tanah kewarisan n perwalian di aceh pasca tsunami

111
PRAKTEK PENYELESAIAN FORMAL DAN INFORMAL MASALAH PERTANAHAN, KEWARISAN DAN PERWALIAN PASCA TSUNAMI DI BANDA ACEH DAN ACEH BESAR Laporan Penelitian INTERNATIONAL DEVELOPMENT LAW ORGANIZATION (IDLO) Post-Tsunami Legal Assistance Initiative for Indonesia Dr. Arskal Salim BANDA ACEH June 2006

Upload: arskal

Post on 04-Jul-2015

2.753 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

PRAKTEK PENYELESAIAN FORMAL DAN INFORMAL MASALAH PERTANAHAN, KEWARISAN DAN PERWALIAN

PASCA TSUNAMI DI BANDA ACEH DAN ACEH BESAR

Laporan Penelitian

INTERNATIONAL DEVELOPMENT LAW ORGANIZATION (IDLO) Post-Tsunami Legal Assistance Initiative for Indonesia

Dr. Arskal Salim

BANDA ACEH June 2006

Page 2: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

i

[

UCAPAN TERIMAKASIH

Laporan penelitian ini adalah produk kegiatan yang dilaksanakan oleh International Development Law Organization (IDLO) melalui program ‘Post-Tsunami Legal Assistance Initiative in Indonesia’ di Aceh. Laporan ini disusun berdasarkan penelitian lapangan di 12 gampong di Banda Aceh dan Aceh Besar yang dilakukan oleh tim peneliti IDLO yang terdiri dari Dr. Arskal Salim, Muzakkir Abubakar SH.,SU., dan Ernita Dewi S.Ag., M.Hum. Untuk itu, tim peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada segenap informan yang berprofesi sebagai geuchik, imam meunasah, sekretaris gampong, kepala dusun dan warga gampong. Selain itu, tim peneliti juga ingin menghaturkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada sejumlah narasumber yang terdiri dari pakar hukum dan dosen perguruan tinggi (UNSYIAH dan IAIN Ar-Raniry), Ketua Mahkamah Syar’iyah Nanggroe Aceh Darussalam, segenap jajaran hakim Mahkamah Syar’iyah di Banda Aceh dan Jantho, dan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) yang telah meluangkan waktu mereka untuk kepentingan penelitian ini dan keikutsertaan mereka dalam kegiatan workshop hasil penelitian yang diadakan pada tanggal 30 Mei 2006 di Auditorium Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penulisan laporan ini dikerjakan oleh Dr. Arskal Salim. Penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Erica Harper, Chief of Party IDLO Banda Aceh yang telah memberi masukan yang berharga dalam proses penulisan draft awal naskah ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Rusydi Ali Muhammad SH., guru besar Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, yang telah sudi membaca draft awal naskah ini dan memberikan beberapa catatan yang perlu.

Page 3: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

ii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Gempa dan Tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah menimbulkan dampak yang sangat dahsyat. Bukan saja ratusan ribu jiwa yang melayang dan kerugian materiel yang tak pernah terbayangkan, tetapi juga menimbulkan puluhan ribu anak yatim piatu. Dampak utama dari peristiwa ini yang bertalian langsung dengan hukum dan keluarga adalah munculnya bermacam-macam persoalan di bidang tanah, kewarisan dan perwalian. International Development Law Organization sejak akhir tahun 2005 hingga pertengahan tahun 2006 telah melaksanakan dua kali penelitian mengenai masalah hukum pasca Tsunami di Aceh. Hasil penelitian yang ada di tangan pembaca saat ini adalah penelitian lapangan di 12 gampong di Banda Aceh dan Aceh Besar yang dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2006. Penelitian ini lebih memfokuskan pada aspek praktis penyelesaian formal dan informal masalah pertanahan, kewarisan dan perwalian pasca Tsunami di wilayah tersebut. Hasil penelitian ini telah dipresentasikan di Mahkamah Syar’iyah pada tanggal 30 Mei 2006 dan dihadiri oleh sejumlah pakar hukum adat Aceh, para hakim tinggi Mahkamah Syar’iyah NAD, dan segenap hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Jantho. Penelitian ini menemukan bahwa kasus persengketaan hak atas tanah yang terkait erat dengan situasi pasca Tsunami tampaknya lebih sering diselesaikan pada tingkat gampong oleh pemuka adat. Hal ini terbukti dengan hampir tidak adanya perkara tersebut yang masuk ke Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Syar’iyah (MS) di Banda Aceh dan Aceh Besar hingga akhir tahun 2005. Masalah tanah yang diselesaikan oleh aparat gampong pada umumnya melalui musyawarah antar warga di gampong. Sayangnya, penyelesaian kasus-kasus tanah dengan cara-cara tersebut masih jarang sekali didokumentasikan dalam bentuk berita acara yang dapat disimpan sebagai arsip di kantor gampong. Dalam bidang kewarisan pasca-Tsunami ini, penelitian ini melakukan analisis lewat tiga aspek: (1) ahli waris, (2) harta warisan, dan (3) implementasi pembagian warisan oleh aparat gampong. Posisi dan kedudukan perempuan menjadi fokus sentral dalam pembahasan dan analisis kasus kewarisan yang menjadi obyek penelitian ini. Salah satu hal yang penting dikemukakan di sini adalah bahwa penyelesaian perkara kewarisan di gampong tak jarang hasilnya kurang menguntungkan bagi perempuan, khususnya bila dibandingkan dengan penyelesaian masalah harta warisan yang ditangani oleh Mahkamah Syar’iyah. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa baitul mal gampong belum berfungsi sepenuhnya, khususnya dalam menangani harta warisan yang tak ada lagi pemiliknya atau ahli warisnya. Tentang masalah perwalian pasca Tsunami, penelitian ini menemukan bahwa dalam praktek di gampong kedudukan dan kekuasaan wali seringkali lebih dikonotasikan dengan jenis kelamin laki-laki. Dengan demikian, perwalian terhadap anak-anak yatim lebih diprioritaskan kepada laki-laki dari pihak keluarga ayah. Meski begitu, sering terdapat bahwa pengasuhan anak-anak yatim tersebut berada di tangan perempuan dari sanak keluarga pihak ibu, sementara pengelolaan harta kekayaan anak yatim dan pembiayaan sehari-hari anak yatim itu berasal dari wali laki-laki dari sanak keluarga ayah. Penting dicatat bahwa Mahkamah Syar’iyah berusaha memberi arah baru bagi

Page 4: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

iii

praktek yang berlangsung ini dengan menunjuk sebagian besar wali perempuan, apakah itu ibu kandung, kakak perempuan kandung, tante atau nenek dari yatim itu. Guna mengatasi berbagai celah kekurangan dalam penyelesaian formal dan informal masalah tanah, kewarisan dan perwalian pasca-tsunami, seperti yang teridentifikasi dalam uraian temuan penelitian ini, sejumlah kegiatan sebagai tindak lanjut penelitian perlu disampaikan di sini. Sebagian kegiatan tindak lanjut itu akan dilaksanakan sendiri oleh IDLO selama misinya di Aceh, seperti:

• Peningkatan pengetahuan hukum dan kemampuan teknik mediasi aparat gampong.

• Diseminasi informasi hukum yang berwawasan gender untuk warga masyarakat • Penyediaan pusat informasi hukum dan paralegal yang dapat memfasilitasi

penyaluran kebutuhan hukum masyarakat. Beberapa agenda lain yang masih perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan hasil temuan penelitian ini antara lain adalah:

• Membantu kelengkapan administratif dan peralatan yang dibutuhkan untuk memaksimalkan peran rapat adat gampong sebagai media alternatif penyelesaian hukum.

• Membentuk secara resmi lembaga baitul mal gampong yang antara lain dapat difungsikan sebagai pengawas harta peninggalan yang tidak diketahui lagi ahli warisnya dan sebagai lembaga pengawas terhadap pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab wali.

• Mengupayakan secara intensif pendekatan hukum yang bersifat afirmatif untuk menjamin lebih lanjut penguatan posisi ahli waris perempuan yang sebatangkara, apakah melalui fatwa MPU ataupun lewat surat keputusan bersama yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tingkat propinsi yang terkait.

• Di luar program RALAS, dibutuhkan pula dukungan bagi Mahkamah Syar’iyah untuk melakukan penunjukan secara formal wali-wali bagi anak-anak yatim piatu, (jumlahnya kurang lebih 20.000 orang) yang hingga kini belum berada di bawah suatu perwalian resmi. Atau dapat juga, setelah baitul mal di setiap gampong terbentuk secara resmi, Mahkamah Syar’iyah menetapkan baitul mal gampong tersebut untuk menjadi wali bagi anak-anak yatim piatu yang berada di wilayahnya.

Page 5: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

iv

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMAKASIH .............................................................................. i RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................ ii DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv DAFTAR TABEL DAN GRAFIK ................................................................... vi DAFTAR DIAGRAM ....................................................................................... vii KETERANGAN DIAGRAM KEWARISAN ................................................. viii I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 II. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................ 1 III. SIGNIFIKANSI PENELITIAN ................................................................. 2 IV. METODE PENELITIAN............................................................................ 2 V. TEMUAN PENELITIAN............................................................................ 4

A. Pertanahan ............................................................................................. 4 1. Mahkamah Syar’iyah dan Penyelesaian Masalah Tanah .................. 4

a. Lewat Waktu ................................................................................ 5 2. Penyelesaian Masalah Tanah di Gampong ........................................ 6

a. Hukum yang digunakan dalam Penyelesaian Masalah Tanah .... 7 b. Musyawarah Gampong tentang Masalah Tanah .......................... 8 c. Program RALAS .......................................................................... 9 d. Cara Penyelesaian Masalah Tanah .............................................. 12

3. Hak Perempuan atas Tanah ............................................................... 14 a. Perempuan dan Penyelesaian Masalah Tanah di Gampong ......... 15

4. Tanah-tanah yang Pemiliknya Meninggal Sementara Ahli Warisnya Masih di Bawah Umur ...................................................... 17

5. Tanah-tanah yang Tidak Ada Pemilik atau Ahli Warisnya ............... 18 6. Tanah-tanah Pesisir yang Hilang Akibat Bencana Tsunami ............. 19 7. Tanah-tanah Pinggir Pantai yang Berubah Wujud Permukaannya .... 20

B. Kewarisan ............................................................................................... 22

1. Ahli Waris ......................................................................................... 22 a. Kewajiban Ahli Waris ................................................................. 22

2. Harta Peninggalan ............................................................................. 23 a. Harta Bawaan .............................................................................. 24 b. Harta Bersama ............................................................................. 26 c. Uang Pensiun dan Tabungan Hari Tua ........................................ 29

1) Pegawai Negeri Sipil ............................................................. 29 2) Karyawan Swasta .................................................................. 30

d. Jaminan Kematian ....................................................................... 31 e. Uang Asuransi: Harta Bersama atau Harta Peninggalan? ........... 31

3. Hak Waris Perempuan ....................................................................... 32

Page 6: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

v

a. Anak Perempuan ......................................................................... 32 b. Janda ............................................................................................ 34 c. Cucu Perempuan (patah titi) ....................................................... 36 d. Ibu ................................................................................................ 38

4. Implementasi Pembagian Warisan .................................................... 39 a. Pembagian Harta Warisan dalam Keluarga ................................. 39 b. Penyelesaian Masalah Warisan oleh Aparat Gampong ............... 41 c. Penyelesaian Perkara Waris oleh Mahkamah Syar’iyah ............. 42

C. Perwalian ................................................................................................ 44

1. Cakupan Perwalian ............................................................................ 44 2. Usia Anak di Bawah Perwalian ......................................................... 45 3. Persyaratan Wali ................................................................................ 45 4. Wali Perempuan untuk Pengasuhan dan Harta .................................. 46 5. Penunjukkan dan Penetapan Wali ..................................................... 48

a. Penunjukkan/Penetapan Wali dalam Program RALAS ............... 49 6. Kewajiban dan Tanggungjawab Wali ................................................ 50

a. Pengasuhan Diri Anak Jasmani dan Rohani ................................ 50 b. Pengurusan Harta Benda Milik Anak Yatim ............................... 51 c. Penyerahan Seluruh Harta kepada Anak Yatim di Bawah

Perwaliannya................................................................................. 52 7. Pengawasan Wali ............................................................................... 52 8. Pencabutan Kekuasaan dan Penggantian Wali .................................. 53

VI. KESIMPULAN ......................................................................................... 54 VII. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 56 VIII. LAMPIRAN

1. Jumlah penduduk sebelum dan sesudah bencana tsunami dalam enam kecamatan di Banda Aceh dan Aceh Besar a. Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh ....................................... 59 b. Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh ................................... 60 c. Kecamatan Kutaraja Kota Banda Aceh ....................................... 61 d. Kecamatan Peukan Bada Aceh Besar .......................................... 62 e. Kecamatan Baitussalam Aceh Besar ........................................... 63 f. Kecamatan Lhoknga Aceh Besar ................................................ 64

2. Formulir Bukti Kesepakatan Pewarisan ........................................... 65 3. Matriks Hukum Formal dan Hukum Adat Aceh tentang

Pertanahan ......................................................................................... 66 4. Matriks Hukum Formal dan Hukum Adat Aceh tentang

Kewarisan .......................................................................................... 79 5. Matriks Hukum Formal dan Hukum Adat Aceh tentang

Perwalian ........................................................................................... 95

Page 7: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

vi

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK

Tabel. 1 ........................................................................................................ 3 Tabel. 2 ........................................................................................................ 5 Tabel. 3 ........................................................................................................ 6 Tabel. 4 ........................................................................................................ 15 Tabel. 5 ........................................................................................................ 16 Tabel. 6 ........................................................................................................ 23 Tabel. 7 ........................................................................................................ 25 Tabel. 8 ........................................................................................................ 25 Tabel. 9 ........................................................................................................ 26 Tabel. 10 ........................................................................................................ 27 Tabel. 11 ........................................................................................................ 28 Tabel. 12 ........................................................................................................ 29 Tabel. 13 ........................................................................................................ 32 Tabel. 14 ........................................................................................................ 43 Tabel. 15 ........................................................................................................ 43 Tabel. 16 ........................................................................................................ 47 Tabel. 17 ........................................................................................................ 50 Grafik. 1 ........................................................................................................ 47

Page 8: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

vii

DAFTAR DIAGRAM

Diagram. 1 ...................................................................................................... 12 Diagram. 2 ...................................................................................................... 33 Diagram. 3 ...................................................................................................... 34 Diagram. 4 ...................................................................................................... 35 Diagram. 5 ...................................................................................................... 35 Diagram. 6 ...................................................................................................... 36 Diagram. 7 ...................................................................................................... 38 Diagram. 8 ...................................................................................................... 39 Diagram. 9 ...................................................................................................... 40 Diagram. 10 ...................................................................................................... 42 Diagram. 11 ...................................................................................................... 49

Page 9: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

viii

KETERANGAN DIAGRAM KEWARISAN

= Laki-laki pewaris = Laki-laki yang telah meninggal = Laki-laki yang masih hidup = Perempuan pewaris = Perempuan yang telah meniggal

= Perempuan yang masih hidup = Hubungan Perkawinan = Hubungan Persaudaraan = Hubungan keturunan = Hubungan keturunan angkat

Page 10: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

1

I. PENDAHULUAN Bencana alam Tsunami tanggal 26 Desember 2004 yang menimpa propinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah menewaskan dan menghilangkan sedikitnya 150 ribu hingga 200 ribu jiwa, menimbulkan kurang lebih 30 ribu anak yatim, dan mengakibatkan kerugian materil lainnya dalam jumlah yang sangat besar. Sebagai dampak dari bencana ini, berbagai persoalan dan sengketa hukum di bidang pertanahan, kewarisan dan perwalian tak pelak bermunculan ke permukaan.

Dalam waktu hampir satu setengah tahun pasca Tsunami, Mahkamah Syar’iyah di kota dan kabupaten di seluruh Aceh yang dilanda Tsunami telah menyelesaikan belasan ribu kasus yang meliputi penetapan ahli waris dan penunjukan perwalian. Jumlah ini tentu saja masih di bawah angka korban yang meninggal akibat Tsunami yang mencapai ratusan ribu jiwa. Lebih dari itu, perkara-perkara waris dan perwalian yang diajukan ke depan Mahkamah pada umumnya bersifat volunteer (permohonan) dan bukannya berbentuk contentious (persengketaan). Mahkamah Syar’iyah memperkirakan bahwa ke depan angka kasus sengketa akan meningkat, lebih-lebih jika kasus-kasus tersebut tak dapat diselesaikan melalui musyawarah keluarga ataupun oleh pemuka adat di gampong.

Mempertimbangkan kenyataan tersebut, International Development Law Organization (IDLO) dalam program bantuan hukum yang dilakukannya di Aceh pasca Tsunami memilih antara lain Mahkamah Syar’iyah Propinsi NAD sebagai salah satu partner kerjasama khususnya dalam bidang perkara-perkara yang merupakan kewenangan hukum Mahkamah Syar’iyah. Di antara program kerjasama tersebut adalah Penelitian dan Dokumentasi Hukum yang berkaitan dengan pertanahan,1 kewarisan dan perwalian. Hasil dari kegiatan riset ini nantinya akan digunakan sebagai kerangka pelaksanaan program berikutnya, yaitu pelatihan aparatur gampong guna peningkatan keterampilan dan teknik mediasi, dan sosialisasi tentang hak-hak perempuan dalam aspek pertanahan, kewarisan dan perwalian melalui film dokumenter pendek yang akan diproduksi oleh IDLO.

II. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian dan Dokumentasi hukum yang dilakukan oleh IDLO bekerjasama dengan Mahkamah Syar’iyah bertujuan antara lain:

1. Mengumpulkan informasi tentang prinsip-prinsip dan prosedur hukum formal berkaitan dengan persoalan pertanahan, kewarisan dan perwalian.

2. Mengumpulkan informasi tentang prinsip-prinsip dan praktek hukum adat di Banda Aceh dan Aceh Besar berkaitan dengan masalah pertanahan, kewarisan dan perwalian.

3. Mengetahui dengan lebih jelas tentang posisi dan kedudukan perempuan dalam praktek pengambilan keputusan hukum yang dibuat, baik oleh hakim Mahkamah maupun oleh aparat gampong, berkenaan dengan pertanahan, kewarisan dan perwalian.

1 Persoalan tanah, sepanjang tersangkut di dalamnya masalah kewarisan, menjadi kewenangan hukum Mahkamah Syar’iyah untuk memeriksanya. Lihat Fatwa MPU no. 3/2005 dan Soufyan M. Saleh, “Pembagian Hak Warisan: Praktek Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Orientasi Pemahaman Harta Bersama, Penentuan Ahli Waris dan Perwalian dalam Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Mei 2005, p. 8.

Page 11: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

2

4. Mempersiapkan bahan manual pelatihan keterampilan dan teknik mediasi yang berwawasan kesetaraan jender bagi aparat gampong di wilayah yang tertimpa bencana Tsunami.

5. Memperoleh informasi kasus-kasus yang terjadi di tengah masyarakat sebagai masukan untuk pengayaan cerita film dokumenter pendek yang akan diproduksi oleh IDLO.

III. SIGNIFIKANSI PENELITIAN

Sejumlah kegiatan berbentuk publikasi, penelitian, seminar dan lokakarya tentang masalah pertanahan, kewarisan dan perwalian di Aceh pasca Tsunami telah dihasilkan.2 Akan tetapi, semua karya tersebut lebih banyak menyoroti persoalan pertanahan, kewarisan dan perwalian dari sudut pandang normatif. Dengan kata lain, mereka lebih memberi perhatian pada prinsip-prinsip hukum, prosedur hukum dan skema solusi permasalahan, tetapi tidak menyoroti secara spesifik bagaimana realitas persoalan pertanahan, kewarisan dan perwalian yang terjadi di tengah masyarakat dan bagaimana kasus-kasus seputar hal itu dipecahkan baik di tingkat keluarga maupun gampong.

Penelitian ini menjadi signifikan karena ia bermaksud mengisi kevakuman di atas dengan mencoba melihat realitas masalah pertanahan, kewarisan dan perwalian di Aceh pasca Tsunami dari perspektif penyelesaian hukum melalui jalur formal pengadilan dan penyelesaian sengketa secara damai oleh aparat gampong. Selain itu, studi kasus kolektif dalam penelitian ini menjadi kian penting berhubung ia juga bermaksud memotret kecenderungan masyarakat dalam memahami dan memilih di antara berbagai hukum yang tersedia (misalnya KHI, hukum adat, dan fikih Syafi’iyah) dalam menyelesaikan perkara hukum yang dihadapi oleh mereka.

IV. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena informasi dan data yang dicari melalui penelitian ini lebih banyak dalam bentuk teks, dan juga karena penelitian ini mempelajari sejumlah studi kasus. Untuk itulah, instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi, observasi dan wawancara mendalam.

Peneliti pertama-tama melakukan penelusuran terhadap sejumlah literatur khususnya yang berkenaan dengan prinsip dan prosedur hukum adat Aceh berkaitan dengan tiga aspek hukum yang menjadi fokus penelitian ini. Peneliti juga menelaah sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan topik utama penelitian ini. Hasil dari penelusuran dan telaah ini adalah matriks kompilasi peraturan formal dan prinsip hukum adat mengenai pertanahan, kewarisan dan perwalian. Penyusunan matriks ini juga berdasarkan hasil wawancara mendalam bersama

2 Lihat misalnya Daniel Fitzpatrick, “Restoring and Confirming Rights to Land in Tsunami-Affected Aceh,” UNDP/OXFAM Report, 14 July 2005; Daniel Fitzpatrick and Myrna A. Safitri, “Bagaimana Melindungi dan Memenuhi Hak-Hak atas Tanah Korban Tsunami di Aceh?”, Oktober 2005; “Laporan Lokakarya Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Yatim Korban Tsunami sebagai Prasyarat Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD”, Yayasan Putroe Kandee, Mei 2005; “Lokakarya Perwalian Perempuan terhadap Harta Anak Yatim Korban Tsunami menurut Syariat Islam dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, Banda Aceh, September 2005.

Page 12: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

3

empat orang narasumber ahli hukum dan sejarah adat Aceh.3 Selain itu, wawancara mendalam dengan sejumlah hakim Mahkamah Syar’iyah di Banda Aceh dan Jantho juga ikut melengkapi matriks tersebut.4

Penelitian lapangan ke beberapa gampong sebagian dimaksudkan untuk melakukan verifikasi terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum adat yang dicantumkan dalam matriks guna mengetahui seberapa jauh prinsip dan aturan tersebut masih dipraktekkan dalam masyarakat. Selain untuk tujuan verifikasi itu, penelitian lapangan juga mempunyai maksud untuk mengevaluasi posisi dan kedudukan perempuan dalam praktek pelaksanaan hukum yang berkaitan dengan persoalan pertanahan, kewarisan dan perwalian pasca Tsunami.

Penelitian ini dibatasi hanya untuk dua wilayah, yaitu kota Banda Aceh dan kabupaten Aceh Besar. Selengkapnya, gampong atau kelurahan yang menjadi target penelitian ini berjumlah dua belas buah sebagai berikut:

Tabel 1.

KOTA/KAB KECAMATAN MUKIM GAMPONG/KELBANDA ACEH MEURAXA Tgk. Chik Lamjabat 1. Cot Lamkuweuh Meuraxa 2. Lambung KUTARAJA Tgk. Dianjong 3. Gampong Jawa Tgk. Dianjong 4. Lampaseh Kota KUTA ALAM Lam Kuta 5. Lampulo Kuta Alam 6. Lambaro Skep ACEH BESAR PEUKAN BADA Lam Teungoh 7. Lamteh Baroh 8. Ajuen LHOKNGA Lampuuk 9. Meunasah Balee Lhoknga 10. Mon Ikeun BAITUSSALAM Klieng 11. Lambada Lhok Silang Cadek 12. Kajhu

Gampong-gampong di atas dipilih sebagai lokasi penelitian antara lain karena angka korban Tsunami (hilang dan meninggal) sangat tinggi jumlahnya dibandingkan dengan gampong-gampong lainnya yang terletak di kecamatan yang sama (lihat lampiran 1: Jumlah penduduk sebelum dan sesudah bencana tsunami di enam lokasi kecamatan di Banda Aceh dan Aceh Besar). Penelitian ini memandang bahwa semakin banyak jumlah korban Tsunami di suatu gampong, maka semakin besar pula kemungkinan jumlah perkara pertanahan, kewarisan dan perwalian yang bakal muncul di gampong tersebut. Selain itu, gampong yang dipilih tersebut memiliki kompleksitas masalah yang lebih banyak diakibatkan oleh heterogenitas penduduk yang berdomisili di gampong tersebut.

3 Wawancara dengan T.I. El Hakimy (26 April 2006), T. Djuned (27 April 2006), Rusdi Sufi (27 April 2006) dan Badruzzaman Ismail (8 Mei 2006). 4 Wawancara dengan hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh (26 April 2006) dan Jantho (27 April 2006).

Page 13: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

4

V. TEMUAN PENELITIAN A. Pertanahan Patut diungkap sebelumnya disini bahwa persoalan pertanahan yang dikaji lewat penelitian ini adalah yang berkaitan secara langsung dengan situasi pasca Tsunami, dan bukannya masalah pertanahan secara umum. Uraian dalam bagian ini akan diawali oleh pembahasan masalah kewenangan Mahkamah Syar’iyah atas pertanahan. Berhubung kasus pertanahan yang berkaitan dengan bencana Tsunami hampir tidak ada yang diajukan ke pengadilan, pembahasan selanjutnya akan terfokus pada penyelesaian masalah kepemilikan tanah di gampong. 1. Mahkamah Syar’iyah dan Penyelesaian Masalah Tanah Pada dasarnya, penyelesaian masalah tanah lewat jalur hukum formal adalah merupakan kewenangan Peradilan Negeri dan bukan berada di bawah jurisdiksi Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Qanun nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam dan Keputusan Presiden nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tidak memberi kewenangan hukum untuk memeriksa kasus-kasus pertanahan secara umum. Masalah pertanahan memang bisa saja diperiksa oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah apabila di dalamnya ada melibatkan perkara kewarisan. Sungguhpun begitu, jika terdapat sengketa hak milik tanah di dalam perkara kewarisan tersebut, maka ketentuan pasal 50 UU 7/1989 yang akan berlaku. Pasal tersebut menyatakan bahwa seluruh bentuk sengketa hak milik, termasuk kepemilikan tanah, tidak dapat diselesaikan oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah kecuali apabila telah diperiksa dan diputuskan perkaranya oleh Pengadilan Negeri. Dengan demikian, jika terdapat masalah kewarisan tanah yang di dalamnya tersangkut sengketa hak milik, perkara semacam itu terlebih dahulu harus diselesaikan oleh Pengadilan Negeri, dan setelah itu baru kemudian dapat diteruskan pemeriksaan dan penyelesaiannya oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Namun, menurut Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, Soufyan Saleh, penyerahan sebagian kewenangan Peradilan Negeri kepada Mahkamah Syar’iyah pada tanggal 11 Oktober 2004, melalui Surat Keputusan Mahkamah Agung (KMA/070/SK/X/2004) tentang Pelimpahan Sebahagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, dapat dipandang sebagai pemberian kewenangan yang lebih luas kepada Mahkamah Syar’iyah daripada kewenangan Pengadilan Agama sebelumnya, termasuk otoritas dalam memeriksa dan menyelesaikan sengketa hak milik dalam perkara kewarisan.5

5 Soufyan M. Saleh, “Pembagian Hak Warisan: Praktek Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Orientasi Pemahaman Harta Bersama, Penentuan Ahli Waris dan Perwalian dalam Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Mei 2005.

Page 14: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

5

Di samping itu, respon pasca-Tsunami di Aceh tampaknya menjadi alasan khusus bagi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) untuk mengeluarkan fatwa nomor 3 tahun 2005 yang menyatakan kewenangan Mahkamah Syar’iyah untuk memeriksa kasus-kasus kewarisan tanah yang di dalamnya terdapat pula sengketa milik (lihat fatwa di dalam box di bawah).

Tabel 2.

Gugatan Hak Milik dan Kewarisan atas tanah (korban gempa dan gelombang Tsunami) dapat diajukan ke Mahkamah Syar’iyah dengan penyertaan alat bukti yang sah. Kewenangan menyelesaikan sengketa hak milik dan kewarisan atas tanah, sengketa nasab dan mafqud adalah kewenangan Mahkamah Syar’iyah.

Kewenangan Mahkamah Syar’iyah/Peradilan Agama atas sengketa hak milik, termasuk di dalamnya perkara kewarisan atas tanah, kian terakui keabsahannya menyusul diberlakukannya Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang tersebut berbunyi: “Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada [UU 3/2006, 50] ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam [UU 3/2006] pasal 49.” Dengan kata lain, segala kasus sengketa hak milik atas tanah warisan, sepanjang pihak-pihak yang terlibat dalam perkara itu beragama Islam, berada di bawah kewenangan Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk memeriksanya. Akan tetapi, sungguhpun Mahkamah Syar’iyah sudah memperoleh otoritas penuh untuk memeriksa kasus-kasus sengketa kewarisan tanah, hingga penelitian ini selesai dilakukan, terdapat hanya satu atau dua kasus semacam itu yang diajukan ke muka hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Jantho. a. Lewat Waktu Pembahasan tentang lewat waktu atau kadaluarsa dalam kaitannya dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah cukup relevan pula untuk dibahas di sini. Menurut Fatwa MPU nomor 2 tahun 2005 yang dikeluarkan tidak lama sesudah terjadinya bencana Tsunami (7 Februari 2005), “Gugatan hak milik dan gugatan kewarisan atas tanah korban Tsunami hanya diterima dalam waktu 5 tahun sejak musibah Tsunami terjadi dan setelah itu dinyatakan lewat waktu (kadaluarsa); sedang bagi anak yang belum dewasa ketika musibah Tsunami terjadi hak mengajukan gugatan ini diperpanjang sampai dia berumur 19 tahun.” Substansi butir fatwa MPU yang menyangkut lewat waktu ini tampaknya tidak seirama dengan ketentuan formal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku Keempat tentang Pembuktian dan Lewat Waktu. Pasal 1967 dari KUHPer itu berbunyi:

Page 15: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

6

Tabel 3.

Semua tuntuan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk.

Menarik diungkapkan di sini bahwa sebelum Tsunami terjadi di Aceh, terdapat putusan banding Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD (37/Pdt.G/2004/MS Prov.) yang menolak gugatan perkara kewarisan karena sudah lewat waktu dari 33 tahun. Akan tetapi, putusan banding itu ternyata tidak merujuk ketentuan yang terdapat dalam pasal 1967 KUHPer di atas, melainkan berdasarkan kitab Al-Nasyi’ah (jilid 7:485), sebuah kitab fikih bermazhab Syafi’i. Berkaitan dengan batas lewat waktu ini, tampaknya Mahkamah Syar’iyah akan lebih mendasarkan diri pada ketentuan formal sebagaimana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan banding Mahkamah Syar’iyah Provinsi ketimbang pada fatwa yang dikeluarkan oleh MPU di atas.6 Selain itu, fatwa merupakan suatu produk hukum yang tidak mempunyai implikasi hukum yang mengikat, apatah lagi memaksa para hakim untuk mengikutinya. 2. Penyelesaian Masalah Tanah di Gampong Kasus persengketaan hak atas tanah yang terkait erat dengan situasi pasca Tsunami tampaknya lebih sering diselesaikan pada tingkat gampong oleh pemuka adat ketimbang oleh Pengadilan. Hal ini terbukti dengan hampir tidak adanya perkara pertanahan yang terkait bencana Tsunami yang masuk ke Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Syar’iyah (MS) di Banda Aceh dan Aceh Besar hingga penelitian lapangan berakhir pada April 2006.7 Ada kemungkinan bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) nomor 2 tahun 2005 merupakan faktor pendorong terjadinya penyelesaian masalah tanah di gampong. Fatwa tersebut berbunyi “Mengingatkan kembali bahwa Mahkamah Syar’iyah perlu memberi kesempatan kepada Geuchik dan Mukim (beserta tuha peutnya masing-masing) untuk menyelesaikan sengketa melalui perdamaian sebelum diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah”. Tapi fatwa MPU tersebut sesungguhnya bukan faktor yang amat menentukan. Hal lain yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk menyelesaikan persoalan tanah mereka di gampong adalah fakta bahwa mereka tidak memahami dan mengetahui secara persis mekanisme pengajuan perkara ke pengadilan.8 Lebih-lebih, pada umumnya yang menjadi korban Tsunami adalah orang-orang tua, dan yang selamat hanyalah tinggal anak-anak yang hidup bersama wali dari keluarga orang tuanya. Anak-anak yang masih di bawah perwalian ini tentu saja tidak bisa segera menangani persoalan kepemilikan tanah yang merupakan harta warisan dari orang tua mereka yang meninggal dalam Tsunami. Adapun wali-

6 Diskusi dengan sejumlah Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD (2 Juni 2006). 7 Wawancara dengan panitera PN Jantho (27 April 2006); Wakil Ketua PN Banda Aceh (26 April 2006); Ketua MS dan panitera MS Banda Aceh (26 April 2006); Ketua MS Jantho (27 April 2006). 8 Lihat draft laporan penelitian yang disiapkan oleh UNDP, Access to Justice in Aceh (Mei 2006).

