tambak

16
1 .Tambak Tambak adalah kolam buatan, biasanya di daerah pantai, yang diisi air dan dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perairan (akuakultur).Hewan yang dibudidayakan adalah hewan air, terutama ikan, udang, serta kerang. Penyebutan “tambak” ini biasanya dihubungkan dengaair payau atau air laut. Kolam yang berisiair tawar biasanya disebut kolam saja atau empang. Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai tempat untuk kegiatan budidaya air payau yang berlokasi di daerah pesisir. Secara umum tambak biasanya dikaitkan langsung dengan pemeliharaan udang windu,walaupun sebenamya masih banyak spesies yang dapat dibudidayakan di tambak,misalnya ikan bandeng, ikan nila, ikan kerapu, kakap putih dan sebagainya. 2. Bentuk fungsi tambak budidaya a. Luas petakan berkisar 1 ha dan berbentuk persegi panjang; b. Setiap pematang tambak terdapat gundukan tanah yang memanjang dan membentuk sekat-sekat berfungsi mencegah mengumpulnya rumput laut pada salah satu bagian tambak; c. Dasar tambak tanah berlumpur dan sedikit berpasir; d. Pintu air dua buah untuk setiap petak, yang berfungsi sebagai pintu pemasukan dan pintu pembuangan; e. Kedalaman air antara 50 – 100 cm; f. Kontur tanah melandai 5 – 10 cm;

Upload: johans-vanderissh

Post on 19-Jan-2016

51 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: tambak

1 .Tambak

 

Tambak  adalah kolam buatan, biasanya di daerah pantai, yang diisi air dan dimanfaatkan sebagai sarana budidaya perairan (akuakultur).Hewan yang dibudidayakan adalah hewan air, terutama ikan, udang, serta kerang. Penyebutan “tambak” ini biasanya dihubungkan dengaair payau atau air laut. Kolam yang berisiair tawar biasanya disebut kolam saja atau empang.

Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai tempat untuk kegiatan budidaya air payau yang berlokasi di daerah pesisir. Secara umum tambak biasanya dikaitkan langsung dengan pemeliharaan udang windu,walaupun sebenamya masih banyak spesies yang dapat dibudidayakan di tambak,misalnya ikan bandeng, ikan nila, ikan kerapu, kakap putih dan sebagainya.

2.  Bentuk fungsi tambak budidaya

a. Luas petakan berkisar 1 ha dan berbentuk persegi panjang;

b. Setiap pematang tambak terdapat gundukan tanah yang memanjang dan membentuk sekat-sekat berfungsi mencegah mengumpulnya rumput laut pada salah satu bagian tambak;

c. Dasar tambak tanah berlumpur dan sedikit berpasir;

d. Pintu air dua buah untuk setiap petak, yang berfungsi sebagai pintu pemasukan dan pintu pembuangan;

e. Kedalaman air antara 50 – 100 cm;

f. Kontur tanah melandai 5 – 10 cm;

 

 

Page 2: tambak

 

2. Pematang

Pematang utama/tanggul utama merupakan bangunan keliling tambak yang gunanya untuk menahan air serta melindungi unit tambak dari bahaya banjir, erosi dan air pasang. Oleh karena itu dalam konstruksinya pematang/tanggul harus dibangun benar-benar kuat, bebas dari bocoran dan aman dari kemungkinan longsor.

 

3. Pintu air

Dalam petakan tambak pintu air merupakan pengendali dan oengatur air dalam operasional budidaya. Oleh karena itu dalam budidaya di tambak jumlah pintu air tergantung tingkat teknologi yang diterapkan. Di petakan tambak biasanya pintu air terdiri atas dua macam yaitu pintu air pemasukan dan pembuangan.

 

4. Saluran air

Di dalam petakan tambak terdapat saluran air yang berfungsi untuk memasukan air setiap saat secara mudah, baik untuk mengalirkan air dari laut ataupun air tawar dari sungai/irigasi.

