tambahan-constructivism (sugiyono ugm)

19
Program Pascasarjana, Ilmu Politik Politik Internasional Handout, Pertemuan ke-7 Konstruktivisme Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan salah satu tradisi pemikiran yang sangat berpengaruh dalam studi hubungan internasional saat ini. Tradisi ini berkembang di Amerika sejak berakhirnya Perang Dingin sebagai reaksi terhadap kegagalan tradisi- tradisi dominan dalam studi hubungan internasional realisme dan liberalisme untuk memprediksi ataupun memahami transformasi sistemik yang mengubah tatanan dunia secara drastis. Secara ontologis, konstruktivisme dibangun atas tiga proposisi utama. Pertama, struktur sebagai pembentuk perilaku aktor sosial dan politik, baik individual maupun negara, tidak hanya terdiri memiliki aspek material, tetapi juga normatif dan ideasional. Berbeda dengan neorealis dan marxis, misalnya, yang menekankan pada struktur material hanya dalam bentuk kekuatan militer dan ekonomi dunia yang kapitalis, konstruktivis berargumen bahwa sistem nilai, keyakinan dan gagasan bersama sebenarnya juga memiliki karakteristik struktural dan menentukan tindakan sosial maupun politik. Sumber-sumber material sebenarnya hanya bermakna bagi tindakan atau perilaku melalui struktur nilai atau pengetahuan bersama. Disamping itu, struktur normatif dan ideasionallah yang sebenarnya membentuk identitas sosial aktor-aktor politik. 1 1 Struktur ideasional dan normatif membentuk indentitas (dan, kemudian, juga kepentingan) aktor-aktor politik melalui tiga cara: imaginasi, komunikasi dan pembatasan. Imaginasi mengacu pada bagaimana aktor-aktor politik melihat peluang-peluang ataupun hambatan-hambatan mereka untuk bertindak, baik dalam artia praktis maupun etis. Komunikasi menggambarkan upaya-upaya aktor-aktor politik untuk memberikan justifikasi dari tindakan-tindakan mereka dengan mengacu pada norma-norma atau cara-cara yang sah yang berlaku dalam masyarakat. Tidak jarang struktur idealisonal dan normatif tidak mempengaruhi perilaku aktor, baik sebagai kerangka imajinasi maupun sebagai justifikasi. Tetapi, dalam kasus-kasus inipun, struktur ideasional dan normatif bisa sangat besar pengaruhnya dalam membatasi perilaku atau tindakan-tindakan aktor. Muhadi Sugiono dan Ririen Tri Nurhayati 1

Upload: roveq-eko-syahri

Post on 20-Jan-2016

39 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: TAMBAHAN-Constructivism (Sugiyono UGM)

Program Pascasarjana, Ilmu PolitikPolitik Internasional

Handout, Pertemuan ke-7

KonstruktivismeKonstruktivisme

Konstruktivisme merupakan salah satu tradisi pemikiran yang sangat berpengaruh dalam studi hubungan internasional saat ini. Tradisi ini berkembang di Amerika sejak berakhirnya Perang Dingin sebagai reaksi terhadap kegagalan tradisi-tradisi dominan dalam studi hubungan internasional realisme dan liberalisme untuk memprediksi ataupun memahami transformasi sistemik yang mengubah tatanan dunia secara drastis.

Secara ontologis, konstruktivisme dibangun atas tiga proposisi utama. Pertama, struktur sebagai pembentuk perilaku aktor sosial dan politik, baik individual maupun negara, tidak hanya terdiri memiliki aspek material, tetapi juga normatif dan ideasional. Berbeda dengan neorealis dan marxis, misalnya, yang menekankan pada struktur material hanya dalam bentuk kekuatan militer dan ekonomi dunia yang kapitalis, konstruktivis berargumen bahwa sistem nilai, keyakinan dan gagasan bersama sebenarnya juga memiliki karakteristik struktural dan menentukan tindakan sosial maupun politik. Sumber-sumber material sebenarnya hanya bermakna bagi tindakan atau perilaku melalui struktur nilai atau pengetahuan bersama. Disamping itu, struktur normatif dan ideasionallah yang sebenarnya membentuk identitas sosial aktor-aktor politik.1

Kedua, kepentingan (sebagai dasar bagi tindakan atau perilaku politik) bukan menggambarkan rangkaian preferensi yang baku, yang telah dimiliki oleh aktor-aktor politik, melainkan sebagai produk dari identitas aktor-aktor tersebut. Berbeda para teoretisi neorealis, neoliberal ataupun marxist, yang hanya memberi perhatian pada aspek-aspek strategis dalam arti bagaimana akator-aktor politik bertindak mencapai kepentingan mereka, teoretisi konstruktivis lebih menekankan pada sumber-sumber munculnya kepentingan, yakni bagaimana aktor-aktor politik mengembangkan kepentingan-kepentingan mereka. Dalam artian ini, terkait dengan proposisi ontologis yang pertama, Alexander Wendt secara jelas mengatakan bahwa, Identities are the basis of interests’ ((1992). 1 Struktur ideasional dan normatif membentuk indentitas (dan, kemudian, juga kepentingan)

aktor-aktor politik melalui tiga cara: imaginasi, komunikasi dan pembatasan. Imaginasi mengacu pada bagaimana aktor-aktor politik melihat peluang-peluang ataupun hambatan-hambatan mereka untuk bertindak, baik dalam artia praktis maupun etis. Komunikasi menggambarkan upaya-upaya aktor-aktor politik untuk memberikan justifikasi dari tindakan-tindakan mereka dengan mengacu pada norma-norma atau cara-cara yang sah yang berlaku dalam masyarakat. Tidak jarang struktur idealisonal dan normatif tidak mempengaruhi perilaku aktor, baik sebagai kerangka imajinasi maupun sebagai justifikasi. Tetapi, dalam kasus-kasus inipun, struktur ideasional dan normatif bisa sangat besar pengaruhnya dalam membatasi perilaku atau tindakan-tindakan aktor.

