cha puskesmas ii tambak dm

157
LAPORAN COMMUNITY HEALTH ANALYSIS KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN MASYARAKAT PUSKESMAS II TAMBAK KABUPATEN BANYUMAS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA KEJADIAN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS II TAMBAK KABUPATEN BANYUMAS Disusun Oleh: Aisyah Nur Aini G4A013086 Faidh Husnan G4A013089 Pembimbing Fakultas : dr. Diah Krisnansari, M.Si Pembimbing Lapangan : dr. Indra Purwa

Upload: bimaputrapratama

Post on 19-Nov-2015

40 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

diabetes

TRANSCRIPT

LAPORAN COMMUNITY HEALTH ANALYSIS

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN MASYARAKAT PUSKESMAS II TAMBAK KABUPATEN BANYUMAS

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA KEJADIAN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS II TAMBAK KABUPATEN BANYUMAS

Disusun Oleh:

Aisyah Nur AiniG4A013086 Faidh HusnanG4A013089

Pembimbing Fakultas : dr. Diah Krisnansari, M.SiPembimbing Lapangan : dr. Indra Purwa

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITASILMU KESEHATAN MASYARAKATFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

DESEMBER 2014

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Community Health AnalysisKepaniteraan Ilmu Kedokteran Masyarakat Puskesmas II Tambak Kabupaten Banyumas

Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian diabetes mellitus tipe 2 di wilayah kerja puskesmas II Tambak Kabupaten Banyumas

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas/Ilmu Kesehatan MasyarakatFakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman

Oleh:

Aisyah Nur AiniG4A013086 Faidh HusnanG4A013089

Telah diperiksa, disetujui dan disahkan:Hari: Tanggal: Desember 2014

Preseptor Lapangan

dr. Indra PurwaNIP 19790602.201001.1.009Preseptor Fakultas

dr. Diah Krisnansari, M.Si NIP 19770202.200501.2.001

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangDiabetes Mellitus pada dasarnya merupakan kelainan kronis pada homeostasis glukosa yang ditandai dengan beberapa hal yaitu peninggian kadar gula darah, kelainan dari kerja insulin, sekresi insulin dari pankreas yang abnormal dan peningkatan produksi glukosa oleh hepar (Kumar et al., 2010). Diabetes melitus dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Bentuk paling umum dari diabetes melitus adalah diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2 dan diabetes melitus gestasional. Diabetes umumnya disebabkan oleh suatu interaksi yang kompleks antara faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama dari end-stage renal disease (ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adultblindness. Dengan peningkatan insiden di dunia, maka DM akan menjadi penyebab utama angka morbiditas dan mortalitas dimasa yang akan datang (Immanuel, 2006).Pada tahun 2012, dikatakan prevalensi angka kejadian diabetes melitus di dunia adalah sebanyak 371 juta jiwa (IDF, 2013), dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes mellitus dan han ya 5% dari jumlah tersebut menderita diabetes mellitus tipe 1 (IDF, 2013). Menurut laporan badan kesehatan dunia atau World Health Organisation (WHO) pada tahun 2000 dianggarkan sebanyak 171 juta jiwa menderita diabetes me litus tipe 2 dan diperkirakan pada 2030 akan terjadi peningkatan sebanyak 195 juta jiwa la gi yang akan mend erita diabetes tipe 2 (WHO, 2013). Studi populasi Diabetes Mellitus tipe 2 di berbagai negara oleh WHO menunjukkan jumlah penderita diabetes melitus pada tahun 2000 di Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dengan 8,426 juta orang dan diperkirakan akan menjadi sekitar 21,257 juta pada tahun 2030. (WHO, 2013).

Negara dengan prevalensi DM tertinggi pada tahun 2011 adalah China (90 juta jiwa), India (61.3 juta jiwa), dan Amerika (23.7 juta jiwa). Indonesia menduduki peringkat kesepuluh dengan prevalensi 7.3 juta jiwa dan diestimasikan pada tahun 2030 akan naik menjadi peringkat kesembilan dengan prevalensi 11.8 juta jiwa (IDF, 2011). Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi DM di Jawa Tengah lebih tinggi dibandingkan prevalensi nasional (1.3%) (DEPKES RI, 2008). Diabetes mellitus tipe 2 menduduki peringkat kedua dari angka penyakit tidak menular (APTM) berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2007-2009 (Utomo, Azam, & Anggraini, 2012). Insidensi DM di Banyumas menduduki urutan pertama dalam APTM di Puskesmas dan Rumah Sakit dengan insidensi tertinggi terjadi di wilayah Puskesmas Purwokerto Barat sebanyak 2.058 kasus (Sumarwati et al., 2008).Angka mortalitas akibat DM dan komplikasinya pada tahun 2011 sebesar 48% yang terjadi pada penderita dengan usia di bawah 60 tahun. Negara dengan angka mortalitas tertinggi adalah India, China, dan Amerika dengan jumlah kematian di atas 100.000 jiwa. Diabetes mellitus juga berpengaruh terhadap aspek sosial dan ekonomi. Diabetes mellitus menghabiskan 465 milyar dollar atau 11% dari total anggaran kesehatan dunia pada tahun 2011 (IDF, 2011). Angka kejadian Diabetes Melitus di wilayah kerja Puskesmas II Tambak di desa Purwodadi pada 3 bulan terakhir mencapai 10 kasus dari 33 kasus Diabetes Melitus yang berobat di puskesmas II Tambak.Berdasarkan temuan data dari Puskesmas II Tambak pada Periode Januari 2011-Desember 2011, Penyakit DM termasuk 10 penyakit terbesar dengan angka kejadian sebanyak 63 kasus. Pada periode Januari 2012-Desember 2012 kasus DM mencapai 177 kasus, pada periode Januari 2013-September 2013 temuan DM mencapai 237 kasus dan data terbaru pada periode Januari 2014-Oktober 2014 terdapat 169 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit DM semakin meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, perlu diperhatikan faktor-faktor risiko DM pada masyarakat di Puskesmas Tambak II. Untuk dapat dilakukan pencegahan dan pengendalian lebih lanjut mengenai faktor-faktor risiko DM tersebut. Sehingga, dapat mengurangi angka kejadian penyakit DM di wilayah puskesmas II Tambak. B. Tujuan1. Tujuan UmumMelakukan analisis kesehatan komunitas (Community Health Analysis) menyangkut faktor risiko DM di salah satu desa wilayah kerja Puskesmas II Tambak Kabupateb Banyumas.2. Tujuan Khususa. Mengetahui faktor risiko diabetes melitus yang ada pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas II Tambak.b. Mencari alternatif pemecahan masalah diabetes mellitus di wilayah kerja Puskesmas II Tambak.c. Melakukan intervensi terhadap penyebab masalah kesehatan untuk mengatasi masalah kesehatan di tempat penelitian.C. Manfaat1. Manfaat Teoritisa. Memberikan pengalaman bagi peneliti di bidang penelitian ilmu kesehatan masyarakat serta menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan masyarakat.b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat.2. Manfaat Praktisa. Memberikan informasi pada warga masyarakat di wilayah Puskesmas II Tambak khususnya tentang masalah kesehatan yang telah dianalisis masalah, faktor risiko dan penanganannya.b. Sebagai ilmu pengetahuan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan bahayanya kepada masyarakat tentang penyakit diabetes melitus.c. Sebagai bahan untuk tindakan preventif terhadap kejadian diabetes melitus pada masyarakat yang beresiko d. Membantu Puskesmas dalam menjalankan salah satu dari enam program pokok yang ada.e. Sebagai salah satu upaya pencegahan terhadap timbulnya komplikasi yang diakibatkan oleh DM.84

BAB IIANALISIS SITUASI

I. GAMBARAN UMUMA. Keadaan GeografiPuskesmas II Tambak merupakan wilayah timur jauh (tenggara) dari Kabupaten Banyumas, dengan luas wilayah 1.432 Ha atau sekitar 1,1% dari luas kabupaten Banyumas. Wilayah Puskesmas Tambak II terdiri dari 5 desa yaitu: Pesantren, Karangpucung, Prembun, Purwodadi dan Buniayu. Desa yang paling luas adalah Purwodadi yaitu 374 ha, sedangkan desa yang wilayahnya paling sempit adalah Karangpucung yaitu sekitar 218 ha. Wilayah Puskesmas II Tambak terletak diperbatasa Kabupaten Banyumas dengan Kabupaten Kebumen, dan berbatasan dengan :1. Disebelah utara: Desa Watuagung 2. Sebelah Timur: Kabupaten Kebumen3. Sebelah Selatan: Desa Gebangsari4. Sebelah Barat: Desa Kamulyan, Desa Karangpetir.Wilayah Puskesmas II Tambak terletak pada ketinggian sekitar 15 mdpl 35 mdpl. Dengan suhu udara rata rata sekitar 27 derajat celcius dengan kelembaban udara sekitar 80 %. Sekitar 50 % dari luas tanah adalah daerah persawahan, 43 % pekarangan dan tegalan dan 7 % lain-lain. B. Keadaan Demografi 1. Pertumbuhan PendudukJumlah penduduk dalam wilayah Puskesmas II Tambak tahun 2013 berdasarkan data yang dari BPS adalah 20.361 jiwa. Terdiri dari 10.010 jiwa (49,16%) laki-laki dan 10.351 jiwa (50,83%) perempuan. Jumlah keluarga 6.096 KK. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2012 (16.232 jiwa) mengalami kenaikan.2. Kepadatan PendudukJumlah penduduk tahun 2013 yang paling banyak adalah Desa Purwodadi sebesar 6.190 jiwa, dengan kepadatan penduduk 1.655 jiwa/km2, sedangkan yang paling sedikit penduduknya adalah Desa Pesantren sebesar 2.577 jiwa dengan kepadatan penduduk 1.141 jiwa/km2. Kepadatan penduduk total wilayah Puskesmas II Tambak adalah1.422 jiwa/km2. Penyebaran penduduknya cukup merata, mulai dari daerah yang dekat jalan raya sampai ke daerah.C. Petugas kesehatanTenaga kesehatan merupakan tenaga kunci dalam mencapai keberhasilan pembangunan bidang kesehatan. Jumlah tenaga kesehatan dalam wilayah Puskesmas II Tambak adalah sebagai berikut :a. Tenaga MedisTenaga Medis atau dokter yang ada di sarana kesehatan dalam wilayah Puskesmas II Tambak ada 2 (dua) orang dokter umum, yaitu dokter umum yang bekerja di Puskesmas II dengan rasio 10/100.000 jumlah penduduk. Menurut standar Indikator Indonesia Sehat (IIS) tahun 2010 ratio tenaga medis per 100.000 penduduk adalah 40 tenaga medis, berarti tenaga medis masih kurang.b. Dokter SpesialisDokter spesialis tidak ada. Standar IIS 2010, 6/100.000 penduduk.c. Dokter GigiDokter gigi tidak ada. Standar IIS 2010, 11/100.000 pendudukd. Tenaga FarmasiTenaga farmasi tidak ada. Standar IIS 2010, 10/100.000 penduduke. Tenaga BidanTenaga D-III Kebidanan jumlahnya 7 orang. Berarti ratio tenaga bidan adalah 34,38/100.000 penduduk. Standar IIS 2010, jumlah tenaga bidan 100/100.000 atau 16 bidan. Dengan demikian jumlah bidan di wilayah Puskesmas II tambak masih kurang 9 bidan.f. Tenaga PerawatTenaga perawat kesehatan yang ada di Puskesmas II Tambak lulusan SPK ada 2 orang dan D-III Keperawatan 3 orang, jumlah seluruhnya ada 5 orang perawat (ratio 31/100.000 jumlah penduduk). Standar IIS tahun 2010, adalah 117,5/100.000 penduduk ( sekitar 19 perawat). Berarti kurang 14 orang perawat.g. Tenaga GiziTenaga Gizi di Puskesmas II Tambak jumlahnya 1 orang, lulusan D-III Gizi, ratio 4,91/100.000 penduduk. Standar IIS 2010, 22/100.000 penduduk (3,5 ahli gizi). Berarti kurang 3 orang ahli gizi.h. Tenaga SanitasiTenaga Sanitasi ada 1 orang dengan pendidikan D-I. Ratio 6/100.000 penduduk. Standar IIS 2010, 40/100.000 penduduk (6,5 tenaga sanitasi). Kurang 5 orang tenaga sanitasi.i. Tenaga Kesehatan MasyarakatTenaga Kesehatan Masyarakat ada 2 orang. Standar IIS tahun 2010, 40/100.000 penduduk (6,5). Masih kurang 4 orang tenaga kesehatan masyarakatTabel 1. Ratio Jumlah Tenaga Kesehatan terhadap Jumlah Penduduk di Puskesmas II Tambak, tahun 2012.No. Jenis Tenaga Jumlah Tenaga Kesehatan Ratio per 100.000 pddkTarget IIS per 100.000 pddk

