tanggung jawab produsen dalam ...digilib.unila.ac.id/54615/3/skripsi tanpa bab pembahasan.pdfhasil...

62
TANGGUNG JAWAB PRODUSEN DALAM PENCANTUMAN LABEL PADA PRODUK MAKANAN KEMASAN (Skripsi) Oleh DHIAFAIZIAAYU SHALSABYLA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

Upload: others

Post on 31-Dec-2019

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TANGGUNG JAWAB PRODUSEN DALAM PENCANTUMAN LABEL

PADA PRODUK MAKANAN KEMASAN

(Skripsi)

Oleh

DHIAFAIZIAAYU SHALSABYLA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

i

ABSTRAK

TANGGUNG JAWAB PRODUSEN DALAM PENCANTUMAN LABEL

PADA PRODUK MAKANAN KEMASAN

OLEH

DHIAFAIZIAAYU SHALSABYLA

Peredaran produk makanan kemasan di masyarakat dalam kenyataannya masih

banyak ditemukan produk yang tidak mencantumkan label pada kemasan,

disamping itu masih ditemukan label yang pencantumannya tidak sesuai dengan

peraturan perundang-undangan, bahkan ada yang keterangannya menyesatkan

sehingga berpotensi menimbulkan kerugian bagi konsumen. Permasalahan dalam

penelitian ini adalah bagaimanakah tanggung jawab produsen dalam pencantuman

label pada produk makanan kemasan dan bagaimanakah akibat hukum bagi

produsen yang mencantumkan label pada produk makanan secara tidak benar.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative law research)

dengan menelaah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data melalui studi

pustaka dengan menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen hukum

lainnya, hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Data yang

diperoleh dianalisis secara kualitatif, kemudian dideskripsikan dalam bentuk

penjelasan dan uraian kalimat-kalimat dan ditarik kesimpulan berdasarkan temuan

hasil penelitian.

Hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa tanggungjawab produsen

dalam pencantuman label pada produk makanan kemasan terdiri dari tanggung

jawab berdasarkan unsur kesalahan/kelalaian, tanggung jawab mutlak (strict

liability), dan tanggung jawab product liability. Akibat hukum bagi produsen yang

mencantumkan label pada produk makanan kemasan secara tidak benar terdiri

dari penerapan sanksi administrasi, pembayaran ganti kerugian, dan penjatuhan

pidana penjara disertai dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak

tertentu atau pengumuman putusan hakim.

Kata Kunci : Tanggungjawab Produsen, Label, Makanan Kemasan

ii

TANGGUNG JAWAB PRODUSEN DALAM PENCANTUMAN LABEL

PADA PRODUK MAKANAN KEMASAN

Oleh

Dhiafaiziaayu Shalsabyla

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Perdata

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

iii

iv

v

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 05 Juli

1996. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara

buah hati dari pasangan Ayah Ir. Moh. Guntoro dan Ibu

Ir. Aprillia Mutia.

Penulis mengawali pendidikannya di TK Al-Kautsar pada tahun 2002,

melanjutkan ke Sekolah Dasar Al-Kautsar dan tamat pada tahun 2008,

melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 23 Bandar Lampung dan

tamat pada tahun 2011, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri

3 Bandar Lampung dan tamat pada tahun 2014.

Pada Tahun 2014 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Lampung melalui jalur Paralel dan mengambil minat bagian Hukum

Perdata. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2017 di

Desa Kalirejo Kec. Agung Timur, Kab. Lampung Tengah.

vii

MOTTO

“Tidak perlu mematikan cahaya orang lain hanya untuk

membuat dirimu bercahaya pribadi yang baik akan membuat

bercahaya dimana kamu berada”

(Habib Syech Assegaf)

“Gengsi itu tidak akan membuat orang sukses, tapi orang

sukses pasti bergengsi”

(Dhiafaiziaayu Shalsabyla)

viii

PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan hati kupersembahkan skripsiku ini kepada

Kedua orangtuaku Ayah Ir. Moh. Guntoro dan Ibu Ir. Aprillia Mutia

serta Adikku yang terkasih M. Rahall Mahsar

Almamater tercinta Universitas Lampung

ix

SANWACANA

Alhamdullillahirabil’alamain

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan berkat limpahan rahmat, taufik

serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang

berjudul “Tanggung Jawab Produsen Dalam Pencantuman Label pada

Produk Makanan Kemasan”. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi

ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak, maka

pada kesempatan ini izinkan Penulis mengucapkan penghargaan dan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum, selaku Ketua Bagian Hukum Perdata

Fakultas Hukum Universitas Lampung. Sekaligus sebagai Pembimbing I

(Satu) yang telah memberikan bimbingan, dukungan, saran dan kritik dalam

proses penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Rohaini, S.H., M.H,Ph.D, selaku Sekretaris Bagian Hukum Perdata

Fakultas Hukum Universitas Lampung

4. Ibu Siti Nurhasanah, S.H., M.H Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, dukungan, saran dan kritik dalam proses

penyelesaian skripsi ini.

x

5. Ibu Ratna Syamsiar, S.H., M.H dan Ibu Elly Nurlaili, S.H., M.H selaku Dosen

Pembahas I dan Pembahas II yang telah banyak memberikan kritik, koreksi

dan masukan yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Nurmayani, S.H., M.H, selaku Pembimbing Akademik yang telah

membantu penulisan menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas

Lampung

7. Segenap Dosen beserta seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas

Lampung yang telah membantu dan memberikan banyak ilmu pengetahuan

kepada penulis selama menyelesaiakan studi.

8. Teristimewa untuk mama dan ayah yang telah menjadi orang tua terhebat

tanpa henti memberikan kasih sayang, semangat dan do’a yang tiada henti

untuk kebahagiaan dan kesuksesanku. Terima kasih atas segalanya semoga

kelak dapat membahagiakan dan membanggakan.

9. Untuk lelaki yang kelak akan menemani hidupku menuju halal Ismail

Adinegara, S.H, yang selalu bersama memberikan semangat, motivasi,

keceriaan, selalu ada dalam penulis mencurahkan keluh kesah dalam penulisan

skripsi ini, terima kasih sudah bersabar menungguku dari awal perkuliahan

sampai selesai dan bersama kita raih sukses.

10. Adikku M. Rahall Mahsar, terimakasih sudah mendoakan dan memberikan

semangat

11. Saudara-saudaraku yang selalu memberikan semangat terimakasih sudah

memberikan dorongan utnuk selalu semangat mengerjakan skripsi.

12. Sahabat-sahabat terbaikku, Deria yanita, S.H, Citra Selvia Putri, S.T, Mutiara

Canggu, S.E., Lila Alfatria, S.H yang terlebih dahulu sudah lulus, terimakasih

xi

sudah memberikan motivasi, keceriaan, saran dan selalu ada dalam penulis

curahkan keluh kesah dalam penulisan skripsi ini.

13. Sahabat seperjuangan Tiara Indah Safitri, Regina Frederica terimakasih telah

saling memberikan semangat untuk menuliskan skripsi ini dan

kebersamaannya selama ini

14. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Lampung angkatan (Paralel) 2014

yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih telah memberikan makna

atas keberssamaan yang terjalin belajar satu sama lain.

Akhir kata, penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi

ini dan masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi

ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 12 November 2018

Penulis

Dhiafaiziaayu Shalsabyla

xii

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ................................................................................................... i

HALAMAN JUDUL ................................................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iv

PERNYATAAN ........................................................................................... v

RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... vi

MOTTO ....................................................................................................... vii

PERSEMBAHAN ........................................................................................ viii

SANWACANA ............................................................................................ ix

DAFTAR ISI ................................................................................................ xii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................... 6

C. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................... 6

D. Tujuan Penelitian......................................................................... 7

E. Kegunaan Penelitian ................................................................... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Manfaat Label .................................................... 8

B. Ketentuan Label dan Produk Makanan Kemasan ...................... 12

C. Tanggung Jawab Produsen/Pelaku Usaha ................................... 29

D. Kerangka Pikir ............................................................................ 39

xiii

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ........................................................................... 41

B. Tipe Penelitian ............................................................................ 41

C. Pendekatan Masalah ................................................................... 42

D. Sumber dan Jenis Data ............................................................... 42

E. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ............................. 43

F. Analisis Data ............................................................................... 44

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Tanggung Jawab Produsen dalam Pencantuman Label

pada Produk Makanan Kemasan ............................................... 45

B. Akibat Hukum Bagi Produsen yang Mencantumkan label

pada Produk Makanan Kemasan Secara Tidak Benar ............... 61

V. PENUTUP

A. Simpulan .......................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan

pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi setiap rakyat Indonesia. Pangan

harus senantiasa tersedia secara cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam

dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat, serta tidak bertentangan

dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Untuk mencapai semua itu,

perlu diselenggarakan suatu sistem pangan yang memberikan pelindungan, baik

bagi pihak yang memproduksi maupun yang mengonsumsi pangan.

Penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia

yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan dengan

berdasarkan pada kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan

pangan.1

Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab merupakan

salah satu tujuan penting pengaturan, pembinaan, dan pengawasan di bidang

pangan sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012

tentang Pangan. Pasal 4 huruf f yang menyatakan bahwa meningkatkan

pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pangan yang aman, bermutu, dan

bergizi bagi konsumsi masyarakat. Salah satu upaya untuk mencapai tertib

1Bagian Umum Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

2

pengaturan di bidang pangan adalah melalui pengaturan di bidang label, yang

dalam praktiknya selama ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun

1999 tentang Label dan Iklan Pangan.2

Berdasarkan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab bukan

semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat yang mengkonsumsi

pangan. Melalui pengaturan yang tepat berikut sanksi-sanksi hukum yang berat,

diharapkan setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan dapat

memperoleh perlindungan dan jaminan kepastian hukum. Persaingan dalam

perdagangan pangan diatur supaya pihak yang memproduksi pangan untuk

membuat label secara benar dan tidak menyesatkan masyarakat melalui

pencantuman label pangan yang harus memuat keterangan mengenai pangan

dengan jujur.

Pencantuman label3 harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan

diantaranya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Peraturan Pemerintah Nomor 69

Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 28

2Bagian Umum Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label

dan Iklan Pangan. 3Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Pangan, suatu label memuat

paling sedikit informasi mengenai:

a) nama produk;

b) daftar bahan yang digunakan;

c) berat bersih atau isi bersih;

d) nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor;

e) halal bagi yang dipersyaratkan;

f) tanggal dan kode produksi;

g) tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa;

h) nomor izin edar bagi Pangan Olahan;

i) dan asal usul bahan Pangan tertentu.

3

Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. Dan juga berbagai

ketentuan tentang label pangan diantaranya Peraturan Kepala Badan Pengawas

Obat dan Makanan Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Pangan Olahan,

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 13 Tahun 2016

tentang Pengawasan klaim pada Label dan Iklan Pangan Olahan, dan Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan.

Pecantuman label pada produk makanan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 96

ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bertujuan untuk

memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap

produk pangan yang dikemas sebelum membeli dan/ atau mengonsumsi pangan.

Informasi yang dimaksud yakni terkait dengan asal, keamanan, mutu, kandungan

gizi, dan keterangan lain yang diperlukan.

Tidak hanya masalah yang berhubungan dengan kesehatan saja yang perlu

diinformasikan secara benar dan tidak menyesatkan melalui label pangan, namun

perlindungan secara batiniah perlu diberikan kepada masyarakat. Jumlah terbesar

dari penduduk Indonesia yang secara khusus dan non-diskriminatif perlu

dilindungi juga melalui pengaturan halal tersebut. Bagaimanapun juga,

kepentingan agama atau kepercayaan lainnya harus tetap dilindungi melalui

tanggung jawab pihak yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan

dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan bagi keperluan tersebut.

Label memuat tulisan yang jelas, dapat mudah dibaca, teratur dan tidak berdesak-

desakan. Penggunaan latar belakang, baik berupa gambar, warna maupun desain

lainnya tidak boleh mengaburkan tulisan pada label. Pelabelan dilakukan

4

sedemikian rupa sehingga: tidak mudah lepas dari kemasan, tidak mudah luntur

atau rusak, dan terletak pada bagian kemasan pangan4 yang mudah untuk dilihat

dan dibaca. Selain itu, label yang melekat atau ditempelkan pada kemasan harus

melekat kuat sehingga jika dilepas akan merusak label kemasan aslinya.

Pencantuman pernyataan tentang manfaat pangan bagi kesehatan dalam label

hanya dapat dilakukan apabila didukung oleh fakta ilmiah yang dapat

dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.

Sesuai dengan ketentuan pendaftaran label pangan maka produsen5 sebagai orang

yang memproduksi pangan harus melaksanakan ketentuan pencantuman label ini

dan pada sisi lain Pemerintah Daerah dituntut untuk melaksanakan pembinaan

dalam rangka mendorong industri pangan olahan memenuhi persyaratan, minimal

produsen informasi label seperti nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat

bersih, alamat produsen, tanggal produksi, informasi kedaluwarsa, dan nomor izin

edar (minimal SP-IRT). Selanjutnya Produsen memberi informasi yang benar dan

tidak menyesatkan mengenai pangan yang akan dikonsumsinya, khususnya yang

disampaikan melalui label. Semakin konsumen mendapatkan banyak informasi

mengenai suatu produk, semakin ia selektif dalam menentukan keputusan

pembelian. Pada akhirnya produsen yang dapat meningkatkan daya saing dan

menjamin mutulah yang akan dipilih konsumen.

4Kemasan pangan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 Angka (35) Undang-Undang Pangan

adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus Pangan, baik yang

bersentuhan langsung dengan Pangan maupun tidak. 5Produsen sebagaimana ditetapkan dalam dalam Pasal 1 Angka (12) Peraturan Kepala BPOM

Nomor 12 Tahun 2016, adalah perorangan dan/ atau badan usaha yang membuat, mengolah,

mengubah bentuk, mengawetkan, mengemas kembali Pangan Olahan untuk diedarkan.

5

Ketentuan pangan sebagaimana diatur dalam Pasal 98 Undang-Undang Pangan

yakni label pangan berlaku bagi pangan yang telah melalui proses akhir dan siap

untuk diperdagangkan dan label tidak berlaku bagi Perdagangan Pangan yang

dibungkus di hadapan pembeli. Adapun perbuatan yang dilarang dalam

pencantuman label sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 99 dan Pasal 100

Undang-Undang Pangan yaitu :

Pasal 99

Setiap Orang dilarang menghapus, mencabut, menutup, mengganti label,

melabel kembali, dan/atau menukar tanggal, bulan, dan tahun

kedaluwarsa Pangan yang diedarkan.

Pasal 100

(1) Setiap label Pangan yang diperdagangkan wajib memuat keterangan

mengenai Pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.

(2) Setiap Orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan yang

tidak benar dan/atau menyesatkan pada label.

Produsen sebagai orang yang menyatakan dalam label bahwa pangan yang

diperdagangkan adalah sesuai dengan klaim tertentu, bertanggung jawab atas

kebenaran klaim tersebut.6 Apabila tidak mencantumkan label pada produk

makanan yang dikemasnya, maka dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur

dalam Pasal 102 Undang-Undang Pangan, yaitu :

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 97 ayat (1), Pasal 99, dan Pasal 100 ayat (2) dikenai sanksi

administratif.

(2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 97 ayat (2) wajib mengeluarkan dari dalam wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia atau memusnahkan Pangan yang diimpor.

6Lihat Pasal 101 Undang-Undang Pangan.

6

(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a) denda7;

b) penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;

c) penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;

d) ganti rugi; dan/atau

e) pencabutan izin.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan

mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian yang

dituangkan dalam bentuk Skripsi dengan judul: “Tanggung Jawab Produsen

dalam Pencantuman Label Pada Produk Makanan Kemasan”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah tanggung jawab produsen dalam pencantuman label pada

produk makanan kemasan ?

2. Bagaimanakah akibat hukum bagi produsen yang mencantumkan label pada

produk makanan secara tidak benar ?

C. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan di atas, ruang lingkup pembahasan dibatasi pada

kajian hukum perdata ekonomi khususnya mengenai tanggung jawab produsen

dalam pencantuman label pada produk makanan kemasan. Ruang lingkup bidang

ilmu adalah hukum ekonomi.

7Denda sebagaimana diatur dalam Pasal 61 Ayat (2) Huruf (e) Peraturan Pemerintah Nomor 69

Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, paling tinggi Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah).

7

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui dan memahami kewajiban dan tanggung jawab produsen dalam

pencantuman label pada produk makanan kemasan.

2. Mengetahui akibat hukum bagi produsen yang mencantumkan label pada

produk makanan secara tidak benar.

E. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis

sebagai berikut:

1. Secara teoritis, kegunaan penelitian ini adalah dalam rangka pengembangan

kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar dan acuan yang sesuai dengan

disiplin ilmu yang dimiliki, juga untuk memperluas cakrawala pandang bagi

pihak-pihak yang membutuhkan.

2. Secara praktis, menjadi bahan masukan bagi kalangan praktisi hukum,

khususnya yang bergerak dalam bidang hukum perlindungan konsumen serta

dapat bermanfaat bagi masyarakat sebagai konsumen dalam rangka

mengetahui hak-haknya yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha.

8

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Manfaat Label

1. Pengertian Label

Label merupakan suatu bagian dari sebuah produk yang membawa informasi

verbal tentang produk atau penjualnya.8 Menurut Laksana label merupakan bagian

dari suatu produk yang menyampaikan informasi mengenai produk dan penjual.

