tabel

25
PATOGENESIS URTIKARIA KRONIS Patogenesis urtikaria kronis masih belum bisa dijelaskan secara baik. Pengobatan yang diberikan bersifat paliatif dan tidak berdasarkan mekanisme patogenesis penyakit. Kunci patofisiologi terletak pada kelainan aktifasi dan degranulasi sel mast. Stimulus yang memicu dan kompleksnya mekanisme kerja sel mast, masih sebuah spekulasi. Urtikaria kronik yang disebabkan penyakit autoimun masih diperdebatkan. Jumlah dan aktifitas basofil, perubahan pada sinyal ekspresi molekul, serta kelainan fungsi jalur koagulasi ekstrinsik, juga dijadikan hipotesis penyebab urtikaria kronik. Sel mast diperkirakan ikut terlibat dalam patogenesis urtikaria kronik melalui mekanisme afinitas stimulasi reseptor IgE. Urtikaria kronik juga diketahui sebagai penyakit inflamasi yang disebabkan oleh sistem imun. Hal ini terkait perubahan kerja sitokin-kemokin sehingga menyebabkan kelainan regulasi imun dari imunitas inate. Berbagai mekanisme patogenesis ini diperkirakan terhubung satu sama lain, dan bukan suatu kaskade yang terpisah. Mereka dapat berjalan secara sinergis atau beruntun, untuk menghasilkan manifestasi klinis dari urtikaria kronis. Pengertian mendalam mengenai kompleksitas patogenesis akan menghasilkan motivasi untuk mengembangkan pengobatan imunomodulator dan biologikal yang aman serta efektif untuk urtikaria konik refrakter-berat.

Upload: muhammad-gufran

Post on 22-Dec-2015

2 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

nhkjh

TRANSCRIPT

PATOGENESIS URTIKARIA KRONIS

Patogenesis urtikaria kronis masih belum bisa dijelaskan secara baik. Pengobatan yang

diberikan bersifat paliatif dan tidak berdasarkan mekanisme patogenesis penyakit. Kunci

patofisiologi terletak pada kelainan aktifasi dan degranulasi sel mast. Stimulus yang

memicu dan kompleksnya mekanisme kerja sel mast, masih sebuah spekulasi. Urtikaria

kronik yang disebabkan penyakit autoimun masih diperdebatkan. Jumlah dan aktifitas

basofil, perubahan pada sinyal ekspresi molekul, serta kelainan fungsi jalur koagulasi

ekstrinsik, juga dijadikan hipotesis penyebab urtikaria kronik. Sel mast diperkirakan ikut

terlibat dalam patogenesis urtikaria kronik melalui mekanisme afinitas stimulasi reseptor

IgE. Urtikaria kronik juga diketahui sebagai penyakit inflamasi yang disebabkan oleh

sistem imun. Hal ini terkait perubahan kerja sitokin-kemokin sehingga menyebabkan

kelainan regulasi imun dari imunitas inate. Berbagai mekanisme patogenesis ini

diperkirakan terhubung satu sama lain, dan bukan suatu kaskade yang terpisah. Mereka

dapat berjalan secara sinergis atau beruntun, untuk menghasilkan manifestasi klinis dari

urtikaria kronis. Pengertian mendalam mengenai kompleksitas patogenesis akan

menghasilkan motivasi untuk mengembangkan pengobatan imunomodulator dan

biologikal yang aman serta efektif untuk urtikaria konik refrakter-berat.

PENDAHULUAN

Urtikaria kronik adalah sebuah penyakit yang menyulitkan pasien hingga dapat

mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Patogenesis urtikaria kronik belum bisa

dijelaskan dengan baik sehingga pengobatan yang diberikan bersifat paliatif dan hasilnya

suboptimal. Informasi mengenai patogenesis sangat dibutuhkan untuk mengembangkan

terapi yang akan diberikan. Langkah terbaru yang dilakukan untuk memahami tentang

mekanisme patogenesis urtikaria kronik telah tercatat. Fakta dan kesimpulan hipotesis

saat ini, masih dapat terbantahkan oleh pendapat alternatif lain yang juga logis.

Pengetahuan tentang imunopatogenesis molekular dan kompleksitas dari mekanisme

efektor pada urtikaria kronik telah ditingkatkan. Penelitian imunohistologi yang

dilakukan dengan menggunakan biopsi pada papul urtikaria terfokus pada infiltrasi sel

imunofenotip, sitokin terkait, reseptor kemokin, dan molekul adhesi [1].

