tabel
DESCRIPTION
nhkjhTRANSCRIPT
PATOGENESIS URTIKARIA KRONIS
Patogenesis urtikaria kronis masih belum bisa dijelaskan secara baik. Pengobatan yang
diberikan bersifat paliatif dan tidak berdasarkan mekanisme patogenesis penyakit. Kunci
patofisiologi terletak pada kelainan aktifasi dan degranulasi sel mast. Stimulus yang
memicu dan kompleksnya mekanisme kerja sel mast, masih sebuah spekulasi. Urtikaria
kronik yang disebabkan penyakit autoimun masih diperdebatkan. Jumlah dan aktifitas
basofil, perubahan pada sinyal ekspresi molekul, serta kelainan fungsi jalur koagulasi
ekstrinsik, juga dijadikan hipotesis penyebab urtikaria kronik. Sel mast diperkirakan ikut
terlibat dalam patogenesis urtikaria kronik melalui mekanisme afinitas stimulasi reseptor
IgE. Urtikaria kronik juga diketahui sebagai penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
sistem imun. Hal ini terkait perubahan kerja sitokin-kemokin sehingga menyebabkan
kelainan regulasi imun dari imunitas inate. Berbagai mekanisme patogenesis ini
diperkirakan terhubung satu sama lain, dan bukan suatu kaskade yang terpisah. Mereka
dapat berjalan secara sinergis atau beruntun, untuk menghasilkan manifestasi klinis dari
urtikaria kronis. Pengertian mendalam mengenai kompleksitas patogenesis akan
menghasilkan motivasi untuk mengembangkan pengobatan imunomodulator dan
biologikal yang aman serta efektif untuk urtikaria konik refrakter-berat.
PENDAHULUAN
Urtikaria kronik adalah sebuah penyakit yang menyulitkan pasien hingga dapat
mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Patogenesis urtikaria kronik belum bisa
dijelaskan dengan baik sehingga pengobatan yang diberikan bersifat paliatif dan hasilnya
suboptimal. Informasi mengenai patogenesis sangat dibutuhkan untuk mengembangkan
terapi yang akan diberikan. Langkah terbaru yang dilakukan untuk memahami tentang
mekanisme patogenesis urtikaria kronik telah tercatat. Fakta dan kesimpulan hipotesis
saat ini, masih dapat terbantahkan oleh pendapat alternatif lain yang juga logis.
Pengetahuan tentang imunopatogenesis molekular dan kompleksitas dari mekanisme
efektor pada urtikaria kronik telah ditingkatkan. Penelitian imunohistologi yang
dilakukan dengan menggunakan biopsi pada papul urtikaria terfokus pada infiltrasi sel
imunofenotip, sitokin terkait, reseptor kemokin, dan molekul adhesi [1].
Papul urtikaria memiliki karakteristik edema pada bagian dermis, vasodilatasi, dan
terdapat non-nekrosis perivaskular infiltrate yang berisi sel mononuclear, terutama
limfosit CD4+. Papul memiliki jumlah monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil yang
bervariasi [2-4]. Neutrofilia dermal terjadi pada enam puluh menit perubahan dari papul,
dengan neutrofil sebagai komponen utama sel infiltrate [4]. Jumlah sel mast tidak
berubah jika dibandingkan dengan kulit yang tidak terpengaruh penyakit [4, 5]. Profil
sitokin ditunjukan dengan peningkatan dari interleukin 4, interleukin 5 dan RNA
interferon gama, yang mengindikasikan gabungan respon dari Th 1/Th 2. Kemokin
mengalami upregulation dan menyebabkan peningkatan molekul adhesi. Kulit yang sehat
digambarankan mengalami upregulation terhadap madiator yang solubel dan molekul
adhesi. Hampir sama dengan kulit yang mengalami kelainan dan memiliki jumlah sel T
yang lebih tinggi. Akumulasi neutrofil lebih spesifik pada kulit yang mengalami kelainan
[4] (Tables 1 and 2).
Urtikaria kronik disebabkan karena kelainan sistem aktifasi dan degranulasi pada sel
mast kulit. Kunci patofisiologi ini predominan pada awal terjadinya urtikaria.
Pengeluaran molekul seluler mengawali fase inflamasi langsung, yang berlanjut pada
kejadian kompleks mediator proinflamasi yeng bervariasi. Sitokin, kemokin, kemokin
reseptor, dan molekul adhesi akan meregulasi aktifitas vasoaktif serta pergerakan spesifik
infiltrasi seluler. Sel inflamasi akan berubah menjadi limfosit dan granulosit, memediasi
reaksi hipersensitifitas yang bermanifestasi sebagai urtikaria. Sel inflamasi yang datang,
akan semakin banyak memproduksi mediator proinflamasi dan akan mengaktifkan lebih
banyak lagi sel tipe lain. Dengan demikian akan memperkuat dan memperlama respon
pejamu. Upregulation molekul inflamasi, molekul adhesi dan peningkatan jumlah sel T
pada bagian kulit yang tidak terkena mengindikasikan pelebaran aktifasi imunologi. Hal
ini menunjukan ambang batas yang rendah untuk mengawali proses inflamasi kutaneus
dan respon imunologi apparatus. Fakta ini menegaskan kembali hipotesis urtikaria kronik
laten dengan inflamasi minimal menetap, yang mungkin terjadi pada kulit sehat [4, 5].
Hal ini merendahkan ambang batas untuk memicu sel mast dan memfasilitasi kepekaan
pada urtikaria pada fase remisi.
AUTOIMUNITAS DAN URTIKARIA KRONIK
Utikaria kronik akibat autoimun adalah hipotesis yang paling bisa diterima untuk
menjelaskan kelainan aktifasi dan degranulasi sel mast. Toleransi imun dipertahankan
dengan menjaga keseimbangan antara limfosit autoreaktif dan mekanisme regulasi yang
berlawanan kerjanya. Peningkatan jumlah dan fungsi dari sel T autoreaktif atau hilangnya
mekanisme regulator, akan bermanifestasi sebagai autoimunitas. Sel T regulatorik,
terutama sel CD4(+) CD25(+) subset dari T (REG) menyediakan komponen penting
untuk menjaga keseimbangan autoimun. Forkhead box P3 (FOX P3) adalah penentu
utama perkembangan sel CD4(+) CD25(+) T(REG). Fungsinya telah memberikan
gambaran mengenai sulitnya menjaga keseimbangan antara limfosit autoreaktif dan
mekanisme regulasi pada kelainan autoimun, termasuk urtikaria kronik autoimun.
Analisis fungsional assays dan analisis fenotip telah memperlihatkan bahwa T(REG)
yang diisolasi dari pasien dengan kelainan autoimun memperlihatkan penurunan fungsi
regulasi. Hal ini bertentangan dengan kontrol normal. Dapat disimpulkan bahwa
penurunan presentase dari CD4(+) CD25(+) FOX P3(+) T sel regulator berperan dalam
proses patogenesis autoimun dari urtikaria kronik [6]. Mekanisme patogenesis autoimun
telah dirancangkan lewat sebuah pengamatan yang menyediakan bukti awal dan motivasi
untuk penelitian lebih lanjut untuk kembali memperkuat konsep tersebut.
- Prevalensi urtikaria kronis lebih tinggi pada pasien dengan thyroid autoantibodi
[7].
- Reaksi papul urtikaria dan kemerahan pada bagian yang diinjeksi intradermal
dengan serum autologous pada pasien subpopulasi (uji kulit positif serum autolog)
dan kemampuan reproduksi pada transfer pasif serum ke subjek kontrol yang
normal [8].
- Identifikasi berlanjut IgG antibodi langsung ke subunit alpha reseptor IgE, mampu
menginduksi serum autolog positif uji kulit seperti histamin yang dilepaskan dari
basofil [9]. Insidensi kejadian autoantibodi seperti ini terjadi sekitar 30% dan
tambahan 5-10% pasien memiliki antibodi anti IgE dibandingkan reseptor anti-
IgE antibodi [10].
- Hubungan positif dengan HLA subtipe DRB 04 (DR4) dan DQB 1*0302 (DQ8)
[11].
Respon terapi terhadap plasmafaresis [12] dan imunoglobulin intravena [13].
Bukti yang ada membantu menjalaskan mekanisme patogenesis autoimun, walaupun
cukup meyakinkan, bukti tersebut belum lengkap. Beberapa masalah, harus dijelaskan
agar hipotesis yang diajukan bisa diterima.
- Respon kutaneus pada injeksi intradermal serum autolog bisa disebabkan karena
adanya nonimunoglobulin vasoaktif histamin releasing faktor [14]. Reaktifitas
terhadap serum autolog telah diamati pada pasien dengan penyakit alergi
pernapasan dan orang sehat sebagai kontrol [15]. ASST mengidentifikasi pasien
yang menunjukan autoreaktifitas dibandingkan menemukan autoimunitas.
- Model binatang, yang diperlukan untuk menentukan status kelainan autoimun,
masih dikembangkan terkait dengan urtikaria kronik [16].
- Autoantibodi yang memiliki kemiripan spesifisitas telah dideteksi pada orang
sehat dan bisa ada ditubuh manusia secara alami. Autoantibodi alami seperti ini
bisa menjadi patogenik dibawah keadaan tertentu. Kejadian ini tergantung status
okupansi dari reseptor FceRI terhadap ligand alaminya yaitu IgE. Urtikaria
diperkirakan merupakan hasil dari perubahan perikatan jaringan autoantibodi
sebelumnya pada beberapa individu, dibandingkan karena diproduksi secara de
novo. Konsep mengenai urtikaria kronik tersebut sudah semakin berevolusi [17].
- Telah diusulkan bahwa anti-FceRI dan autoantibodi anti IgE sebenarnya tidak
patogenik. Mereka merupakan produk sekunder dari adanya urtikaria, pada pasien
dengan predisposisi untuk mengalami penyakit autoimunitas [18].
Perjalanan kompleks yang terlibat dalam memicu timbulnya reaksi, mempertahankan,
dan mengontrol formasi autoantibodi melawan FceRI dan/atau IgE masih belum bisa
dijelaskan. Autoantibodi yang berkaitan dengan urtikaria kronik adalah sistem
komplemen subtipe IgG1 dan IgG3 [19]. Kebocoran vaskuler akibat autoantibodi karena
kejadian lokal tersebut akan memfasilitasi perikatan antara baik FceRI atau IgE, berikatan
dengan reseptor dan mengaktifasi komplemen C5a. C5a berinteraksi dengan reseptor
komplemen anafilatoksin (Reseptor C5a) yang berlokasi dipermukaan sel mast MCTC.
Sebuah subtipe yang dominan berada pada bagian kulit, dan berpartisipasi pada aktifasi
sel mast [20]. Hal ini mengakibatkan terpicunya beberapa kejadian intraseluler. Sinyal
transduksi menyebabkan fosforilasi dari immunorecepror tyrosine activation motifs
(ITAM). ITAM berhubungan dengan keluarga protein Src tyrosin kinase (PTKs) seperti
Lyn dan Syk yang akan mengawali aktifasi jalur efektor [21]. ITAM menyebabkan
penglepasan granul yang mengandung histamin, heparin, tryptase, TNF-alfa, juga sintesis
sitokin proinflamasi lain dan eicosanoids [22]. Penghambatan sinyal transduksi dan
pelepasan mediator diatur oleh SIRP (protein sinyal regulasi) yang mengandung ITIMS
(imunotyrosin inhibitor motif). ITIMS bekerja dengan merekrut SH-2 yang membawa
tyrosine fosfatase (SHIP 1 dan 2) untuk memfosforilasi ITAM pada subunit beta dan
gama dari FceRI [21].
Autoantibodi terhadap rantai alfa dari FceRI dan/atau IgE telah dideteksi pada 35-
40% dan 5-10% pasien [23]. Lebih lanjut deteksi autoantibodi pada serum tidak
mengkonfirmasi fungsi dan tidak selalu ikut terlibat dalam induksi pelepasan histamin
dari sel mast atau basofil. Faktor yang meningkatkan permeabilitas vaskuler lain ikut
terlibat dalam kebocoran pembuluh darah yang dimediasi oleh serum.
AGONIS NONIMUNOLOGI
Agonis nonimunologi termasuk substansi P, endorfin, enkefalin, peptida endogen,
dan somatostatin mungkin menyebabkan degranulasi serta pelepasan molekul
proinflamasi dari sel mast. Hal ini terjadi terutama jika produk dari sistem imun
menurunkan ambang batas pelepasan sel mast di lapisan kutan [24].
KELAINAN SELULER : BASOFIL
Kelainan utama pada beberapa pasien dengan urtikaria kronik bisa jadi seluler atau
subseluler. Tidak sekedar mekanisme imunologi yang dimediasi mekanisme autoimun.
Semakin banyak bukti mengenai perubahan jumlah, struktur, fungsi, dan defek jalur
basofil. Basopenia pada urtikaria telah banyak didokumentasikan dan jumlah basofil
sangat berkaitan dengan keparahan urtikaria [25]. Bukti lain yang mungkin lebih
meyakinkan adalah penekanan paradoksikal dimediasi FceRI, anti-FceRI atau anti-
IgEantibodi yang diinduksi pelepasan histamin dari basofil. Hal ini terjadi selama fase
penyakit aktif [26]. Basofil ini memiliki respon normal terhadap monosit kemotaktik
protein-1 (MCP-1) dan bradikinin, namun hiper-responsif terhadap serum [27]. Basofil
pada urtikaria kronik autoimun kemungkinan telah didesensitisasi secara in vivo untuk
menginduksi aktifasi FceRI. Namun, autoantibodi yang dimediasi oleh desensitisasi IgE
reseptor tidak memiliki respon yang sama seperti basofil yang diamati pada pasien yang
tidak memiliki autoimun antibodi [27].
Gambaran lebih kompleks muncul mengenai disregulasi ekspresi molekul yang
penting untuk meningkatkan atau menurunkan sinyal setelah aktifasi reseptor IgE [28].
Tyrosin kinase limpa (Syk) adalah regulator positif ke sinyal FceRI. Jumlahnya adalah
faktor determinan mayor pelepasan histamin basofil pada basofil normal [29]. Homolog
Src 2 mengandung inositol fosfat, SHIP-1, dan SHIP-2, merupakan regulator negatif dari
perbanyakan sinyal [30]. Pada urtikaria kronik ada perubahan pada paradigma dominasi
regulasi Syk terhadap HR. Tidak seperti basofil normal, kelainan jumlah SHIP-1 dan
SHIP-2 berhubungan dengan pola anti-IgE terstimulasi pelepasan histamin [31, 32].
Basofil yang diaktifasi secara ex vivo dengan konsentrasi optimal dari anti-IgE
poliklonal mengkonfirmasi bahwa degranulasi basofil dengan fenotip berbeda terjadi
pada urtikaria kronik. Sebuah bimodal stratifikasi basofil telah diajukan [32]. Dimana
50% pasien urtikaria kronik menunjukan reduksi signifikan pelepasan histamin basofil
dengan stimulasi dari anti-IgE. Sebagai konsekuensi peningkatan SHIP-2 dan molekul
sejenis adalah mereka tidak akan berespon terhadap anti-IgE. Subjek yang masih tersisa
memiliki basofil yang melepaskan lebih dari 10% isi histamin setelah stimulasi anti-IgE.
Pasien tersebut memberi respon terhadap anti-IgE (CIU-R). Jumlah SHIP-1 pada basofil
tersebut akan menurun.
Pola fenotip basofil fungsional (CIU-R dan CIU-NR) sepertinya bebas dari
keberadaan level autoantibodi [33] dan tetap stabil pada pasien yang memiliki penyakit
menetap. Hal paling menonjol dari fenotip basofil pada urtikaria kronik bisa dilihat pada
table 3 [31-33].
Jumlah dan/atau ekspresi dari protein regulatorik tetap berfungsi normal selama
remisi [33]. Perubahan pada fungsi basofil terbebas dari status autoimun urtikaria. Pada
keadaan autoimunitas tidak ditandai dengan penurunan parallel dari titer antibody.
Sifat protein pemberi sinyal pada basofil dalam hubungannya dengan stratifikasi
terhadap fenotip lain adalah, fungsi abnormal mungkin menjadi kunci patogenesis.
SEL MAST DAN URTIKARIA KRONIK
Sel mast mungkin berperan langsung pada urtikaria kronik (Tabel 4). Faktor yang
mengaktifasi derifat dari sel inflamasi menginfiltrasi bagian sekitar dermal di venula [34]
postkapiler. Sel mast terstimulasi untuk mensekresikan molekul vasoaktif yang
mengaktifasi sel endotelial. Ekspresi molekul adhesi akan terupregulation [35].
Permeabilitas vaskuler akan meningkat, menyebabkan kebocoran ekstravaskuler dari
cairan dan protein yang menyebabkan papul urtikaria.
Sebuah penelitian in vitro dilakukan untuk mengevaluasi aktifitas permeabilitas
disebabkan serum urtikaria kronik. Pola degranulasi sel mast dan peningkatan
permeabilitas selapis endotelial diteliti setalah terpapar dua jenis sel mast berbeda (LAD-
2 dan HMC-1) [36, 37] ke serum urtikaria kronik. Serum urtikaria kronik menunjukan
respon stabil setelah penurunan jumlah IgG. Menegaskan kembali ketidak tergantungan
terhadap aktifasi reseptor IgE sel mast [38]. Disimpulkan bahwa molekul vasoaktif
mungkin dilepaskan dari sel mast tanpa degranulasi [38].
Variasi reseptor permukaan membrane yang diekspresikan pada sel mast secara
selektif dipicu oleh ligan seperti IgG, peptide, derivate microbial, dan fragmen
komplemen yang teraktifasi [39]. Sel mast terangsang dengan mengaktifasi sinyal untuk
mensintesis substansi vasoaktif seperti metabolit lipid, sitokin, dan kemokin [40, 41].
Faktor permeabilitas yang baru terbentuk, seperti TNF alfa, interleukin 6, VEGF, dan
platelet activating faktor [40,41] disekresikan oleh sel mast. Sekresinya terlepas dari
pelepasan mediator yang sudah tersimpan didalam granul seperti histamin, serotonin,
protease, dan proteoglikan [40, 41]. Faktor permeabilitas ini yang memfasilitasi
timbulnya papul urtikaria. Pengamatan ini menjelaskan kurangnya korelasi antara deteksi
autoantibibodi dan degranulasi sel mast, [42] kualitas dan kuantitas dari pelepasan faktor
vasoaktif, peningkatan permeabilitas vaskuler, keparahan kerefrakteran urtikaria pada
urtikaria berat pada tatalaksana standard lini pertama dengan antihistamin, dan respon
terapi pada agen imunosupresif.
URTIKARIA KRONIKKELAINAN REAKSI INFLAMASI DIMEDIASI IMUN
Konsep bahwa urtikaria kronik sebagai kelainan reaksi inflamasi yang dimediasi
sistem imun berkembang dari pengamatan tak disengaja. Pengamatan dilakukan pada
terapi dengan target biologi imunomodulator langsung pada sitokin tertentu atau reseptor
sel. Terapi ini diberikan pada kelainan reaksi inflamasi lain yang telah diperbaiki bersama
urtikaria kronik [43]. Kaskade reaksi inflamasi pada urtikaria kronik mungkin disebabkan
kelainan jaringan kemokin-sitokin. Hal ini menunjuk pada kelainan regulasi sitem imun
sebagai konsekuensi dari imunitas innate yang terganggu pada kelainan tersebut.
Pemahaman tentang kelainan respon regulasi sistem imun didapat melalui investigasi
pada kejadian awal dari imunitas innate. Melalui studi terhadap sel dendrit yang
menghubungkan sel imun innate dan sel imun adaptif [44]. Plasmacytoid dendritic cells
(pDC) mengekspresikan reseptor toll-like (TLR) yang diaktifasi oleh ligan alami dan
sintetik. Mengakibatkan terpicunya respon proinflamasi yang memegang peranan penting
pada patogenesis beberapa kelainan respon inflamasi termasuk urtikaria [45].
Penelitian mengenai kejadian awal dari respon imun melalui aktifasi dari pDC oleh
TLR, dilakukan untuk mengevaluasi kelainan regulasi imun urtikaria kronik [44].
pDC secara tak nyata terhambur diantara infiltrasi seluler pada lesi kutaneus.
Persentasenya pada sel mononuklear darah perifer tidak terganggu dan sama jumlahnya
dengan orang sehat. Penelitian dilakukan terhadap aktifasi pDC pada level normal. Yaitu
melalui ekspresi molekul stimulatorik dan peningkatan fosforilasi STAT 1 pada limfosit
yang tidak terstimulasi. Namun, IFN-alfa yang disekresikan pDC akibat stimulasi dari
CpGA sangat lemah. Hal ini dikaitkan dengan kelainan IRF-7 dan penekanan ekspresi
TLR 9. Mengindikasikan kelemahan fungsi pDC dan kelainan regulasi imun pada
urtikaria kronik [44].
Beberapa hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan downregulation TLR9 pada
pDC setelah stimulasi CpGA. IgE atau anti-FceRI autoantibodi mungkin bersilangan
dengan FceRI pada pDC imatur. Hal ini melemahkan fungsi imun dengan mensupresi
produksi IFN-alfa [46]. Reseptor yang berfungsi sebagai regulator termasuk BDCA-2,
ILT-7, dan NKp44 mengurangi modulasi produksi IFN [47-49]. Pengeluaran histamin ke
sirkulasi yang berasal dari degranulasi sel mast atau basofil sepertinya ikut meregulasi
beberapa tipe sel. Yaitu melalui stimulasi reseptor histamin dan aktifasi pDC oleh respon
CpG terhadap histamin lewat reseptor H2 dengan penghambatan dari produksi IFN-alfa
[50].
Respon sel imun inate yang mengalami kelainan pada urtikaria kronik
mengakibatkan kelemahan fungsi dari pDC untuk mengaktifasi TLR9. Mengganggu
produksi sitokin oleh sel T, terutama IL-17A dan IL-10 [51]. Serta peningkatan level
serum IL-1, IL-4, IL-13, IL-18, TNF-alfa [52, 53], Faktor aktifasi sel B (BAFF) [54], dan
faktor-faktor lain yang terkait proses inflamasi seperti neopterin [55] dan protein c-
reaktif. Penelitian ini mengusulkan bahwa terjadi proses inflamasi yang terus
berlangsung. Menyebabkan terbentuknya lingkungan pro-inflamasi pada urtikaria kronik,
yang bertanggung jawab terhadap kelianan pola sekresi dari kemokin.
Pada urtikaria kronik telah diobservasi tingkat kemokin serum yang secara signifikan
lebih tinggi (C-C dan C-X-C) termasuk CXCL8, CXCL9, dan CXCL10, dan CCL2. Hal
ini tidak memiliki hubungan dengan parameter klinis atau hasil dari pelepasan histamin
basofil (BHR) dan/atau ASST esai [56]. Kemotaktik sitokin proinflamasi berinteraksi
dengan reseptor kemokin pada permukaan sel inflamasi. Hal ini memicu kemotaksis dan
migrasi transdendotel dari leukosit ke bagian yang mengalami inflamasi.
CXCL8/IL-8 adalah kemotaksis untuk neutrophil, T-limfosit dan monosit [56].
CXCL9/Mig adalah monokin yang diinduksi oleh interferon- (IFN-) gamma induced
protein 1 (IP-10). Merupakan tipe 1 C-X-C kemokin dan memperlihatkan kemotaksis
kuat untuk limfosit T-helper tipe 1 (Th1) [57, 58].
C-C ligan 2 (CCL2) (monosit kemotaktan protein 1), prototype dari C-C kemokin,
disekresikan terutama oleh monosit, dengan bukti peningkatan ekspresi mRNA pada sel
CD14+ pada urtikaria kronik. CCL2 mengaktifasi berbagai sel termasuk monosit,
makrofag, limfosit, eosinophil, dan basofil. Merupakan sebuah faktor krusial untuk
perkembangan respon Th2 [59].
Upregulation dari kemokin pada urtikaria kronik berkontribusi pada pertahanan
status aktif sel inflamasi. Basofil pada urtikaria kronik memperlihatkan upregulation
aktifasi atau marker degranulasi CD203c dan CD63. Basofil juga memperlihatkan respon
tinggi terhadap stimulasi IL-3. Basofil yang teraktifasi sepertinya terpicu CCL2, yang
merupakan faktor aktifasi basofil poten [60].
CCL2 menginduksi degranulasi sel mast dan memiliki aktifitas pelepasan histamin
basofil yang kuat. Telah didokumentasikan bahwa gabungan kemokin yang bersirkulasi
CCL2, CCL5, CXCL8 memainkan peran penting pada aktifasi sel mast dan pembentukan
histamin serta serotonin [61].
Dapat disimpulkan bahwa disregulasi imunologi menyebabkan terganggunya respon
imun inate. Hal ini mengganggu jalur sitokin-kemokin, menyebabkan terpicunya status
inflamasi yang berkontribusi terhadap patogenesis urtikaria kronik.
URTIKARIA KRONIK & SISTEM KOAGULASI
Menurut sebuah penelitian tentang plasma autolog, bahan antikoagulasi dengan
substansi selain heparin membentuk respon positif autoreaktif. Hal ini terlihat pada
sebagian besar pasien dibanding serum autolog pada skin test (ASST) [62, 63]. Karena
serum dan plasma tidak berbeda dalam hal isi autoantibodi, penelitian ini ingin
menunjukan kemungkinan peran faktor pembekuan pada reaksi urtikaria. Plasma
mengandung lebih banyak faktor koagulasi dan komplemen. Konsumsi faktor tersebut
dalam serum selama pembentukan bekuan darah bertanggung jawab dalam reaktifitas
yang bertentangan dari plasma autolog dan serum. Dapat disimpulkan bahwa kaskade
pembekuan mungkin terlibat dalam patogenesis urtikaria [64]. Hal ini memberikan
penjelasan mengenai efek terapi yang dilihat pada beberapa pasien dengan obat aktif pada
sistem koagulasi [65, 66].
Jalur koagulasi ekstrinsik teraktifasi dan thrombin terbentuk dari protrombin dengan
mengaktifasi faktor X, faktor V serta ion kalsium [64]. Penelitian in vitro telah
mengkonfirmasi bahwa plasma pada pasien urtikaria memiliki level protombin yang lebih
tinggi F1+2. Polipeptida dari 34kDa yang dilepaskan ke sirkulasi selama aktifasi
protrombin menjadi thrombin oleh faktor X [67]. Eksaserbasi urtikaria berat dihubungkan
dengan aktifasi kuat dari kaskade pembekuan. Kaskade berakhir dengan pembentukan
fibrin dan fibrinolysis yang terlihat melalui peningkatan level plasma D-dimer.
Thrombin adalah protease serine yang meningkatkan permeabilitas vaskuler,
mengaktifasi dan mendegranulasi sel mast, serta menginduksi pembentukan anafilatoksin
C5a. Pendapat lain juga mengusulkan teori aktifasi jalur ekstrinsik dari pembekuan.
Jalur mekansime patogenesis autoimun seroimunologi, nama, inflamasi, defek
seluler, koagulasi, dan sistem komplemen, saling terhubung. Jalur-jalur tersebut bukan
jalur yang terpisah satu dan yang lain. Aksi tersebut sinergis atau berurutan baik sebagai
mekanisme patogenesis yang berdiri sendiri atau saling terhubung. Jalur itu mengaktifasi
sel mast dengan pelepasan mediator dan/atau sekresi dari molekul vasoaktif yang baru
terbentuk. Dengan hasil akhir berupa gambaran klinis dari urtikaria [68, 69] (Figur 1).
Berbagai mediator sel mast, yang baru terbentuk atau yang sudah bekerja, berkaitan
dengan urtikaria kronik, dirangkum dalam table 4.
Histamin adalah mediator vasoaktif paling penting. Histamin yang tergabung,
histamin 1 dan histamin 2 respon reseptor dibutuhkan untuk ekspresi penuh vasoaktifitas
histamine. Termasuk aktivitas vasodilatasi langsung, perubahan pada permeabilitas
pembuluh darah, ekstravasasi plasma, dan stimulasi saraf sensori bagian dermal [69-71].
Peranannya dalam terjadinya patogenesis papul urtikaria masih kurang pasti. Mediator sel
mast nonhistamin mungkin meregulasi rekrutmen sel. Leukotriene, sitokin, dan kemokin,
meningkatkan regulasi ekspresi molekul adhesi pada sel endotel. Mereka juga membantu
rolling, adhesi leukosit, kemotaksis, migrasi transendotel dan masuknya sel dalam kulit
yang bengkak. Sel yang menginfiltrasi ini akan menyebabkan pengeluaran sitokin
proinflamasi dan kemokin yang bertugas merekrut dan mengaktifasi lebih banyak sel
infalamsi. Hal ini akan mempertahankan, meningkatkan, dan memperpanjang respon dari
pejamu. Sinyal untuk penyembuhan urtikaria tidak bisa dipastikan secara benar. Hal ini
melibatkan downregulation dari reseptor histamin, pembentukan kembali integritas sel
endotel, apoptosis sel inflamasi, pembersihan debris seluler oleh makrofag, dan drainase
cairan edem ke sirkulasi vaskuler [22].
Disimpulkan bahwa patogenesis urtikaria kronik masih membingungkan. Mekanisme
patogenesis yang mungkin bisa menjelasankan secara rasional semua kasus belum
ditemukan. Pengertian yang tidak menyeluruh menghambat pencarian obat dengan
toksisitas rendah dan efikasi baik. Obat yang mungkin ditawarkan sebagai alternative
untuk urtikaria yang tidak remiten dan tidak berespon terhadap tatalaksana lini pertama.
Pengertian yang lebih mendalam pada kompleksitas patogenesis bisa menyiapkan jalan
untuk terapi yang lebih spesifik pada mekanisme patogenesis dari penyakit. Serta
menyediakan motivasi untuk mengembangkan terapi imunomodulator dan biological
yang baik.
Tipe Sel Sel Urtikaria Kulit Yang Tidak
Terkena
Subjek Kontrol
Sehat
Sel Mast Jumlah Normal Jumlah Normal Jumlah Normal
Limfosit ↑ Jumlah T-Limfosit Lebih banyak
jumlah T-limfosit
dibandingkan kulit
yang terkena
Jumlah T-limfosit
rendah
Neutrofil Banyak infiltrasi sel
pada 60 menit
perkembangan
urtikaria
Secara signifikan
lebih sedikit
disbanding pada
kulit yang terkena
Tidak Signifikan
Eosinofil Secara signifikan
lebih tinggi
Tidak Signifikan Tidak Signifikan
Basofil Jumlah signifikan,
terutama 30 menit
perkembangan
urtikaria
Lebih sedikit namun
masih terhitung
Tidak Signifikan
Bengkak Urtikaria Kulit Yang tidak
terlibat
Subjek control
normal
Sitokin
Interferon gamma Ekspresi Tinggi Secara Signifikan
Ekspresi Rendah
Tidak Diekspresikan
Interleukin 4 Ekspresi Tinggi Secara Signifikan
Ekspresi Rendah
Tidak Diekspresikan
Interleukin 5 Ekspresi Tinggi Secara Signifikan
Ekspresi Rendah
Tidak Diekspresikan
Interleukin 8 Ekspresi Sedang Ekspresi Sedang Tidak Diekspresikan
Kemokin
CXCR3/CCR3 Ekspresi sama
dengan kulit subjek
kontrol
Ekspresi lebih tinggi Ekspresi sama
denga kulit yang
terkena lesi
Molekul Adhesi
Molekul Adhesi Ekspresi Tinggi Ekspresi Intens Ekspresi signifikan
Seluler
Sifat Urtikaria Kronik
(autoimun/nonautoimun)
CIU-R CIU-NR
Stimulasi anti-IgE/
berikatan; pelepasan
histamin pada penyakit aktif
10% dari isi sel < 10% isi sel
Protein regulator Paradigma Shift Paradigma Shift
Kinase Pelepasan histamin tidak
ditentukan dengan jumlah
kinase
Pelepasan histamin tidak
ditentukan dengan jumlah
kinase
Fostatase Jumlah Serum tyrosin
kinase normal
Regulasi pelepasan
histamin, penurunan jumlah
SHIP-1
Jumlah Serum tyrosin
kinase normal
Regulasi pelepasan
histamin, peningkatan
jumlah SHIP-2
Sensitivitas terhadap
stimulasi anti-IgE pada saat
remisi
Penajaman sensitivitas Sensitivitas dikembalikan
ke level subjek normal sehat
Madiator Efek pada Urtikaria Kronik
Mediator yang terlibat
Histamin Vasoaktif langsung yang poten dan efek
spasmogenik otot polos. Mediator penting
pada perubahan vaskuler
Mediator Yang Baru Terbentuk
Mediator Lipid
LTC4 Aksi sama seperti histamin
LTB4 Vasodilator potensial, permeabilitas
vaskuler, dan kontraksi otot polos
PGD2 Kemotaktik untuk Neutrofil dan eosinophil
Sitokin & Kemokin
TNF-Alfa Baru terbentuk juga bisa bekerja
Meningkatkan ekspresi molekul adhesi
pada sel endotel
Menyebabkan rolling dan adhesi leukosit
Kemotaktik untuk Neutrofil
Sitokin Proinflamasi
Interleukin 1 Aktifator Limfosit
Aktifasi Se Mast setelah dilepaskan dari
leukosit
Interleukin 4 Kemotaktik untuk neutrophil
Merekrut Eosinofil
Interleukin 5 Merekrut Eosinofil
Interleukin 6 Sitokin Proinflamasi
Aktifasi Limfosit
Interleukin 8/CXCL2 Anggota kemokin CXC
Kemoatraktant neutrophil yang poten
Terlibat dalam degranulasi neutrophil,
adhesi ke sel endotel, dan gangguan
respiratori
MCP-1/CCL2 Kemotaktan untuk eosinofil
MIP-1 Alfa/CCL3 Kemotaktan untuk eosinophil
Interleukin 16 Kemotaktan untuk Limfosit-T
RANTES/CCL5 Kemotaktan untuk eosinophil