Page 16: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

7

wali dari anak-anak tersebut belum seluruhnya memperoleh penetapan resmi dari Mahkamah Syar’iyah sehingga mereka belum dianggap sah menurut hukum untuk bertindak melakukan perbuatan hukum atas nama anak yang berada di bawah perwalian mereka. Menurut perkiraan kasar seorang hakim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, terdapat lebih dari 20.000 anak yatim piatu yang hingga sekarang belum mendapatkan penetapan wali secara resmi.9 Pembahasan panjang lebar tentang perwalian akan dibahas dalam bagian mendatang. Faktor lain yang tidak kalah penting tentang mengapa penyelesaian masalah tanah lebih sering dilakukan di gampong adalah sikap dan pemahaman warga masyarakat bahwa berurusan dengan pengadilan hanya menimbulkan ongkos yang mahal. Sungguhpun biaya perkara tidak dipungut atas mereka yang tertimpa bencana Tsunami, ongkos transportasi menuju lokasi pengadilan (misalnya di Jantho bagi penduduk Aceh Besar yang berdomisili di kecamatan Lhoknga, Lepung atau Lhoong) bukanlah sesuatu yang murah dan terjangkau bagi masyarakat kecil yang sudah menderita dan kehilangan harta benda akibat Tsunami. Hal lain yang juga disebut sebagai alasan warga masyarakat tidak membawa perkaranya ke pengadilan adalah persepsi mereka bahwa perdamaian hanya dapat diperoleh lewat penyelesaian hukum di gampong, sementara jika perkara sudah dimasukkan ke pengadilan maka persoalan benar-salah suatu kasus yang lebih diutamakan. Selain itu, masyarakat juga menganggap bahwa hanya orang-orang yang kuat atau pintar dan kaya yang mampu menyewa pengacara yang akan memenangkan perkara itu.10

a. Hukum yang digunakan dalam Penyelesaian Masalah Tanah Sekalipun disadari betul bahwa terdapat praktek yang berbeda-beda antara satu gampong dengan gampong lainnya, penelitian ini menemukan bahwa penyelesaian masalah tanah yang dilakukan lewat musyawarah gampong dengan dipimpin oleh Geuchik lebih banyak menurut ketentuan adat setempat. Yang dimaksudkan dengan ketentuan adat di sini adalah bahwa Geuchik lebih menekankan kepada pihak-pihak untuk mencapai perdamaian dengan cara musyawarah atau berkompromi di antara mereka sendiri berdasarkan suatu pembuktian, misalnya keterangan dari saksi-saksi yang masih hidup. Di Gampong Jawa, kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, misalnya, terdapat masalah yang berhubungan dengan batas tanah. Oleh aparat gampong, setelah sejumlah saksi dipanggil untuk menjelaskan secara pasti tentang batas-batas tanah tersebut, perkara tanah tersebut pada galibnya sudah terselesaikan dengan sendirinya. Pada kasus lain di mana sertifikat tanah hilang atau musnah karena bencana Tsunami, aparat Gampong Jawa meminta kepada kedua belah pihak keluarga suami dan keluarga isteri, yang merupakan ahli waris yang masih tinggal, untuk melakukan musyawarah intern dengan mengutamakan kejujuran dan keikhlasan.11 Berdasarkan hasil musyawarah keluarga inilah, Geuchik lalu menerbitkan surat keterangan tentang kepemilikan tanah itu yang nantinya berguna untuk kepentingan pemecahan, pendaftaran dan penerbitan sertifikat untuk tanah tersebut.

9 Pembicaraan pribadi dengan Rosmawardani, hakim pada Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, 30 Mei 2006. 10 Wawancara dengan Rafiuddin, Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho; Cf. Draft Laporan UNDP, Access to Justice in Aceh (Mei 2006). 11 Wawancara dengan Abubakar, Imam Meunasah Gampong Jawa, 2 Mei 2006.

Page 17: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

8

Bila diamati secara seksama, proses penyelesaian masalah tanah menurut adat seperti yang terjadi di beberapa gampong sesungguhnya bersesuaian dengan ketentuan hukum formal pertanahan. Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan: “Penetapan batas bidang tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak yang belum terdaftar atau yang sudah terdaftar tetapi belum ada surat ukur/gambar situasi atau surat ukur/gambar situasi yang ada tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya, dilakukan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, berdasarkan penunjukan batas oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang hak atas tanah yang berbatasan.” Selanjutnya, pasal 19 ayat (1) PP 24/1997 menyebutkan: “Jika dalam penetapan batas bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dengan pemegang hak atas tanah yang berbatasan, pengukuran bidang tanahnya diupayakan untuk sementara dilakukan berdasarkan batas-batas yang menurut kenyataannya merupakan batas-batas bidang-bidang tanah yang bersangkutan.” Satu hal yang penting dicatat di sini adalah bahwa amat disayangkan sekali penyelesaian masalah-masalah tanah lewat musyawarah gampong yang menghasilkan beberapa keputusan bersama, seperti relokasi tanah, pengurangan luas tanah dan hibah sebagian tanah, tidak mendapat perhatian administratif yang sewajarnya. Padahal berbagai keputusan tersebut penting untuk didokumentasikan dalam bentuk berita acara yang dapat disimpan sebagai arsip di kantor gampong, karena suatu saat kelak dapat dipergunakan sebagai alat bukti tertulis jika ada keturunan dari pemilik tanah, atau ahli warisnya, yang berkeberatan dan mengajukan gugatan ke pengadilan. Sebagai suatu hasil musyawarah gampong yang telah disetujui bersama oleh seluruh pemilik tanah, atau ahli warisnya, keputusan itu semestinya mengikat seluruh pihak-pihak peserta, termasuk anak keturunannya, dalam musyawarah tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa hampir semua gampong yang menjadi obyek penelitian ini tidak memiliki suatu perangkat dasar administrasi penyelesaian hukum di gampong. Dengan tidak adanya catatan atas keputusan-keputusan yang sudah diambil dalam setiap upaya penyelesaian hukum melalui musyawarah gampong, dikhawatirkan akan membuka celah hukum di kemudian hari yang dapat mengundang pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mengambil keuntungan akibat kelemahan administratif tersebut. Pihak-pihak tersebut mungkin saja adalah mereka yang tidak menghadiri musyawarah gampong atau pihak yang merasa dirugikan, baik langsung maupun tidak langsung, oleh keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam musyawarah itu. b. Musyawarah Gampong tentang Masalah Tanah Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa penyelesaian masalah tanah pasca Tsunami lebih sering dilakukan di gampong. Penyelesaian ini pada umumnya mengambil bentuk musyawarah untuk mencapai kesepakatan di antara pemilik tanah, atau ahli warisnya, terhadap batas-batas tanah mereka (model penyelesaian masalah tanah seperti ini seringkali juga disebut ‘Community Driven Adjudication’ (CDA) atau Pendaftaran Tanah berbasis Masyarakat). Musyawarah gampong ini tidak selalu mengambil tempat di sebuah gedung

Page 18: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

9

(meunasah, rumah warga atau kantor gampong), tetapi lebih sering terjadi di lapangan khususnya di tempat di mana tanah-tanah yang batas-batasnya akan ditentukan. Musyawarah ini biasanya dilaksanakan berkali-kali dan memakan waktu hingga beberapa bulan untuk suatu gampong. Hal ini disebabkan oleh faktor bahwa penyelesaian masalah tanah tidak dapat hanya diselesaikan satu-persatu, melainkan juga melibatkan segenap pemilik tanah, atau ahli warisnya, yang berlokasi bersebelahan batas tanah. Sementara itu, keberadaan para pemilik tanah, atau ahli warisnya, tidak dapat diketahui dengan pasti. Di antara mereka ada yang bertempat tinggal di barak-barak di lokasi gampong bersangkutan. Ada juga sebagian yang menetap di tempat-tempat pengungsian di rumah kerabat mereka di luar gampong tersebut. Tapi ada pula yang tidak ada lagi kabar beritanya. Karena itulah, masalah koordinasi dan mobilisasi warga pemilik tanah, atau ahli warisnya, yang dilakukan oleh aparat gampong sangat menentukan kelancaran dan keberhasilan musyawarah gampong tersebut.12 Dalam pengukuran batas bidang tanah di lapangan, pemilik tanah, atau ahli warisnya, hadir bersama-sama dengan pemilik bidang tanah yang bersebelahan, kepala dusun setempat, tuha peut dan geuchik untuk memastikan patok tanda batas tanah. Apabila tidak diperoleh kesepakatan antara pemilik bidang tanah yang bersangkutan mengenai patok tanda batas tanah, maka batas bidang tanah diukur dan dinyatakan sebagai batas sementara. Dalam hal seorang pemilik bidang tanah, atau ahli warisnya, berhalangan hadir atau tidak diketahui lagi keberadaannya, maka patok tanda batas tanah ditentukan berdasarkan pengetahuan para perangkat gampong yang hadir pada saat itu, dan batas bidang tanah tersebut dinyatakan sebagai batas sementara.13 Satu hal yang penting dijelaskan juga di sini berkaitan dengan musyawarah gampong untuk penyelesaian masalah tanah adalah rendahnya ongkos yang harus dikeluarkan bila dibandingkan dengan penyelesaian masalah tanah ini di pengadilan. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan musyawarah gampong itu lebih banyak berupa ongkos pemanggilan/undangan, konsumsi makanan dan minuman bagi peserta dan hadirin yang mengikuti musyawarah gampong. Tidak ada keterangan pasti dari informan mengenai berapa besar rupiah yang dibelanjakan dalam setiap pelaksanaan musyawarah gampong tersebut. Namun, yang seringkali terjadi adalah bahwa pembiayaan tersebut ditanggulangi secara bersama ataupun mendapat dukungan dana dari pihak luar (BPN atau NGO) yang kebetulan sedang menjadikan gampong tersebut sebagai lokasi garapan kegiatan mereka. c. Program RALAS Penyelesaian soal tanah di gampong dilakukan sebagian besar dengan bantuan pendanaan World Bank yang diberikan melalui program RALAS (Reconstruction of Aceh Land and Administration System). Program yang diselenggarakan bersama oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (BRR) ini bertujuan untuk

12 Cukup banyak kasus tanah yang pemiliknya bukanlah warga setempat, melainkan orang-orang yang bertempat tinggal di luar lokasi tanah itu, seperti. Medan, Jakarta dan sebagainya. 13 Manual Pendaftaran Tanah, h. 24.

Page 19: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

10

melakukan sertifikasi tanah di sejumlah wilayah yang terkena bencana Tsunami. Ada empat tujuan pokok program ini sebagai berikut: 1) Pemulihan dan perlindungan hak atas tanah masyarakat di daerah yang

terkena dampak Tsunami; 2) Pembangunan kembali system administrasi pertanahan; 3) Peningkatan jaminan kepastian hak atas tanah dan peningkatan efisiensi dan

transparansi serta memperbaiki kualitas pelayanan pemberian hak atas tanah dan pendaftarannya; dan

4) Perbaikan kapasitas pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsi manajemen pertanahan secara efisien dan transparan.

Sejauh ini, program RALAS telah memulai kegiatannya khususnya di wilayah Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Banyak pihak yang terlibat dalam kegiatan ini, termasuk Mahkamah Syar’iyah. Meski demikian, keterlibatan Mahkamah Syar’iyah dalam kegiatan ini tidak terkait langsung dengan persoalan tanah, melainkan lebih banyak berhubungan dengan masalah penetapan perwalian bagi anak di bawah umur yang akan memperoleh sertifikat tanah dari program RALAS (masalah ini akan dibahas lebih lanjut nanti dalam bagian Perwalian). Barangkali cukup untuk dikatakan di sini bahwa aktivitas penyelesaian masalah tanah dengan dukungan program RALAS ini berada dalam ranah kekuasaan gampong ketimbang oleh Mahkamah Syar’iyah. Diagram 1 di bawah menjelaskan bagaimana gampong berperan serta dalam proses sertifikasi tanah oleh BPN. Peran gampong dalam proses sertifikasi tanah sangat menentukan, khususnya karena geuchik (kepala gampong) ataupun aparatur gampong lainnya (imam meunasah dan tuha peut) seringkali bertugas, difasilitasi oleh tim BPN atau lainnya, untuk mengorganisasikan terciptanya kesepakatan antar pemilik tanah, yaitu ahli waris dalam hal pemilik sudah meninggal atau wali dalam hal pemilik tanah adalah ahli waris yang masih di bawah umur, mengenai batas-batas sebidang tanah yang dimiliki seseorang dengan sebidang tanah tetangga lainnya. Di gampong Lamteh, kecamatan Peukan Bada, kabupaten Aceh Besar, misalnya, pada saat proses sertifikasi tanah dilakukan oleh BPN terdapat dua orang yang mengaku sebagai ahli waris atas sebuah bidang tanah. Geuchik Lamteh dengan segera menyelesaikan masalah ini lewat cara meminta masing-masing orang tersebut untuk mengajukan bukti-bukti kuat sebagai ahli waris yang sah. Melalui bukti-bukti tersebut, masalah tanah di antara ahli waris dapat diselesaikan dengan mudah oleh Geuchik. Sampai penelitian ini dilaksanakan, belum ada satupun kasus menyangkut masalah sengketa kewarisan tanah yang diajukan ke Mahkamah Syar’iyah.14 Di sini terlihat bahwa aparat gampong berupaya sebaik mungkin agar seluruh bidang tanah tersebut dapat dibagi kepada ahli waris yang berhak dengan suatu kesepakatan damai. Dengan berdasarkan kesepakatan itulah, suatu peta dasar gampong yang terdiri dari bidang-bidang tanah dapat disusun untuk selanjutnya diikuti oleh sistem dan prosedur pendaftaran tanah oleh BPN. Hasil pendaftaran tanah dan sertifikasi oleh BPN ini nantinya berguna untuk keperluan pembangunan bantuan rumah tinggal bagi warga yang terkena bencana Tsunami. Hal ini karena persyaratan

14 Wawancara dengan Saiful Bahri, Geuchik Lamteh, 6 Mei 2006.

Page 20: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

11

memperoleh bantuan rumah dari BRR atau NGO lainnya mengharuskan bahwa tanah yang akan dibangun tersebut tidak memiliki masalah dan sudah memiliki kelengkapan surat/sertifkat tanah yang dibutuhkan. Kegiatan pendaftaran tanah yang dilaksanakan oleh BPN di wilayah NAD yang tertimpa bencana Tsunami memiliki perbedaan dengan aktivitas pendaftaran tanah sistematik sebagaimana yang biasa dilakukan oleh BPN. Kegiatan pendaftaran tanah ini mengalami penyesuaian teknis tertentu terutama menyangkut keterlibatan anggota masyarakat dalam proses penciptaan kesepakatan atas bidang-bidang tanah dan kepemilikannya. BPN dalam hal ini lebih banyak berperan sebagai fasilitator dengan memberikan pengakuan hak atau persetujuan legalitas.15 Penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana proses penciptaan kesepakatan warga masyarakat atas persoalan tanah dan bentuk penyelesaiannya akan dibahas dalam bagian berikut.

15 “Manual Pendaftaran Tanah di Lokasi Bencana Tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara”, h. 7, 17.

Page 21: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

12

Diagram 1

d. Cara penyelesaian Masalah Tanah Terdapat beberapa cara penyelesaian masalah tanah yang diputuskan lewat musyawarah gampong seperti yang akan dijelaskan di bawah. Namun, penting untuk digarisbawahi di sini bahwa sesungguhnya sangatlah sulit untuk membuat suatu generalisasi mengenai model penyelesaian masalah tanah lewat musyawarah gampong, karena praktek tersebut seringkali berbeda antara satu gampong dengan

Page 22: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

13

gampong lainnya. Keterangan yang disampaikan dalam uraian berikut lebih bertumpu pada hasil-hasil yang ditemukan di wilayah lokasi penelitian ini dan belum tentu menggambarkan kondisi yang sama di wilayah gampong lainnya. 1. Relokasi tanah

Gampong Lambung, kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, yang menjadi salah satu lokasi penelitian ini, adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan bagaimana relokasi tanah terjadi pasca Tsunami. Jumlah penduduk gampong Lambung sebelum tsunami mencapai 1600 orang dan setelah tsunami jumlah tersebut berkurang dan tersisa hanya 276 jiwa. Semua penduduk Lambung yang tersisa itu masih menempati barak-barak hunian sementara dan ada juga yang tinggal bersama keluarga mereka di luar wilayah gampong Lambung. Sampai penelitian ini dilakukan, belum ada satupun rumah yang dibangun kembali. Hal ini terkait erat dengan rencana penataan ulang gampong Lambung dari keadaan semula gampong tersebut sebelum Tsunami. Dari peta dasar yang disusun berdasarkan kesepakatan warga dan sempat diperlihatkan kepada peneliti, tampak bahwa cukup banyak perubahan peruntukan tanah dan perpindahan lokasi dari tempat asal yang akan dilakukan di gampong Lambung sesudah Tsunami. Menurut geuchik Lambung, Zaidi Adan, tipe rumah yang akan dibangun kembali dibuat dalam bentuk blok-blok dengan tiga tipe antara lain tipe 300 meter, 200 meter dan 150 meter. Setiap blok akan dibatasi dengan jalan seluas yang dapat dilalui oleh dua kendaraan beroda empat yang berpapasan. Jadi, rumah-rumah di gampong Lambung yang sebelumnya tidak ada akses jalan akan berubah menjadi perumahan yang mudah terjangkau oleh kendaraan beroda empat. Demikian juga, terdapat sejumlah fasilitas umum seperti tempat pendidikan yang dipindahkan dari posisinya semula yang terletak di tengah pemukiman penduduk ke pinggir jalan besar yang menghubungkan antara satu gampong dengan gampong lain di kecamatan Meuraxa.16

2. Pengurangan luas tanah untuk kepentingan umum Di beberapa gampong yang menjadi lokasi penelitian ini (e.g. Lampulo dan Lambung), terdapat praktek penyelesaian masalah tanah oleh gampong dengan cara mengurangi luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah, atau ahli warisnya, untuk kepentingan umum, misalnya untuk pembuatan dan pelebaran jalan di gampong tersebut. Di Lambung, misalnya, bagi masyarakat yang memiliki tanah dengan luas 1000 meter pada awalnya akan dipotong untuk desa sebesar 10%, dan sesudah itu pemilik tanah, atau ahli warisnya, berhak memiliki 3 petak tanah dan rumah yang masing-masing seluas 300 meter. Di gampong Lampulo, keadaan yang sama juga terjadi. Menurut Geuchik Lampulo, Yusuf Zakaria, proses sertifikasi yang dilakukan oleh BPN di wilayahnya sudah mendekati 90 persen dan dalam proses tersebut tidak jarang sejumlah tanah milik warga masyarakat ada yang dikurangi luasnya untuk kepentingan pembuatan akses jalan baru ataupun pelebaran ruas jalan yang sudah ada sebelumnya.17

3. Hibah sebagian tanah untuk warga lain yang hanya memiliki lahan sempit Hal lain yang juga patut diutarakan di sini sehubungan dengan cara penyelesaian masalah tanah melalui musyawarah gampong adalah fakta

16 Wawancara Zaidi Adan, Geuchik Lambung, 2 Mei 2006. 17 Wawancara dengan Yusuf Zakaria, Geuchik Lampulo, 4 Mei 2006.

Page 23: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

14

bahwa bagi pemilik tanah, atau ahli warisnya, yang memiliki luas tanah kurang dari 100 atau 150 meter terkadang memperoleh hibah sebagian tanah dari tetangganya atau dari gampong. Tujuan hibah sebagian tanah ini adalah agar yang bersangkutan dapat memenuhi kualifikasi sebagai penerima rumah bantuan, apakah dari BRR ataupun NGO internasional lainnya, yang secara umum mempersyaratkan suatu jumlah luas tanah tertentu. Dalam hal ini, lazimnya warga masyarakat tidak menunjukkan keberatan yang berarti untuk merelakan sebagian kecil tanahnya untuk saudara atau tetangganya.18 Sebab, suatu kesepakatan akhir mengenai penggunaan dan peruntukkan lahan oleh pemilik tanah, atau ahli warisnya yang sah, menjadi prasyarat mutlak untuk penataan ulang dan pembangunan kembali suatu gampong pasca Tsunami.

3. Hak Perempuan atas Tanah Penting untuk diutarakan pertama-tama bahwa perempuan sebagai subjek hukum memiliki hak yang sederajat dengan laki-laki untuk menguasai sebidang tanah dan mengambil keuntungan dari hasil yang berasal dari tanah tersebut. Undang-Undang pasal 9 ayat (2) nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menggariskan bahwa:

Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Berdasarkan bunyi peraturan tersebut, seorang perempuan dapat mendaftarkan tanah dan memperoleh sertifikat tanah atas namanya sendiri. Dengan demikian, perempuan-perempuan korban bencana Tsunami yang selamat dan masih hidup, apakah berposisi sebagai seorang janda, anak perempuan atau saudara perempuan sebatangkara, dapat memperoleh hak atas tanah dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya. Dalam adat Aceh, hak seorang perempuan atas tanah pun dibenarkan. Laki-laki dan perempuan, menurut adat Aceh, memiliki hak yang sama atas tanah/rumah dan manfaat dari tanah/rumah tersebut untuk kepentingan diri dan keluarganya.19 Untuk menjamin lebih lanjut hak perempuan atas tanah, Keputusan Kepala BPN nomor 114-II.2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah di Lokasi Bencana Tsunami mengatur beberapa hal sebagai berikut: 20

• Perempuan dapat mendaftarkan tanah dan memperoleh sertifikat hak atas tanah atas namanya dirinya.

• Untuk tanah yang merupakan harta bersama suami istri maka sertifikat akan diatasnamakan dua orang tersebut. Tidak hanya atas nama suami saja.

• Janda dan anak perempuan yang memperoleh hak waris atas tanah harus mendaftarkan hak atas tanah tersebut atas nama dirinya.

• Perempuan pemilik tanah diharapkan dapat hadir dalam muswayarah gampong untuk membahas rencana pendaftaran tanah.

• Perempuan pemilik tanah harus berada di lokasi di mana tanah miliknya berada ketika tim ajudikasi akan melakukan pengukuran dan pemetaan.

18 Wawancara Muhammad Yatim, kepala dusun gampong Lambung, 2 Mei 2006 19 Wawancara T. Djuned, 27 April 2006. 20 Manual Pendaftaran Tanah, h. 13-14, 26, 32.

Page 24: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

15

• Perempuan (janda) diprioritaskan dalam memperoleh informasi yang berasal dari materi pengumuman peta pendaftaran tanah dan daftar bidang-bidang tanah yang sudah disiapkan oleh BPN.

• Perempuan pemilik tanah diberikan jaminan keamanan untuk hadir dalam acara penerimaan sertifikat tanah secara bersama-sama.

a. Perempuan dan Penyelesaian Masalah Tanah di Gampong Penyelesaian masalah tanah di gampong kerapkali juga melibatkan persoalan kewarisan di dalamnya. Masalah kewarisan ini sendiri akan dibahas lebih detil nanti dalam bagian kewarisan. Namun, persoalan ini kiranya perlu didiskusikan di sini khususnya yang berkaitan langsung dengan penyelesaian masalah tanah di gampong yang melibatkan perempuan sebagai pemegang hak waris atas suatu kepemilikan tanah. Secara gamblang dapat dikemukakan bahwa posisi perempuan dalam hal penyelesaian masalah tanah di gampong tak jarang berada dalam kondisi kurang menguntungkan. Hal ini tampak khususnya dalam konteks ketika ahli waris atas sebidang tanah hanya terdiri dari seorang ahli waris tunggal yang sebatangkara, yang mungkin saja berkedudukan sebagai janda, seorang anak perempuan, seorang saudara perempuan atau seorang ibu kandung dari pewaris. Berhubung posisi mereka masing-masing sebagai ahli waris tunggal tidak dapat menerima atau menghabiskan seluruh harta warisan (`asabah), sisa dari harta yang mereka peroleh akan diambil oleh wali, kerabat jauh (zawil arham) atau oleh gampong sebagai harta agama. Dalam hal harta peninggalan berupa sebidang tanah, perempuan-perempuan ini seringkali tidak dapat menerima seutuhnya, melainkan hanya sebagiannya saja. Jadi dari seluruh luas tanah yang merupakan harta warisan, ahli waris tunggal tersebut di atas akan menerima bagian luas tanah sebagai berikut: janda memperoleh ½ bagian bila tanah itu merupakan harta bersama dan ¼ dari total luas tanah jika tanah itu sepenuhnya adalah harta peninggalan; anak perempuan mendapatkan ½; saudara perempuan akan mendapatkan ½; dan seorang ibu kandung menerima 1/3 bagian. Ketentuan-ketentuan ini semua berasal dari Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang bersesuaian juga dengan norma-norma adat Aceh, sebagai berikut:

Tabel 4. Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. (KHI, 97) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama (KHI, 96:1) Janda mendapat ¼ bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak (KHI, 180) Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat ½ bagian (KHI, 176) Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat ½ bagian (KHI, 182) Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia [ibu kandung] mendapat 1/3 bagian (KHI, 178:1)

Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum di atas, tidak mengherankan jika dalam penyelesaian masalah tanah di gampong yang hanya melibatkan salah satu ahli

Page 25: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

16

waris perempuan sebatangkara seperti yang disebutkan di atas kerapkali menempatkan perempuan tersebut dalam posisi yang kurang menguntungkan. Sebuah kasus dari gampong X kiranya penting diketengahkan di sini untuk menunjukkan fenomena ini (lihat box di bawah).

Tabel 5.

Seorang perempuan (F) adalah korban yang selamat dari bencana Tsunami. Ibu kandungnya dan seluruh saudara-saudarinya meninggal dunia dalam bencana tersebut, sementara ayahnya telah meninggal dunia sebelum Tsunami terjadi. Harta berupa tanah yang dimiliki oleh kedua orang tua F sesungguhnya sudah dibagi-bagikan kepada seluruh anak-anaknya untuk dibuatkan rumah ketika kedua orang tua F masih hidup. Selain F yang selamat dari Tsunami, terdapat juga dua orang keponakannya, satu laki-laki dan satu perempuan, yang masih hidup. Kedua keponakan ini adalah anak-anak kandung dari salah satu adik perempuan F yang menjadi korban Tsunami. F berkeyakinan bahwa dirinya merupakan ahli waris satu-satunya yang menerima seluruh harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya dan saudara-saudarinya yang meninggal dalam bencana Tsunami. Oleh karena itu, pada saat BPN melalukan proses sertifikasi tanah di gampong, F mengajukan permohonan surat keterangan kepemilikan tanah kepada geuchik yang isinya menerangkan bahwa semua tanah warisan yang ada jatuh ke tangan F sebagai satu-satunya ahli waris. Pihak gampong menolak memenuhi permintaan F dan tidak mau menandatangani Formulir Bukti Kesepakatan Pewarisan (lihat contoh form dalam lampiran 2). Alasan yang diajukan oleh Geuchik, dan juga didukung oleh Imam Meunasah, adalah bahwa F hanyalah seorang perempuan dan tidak dapat bertindak sebagai ahli waris asabah yang menerima atau menghabiskan seluruh harta peninggalan. Geuchik dan Imam berpendapat bahwa F hanya dapat menerima ½ dari seluruh luas tanah warisan dan sisanya sebanyak ½ lagi harus diserahkan kepada Baitul Mal gampong. Sedianya F menyerahkan dua petak tanah yang merupakan harta warisan yang diterimanya kepada kedua orang keponakan yang masih hidup untuk dibangunkan rumah buat mereka. Akan tetapi, tindakan F ini pun tidak disetujui oleh aparat gampong. Akibatnya, hingga penelitian ini dilaksanakan, sertifikasi tanah belum dapat dilakukan atas tanah warisan yang diterima oleh F. Begitu juga, rumah bantuan yang diperuntukkan bagi kedua keponakan F belum dapat direalisasikan karena belum ada tindak lanjut atau keputusan yang pasti dan memuaskan bagi semua pihak.21

Masih ada kasus lain yang cukup relevan dikemukakan di sini yang terjadi antara sepasang suami istri yang sudah bercerai di gampong Kajhu. Mereka memiliki sebuah tanah dan rumah yang merupakan harta bersama. Ketika bercerai, istri dan seorang anaknya tetap menetap di rumah tersebut, sementara mantan suami pergi tinggal di gampong lain. Akibat Tsunami, rumah itu hancur dan yang tinggal hanyalah sepetak tanah. Janda dan seorang anak itu selamat dari bencana Tsunami dan kini menjadi pengungsi di sebuah barak. Mantan suami berkehendak untuk menjual tanah tersebut dan meminta anaknya untuk menandatangani surat persetujuan tanpa berkonsultasi atau minta izin mantan istrinya. Janda itu tidak terima dan pergi menghadap Geuchik dan memohon agar aparat gampong tidak membantu mantan suaminya melakukan transaksi jual beli tanahnya, karena di dalam kepemilikan tanah tersebut terdapat haknya separuh bagian. Mantan suaminya rupanya tidak tinggal diam dan bersikeras meminta aparat gampong mempermudah urusannya dalam menjual tanah tersebut.22 Sampai penelitian ini

21 Wawancara dengan Geuchik X (1 Mei 2006) dan perempuan F (1 Mei 2006). 22 Wawancara Nazaruddin (7 Mei 2006).

Page 26: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

17

selesai, belum diperoleh keterangan lebih lanjut apakah tanah milik sepasang mantan suami istri di gampong itu berhasil dijual. Uraian di atas tentang hak perempuan atas tanah di Aceh pasca-Tsunami memperlihatkan betapa posisi dan kedudukan perempuan masih amat lemah. Lemahnya posisi perempuan vis a vis aparat gampong dalam kasus pertanahan ini hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan kasus-kasus yang muncul di Aceh pasca-Tsunami berkaitan dengan posisi perempuan. Pada bagian kewarisan di bawah, uraian yang lebih detil tentang lemahnya kedudukan perempuan akan dapat ditemukan. 4. Tanah-tanah yang Pemiliknya Meninggal Sementara Ahli Warisnya Masih di

Bawah Umur Kedudukan anak yatim piatu yang masih di bawah umur sebagai penerima warisan tanah dari orang tuanya yang meninggal dalam Tsunami perlu juga dibahas di sini dalam kaitannya dengan hak kepemilikan tanah. Hal ini penting mengingat seorang anak di bawah umur belum dapat dipandang sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum secara sah. Dalam hal pemilik tanah meninggal dunia sedang ahli warisnya masih berupa kanak-kanak di bawah umur, maka untuk anak tersebut harus ditunjuk seorang wali yang berfungsi mengurus seluruh proses pendaftaran dan sertifikasi tanah milik anak yatim itu. Agar pembahasan dalam sub bagian ini tidak tumpang tindih dengan persoalan perwalian yang akan dibahas tersendiri nanti, penting ditegaskan bahwa fokus utama uraian ini tertuju pada proses pendaftaran dan sertifikasi tanah yang dimiliki oleh seorang anak yatim yang berada di bawah perwalian. Manual Pendaftaran Tanah di Lokasi Bencana Tsunami mengatur beberapa hal berkaitan dengan masalah ini sebagai berikut:

• Ahli waris di bawah umur dan anak yatim yang mempunyai hak waris atas tanah dapat mendaftarkan hak atas tanahnya atas nama dirinya dengan bantuan seorang wali yang mengurus harta tersebut.

• Wali hanya berwenang untuk menjaga dan mengurus pendaftaran tanahnya saja dan tidak dapat melakukan peralihan pada pihak lain. Hak atas tanah tersebut akan dialihkan kepada ahli waris tersebut ketika yang bersangkutan dinyatakan dewasa.

• Untuk bertindak sebagai wali yang sah, seorang wali perlu mendapat persetujuan perwalian dari imam meunasah dan Geuchik serta penetapan Mahkamah Syar’iyah.

• Geuchik harus secara aktif mendata berapa orang yang memerlukan penetapan perwalian dari Mahkamah Syar’iyah.

• Seorang wali, dalam kedudukan mewakili kepentingan anak yatim pemilik tanah, mengikuti langsung proses pengukuran batas bidang tanah di lapangan bersama-sama dengan pemilik bidang tanah yang bersebelahan, kepala dusun, tuha peut serta geuchik.

• Anak yatim pemilik tanah diprioritaskan dalam memperoleh informasi yang berasal dari materi pengumuman peta pendaftaran tanah dan daftar bidang-bidang tanah yang sudah disiapkan oleh BPN.

• Buku tanah dan sertifikat tanah dapat diatasnamakan ahli waris yang masih di bawah umur, tetapi pengelolaannya dilakukan oleh walinya.