Muhadi Sugiono dan Ririen Tri Nurhayati 1

Page 2: TAMBAHAN-Constructivism (Sugiyono UGM)

Program Pascasarjana, Ilmu PolitikPolitik Internasional

Handout, Pertemuan ke-7

Ketiga struktur dan agent saling menentukan satu sama lain. Konstruktivis pada dasarnya adalah strukturasionis yakni menekankan peran struktur non-material terhadap identitas dan kepentingan serta, pada saat yang bersamaan, menekankan peran praktek dalam membentuk struktur-struktur tersebut. Artinya, meskipun sangat menentukan identitas (dan oleh karenanya juga kepentingan) aktor-aktor politik, struktur ideasional atau normatif tidak akan muncul tanpa adanya tindakan-tindakan aktor-aktor politik.

Sekalipun berangkat dari posisi ontologis bersama, konstruktivisme berkembang melalui tiga varian pemikiran yang berbeda: sistemik, level unit dan holistik. Konstruktivis sistemik, dengan tokohnya Alexander Wendt, memiliki kesamaan dengan neorealis dalam artian keduanya memberikan perhatian hanya pada interaksi antar negara sebagai aktor-aktor tunggal dan mengabaikan semua proses yang berlangsung di dalam masing-masing aktor tersebut. Memahami politik internasional, dalam pemikiran konstruktivis sistemik, berarti semata-mata memahami bagaimana negara berhubungan satu sama lain dalam ruang eksternal atau internasional. Seperti halnya dengan neorealisme, anarkhi dalam politik internasional menjadi sebuah konsep yang penting dalam varian konstruktivisme ini. Hanya saja, berbeda dengan neorealist yang melihat negara berhubungan satu sama lain dalam konteks anarkhi, konstruktivis memahami anarkhi justru sebagai produk hubungan antar negaraa. Posisi ini ditujuukan dengan jelas oleh Wendt melalui judul dari salah satu karya utamanya, ‘Anarchy is what states make of it’ (1992).

Varian kedua konstruktivisme berusaha melihat hubungan pengaruh norma-norma sosial dan legal di tingkat domestik bagi identitas, dan oleh karenanya, kepentingan-kepentingan negara. Peter Katzenstein merupakan salah figur penting konstruktivisme dari varian ini. Melalui dua buah karyanya, Cultural Norms and National Security: Police and Military in Changing Japan (1996) dan Tamed Power: Germany in Europa (1999), Katzenstein berusaha menunjukkan bagaimana kedua negara dengan pengalaman yang sama, sebagai negara yang kalah perang, mengalami pendudukan asing dan berubah dari otoritarian menuju demokrasi, memiliki kebijakan-kebijakan pertahanan internal dan external yang sangat berbeda. Menurut Katzenstein, perbedaan ini mencerminkan institusionalisasi norma-norma sosial dan legal yang berbeda di tingkat nasional kedua negara tersebut. Sekalipun tidak mengabaikan peran peran norma internasional dalam membentuk identitas dan kepentingan negara, penekanan yang berlebihan pada aspek domestik menempatkan konstruktivisme (dalam varian ini) pada posisi yang sulit untuk menjelaskan munculnya kesamaan-kesamaan antar negara ataupun adanya pola-pola konvergensi idetitas dan kepentingan negara-negara yang berbeda.

Muhadi Sugiono dan Ririen Tri Nurhayati 2

Page 3: TAMBAHAN-Constructivism (Sugiyono UGM)

Program Pascasarjana, Ilmu PolitikPolitik Internasional

Handout, Pertemuan ke-7

Varian konstruktivisme ketiga, yakni holistik, berusaha menjembatani kedua posisi dua varian konstruktivisme yang bertolak belakang di atas dengan jalan melihat domestik dan internasional sebagai dua aspek berbeda dari tatanan sosial dan politik yang sama. Konstruktivis holistik berusaha menjelaskan dinamika perubahan global terutama dalam kaitannya dnegan muncul dan hancurnya negara berdaulat melalui hubungan timbal balik antara negara dan tatanan global tersebut. Hubungan ini ditunjukkan dengan dua cara yang berbeda. John Gerard Ruggie, misalnya, berusaha menjelaskan perubahan dalam politik internasional akibat munculnya negara berdaulat dari puing-puing feodalisme Eropa dengan menekankan pada pentingnya perubahan dalam episteme sosial atau kerangka pengetahuan (1986, 1993). Cara yang kedua diwakili oleh karya Friedrich Kratochwil mengenai berakhirnya Perang Dingin, dengan menekankan pada perubahan dalam gagasan mengenai tatanan dan keamanan internasional. Karena besarnya perhatian terhadap transformasi-transformasi yang bersifat global dan besar, varian konstruktivisme cenderung bersifat strukturalis dan mengabaikan aspek agency sebagai salah satu preposisi ontologis konstruktivisme. Dalam artian ini, gagasan, norma maupun budaya dipahami memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah transformasi, tetapi terlepas dari keinginan, pilihan ataupun tindakan manusia.