 

3. Konstruksi tambak

Page 3: tambak

Kontruksi tambak dibangun dengan bentuk bujur sangkar dengan ukuran panjang dan lebar masing-masing 50 meter, sehingga luas satu petak tambak sebesar 2.500 m2. Untuk konstruksi tanggul tambak, digunakan harflek yaitu lembaran dinding terbuat dari bahan asbestos berkadar asbes rendah yang biasanya digunakan untuk dinding bangunan atau pagar. Harflek tersebut dipasang memanjang pada dinding tambak bagian dalam dan pada setiap sambungan diperkuat dengan pasangan batako semen. Sebelum harflek dipasang, maka dasar dan dinding tambak dilapisi dengan plastik (ketebalan 0,6 mm). Pematang tambak dibuat miring dengan perbandingan 1 : 1 sampai 1 : 1,5. Sebelum bioseal dipasang, pematang pasir dipadatkan terlebih dahulu agar stabil. Untuk memudahkan dan memperkuat konstruksi dinding, maka pada pada dasar dinding terlebih dahulu diberi konstruksi “sepatu dinding” selebar 1 meter terbuat dari plesteran.

Agar tambak mudah dikeringkan dan sisa pakan selama pemeliharaan dapat dibersihkan, maka dasar tambak dibuat miring ke tengah dengan tingkat kemiringan 1-2%. Selanjutnya di tengah dasar tambak dilengkapi dengan konstruksi pengeluaran air (central drainage). Central drainage terdiri dari bangunan tower, saringan air dan pipa pembuangan bawah tanah terbuat dari pipa PVC 12″. Secara rinci, konstruksi tambak tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Selain konstruksi petakan tambak, perlu pula diperhatikan konstruksi saluran pemasukan air (inlet) dan konstruksi pembuangan air (outlet). Saluran pemasukan air dibuat di atas pematang tambak yang menghubungkan sumber air sungai (yang dipompakan ke saluran) dengan petakan tambak. Konstruksi saluran air tersebut terbuat dari pasangan bata merah selebar 0,5 m dan tinggi 0,5 m, yang bagian dasarnya diperkuat dengan fondasi batu kali.

Saluran pembuangan dibuat di bawah tanah dan lebih rendah dari dasar tambak, terbuat dari buis beton yang menampung air pembuangan yang berasal dari central drainage.

Gambar 4. Konstruksi dinding tambak dengan menggunakan “BIOSEAL”

Oleh

Page 4: tambak

Adipandang Yudono 1*), A.Wahid Hasyim 1*), Sapto Andriyono 2*)

[email protected];  [email protected]; [email protected]

1)    Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota-Universitas Brawijaya

2)    Departemen Ilmu Kelautan-Universitas Airlangga

Abstrak

Pengembangan kota yang terjadi secara pesat secara tidak langsung mengakibatkan ekspansi ke wilayah secara makro. Hal ini jika tidak segera diantisipasi dapat menyebabkan alih fungsi lahan kosong atau ruang terbuka hijau menjadi bangunan. Dipihak lain mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan sekitar pinggiran perkotaan. Masyarakat yang berasal dari kelompok tani akan terpinggirkan akibat tuntutan pekerjaan yang tidak memenuhi kualifikasi masyarakat urban. Upaya mempertahankan kehidupan pedesaan, khususnya masyarakat pesisir, maka salah satu upaya penanggulangannya berupa pengembangan silvofishery. Silvofishery berupa konsep pertambakan yang dipadukan dengan konservasi berupa mangrove. Pada penelitian ini, akan menganalisis kesesuaian lahan pengembangan silvofishery menggunakan panduan variabel dan perhitungan kesesuaian lahan pada PERMEN LH No.17 Tahun 2010 dengan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh di pesisir pantai timur Jawa dengan fokus orientasi wilayah adalah Kabupaten Sidoarjo.  