Page 27: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

18

5. Tanah-tanah yang tidak ada Pemilik atau Ahli Warisnya Besarnya jumlah korban yang jatuh akibat Tsunami menimbulkan keadaan di mana terdapat kemungkinan sejumlah petak tanah di gampong-gampong tidak memiliki ahli waris lagi sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui lagi di mana kini mereka berada. Keadaan ini segera direspon oleh Majelis Permusyawaratan Ulama lewat fatwa nomor 2 tahun 2005 yang dikeluarkannya pada tanggal 7 Februari 2005 (butir fatwa yang sama diulangi sekali lagi dalam fatwa nomor 3 tahun 2005 tanggal 17 April 2005) yang berbunyi: “Tanah dan harta benda yang ditinggalkan korban Gempa dan gelombang Tsunami yang tidak meninggalkan ahli waris adalah menjadi milik umat Islam melalui Baitul Mal.” Mengenai masalah pendaftaran tanah semacam itu, Manual Pendaftaran Tanah yang dikeluarkan oleh BPN menyatakan bahwa dalam hal terdapat sebidang tanah yang tidak ada lagi pemiliknya dan tidak diketahui siapa ahli warisnya, yang dapat disiapkan hanyalah pembuatan buku tanah sementara sertifikatnya tidak akan diterbitkan sehingga ada kejelasan status kepemilikannya, dan tanah tersebut akan diserahkan pengelolaannya oleh badan Baitul Mal gampong.23 Tampaknya Manual yang dikeluarkan BPN ini lebih mengikuti bunyi ketentuan yang terdapat di dalam fatwa MPU di atas. Dalam kaitan uraian di atas, perlu kiranya disampaikan di sini bahwa tanah-tanah yang tidak ada pemilik atau ahli warisnya itu tidak dapat dianggap sebagai ‘Tanah Terlantar’. Hal ini karena yang dapat dianggap sebagai ‘Tanah Terlantar’, menurut pasal 3 Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, adalah sebidang “tanah yang dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.” Adapun terhadap tanah yang sudah dinyatakan sebagai ‘Tanah Terlantar’, maka pasal 15 ayat (1), PP 36/1998, di atas mengkategorikannya sebagai tanah yang dikuasai oleh Negara. Hukum Adat Aceh tentang nasib tanah yang tidak ada pemiliknya atau ahli warisnya tidak banyak berbeda dengan keterangan yang sudah diuraikan di atas. Hukum Adat Aceh menentukan bahwa terhadap tanah yang dimiliki oleh orang-orang yang tidak diketahui lagi keberadaannya, termasuk ahli warisnya, pengurusan tanah tersebut dilakukan oleh geuchik dan perangkat gampong lain, sementara hasil yang diperoleh dari tanah tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan meunasah dan warga gampong yang bersangkutan. Tanah-tanah semacam itu dikategorikan sebagai harta baitul mal. Di sejumlah gampong, di kabupaten Aceh Besar khususnya, pengelolaan tanah-tanah tersebut diserahkan oleh Baitul Mal kepada seseorang miskin yang tinggal dalam gampong tersebut. Hasil yang diperoleh seseorang dari pengelolaan tanah tersebut biasanya dibagi-bagikan juga kepada masyarakat setempat tiap-tiap tahun dalam bentuk santapan bubur kanji (sajian buka puasa di bulan ramadhan) yang dberikan kepada orang-orang yang berbuka puasa di meunasah di bulan Ramadhan. Masyarakat Aceh Besar memberi nama tanah yang tidak diketahui lagi ahli warisnya itu dengan nama tanoh ie-bu (tanah bubur kanji).24 Dari pengamatan di lapangan terhadap topik yang sedang didiskusikan ini, peneliti menemukan bahwa pada umumnya Geuchik sudah memahami dengan baik bahwa

23 “Manual Pendaftaran Tanah”, p. 31. 24 Wawancara T.I. El-Hakimy (26 April 2006); Pola Penguasaan, p. 66.

Page 28: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

19

tanah yang tidak ada lagi pemiliknya dan ahli warisnya tidak diketahui lagi keberadaannya, maka tanah tersebut akan dikelola oleh Baitul Mal gampong. Camat Peukan Bada, Drs. Busra, menyatakan kepada peneliti bahwa “tanah yang belum ada [diketahui] ahli warisnya, jangan diambil oleh siapapun, tetapi untuk sementara waktu tanah itu dikelola oleh aparat gampong. Apabila suatu hari ada pihak ahli waris yang datang dan memiliki bukti-bukti yang otentik, maka tanah tersebut akan diberikan kepada ahli waris itu”.25 Sayangnya, hampir semua gampong yang dikunjungi oleh peneliti belum mendirikan Baitul Mal secara resmi. Padahal, sesuai dengan pasal 10 Keputusan Gubernur 18/2003, Teungku Imam atau Imam Meunasah sesungguhnya menjabat sebagai Kepala Baitul Mal Gampong.26 Karena ketiadaan struktur resmi Baitul Mal di gampong, maka tanah-tanah yang tidak ada lagi pemilik atau ahli warisnya itu berada di bawah pengawasan langsung kantor gampong yang merangkap sekaligus sebagai Baitul Mal. Dalam kaitannya dengan tanah-tanah yang tidak ada lagi pemilik atau ahli warisnya itu, ada pandangan yang melihat tanah-tanah yang dikuasai oleh Baitul Mal gampong tersebut merupakan hak/tanah ulayat gampong. Namun, terdapat juga pendapat lain yang tidak menerima pandangan sedemikian itu, karena bila tanah-tanah tersebut dianggap sebagai hak ulayat gampong, maka anggota masyarakat dalam gampong itu bebas meletakkan hak-hak perseorangan atas tanah tersebut, misalnya: hak garap/pakai (hak useuha), atau hak milik (hak milek). Dengan demikian, suatu saat tanah-tanah itu dapat dibagi-bagikan atau diperjualbelikan baik kepada warga gampong itu sendiri maupun kepada orang yang berasal dari luar gampong itu. Idealnya, tanah-tanah yang tak meninggalkan ahli waris tersebut merupakan harta agama dan menjadi kekayaan suatu gampong yang diperuntukkan bagi kesejahteraan warga masyarakat gampong tersebut seperti yang sudah dipraktekkan selama ini di Aceh. 6. Tanah-tanah Pesisir yang Hilang Akibat Bencana Tsunami Di beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya dan Aceh Barat terdapat sejumlah gampong di pesisir pantai yang wilayah daratannya tersapu oleh gelombang Tsunami sehingga tanah-tanah di gampong tersebut digenangi oleh air laut dan tidak meninggalkan bekas sama sekali. Di Aceh Besar, wilayah gampong yang mengalami keadaan ini terdapat di beberapa titik di pesisir pantai wilayah Kecamatan Lepung dan Lhoong. Sekalipun dua lokasi kecamatan itu tidak menjadi obyek penelitian ini, karena akses jalan yang cukup sulit ke tempat tersebut dan terbatasnya waktu riset, tidak ada salahnya jika di sini diterangkan pula aspek legal yang berkaitan dengan status tanah-tanah yang hilang akibat Tsunami menurut ketentuan hukum formal dan hukum Adat yang berlaku di Aceh Besar. Berdasarkan pasal 27 Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, suatu hak kepemilikan tanah hapus apabila suatu bidang tanah musnah. Dalam konteks bencana Tsunami, musnahnya tanah terjadi akibat perubahan fisiknya, yaitu wujud daratannya terendam oleh air laut, sehingga tidak

25 Wawancara Camat Peukan Bada (6 Mei 2006). 26 Selain kepala Baitul Mal Gampong, terdapat pula kemungkinan ditunjuknya beberapa orang lain sebagai pengurus Baitul Mal yang menjabat Wakil Kepala, Sekretaris, Bendaharawan dan sejumlah anggota. Lihat pasal 10 Keputusan Gubernur nomor 18 tahun 2003.

Page 29: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

20

dimungkinkan untuk melakukan pengukuran dan pendaftaran kembali tanah tersebut. Keadaan ini tentu saja merugikan bagi pemilik tanah, atau ahli warisnya, yang tidak dapat lagi menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut. Apalagi menurut pasal 12 Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, “tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh Negara.”

Terhapusnya kepemilikan hak tanah juga diakui oleh hukum Adat Aceh. Menurut hukum adat, hak milik atas tanah dapat terhapus karena: 1. Tidak dikerjakan lagi sehingga menjadi terlantar;27 2. Bekas-bekas pembukaan tanah sudah hilang (tanah kebun atau ladang yang

sudah menjadi hutan belukar atau tanah sawah/tambak sudah tidak ada pematangnya lagi);28

3. Dikikis sungai atau tergenang oleh air laut.29 Sekalipun hak kepemilikan tanah bisa terhapus menurut hukum Adat Aceh, tetapi hak kepemilikan seseorang atas tanah tersebut bisa timbul kembali di kemudian hari. Berbeda dari bunyi ketentuan pasal 12, PP 16/2004, di atas yang menafikan kemungkinan kembalinya hak kepemilikan tanah atas sebidang tanah yang tenggelam bila timbul kembali, prinsip adat yang pernah berlaku di Aceh Besar adalah bahwa “tanah yang timbul kembali di bekas tenggelamnya tanah milik seseorang menjadi hak terdahulu dari orang yang tanahnya tenggelam tersebut.” Dengan kata lain, terhadap sebidang tanah yang sudah tenggelam dan suatu saat bila tanah yang tadi hilang tersebut muncul ke permukaan lagi, pemiliknya tetap berhak memperolehnya kembali.30 Berpatokan pada prinsip adat ini, maka apabila sebidang tanah yang berada dipinggir pantai dan terendam oleh air laut akibat Tsunami, tetapi kemudian suatu saat air laut itu kering dan tanah yang tadi tertelan muncul kembali ke permukaan dan menjadi daratan, maka pemiliknya atau ahli warisnya tetap dapat memperoleh hak kepemilikan atas tanah tersebut. Penelitian ini tidak menemukan apakah prinsip adat semacam ini telah diberlakukan terhadap tanah-tanah yang hilang akibat bencana Tsunami. Tampaknya, perlu dilihat terlebih dahulu apakah tanah-tanah yang terendam oleh air laut di sejumlah wilayah pesisir Kecamatan Lepung dan Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, itu telah berubah keadaannya menjadi daratan kembali atau tidak. 7. Tanah-Tanah Pinggir Pantai yang berubah Wujud Permukaannya Masih berkaitan dengan masalah yang dibahas di atas, kiranya relevan juga untuk diketengahkan di sini masalah tanah-tanah di bibir pantai yang, walaupun tidak tertelan air laut akibat dampak gelombang Tsunami, telah berubah wujud permukaannya. Tanah-tanah tersebut sesungguhnya masih berwujud dan tidak hilang tertelan air laut, tetapi sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk didirikan di atasnya bangunan perumahan. Hal ini terjadi di salah satu wilayah lokasi penelitian ini, yaitu gampong Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar. Gampong yang terletak di pesisir pantai ini sebagian wilayahnya sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi untuk pemukiman penduduk karena telah tertimbun sampah-

27 Pola Penguasaan, h. 56. 28 Ibid. h. 75. 29 Wawancara T.I. El-Hakimy (26 April 2006). 30 Pola Penguasaan, 53.

Page 30: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

21

sampah dan permukaan daratannya telah berubah bentuk menjadi pasir dan lumpur. Oleh karena itu, menghadapi situasi ini, pemerintah provinsi NAD berinisiatif untuk melakukan ‘tukar guling’ atau ruislag kepemilikan tanah dengan sejumlah pemilik tanah, atau ahli warisnya, di lokasi tersebut. Dengan kata lain, pemerintah akan mengambil alih kepemilikan seluruh tanah-tanah yang terdapat di lokasi bibir pantai itu dan menggantikannya dengan tanah-tanah di tempat lain milik Negara. Tawaran pertukaran kepemilikan tanah dari pemerintah itu direspon secara positif oleh sebagian penduduk gampong Kajhu. Beberapa orang dari mereka kini dipindahkan kepemilikan tanahnya ke suatu daerah aliran sungai yang sudah mengering (sekarang menjadi tanah milik Negara), yang terletak di gampong Panteriek, Kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh. Salah seorang korban Tsunami bernama RK yang bersedia ditukar tanahnya menuturkan kepada peneliti bahwa tanahnya di gampong Kajhu seluas 350 meter persegi, sementara luas tanah di gampong Panteriek yang menjadi gantinya hanya terdiri dari 120 meter persegi. Menurut RK, sisa kekurangan tanah yang luasnya sebanyak 230 meter itu nantinya akan dibayar oleh pemerintah sebagai kompensasi ganti rugi.31

31 Wawancara dengan informan RK (19 Mei 2006).

Page 31: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

22

B. Kewarisan Kewarisan merupakan salah satu mekanisme peralihan hak kepemilikan atas suatu harta benda. Di Aceh pasca Tsunami, persoalan kewarisan adalah salah satu masalah hukum yang membutuhkan penanganan sebaik dan seakurat mungkin. Apalagi dengan jumlah korban Tsunami yang mencapai lebih dari dua ratus ribu jiwa (meninggal dan hilang), status seseorang sebagai ahli waris dan hak kepemilikan atas suatu harta warisan menjadi amat krusial untuk kebutuhan pembangunan kembali Aceh. Dalam menyajikan hasil penelitian dalam bidang kewarisan pasca-Tsunami ini, fokus uraian di bawah akan lebih diarahkan kepada empat hal: (1) ahli waris, (2) harta warisan, (3) hak waris perempuan, dan (4) implementasi pembagian warisan.

1. Ahli Waris Dalam masyarakat Islam, termasuk pula komunitas suku-suku Aceh, hubungan darah dan perkawinan dengan pewaris yang meninggal dunia merupakan faktor utama dalam hal kewarisan. Pada dasarnya hukum formal dan norma adat Aceh tidak banyak berbeda dalam menentukan siapa-siapa saja yang berhak berkedudukan sebagai ahli waris. Ada tiga macam ahli waris utama yang diakui oleh hukum formal (KHI pasal 174:1) dan norma adat Aceh sebagai berikut:

• Jalur laki-laki: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. • Jalur perempuan: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. • Jalur pasangan nikah: duda atau janda

Apabila semua ahli waris primer di atas masih hidup, yang berhak mewarisi hanya anak, ayah, ibu dan janda/duda. Kepenganutan agama Islam merupakan syarat penting lainnya bagi seseorang untuk menerima harta warisan dari seorang pewaris Muslim. Hal ini karena menurut syariat Islam, perbedaan agama antara satu orang dan orang lainnya, yang walaupun mempunyai hubungan darah atau tali perkawinan, menjadi halangan untuk saling mewarisi. Keislaman seseorang diketahui berdasarkan apa yang tertera dalam kartu identitasnya (KTP) atau melalui pengakuan dan pengamalan ibadahnya sehari-hari. Hukum adat Aceh juga menyatakan hal yang sama tentang masalah ini. Karena itu, jika terdapat seorang anak yang terlahir dalam agama Islam kemudian menjadi murtad di usia dewasa, maka ia tidak dapat menerima harta warisan dari orang tuanya apabila meninggal dunia. Bahkan, menurut adat, hilangnya hak seseorang untuk mewarisi juga berimplikasi pada putusnya hubungan silaturrahmi keluarga. Selain hal di atas, seseorang juga tidak dapat menjadi ahli waris apabila ia dipersalahkan telah mencoba untuk membunuh atau menganiaya pewaris. Seseorang menjadi terhalang haknya untuk menerima warisan jika ia dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat (KHI, 173). a. Kewajiban Ahli Waris Sepeninggal pewaris, para ahli waris tidak dapat langsung begitu saja membagi-bagi harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, melainkan harus menunaikan terlebih dahulu sejumlah kewajiban seperti diterangkan oleh KHI pasal 175:1 berikut ini:

• Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai. • Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk

kewajiban pewaris maupun menagih piutang.

Page 32: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

23

• Menyelesaikan wasiat pewaris. • Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

Dengan demikian, harta yang ditinggalkan pewaris terlebih dahulu dikurangi dengan hutang pewaris serta biaya-biaya lain yang perlu dikeluarkan seperti diatur di atas. Dalam hal ini, mungkin saja terjadi tidak ada lagi harta warisan yang tinggal. Bahkan bisa jadi hanya hutang-hutang pewaris yang ditinggalkan kepada ahli warisnya tersebut. Meski begitu, pasal 175:2 KHI dengan tegas telah menerangkan bahwa “tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya”. Masalah hutang yang ditinggalkan pewaris, bagi masyarakat Aceh, adalah persoalan yang serius. Oleh karena itu, pembayaran hutang pewaris biasanya selalu diutamakan karena dapat membuat malu para ahli waris bila tidak dibayarkan. Di sebuah lokasi penelitian ini dilakukan, terdapat sebuah kasus kewarisan yang di dalamnya tersangkut persoalan utang-piutang. Kasus di boks di bawah diajukan untuk menunjukkan betapa pembayaran utang dalam masyarakat Aceh merupakan masalah yang cukup serius dalam kaitannya dengan kewarisan.

Tabel 6.

Sepasang suami istri mempunyai dua anak perempuan. Mereka memiliki harta bersama berupa rumah, tanah dan toko untuk usaha dagang mereka. Istri (E) meninggal dunia dalam Tsunami. Selain suami (H) dan dua orang anak perempuan yang masih hidup, terdapat pula 4 orang saudara kandung laki-laki dari E sebagai ahli waris. Semasa hidupnya, E adalah seorang pedagang yang memiliki satu toko pakaian perempuan yang terpisah dari suaminya. Bahkan menurut tetangganya, etos kerja E jauh lebih tinggi dibandingkan suaminya. Walaupun pasangan suami istri tersebut memiliki banyak harta berupa toko, rumah, dan tanah, hampir semua harta tersebut sudah menjadi agunan pinjaman di bank. Selain itu, E pun banyak memiliki hutang pada orang lain. Masalah timbul ketika 4 orang saudara laki-laki dari E menuntut agar H bertanggung jawab atas semua hutang-hutang E, karena selama ini ada beberapa orang yang datang untuk menagih hutang E kepada mereka. Keempat orang saudara laki-laki dari E tersebut meminta agar H menjelaskan semua harta peninggalan dan berapa jumlah hutang-hutang yang harus dibayar oleh E. H menyanggupi akan membayar seluruh hutang-hutang tersebut, tetapi tidak bisa dilunasi secara kontan karena modal usahanya akan habis sehingga membuat H tak dapat meneruskan usaha dagangnya. Persoalan ini sudah diketahui oleh aparat gampong yang mencoba menyelesaikan masalah ini. Hingga penelitian ini selesai dilakukan, sudah terbentuk sebuah tim yang ditugaskan oleh musyawarah gampong untuk mengidentifikasi harta-harta E yang ditinggalkan dan keseluruhan jumlah hutangnya.

2. Harta Peninggalan Kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 171d mendefinisikan ‘harta peninggalan’ sebagai berikut: “harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang miliknya maupun hak-haknya.” Tidak diperoleh suatu keterangan lebih lanjut dalam Penjelasan KHI tentang apa yang dimaksud ‘hak-hak’ dalam pasal tersebut, apakah terbatas pada hak-hak kebendaan atau malah mencakup juga hak-hak non kebendaan seperti gelar kebangsawanan.

Page 33: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

24

‘Harta warisan’ dibedakan dari ‘harta peninggalan’. KHI pasal 171e menerangkan makna ‘harta warisan’ sebagai “harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.” Di sini terlihat bahwa pengertian ‘harta warisan’ lebih sempit cakupannya dari konsep ‘harta peninggalan’ yang mencakup seluruh harta kekayaan milik si pewaris. Harta warisan, sebagaimana definisi di atas, terdiri dari dua jenis harta yaitu (1) harta bawaan dan (2) harta bersama. Uraian di bawah akan mencoba menjelaskan masing-masing pengertian kedua konsep harta tersebut. a. Harta Bawaan Harta bawaan adalah semua harta yang dimiliki masing-masing suami dan isteri sebelum perkawinan dan harta-harta yang didapatkan selama perkawinan dalam bentuk hadiah, hibah dan warisan dari pihak ketiga sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan (UU 1/1974, 35:2). Lebih lanjut, KHI pasal 86 mengatur bahwa “pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan”. “Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya”. Di Aceh, harta bawaan seperti di atas disebut sebagai hareuta tuha yang dikuasai oleh masing-masing suami dan isteri.32 Menurut adat Aceh, harta bawaan adalah harta yang diperoleh suami atau isteri sebelum atau pada saat perkawinan. Harta bawaan dapat berasal dari pencariannya sendiri, warisan dari orang tua atau kerabatnya, atau dapat pula berasal dari hibah.33 Dalam masyarakat Aceh Besar, terdapat suatu konsep yang bertalian dengan harta bawaan milik isteri yaitu areuta peunulang. Areuta peunulang adalah sebentuk pemberian harta (hibah) oleh orang tua kepada anak perempuan yang umumnya berupa harta tak bergerak (tanah dan rumah) yang dilakukan di hadapan geuchik pada waktu peumekleh atau pemisahan anak perempuan karena hendak membangun rumah tangga yang baru bersama dengan suaminya. Pada saat penyerahan harta peunulang ini, geuchik biasanya menanyakan berapa banyak harta seorang ayah yang akan diserahkan kepada anak perempuannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerugian pihak ahli waris anak laki-laki di masa akan datang. Oleh sebab itu, seorang ayah biasaya bersikap bijaksana mempertimbangkan seluruh kekayaan dan jumlah anaknya sehingga tidak akan menimbulkan ketidakadilan dalam pembagian harta kepada ahli waris kelak.34 Seirama dengan bunyi KHI pasal 211 (‘hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan’), menurut adat Aceh, harta peunulang adalah hibah yang diberikan oleh pewaris pada masa hidupnya kepada anak perempuan dan dapat diperhitungkan sebagai bagian dari harta warisan. Pengertian ‘dapat diperhitungkan sebagai harta warisan’ disini tidak berarti bahwa rumah atau tanah yang sudah diberikan kepada anak perempuan itu dibagi-bagi kepada ahli waris yang lain, melainkan tanah atau rumah itu dianggap sepenuhnya sebagai harta warisan untuk anak perempuan itu.35 Bagi masyarakat Aceh Besar, tindakan untuk memperkarakan harta penulang ke pengadilan merupakan suatu aib yang memalukan karena dianggap mencongkel 32 Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap Beberapa Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh, h. 267. 33 Ibid. h. 217. 34 Ibid. h. 219. 35 Ibid. h. 218-219.

Page 34: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

25

kuburan orang tua. Walaupun mungkin ada ahli waris anak laki-laki yang berkeberatan dengan jumlah harta peunulang yang begitu besar diberikan kepada anak perempuan, masyarakat Aceh pada umumnya memandang bahwa peunulang yang telah diberikan sebagai hibah orang tua kepada anak perempuannya tidak dapat dibatalkan. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw. yang artinya “Menarik kembali hibah seumpama anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahannya”.36 Konsep harta bawaan dan peunulang pada umumnya dipraktekkan dengan baik oleh masyarakat Aceh Besar. Akan tetapi, sebagian di antara mereka memahami bahwa suami yang masih hidup tidak memiliki hak waris terhadap harta bawaan atau peunulang milik isteri yang meninggal dalam Tsunami. Dua buah kasus di bawah merupakan contoh yang dapat mewakili fenomena ini.37

Tabel. 7

Kasus 1 Di gampong Meunasah Balee, seorang suami yang isterinya meninggal dunia dalam Tsunami tidak diberikan sedikitpun harta bawaan milik isterinya itu oleh ahli waris dari pihak keluarga isteri. Alasannya, harta bawaan isteri tersebut berasal dari orang tuanya dan sebagiannya lagi dari perkawinan isteri dengan suami pertamanya yang meninggal dunia lebih dulu. Apalagi suami kedua ini miskin dan tidak memiliki harta apapun pada saat menikah dengan istrinya. Suami kedua ini akhirnya melapor kepada Geuchik untuk meminta bantuannya mendapatkan hak warisnya dari istrinya yang sudah meninggal.

Tabel 8.

Kasus 2 Seorang suami di gampong Meunasah Balee, setelah isterinya meninggal dalam Tsunami, diusir oleh adik laki-laki isteri dari rumah tempat tinggal mereka dan tidak mendapatkan hak apapun. Rumah tempat tinggal itu memang merupakan harta peunulang yang diberikan oleh orang tua isteri kepada anak perempuannya. Akhirnya suami pulang kembali ke rumah orang tuanya di gampong lain yang juga tertimpa Tsunami dan di sana ia mendapatkan sebidang tanah milik orang tuanya yang meninggal dalam Tsunami. Pihak suami mengadukan hal ini kepada Geuchik sekedar menyampaikan keadaannya dan tidak bermaksud memperpanjang masalah ini, apalagi dia kini memperoleh tanah warisan dari orang tuanya sendiri untuk dibuatkan rumah bantuan.

Kedua kasus di atas memperlihatkan bagaimana sebagian masyarakat Aceh memahami kewarisan terhadap harta bawaan dan peunulang secara keliru. Padahal, baik harta bawaan atau harta peunulang adalah harta peninggalan yang diwariskan oleh almarhumah isteri kepada ahli warisnya, termasuk untuk suaminya. Karena itu, suami berhak menerima warisan dari harta bawaan atau peunulang sebesar ½ bagian bila tidak punya anak dan ¼ bagian bila ada anak.

36 Ibid. h. 219-220. 37 Wawancara dengan aparat gampong Meunasah Balee (10 Mei 2006).

Page 35: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

26

b. Harta Bersama Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan merumuskan harta bersama sebagai “harta benda yang diperoleh selama perkawinan”. Harta bersama ini dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. Adapun harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban. Tanpa persetujuan kedua belah pihak suami dan istri, harta bersama tidak dibolehkan untuk dijadikan barang jaminan, dijual atau dipindahkan (UU 1/1974, 36; KHI, 91-92). Dalam adat Aceh, harta bersama dikenal dengan istilah hareuta sihareukat, yang pengertiannya tidak jauh berbeda dengan konsep harta bersama menurut hukum positif. Harta semacam ini dipahami sebagai harta yang dihasilkan bersama suami dan isteri selama dalam perkawinan dan dikuasai bersama oleh suami isteri. Dalam praktek di Aceh, pengalihan hak atas harta bersama kepada pihak ketiga cukup ditandangani oleh suami, sedangkan isteri cukup memberi persetujuan lisan saja. Persetujuan ini biasanya dinyatakan kepada Geuchik yang menandatangani surat pengalihan hak atas barang yang tak bergerak di suatu gampong. Seharusnya isteri juga ikut serta menandatangani surat pengalihan hak atas harta bersama, tetapi dalam praktek, camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) percaya kepada Geuchik yang sudah mengetahui adanya persetujuan isteri.38 Menurut ketentuan hukum formal, harta bersama dibagi-bagi untuk suami dan isteri apabila terjadi perceraian atau kematian salah seorang pasangan suami isteri. KHI pasal 97 mengatur bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama (KHI, 96:1), dan separoh sisanya lagi menjadi harta warisan bagi para ahli waris termasuk pasangan yang hidup lebih lama itu. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama (KHI, 96:2). Mahkamah Syar’iyah di Aceh telah mengeluarkan putusan untuk perkara mafqud (hilang atau meninggal) bagi para korban bencana Tsunami. Penetapan perkara semacam ini ada yang dikeluarkan secara independen, tetapi ada juga yang dirangkaikan dengan perkara pengesahan ahli waris. Jumlah perkara mafqud di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Jantho dapat dilihat dalam tabel di bawah.

Tabel 9.

MAHKAMAH SYAR’IYAH

BANDA ACEH

PENETAPAN KEMATIAN (MAFQUD)

MAHKAMAH SYAR’IYAH

JANTHO

PENETAPAN KEMATIAN (MAFQUD)

Januari 2005 - Januari 2005 - Februari 2005 - Februari 2005 - Maret 2005 - Maret 2005 - April 2005 1 April 2005 - Mei 2005 1 Mei 2005 -

38 Syahrizal, h. 272-273.

Page 36: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

27

Juni 2005 - Juni 2005 2 Juli 2005 1 Juli 2005 23 Agustus 2005 2 Agustus 2005 - September 2005 2 September 2005 1 Oktober 2005 1 Oktober 2005 - November 2005 3 November 2005 - Desember 2005 4 Desember 2005 1 Januari 2006 2 Januari 2006 1 Februari 2006 - Februari 2006 - Maret 2006 - Maret 2006 -

TOTAL 17 TOTAL 28 Akan tetapi, putusan untuk perkara mafqud seperti dalam tabel di atas kebanyakannya tidak bertalian langsung dengan masalah pembagian harta bersama. Biasanya penetapan perkara mafqud yang independen diajukan oleh pihak isteri yang masih hidup untuk keperluan menikah lagi. Adapun perkara mafqud yang dirangkaikan dengan pengesahan ahli waris bisa diajukan oleh pihak mana pun, termasuk keluarga jauh dari pihak suami atau isteri. Menurut ketentuan hukum adat Aceh, harta bersama tidak dibagi selama suami isteri masih terikat dalam perkawinan. Harta bersama baru dibagi antara suami dan isteri apabila mereka bercerai, baik cerai hidup maupun cerai mati. Apabila salah satu pihak meninggal dunia (cerai mati), terlebih dahulu harta bersama dan harta milik pribadi pasangan yang meninggal dipisahkan. Setelah itu, barulah harta pasangan yang meninggal itu, yang terdiri dari harta bawaannya dan sebagian dari harta bersama miliknya, difaraidhkan kepada semua ahli waris yang berhak, termasuk untuk pasangan yang masih hidup.39 Sampai pada tahap ini, ketentuan adat tidak banyak berbeda dengan peraturan formal. Akan tetapi, cara pembagian harta bersama dalam adat Aceh agak berbeda dari hukum positif karena terdapat bermacam-macam model pembagian harta bersama. Syahrizal mengemukakan sedikitnya 6 model pembagian harta bersama di Aceh, yang itu amat ditentukan oleh keadaan saat berakhirnya perkawinan seperti terdapat dalam kotak di bawah:40

Tabel 10.

Adat Aceh tentang Cara Pembagian Harta Bersama 1) Dalam hal cerai hidup dan tidak mempunyai anak, maka harta bersama dibagi dua,

yaitu ½ untuk suami dan ½ untuk isteri. 2) Dalam hal cerai hidup dan mempunyai anak, isteri mendapat ½, suami mendapat ¼

dan anak mendapat ¼. 3) Dalam hal cerai mati tanpa meninggalkan anak, tetapi ada ahli waris lainnya, maka

¾ untuk suami atau isteri dan ahli waris lainnya mendapat ¼. 4) Dalam hal cerai mati tanpa meninggalkan anak dan tanpa meninggalkan ahli waris,

maka ¾ untuk suami atau isteri dan ¼ untuk Baitul Mal. 5) Dalam hal cerai mati dan ada meninggalkan anak laki-laki, maka semua harta untuk

isteri dan anak-anaknya. 6) Dalam hal cerai mati dan hanya mempunyai anak perempuan, maka selain isteri dan

anak perempuan itu, terdapat juga bagian hak untuk walinya.

Seperti diakui oleh Syahrizal sendiri, cara pembagian harta bersama di atas memperlihatkan ketidakseragaman di seluruh Aceh, dan hal itu tergantung dari 39 Ibid. h. 274-275. 40 Ibid. h. 275.

Page 37: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

28

kabupaten masing-masing yang memiliki alasan-alasan kultural tertentu. Adapun di Aceh Besar yang menjadi lokasi penelitian ini, terdapat dua cara pembagian harta bersama yaitu: 1. Untuk suami seperdua, dan untuk istri pun seperdua. 2. Untuk suami duapertiga, dan untuk istri sepertiga. Cara pembagian ini didasarkan

pada alasan bahwa pekerjaan (usaha) suami dianggap lebih berat bila dibandingkan dengan usaha isteri. Praktek pembagian semacam ini umumnya dilakukan di gampong-gampong yang terletak di pesisir pantai yang mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah nelayan, sementara isteri hanya bertugas di rumah mengurus masakan dan menjaga anak-anak.41

Pemahaman terhadap konsep harta bersama di kalangan sebagian besar informan yang ditemui di beberapa gampong dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa mereka kurang mengerti dengan baik apa yang dimaksudkan dengan harta bersama dalam perkawinan sepasang suami isteri. Akibatnya, dalam pembagian harta warisan pasca Tsunami seringkali diketemukan bahwa nama yang tertera di atas kepemilikan suatu harta benda, baik berupa rekening bank atau sertifikat tanah, yang diperoleh selama perkawinan, dianggap menjadi patokan untuk menentukan siapa pemilik harta benda tersebut. Dengan demikian, harta benda dengan kondisi semacam itu, walaupun diperoleh selama perkawinan, dipandang sebagai milik pribadi dan bukan sebagai harta bersama. Dalam banyak kasus yang seluruh anggota keluarga inti (suami, isteri dan anak-anak) meninggal dunia akibat Tsunami, keluarga pihak isteri pada umumnya dirugikan dengan berkembangnya pemahaman harta bersama seperti itu. Hal ini karena harta bersama yang ditinggalkan, seperti tabungan, deposito dan sertifikat tanah, pada umumnya adalah atas nama suami. Dengan demikian, biasanya pihak keluarga suami lah yang lebih sering menguasai semua dana-dana tersebut dan mengabaikan hak pihak keluarga isteri atas harta bersama tersebut. Dalam hal ini, posisi keluarga pihak istri berhadapan dengan posisi keluarga pihak suami seringkali terlihat tak berdaya. Padahal seluruh harta peninggalan yang diperoleh setelah berumah tangga itu dikategorikan sebagai harta bersama, di mana masing-masing pihak keluarga suami dan pihak keluarga istri berhak untuk bersama-sama memperoleh setengah bagian. Dua kasus yang ditemukan di Banda Aceh di bawah memperjelas uraian ini.

