponegoro yang
tersebar di berbagai daerah. Cara seperti ini mereka tempuh untuk mengelabui Belanda yang selalu
mengikuti dan mengintai ke mana sisa-sisa prajurit Diponegoro berada. Penyamaran mereka
ternyata tidak diendus oleh Belanda. Belanda tidak mengetahui kalau para anggota kesenian Mung
Dhe adalah prajurit yang sedang berlatih baris-berbaris dan latihan perang. Pimpinan prajurit
menyamar dengan menggunakan topeng untuk menutup wajahnya sambil memainkan gerakan-
gerakan lucu sebagai Penthul dan Tembem.
Untuk mengumpulkan, sang ketua atau sang komandan memukul instrumen gamelan yang
disebut dengan penitir dan yang menghasilkan bunyi mung, dipukul sebanyak tiga kali.
Ketentuannya, mung pertama sebagai tanda persiapan, mung kedua tanda berkumpul, dan mung
ketiga mulai bermain sedangkan bunyi dhe dihasilkan dari alat pengereng (pengiring) yang bernama
Bendhe (kempul kecil). Kesenian ini kemudian keliling dan mengamen dari satu tempat ke tempat
lainnya. Tak ayal, kesenian ini kemudian menjadi tontonan rakyat yang digemari dan berkembang
dengan pesat.
Tari Mung Dhe bertemakan kepahlawanan dan cinta tanah air , heroik patriotisme, sehingga
gerakan tari di ambilkan dari gerakan keprajuritan dan bela diri (silat). Pada dasarnya, cerita tari
mung dhe menggambarkan tari prajurit yang sedang berlatih perang yang lengkap dengan orang
yang membantu dan memberi semangat kepada kedua belah pihak yang sedang latihan . Pihak
yang membantu dan memberi semangat , di sebut botoh . Botohnya ada dua ,yaitu penthul untuk
pihak yang menang dan tembem untuk pihak yang kalah.
Mung Mung Dhe Kesenian ini disebut mung dhe atau mongdhe berawal dari paduan bunyi
dua alat musik tradisional yang mengiringinya. Alat musik pengiring itu adalah penitir, semacam
kempul yang berbunyi “mung”, dan bendhe, semacam kempul yang berbunyi “dhe”. Dari
perpaduan bunyi itulah, masyarakat menyebut kesenian itu mongde. Tetapi, dari literatur yang ada,
masyarakat lebih suka menuliskannya dengan Mung Dhe. Selain kedua alat tersebut, alat musik
pengiring lainnya adalah jur semacam tambur, kempyang atau kencer, timplung, kendang, dan
stling.
Pada awalnya, kesenian ini melibatkan 14 pemain dengan peran masing-masing. Dua orang
prajurit, dua orang pembawa bendera, dua orang botoh, dan delapan orang pemain dan pengiring.
Namun, pada perkembangannya Seni Mongde tidak lagi melibatkan 14 orang, tapi hanya 12
pemain. “Pengurangan dua pemain itu disesuaikan dengan jumlah alat musik pengiring. Ketika
mengabtraksikan sebuah lakon, kesenian ini tidak memerlukan ragam gerak yang banyak. Seni
keprajuritan ini hanya memiliki delapan gerak. “Jadi, walaupun dipentaskan dalam durasi yang lama,
para pemain hanya akan melakukan gerakan tertentu saja yang diulang-ulang.
Delapan gerak itu, menggambarkan kegiatan prajurit yang sedang berlatih pedang. Ada
gerak jalan berpedang, yaitu jalan dengan pedang diputar-putar di depan dada, sementara tangan
kiri di pinggang atau malang kerik dalam istilah Jawa. Ada gerak maju muncur, yakni gerakan
seperti jalan berpedang dengan gerakan maju mundur. Gerakan berikutnya tampak lebih garang,
seperti gontokan, perangan lombo rangkep, perangan rangkep, dan perang berhadapan, dan
srampangan. Gerak gontokan menggambarkan adu kekuatan di tempat sambil saling merapatkan
bahu kanan-kiri dengan pedang. Perang lombo rangkep melukiskan gerak pedang ditepiskan pada
tanah kemudian saling serang mulai tempo lambat hingga kian cepat (lombo rangkep).
Gerak perang rangkep mempertontonkan gerak prajurit yang saling berhadapan untuk adu
kekuatan pedang sambil saling serang maju-mundur. Gerak perang berhadap menunjukkan prajurit
adu pedang atas-bawah secara cepat, lalu pedang ditepiskan pada tanah diadu. Dan gerak
srampangan melukiskan penari saling menyerang dengan melemparkan pedang pada kaki lawan
secara bergantian dan saling menangkis. Tangkisan yang pertama di atas kepala dan yang kedua di
depan dada. Diantara semua gerak itu, ada gerak yang tak pernah ditinggalkan, yaitu kirapan.