Sebuah label biasa merupakan bagian dari kemasan, atau bisa pula merupakan

etiket (tanda pengenal) yang dicantelkan pada produk.9 Label biasanya terbuat

dari kertas, laminasi kertas atau film plastic dengan atau tanpa tambahan perekat,

label dapat mencakup keseluruhan kemasan atau hanya setempat saja, dapat

dipotong dalam berbagai bentuk berbeda untuk melengkapi kontur suatu struktur

kemasan.10

Sedangkan Kotler menyatakan bahwa label adalah tampilan sederhana

pada produk atau gambar yang dirancang dengan rumit yang merupakan satu

kesatuan dengan kemasan. Label bisa hanya mencantumkan merek atau

informasi.11

Di samping itu ada beberapa macam label secara spesifik yang

mempunyai pengertian berbeda antara lain:

8 Angipora, Marinus, Dasar-Dasar Pemasaran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 192

9 Fajar Laksana, Manajemen Pemasaran Pendekatan Praktis, Yogyakarta: Graha Imu, 2008, hlm. 83.

10 Marianne Rosner Klimchuk dan Sandra A. Krasovec, Desain Kemasan Perencanaan Merek

Produk yang berhasil mulai dari Konsep sampai Penjualan, Jakarta: Erlangga, 2013, hlm. 158. 11

Philip Kotler, Manajemen Pemasaran, Jakarta: Prenhallindo, 2000. Edisi 2, hlm. 477

9

1. Label produk (product label) adalah bagian dari pengemasan sebuah produk

yang mengandung informasi mengenai produk atau penjualan produk.

2. Label merek (brand label) adalah nama merek yang diletakkan pada

pengemasan produk.

3. Label tingkat (grade label) mengidentifikasi mutu produk, label ini bisa

terdiri dari huruf, angka atau metode lainya untuk menunjukkan tingkat

kualitas dari produk itu sendiri.

4. Label diskriptif (descriptive label) mendaftar isi, menggambarkan pemakaian

dan mendaftar ciri-ciri produk yang lainya. Pemberian label (labeling)

merupakan elemen produk yang sangat penting yang patut memperoleh

perhatian seksama dengan tujuan untuk menarik para konsumen.

2. Fungsi Label

Label mempunyai fungsi yaitu:

a. Identifies (mengidentifikasi) label dapat menerangkan mengenai produk atau

merek. Sunkist yang dilekatkan pada jeruk.

b. Grade (nilai/kelas) label dapat menunjukkan nilai/kelas dari produk. Produk

buah peach kalengan diberi nilai A, B dan C menunjukkan tingkat mutu.

c. Describe (memberikan keterangan) label menunjukkan keterangan mengenai

produk siapa siapa yang membuatnya, dimana produk itu dibuat, kapan

produk itu dibuat, apa isinya, bagaimana cara penggunaannya, dan bagaimana

mengunakannya dengan aman.

10

d. Promote (mempromosikan) label mempromosikan produk melalui grafis

yang menarik. teknologi baru memungkinkan label dibungkus susutkan 360

derajat untuk membungkus wadah dengan grafis yang terang dan

mengakomodasi informasi produk yang lebih banyak pada kemasan.

Menurut Kotler, fungsi label adalah:

a. Label mingidentifikasi produk atau merek

b. Label menentukan kelas produk

c. Label menggambarkan beberapa hal mengenai produk (siapa pembuatnya,

dimana dibuat, kapan dibuat, apa isinya, bagaimana menggunakannya, dan

bagaimana menggunakan secara aman)

d. Label mempromosikan produk lewat aneka gambar yang menarik.

Pemberian label dipengaruhi oleh penetapan, yaitu:

1) Harga unit (unit princing); menyatakan harga per unit dari ukuran standar.

2) Tanggal kadaluarsa (open dating); menyatakan berapa lama produk layak

dikonsumsi.

3) Label keterangan gizi (nutritional labeling); menyatakan nilai gizi dalam

produk.12

3. Tipe-tipe Lebel

Secara umum label label dapat didefinisikan atas beberapa bagian, yaitu :

a. Brand label adalah label yang semata-mata sebagai brand. Misalnya pada

kain atau tekstil, kita dapat mencari tulisan berbunyi: “sanforized,

berkolin,tetoron”, dan sebagainya. Nama-nama tersebut digunakan oleh

12

Ibid. Philip Kotler, hlm. 478

11

semua perusahaan yang memproduksinya. Selain brand label ini,

masingmasing perusahaan juga mencantumkan merk yang dimilikinya pada

tekstil yang diproduksi.

b. Grade label adalah label yang menunjukkan tingkat kualitas tertentu dari

suatu barang. Label ini dinyatakan dengan suatu tulisan atau kata-kata.

c. Label Descriptif (Descriptive Label) adalah merupakan informasi obyektif

tentang penggunaaan, kontruksi, pemeliharaan penampilan dan cirri-ciri lain

dari produk.13

4. Tujuan Pelabelan

1. Memberi informasi tentang isi produk yang diberi label tanpa harus membuka

kemasan.

2. Berfungsi sebagai sarana komunikasi produsen kepada konsumen tentang hal-

hal yang perlu diketahui oleh konsumen tentang produk tersebut, terutama

hal-hal yang kasat mata atau tak diketahui secara fisik.

3. Memberi petunjuk yang tepat pada konsumen hingga diperoleh fungsi produk

yang optimum.

4. Sarana periklanan bagi produsen.

5. Memberi “rasa aman” bagi konsumen. Mengingat label adalah alat

penyampai informasi, sudah selayaknya informasi yang termuat pada label

adalah sebenar-benarnya dan tidak menyesatkan. Hanya saja, mengingat label

juga berfungsi sebagai iklan, disamping sudah menjadi sifat manusia untuk

mudah jatuh dalam kekhilafan dengan berbuat “kecurangan” baik yang

13

Angipora, marinus, Loc cit.

12

disengaja maupun yang tidak disengaja, maka perlu dibuat rambu-rambu

yang mengatur. Dengan adanya rambu-rambu ini diharapkan fungsi label

dalam memberi “rasa aman” pada konsumen dapat tercapai.

B. Ketentuan Label dan Produk Makanan Kemasan

Ketentuan hukum mengenai label pangan tersebar dalam berbagai peraturan

perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan yang berlaku, diantaranya Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2012 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang

Jaminan Produk Halal, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang

Label dan Iklan Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang

Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan

Makanan Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Pangan Olahan, Peraturan

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 13 Tahun 2016 tentang

Pengawasan klaim pada Label dan Iklan Pangan Olahan, dan Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan.

Label pangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Angka (3) Peraturan

Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan adalah setiap

keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi

keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam,

ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan.

13

Produsen yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan,

termasuk UMKM Pangan dan IRTP wajib mencantumkan label di dalam dan/atau

pada Kemasan Pangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 97 Ayat (1) Undang-

Undang Pangan, baik ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia

serta memuat paling sedikit keterangan mengenai :

1. Nama Produk

a. Harus menunjukkan sifat dan atau keadaan yang sebenarnya.

b. Penggunaan nama produk pangan yang sudah terdapat dalam Standar

Nasional Indonesia:

1) Diizinkan jika produk pangan telah memenuhi persyaratan tentang

nama produk pangan yang ditetapkan dalam Standar Nasional

Indonesia.

2) Tidak diizinkan jika Produk pangan yang tidak memenuhi

persyaratan yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)

sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 69

Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

c. Penggunaan nama selain yang termasuk dalam SNI harus menggunakan

nama yang lazim atau umum dan harus benar dan tidak menyesatkan,

baik mengenai tulisan, gambar, atau bentuk apapun lainnya

d. Penggunaan nama jenis produk pangan yg ditetapkan Kepala Badan

POM RI dalam kategori Pangan Diizinkan jika memenuhi persyaratan

sesuai nama jenis produk pangan yang bersangkutan.

14

2. Daftar Bahan yang Digunakan/ Komposisi

a. Bahan yang digunakan dalam proses produksi dicantumkan pada Label

sebagai daftar bahan/komposisi secara berurutan dimulai daribagian yang

terbanyak, kecuali vitamin, mineral dan zat penambah gizi lainnya.

b. Nama untuk bahan yang digunakan tersebut di atas adalah nama yang

lazim digunakan.

c. Nama bahan yang digunakan boleh menggunakan nama yang ditetapkan

dalam SNI jika bahan tersebut memenuhi persyaratan bahan yang

ditetapkan dalam SNI

d. Air yang ditambahkan harus dicantumkan sebagai komposisi pangan,

kecuali apabila air itu merupakan bagian dari bahan yang digunakan.

e. Air atau bahan pada pangan yang mengalami penguapan seluruhnya

selama proses pengolahan pangan, tidak perlu dicantumkan.

f. Keterangan lebih lengkap tentang bagaimana mencantumkan daftar

bahan yang digunakan/ komposisi ini dapat dilihat pada Peraturan

BPOM Nomor 12 Tahun 2016 pada Lampiran IV.

g. Untuk pangan yang mengandung Bahan Tambahan Pangan sebagaimana

diatur dalam Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999

tentang Label dan Iklan Pangan:

1) Pada Label wajib dicantumkan Golongan Bahan Tambahan Pangan.