Tabel 11.

Kasus 1: Harta Bersama di Lambaro Skep

A dan B masing-masing adalah sepasang suami isteri korban Tsunami tanpa memiliki anak. C adalah saudara laki-laki dari suami (A) yang sudah meninggal dan mempunyai dua orang anak laki-laki yaitu D dan E. Adapun F adalah saudara laki-laki seayah dari isteri (B). A dan B memiliki harta bersama sebagai harta peninggalan. D, E (pihak keluarga suami) dan F (pihak keluarga isteri) sesungguhnya adalah para ahli waris yang sah atas

41 Ibid. h. 275-276.

A B

F

C

D

E

Page 38: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

29

harta bersama tersebut. Akan tetapi, D dan E menguasai semua harta bersama tersebut, sementara F tidak mendapatkan apapun dari harta bersama milik B, yang merupakan saudara perempuannya. F tidak menerima hal ini dan akhirnya mengadukan hal itu ke kantor gampong dan meminta agar CARE tidak memberikan bantuan rumah untuk D dan E di atas tanah warisan yang masih disengketakan itu.

Tabel 12.

Kasus 2: Harta Bersama di Lampaseh Kota

A dan B masing-masing merupakan suami isteri yang meninggal dalam Tsunami. Mereka berdua tidak punya anak. E dan F adalah ahli waris dari pihak keluarga suami, sedangkan C dan D adalah ahli waris dari pihak keluarga isteri. C dan D mengetahui bahwa pasangan suami isteri tersebut memiliki simpanan di bank BRI Darussalam dan mencairkannya berdasarkan surat keterangan yang mereka peroleh dari Sigli, tempatmereka berasal. Tak lama setelah mendengar bahwa C dan D menerima uang sebesar 11 juta rupiah yang merupakan harta bersama milik A dan B dari bank, pihak keluarga suami (F dan E) membuat pengaduan kepada Geuchik dan Imam Meunasah kelurahan Lampaseh Kota. Aparat kelurahan kemudian menyiapkan surat keterangan untuk F dan E sebagai ahli waris. Diantar oleh Imam Meunasah ke kantor BRI, F dan E meminta pihak bank membatalkan pencairan dana 11 juta rupiah untuk pihak keluarga isteri (C dan D), dan agar menyerahkan dana tersebut kepada F dan E. Pihak bank akhirnya mengambil kembali dana tersebut dari C dan D, dan kemudian meberikan seluruhnya kepada pihak keluarga suami (F dan E). Tragisnya, pihak keluarga isteri tidak mendapatkan sama sekali bagian dari uang tabungan tersebut yang merupakan harta bersama. Bahkan, sebidang tanah yang ditinggalkan oleh A dan B kini dibangun sendiri oleh pihak keluarga suami (F dan E) tanpa sepengetahuan pihak keluarga isteri (C dan D) yang sebenarnya juga adalah ahli waris yang sah.

c. Uang Pensiun dan Tabungan Hari Tua Di antara ratusan ribu korban yang hilang atau meninggal dalam bencana Tsunami terdapat pegawai negeri sipil (PNS) yang bekerja pada instansi pemerintah dan karyawan tetap yang bekerja di perusahaan swasta yang berlokasi di Aceh. Sebagai korban dalam Tsunami, mereka tentu berhak mendapat sejumlah pembayaran yang akan diterima oleh ahli waris mereka. i) Pegawai Negeri Sipil Di antara pembayaran yang diterima oleh ahli waris dari korban Tsunami yang berstatus PNS adalah uang pensiun dan tabungan hari tua (PP 25/1981, 8), yang sesungguhnya

A B

C

D

F

E

Page 39: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

30

berasal dari penyisihan delapan persen dari upah bulanan (PP 25/1981, 6). Dari penjelasan ini, uang pensiun tentunya dapat dikategorikan sebagai harta bersama karena diperoleh selama perkawinan. Akan tetapi berbeda dari pembagian harta bersama pada umumnya, uang pensiun akan dibayarkan tunai setiap bulan kepada salah satu dari 3 pihak ahli waris yang ada, yaitu (1) janda/duda dari pegawai yang meninggal dunia hingga janda/duda itu meninggal dunia atau menikah lagi; (2) anak yatim piatu dari pegawai yang meninggal sampai anak yatim piatu itu mencapai usia 23 tahun, bekerja tetap atau menikah; dan (3) ayah atau ibu dari pegawai yang tewas dalam keadaan masih lajang sampai batas waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU 40/2004, 41:1, 41:6 dan PP 25/1981, 10:2). Dalam hal ketiga pihak ahli waris tersebut ikut pula meninggal atau hilang dalam bencana Tsunami, maka uang pensiun bulanan itu tidak akan dibayarkan kepada kepada ahli waris lainnya (misalnya: saudara kandung atau paman) di luar tiga pihak ahli waris yang disebutkan di atas. Salah seorang hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh menuturkan kepada peneliti bahwa jika masalah semacam ini diperiksa oleh Mahkamah, hakim akan memutuskan sama seperti ketentuan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan itu.42 Selain uang pensiun yang diterima setiap bulan oleh ahli waris dari PNS yang meninggal, ahli waris juga berhak menerima tabungan hari tua yang dibayar satu kali secara tunai sekaligus pada saat PNS yang bersangkutan meninggal dunia (Penjelasan PP 25/1981, 9:2; UU 40/2004, 37:1). Akan tetapi, berbeda dengan uang pensiun yang dibatasi penerimanya hanya pada salah satu dari tiga pihak ahli waris di atas, tabungan hari tua bagi PNS atau yang kerap dikenal oleh masyarakat sebagai Taspen ini dapat dibayarkan kepada ahli waris lain di luar tiga pihak ahli waris tersebut (UU 40/2004, 37:4). 2). Karyawan Swasta Karyawan swasta tidak menerima uang pensiun, kecuali bila mereka menjadi peserta Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan.43 Akan tetapi, karyawan swasta menerima juga Jaminan Hari Tua. Jaminan Hari Tua ini dapat dibayarkan tunai sekaligus, atau secara berkala, atau sebagian dan berkala (UU 3/1992, 14:1). Dalam hal karyawan swasta tersebut meninggal dunia, pembayaran ini diberikan kepada ahli warisnya, yaitu “janda atau duda atau anak yatim piatu”. (UU 3/1992, 14:2). Ketentuan dalam UU 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja ini telah menentukan secara spesifik para ahli waris yang akan menerima manfaat Jaminan Hari Tua apabila seorang pekerja meninggal dunia. Akan tetapi, sebuah peraturan yang baru dikeluarkan (UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional) telah mengintroduksi suatu ketentuan yang lebih umum dalam pasal 37 (4) sebagai berikut: “Apabila peserta meninggal dunia, ahli warisnya yang sah berhak menerima manfaat jaminan hari tua.” Pengertian ‘ahli waris yang sah’ dalam pasal tersebut tidak menunjuk langsung siapa-siapa pihak tertentu yang berhak menerima dana Jaminan Hari Tua atau Taspen. Dengan demikian, dalam hal seluruh keluarga inti meninggal dunia, seperti yang cukup sering didapati dalam bencana Tsunami, pihak keluarga suami dan pihak keluarga istri apakah ayah ibu, saudara kandung, maupun keponakan, dapat juga menjadi ahli waris yang menerima manfaat 42 Wawancara Salahuddin Mahmud, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, (16 Mei 2006). 43 Keterangan lebih lanjut mengenai Dana Pensiun silakan lihat Undang-Undang nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun; Peraturan Pemerintahan nomor 76 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja, dan Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan.

Page 40: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

31

Jaminan Hari Tua dari karyawan swasta atau Taspen milik seorang PNS yang meninggal dalam Tsunami itu. Mungkin karena ketentuan ini masih baru (dikeluarkan 2 bulan sebelum Tsunami terjadi), belum banyak pihak yang mengetahuinya, termasuk aparat gampong. Karena itu tidak heran bila terdapat Geuchik yang belum dapat menyelesaikan pembagian dana Taspen antara seorang janda (yang sudah menikah kembali dengan pria lain) dengan seorang saudara laki-laki suami yang meninggal dalam Tsunami.44 d. Jaminan Kematian Selain gaji pensiun dan tabungan hari tua, terdapat pula uang santunan kematian yang diberikan kepada ahli waris dari korban Tsunami yang bekerja di kantor pemerintahan atau perusahaan swasta. Iuran jaminan kematian ditanggung oleh kantor pemberi kerja. Adapun besarnya manfaat Jaminan Kematian ditetapkan berdasarkan suatu jumlah nominal tertentu (UU 40/2004, 45-46). Jaminan Kematian meliputi biaya pemakaman dan santunan berupa uang tunai. Jaminan Kematian dibayarkan kepada ahli waris pekerja yang meninggal dunia (UU 3/1992, 13), dengan urutan penerima yang diutamakan sebagai berikut:

1. janda atau duda; 2. anak; 3. orang tua; 4. cucu; 5. kakek atau nenek; 6. saudara kandung; 7. mertua.45

e. Uang Asuransi: Harta Bersama atau Harta Peninggalan? Dalam beberapa kasus korban yang meninggal dalam Tsunami, terdapat di antara mereka yang memiliki polis asuransi jiwa dari berbagai perusahaan asuransi yang terdaftar. Pembayaran dari perusahaan asuransi jiwa tersebut kepada keluarga korban Tsunami masih sering menjadi pembicaraan apakah menjadi harta bersama korban dengan isteri/suaminya ataukah merupakan harta peninggalan dari korban yang meninggal itu.46 Soufyan Saleh, Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, berpendapat bahwa dengan mengacu kepada putusan kasasi yang dikeluarkan Mahkamah Agung (no. 97/AG/1994) uang asuransi tidak dapat digolongkan sebagai harta bersama dan tidak pula dapat disebut sebagai harta peninggalan. Dengan demikian, pembayaran uang pertanggungan asuransi harus mengacu kepada ketentuan khusus yang mengatur hal tersebut dalam klausula perjanjian Asuransi itu sendiri.47 Putusan kasasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung di atas sesungguhnya sudah didahului dua tahun sebelumnya oleh sebuah putusan kasasi yang amar putusannya sebetulnya tidak banyak berbeda. Kasus di bawah ini dengan jelas menunjukkan bahwa uang pertanggungan asuransi bukanlah harta bersama dan bukan pula harta peninggalan. Adapun ringkasan kasusnya sebagai berikut:48

44 Wawancara dengan M. Amin, gampong Meunasah Balee, 10 Mei 2006. 45 Pasca Tsunami, Jamsostek NAD mengeluarkan Edaran yang menambah satu ahli waris penerima selain tujuh orang di atas, yaitu saudara kandung orang tua. Lihat Rusydi Ali Muhammad, “Permasalahan Tanah di Aceh Pasca Tsunami”, Makalah Diskusi Bulanan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Banda Aceh, 17 Juli 2006, h. 9. 46 Saleh, “Pembagian Hak Warisan”, h. 7. 47 Ibid. 48 Kasus ini dikutip secara ringkas dari rubrik Analisis Yurisprudensi, Mimbar Hukum no.18, vol. VI (1995).

Page 41: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

32

Tabel 13.

Tingkat Pertama Pengadilan Agama Tapak Tuan (Aceh Selatan) Putusan No: 29/G/1991/PA-TTN

Para penggugat (1 saudara perempuan dan dua saudara laki-laki seibu) menggugat janda dan mengklaim bahwa dana dari asuransi jiwa dan tunjangan kematian yang berasal dari Menteri Agama dan Pemerintah Saudi Arabia kepada saudara laki-laki mereka (suami dari tergugat) yang meninggal akibat musibah terowongan Mina pada saat beribadah haji merupakan harta warisan. Penggugat meminta Pengadilan Agama memfaraidhkan uang tersebut. Pengadilan Agama menerima gugatan para penggugat dan membagi harta tersebut: janda mendapat ¼, saudara perempuan memperoleh ½, dan dua saudara laki-laki seibu menerima sisanya (¼).

Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh Putusan No: 49/1991

Pengadilan Tinggi Agama menemukan bahwa putusan Pengadilan AgamaTapak Tuan telah keliru menerapkan hukum; uang dari Menteri Agama dan pemerintah Saudi bukanlah tirkah (harta peninggalan) dari pewaris, tetapi donasi untuk seluruh ahli waris yang harus dibagikan sama rata antara penggugat dan tergugat. Adapun uang asuransi dipandang sebagai harta bersama dari pernikahan janda dan almarhum suaminya yang harus difaraidkan untuk seluruh ahli waris menurut ketentuan hukum.

Tingkat Kasasi Mahkamah Agung Putusan No: 198K/AG/1992

Mahkamah Agung memutuskan bahwa Pengadilan Tinggi Agama telah keliru menerapkan hukum karena yang dipandang sebagai harta warisan itu seluruhnya berada dalam kepemilikan janda pada saat pewaris hidup. Karena itu, uang asuransi dan dana yang diberikan oleh Menteri Agama dan Pemerintah Saudi tidak dapat dibagi-bagikan di antara ahli waris. Mahkamah Agung akhirnya memutuskan semua dana itu diserahkan kepada janda.

3. Hak Waris Perempuan

Setelah menjelaskan tentang harta peninggalan pada bagian di atas, kini saatnya untuk membicarakan hak atas bagian dari harta peninggalan yang akan diterima oleh para ahli waris. Mengenai besarnya bagian untuk ahli waris dalam hukum adat pada prinsipnya, sama dengan ketentuan hukum Islam atau sebagaimana yang diatur secara umum dalam KHI. Pengaruh hukum Islam terhadap hukum adat Aceh diakui sangat besar. Namun, pelaksanaan ketentuan hukum semacam itu tidak terlalu ketat sepanjang ada kesepakatan antara semua ahli waris berkaitan dengan jumlah bagian dari harta warisan yang akan diterima. Mempertimbangkan fokus utama dan tujuan penelitian ini, bagian ini tidak akan menguraikan semua pihak-pihak ahli waris, tetapi akan membatasi pada ahli waris berkelamin perempuan saja. a. Anak Perempuan Menurut pasal 176 KHI, anak perempuan mendapatkan seperdua bila seorang diri, dan duapertiga bila mereka jumlahnya berdua atau lebih. Apabila anak perempuan tersebut bersama anak laki-laki sebagai pewaris, maka bagian anak perempuan adalah setengah dari bagian anak laki-laki. Norma adat Aceh mengenai hak waris anak perempuan ini tidak banyak berbeda. Dengan demikian, jika terdapat hanya seorang anak perempuan ia akan mendapatkan ½ bagian, dan jika 2 orang atau lebih

Page 42: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

33

mereka akan mendapatkan 2/3 bagian dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan pewaris. Begitupun, bila anak perempuan itu bersama-sama dengan anak laki-laki, maka anak perempuan akan menerima ½ bagian dari jumlah yang diterima oleh anak laki-laki. Tapi pada dasarnya pembagian harta warisan di gampong amat bergantung pada pertimbangan orang-orang tua adat dan atau persetujuan sesama anak-anak (laki-laki dan perempuan). Malah dalam adat Aceh, terdapat konsep harta peunulang, yaitu rumah dan tanah pekarangannya diberikan kepada anak perempuan pada saat ia menikah, yang salah satu tujuannya adalah untuk perimbangan dari kekurangan bagian yang diterima oleh anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki pada saat pembagian harta warisan sepeninggal pewaris. Melalui konsep harta peunulang inilah, boleh jadi bagian harta yang diterima oleh anak perempuan akan lebih banyak dibandingkan dengan harta bagian anak laki-laki. Posisi anak perempuan dalam praktek kewarisan di gampong terlihat lemah khususnya jika ia adalah satu-satunya, atau lebih, anak perempuan yang masih hidup sementara ahli waris utama lainnya (e.g. anak laki-laki, ayah dan ibu, janda atau duda) sudah meninggal dunia. Dalam keadaan seperti ini, dimana anak perempuan tidak dapat menjadi `asabah (ahli waris yang menghabiskan seluruh harta warisan), timbul kecenderungan bahwa wali, khususnya pihak keluarga ayah dari anak perempuan tersebut, datang dengan alasan perwalian untuk menguasai harta peninggalan para pewaris. Terlebih lagi apabila anak perempuan tersebut masih di bawah umur dan belum mengerti akan hak-haknya. Aparat gampong pada umumnya tidak menghalangi tindakan yang diambil oleh wali tersebut, karena itu memang merupakan praktek yang berlaku luas. Diagram di bawah mencoba mengilustrasikan bagaimana posisi anak perempuan yang sebatangkara sepeninggal kedua orangtuanya berhadapan dengan wali yang merupakan saudara laki-laki ayahnya (paman).

Diagram 2. Di gampong Meunasah Balee, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, terdapat seorang anak perempuan (E) yang tidak mendapatkan sama sekali harta warisan dari ayahnya (C) karena pamannya (D) menguasai seluruh harta peninggalan AB (lihat diagram di bawah). Harta warisan berupa 150 juta rupiah mulanya merupakan milik kakek nenek (AB) yang meninggal sebelum kejadian Tsunami. Kakek nenek ini mempunyai dua orang putra (C dan D) sebagai ahli waris. Akan tetapi, salah satu ahli waris ini, yaitu C, meninggal dalam Tsunami. Akhirnya seluruh harta peninggalan kakek diambil oleh paman (D) dan tidak memberikan hak sedikitpun kepada anak perempuan itu yang sesungguhnya

A

D

C

B

Page 43: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

34

merupakan ahli waris yang sah dari harta milik ayahnya yang diterimanya dari AB.49

Diagram 3. Situasi yang agak menguntungkan bagi anak perempuan di bawah umur adalah jika di gampong di mana anak perempuan itu menetap terdapat proses sertifikasi tanah yang dilakukan oleh program RALAS yang berada di bawah kendali BPN dan mengikutsertakan Mahkamah Syar’iyah dalam program tersebut. Dalam keadaan ini, kemungkinan besar anak perempuan tersebut mendapatkan hak penuh atas tanah yang ditinggalkan oleh orang tuanya, termasuk sertifikat tanah akan diterbitkan atas nama anak perempuan tersebut. Hal ini karena Mahkamah Syar’iyah dalam menetapkan perwalian bagi seorang anak di bawah umur di suatu gampong seringkali juga menginformasikan kepada warga masyarakat dan aparat gampong bahwa anak perempuan dapat mewarisi seluruh harta peninggalan milik pewaris. Penting kiranya dicatat di sini bahwa terdapat yurisprudensi di Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) yang memutuskan untuk menyerahkan seluruh sisa dari harta warisan yang tidak habis itu (½) kepada seorang anak perempuan, dan tidak lagi diberikan, misalnya, kepada paman (wali) yang masih hidup.50 Dengan kata lain, seorang anak perempuan yang sebatangkara dapat menghabiskan seluruh harta peninggalan pewaris. Yurisprudensi ini jelas bertentangan secara diametral dengan bunyi pasal 176 KHI yang sudah disebutkan di atas. Tampaknya suatu terobosan hukum baru (ijtihad) sudah dilakukan dalam praktek khususnya untuk mengatasi persoalan yang dipandang kurang menguntungkan bagi posisi anak perempuan. Oleh sebab itu, sebagaimana disampaikan oleh Hasyim Mannan, Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, anak perempuan di bawah umur yang ditetapkan perwaliannya oleh Mahkamah Syar’iyah melalui program RALAS dapat dicantumkan namanya dalam sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN, sementara pengelolaan tanah tersebut tetap akan di bawah kontrol wali yang sudah ditunjuk oleh Mahkamah hingga anak yatim itu dewasa. Hasyim juga menambahkan bahwa dalam hal terdapat dua orang anak di bawah umur yang berbeda jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, maka bagian tanah untuk anak perempuan adalah setengah dari bagian anak laki-laki. Perbedaan ukuran luas tanah bagi anak laki-laki dan perempuan tersebut terlihat dalam sertifikat yang diterbitkan oleh BPN atas nama mereka masing-masing.51 b. Janda

49 Wawancara dengan Geuchik Meunasah Balee (10 Mei 2006). 50 Wawancara Rafiuddin, Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho (27 April 2006). 51 Wawancara Hasyim Mannan, Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh (26 April 2006).

AB

C D

E

Page 44: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

35

Posisi janda merupakan contoh lain yang tidak jauh berbeda dengan kasus anak perempuan di atas. Menurut KHI, seorang janda mendapat ¼ bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan mendapat 1/8 bila pewaris meninggalkan anak (KHI, 180). Selain itu, janda akibat cerai mati juga berhak atas harta bersama sebesar separoh bagian (KHI, 96:1). Hak janda atas harta peninggalan pewaris menurut adat Aceh tidak berbeda dengan ketentuan formal dalam KHI itu. Akan tetapi, hak seorang janda atas harta bersama, menurut adat, besarnya boleh seperdua bagian atau sepertiga bagian seperti sudah diterangkan di atas dalam pembahasan Harta Bersama. Seorang janda tanpa anak ataupun hanya mempunyai anak perempuan sesungguhnya dalam beberapa kasus berada dalam posisi yang relatif lemah berhadapan dengan keluarga pihak suami (e.g. ipar dan mertua). Sungguhpun seorang janda memperoleh 1/8 (3/24), seorang anak perempuannya memperoleh ½ (12/24), sementara keluarga pihak suami yaitu ibu mertua mendapat 1/6 atau 4/24 dan ipar akan memperoleh 5/24, seringkali terjadi keluarga pihak suami ini mengontrol seluruh harta kekayaan yang diwariskan dengan pertimbangan bahwa mereka berkedudukan sebagai wali yang nantinya akan menikahkan anak perempuan tersebut. Kondisi semacam ini lebih tampak khususnya jika anak-anak perempuan tersebut masih di bawah umur. Diagram di bawah mencoba mengilustrasikan posisi janda dengan seorang anak perempuan berhadapan dengan pihak keluarga suami yang terdiri dari ipar laki-lakinya dan ibu mertuanya.

Diagram 4. Pembagian warisan: Janda (B) = 3/24

Anak (E) = 12/24

Ibu (C) = 4/24

Saudara laki-laki (D) = 5/24

Dalam hal janda tersebut tidak mempunyai anak sama sekali, kedudukannya betul-betul menjadi lemah sekali berhadapan dengan satu-satunya ipar laki-lakinya yang masih hidup. Di gampong Meunasah Balee, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, ditemukan kasus seorang janda dan seorang ipar laki-laki sebagai ahli waris. Masalah kewarisan ini sudah diajukan kepada Geuchik untuk diselesaikan. Geuchik kemudian memberikan ¼ bagian dari harta warisan kepada janda karena tidak ada anak, sedang sisanya yaitu ¾ bagian menjadi milik saudara laki-laki dari almarhum suami janda tersebut.52 Ilustrasi kasus ini dapat dilihat pada diagram di bawah.

Diagram 5.

52 Wawancara dengan Geuchik Meunasah Balee (10 Mei 2006).

A

D

E

B

C

A

C B

Page 45: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

36

Sesungguhnya janda tersebut tidak hanya memperoleh ¼ bagian, karena harta warisan yang ditinggalkan pewaris merupakan harta bersama. Seharusnya janda itu memperoleh ½ dari harta bersama dan ¼ dari harta warisan suaminya yang meninggal (karena mereka tidak punya anak). Dengan demikian, sebetulnya janda memperoleh total ¾ bagian dari keseluruhan harta peninggalan, sementara iparnya hanya memperoleh ¼ bagian. Masih di gampong Meunasah Balee, terdapat kasus janda lain yang berhadapan dengan ipar laki-lakinya. Dalam kasus ini, pembagian harta warisan sebetulnya sudah dapat dilakukan secara musyawarah keluarga. Akan tetapi, muncul persoalan pada harta warisan berupa barang bergerak yaitu kendaraan mobil. Mobil itu ditaksir harganya sebesar 35 juta rupiah. Janda itu diminta untuk membayar sebesar sepuluh juta rupiah kepada saudara laki-laki suaminya kalau ia ingin memiliki sepenuhnya kendaraan tersebut. Tapi janda tersebut tidak mau melakukannya. Setelah mendapat laporan kasus ini, oleh pihak gampong, janda tersebut akhirnya ditetapkan berhutang kepada iparnya sebesar 10 juta rupiah dan wajib melunasinya. Janda tersebut tidak punya pilihan lain dan terpaksa mengusahakan agar mobil itu lekas terjual untuk dapat melunasi hutangnya.53 c. Cucu perempuan (patah titi) Ahli waris perempuan lainnya yang patut didiskusikan di sini adalah cucu perempuan yang ayah ibunya meninggal terlebih dahulu daripada pewaris (kakek cucu perempuan). Menurut ketentuan formal, ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, dan bagian ahli waris pengganti itu tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti (KHI, 185:1-2). Hukum positif ini mengatur bahwa hubungan saling mewarisi antara seorang kakek dan cucunya, walaupun orang tua dari cucu itu sudah meninggal lebih dulu, adalah sesuatu yang dibenarkan secara hukum. Adapun jumlah bagian harta warisan yang diterima oleh cucu itu tidak dapat melebihi bagian harta warisan yang diterima oleh masing-masing saudara-saudari dari orang tuanya. Kemungkinan besar jumlah yang bakal diterima cucu itu setidaknya sama banyaknya dengan bagian saudara-saudari orang tuanya. Diagram di bawah mencoba menjelaskan kasus ini.

Diagram 6. Keterangan gambar: F adalah cucu perempuan D adalah orang tua F yang meninggal lebih dulu dari A dan B yg merupakan kakek dan nenek dari F yang meninggal dalam Tsunami E dan C adalah anak kandung dan merupakan ahli waris dari A dan B F menggantikan kedudukan ayahnya (D) sebagai ahli waris yang sejajar dgn E dan C

53 Wawancara Geuchik Meunasah Balee (10 Mei 2006).

A

C E

B

F

D

Page 46: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

37

Melalui putusan kasasi, Mahkamah Agung telah memperlebar ketentuan pasal 185 KHI di atas sehingga mencakup juga kondisi patah titi ke samping (anak dari saudara).54 Maksudnya, seseorang keponakan, baik perempuan atau laki-laki, yang orang tuanya meninggal lebih dulu daripada pewaris, dapat menempati posisi orang tuanya sebagai ahli waris ‘saudara kandung’ dari pewaris. Meskipun sudah terdapat putusan Mahkamah Agung seperti ini, Mahkamah Syar’iyah NAD tidak berencana untuk mempraktekkan hal ini di wilayah hukumnya.55 Adapun menurut hukum Adat Aceh, seseorang yang lebih dahulu meninggal dunia daripada pewaris (ayahnya) tidak dapat digantikan oleh anak perempuan dari orang yang meninggal tersebut sebagai ahli waris untuk menerima harta warisan dari pewaris. Hal ini dikenal di Aceh dengan istilah Patah Titi, yang maksudnya adalah titian yang menyambungkan pewaris dengan cucu perempuannya telah hilang karena orang tua dari cucu itu meninggal dunia lebih dulu dari pewaris. Oleh sebab itu, penggantian kedudukan ahli waris, dalam hal ini cucu perempuan menggantikan ayahnya, tidak dianggap berlaku menurut Adat Aceh. Namun, menurut Teuku Djuned, guru besar hukum Adat dari Fakultas Hukum Unsyiah, patah titi bukanlah suatu konsep yang murni berasal dari adat Aceh.56 Sesungguhnya konsep patah titi berasal dari pengaruh mazhab fikih Syafi’iyah terhadap praktek hukum kewarisan Islam di Aceh,57 yang lama kelamaan kemudian menjadi norma dan dipraktekkan dalam adat Aceh dalam kurun waktu yang cukup panjang. Akan tetapi, dalam praktek adat dewasa ini, biasanya cucu perempuan dari seseorang yang telah meninggal lebih dahulu dari kakek (pewaris) akan memperoleh bagian bukan sebagai ahli waris tetapi karena diberikan secara sukarela oleh ahli waris yang lain. Berkat sosialisasi informasi yang dilakukan oleh para hakim Mahkamah melalui berbagai kesempatan di tengah masyarakat di Banda Aceh,58 konsep patah titi mulai ditinggalkan. Akan tetapi, aparat gampong di beberapa tempat di Aceh Besar yang belum pernah mendapatkan pelatihan dan peningkatan pengetahuan masalah waris oleh hakim Mahkamah, masih mengamalkan patah titi ketika memecahkan masalah waris yang diajukan oleh anggota masyarakatnya. Sesungguhnya tertutupnya akses kepada harta warisan tidak selamanya berlaku hanya untuk cucu perempuan, melainkan juga dapat berakibat pada cucu laki-laki. Di gampong Lambada Lhok, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, terdapat kasus patah titi yang terjadi pada cucu laki-laki dan Geuchik gampong tersebut mengalami kebimbangan dalam memberikan harta warisan kepada cucu laki-laki tersebut. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam diagram di bawah ini.

54 Lihat Armia Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti Ditinjau dari Aspek Hukum dan Penerapannya dalam Praktek Peradilan”, Makalah disampaikan dalam Workshop Masalah Faraidh yang dilaksanakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh, 18-20 Oktober 2005, h. 8. 55 Diskusi dengan Soufyan Saleh, Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, 2 Juni 2006. Lihat juga Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti”, h. 15-16. 56 Tanggapan T. Djuned dalam Workshop Hasil Penelitian IDLO (30 Mei 2006). 57 Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti”, h. 7. 58 Misalnya, hakim diundang sebagai narasumber dalam pelatihan peningkatan pengetahuan aparat gampong tentang masalah waris yang dilaksanakan oleh Yayasan Lamjabat, Oktober 2005.

Page 47: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

38

Diagram 7.

Dalam diagram di atas, seorang pewaris (A) memiliki 2 orang istri (B dan C) dengan 7 orang anak (D, E, F, G, H, I dan J). Pewaris, kedua orang istrinya dan tiga orang anaknya (F, G dah H) semuanya meninggal dalam Tsunami, sementara salah seorang anaknya (D) sudah meninggal dunia sebelum Tsunami terjadi. Yang menjadi ahli waris atas semua peninggalan milik pewaris adalah E, I dan J, sementara O dan P terhalang (mahjub) oleh orang tua mereka yang telah menjadi ahli waris. D tidak dapat menerima warisan dari A karena meninggal dunia lebih dulu. Berhubung patah titi dianggap telah terjadi dalam kasus ini, Geuchik Lambada Lhok masih bingung untuk memutuskan apakah akan memberi bagian harta warisan kepada dua orang cucu (K dan L) dari pewaris atau tidak sama sekali.59

d. Ibu Pasal 178 (1) KHI menentukan bahwa seorang ibu memperoleh 1/3 dari harta warisan bila pewaris tidak meninggalkan anak atau dua orang saudara atau lebih, dan menerima 1/6 dari harta warisan bila pewaris memiliki anak atau dua saudara atau lebih (KHI, 178:1). Selain itu, pasal 178 (2) KHI juga mengatur bahwa Ibu mendapat 1/3 dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah. Dengan demikian, maksimal perolehan harta warisan untuk seorang ibu hanyalah sepertiga. Yang menjadi masalah adalah jika ibu merupakan satu-satunya ahli waris yang masih hidup, dan telah mendapatkan bagian maksimalnya sebanyak 1/3, kepada siapa sisa harta warisan sebesar 2/3 itu akan diberikan? Sayang sekali, peneliti tidak menemukan adanya kasus semacam ini di lapangan. Namun, besar dugaan bahwa sisa harta tersebut tidak akan diserahkan kepada ibu melainkan dikuasai oleh Baitul Mal gampong. Hal ini karena ibu tidak dapat berfungsi sebagai `asabah yang dapat menerima atau menghabiskan seluruh harta warisan. Sebagai ahli waris atas harta peninggalan anak-anaknya, seorang ibu tak jarang menghadapi masalah khususnya jika anak perempuannya yang sudah menikah meninggal dunia bersama suaminya dan mempunyai harta bersama dari pernikahannya sementara anak-anak pun meninggal dalam Tsunami. Masalah yang dihadapi ibu tersebut adalah pengabaian hak-hak kewarisannya oleh ahli waris yang lain, khususnya dari pihak keluarga menantu laki-lakinya. Padahal sebagai ahli waris yang sah, ibu tersebut berhak mendapatkan 1/3, atau 1/6 bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, dari harta peninggalan (harta bersama dan

59 Wawancara Geuchik Lambada Lhok (9 Mei 2006).

A

D

E

F G H I

CB

J

K

L

M

N PO

Page 48: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

39

harta bawaan) milik anak perempuannya itu. Namun, yang terjadi adalah saudara laki-laki dari suami anak perempuannya mengambil alih seluruh harta dan tidak memberikan sedikitpun hak kepada ibu itu. Di gampong Meunasah Balee, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, peneliti menemukan kasus seperti terlihat dalam diagram di bawah:

Diagram 8.