Kata kunci: Silvofishery, PERMEN LH no.17 Tahun 2010, SIG,  Penginderaan Jauh

1. Latar Belakang Permasalahan

Dalam realita kehidupan metropolitan, tuntutan wilayah yang termasuk didalamnya mengharuskan adanya alih fungsi guna lahan hingga alih fungsi pekerjaan dalam kehidupan pertaninan (termasuk didalamnya berupa sektor kelautan dan perikanan) menjadi  non-pertanian.  Hal ini jika tidak dikontrol akan berakibat konflik sosial yang besar dimana masyarakat asli yang berdiam sejak lama yang tidak dapat mengikuti kemajuan zaman akan terpinggirkan. Mengantisipasi ketimpangan sosial yang terjadi, maka penelitian ini mencoba mengajukan suatu usulan dengan melakukan perencanaan wilayah perkotaan dalam pengembangan kawasan tambak pada pantai timur jawa yang masuk kawasan GERBANG KERTASUSILA metropolitan dengan fokus wilayah adalah Kabupaten Sidoarjo dimana dipadukan dengan mangrove sebagai wilayah konservasi dalam satu kesatuan konsep berupa silvofishery. Analisis pengembangan wilayah pada penelitian ini mengusung Analisis Kesesuaian lahan dengan sebelumnya melihat kelas kemampuan lahannya menggunakan Sistem Informasi Geografis, dimana variabel yang ada mengacu pada PERMEN LH no.17 Tahun 2009 serta dipadukan dengan identifikasi wilayah silvofishery menggunakan analisis Remote Sensing.

2. Silvofishery

Sejak tahun 1976 Perum Perhutani selaku pengelola kawasan hutan telah mengembangkan program yang mengintegrasikan kegiatan budidaya ikan dan pengelolaan hutan mangrove yang

Page 5: tambak

dikenal dengan istilah tambak tumpang sari, tambak empang parit, hutan tambak atau silvofishery yang semuanya bertujuan menekan laju degradasi hutan mangrove. Silvofishery adalah suatu bentuk usaha terpadu antara hutan mangrove dan perikanan budidaya. Pendekatan terpadu terhadap konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove memberikan kesempatan untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan tetap baik, disamping itu budidaya perairan payau dapat menghasilkan keuntungan ekonomi. Faktor penting lainnya adalah teknologi ini menawarkan alternatif yang praktis untuk tambak tetap berkelanjutan (sustainable).

3. PERMEN LH no.17 Tahun 2009

Peraturan ini memaparkan mengenai daya dukung lingkungan hidup, yaitu kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan cara mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk mendukung kegiatan manusia/penduduk yang menggunakan ruang bagi kelangsungan hidup. Besarnya kapasitas tersebut di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber daya yang ada di hamparan ruang yang bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan menjadi faktor pembatas dalam penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai.

4. Klasifikasi Kelas Kemampuan Tanah

Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang mencakup sifat tanah (fisik dan kimia), topografi, drainase dan kondisi lingkungan hidup lain. Berdasarkan karakteristik lahan tersebut, dapat dilakukan klasifikasi kemampuan lahan ke dalam tingkat kelas, sub kelas dan unit pengelolaan. Kelas Kemampuan Lahan

Intenstitas dan Pilihan Penggunaan Meningkat

Cagar alam/hutan lindung

Hutan produksi terbatas

Pengembalaan terbatas

Pengembalaan sedang

Pengembalaan intensif

Garapan terbatas

Garapan sedang

Garapan intensif

Garapan sangat intensif

Hambatan/ancaman meningkat, kesesuaian dan pilihan penggunaan berkurang

I

II

III

IV

V

VI

VII

VII

Page 6: tambak

Tabel 1. Hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas, spektrum dan hambatan penggunaan tanah.

Pengelompokan kemampuan lahan dilakukan untuk membantu dalam penggunaan dan interpretasi peta tanah. Kemampuan lahan sangat berkaitan dengan tingkat bahaya kerusakan dan hambatan dalam mengelola lahan. Dengan demikian, apabila tingkat bahaya/risiko kerusakan dan hambatan penggunaan meningkat, spektrum penggunaan lahan menurun.

5. Kelas Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan adalah gambaran tingkat kecocokan lahan untuk tujuan tipe penggunaan lahan tertentu dari kumpulan penentuan variabel-variabel pada  kelas kemampuan lahan yang dianalisis sebelumnya.

6. Identifikasi Tambak dan Mangrove berdasarkan analisis Remote Sensing

6.1 Perubahan Lahan

Gambar 2. Nilai Pantulan Spectral (%) terhadap 3 material: Tumbuhan, Lahan kering dan Air.

(Sumber: Brandt Tso, Paul Mather, 2009).

Mendeteksi terjadinya perubahan guna lahan dalam lingkup inderaja, terlebih dahulu mengenal pola hubungan tiap objek atau piksel pada kawasan studi untuk kemudian satu atau lebih dari satu piksel dikelompokan dalam satu label/jenis objek, sebagai informasi radiometri pada gambar tersebut selanjutnya dikonversikan kedalam informasi thematic, misalnya: kawasan terbangun,

Page 7: tambak

jenis tumbuhan, dan air Selain pantulan spectral dan panjang gelombang, pengenalan objek permukaan lahan sangat tergantung pada pemilihan kanal (band), sehingga akan sangat efektif dalam mentafsirkan karakteristik material permukaan lahan. Dengan menggunakan citra seperti Landsat Enhanced Thematic Mapper (ETM)+ dan SPOT (HRV) High Resolution Visible memiliki multispectral dengan dimensi rendah yaitu 7 band ditambah panchromatic pada Landsat dan 3 band pada SPOT, pemanfaatan band dimensi rendah lebih mudah dalam menentukan sampel (training area) dibandingkan dengan multispectral dimensi tinggi pada citra Hyperspectral yang membutuhkan training area sangat banyak dan tentu berpengaruh dalam menentukan parameter statistiknya.

6.2 Metode Klasifikasi

Proses klasifikasi untuk menghasilkan pengkelasan yang akurat berdasarkan data distribusi DN (Digital Number) digunakan klasifikasi Maximum Likelihood berdasarkan perhitungan statistik (rerata variance/covariance), fungsi probabilitas (Bayesian), sehingga dalam sampel (training area/ sites) setiap piksel dapat dipastikan masuk dalam kelas yang mana (Nicholas M. Short, Sr, http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect1/Sect1_19.html). Dengan formula sebagai berikut (Jean-Paul Donnay, 2005):

Dimana, nilai Pr (probability) dari  (bobot terpilih yang terbesar j) pada vektor x.

6.3 Proses Pengolahan Citra

Gambar 3. Proses Pengolahan Citra

Page 9: tambak

6.4 Variabel yang Digunakan

Pada teknik klasifikasi dikelompokkan menjadi 4 variabel guna mengelompokkan nilai-nilai digitalnya (Digital Number), antar lain: laut, mangrove, tambak dan pemukiman.

6.5 Kondisi Tambak dan Mangrove tahun 1989 – 2007

TahunLuas Tutupan Lahan (Ha)

Tambak Mangrove Pemukiman

1989 426294.792 84480.336 13.483

2007 4103.774 24292.080 130223.383

Berubahnya tutupan lahan (land cover) selama hampir 20 tahun berkurang (pada tambak 100 kali lipat ) maupun bertambah (pada pemukiman 10.000 kali lipatnya) terutama untuk kebutuhan permukinan dengan melakukan perataan maupun pengerukan pada tanah (cut and fill). Pengurugan dan pembukaan lahan baru berdampak pula berkurangnya mangrove hingga 60ribu (Ha) di sepanjang bagian pantai Timur khususnya Kabupaten Sidoarjo. Seperti digambarkan pada hasil klasifikasi tahun 1989 (citra Landsat TM) dan 2002 (citra SPOT).

Gambar 4. Klasifikasi Maksimum Likelihood citra Landsat TM 1989

Page 10: tambak

Gambar 5. Klasifikasi Maksimum Likelihood citra SPOT 2007

7. Analisis Kelas Kemampuan Lahan Wilayah Studi

Konteks penelitian disini hanya menekankan kelas lahan silvofishery (tambak dan mangrove) pada Kabupaten Sidoarjo berdasarkan klasifikasi lahan dari kajian Remote Sensing, karena itu, analisis kemampuan lahan menjadi 2 wilayah karakteristik lahan. Dari 7 faktor pembatas yang ditetapkan oleh PERMEN LH no.17 Tahun 2009, ditampilkan 6 faktor pembatas saja yang akan digunakan karena tingkat kepentingan data dalam analisis. Faktor pembatas tersebut antara lain: tekstur tanah (t), kedalaman efektif (k), erosi (e), lereng permukaan (l), Drainase tanah (d) dan jenis batuan (b). Hasil analisis kelas kemampuan lahan silvofishery dengan menggunakan SIG dapat terlihat pada tabel berikut:

o. Faktor Pembatas Data KodeKemampuan Lahan

1 Tekstur tanah (t) Lempung berlumpur(agak halus)

t2 I

2 Kedalaman efektif (k) > 90 cm (dalam) k0 I

3 Keadaan Erosi (e) Tidaj ada e0 I

4 Lereng permukaan (l) 0 – 2% (datar) l0 I

5 Drainase tanah (d) Agak baik d1 I

Page 11: tambak

6 Batuan (b) Tidak ada b0 I

Kelas I

Sub kelas I

Potensi kemampuan lahan Tinggi

Tabel 1. Identifikasi Kelas dan Sub Kelas Lahan silvofihsery di Kabupaten Sidoarjo

8. Analisis Kesesuaian Lahan Kawasan

Silvofishery

Pada kegiatan ini dilakukan kajian overlay data spasial kemampuan lahan dengan arahan guna lahan dari RTRW Kab. Sidoarjo 2009-2029 Diperoleh hasil analisis spasial kesesuaian lahankawasan Silvofishery

dengan SIG dan tabulasi datanya sebagai berikut:

Page 12: tambak

Gambar 6. Penampilan overlay kelas kemampuan lahan Wilayah Studi

LahanSatuan Lahan

Kelas Kemampuan Lahan

Penggunaan Lahan

Faktor Penghambat Luas (Ha)Evaluasi Kesesuaian Lahan

1 1I

Tambak 774,558 Cocok

2 Hutan mangrove 13875,653 Cocok

Tabel 2. Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan silvofihsery di Kabupaten Sidoarjo.

Page 13: tambak

Dalam pengembangan Kabupaten Sidoarjo dapat mempertahankan penggunaan lahan yang sudah ada dan melakukan perubahan namun harus sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

9. Kesimpulan

1. Perubahan luas maupun fungsi silvofihsery menjadi guna lahan lain menjadi relatif mudah dan effisien untuk dikenali apabila didukung dengan pemanfaatan citra satelit karena sebaran dan luasannya.

2. Kualitas citra yang baik dapat memberikan hasil klasifikasi lebih akurat, sehingga diperlukan pemilihan band yang tepat saat menyusun komposit RGB.

3. Penyebab terjadinya perubahan silvofihsery belum dilakukan pengamatan secara khusus terhadap hubungan antara sesama variabel maupun band-band penyusun kompositnya.

4. Analisis kemampuan lahan di wilayah Sidoarjo dengan variabel-variabel  yang mengacu pada PERMEN LH No.17 Tahun 2010 diperoleh wilayah pesisir Kabupaten Sidoarjo didominasi kelas 1, artinya sangat cocok untuk pengembangan wilayah pertanian dimana disini merujuk pada perikanan darat dan konservasi berupa mangrove.

5. Analisis kesesuaian lahan di wilayah Sidoarjo dengan overlay hasil analisis kemampuan lahan terhadap rencana guna lahan berdasarkan RTRW Kab.Sidoarjo tahun 2008 diperoleh hasil pengembangan silvofishery pada wilayah pesisir Sidoarjo sangatlah sesuai.

10. Pustaka

[1]     Arief, Arifin. 2003. Hutan Mangrove: Fungsi Dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

[2]     Bengen, D. G., 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB 58 hal.

[3]     Brandt Tso, Paul Mather, 2009,  Classification Methods For Remotely Sensed Data, Taylor & Francis Group, LLC

[4]     Dahuri, Rokhmin., J. Rais., S.P.Ginting., M.J.Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan kedua, Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta.

[5]     Hikmawati.,DC. 2000. Tambak Berkelanjutan .http://cerd.or.id/news/ buletin/Volume206/Tambakberkelanjutan.htm. Diakses 26. Januari 2006.

[6]     Jean-Paul Donnay, Michael J.Barnsley, Paul A.Longley, (2005), Remote Sensing and Urban Analysis, Taylor & Francis e-Library.

[7]     Nicholas M. Short, Sr, http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect1/Sect1_19.html

Page 14: tambak

[8]    Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah (Badan Lingkungan Hidup, 2009) PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO.  17  TAHUN 2009

(**) telah diseminarkan di Seminar Nasional FTSP ITN Malang, 17/8/2010