2) Dalam hal Bahan Tambahan Pangan yang digunakan memiliki nama

Bahan Tambahan Pangan dan atau kode internasional, pada Label

dapat dicantumkan nama Bahan Tambahan dan kode internasional

dimaksud, kecuali Bahan Tambahan Pangan berupa pewarna.

15

3) Dalam hal Bahan Tambahan Pangan berupa pewarna, selain

pencantuman golongan dan nama Bahan Tambahan Pangan, pada

Label wajib dicantumkan indeks pewarna yang bersangkutan.

4) Pada label pangan yang mengandung BTP golongan antioksidan,

pemanis buatan, pengawet, dan penguat rasa, selain dicantumkan

golongan juga wajib dicantumkan nama jenis BTP.

5) Pada label pangan yang mengandung pemanis buatan, wajib

dicantumkan tulisan “Mengandung pemanis buatan, disarankan tidak

dikonsumsi oleh anak di bawah 5 tahun, ibu hamil, dan ibu

menyusui”.

6) Pada label pangan untuk penderita diabetes dan/ atau makanan

berkalori rendah yang menggunakan pemanis buatan wajib

dicantumkan tulisan “Untuk penderita diabetes dan/ atau orang yang

membutuhkan makanan berkalori rendah”.

7) Pada label pangan olahan yang menggunakan pemanis buatan

aspartam, wajib dicantumkan peringatan “Mengandung fenilalanin,

tidak cocok untuk penderita fenilketonurik”.

8) Pada label pangan olahan yang mengandung pemanis poliol, wajib

dicantumkan peringatan “Konsumsi berlebihan mempunyai efek

laksatif”.

9) Pada label pangan olahan yang menggunakan gula dan pemanis

buatan, wajib dicantumkan tulisan “Mengandung gula dan pemanis

buatan”.

16

10) Pada label pangan olahan yang mengandung perisa, wajib

dicantumkan nama kelompok perisa dalam daftar atau ingredient.

11) Pada label pangan olahan yang mengandung BTP Ikutan (Carry

over) wajib dicantumkan BTP Ikutan (Carry over) setelah bahan

mengandung BTP tersebut.

3. Berat Bersih atau Isi Bersih

a. Pada label yang memberikan keterangan mengenai kuantitas atau jumlah

pangan olahan yang terdapat di dalam kemasan atau wadah.

b. Bobot tuntas atau berat tuntas adalah ukuran berat untuk pangan padat

yang menggunakan medium cair dihitung dengan cara pengurangan berat

bersih dengan berat medium cair.

c. Keterangan tentang berat bersih atau isi bersih dan bobot tuntas harus

ditempatkan pada bagian utama label.

d. Persyaratan pencantuman berat bersih atau isi bersih dalam satuan metrik

yaitu:

1) Pangan padat dinyatakan dengan berat bersih (satuan: miligram

(mg), gram (g), kilogram (kg) ).

2) Pangan semi padat atau kental dinyatakan dengan berat bersih atau

isi bersih; (satuan :miligram (mg), gram (g), kilogram (kg), mililiter

(ml atau mL) atau liter (l atau L) ).

3) Pangan cair dinyatakan dengan isi bersih. (satuan: mililiter (ml atau

mL), liter (l atau L)).

17

4) Penulisan untuk menerangkan bentuk butiran atau bijian adalah

seperti contoh berikut: “Berat bersih: 1 gram (Isi 5 butir @ 200

mg)”, “Berat bersih: 1 gram (5 butir @ 200 mg)”.

e. Label yang memuat keterangan jumlah takaran saji harus memuat

keterangan tentang berat bersih atau isi bersih tiap takaran saji.

f. Keterangan lebih lengkap tentang bagaimana mencantumkan berat bersih

atau isi bersih ini dapat dilihat pada Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun

2016 pada Lampiran IV.14

4. Nama dan Alamat Pihak yang Memproduksi atau Mengimpor

a. Nama dan alamat pihak yang memproduksi pangan wajib dicantumkan

pada Label. Alamat perusahaan paling sedikit mencantumkan nama kota,

kode pos dan Indonesia. Jika nama dan alamat perusahaan tersebut tidak

ada kode pos atau tidak terdapat dalam buku telepon, maka harus

mencantumkan alamat perusahaan secara jelas dan lengkap sebagaimana

diatur dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999

tentang Label dan Iklan Pangan.

b. Jika pangan yang diproduksi merupakan pangan olahan lisensi atau

pangan olahan yang dikemas kembali, maka harus dicantumkan

informasi yang menghubungkan antara pihak yang memproduksi dengan

pihak pemberi lisensi dan atau pihak yang melakukan pengemasan

kembali.

c. Jika pangan yang diproduksi merupakan pangan olahan yang diproduksi

berdasarkan kontrak, maka harus dicantumkan informasi yang

14

Lihat Pasal 23, 24, 25 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan

Pangan.

18

menghubungkan antara nama perusahaan yang mengajukan pendaftaran

dengan produsennya, seperti “diproduksi oleh .... untuk .....”.

Khusus pangan impor dengan nomor pendaftaran BPOM RI ML :

a. Selain keterangan tersebut di atas, pada Label wajib dicantumkan nama

dan alamat pihak yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia.

b. Dalam hal pihak yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia

berbeda dari pihak yang mengedarkannya di dalam wilayah Indonesia,

selain nama dan alamat pihak yang memasukkan pangan ke dalam

wilayah Indonesia, pada Label wajib pula dicantumkan nama dan alamat

pihak yang mengedarkan tersebut.

c. Keterangan lebih lengkap tentang bagaimana label pangan impor dengan

nomor pendaftaran BPOM RI ML dapat dilihat pada Peraturan BPOM

Nomor 12 Tahun 2016 pada Lampiran IV.

5. Halal Bagi yang Dipersyaratkan

a. Setiap Orang yang menyatakan dalam label bahwa Pangan yang

diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan

bertanggung jawab atas kebenarannya dan wajib mencantumkan

keterangan atau tulisan halal pada Label.

b. Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal pada label pangan maka

pangan tersebut wajib diperiksa terlebih dahulu pada lembaga pemeriksa

yang telah diakreditasi dan memiliki kompetensi di bidang tersebut

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

19

c. Persetujuan pencantuman tulisan “Halal” pada label pangan diberikan

oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan Badan POM RI (berupa

Surat Persetujuan Pencantuman Tulisan "Halal" pada Label Pangan)

setelah pangan tersebut dinyatakan halal oleh lembaga yang berwenang

di Indonesia yang dibuktikan dengan sertifikat halal dari dari lembaga

yang berwenang di Indonesia.

d. Khusus IRTP, izin pencantuman halal pada label, diberikan oleh Balai

Besar/ Balai POM setempat setelah setelah pangan IRTP dinyatakan

halal oleh lembaga yang berwenang di Kab/ Kota/ Provinsi yang

dibuktikan dengan sertifikat halal dari dari lembaga yang berwenang di

Kab/ Kota/ Provinsi.

e. Tulisan “halal” dapat dicantumkan pada bagian utama label dan sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku setelah mendapat

Surat Persetujuan Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Pangan dari

Badan POM RI/ BB/ BPOM setempat.

6. Tanggal Dan Kode Produksi

a. Kode produksi pangan olahan wajib dicantumkan pada Label, wadah

atau kemasan pangan, dan terletak pada bagian yang mudah untuk dilihat

dan dibaca, serta sekurang-kurangnya dapat memberikan penjelasan

mengenai riwayat produksi pangan yang diproses pada kondisi dan waktu

yang sama.

b. Kode produksi dapat dicantumkan dalam bentuk nomor bets.

c. Kode produksi dapat disertai dengan atau berupa tanggal produksi, yaitu

tanggal, bulan tahun dimana pangan olahan tersebut diproduksi.

20

7. Tanggal, Bulan, dan Tahun Kedaluwarsa

a. Keterangan kedaluwarsa merupakan batas akhir suatu pangan olahan

dijamin mutunya sepanjang penyimpanannya mengikuti petunjuk yang

diberikan produsen.

b. Bulan dan tahun kedaluwarsa wajib dicantumkan secara jelas pada label

setelah pencantuman tulisan “Baik Digunakan Sebelum”, sesuai dengan

jenis dan daya tahan pangan yang bersangkutan :

1) Jika daya simpannya sampai dengan 3 (tiga) bulan dinyatakan dalam

tanggal, bulan dan tahun, misalnya, “Baik Digunakan Sebelum 17

Juli 2015”.