K adalah abang kandung dari C yang menikah dengan B yang merupakan anak perempuan dari A. K mengambil semua harta peninggalan pasangan suami istri A dan B dan tidak memberikan bagian apapun kepada A selaku ibu kandung B dan merupakan salah satu ahli waris yang sah. Saudara-saudari B yang lain (D, E, F, G dan H) yang selamat dari Tsunami dan berhak juga menerima warisan, sama sekali diabaikan juga hak-hak kewarisannya.60 4. Implementasi Pembagian Warisan a. Pembagian harta warisan dalam keluarga Pasal 188 KHI menyatakan bahwa para ahli waris baik kolektif ataupun individual dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan untuk dilakukan pembagian harta warisan. Ahli waris yang telah mandiri atau telah menikah dapat berinisiatif untuk meminta pembagian warisan segera dilakukan. Hal ini terjadi lebih-lebih apabila orang tuanya (janda atau duda) telah kawin lagi dengan orang lain. Apabila belum ada anak yang telah mandiri, maka pihak keluarga, terutama keluarga pihak ayah (wali) akan segera meminta pembagian warisan dan wali itu akan menjadi pengawas atau pengelola terhadap bagian warisan yang menjadi hak anak yang belum dewasa atau belum mampu tersebut. Masyarakat Aceh melakukan pembagian harta peninggalan pewaris biasanya setelah 100 hari sejak kematian pewaris. Tapi ketentuan waktu ini sesungguhnya agak longgar, karena banyak juga keluarga yang tidak membagi harta warisan, kecuali kalau seluruh ahli waris sudah dewasa atau kawin. Jika jumlah harta peninggalan pewaris itu tidak seberapa banyak, pembagian harta warisan itu biasanya dilakukan sendiri secara damai dalam keluarga atau dibantu oleh sanak famili lain. Apabila pembagian harta warisan itu cukup banyak dan dikhawatirkan menimbulkan persengketaan di antara ahli waris, Imam Meunasah dan geuchik seringkali juga diundang untuk memfasilitasi proses

60 Wawancara dengan ibu A (10 Mei 2006).

B

C

K

D

E

F G H

A

Page 49: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

40

pembagian harta warisan secara kekeluargaan itu.61 Pembagian itu biasanya dilakukan dalam suatu acara kenduri sekaligus doa untuk memperoleh keselamatan, sehingga para ahli waris yang memperoleh harta warisan akan hidup tenteram dan damai. Sebagaimana dinyatakan oleh pasal 183 KHI, para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. Dalam adat Aceh pun, para ahli waris dapat melakukan persetujuan tentang besarnya bagian yang diterima masing-masing. Pada umumnya pembagian warisan antara ahli waris dilakukan secara musyawarah antara para ahli waris. Antara anak laki-laki dan anak perempuan membagi secara sama dan tidak diperhitungkan jumlah nilainya (harga), melainkan secara innatura. Rumah dan pekarangan untuk anak perempuan, sedangkan anak laki-laki diberikan sawah dan ladang, ternak, toko di pasar atau sumber penghasilan lainnya. Apabila ditaksir harganya, kemungkinan harta rumah yang diperoleh anak perempuan lebih besar karena mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi. Akan tetapi, anak laki-laki umumnya tidak membantah hal ini, karena adalah suatu keaiban bagi mereka apabila saudara-saudara perempuan mereka tidak mempunyai tempat tinggal atau menumpang di rumah orang lain.62 Penyelesaian masalah kewarisan secara damai di atas lebih dikehendaki oleh semua pihak karena tidak menimbulkan pembiayaan yang tinggi dan membawa kemudahan dalam implementasi pembagian harta untuk para ahli waris. Sebuah kasus dari gampong Lamteh (lihat diagram) kiranya relevan untuk diketengahkan di sini untuk menunjukkan bagaimana pembagian harta waris yang berlangsung secara damai.

Diagram 9.

A dan B adalah sepasang suami istri yang meninggal dunia dalam Tsunami. A meninggalkan seorang anak perempuan (F) dan saudara laki-laki (C) sebagai ahli waris. Sementara itu, D seorang saudara laki-laki dari A juga meninggal dalam Tsunami dan meninggalkan seorang anak laki-laki (E). Menurut ketentuan hukum Islam dan juga adat Aceh, C berhak untuk menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh A (saudara laki-lakinya) apalagi cuma terdapat seorang anak perempuan sebagai ahli waris. Akan tetapi, C tidak mengambil sedikitpun dari harta peninggalan A dan menyerahkan semuanya kepada F. Dalam pandangan adat, E dapat bertindak sebagai wali bagi F jika kelak akan melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu, kepada E ditawarkan juga bagian dari harta peninggalan A, tetapi E menolak dan memilih untuk menyerahkan semua harta warisan kepada sepupunya (F).63

61 Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, Depdikbud Atjeh, 1970, h. 100. 62 Ibid. h. 102. 63 Wawancara Geuchik Lamteh (6 Mei 2006).

A

F

B

E

D

C

Page 50: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

41

b. Penyelesaian Masalah Warisan oleh Aparat Gampong Dalam menyelesaikan masalah warisan yang muncul di gampong, Geuchik beserta Imam Meunasah mempunyai peranan yang cukup penting. Apalagi, menurut pasal 12 Qanun nomor 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, Geuchik dan Imam Meunasah adalah pimpinan Rapat Adat Gampong, suatu wadah pertemuan yang bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan dan permasalahan yang terjadi di gampong. Dalam Rapat Adat Gampong inilah perselisihan antara ahli waris dicoba diselesaikan dengan damai. Pimpinan rapat dalam mengambil keputusan lebih banyak mengandalkan saksi sebagai alat bukti. Di sini kejujuran seorang saksi amat menentukan keputusan akhir musyawarah tersebut. Selain itu, pengetahuan aparat gampong juga ikut menentukan hasil keputusan rapat itu. Pengetahuan yang dimaksudkan di sini mencakup pengetahuan tentang materi hukum yang berkaitan dengan kewarisan dan pengetahuan tentang asal usul harta dan silsilah keluarga dari para ahli waris. Untuk menunjang pengetahuan aparat gampong tentang materi hukum, tak jarang seorang teungku dari dayah diundang untuk menyampaikan ilmunya mengenai kewarisan Islam dalam rapat tersebut. Keputusan yang dibuat pada akhir rapat itu tidak selalu memuaskan semua pihak, dan karenanya Geuchik dan Imam Meunasah sering mewanti-wanti pihak-pihak yang bertikai untuk dapat menerima keputusan akhir dengan hati ikhlas.64 Harus diakui bahwa keputusan-keputusan yang dibuat dalam musyawarah gampong ataupun berdasarkan petunjuk yang disampaikan oleh aparat gampong pada saat pembagian warisan di antara ahli waris cenderung untuk mengutamakan ahli waris pihak laki-laki daripada ahli waris pihak perempuan, dan lebih memprioritaskan keluarga dari pihak suami daripada keluarga dari pihak istri. Selain itu, terhadap anak perempuan tunggal yang menjadi ahli waris, harta warisan peninggalan orang tuanya tidak diberikan seluruhnya tetapi hanya separuhnya saja. Adapun sisanya diserahkan kepada wali anak perempuan itu jika masih ada. Tapi sekiranya anak perempuan itu tinggal sebatangkara, sisa harta peninggalan orang tuanya dikuasai oleh baitul mal.65

Akan tetapi, patut dicatat di sini bahwa terdapat inisiatif penting yang dilakukan oleh Geuchik gampong Kajhu mengenai hak anak perempuan terhadap harta peninggalan orang tuanya. Berbeda dari kebanyakan gampong yang mempraktekkan hukum waris yang berlaku umum, di mana seorang anak perempuan hanya mendapatkan ½ harta warisan, Geuchik Kajhu membuat keputusan luar biasa bersama aparat gampong lainnya dan tokoh masyarakat dalam sebuah musyawarah yang memutuskan bahwa anak perempuan tunggal itu berhak memperoleh semua harta peninggalan orang tuanya. Dalam kasus itu, anak perempuan yang dimaksud masih berusia 17 tahun dan berada di bawah perwalian. Pihak wali pun tidak berkeberatan dengan keputusan musyawarah gampong itu dan membiarkan anak perempuan tersebut untuk mengurus sendiri harta warisan miliknya.66 Seperti sudah pernah diuraikan di muka bahwa karakteristik hukum adat adalah penyelesaian perselisihan dengan cara damai melalui kesepakatan kedua belah pihak. Prinsip ini amat dihormati dan lebih sering diimplementasikan oleh aparat gampong dalam pembagian harta warisan, walaupun penentuan hak bagian untuk masing-masing 64 Wawancara Geuchik Kajhu (7 Mei 2006); Imam Meunasah Lampaseh Kota (3 Mei 2006); Geuchik Lambung (2 Mei 2006); Geuchik Cut Lamkuweuh (1 Mei 2006). 65 Wawancara Geuchik Cut Lamkuweuh (1 Mei 2006); Geuchik Lamteh (6 Mei 2006); Geuchik Mon Ikeun (7 Mei 2006); 66 Wawancara Geuchik Kajhu (7 Mei 2006).

Page 51: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

42

ahli waris akan berbeda dari apa yang sudah ditentukan oleh hukum formal maupun syariat Islam. Di gampong Lamteh, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, ada sebidang tanah yang dibeli oleh sepasang suami isteri. Suami isteri ini beserta anaknya meninggal dunia dalam bencana Tsunami. Ahli waris yang masih hidup adalah seorang saudara laki-laki dari isteri dan ibu kandung dari suami, seperti terlihat dalam diagram di bawah.

Diagram 10. Seharusnya, ibu kandung suami (F) menerima 1/3 dari harta warisan dan saudara laki-laki (E) menerima seluruh sisanya (2/3). Akan tetapi, Geuchik Lamteh mengambil inisiatif untuk membagi dua harta peninggalan para pewaris untuk masing-masing ahli waris. Dengan demikian, baik E dan F masing-masing akan menerima ½ dari keseluruhan luas tanah. Kedua pihak (E dan F) menyetujui petunjuk Geuchik dan akhirnya mengakhiri persoalan itu secara damai.67 Hal terakhir yang penting dicatat di sini adalah tentang kemampuan Geuchik dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum pasca Tsunami. Agaknya Geuchik yang baru diangkat setelah bencana Tsunami atau masih berusia muda kurang memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk menangani masalah-masalah hukum pasca Tsunami. Minimnya pengalaman yang dimiliki Geuchik baru itu turut mempengaruhi kemampuan mereka dalam menerapkan hukum secara tepat. Sedangkan Geuchik yang sudah terangkat sejak sebelum Tsunami, apalagi mereka yang telah puluhan tahun menjabat sebagai Geuchik, mempunyai wawasan dan pengetahuan yang cukup baik untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di gampong. c. Penyelesaian Perkara Waris oleh Mahkamah Syar’iyah Sampai bulan Maret tahun 2006, penyelesaian perkara waris akibat bencana Tsunami oleh Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Jantho kebanyakannya mengambil bentuk pengesahan atas permohonan penetapan ahli waris sebagaimana dapat dilihat pada dua tabel di bawah. Berbeda dengan pemeriksaan atas sengketa kewarisan yang melibatkan pihak-pihak ahli waris yang saling bertikai, pengesahan atas permohonan penetapan ahli waris itu merupakan perkara volunteer, yang artinya tidak ada pihak lawan dalam perkara itu. Meski begitu, bukan tidak mungkin suatu saat nanti jika ada pihak lain yang dirugikan oleh penetapan ahli waris yang sudah dikeluarkan dapat mengajukan gugatan keberatan ke Mahkamah dan meminta pembatalan penetapan ahli waris tersebut.

67 Wawancara Geuchik Lamteh (6 Mei 2006).

A

E

C

D

F

B

Page 52: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

43

Tabel 14. Perkara Waris di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh

MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH

PENGESAHAN AHLI WARIS

SENGKETA KEWARISAN

Januari 2005 - - Februari 2005 - - Maret 2005 22 - April 2005 101 - Mei 2005 118 - Juni 2005 110 1 Juli 2005 69 1 Agustus 2005 91 4 September 2005 123 2 Oktober 2005 104 - November 2005 55 - Desember 2005 134 1 Januari 2006 83 1 Februari 2006 70 - Maret 2006 39 2

TOTAL 1119 12

Tabel 15. Perkara Waris di Mahkamah Syar’iyah Jantho

MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH

PENGESAHAN AHLI WARIS

SENGKETA KEWARISAN

Januari 2005 2 - Februari 2005 18 - Maret 2005 116 - April 2005 71 1 Mei 2005 80 - Juni 2005 93 1 Juli 2005 64 1 Agustus 2005 64 - September 2005 39 1 Oktober 2005 24 - November 2005 40 2 Desember 2005 67 1 Januari 2006 56 - Februari 2006 39 1 Maret 2006 30 1

TOTAL 803 9 Sampai penelitian ini selesai dilakukan di Banda Aceh dan Aceh Besar, sengketa kewarisan yang diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah di dua lokasi tersebut boleh dibilang dapat dihitung dengan jari. Perkara kewarisan yang terlihat dalam kolom sebelah kanan di atas sebagian besarnya tidak berkait dengan perkara waris pasca Tsunami. Pada umumnya, perkara waris tersebut melibatkan orang-orang yang berada di luar bencana Tsunami dan diajukan sebelum Tsunami terjadi. Sengketa kewarisan yang berkaitan dengan bencana Tsunami baru mulai muncul satu-satu di awal tahun 2006. Pada saat penelitian ini dilaksanakan, perkara sengketa kewarisan tersebut masih dalam tahap awal proses pemeriksaan dan belum ada yang mencapai tahap akhir, yaitu pembacaan hasil keputusan oleh majelis hakim.68 Sebuah perkara sengketa kewarisan

68 Wawancara Ketua MS Banda Aceh (26 April 2006); Ketua MS Jantho (27 April 2006).

Page 53: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

44

antara ahli waris (anak perempuan vs. paman) di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh malah berakhir dengan perdamaian, setelah majelis hakim berhasil membujuk pihak-pihak yang bertikai itu untuk berdamai.69 Minimnya sengketa kewarisan yang diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah adalah akibat hampir seluruh masalah waris dicoba diselesaikan terlebih dahulu oleh aparat gampong. Sesungguhnya masih cukup banyak masalah waris yang tak dapat ditangani dengan baik oleh gampong, dan oleh karena itu, pihak-pihak yang terkait, khususnya perempuan, tidak puas dengan penyelesaian yang dilakukan oleh Geuchik atau Imam Meunasah. Akan tetapi, walaupun tidak puas dengan keputusan yang dibuat oleh aparat gampong, pihak-pihak yang dirugikan itu pada umumnya tidak mengerti jalur dan mekanisme untuk mencari keadilan di lembaga-lembaga formal,70 sehingga akhirnya mereka cenderung apatis seolah-olah menerima nasib.

C. Perwalian Perwalian bagi anak-anak yatim piatu di Aceh pasca Tsunami adalah suatu persoalan yang cukup pelik. Hal ini bukan saja terkait dengan pemeliharaan dan pengasuhan anak-anak yatim tersebut, tetapi juga menyangkut status harta benda yang ditinggalkan oleh orang tua mereka. Selain itu, masih terdapat berbagai persoalan lainnya yang bertalian dengan perwalian, antara lain pemahaman terhadap konsep perwalian dalam masyarakat Aceh, masih minimnya jumlah wali yang ditunjuk atau ditetapkan lewat mekanisme hukum formal, dan realitas pelaksanaan perwalian di lapangan yang belum sesuai sepenuhnya dengan peraturan perundang-undangan. Uraian di bawah mencoba menjelaskan ketentuan formal dan prinsip adat Aceh tentang perwalian, dan melihat bagaimana berbagai ketentuan dan prinsip tersebut berlangsung dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh pasca Tsunami. 1. Cakupan Perwalian Beberapa ketentuan formal, seperti pasal 50 (2) Undang-Undang Perkawinan dan pasal 107 (2) KHI, menyatakan bahwa perwalian itu mencakup pribadi anak yang bersangkutan dan harta bendanya. Adat Aceh tidak berbeda mengenai cakupan perwalian ini. Akan tetapi, perwalian resmi yang mencakup kedua hal tersebut (diri dan harta) tidak banyak terjadi di Aceh pasca Tsunami, khususnya karena terdapat kecenderungan bahwa perwalian formal pada umumnya dilakukan hanya untuk anak yatim yang memiliki harta warisan. Sementara itu, anak-anak yatim yang miskin dan tidak mempunyai harta warisan dari orang tuanya, penunjukkan atau penetapan wali bagi mereka secara resmi oleh pengadilan seringkali kurang mendapat perhatian dari sanak kerabat terdekat dari anak yatim tersebut. Minimnya perhatian terhadap proses administrasi perwalian bagi anak yatim yang miskin tampaknya berhubungan erat dengan keberadaan harta warisan yang dimiliki oleh anak yatim. Agaknya, harta warisan yang dimiliki oleh anak yatim tak jarang menjadi motivasi bagi seseorang untuk mencalonkan diri sebagai wali. Patut diungkap di sini adalah fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) nomor 2 tahun 2005 (1) yang substansinya secara hukum tidak mempunyai dampak apa-apa. Tak lama sesudah Tsunami melanda Aceh, pada bulan Februari 2005, MPU mengeluarkan

69 Wawancara Hafidah Ibrahim, Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh (16 Mei 2006). 70 Lihat draft laporan UNDP Access to Justice (Mei 2006).

Page 54: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

45

fatwa yang mendorong agar anak-anak yatim piatu mendapat perhatian umat Islam. Fatwa itu berbunyi, “Hukum memelihara anak yatim adalah fardhu kifayah atas umat Islam.” Fatwa ini sesungguhnya menginginkan agar perwalian atas anak yatim tidak dilakukan pandang bulu karena lebih mempertimbangkan harta warisan anak yatim tersebut. Sayangnya, fatwa tersebut tidak secara jelas menyebutkan agar pemeliharaan anak yatim tersebut harus melalui penetapan perwalian resmi oleh pengadilan. Fatwa MPU nomor 3 tahun 2005 yang dikeluarkan pada bulan April 2005 tampaknya bermaksud merevisi fatwa sebelumnya. Fatwa ini menyatakan “Anak yatim yang tidak ada lagi wali nasab, atau washi dapat ditetapkan pengasuhannya oleh Mahkamah Syar’iyah dengan biaya dari Baitul Mal kalau anak tersebut tidak memiliki biaya hidup dan Mahkamah Syar’iyah berkewajiban mengawasi pelaksanaannya.” Melalui fatwa yang terakhir ini, MPU menekankan perlunya perwalian dilakukan secara formal. 2. Usia anak di bawah perwalian Terdapat keragaman dalam ketentuan mengenai usia anak di bawah perwalian menurut peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Menurut pasal 50 (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, “anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.” Sementara itu, pasal 107 (1) KHI menyatakan bahwa “wali hanya bagi anak di bawah usia 21 tahun dan atau belum menikah.” Terjadinya perbedaan usia anak di bawah perwalian ini barangkali disebabkan oleh perbedaan dalam mengikuti ketentuan yang terdapat dalam UU Perkawinan. Penetapan usia di bawah 18 tahun sebagai usia anak di bawah perwalian kemungkinan merujuk kepada ketentuan mengenai usia minimal bagi pria yang akan melangsungkan perkawinan sebagaimana tercantum dalam pasal 7 (1) UU Perkawinan, “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Adapun penetapan usia di bawah 21 tahun sebagai usia anak di bawah perwalian berdasarkan pada bunyi pasal 6 (2) UU Perkawinan, “untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.” Terlepas dari perbedaan ini, satu hal yang dapat disimpulkan adalah kedua ketentuan usia anak di bawah perwalian itu sama-sama melihat perkawinan sebagai batas waktu seorang anak sudah dianggap tidak memerlukan perwalian lagi. Hukum adat Aceh tidak menggunakan batas umur untuk menentukan kapan perwalian bagi seorang anak akan berakhir. Usia anak yatim di bawah perwalian, menurut adat Aceh, lebih berpatokan pada saat anak tersebut telah menikah. Hal ini mungkin terkait dengan bunyi Qur’an (An-Nisa: 6), “Ujilah (peliharalah) anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.” Selain itu, adat juga menggunakan tanda-tanda fisik (kematangan fisik), biologis, mental dan mampu mandiri dalam masyarakat sebagai cara untuk menentukan kapan seorang anak tidak membutuhkan perwalian lagi. 3. Persyaratan Wali Seorang wali sedapat-dapatnya berasal dari keluarga anak yatim itu sendiri. Jika tidak ada dari sanak keluarga terdekat, orang lain di luar keluarga anak yatim itu dapat pula bertindak sebagai wali. Persyaratan penting bagi seseorang untuk menjadi wali adalah sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik (UU 1/1974, 51:2). Wali tidak selalu merupakan individual perorangan, tetapi boleh juga merupakan suatu badan hukum (KHI, 107:4; UU 23/2002, 31:3, 33:1). Badan hukum ini dapat berupa yayasan, lembaga pemerintah, atau organisasi masyarakat. Ketentuan lebih lanjut

Page 55: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

46

mengenai badan hukum yang dapat berfungsi sebagai wali ini tidak diatur lebih rinci persyaratannya dalam peraturan perundang-undangan terkait. Namun, untuk konteks Aceh pasca Tsunami, Baitul Mal yang terdapat di gampong dapat menjadi badan hukum yang ditunjuk sebagai wali.71 Persyaratan lain yang perlu disebutkan disini adalah keharusan seorang wali seagama dengan agama yang dipeluk oleh anak yatim. Hal ini berdasarkan pasal 31 (4) UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya”, dan pasal 33 (3) UU Perlindungan Anak yang berbunyi, “wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak.” Dengan demikian, dalam konteks Aceh pasca Tsunami, anak-anak yatim piatu korban Tsunami yang beragama Islam tidak dapat diasuh oleh seorang wali yang beragama selain Islam. Dalam adat Aceh, seorang wali sedapat mungkin diambil dari pihak keluarga ayah (wali), sementara pemeliharaannya biasanya diserahkan kepada pihak karoeng (keluarga ibu) karena secara emosional mempunyai hubungan yang dekat dengan anak. Jika wali dari pihak ayah tidak ada maka barulah diambil dari karoeng (keluarga ibu), walaupun sebutan wali tidak dikenakan kepadanya. Hal ini terkait dengan pemahaman wali dalam masyarakat Aceh yang memandang bahwa wali pada umumnya berjenis kelamin laki-laki. Adapun mengenai perempuan apakah dapat menjadi wali menurut aturan formal dan praktek dalam masyarakat Aceh akan dibahas pada bagian di bawah ini. 4. Wali perempuan untuk pengasuhan dan harta Dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan anak dan masalah pengasuhannya, seperti UU Perkawinan, KHI dan UU Perlindungan Anak, tidak ditemukan suatu aturan khusus yang melarang perempuan menjadi wali untuk pengasuhan dan harta. Bahkan, penafsiran yang digunakan oleh akademisi dan praktisi hukum pada umumnya memperkenankan perempuan menjadi seorang wali pengasuhan dan harta. Ahli hukum Subekti, misalnya, berpendapat bahwa bila salah seorang dari sepasang orang tua meninggal dunia, maka pasangan yang hidup otomatis bertindak sebagai wali bagi anak-anak yang masih di bawah umur 18. Sejumlah intelektual dan ulama Aceh juga cenderung berpendapat bahwa seorang wanita atau ibu dapat bertindak sebagai wali untuk anak-anaknya, meskipun kontrol terhadap harta anak-anak tersebut berada di tangan wali dari pihak iparnya atau paman dari anak-anak yatim itu. Dalam praktek di tengah masyarakat Aceh, seorang wali mesti berjenis kelamin laki-laki. Hal ini terkait dengan konsepsi wali dalam hukum adat Aceh yang seringkali dipahami sebagai wali nikah dan harta sekaligus, dan tidak dipisah-pisahkan. Oleh karena itu, berhubung wali nikah selalu berjenis kelamin laki-laki, maka demikian pula laki-laki harus bertindak sebagai wali harta. Praktek perwalian yang ditemukan oleh peneliti di gampong pada umumnya mempercayakan kepada pihak laki-laki untuk bertindak sebagai wali atas anak-anak yatim. Meskipun demikian, dalam keadaan tertentu dimungkinkan juga perempuan, misalnya ibu kandung, berfungsi sebagai wali harta untuk anak-anaknya yang telah yatim. Bahkan, menurut Ketua Majelis Adat Aceh,

71 Armia Ibrahim, “Perwalian Anak menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, makalah disampaikan dalam Workshop Faraidh III yang diselenggarakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh 8-10 April 2006.

Page 56: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

47

Badruzzaman Ismail, perempuan (ibu) dianggap cakap hukum dan berwenang untuk bertindak sebagai wali bagi anak-anak yang masih kecil, untuk mengawasi, mengurus dan memanfaatkan harta yang ditinggalkan suaminya untuk kepentingan anak-anaknya.72 Berbeda dengan yang lazim terjadi di gampong, dalam praktek pengadilan (Mahkamah Syar’iyah), perempuan telah ditetapkan sebagai wali bagi anak yang masih di bawah umur. Dalam beberapa kasus penunjukkan/penetapan wali di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Mahkamah Jantho, terdapat jumlah wali perempuan yang cukup signifikan yang telah ditetapkan oleh kedua pengadilan itu. Wali perempuan ini sebagian besar adalah kerabat dekat dari anak yatim, misalnya kakak sulung perempuan, bibi atau nenek dari pihak ibu. Tabel di bawah menginformasikan jumlah kasus penunjukan/penetapan wali dan jumlah wali perempuan yang ditetapkan oleh Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh pada kurun waktu Januari 2005-Maret 2006 dan Mahkamah Syar’iyah Jantho dalam periode Januari 2005-Desember 2005.73

Tabel. 16.

PENGADILAN PENUNJUKAN WALI

WALI PEREMPUAN

MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH 192 67 MAHKAMAH SYAR’IYAH JANTHO 51 33

TOTAL 243 100 Adapun persentase wali perempuan yang ditetapkan dalam perkara penunjukkan/penetapan wali di kedua pengadilan itu dapat dilihat dalam pie chart di bawah.

Grafik 1. Penetapan atau penunjukan perempuan untuk bertindak sebagai wali oleh pengadilan lambat laun akan membentuk persepsi di tengah masyarakat Aceh yang pada akhirnya akan menerima kehadiran perempuan sebagai wali untuk pengasuhan anak yatim dan hartanya sekaligus. 72 Badruzzaman Ismail, “Wali Perempuan dari Aspek Hukum Adat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Perwalian Anak yang diselenggarakan secara bekerjasama antara Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, Yayasan Putroe Kande dan Unifem, Banda Aceh, 9-11 September 2005. 73 Data yang diperoleh dari Mahkamah Syar’iyah Jantho untuk periode tahun 2006 belum dapat diolah dengan baik karena kasus penetapan ahli waris ada yang digabung dengan penunjukkan wali.

Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh Januari 2005-Maret 2006

Wali Laki-laki

65%

Wali Perempuan

35%

Mahkamah Syar'iyah Jantho Januari 2005-Desember 2005

Wali Laki-laki

48%

Wali Perempuan

52%

Page 57: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

48

5. Penunjukkan dan Penetapan Wali Menurut ketentuan hukum formal, seorang wali memperoleh kewenangan dan kekuasaan untuk memelihara anak yatim dan mengurus harta warisan anak yang berada di bawah perwaliannya itu berasal dari penunjukan atau penetapan, dan bukan semata-mata kewenangan yang lahir secara otomatis dengan meninggalnya orang tua yatim. Penunjukkan itu adakalanya dilakukan sendiri oleh orang tua dari anak tersebut sebelum meninggal dunia melalui suatu wasiat, baik secara tertulis maupun dengan lisan yang turut didengar oleh 2 (dua) orang saksi (UU 1/1974, 51:1). Walaupun wasiat itu sudah mendelegasikan kewenangan pemeliharaan anak yatim kepada seorang wali, penetapan secara resmi oleh pengadilan diperlukan atas seorang wali yang ditunjuk berdasarkan wasiat. Hal ini bertujuan agar segala urusan yang berkaitan dengan harta benda milik anak yatim itu, seperti penerimaan gaji pensiun almarhum orang tua anak yatim dan transaksi jual beli atas nama anak yatim itu, dapat diakui keabsahannya. Dalam hal tidak adanya wasiat penunjukan oleh orangtua yang sudah wafat tentang siapa yang akan menjadi wali bagi anaknya, pengadilan dapat menunjuk atau menetapkan seseorang untuk menjadi wali berdasarkan permohonan yang diajukan oleh calon wali itu sendiri (Penjelasan UU 7/1989, 49:2). Begitupun, pengadilan dapat menunjuk atau menetapkan seseorang atau badan hukum sebagai wali bagi anak apabila orang tua anak tersebut tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya (UU 23/2002, 33:1). Dalam hal anak belum mendapat penetapan pengadilan mengenai wali, maka harta kekayaan anak tersebut dapat diurus oleh Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu. Pengurusan harta ini pun memerlukan penetapan pengadilan (UU 23/2002, 35:1-3). Menurut adat Aceh, penetapan dan penunjukan wali dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan keluarga dengan sepengetahuan orang-orang tua atau tuha peut gampong. Proses penetapan wali di gampong ini berlangsung secara informal dan tanpa ada catatan yang memadai. Dalam pelaksanaan perwalian itu, seorang wali selalu diawasi oleh anggota masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitarnya apakah ia telah memelihara anak dan mengurus harta yang berada dalam perwaliannya dengan baik. Apabila wali tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik, maka anggota masyarakat atau Geuchik akan menegur, dan bahkan dapat mengantikannya dengan orang lain untuk menjadi wali. Tentang penggantian wali ini akan dibahas lebih lanjut nanti pada bagian berikut. Kendati terdapat suatu proses penetapan dan penunjukan wali di gampong, bukan berarti semua proses perwalian di tengah masyarakat dilakukan secara terbuka. Tak jarang ditemui ada perwalian yang dilaksanakan tanpa didahului oleh sebuah pertemuan keluarga ataupun konsultasi dengan pihak aparat gampong. Orang yang bersangkutan berinisiatif sendiri untuk menjadi wali dan memelihara anak yatim piatu yang masih tergolong kerabatnya dan menguasai seluruh harta warisan milik anak itu. Bagi sebagian, perwalian agaknya dipandang sebagai urusan pribadi keluarga tanpa perlu diketahui oleh aparat gampong. Kasus di gampong Ajun, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, seperti terlihat dalam diagram di bawah, merupakan ilustrasi yang pas tentang fenomena ini.

Page 58: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

49

Diagram 11.

A dan B adalah sepasang suami istri yang meninggal dunia dalam Tsunami. C adalah anak laki-laki dari AB yang masih berusia 5 tahun. C kini tinggal dipelihara oleh D, salah seorang pamannya yang paling tua. D juga menguasai seluruh harta warisan milik C. Menurut Geuchik, D tidak pernah meminta untuk dibuatkan surat penetapan perwalian dari gampong atau surat pengantar ke Mahkamah Syar’iyah untuk memohon penetapan pengadilan sebagai wali terhadap diri dan harta milik C. Saudara-saudara D yang lain, yaitu E, F, G dan H, menuntut harta anak yatim, yang juga adalah keponakan mereka, agar dikelola secara transparan sehingga mereka pun mengetahuinya. Geuchik sudah berupaya memanggil semua kakak beradik ini untuk duduk bersama dan bermusyawarah mengambil kata sepakat tentang perwalian keponakan mereka. Sayangnya, upaya Geuchik ini gagal karena mereka tidak mau memenuhi undangan itu.74 Kasus perwalian di atas cenderung beresiko merugikan kepentingan anak yatim kelak, apalagi bila anak yatim itu mempunyai harta warisan yang cukup banyak dari almarhum orang tuanya. Tanpa adanya penetapan pengadilan yang resmi dan mengikat ataupun penunjukan wali yang diketahui dan diawasi oleh aparat gampong, dikhawatirkan harta kekayaan si anak yatim suatu hari akan habis dibelanjakan atau diselewengkan oleh wali yang tak bertanggung jawab. a. Penunjukan/Penetapan Wali dalam Program RALAS Seperti sudah diterangkan dalam bagian Tanah, penunjukan atau penetapan wali kerapkali dilakukan bersamaan dengan proses pendaftaran dan sertifikasi tanah yang diselenggarakan di bawah program RALAS. Penunjukan dan penetapan wali dalam program ini mempunyai tujuan yang lebih spesifik dan terbatas, yaitu untuk kepentingan mewakili anak yatim dalam setiap langkah prosedur administratif mulai dari rapat kesepakatan warga, pengukuran dan pemetaan batas tanah warisan anak yatim, pengisian sejumlah formulir, pengajuan keberatan bila perlu dan penerimaan sertifikat tanah atas nama anak yatim. Penetapan wali yang dilakukan Mahkamah Syar’iyah dalam program RALAS ini berlangsung di luar gedung pengadilan. Biasanya persidangan itu dilangsungkan di kantor gampong/kelurahan atau meunasah yang terdapat di suatu gampong. Untuk penetapan wali ini, masyarakat dibebaskan dari pembayaran biaya perkara. Pada umumnya perkara ini berlangsung singkat dengan menghadirkan calon wali dari anak

74 Wawancara Geuchik Ajun (10 Mei 2006).

D

C

A E

H

F

G B

Page 59: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

50

yatim yang bersangkutan disertai bukti-bukti yang mendukung hubungan kekerabatan antara wali dengan anak yatim, seperti saksi dari tetangga atau sanak keluarga.75 Sampai bulan Maret 2006, atau hingga penelitian ini selesai dilakukan, Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Jantho sudah menyelesaikan perkara penetapan perwalian di bawah program RALAS sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah.