Dalam sejarah perkembangan teoretis studi hubungan internasional, konstruktivisme pada dasarnya berangkat dari tradisi pemikiran teori kritis, dalam arti para pendukung konstruktivisme melihat potensi teori kritis untuk melihat politik internasional melalui aspek-aspek yang sangat beragam, berhadapan dengan neorealisme dan neoliberalisme. Seperti halnya teori kritis, konstruktivisme menolak posisi ontologis neoliberal dan neorealis yang menggambarkan manusia secara rasionalis, yakni sebagai aktor-aktor yang atomistis dan egois sedangkan masyarakat hanyalah sebagai arena strategis semata-mata. Konstruktivisme, sejalan dengan teori kritis, sebaliknya, melihat manusia dengan image yang sangat berbeda: sebagai makhluk sosial, terbentuk melalui komunikasi dan kultur. Disamping itu, konstruktivisme dan teori kritis menggunakan metodologi yang sama: menolak positivisme dan lebih menekankan pada metodologi interpretatif, diskursif dan historis.

Tetapi, keterkaitan antara konstruktivisme dan teori kritis tidak berjalan lebih jauh daripada aspek-aspek ontologi, epistemologi dan metodologi. Konstruktivisme menjauhkan diri dari teori kritis dengan meninggalkan keasyikan pada tingkat metateori yang mendominasi teori kritis dan lebih menekankan pada analisa empiris, yakni berusaha menemukan pemahaman konseptual dan teoretis dengan menganalisa masalah-masalah empiris dalam politik internasional secara empiris. Dalam artian ini, konstruktivisme melihat teori kritis tidak memiliki

Muhadi Sugiono dan Ririen Tri Nurhayati 3

Page 4: TAMBAHAN-Constructivism (Sugiyono UGM)

Program Pascasarjana, Ilmu PolitikPolitik Internasional

Handout, Pertemuan ke-7

potensi untuk melakukan inovasi dalam mengelaborasi konsep-konsep yang digunakannya ataupun mengembangkan teori yang didasari oleh empiri.

Melemahnya keterkaitan antara konstruktivisme dan teori kritis tidak berlangsung satu arah. Teori kritis juga sangat kritis terhadap asumsi-asumsi konstruktivisme. Sekalipun memiliki posisi ontologis, empistemologis maupun metodologis yang sama, konstruktivisme dianggap berusaha menghilangkan aspek power dalam memahami nilai. Nilai dianggap sebagai sesuatu yang netral dan tidak punya bias ataupun basis kekuasaan. Dalam artian ini, konstruktivisme kehilangan tujuan utama pemikiran kritis, yakni emansipasi. Jadi, sekalipun memahami realitas bukan sebagai sesuatu yang beku, alamiah dan abadi melainkan sebagai produk dari interaksi, konstruktivisme tidak memaknai interaksi antar nilai ini sebagai sebuah proses politik yang sangat berpengaruh pada aspek keadilan, kesederajatan dan kebebasan.

Renny Candradewi

Konstruktivisme dicirikan sebagai pengembangan struktur normatif dan materi terhadap peran identitas membentuk aksi politis dan hubungan konstitutif antara agen dan struktur (Reus-smit, 2004: 188). Aliran Konstruktif sering pula dikenal sebagai perkembangan lanjut pendekatan teori kritis. Aliran ini beranggapan bahwa “shared ideas dan values” menyusun identitas (ideational identity) yang pada gilirannya mempengaruhi kepentingan. “ideational identitiy” dan “interests” inilah yang pada akhirnya turut menentukan aksi politis.

Berdasarkan asal “ideational identity”nya dibedakan menjadi tiga: kontruktivisme sistemik, konstruktivisme “unit level”, dan konstruktivisme heuristik. Kepentingan yang berasal dari eksternal (norma dan nilai-nilai institusi internasional) membentuk analisa konstruktivisme secara sistemik. Kepentingan yang berasal dari nilai-nilai domestik (keyakinan, values, shared ideas) menyusun kerangka analisis konstruktivisme “unit level”. Konsolidasi keduanya membentuk analisa konstruktivisme secara “heuristik”.

Kemunculan aliran konstruktivitas berasal dari: pertama, keinginan untuk membawa teori kritis ke arah analisis yang lebih substansial. Kedua, fakta globalisasi menyediakan lebih banyak sudut pandang alternatif dalam memandang suatu persoalan. “Scholars” pada dekade 1990-an muncul dengan inovasi perkembangan teori kritis terbaru yang menggunakan fakta-fakta empiris (Klotz, 1995 dalam Reus-smit, 2004: 195). Sebab terakhir ialah kegagalan grandtheories dalam menjelaskan persoalan tertentu, misalnya hubungan negara karena konfliktual ide seperti nasionalisme (Honduras v.s. Venezuela) (Reus-Smit, 2004 195).

Grandtheories (neo-realis dan neo-liberalis) mengutarakan bahwa posisi struktur negara menentukan aksi politis negara tersebut. Grandtheories mengasumsikan hubungan antar negara dapat semata-mata dijelaskan dengan konsep Balance of Power, game theory,

Muhadi Sugiono dan Ririen Tri Nurhayati 4

Page 5: TAMBAHAN-Constructivism (Sugiyono UGM)

Program Pascasarjana, Ilmu PolitikPolitik Internasional

Handout, Pertemuan ke-7

Prisoner dilemma maupun lainnya. Akan tetapi hubungan negara yang semula sekutu dekat tiba-tiba berubah menjadi musuh abadi sepertihalnya Malaysia dan Indonesia bisa lebih dijelaskan dalam konsep nilai dan norma yang membentuk lingkungan sosial dan politik aktor-aktornya. Selaras dengan teori kritis mendukung gagasan bahwa yang menentukan sosial dan politis aktor tersebut ialah nilai dan norma. Aliran konstruktivisme menggarisbawahi bahwa material (power and economic distribution, military capabilites,geography capabilites and natural resources, etc. ) dan “ideational forces” juga turut menentukan (mempengaruhi) lingkungan sosial aksi politis tersebut.