2) Jika kedaluwarsanya lebih dari 3 (tiga) bulan, diperbolehkan untuk

hanya mencantumkan bulan dan tahun kedaluwarsa saja. Misalnya,

“Baik Digunakan Sebelum Juli 2015”.

c. Keterangan kedaluwarsa dapat dicantumkan terpisah dari tulisan “Baik

digunakan sebelum”, akan tetapi harus disertai dengan petunjuk tempat

pencantuman tanggal kedaluwarsa, Misal : “Baik digunakan sebelum,

lihat bagian bawah kemasan”, “Baik digunakan sebelum, lihat pada tutup

botol”.

d. Jika tanggal kedaluwarsa sangat dipengaruhi oleh cara penyimpanan,

maka petunjuk/cara penyimpanan harus dicantumkan pada label, dan

berdekatan dengan keterangan kedaluwarsa. Misal : “Baik digunakan

sebelum 10 11 jika disimpan pada suhu 5oC - 7oC”.

e. Pangan olahan yang tidak perlu mencantumkan keterangan tanggal

kedaluwarsa, yaitu :

21

1) Minuman beralkohol jenis anggur (wine);

2) Minuman yang mengandung alkohol lebih dari 10 (sepuluh) persen;

3) Cuka;

4) Gula (sukrosa); dan

5) Roti dan kue yang mempunyai masa simpan kurang dari atau sama

dengan 24 (dua puluh empat) jam.

Pada label pangan tersebut di atas, tetap harus mencantumkan tanggal

pembuatan dan atau tanggal pengemasan.

8. Nomor Izin Edar Bagi Pangan Olahan

a. Nomor izin edar terdapat pada Surat Persetujuan Pendaftaran yang

diterbitkan oleh Badan POM RI untuk produk pangan yang memenuhi

kriteria atau persyaratan berdasarkan hasil penilaian keamanan, mutu dan

gizi pangan olahan, misalnya BPOM RI MD xxxxxxxxxxxx dan/atau

BPOM RI ML xxxxxxxxxxxx.

b. Nomor izin edar biasanya disebut juga sebagai nomor pendaftaran

pangan dan wajib dicantumkan pada label pangan olahan yang dikemas.

Ketentuan ini berlaku untuk produk pangan yang dihasilkan oleh industri

pangan bukan kategori IRTP.

c. Untuk pangan olahan hasil produksi IRTP, sebelum diedarkan wajib

mendapatkan Sertifikat Produksi Pangan IRT yang di dalamnya terdapat

nomor P-IRT xxxxxxxxxxxxx-xx yang diterbitkan oleh Bupati/ Walikota

melalui Dinas Kesehatan Kab/Kota. Nomor P-IRT tersebut wajib

dicantumkan pada label pangan.

22

9. Asal Usul Bahan Pangan Tertentu.

a. Yang dimaksud dengan “keterangan mengenai asal usul bahan Pangan”

adalah penjelasan mengenai informasi asal bahan tertentu, misalnya,

bahan yang bersumber, mengandung, atau berasal dari hewan atau

Pangan yang diproduksi melalui proses khusus, misalnya, Rekayasa

Genetik Pangan atau Iradiasi Pangan.

b. Pangan Iradiasi yang akan diedarkan di Indonesia harus memiliki

Sertifikat Iradiasi yang diterbitkan oleh Kepala Badan. Pangan PRG yang

diterbitkan oleh Kepala Badan dan pada labelnya wajib dicantumkan

keterangan berupa tulisan “Pangan Iradiasi”

c. Pangan rekayasa genetik sebelum diedarkan wajib memiliki keputusan

izin peredaran Pangan PRG yang diterbitkan oleh Kepala Badan dan

pada labelnya wajib dicantumkan keterangan berupa tulisan "Pangan

Produk Rekayasa Genetik sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Peraturan

BPOM Nomor HK.03.1.23.03.12.1564 Tahun 2012.. Dengan demikian,

pangan rekayasa genetik tidak boleh diproduksi oleh IRTP.

10. Ketentuan lain yang harus dipenuhi pada Label Pangan

a. Keterangan dan atau pernyataan tentang pangan olahan harus benar dan

tidak menyesatkan, baik mengenai tulisan, gambar atau bentuk apapun

lainnya.

b. Label memuat tulisan yang jelas, dapat mudah dibaca, teratur dan tidak

berdesak-desakan.

c. gambar, warna maupun desain lainnya tidak boleh mengaburkan tulisan

pada Label.

23

d. Pelabelan dilakukan sedemikian rupa sehingga:

1) Tidak mudah lepas dari kemasan;

2) Tidak mudah luntur atau rusak; dan

3) Terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan

dibaca.

e. Label yang melekat atau ditempelkan pada kemasan harus melekat kuat

sehingga jika dilepas akan merusak label/kemasan aslinya.

f. Pencantuman pernyataan tentang manfaat pangan bagi kesehatan dalam

Label hanya dapat dilakukan apabila didukung oleh fakta ilmiah yang

dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan ketentuan yang

ditetapkan. (hanya untuk pangan olahan yang didaftar dengan nomor

pendaftaran BPOM RI MD/ML No xxx)

g. Label pangan olahan terdiri dari bagian utama dan bagian lain.

1) Bagian Utama Label

2) Memuat keterangan paling penting untuk diketahui oleh konsumen.

3) Terletak pada sisi kemasan yang paling mudah diamati atau dibaca

oleh masyarakat pada umumnya.

4) Keterangan yang harus dicantumkan pada bagian utama label paling

sedikit mencakup :

a) Nama jenis, dan bila ada nama dagang.

b) Berat bersih atau isi bersih.

c) Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan

pangan ke dalam wilayah Indonesia.

24

h. Khusus untuk produk pangan olahan dengan nomor pendaftaran BPOM

RI MD/ML, selain keterangan sebagaimana dimaksud pada nomor 7 di

atas, pada labelnya juga harus dicantumkan keterangan sebagai berikut:

1) Keterangan tentang kandungan gizi,

2) Keterangan tentang iradiasi pangan (Jika produk berupa pangan

iradiasi),

3) Keterangan tentang Pangan organik (Jika produk berupa pangan

organik),

4) Keterangan tentang Pangan rekayasa genetika (Jika produk berupa

pangan rekayasa genetika)

5) Keterangan tentang pangan yang dibuat dari bahan baku alamiah,

6) Petunjuk penggunaan/penyiapan

7) Petunjuk tentang cara penyimpanan

8) Keterangan tentang petunjuk atau saran penyajian

9) Keterangan tentang peruntukan

10) Keterangan lain yang perlu diketahui mengenai dampak pangan

terhadap kesehatan manusia

11) Peringatan.

12) Khusus untuk huruf f) sampai h), dapat digunakan untuk produk

pangan olahan IRTP. Misalnya, petunjuk penggunaan/penyiapan

tepung sagu, petunjuk penyimpanan pangan yang digoreng seperti

kerupuk, keripik, biskuit, petunjuk penyajian minuman ringan.

i. Menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin.

25

j. Istilah asing dapat digunakan sepanjang tidak ada padanannya, tidak

dapat diciptakan padanannya atau digunakan untuk kepentingan

perdagangan pangan ke luar negeri.

k. Istilah asing, istilah teknis atau ilmiah, misalnya rumus kimia dapat

digunakan untuk menyebutkan suatu jenis bahan yang digunakan dalam

komposisi.

l. Bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin, serta istilah asing dapat

ditambahkan/disertai dengan keterangan yang sama dalam bahasa selain

bahasa Indonesia, angka Arab dan huruf Latin.

m. Gambar harus menunjukkan keadaan sebenarnya, termasuk sifat dan/atau

keadaan pangan olahan serta tidak boleh menyesatkan.

n. Huruf dan angka yang digunakan pada label harus jelas dan mudah

dibaca serta proporsional dengan luas permukaan label.

o. Pengecualian terhadap ketentuan pelabelan diberikan kepada pangan

olahan yang kemasannya terlalu kecil, sehingga secara teknis sulit

memuat seluruh keterangan yang diwajibkan sebagaimana berlaku bagi

pangan olahan lainnya.

p. Tulisan dan Peringatan

1) Pangan olahan yang mengandung bahan berasal dari babi

Mencantumkan tanda khusus berupa tulisan “MENGANDUNG

BABI” dan gambar babi berwarna merah dalam kotak berwarna

merah di atas dasar putih.

26

2) Minuman Beralkohol

Mencantumkan tulisan “MINUMAN BERALKOHOL” dan nama

jenis sesuai kategori pangan, “DIBAWAH UMUR 21 TAHUN

ATAU WANITA HAMIL DILARANG MINUM” dan

“Mengandung Alkohol + ... % v/v”.

3) Pangan Olahan yang Mengandung Alkohol

Mencantumkan Pangan yang mengandung alkohol, wajib

mencantumkan kadar alkohol pada label.

4) Susu Kental Manis

Mencantumkan tulisan "Perhatikan! Tidak Cocok Untuk Bayi".