Tabel. 17

KOTA/ KAB KECAMATAN GAMPONG/

KELURAHAN Perwalian Anak

Yatim BANDA ACEH Meuraxa Ulee Lheu 1 Cot Lamkuweuh 3 Asoe Nanggroe 6 Baro 6 Punge Ujong 13 Lamjabat 5 ACEH BESAR Lhoknga Mon Ikeun 4 Meunasah Masjid 8

TOTAL 46 Menurut Fakri Karim, salah seorang program officer UNDP yang terlibat langsung dalam program RALAS ini, sedikitnya terdapat 14 orang perempuan yang ditunjuk sebagai wali dari 66 kasus perwalian anak yatim yang sudah diselesaikan oleh Mahkamah Syar’iyah di bawah program RALAS hingga bulan Mei 2006.76 6. Kewajiban dan Tanggungjawab Wali Kewajiban dan tanggung jawab wali meliputi keselamatan diri dan harta yang dimiliki seorang anak. Secara garis besar, kewajiban dan tanggung jawab tersebut dapat dibedakan menjadi tiga hal: (i) pengasuhan diri anak secara jasmani dan rohani, (ii) pengurusan harta benda milik anak, dan (iii) penyerahan seluruh harta oleh wali kepada anak yang berada di bawah perwaliannya bila si anak telah mampu mengurus dirinya sendiri, mempunyai penghasilan sendiri atau telah menikah. Uraian di bawah akan membahas satu persatu ketiga aspek kewajiban dan tanggung jawab wali ini. a. Pengasuhan Diri Anak Secara Jasmani dan Rohani. Seorang wali berkewajiban untuk mengurus diri dan harta anak yang di bawah perwaliannya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya (KHI, 110:1). Selain itu, seorang wali juga wajib menghormati agama dan kepercayaan anak itu (UU 1/1974, 51:3). Dalam adat Aceh, seorang wali berkewajiban untuk mengurus anak dan hartanya, termasuk pendidikan, kesehatan, tempat tinggal dan kemaslahatan lainnya serta mengantarnya ke jenjang perkawinan. Bahkan, seorang wali tidak hanya bertanggung jawab terhadap anak yang berada di bawah perwaliannya, tetapi juga terhadap masyarakat dalam gampong yang bersangkutan. Lazimnya anak yatim dipelihara dan bertempat tinggal di rumah milik wali. Akan tetapi, hal ini bukanlah suatu ketentuan yang berlaku secara umum, terutama di Aceh. Dalam 75 Wawancara Rafiuddin (27 April 2006). 76 Lihat catatan Fakri Karim, “The Existence of ‘Peureumoh’ in Housing Rehabilitation and Reconstruction Through Community Base After Tsunami Disaster in Aceh’. h. 5.

Page 60: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

51

beberapa kasus perwalian yang ditemui oleh peneliti di lapangan, tampak bahwa pengasuhan diri anak tidak selamanya langsung ditangani sendiri oleh wali, melainkan dilakukan oleh anggota keluarga lain yang juga masih merupakan kerabat anak yatim di bawah perwalian itu. Bagi masyarakat Aceh, dalam konsep perwalian terdapat dua aspek yang mungkin dapat dipisahkan, yaitu pemeliharaan anak yatim dan pengelolaan harta anak yatim. Walaupun seorang wali diharapkan untuk melaksanakan dua aspek tersebut sekaligus, tidak berarti bahwa wali itu sendiri yang langsung melakukan kedua-duanya. Malah tak jarang ditemukan bahwa wali hanya mengelola harta anak yatim, sementara pemeliharaan anak tersebut secara fisik dilakukan oleh kerabat lain yang biasanya berasal dari pihak keluarga ibu (karoeng) anak tersebut. Di gampong Mon Ikeun, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, peneliti bertemu seorang wali yang menuturkan bahwa anak yang berada di bawah perwaliannya, yang tak lain adalah anak keponakannya sendiri dari adik laki-lakinya, lebih suka tinggal bersama seorang kerabat sepupu perempuan dari keluarga ibu anak itu. Anak yatim itu pernah tinggal bersama dengan wali, tetapi tidak bertahan lama. Kini wali hanya mengelola harta anak yatim itu (gaji pensiun dan taspen ayahnya) dan menyerahkan setiap bulan kepada sepupu perempuan dari almarhum ibu anak yatim itu biaya-biaya yang diperlukan sehari-hari dan menabung sisanya di bank.77 Tidak semua pengasuhan anak yatim korban Tsunami diselenggarakan dengan baik. Memang ada sejumlah anak yatim yang ditampung di panti-panti asuhan atau pesantren, tetapi terdapat cukup banyak anak-anak yatim yang masih tinggal di barak-barak dengan wali yang ditunjuk atau ditetapkan secara informal.78 Wali tidak resmi yang hidup bersama anak yatim di barak-barak itu pada umumnya tidak memiliki hubungan keluarga dekat dengan anak yatim. Mereka menjadi wali atas anak yatim itu relatif tidak terseleksi dengan ketat melalui pertimbangan apakah sudah memenuhi syarat-syarat sebagai wali atau tidak. Mereka dengan sukarela bersedia ditunjuk oleh gampong untuk menjadi wali informal guna mengurus kepentingan sehari-hari anak-anak yatim yang umumnya berasal dari keluarga miskin.79 b. Pengurusan Harta Benda Milik Anak Yatim. Cukup banyak ketentuan formal yang mengatur dengan rinci kewajiban dan tanggung jawab wali untuk mengurus harta benda milik anak di bawah perwaliannya. UU Perlindungan Anak, misalnya, mengatur bahwa untuk kepentingan anak, wali wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan (UU 23/2002, 33:4). Adapun UU Perkawinan menegaskan bahwa seorang wali bertanggung-jawab atas harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya (UU 1/1974, 51:5). Lebih rinci, UU Perkawinan menguraikan bahwa seorang wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu (UU 1/1974, 51:4). Guna mempertanggungjawabkan seluruh kewajiban ini, seorang wali harus membuktikannya dengan pembukuan setiap tahun sekali (KHI, 110:4).

77 Wawancara Yusran (10 Mei 2006) 78 Seorang hakim memprediksikan bahwa terdapat kurang lebih 20.000 anak yatim piatu korban Tsunami yang hingga sekarang belum mendapatkan wali melalui penetapan pengadilan secara resmi. Komunikasi personal dengan Rosmawardani, Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, 30 Mei 2006. 79 Wawancara Geuchik Lampulo (4 Mei 2006).

Page 61: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

52

Untuk pengurusan harta benda milik anak yatim, seorang wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan dapat pula mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak (UU 23/2002, 34). Akan tetapi, seorang wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak di bawah perwaliannya, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya” (UU 1/1974, 52). Lebih lanjut, KHI juga menegaskan larangan bagi seorang wali untuk mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali menguntungkan atau tidak dapat dihindarkan (KHI, 110:2). c. Penyerahan seluruh Harta oleh Wali kepada Anak Di Bawah Perwaliannya. Pada saat anak yang berada di bawah perwalian telah mencapai usia 21 tahun atau sudah menikah dan dianggap telah cakap untuk mengurus dirinya sendiri, wali berkewajiban untuk menyerahkan seluruh harta benda milik anak yang berada dibawah pengelolaannya (KHI, 111:1). Dalam hal ini, apabila terdapat kerugian atas harta anak yatim yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaian seorang wali, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan pengadilan, wali yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut (UU 1/1974, 54; KHI, 110:3). Adapun jika terdapat perselisihan mengenai harta yang diserahterimakan antara wali dan anak yang berada di bawah perwaliannya, maka masalah ini dapat diajukan kepada pengadilan (KHI, 111:2). Dalam kaitannya dengan isu ini, daftar harta benda anak yang berada dibawah perwalian dan catatan mengenai semua perubahan-perubahan harta benda anak itu menjadi penting. Berdasarkan dokumen ini, perselisihan antara wali dan anak mengenai jumlah harta benda milik anak dapat dielakkan di kemudian hari. Sayangnya, baik dalam penetapan perwalian oleh Mahkamah maupun oleh aparat gampong, daftar harta benda milik anak yatim piatu tidak pernah tersedia. Relevan untuk dibahas pula di sini adalah masalah penggunaan harta oleh seorang wali yang miskin untuk keperluan pribadinya. Menurut pasal 112 KHI, seorang wali yang miskin dapat mempergunakan harta anak yang berada dibawah perwaliannya untuk keperluannya dan kepentingannya menurut kepatutan (ma’ruf). Tidak ada ketentuan spesifik dalam hukum formal yang mengatur berapa banyak seorang wali miskin dapat menggunakan harta anak di bawah perwaliannya. Begitupun, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai ukuran yang akurat seberapa banyak harta milik anak yatim yang dapat dimanfaatkan ‘menurut kepatutan’ itu. Namun, jika kita merujuk kepada Qur’an (An-Nisa:6), seorang wali miskin hanya diperbolehkan memanfaatkan harta anak yatim untuk sebatas kebutuhan pangan (falya’kul) yang sewajarnya. Adapun wali yang kaya tidak diperkenankan sama sekali untuk mengambil manfaat dari harta anak yatim di bawah perwaliannya. 7. Pengawasan wali Hukum formal yang mengatur bagaimana pengawasan terhadap seorang wali dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya tidak cukup banyak tersedia. Bahkan, hampir tidak ditemukan suatu ketentuan yang menunjuk langsung pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam mengawasi seorang wali. Di tengah kevakuman ini, MPU mengeluarkan fatwa nomor 3 tahun 2005 yang isinya antara lain menunjuk Mahkamah Syar’iyah sebagai institusi yang berkewajiban mengawasi jalannya perwalian bagi anak-anak yatim piatu korban Tsunami di Aceh. Tampaknya fatwa MPU ini tidak pernah

Page 62: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

53

dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pihak Mahkamah Syar’iyah.80 Beberapa hakim Mahkamah Syar’iyah bahkan menilai bahwa ketentuan dalam fatwa itu tidak dapat berlaku karena akan menempatkan Mahkamah Syar’iyah dalam posisi sulit pada saat harus memeriksa perkara yang melibatkan antara wali dengan anak di bawah perwalian. Sebagai pengawas wali, Mahkamah Syar’iyah akan merasakan kejanggalan bila kemudian harus memeriksa perkara seorang wali yang diawasinya.81 Pihak Mahkamah Syar’iyah melihat bahwa posisi yang tepat untuk melakukan pengawasan perwalian adalah lembaga yang berada di gampong, yaitu Baitul Mal. Hukum formal sendiri ada mengatur bahwa Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain dapat bertindak sebagai wali pengawas untuk mewakili kepentingan anak dalam hal anak belum mendapatkan penetapan pengadilan mengenai wali (UU 23/2002, 35:1-2). Peraturan ini tidak membahas secara spesifik suatu lembaga resmi yang mengawasi wali yang telah ditunjuk atau ditetapkan oleh pengadilan. Akan tetapi, menurut Dinas Syariat Islam, dalam konteks Aceh, Balai Harta Peninggalan yang dimaksud dalam UU Perlindungan Anak di atas tiada lain adalah Baitul Mal. Karena itulah, di tengah masyarakat Aceh, seorang wali dalam mengelola harta anak yatim biasanya akan diawasi oleh geuchik, imeum meunasah dan tuha peut gampong selaku pengurus baitul mal di gampong tersebut. Sejauh mana efektivitas pengawasan ini dilakukan sudah barang tentu belum dapat diketahui hasilnya untuk sekarang ini. Barangkali diperlukan beberapa tahun ke depan untuk melakukan penilaian yang lebih seksama apakah pengawasan itu berjalan dengan baik atau tidak. Namun, ada hal yang patut dibenahi berkaitan dengan mekanisme pengawasan perwalian di gampong itu, yaitu (1) perlu dilakukan pengangkatan wali secara resmi melalui sebuah upacara di meunasah, dan (2) perlu disiapkan data-data yang lengkap mengenai daftar harta kekayaan yang dimiliki anak yatim.82 8. Pencabutan Kekuasaan dan Penggantian Wali Seorang wali yang dianggap tidak dapat berfungsi lagi sebagai wali yang bertanggungjawab dan menjalankan amanat dengan baik, maka kekuasaannya sebagai wali dapat dicabut berdasarkan permohonan kerabat dan melalui penetapan pengadilan. Secara eksplisit, UU Perlindungan Anak menegaskan, “Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali, maka status perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan” (UU 23/2002, 36:1). Ada beberapa alasan seorang wali dapat dicabut kekuasaannya dan digantikan oleh orang lain:83

1. sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak; 2. berkelakuan buruk sekali; 3. pemabuk; 4. penjudi; 5. pemboros; 6. gila; 7. menyalahgunakan hak dan wewenangnya; 8. meninggal dunia

80 Diskusi dengan Soufyan Saleh (2 Juni 2006). 81 Diskusi dengan hakim tinggi Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD (2 Juni 2006). 82 Lihat Al-Indzar, Penerbitan Khusus Dinas Syariat Islam, edisi keempat, (September 2005), h. 6-7. 83 Lihat ketentuan dalam UU 1/1974, 53; KHI, 109; UU 23/2002, 36:2.

Page 63: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

54

Pencabutan kekuasaan dan penggantian wali dengan alasan-alasan di atas tidak otomatis berlangsung, melainkan mesti melalui prosedur hukum di pengadilan. Dalam hal ini, salah seorang kerabat dari anak yatim itu, atau dimungkinkan juga baitul mal gampong, diharuskan mengajukan permohonan pencabutan kekuasaan dan penggantian wali kepada Mahkamah Syar’iyah. Setelah Mahkamah Syar’iyah memeriksa dan menemukan kebenaran dalam permohonan tersebut, Mahkamah Syar’iyah melalui suatu penetapannya dapat mencabut kekuasaan wali yang sudah ditunjuk sebelumnya itu dan menggantinya dengan anggota keluarga yang lain, atau dimungkinkan juga penunjukkan wali yang baru dari pihak luar keluarga seperti aparat gampong atau baitul mal. Dalam kehidupan adat Aceh sehari-hari, kasus pencabutan atau penggantian wali yang dilakukan oleh pemangku adat jarang sekali terdengar. Hal ini mungkin karena seorang wali diawasi oleh banyak orang di gampong. Akan tetapi, apabila terjadi kelalaian wali, maka perwalian akan diambilalih oleh Geuchik atau oleh tuha adat lainnya (tuha peut atau imam meunasah). VI. KESIMPULAN Berdasarkan seluruh temuan penelitian yang telah diuraikan di atas, apa yang dapat disimpulkan tentang persamaan dan perbedaan antara hukum formal (pengadilan) dan hukum adat berkenaan dengan tanah, kewarisan dan perwalian, ditinjau dari segi substansi, prosedur (pemeriksaan pengadilan dan musyawarah adat gampong) dan pelaksanaan di lapangan (implementasi putusan pengadilan dan praktek masyarakat gampong)? Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat cukup banyak persamaan antara hukum formal dan hukum adat Aceh berkenaan dengan tiga aspek hukum yang menjadi fokus penelitian ini. Adapun beberapa perbedaan penting yang ditemukan akan dijelaskan satu persatu di bawah ini. Terdapat beberapa hal yang berbeda dari prinsip dan praktek antara hukum formal dan Adat Aceh yang kiranya perlu ditegaskan ulang seperti di bawah ini: i. Hak kepemilikan tanah yang tenggelam atau tergenang oleh air, lalu beberapa

saat kemudian tanah tersebut timbul kembali ke permukaan. Menurut hukum formal, hak kepemilikan tanah semacam itu menjadi milik tanah Negara (PP 16/2004, 12). Akan tetapi, menurut adat Aceh, tanah yang timbul kembali di bekas tenggelamnya tanah milik seseorang menjadi hak terdahulu dari orang yang tanahnya tenggelam tersebut.

ii. Pembagian harta bersama. Menurut hukum formal, hanya ada satu model pembagian harta bersama, yaitu dibagi dua samarata untuk suami dan isteri. Sedangkan adat Aceh Besar mengakui adanya dua model pembagian harta bersama, yaitu (1) suami dan isteri masing-masing mendapat seperdua; dan (2) suami memperoleh duapertiga sementara isteri hanya menerima sepertiga.

iii. Wali perempuan untuk penjagaan harta. Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, perempuan tidak dihalangi untuk ditunjuk oleh pengadilan sebagai wali harta anak yatim. Namun, dalam adat Aceh, penunjukkan dan penetapan wali perempuan untuk penjagaan harta masih merupakan hal yang belum dapat diterima sepenuhnya.

Masih ada beberapa hal lain yang bisa ditunjuk untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan di antara keduanya. Namun, cukup kiranya dikatakan di sini bahwa masyarakat adat yang memiliki karakter sederhana cenderung memahami dan melaksanakan sesuatu

Page 64: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

55

melalui suatu prosedur yang mudah dan tidak berbelit. Ketimbang menggunakan suatu pedoman hukum tertulis yang mengikat secara paksa, warga masyarakat adat lebih tertarik untuk menggunakan prinsip dan norma hukum yang secara longgar dapat dinegosiasikan melalui kesepakatan bersama pihak-pihak yang terkait. Tak ayal, pluralisme hukum adalah suatu realitas yang tak terbantahkan dalam kehidupan hukum sehari-hari masyarakat. Selain itu, adalah tidak mengherankan jika pencatatan atas perkara yang sudah diselesaikan hampir-hampir tidak pernah ditemukan. Sementara itu, penyelesaian perkara di pengadilan mempunyai karakter yang sebaliknya, yaitu penuh dengan kompleksitas prosedur dan hanya merujuk kepada peraturan-peraturan formal demi untuk menjamin kepastian hukum. Sebuah poin penting terakhir yang perlu disampaikan di sini, di bandingkan dengan ketentuan adat Aceh dan penyelesaian hukum di gampong, hukum formal dan penyelesaian melalui pengadilan lebih memberi keuntungan bagi posisi perempuan. Poin ini sesungguhnya sudah pernah dikemukakan oleh John Bowen.84 Penelitian ini memverifikasi lebih jauh temuan Bowen tersebut dengan menghadirkan beberapa contoh-contoh kasus tentang tanah, kewarisan dan perwalian sebagaimana sudah dipaparkan di atas.

84John Bowen, Islam, Law and Equality in Indonesia, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003).

Page 65: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

56

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Undang-Undang nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Undang-Undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan UU nomor 7 tahun 1989

tentang Peradilan Agama Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan

Tanah Milik Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri

Sipil Peraturan Pemerintahan nomor 76 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja, Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

PendaftaranTanah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban

dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang

Penatagunaan Tanah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan

Nasional di Bidang Pertanahan

Page 66: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

57

Instruksi Presiden no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 2 tahun 1994 tentang Penjelasan Pasal

177 Kompilasi Hukum Islam. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun

1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 114 tahun 2005 tentang Manual

Pendaftaran Tanah di Lokasi Bencana Tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara

Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam,

(Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2004) Buku, Laporan, Karya Ilmiah dan lain-lain El-Hakimy, T. I., “Tentang Penguasaan Tanah pada Masyarakat Pedesaan di Aceh”,

dalam Herman Slaats dan A.A. Trouwborst (eds.), Tiga Model Pendekatan Studi Hukum Adat: Suatu Laporan Penataran, (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 1993)

Fitzpatrick, Daniel, “Restoring and Confirming Rights to Land in Tsunami-Affected

Aceh,” UNDP/OXFAM Report, 14 July 2005 Fitzpatrick, Daniel and Myrna A. Safitri, “Bagaimana Melindungi dan Memenuhi Hak-

Hak atas Tanah Korban Tsunami di Aceh?”, Oktober 2005. Hoesin, Moehammad, Adat Aceh, (Banda Aceh: P&K Daerah Istimewa Aceh, 1970) Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama nomor 3 tahun 2005 tentang Perlindungan Hak

Atas Tanah, Hak Nasab bagi Anak Yatim, Hak Isteri dan Ahli Waris Mafqud Akibat Gempa dan Gelombang Tsunami

Armia Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti Ditinjau dari Aspek Hukum dan Penerapannya

dalam Praktek Peradilan”, Makalah disampaikan dalam Workshop Masalah Faraidh yang dilaksanakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh, 18-20 Oktober 2005.

Armia Ibrahim, “Perwalian Anak menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, makalah

disampaikan dalam Workshop Faraidh III yang diselenggarakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh 8-10 April 2006.

Badruzzaman Ismail, “Wali Perempuan dari Aspek Hukum Adat di Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Perwalian Anak yang diselenggarakan secara bekerjasama antara Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, Yayasan Putroe Kande dan Unifem, Banda Aceh, 9-11 September 2005.

Page 67: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

58

Fakri Karim, “The Existence of ‘Peureumoh’ in Housing Rehabilitation and Reconstruction Through Community Base After Tsunami Disaster in Aceh’. Catatan Pribadi.

“Laporan Lokakarya Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Yatim

Korban Tsunami sebagai Prasyarat Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD”, Yayasan Putroe Kandee, Mei 2005;

“Lokakarya Perwalian Perempuan terhadap Harta Anak Yatim Korban Tsunami

menurut Syariat Islam dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, Banda Aceh, September 2005.

Munir, Lukman (ed.), Bunga Rampai Menuju Revitalisasi Hukum dan Adat Aceh,

(Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu, 2003) “Perwalian”, Brosur diproduksi bersama oleh BPN, Mahkamah Syar’iyah dan Dinas

Syariat Islam. Saleh, Soufyan M. “Pembagian Hak Warisan: Praktek Mahkamah Syar’iyah di

Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Orientasi Pemahaman Harta Bersama, Penentuan Ahli Waris dan Perwalian dalam Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Mei 2005,

Syah, Ismail Muhammad, “Plaatsvervulling Menurut B.W., Hukum Adat dan Hukum

Islam”, Skripsi Sarjana (Banda Aceh: Fakultas Hukum UNSYIAH, 1977) Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap Beberapa

Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh, (Banda Aceh: Nadiya Foundation, 2004)

Syamsidah dan Sugiarto Dakung (editors), Pola Penguasaan Pemilikan dan

Penggunaan Tanah secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1984/1985).

Al-Indzar, Penerbitan Khusus Dinas Syariat Islam, edisi keempat, (September 2005). Mimbar Hukum no.18, vol. VI (1995). Wawancara Badruzzaman Ismail, Ketua Majlis Adat Aceh, (8 Mei 2006); T. Djuned, Pakar Hukum Adat, UNSYIAH, (27 April 2006); T.I. El Hakimy, Pakar Hukum Adat, UNSYIAH, (26 April 2006); Abd Mannan Hasyim, Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, (26 April 2006); Rusdi Sufi, Ahli Sejarah Aceh, (27 April 2006); Rafiuddin, Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho, (27 April 2006).

Page 68: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

59

KK Lk Pr Jmlh Lk Pr Jmlh Lk Pr Jmlh KK Lk Pr Jmlh1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

1 Ulee Lheue 839 1776 2378 4993 30 271 301 1146 1773 2919 570 700 429 1129 Februari2 Deah Glu mpang 294 642 530 1466 23 76 99 397 342 739 176 226 156 382 Februari3 Deah Baro 258 584 426 1268 21 180 201 335 186 521 172 266 135 401 Maret4 Alue Deah Teungoh 349 785 707 1841 25 77 102 542 533 1075 182 239 143 382 Maret5 Lampaseh Aceh 438 1142 1258 2838 40 144 184 596 841 1437 249 806 394 1200 Februari6 Lambung 268 683 558 1509 18 55 73 462 396 858 149 210 110 320 Februari7 Blang Oi 753 1630 1770 4153 36 199 235 1021 1201 2222 692 723 458 1181 Februari8 Punge Jurong 1122 2999 2950 7071 38 215 253 1691 2070 3761 778 1874 1302 3176 Maret9 Punge Ujong 368 1062 951 2381 26 231 257 540 367 907 228 399 285 684 Februari

10 Gampong Baro 280 815 570 1665 23 128 151 481 274 755 183 341 196 537 Februari11 Surien 282 721 547 1550 14 78 92 306 380 686 192 451 120 571 Februari12 Lamjabat 300 666 456 1422 25 74 99 496 305 801 98 214 87 301 Februari13 CotLamkuweuh 374 796 1209 2379 84 476 560 594 670 1264 183 223 117 340 Februari14 Gampong Blang 152 365 218 735 26 73 99 295 119 414 49 134 100 234 Maret15 Aso Nanggroe 235 711 503 1449 20 114 134 540 324 864 134 163 95 258 Maret16 Gampong Pie 184 481 329 994 9 170 179 368 111 479 124 131 70 201 Maret

6496 15858 15360 37714 458 2561 3019 9810 9892 19702 4159 7100 4197 11297

Sebelum Tsunami SelamatMeninggal

J U M L A H

DATA JUMLAH PENDUDUK KECAMATAN MEURAXA

Gampong / KelurahanNo. KeteranganHilangPasca Tsunami

Jumlah Penduduk

Page 69: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

60

KECAMATAN : KUTA ALAM BULANBULAN : DESEMBER 2005

KK LK PR JUMLAH LK PR JUMLAH LK PR JUMLAH KK LK PR JUMLAH1 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 14 151 408 1,043 987 2,030 4 1 5 5 5 10 408 1,081 973 2,0542 1,297 3,811 3,821 7,632 48 31 79 33 23 56 1,273 3,675 3,709 7,3843 1,366 2,130 2,000 4,130 24 15 39 0 1 1 1,175 2,623 2,219 4,8424 797 2,468 1,894 4,362 298 404 702 350 393 743 813 1,965 1,376 3,3415 998 2,253 2,440 4,693 190 608 798 235 342 577 805 1,839 1,320 3,1596 880 3,176 3,081 6,257 37 59 96 15 13 28 934 2,494 2,536 5,0307 1,182 2,576 2,792 5,368 38 55 93 35 47 82 664 3,177 2,492 5,6698 1,741 3,197 2,903 6,100 3 4 7 16 14 30 1,766 3,359 3,037 6,3969 1,602 3,251 3,071 6,322 551 898 1,449 0 0 0 1,640 1,977 1,446 3,42310 668 2,338 1,628 3,966 251 359 610 356 493 849 580 1,270 991 2,26111 792 2,104 2,056 4,160 179 250 429 133 213 346 742 1,918 1,809 3,727

11,731 28,347 26,673 55,020 1,623 2,684 4,316 1,178 1,544 2,722 10,800 25,378 21,908 47,286

KOTA BARU

MENINGALNO

JUMLAH

LAMPULOLAMDINGINLAMBARO SKEP

BANDAR BARUKUTA ALAMPEUNAYONGMULIAKEURAMATLAKSANABEURAWE

DATA PENDUDUK SEBELUM DAN SETELAH GEMPA DAN GELOMBANG TSUNAMI

2

KELURAHAN/ GAMPONG HILANG

JUMLAH PENDUDUK SEBELUM TSUNAMI SELAMAT

PASCA TSUNAMI

Page 70: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

61

Kecamatan Kutaraja 2006

KK LK PR JML LK PR JML LK PR JML KK LK PR JML1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 171 Keudah 546 1982 756 2738 639 144 783 795 210 1005 314 549 412 961 11 ORG PNDDK BARU2 Lampaseh Kota 757 2800 2217 5017 560 143 703 1218 1466 2684 716 1128 761 1889 259 ORG PNDDK BARU3 Merduati 1064 2998 2367 5365 871 - 871 1002 1642 2644 1218 1141 828 1969 119 ORG PNDDK BARU4 Peulanggahan 683 1800 1536 3336 239 - 239 822 1086 1908 633 740 477 1217 28 ORG PNDDK BARU5 Gampong Jawa 690 2050 1330 3380 382 - 382 775 836 1611 601 893 515 1408 21 ORG PNDDK BARU6 Gampong Pande 262 689 510 1199 220 - 220 238 377 615 209 283 203 486 122 ORG PNDDK BARU

JML PNDDK BARU 4002 12319 8716 21035 2911 287 3198 4850 5617 10467 3691 4734 3196 7930 560 ORG PNDDK BARU

KetPasca TsunamiSebelum TsunamiNo Desa/ Kelurahan

Jumlah Penduduk

Hilang Meninggal Dunia Selamat/Hidup

Page 71: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

62

DATA : INVENTERISASI KADES DAN PENDUDUK SEBELUM DAN SESUDAH BENCANA GEMPA BUMIDAN GELOMBANG TSUNAMI DI KECAMATAN PEUKAN BADA KABUPATEN ACEH BESAR.

L P Jumlah K K Meningga Hilang Jumlah L P Jumlah K K1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

1 Desa Lam Pageu M. Jamal 125 164 289 69 7 6 13 126 153 279 692 Desa Lam Baro Drs. Muhammad 246 275 521 126 5 5 10 252 254 506 1253 Desa Lam Badeuk Junaidi 188 176 364 93 117 55 172 106 86 192 704 Desa Lam Guron Pidwan Junet 187 211 398 99 52 248 300 63 35 98 515 Desa Lam Tengoh Sanusi Yahya 380 421 801 161 311 303 614 117 51 168 1096 Desa Lam Tutui Baharuddin 264 285 549 122 281 178 459 69 24 93 717 Desa Menasah Tuha Subki Basyah 698 730 1,428 318 431 766 1,197 160 71 221 1198 Desa Pulo Bunta Abdullah 137 154 291 62 116 130 246 25 20 45 229 Desa Lam Awe Nasruddin Juned 229 262 491 107 217 176 393 95 35 130 64

10 Desa Lam Manyang Mulia Budi (Ayah) 409 422 831 156 391 292 683 107 41 148 9111 Desa Kampong Baro Ibrahim Ahmad 435 559 994 220 441 368 809 141 44 185 13112 Desa Lam Teh Saiful Bahri 950 1,150 2,100 520 794 1,073 1,867 171 72 243 15613 Desa Lam Lumpu M. Thahir Muad 829 958 1,787 325 523 925 1,448 292 123 415 12714 Desa Lam Isek Mahmud Abdullah 446 539 985 184 184 655 839 116 30 146 8415 Desa Gurah M. Yusuf Harun 277 296 573 121 196 242 438 95 60 155 7116 Desa Lam Rukam Ismail Ibrahim 151 167 318 64 111 127 238 61 19 80 4717 Desa Keneu eu Mukhsin M 234 241 475 106 10 5 15 237 223 460 10318 Desa Lam Pisang Abdullah Yusuf 363 400 763 166 7 16 23 383 480 863 16319 Desa Bradeun M. Yahya 179 208 387 81 2 2 4 209 172 381 8120 Desa Lam Keumok Mukhsin 299 330 629 108 201 181 382 154 93 247 9721 Desa Rima Jeneu Abdul Salam 412 433 845 199 32 34 66 363 331 694 19322 Desa Lam Geu eu H. M. Daud Ibrahim 1,333 1,351 2,684 480 529 1,225 1,754 470 209 679 24523 Desa Rima Keneurom Maimun Basri 306 335 641 133 8 11 19 336 286 622 13124 Desa Lam Hasan Sulaiman Hasan 1,176 1,208 2,384 491 433 927 1,360 670 585 1,255 7225 Desa Paya Tieng Zainal Abidin 441 477 918 193 214 380 594 148 87 235 13426 Desa Ajuen Drs. Zainal Ahmad 1,491 1,536 3,027 731 321 579 900 1,135 1,048 2,183 511

Komplek Ajuen Lam Hasan Kasmani 393 417 81012,185 13,288 25,473 5,435 5,934 8,909 14,843 6,494 5,049 11,533 3,137

Peukan Bada, 6 Maret 2006Camat Peukan Bada

Drs. B u s r aPEMBINA NIP. 010181845

Akibat Bencana Jumlah Penduduk Sekarang

J u m l a h A k h i r

No Desa/Mukim Nama Pejabat Jumlah Penduduk Awal

Page 72: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

63

LK PR JUMLAH KK LK PR JUMLAH KK LK PR JUMLAH KK

1 B A E T 2.34 973 1,053 2,026 457 262 534 796 - 870 456 1,326 4572 C A D E K 1.00 445 572 1,017 379 227 342 569 79 343 125 468 3003 K A J H U 6.00 3,115 3,499 6,614 1,921 1,358 2,037 3,395 406 2,008 1,303 3,311 1,5154 BLANG KRUENG 1.80 813 866 1,679 338 67 185 254 21 720 705 1,425 3335 COT PAYA 1.90 448 539 987 200 248 372 620 - 278 96 374 2006 LAMBADA ILHOK 2.12 1,154 1,055 2,209 380 638 958 1,596 35 493 152 645 3457 KLIENG COT ARON 1.80 490 631 1,121 350 210 317 527 37 423 230 653 3878 KLIENG MEURA 1.50 221 347 568 187 76 114 190 4 378 184 562 1839 MIRUK LAM REUDEUP 3.34 312 303 615 132 111 168 279 16 520 515 1,035 116

10 LAMPINEUNG 1.56 307 508 815 235 97 380 477 46 229 180 409 18911 LAM ASAN 1.76 724 595 1,319 264 249 62 326 35 175 170 345 22912 L A B U Y 5.00 289 361 650 176 89 165 254 11 317 184 501 16513 LAM UJONG 6.40 240 265 505 176 49 163 121 31 242 169 411 145

36.52 9,531 10,594 20,125 5,195 3,681 5,797 9,404 721 6,996 4,469 11,465 4,564

Lambada Lhok, 15 Nopember 2006CAMAT BAITUSSALAM

MUKHTAR JAKUB, S.SosPENATA, NIP. 010223327

JUMLAH

No N A M A D E S A LUAS JUMLAH PENDUDUK SEKARANGJUMLAH PENDUDUK AWAL JLH. PENDK YANG MENINGGAL

DATA PENDUDUK KECAMATAN BAITUSSALAM KABUPATEN ACEH BESAR SEBELUM DAN SESUDAH TSUNAMI TANGGAL 26 DESEMBER 2004

Page 73: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

64

DATA JUMLAH PENDUDUKKECAMATAN LHOKNGA KABUPATFN ACEH BESAR

KEMUKIMAN LHOKNGA1 Kel. Mon Ikeun 463 2,700 1,575 55 1,085 -2 VVeuraya 700 1,700 - 1,200 734 -3 Lamkruet 600 2,150 - 1,543 876 -4 Lampaya 356 1,485 - 152 1,245 -

KEMUKIMAN KUEH5 Lamgaboh 162 618 17 1 592 -6 Aneuk Paya 147 625 10 - 612 -7 Lambaro Kueh 135 485 8 9 477 -8 Naga Umbanq 78 320 24 9 318 -9 Lam Ateuk 105 412 9 - 386 -10 Kueh 116 481 24 2 477 -11 Tanaong 254 1,082 10 30 1,063 -12 ltJusa 212 986 5 13 975 -13 Seubun Keutapang 108 420 16 3 399 -14 Seubun Ayon 99 379 10 1 376 -15 Lambaro Seubun 103 368 8 3 350 -

KEMUKIMAN LAMLHOM16 Mns. Beuteng 116 505 - 9 502 -17 Mns. Mesjid _ 117 430 1 2 414 -18 Mns. Karieng 157 683 5 9 676 -19 Mns. Baro _amihom 81 320 - 8 313 -20 Mns. Manyang 92 358 - 2 355 -21 Mon Cut 64 265 5 1 247 -22 Lamgirek 44 172 - 7 130 -

KEMUKIMAN LAMPUUK23 Mns. Meslid 454 1500 - 945 473 -24 Mns. Bafee 276 1036 758 240 -25 Mns. Lambaro 237 964 719 262 -

5,276 20,444 1,727 5,481 13,577 -

Lhoknga, 27 Maret 2006CAMAT LHOKNGA

R A S I D I, S.SosPenata Tk.I/ NIP. 010200760

KET.