Struktur normatif dan “ideational” dipandang sebagai pembentuk identitas dan “interest” aktor melalui mekanisme: imajinasi, komunikasi, dan constraints (Reus-smit, 2004: 198). Dengan anggapan demikian, struktur normatif dan ideasional (“non-material structures”) mempengaruhi apa yang aktor lihat dalam dunia “kemungkinan”. Di dalam institusionalisasi, identitas dibentuk dalam lingkungan sosial tempat mereka bertindak. Apabila grandtheories menekankan bahwa aktor dibentuk oleh faktor luar (exogenous) yang mana keadaan material menentukan perilaku output aktor, maka konstruktivisme mengutarakan bahwa faktor endogenous (kepentingan dari dalam) yang menentukan output aktor. Faktor endogenous terbentuk melalui persepsi pengalaman yang diperoleh melalui komunikasi, refleksi pengalaman dan peran. Pengetahuan-pengetahuan sosial (interests, shared values, ideas, and beliefs) yang mengkonstruksi lingkungan sosial.

Beberapa “kelemahan” pendekatan konstruktivisme ialah absennya teori konstruktivisme yang mana tidak ada suatu ide, kepentingan, keyakinan yang benar-benar universal sehingga sanggup menggambarkan secara umum peristiwa-peristiwa dominan (Reus-smit, 2004: 202). Kedua, konstruktivisme menganggap “interest” sebagai faktor yang menyusun identitas sementara teori rasional menilai “interest” sebagai faktor yang tidak didefinisakkn (Reus-smit, 2004: 202). Sehingga dari pada sebagai teori yang mengkritisi teori rasional,  teori konstruktivisme hanya bersifat sebagai komplementer grandtheories.

OPINI

Pada umumnya teori konstruktivisme dikenal sebagai pendekatan dan metodologi berpikir dengan mendapatkan pengetahuan melalui refleksi pengalaman diri. Pengetahuan dari pengalaman ini diperoleh dari proyeksi ide-ide, norma-norma, nilai-nilai yang mempengaruhi “reasoning” (interests) subyek terhadap suatu peristiwa. Inilah yang mengakibatkan pengetahuan itu mustahil “bebas nilai”. Sangat mungkin apabila pengetahuan itu dipengaruhi oleh kepentingan, salah satunya, “politis” penguasa yang saat itu berkuasa.

Konstruktivisme lahir sebagai metodologi baru dalam menganalisa struktur dan agen dalam hubungan internasional. Konstruktivisme mengkritik pemahaman “materialisme” milik grandtheories dan “ideational identity” milik teori kritis yang lain. Menurut konstruktivisme sebagai teori kritis, hubungan internasional sulit diproyeksikan menggunakan pendekatan (metode) historis murni (merujuk pada konstekstualitas yang ada), psikologikal dan ilmu alam (behavioralisme) (Mingst, 2009: 3). Pemahaman tersebut sulit untuk didapatkan mengingat teori seelalu tersituasi dan terkondisi oleh ideologi, kultural dan pengaruh sosiologi lainnya yang membuat interpretasi teori tidak

Muhadi Sugiono dan Ririen Tri Nurhayati 5

Page 6: TAMBAHAN-Constructivism (Sugiyono UGM)

Program Pascasarjana, Ilmu PolitikPolitik Internasional

Handout, Pertemuan ke-7

lagi bebas nilai melainkan berisi serangkaian realitas berdasarkan sudut pandang, pengetahuan, dan interpretasi subyektif individual.

Lahirnya teori konstruktivisme menjadi cermin dinamisme teori hubungan internasional yang mengembalikan kajian analisis historis, normatif, dan sosial (Reus-smit, 2000: 205). Utamanya pendekatan analisis hisotris tidak lagi semata-mata mengandalkan repetisi pengulangan peristiwa dominan yang serupa. Analisis historis diikutsertakan dengan melibatkan perkembangan norma-norma, nilai, dan keyakinan sosial masyarakat bahkan budaya yang melatarbelakangi “interests” subyek. Analisis historis mendapat napas baru dengan mengijinkan interpretasi-interpretasi subyektif yang mendukung serta melengkapi analisis. Oleh karena itu, aliran konstruktivisme mengungkapkan bahwa non-materialisme bukan menjadi subyek konstruksi dunia internasional, melainkan interpretasi intersubyektif dan interaksi sosiallah yang mengkonstruksi dunia internasional (Mingst, 2009: 3). Interpretasi intersubyektif dan lingkungan sosial merupakan subyek dinamika itu sendiri. Sehingga aliran konstruktivisme mendukung “notion” bahwa aktor perilaku akan terus menerus berubah.

Konstruktivisme berbicara bahwa yang berkontribusi menentukan atau membentuk aksi politik tertentu adalah nilai-nilai, norma, ide-ide yang menyusun kepentingan. Kepentingan inilah yang melandasi berpikir suatu aksi politik tertentu. Tidak jarang, aliran konstruktivisme ini sangat dekat dengan metodologi psikologi dan sosiologi yang mempelajari terbentuknya perilaku berdasarkan pengetahuan atau proyeksi pengetahuan berdasarkan pengalaman (kognitif) seseorang.

