tabloid institut edisi 38

16
Edisi XXXVIII / September 2015 Email: [email protected] / [email protected] Telepon Redaksi: 08978325188 / 085693706311 Laporan utama wawancara UIN Jakarta Tak Tegas Tangani Plagiarisme ‘Tambal Sulam’ Sistem KKN Hal. 2 Hal. 11 Laporan khusus Hal. 4 Terbit 16 Halaman LPM INSTITUT - UIN JAKARTA @lpminstitut www.lpminstitut.com Sistem Lemah, Kontribusi Rendah Sudah hampir tiga ming- gu, Acep Sabiq Abdul Aziz mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) reguler. Na- mun, mahasiswa Fakultas Ushuluddin (FU) ini tak kunjung mendapat bantuan dana sepeser pun. Padahal, se- jak awal pertemuan, Sabiq dan teman-teman sekelompoknya selalu menanyakan kapan mere- ka akan menerima dana. Hingga KKN berakhir, dana itu tak mereka dapatkan. “Dosen pembimbing (dospem) KKN kami hanya menjawab bahwa dana tersebut bukan dana untuk mahasiswa,” kata Sabiq, Minggu (20/9). Walhasil, Sabiq dan teman-temannya harus mengeluarkan dana sebesar Rp1 juta perindividu untuk menutupi kekurangan biaya selama pelaksanaan program kerja (proker) KKN. Tak hanya Sabiq, mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Faqih Alhaq bersama teman-temannya juga menggunakan dana pribadi selama menjalankan program KKN. Masing-masing dari mereka harus mengelu- arkan Rp600 ribu untuk menyelesaikan pro- ker kelompoknya. Sebenarnya, lanjut Faqih, kelompoknya mendapat dana Rp750 ribu yang diakui sebagai dana pribadi dospem. Faqih pun meminta dana KKN yang dibe- rikan PPM kepada dospem kelompoknya. Namun, dospemnya mengatakan, dana dari PPM hanya pengabdian untuk dosen bukan mahasiswa. “Kami sudah seperti KKN mandiri karena pakai uang sendiri,” ucap Faqih, Kamis (24/9). Lain lagi dengan Muhammad Faruq. Ma- hasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) itu mengatakan, ia dan teman-temannya mendapat dana senilai Rp4 juta dari dospem. Padahal, kelompoknya sudah menghabiskan dana Rp12 juta untuk proker mereka. “Kelom- pok kami (Sukadiri) dapat Rp4 juta karena dospem kami hanya memberikan dana untuk proker fisik,” ujar Faruq, Rabu (23/9). Berkenaan dengan keluhan mahasiswa, salah satu dospem KKN, Yon Girie mengaku, tak memberikan dana pada kelompok KKN bimbingannya karena tak ada komunikasi yang baik dari mahasiswa. Menurutnya, mahasiswa bimbingannya tak pernah berkoordinasi terkait proker dan perencanaan anggaran. Dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST) ini mengaku kecewa dengan sikap kelompok KKN bimbingannya. “Saya tidak pernah ber- temu mahasiswa seperti itu sebelumnya. Tak beretika,” ujar Yon saat dijumpai di ruangan nya, Rabu (23/9). Sebagai mahasiswa yang sedang KKN, sam- bung Yon, mestinya mahasiswa menyiapkan dana untuk melaksanakan proker mereka. “Tidak seperti kelompok KKN bimbingan saya yang tak memiliki dana sama sekali, se- olah-olah saya harus membiayai semuanya,” kata Yon. Salah satu dospem KKN dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Hartana beralasan lain. Ia mengatakan, setengah dari Rp10 juta yang diberikan PPM akan digunakan sebagai dana pengabdian kelompok dosen di tingkat fakultas. “Jika dospem memberikan dana pada kelompok KKN, itu hanya karena kebaikan hati sang dospem,” jelas Hartana, Selasa (25/8). Ia menambahkan, dana dari PPM tersebut akan digunakan untuk pengabdian dosen di luar daerah KKN. Namun, sampai saat ini, ia belum tahu di mana dan kapan akan melaku- kan pengabdian. “Saya belum tahu bentuk pengabdiannya,” kata Hartana saat diwawan- cara via telepon, Kamis (24/9). Ketua PPM, Djaka Badrayana, mengakui ketidakmerataan dana yang diterima kelompok KKN. Katanya, sistem pembagian dana KKN tahun ini masih sama dengan tahun lalu dan belum memiliki ketentuan dana. “Saya baru menjabat Maret lalu, sistem terkait dana hanya melanjutkan sistem tahun kemarin,” jelas Dja- ka. Djaka menjelaskan, uang sejumlah Rp10 juta yang telah dianggarkan merupakan dana untuk dospem melakukan pengabdian yang beker- jasama dengan mahasiswa. “PPM memang tak memberikan aturan bagaimana pembagian dana antar dospem dan mahasiswa,” kata Dja- ka saat ditemui di ruangannya, Rabu (16/9). Berdasarkan anggaran dana yang diajukan oleh Pusat Pengabdian Masyarakat (PPM) ke Biro Perencanaan dan Keuangan (BPK), tahun ini, dana Pengabdian pada Masyarakat oleh Dosen (PpMD) untuk KKN dianggarkan Dana yang diterima kelompok KKN reguler tidak merata. Lama menanti, mahasiswa terpaksa rogoh kocek pribadi. Arini Nurfadilah Dana KKN Milik Siapa? Bersambung ke hal. 15 kol. 2

Upload: lpm-institut-uin-jakarta

Post on 23-Jul-2016

263 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: TABLOID INSTITUT EDISI 38

Edisi XXXVIII / September 2015 Email: [email protected] / [email protected] Telepon Redaksi: 08978325188 / 085693706311

Laporan utama wawancaraUIN Jakarta Tak Tegas Tangani Plagiarisme

‘Tambal Sulam’Sistem KKN

Hal. 2 Hal. 11

Laporan khusus

Hal. 4

Terbit 16 Halaman LPM INSTITUT - UIN JAKARTA @lpminstitut www.lpminstitut.com

Sistem Lemah, Kontribusi Rendah

Sudah hampir tiga ming-gu, Acep Sabiq Abdul Aziz mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) reguler. Na-mun, mahasiswa Fakultas Ushuluddin (FU) ini tak

kunjung mendapat bantuan dana sepeser pun. Padahal, se-

jak awal pertemuan, Sabiq dan teman-teman sekelompoknya selalu menanyakan kapan mere-ka akan menerima dana. Hingga

KKN berakhir, dana itu tak mereka dapatkan.

“Dosen pembimbing (dospem) KKN kami hanya menjawab bahwa dana tersebut bukan dana untuk mahasiswa,” kata Sabiq, Minggu (20/9). Walhasil, Sabiq dan teman-temannya harus mengeluarkan dana sebesar Rp1 juta perindividu untuk menutupi kekurangan biaya selama pelaksanaan program kerja (proker) KKN.

Tak hanya Sabiq, mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Faqih Alhaq bersama teman-temannya juga menggunakan dana

pribadi selama menjalankan program KKN. Masing-masing dari mereka harus mengelu-arkan Rp600 ribu untuk menyelesaikan pro-ker kelompoknya. Sebenarnya, lanjut Faqih, kelompoknya mendapat dana Rp750 ribu yang diakui sebagai dana pribadi dospem.

Faqih pun meminta dana KKN yang dibe- rikan PPM kepada dospem kelompoknya.

Namun, dospemnya mengatakan, dana dari PPM hanya pengabdian

untuk dosen bukan mahasiswa. “Kami sudah seperti KKN

mandiri karena pakai uang sendiri,” ucap

Faqih, Kamis (24/9).Lain lagi dengan Muhammad Faruq. Ma-

hasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) itu mengatakan, ia dan teman-temannya mendapat dana senilai Rp4 juta dari dospem. Padahal, kelompoknya sudah menghabiskan dana Rp12 juta untuk proker mereka. “Kelom-pok kami (Sukadiri) dapat Rp4 juta karena dospem kami hanya memberikan dana untuk proker fisik,” ujar Faruq, Rabu (23/9).

Berkenaan dengan keluhan mahasiswa, salah satu dospem KKN, Yon Girie mengaku, tak memberikan dana pada kelompok KKN bimbingannya karena tak ada komunikasi yang baik dari mahasiswa. Menurutnya, mahasiswa bimbingannya tak pernah berkoordinasi terkait proker dan perencanaan anggaran.

Dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST) ini mengaku kecewa dengan sikap kelompok KKN bimbingannya. “Saya tidak pernah ber-temu mahasiswa seperti itu sebelumnya. Tak beretika,” ujar Yon saat dijumpai di ruangan nya, Rabu (23/9).

Sebagai mahasiswa yang sedang KKN, sam-bung Yon, mestinya mahasiswa menyiapkan dana untuk melaksanakan proker mereka. “Tidak seperti kelompok KKN bimbingan saya yang tak memiliki dana sama sekali, se-olah-olah saya harus membiayai semuanya,” kata Yon.

Salah satu dospem KKN dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Hartana beralasan lain. Ia mengatakan, setengah dari Rp10 juta yang diberikan PPM akan digunakan sebagai dana pengabdian k e l o m p o k dosen di t i n g k a t

fakultas. “Jika dospem memberikan dana pada kelompok KKN, itu hanya karena kebaikan hati sang dospem,” jelas Hartana, Selasa (25/8).

Ia menambahkan, dana dari PPM tersebut akan digunakan untuk pengabdian dosen di luar daerah KKN. Namun, sampai saat ini, ia belum tahu di mana dan kapan akan melaku-kan pengabdian. “Saya belum tahu bentuk pengabdiannya,” kata Hartana saat diwawan-cara via telepon, Kamis (24/9).

Ketua PPM, Djaka Badrayana, mengakui ketidakmerataan dana yang diterima kelompok KKN. Katanya, sistem pembagian dana KKN tahun ini masih sama dengan tahun lalu dan belum memiliki ketentuan dana. “Saya baru menjabat Maret lalu, sistem terkait dana hanya melanjutkan sistem tahun kemarin,” jelas Dja-ka.

Djaka menjelaskan, uang sejumlah Rp10 juta yang telah dianggarkan merupakan dana untuk dospem melakukan pengabdian yang beker-jasama dengan mahasiswa. “PPM memang tak memberikan aturan bagaimana pembagian dana antar dospem dan mahasiswa,” kata Dja-ka saat ditemui di ruangannya, Rabu (16/9).

Berdasarkan anggaran dana yang diajukan oleh Pusat Pengabdian Masyarakat (PPM) ke Biro Perencanaan dan Keuangan (BPK), tahun ini, dana Pengabdian pada Masyarakat oleh Dosen (PpMD) untuk KKN dianggarkan

Dana yang diterima kelompok KKN reguler tidak merata. Lama menanti, mahasiswa terpaksa rogoh kocek pribadi.

Arini Nurfadilah

Dana KKNMilik Siapa?

Bersambung ke hal. 15 kol. 2

Page 2: TABLOID INSTITUT EDISI 38

Laporan Utama 2Tabloid INSTITUT Edisi XXXVIII / September 2015

Pemimpin Umum: Adi Nugroho | Sekretaris & Bendahara Umum: Nur Hamidah | Pemimpin Redaksi: Thohirin | Redaktur Online & Web Master: Syah Rizal | Pemimpin Litbang: Erika Hidayanti | Pemimpin Perusahaan: Maulia Nurul HakimAnggota: Aci Sutanti, Arini Nurfadilah, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, M. Rizky Rakhmansyah, Triana Sugesti, Yasir Arafat

Koordinator Liputan: Arini Nurfadilah | Reporter: Aci Sutanti, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, M. Rizky Rakhmansyah, Triana Sugesti, Yasir Arafat Editor: Adi Nugroho, Erika Hidayanti, Maulia Nurul Hakim, Nur Hamidah, Syah Rizal, Thohirin | Fotografer: INSTITUTERS

Desain Visual & Tata Letak: Syah Rizal, Ika Puspitasari | Ilustrator: Syah Rizal, Jeannita Kirana, Yasir Arafat | Karikaturis: Ika Puspitasari | Editor Bahasa: Nur Hamidah, Arini Nurfadilah, M. Rizky Rakhmansyah