JUMLAH

HILANG MENINGGAL SELAMAT NO. LURAH YANG BISANO NAMA DESA/ KELURAHAN JUMLAH KEPALA

KELUARGAJUMLAH

PENDUDUK

Page 74: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

65

Page 75: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

66

PERTANAHAN

NO TOPIK HUKUM FORMAL CATATAN PRINSIP DAN NORMA ADAT

CATATAN PENDAPAT/PRINSIP HUKUM ISLAM

1 HAK KEPEMILIKAN ATAS TANAH

Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. (UU 5/1960, 9:2)

“Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah” (UU 5/1960, 20:1)

Setiap warga negara Indonesia yang berada di Aceh memiliki hak atas tanah sesuai peraturan perundang-undangan (UU 11/2006, 213:1)

Hukum adat Aceh mengakui bahwa laki-laki dan wanita memiliki hak yang sama atas tanah/rumah dan manfaat dari tanah/rumah tersebut untuk kepentingan diri dan keluarganya.1

2 BERALIHNYA HAK KEPEMILIKAN TANAH

Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (UU 5/1960, 20:2). Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. (UU 5/1960, 26:1)

Menurut hukum adat, hak milik atas tanah dapat berpindah karena : 1. Pusaka (warisan); 2. Penjualan; 3. Hibah.2

3 PERALIHAN HAK TANAH KARENA PEWARISAN

Jika penerima warisan lebih dari satu orang dan waktu peralihan hak tersebut didaftarkan disertai dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun

1 T. Djuned (Wawancara, 27 April 2006); T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006). 2 Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dalam Syamsidah dan Sugiarto Dakung (editor), (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1984/1985), h. 55, 63.

Page 76: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

67

tertentu jatuh kepada seorang penerima warisan tertentu, pendaftaran peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun itu dilakukan kepada penerima warisan yang bersangkutan berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan akta pembagian waris tersebut. (PP 24/1997, 42:4) Warisan berupa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang menurut akta pembagian waris harus dibagi bersama antara beberapa penerima warisan atau waktu didaftarkan belum ada akta pembagian warisnya, didaftar peralihan haknya kepada para penerima waris yang berhak sebagai hak bersama mereka berdasarkan surat tanda bukti sebagai ahli waris dan/atau akta pembagian waris tersebut. (PP 24/1997, 42:5)

4 HILANG/TERHAPUSNYA HAK KEPEMILIKAN TANAH DAN STATUS TANAH TERSEBUT JIKA TIMBUL KEMBALI

Hak milik hapus bila : a. tanahnya jatuh kepada Negara :

1. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18 (digunakan utk kepentingan umum dengan pembayaran ganti rugi);

2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; 3. karena ditelantarkan; 4. karena ketentuan pasal 21 ayat 3

[milik orang asing setelah tahun 1960] dan pasal 26 ayat 2 [jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat kepada orang asing]

b. tanahnya musnah (UU 5/1960, 27) Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai,

Menurut hukum adat, hak milik atas tanah dapat terhapus karena :

1. Tidak dikerjakan lagi sehingga menjadi terlantar;

2. Dikikis laut atau sungai; 3. Bekas-bekas pembukaan tanah

sudah hilang (tanah kebun atau ladang yang sudah menjadi hutan belukar atau tanah sawah/tambak sudah tidak ada pematangnya lagi).3

Hilangnya kepemilikan tanah adakalanya disebabkan oleh berubahnya status dan keadaan tanah, misalnya dari pemukiman kemudian dikikis laut sehingga menjadi tambak, atau sebidang tanah

3 Ibid., h. 56, 75; T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).

Page 77: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

68

pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh Negara. (PP 16/2004, 12) Tanah yang sudah dinyatakan sebagai tanah terlantar menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara (PP 36/1998, 15:1).

yang berada dipinggir sungai dan tergerus sehingga mengalami abrasi.4 Namun, jika suatu saat sungai atau tambak itu kering dan tanah yang tadi hilang tersebut muncul ke permukaan, pemiliknya dapat memperolehnya kembali, sekalipun mungkin bergeser letaknya.5

5 HAK TANAH YANG

BERASAL DARI TANAH ADAT

“Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah”. (UU 5/1960, 22:1)

Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. (UU 5/1960, 56)6

Ada empat cara tanah berstatus hak milik diperoleh menurut Adat Aceh: (1) dengan membuka tanah baru, (2) dari peunulang (pemberian), (3) dari harta warisan/pusaka, dan (4) dengan cara jual beli.7

6 HAK TANAH YANG BERASAL DARI PRAKTEK PEMBUKAAN TANAH ADAT

Sebagai misal dari cara terjadinya hak milik menurut hukum adat ialah pembukaan tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara. (Penjelasan UU 5/1960, 22)

Hak milik menurut adat Aceh diberikan kepada seseorang yang (i) telah menanam tanaman keras, (ii) memiliki batas-batas yang jelas, dan (iii) dikuasai secara turun temurun beberapa generasi sehingga diakui oleh masyarakat sekitarnya.8

Menurut Adat Aceh, pembukaan tanah dimulai dengan membubuhi tanda berupa pagar yang terdiri dari tiga buah tiang yang ditanam secara tegak lurus (jeuneurob), berjarak sedepa

4 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006). 5 Pola Penguasaan, h. 53; T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006). 6 Setelah 46 tahun berlalu, Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan oleh UU no. 5/1960 itu hingga saat ini belum pernah dikeluarkan. 7 Pola Penguasaan, h. 34. 8 Rusdi Sufi (Wawancara, 27 April 2006); Cf. Pola Penguasaan, h. 30-32, 34-35.

Page 78: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

69

dengan lima buah kisi-kisi melintang (beunteueng).9

7 BAGI HASIL PENGUSAHAAN TANAH

Besarnya bagian hasil-tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap Daerah Swatantara tingkat II ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuan-ketentuan adat setempat. (UU 2/1960, 7:1)

Hak mawaih (bagi hasil) dalam hukum adat bervariasi, artinya pembagian dilakukan menurut keadaan tanah (subur atau tidak) dengan bagian 2:1 atau 3:1; artinya 2 atau 3 bagian untuk penggarap dan 1 bagian untuk pemilik tanah.10

8 TANAH ADAT/ ULAYAT

Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. (Permenagra 5/1999, 1:2)

Tanah Ulayat di Aceh lebih dikenal sebagai Tanoh Hak Kullah. Batas-batasnya ditentukan sejauh dapat terjangkau perjalanan ke arah hulu dalam sehari pulang pergi, dan ke hilir atau ke laut sejauh dapat terjangkau oleh pukat pantai. Dapat juga ditandai oleh batas-batas alam seperti puncak gunung, jurang, sungai dan perjanjian perbatasan dengan mukim tetangga.11

Berdasarkan wujudnya, tanah ulayat menurut Adat Aceh dapat berupa:12 1. Tanoh rimba, tanah

hutan belantara yang berada di pedalaman dan belum dikerjakan orang;

2. Tanoh uteuen, tanah hutan-hutan tertentu dan kebanyakan diberi nama menurut jenis-jenis tumbuhan di atasnya;

3. Tanoh tamah, tanah hutan yang sudah pernah dikerjakan untuk ladang dan di atasnya tumbuh tarok (tunas-tunas kayu) yang

9 Pola Penguasaan, h. 30. 10 Ibid., h. 67-71, 76; Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, (Banda Aceh: P&K Daerah Istimewa Aceh, 1970), h. 176. 11 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006). 12 Pola Penguasaan, h. 25-26.

Page 79: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

70

kadang-kadang dijadikan kayu api, di samping ia dibedakan juga dengan bluka atau beuluka, yaitu kayu-kayu belukar yang rendah tumbuhnya;

4. Tanoh padang, tanah tempat ditumbuhi kayu-kayuan, tetapi kebanyakan ditumbuhi alang-alang atau jenis rumput-rumput lain di dataran rendah yang belum seluruhnya digarap dan biasanya berada di sekeliling sawah-sawah gampong dan dijadikan tempat untuk hewan memakan rumput;

5. Tanoh paya atau tanoh bueng, tanah rendah yang digenangi air secara tetap, serta ditumbuhi semak belukar. Bila letaknya di daerah dekat pantai disebut tanoh suwak (hutan rawa);

6. Sarah, tanah yang terdapat pada aliran sungai yang dangkal di bagian hulu dengan dataran rendah yang subur;

7. Sawang, tanah dangkalan sungai yang menjorok ke dalam

Page 80: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

71

daratan; 8. Tanoh jeued, tanah

yang terbentuk karena bawaan lumpur oleh arus sungai, baik di tengah sungai (berupa pulau) ataupun di tepi sungai berupa ujung yang menjorok ke tengah sungai.

9 HAK ATAS TANAH

ADAT (HAK ULAYAT)

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 [UU 5/1960], pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. (UU 5/1960, 3) Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. (Permenagra 5/1999, 1:1)

Hak atas tanah ulayat, atau lazim juga disebut tanah milik umum, ini merupakan milik suatu gampong atau mukim, yang dikuasakan kepada geuchik atau mukim. Geuchik atau Mukim mempunyai wewenang untuk memberikan suatu hak kepada seseorang atas tanah milik umum ini untuk dimanfaatkan, baik kepada orang dalam maupun dari luar wilayahnya. Sejumlah hak atas tanah ulayat ini dapat diberikan kepada orang luar dengan membayar sejumlah uang atau barang.13

Dalam prakteknya, hak individual atas tanah ulayat di Aceh yang dimiliki oleh persekutuan gampong atau mukim dapat diperoleh anggota masyarakat dalam gampong atau mukim tersebut dengan berbagai cara, termasuk penggunaan tanah secara terus menerus dalam waktu yang lama.

13 Ibid., h. 53-54; T. Djuned (Wawancara, 27 April 2006).

Page 81: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

72

Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila : a. terdapat sekelompok orang yang masih

merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebgai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,

b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan

c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. (Permenagra 5/1999, 2:2)

Pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada pasal 2 tidak dapat lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud Pasal 6: a. sudah dipunyai oleh perseorangan atau

badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria;

b. merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku. (Permenagra 5/1999, 3)

Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 [Permenagra 5/1999]

Page 82: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

73

oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan : a. oleh warga masyarakat hukum adat yang

bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria [UU 5/1960].

b. Oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. (Permenagra 5/1999, 4:1)

10 TANAH WAKAF Wakaf adalah Perbuatan hukum wakif untuk

memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. (UU 41/2004, 1:1) Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan

Tanah wakaf atau tanoh wakeueh menurut adat Aceh diartikan sebagai lembaga keagamaan, di mana seseorang yang memiliki tanah menyerahkan sebagian dari padanya untuk keperluan seseorang tertentu atau sesuatu keperluan bersama, sesuai dengan hukum Islam.14 Biasanya penyerahan wakaf ini dilakukan kepada geuchik dan imam meunasah, dan pengurusan tanah ini selanjutnya dilakukan oleh kedua aparat gampong tersebut.15

Di Aceh Besar, terdapat praktek wakaf yang dilakukan tidak hanya oleh individual, tetapi juga oleh masyarakat suatu gampong. Mereka secara bersama-sama membeli sebidang tanah di dekat komplek meunasah dan mewakafkannya untuk tempat mendirikan langgar kaluet atau balai tempat anak-anak mengaji.16

14 Pola Penguasaan, h. 46; T.I.El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006) 15 Pola Penguasaan, h. 66; Hoesin, Adat Atjeh, h. 144.

Page 83: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

74

peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam. (PP 28/1977, 1; KHI, 215)

11 PERUBAHAN STATUS TANAH WAKAF

Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf.17 (KHI, 225:1) Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam [KHI, 225] ayat 1 hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:

1. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh Wakif.

2. karena kepentingan umum. (KHI, 225:2)

Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: a. dijadikan jaminan; b. disita; c. dihibahkan; d. dijual; e. diwariskan; f. ditukar; atau g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Harta wakaf yang tidak dapat dimanfaatkan/digunakan oleh (mauquf) akibat bencana alam dan sebagainya dapat dijual untuk dibeli gantinya berdasarkan kaidah dharurat syar’iyah18 dan kemaslahatan ummat (Fatwa MPU 7/2005).

16 T.I. El-Hakimy, “Tentang Penguasaan Tanah pada Masyarakat Pedesaan di Aceh”, dalam Herman Slaats dan A.A. Trouwborst (eds.), Tiga Model Pendekatan Studi Hukum Adat: Suatu Laporan Penatara, (Banda Aceh: Syiah Kuala University Press, 1993), h. 84-85. 17 Ikrar wakaf adalah suatu pernyataan yang di ucapkan oleh pemberi wakaf tentang maksud dan tujuannya mewakafkan tanah. 18 Berdasarkan kaidah ‘darurat’ ini suatu perbuatan yang dilarang oleh ajaran Islam dibolehkan untuk dilakukan.

Page 84: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

75

(UU 41/2004, 40) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah. (UU 41/2004, 41:1) Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota wajib melakukan perlindungan hukum terhadap tanah-tanah wakaf, harta agama, dan keperluan suci lainnya. (UU 11/2006, 213:4).

12 PEMILIK TANAH DAN AHLI WARISNYA SUDAH TIDAK DIKETAHUI LAGI

Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaan kepada Baitul Mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum. (KHI, 191)

Pengurusan atas tanah yang dimiliki oleh orang-orang yang tidak diketahui lagi keberadaannya, termasuk ahli warisnya, dilakukan oleh geuchik. Hasil yang diperoleh dari tanah tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan meunasah dan warga gampong yang bersangkutan. Tanah-tanah seperti ini sering juga disebut harta baital mal (harta baitul mal).19

Tanah dan harta benda yang ditinggalkan korban gempa dan gelombang Tsunami yang tidak meninggalkan ahli waris adalah menjadi milik umat Islam melalui Baitul Mal (Fatwa MPU nomor 2/2005 butir keenam dan Fatwa MPU nomor 3/2005), setelah mendapatkan penetapan dari Mahkamah Syar’iyah atas dasar permohonan yang diajukan oleh baitul mal gampong setempat.20

13 PENENTUAN BATAS-BATAS TANAH (SETELAH BENCANA ALAM)

Penetapan batas bidang tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak yang belum terdaftar atau yang sudah terdaftar tetapi belum ada surat ukur/gambar situasi atau surat ukur/gambar situasi yang ada tidak sesuai lagi dengan keadaan yang

19 Pola Penguasaan, h. 66; Cf. Hoesin, Adat Atjeh, h. 104. 20 Fatwa MPU 2/2005, 6; Fatwa MPU 3/2005, 1:2.

Page 85: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

76

sebenarnya, dilakukan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, berdasarkan penunjukan batas oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang hak atas tanah yang berbatasan. (PP 24/1997, 18:1) Jika dalam penetapan batas bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dengan pemegang hak atas tanah yang berbatasan, pengukuran bidang tanahnya diupayakan untuk sementara dilakukan berdasarkan batas-batas yang menurut kenyataannya merupakan batas-batas bidang-bidang tanah yang bersangkutan. (PP 24/1997, 19:1)

14 KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR’IYAH ATAS MASALAH PERTANAHAN PASCA TSUNAMI

Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada [UU 3/2006, 50] ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam [UU 3/2006] pasal 49. (UU 3/2006, 50:2)

Gugatan Hak Milik dan Kewarisan atas tanah (korban gempa dan gelombang Tsunami) dapat diajukan ke Mahkamah Syar’iyah dengan penyertaan alat bukti yang sah (Fatwa MPU 3/2005, 1:3, 5). Menetapkan (memilih dan mengukuhkan pendapat) bahwa gugatan hak milik dan gugatan kewarisan atas tanah korban tsunami hanya diterima dalam waktu 5 tahun sejak musibah tsunami terjadi dan setelah itu dinyatakan lewat waktu (taqadum, kadaluarsa); sedang bagi anak yang belum dewsasa ketika

Page 86: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

77

musibah tsunami terjadi hak mengajukan gugatan ini diperpanjang sampai dia berumum 19 tahun (Fatwa MPU 2/2005, 8). Mengusulkan kepada Pemerintah atau Mahkamah Agung utnuk (a) memerintahkan pejabat pembuat akta tanah untuk tidak menerima (melayani) permintaan transaksi pengalihan hak milik atas tanah korban Tsunami apablia keberadaan dan batas-batas tanah tersebut belum jelas, serta alat bukti yang diajukan tidak sah atau belum memadai (Fatwa MPU no. 2/2005, 7). Mengingatkan kembali bahwa Mahkamah Syar’iyah perlu memberi kesempatan kepada Geuchik dan Mukim (beserta tuha peutnya masing-masing) untuk menyelesaikan sengketa melalui perdamaian sebelum diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah (Fatwa MPU 2/2005, 9).

15 HAK PENYEWA RUMAH SEBELUM TSUNAMI

Besar nilai Bantuan Sosial Bertempat Tinggal (BSBT) untuk 1 (satu) keluarga korban yang menyewa atau menumpang di rumah orang lain adalah sebesar 40% (empat puluh persen) dari harga rata-rata 1 unit rumah inti tipe 36 di kota Banda Aceh tanpa pajak.21

16 HAK PEMUKIM ILLEGAL RUMAH

Besar nilai Bantuan Sosial Bertempat Tinggal (BSBT) untuk 1 (satu) keluarga korban yang

21 Peraturan Kepala BRR no. 21/PER/BP-BRR/VI/2006 (3:5).

Page 87: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

78

SEBELUM TSUNAMI bertempat tinggal di atas tanah yang bukan haknya serta tidak bisa digunakan untuk keperluan bertempat tinggal adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga rata-rata 1 unit rumah inti tipe 36 di kota Banda Aceh tanpa pajak.22

22 Peraturan Kepala BRR no. 21/PER/BP-BRR/VI/2006 (3:6).

Page 88: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

79

KEWARISAN

NO TOPIK HUKUM FORMAL CATATAN PRINSIP/NORMA ADAT CATATAN PENDAPAT/ PRINSIP HUKUM

ISLAM 1 AHLI WARIS

Ahli waris adalah orang yang mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris pada saat meninggal dunia (KHI, 171c) a. ayah, anak laki-laki, saudara laki-

laki, paman dan kakek (KHI, 174:1a) b. ibu, anak perempuan, saudara

perempuan dan nenek (KHI, 174:1b) c. duda atau janda (KHI, 174:1c) Apabila semua ahli waris di atas masih hidup, yang berhak mewarisi hanya anak, ayah, ibu dan janda atau duda. (KHI, 174:2)

Ahli waris adalah keturunan sedarah atau karena perkawinan dengan pewaris dan masih hidup pada saat pewaris meninggal dunia.

a. Ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.

b. Ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek;

c. Duda atau janda Apabila semua ahli waris tersebut masih

hidup, maka yang berhak mewarisi adalah anak, ayah, ibu dan janda atau duda.

Akan tetapi apabila hanya terdapat anak

perempuan sebagai ahli waris, maka paman dari keluarga ayah ikut menjadi ahli waris.1 Sekiranya anak perempuan tersebut merupakan ahli waris satu-satunya, maka sisa harta warisan, setelah dipotong sebesar hak anak perempuan itu, akan diserahkan kepada Baitul Mal.2

Berdasarkan publikasi Dinas Syariat Islam, ahli waris dipersyaratkan harus masih hidup pada saat pewaris meninggal dunia. Oleh sebab itu, orang-orang yang mempunyai hubungan waris dan meninggal dalam waktu bersamaan, rantai kewarisan di antara mereka akan putus yang dapat mempengaruhi posisi sejumlah ahli waris sehingga mereka mungkin saja menjadi terhalangi untuk mewarisi.3

2 SYARAT-SYARAT SEBAGAI AHLI WARIS

Beragama Islam (KHI, 171c) diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian (KHI, 172)

Ahli waris menurut adat Aceh harus beragama Islam. Apabila seseorang keluar dari agama Islam (murtad), hilanglah haknya untuk mewarisi harta dari pewaris.4

1 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Syahrizal, Hukum Adat, h. 275. 2 Syahrizal, Hukum Adat, h. 229. 3 Lihat Al-Indzar, Penerbitan Khusus Dinas Syariat Islam, no. 1 (1 Agustus 2005), h. 3-4. 4 Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).

Page 89: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

80

3 ALASAN YANG MENGHALA-NGI SEORANG MENJADI AHLI WARIS

Dipersalahkan telah [mencoba] membunuh atau menganiaya pewaris (KHI, 173a) Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman 5 tahun penjara atau lebih berat. (KHI, 173b)

Seorang terhalang menerima warisan jika ia murtad, membunuh, menganiaya atau melakukan suatu kejahatan lainnya terhadap pewaris.5

Menurut syariat Islam, perbedaan agama menjadi halangan saling mewarisi.6

4 KEWAJIBAN AHLI WARIS

Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah: a. mengurus dan menyelesaikan

sampai pemakaman jenazah selesai. (KHI, 175:1a)

b. menyelesaikan baik [membayar] hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang. (KHI, 175:1b)

c. Menyelesaikan wasiat pewaris (KHI, 175:1c)

d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak. (KHI, 175:1d)

Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya. (KHI, 175:2)

5 HARTA WARISAN

Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan pewaris baik berupa harta maupun hak-haknya (KHI, 171d)

Harta peninggalan pewaris adalah harta yang ditinggalkan pewaris, baik berupa natura (sawah, ladang, rumah dan pekarangan, ternak atau berupa innatura

Dalam masyarakat Aceh, membayar hutang pewaris merupakan perbuatan utama dan dapat membuat malu

5 Hoesin, Adat Atjeh, h. 103, 164; Syahrizal, Hukum Adat, h. 212. 6 Hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa “Seorang non-Muslim tidak mewarisi dari orang Islam, dan orang Islam tidak mewarisi dari non-Muslim.” Hadits ini dikutip di dalam Syahrizal, Hukum Adat, h. 211.

Page 90: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

81

Harta warisan adalah harta bawaan ditambah [½] bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenasah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. (KHI, 171e)

(penghasilan lainnya yang mempunyai nilai ekonomis).7 Harta yang ditinggalkan pewaris terlebih dahulu dikurangi dengan hutang pewaris serta biaya-biaya lain yang perlu dikeluarkan dan biaya itu dipotong dari harta warisan yang ditinggalkan pewaris.

ahli waris bila tidak dibayarkan.

6 HARTA BERSAMA

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (UU 1/1974, 35:1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. (KHI, 94:1) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut [dalam KHI, 94) ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat. (KHI, 94:2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. (KHI, 96:2)

Dalam praktek pengadilan dewasa ini, terutama pasca bencana alam tsunami, pasangan yang hilang dimintakan penetapan dari pengadilan tentang kepastian kematian/ hilangnya (perkara mafqud), sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Menarik dicatat bahwa keputusan pengadilan mengenai perkara mafqud itu berguna bagi seorang janda untuk membolehkan dirinya menikah lagi dengan pria lain. Adapun bagi duda, persyaratan semacam ini tidak diperlukan.

Harta bersama (harta seuhareukat) antara suami dan istri, dibagi secara seimbang, di mana setiap pihak mendapat separohnya, baik karena cerai mati atau cerai hidup. Dengan meninggalnya suami atau istri, separoh bagian harta bersama diserahkan kepada pasangan yang masih hidup, sedangkan separoh bagian yang lain menjadi harta warisan yang akan dibagikan kepada semua ahli waris yang masih hidup.8 Apabila seorang pewaris mempunyai isteri lebih dari seorang, perlu dipisahkan lebih dulu antara harta bawaan tiap-tiap isteri dan harta bersama dengan para isteri tersebut. Harta bersama harus diperhitungkan secara terpisah untuk setiap perkawinan dan dibagikan berdasarkan jumlah dan waktu diperolehnya harta bersama tersebut.9

Menurut Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, apabila suami atau isteri meninggal dan suami atau istri itu tidak kawin lagi, maka ia akan tetap menguasai semua harta yang ditinggalkan pewaris sampai anak-anaknya mampu secara mandiri. Pada saat itulah barulah dilakukan pembagian warisan.10 Patut dicatat di sini bahwa di daerah pesisir Aceh Besar, harta bersama dibagi menjadi 3 bagian: 2 bagian untuk suami dan 1 bagian untuk isteri.11

7 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006) 8 Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006); T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006) 9 Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006). 10 Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006). 11 Syahrizal, Hukum Adat, h. 276.

Page 91: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

82

7 HARTA

BAWAAN MASING-MASING ISTRI DAN SUAMI

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. (KHI, 85) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. (UU 1/1974, 35:2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. (KHI, 86:2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing. (KHI, 87)

Tiap-tiap suami dan isteri tetap memiliki hak atas harta bendanya masing-masing dan menguasainya sepenuhnya.12

Di beberapa kabupaten di Aceh, khususnya Aceh Besar dan Pidie, dikenal konsep harta peunulang. Harta peunulang adalah sebuah pemberian/hibah dari orang tua kepada anak perempuannya yang telah menikah, dalam bentuk rumah dan pekarangannya.13 Walaupun rumah itu sering dijadikan tempat tinggal suami isteri, rumah tersebut merupakan harta bawaan isteri.

8 HARTA BERUPA ASURANSI JIWA DAN JAMINAN KEMATIAN14

Hak atas asuransi kematian [Taspen] dibayarkan dalam hal peserta/keluarganya meninggal dunia baik pada masa masih bekerja aktif maupun setelah pensiun. Pengertian keluarga ialah isteri/suami dan anak

Lewat putusan kasasi, Mahkamah Agung telah menetapkan bahwa uang santunan kematian dan dana asuransi jiwa adalah milik janda yang ditinggal

12 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); T. Djuned (Wawancara, 27 April 2006). 13 Harta peunulang yang diberikan kepada seorang anak perempuan mungkin saja melebihi 1/3 dari total asset kekayaan pewaris. Alasan dibalik pemberian peunulang ini adalah hubungan orang tua dengan anak perempuannya yang amat kuat dan mendalam. Hal ini karena anak perempuan sungguh-sungguh membantu kedua orang tuanya pada saat tinggal dan hidup bersama mereka. 14 Jaminan kematian secara teknis dipahami sebagai ‘uang duka’. Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, keluarganya berhak atas Jaminan Kematian yang meliputi (1) biaya pemakaman (satu juta rupiah); dan (2) santunan uang (lima juta rupiah).

Page 92: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

83

peserta. (Penjelasan PP 25/1981, 9:2) Jaminan kematian diselenggarakan dengan tujuan untuk memberikan santunan kematian yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia. (UU 40/2004, 43:2) Urutan penerima yang diutamakan dalam pembayaran santunan kematian dan Jaminan Kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d butir 4 dan Pasal 12 ialah: (UU 3/1992, 13) a. janda atau duda; b. anak; c. orang tua; d. cucu; e. kakek atau nenek; f. saudara kandung; g. mertua.

mati oleh pewaris, dan bukan sebagai harta warisan.15

9 HARTA BERUPA TABUNGAN HARI TUA

Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, Jaminan Hari Tua dibayarkan kepada janda atau duda atau anak yatim piatu. (UU 3/1992, 14:2) Yang berhak mendapat tabungan hari tua adalah: a. peserta dalam hal yang bersangkutan

berhenti dengan hak pensiun atau berhenti sebelum saat pensiun;

b. isteri/suami, anak atau ahli waris peserta yang sah dalam hal peserta meninggal dunia. (PP 25/1981,10:2)

15 Putusan Kasasi Mahkamah Agung no. 198K/AG/1992.

Page 93: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

84

Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap (UU 40/2004, 37:1) Apabila peserta meninggal dunia, ahli warisnya yang sah berhak menerima manfaat jaminan hari tua (UU 40/2004, 37:4)

10 HARTA BERUPA GAJI PENSIUN

Yang berhak mendapat pensiun16 adalah: b. janda/duda dari peserta, dan

janda/duda dari penerima pensiun17; atau

c. yatim piatu dari peserta, dan yatim piatu dari penerima pensiun18; atau

d. orang tua dari peserta yang tewas yang tidak meninggalkan janda/duda/anak yatim piatu yang berhak menerima pensiun.

(PP 25/1981, 10:1) Manfaat jaminan pensiun berwujud uang tunai yang diterima setiap bulan sebagai:

c. Pensiun janda/duda, diterima janda/duda ahli waris peserta sampai meninggal dunia atau menikah lagi;

16 Di Indonesia, terdapat perbedaan antara gaji pensiun dan Tabungan Hari Tua.Gaji pensiun diterima oleh pensiunan PNS setiap bulannya, sedangkan Tabungan Hari Tua diterima baik oleh pensiunan PNS ataupun pensiunan pegawai swasta secara sekaligus pada saat mereka memasuki masa pensiun. 17 Pembayaran ini berlangsung terus hingga janda/duda itu menikah lagi atau meninggal. 18 Uang pensiun ini akan diterima oleh anak hingga berusia 23 tahun, memiliki pekerjaan tetap atau sudah menikah. 19 Hingga saat ini, peraturan yang dimaksudkan tersebut belum tersedia.

Page 94: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

85

d. Pensiun anak, diterima anak ahli waris peserta sampai mencapai usia 23 (dua puluh tiga) tahun, bekerja, atau menikah; atau

e. Pensiun orang tua, diterima orang tua ahli waris peserta lajang sampai batas waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.19

(UU 40/2004, 41:1) Hak ahli waris atas manfaat pensiun anak berakhir apabila anak tersebut menikah, bekerja tetap, atau mencapai usia 23 (dua puluh tiga) tahun. (UU 40/2004, 41:6)

11 HARTA WARISAN YANG TERDIRI DARI LAHAN PERTANIAN YANG LUASNYA KURANG DARI 2 HEKTAR

Bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris. (KHI 189:1) Bila hal di atas tidak memungkinkan, (e.g. ada ahli waris yang membutuhkan uang), lahan tersebut dapat dimiliki oleh seseorang atau lebih ahli waris dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing. (KHI, 189:2)

Hukum adat Aceh tidak berbeda jauh dengan ketentuan dalam KHI dan malah memperluas pengertiannya mencakup rumah. Jika terdapat beberapa anak perempuan sementara orang tuanya tidak mampu menyediakan peunulang bagi masing-masing anak perempuan itu, sebuah rumah akan dibagi-bagi dan setiap anak perempuan menerima satu kamar masing-masing. Apabila ada anak perempuan yang tidak bersedia tinggal atau telah mempunyai rumahnya sendiri, maka bagian yang menjadi haknya akan dialihkan kepada anak perempuan yang lain melalui mekanisme pembayaran ganti rugi.20

12 HARTA HIBAH Hibah dari orang tua kepada anaknya Hibah atau peunulang yang telah diberikan

20 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Rusydi Sufi (Wawancara, 27 April 2006).