5) Formula Bayi

Label formula bayi harus mencantumkan tulisan dan ketentuan

lainnya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan (sesuai dengan

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No.

HK.03.1.52.08.11.07235 tahun 2011 tentang Pengawasan Formula

Bayi dan Formula Bayi Untuk Keperluan Medis Khusus)

Mencantumkan tulisan "Perhatikan! Tidak Cocok Untuk Bayi".

6) Pangan Olahan yang Mengandung Alergen

Mencantumkan keterangan tentang alergen sesuai ketentuan yang

berlaku.

7) Pangan Olahan yang Mengandung Pemanis Buatan

Mencantumkan tulisan "Mengandung pemanis buatan", kadar

pemanis buatan.

8) Sediaan Bahan Tambahan Pangan (BTP).

27

Ketentuan tersebut di atas berlaku bagi Pangan yang telah melalui proses

pengemasan akhir dan siap untuk diperdagangkan sebagaimana diatur dalam

Pasal 98 Ayat (1) Undang-Undang Pangan, dan dilarang:

a. Menghapus, mencabut, menutup, mengganti label,melabel kembali,

menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsanya.

b. memberikan keterangan atau pernyataan yang tidak benar dan/atau

menyesatkan pada label, baik mengenai tulisan, gambar, atau bentuk

apapun lainnya.

c. Mencantumkan klaim kesehatan atau klaim gizi bagi label pangan IRTP.

d. Mencantumkan pernyataan atau keterangan dalam bentuk apapun bahwa

pangan yang bersangkutan dapat berfungsi sebagai obat.

e. Mencantumkan nama, logo atau identitas lembagayang melakukan

analisis tentang produk pangan tersebut.

11. Klaim Pada Label

a. Khusus bagi UMKM Pangan selain IRTP, Pencantuman pernyataan

tentang manfaat pangan bagi kesehatan dalam Label hanya dapat

dilakukan apabila didukung oleh fakta ilmiah yang dapat

dipertanggungjawabkan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) PP

No. 69 tahun 1999.

b. Klaim bahwa pangan telah ditambah, diperkaya atau difortifikasidengan

vitamin, mineral, atau zat penambah gizi lain tidak dilarang, sepanjang

hal tersebut benardilakukan pada saat pengolahan pangan tersebut, dan

tidak menyesatkan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 PP No. 69 tahun

1999.

28

c. Pengayaan gizi pangan adalah penambahan zat gizi yang kurang secara

alami atau yang hilang akibat pengolahan dan/atau penyimpanan.

d. Fortifikasi gizi pangan adalah penambahan zat gizi esensial pada pangan

tertentu yang sebelumnya tidak mengandung zat gizi yang bersangkutan.

e. Pengayaan dan/atau fortifikasi dalam ketentuan ini merupakan suatu

program nasional dalam rangka pencegahan timbulnya gangguan gizi,

pemeliharaan dan perbaikan status gizi masyarakat.

f. Pelaku usaha pangan yang memproduksi pangan diperkaya dan/atau

difortifikasi untuk diedarkan wajib memenuhi ketentuan dan tata cara

pengayaan dan/atau fortifikasi gizi, dan wajib memiliki surat persetujuan

pendaftaran dari Kepala Badan POM RI.

Dengan demikian, hanya UMKM Pangan dengan nomor pendaftaran B-POM

RI MD yang diizinkan untuk mencantumkan klaim diperkaya atau

difortifikasi gizi. Selain itu, label pangan tidak boleh :

a. Mudah lepas dari kemasannya,

b. Mudah luntur atau rusak,

c. Serta harus terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk

dilihat dan dibaca sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) PP No. 69

Tahun 1999.

Bagian utama Label sekurang-kurangnya memuat:

a. Nama produk;

b. Berat bersih atau isi bersih;

29

c. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke

dalam wilayah Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 PP No.

69 Tahun 1999. Dengan ketentuan :

1) Teratur, tidak berdesak-desakan, jelas dan dapat mudah dibaca.

2) Tidak menggunakan latar belakang, baik berupa gambar, warna

maupun hiasan lainnya, yang dapat mengaburkan tulisan pada bagian

utama

3) Ditempatkan pada sisi kemasan pangan yang paling mudah dilihat,

diamati dan atau dibaca oleh masyarakat pada umumnya.

4) Menggunakan bahasa Indonesia, angka.

C. Tanggung Jawab Produsen / Pelaku Usaha

Setiap manusia pasti mempunyai tanggung jawab atas segala apa yang dikerjakan,

meskipun kadar tanggung jawab setiap manusia berbeda-beda. Menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia pengertian tanggung jawab adalah keadaan wajib

menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,

dipersalahkan, diperkarakan).

Seiring dengan perkembangan kemajuan dibidang ilmu (hukum) konsep tanggung

jawab dalam arti liability ini makin dirasa perlu untuk membuat kualifikasi yang

jelas atas pembagian tersebut agar tidak terjadi perbedaan yang sedemikian rupa

sehingga hal ini akan berdampak pada tataran pengaplikasiannya nanti. Adapun

pembedaan dapat dilihat, sebagai berikut :

30

Pertama : tanggung jawab hukum berdasarkan kesalahan (based on fault liability)

hal ini dalam KUHPerdata terdapat dalam Pasal 1365 Ayat (5), yang dikenal

dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatigdaad) berlaku umum terhadap

siapapun. Kedua : tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability)

yaitu perusahaan demi hukum harus membayar yang diakibatkan olehnya, kecuali

perusahaan tersebut dapat membuktikan tidak bersalah. Ketiga: Tanggung Jawab

hukum Tanpa Bersalah (liabilty without fault) yaitu perusahaan bertanggung

jawab mutlak terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, tanpa

memerlukan pembuktian lebih dahulu.

Tanggung jawab produsen / pelaku usaha secara khusus diatur dalam Pasal 19

UUPK yang menentukan bahwa :

a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan

atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian

uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,

atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang­undangan yang berlaku.

c. Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari

setelah tanggal transaksi.

d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian

lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku

apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut

merupakan kesalahan konsumen.

31

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan,

yaitu :

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault), yaitu

prinsip yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat diminta

pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang

dilakukannya;

b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab (presumption of liability), yaitu

prinsip yang menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai

ia dapat membuktikan, bahwa ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada

pada tergugat;

c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of

nonliability), yaitu prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk

selalu bertanggung jawab, di mana tergugat selalu dianggap tidak bertanggung

jawab sampai dibuktikan, bahwa ia bersalah.

d. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), dalam prinsip ini menetapkan

kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun ada pengecualian-

pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab.

e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability), dengan

adanya prinsip tanggung jawab ini, pelaku usaha tidak boleh secara sepihak

menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi

maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, maka harus berdasarkan

pada perundang-undangan yang berlaku.15

15 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm 58.

32

Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha

meliputi :

a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;

b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran;

c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.16

Penerapan konsep product liability ternyata tidak mudah, dalam sistem

pertanggungjawaban secara konvensional, tanggung gugat produk didasarkan

adanya wanprestasi (default) dan perbuatan melawan hukum (fault). Berdasarkan

Pasal 1365 KUHPerdata, konsumen yang menderita kerugian akibat produk

barang/jasa yang cacat bisa menuntut pihak produsen (pelaku usaha) secara

langsung. Tuntutan tersebut didasarkan pada kondisi telah terjadi perbuatan

melawan hukum. Atau dengan kata lain, konsumen harus membuktikan terlebih

dahulu kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Langkah pembuktian

semacam itu sulit dilakukan karena konsumen berada pada kondisi yang sangat

lemah dibandingkan dengan posisi pelaku usaha. Disamping sulitnya pembuktian,

konsumen nantinya juga sulit mendapatkan hak ganti rugi (kompensasi) atas

pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha. Oleh karena itu, diperlukan adanya

penerapan konsep strict liability (tanggung jawab mutlak), yaitu bahwa produsen

seketika itu juga harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen

tanpa mempersoalkan kesalahan darim pihak produsen.17

16 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada,

Bandung, 2011, hlm 125. 17 N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei,

Jakarta, 2005, hlm 15.

33

Tanggung jawab hukum pelaku usaha memiliki beberapa dasar, yaitu sebagai

berikut :

1. Tanggung Jawab Berdasarkan Atas Kesalahan

Awalnya, sistem pertanggungjawaban hukum di Indonesia, mendasarkan pada

ketentuan normatif tentang perbuatan melawan atau melanggar hukum

(onrechtsmatigedaad) yang berasal dari hukum perdata Belanda. Ada dua istilah

dalam bahasa Indonesia untuk mengartikan istilah bahasa Belanda hukum

onrechtsmatigedaad, yaitu melawan hukum dan melanggar hukum. Padahal,

keduanya secara kebahasaan memiliki kesamaan makna. Istilah perbuatan

melawan hukum digunakan dalam lingkup hukum perdata; sedangkan istilah

perbuatan melanggar hukum digunakan dalam lingkup hukum publik seperti

hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan juga hukum

adat.