Alamat Redaksi: Gedung Student Center Lantai 3 Ruang 307 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Djuanda No.95 Ciputat, Tangerang Selatan 15412Telepon: 08978325188 | Email: [email protected] / [email protected] | Website: www.lpminstitut.com

~~~Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada reporter INSTITUT yang sedang bertugas~~~

Salam RedaksiSalam sejahtera pembaca sekalian!Setelah menikmati libur panjang di musim

kemarau ini kami kembali hadir ke hadapan pembaca sekalian. Bulan Ramadhan dan Idul Fitri bahkan Idul Adha yang sudah dilewati kemarin semoga menjadi berkah tersendiri bagi kita bersama. Begitu pula dengan hadirnya Tabloid Institut edisi ke 38 ini dapat menjadi berkah tersendiri bagi pembaca sekalian.

Meski dalam tiga bulan ini Tabloid Institut tak terbit, kami tetap berkarya lewat portal www.lpminstitut.com. Selain itu, saat OPAK kemarin pun kami menerbitkan News Letter yang beritanya ditulis oleh Calon Anggota (Caang) yang baru saja kami lantik pada bulan Agustus kemarin. Kami harap dengan tetap adanya karya kami setiap hari dapat membuat pembaca sekalian untuk terus mengingat kami.

Tabloid edisi kali ini memiliki tema besar mengenai Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dilaksanakan bulan Agustus hingga September lalu. KKN yang merupakan salah satu program pengabdian kepada masyrakat tahun ini kembali menuai beberapa persoalan. Mulai dari tak meratanya oembagian dana hingga sistem yang masih belum jelas.

Pada headline kali ini kami mengupas keluhan mahasiswa yang merasa kekurangan dana saat melaksanakan KKN. Dana sebesar Rp10 juta yang digelontorkan Pusat Pengabdian Masyrakat (PPM) melalui dospem pembimbing KKN menjadi rebutan antar dosen dan mahasiswa. Tak jelas hak siapa dana tersebut sebenarnya.

Tak hanya headline, laporan utama kami pun masih menyajikan permasalah lain KKN. Kali ini, kinerja dosen pembimbing yang tak maksimal menjadi topik utamanya. Selama KKN, seharusnya mahasiswa secara penuh dibimbing oleh dosen pembimbing yang sudah ditentukan namun, di lapangan ada dosen yang bahkan tak mengunjungi mahasiswanya ke tempat KKN.

Selanjutnya, pada laporan utama kedua kami menyajikan berita terkait program terbaru di Jurusan Manajemen Pendidikan (MP), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) yaitu PKMP. Dalam berita ini program PKMP yang terbilang anyar ini terkesan dilaksanakan terburu-buru. Hal ini menyebabkan beberapa keluhan dari mahasiswa.

Selesai dengan persoalaan KKN, kami pun menyajikan laporan terkait kampus UIN Jakarta yang rawan plagiasi pada rubrik laporan khusus. Sampai saat ini, ternyata kampus tercinta ini masih belum memiliki regulasi yang jelas terkait penanganan plagiat. Sedangkan, laporan khusus lainnya adalah tulisan mengenai akreditasi beberapa jurusan di UIN Jakarta yang fasilitasnya tak sepadan.

Edisi 38 ini juga menyajikan laporan seni budaya yang sedikit berbeda karena membahas mengenai pameran seni yang dikolaborasikan dengan penelitian ilmiah. Hal ini, merupakan suatu warna yang baru dalam rubrik seni budaya yang biasanya menyajikan pementasan berupa teater atau tari.

Dalam proses pembuatan tabloid ini banyak hal yang kami lewati. Suka, duka, bahagia, dan amarah pun menjadi hal yang akan selalu kami ingat nantinya. Berbagai konflik dari luar dan dalam organisasi pun kami alami. Namun, kami selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi pembaca sekalian.

Akhirnya, kami selalu berharap kerja keras kami ini dapat dinikmati dan bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga kita semua selalu menjadi insan yang lebih baik lagi ke depannya. Teruslah asah nalar kritis dan saling mengingatkan demi kebaikan. Selamat membaca!

Demi membantu dan mendukung kinerja mahasiswa dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN) 2015, Pusat Pengabdian Masyarakat (PPM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, mem-fasilitasi tiap kelompok KKN dengan dosen pembimbing (dospem). Alih-alih memberi pengarahan dan saran pengawasan, beberapa dospem justru dinilai lalai dan acuh terhadap kelompok KKN.

Hal demikian dirasakan Zaini Tafrikhan yang tergabung dalam kelompok KKN Ung-gul, yang berlokasi di Desa Sukamahi, Me-gamendung, Bogor, Jawa Barat. Mahasiswa Tafsir Hadist (TH) itu tidak merasakan kon-tribusi berarti dari dospem KKN-nya. Selama berjalannya KKN, kata Zaini, dospemnya ti-dak pernah menanyakan progres program ker-ja (proker). Zaini juga merasakan komunikasi yang tidak berjalan baik dengan dospem. “Bo-roboro diperhatiin. Sekarang, sms dan telpon aja gak dibalas,” ujar Zaini, Kamis (24/9).

Dari total tiga kali kehadiran yang harus dipenuhi, dospem KKN-nya hanya hadir dua kali selama satu bulan KKN. Zaini ingat, pada kedatangan pertama, dospem bahkan me-minta empat tanda kehadiran sekaligus. Zaini juga menyesalkan saat dospemnya malah ber-niat mengadakan ujian tulis sebagai bahan penilaian kepada semua anggota kelompok. “Kalau mau tau kerja kami, langsung tanya masyarakat. Bukan dengan ujian tulis,” tegas Zaini.

KKN Cerdas Menata Masyarakat (Cetar) di Desa Ciaruteun, Cibungbulang, Bogor, Jawa Barat, pun bernasib serupa. Salah satu anggo-ta KKN Cetar, Agung Arabian menuturkan, mulai dari pra sampai pasca KKN, dospem

tak pernah membicarakan proker, menanya-kan kondisi, apalagi mengawasi kelompoknya. Terlebih di pertengahan KKN, dospem malah mendadak meminta kelompok mengadakan seminar munakahat. “Walau mendadak, mau gak mau seminar harus terlaksana,” tuturnya, Kamis, (24/9).

Agung bercerita, ketua kelompoknya bah-kan sempat diminta menandatangani dua buah kwitansi kosong bermaterai. Saat di tanya, dospem hanya menjawab, “Sudah tan-da tangan saja. Buat apanya kalian gak perlu tau.” terang Agung. Mulanya kelompoknya tak setuju, namun khawatir bila tidak dituru-ti akan mempengaruhi nilai, walhasil, Ketua KKN Cetar terpaksa manandatangani kwitan-si tersebut.

Menanggapi hal itu, Ketua PPM, Djaka Badrayana mengakui, masih ada kekurangan dalam pelaksanaan KKN 2015, terutama soal dana dan dospem. Tidak adanya seleksi bagi dospem, kata Djaka, merupakan permasalah-an yang harus diselesaikan. Lebih lagi, sejauh ini PPM juga belum mempunyai peraturan tertulis mengenai hak dan kewajiban dospem. “Fatal jadinya kalau KKN terus pakai sistem seperti ini,” ungkapnya, Selasa (8/9).

Saat agenda pembekalan bagi dospem yang diselenggarakan PPM beberapa hari se-belum pelaksanaan KKN, hanya 90 dospem yang menghadiri pembekalan dari total 160 dospem. Hingga lebih minggu pasca pelaksa-naan KKN, PPM total menerima lima laporan dari mahasiswa terkait kasus dospem. Tambah Djaka, PPM selanjutnya berencana mengeva luasi sistem KKN yang sudah ada. Sementa-ra bagi dosen yang dinilai bermasalah, PPM,

kata Djaka, akan masuk catatan dan bisa jadi dihilangkan dari daftar dospem di KKN tahun mendatang.

Berbeda dengan dua kelompok sebelum nya, ketua KKN Bhakti Bangsa, di Desa Pasir Nang-ka, Tangerang, Ahmad Rifa’i terkesan dengan kinerja dospem kelompoknya. Walau dospem sering pergi keluar kota, ia tak kesulitan untuk berkomunikasi. Rancangan proker pun tak lepas dari arahan dospem. “Cukup efektif walau ha nya via tepon seluler,” ujarnya, Rabu, (23/9).

Salah satu dospem dari Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Muhammad Yusuf menga-takan, pertemuan pertamanya dengan kelom-pok KKN, selain perkenalan juga membi- carakan proker. Ia pun memberikan beberapa arahan dan masukan agar kegiatan mahasiswa di tempat KKN lebih efektif dan produktif. Ter-lebih, saat pelaksanaan KKN, ia sesekali mem-berikan alternatif solusi bila ada proker yang belum terlaksana.

Sebulan pelaksanaan KKN, pembimbingan tetap berjalan walau Yusuf tak selalu berada di tempat KKN. Sewaktu kelompok KKN bim bingannya ingin menjalankan program penyu-luhan, ia juga yang menyediakan narasumber untuk kegiatan penyuluhan narkoba, AIDS dan isbat nikah. ”Meski sibuk, kan masih bisa ngebimbing lewat sms, whatsapp, atau email,” jelasnya, Rabu, (23/9).

Berdasarkan survei kehadiran dospem KKN yang dilakukan divisi Litbang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut UIN Jakarta, dari 80 responden (ketua kelompok KKN) 38 % dos pem kurang dari tiga kali mengunjungi desa kelompok KKN, sedangkan 62 % dospem tiga kali mengunjungi desa kelompok KKN.

Sebagian dospem KKN UIN Jakarta tidak menjalankan tugasnya dengan maksimal. Tidak ada aturan soal itu.

Yasir Arafat

Beberapa mahasiswa UIN Jakarta yang tergabung dalam kelompok KKN Pergerakan Mahasiswa untuk Daerah (Pemuda) bersama warga desa tengah bergotong royong membangun sumur warga di Desa Sirna Galih, Bogor, Jawa Barat, Minggu (23/9). Kegiatan tersebut merupakan salah satu proker KKN Pemuda.

Sistem Lemah, Kontribusi Rendah

Dok.

Prib

adi

Page 3: TABLOID INSTITUT EDISI 38

Laporan Utama 3Tabloid INSTITUT Edisi XXXVIII / September 2015

Infografis: Jeanni dan YasirSumber data: Litbang Institut & Badan Perencanaan dan Keuangan UIN Jakarta

Dok.

Prib

adi

INFO GRAFIS

Persiapan PKMP terkesan tergesa-gesa. Program yang sudah lama dicanangkan ini pun masih belum berjalan optimal.

Dianggap bisa menjawab keluhan mahasiswa mengenai Praktik Profesi Keguruan Terpadu (PPKT) yang ku-rang efektif bagi Program Studi (Pro-di) Manajemen Pendidikan (MP), pelaksanaan Praktik Kerja Mana-jemen Pendidikan (PKMP) malah dinilai kurang maksimal oleh seba-gian mahasiswa.

Hal itu diungkapkan Ketua PKMP 2015, Wahidin, Kamis (24/9). Menurutnya, PKMP yang dilak-sanakan Agustus lalu, kurang bisa mengatasi masalah di sekolah secara

keseluruhan. Selain itu, perencanaan program mahasiswa tidak sepenuhnya terlaksana. “Seharusnya, mahasiswa MP bisa memahami permasalahan di sekolah lebih baik lagi,” ungkapnya.

Salah satu mahasiswa peserta PKMP, Agung Wahyu Saputra me-nuturkan, mulanya ia resah saat ia bersama teman-teman angkatannya menjadi angkatan pertama untuk menjalani program percobaan terse-but. Apalagi, saat ia juga baru mene-rima modul PKMP dari panitia ha- nya dua hari sebelum pelaksanaan.

Hal ini, kata Agung, berpengaruh terhadap kinerja mahasiswa, baik segi pemahaman maupun penguasaan.

Walau begitu, Agung menyatakan, dirinya lebih memilih PKMP diban-ing PPKT. Selain karena waktu pelak-sanaannya yang lebih singkat, ia bisa lebih fokus dalam manajemen sekolah daripada mengajar. Namun, menurut Agung, PKMP akan lebih optimal jika diberlakukan tahun depan kepa-da mahasiswa angkatan 2013/2014.

PKMP merupakan program baru di Prodi MP yang fokus menangani

masalah manajemen sekolah; mutu pendidikan, sarana prasarana, tenaga pendidik, Sistem Informasi Manaje-men (SIM), dan manajemen perpus-takaan. Wacana PKMP sebenarnya sudah lama dicanangkan jurusan da-lam rapat fakultas. Namun, program baru bagi Prodi MP tersebut baru dapat dilaksanakan tahun ini.

Saat awal program ini diumumkan Mei lalu, PKMP memiliki 0 (nol) Sistem Kredit Semester (SKS) dan bersifat tidak wajib bagi mahasiswa semester enam. Sehingga tercatat setidaknya hanya 60% dari 70 maha-siswa Prodi MP semester 6 yang akan mengikuti program baru tersebut. Di samping, waktu pelaksanaan yang bertepatan dengan masa libur semes-ter dan memakai anggaran pribadi.

Oleh karenanya, pada akhir Mei lalu, pihak pihak prodi kemudian menggelar audiensi bersama maha-siswa MP untuk membahas manfaat PKMP dan rencana membebankan 3 SKS dalam program tersebut. Walha-sil, beberapa hari sebelum pemberang-katan, Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Laboratorium Fakultas Imu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) mengesahkan PKMP dengan bobot 3 SKS.

Di saat yang sama, pihak prodi juga menyepakati jumlah dana iuran yang harus dikeluarkan mahasiswa sebesar Rp750 ribu per orang. Uang itu digu-nakan untuk akomodasi dan kegiatan di sekolah selama pelaksanaan PKMP karena fakultas tidak menganggarkan dana untuk kegiatan tersebut.

Kepala UPT Laboratorium FITK, Ahmad Royani mengakui, pelaksa-naan PKMP memang terkesan dada-kan karena ini merupakan program pertama di FITK. PKMP juga belum memiliki buku pedoman yang seharus-nya mengatur jalannya program terse-but. “Seharusnya kan kalau jalanin program ada buku pedomannya, biar ada pakem yang ngatur,” jelasnya.

PKMP Sekaligus Penelitian DosenTahun ini, PKMP diadakan di

Kecamatan Cimarga, Banten pada Agustus 2015 selama satu bulan. Di sana, mahasiswa dan dosen melaku-kan pengabdian kepada masyarakat, mempelajari sistem administrasi di sekolah, serta meneliti manajemen sekolah dan perpustakaan. Tiga poin ini merupakan bentuk dari tri dharma perguruan tinggi yang dilakukan sivi-tas akademika.

Dalam PKMP kali ini, mahasiswa melakukan dua jenis penelitian. Pe-nelitian manajemen sekolah yang dilakukan oleh setiap kelompok dan manajemen perpustakaan yang diker-jakan bersama dosen. “Mahasiswa mengolah data, sedangkan dosen membantu analisis penelitian serta berperan sebagai pengarah dan pem-bimbing,” ujar Agung.

Koordinator Pelaksana PKMP 2015, Tri Harjawati mengatakan, hasil penelitian dosen bersama ma-hasiswa mendapat poin yang besar dalam pengisian Beban Kerja Dosen (BKD) untuk mendapatkan dana ser- tifikasi. Selain itu, tambah Tri, peneli-tian tersebut dapat mempertahankan akreditasi jurusan MP untuk lima ta-hun ke depan. Pasalnya, untuk mem-buat akreditasi jurusan menjadi baik, jurusan tersebut harus memperba- nyak penelitian dan jurnal.

Di sisi lain, Kepala Prodi (Kapro-di) MP, Hasyim Asyari menuturkan, penelitian mengenai manajemen perpustakaan merupakan kerjasa-ma antara dosen dan mahasiswa. Namun, dalam praktiknya, kata Ha- syim, dosen lebih dominan. Dengan adanya PKMP ini, ia berharap dapat menghasilkan empat produk: pe- ngabdian masyarakat dari dosen dan atau mahasiswa, laporan praktikum, serta penelitian. “Selama ini kan di UIN belum ada yang kayak gitu,” tutupnya.

Mahasiswa MP, FITK sedang melakukan kegiatan Jumat Ceria (Jumcer) di SDN 3 Cimarga, Kecamatan Cimarga Kabupaten Banten, Jumat (14/8). Kegiatan tersebut diadakan oleh kelompok 6 dalam program Praktik Kerja Manajemen Pendidikan (PKMP).

Aci Sutanti

Dana KKN dari Tahun ke Tahun

Buru-Buru Program Baru

Page 4: TABLOID INSTITUT EDISI 38

Laporan KHUSUS 4Tabloid INSTITUT Edisi XXXVIII / September 2015

UIN Jakarta Tak TegasTangani Plagiarisme

Sekretaris Komisi Etik Senat Universitas menyatakan kasus plagiarisme terjadi setiap tahun di UIN Jakarta. Namun, hingga kini UIN Jakarta belum memiliki SOP plagiarisme.

Tindak pelanggaran plagiarisme kembali terjadi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tiga bulan lalu, Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) meneri-ma laporan tindak plagiarisme yang dilakukan salah satu dosen di UIN Jakarta. Namun, Ketua LPM, Suru-rin, enggan buka mulut nama dosen yang melakukan tindak plagiarisme tersebut.

Sururin menyatakan, pihaknya be-lum bisa menindak kasus tersebut lantaran belum memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) un-tuk menindak pelaku plagiarisme. Saat ini, LPM dan Komisi Etik Sen-at UIN Jakarta masih bekerjasama merumuskan SOP plagiarisme yang target nya bakal rampung akhir 2015 mendatang. “Sebenarnya kami bisa saja menangani kasus tersebut, tapi a- langkah jika kami memproses setelah ada SOP,” ujar Sururin, Selasa (22/9).

Sekretaris Komisi Etik Senat UIN Jakarta, Amany Lubis membenarkan adanya laporan kasus plagiarisme yang dilakukan salah satu dosen UIN Jakarta. Meski begitu, kata Amany, kasus plagiarisme sebenarnya juga bisa selesai ketika pelaku meminta maaf secara pribadi kepada yang ber-sangkutan. “Semestinya, sanksi mo ral mampu membuat pelaku jera atas tindakannya,” tutur Amany, Jumat

(18/9).Lambannya penanganan kasus pla-

giarisme juga sempat terjadi pada 2013 silam. Salah satu dosen Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Ruma-di, mengaku sampai saat ini rektorat belum memberi sanksi kepada dosen yang memplagiat bukunya. Rumadi hanya tahu tersangka yang menjiplak buku miliknya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum FSH saat itu.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Rektor I Bidang Akademik, Fadhilah Suralaga mendukung adanya SOP plagiarisme serta dibentuknya Komi-si Etik untuk menangani kasus pla-giarisme. Guna mencegah adanya kasus plagiarisme, Fadhilah beren-cana menyediakan software anti-pla-giarisme. Pasalnya, selama ini UIN Jakarta masih memeriksa kasus pla-giarisme secara manual dengan me-meriksa karya ilmiah

Salah satu pengamat pendidikan, Nuryati Djihadah angkat bicara peri-hal plagiarisme. Menurutnya, sebuah universitas mesti tegas menindak pelaku plagiarisme yang dilakukan dosen maupun mahasiswa. “Dosen yang melakukan plagiarisme ada-lah sebuah ironi. Dosen seharusnya membimbing mahasiswanya untuk

membuat karya ilmiah yang baik, bu-kan sebaliknya,” ungkapnya.

Penanganan Plagiarisme Ber-larut-larut

UIN Jakarta sebetulnya sudah me ngatur tindak plagiarisme dalam Buku Saku Panduan Kode Etik Ma-hasiswa UIN Jakarta dalam Pasal 24, Ayat 1, 2, dan 3. Namun, peraturan tersebut tak menjelaskan secara rinci sejauh mana suatu karya ilmiah dapat disebut plagiarisme.

Amani juga menyatakan ada lapo-

ran plagiarisme setiap tahunnya. Na-mun, tak semua laporan kasus plagia-risme sampai pada Komisi Etik Senat Universitas. “Komisi Etik hanya akan menangani kasus plagiarisme yang tak selesai di fakultas,” katanya.

Sementara itu, Rumadi menyayang-kan sikap UIN Jakarta yang tak tegas memberi sanksi pada pelaku plagia-risme. Menurutnya, kasus plagiarisme tidak selesai ketika pelaku meminta maaf. Semestinya ada sanksi adminis tratif seperti penundaan kenaikan ja-batan, penurunan jabatan, pencabu-

tan hak untuk diusulkan sebagai guru besar, bahkan pemberhentian secara terhormat dari rektorat.

“Jika UIN Jakarta membiarkan ka-sus plagiarisme, malah akan mem-buat kasus plagiarisme semakin su bur,” papar Rumadi.

Rumadi menilai UIN Jakarta tengah dalam kondisi darurat plagiarisme karena maraknya plagiarisme oleh mahasiswa maupun dosen. “UIN Ja-karta jangan dulu bicara menuju world class university kalau masih membiar-kan kasus plagiarisme,” tutupnya.

Beberapa mahasiswa sedang membaca hasil skripsi dari alumni mahasiswa UIN Jakarta di Lantai 3 Perpustakaan Umum (PU), Jumat (25/9). Mereka mencari referensi guna menyusun skripsinya.

Hasil akreditasi oleh BAN-PT terhadap beberapa prodi di UIN Jakarta dinilai tidak sesuai dengan faktanya. Sebagian mahasiswa mengeluhkan sarana dan prasarana, ketidaksesuaian dosen maupun kelayakan kuriku-lum.

Rusaknya earphone di ruang labo-ratorium bahasa membuat kegiatan belajar mengajar mahasiswa Program Studi (Prodi) Bahasa dan Sastra Ing gris (BSI) tak berjalan maksimal. Tak jarang, dosen terpaksa memutuskan untuk belajar di kelas sambil mem-bawa tape recorder sebagai pengganti fasilitas belajar.

Keluhan terhadap minimnya sa-rana prasarana tersebut diutarakan oleh Ardha Prima Tahier. Maha-siswa yang kini menginjak semester lima ini menyatakan, laboratorium yang terletak di lantai tujuh Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) tak me- nawarkan fasilitas yang mendukung kegiatan belajar. “Terpaksa dengar

bahan pembelajaran secara manual,” keluhnya, Sabtu (19/6).

Sarana prasarana menjadi salah satu poin penilaian standar akredi-tasi institusi perguruan tinggi selain Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran ser-ta Strategi Pencapaian. Selain itu, Sistem Pengelolaan, Sumber Daya Manusia (SDM), Kurikulum, Peneli-tian, Pengabdian kepada masyarakat, dan Kerjasama juga berpe ngaruh da-lam meningkatkan kualitas prodi.

Ketidaksesuaian latar belakang dosen dengan mata kuliah yang di ajar juga dipertanyakan oleh Ardha. Ia mengungkapkan, beberapa dosen yang mengajar di Konsentrasi Trans-lation namun belum pernah mener-

jemahkan karya sama sekali. “Hanya tahu teori saja,” ungkapnya.

Senada dengan Ardha. Revi Riawati mengatakan, minimnya tenaga pe- ngajar di Prodi BSI juga membuatnya kembali diajar oleh dosen yang sama tiap semesternya. “Kita butuh dosen yang punya kompetensi khusus di satu bidang,” tambah mahasiswa semester lima, Prodi BSI, Kamis (24/9).

Tak hanya itu, ia juga memper-tanyakan kurikulum yang diterapkan oleh prodinya. Pasalnya, mata kuliah agama yang diajarkan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatul-lah Jakarta pada semester awal mem-buat mata kuliah pokok dari prodinya tertunda. Ia mencontohkan, mata kuliah Pengenalan Kesusasteraan di Universitas Indonesia (UI) diajarkan di semester awal, namun di UIN Ja-karta baru dibahas pada semester em-pat.

Selain itu, berdasarkan data distribu-si mata kuliah kurikulum 2008, Prodi BSI UIN Jakarta, mata kuliah pokok semester satu hanya terdiri dari Pronu-ciation, Structure I, Reading I, Speaking I. “Semester awal cuma belajar mata kuliah Bahasa Inggris biasa,” katan-ya. Sedangkan, UI sudah menerapkan mata kuliah Pengantar Kesusasteraan di semester satu.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Prodi BSI, Saefudin menyayangkan minimnya ruang laboratorium baha-sa milik FAH. Ia pun mengakui, ru-saknya fasilitas laboratorium bahasa karena digunakan oleh lebih dari satu prodi.“(Lagipula) laboratorium baha-sa bukan satu-satunya fasilitas untuk

mengukur kemampuan mahasiswa,” tegasnya, Kamis (17/9).

Saefudin juga mengungkapkan, tak ada masalah jika terjadi ketidakse-suaian antara gelar ijazah dosen dan mata kuliah yang diampunya. “Mata kuliah seperti Listening, Speaking, Writing itu masuk mata kuliah ke-mampuan. Sedangkan mata kuliah dasar ya, diajar oleh dosen yang berla-tarbelakang sastra,” ucapnya.

Pembagian distribusi mata kuliah juga, lanjutnya, dilakukan demi me ngasah kemampuan awal mahasiswa. Lalu, mata kuliah berbasis kemam-puan lanjutan mulai diaplikasikan pada semester berikut nya. Namun mulai tahun ajaran baru 2015, Prodi BSI UIN Jakarta sudah menerapkan kurikulum baru yang distribusi mata kuliahnya lebih komprehensif.

Ketidaksesuaian antara latar be-lakang tenaga pengajar dan mata kuliah pengampunya juga terjadi di Prodi Sistem Informasi (SI) Fakultas Sains dan Teknologi (FST). Syahriga Syahrul mahasiswa semester sembi-lan menuturkan, terdapat dosen yang berlatarbelakang Programming namun mengajar mata kuliah Statistik.

Menurutnya, hal tersebut disebab-kan karena jumlah dosen FST yang sedikit. Alhasil, tak jarang dosen lebih mementingkan teori dibanding prak-tik dalam melakukan pengajaran. “Ini yang membuat kegiatan belajar me-

ngajar tak efektif,” katanya.Selain itu, sarana prasarana yang

sudah tersedia, lanjut Syahrul, hanya menjadi pajangan karena dosen yang mengampu hanya melakukan penga-

jaran di kelas saja. “Harusnya penga-jaran tak hanya teori yang dibacakan di slide, tapi butuh uji coba langsung,” tandasnya.

Alhasil, lanjut Syahrul, sarana prasarana yang tersedia hanya men-jadi pajangan saja. Dalam melakukan praktik, mahasiswa FST biasa meng-gunakan gedung Pusat Laboratorium Terpadu (PLT). Hal tersebut diung-kapkan oleh mahasiswa semester tu-juh Prodi SI Hafiz Alfiarga. Ia menga-ku, biaya akomodasi dan operasional laboratorium PLT sebesar 100 ribu dibayarkan diluar biaya per semester. Sementara itu, Ketua Prodi SI Nia kumaladewi hingga berita diturunkan belum dapat dimintai keterangan.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Akreditasi Nasional Per-guruan Tinggi (BAN-PT) terdapat 22 prodi yang terakreditasi A, 21 prodi terakreditasi B, dan 5 prodi sisanya terakreditasi C di wilayah UIN Jakar-ta.

Wakil Rektor Bidang Akademik Fadhilah Suralaga menerangkan, BAN-PT memiliki beberapa indika-tor untuk melakukan proses penilaian terhadap prodi. “Mahasiswa mungkin hanya memberikan penilaian terha-dap beberapa indikator saja,” ucap-nya, Selasa (22/9).

Ia menuturkan, akreditasi tak ha-nya bermakna penilaian saja bagi pro-di, namun dapat juga berarti bentuk

pengakuan dari negara. Melalui hasil penilaian akreditasi, prodi dapat me- ngetahui beberapa indikator penilaian yang perlu dievaluasi sehingga per-baikan dapat segera dilakukan.

Mahasiswa Prodi Aqidah Filsafat sedang melaksanakan kegiatan belajar mengajar di ruang kelas Fakultas Ushulludin, Kamis (23/10). Kurikulum perkuliahan merupakan salah satu standar penilaian akreditasi.

Menakar Hasil Akreditasi Prodi

Foto

: Ika

/IN

S

Ika Puspitasari

M. Rizky Rakhmansyah

Page 5: TABLOID INSTITUT EDISI 38

KAMPUSIANA 5Tabloid INSTITUT Edisi XXXVIII / September 2015

Disela-sela kuliah, para mahasiswa ini masih menyempatkan diri mengabdi pada masyarakat. Dilakukan demi mencari kepuasan hati menolong sesama.

Panas terik matahari siang itu, tak menyurutkan niat salah satu maha-siswa Program Studi (Prodi) Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Yudi Adi-yatna untuk mengajar di saung Taman Baca. Sebuah saung yang bertempat di tengah sawah dekat perkampungan warga Desa Babakan kota Tangerang.

Tepat bulan April 2015 lalu, ia ber-sama temannya membuka Taman Baca untuk anak warga desa sekitar. Taman Baca didirikan guna mening-katkan minat baca anak di usia dini. “Kita hadir ditengah-tengah mereka untuk memotivasi bahwa membaca itu penting,” ungkapnya, Minggu (20/9).

Yudi menuturkan, pendirian Taman Baca berawal dari beberapa anak Desa Babakan yang putus sekolah. Mereka yang putus sekolah umumnya dari jen-jang Sekolah Dasar (SD) sampai Seko-lah Menengah Pertama (SMP). Bukan hanya faktor biaya yang mendominasi, tapi, jarak ke sekolah yang jauh dan minimnya dorongan orang tua juga membuat anak-anak malas ke sekolah. Awal mula berdirinya Taman Baca juga melibatkan para pemuda wilayah sekitar. “Memberdayakan wilayah tan-pa campur tangan pemudanya itu per-cuma,” katanya.

Senada Yudi, Maruli, mahasiswa semester 7 Prodi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), juga ikut berkontribusi mengajak anak-anak untuk peduli pendidikan.

Ia bergabung dalam komunitas Sang-gar Kreatif Anak Bangsa (SKAB) sejak semester satu. SKAB adalah sebuah tempat belajar yang mulanya dikhususkan untuk anak jalanan dan pengamen. Namun sekarang bebas untuk umum.

Akan tetapi, Maruli menyayang-kan, sejak berdirinya SKAB selalu berpindah-pindah tempat. Hal terse-but menjadi kendala utama SKAB dalam menarik perhatian anak-anak jalanan. Pertama kali didirikan pada tahun 2010, SKAB bertempat di kolong fly over Ciputat, kemudian pindah di samping kampus swasta Sekolah Tinggi Telematika (STT) Nu-santara. “Pernah sekali belajar di loby tarbiyah, tapi beberapa kali ditegur oleh satpam,” ujar mahasiswa beram-but gondrong itu, Jumat (18/9).

Menurut Maruli, antusiasme bela-jar anak jalanan di SKAB sebenarnya tinggi. Hanya saja, faktor tempat yang sering berpindah-pindah membuat minat belajar anak jalanan dan pe- ngamen menurun. “Memang sangat disayangkan, sekarang malah SKAB terancam tutup, gegara pengurus ma-sih mencari tempat sementara,” ka-tanya.

Tak hanya dalam pendidikan, per-an mahasiswi UIN Jakarta di bidang kesehatan juga dibuktikan dari kegia-tan yang dilakukan Madinnatul Ulfa Nurjanah. Mahasiswi Prodi Hubun-gan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) ini, mengikuti aksi donor darah untuk

penderita thalas-semia (kelainan sel darah merah karena faktor ge-netik) pada 14-15 Maret 2015 di Kota Tangerang.

Acara Young On Top Tangerang tersebut nyatanya membuat maha-siswi semester 5 itu jatuh cinta da-lam kegiatan bakti sosial. “Ternya-ta beda rasanya volunter lingkup kampus dan luar kampus, ada tantangannya,” ujar ma-hasisiwi yang juga anggota dari FISIP mengajar, Senin (21/9).

Kepuasan hati saat menolong sesa-ma membuat Madinna seakan ingin lagi dan lagi. Sama halnya dialami oleh salah satu mahasiswa Kelompok Pecinta Alam (KPA) Arkadia Noer Alamsyah yang menjadi koordinator pencarian black box saat pesawat Suk-hoi jatuh di Gunung Salak pada 9 Mei 2012 silam. Ia terpilih menjadi koordi-nator perjalanan oleh Komite Nasio- nal Keselamatan Transportasi (KNKT) untuk membawa 300 rela-wan menyusuri area Gunung Salak.

Alam bercerita, Kegiatan volunter itu bermula saat masuk KPA Arka-dia 2008 silam. Pengalaman pertama yang dirasakan Alam saat jebolnya situ gintung pada 2009. “Awalnya jijik

ngumpulin mayat korban, tapi dari situ rasa kemanusiaan itu muncul,” tutur pria yang akrab disapa Jampe itu, Senin (21/9).

Jampe mengakui, banyak pengala-man yang ia dapat sewaktu terjun ke lapangan. Hal itu membuatnya me-nyadari bahwa kewajiban setiap orang yaitu saling membantu. “Ketertarikan di bidang kemanusiaan bertambah, jadi setiap ada bencana gue seakan ter-panggil,” katanya.

Melihat mahasiswa yang menja-di volunter, Ketua Pengabdian Pada Masyarakat (PPM) Djaka Badranaya me- ngatakan, sangat mengapresiasi kegiatan mahasiswa tersebut. Ren-cananya, PPM akan memberikan

keringanan Sistem Kredit Semester (SKS) bagi mahasiswa yang mengiku-ti volunter di luar. Niat itu akan segera terealisasikan pada tahun ini. “Ibarat-nya, mahasiswa boleh me- nyicil SKS yang dibebani PPM di bidang pengab-dian,” jelasnya, Selasa (8/9).

Caranya, bagi mahasiswa yang menjalani aktivitas menjadi volunter, harus membuat bukti bahwa ia mengi-kuti kegiatan volunter di luar kam-pus kepada PPM. Selanjutnya, PPM akan menilai kinerja mahasiswa den-gan bukti-bukti terkait kegiatan yang dilakukan. PPM juga akan memberi penghargaan berupa sertifikat, dan re-komendasi guna meningkatkan aktivi-tas mahasiswa dalam bidang tertentu.

Sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Sanggar Kreatif Anak Bangsa (SKAB) menga-dakan acara bertajuk Pendidikan Seharusnya di Kolong fly over Ciputat, Sabtu (2/5). Acara ini

dilakukan dalam rangka Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Dok.

Prib

adi

‘Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina’ bukan sekadar pepatah bagi mahasiswa. Menghadapi hal itu hendak-nya mahasiswa mempersiapkan diri.

Berkat seleksi esai dan transkip nilai selama perkuliahan, salah satu mahasiswa Jurusan Manajemen se-mester lima Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Gita Andini berhasil pergi ke Jepang menghadiri World Conference on Disaster Risk Reduction di Kota Sendai selama 8 hari pada 14-18 Maret 2015. Lantaran menyer-ahkan proposal kegiatan, Gita pun mendapat bantuan dana dari fakultas dan Pertamina. “Dana dari fakultas saya belikan tiket pesawat pulang-per-

gi. Kalau uang dari Pertamina untuk akomodasi selama di Jepang,” jelas-nya, Selasa (22/9).

Menghadiri seminar di luar negeri bukanlah pertama kalinya bagi Gita. Sebelumnya dia juga pernah ke Ma-laysia, Brunei Darussalam, dan Si- ngapura dalam rangka seminar Bru-nei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines East Asean Growth Area (BIMP-EAGA). Menurut Gita, ba- nyak sekali program ke luar ne- geri yang bisa diperoleh mahasiswa. “Mahasiswa harus melek informasi.

Jangan kurang update (kudet), jadilah mental juara. Lagipula persyaratan- nya tidak begitu sulit yang penting coba saja dulu,” papar Gita.

Sama halnya Gita, mahasiswa Ju-rusan Teknik Informatika Fakultas Sains dan Teknologi (FST) semes-ter lima, Bella Marisela Caroline juga menuntut ilmu ke negeri orang. Pada Agustus 2015, Bella mengikuti program pertukaran mahasiswa ke Western Sydney University (WSU) di Australia yang diselenggarakan oleh Pusat Layanan Kerjasama Internasi-

onal (PLKI) UIN Jakarta. Dalam kurun waktu

satu semester program pertukaran mahasiswa di WSU berlangsung, seluruh biaya ditanggung oleh pihak UIN Jakarta. Bahkan Bella mendapat uang saku sebesar $400 per bulan. Menurut-nya, di samping bahasa, mental menjadi tanta- ngan utama berkuliah di luar negeri. “Kita butuh mental yang kuat dalam menjalani perkuliahan di negara lain. Di sana kondisinya jauh berbeda dari Indonesia, terutama dalam segi budaya,” ujar Bella, Kamis (17/9).

Baru sekitar satu bu-lan kuliah di Australia, Bella mendapati pendi-dikan yang berkualitas.

Dia mengaku diajar oleh dosen-dosen yang berkompeten serta memperoleh fasilitas belajar mengajar yang sangat mendukung. “Di WSU dosen penga-jarnya mahir serta banyak Internation-al Student-nya jadi saya bisa bertukar pikiran dan pengalaman dengan ma-hasiswa dari berbagai negara,” ung-kapnya.

Lain lagi dengan Bella, salah satu mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta, Faramudita Dwi Iriyani, mahasiswa angkatan 2011 tak menyangka dirinya akan lolos seleksi dan berangkat ke Ibukota Korea Sela-tan, Seoul untuk menghadiri simulasi konferensi Perserikatan Bangsa-Bang-sa (PBB) dalam acara Harvard World Model United Nation (MUN) 2015.

Perempuan yang akrab disapa Dita ini menjelaskan, dari 515 mahasiswa yang bergabung dengan beasiswa Djarum Foundation hanya 10 orang yang terpilih mengikuti Harvard World MUN 2015 dan salah satunya dirinya. Maka dari itu, seluruh biaya selama acara tersebut pun ditanggung oleh Djarum Foundation. Tak sampai disitu, setelah lolos seleksi, Dita mes-ti membuat working paper berisi riset mengenai negara yang ia wakili da-lam konferensi Harvard World MUN tersebut.

Perempuan yang bergabung de-ngan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) FLAT ini berperan sebagai diplomat Portugal dan berpidato mengenai isu-isu yang terjadi di negara tersebut.

“Saya juga berkesempatan me-ngenal budaya Korea Selatan melalui acara cultural visit yakni mengunjungi tem-pat-tempat bersejarah di Korea Sela-tan,” paparnya, Kamis (17/9).

Mengenai program ke luar negeri, Ketua PLKI UIN Jakarta, Rachmat Baihaky menuturkan, ada beberapa macam seperti student exchange, inter-national student exchange, dan sandwich program. Kemudian ada pula pro-gram-program yang bisa diikuti dari pihak luar. “Programnya sudah ba-nyak, tinggal mahasiswanya saja yang harus perkaya informasi. UIN sendiri sudah memberikan informasi seperti di mading kampus, website dan akun Twitter PLKI,” kata Baihaky.

Senada dengan Baihaky, Kepala Biro Akademik Kemahasiswaan dan Kerjasama, Muhammad Zaenal Ari-fin mengatakan, mahasiswa UIN Ja-karta yang ingin ke luar negeri masih terkendala bahasa. Zaenal berharap, mahasiswa UIN Jakarta segera mem-perkaya pengetahuan khususnya dalam bidang bahasa. “Apalagi UIN Jakarta sudah menyediakan kursus bahasa asing gratis,” jelasnya.

Zaenal menambahkan, terkait dana, seharusnya tak menjadi mas-alah. Sebab, UIN telah menyediakan anggaran untuk program-program ke luar negeri. “Untuk student exchange, semua biaya ditanggung UIN Jakarta. Keyakinan dan usaha adalah kunci utama. Jadi, mahasiswa harus mem-punyai kepercayaan diri yang tinggi,” pungkasnya.

Gita Andini dan beberapa delegasi dari Indonesia berfoto di University Brunei Darussalam dalam acara Brunei Indonesia Malaysia Phillippines East Asia Growth Area (BIMP-EAGA) Youth Forum on Sustainable Development, Kamis (29/05). Dalam seminar tersebut membahas potensi negara-negara yang tergabung dalam BIMP-EAGA.

Wujud Nyata Pengabdian Mahasiswa

Banyak Jalan ke Negeri Orang

Triana Sugesti

Jeannita Kirana

Dok.

Prib

adi

Page 6: TABLOID INSTITUT EDISI 38

Desa

in V

isual

: Riza

l & Je

anni

SURVEI 6Tabloid INSTITUT Edisi XXXVIII / September 2015

Pengabdian kepada masyarakat merupakan poin Tridharma perguruan tinggi yang harus dipenuhi oleh mahasiswa. Kuliah Kerja Nya-ta (KKN) adalah salah satu cara untuk me-menuhinya. KKN di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terbagi men-jadi tiga jenis yaitu, KKN reguler, mandiri, dan kebangsaan.

Tahun ini terdapat 160 kelompok KKN reg-uler dengan anggota yang tersebar dari 8 fakul-tas berbeda. Seluruh kelompok KKN berkewa-jiban membuat program kerja (proker) sebagai rencana kegiatan selama mengabdi pada mas-yarakat desa.

Berdasarkan hasil survei divisi Litbang Insti-tut, sebagian besar kelompok KKN membuat proker yang sesuai dengan situasi dan kondisi di desa KKN. Tujuan mereka sederhana yak-ni menginginkan keadaan masyarakat desa yang sejahtera setelah adanya pengabdian dari kelompok KKN.

Untuk menjalankan proker, kelompok KKN membutuhkan dana yang tidak sedi- kit. Apala-gi harus membangun sarana dan prasarana desa, seperti membeli bak sampah, membuat taman baca, renovasi tempat ibadah, dan lain sebagainya.

Pusat Pengabdian Masyarakat (PPM) UIN Jakarta telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp10 juta per dosen pembimbing KKN. Dana tersebut mestinya digunakan dosen pembimb-ing untuk melakukan pengabdian bersama mahasiswa. Namun, pembagian dana tersebut tak merata. Dari 80 responden hanya 32,5% kelompok KKN yang mendapat uang lebih dari Rp8 juta.

*Survei dilakukan oleh Litbang Institut pada 19-23 September 2015 di kampus UIN Jakarta kepada 80 responden dari kelompok KKN yang berbeda. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam survei ini adalah simple random sampling dengan derajat kepercayaan sebesar 92%. Hasil survei ini tidak dimaksudkan untuk mengevaluasi program KKN secara keseluruhan namun hanya sebagai gambaran saja.

Menilik Program KKN 2015

Akhirnya wisuda juga!Selamat! Semoga sukses!

Adea Fitriana, S.S. Redaktur Online LPM Institut periode 2013-2014

Muhammad Umar, S.E. Pemimpin Umum LPM Institut periode 2012-2013

Nur Azizah, S.Kom.I Divisi Marketing LPM Institut periode 2013-2014

Page 7: TABLOID INSTITUT EDISI 38

berita foto 7Tabloid INSTITUT Edisi XXXVIII / September 2015

Pusat Pengabdian Masyarakat (PPM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki dua program baru yaitu, revitalisasi kawasan pesanggrahan (termasuk Situ Kuru) dan membuat taman di bawah Fly over Ciputat. Kedua program itu rencananya akan berlangsung pada bulan September-Desember.

Pada program pertama PPM akan mengatur parkiran, menertibkan pedagang kaki lima, dan meminta izin ke Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang Selatan (Tangsel) untuk membersihkan wilayah Situ Kuru. Sedangkan pada program kedua, PPM akan mengoptimalkan kembali lahan kosong di sekitar Ciputat untuk dijadikan pusat kreatifitas mahasiswa UIN dan masyarakat umum.

Ketua PPM UIN Jakarta Djaka Badranaya mengatakan, UIN Jakarta terlalu fokus melakukan pengabdian di luar daerah, namun lupa pada kewajibannya di sekitar kampus. “Bermula dari rasa prihatin itu, ide tersebut kemudian menjadi program baru PPM,” ungkapnya, Selasa (8/9).

Terkait kedua program tersebut, pihak PPM mengalokasikan dana sebanyak Rp100 juta. Selain itu, PPM juga melibatkan 10 dosen yang berasal dari beberapa fakultas untuk mereka menjadi tim inti dalam program tersebut. (Triana Sugesti)

Dua Program Baru PPM

UPDATE TERUS BERITA KAMPUSVisit www.lpminstitut.com

Lantaran proses akreditasi ASEAN University Network Quality Assurance (AUN-QA) pada prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) menyatakan bahwa sarana dan prasarana penunjang akademik di prodi tersebut belum memenuhi syarat, maka koperasi di di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) harus direlokasi. Oleh karena itu, rencananya koperasi yang menjual berbagai jenis makanan serta minuman tersebut bakal dijadikan kantor pelayanan akademik bagi mahasiswa.

Kepala Bagian Umum UIN Jakarta, Muhammad Ali Meha mengatakan, selain kantor pelayanan akademik, nantinya juga akan didirikan ruang dosen sehingga setiap dosen mempunyai ruangan masing-masing. “Kita mau buat ruangan yang ideal bagi dosen. Proses pengerjaannya akan diusahakan pada Oktober tahun ini,” katanya, Selasa (22/9). (Jeannita Kirana)

Relokasi Koperasi Demi Syarat

Akreditasi

Sebuah traktor tengah mengeruk tanah di sekitar lahan gedung perpustakaan dan parkir, Senin (14/9). Rencananya lahan tersebut akan dijadikan akses jalan masuk ke gedung perpustakaan dan parkir.

Foto

: Aci

/IN

S

Penampilan calon anggota (caang) Komunitas Musik Mahasiswa (KMM) Ruang Inspirasi Atas Kegelisahan (RIAK) dalam konser Konser Musik Progeni (Kosmigeni) ke-5 bertajuk Classic and 4 Season Symphony, Sabtu (5/9). Konser yang digelar di Hall Student Center merupakan syarat untuk menjadi anggota KMM RIAK.

Salah seorang siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) sedang memasang kain untuk membuat tandu dalam Lomba Tandu Putra Putri, Sabtu (12/9). Acara yang diadakan oleh Korps Suka Rela (KSR) Palang Merah Indonesia (PMI) UIN Jakarta ini diikuti oleh perwakilan Palang Merah Remaja Madya dan Wira se-Jabodetabek.

Foto

: Rizk

i/IN

S

Foto

: Rizk

i/IN

S

Informasi danTempat Pendaftaran

Pendaftaran:Setiap Hari Kerja

Tempat Pendaftaran:Kantor U’L CEE (Depan UIN Jakarta)

Start Kelas Baru:Tanggal 10 dan 25 tiap bulannya

Kuota:Min 5 orang

Contact Person :081374640859 WA/ 085223677218 WA

BBM:581F7292/ 7D2BEF74 (Yunal dan Denden)

Website:ulcee.damai.id : U’L CEE Institute

@U’L_CEE

Pilihan Hari Belajar: Senin s.d. Sabtu (08.00-17.30 WIB)

Biaya Pendaftaran: Rp. 50.000,-

2

2

2

Page 8: TABLOID INSTITUT EDISI 38

opini 8Tabloid INSTITUT Edisi XXXVIII / September 2015

*Penulis adalah Mahasiswa Mahasiswa KPI semester 11 & penikmat kretek.

*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta

Sumber: Internet

Menjadi Perokok Bertanggung JawabOleh : Aditia Purnomo*

Menjadi perokok itu memang sebuah hal yang dipenuhi tanggu-ng jawab. Mau melakukan hal yang dilindungi hukum dan legal saja ha-rus menaati banyak aturan. Mending kalau cuma disuruh taat aturan, lah ini juga kerap diperlakukan diskri- minatif dan sewenang-wenang. Baik oleh negara maupun masyarakat.

Sebagai contoh, stereotip ma-syarakat yang menganggap bahwa rokok adalah sumber utama dari se-gala jenis penyakit mematikan mem-buat kita, para perokok, kerap di-kucilkan dari pergaulan masyarakat. Bukan cuma itu, dalam beberapa formulir pendaftaran untuk masuk sebuah lembaga, entah kampus, kantor, ataupun yang lainnya, kita selalu dihadapkan pada pertanyaan: Apakah anda merokok?

Padahal, kalau kita mau ber-laku adil sejak dalam pikiran, pen-yakit mematikan macam jantung atau kanker juga disebabkan oleh faktor-faktor dan barang konsumsi lain. Banyak makan makanan berle- mak dan kolesterol tinggi dan jarang berolahraga juga bisa menyebabkan orang menderita penyakit itu. Atau coba cek di google negara mana yang memiliki penderita kanker paling banyak, apa negara itu juga berada di urutan negara dengan jumlah pe-rokok yang besar, jawabannya ada-lah tidak.

Sayangnya, cara berlaku ma-syarakat yang lebih sering termakan

propaganda ketim-bang berlaku adil se-jak pikiran membuat mereka memandang rokok sebagai sesuatu yang jahat. Karena itu mereka yang mero-kok sudah pasti jahat. Paradigma macam ini mirip dengan cara masyarakat melihat orang yang memiliki tato adalah orang yang berbahaya, dekat deng-an kriminal. Padahal, nggak semuanya begitu. Kalaupun ada, tentu ti-dak bisa digeneralkan.

Padahal, banyak orang yang memili-ki tato ataupun per-okok yang berlaku adil pada sekitarnya. Mereka yang tidak mau me-rokok di sembarang tempat, atau mereka yang tidak merokok jika ada anak kecil. Ya, kalau kita mau berpikir dan memandang persoalan ini dengan jernih, kita bakal melihat bagaimana perokok sudah berupaya menjaga hak orang lain yang tidak merokok.Tapi ya itu, hak-hak bagi perokok sendiri tidak pernah diberikan, baik oleh neg-ara maupun swasta.

Peraturan Rokok di KampusSebagai contoh, belakangan di

kampus ini mahasiswa yang me-

rokok di areal taman dan basement Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Fakultas Ushulu-din dikejar-kejar dan dimaki-maki oleh seorang dosen bergelar profe-sor. Dalihnya, menegakkan pera-turan, karena pihak kampus sudah membuat peraturan tidak boleh me-rokok di seluruh areal kampus.

Padahal, jika kampus dan dosen itu mau adil, dan mau tahu soal pera-turan tentang rokok, pada pasal 115 Undang-undang Kesehatan Nomor

G-30 S/PKI: Bukan Sekadar Mempertanyakan Dalang

Oleh : Virdika Rizky Utama*

36 Tahun 2009 menyebut-kan bahwa tempat-tempat umum diwajibkan menye-diakan ruang merokok. Kalau punya semangat me-negakkan peraturan, mes-tinya juga disediakan ru-ang merokok seperti yang diperintahkan konstitusi.

Kalaupun mereka yang membuat peraturan mem-permasalahkan bahwa kampus adalah lingkungan pendidikan, dan tempat macam ini harusnya bebas dari rokok, ini hanyalah persoalan yang debatable. Sederhana, kampus di-isi oleh mahasiswa yang rata-rata usianya sudah diatas 18 tahun, sudah de-wasa dan diperbolehkan undang-undang untuk me-

rokok. Kalau lingkungan pendidikan sekolah yang isinya pela-jar di bawah usia 18 tahun, ya nggak boleh lah. Gitu aja kok repot.

Saya melihat, dalam perkara kampus telah sengaja bertindak lalai dengan tidak menyediakan ruang merokok bagi sivitas akademika, tentunya bukan hanya mahasiswa tapi juga dosen dan pegawai yang merokok. Sebenarnya ruang me-rokok itu wajib disediakan sebagai upaya untuk melindungi orang yang tidak merokok dari paparan asap rokok. Ya kalau nggak disediakan,

Menjelang akhir September, bangsa Indonesia memiliki ingatan kolektif terhadap sebuah gerakan kelam. Gerakan tersebut dinamai gerakan 30 September, yang terjadi pada 1965 (G-30 S). Enam jenderal dan satu orang polisi menjadi kor-ban atas gerakan tersebut. Soeharto menuduh Partai Komunis Indone-sia (PKI) sebagai aktor di balik ger-akan tersebut.

Alhasil, dalih ini yang kemudi-an digunakan oleh Soeharto un-tuk membunuh anggota maupun simpatisan PKI. John Roosa da-lam bukunya, Dalih Pembunuhan Massal, mencatat setidaknya 3 juta orang menjadi korban dalam trage-di itu. Tidak cukup sampai di situ, di bawah Soeharto, rezim Orde Baru juga membuat narasi utama atas peristiwa itu. Dua di antaranya adalah film Pengkhianatan G-30 S/PKI dan cerita resmi yang disusun sejarawan militer Nugroho Noto-susanto. Isinya, kejamnya PKI dan Soeharto sebagai penyelamat.

Ihwal tuduhan PKI menjadi otak pembunuhan dan kebenaran film tersebut banyak diragukan. Sudah banyak buku atau penelitian yang coba membantah itu semua. Oleh sebab itu, pada tulisan ini tidak akan dibahas mengenai kebenaran gerakan dan siapa dalangnya. Bagi saya yang menarik dibahas dari peristiwa itu adalah efek domino pasca gerakan G-30 S.

***Hanya satu kata yang dapat

menggambarkan Indonesia setelah peristiwa G-30 S yakni mencekam. Tetesan darah rakyat Indonesia sa- ngat mudah dijumpai. Tidak ada hari tanpa pembunuhan. Pem-bunuhan ditujukan bagi mereka yang dianggap dekat dengan PKI. Meskipun, hanya sebatas teman main catur, ia akan masuk daftar pencarian untuk dibunuh.

Rakyat yang pada 20 tahun sebe- lumnya bersatu untuk memerdeka-kan diri. Kini, demi kepentingan kekuasaan saling bunuh untuk mempertahankan hidup. Pem-bunuhan bukan hanya dilakukan oleh tentara, melainkan pasukan partikelir yang dipersenjatai. Pada buku Palu Arit di Ladang Tebu, He-mawan Sulistiyo menyebutkan, Soeharto memanfaatkan konflik simpatisan PKI dengan warga pada masa Soekarno, untuk membalas-kan dendam.

Termasuk kalangan Islam, Pada periode Soekarno, PKI sedang gencar melaksanakan Undang-Un-dang Pokok Agraria (UU PA) dan menyebut tuan tanah sebagai tujuh setan desa yang patut diganyang. Para kiai masuk dalam kriteria tuan tanah. Sebab, mereka memili-ki tanah yang luas untuk pesantren dsb.

Pemerintah Soeharto pun men-gampanyekan bahwa PKI tidak ber-tuhan. Dan oleh karena itu sangat jelas bertentangan dengan Pancasi-la. Bukan hanya pembunuhan, pe-merintah Soeharto pun memenja-

rakan dan membuang mereka yang dianggap dekat dengan PKI ke Pu-lau Buru. Kartu Tanda Penduduk (KTP) pun ditulis eks tahanan poli-tik, mereka tak bisa bebas untuk bekerja, mengenyam pendidikan dan penghidupan lainnya. Kejadi-an tersebut berlangsung selama 32 tahun.

Sejarah bukan hanya berbicara ruang dan waktu, melainkan ma-nusia dan nilai-nilai kemanusiaan yang tercabut selama Soeharto memimpin. Sudah semestinya pula, pemerintah meminta maaf kepada keluarga korban, seperti yang per-nah dilakukan oleh Gus Dur. Jika sudah meminta maaf bukan berarti kita harus melupakan sejarah.

Depresi Ekonomi Satu hal yang berbuah sejak G-30

S adalah ekonomi. Pada buku pela-jaran Sekolah, kejatuhan Soekarno bukan hanya masalah G-30 S, me-lainkan buruknya per- ekono-mian dan terjadi inflasi hingga 600 persen. Perekonomian Indonesia saat itu, sangat tertutup bagi asing. Soekarno mencoba mengimple-mentasikan idenya tentang tri sakti, berdaulat di bidang ekonomi dan politik serta berkepribadian dalam budaya.

Bagi Soekarno, tri sakti sebagai bentuk perwujudan Indonesia merdeka. Kemerdekaan yang di-maksud termasuk proteksi dan penggunaan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Pada

dekade 1950, Soekarno pun mena-sionalisasi semua perusahaan asing yang ada di Indonesia. Tak hanya itu, Soekarno pun menolak tawaran pembangunan jalan trans Sumatera yang digagas oleh Caltex, dengan syarat Caltex diizinkan melakukan pengeboran minyak. Hal ini sesuai dengan konstitusi pasal 33.

Setelah Soeharto naik tahta, ke-hidupan ekonomi berubah drastis. Diberlakukannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA), diyakini sebagai prasyarat demi membangun Indonesia. Free-port merupakan perusahaan asing yang kali pertama masuk dan me- nguras gunung emas di Irian Jaya. Setelah itu, perusahaan asing lain-nya pun berdiri di tanah Indonesia. G-30 S hanya sebagai jalan untuk masuknya korporasi dan demi itu semua, 3 juta rakyat dikorbankan.

Sudah hampir 50 tahun Freeport dan korporasi lainnya beroperasi, tapi tidak pernah sedikit pun ber-pengaruh bagi rakyat Irian Jaya dan rakyat Indonesia. Konstitusi pasal 33 pun hanya sebatas menjadi ba-caan, tanpa pernah dipraktikkan lagi. Seluruh hajat hidup orang ban-yak dikuasai oleh asing. Oleh sebab itu, pantas rasanya bila mengatakan bahwa Indonesia belum merdeka.

yang terjadi adalah tindakan otorit-er dengan pelarangan tersebut.

Toh, mahasiswa dan dosen yang merokok sudah tidak mero-kok di tempat yang sembarangan, mereka merokok di ruang terbu-ka yang sirkulasi udaranya jelas terjadi. Sebenarnya, jika kampus sejak awal sudah menegaskan di mana tempat para perokok, baik mahasiswa, dosen, maupun peker-ja, nggak bakal ada tindakan se-wenang-wenang dari dosen cum- profesor yang seenaknya menindak mahasiswa yang merokok di taman dan basement. Jadi, minimal dikasih tahulah buat perokok tempat di mana mereka boleh merokok.

Sudah saatnya kampus berlaku adil bagi semua orang yang dia-suhnya. Kalau mau buat peratu-ran, ya dilihat landasannya, jangan sampai bertentangan dengan un-dang-undang. Karena, suka atau-pun tidak, rokok adalah barang legal yang memberikan pemasukan besar bagi kas negara. Dan mero-kok, masihlah perbuatan yang tidak dilarang undang-undang. Karena itulah, bagi para penguasa di rek-torat dan dekanat sana, yang ten-tunya para intelektual yang tidak akan berkhianat pada hak-hak ma-syarakat, cobalah adil dan berikan hak perokok di kampus.

Quoteof the month

“Ajarkan sastrakepada

anak-anakmukarena itu

dapatmengubahanak yang

pengecutmenjadi

pemberani”Umar bin Khattab

581 - 644 M

Page 9: TABLOID INSTITUT EDISI 38

Pojok 9Tabloid INSTITUT Edisi XXXVIII / September 2015

Sumber: Internet

Tindak Tegas Pelaku Plagiarisme

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tampaknya harus lebih serius menindak pelanggaran plagiarisme di kalangan dosen maupun mahasiswa. Pasalnya, ini bukan kali pertama terjadi. Maret 2013 lalu, UIN Jakarta juga sempat geger lantaran kasus plagiat yang dilakukan oleh salah satu dosen sekaligus Wakil Dekan II Fakultas Syariah dan Hu-kum (FSH).

Laporan yang diterima Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UIN Jakarta menjadi kasus yang kedua kalinya dalam tiga tahun terakhir. Tentu tidak menutup kemungkinan, sebenarnya banyak kejadian serupa setiap tahunn-ya. Apalagi, kemungkinan itu rupanya dipertegas dengan pernyataan Sek-retaris Komisi Etik Universitas, Amany Lubis. Ia membenarkan, bahwa UIN Jakarta memang menerima laporan kasus plagiarisme setiap tahun-nya.

Persoalan itu tidak selesai ketika Amany juga menyatakan kasus plagia-risme bisa selesai hanya dengan permintaan maaf. Ini yang perlu digaris-bawahi. Pertanyaannya? Apakah memang selama ini tindak plagiarisme di UIN Jakarta ditangani dengan model sanksi demikian. Sehingga sejauh ini UIN Jakarta memang tidak ada niat serius menindak pelaku plagiarisme.

Sejak LPM dan Komisi Etik Senat Universitas menerima laporan kasus ini tiga bulan lalu, kini prosesnya masih dalam tahap perumusan Standar Operarasional Prosedur (SOP) untuk menindak kasus tersebut. Rumusan itu bakal rampung akhir 2015 mendatang. Dan ini yang layak kita tunggu.

Barangkali wajar, jika selama ini produktivitas dosen, terlebih maha-siswa dalam penelitian, karya ilmiah, maupun jurnal ilmiah tidak ada pen-ingkatan signifikan. Padahal, alokasi anggaran bagi dosen untuk penelitian dalam tiga tahun terakhir terus meningkat. Karena diakui, di UIN Jakarta, tradisi plagiarisme tampaknya memang telah dipandang lumrah. Bukan hanya oleh mahasiswa, bahkan di kalangan dosen yang mestinya digugu dan ditiru.

Tidak hanya di UIN Jakarta, kasus plagiarisme nyatanya memang ba-nyak terjadi di perguruan tinggi di Indonesia, baik di PTN maupun Swasta. Pada 2013 misalnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemen-dikbud) setidaknya mencatat, sebanyak 808 kasus plagiarisme dilakukan oleh dosen dalam proses sertifikasi. Sebuah angka yang boleh jadi menge-jutkan.

Pada tahap ini, sebagai kejahatan intelektual, plagiarisme tidak bisa di-lihat hanya dari sudut pandang hukum positif bagi institusi pendidikan, ia juga harus dilihat sebagai kultur yang akan menjadi preseden buruk dan terus berkelindan.

Soal plagiarisme, sekali lagi, ini menjadi pekerjaan rumah yang mestin-ya masuk dalam skala prioritas UIN Jakarta. Pasalnya, upaya kampus ini untuk menggenjot publikasi tingkat internasional, guna mendukung ren-cana strategis (renstra) UIN Jakarta sampai 2022 menjadi kampus bertaraf internasional, namun dengan mendiamkan kejahatan plagiarisme—yang masuk dalam kategori kejahatan berat di instansi pendidikan—sama hal-nya dengan melangkah konyol; bak panggang jauh dari api.

EditorialRektorTumben sekali Bang Peka ada

di fakultas pagi-pagi. Biasanya juga baru terlihat siang, bahkan sore hari. Menjadi mahasiswa dengan cap se- sepuh membuatnya bebas kapan saja ke kampus. Rambut kribo diikat karet gelang, mata belo dengan ling-kar hitam di bawah kelopak mata dan celena jin belel membuat dia mudah dihapal orang manapun.

Dia memang tenar. Khusus- nya, di kalangan mahasiswa dengan penampilan seperti itu. Tidak ada dosen yang berani menegurnya. Jelas saja, dia jarang masuk kuliah. Karena sulit melihat dia di ruang kelas, para dosen tidak bisa menegur dia. Pang-gilan jiwa sebagai aktivis lokal (kam-pus) membuatnya melakukan ini.

“Bang Ka, ada angin apa nih datang ke kampus pagi-pagi?” aku memulai basa-basi agar ada perbin-cangan. “Gua mau ketemu dosen. Ada mata kuliah yang harus diulang. Tapi semester ini banyak banget. Rencananya mau lobi dosen untuk ngerjain tugas saja biar dapat nilai. Nilai B juga tidak apa-apa dah.”

“Alasannya apa? Biasanya kan ada dosen yang tidak menerima cara seperti itu,” aku bertanya sinis karena ada saja dosen yang punya pemikiran seperti itu. “Gue bisa bilang lagi garap skripsi dan sebentar lagi mau sidang.” Memang jago seniorku ini. Bergulat di luar kampus, berhadapan dengan polisi membuat dia tahu bagaimana cara ngeles. Padahal dia bilang masih banyak mata kuliah yang belum sele-sai.

Sepertinya Bang Peka sedang malas membahas kuliah. Dia langsung mengalihkan pembicaraan masalah lain. “Lu tahu tidak, rektor kita saat ini sedang membuat sema-cam tim media?” “Tim media? Doi mau buat media baru gitu? Lalu bagaimana media cetak mereka yang

sudah ada sekarang? Terus...” belum selesai bicara, Bang Peka langsung memotong, “Kebanyakan nanya lu. Jadi begini...”

Sudah kuduga kalau Bang Peka sedang punya bahan obrolan. Yang dimaksud adalah tim yang dikhusus-kan untuk rektor agar mulai diper-hitungkan di kancah nasional. Ini adalah bulan kedelapan beliau men-jabat sebagai rektor baru. Akan tetapi tulisan ataupun sosok dia belum ada di media massa nasional.

Berbeda dengan rektor sebelum- nya yang beberapa kali suka menjadi pembawa acara di bulan Ramadhan. Bahkan saat menjabat sebagai rektor, dia dipilih oleh Presiden Susilo Bam-bang Yudhoyono untuk menyele-saikan perkara KPK dan Polisi. Keti-ka itu presiden menamakannya tim 8.

Rektor sebelumnya di tahun 90’an lebih eksis lagi. Tulisannya dija- dikan acara dalam bincang-bincang di televisi swasta nasional dengan dia sendiri yang menjadi pembicara. Acara yang selalu dinantikan umat Islam di Indonesia setiap bulan suci dan sudah berlangsung selama berta-hun-tahun hingga saat ini.

Lalu bagaimana dengan rektor yang sekarang? “Cari saja di Mbah Google. Apakah ada opini dia di me-dia online? Media cetak yang memili-ki kredibilitas baik juga tidak pernah gua lihat. Itu sih selama gue baca ko-

ran. Mungkin lu pernah baca tulisan rektor kita.” Bang Peka mencoba meyakinkan pendapatnya dengan pertanyaan itu. “Gue mah anak ke-marin sore, Bang. Jangankan baca, nonton berita saja jarang.”

Sepertinya Bang Peka haus setelah panjang cerita. Dia lalu menyeruput kopi yang sedari tadi dilupakan. “Jadi tugas tim ini semacam konsultan yang fungsinya agar hasil pemikiran rektor diketahui Indonesia? Biar dike-nal juga seperti rektor sebelumnya terus sering masuk televisi sehingga lupa dengan kampus tercinta?”

Bang Peka segera menaruh ko- pinya dan melanjutkan ceritanya. “Lu kebanyakan berpikir negatif. Su-dah kaya haters Presiden Joko Wido-do. Coba untuk mengambil hal posi-tif dan buang jauh-jauh yang negatif. Kalau tulisan rektor terpublikasi, kan kampus kita juga yang terkenal. Biar negeri ini tahu bahwa UIN Jakar-ta bukan hanya tempat melahirkan teroris atau orang sesat. Bukankah begitu yang selalu diberitakan di me-dia?”

Aku coba memanas-manasi Bang Peka. “Iya kalau dia mengaku se-bagai Rektor UIN Jakarta. Kalau bilang sebagai yang lain?” “Tuh kan! Coba pikir positif. Ingat rektor sebe- lumnya ingin agar kampus kita go international. Mungkin dari dikenal di media massa dan memperkenalkan diri sebagai rektor baru, dia bisa me-langkah lebih jauh.”

“Sekarang Bang Ka sudah beru-bah tidak mengkritisi kampus lagi. Salut ane Bang! Tapi kita sudah dua jam bicara rektor. Abang tidak jadi ketemu dosen?” Bang Peka lupa de-ngan tujuan awal bangun pagi hari ini. Dia lalu bergegas ke ruang dosen.

Oleh : Jaffry Prabu Prakoso*

*Penulis adalah Dewan Kehormatan Organisasi LPM Institut dan bagian dari

Forum Alumni Jurnalistik UIN Jakarta.

BANg Peka

Menerima:Tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen.

Opini dan cerpen: 3500 karakter. Puisi 2000 karakter. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya.

Tulisan dikirim melalui email:[email protected]

Kirimkan juga keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor085693706311

Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat PembacaTabloid INSTITUT berikutnya.

Redaksi LPM Institut

KREATIVITAS

TANPA

BATAS

Tunjukkan kreativitas

dan kemampuanmu di sini,

karena kuliah gak cuma

makan bangku!

1-2 OktoberFREE SERTIFIKAT & COFFEE BREAK

TempatLapangan Parkir SC

Contact Person:Bayu (083875725506)Eko (089627411429)

Page 10: TABLOID INSTITUT EDISI 38

TUSTEL 10

Mendayung

Foto

: Arin

i/Ins

Foto

: Aci/

INS

Foto

: Arin

i/INS

Memancing

Tabloid INSTITUT Edisi XXXVIII / September 2015

Denyut Situ GintungFoto dan Teks:

Aci Sutanti dan Arini Nurfadilah

Situ atau danau memiliki pe-ranan penting bagi kehidupan manusia. Pasalnya, selain se-bagai sumber air, keduanya juga bisa dijadikan ladang mendulang rupiah. Seperti yang terjadi di Situ Gintung, Cirendeu, Ciputat Timur. Banyak warga sekitar yang membuka usaha tambak ikan di sana.

Kegiatan perikanan pun masih aktif dilakukan, semisal meman- cing, menambak dan menjala ikan di tengah situ. Saat pagi menyapa, para penjala mulai melebarkan jalanya demi mengumpulkan ikan untuk dijual.

Ketika matahari mulai berge-rak ke Barat, petambak menepi sembari membawa tangkapan yang jumlahnya tak menentu se-tiap harinya.

Warga sekitar mesti bersyukur karena Situ Gintung masih mem-pertahankan fungsinya. Meski sempat mengalami bencana pada 2009 lalu, kini situ yang merupa-kan bagian dari daerah aliran su-ngai Cisadane ini telah meman-tapkan fungsinya.

Tak hanya digunakan sebagai pendulang pundi-pundi ke-hidupan, Situ Gintung juga dija-dikan tempat wisata.

PanenRehat Sekejap

Memantau Tambak

Foto

: Arin

i/Ins

Foto

: Aci/

INS

Page 11: TABLOID INSTITUT EDISI 38

WAWANCARA 11Tabloid INSTITUT Edisi XXXVIII / September 2015

REKOMENDASI

‘Tambal Sulam’ Sistem KKNPelaksanaan KKN merupakan ba-

gian dari tri dharma perguruan tinggi di bidang pengabdian. Meski sudah menjadi rutinitas tahunan di Univer-sitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hi-daya- tullah Jakarta, KKN masih me- nyisakan sejumlah persoalan.

Mulai dari tak adanya standardisa-si dosen pembimbing (dospem) KKN, ketidakmerataan pembagian dana se-jumlah Rp10 juta yang diterima setiap kelompok, hingga pelanggaran hak dan kewajiban oleh dospem KKN. Berikut hasil wawancara reporter In-stitut, Arini Nurfadilah dengan Ketua PPM 2015, Djaka Badrayana, Rabu (16/9).

Bagaimana Anda melihat pelaksa-naan KKN tahun ini?

Saat ini, mahasiswa hanya menja- dikan KKN sebagai rutinitas tahunan. Dari sisi substansi, KKN kini sering kali dijadikan sebagai wisata sosial atau bakti sosial (baksos) yang diren-canakan selama sebulan. Jika melihat dari sistem pemilihan dospem juga belum sempurna, karena dospem yang dipilih fakultas belum ten-tu bersedia, dan dospem yang bersedia belum tentu memi-liki komitmen.

Laptop atau komputer Anda bermasalah? Atau Anda sedang mencari laptop dengan berbagai spesifikasi, PC rakitan, dan build up? Tak perlu bingung permasalahan Anda akan segera terjawab jika Anda berkunjung ke Excellent Comp.

Terletak di Jl. Legoso Raya no. 06 (seberang Mahad Ali), dan di Jl. Pesanggrahan no. 03 (sebelah kiri pintu kecil UIN kampus 1). Excellent Comp hadir untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa dan umum dibidang komputerisasi.

Excellent Comp juga hadir dengan berbagai keunggulan. Selain berlokasi stategis yang memudahkan konsumen, Excellent Comp pun menawarkan barang dengan harga murah berkualitas tinggi dan tentunya bergaransi menjadi kelebihan Excellent Comp dari yang lain.

Selain itu, Excellent Comp juga memberikan harga dan kualitas terbaik untuk PC, laptop dan aksesoris,

serta pelayan servis yang beraneka ragam. Mulai dari recovery operating system Windows XP, Windows 7 dan Windows 10, atau penghapusan virus dan instalisasi program lengkap.

Lalu, Excellent Comp juga melayani servis laptop yang mati total, seperti terkena air. Pula melayani penggantian komponen seperti LCD, keyboard, charger, baterai dengan harga ekonomis. Excellent Comp juga melayani servis lainnya, seperti cleaning fan prosesor dan pembersihan komponen internal bagi laptop yang sering nge-hang/overheat.

Bagi Anda yang membeli flashdisk, modem, dan aksesori lainnya, Excellent Comp pun menerima komplain, dengan ketentuan memenuhi persyaratan garansi. Gambar gembira bagi Excellent Comp mulai bulan Oktober 2015 mengadakan promo setiap pembelian aksesoris seperti flashdisk, micro sd dll senilai minimal Rp.

Sebagian dospem tak menjalankan hak dan kewajibannya dengan baik, apa tanggapan Anda?

Untuk sistem KKN tahun ini, belum ada sanksi terkait hak dan kewajiban dospem. Ke depannya, bentuk pem-bekalan dospem akan diganti menjadi workshop dan para dospem yang hadir akan diberikan sertifikat sebagai syarat menjadi dospem.

Penilaian KKN lazimnya diberikan dospem pada mahasiswa usai pelaksa-naan kegiatan KKN.

Bagaimana menurut Anda dengan dospem yang mengadakan tes tulis sebagai cara lain untuk memberikan nilai?

Saya tak bisa jawab itu salah atau ti-dak sebelum mengetahui tujuan tes tu-lis tersebut. PPM tak akan merugikan mahasiswa dan tak ingin menggurui dospem. Fungsi PPM hanya sebagai mediasi.

Sebagian dospem juga lebih memilih melakukan pengabdian di luar tempat yang ditentukan PPM, bagaimana dengan hal itu?

Di manapun tempatnya, yang pen-ting laporannya lengkap dan tidak melalaikan tanggung jawab mereka di desa KKN. Tempat KKN hanya sebagai salah satu tempat yang dise-diakan PPM.

Seperti apa pengawasannya?PPM mengawasi mahasiswa dan

dospem dengan mendatangi tempat KKN. Sedangkan bagi dospem

yang melakukan pengabdian di luar tempat KKN, tidak ada

pengawasan. Itu tanggu- ngan dosen ke negara bu-kan pada PPM, sehingga

tak ada pengawasan bagi

dosen yang mengabdi di luar daerah KKN. Tanpa diawasi pun, harusnya tiap dosen sadar kewajibannya untuk melakukan pengabdian.

Sejauh ini, berapa jumlah laporan soal KKN yang diterima PPM?

Secara lisan, hanya ada lima dos-pem yang sudah tercatat di PPM. Biasanya, mahasiswa melaporkan tindakan dospem dari cara penilaian dospem, gaya bimbingan, komitmen untuk membimbing dan komunikasi.

Bagaimana penyelesaiannya?Pertama, saya catat dan simpan

sampai nilai mahasiswa keluar di Ac-ademic Information System (AIS). Setelah itu, PPM mengadakan mediasi antara kedua belah pihak (dosen dan mahasiswa yang bersangkutan). Pada intinya, saya tak bisa melihat sepihak, harus konfirmasi lebih dulu pada dos-pem yang bersangkutan dan jika ter-bukti bersalah, maka PPM menghapus dospem yang bersangkutan dari daftar calon dospem di tahun mendatang.

Soal anggaran, mengapa dana se-jumlah Rp10 juta yang diterima setiap kelompok dari dospem tidak sama?

Sesuai nomenklatur, dana sejum-lah Rp10 juta merupakan dana KKN. Pengalokasian dana tersebut diatur sepenuhnya oleh dospem. PPM ha-nya mengarahkan pada dospem untuk membagi pengalokasian dana tersebut pada mahasiswa. Karena pada prak-

tiknya, dospem bermitra dengan mahasiswa. Per-soa- lan terkait dinamika hubu- ngan dospem de- ngan kelompok KKN pun banyak ditemui. Namun, saya tak bisa mengukur kekurangan KKN han-ya dari persoalan dana.

Tindak lanjutnya?Untuk tahun depan, saya akan me-

ngajukan pemberian dana pada ketua kelompok KKN, kalau pihak keuangan tak mengizinkan, tetap diberikan pada dospem, namun dengan persentase yang jelas. Pada tahun sebelumnya, PPM sempat mengajukan pembagian dana KKN diberikan langsung pada setiap ketua kelompok KKN, namun, tak diizinkan oleh pihak keuangan pu-sat dengan alasan uang negara dan tak bisa diberikan pada mahasiswa secara langsung.

Jika melihat kekurangan KKN ta-hun ini, apa yang perlu dievaluasi?

Pertama, model rekrutmen dospem. Di tahun mendatang, PPM akan mem-buka pendaftaran dospem KKN. Jadi, dosen yang ingin menjadi dospem ha-rus siap bersaing dan mempersiapkan laporan administrasi, proposal, dan form pendaftaran. Kedua, perlu adan-ya workshop untuk dosen, baik yang membimbing KKN maupun yang memberdayakan desa binaan atau desa mitra. Poin terakhir, PPM perlu mem-perkuat tim monitoring, tim yang me- ngontrol dan mengawasi kinerja dosen.

Lalu, sistem dan konsep pengab-dian seperti apa yang akan diterapkan di tahun mendatang?

Pengabdian masyarakat itu tetap terbagi dua, yaitu pengabdian dosen dan mahasiswa. Untuk dosen, be-rupa desa binaan, sedangkan ma-hasiswa, tetap KKN. Tapi, konsep KKN yang akan diubah. Nantinya, KKN bisa dicicil dari semester satu. Para mahasiswa menjadi volunter di lembaga-lembaga sosial yang bermi-tra dengan PPM. Intinya, saya ingin menjadikan Volunter sebagai lifestyle mahasiswa. Jadi, KKN nantinya harus bersifat social service.

Foto

: Yas

ir/IN

S

Dok.

Prib

adi

Sistem Kuliah Kerja Nyata (KKN) di UIN Jakarta tak ada perubahan sejak empat tahun lalu. Padahal, selalu ada evaluasi tiap tahunnya.

100.000 akan mendapatkan 1 kupon undian berhadiah utama laptop ASUS serta berlaku kelipatannya.

Jadi mulai sekarang anda tak

perlu bingung mencari tempat untuk membeli atupun memperbaiki gadget anda. Kebutuhan anda akan komputerisasi kini telah dibantu

Excellent Comp yang letaknya tak jauh dengan kampus. Pertanyaan dan pemesanan pun bisa langsung menghubungi Wahyu (085697509054).

Harga Pas, Barang Berkualitas

BACA, TULIS, LAWAN!

Page 12: TABLOID INSTITUT EDISI 38

RESENSI 12Tabloid INSTITUT Edisi XXXVIII / September 2015

Di saat bersamaan, Pemerintah Belanda secara sepihak memutus-kan keluar dari perjanjian Renville. Secara otomatis, Belanda pun meng-hentikan gencatan senjata terhadap Peme- rintah Indonesia. Pada 19 De-sember 1948, Panglima Tentara Be-landa, Jenderal Simons Spoor memim- pin agresi militer kedua menyerang Yogyakarta yang kala itu menjadi Ibu Kota Indonesia.

Untuk mengamankan Indonesia dari agresi Belanda, Soedirman me- ngadakan pertemuan bersama Pre-

siden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Dari pertemuan tersebut menghasilkan keputusan berbeda. Berdasarkan hasil sidang kabinet, Soekarno dan Hatta meng-inginkan Soedirman untuk tetap berada di Yogyakarta. Sementara Soedirman mendesak Indonesia agar melawan agresi Belanda dengan perang gerilya. “Dan saya mohon dengan sangat, ikutlah bergerilya ber-sama kami. ” ujar Soedirman.

“Kau seorang prajurit, tempat mu di medan pertempuran bersama

dengan anak buahmu. Tapi tempat mu tak bisa menjadi tempat pelarian saya. Saya harus tetap di sini,” jawab Soekarno sesaat setelah ia keluar dari sidang kabinet. Siapa sangka, meski mendapat penolakan dari presiden, Soedirman tetap pada keputusan awalnya, yakni menghadapi agresi Belanda dengan perang gerilya.

Selama tujuh bulan, Soedirman bergerilya di tanah Jawa. Hutan, gua, dan pemukiman warga kerap men-jadi tempat singgahnya. Usahanya tidak sia-sia, berkat strategi perang gerilya Soedirman, Belanda pun ha-rus memupus keinginannya untuk kembali menguasai Indonesia. Sebab, di saat bersamaan Perserikatan Bang-sa Bangsa (PBB) juga telah mengeta-hui pengkhianatan Belanda terhadap Perjanjian Renville.

Saat-saat yang dinanti pun tiba, pada 24 Januari 1949 Dewan Ke- amanan PBB mengeluarkan resolusi agar Indonesia dan Belanda segera menghentikan peperangan. Kegaga-lan Belanda di medan pertempuran, serta tekanan dari dunia Internasio nal terutama Amerika Serikat yang mengancam akan memutuskan ban-tuan ekonomi, memaksa Belanda untuk mundur dan kembali ke meja perundingan.

Setelah dua film sebelumnya (Soekarno dan H.O.S Tjokroamino-to), hadirnya film Jendral Soedirman menjadi film ketiga, yang bercerita tentang tokoh pergerakan nasional di dunia perfilman Indonesia. Film yang diproduseri Handi Ilfat dan Sekar Ayu Asmara ini menghabiskan biaya berkisar Rp 10-15 miliar. Mengam-bil adegan di empat kota: Bandung, Magelang, Yogyakarta, dan Wono-sari. Dengan diperankan beberapa aktor ternama, seperti Adipati Dolk-en (Jendral Soedirman), Mathias Muchus (Tan Malaka), Baim Wong

(Soekarno), dan Nugie (Muhammad Hatta).

Film ini didasarkan pada kisah Jendral Soedirman yang bergerilya selama tujuh bulan saat agresi kedua militer Belanda ke Yogyakarta di akhir 1948. Selama tujuh bulan masa gerilyanya, Soedirman hidup dalam keterbatasan kondisi fisik dan ma-teril. Sebelum keberangkatannya, ia dibekali sang istri seperangkat per-hiasan untuk memenuhi kebutuhan hidup selama bergerilya. Meski ak- hirnya Soedirman pun harus berta- han hidup dari derma masyarakat.

Dalam keterbatasan kondisi fisik, Soedirman juga harus berjuang mela-wan penyakit tuberculosis (TBC) yang dideritanya. Karena penyakitanya itu, mantan guru Sekolah Muham-madiyah dengan pengalaman mi-liter Pembela Tanah Air (PETA) ini meninggal dalam usia cukup muda, 36 tahun.

Tidak berbeda dengan dua film pendahulunya, film Soedirman juga memicu beberapa kontroversi. Dilan-sir dari Tempo.co, dalam artikel berjudul “Kontroversi Film Jendral Sudirman,” sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengkritik beberapa adegan dalam film tersebut.

Asvi misalnya, mempertanya-kan adegan ketika Soekarno tidak menepati janji dalam pidatonya un-tuk bergerilya bersama Soedirman. Menurut Asvi, tidak ada yang salah terkait itu. Karena keputusan yang diambil Soekarno berdasarkan ha-sil kesepakatan sidang kabinet. Diperkuat lagi dengan pendapat Jendral T. B Simatupang yang men-gatakan, kala itu jumlah pasukan tentara Indonesia tidak mencukupi untuk mengawal presiden dan wakil presiden jika bergerilya dalam hutan.

Bahkan menurut Asvi, dalam film

Soedirman, Tan Malaka digambar-kan sebagai sosok antagonis dan haus kekuasaan. Asvi mempertanyakan latar belakang spanduk berlambang palu arit saat Tan Malaka berpida-to di hadapan tentara komunis. Pa-dahal, palu arti, bukanlah lambang dari Partai Murba yang dibentuk Tan Malaka.

Asvi juga mengkritik, adegan ke-tika Tan Malaka berpidato di hada-pan anggota Partai Komunis dengan menjadikan testamen dari Sukarno dan Hatta sebagai legitimasi bagi Tan untuk menjadi presiden. “Apa-bila kabinet Sjahrir tidak sependapat dengan kita. Maka orang-orang yang tepat harus segera menggantinya.” Setelah itu kamera menyoroti pula buklet yang bertulisan “Tan Malaka Presiden Kita.”

Adegan selanjutnya ketika Tan Malaka bersama beberapa orang lainnya, dibawa ke dalam hutan de- ngan tangan terikat laiknya tahanan perang. Kemudian terdengar suara tembakan. Dalam film tersebut, pe- nembakan terhadap Tan Malaka atas dasar surat perintah dari Kolonel So-engkono. Padahal menurut Asvi, tak pernah ada perintah penangkapan Tan Malaka saat bergerilya di Jawa Timur.

Pada masa Orde Baru (Orba) media massa mendapat kekangan dari peme rintah. Saat itu, media yang membe- ritakan keborokan pemerintahan Pres-iden Soeharto segera dibredel peme- rintah. Tak hanya itu, Soeharto juga memandatkan Departemen Penera- ngan untuk mengontrol media massa.

Soeharto menerapkan kebijakan tersebut untuk menjaga nama baik pemerintahan yang ia pimpin agar tak dikritisi masyarakat. Ia paham, lewat berita masyarakat dapat mengetahui keborokan pemerintahannya.

Televisi Republik Indonesia (TVRI)—stasiun televisi nasional—tak luput dari pengawasan Departe-men Penerangan. TVRI dilarang un-tuk memasang iklan dengan alasan mencegah terjadinya kecemburuan antara masyarakat desa dan kota.

Padahal, masyarakat kelas mene- ngah kota yang memiliki usaha me-merlukan iklan demi memasarkan produknya. Salah satu pemegang saham stasiun televisi swasta di Ra-jawali Citra Televisi (RCTI) Bam-bang Trihatmojo, mengajukan izin ke Departemen Penerangan untuk membentuk televisi swasta di Indone-sia pada Agustus 1987. Departemen Penerangan pun segera mengabulkan permohonan Bambang yang notabene putera Soeharto.

Meski mendapat izin siar, stasiun

televisi swasta kala itu hanya dapat menyiarkan tayangan ulang TVRI. Untuk mengantisipasinya, stasiun televisi swasta membangun program beritanya sendiri. Namun, berita yang mereka siarkan hanya mencakup keja-dian-kejadian seputar Jakarta saja.

Setelah Soeharto lengser, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers. Peratu-ran tersebut pun memberikan angin baru bagi industri media. Kini, media dapat menyebarluaskan berita tanpa intervensi dari pemerintah.

Namun, lambat laun, independensi media makin terkikis akibat berbagai kepentingan yang pemilik stasiun tele-visi miliki. Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 adalah contoh memudarnya in-depedensi media.

Memudarnya independensi media terlihat betul ketika pemilik stasiun televisi ikut campur tangan dalam menentukan siaran Pemilu 2014. Harry Tanoesodibjo dengan RC-TI-nya, Surya Paloh dengan Metro TV-nya, dan Aburizal Bakrie dengan TV One-nya berusaha membangun ci-tra positif calon presiden yang mereka dukung.

Alhasil, RCTI, Metro TV, dan TV One mendapatkan teguran dari Komi-si Penyiaran Indonesia (KPI) lantaran penayangan berita calon presiden dan wakil presiden yang tak seimbang. Pe-

langgaran yang mereka lakukan tidak hanya sekali. Meski ditegur KPI, me- reka kembali melakukan pelanggaran serupa.

Berdasarkan hasil kajian Remo-tivi dalam buku Orde Media: Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pas-ca-Orba menunjukkan 57% respon-den menganggap konten siaran yang ditayangkan televisi berada di bawah kendali perusahaan televisi, 34% un-tuk pemerintah dan 8 persen sisanya

Pasca-Orba, stasiun televisi leluasa menayangkan siarannya tanpa kekangan pe-merintah. Sayangnya, stasiun televisi menyalahgunakan kebebasan tersebut.

Sum

ber:

Inte

rnet

Sumber: Internet

Judul : Orde Media: Kajian televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde BaruEditor : Yovantra Arief dan Wisnu Prasetya UtomoPenerbit : INSISTPressCetakan : Juni 2015Tebal : 296 halaman

Anomali Stasiun Televisi Pasca-Orba

untuk masyarakat.Survei yang dilakukan Remotivi

bukan tanpa alasan. Pasalnya, siaran televisi mampu mempengaruhi hing-ga mengubah watak sosial seseorang. Tak mengherankan, jika banyak sta-siun televisi yang mendapat teguran dari KPI lantaran tidak layaknya tayangan stasiun televisi.

Sementara itu, ada beberapa taya- ngan di televisi yang melecehkan sebagian suku dan ras tertentu. Da-

lam artikel Kebhinekaan ala Televisi dalam buku Orde Media, Louvikar Alfan Cahasta menjelaskan, taya- ngan Keluarga Minus yang disiarkan Trans TV merupakan pelecehan suku dan ras. Minus, seorang yang beretnis Papua seolah-olah direndahkan etnis lainnya.

Tayangan yang melecehkan suku dan ras terlihat saat Minus membeli daging di pasar. Sayangnya, daging tersebut tertinggal di bajaj yang sempat ia tumpangi. Louvikar menuliskan, Keluarga Minus mendeskripsikan Minus sebagai seorang yang memiliki watak lugu dan bodoh.

Selain itu, tak jarang stasiun televisi memberitakan suatu kejadian secara berlebihan demi mendongkrak rating semata. Muhammad Heyckel dalam artikelnya yang berjudul Mukjizat Televisi menceritakan, program Seleb-rita Pagi di stasiun televisi Trans 7 me-manfaatkan fenomena meninggalnya Ustad Jeffry (Uje).

“Pada malam hari, beberapa pezi-arah mengaku melihat pancaran sinar terang keluar dari makam,” ungkap salah seorang penjaga makam Uje yang diwawancarai Selebrita Pagi (Halaman 146). Selebrita Pagi melebih-lebihkan informasi meninggalnya Uje.

Buku Orde Media merupakan kumpulan artikel yang telah dipub-likasikan di situs Remotivi.or.id. Buku yang diterbitkan INSISTPress ini menceritakan bagaimana posisi media televisi pasca-Orba.

Dalam bukunya, Remotivi secara fokus memberikan kajian dan advo-kasi untuk menyadarkan publik atas informasi dan hiburan yang sehat dalam siaran televisi. Hingga kini, lembaga yang berdiri pada 2010 silam tetap konsisten menyuarakan kam-panyenya agar masyarakat mendapat siaran televisi yang bermutu.

“Saya tentara, saya membela pemerintah untuk merdeka 100%.Jika tuan Malaka punya cara lain. Silahkan.”

Judul: Jendral Soedirman

Sutradara: Viva Westi

Tahun: 2015

Durasi: 90 menit

Genre: Drama, Perang

Yasir Arafat

Melawan PerintahMengubah Sejarah

M. Rizky Rakhmansyah

Page 13: TABLOID INSTITUT EDISI 38

SOSOK 13Tabloid INSTITUT Edisi XXXVIII / September2015

Kecintaan terhadap dunia seni dan sastra tampaknya mengilhami Shobir Poerwanto untuk mendirikan Komu-nitas Sarang Matahari. Ditambah lagi keinginannya mengembangkan potensi para pemuda agar memiliki

pengetahuan dan wawasan di kedua bidang tersebut.

Awalnya, pria yang akrab dipanggil Shobir Poer ini membentuk Komuni-tas Sarang Matahari sebagai wadah untuk berlatih teater. Saat ia masih

menjadi mahasiswa, perkembangan teater belum begitu marak seperti sekarang ini. Oleh karena itu, ia me ngumpulkan orang-orang dengan mi-nat yang sama lalu membentuk Ko-munitas Sarang Matahari.

Kegiatan yang dilakukan oleh Sarang Matahari, tak hanya fokus pada teater. Tapi mereka juga me ngadakan latihan penulisan puisi, cerita pendek, dan musikalisasi pui-si. Sekali dalam dua minggu, papar Shobir, Sarang Matahari rutin me- ngadakan pelatihan-pelatihan terse-but. “Kita juga suka ngadain diskusi dengan komunitas penggiat sastra lain seperti Komunitas Sastra In-donesia (KSI) Tangerang Selatan,” ujarnya, Selasa (15/9).

Didirikan sejak 1987, komunitas yang kerap mengadakan kegiatan di Perumahan Puri Serpong I, Setu Tangerang Selatan ini menghasil-kan karya-karya yang sudah diakui kualitasnya sehingga dimuat oleh koran lokal. Berbagai buku antolo-gi puisi seperti Batas Diam Matahari (1996), Mengalir di Oase (2010) serta antologi cerpen berjudul Dalam Pe-lukan Sang Guru (2011) telah diter-bitkan.

Selain dimuat dalam koran lokal, karya antologi puisi dan cerpen garapan Shobir Poer beserta ang

gota Sarang Matahari juga dijual. Anggota komunitas Sarang Matahari terdiri dari pelajar, mahasiswa, dan pekerja. Tak sedikit pula yang berpro-fesi sebagai sastrawan, jurnalis, dan entertainer. Sampai saat ini, lebih dari 100 orang telah bergabung sebagai anggota dalam akun facebook Sarang Matahari Penggiat Sastra.

Shobir Poer memaparkan, tak hanya latihan, Sarang Matahari aktif mengi-kuti perlombaan musikalisasi puisi dan teater tingkat daerah maupun nasional. Lalu, komunitas ini juga sering menggelar malam puisi hingga diundang sebagai pengisi acara. Ko-

munitas yang pernah masuk nominasi teater terbaik tahun 1991-1992 dalam festival teater se-Jakarta Selatan ini pun meraih juara 2 musikalisasi puisi se-Jabodetabek dan juara 1 musika-lisasi puisi se-DKI Jakarta.

Tak hanya itu, Sarang Matahari juga berusaha memadukan permainan alat musik modern dengan alat musik yang berasal dari perabotan rumah tangga dalam setiap penampilan musikalisasi puisi. Perabotan tersebut terdiri dari sendok, garpu, galon bekas, dan bo tol. Sedangkan untuk alat musik mo dern biasanya memakai gitar.

Kemampuan dalam seni dan sastra, kata Shobir Poer, tidak hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang ber-bakat. Shobir Poer percaya, siapapun yang berlatih dengan penuh kesung-guhan maka akan meraih kesuksesan sebagaimana moto dari Sarang Ma-tahari, “Kemampuan apa saja, ti daklah harus dimiliki oleh orang yang berbakat. Melalui latihan yang sung-guh-sungguh kemampuan akan dapat dimiliki,” tuturnya.

Salah satu anggota Sarang Mataha-ri, Kaifin Prastyo menjelaskan, setiap orang yang tergabung dalam Komuni-tas Sarang Matahari belajar dari nol. “Saya aja basic akademisnya bukan dari sastra. Tapi karena ada kemauan untuk mendalami sastra, lama-lama saya jadi bisa,” ujarnya, Senin (14/9).

Selama menjadi anggota Komunitas Sarang Matahari, Kaifin sudah sering menampilkan musikalisasi puisi da-lam berbagai acara. Misalnya dalam acara Sastra Reboan, Kampung Seni dan Budaya Tangsel, serta Puisi Sen-ja di Universitas Islam Negeri (UIN)Syarif Hidayatullah Jakarta.

Egi Abdul Wahid

Dok.

Prib

adi

Keterampilan dalam seni dan sastra harus senantiasa ditumbuhkan. Para penggiat pun terus berupaya mela-hirkan karya.

Komunitas Sarang Matahari menampilkan musikalisasi puisi dalam workshop Pertemuan Sastrawan Mitra Praja Utama (MPU) ke IX di Taman Men-teng, Jakarta Pusat, Sabtu (11/10). Acara itu terwujud berkat adanya kerjasama antara para sastrawan yang terhimpun dalam anggota MPU dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.

Apresiasi Sastra Sarang Matahari

Timbal Balik Perbuatan BaikHubungan timbal balik setiap perbuatan akan berlaku kapanpun bagi

siapapun. Seperti halnya perbuatan baik yang dibalas dengan kebaikan pula.

Jiwa volunter Egi Abdul Wahid dalam dunia kesehatan terbukti dari segudang pengalamannya. Demi mengikuti passion, pemuda kelahiran 1989 ini bergabung di organisasi yang bergerak di bidang layanan kesehatan masyarakat. Berkat mengikuti orga- nisasi ini pun ia memiliki seribu ce- rita.

Baginya, jauh dari kota membuat-nya lebih tertantang untuk mengab-dikan diri kepada masyarakat. Awal tahun 2013 ia dikirim ke Kota Toli-toli, Sulawesi Tengah. Di daerah itu terdapat tradisi kejawen, bahwa ibu yang sedang melahirkan tidak boleh ditemani oleh siapapun kecuali sua-minya. Sebab, suami dianggap harus bertanggung jawab sepenuhnya kepa-da istri atas kelahiran anaknya.

Namun, kebiasaan ini disayangkan Egi karena beresiko tinggi pada ke sehatan sang ibu selepas melahirkan. Padahal, ibu yang melahirkan ideal- nya mendapat perawatan yang inten-sif. Sehingga ia berpikir untuk mengu-bah kebiasaan tersebut.

Akhirnya, setelah berunding bersa-ma rekan satu tim kerja, kemudian mereka berinisiatif untuk meman-faatkan satu rumah guna dijadikan tempat bersalin. ”Selain rumah yang kita siapkan, peralatan medis yang lengkap juga tersedia,” ungkap maha-siswa lulusan Jurusan Keperawatan,

Fakultas Ilmu Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ja-karta tahun 2012, Sabtu (19/9).

Selain penanganan kelahiran yang kurang memadai, penyakit lain yang juga berbahaya yaitu sehari setelah melahirkan, ibu tetap harus menger-jakan urusan rumah tangga. Seperti mencari kayu bakar di hutan. “Ini menjadi salah satu penyebab tinggi nya angka kematian yang terjadi sele-pas ibu melahirkan, yaitu mengalami infeksi dan pendarahan,” ungkapnya.

Upaya sosialisasi pun pernah dilaku-kan terkait dampak dari bahaya ke sehatan tersebut kepada masyarakat Tolitoli, namun awalnya tak mem-buahkan hasil. Egi merasa kesulitan sewaktu mengajak masyarakat sekitar karena tradisi budaya yang sangat kental. Mulanya hanya satu atau dua orang yang berkunjung. Namun, setelah beberapa bulan, masyarakat ramai mendatangi tempat tersebut.

Setelah genap satu tahun mengab-dikan diri membantu masyarakat Tolitoli, ia berniat untuk melanjut-kan studi S2. Pria yang memiliki hobi travelling mengikuti seleksi beasiswa S2 dengan mengajukan esai berisi pengalaman di Tolitoli. Rupanya, tulisan Egi tersebut berhasil mem-buatnya lolos seleksi di Universitas Mahidol, Thailand Jurusan Master

Primary Healthcare Management ASEAN, lulus pada bulan Juni 2015 dengan IPK 3,97.

Pemuda asli Karawang ini memang sudah lama bergelut dibidang volun- ter. Beberapa kali ia ditugaskan men-jadi koordinator penyaluran bencana alam di berbagai daerah, salah satunya ben-cana longsor Ciwidey, Jawa Barat tahun 2010. Ia men-jadi koordinator di tingkat nasional yang membawa 10 orang relawan lainnya.

Berbagai pengalaman, jatuh b a - ngun mengikuti

k e g i a t a n volunter

mem-

b u a t -n y a memiliki tiga prin- sip hidup ya i t u , peduli, inspira- si dan berbagi. Pertama, peduli untuk menolong sesa-ma, karena hal itu ia bisa merasakan kepuasan diri yakni melalui kebahagiaan orang lain. Kedua, mem-beri inspirasi kepada orang

banyak agar selalu termotivasi untuk menjadi lebih baik.

Selanjutnya, yang ketiga, berba-gi ilmu dengan cara menceritakan pengalaman yang didapat. Sembari menyelipkan poin penting ia pun bisa memberikan wawasan ilmu untuk

dibagikan ke sesama. “Saat saya diberi kesempatan untuk mewakili kampus, itu seperti amanat yang harus saya sampaikan kepada mahasiswa lainnya,” katanya. Pemuda ini sangat mengagu-

mi sosok Anies Baswedan dan Dahlan Iskan.

Egi beralasan petuah yang

disampaikan dua orang

itu sangat membantunya sewaktu ia menjabat sebagai ketua Badan Ekse-kutif Mahasiswa (BEM) jurusan dan fakultas. Saat ini, ia aktif sebagai tim penyusun program di Lembaga Swa-daya Masyarakat (LSM) Center For Indonesia Star Development Initia-tives (CISDI). Lembaga yang berge-rak dibidang kesehatan ini, menu-gaskan Egi di bidang penyeleksian dokter, bidan dan perawat yang akan dikirim ke pelosok Indonesia.

Ia meyakini menjadi mahasiswa bukan hanya menuntut ilmu saja. Namun, sangat perlu mengeksplor diri, yang pada akhirnya berbaur ke-pada masyarakat. “Ibarat permen, kita disuruh memilih permen yang bungkusannya biasa atau mena- rik, pastilah kita lebih memilih yang menarik, ” tutupnya.

Dok.

Prib

adi

komunitas

Nama : Egi Abdul WahidTempat, Tanggal Lahir : Karawang, 13 Juni 1989Riwayat Pendidikan :SDN Jayakerta II SMPN 4 Rengasdengklok SMAN 5 Karawang Jurusan Ilmu Keperawatan

FKIK UIN Jakarta Master Primary Heal

thecere Management ASE ANInstituteofHealth Development-Mahidol University, Thailand

Triana Sugesti

Jeannita Kirana

Page 14: TABLOID INSTITUT EDISI 38

SASTRA 14

Manusia Jarak JauhOleh: Fikri Bermaki*

Cerpen

Sepuluh orang dalam satu perkum-pulan adalah hitungan yang tidak bisa dibilang sedikit. Aku sengaja membi-arkan telepon genggamku tergeletak di atas meja yang penuh dengan aneka makanan supaya aku dapat berinteraksi dengan kawan-kawanku, tapi mereka lebih asyik dengan orang yang jaraknya lebih jauh daripada kami yang hanya berjarak satu jengkal.

Aku lirik kanan, temanku berambut keriting asyik dengan media sosial face-book sambil menulis di statusnya: “As-yik, akhirnya bisa kumpul lagi setelah liburan panjang kuliah @kedaikopia-bah”. Lalu temannya ada yang komen-tar: “Ciye Rudi asiknya yang kumpul bareng-bareng lagi,” kemudian dibalas oleh Rudi: “Iya dongs”, dan terus mer-eka balas-balasan sam- p a i saya bosan menung-gu jedanya. Tunggu dulu tadi dia bilang kumpul? Aku san-gat kecewa dia bisa menulis seperti itu karena dari sejam yang lalu aku hanya melihat dia asyik dengan telepon genggamnya tanpa basa-ba-si dengan kami yang lebih dekat.

Di depanku, temanku yang paling cantik, karena dia seo-rang yang mengenakan kerudung. Bagiku perempuan yang berkerudung akan lebih anggun dibanding perempuan yang tidak berkerudung. Tapi bukan ha-nya kerudung yang menjadi tolok ukur melainkan sikap dan perbuatan. Mitha

namanya, sangat murah tersenyum dan yang paling penting adalah akhlaknya baik nan santun. Tapi, sayang sekali Whatsapp membawanya menjadi orang pikun. Pikun bahwa dia sedang berada dalam satu perkumpulan yang sebetul- nya sudah diidam-idamkan sejak libur.

Aku kesal mereka mengabaikan be-gitu saja perkumpulan ini. Aku sempat mengajak ngobrol Dodi, tapi dia bilang “tunggu sebentar, ki. Lagi BBM-an nih”.

. Aku pun memesan makanan kem-bali dan memanggil pelayan. Tak lama kemudian datanglah kentang goreng pesananku. Aku pun asyik makan ken-tang goreng pesananku, tiba-tiba tangan Adi dari arah yang jauh menyambar kentang gorengku, lalu aku lirik ke arah- nya ternyata ia sedang menikmati dunia yang lainnya.

Tidak biasanya Adi seperti ini, bi-asanya dalam kumpul seperti ini ia se-lalu menjadi orang yang paling ramai di antara kami. Tapi kini, dia hanya tertawa

sendiri melihat telepon genggamnya, entah apa yang dilihat dan dibaca-

nya. Aku hanya melihatnya tertawa, hanya itu.

Tak terasa satu setengah jam sudah terlewati begitu saja tan-

pa obrolan dan tanpa papas-an dalam perkumpulan.

Aku merasa sendirian meski orang lain

melihat kami b e r k a w a -nan. Face-book, twitter, w h a t s a p p ,

BBM dan je-

jaring sosial lainnya menenggelamkan mereka pada dunia yang baru dikenal olehnya.

Waktu pun semakin larut, orang-orang mulai meninggalkan kedai, tinggal kami sepuluh orang dalam satu meja.

Aku merasa asing dengan temanku sendiri. Kekecewaanku semakin men- deru kala Ica mengajak kami untuk foto bareng. Kami semua berpose dengan gaya masing-masing. Selepas itu kembali mereka sibuk dengan telepon gengam- nya tanpa mau melihat hasil fotonya terlebih dahulu. Dan mereka malah leb-ih suka meminta foto untuk dikirim ke jejaring sosialnya.

“Ca, fotonya masukin ke Path aja ya”, kata Yogi.

“Ke Whatsapp aku juga ya cantik”, kata Mitha dan mendapat anggukan dari yang lain.

“Aku mah semuanya aja ca, kirim ke semua jejaring sosial aku ya”, kata Adi yang setelah itu disuraki oleh teman yang lainnya.

“Iya tenang aja. Kau tidak ingin dikirim ke facebook-mu, Riki? Atau ke jejaring sosialmu yang lain?”, tanya Ica.

“Tidak, ca. Aku mungkin akan le-bih suka kita berbincang dibanding kita harus mengabadikan momen yang tak indah ini!”, akhirnya aku dapat menga-takannya dengan lantang.

“Maksudmu apa Riki?”, tanya Mitha dengan herannya.

“Kumpul seperti ini sebetulnya yang kita idam-idamkan bukan? Dua bulan kita libur, tak pernah kita tatap muka. Tapi setelah kita bertemu, kalian hanya memainkan ponsel kalian saja tanpa ada

obrolan satu sama lain!”Perlahan semua temanku menatap-

ku dengan seksama, sebagian ada yang menundukan kepala sambil menaruh telepon genggamnya di meja.

“Aku sengaja menaruh ponselku di atas meja, supaya aku dapat berbincang dan menikmati waktu bersama kalian. Tapi kalian malah lebih asyik dengan je-jaring sosial yang kalian miliki. Aku juga punya, tapi aku tidak terlena. Akan ada waktunya kok. Sekarang kita lagi kum-pul. Lagi kumpul!”

Adi yang tadinya mendengarkanku bicara sambil memainkan telepon geng-gamnya pun kini menaruh teleponnya di atas meja. Lalu diikuti oleh teman yang lainnya. Bahkan Mitha pun mematikan daya telepon genggamnya.

“Mungkin orang lain melihat kita se-dang kumpul dengan jumlah yang cukup banyak, tapi mereka tidak tahu apa yang kita bicarakan. Bukan hanya mereka yang tidak tahu, kalian juga tak tahu kan apa yang daritadi kita perbincangkan?”

“Jelas kalian tidak tahu apa yang kita bincangkan, karena kalian hanya asyik dengan facebook, twitter, dan media sosial lainnya. Manusia yang jaraknya jauh ka-lian sambangi dengan ponsel yang kalian punya, sementara kita yang sedaritadi duduk dalam satu meja tak ada yang ber-bicara sepatah kata pun. Aku ingin mem-ulai obrolan, tapi satu di antara kalian ada yang masih asyik BBM pacarnya.”

Dodi menundukkan kepala karena dia tahu itu adalah perbuatannya ta-di.“Bukan hal yang sering, tapi jarang. Kumpul seperti ini jarang kita dapatkan lagi. Apalagi orangnya pas ada sepuluh,

biasanya ada saja yang tidak hadir. Tapi karena ponsel yang kalian milikilah seak-an kita mempunyai sekat dinding walau kita duduk berdekatan”

“Ini kesempatan kita kumpul. Ini sahabat-sahabat kalian. Melebihi pacar kasih sayangnya. Jangan kalian diam-kan. Manusia yang di ponsel kalian ada-lah manusia yang jaraknya jauh dari pan-dangan. Pandangilah kita yang dekatnya satu meja. Pandangi dan ajak bicara!”, tegasku.

“Kalau tujuan kalian berkumpul ha-nya ingin mendapatkan foto-foto, lebih baik cari tempat rekreasi atau tempat wisata yang indah. Bagiku foto adalah bonus dari kesempatan kita berkumpul.”

Ica pun menundukkan kepalanya tan-pa melihat aku, entah dengar atau tidak, yang jelas ia merasa bersalah. “Sudah satu setengah jam lebih aku menunggu kalian untuk berhenti sejenak memain-kan handphone. Tapi nyatanya kalian malah lebih asyik. Baiklah, sepertinya menonton TV di rumah atau mungkin membaca buku akan lebih asyik diban-ding harus menonton kalian tertawa de-ngan ponsel kalian masing-masing”, aku pun pamit.

Semua diam dan hanya mengangguk saat aku pamit kepada mereka.

“Hati-hati, Riki. Terimakasih atas malamnya kali ini”, hanya Mitha yang berujar kepadaku, tapi kali ini tidak de-ngan senyum khasnya mungkin ia terte-gun mendengar kata-kataku tadi.

*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Pen-didikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Lupa Jalan PulangOleh: Ikhya Ulumuddin*

Sekarang saya duduk menyandang buku tebalkarena semesta mengejek otakku bebalaku rasa memang banyak hal tak didengardibalik percakapan manusia dialog orang-orang pintar pintar di atas langit datar

Pesona singgasana dunia wacana mengoceh bak ada Tuhan dalam dirinyamenjelajahi buku alam rayamemang mereka itu sedang terbangmenjajaki kamar-kamar kosong

Ternyata dunia nyatatelah menelan bacotnyaalam pikirannya terlalu kayasehingga para sekumpulan manusia menyanjungnyamemanggilnya sebagai orang alimorang alim yang tak tahu dunianyayang lupa jalan rumahnya

Lupa akan laut yang selalu berbicara harmoniseakan ada dia, aku, dan kamitidak arif satu sama lainmembuat tembok bukan Berlintembok antara aku dan kamukami dan mereka

Nada rindu memang t’lah hilang entah ke manatak pernah lagi membawa harum bungabunga dari alam nusantarabening, jernih, indah rupanyaramah, tamah, pasrah manusianya

Kita yang kaya akan budayaDi manakah kita sebenarnya.

*Penulis adalah mahasiswa Aqidah Filsafat serta aktivis di FORMACI (Forum Mahasiswa Ciputat)

Tabloid INSTITUT Edisi XXXVIII / September 2015

Kuliah Kerja, Nyatanya?Oleh: Muhammad Adhi Kurnia*

Mahasiswa dituntut merencanakan program kerja satu bu-lan di sebuah desauntuk menggali potensi di masyarakat itu, katanyaProgram kegiatan dibuat apa adanyayang terjadi di sana hanyalah program hiburan dan liburan, nyatanya?

Mahasiswa jago aksi-jago diskusisuka bahas isu lokal sampai internasional dari televisi,katanyadipanggil RT atau RW untuk membenahi masalahmasyarakatmalah bilang, itu sih urusan aparat, nyatanya?

Mahasiswa tukang kritik dosen atas kinerjanyaDosen malas, dosen tak profesional dosen keparat, katanyaIa sendiri mencontoh dosennyamengajar adik-adik di desa dengan semena-mena, nyatanyaMahasiswa organisasi, jadi tim sukses di sana-sini

Politik kampus sampai negeri makanan sehari-hari, katanyadiajak membenahi pola pikir politik tingkat desahanya mampu ucap, kami tak kuasa, nyatanya?

Program yang hanya satu tahun sekalidiharap bisa kembangkan masyarakat dan mahasiswa madanipengamalan ilmu yang tidak mumpuniJadi ingat tagline KKN bangsa iniKorupsi, Kolusi dan Nepotisme, ah sungguh tragis cerita ini.

*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora

Puisi

CP: Maulia NurulNo HP: 08567231682

Pasang Iklan

Sejak didirikan 30 tahun silam, LPM Institut selalu konsisten mengembangkanperwajahan pada produk-produknya, semisal Tabloid Institut, Majalah

Institut, dan beberapa tahun ini secara continue mempercantik portal www.lpminstitut.com.

Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM Institut.Oleh sebab itu, yuk beriklan di ketiga produk kami! Kenapa? Ini alasannya:

Tabloid InstitutTerbit 4000 eksemplar setiap bulan

Pendistribusian Tabloid Institut ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan instansipemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendikbud)

Institut OnlineMemiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan

kunjungan 800-1000 per hari

Majalah InstitutSajian berita bercorak investigatif dan terbit per semester.

Page 15: TABLOID INSTITUT EDISI 38

Foto

: Ika

/Ins

Seorang pria menggoreskan kuas di atas kain putih berukuran 120 cm x120 cm. Ia torehkan tinta hitam un-tuk melukis pulau-pulau di Indonesia, dari Sumatera hingga Papua. Gerakan jemarinya kemudian membuat garis melengkung yang melintang di antara Kalimantan dan Sulawesi.

Pria itu melukis peta persebaran hayati di Indonesia serta menandai titik hutan tropis di Pulau Jawa dan Kalimantan. Proses melukis tersebut terekam dalam video berdurasi 6.25 menit yang dipamerkan di Galeri Lantai 2 Salihara. Lukisan The Frids Hutabarat dalam video tersebut meng-gambarkan keanekaragaman hayati yang ditemukan Alfred Russel Wallace sejak 1823 hingga 1913 di Nusantara.

Di sisi kanan proyeksi video, terli-hat paruh runcing seekor burung dan sepasang kaki kecilnya. Kerangka bu-rung yang berusia lebih dari 100 tahun itu nampak bertumpuk tercetak di atas kertas berukuran 90 cm x 60 cm. Bu-rung tersebut adalah jenis Kakaktua

(Plyctolophus) yang ditemukan di Lom-bok pada November 1894.

Sedangkan pada sudut lain ruan-gan, kodok hitam dengan empat kaki berselaput mengambang dalam tabung berdiameter 15 cm dan panjang 30 cm. Berbeda dengan kodok biasanya, reptil bernama kodok pohon besar ini memi-liki selaput amat lebar sehingga ia dapat terbang dari satu pohon ke pohon lain. Kodok terbang ditemukan pertama kali pada 1860 di Borneo. Kini, jenis kodok pohon besar ini tak dapat ditemukan lagi.

Wallace pun menggambarkan pe-rubahan setiap spesies tersebut yang tercetak pada kertas berwarna coklat kekuningan. “Perubahan spesies me- rupakan sebuah proses yang lambat. Kita semua setuju akan hal itu, wa-laupun berbeda pendapat tentang bagaimana proses tersebut terjadi,” ungkap Wallace dalam kertas itu.

Dua ekor cendrawasih (Paradisaea apoda) juga tak kalah menarik perha-tian pengunjung. Dalam kubus yang

terbuat dari kaca bening, kedua burung cendrawasih itu bertengger di sebuah ranting. Sayapnya yang berwarna kun-ing kecoklatan membentang dari se-belah kiri hingga kanan kubus. Jenis burung cendrawasih kuning besar ini ditemukan hanya di Papua.

Selain itu, ratusan miniatur ku-pu-kupu menempel pada sebuah kain putih yang digantungkan di tengah ruangan. Warna merah, kuning, biru dan hijau dari kupu-kupu tersebut ter-lihat mencolok di atas kain putih. Be-berapa kupu-kupu yang paling besar dengan sayap berwarna-warni mer-upakan jenis Ornithoptera croesus yang ditemukan di Ambon.

Di sisi kanan miniatur kupu-kupu, empat orang yang membawa tombak tengah menyelamatkan diri dari sera- ngan orang utan (Pongo) yang menggig-it salah satu dari mereka. Penyerangan orang utan tersebut tercetak dalam foto berukuran 30 cm x 30 cm.

Tak hanya foto, kulit orang utan dengan bulunya yang coklat pun ter-

baring di atas meja sepanjang 2 m dan lebar 60 cm. Lengkap dengan tengkorak yang juga tergeletak di se-belahnya.

Pameran 125.660 spesimen sejarah alam ini memperlihatkan ekologi Indo-nesia pada tahun 1823-1913. Pameran ini melibatkan 23 seniman dan ilmuan dari Indonesia dan mancanegara. Da-lam pameran spesimen, para seniman dan ilmuan menelusuri penemuan Wallace serta mendokumentasikan da-lam bentuk karya seni.

Asisten kurator, Bima Asya me- ngatakan, pameran yang digelar dari 15 Agustus-15 September ini mengga-bungkan dunia seni dan ilmu penge-tahuan. “Kami ingin menyampaikan suatu permasalahan dari penelitian dan pengolahan data melalui karya seni,” tutur Bima, Minggu (6/9).

Dengan adanya pameran spesi-men bersejarah ini Bima berharap, masyarakat Indonesia dapat menjaga ekosistem. “Apabila salah satu spesies hilang dari suatu ekosistem dapat

merusak spesies lainnya, bahkan ma-nusia itu sendiri,” ungkapnya.

Salah satu pengunjung asal Depok, Salfia Rahmawati mengungkapkan, pameran ini merupakan hal baru ba ginya, ia dapat menikmati seni dan juga ilmu pengetahuan sekaligus. “Banyak spesimen alam yang dija-dikan lukisan, miniatur, puzzle dan masih banyak lagi di pameran ini,” katanya.

Senada dengan Selfia, Puan Dinar, seorang ibu dengan dua anak ini juga menikmati pameran terrsebut. “Ke betulan saya mengajak anak saya, dan mereka menjadi lebih mudah belajar mengenai hewan dan habitatnya di sini,” tutur Puan, Minggu (6/9).

Namun Puan menyayangkan be-berapa hal dari pameran yang meru-juk pada jejak Wallace ini. Menurut-nya, ada beberapa karya seni yang penjelasannya kurang lengkap. “Ba nyak foto kupu-kupu, namun tidak ada nama dan penjelasan spesifik mengenai jenisnya,” pungkasnya.

Karya seni merupakan media untuk menyampaikan keindahan. Melalui seni rupa, Pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam menyajikan sebuah penelitian ilmiah.

MembingkaiIlmu Pengetahuan denganKarya Seni

SENI BUDAYA 15Tabloid INSTITUT Edisi XXXVIII / September 2015

Ika Puspitasari

Surat PembacaSaya mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH). Meminta kepada

pengelola Student Center (SC) agar lebih memperhatikan kebersihan dan kelayakan fasilitas kamar mandi SC. Sebab saya merasakan terutama di ka-mar mandi dan tempat wudhu pria yang airnya kering di saat orang ramai.

08981316XXX

Saya mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) mengeluh kepada pengelola Pustipanda karena e-mail mahasiswa masih belum bisa diakses. Saya memohon kepada pengelola supaya segera membetulkan e-mail mahasiswa agar bisa digunakan untuk aplikasi google classroom.

085773011xxx

Saya mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM). Saya mengeluh karena saat ini koperasi di fakultas saya tidak lagi menjual rokok dan kopi.

085812348XXX

Salah satu pengunjung tengah mendengarkan penjelasan mengenai Burung Cendrawasih Kuning Besar melalui audio dalam Pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam di Galeri Lantai 2 Salihara. Pameran yang digelar dari 15 Agustus-15 September 2015 ini menampilkan karya-karya yang merujuk pada jejak Alfred Russel Wallace (1823-1913).

Rp10 juta per dospem dari total dana ber-jumlah Rp1,7 miliar.

Dalam surat edaran PPM pada 21 Agus-tus 2015 juga menyebutkan, dana sejum-lah Rp10 juta digunakan minimal 80% untuk bantuan kegiatan fisik dan maksi-mal 20% untuk kegiatan non fisik (hono-rarium, transport, dan konsumsi).

Meski begitu, lanjut Djaka, PPM sebe-narnya telah meminta kepada dospem

agar menggunakan dana Rp10 juta itu untuk proker-proker KKN mahasiswa sebagai bentuk pengabdian dospem. Per-mintaan itu disampaikan PPM saat acara pembekalan dospem sebelum KKN. Say-angnya, hampir 50% dospem tak hadir di acara tersebut.

Berbeda dengan tiga kelompok sebelum-nya, ternyata pembagian dana yang mi-nim tak dirasakan Helmi Apriyanto. Ketua

kelompok KKN Wanasatya ini mengaku tak ada masalah dengan dana yang diteri-ma kelompoknya. Hal itu dibuktikan dari pemberian dana Rp10 juta oleh dospem KKN-nya.

Helmi menuturkan, dana sejumlah Rp10 juta ia terima dari dospem secara bertahap. Awalnya, ia diberikan Rp4 juta pada pem-bukaan KKN. Lalu, Rp4 juta pada perten-gahan KKN dan terakhir diberikan sebe-

sar Rp2 juta pada acara penutupan KKN.Berdasarkan hasil survei yang dilakukan

Litbang LPM Institut pada 80 kelompok KKN Reguler, sebanyak 40,3% respon-den menerima sekitar Rp5-8 juta, 32,5% menerima lebih dari Rp8 juta. Sementara sisanya, 20,8% responden menerima dana sekitar Rp3-5 juta dan 6,5% lainnya me-nerima dana kurang dari Rp3 juta.

Tidak meratanya dana yang diterima

kelompok KKN pun berdampak pada Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) dana KKN yang belum diterima BPK. Kepala BPK UIN Jakarta, Subarja mengatakan, dari dana sejumlah Rp2,5 miliar yang di-anggarkan untuk pengabdian dosen, baru sekitar Rp5,6 juta Surat Pertanggung Jawa-ban (SPJ) yang sudah diterima. “Sisanya, belum dilaporkan pada kami,” ujar Subar-ja, Selasa (22/9).

Sambungan Dana KKN Milik Siapa?

Page 16: TABLOID INSTITUT EDISI 38