SUMBER

Linklater, Andrew. 2004. “English School”, dalam Theories of International Relations 3rd Ed. Londong: Palgrave Macmillan

Mingst, Karen. 2009. The Essentials of International Relations. New York: Norman Pub. p.3-11

KONSTRUKTIVISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL2010 07.02

Konstruktivisme pada dasarnya mengasumsikan bahwa politik internasional adalah hasil dari suatu “konstruksi sosial”, yakni proses dialektika antara “struktur” dan “agen”, di mana lingkungan sosial-politik dan manusia saling berinteraksi untuk menghasilkan perubahan-perubahan sosial-politik. Dalam ilmu sosial, konstruktivisme diinspirasi oleh berbagai teori lainnya seperti critical theory ala Habermas, posmodernisme, feminisme, institusionalisme, interaksionisme simbolik ala Garfinkel, dan teori strukturasi ala Giddens. Akhir-akhir ini para pakar HI makin memperhitungkan eksistensi teori ini. Ada sekurang-kurangnya dua pemikiran dalam teori konstruktivis yang relevan bagi studi HI. Pertama, keyakinan bahwa struktur-struktur yang  mempersatukan umat manusia lebih ditentukan oleh “shared ideas” (gagasan-gagasan yang diyakini bersama) daripada

Muhadi Sugiono dan Ririen Tri Nurhayati 6

Page 7: TAMBAHAN-Constructivism (Sugiyono UGM)

Program Pascasarjana, Ilmu PolitikPolitik Internasional

Handout, Pertemuan ke-7

kekuatan material. Keyakinan semacam ini mewakili perspektif “idealis” yang pernah mendominasi disiplin HI (terutama sebelum Perang Dunia ke-II) yang sangat memberi perhatian pada kekuatan ide-ide manusia dalam mmpengaruhi proses politik. Kedua, keyakinan bahwa identitas dan kepentingan actor-aktor tertentu dibentuk oleh shared ideas tersebut di atas, dan bukannya dibentuk oleh peristiwa alam semata. Artinya, tindakan actor yang dapat mengakibatkan terjadinya peristiwa politik tertentu bukan semata-mata karena maksud, intense, dan motivasi dari individu yang bersangkutan, tetapi lebih merupakan hasil proses interaksi antara individu tersebut dengan lingkungan di sekitarnya (struktur sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya). Dengan demikian, perspektif ini mewakili aliran strukturalisme di dalam teori konstruktivis.

Tulisan ini menghadirkan konstruktivisme sebagai bahasan terutama karena relevansinya dengan transformasi aktor-aktor di dalam studi HI dari yang menekankan pada sistem Negara(pilar 1), menjadi yang menekankan pada kodifikasi moralitas dan aturan internasional(pilar 2), dan kemudian yang menekankan pada gerakan social local maupun global(pilar 3).

Ketika konstruktivisme melepaskan HI dari belenggu dominasi determinisme agency ala Realisme tradisional, maka peluang untuk semakin memperluas lingkup dan unit analisis studi HI pun semakin besar. Dalam konteks inilah kita dapat memahami transformasi dari pilar I, menjadi pilar II dan III. Sebagaimana telah disebutkan, transformasi ini membuka ruang-ruang baru bagi studi HI, termasuk actor-aktor baru yang dalam HI disebut berada pada jalur Track Two (jalur diplomasi non-negara), sebagaimana dikatakan Mely c. Anthony:

‘Constructivism, especially, allows us to identify non-state actors as the “agents” who bring with them “ideas” that are critical in shaping state policies. Constructivism also alerts us to perceptibe changes in attitudes and approaches within and among states that may be taking place as ideas find their way into concrete policies. These ideas add to the dynamics as the state actors, and to a certain extent, non-state actors engage in the process that bring about intersubjective understanding of how inter-state relations should be.’

Dengan demikian, konstruktivisme telah memberikan sumbangan penting bagi perkembangan studi HI, terutama dari sisi pembukaan kemungkinan perluasan bahasan tentang actor-aktor studi HI yang tidak lagi harus didominasi oleh lembaga-lembaga internasional dan Negara. Maka, mereka yang meneliti tentang HI mempunyai lebih banyak plilihan untuk membahas tema-tema baru yang dapat masuk ke dalam lingkup studi HI.

1.1 Pengertian Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan salah satu tradisi pemikiran yang sangat berpengaruh dalam studi hubungan internasional saat ini. Tradisi ini berkembang di Amerika sejak berakhirnya Perang Dingin sebagai reaksi terhadap kegagalan tradisi-tradisi dominan dalam studi hubungan internasional ¾ realisme dan liberalisme ¾ untuk memprediksi ataupun memahami transformasi sistemik yang mengubah tatanan dunia secara drastis.

Muhadi Sugiono dan Ririen Tri Nurhayati 7

Page 8: TAMBAHAN-Constructivism (Sugiyono UGM)

Program Pascasarjana, Ilmu PolitikPolitik Internasional

Handout, Pertemuan ke-7

Secara ontologis, konstruktivisme dibangun atas tiga proposisi utama. Pertama, struktur sebagai pembentuk perilaku aktor sosial dan politik, baik individual maupun negara, tidak hanya terdiri memiliki aspek material, tetapi juga normatif dan ideasional. Berbeda dengan neorealis dan marxis, misalnya, yang menekankan pada struktur material hanya dalam bentuk kekuatan militer dan ekonomi dunia yang kapitalis, konstruktivis berargumen bahwa sistem nilai, keyakinan dan gagasan bersama sebenarnya juga memiliki karakteristik struktural dan menentukan tindakan sosial maupun politik. Sumber-sumber material sebenarnya hanya bermakna bagi tindakan atau perilaku melalui struktur nilai atau pengetahuan bersama. Disamping itu, struktur normatif dan ideasionallah yang sebenarnya membentuk identitas sosial aktor-aktor politik.