Papul urtikaria memiliki karakteristik edema pada bagian dermis, vasodilatasi, dan

terdapat non-nekrosis perivaskular infiltrate yang berisi sel mononuclear, terutama

limfosit CD4+. Papul memiliki jumlah monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil yang

bervariasi [2-4]. Neutrofilia dermal terjadi pada enam puluh menit perubahan dari papul,

dengan neutrofil sebagai komponen utama sel infiltrate [4]. Jumlah sel mast tidak

berubah jika dibandingkan dengan kulit yang tidak terpengaruh penyakit [4, 5]. Profil

sitokin ditunjukan dengan peningkatan dari interleukin 4, interleukin 5 dan RNA

interferon gama, yang mengindikasikan gabungan respon dari Th 1/Th 2. Kemokin

mengalami upregulation dan menyebabkan peningkatan molekul adhesi. Kulit yang sehat

digambarankan mengalami upregulation terhadap madiator yang solubel dan molekul

adhesi. Hampir sama dengan kulit yang mengalami kelainan dan memiliki jumlah sel T

yang lebih tinggi. Akumulasi neutrofil lebih spesifik pada kulit yang mengalami kelainan

[4] (Tables 1 and 2).

Urtikaria kronik disebabkan karena kelainan sistem aktifasi dan degranulasi pada sel

mast kulit. Kunci patofisiologi ini predominan pada awal terjadinya urtikaria.

Pengeluaran molekul seluler mengawali fase inflamasi langsung, yang berlanjut pada

kejadian kompleks mediator proinflamasi yeng bervariasi. Sitokin, kemokin, kemokin

reseptor, dan molekul adhesi akan meregulasi aktifitas vasoaktif serta pergerakan spesifik

infiltrasi seluler. Sel inflamasi akan berubah menjadi limfosit dan granulosit, memediasi

reaksi hipersensitifitas yang bermanifestasi sebagai urtikaria. Sel inflamasi yang datang,

akan semakin banyak memproduksi mediator proinflamasi dan akan mengaktifkan lebih

banyak lagi sel tipe lain. Dengan demikian akan memperkuat dan memperlama respon

pejamu. Upregulation molekul inflamasi, molekul adhesi dan peningkatan jumlah sel T

pada bagian kulit yang tidak terkena mengindikasikan pelebaran aktifasi imunologi. Hal

ini menunjukan ambang batas yang rendah untuk mengawali proses inflamasi kutaneus

dan respon imunologi apparatus. Fakta ini menegaskan kembali hipotesis urtikaria kronik

laten dengan inflamasi minimal menetap, yang mungkin terjadi pada kulit sehat [4, 5].

Hal ini merendahkan ambang batas untuk memicu sel mast dan memfasilitasi kepekaan

pada urtikaria pada fase remisi.

AUTOIMUNITAS DAN URTIKARIA KRONIK

Utikaria kronik akibat autoimun adalah hipotesis yang paling bisa diterima untuk

menjelaskan kelainan aktifasi dan degranulasi sel mast. Toleransi imun dipertahankan

dengan menjaga keseimbangan antara limfosit autoreaktif dan mekanisme regulasi yang

berlawanan kerjanya. Peningkatan jumlah dan fungsi dari sel T autoreaktif atau hilangnya

mekanisme regulator, akan bermanifestasi sebagai autoimunitas. Sel T regulatorik,

terutama sel CD4(+) CD25(+) subset dari T (REG) menyediakan komponen penting

untuk menjaga keseimbangan autoimun. Forkhead box P3 (FOX P3) adalah penentu

utama perkembangan sel CD4(+) CD25(+) T(REG). Fungsinya telah memberikan

gambaran mengenai sulitnya menjaga keseimbangan antara limfosit autoreaktif dan

mekanisme regulasi pada kelainan autoimun, termasuk urtikaria kronik autoimun.

Analisis fungsional assays dan analisis fenotip telah memperlihatkan bahwa T(REG)

yang diisolasi dari pasien dengan kelainan autoimun memperlihatkan penurunan fungsi

regulasi. Hal ini bertentangan dengan kontrol normal. Dapat disimpulkan bahwa

penurunan presentase dari CD4(+) CD25(+) FOX P3(+) T sel regulator berperan dalam

proses patogenesis autoimun dari urtikaria kronik [6]. Mekanisme patogenesis autoimun

telah dirancangkan lewat sebuah pengamatan yang menyediakan bukti awal dan motivasi

untuk penelitian lebih lanjut untuk kembali memperkuat konsep tersebut.

- Prevalensi urtikaria kronis lebih tinggi pada pasien dengan thyroid autoantibodi

[7].

- Reaksi papul urtikaria dan kemerahan pada bagian yang diinjeksi intradermal

dengan serum autologous pada pasien subpopulasi (uji kulit positif serum autolog)

dan kemampuan reproduksi pada transfer pasif serum ke subjek kontrol yang

normal [8].

- Identifikasi berlanjut IgG antibodi langsung ke subunit alpha reseptor IgE, mampu

menginduksi serum autolog positif uji kulit seperti histamin yang dilepaskan dari

basofil [9]. Insidensi kejadian autoantibodi seperti ini terjadi sekitar 30% dan

tambahan 5-10% pasien memiliki antibodi anti IgE dibandingkan reseptor anti-

IgE antibodi [10].

- Hubungan positif dengan HLA subtipe DRB 04 (DR4) dan DQB 1*0302 (DQ8)

[11].

Respon terapi terhadap plasmafaresis [12] dan imunoglobulin intravena [13].

Bukti yang ada membantu menjalaskan mekanisme patogenesis autoimun, walaupun

cukup meyakinkan, bukti tersebut belum lengkap. Beberapa masalah, harus dijelaskan

agar hipotesis yang diajukan bisa diterima.

- Respon kutaneus pada injeksi intradermal serum autolog bisa disebabkan karena

adanya nonimunoglobulin vasoaktif histamin releasing faktor [14]. Reaktifitas

terhadap serum autolog telah diamati pada pasien dengan penyakit alergi

pernapasan dan orang sehat sebagai kontrol [15]. ASST mengidentifikasi pasien

yang menunjukan autoreaktifitas dibandingkan menemukan autoimunitas.

- Model binatang, yang diperlukan untuk menentukan status kelainan autoimun,

masih dikembangkan terkait dengan urtikaria kronik [16].

- Autoantibodi yang memiliki kemiripan spesifisitas telah dideteksi pada orang

sehat dan bisa ada ditubuh manusia secara alami. Autoantibodi alami seperti ini

bisa menjadi patogenik dibawah keadaan tertentu. Kejadian ini tergantung status

okupansi dari reseptor FceRI terhadap ligand alaminya yaitu IgE. Urtikaria

diperkirakan merupakan hasil dari perubahan perikatan jaringan autoantibodi

sebelumnya pada beberapa individu, dibandingkan karena diproduksi secara de

novo. Konsep mengenai urtikaria kronik tersebut sudah semakin berevolusi [17].

- Telah diusulkan bahwa anti-FceRI dan autoantibodi anti IgE sebenarnya tidak

patogenik. Mereka merupakan produk sekunder dari adanya urtikaria, pada pasien

dengan predisposisi untuk mengalami penyakit autoimunitas [18].

Perjalanan kompleks yang terlibat dalam memicu timbulnya reaksi, mempertahankan,

dan mengontrol formasi autoantibodi melawan FceRI dan/atau IgE masih belum bisa

dijelaskan. Autoantibodi yang berkaitan dengan urtikaria kronik adalah sistem

komplemen subtipe IgG1 dan IgG3 [19]. Kebocoran vaskuler akibat autoantibodi karena

kejadian lokal tersebut akan memfasilitasi perikatan antara baik FceRI atau IgE, berikatan

dengan reseptor dan mengaktifasi komplemen C5a. C5a berinteraksi dengan reseptor

komplemen anafilatoksin (Reseptor C5a) yang berlokasi dipermukaan sel mast MCTC.

Sebuah subtipe yang dominan berada pada bagian kulit, dan berpartisipasi pada aktifasi

sel mast [20]. Hal ini mengakibatkan terpicunya beberapa kejadian intraseluler. Sinyal

transduksi menyebabkan fosforilasi dari immunorecepror tyrosine activation motifs

(ITAM). ITAM berhubungan dengan keluarga protein Src tyrosin kinase (PTKs) seperti

Lyn dan Syk yang akan mengawali aktifasi jalur efektor [21]. ITAM menyebabkan

penglepasan granul yang mengandung histamin, heparin, tryptase, TNF-alfa, juga sintesis

sitokin proinflamasi lain dan eicosanoids [22]. Penghambatan sinyal transduksi dan

pelepasan mediator diatur oleh SIRP (protein sinyal regulasi) yang mengandung ITIMS

(imunotyrosin inhibitor motif). ITIMS bekerja dengan merekrut SH-2 yang membawa

tyrosine fosfatase (SHIP 1 dan 2) untuk memfosforilasi ITAM pada subunit beta dan

gama dari FceRI [21].

Autoantibodi terhadap rantai alfa dari FceRI dan/atau IgE telah dideteksi pada 35-

40% dan 5-10% pasien [23]. Lebih lanjut deteksi autoantibodi pada serum tidak

mengkonfirmasi fungsi dan tidak selalu ikut terlibat dalam induksi pelepasan histamin

dari sel mast atau basofil. Faktor yang meningkatkan permeabilitas vaskuler lain ikut

terlibat dalam kebocoran pembuluh darah yang dimediasi oleh serum.

AGONIS NONIMUNOLOGI

Agonis nonimunologi termasuk substansi P, endorfin, enkefalin, peptida endogen,

dan somatostatin mungkin menyebabkan degranulasi serta pelepasan molekul

proinflamasi dari sel mast. Hal ini terjadi terutama jika produk dari sistem imun

menurunkan ambang batas pelepasan sel mast di lapisan kutan [24].

KELAINAN SELULER : BASOFIL

Kelainan utama pada beberapa pasien dengan urtikaria kronik bisa jadi seluler atau

subseluler. Tidak sekedar mekanisme imunologi yang dimediasi mekanisme autoimun.

Semakin banyak bukti mengenai perubahan jumlah, struktur, fungsi, dan defek jalur

basofil. Basopenia pada urtikaria telah banyak didokumentasikan dan jumlah basofil

sangat berkaitan dengan keparahan urtikaria [25]. Bukti lain yang mungkin lebih

meyakinkan adalah penekanan paradoksikal dimediasi FceRI, anti-FceRI atau anti-

IgEantibodi yang diinduksi pelepasan histamin dari basofil. Hal ini terjadi selama fase

penyakit aktif [26]. Basofil ini memiliki respon normal terhadap monosit kemotaktik

protein-1 (MCP-1) dan bradikinin, namun hiper-responsif terhadap serum [27]. Basofil

pada urtikaria kronik autoimun kemungkinan telah didesensitisasi secara in vivo untuk

menginduksi aktifasi FceRI. Namun, autoantibodi yang dimediasi oleh desensitisasi IgE

reseptor tidak memiliki respon yang sama seperti basofil yang diamati pada pasien yang

tidak memiliki autoimun antibodi [27].

Gambaran lebih kompleks muncul mengenai disregulasi ekspresi molekul yang

penting untuk meningkatkan atau menurunkan sinyal setelah aktifasi reseptor IgE [28].

Tyrosin kinase limpa (Syk) adalah regulator positif ke sinyal FceRI. Jumlahnya adalah

faktor determinan mayor pelepasan histamin basofil pada basofil normal [29]. Homolog

Src 2 mengandung inositol fosfat, SHIP-1, dan SHIP-2, merupakan regulator negatif dari

perbanyakan sinyal [30]. Pada urtikaria kronik ada perubahan pada paradigma dominasi

regulasi Syk terhadap HR. Tidak seperti basofil normal, kelainan jumlah SHIP-1 dan

SHIP-2 berhubungan dengan pola anti-IgE terstimulasi pelepasan histamin [31, 32].

Basofil yang diaktifasi secara ex vivo dengan konsentrasi optimal dari anti-IgE

poliklonal mengkonfirmasi bahwa degranulasi basofil dengan fenotip berbeda terjadi

pada urtikaria kronik. Sebuah bimodal stratifikasi basofil telah diajukan [32]. Dimana

50% pasien urtikaria kronik menunjukan reduksi signifikan pelepasan histamin basofil

dengan stimulasi dari anti-IgE. Sebagai konsekuensi peningkatan SHIP-2 dan molekul

sejenis adalah mereka tidak akan berespon terhadap anti-IgE. Subjek yang masih tersisa

memiliki basofil yang melepaskan lebih dari 10% isi histamin setelah stimulasi anti-IgE.

Pasien tersebut memberi respon terhadap anti-IgE (CIU-R). Jumlah SHIP-1 pada basofil

tersebut akan menurun.

Pola fenotip basofil fungsional (CIU-R dan CIU-NR) sepertinya bebas dari

keberadaan level autoantibodi [33] dan tetap stabil pada pasien yang memiliki penyakit

menetap. Hal paling menonjol dari fenotip basofil pada urtikaria kronik bisa dilihat pada

table 3 [31-33].

Jumlah dan/atau ekspresi dari protein regulatorik tetap berfungsi normal selama

remisi [33]. Perubahan pada fungsi basofil terbebas dari status autoimun urtikaria. Pada

keadaan autoimunitas tidak ditandai dengan penurunan parallel dari titer antibody.

Sifat protein pemberi sinyal pada basofil dalam hubungannya dengan stratifikasi

terhadap fenotip lain adalah, fungsi abnormal mungkin menjadi kunci patogenesis.

SEL MAST DAN URTIKARIA KRONIK

Sel mast mungkin berperan langsung pada urtikaria kronik (Tabel 4). Faktor yang

mengaktifasi derifat dari sel inflamasi menginfiltrasi bagian sekitar dermal di venula [34]

postkapiler. Sel mast terstimulasi untuk mensekresikan molekul vasoaktif yang

mengaktifasi sel endotelial. Ekspresi molekul adhesi akan terupregulation [35].

Permeabilitas vaskuler akan meningkat, menyebabkan kebocoran ekstravaskuler dari

cairan dan protein yang menyebabkan papul urtikaria.

Sebuah penelitian in vitro dilakukan untuk mengevaluasi aktifitas permeabilitas

disebabkan serum urtikaria kronik. Pola degranulasi sel mast dan peningkatan

permeabilitas selapis endotelial diteliti setalah terpapar dua jenis sel mast berbeda (LAD-

2 dan HMC-1) [36, 37] ke serum urtikaria kronik. Serum urtikaria kronik menunjukan

respon stabil setelah penurunan jumlah IgG. Menegaskan kembali ketidak tergantungan

terhadap aktifasi reseptor IgE sel mast [38]. Disimpulkan bahwa molekul vasoaktif

mungkin dilepaskan dari sel mast tanpa degranulasi [38].

Variasi reseptor permukaan membrane yang diekspresikan pada sel mast secara

selektif dipicu oleh ligan seperti IgG, peptide, derivate microbial, dan fragmen

komplemen yang teraktifasi [39]. Sel mast terangsang dengan mengaktifasi sinyal untuk

mensintesis substansi vasoaktif seperti metabolit lipid, sitokin, dan kemokin [40, 41].

Faktor permeabilitas yang baru terbentuk, seperti TNF alfa, interleukin 6, VEGF, dan

platelet activating faktor [40,41] disekresikan oleh sel mast. Sekresinya terlepas dari

pelepasan mediator yang sudah tersimpan didalam granul seperti histamin, serotonin,

protease, dan proteoglikan [40, 41]. Faktor permeabilitas ini yang memfasilitasi

timbulnya papul urtikaria. Pengamatan ini menjelaskan kurangnya korelasi antara deteksi

autoantibibodi dan degranulasi sel mast, [42] kualitas dan kuantitas dari pelepasan faktor

vasoaktif, peningkatan permeabilitas vaskuler, keparahan kerefrakteran urtikaria pada

urtikaria berat pada tatalaksana standard lini pertama dengan antihistamin, dan respon

terapi pada agen imunosupresif.

URTIKARIA KRONIKKELAINAN REAKSI INFLAMASI DIMEDIASI IMUN

Konsep bahwa urtikaria kronik sebagai kelainan reaksi inflamasi yang dimediasi

sistem imun berkembang dari pengamatan tak disengaja. Pengamatan dilakukan pada

terapi dengan target biologi imunomodulator langsung pada sitokin tertentu atau reseptor

sel. Terapi ini diberikan pada kelainan reaksi inflamasi lain yang telah diperbaiki bersama

urtikaria kronik [43]. Kaskade reaksi inflamasi pada urtikaria kronik mungkin disebabkan

kelainan jaringan kemokin-sitokin. Hal ini menunjuk pada kelainan regulasi sitem imun

sebagai konsekuensi dari imunitas innate yang terganggu pada kelainan tersebut.

Pemahaman tentang kelainan respon regulasi sistem imun didapat melalui investigasi

pada kejadian awal dari imunitas innate. Melalui studi terhadap sel dendrit yang

menghubungkan sel imun innate dan sel imun adaptif [44]. Plasmacytoid dendritic cells

(pDC) mengekspresikan reseptor toll-like (TLR) yang diaktifasi oleh ligan alami dan

sintetik. Mengakibatkan terpicunya respon proinflamasi yang memegang peranan penting

pada patogenesis beberapa kelainan respon inflamasi termasuk urtikaria [45].

Penelitian mengenai kejadian awal dari respon imun melalui aktifasi dari pDC oleh

TLR, dilakukan untuk mengevaluasi kelainan regulasi imun urtikaria kronik [44].

pDC secara tak nyata terhambur diantara infiltrasi seluler pada lesi kutaneus.

Persentasenya pada sel mononuklear darah perifer tidak terganggu dan sama jumlahnya

dengan orang sehat. Penelitian dilakukan terhadap aktifasi pDC pada level normal. Yaitu

melalui ekspresi molekul stimulatorik dan peningkatan fosforilasi STAT 1 pada limfosit

yang tidak terstimulasi. Namun, IFN-alfa yang disekresikan pDC akibat stimulasi dari

CpGA sangat lemah. Hal ini dikaitkan dengan kelainan IRF-7 dan penekanan ekspresi

TLR 9. Mengindikasikan kelemahan fungsi pDC dan kelainan regulasi imun pada

urtikaria kronik [44].

Beberapa hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan downregulation TLR9 pada

pDC setelah stimulasi CpGA. IgE atau anti-FceRI autoantibodi mungkin bersilangan

dengan FceRI pada pDC imatur. Hal ini melemahkan fungsi imun dengan mensupresi

produksi IFN-alfa [46]. Reseptor yang berfungsi sebagai regulator termasuk BDCA-2,

ILT-7, dan NKp44 mengurangi modulasi produksi IFN [47-49]. Pengeluaran histamin ke

sirkulasi yang berasal dari degranulasi sel mast atau basofil sepertinya ikut meregulasi

beberapa tipe sel. Yaitu melalui stimulasi reseptor histamin dan aktifasi pDC oleh respon

CpG terhadap histamin lewat reseptor H2 dengan penghambatan dari produksi IFN-alfa

[50].

Respon sel imun inate yang mengalami kelainan pada urtikaria kronik

mengakibatkan kelemahan fungsi dari pDC untuk mengaktifasi TLR9. Mengganggu

produksi sitokin oleh sel T, terutama IL-17A dan IL-10 [51]. Serta peningkatan level

serum IL-1, IL-4, IL-13, IL-18, TNF-alfa [52, 53], Faktor aktifasi sel B (BAFF) [54], dan

faktor-faktor lain yang terkait proses inflamasi seperti neopterin [55] dan protein c-

reaktif. Penelitian ini mengusulkan bahwa terjadi proses inflamasi yang terus

berlangsung. Menyebabkan terbentuknya lingkungan pro-inflamasi pada urtikaria kronik,

yang bertanggung jawab terhadap kelianan pola sekresi dari kemokin.

Pada urtikaria kronik telah diobservasi tingkat kemokin serum yang secara signifikan

lebih tinggi (C-C dan C-X-C) termasuk CXCL8, CXCL9, dan CXCL10, dan CCL2. Hal

ini tidak memiliki hubungan dengan parameter klinis atau hasil dari pelepasan histamin

basofil (BHR) dan/atau ASST esai [56]. Kemotaktik sitokin proinflamasi berinteraksi

dengan reseptor kemokin pada permukaan sel inflamasi. Hal ini memicu kemotaksis dan

migrasi transdendotel dari leukosit ke bagian yang mengalami inflamasi.

CXCL8/IL-8 adalah kemotaksis untuk neutrophil, T-limfosit dan monosit [56].

CXCL9/Mig adalah monokin yang diinduksi oleh interferon- (IFN-) gamma induced

protein 1 (IP-10). Merupakan tipe 1 C-X-C kemokin dan memperlihatkan kemotaksis

kuat untuk limfosit T-helper tipe 1 (Th1) [57, 58].

C-C ligan 2 (CCL2) (monosit kemotaktan protein 1), prototype dari C-C kemokin,

disekresikan terutama oleh monosit, dengan bukti peningkatan ekspresi mRNA pada sel

CD14+ pada urtikaria kronik. CCL2 mengaktifasi berbagai sel termasuk monosit,

makrofag, limfosit, eosinophil, dan basofil. Merupakan sebuah faktor krusial untuk

perkembangan respon Th2 [59].

Upregulation dari kemokin pada urtikaria kronik berkontribusi pada pertahanan

status aktif sel inflamasi. Basofil pada urtikaria kronik memperlihatkan upregulation

aktifasi atau marker degranulasi CD203c dan CD63. Basofil juga memperlihatkan respon

tinggi terhadap stimulasi IL-3. Basofil yang teraktifasi sepertinya terpicu CCL2, yang

merupakan faktor aktifasi basofil poten [60].

CCL2 menginduksi degranulasi sel mast dan memiliki aktifitas pelepasan histamin

basofil yang kuat. Telah didokumentasikan bahwa gabungan kemokin yang bersirkulasi

CCL2, CCL5, CXCL8 memainkan peran penting pada aktifasi sel mast dan pembentukan

histamin serta serotonin [61].

Dapat disimpulkan bahwa disregulasi imunologi menyebabkan terganggunya respon

imun inate. Hal ini mengganggu jalur sitokin-kemokin, menyebabkan terpicunya status

inflamasi yang berkontribusi terhadap patogenesis urtikaria kronik.

URTIKARIA KRONIK & SISTEM KOAGULASI

Menurut sebuah penelitian tentang plasma autolog, bahan antikoagulasi dengan

substansi selain heparin membentuk respon positif autoreaktif. Hal ini terlihat pada

sebagian besar pasien dibanding serum autolog pada skin test (ASST) [62, 63]. Karena

serum dan plasma tidak berbeda dalam hal isi autoantibodi, penelitian ini ingin

menunjukan kemungkinan peran faktor pembekuan pada reaksi urtikaria. Plasma

mengandung lebih banyak faktor koagulasi dan komplemen. Konsumsi faktor tersebut

dalam serum selama pembentukan bekuan darah bertanggung jawab dalam reaktifitas

yang bertentangan dari plasma autolog dan serum. Dapat disimpulkan bahwa kaskade

pembekuan mungkin terlibat dalam patogenesis urtikaria [64]. Hal ini memberikan

penjelasan mengenai efek terapi yang dilihat pada beberapa pasien dengan obat aktif pada

sistem koagulasi [65, 66].

Jalur koagulasi ekstrinsik teraktifasi dan thrombin terbentuk dari protrombin dengan

mengaktifasi faktor X, faktor V serta ion kalsium [64]. Penelitian in vitro telah

mengkonfirmasi bahwa plasma pada pasien urtikaria memiliki level protombin yang lebih

tinggi F1+2. Polipeptida dari 34kDa yang dilepaskan ke sirkulasi selama aktifasi

protrombin menjadi thrombin oleh faktor X [67]. Eksaserbasi urtikaria berat dihubungkan

dengan aktifasi kuat dari kaskade pembekuan. Kaskade berakhir dengan pembentukan

fibrin dan fibrinolysis yang terlihat melalui peningkatan level plasma D-dimer.

Thrombin adalah protease serine yang meningkatkan permeabilitas vaskuler,

mengaktifasi dan mendegranulasi sel mast, serta menginduksi pembentukan anafilatoksin

C5a. Pendapat lain juga mengusulkan teori aktifasi jalur ekstrinsik dari pembekuan.

Jalur mekansime patogenesis autoimun seroimunologi, nama, inflamasi, defek

seluler, koagulasi, dan sistem komplemen, saling terhubung. Jalur-jalur tersebut bukan

jalur yang terpisah satu dan yang lain. Aksi tersebut sinergis atau berurutan baik sebagai

mekanisme patogenesis yang berdiri sendiri atau saling terhubung. Jalur itu mengaktifasi

sel mast dengan pelepasan mediator dan/atau sekresi dari molekul vasoaktif yang baru

terbentuk. Dengan hasil akhir berupa gambaran klinis dari urtikaria [68, 69] (Figur 1).

Berbagai mediator sel mast, yang baru terbentuk atau yang sudah bekerja, berkaitan

dengan urtikaria kronik, dirangkum dalam table 4.

Histamin adalah mediator vasoaktif paling penting. Histamin yang tergabung,

histamin 1 dan histamin 2 respon reseptor dibutuhkan untuk ekspresi penuh vasoaktifitas

histamine. Termasuk aktivitas vasodilatasi langsung, perubahan pada permeabilitas

pembuluh darah, ekstravasasi plasma, dan stimulasi saraf sensori bagian dermal [69-71].

Peranannya dalam terjadinya patogenesis papul urtikaria masih kurang pasti. Mediator sel

mast nonhistamin mungkin meregulasi rekrutmen sel. Leukotriene, sitokin, dan kemokin,

meningkatkan regulasi ekspresi molekul adhesi pada sel endotel. Mereka juga membantu

rolling, adhesi leukosit, kemotaksis, migrasi transendotel dan masuknya sel dalam kulit

yang bengkak. Sel yang menginfiltrasi ini akan menyebabkan pengeluaran sitokin

proinflamasi dan kemokin yang bertugas merekrut dan mengaktifasi lebih banyak sel

infalamsi. Hal ini akan mempertahankan, meningkatkan, dan memperpanjang respon dari

pejamu. Sinyal untuk penyembuhan urtikaria tidak bisa dipastikan secara benar. Hal ini

melibatkan downregulation dari reseptor histamin, pembentukan kembali integritas sel

endotel, apoptosis sel inflamasi, pembersihan debris seluler oleh makrofag, dan drainase

cairan edem ke sirkulasi vaskuler [22].

Disimpulkan bahwa patogenesis urtikaria kronik masih membingungkan. Mekanisme

patogenesis yang mungkin bisa menjelasankan secara rasional semua kasus belum

ditemukan. Pengertian yang tidak menyeluruh menghambat pencarian obat dengan

toksisitas rendah dan efikasi baik. Obat yang mungkin ditawarkan sebagai alternative

untuk urtikaria yang tidak remiten dan tidak berespon terhadap tatalaksana lini pertama.

Pengertian yang lebih mendalam pada kompleksitas patogenesis bisa menyiapkan jalan

untuk terapi yang lebih spesifik pada mekanisme patogenesis dari penyakit. Serta

menyediakan motivasi untuk mengembangkan terapi imunomodulator dan biological

yang baik.

Tipe Sel Sel Urtikaria Kulit Yang Tidak

Terkena

Subjek Kontrol

Sehat

Sel Mast Jumlah Normal Jumlah Normal Jumlah Normal

Limfosit ↑ Jumlah T-Limfosit Lebih banyak

jumlah T-limfosit

dibandingkan kulit

yang terkena

Jumlah T-limfosit

rendah

Neutrofil Banyak infiltrasi sel

pada 60 menit

perkembangan

urtikaria

Secara signifikan

lebih sedikit

disbanding pada

kulit yang terkena

Tidak Signifikan

Eosinofil Secara signifikan

lebih tinggi

Tidak Signifikan Tidak Signifikan

Basofil Jumlah signifikan,

terutama 30 menit

perkembangan

urtikaria

Lebih sedikit namun

masih terhitung

Tidak Signifikan

Bengkak Urtikaria Kulit Yang tidak

terlibat

Subjek control

normal

Sitokin

Interferon gamma Ekspresi Tinggi Secara Signifikan

Ekspresi Rendah

Tidak Diekspresikan

Interleukin 4 Ekspresi Tinggi Secara Signifikan

Ekspresi Rendah

Tidak Diekspresikan

Interleukin 5 Ekspresi Tinggi Secara Signifikan

Ekspresi Rendah

Tidak Diekspresikan

Interleukin 8 Ekspresi Sedang Ekspresi Sedang Tidak Diekspresikan

Kemokin

CXCR3/CCR3 Ekspresi sama

dengan kulit subjek

kontrol

Ekspresi lebih tinggi Ekspresi sama

denga kulit yang

terkena lesi

Molekul Adhesi

Molekul Adhesi Ekspresi Tinggi Ekspresi Intens Ekspresi signifikan

Seluler

Sifat Urtikaria Kronik

(autoimun/nonautoimun)

CIU-R CIU-NR

Stimulasi anti-IgE/

berikatan; pelepasan

histamin pada penyakit aktif

10% dari isi sel < 10% isi sel

Protein regulator Paradigma Shift Paradigma Shift

Kinase Pelepasan histamin tidak

ditentukan dengan jumlah

kinase

Pelepasan histamin tidak

ditentukan dengan jumlah

kinase

Fostatase Jumlah Serum tyrosin

kinase normal

Regulasi pelepasan

histamin, penurunan jumlah

SHIP-1

Jumlah Serum tyrosin

kinase normal

Regulasi pelepasan

histamin, peningkatan

jumlah SHIP-2

Sensitivitas terhadap

stimulasi anti-IgE pada saat

remisi

Penajaman sensitivitas Sensitivitas dikembalikan

ke level subjek normal sehat

Madiator Efek pada Urtikaria Kronik

Mediator yang terlibat

Histamin Vasoaktif langsung yang poten dan efek

spasmogenik otot polos. Mediator penting

pada perubahan vaskuler

Mediator Yang Baru Terbentuk

Mediator Lipid

LTC4 Aksi sama seperti histamin

LTB4 Vasodilator potensial, permeabilitas

vaskuler, dan kontraksi otot polos

PGD2 Kemotaktik untuk Neutrofil dan eosinophil

Sitokin & Kemokin

TNF-Alfa Baru terbentuk juga bisa bekerja

Meningkatkan ekspresi molekul adhesi

pada sel endotel

Menyebabkan rolling dan adhesi leukosit

Kemotaktik untuk Neutrofil

Sitokin Proinflamasi

Interleukin 1 Aktifator Limfosit

Aktifasi Se Mast setelah dilepaskan dari

leukosit

Interleukin 4 Kemotaktik untuk neutrophil

Merekrut Eosinofil

Interleukin 5 Merekrut Eosinofil

Interleukin 6 Sitokin Proinflamasi

Aktifasi Limfosit

Interleukin 8/CXCL2 Anggota kemokin CXC

Kemoatraktant neutrophil yang poten

Terlibat dalam degranulasi neutrophil,

adhesi ke sel endotel, dan gangguan

respiratori

MCP-1/CCL2 Kemotaktan untuk eosinofil

MIP-1 Alfa/CCL3 Kemotaktan untuk eosinophil

Interleukin 16 Kemotaktan untuk Limfosit-T

RANTES/CCL5 Kemotaktan untuk eosinophil