Kirapan adalah gerak jalan berbaris sambail diiringi musik Mongde. Gerak ini menggambarkan
kebersamaan. Prajurit yang hendak menuju atau sedang perang harus dalam satu barisan, tidak
boleh cerai-berai.
Penthul & Tembem Hal unik pada kesenian Mongde diantaranya terletak pada tata rias
wajah dan busana para pemainnya. Tata rias itu menggambarkan seorang prajurit bangsawan yang
gagah. Kegagahan itu dibentuk dengan penambahan atau mempertebal bagian tertentu pada wajah,
seperti alis mata, kumis, godhek dan jawas. Tetapi untuk peran botoh yaitu Penthul memakai topeng
warna putih, sedangkan Tembem menggunakan topeng warna hitam,” lanjutnya.
Tata busana para pemain, pada dasarnya sama menggunakan busana seorang prajurit.
Bedanya, pada masing-masing peran. Warna kostum banyak didominasi oleh perpaduan warna
hitam, merah, dan putih. Namun, pada saat ini, kostum yang dipakai para pemain sudah banyak
mengalami perubahan. Busana asli seorang prajurit, misalnya, adalah irah-irahan merah agak tinggi,
samping, kace berwarna merah, baju putih, memakai klat bahu, keris selendang merah, stagen
hitan, epek timang, berkain kuning, jarit parang putih, dan celana panji hitam. Sekarang, prajurit
memakai blangkon hitam bervariasi kuning keemasan dengan diikat udheng gilig (merah-putih),
kace merah, selendang merah, baju putih, memakai keris, stagen hitam, sampur merah dan putih,
jarit parang kuning dan celana panji hitam.
Busana pembawa bendera juga demikian. Busana aslinya memakai irah-irah merah agak
pendek dengan variasi kuning keemasan, sumping, kace berwarna merah, baju putih, memakai klat
bahu, selempang merah, stagen hitam, epek hitam, kain kuning, jarit parang putih dan celana
panjang putih. Namun kini, busananya sama dengan busana baru prajurit. Bedanya, tidak memakai
sampur merah dan putih.
Busana pembawa bendera seperti ini sama dengan busana baru para pengiring. Padahal,
busana asli pengiring memakai udheng cadhung hitam yang diikat udheng gilig merah putih, kace
berwarna merah, baju putih, keris, selempang merah, stagen hitam, epek timang, kain kuning, jarit
parang putih, dan celana panji hitam.
Busana pemeran botoh, yaitu Penthul dan Tembem, lebih kompleks lagi. Busana asli
pemeran Penthul memakai udheng cadhung hitam dengan diikat udheng gilig merah putih, kace
merah, sampur merah dikalungkan pada leher, baju lengan panjang putih, keris, stagen hitam, epek
timang, kain kuning, jarit parang putih dan celana panjang putih. Nyaris sama dengan busana asli
Tembem kecuali topngnya hitam dan dan tidak memakai keris, serta celana panjangnya berwarna
hitam.
Busana asli itu kini berubah menjadi seperti busana baru pembawa bendera. Hanya, busana
Penthul ada tambahan topeng warna putih dan sampur putih yang dikalungkan pada leher.
Sementara Tembem memakai blangkon ikan kepala warna merah putih, topeng hitam, sampur hijau
dikalungkan pada leher, baju lengan panjang hitam, dan celana kombor hitam.
Begitu detilnya kostum dan tata rias pemain kesenian Mongde, karena jenis kostum itu
menggambarkan nilai-nilai luhur. Bagi mereka yang berperan kalah memakai kace hitam, sampur
hijau, dan topeng hitam. Sementara pihak yang menang memakai maca merah, sampur putih, dan
topeng putih. Hal tersebut mengisyaratkan, kejahatan yang dilambangkan dengan hitam akan kalah
pada akhirnya melawan kebaikan dengan lambang putih.
Sempat Tenggelam
Menelusuri perkembangan seni khas Nganjuk ini tak beda dengan kesenian tradisi di
berbagai daerah lainnya. Untuk waktu yang lama, kesenian ini pernah tenggelam dan kalah pamor
dengan kesenian populer. Beruntung pada 1982 dilakukan penggalian kembali dari daerah asalnya.
Setelah ditemukan, oleh penggiat seni di SDN Garu II, Kecamatan Baron, kesenian ini dipelajari dan
dikembangkan. Dari SDN inilah Seni Mongde mulai dikenal oleh masyarakat luas di Kabupaten
Nganjuk. Seiring waktu, pada tahun 1985, atas prakarsa Bupati Ngajuk (waktu itu dijabat Drs. Ibnu
Salam), dikumpulkanlah para tokoh seni tari Nganjuk dan seniman dari Yogyakarta. Mereka diminta
untuk mengadakan pembaruan seperlunya tanpa mengurangi keasliannya. Akhirnya ditemukanlah
gerak tari yang enak ditonton dan sekarang digemari dan sudah dikenal masyarakat luas.