Kedua, kepentingan (sebagai dasar bagi tindakan atau perilaku politik) bukan menggambarkan rangkaian preferensi yang baku, yang telah dimiliki oleh aktor-aktor politik, melainkan sebagai produk dari identitas aktor-aktor tersebut. Berbeda para teoretisi neorealis, neoliberal ataupun marxist, yang hanya memberi perhatian pada aspek-aspek strategis dalam arti bagaimana akator-aktor politik bertindak mencapai kepentingan mereka, teoretisi konstruktivis lebih menekankan pada sumber-sumber munculnya kepentingan, yakni bagaimana aktor-aktor politik mengembangkan kepentingan-kepentingan mereka. Dalam artian ini, terkait dengan proposisi ontologis yang pertama, Alexander Wendt secara jelas mengatakan bahwa, ‘Identities are the basis of interests’ ((1992).

Ketiga struktur dan agen saling menentukan satu sama lain. Konstruktivis pada dasarnya adalah strukturasionis yakni menekankan peran struktur non-material terhadap identitas dan kepentingan serta, pada saat yang bersamaan, menekankan peran praktek dalam membentuk struktur-struktur tersebut. Artinya, meskipun sangat menentukan identitas (dan oleh karenanya juga kepentingan) aktor-aktor politik, struktur ideasional atau normatif tidak akan muncul tanpa adanya tindakan-tindakan aktor-aktor politik.

1.2 Tokoh Konstruktivisme

Tokoh pemikiran konstruktif klasik berasal dari pemikir sosial seperti Hegel, Kant, dan Grotius, yang kental dengan paham idealisme. Sedangkan pasca Perang Dingin, mulai bermunculan para kontruktivis yang cenderung berpikir tentang politik internasional, yakni Karl Deutch, Ernst Haas dan Hedley Bull. Tokoh konstruktivisme lain yang tak kalah hebatnya adalah Friedrich Kratochwill (1989), Nicholas Onuf (1989), dan Alexander Wendt (1992).

1.3 Buku Mengenai Konstruktivisme

Social Theory of International Politics 1999 oleh Alexander Wendt .

1.4 Kritik Tentang Konstruktivisme Terhadap Neoliberal dan Neorealis

Konstruktivisme lahir dari sebuah kritik secara terbuka terhadap pendekatan Neorealisme dan Neoliberalisme. Manusia adalah mahluk individual yang dikonstruksikan melalui realitas sosial. Konstruksi atas manusia akan melahirkan paham intersubyektivitas. Hanya dalam proses interaksi sosial, manusia akan saling memahaminya. Dalam melihat hubungan antar sesama individu, nilai-nilai relasi tersebut bukanlah diberikan atau

Muhadi Sugiono dan Ririen Tri Nurhayati 8

Page 9: TAMBAHAN-Constructivism (Sugiyono UGM)

Program Pascasarjana, Ilmu PolitikPolitik Internasional

Handout, Pertemuan ke-7

disodorkan oleh salah satu pihak, melainkan kesepakatan untuk berinteraksi itu perlu diciptakan di atas kesepakatan antar kedua belah pihak. Dalam proses ini, faktor identitas individu sangat penting dalam menjelaskan kepentingannya. Interaksi sosial antar individu akan menciptakan lingkungan atau realitas sosial yang diinginkan. Dengan kata lain, sesungguhnya realitas sosial merupakan hasil konstruksi atau bentukan dari proses interaksi tersebut. Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional, membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau yang diinginkan berdasarkan peraturan, strukturasi dan verstehen dalam speech acts.

1.5 Asumsi Dasar Konstruktivis

1.5.1 Pandangan Mereka Tentang Negara

Menurut konstruktivisme, setiap tindakan negara didasarkan pada meanings yang muncul dari interaksinya dengan lingkungan internasional.

Setiap bentuk tindakan negara misalnya melakukan perang atau menjalin hubungan baik, ataupun memutuskan hubungan dan bahkan tidak melakukan hubungan dengan negara lain, semuanya didasarkan oleh meanings yang muncul dari interaksinya dengan negara-negara atau lingkungan internasionalnya. Tindakan negara terhadap musuhnya tentulah berbeda dengan tindakan terhadap temannya. Negara akan memberikan ancaman terhadap musuhnya dan tentu tidak terhadap temannya.Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengan collective meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan negara-negara.

1.5.2 Anarkhi Dalam Sistem Internasional

Pandangan konstruktivis terhadap realitas hubungan internasional pada dasarnya muncul untuk membantah pandangangan neorealis. Neorealis selalu memandang realitas hubungan internasional sebagai sesuatu yang anarkis. Kondisi tersebut sifatnya given (ada dengan sendirinya) baik keberadaannya dan sifatnya yang permissive. Konsep “permissive” merujuk pada kondisi yang memungkinkan negara-negara untuk berperang. Dalam konteks ini perang terjadi karena tidak ada yang mencegah negara-negara untuk berperang. Sifat alamiah manusialah atau keadaan politik domestik negara predator yang menyebabkan terjadinya konflik.

Jadi jika negara A menyerang negara B, kemudian B melakukan tindakan defense, maka itu disebabkan semata-mata hanya oleh faktor sifat alamiah manusia atau politik domestik. Jadi sistem internasional yang anarkis dan negara adalah sesuatu yang terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Semua perilaku negara terjadi di dalam sistem anarkis itu tanpa ada pengaruh apapun dari perilaku negara-negara terhadap sistem tersebut. Neorealis tidak melihat bahwa “practices” negara menentukan karakter anarchy.

Muhadi Sugiono dan Ririen Tri Nurhayati 9

Page 10: TAMBAHAN-Constructivism (Sugiyono UGM)

Program Pascasarjana, Ilmu PolitikPolitik Internasional

Handout, Pertemuan ke-7

Dalam pandangan neorealis anarchy adalah sistem yang sifatnya self- help dan ditentukan oleh persaingan power politics, di mana keduanya adalah pemberian oleh struktur sistem negara.Konstruktivis tidak dalam posisi untuk menolak asumsi anarkis itu, namun memberikan argumen bahwa terjadi interaksi antar negara di dalam sistem anarkis tersebut. Dalam proses interaksi terjadi proses saling mempengaruhi antar negara sehingga memberikan “bentuk” terhadap struktur internasional. Dalam interaksi itu negara membawa subyektifitas masing-masing yang didasarkan pada meanings yang dimiliki. Proses interaksi menyebabkan terjadinya interaksi subyektifitas, dan kesepahaman tentang persepsi atau pengakuan identitas pihak lain— yang selanjutnya disebut others dan diri sendiri (negara) disebut self– memunculkan konsep intersubyektifitas. Intersubyektifitas menyangkut kesepakatan ataupun pengakuan terhadap meanings bersama atau collective meanings. Masing-masing pihak di dalam proses interaksi telah sepakat tentang “sesuatu” yaitu bisa berupa musuh, teman, ancaman, atau kerja sama.

1.5.3 Peranan Ide Dalam Hubungan Internasional

Konstruktivis dibangun dari basis ide, norma, budaya, dan nilai. Atas dasar itulah konstruktivis digolongkan ke dalam teori idealis. Formulasi teoritik konstruktivis menyatakan bahwa lingkungan sosial menentukan bentuk identitas aktor. Identitas kemudian menentukan kepentingan, dan kepentingan akan menentukan bentuk tingkah laku, aksi ataupun kebijakan dari aktor. Pada tahap berikutnya identitas juga akan mempengaruhi bentuk dari lingkungan sosial.

Konstruktivis memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan identitas membentuk pemahaman negara dan merespon kondisi di sekitarnya.

1.5.4 Pandangan Tentang Perang dan Damai

Perang, penggunaan kekuatan, sering dianggap sebagai perangkat utama dalam hubungan internasional. Definisi perang yang diterima secara luas adalah yang diberikan oleh Clausewitz, yaitu bahwa perang adalah “kelanjutan politik dengan cara yang lain.” Terdapat peningkatan studi tentang “perang-perang baru” yang melibatkan aktor-aktor selain negara. Studi tentang perang dalam Hubungan Internasional tercakup dalam disiplin Studi Perang dan Studi Strategis.Konsep perdamaian dalam konstruktivisme adalah jika dua Negara dalam keadaan sudah tidak berperang lagi dan tidak adanya permusuhan diantara Negara-negara yang ada.

1.5.6 Pandangan Tentang Sistem Internasional

Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengan collective meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan negara-negara.Terkait dengan asumsi neorealis yang menyatakan bahwa sistem internasional diwarnai

Muhadi Sugiono dan Ririen Tri Nurhayati 10

Page 11: TAMBAHAN-Constructivism (Sugiyono UGM)

Program Pascasarjana, Ilmu PolitikPolitik Internasional

Handout, Pertemuan ke-7

oleh adanya distribution of power dan hal itu mempengaruhi negara-negara dalam melakukan kalkulasi, konstruktivis  menegaskan bahwa bagaimana mungkin kalkulasi itu terjadi jika tidak ada “distribution of knowledge” di antara negara-negara di dalam sistem internasional tersebut. Distribusi knowledge tersebut akan menentukan atau membentuk konsepsi negara-negara tentang self dan other. Jika tidak ada distribusi knowledge yang menjadi dasar terbentuknya collective meanings bagaimana bisa suatu negara menganggap suatu negara lain adalah “teman” atau aliansinya sementara negara suatu negara lainnya adalah musuhnya. Jadi intersubjective understandings dan ekspektasilah yang menentukan konsepsi negara tentang self dan other.

1.5.7 Pandangan Tentang Individu

Secara umum konstruktivis mempunyai asumsi dasar bahwa manusia adalah mahluk individual yang dikonstruksikan melalui realitas sosial. Konstruksi atas manusia akan melahirkan paham intersubyektivitas. Hanya dalam proses interaksi sosial, manusia akan saling memahaminya. Dalam melihat hubungan antar sesama individu, nilai-nilai relasi tersebut bukanlah diberikan atau disodorkan oleh salah satu pihak, melainkan kesepakatan untuk berinteraksi itu perlu diciptakan di atas kesepakatan antar kedua belah pihak.

Dalam proses ini, faktor identitas individu sangat penting dalam menjelaskan kepentingannya. Interaksi sosial antar individu akan menciptakan lingkungan atau realitas sosial yang diinginkan. Dengan kata lain, sesungguhnya realitas sosial merupakan hasil konstruksi atau bentukan dari proses interaksi tersebut. Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional, membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau yang diinginkan berdasarkan peraturan, strukturasi dan verstehen dalam speech acts.

1.5.8 Perbandingan Pandangan Konstruktivis Dengan Neoliberal dan Neorealis

Jika realisme dan liberalisme berfokus pada faktor-faktor yang bersifat material (kasat mata) seperti power dan perdagangan maka konstruktivis berfokus pada ide. Konstruktivis memberikan perhatiannya pada kepentingan dan identitas negara sebagai produk yang dapat dibentuk dari proses sejarah yang khusus. Mereka memberi perhatian pada wacana umum yang ada ditengah masyarakat karena wacana merefleksikan dan  membentuk keyakinan dan kepentingan, dan mempertahankan norma-norma yang menjadi landasan bertindak masyarakat (accepted norms of behavior). Dengan demikian konstruktivis memberi perhatian pada sumber-sumber perubahan (sources of change). Dengan pendekatannya yang demikian maka konstruktivis menggantikan marxisme sebagai the preeminent radical perspective di dalam hubungan internasional.

Menurut perspektif konstruktivis, isu-isu utama di era pasca perang dingin berkait dengan persoalan-persoalan bagaimana kelompok-kelompok sosial yang berbeda-beda conceive (menyusun dan memahami) kepentingan dan identitas mereka.

Muhadi Sugiono dan Ririen Tri Nurhayati 11

Page 12: TAMBAHAN-Constructivism (Sugiyono UGM)

Program Pascasarjana, Ilmu PolitikPolitik Internasional

Handout, Pertemuan ke-7

Konstruktivis memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan identitas membentuk pemahaman negara dan merespon kondisi di sekitarnya.

Salah satu karakteristik dari konstruktivisme adalah non-universalis. Tidak ada ketunggalan analisa atas fenomena. Walt mencontohkan jika Wendt berfokus pada persoalan bagaimana anarki dipahami oleh negara-negara, maka kalangan konstruktivis lain menekankan pada persoalan-persoalan masa depan negara teritorial. Mereka menyatakan bahwa komunikasi transnasional dan penyebaran nilai-nilai civil (civic values) mengubah loyalitas national tradisional dan secara radikal menghasilkan bentuk-bentuk baru ikatan politik (political association).

1.5.9 Varian Konstruktivis

Sekalipun berangkat dari posisi ontologis bersama, konstruktivisme berkembang melalui tiga varian pemikiran yang berbeda: sistemik, level unit dan holistik. Konstruktivis sistemik, dengan tokohnya Alexander Wendt, memiliki kesamaan dengan neorealis dalam artian keduanya memberikan perhatian hanya pada interaksi antar negara sebagai aktor-aktor tunggal dan mengabaikan semua proses yang berlangsung di dalam masing-masing aktor tersebut. Memahami politik internasional, dalam pemikiran konstruktivis sistemik, berarti semata-mata memahami bagaimana negara berhubungan satu sama lain dalam ruang eksternal atau internasional. Seperti halnya dengan neorealisme, anarkhi dalam politik internasional menjadi sebuah konsep yang  penting dalam varian konstruktivisme ini.

Hanya saja, berbeda dengan neorealist yang melihat negara berhubungan satu sama lain dalam konteks anarkhi, konstruktivis memahami anarkhi justru sebagai produk hubungan antar negara. Posisi ini ditujuukan dengan jelas oleh Wendt melalui judul dari salah satu karya utamanya, ‘Anarchy is what states make of it’ (1992).

Varian kedua konstruktivisme berusaha melihat hubungan pengaruh norma-norma sosial dan legal di tingkat domestik bagi identitas, dan oleh karenanya, kepentingan-kepentingan negara. Peter Katzenstein merupakan salah figur penting konstruktivisme dari varian ini.

Melalui dua buah karyanya, Cultural Norms and National Security: Police and Military in Changing Japan (1996) dan Tamed Power: Germany in Europa (1999), Katzenstein berusaha menunjukkan bagaimana kedua negara dengan pengalaman yang sama, sebagai negara yang kalah perang, mengalami pendudukan asing dan berubah dari otoritarian menuju demokrasi, memiliki kebijakan-kebijakan pertahanan internal dan external yang sangat berbeda. Menurut Katzenstein, perbedaan ini mencerminkan institusionalisasi norma-norma sosial dan legal yang berbeda di tingkat nasional kedua negara tersebut. Sekalipun tidak mengabaikan peran peran norma internasional dalam membentuk identitas dan kepentingan negara, penekanan yang berlebihan pada aspek domestik menempatkan konstruktivisme (dalam varian ini) pada posisi yang sulit untuk menjelaskan munculnya kesamaan-kesamaan antar negara ataupun adanya pola-pola konvergensi idetitas dan kepentingan negara-negara yang berbeda.

Muhadi Sugiono dan Ririen Tri Nurhayati 12

Page 13: TAMBAHAN-Constructivism (Sugiyono UGM)

Program Pascasarjana, Ilmu PolitikPolitik Internasional

Handout, Pertemuan ke-7

Varian konstruktivisme ketiga, yakni holistik, berusaha menjembatani kedua posisi dua varian konstruktivisme yang bertolak belakang di atas dengan jalan melihat domestik dan internasional sebagai dua aspek berbeda dari tatanan sosial dan politik yang sama. Konstruktivis holistik berusaha menjelaskan dinamika perubahan global ¾ terutama dalam kaitannya dnegan muncul dan hancurnya negara berdaulat ¾ melalui hubungan timbal balik antara negara dan tatanan global tersebut. Hubungan ini ditunjukkan dengan dua cara yang berbeda. John Gerard Ruggie, misalnya, berusaha menjelaskan perubahan dalam politik internasional akibat munculnya negara berdaulat dari puing-puing feodalisme Eropa dengan menekankan pada pentingnya perubahan dalam episteme sosial atau kerangka pengetahuan (1986, 1993).

Cara yang kedua diwakili oleh karya Friedrich Kratochwil mengenai berakhirnya Perang Dingin, dengan menekankan pada perubahan dalam gagasan mengenai tatanan dan keamanan internasional. Karena besarnya perhatian terhadap transformasi-transformasi yang bersifat global dan besar, varian konstruktivisme cenderung bersifat strukturalis dan mengabaikan aspek agency sebagai salah satu preposisi ontologis konstruktivisme.

Muhadi Sugiono dan Ririen Tri Nurhayati 13