1.Dokter Umum21040

2. Dokter Spesialis006

3.Dokter Gigi0011

4.Farmasi0010

5.Bidan734,38100

6.Perawat524,56117,5

7.Ahli Gizi14,9122

8.Sanitasi1640

9.Kesehatan Masyarakat22440

D. Sarana Kesehatan1. Sarana Kesehatan Dengan Kemampuan LabkesPuskesmas II Tambak satu-satunya sarana kesehatan yang mempunyai kemampuan Labkes di wilayah Puskesmas II Tambak.2. Rumah Sakit Yang Menyelenggarakan 4 Pelayanan DasarRumah Sakit yang menyelenggarakan 4 pelayanan dasar tidak ada.3. Pelayanan Gawat DaruratPelayanan gawat darurat di wilayah Puskesmas II Tambak hanya ada di Puskesmas.E. Pembiayaan KesehatanPenyelenggaraan pembiayaan di Puskesmas II Tambak terdiri dari operasional umum, Jamkesmas, Jampersal dan dana BOK dengan tujuan agar semua program kesehatan di Puskesmas II Tambak ini berjalan dengan lancer dan mencapai target yang telah ditentukan. Anggaran dana operasional umum di Rencana Kerja Anggaran tahun 2012 adalah Rp.99.313.000,00 (sembilan puluh sembilan juta tiga ratus tiga belas ribu rupiah), dan dapat direalisasikan Rp. 95.523.671,00 (96,2%). Rencana anggaran untuk tahun 2013 sama seperti tahun 2012 yaitu Rp.99.313.000,00. Sedangkan untuk dana Jamkesmas dan Jampersal tahun 2012 direncanakan sebesar Rp. 174.875.050,00 dan dapat direalisasikan sebesar Rp. 78.982.800,00 (45,16%). Kemudian untuk RKA tahun 2013 Jamkesmas Jampersal adalah Rp. 148.576.200,00.Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) tahun 2012 di rencanakan Rp. 58.000,00 (lima puluh delapan juta rupiah) dan 100% dapat direalisasikan. Tahun 2013 dana BOK dianggarkan sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).II. Capaian Program dan Derajat Kesehatan MasyarakatUntuk melihat gambaran dari derajat kesehatan masyarakat di wilayah Puskesmas II Tambak, dapat dilihat dari angka kematian (mortalitas), angka kesakitan (morbiditas) dan status gizi.

A. MortalitasAngka kematian dapat dipergunakan untuk menilai derajat kesehatan masyarakat diwilayah tertentu dalam waktu tertentu. Disamping untuk mengetahui derajat kesehatan, juga dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai tingkat keberhasilan dari program pembangunan kesehatan dan pelayanan kesehatan di suatu wilayah tertentu. Angka kematian berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai sumber dipaparkan sebegai berikut dibawah ini.1. Angka Kematian BayiAngka kelahiran hidup di wilayah Puskesmas II Tambak tahun 2013 adalah 336 (163 laki-laki dan173 perempuan). Sedangkan kasus bayi mati 5 bayi. Berarti angka kematian bayi (AKB) di wilayah Puskesmas II Tambak adalah 14,7 per 1.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan AKB Puskesmas II Tambak tahun lalu yaitu 13,4/1.000 kelahiran maka terjadi kenaikan 1,3/1.000 kelahiran hidup. Dan jika dibandingkan dengan target Millenium Development Goals (MDGS) tahun 2015 sebesar 17/1000 kelahiran hidup maka AKB di Puskesmas II Tambak termasuk baik karena telah melampaui target.

Gambar 1Grafik Angka Kematian Bayi Per 1.000 Kelahiran HidupDi Puskesmas Ii Tambak Tahun 2009 20132. Angka Kematian IbuAngka Kematian Ibu (AKI) adalah kematian yang terjadi pada ibu karena peristiwa kehamilan, persalinan, dan masa nifas. Angka kematian ibu (AKI) tahun 2013 tidak ada kasus, tahun 2012 adalah 3 kasus atau 1.003,3 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan tahun 2011 adalah 662,3 per 100.000 kelahiran hidup. Kemudian tahun 2009 sampai tahun 2010 tidak ada kasus kematian ibu.Angka-angka tersebut diatas masih belum mencapai target AKI Jawa Tengah yaitu, 60 per 100.000 kelahiran hidup. Dilihat dari kenyataan ini dapat dikatakan bahwa program KIA belum berjalan secara optimal.3. Angka Kematian BalitaAngka kematian Balita tahun 2013 nihil. Sedangkan balita mati pada tahun 2011 juga nihil atau 0/1.000 kelahiran hidup. Tahun 2008 dan tahun 2009 angka kematian Balita juga 0/1.000 kelahiran hidup. Ini menunjukan hasil pencapaian yang baik dan perlu untuk dipertahankan.B. Morbiditas1. MalariaPada tahun 2014 dan 2013 tidak ditemukan kasus malaria positif maupun malaria klinis. Demikian juga pada tahun 2011 dan 2012 juga tidak ditemukan kasus malaria. Kasus malaria terakhir pada tahun 2010 ditemukan malaria klinis sebanyak 32 atau 1,61 per 1000 penduduk. Positif malaria 3 kasus (1,6/1000 pddk) atau 9 % dari jumlah malaria klinis. Semua mendapatkan pengobatan. Bila dibandingkan dengan tahun 2009 terjadi peningkatan kasus karena pada tahun 2009 positif malaria hanya 2 kasus (0,1/1000 pddk).Walau angkanya termasuk kecil, dan tidak menunjukan endemis malaria namun demikian perlu diwaspadai karena semua kasus malaria disini adalah eksodan dari luar jawa.

2. TB ParuJumlah penemuan TB Paru BTA positif tahun 2013 adalah sebanyak 9 kasus atau CDR 45/100.000 penduduk. Kasus TB Paru BTA positif diobati 10, sembuh 4 dan pengobatan lengkap 2. Dengan angka kesuksesan (SUCCESS RATE/SR) 60,00%. Tahun 2012 sebanyak 5 kasus atau CDR 25/100.000 penduduk.Tahun 2011 adalah 12 kasus atau CDR 60/100.000 penduduk.Sedangkan tahun 2010 kasus TB Paru BTA positif7 kasus atau 33/100.000 penduduk.3. HIV/AIDSKasus HIV tidak pernah ada yang terdeteksi dalam wilayah kerja atau tidak pernah ada kasus positif HIV.Hal ini tidak bisa menunjukan secara pasti tidak adanya kasus HIV, sebab bisa dimungkinkan ada kasus tetapi tidak karena pemeriksaan laborat untuk penderita HIV sementara baru dilakukan pada klinik VCT atau di PMI pada waktu donor darah. Dan Puskesmas selaku yang mempunyai wilayah belum pernah mendapatkan tembusan hasil pemeriksaan laborat dari klinik VCT maupun PMI karena laporan langsung ke tingkat kabupaten.4. Acute Flaccid Paralysis (AFP)Tidak ditemukan kasus AFP dalam wilayah kerja Puskesmas II Tambak tahun 2013 maupun tahun sebelumnya. Hal ini dapat dijadikan indikator keberhasilan program, baik program immunisasi polio maupun program penemuan penderita AFP. Namun demikian kita harus tetap waspada akan terjadinya AFP karena angka penemuan penderita AFP kabupaten tahun 2011 adalah 6 kasus dan tahun 2010, ditemukan 2 kasus.5. Demam Berdarah Dengue (DBD)Kasus DBD pada tahun 2013 ditemukan 2 kasus. Sedangkan pada tahun 2012 dan tahun 2011 tidak ditemukan. Pada tahun 2010 ada 5 kasus (25,13/100.000 pddk) dan pada tahun 2009 juga ditemukan 5 kasus (25,45/100.000 pddk). Hal ini menunjukan terjadinya peningkatan kasus DBD dari tahun 2009 sampai tahun 2010.Ini perlu diwaspadai terutama masalah penularan penyakit DBD ini terkait erat dengan masalah lingkungan. Program pemberantasan sarang nyamuk tentunya perlu ditingkatan lagi selain dilakukan fogging apabila terjadi kasus DBD di wilayah tertentu.

Gambar 2Grafik Kasus DBD Per 100.000 Penduduk Di Puskesmas II Tambak Tahun 2009-20136. Penyakit Tidak MenularKasus penyakit tidak menular yang terbanyak adalah Hypertensi, kemudian diikuti oleh Diabetes Militus (DM), sedangkan peringkat ketiga dan seterusnya adalah astma bronkhiale dan seterusnya. Jika dianalisa maka kebanyakan penyakit tidak menular disebabkan oleh pola hidup yang kurang sehat. Mulai dari pola makan, pola olahraga dan istirahat yang tidak baik yang bisa memicu timbulnya penyakit tidak menular ini.7. Diabetes MelitusBerdasarkan temuan data dari Puskesmas II Tambak pada Periode Januari 2011-Desember 2011, Penyakit DM termasuk 10 penyakit terbesar dengan angka kejadian sebanyak 63 kasus. Pada periode Januari 2012-Desember 2012 kasus DM mencapai 177 kasus, pada periode Januari 2013-September 2013 temuan DM mencapai 237 kasus dan data terbaru pada periode Januari 2014-Oktober 2014 terdapat 169 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit DM semakin meningkat dari tahun ke tahun.C. Status GiziBerdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi di Posyandu melalui penimbangan rutin tahun 2013, diperoleh hasil sebagai berikut :1. Jumlah balita yang ada : 1.260 anak2. Jumlah balita ditimbang :990 anak (78,6%)3. Jumlah balita yang naik BB-nya : 672anak (67,9%)4. Jumlah BGM :15 anak (1,5%)5. Jumlah Gizi buruk : 1 anak (0,079%).Dari hasil tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa balita yang ditimbang pada tahun 2013 mencapai angka 78,6% terjadi peningkatan jika dibanding dengan tahun 2012 (69,3%). Angka balita yang naik berat badannya mencapai 67,9 % ini berarti terjadi penurunan apabila dibandingkan dengan tahun 2012 (74,2%). Angka BGM (1,5%) dan BGT (0%) cukup baik karena masih jauh dari angka 15% sebagai angka batasan maksimal BGM. Hal ini menunjukan bahwa program gizi sudah cukup berhasil, namun demikian perlu ditingkatkan kinerja posyandu terutama untuk mengaktifkan peran serta untuk meningkatkan angka kehadiran balita di masing-masing posyandu.