Page 95: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

86

SEBAGAI HARTA WARISAN

dapat diperhitungkan sebagai warisan (KHI, 211) Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya. (KHI, 213)

pewaris pada masa hidupnya untuk anak perempuannya dapat diperhitungkan sebagai bagian dari warisan.21

13 HAK WARIS ANAK PEREMPUAN

[Dalam hal hanya anak perempuan yang menjadi ahli waris dan tidak ada anak laki-laki, ketentuan berikut yang akan berlaku:] seorang anak perempuan mendapat ½, dan bila berdua atau lebih mendapat 2/3 bagian. (KHI, 176) Jika anak perempuan bersama anak laki-laki sebagai ahli waris, maka bagian anak perempuan adalah setengah dari bagian anak laki-laki (KHI, 176)

Dalam praktek, bila ahli waris terdiri dari anak perempuan saja dan tidak ada anak laki-laki, Mahkamah Syar’iyah cenderung memutuskan untuk menyerahkan seluruh sisa dari harta warisan yang tidak habis itu (½ atau 1/3) kepada anak perempuan, baik sendirian ataupun lebih, dan tidak lagi diberikan kepada ahli waris lain yang masih hidup (misalnya paman).22

Hukum adat pada kebanyakannya mengikuti ketentuan hukum Islam.23 Jika anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka anak perempuan akan menerima ½ bagian dari jumlah yang diterima oleh anak laki-laki. Jika hanya seorang anak perempuan akan mendapatkan ½ bagian, dan jika 2 orang atau lebih akan mendapatkan 2/3 bagian dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan pewaris. Adapun sisanya dibagikan untuk ahli waris yang berhak lainnya.24 Untuk perimbangan dari kekurangan bagian yang diterima oleh anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki, hukum adat Aceh memperkenalkan konsep peunulang. Melalui konsep peunulang inilah, boleh jadi bagian harta yang diterima oleh anak perempuan akan lebih banyak dibandingkan dengan harta bagian anak laki-laki.25 Patut dicatat pula bahwa ahli waris boleh

Menurut Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, apabila suami atau isteri meninggal dan suami atau istri itu tidak kawin lagi, maka ia akan tetap menguasai semua harta yang ditinggalkan pewaris sampai anak-anaknya mampu secara mandiri. Pada saat itulah barulah dilakukan pembagian warisan.27

21 Syahrizal, Hukum Adat, h. 219-220; Syahrizal (Diskusi, 6 Juni 2006). 22 Rafiuddin (Wawancara, 26 April 2006). 23 Hoesin, Adat Atjeh, h. 165. 24 Hoesin, Adat Atjeh, h. 102-103. 25 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).

Page 96: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

87

saja bersepakat untuk membagi-bagikan harta warisan dengan tidak mengikuti ketentuan di atas.26

14 HAK WARIS AYAH

Ayah mendapat 1/3 bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi ada suami dan ibu. (KHI, 177 dan SEMA 2/1994).28 Ayah mendapat 1/6 bila pewaris memiliki anak. (KHI, 177)

15 HAK WARIS IBU

Ibu mendapat 1/6 bila pewaris memiliki anak atau dua saudara atau lebih (KHI, 178:1) Ibu mendapat 1/3 bila pewaris tidak meninggalkan anak atau dua saudara atau lebih (KHI, 178:1) [Apabila pewaris tidak mempunyai anak,] Ibu mendapat 1/3 dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.29 (KHI, 178:2)

16 HAK WARIS DUDA/JANDA

Duda mendapat ½ bila pewaris tidak meninggalkan anak (KHI, 179) Duda mendapat ¼ bila pewaris meninggalkan anak (KHI, 179) Janda mendapat ¼ bila pewaris tidak meninggalkan anak (KHI, 180) Janda mendapat 1/8 bila pewaris

Menurut Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, apabila suami atau isteri meninggal dan suami atau istri itu tidak kawin lagi, maka ia akan tetap menguasai semua harta yang ditinggalkan pewaris sampai anak-anaknya mampu secara mandiri.

26 Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006); Syahrizal, Hukum Adat, h. 227. 27 Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006). 28 Dalam hal ini, ayah menerima sepertiga bukan karena berdasarkan besaran hak bagiannya, tetapi karena ‘sepertiga’ adalah sisa harta warisan yang diterima oleh ayah setelah suami dan ibu mengambil hak bagiannya masing-masing. 29 Ayah menjadi ahli waris ashabah dalam kasus ini.

Page 97: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

88

meninggalkan anak (KHI, 180) Pada saat itulah barulah dilakukan pembagian warisan.30

17 HAK WARIS JANDA/DUDA ATAS HARTA BERSAMA

Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama (KHI, 96:1)

Masing-masing suami dan istri mendapat separoh dari harta bersama (harta seuhareukat), baik karena cerai hidup atau cerai mati. Dalam hal cerai mati, separoh bagian harta bersama menjadi milik pasangan yang masih hidup dan separoh bagian sisanya dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak.31 Apabila seorang pewaris mempunyai isteri lebih dari seorang, perlu dipisahkan lebih dulu antara harta bawaan tiap-tiap isteri dan harta bersama dengan para isteri tersebut. Harta bersama harus diperhitungkan secara terpisah untuk setiap perkawinan dan dibagikan berdasarkan jumlah dan waktu diperolehnya harta bersama tersebut.32

Patut dicatat di sini bahwa di daerah pesisir Aceh Besar, harta bersama dibagi menjadi 3 bagian: 1 bagian untuk isteri dan 2 bagian untuk suami.33

18 HAK WARIS SAUDARA LAKI-LAKI DAN SAUDARA PEREMPUAN SEIBU

Bila pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah, saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu mendapat 1/6 bagian (KHI, 181) Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat 1/3 bagian. (KHI, 181)

19 HAK WARIS SAUDARA PEREMPUAN DAN

Bila pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah, seorang saudara perempuan kandung atau seayah mendapat ½. (KHI, 182)

30 Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006). 31 Syahrizal, Hukum Adat, h. 275. 32 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006). 33 Syahrizal, Hukum Adat, h. 276.

Page 98: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

89

SAUDARA PEREMPUAN SEAYAH

Bila jumlah saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat 2/3. (KHI, 182) Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan. (KHI, 182)

20 HAK WARIS BAGI CUCU YANG ORANG TUANYA MENINGGAL LEBIH DULU DARIPADA PEWARIS

Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya. (KHI, 185:1) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. (KHI, 185:2)

Melalui putusan kasasi, Mahkamah Agung telah memperlebar ketentuan ini sehingga juga memperkenankan anak-anak mengganti kedudukan orang tuanya yang meninggal dunia untuk mewarisi harta paman atau bibi (saudara orang tua mereka). Meski begitu, menurut Ketua Mahkamah Syar’iyah NAD, ketentuan semacam itu tidak akan dipraktekkan di Aceh.

Ahli waris yang lebih dahulu meninggal dunia daripada pewaris tidak dapat digantikan oleh anaknya. Dalam hukum adat Aceh, hal ini dikenal sebagai Patah Titi.34

Patah titi sesungguhnya bukanlah berasal dari adat Aceh, tetapi dari pengaruh mazhab Syafi’i yang dianut luas oleh masyarakat Aceh. Setelah beberapa lama, pengaruh ini kemudian menjelma menjadi norma local yang diakui oleh hukum adat.35

21 HAK WARIS ANAK ANGKAT

Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta

Seorang anak angkat tidak mendapatkan bagian dari harta warisan jika tidak ada wasiat yang menentukan bagiannya.37

Dalam masyarakat Aceh, jika pewaris tidak membuat wasiat kewarisan untuk anak

Menurut ketentuan hukum Islam, anak angkat tidak menerima warisan dari orang

34 Armia Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti Ditinjau dari Aspek Hukum dan Penerapannya dalam Praktek Peradilan”, makalah disajikan dalam Lokakarya Hukum Kewarisan Islam yang diselenggarakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh, 18-20 Oktober 2005. h. 7. 35 Ibid.; T. Djuned (Workshop IDLO, 30 May 2006).

Page 99: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

90

warisan orang tua angkatnya. (KHI, 209:2)36

Ia mendapatkan bagian hanya bila para ahli waris lainnya berbaik hati untuk memberikan bagian. anak angkat tidak dianggap sebagai ahli waris, sehingga ahli waris tidak dapat dipaksa untuk memberikan bagian kepadanya.

angkat, para ahli waris biasanya memberi bagian untuk anak angkat, karena jasa-jasa anak angkat tersebut kepada pewaris.38

tua angkatnya.39

22 HAK WARIS BAGI ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya (KHI, 186)

Apabila terdapat anak yang lahir di luar perkawinan, maka ia hanya mempunyai hubungan kewarisan dengan ibunya.40

Dalam masyarakat Aceh, jika seorang perempuan hamil sebelum menikah, semua usaha akan dilakukan agar anak yang dikandungnya itu memiliki ayah pada saat kelahirannya.41

23 PROSEDUR MELAKUKAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN

Para ahli waris baik kolektif ataupun individual dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. (KHI, 188) Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama

Ahli waris yang telah mandiri atau telah menikah dapat meminta untuk melakukan pembagian warisan. Apabila belum ada anak yang telah mandiri, maka pihak keluarga, terutama keluarga pihak ayah (wali) akan segera meminta pembagian warisan dan wali itu akan menjadi pengawas atau pengelola terhadap bagian warisan yang menjadi hak anak yang belum dewasa atau belum mampu tersebut.42

Praktik pembagian harta warisan dalam masyarakat Aceh umumnya dilakukan setelah hari ke-44 atau 100 sejak meninggalnya si pewaris. Pembagian itu biasanya dilakukan oleh Imuem Meunasah Gampong dengan disaksikan oleh Geuchik dan pemuka adat

36 Wasiat wajibah diperkenalkan dalam Kompilasi Hukum Islam untuk merefleksikan nilai-nilai asli Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, yang memperkenankan anak angkat untuk mewarisi dari orang tua angkat mereka. Konsep wasiat wajibah ini berasal dari hukum Mesir dan menjadi suatu mekanisme untuk memberikan hak waris bagi anak angkat yang tidak memiliki hubungan nasab ataupun pernikahan dengan pewaris. Perumus KHI memandang wasiat dalam kasus ini bersifat wajib karena orang tua angkat tidak mewasiatkan harta kepada anak angkatnya. Lihat Syahrizal, Hukum Adat, h. 282-283; Roihan Rasyid, “Pengganti Ahli Waris dan Wasiat Wajibah, Mimbar Hukum, no. 23 (1995), h. 54-67. 37 Syahrizal, Hukum Adat, h. 287-288. 38 Syahrizal, Hukum Adat, h. 287. 39 ASaf A.A. Fyzee, Outlines of Muhammadan Law, (Delhi: Oxford University Press, 1974), h. 189. 40 Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006). 41 Hoesin, Adat Atjeh, h. 184-186. 42 Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006).

Page 100: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

91

untuk dilakukan pembagian harta warisan. (KHI, 188)

Harta warisan yang diterima oleh anak laki-laki dan anak perempuan tidak diperhitungkan jumlah nilainya (harga), melainkan secara innatura. Rumah dan pekarangan untuk anak perempuan, sedangkan anak laki-laki diberikan sawah dan ladang, ternak, toko di pasar atau sumber penghasilan lainnya. Apabila hal ini ditaksir dengan nilai rupiah, maka kemungkinan akan lebih menguntungkan anak perempuan karena mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi.43

dalam suatu acara kenduri sekaligus doa untuk memperoleh keselamatan, sehingga para ahli waris yang memperoleh harta warisan akan hidup tenteram dan damai.44

24 MENGUBAH HAK BAGIAN ATAS HARTA WARISAN

Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. (KHI, 183)

Dalam praktek, para ahli waris dapat membuat kesepakatan sendiri di antara mereka tentang besarnya hak bagian yang diterima masing-masing. Pada umumnya pembagian warisan antara ahli waris dilakukan secara musyawarah antara para ahli waris yang disaksikan oleh geuchik, imum meunasah, tuha peut serta pemuka masyarakat setempat lainnya. Melalui musyawarah ini, segenap ahli waris dapat menyetujui perubahan hak bagian mereka masing-masing atas harta warisan.45

25 PEWARIS YANG TAK MEMILIKI AHLI WARIS SAMA SEKALI

Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaan kepada Baitul Mal46 untuk kepentingan agama

Jika pewaris tidak meninggalkan ahli waris, maka harta warisannya diberikan kepada Baitul Mal Gampong. Apabila harta warisan itu berbentuk tanah (disebut juga tanoh meusara), Baitul Mal akan menyerahkan pengelolaannya kepada seseorang yang

Berdasarkan fatwa MPU 3/2005, tanah dan harta benda yang ditinggalkan korban gempa dan gelombang Tsunami yang tidak meninggalkan ahli waris adalah

43 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006). 44 Hoesin, Adat Atjeh, h. 99, 163. 45 Badruzzaman Ismail, (Wawancara, 8 Mei 2006); Syahrizal, Hukum Adat, h. 227-228. 46 Dengan memperhatikan ketentuan di dalam KHI ini, Baitul Mal yang dimaksudkan itu adalah Baitul Mal gampong.

Page 101: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

92

Islam dan kesejahteraan umum. (KHI, 191)

tinggal dalam gampong tersebut.47 Hasil yang diperoleh seseorang dari pengelolaan tanoh meusara itu biasanya dibagi-bagikan juga kepada masyarakat setempat tiap-tiap tahun dalam bentuk santapan bubur kanji (sajian buka puasa di bulan ramadhan) yang dberikan kepada orang-orang yang berbuka puasa di meunasah di bulan Ramadhan.48

Masyarakat Aceh Besar memberi nama tanah ini dengan nama tanoh ie-bu (tanah bubur kanji). .

menjadi milik umat Islam melalui Baitul Mal (Lihat juga Fatwa MPU 2/2005 butir keenam). Dalam hal ini, Baitul Mal yang bersangkutan mesti mengajukan permohonan kepada Mahkamah Syar’iyah untuk penetapan penyerahan tanah dan harta benda yang tidak ada lagi ahli warisnya itu kepada Baitul Mal. 49

26 PEWARIS YANG POLIGAMI

Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. (KHI, 94:1) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut [dalam KHI, 94) ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat. (KHI, 94:2) Pewaris yang beristri lebih dari seorang, maka setiap istri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan pewaris. Adapun keseluruhan bagian pewaris (dari harta bersama) adalah menjadi hak para ahli waris. (KHI, 190)

Hukum adat Aceh mengenal adanya poligami. Apabila seorang pewaris mempunyai isteri lebih dari seorang, perlu dipisahkan lebih dulu antara harta bawaan tiap-tiap isteri dan harta bersama dengan para isteri tersebut. Harta bersama harus diperhitungkan secara terpisah untuk setiap perkawinan dan dibagikan berdasarkan jumlah dan waktu diperolehnya harta bersama tersebut.

47 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Lihat juga Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dalam Syamsidah dan Sugiarto Dakung (editor), (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1984/1985), h. 66; Cf. Hoesin, Adat Atjeh, h. 104. 48 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Lihat Pola Penguasaan, h. 66. 49 Menurut Keputusan Gubernur 18/2003 pasal 10, Teungku Imam atau Imam Meunasah adalah kepala Baitul Mal Gampong. Dalam praktek belum semua gampong memiliki lembaga baitul mal, sehingga seringkali tanah-tanah yang belum diidentifikasi ahli warisnya dipelihara oleh perangkat gampong yang berfungsi sebagai Baitul Mal.

Page 102: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

93

27 WASIAT ATAS HARTA WARISAN

Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui (KHI, 195:2) Apabila wasiat melebihi 1/3 dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas 1/3 harta warisan (KHI, 201). Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris (KHI, 195:3) Pernyataan persetujuan ahli waris dibuat secara lisan atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau dihadapan notaris (KHI, 195:4)

Pewaris dapat mewasiatkan hingga sepertiga dari harta peninggalannya sepanjang seluruh ahli waris menyetujuinya.50

Dalam praktek, apabila seorang pewaris telah mewasiatkan untuk memberikan sejumlah harta kepada seseorang (baik terhadap ahli waris sendiri ataupun untuk kepentingan umum lainnya), berapapun nilai dan besarnya, maka para ahli waris patuh untuk mengikutinya dan merasa takut melakukan penyimpangan.51 Dalam masyarakat Aceh, mengindahkan wasiat pewaris merupakan sebuah keharusan secara budaya.52

28 KRITERIA PEMBERI HIBAH DAN MAKSIMUM JUMLAH HIBAH

Orang yang telah berumur sekurang2nya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki. (KHI, 210:1)

29 GUGATAN PERKARA KEWARISAN TANAH PASCA TSUNAMI

Berdasarkan pasal 49 UU no. 7/1989 tentang Peradilan Agama dan Qanun no. 10/2002, penyelesaian masalah kewarisan merupakan kewenangan Mahkamah Syar’iyah. Semua tuntuan hukum, baik yang

Gugatan hak milik dan kewarisan atas tanah (korban gempa dan gelombang Tsunami) dapat diajukan ke Mahkamah Syar’iyah dengan penyertaan alat

50 Hoesin, Adat Atjeh, h. 162; Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006). 51 Hoesin, Adat Atjeh, h. 162; Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006). 52 Hoesin, Adat Atjeh, h. 162-163.

Page 103: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

94

bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk. (KUHPerdata, Buku Keempat, 1967)53 Lewat waktu tidak dapat mulai berlaku atau berlangsung terhadap anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang ada di bawah pengampuan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang. (KUHPerdata, Buku Keempat, 1987) Lewat waktu berlaku terhadap suatu warisan yang tak terurus, meskipun tidak ada pengampu warisan itu. (KUHPerdata, Buku Keempat, 1991) Lewat waktu itu berlaku selama ahli waris masih mengadakan perundingan mengenai warisannya. (KUHPerdata, Buku Keempat, 1992)

bukti yang sah. (Fatwa MPU 3/2005, 1:3) Mahkamah Syar’iyah perlu memberi kesempatan kepada geuchik dan mukim (beserta tuha peutnya masing-masing) untuk menyelesaikan sengketa melalui perdamaian sebelum diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah (Fatwa MPU 2/2005, 9) Gugatan hak milik dan gugatan kewarisan atas tanah korban Tsunami hanya diterima dalam waktu 5 tahun sejak musibah Tsunami terjadi dan setelah itu dinyatakan lewat waktu (kadaluarsa); sedang bagi anak yang belum dewasa ketika musibah Tsunami terjadi hak mengajukan gugatan ini diperpanjang sampai dia berumur 19 tahun (Fatwa MPU 2/2005,8)

53 Putusan Banding Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD (37/Pdt.G/2004/MS Prov.) menolak gugatan perkara kewarisan karena sudah lewat waktu dari 33 tahun. Putusan ini berdasarkan kitab Al-Nasyiah, Juz 7:485.

Page 104: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

95

PERWALIAN

NO TOPIK HUKUM FORMAL CATATAN PRINSIP DAN NORMA ADAT CATATAN PRINSIP/PENDAPAT HUKUM ISLAM

1 USIA ANAK DI BAWAH PERWALIAN

Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. (UU 1/1974, 50:1) Wali hanya bagi anak di bawah usia 21 tahun dan atau belum menikah (KHI, 107:1)

Dengan mempertimbangkan inkonsistensi aturan antara UU 1/1974 dan KHI, penting dicatat bahwa kedudukan UU lebih tinggi daripada KHI, yang hanya merupakan Instruksi Presiden, dan karenanya UU dianggap sebagai peraturan yang lebih otoritatif.

Hukum adat tidak menggunakan batas umur anak untuk perwalian, melainkan ditentukan oleh kenyataan bahwa anak yatim itu sudah menikah atau memperlihatkan kematangan fisik dan biologis, kedewasaan mental dan mampu mandiri dalam masyarakat.1

2 CAKUPAN PERWALIAN

Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. (UU 1/1974, 50:2) Perwalian meliputi diri dan harta (KHI, 107:2)

Dalam adat, perwalian juga meliputi perlindungan diri anak dan hartanya.2

3 PENUNJUKKAN/PENETAPAN WALI

Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. (UU 1/1974, 51:1) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut. (Penjelasan UU 7/1989, 49:2).

Dinas Syariat Islam merekomendasikan bahwa pengajuan aplikasi perwalian kepada Mahkamah Syar’iyah mesti melampirkan daftar inventarisasi harta warisan milik anak yatim.4 Pasal 51 (4) UU 1/1974 mengatur hal yang sama mengenai hal ini.

Menurut adat, penetapan/penunjukan wali dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan keluarga dengan sepengetahuan orang-orang tua atau tuha peut gampong.5

Dinas Syariat Islam merekomendasikan bahwa pengajuan aplikasi perwalian kepada Mahkamah Syar’iyah mesti melampirkan daftar inventarisasi harta warisan milik anak yatim.6

Anak yatim yang tidak ada lagi wali nasab, atau washi dapat ditetapkan pengasuhannya oleh Mahkamah Syar’iyah dengan biaya dari Baitul Mal kalau anak tersebut tidak memiliki biaya hidup dan Mahkamah Syar’iyah

1 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006). 2 Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006). 3 Balai Harta Peninggalan adalah lembaga resmi yang ditunjuk oleh pengadilan untuk memelihara harta, jika penerima yang berhak atas harta tersebut tidak diketahui kemana rimbanya atau masih di bawah umur. 4 Lihat Al-Indzar, publikasi khusus diterbitkan oleh Dinas Syariat Islam, no. 4 (15 September 2005), h. 7. 5 Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006). 6 Lihat Al-Indzar, publikasi khusus diterbitkan oleh Dinas Syariat Islam, no. 4 (15 September 2005), h. 7.

Page 105: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

96

[Atas permohonan yang berkepentingan, Pengadilan Agama dapat] menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya. (Penjelasan UU 7/1989, 49:2). Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan. (UU 23/2002, 33:1) Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam [UU 23/2002, 33] ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan. (UU 23/2002, 33:2)

Dalam hal anak belum mendapat penetapan pengadilan mengenai wali, maka harta kekayaan anak tersebut dapat diurus oleh Balai Harta Peninggalan3 atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu. (UU 23/2002, 35:1)

Pengurusan harta sebagaimana dimaksud dalam [UU 23/2002, 35] ayat (1) dan ayat (2) harus mendapat penetapan. (UU 23/2002, 35:3)

Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, Pengadilan berhak melakukan penunjukan orang lain sebagai wali (Penjelasan pasal 49:2

berkewajiban mengawasi pelaksanaannya.7

7 Fatwa MPU 3/2005, 2:3.

Page 106: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

97

UU 7/1989). 4 PERSYARATAN

WALI Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. (UU 1/1974, 51:2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut, dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik atau badan hukum (KHI, 107:4)

Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam [UU 23/2002, 33] ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak. (UU 23/2002, 33:3)

Wali yang ditunjuk sedapat mungkin adalah laki-laki dari pihak keluarga ayah. Jika wali dari pihak keluarga ayah tidak ada, maka barulah ditunjuk laki-laki dari karoeng (keluarga ibu) sebagai wali. Jika ini pun tidak ada, maka perempuan baik dari pihak keluarga ayah atau ibu yang akan ditunjuk, walaupun sebutan wali tidak dikenakan kepadanya.8

Perlu di catat bahwa pemeliharaan anak yatim sehari-hari biasanya diserahkan kepada perempuan dari pihak karoeng (keluarga ibu).9

5 WALI PEREMPUAN

Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada ketentuan yang melarang perempuan untuk ditunjuk menjadi wali.

Ahli hukum Subekti berpendapat bahwa bila salah seorang dari sepasang orang tua meninggal dunia, maka pasangan yang hidup otomatis bertindak sebagai wali bagi anak-anak yang masih di bawah umur 18.10 Dalam praktek pengadilan (Mahkamah Syar’iyah), perempuan telah ditetapkan sebagai wali terhadap anak

Hukum adat menekankan sedapat mungkin wali yang ditunjuk adalah laki-laki. Meski begitu, dalam keadaan tertentu (misalnya dalam keadaan tidak ada laki-laki yang layak ditunjuk sebagai wali), seorang perempuan dimungkinkan juga berfungsi sebagai wali yang menangani pemeliharaan sehari-hari anak yatim beserta harta warisannya. Akan tetapi, perempuan tersebut tidak akan dipanggil atau disebut sebagai ‘wali’.11

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) mendukung wali perempuan, khususnya seorang ibu sebagai wali bagi anak-anaknya yang telah menjadi yatim. Akan tetapi, berkaitan dengan harta warisan anak-anak yatim itu, tanggungjawab pengelolaannya berada di pihak ayah, kakek, atau bila tidak ada, seorang wali atau Mahkamah Syar’iyah.12

8 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006). 9 Lihat Badruzzaman Ismail, “Wali Perempuan dari Aspek Hukum Adat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah disajikan dalam Lokakarya Perwalian Anak yang diselenggarakan bersama oleh Mahkamah Syar’iyah Provinsi, Yayasan Putroe Kande dan UNIFEM, Banda Aceh, 9-11 September 2005, h. 4. 10 Lihat “Inheritance, Guardianship and Women’s Legal Rights in Post-Tsunami Aceh: The Interaction of Syariah, Adat and Secular Laws”, IDLO Research Paper prepared by Tim Lindsey with Robyn Philips, Cate Sumner and Cathy McWilliam, (forthcoming 2006), h. 59. 11 T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006). 12 Lihat “Inheritance, Guardianship”, h. 60; Tgk. H.M. Daud Zamzamy, “Kedudukan Wali Perempuan: Kajian Fiqh Klasik”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Perwalian Anak yang diselenggarakan bersama oleh Mahkamah Syar’iyah Provinsi, Yayasan Putroe Kande dan UNIFEM, Banda Aceh, 9-11 September 2005, h. 5.

Page 107: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

98

yang masih di bawah umur. Dalam beberapa kasus di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Jantho, ada ditetapkan bahwa nenek dari pihak ibu bertindak sebagai wali.

6 WASIAT UNTUK PERWALIAN

Orang tua dapat mewasiatkan seorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anaknya (KHI, 108) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi (UU 1/1974, 51:1).

Mahkamah Syar’iyah menyatakan bahwa dalam hal tidak ada wasiat perwalian, seseorang dapat menjadi wali yang sah setelah mendapatkan penetapan/pengukuhan dari Mahkamah Syar’iyah.13

Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum sebagai wali untuk anak-anak yang ditinggalkannya.14

7 KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB WALI

Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu. (UU 1/1974, 51:3) Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. (UU 1/1974, 51:5) Berkewajiban mengurus diri dan harta anak yang di bawah perwaliannya dan

Mahkamah Syar’iyah menyatakan bahwa bila seorang wali terpaksa menjual tanah milik anak di bawah perwaliannya, wali terlebih dahulu harus memperoleh izin dari Mahkamah Syar’iyah.15

Menurut adat, seorang wali berkewajiban untuk mengurus anak dan hartanya, termasuk pendidikan, kesehatan, tempat tinggal dan kemaslahatan lainnya serta mengantarnya ke jenjang perkawinan.16

Dalam masyarakat Aceh, wali tidak hanya bertanggung jawab terhadap anak yang berada di bawah perwaliannya, tetapi juga terhadap masyarakat dalam gampong yang bersangkutan untuk melaksanakan kewajibannya dengan baik.17

Fatwa MPU 2/2005 (1) menyatakan bahwa hukum memelihara anak yatim adalah fardhu kifayah atas umat Islam.

13 Lihat Armia Ibrahim, “Perwalian Anak menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, makalah disampaikan dalam Workshop Faraidh III yang diselenggarakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh, 8-10 April 2006. 14 Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006). 15 Armia Ibrahim (Diskusi, 2 Juni 2006). 16 Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006). 17 Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).

Page 108: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

99

berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya. (KHI, 110:1) Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam [UU 23/2002, 33] ayat (2) wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan. (UU 23/2002, 33:4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu (UU 1/1974, 51:4). Pertanggungjawaban wali harus dibuktikan dengan pembukuan setiap tahun sekali. (KHI, 110:4) Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam [UU 23/2002] Pasal 33, dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. (UU 23/2002, 34) Dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali menguntungkan atau tidak dapat dihindarkan. (KHI, 110:2) bertanggung jawab terhadap harta anak dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya. (KHI, 110:3) Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-

Page 109: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

100

undang [Perkawinan] ini, [yaitu “orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya”]. (UU 1/1974, 52)

8 PENGGUNAAN HARTA OLEH WALI MISKIN UNTUK KEPERLUAN PRIBADINYA

Wali dapat mempergunakan harta anak yang berada dibawah perwaliannya untuk keperluannya dan kepentingannya menurut kepatutan (ma’ruf), jika wali itu fakir. (KHI, 112)

Hukum adat membolehkan wali yang miskin untuk menggunakan harta warisan milik anak di bawah perwaliannya untuk keperluan dirinya secukupnya. Apabila wali telah menggunakan harta melebihi dari jumlah yang diperlukan, maka pihak keluarga lain akan menegur dan bahkan dapat memohon agar kekuasaan perwaliannya dialihkan kepada orang lain.18

Menurut Q.S. An-Nisa: 6,19 seorang wali miskin hanya diperbolehkan memanfaatkan harta anak yatim untuk sebatas kebutuhan pangan yang sewajarnya. Adapun wali yang kaya tidak diperkenankan mengambil manfaat dari harta anak yatim tersebut.

9 PENGAWASAN WALI

Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam [UU 23/2002, 35] ayat (1) bertindak sebagai wali pengawas untuk mewakili kepentingan anak. (UU 23/2002, 35:2)

Dinas Syariat Islam menafsirkan kata ‘wali pengawas’ sebagai pengawas para wali.20

Menurut hukum adat, seorang wali biasanya diawasi oleh geuchik, imeum meunasah dan tuha peut gampong selaku pengurus baitul mal di gampong tersebut.21

Dalam praktek, kerabat dekat anak yatim, tetangga dan masyarakat yang berdiam di sekitar gampong itu ikut serta mengawasi wali dalam menjalankan kewajibannya.22

10 PENCABUTAN KEKUASAAN DAN PENGGANTIAN WALI

Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini, [yaitu (a) sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak; dan (b) berkelakuan buruk sekali]. (UU 1/1974, 53:1)

Wali yang lalai atau tidak melaksanakan kewajibannya dapat dicabut kekuasaannya oleh Geuchik, dan seorang yang berasal dari pemuka gampong (seperti tuha peut

Dalam praktek, jika seorang wali tidak dapat mengelola atau menyalahgunakan harta warisan milik anak yatim, imam meunasah atau

18 Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006); T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006). 19 Bunyi ayat Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut: “Barang siapa [wali] mampu, maka hendaklah ia menahan diri [untuk memakan harta anak yatim itu] dan barang siapa [wali] miskin maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” 20 Lihat Al-Indzar, publikasi khusus diterbitkan oleh Dinas Syariat Islam, no. 4 (15 September 2005), h. 7. 21 Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, (Ttp. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Atjeh, 1970), h. 103-104. 22 Ibid. h. 103.

Page 110: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

101

Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal 53, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali. (UU 1/1974, 53:2) Atas permohonan kerabat, hak perwalian dapat dicabut bila wali adalah pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya (KHI, 109) Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali, maka status perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan. (UU 23/2002, 36:1) Wali yang lalai dapat diganti oleh Pengadilan Agama dengan salah seorang kerabat atas permohonan kerabat tersebut (KHI, 107:3)

Dalam hal wali meninggal dunia, ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan. (UU 23/2002, 36:2)

Penunjukan orang lain sebagai wali [dilakukan] oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut. (Penjelasan UU 7/1989, 49:2).

atau teungku meunasah) dapat ditunjuk sebagai wali pengganti. Atau, mungkin saja geuchik itu sendiri yang bertindak sebagai wali pengganti.23

kerabat dekat dari anak yatim itu dapat mengajukan permohonan penggantian wali kepada Mahkamah Syar’iyah. Namun penting dicatat bahwa pencabutan kekuasaan dan penggantian wali jarang terjadi.24

11 PENYERAHAN HARTA

Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta anak yang dibawah perwaliannya bila telah

Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta bila anak telah mampu

23 Ibid., h. 103. 24 Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006); T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).

Page 111: Tanah Kewarisan n Perwalian Di Aceh Pasca Tsunami

102

KEPADA ANAK DI BAWAH PERWALIAN

mencapai usia 21 tahun atau telah menikah. (KHI, 111:1)

mengurus dirinya sendiri, mempunyai penghasilan sendiri atau telah menikah.25

12 PERSELISIHAN ANTARA WALI DAN ANAK

Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan anak yang berada di wilayahnya tentang harta yang diserahkan. (KHI, 111:2)

Berdasarkan pasal 49 UU no. 7/1989 tentang Peradilan Agama dan Qanun no. 10/2002 tentang Peradilan Syariat Islam, penyelesaian sengketa perwalian dan kewarisan berada dalam kewenangan Mahkamah Syar’iyah.

Perselisihan mengenai harta waris yang diserahterimakan dari wali kepada anak yang berada dalam perwaliannya biasanya diselesaikan melalui rapat adat gampong yang dihadiri oleh geuchik dan pemuka gampong setempat.26

13 GUGATAN GANTI RUGI TERHADAP WALI

Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut. (UU 1/1974, 54) [Wali] bertanggung jawab terhadap harta anak dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya (KHI, 110:3)

25 Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006). 26 Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).