Agar si pelanggar hukum dapat dimintai pertanggungjawaban, diperlukan

persyaratan tertentu. Dalam hukum perdata diatur tentang perbuatan melawan

hukum, yaitu Pasal 1365 KUH Perdata yang menentukan bahwa: "Tiap perbuatan

melawan hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang

yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut

dalam bentuk :

(1) Ganti rugi atas kerugian dalam bentuk uang;

(2) Ganti rugi atas kerugian dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam

keadaan semula;

(3) Pernyataan bahwa perbuatan adalah melawan hukum;

34

(4) Larangan dilakukannya perbuatan tertentu;

(5) Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum;

(6) Pengumuman keputusan dari sistem yang telah diperbaiki.

Unsur-unsur dari ketentuan pasal tersebut adalah: 1) Adanya perbuatan melawan

hukum; 2) Harus ada kesalahan; 3) Harus ada kerugian yang ditimbulkan; dan 4).

Ada hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.

2. Tanggung Jawab Secara Langsung

Latar belakang dan motivasi utama munculnya strict liability adalah untuk

digunakan sebagai solusi alternatif terhadap kebuntuan dalam meminta

pertanggungjawaban hukum yang didasarkan pada kesalahan pelaku usaha,

sehingga strict liability diartikan sebagai tanggung jawab tanpa kesalahan

(liability without fault). Ada pula yang mengartikan strict liability dengan

tanggung jawab langsung dan seketika. Dalam konteks ini, tanggung jawab

langsung tidak mensyaratkan pada kesalahan, sehingga logis jika diartikan sebagai

tanggung jawab langsung dan seketika.

Ada juga yang menyebutnya sebagai tanggung jawab mutlak (absolute liability),

karena digantungkan pada adanya kerusakan yang muncul. Istilah yang digunakan

adalah tanggung jawab mutlak. Konsep tanggung jawab mutlak diartikan terutama

sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan.

Salah satu ciri utama tanggung jawab mutlak adalah tidak ada persyaratan tentang

perlu adanya kesalahan.

35

Tanggung jawab mutlak pertama kali digunakan di Indonesia dalam Pasal 21

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup yang berbunyi:

"Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu tanggung

jawab timbul secara mutlak pada perusak dan atau pencemar pada saat terjadinya

perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur

dalam perundang-undangan yang bersangkutan. Ketentuan tanggung jawab

mutlak tetap digunakan dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengamandemen UU

Lingkungan Hidup Tahun 1982.

3. Tanggung Jawab Produk

Tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang

telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan

kerugian karena cacad yang melekat pada produk tersebut. Product liability

adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang

menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan

yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor,

assembler) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller,

distributor) produk tersebut.

Sehubungan dengan hal itu, dalam hukum perlindungan konsumen lebih tepat

digunakan istilah tanggung jawab produk daripada istilah yang lain yang memiliki

ciri-ciri yang sama atau mirip dengan tanggung jawab produk. Hal ini didasarkan

pada fakta yang menunjukkan bahwa tanggung jawab produk diterapkan pada

kasus-kasus konsumen karena melibatkan aktivitas dengan tanggung jawab yang

36

besar, sehingga unsur kerugian dan risiko sangat dominan, sedangkan unsur

kesalahan tidak dibebankan kepada konsumen atau pihak yang dirugikan. Dalam

hat ini berlaku asas res ipso loquitur, fakta sudah mengatakan sendiri (the thing

speaks for itself). Dengan demikian, antara tanggung jawab langsung dan

tanggung jawab produk, memiliki kesamaan, yaitu ketiadaan unsur kesalahan

yang harus dibuktikan oleh konsumen. Kewajiban untuk membuktikan unsur

kesalahan sesungguhnya bukan tidak ada, tetapi dialihkan. Semula dibebankan

pada konsumen, kemudian dialihkan kepada pelaku usaha yang diwajibkan untuk

membuktikan adanya unsur kesalahan atau tidak pada dirinya.

4. Tanggung Jawab Profesional

Salah satu jenis tanggung jawab yang jarang dibahas dalam literatur adalah

tanggung jawab profesional (professional liability). Padahal, tanggung jawab ini

sangat relevan dengan bidang atau sektor jasa yang didasarkan pada pelayanan

atau keahlian. Oleh karena itu, ketentuan dalam UUPK mengaturnya, meskipun

tidak secara khusus menyebutkan tentang tanggung jawab profesional, tetapi

dengan memahami makna yang diatur dalam ketentuan pasal-pasalnya dapat

disimpulkan bahwa tanggung jawab profesional diakui dan diterima dalam

UUPK.

Para profesional dapat dikenakan tanggung jawab atas pekerjaan yang telah

dilakukan atau diberikan kepada klien atau pelanggannya. Oleh karena itu, dengan

sederhana Komar Kantaatmadja merumuskan tentang pengertian tanggung jawab

profesional, yaitu tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan

jasa profesional yang diberikan kepada klien 38 Begitu juga dengan Johannes

37

Gunawan, memberikan rumusan yang mirip tentang tanggung jawab profesional,

yaitu pertanggungjawaban dari pengemban profesi atas jasa yang diberikannya.

5. Tanggung Jawab Kontrak

Dalam literatur dan referensi hukum perjanjian selalu dikemukakan bahwa

kontrak merupakan perjanjian dalam bentuk tertulis. Perjanjian atau kontrak dapat

dibuat dengan bebas asalkan didasarkan pada kesepakatan (agreement). Oleh

karena itu, diberi kebebasan untuk membuat perjanjian sepanjang tidak melanggar

undan undang, kebiasaan, kepatutan, dan kepantasan (biiijkheid).

Asumsi yang dijadikan dasar dalam hukum perjanjian adalah hukum berfungsi

mengatur interaksi dan relasi atau hubungan antar manusia sebagai subyek hukum

atau entitas hukum. Hubungan itu ada yang berupa janji janji atau saling berjanji

di antara pihak-pihak untuk tujuan tertentu. Misal, janji akan melakukan sesuatu.

Adanya hubungan itu menimbulkan ikatan di antara mereka. Perjanjian

(overeenkomst) itu dapat menimbulkan perikatan (verbintenis) terhadap pihak-

pihak yang membuat janji-janji tersebut.

6. Pemberian Jaminan

Sering kali terhadap produk berupa barang-barang elektronik, seperti telepon

seluler atau ponsel (hand phone, mobile phone), pelaku usaha menyediakan

fasilitas petayanan puma jual (after sales services) dengan memberikan jaminan

atau garansi kepada konsumen pembeli produk tersebut dalam kurun waktu

tertentu untuk melakukan perbaikan jika ada kerusakan.

38

Tanggung jawab kontraktual sesungguhnya dapat diterapkan terhadap pelaku

usaha yang tidak mau memenuhi jaminan atau garansi. Karena jaminan atau

garansi itu merupakan janji yang secara tegas dicantumkan dalam dokumen atau

naskah khusus. Ada juga yang dicantumkan pada label atau kemasan produk

berupa rumusan pernyataan tentang jaminan atas produk yang bersangkutan.

Selain itu, ada juga jaminan atau garansi yang tidak secara tegas, tetapi secara

diam-diam.

Ketentuan tentang pemberian jaminan atau garansi ditemukan dalam perjanjian

jualbeli, sebagaimana diatur dalam Pasal 1491 KUH Perdata, yaitu penanggungan

yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua

hal, yaitu pertama, penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram;

kedua, tiadanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang

sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian.

7. Pembayaran Ganti Kerugian

Tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen atas produk yang

diperdagangkan dapat berupa pemberian ganti kerugian. Menurut ketentuan Pasal

19 Ayat (1) UUPK, pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi

barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti kerugian

merupakan tanggung jawab paling utama dari pelaku usaha terhadap konsumen

yang mengalami kerugian. Ganti kerugian menurut UUPK dapat berupa: (1)

Pengembalian uang; (2) Penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara

nilainya; dan (3). Perawatan kesehatan; dan/atau (4). Pemberian santunan.

39

D. Kerangka Pikir

Uraian :

Produsen produk makanan kemasan dalam melakukan kegiatan usahanya wajib

mengikuti segala ketentuan yang diatur dalam peaturan perundang-undangan

tentang label produk makanan antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;

3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan;

BPOM

Pencantuman Label pada

Produk Makanan Kemasan

Tanggung Jawab Produsen

dalam Pencantuman Label pada

Produk Makanan

Akibat Hukum Produsen

Mencantumkan Label Secara

Tidak Benar

Produsen

(Produk Makanan)

(Produk Makanan)

Peraturan Perundang-Undangan

tentang Label

Tanggung Jawab Produsen

40

5. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan

Gizi Pangan;

6. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 12 Tahun 2016

tentang Pendaftaran Pangan Olahan;

7. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 13 Tahun 2016

tentang Pengawasan klaim pada Label dan Iklan Pangan Olahan;

8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan

Pangan.