BAB IIIIDENTIFIKASI PERMASALAH DAN PRIORITAS MASALAH

A. Daftar Permasalahan KesehatanTabel 2. Daftar 10 Besar Penyakit pada Tahun 2014 (Januari-Oktober)NoNama PenyakitJumlahPrevalensi (per 1.000 penduduk

1ISPA3141154,26

2Myalgia166581,77

3Demam126462,07

4Dispepsia93445,87

5Penyakit kulit87142,77

6Hipertensi67933,34

7Diare40219,74

8Konjungtivitis21810,70

9Asma20710,16

10DM1698,30

Sumber: Data Sekunder Puskesmas II TambakB. Penentuan Prioritas MasalahPenentuan prioritas masalah di wilayah kerja Puskesmas II Tambak dengan menggunakan metode Hanlon Kuantitatif dengan empat kelompok kriteria, yaitu:1. Kelompok kriteria A:besarnya masalah

2. Kelompok kriteria B:kegawatan masalah, penilaian terhadap dampak, urgensi dan biaya

3. Kelompok kriteria C:kemudahan dalam penanggulangan, yaitu penilaian terhadap tingkat kesulitan penanggulangan masalah

4. Kelompok kriteria D:PEARL factor, yaitu penilaian terhadap propriety, economic, acceptability, resources availability, legality

Adapun perincian masing-masing bobot kriteria pada prioritas masalah di Puskesmas II Tambak adalah sebagai berikut:1. Kriteria A (besarnya masalah)Untuk menentukan besarnya masalah kesehatan diukur dari besarnya penduduk yang terkena efek langsung.Tabel 3. Kriteria A Hanlon KuantitatifMasalah kesehatanBesarnya masalah dari data sekunder Puskesmas II TambakNilai

0-50 (per 1.000)(1)51-100 (per 1.000)(2)101-200 (per 1.000)(3)201-400 (per 1.000)(4)

ISPAX3

MyalgiaX2

DemamX2

DispepsiaX1

Penyakit kulitX1

HipertensiX1

DiareX1

KonjungtivitisX1

AsmaX1

DMX1

2. Kriteria B (kegawatan masalah)Kegawatan : (paling cepat mengakibatkan kematiaan)Skor: 1 = Tidak gawat 2 = Kurang gawat 3 = Cukup gawat 4 = Gawat 5 = Sangat gawatUrgensi: (harus segera ditangani, apabila tidak menyebabkan kematian)Skor: 1 = Tidak urgen 2 = Kurang urgen 3 = Cukup urgen 4 = Urgen 5 = Sangat urgenBiaya: (biaya penanggulangan)Skor: 1 = Sangat murah 2 = Murah 3 = Cukup mahal 4 = Mahal 5 = Sangat mahal

Tabel 4. Kriteria B Hanlon KuantitatifMasalahKegawatanUrgensiBiayaNilai

ISPA2327

Myalgia1225

Demam2226

Dispepsia1214

Penyakit kulit1225

Hipertensi2349

Diare2327

Konjungtivitis1124

Asma2338

DM2349

3. Kriteria C (penanggulangan masalah)Untuk menilai kemudahan dalam penanggulangan, pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah sumber-sumber dan teknologi yang tersedia mampu menyelesaikan masalah: makin sulit dalam penanggulangan, skor yang diberikan makin kecil.Skor: 1 = Sangat sulit di tanggulangi 2 = Sulit ditanggulangi 3 = Cukup bisa ditanggulangi 4 = Mudah ditanggulangi 5 = Sangat mudah ditanggulangiPada tahap ini dilakukan pengambilan suara dari 2 orang yang kemudian dirata-rata untuk menentukan skor, dimana skor tertinggi merupakan masalah yang paling mudah ditanggulangi. Adapun hasil konsensus tersebut adalah sebagai berikut :1. ISPA: (3+3)/2 = 32. Myalgia: (3+3)/2 = 33. Demam: (3+3)/2 = 34. Dispepsia: (3+3)/2 = 35. Penyakit kulit: (4+4)/2 = 46. Hipertensi: (4+3)/2 = 3,57. Diare: (3+3)/2 = 38. Konjungtivitis: (4+4)/2 = 49. Asma: (2+2)/2 = 210. DM: (4+3)/2 =3,5

4. Kriteria D (P.E.A.R.L)Propriety: kesesuaian (1/0)Economic: ekonomi murah (1/0)Acceptability: dapat diterima (1/0)Resources availability: tersedianya sumber daya (1/0)Legality: legalitas terjamin (1/0)Tabel 5. Kriteria P.E.A.R.L. Hanlon KuantitatifMasalahPEARLHasil Perkalian

ISPA111111

Myalgia111111

Demam111111

Dispepsia111111

Penyakit kulit111111

Hipertensi111111

Diare111111

Konjungtivitis111111

Asma111111

DM111111

Penetapan nilai Setelah nilai kriteria A, B, C, dan D didapatkan kemudian nilai tersebut dimasukkan ke dalam formula sebagai berikut :a. Nilai prioritas dasar (NPD) = (A+B) x Cb. Nilai prioritas total (NPT) = (A+B) x C x D

Tabel 6. Penetapan Prioritas MasalahMasalahABCDNPDNPTUrutan prioritas

PEARL

ISPA3731111130302

Myalgia2531111121214

Demam2631111124243

Dispepsia1431111115157

Penyakit Kulit1541111124243

Hipertensi193,51111135351

Diare1731111124243

Conjungtivitis1441111120205

Asma1821111118186

DM193,51111135351

Prioritas pertama masalah diperoleh dengan nilai NPT tertinggi. Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode Hanlon kuantitatif urutan prioritas masalahnya adalah sebagai berikut:1. Hipertensi, DM 2. ISPA3. Demam, Penyakit kulit, Diare4. Myalgia5. Conjungtivitis6. Asma7. Dispepsia

BAB IVKERANGKA KONSEP MASALAH

A. Diabetes Melitus1. DefinisiDiabetes mellitus (DM) merupakan sindrom gangguan metabolik yang didasarkan pada kondisi hiperglikemia persisten yang disebabkan karena adanya gangguan sekresi insulin, fungsi insulin, dan atau keduanya. Hiperglikemia dan gangguan metabolik yang terjadi berhubungan dengan kerusakan berbagai organ, terutama ginjal, mata, saraf, dan pembuluh darah (Kumar et al., 2010)Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis metabolik, dimana terjadi resistensi insulin atau defisiensi insulin. Gambaran khas dari Diabetes Mellitus adalah gangguan atau kekurangan respon sekresi insulin, yang diterjemahkan menjadi gangguan penggunaan karbohidrat (glukosa) dengan hasil akhir timbulnya hiperglikemia (WHO, 2006).2. EpidemiologiMeningkatnya risiko kesakitan dan kematian merupakan hal yang seringkali dikaitkan dengan kondisi DM. Insidens dan prevalensi dari DM semakin meningkat dan pada tahun 2030 diperkirakan prevalensi DM di seluruh dunia akan meningkat. menjadi dua kali lipat. DM tipe 2 didapatkan pada 85-90% dari total penderita DM dan seringkali ditemukan pada usila. Prevalensi DM tertinggi didapatkan pada penduduk berusia 60 tahun dan ke atas dengan insidens tertinggi juga didapatkan pada kelompok usia tersebut. Hasil penelitian The Canadian Study of Health and Aging (CSHA) menunjukkan prevalensi DM besarnya 12,1%. Menurut survei yang dilakukan World Health Organization (WHO), Indonesia menempati urutan ke-4 dengan jumlah penderita DM terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat (Adiningsih, 2011).Pada tahun 2000 terdapat 8,4 juta penderita DM dan pada tahun 2030 diperkirakan meningkat menjadi 21,3 juta penderita. DM telah menyebabkan sekitar 60% kematian dan 43% kesakitan di seluruh dunia. Usia lanjut yang menderita DM tipe 2 membutuhkan perawatan yang berbeda dengan penderita DM tipe 2 usia yang lebih muda. Penelitian eksperimental pada lansia yang menderita DM tipe 2 lebih sedikit dibandingkan kelompok usia lebih muda. Dengan demikian hasil penelitian pada subjek yang lebih muda tidak dapat diekstrapolasikan pada lansia. Lansia yang menderita DM seringkali juga mengalami penyakit lainnya, ketidakmampuan fisik (physyical disability), gangguan psikososial dan fungsi kognisi, serta meningkatnya pelayanan kedokteran.Pada akhirnya, komplikasi yang terjadi akan mengganggu kualitas hidup lansia (Adiningsih, 2011).3. KlasifikasiKlasifikasi diabetes mellitus berdasarkan PERKENI tahun 2006 yaitu:Tabel 9. Klasifikasi Diabetes MelitusJenisEtiologi

Tipe 1Destruksi sel , umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolute (autoimun dan idiopatik)

Tipe 2Bervariasi, mulai dari resistensi insulin yang disertai defisiensi insulin relative hingga defek sekresi insulin yang dibarengi resistensi insulin

Tipe laina. Defek genetik fungsi sel b. Defek genetik kerja insulinc. Penyakit eksokrin pancreasd. Endokrinopatie. Karena obat atau zat kimiaf. Infeksig. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

Diabetes Melitus GestasionalIntoleransi glukosa yang timbul atau terdeteksi pada kehamilan pertama dan gangguan toleransi glukosa setelah terminasi kehamilan

Sumber: PERKENI, 2006.a. Diabetes MellitusDiabetes tipe ini terjadi akibat kerusakan sel pankreas. Dulunya DM tipe 1 disebut juga diabetes onset-anak dan diabetes rentan ketosis (dikarenakan sering menimbulkan ketosis). Onset DM tipe 1 terjadi sebelum kisaran usia 25-30 tahun (tetapi tidak selalu demikian karena orang dewasa dan lansia yang kurus juga dapat mengalami diabetes jenis ini). Fungsi dari sekresi insulin mengalami defisiensi yang mengkibatkan jumlahnya sangat rendah ataupun tidak ada sama sekali. Dengan keadaan seperti itu tanpa pengobatan dengan insulin pasien biasanyaakan mudah terjerumus ke dalam situasi ketoasidosis diabetik. Gejala biasanya muncul secara mendadak, cepat dan berat perjalanannya yang sangat progresif jika tidak dipantau, yang dapat berkembang menjadi ketoasidosis dan koma. Ketika diagnosa bisa ditegakkan, pasien biasanya memiliki berat badan yang rendah. Hasil tes deteksi antibodi islet hanya bernilai sekitar 50-80% dan KGD >140 mg/dL (Fauci, 2008)Pada DM tiper 1 terjadi defisiensi absolut insulin. Insulin adalah hormon yang diproduksi sel di pankreas, sebuah kelenjar yang terletak di belakang lambung, yang berfungsi mengatur metabolisme glukosa menjadi energi serta mengubah kelebihan glukosa menjadi glikogen yang disimpan di dalam hati dan otot (Powers, 2005; NDIC, 2008). Tidak keluarnya insulin dari kelenjar pankreas penderita DM tipe 1 bisa disebabkan oleh reaksi autoimun berupa serangan antibodi terhadap sel pankreas (Fauci, 2008)b. Diabetes Mellitus Tipe 2Diabetes Melitus Tipe ini disebut juga diabetes onset-matur (atau onset-dewasa) dan diabetes resistan-ketosis (istilah NIDDM sebenarnya tidak tepat karena 25% diabetes, pada penderita harus diobati dengan insulin perbedaannya mereka tidak memerlukan insulin sepanjang usia dan masih bisa dilakukan pemberian OHO). DM tipe 2 merupakan penyakit endokrinologi yang mewakili kurang-lebih 85% kasus DM di Negara maju, dengan prevalensi sangat tinggi (35% orang dewasa) pada masyarakat yang mengubah gaya hidup tradisional menjadi modern, DM tipe 2 mempunyai onset pada usia sekitar pertengahan (40-an tahun), atau lebih tua, dan jarang ataupun tidak berkembang kearah ketosis. Kebanyakan penderita memiliki berat badan yang lebih (obesitas). Atas dasar ini pula, penyandang DM jenis ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok obes dan kelompok non-obes. Kemungkinan untuk menderita DM tipe 2 akan berlipat ganda jika berat badan bertambah sebanyak 20% di atas berat badan ideal dan usia bertambah 10 tahun atau di atas 40 tahun dan Gejala muncul perlahan-lahan dan biasanya ringan (kadang-kadang bahkan belum menampakkan gejala selama bertahun-tahun) serta progresivitas gejala berjalan lambat. Keadaan Koma hiperosmolar dapat terjadi pada kasus-kasus DM tipe II yang berat. Namun, ketoasidosis jarang ditemukan pada kasus DM tipe II, kecuali pada kasus yang disertai stress atau infeksi. Kadar insulin menurun atau bahkan tinggi, insulin bekerja tidak efektif, Pengendaliannya hanya berupa diet dan olahraga ringan, atau dengan pemberian obat hipoglisemik yang diminum secara teratur (Fauci, 2008).c. Diabetes Melitus Tipe Lain (Annemans, 2008; Powers, 2005)DM ini disebabkan oleh 1) Defek genetik fungsi sel 2) Defek genetik dalam kerja insulin3) Penyakit eksokrin pankreas misalnya: pankreatitis, pankreatektomi, neoplasma, dan lain-lain.4) Endokrinopati misalnya akromegali, Cushing's syndrome, glucagonoma, pheochromocytoma, hyperthyroidism, somatostatinoma, aldosteronoma5) Karena obat atau zat kimia misalnya Vacor, pentamidine, nicotinic acid, glucocorticoids, thyroid hormone, diazoxide, -adrenergic agonists, thiazides, phenytoin, -interferon, protease inhibitors, clozapine6) Infeksi misalnya infeksi congenital rubella, cytomegalovirus, coxsackie7) Imunologi misalnya "stiff-person" syndrome, antibody anti reseptor insulin8) Sindrom genetik lain Down's syndrome, Klinefelter's syndrome, Turner's syndrome, Wolfram's syndrome, Friedreich's ataxia, Huntington's chorea, Laurence-Moon-Biedl syndrome, myotonic dystrophy, porphyria, Prader-Willi syndrome.d. Diabetes Melitus GestasionalDiabetes mellitus gestasional didefenisikan sebagai setiap intoleransi glukosa yang timbul atau terdeteksi pada kehamilan pertama, tanpa memandang derajat intoleransi serta tidak memperhatikan apakah gejala ini lenyap atau menetap selepas melahirkan. Diabetes jenis ini biasanya muncul pada kehamilan trimester kedua dan ketiga. Kategori ini mencakup DM yang terdiagnosa ketika hamil (sebelumnya tidak diketahui). Wanita yang sebelumnya diketahui telah mengidap DM dan kemudian hamil, tidak termasuk ke dalam kategori ini (Fauci, 2008)4. PatofisiologiSel pankreas berfungsi untuk mengatur kadar glukosa darah yang diperankan oleh suatu hormone yang disebut insulin. Pada DM tipe 2, hal yang lebih dipermasalahkan bukanlah kurangnya sekresi insulin oleh sel-sel pulau langerhans, tetapi lebih kepada ketidaknormalan reseptor insulin (resistensi insulin) dalam merespon hormon insulin dengan faktor pemicu, diantaranya adalaha gaya hidup (life style), pola makan, obesitas dan penuaan (degeneratif). Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin, dimana jaringan gagal merespon terhadap insulin dengan kadar normal disertai dengan kompensasi hiperinsulinemia, meskipun sekresi insulin ini sebenarnya mulai abnormal. Tetapi sekresi insulin oleh sel pulau langerhans gagal melampaui resistensi insulin, sehingga untuk memenuhi kebutuhan glukosa tubuh terjadi proses glukoneogenesis. Pada saat kadar insulin plasma puasa mulai menurun, maka efek penekanan insulin terhadap produksi glukosa hati, khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga pelepasan glukosa hati meningkat, mengakibatkan kadar gula darah puasa akan semakin meningkat pula (Rao et al, 2004; Shoelson, 2006).DM tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) disebabkan kegagalan relatif sel dan resistensi insulin. Pada jenis DM tipe 2, jumlah insulin bisa normal atau lebih, tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat dalam permukaan sel yang kurang, sehingga dapat menyebabkan resistensi insulin. Kenaikan kadar insulin plasma ini dapat diinterpretasikan sebagai usaha pankreas yang mulai terganggu dalam mengimbangi kenaikan glukosa darah. Akan tetapi apabila KGD meningkat melebihi 140 mg/dl, sel tidak sanggup lagi mengimbangi kenaikan KGD tersebut, mulailah terjadi kegagalan sel dan sekresi insulin mulai berkurang (Rao et al, 2004; Shoelson, 2004).Pada proses fisiologis yang dilakukan oleh sel-sel pulau langerhans, terdapat 3 fase fisiologis insulin yang dilakukan. Pertama, glukosa plasma tetap normal meskipun terlihat adanya resistensi insulin karena kadar insulin yang meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk yang diikuti peningkatan konsentrasi insulin, sehingga mengakibatkan hiperglikemia pasca prandial. Sedangkan fase yang ketiga, resistensi insulin tetap memburuk yang diikuti dengan penurunan sekresi insulin, sehingga menyebabkan hiperglikemia yang nyata walaupun dalam keadaan puasa (Immanuel dan Hendriyono, 2006).5. Manifestasi KlinisGejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan tidak selalu tampak pada usila penderita DM karena seiring dengan meningkatnya usiaterjadi kenaikan ambang batas ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila glukosa darah sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring dengan penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia penderita DM mudah mengalami dehidrasi hiperosmolar akibat hiperglikemia berat.Tabel 10. Menifestasi Klinis Pasien Lansia Sebelum Diagnosis DM* Sistem kardiovaskular

Kaki

Mata

GinjalHipertensi arterialInfark miokard Penyakit serebrovaskularNeuropati Ulkus pada kaki Amputasi kaki Katarak Retinopati proliferatif Kebutaan Infeksi ginjal dan saluran kemihProteinuriaGagal ginjal(50%)(10%)(5%)(30%)(8%)(5%)(50%)(5%)(3%)(45%)(10%)(3%)

Sumber: (ADA, 2010).DM pada usila umumnya bersifat asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali berupa gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif atau kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan diagnosis DM pada lansia seringkali agak terlambat. Bahkan, DM pada usila seringkali baru terdiagnosis setelah timbul penyakit lain. Berikut ini adalah data M.V. Shestakova (1999) mengenai manifestasi klinis pasien lansia sebelum diagnosis DM ditegakkan (ADA, 2010). 6. Faktor Resikoa. Tidak dapat dimodifikasi1) UsiaDM tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut. Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50-92%. Sekitar 6% individu berusia 45-64 tahun dan 11% individu diatas usia 65 tahun menderita DM tipe II. Goldberg dan Coon dalam Rochman (2006) menyatakan bahwa umur sangat erat kaitannya dengan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang dapat mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang menghasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan target yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa (Basuki, 2004).2) Jenis KelaminJenis kelamin laki-laki memiliki risiko diabetes meningkat lebih cepat. Para ilmuwan dari University of Glasgow, Skotlandia mengungkap hal itu setelah mengamati 51.920 laki-laki dan 43.137 perempuan. Seluruhnya merupakan pengidap diabetes tipe II dan umumnya memiliki indeks massa tubuh (IMT) di atas batas kegemukan atau overweight. Laki-laki terkena diabetes pada IMT rata-rata 31,83 kg/m2 sedangkan perempuan baru mengalaminya pada IMT 33,69 kg/m2. Perbedaan risiko ini dipengaruhi oleh distribusi lemak tubuh.Pada laki-laki, penumpukan lemak terkonsentrasi di sekitar perut sehingga memicu obesitas sentral yang lebih berisiko memicu gangguan metabolism (Krishnan et al., 2007).3) Bangsa dan etnisBerdasarkan penelitian terakhir di 10 negara menunjukkan bahwa bangsa Asia lebih berisiko terserang diabetes mellitus dibandingkan bangsa Barat. Hasil dari penelitian tersebut mengatakan bahwa secara keseluruhan bangsa Asia kurang berolahraga dibandingkan bangsa-bangsa di benua Barat. Selain itu, kelompok etnik tertentu juga berpengaruh terutama Cina, India, dan Melayu lebih berisiko terkena diabetes mellitus.4) Riwayat DM dalam keluargaFaktor keturunan :a) Diabetes tipe 1: Jika ibu mengalami kondisi tersebut, risiko berkembangnya penyakit pada anak adalah 2%. Jika bapak mengalami kondisi tersebut, risiko berkembang penyakit pada anak adalah 8%. Jika kedua ibu bapak mengalami kondisi tersebut, risiko berkembangnya penyakit pada anak adalah 30%. Jika abang atau kakak mempunyai penyakit tersebut, risiko berkembang penyakit adalah 10% ( meningkat sebanyak 15% jika kembar tidak seiras dan 40% pada kembar seiras).b) Diabetes tipe 2: Jika terdapat salah satu (ibu atau bapak) mengalami kondisi tersebut, risiko berkembangnya penyakit adalah 15%. Jika kedua ibu bapak mengalami kondisi tersebut, risiko berkembangnya penyakit adalah 75%. Jika kembar tidak seiras mengalami kondisi tersebut, risiko berkembang 10%. Jika kembar seiras mengalami kondisi tersebut, risiko berkembang sebanyak 90%.5) Riwayat DM gestasionalDiabetes gestasional dapat terjadi sekitar 2-5 % pada ibu hamil. Biasanya diabetes akan hilang setelah anak lahir. Namun, dapat pula terjadi diabetes di kemudian hari. Ibu hamil yang menderita diabetes akan melahirkan bayi besar dengan berat badan lebih dari 4000 gram. Apabila hal ini terjadi, maka kemungkinan besar si ibu akan mengidap diabetes tipe 2 kelak.b. Dapat dimodifikasi1) Status gizi dan pola makanPada usia lanjut terjadi perubahan komposisi tubuh dimana massa lemak meningkat dan komposisi air menurun demikian juga massa otot sehingga hal ini berhubungan dengan timbulnya resistensi insulin pada usia lanjut. Dengan demikian jika usila makan dengan kuantitas yang sama seperti orang yang masih muda, kecenderungan untuk menjadi obesitas akan lebih besar. Ditambah dengan aktivitas fisik yang cenderung menurun seiring dengan bertambahnya usia juga ikut mempertinggi risiko obesitas pada usila. Menurut Robby dkk, obesitas yang terjadi pada usila dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit seperti hiperglikemia, hiperlipidemia, penyakit kardiovaskular, DM dan kanker (Adiningsih, 2011).Populasi orang Indonesia sendiri memiliki indeks massa tubuh yang lebih rendah dibandingkan populasi kaukasia pada umur dan jenis kelamin yang sama, namun memiliki lemak tubuh yang tinggi. Wannamethee dkk mendapatkan bahwa indeks massa tubuh dan lingkar perut memiliki hubungan yang kuat dengan abnormalitas metabolik pada usia lanjut (Adiningsih, 2011).Hasil survey kesehatan Inggris (2003) menyatakan bahwa kelompok 1624 tahun tidak berisiko menjadi obesitas dibandingkan dengan kelompok usia yang jauh lebih tua. Kelompok usia setengah baya dan pensiun punya risiko obesitas lebih tinggi (WHO, 1999). Di Indonesia, terdapat penelitian tentang obesitas yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan (DepKes) di 26 kota dari tahun 1996-1997 dan ditemukan prevalensi overweight (body mass index (BMI) 25-30 dan obesitas (BMI > 30) pada dewasa (19-65 tahun) mengalami peningkatan sekitar 17,5% (Goyal et al., 2008).Menurut Stockslager dan Schaeffer (2008), penuaan dicirikan dengan kehilangan banyak sel tubuh dan penurunan metabolism di sel lainnya. Proses ini menyebabkan penurunan fungsi tubuh dan perubahan komposisi tubuh. Salah satu buktinya, konsentrasi glukosa meningkat dan tetap naik lebih lama dibandingkan orang yang lebih muda (Goyal et al., 2008).Terjadi peningkatan prevalensi hiperglikemia pada usia lanjut. Prevalensi hiperglikemia dari tahun 2001-2004 terjadi peningkatan yaitu dari 7,9% menjadi 11,3%. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah pada sejuta orang yang dilakukan DepKes selama 2 tahun (2003-2005) mendapatkan sebanyak 81.696 orang (8,29%) memiliki kadar glukosa darah sewaktu melebihi 200mg/dL. Hiperglikemia berhubungan erat dengan obesitas, tekanan darah tinggi, dan hipertrigliseridemia pada usia lanjut (Adiningsih, 2011).Seiring pertambahan usia, sel-sel tubuh menjadi lebih resisten terhadap insulin, yang mengurangi kemampuan sel-sel dalam tubuh lansia untuk memetabolisme glukosa. Selain itu, pelepasan insulin dari sel beta pankreas berkurang dan melambat. Hasil dari kombinasi proses ini adalah hiperglikemia. Pada pasien lansia, peningkatan konsentrasi glukosa yang mendadak dapat meningkakan dan lebih memperpanjangkan hiperglikemia (Adiningsih, 2011).Status gizi pada lansia dapat dinilai dengan caracara yang baku bagi berbagai tahapan umur yakni penilaian secara langsung dan tak langsung. Penilaian secara langsung dilakukan melaui pemeriksaan klinik, antropometrik, biokimia dan biofisik. Di dalam melakukan pemeriksaan klinik perlu dibedakan tiga kelompok gejala yaitu: (1) tanda-tanda yang dianggap mempunyai nilai dalam pemeriksaan gizi; (2) gejala-gejala yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut; (3) gejala-gejala yang tidak berhubungan dengan gizi. Tanda-tanda yang masuk ke tiga kategori dapat ditemukan di berbagai organ seperti rambut, lidah, konjungtiva, bibir, kulit, hati, limpa dan sebagainya. Pemeriksaan antropometrik adalah pengukuran variasi berbagai dimensi fisik dan komposisi tubuh secara umum pada berbagai tahapan umur dan derajat kesehatan. Pengukuran yang dilakukan meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit. Semua hasil pengukuran tersebut harus dikontrol terhadap umur dan jenis kelamin. Dalam melakukan interpretasi, digunakan berbagai bahan baku (standard) internasional maupun nasional seperti baku WHO, NCHC, Havard, dan sebagainya. Perlu ditekankan disini bahwa pemeriksaan tinggi badan pada lansia dapat memberikan nilai kesalahan yang cukup bermakna oleh karena telah terjadinya osteoporosis pada lansia yang akan berakibat pada kompresi tulang-tulang columna vertebral. Untuk itu para ahli sepakat bahwa sebagai gantinya tinggi badan dapat dipakai panjang rentang tangan (armspan) dalam penentuan indeks massa tubuh (BMI). Ternyata korelasi koefisien antara BMI dengan BMA (body mass-armspan) cukup tinggi yaitu 0,83 dan 0,81 untuk wanita dan untuk pria dengan nilai p-0,001 (Krishnan et al., 2007).Pemeriksaan biokimia dapat dilakukan terhadap berbagai jaringan tubuh, namun yang paling lazim, mudah dan praktis adalah darah dan urine. Zat-zat gizi tertentu dapat dievaluasi statusnya melalui pemeriksaan biokimiawi seperti vitamin A, besi, yodium, protein dan sebagainya. Pemeriksaan biofisik dilakukan misalnya terhadap tulang untuk menilai derajat osteoporosis, jantung untuk kecurigaan beri-beri dan smear terhadap mukosa organ tertentu. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko dari resistensi insulin.Dengan didukung oleh beberapa faktor risiko lainnya. Resistensi insulin adalah kondisi sensitivitas insulin menurun, sensitivitas insulin adalah kemampuan dari hormon insulin menurunkan kadar glukosa darah dan menekan produksi glukosa hepatik dan menstimulasi pemanfaatan glukosa didalam otot skelet dan jaringan adiposa. Resistensi insulin juga tak lepas dari hiperglikemia yang merupakan peningkatan kadar gula darah yang disebabkan oleh glukoneogenesis yang berlebihan dan dapat juga disebabkan oleh efek insulin yang tidak adekuat (Krishnan et al., 2007).2) Aktifitas FisikAktifitas fisik juga sangat mempengaruhi kadar glukosa darah. Jika orang malas berolah raga memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya kenaikan kadar glukosa darah karena olahraga berfungsi untuk membakar kalori yang berlebihan di dalam tubuh. Kalori yang tertimbun di dalam tubuh merupakan faktor utama penyebab diabetes mellitus selain disfungsi pankreas.Salah satu pola hidup yang baik adalah olahraga dengan teratur. Manfaat olah raga yaitu penurunan kadar glukosa darah, mencegah kegemukan, ikut berperan dalam mengatasi kemungkinan terjadinya komplikasi, keadaan-keadaan ini dapat mengurangi resiko penyakit jantung koroner (PJK) dan meningkatkan kualitas hidup diabetisi dan meningkatkan kerja serta memberikan keuntungan secara psikologis (Goyal et al., 2008).Menurut Chaveau & Kaufman (1989) olah raga pada diabetes dapat menyebabkan terjadinya peningkatan glukosa oleh otot yang aktif, sehingga secara langsung olahraga dapat menyebabkan penurunan kadar glukosa darah. Dan hasil penelitian Allen bahwa olah raga aerobik yang teratur akan mengurangi kebutuhan insulin sebesar 30-50% pada diabetes tipe 1 yang terkontrol dengan baik. Pada diabetes tipe 2 yang dikombinasikan dengan penurunan BB akan mengurangi kebutuhan insulin hingga 100% (Rochmah, 2006).Berikut adalah beberapa manfaat dari pentingnya olahraga bagi penderita diabetes (Utomo, 2011).a) Mengontrol glukosa darah, terutama pada diabetes tipe 2, sedangkan bagi diabetes tipe 1 masih merupakan problematik.b) Menghambat dan memperbaiki faktor resiko penyakit kardiovaskular yang banyak terjadi pada penderita diabetes, seperti Penyakit Jantung Koroner (PJK), stroke dan penyakit pembuluh darah perifer.c) Membantu program penurunan berat badan pada penderita diabetes yang juga mengalami obesitas, terlebih lagi apabila dilakukan bersama dengan pengaturan pola makan.d) Memberikan keuntungan psikologis, olah raga yang teratur dapat memperbaiki tingkat kesegaran jasmani karena memperbaiki sistem kardiovaskular, respirasi, pengontrolan gula darah sehingga penderita merasa fit, mengurangi rasa cemas terhadap penyakitnya, timbul rasa senang dan lebih meningkatkan rasa percaya diri serta meningkatkan kualitas hidupnya.e) Mengurangi kebutuhan pemakaian obat oral dan insulin.f) Mencegah terjadinya diabetes yang dini terutama bagi orang orang dengan riwayat keluarga penderita diabetes ataupun bagi yang masuk dalam golongan pre diabetes.Latihan jasmani untuk pasien diabetes melitus dilakukan 3-4 kali seminggu selama lebih kurang 30 menit. Latihan jasmani yang dilakukan bersifat aerobik dengan intensitas yang disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani serta ada tidaknya komplikasi dari diabetes melitus. Latihan aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut janrung maksimum) sebaiknya dilakukan minimal 150 menit setiap minggu. Latihan aerobik berat (>70% denyut jantung maksimum) sebaiknya dilakukan minimal 90 menit setiap minggu. Bentuk olahraga dapat berupa jalan kaki, bersepeda santai, jogging dan berenang. Selain berolahraga, kegiatan sehari-hari harus tetap dilakukan seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga dan berkebun (Yunir dan Soebardi, 2006).Berikut ini adalah pertimbangan manfaat-risiko olah raga pada lansia (Perkeni, 2006).Tabel 11. Peran Olah Raga pada Lansia ManfaatRisiko

Perbaikan toleransi glukosaHipoglikemia

Peningkatan kemampuan konsumsi oksigen maksimumCedera pada tulang-sendi dan kaki

Peningkatan kekuatan ototSudden cardiac death

Penurunan tekanan darah

Pengurangan lemak tubuh

Perbaikan profil lipid

Sumber: PERKENI, 2006.Karena pada lansia, seringkali dijumpai juga penyakit penyerta seperti osteoartritis, parkinson, gangguan penglihatan, dan gangguan keseimbangan, maka olah raga sebaiknya dilakukan di lingkungan yang memang dekat, dan jenis olah raga yang dilakukan lebih bersifat isotonik daripada isometric (Yunir dan Soebardi, 2006).3) Penderita sindrom metabolic yang memiliki riwayat TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (gula darah puasa terganggu) sebelumnya4) Penyakit penyertaDi Amerika Serikat telah dilakukan penelitian mengenai hubungan antara tekanan darah dengan diaberes tipe 2 dan menemukan bahwa wanita yang memiliki tekanan darah tinggi berisiko 3 kali terkena diabetes dibandingkan dengan wanita yang memiliki tekanan darah rendah. Dari beberapa studi ditemukan adanya hubungan yang erat antara hipertensi dengan diabetes tipe 2, namun hanya ada sedikit infomasi mengenai hubungan antara tingkat tekanan darah dan diabetes tipe 2 yang terjadi sesudahnya. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa wanita yang memiliki hipertensi, berisiko 3 kali lipat menjadi diabetes dibandingkan dengan wanita yang memiliki tekanan darah optimal (Goyal et al., 2008). Di sisi lain, adanya penyakit akut (seperti infark miokard akut, stroke, pneumonia, infeksi saluran kemih, trauma fisik/psikis), dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Hal ini menyebabkan lansia yang sebelumnya sudah mengalami toleransi glukosa darah terganggu (TANJUNGT) meningkat lebih tinggi kadar gula darah sehingga mencapai kriteria diagnosis DM. Tata laksana kondisi medis akut itu dapat membantu mengatasi eksaserbasi intoleransi glukosa tersebut (Adiningsih, 2011).5) Konsumsi alcoholAlkohol dapat menyebabkan terjadinya inflamasi kronis pada pankreas yang dikenal dengan istilah pankreatitis. Penyakit tersebut dapat menimbulkan gangguan produksi insulin dan akhirnya dapat menyebabkan diabetes mellitus.6) Konsumsi kafeinrnlv menemukan bahwa peningkatan konsumsi 1 gelas kopi sehari berhubungan dengan peningkatan sensitifitas insulin sebesar 0,16 unit. Dengan demikian konsumsi kopi dan teh secara independen berhubungan dengan peningkatan sensitifitas insulin. Karena kafein telah dilaporkan dapat mengganggu kerja insulin, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mungkin terdapat unsur lain dalam kopi dan teh yang berperan dalam meningkatkan sensitifitas insulin. Baik kopi maupun teh mengandung senyawa fenol yang mempunyai aktivitas antioksidan. Terdapat kemungkinan antioksidan di dalam kopi ini dapat meningkatkan sensitifitas insulin karena telah dilaporkan bahwa antioksidan dapat meningkatkan sensitifitas insulin pada penderita diabetes tipe 2 (Tjekyan, 2007).7) MerokokTerpapar asap rokok adalah merokok atau sering berada di dekat perokok. Merokok adalah salah satu faktor risiko terjadinya penyakit DM Tipe 2. Asap rokok dapat meningkatkan kadar gula darah. Pengaruh rokok (nikotin) merangsang kelenjar adrenal dan dapat meningkatkan kadar glukosa. Penelitian oleh Houston mendapatkan bahwa perokok aktif memiliki risiko 76% lebih tinggi untuk terserang DM Tipe 2 dibanding dengan yang tidak terpajan (Setyorogo, 2013).8) Stress Respon stress menyebabkan terjadinya sekresi sistem saraf simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis-medular, dan bila stress menetap maka sistem hipotalamus-pituitari akan diaktifkan dan akan mensekresi corticotropin releasing factor yang menstimulasi pituitari anterior memproduksi adenocorticotropic factor (ACTH). ACTH menstimulasi produksi kortisol, yang akan mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah (Goyal et al., 2008).7. DiagnosisPada usia 75 tahun, diperkirakan sekitar 20% lansia mengalami DM, dan kurang lebih setengahnya tidak menyadari adanya penyakit ini. Oleh sebab itu, American Diabetes Association (ADA) menganjurkan penapisan (skrining) DM sebaiknya dilakukan terhadap orang yang berusia 45 tahun ke atas dengan interval 3 tahun sekali. Interval ini dapat lebih pendek pada pasien berisiko tinggi (terutama dengan hipertensi dan dislipidemia).Berikut ini adalah kriteria diagnosis DM menurut standar pelayanan medis (ADA, 2011).

Tabel 12. Kriteria untuk mendiagnosa diabetes mellitusa. Simptom diabetes ditambah dengan konsentrasi glukosa darah sewaktu > 11.1 mmol/L (200 mg/dL)a ataub. Gula darah puasa > 7.0 mmol/L (126 mg/dL)b atauc. A1C > 6.5%c ataud. Gula darah selepas 2 jam > 11.1 mmol/L (200 mg/dL) sewaktu tes toleransi glukosa orald

asewaktu adalah tanpa mengira waktu setelah makan terakhir.bpuasa adalah tidak adanya kalori yang diambil sekurang-kurangnya 8 jam terakhir.ctes harus dilakukan di laboratorium yang bersertifikat menurut standar A1C dari Diabetes Control and Complication Trial.dtes harus dilakukan dengan menggunakan 75 g glukosa yang dilarutkan dalam air, tidak direkomendasikan untuk kegunaan rutin klinik.Catatan: karena tidak adanya hiperglikemia tegas dan dekompensasi metabolik akut, kriteria ini harus dikonfirmasi dengan tes ulang pada hari yang berbeda.

Sumber : ADA, 2011.GDP > 7.0 mmol/dL (126 mg/dL), glukosa >11.1 mmol/L (200 mg/dL) 2 jam selepas bebanan glukosa, atau A1C > 6.5 % memastikan untuk diagnosa diabetes mellitus. Pada glukosa darah > 11.1 mmol/dL (200 mg/dL) ditambah dengan simptom klasik diabetes mellitus (poliuria, polidipsi, penurunan berat badan) juga dapat didiagnosa dengan diabetes mellitus berdasarkan tabel 3.3.Homeostasis glukosa terganggu didefinisikan sebagai (1) GDP = 5.6 6.9 mmol/L (100-125 mg/dL), yang mana dikatakan sebagai toleransi glukosa terganggu (dapat dilihat bahwa WHO menggunakan GDP 6.1-6.9 mmol/L (110-125 mg/dL); (2) tahapan glukosa darah dalam plasma antara 7.8 dan 11 mmol/L (140 dan 199 mg/dL) diikuti oleh bebanan glukosa oral, dikatakan toleransi glukosa terganggu (TANJUNGT); atau (3) A1C 5.7 6.4%. A1C 5.7 6.4 %, toleransi glukosa oral terganggu, dan TANJUNGT tidak menggambarkan individual yang sama, tetapi indivu pada ketiga-tiga kelompok yang berisiko untuk perkembangan diabetes mellitus dan mempunyai risiko yang tinggi untuk penyakit kardiovaskular. Ada sesetengah yang menggunakan istilah prediabetes (ADA), atau intermidiate hyperglicemia (WHO) untuk kategori ini.Kriteria yang terbaru untuk mendiagnosa diabetes mellitus menegaskan bahwa A1C dan GDP adalah lebih dipercayai dan tes yang aman untuk mengenal pasti diabetes mellitus yang asimptomatik pada seseorang individu. Walaupun tes toleransi glukosa masih lagi digunakan untuk mendiagnosa diabetes mellitus, ianya sering jarang dilakukan secara rutin di klinik (ADA, 2011).Diagnosis terhadap diabetes mellitus memiliki implikasi yang mendalam bagi seorang individu dari kedua sudut medis dan keuangan.Oleh itu, kelainan terhadap tes skrining untuk diabetes mellitus harus diulang sebelum melakukan diagnosa pasti mengenai diabetes mellitus, melainkan terdapatnya kelainan metabolik akut atau glukosa darah puasa yang meningkat secara bermakna (tabel 3.2). Kriteria-kriteria ini juga membolehkan diagnosa diabetes mellitus ditolak dalam situasi dimana intoleransi glukosa beralih ke normal.8. PenatalaksanaanPilar penatalaksanaan Diabetes Melitus menurut Perkeni (2006) mencakup poinpoin di bawah ini:1) Edukasi2) Terapi gizi medis3) Latihan jasmani4) Intervensi farmakologisPengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.1) EdukasiDiabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi (Perkeni, 2006).2) Terapi Gizi MedisTerapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (Perkeni, 2006).3) Latihan jasmaniKegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4) kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (Perkeni, 2006).4) Intervensi FarmakologisIntervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (Perkeni, 2006).a) Obat hipoglikemik oral (OHO)Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)a. SulfonilureaObat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.b. GlinidGlinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati (Perkeni, 2006).2. Penambah sensitivitas terhadap insulina. TiazolidindionTiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala (Perkeni, 2006).3. Penghambat glukoneogenesisa. MetforminObat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan (Perkeni, 2006).4. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens (Perkeni, 2006).

b) InsulinInsulin diperlukan pada keadaan:a. Penurunan berat badan yang cepatb. Hiperglikemia berat yang disertai ketosisc. Ketoasidosis diabetikd. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotike. Hiperglikemia dengan asidosis laktatf. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimalg. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)h. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makani. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang beratj. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHOBerdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:a. insulin kerja cepat (rapid acting insulin)b. insulin kerja pendek (short acting insulin)c. insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)d. insulin kerja panjang (long acting insulin) (Perkeni, 2006).9. KomplikasiDM yang tidak terkontrol dapat menimbulkan komplikasi akut maupun komplikasi kronik. Komplikasi akut berupa diabetik ketoasidosis dan sindrom hiperosmolar non-ketotik yang dapat mengancam jiwa penderita (American Diabetes Association, 2011). Sedangkan komplikasi kroniknya yaitu:a. Mikrovaskular1) Penyakit mataa) Retinopathy (nonproliferative/proliferative)b) Edema Makular2) Neuropatia) Sensorik dan motorik (mono- and polyneuropathy)b) Autonomik3) Nefropatib. Makrovaskular1) Penyakit arteri koroner2) Penyakit arteri perifer3) Penyakit Serebrovaskulerc. Yang lain1) Gastrointestinal (gastroparesis, diare)2) Genitourinary (uropathy/sexual dysfunction)3) Dermatologik4) Infeksi5) Katarak6) Glaukoma7) Penyakit Periodontal (Fauci, 2008; Powers, 2005)Durasi dan keparahan hiperglikemia berhubungan kuat dengan progresivitas penyakit mikrovaskular akibat diabetes. (Fauci, 2008; Kronenberg, 2008), Hal ini berdasarkan bahwa pencegahan hiperglikemia kronik dapat menunda terjadinya retinopathy, neuropathy, dan nephropathy (Fauci, 2008).10. Pencegahan Diabetes MelitusPencegahan pada penyakit diabetes sangat penting mengingat sifat penyakitnya yang menahun dan bila telah timbul komplikasi biaya perawatannya sangat mahal.Antara langkah pencegahan yang dianjurkan pada usila termasuk modifikasi gaya hidup. Namun begitu, terdapat beberapa masalah yang menghalang pelaksanaan langkah pencegahan ini terutama terhadap usila.Terapi diet untuk usila dapat merupakan sebuah masalah tersendiri karena adanya berbagai keterbatasan,antara lain berupa keterbatasan finansial, tidak mampu menyediakan bahan makanan karena masalah transportasi/mobilitas, tidak mampu menyiapkan makanan (terutama pada pria usila tanpa istri), keterbatasan dalam mengikuti instruksi diet karena adanya gangguan fungsi kognitif, berkurangnya pengecapan karena berkurangnya kepekaan dan jumlah reseptor pengecap, meningkatnya kejadian konstipasi pada usila. Pada dasarnya ada empat tingkatan pencegahan penyakit secara umum yang meliputi: pencegahan tingkat dasar (primordial prevention), pencegahan tingkat pertama (primary prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (secondary prevention) yang meliputi diagnosa dini serta pengobatan yang tepat, pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap terjadinya cacat dan rehabilitasi (Perkeni, 2006).a. Pencegahan Tingkat DasarPencegahan tingkat dasar (primordial prevention) adalah usaha mencegah terjadinya resiko atau mempertahankan keadaan resiko rendah dalam masyarakat terhadap penyakit secara umum. Pencegahan ini meliputi usaha memelihara dan mempertahankan kebiasaan atau perilaku hidup yang sudah ada dalam masyarakat yang dapat mencegah resiko terhadap penyakit dengan melestarikan perilaku atau kebutuhan hidup sehat yang dapat mencegah atau mengurangi tingkat resiko terhadap suatu penyakit tertentu atau terhadap berbagai penyakit secara umum. Umpamanya memelihara cara masyarakat pedesaan yang kurang mengkonsumsi lemak hewani dan banyak mengkonsumsi sayuran, kebiasaan berolahraga dan kebiasaan lainnya dalam usaha mempertahankan tingkat resiko yang rendah terhadap penyakit (Perkeni, 2006).Bentuk lain dari pencegahan ini adalah usaha mencegah timbulnya kebiasaan baru dalam masyarakat atau mencegah generasi yang sedang bertumbuh untuk tidak meniru atau melakukan kebiasaan hidup yang dapat menimbulkan resiko terhadap beberapa penyakit. Sasaran pencegahan tingkat dasar ini terutama pada kelompok masyarakat berusia muda dan remaja dengan tidak mengabaikan orang dewasa dan kelompok usila (Perkeni, 2006).b. Pencegahan Tingkat Pertama.Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) adalah upaya mencegah agar tidak timbul penyakit diabetes mellitus. Faktor yang berpengaruh pada terjadinya diabetes adalah faktor keturunan, faktor aktivitas fisik yang kurang, faktor obesitas, faktor pola makan, faktor hormon, dan faktor lain seperti obat-obatan. Faktor keturunan jelas berpengaruh pada terjadinya diabetes mellitus. Keturunan orang yang mengidap diabetes (terutama kalau kedua orangtuanya mengidap diabetes, jelas lebih besar kemungkinannya untuk mengidap diabetes daripada orang normal). Demikian pula saudara kembar identik pengidap diabetes hampir 100% dapat dipastikan akan juga mengidap diabetes pada nantinya (Perkeni, 2006).Faktor keturunan merupakan faktor yang tidak dapat diubah, tetapi faktor lingkungan (obesitas, aktivitas fisik kurang, pola makan) merupakan faktor yang dapat diubah dan diperbaiki. Usaha pencegahan ini dilakukan menyeluruh pada masyarakat tapi diutamakan dan ditekankan untuk dilaksanakan dengan baik pada mereka yang beresiko tinggi untuk kemudian mengidap diabetes. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi untuk mengidap diabetes adalah orang-orang yang pernah terganggu toleransi glukosanya, yang mengalami perubahan perilaku/gaya hidup ke arah aktivitas fisik yang kurang, yang juga mengidap penyakit yang sering timbul bersamaan dengan diabetes, seperti tekanan darah tinggi dan obesitas (Perkeni, 2006).Tindakan yang dilakukan untuk pencegahan primer meliputi penyuluhan mengenai perlunya pengaturan gaya hidup sehat sedini mungkin dengan cara memberikan pedoman: 1) Mempertahankan perilaku makan sehari-hari yang sehat dan seimbang dengan meningkatkan konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan tinggi lemak dan karbohidrat sederhana. 2) Mempertahankan berat badan normal sesuai dengan umur dan tinggi badan. Berdasarkan analisis terhadap sekelompok orang dengan perubahan gaya hidup intensif, pencegahan diabetes paling berhubungan dengan penurunan berat badan. . Menurut penelitian, penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya diabetes.3) Melakukan aktivitas fisik yang cukup sesuai dengan umur dan kemampuan. Akitivitas fisik harus ditingkatkan dengan berolah raga rutin, minimal 150 menit perminggu, dibagi 3-4 kali seminggu. Olah raga dapat memperbaiki resistensi insulin yang terjadi pada pasien prediabetes, meningkatkan kadar HDL (kolesterol baik), dan membantu mencapai berat badan ideal. Selain olah raga, dianjurkan juga lebih aktif saat beraktivitas sehari-hari, misalnya dengan memilih menggunakan tangga dari pada elevator, berjalan kaki ke pasar daripada menggunakan mobil atau sepeda motor.4) Merokok, walaupun tidak secara langsung menimbulkan intoleransi glukosa, dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan Diabetes. Oleh karena itu, pasien juga dianjurkan berhenti merokok (Perkeni, 2006).c. Pencegahan Tingkat KeduaSasaran utama pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang terancam akan menderita penyakit tertentu melalui diagnosa dini serta pemberian pengobatan yang cepat dan tepat.Salah satu kegiatan pencegahan tingkat kedua adanya penemuan penderita secara aktif pada tahap dini. Kegiatan ini meliputi pemeriksaan berkala, penyaringan (screening) yakni pencarian penderita dini untuk penyakit yang secara klinis belum tampak pada penduduk secara umum pada kelompok resiko tinggi dan pemeriksaan kesehatan atau keterangan sehat (Perkeni, 2006).Upaya pencegahan tingkat kedua pada penyakit diabetes adalah dimulai dengan mendeteksi dini pengidap diabetes. Karena itu dianjurkan untuk pada setiap kesempatan, terutama untuk mereka yang beresiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan penyaringan glukosa darah. Dengan demikian, mereka yang memiliki resiko tinggi diabetes dapat terjaring untuk diperiksa dan kemudian yang dicurigai diabetes akan dapat ditindaklanjuti, sampai diyakinkan benar mereka mengidap diabetes. Bagi mereka dapat ditegakkan diagnosis dini diabetes kemudian dapat dikelola dengan baik, dapat mencegah penyulit lebih lanjut (Perkeni, 2006).d. Pencegahan Tingkat Ketiga Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) merupakan pencegahan dengan sasaran utamanya adalah penderita penyakit tertentu, dalam usaha mencegah bertambah beratnya penyakit atau mencegah terjadinya cacat serta program rehabilitasi. Tujuan utama adalah mencegah proses penyakit lebih lanjut, seperti perawatan dan pengobatan khusus pada penderita diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, gangguan saraf serta mencegah terjadinya cacat maupun kematian karena penyebab tertentu, serta usaha rehabilitas. Upaya ini dilakukan untuk mencegah lebih lanjut terjadinya kecacatan kalau penyulit sudah terjadi. Kecacatan yang mungkin timbul akibat penyulit diabetes ada beberapa macam, yaitu: 1) Pembuluh darah otak, terjadi stroke dan segala gejala sisanya. 2) Pembuluh darah mata, terjadi kebutaan. 3) Pembuluh darah ginjal, gagal ginjal kronik yang memerlukan tindakan cuci darah. 4) Pembuluh darah tungkai bawah, dilakukan amputasi tungkai bawah (Perkeni, 2006).Untuk mencegah terjadinya kecacatan, tentu saja harus dimulai dengan deteksi dini penyulit diabetes, agar kemudian penyulit dapat dikelola dengan baik di samping tentu saja pengelolaan untuk mengendalikan kadar glukosa darah (Perkeni, 2006).Pemeriksaan pemantauan yang diperlukan untuk penyulit ini meliputi beberapa jenis pemeriksaan, yaitu: 1) Mata, pemeriksaan mata secara berkala setiap 6-12 bulan. 2) Paru, pemeriksaan berkala foto dada setiap 1-2 tahun atau kalau ada keluhan batuk kronik. 3) Jantung, pemeriksaan berkala urin untuk mendeteksi adanya protein dalam urin. 4) Kaki, pemeriksaan kaki secara berkala dan penyuluhan mengenai cara perawatan kaki yang sebaik-baiknya untuk mencegah kemungkinan timbulnya kaki diabetik dan kecacatan yang mungkin ditimbulkannya (Perkeni, 2006)5) B. Autoimun, idiopatik, genetikDapat dimiodifikasi :Obesitas,Hipertensi,Kurangnya Aktivitas fisik,Diet tinggi gula dan rendah seratTidak dapat dimodifikasi :Usia,Genetik,Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan > 4000 gr, riwayat lahir dengan BBLR < 2500 grrDefek genetik fungsi sel , defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, obat/zat kimiaDMTipe IKerusakan sel pancreasTipe IIResistensi insulin DM GestasionalDM pada wanita hamil 24 minggu,normal kembali apabila melahirkanTipe Lain Trias klasik DMPolidipsiPolifagipoliuriaGDS 200 mg/dLGDP 126 mg/dLGD2PP 200 mg/dLNon medikamentosa :Edukasi, Terapi gizi medis, Latihan jasmani Medikamentosa Insulin, Sulfonil urea, Glinid, Tiazolidindion, metformin, acarbose KERANGKA TEORI

Gambar 3. Kerangka Teori

C. Faktor yang tidak bisa dimodifikasi :Usia,Jenis kelaminBangsa dan etnisRiwayat DM keluargaRiwayat DM gestasionalFaktor yang bisa dimodifikasi:ObesitasStatus gizi dan pola makanAktifitas fisikPenyakit penyertaKonsumsi alkoholKonsumsi kafeinMerokokStressDiabetes Mellitus Kerangka Konsep

Gambar 4. Kerangka Konsep

BAB VMETODOLOGI PENELITIAN

1. Desain PenelitianPenelitian ini menggunakan metode deskritif observasional dengan desain cross sectional. Desain digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas II Tambak.1. Ruang Lingkup KerjaRuang lingkup kerja penelitian ini di wilayah cakupan Puskesmas II Tambak, khususnya di posyandu lansia Desa Purwodadi.1. Populasi dan Sampel1. Populasi Penelitian1. Populasi TargetPopulasi target penelitian ini adalah masyarakat yang berusia di atas usia 40 tahun atau lebih di Kecamatan Tambak1. Populasi TerjangkauPopulasi terjangkau penelitian ini adalah masyarakat yang berusia 40 tahun atau lebih yang berada dalam cakupan wilayah Puskesmas II Tambak khususnya di posyandu lansia Desa Purwodadi.1. Besar sampelTeknik pengambilan sampel penelitian ini dilakukan dengan cara total sampling, yaitu seluruh pasien yang memenuhi kriteria penelitian dan langsung dimasukkan sebagai sampel penelitian 1. Kriteria inklusi meliputi:1. Warga lansia Desa Purwodadi yang bersedia menjadi responden penelitian1. Berusia lebih dari sama dengan 40 tahun1. Kriteria eksklusi meliputi:1. Responden yang tidak hadir saat penelitian berlangsung1. Responden penelitian yang sedang berpuasa

1. Variabel Yang Diteliti0. Variabel bebas yang diteliti adalah faktor yang mempengaruhi kejadian diabetes mellitus tipe11 II1. Obesitas1. Riwayat penyakit lain (Hipertensi)1. Aktivitas fisik1. Pola makan1. Merokok1. Konsumsi kafein1. Konsumsi alkohol1. Stres0. Variabel tergantung adalah kejadian diabetes mellitus. 1. Definisi Operasional1. Diabetes mellitusDefinisi: Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl pada seseorang dengan keluhan seperti sering buang air kecil, banyak minum, banyak makan dan disertai penurunan berat badan Cara ukur :Mengukur glukosa dalam darah dengan menggunakan stick glukosa yang diambil tanpa memperhatikan waktu makan.Tabel 13. Definisi operasional diabetes melitusDiagnosisGDSKeluhan

Non Diabetes mellitus< 200< 200 200-+-

Diabetes mellitus 200+

Hasil ukur:

Skala: Nominal1. Status Gizi Definisi:Keadaan gizi berdasarkan indeks massa tubuh yang diukur dengan cara berat badan dalam satuan kilogram (kg) dibagi dengan tinggi badan dalam satuan meter kuadrat (m2)Cara ukur :Mengukur berat badan dan tinggi badan. Berat badan diukur dengan menggunakan timbangan injak (kg) dan tinggi badan diukur dengan microtoise (cm).

Tabel 14. Definisi operasional status gizi KategoriIMT

Kurang 25,0 kg/m2

Hasil ukur :

Skala: Nominal1. Pola MakanDefinisi: Pola makan adalah adalah makan secara teratur, konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan >2 porsi sehari, dan gula pasir 90 mmHg.Cara ukur: pengukuran menggunakan tensimeter.Hasil ukur:Tabel 16. Definisi operasional penyakit penyerta (hipertensi)KategoriAktivitas

Hipertensi 140/90 mmHg

Tidak hipertensi< 140/90 mmHg

Skala:Nominal1. Konsumsi AlkoholDefinisi: Kebiasaan atau riwayat responden dalam mengkonsumsi alkohol.Cara ukur : menggunakan kuesioner atau wawancara langsung kepada responden dengan pertanyaan tertutup ya dan tidak.Hasil ukur: Ya dan TidakSkala:Nominal1. Konsumsi kafeinDefinisi: kebiasaan atau riwayat responden dalam mengkonsumsi teh atau kopi dalam 1 hari.Cara ukur: menggunakan kuesioner atau wawancara langsung kepada responden yang berisikan pertanyaan tertutup ya dan tidakHasil ukur: Ya dan TidakSkala : nominal1. MerokokDefinisi: kebiasaan atau riwayat pasien perokok aktif maupun pasifCara ukur: menggunakan kuesioner atau wawancara langsung kepada responden dengan pertanyaan tertutup ya dan tidak.Hasil ukur: Ya dan TidakSkala: Nominal1. StressDefinisi: Keadaan psikis seseoran terhadap tekanan dari luar atau peristiwa yang memberi kesan terhadap emosi atau tubuhCara ukur: menggunakan kuesioner inventory stressHasil ukur: Normal dan StresSkala: Nominal

1. Instrumen Pengambilan DataSumber data adalah primer yang diperoleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner dan pengukuran langsung terhadap responden.Wawancara dilakukan terhadap responden yang berkunjung pada saat posyandu lansia Puskesmas Tambak II dengan metode pertanyaan bersifat kombinasi pertanyaan terbuka dan tertutup. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner, timbangan berat badan analog, alat pengukur tinggi badan dengan menggunakan meteran, serta glukometer merk Accu Check.1. Rencana Analisis DataAnalisis dan pengolahan data merupakan suatu langkah penting agar data hasil wawancara penelitian dapat ditafsirkan oleh peneliti serta dibaca oleh orang lain. Langkah-langkah analisis dan pengolahan data adalah sebagai berikut:1. Pengisian kuesionerPengisian kuesioner adalah menuliskan informasi yang didapatkan dari responden baik dari wawancara maupun pemeriksaan yang meliputi pengukuran tekanan darah, berat badan, tinggi badan, lingkar perut, serta pengukuran gula darah sewaktu.1. Tahap pengolahan data 1. Editing yaitu melakukan koreksi terhadap data yang terkumpul mengenai kelengkapan, kejelasan, relevansi, dan konsistensi data.1. Pengkodean yaitu merubah data yang berbentuk huruf menjadi bentuk angka atau bilangan yang sesuai dengan klasifikasi yang ditetapkan peneliti.1. Entry data yaitu memindahkan data ke dalam komputer untuk diolah lebih lanjut.1. Tabulasi data yaitu membuat tabel untuk hasil pengumpulan dan pengolahan data.1. Penyajian data yaitu gambaran hasil yang bisa berupa tabel, tulisan atau grafik.1. Data dianalisa dengan metode analisis deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi tentang karakteristik sampel sebagai analisis univariat. Analisis bivariat menggunakan metode Chi-square untuk mengetahui hubungan antar variabel.1. Penyusunan laporan hasil penelitian1. Analisis DataPenelitian ini menggunakan analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan tiap variabel hasil penelitian, kemudian dihitung frekuensi dan presentasinya.

BAB VIHASIL DAN ANALISIS PENYEBAB MASALAH

A. Hasil1. Analisis UnivariatPenelitian dilakukan pada tanggal 20 Desember 2014. Populasi target pada penelitian ini adalah warga Posyandu Lansia Desa Purwodadi di wilayah kerja Puskesmas II Tambak. Berdasarkan total sampel, didapatkan jumlah sampel sebanyak 54 responden yang dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Dari hasil penelitian diperoleh gambaran karakteristik responden penelitian berdasarkan jenis kelamin, usia, IMT (Indeks Massa Tubuh), kadar glukosa darah, aktifitas fisik, pola makan, merokok, konsumsi kafein, konsumsi alkohol, hipertensi dan stres.a. Karakteristik Responden Menurut Jenis KelaminTabel 17. Karakteristik Responden Menurut Jenis KelaminKarakteristikJumlah

N%

Jenis KelaminPerempuan4888.9

Laki-laki611.1

Sumber: Data primer, Desember 2014Hasil penelitian pada responden menunjukkan bahwa distribusi responden menurut jenis kelamin terdiri dari 48 orang (88.9%) perempuan dan 6 orang (11.1%) laki-laki.b. Karakteristik Responden Menurut usiaTabel 18. Karakteristik Responden Menurut UsiaKarakteristikJumlah

N%

Usia40-552750

>552750

Sumber: Data primer, Desember 2014Hasil penelitian pada responden menunjukkan bahwa distribusi responden menurut usia terdiri dari 27 orang (50%) yang berusia 40-55 tahun, dan 27 orang (50%) yang berusia lebih dari 55 tahun

c. Karakteristik Responden Menurut PekerjaanTabel 19. Karakteristik Responden Menurut PekerjaanKarakteristikJumlah

N%

PekerjaanIRT3259.3

Petani1935.2

Buruh23.7

Pedagang11.9

Sumber: Data primer, Desember 2014Hasil penelitian pada responden menunjukkan bahwa distribusi responden menurut Pekerjaan terdiri dari 32 orang (59.3%) yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga, 19 orang (35.2%) berprofesi sebagai petani, 2 (3.7%) dan 1 (1.9%) orang masing masing sebagai buruh dan pedagangd. Karakteristik Responden Menurut Kadar Gula Darah Sewaktu (GDS)Tabel 20. Karakteristik Responden Menurut penyakit Diabetes mellitusKarakteristikJumlah

N%

GDS(mg/dL)20035.6

Sumber: Data primer, Desember 2014Hasil penelitian pada responden menunjukkan bahwa distribusi responden menurut Gula Darah Sewaktu terdiri dari 38 orang (70.4%) yang mememiliki kadar gula darah kurang dari 125 mg/dL, 13 orang (24.1%) 125-200 mg/dL dan hanya 3 orang (5.6%) yang memiliki kadar gula darah lebih dari 200e. Karakteristik Responden Menurut IMTTabel 21. Karakteristik Responden Menurut IMTKarakteristikJumlah

N%

IMTUnderweight916.7%

Normal2851.9%

Overweight1731.5%

Sumber: Data primer, Desember 2014Hasil penelitian pada responden menunjukkan bahwa distribusi responden menurut IMT terdiri dari 9 orang (16.7%) underweight, 28 orang (51.9%) normal, dan 17 orang (31.5%) Overweight.

f. Karakteristik Responden Menurut Tekanan DarahTabel 22. Karakteristik Responden Menurut Tekanan DarahKarakteristikJumlah

N%

Tekanan DarahHipertensi3361.1

Non Hipertensi2138.9

Sumber: Data primer, Desember 2014Hasil penelitian pada responden menunjukkan bahwa distribusi responden menurut tekanan darah terdiri dari 33 orang (61.1%) hipertensi dan 21 orang (38.9%) non hipertensi.

g. Karakteristik Responden Menurut Riwayat DM di KeluargaTabel 23. Karakteristik Responden Menurut Riwayat DM di KeluargaKarakteristikJumlah

N%

Riw. DM di KeluargaAda1932.5

Tidak ada3564.8

Sumber: Data primer, Desember 2014Hasil penelitian pada responden menunjukkan bahwa distribusi responden menurut riwayat keluarga dengan DM terdiri dari 19 orang (32.5%) memiliki riwayat dan 35 orang (64.8%) tidak memiliki riwayat.h. Karakteristik Responden Menurut Aktivitas FisikTabel 24. Karakteristik Responden Menurut Aktivitas FisikKarakteristikJumlah

N%

Aktivitas fisikCukup1120.4

Tidak cukup4379.6

Sumber: Data primer, Desember 2014Hasil penelitian pada responden menunjukkan bahwa distribusi responden menurut aktivitas fisik terdiri dari 11 orang (20.4%) aktivitas fisik cukup dan 43 orang (79.6%) aktivitas fisik tidak cukup.i. Karakteristik Responden Menurut Diit MakananTabel 25. Karakteristik Responden Menurut Diit MakananKarakteristikJumlah

N%

Diit MakananSeimbang2851.9

Tidak seimbang2648.1

Sumber: Data primer, 2014Hasil penelitian pada responden menunjukkan bahwa distribusi responden menurut diit makanan terdiri dari 28 orang (51.9%) diit makanan seimbang dan 26 orang (48.2%) diit makanan tidak seimbang.j. Karakteristik Responden Menurut Kebiasaan Merokok Aktif dan Kondisi Perokok PasifTabel 26. Karakteristik Responden Menurut Merokok

KarakteristikJumlah

N%

RokokAktifYa611.1

Tidak4888.9

PasifYa3463

Tidak2037

Sumber: Data primer, Desember 2014Hasil penelitian pada responden menunjukkan bahwa distribusi responden menurut kebiasaan merokok aktif terdiri dari 6 orang (11.1%) perokok aktif, 48 orang (88.9%) bukan perokok aktif, sebanyak 34 orang (63%) merupakan perokok pasif dan 20 orang (37%) bukan perokok pasif.k. Karakteristik Responden Menurut Konsumsi KafeinTabel 27. Karakteristik Responden Menurut Konsumsi KafeinKarakteristikJumlah

N%

Konsumsi KafeinYa4175.9

Tidak1324.1

Sumber: Data primer, Desember 2014Hasil penelitian pada responden menunjukkan bahwa distribusi responden menurut konsumsi kafein terdiri dari 41 orang (75.9%) konsumsi kafein dan 13 orang (24.1%) tidak konsumsi kafein.l. Karakteristik Responden Menurut Konsumsi AlkoholTabel 28. Karakteristik Responden Menurut Konsumsi AlkoholKarakteristikJumlah

N%

KonsumsiAlkoholYa00

Tidak54100

Sumber: Data primer, Desember 2014Hasil penelitian pada responden menunjukkan bahwa distribusi responden menurut konsumsi alkohol tidak ada yang mempunyai riwayat mengkonsumsi alkohol (0%).m. Karakteristik Responden Menurut Kebiasaan Konsumsi ManisTabel 29. Karakteristik Responden Menurut Kebiasaan Konsumsi ManisKarakteristikJumlah

N%

KebiasaanKonsumsi ManisYa3564.8

Tidak1935.2

Sumber: Data primer, Desember 2014Hasil penelitian pada responden menunjukkan bahwa distribusi responden menurut kebiasaan konsumsi manis 35 orang (64.8%) memiliki kebiassan mengkonsumsi minuman manis dan 19 (35.2%) tidak mempunyai kebiasaan.n. Karakteristik Responden Menurut StresTabel 30. Karakteristik Responden Menurut StresKarakteristikJumlah

N%

StresNormal3972.2

Stres1527.8

Sumber: Data primer, Desember 2014Hasil penelitian pada responden menunjukkan bahwa distribusi responden menurut faktor sters terdiri dari 63 orang (92.6%) normal dan 5 orang (7.4%) mengalami stress.

B. PembahasanPenelitian ini meneliti mengenai identifikasi faktor resiko DM tipe 2 di Desa Purwodadi Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas. Hipotesis yang peneliti ajukan yaitu terdapat faktor resiko yang mempengaruhi kejadian DM tipe 2 pada masyarakat Desa Purwodai Kecamatan Tambak. Pada hasil didapatkan jumlah responden wanita delapan kali lebih banyak dibandingkan responden pria. Hal ini terjadi dikarenakan bulan Desember seringkali bertepatan dengan musim tanam sehingga pria lebih banyak bekerja di sawah. Alasan lain yang mendasari adalah karena perilaku sakit wanita lebih tinggi jika dibandingkan pria sehingga lebih banyak memeriksakan diri. Selain itu, kejadian DM pada wanita lebih tinggi dibandingkan pria.Banyak penelitian menunjukan pevalensi kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca-menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita diabetes mellitus tipe2 (Irawan, 2010).Penelitian antara umur dengan kejadian diabetes mellitus menunjukan adanya hubungan yang signifikan. Hasil analisis univariat menyebutkan 50% responden memiliki umur 40-55 tahun dan 50% memiliki umur lebih dari 55 tahun. Hal ini merupakan faktor resiko yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mengidap DM tipe 2. Kelompok umur < 45 tahun merupakan kelompok yang kurang berisiko menderita DM Tipe 2. Umur 45 tahun beresiko 72% lebih besar untuk mengidap DM tipe 2 jika dibandingkan kelompok umur