Mekanisme produksi atas makanan kemasan yang dilakukan oleh produsen

berhubungan langsung dengan Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM). Setiap

produk makanan kemasan wajib mencantumkan label yang memuat informasi

terkait produk makanan dimaksud, disamping itu produsen memiliki

tanggungjawab terhadap konsumen yang harus dipenuhi apabila produk makanan

kemasan dimaksud berdampak pada timbulnya kerugian yang diderita oleh

konsumen. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami tentang

tanggung jawab produsen dalam pencantuman label pada produk makanan tang

benar, serta akibat hukum bagi produsen yang tidak mencantumkan label pada

produk makanan secara tidak benar.

41

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif (normative law research) yaitu mengkaji hukum yang dikonsepkan

sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan

perilaku setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif

tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (undang-undang dasar, kodifikasi,

undang-undang, peraturan pemerintah dan seterusnya), serta norma hukum tertulis

buatan pihak-pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, laporan

hukum, catatan hukum, dan rancangan undang-undang).18

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang

bertujuan untuk mengambarkan secara rinci, jelas dan sistematis mengenai

permasalahan yang diteliti. Penelitian deskriptif digunakan untuk menggambarkan

tanggung jawab produsen dalam pencantuman label pada produk makanan

kemasan dan akibat hukum bagi perusahaan dalam hal tidak mencantumkan label

pada produk makanan dalam kemasan.

18Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum Cet. 1, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,

hlm, 52.

42

C. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah pada penelitian ini adalah pendekatan normatif, yang

dilakukan melalui studi pustaka dengan menelaah (terutama) data sekunder yang

berupa peraturan perundang-undangan, dokumen hukum lainnya serta hasil

penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya.

D. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, yang didasarkan pada data sekunder. Data

sekunder yaitu data-data yang bersumber dari data yang sudah terdokumen dalam

bentuk bahan hukum. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

Adapun bahan-bahan hukum sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum

yang mengikat, terdapat dalam peraturan perundang-undangan.:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);

b. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

d. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;

e. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan

Pangan;

f. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Nomor

12 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Pangan Olahan.

43

2. Peratura Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan baku primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta

memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum

yang berhubungan dengan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi,

petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, antara lain berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia, artikel dan

makalah, yang barkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini.

E. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan melalui :

a. Studi kepustakaan (bibliography study) yang merupakan serangkaian

kegiatan yang dilakukan penulisan dengan maksud untuk memperoleh data

sekunder dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip dari berbagai

literatur, peraturan perundang-undangan, buku-buku, media masa, dan bahan

tulisan lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi dokumen yakni pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang

tidak dipublikasikan secara umum tetapi boleh diketahui oleh pihak tertentu

seperti pengajar hukum, peneliti hukum, praktisi hukum dalam rangka kajian

hukum, pengembangan dan pembangunan hukum, serta praktik hukum.

Langkah-langkahnya yakni bahan hukum yang diperoleh diinventarisasi dan

diidentifikasi serta kemudian dilakukan pengklasifikasian bahan-bahan

44

sejenis, mencatat dan mengolahnya secara sistematis sesuai dengan tujuan

dan kebutuhan penelitian. Tujuan dari tehnik dokumentasi ini adalah untuk

mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, penemuan-

penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.19

2. Prosedur Pengolahan Data

Data yang diperoleh baik dari hasil studi kepustakaan dan wawancara selanjutnya

diolah dengan mengunakan metode :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa apakah masih terdapat

kekurangan serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu proses pengelompokan data sesuai dengan bidang

pokok bahasan agar memudahkan dalam menganalisa data.

c. Sistematisi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap

pokok bahasan secara sistemasi sehingga memudahkan pembahasan.

F. Analisis Data

Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara kualitatif, yang didasarkan

pada hasil penelitian ini, kemudian dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan

uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterpretasikan

dan ditarik kesimpulan berdasarkan temuan hasil penelitian.

19Ibid, hlm. 83.

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat

ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Tanggung jawab produsen dalam pencantuman label pada produk makanan

kemasan terdiri dari tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan/kelalaian

yakni pertanggungjawaban yang dapat dituntut oleh konsumen kepada

produsen atas terjadinya kesalahan/kelalaian sehingga dipandang sebagai

penyebab timbulnya kerugian, tanggung jawab mutlak (strict liability) yakni

pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan

akibat dari produknya, dan tanggung jawab product liability, yakni tanggung

jawab secara hukum dari orang atau badan hukum yang menghasilkan produk

(producer, manufacture) atau orang maupun badan hukum yang menjual atau

mendistribusikan produk tersebut, konsumen menuntut ganti kerugian hanya

diharuskan menunjukkan bahwa produk tersebut cacat pada waktu diserahkan

oleh produsen dan telah menyebabkan kerugian pada konsumen.

2. Akibat hukum bagi produsen yang mencantumkan label pada produk makanan

kemasan secara tidak benar, ditinjau dari hukum administrasi yakni penerapan

sanksi administrasi berupa denda, penghentian sementara dari kegiatan,

71

produksi, dan/atau peredaran, penarikan pangan dari peredaran oleh produsen,

ganti rugi dan/atau pencabutan izin. Ditinjau dari hukum perdata yakni

produsen diwajibkan mengganti kerugian yang diderita konsumen dengan

mendasar pada Pasal 1365 KUHPerdata. Ditinjau dari hukum pidana yakni

berupa penjatuhan sanksi pidana atau pidana denda bagi produsen apabila

melanggar ketentuan Pasal 62 ayat (1) UUPK, Pasal 141 Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Pasal 144 Undang-Undang Nomor

18 Tahun 2012 tentang Pangan. Apabila perbuatan pidana dilakukan oleh

korporasi, selain diterapkan pidana penjara dan pidana denda dapat dikenai

pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu atau pengumuman

putusan hakim.

DAFTAR PUSTAKA

Darmodihardjo, Dardji. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana

Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Klimchuk, Marianne Rosner dan Sandra A. Krasovec. 2013. Desain Kemasan

Perencanaan Merek Produk yang berhasil mulai dari Konsep sampai

Penjualan. Jakarta. Erlangga.

Kotler, Philip. 2000. Manajemen Pemasaran. Jakarta. Prenhallindo.

Kristiyanti, Cellina Tri Siwi.2009. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta. Sinar

Grafika.

Laksana, Fajar. 2008. Manajemen Pemasaran Pendekatan Praktis. Yogyakarta.

Graha Imu.

Marinus, Angipora. 2002. Dasar-Dasar Pemasaran. Jakarta. PT Raja Grafindo

Persada.

Mertokusumo, Sudikno. 2009. Penemuan Hukum. PT Citra Aditya Bakti.

Bandung.

Miru, Ahmadi. 2011. Prinsip-Prinsip Perlindungan Bagi Konsumen di Indonesia.

Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Muhammad, Abdulkadir . 2014. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung. Citra

Aditya Bakti.

Nasution, Az. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar). Jakarta.

Diadit Media.

Rasjidi, H. Lili dan Ira Thania Rasjidi. 2007. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori

Hukum. Bandung. PT Citra Aditya Bakti.

Saleh, Roeslan. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana dua

pengertian dasar dalam hukum pidana. Jakarta. Aksara Baru.

Salim, Giantoro, 2007. Manajemen Perhotelan. Bandung. Mandar Maju.

Sasongko, Wahyu. 2007. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan

Konsumen. Bandar Lampung. Penerbit Unila.

Shidarta, 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta.

Siahaan, N.H.T. 2005. Hukum Konsumen. Jakarta. Panta Rei.

Sidabalok, Janus. 2014. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung.

PT Citra Aditya Bakti.

Simatupang, Taufik H. 2004. Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif

Perlindungan Konsumen. Bandung. PT Citra Aditya Bakti.

Subekti, Sri. 2005. Pokok Pokok Hukum Perdata. Jakarta. PT intermasa

Sudaryatmo, 2003. Konsumen Menggugat. Jakarta. Pramedia.

Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta. Visimedia.

Sutedi, Adrian. 2008. Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan

Konsumen. Bogor. Ghalia Indonesia.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Nomor 12

Tahun 2016 tentang Pendaftaran Pangan Olahan.

Jurnal

Azizah, Ninik. Keharusan Pelaku Usaha Memberikan Informasi yang Benar

Ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Irtifaq, Vol.2, No.1,

2015.

Muthiah, Aulia. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Kepada Konsumen tentang

Keamanan Pangan dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen. Jurnal

Hukum.

Sunaryo. 2009. Laporan Penelitian : Persepsi Masyarakat Terhadap Ketentuan

tentang Label pada Kemasa Produk Pangan. Bandar Lampung. Bagian

Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung.