t1_352007703_bab ii.pdf

13
8 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Masyarakat dan Dinamikanya Dalam buku The Division of Labor In Society (1964: 49-51) Durkheim menyebutkan dua bentuk mayarakat yaitu; masyarakat tradisional (masyarakat sederhana) dan masyarakat modern (masyarakat majemuk). Faktor yang menjadikan keduanya berbeda adalah “fungsi dari pembagian kerja.” Fungsi pembagian kerja dalam masyarakat tradisional bersifat mekanik, sedangkan fungsi pembagian kerja dalam masyarakat modern bersifat organik. Fungsi pembagian kerja dalam masyarakat tradisional bersifat mekanik, karena kenyataan yang disebabkan faktor individu yang berhubungan mempunyai banyak kesamaan diantara sesamanya. Mereka hidup dengan usaha mencukupi kebutuhan sendiri dan dengan pekerjaan yang sama. Sedangkan pembagian kerja dalam masyarakat modern bersifat organik. Spesialisasi yang berbeda- beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial itu sangat kompleks. Kenyataan ini mengakibatkan individu dalam masyarakat harus mengandalkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan, misalnya, kebutuhan akan bahan makanan, kebutuhan akan pakaian, dan kebutuhan hidup lainnya, Fakta sosial ini menyangkut bagian luar diri individu dan mengendalikan individu dalam masyarakat. Fakta sosial terwujud dari tindakan-tindakan individu untuk membentuk masyarakat, namun tidak terikat kepada tindakan-tindakan individu.

Upload: nguyennhi

Post on 17-Dec-2016

219 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: T1_352007703_BAB II.pdf

8

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1. Masyarakat dan Dinamikanya

Dalam buku The Division of Labor In Society (1964: 49-51) Durkheim

menyebutkan dua bentuk mayarakat yaitu; masyarakat tradisional (masyarakat

sederhana) dan masyarakat modern (masyarakat majemuk). Faktor yang menjadikan

keduanya berbeda adalah “fungsi dari pembagian kerja.” Fungsi pembagian kerja dalam

masyarakat tradisional bersifat mekanik, sedangkan fungsi pembagian kerja dalam

masyarakat modern bersifat organik. Fungsi pembagian kerja dalam masyarakat

tradisional bersifat mekanik, karena kenyataan yang disebabkan faktor individu yang

berhubungan mempunyai banyak kesamaan diantara sesamanya. Mereka hidup dengan

usaha mencukupi kebutuhan sendiri dan dengan pekerjaan yang sama. Sedangkan

pembagian kerja dalam masyarakat modern bersifat organik. Spesialisasi yang berbeda-

beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial itu sangat kompleks.

Kenyataan ini mengakibatkan individu dalam masyarakat harus mengandalkan

orang lain untuk memenuhi kebutuhan, misalnya, kebutuhan akan bahan makanan,

kebutuhan akan pakaian, dan kebutuhan hidup lainnya, Fakta sosial ini menyangkut

bagian luar diri individu dan mengendalikan individu dalam masyarakat. Fakta sosial

terwujud dari tindakan-tindakan individu untuk membentuk masyarakat, namun tidak

terikat kepada tindakan-tindakan individu.

Page 2: T1_352007703_BAB II.pdf

9

Fakta sosial itu, turut mengendalikan individu dalam membentuk masyarakat

melalui eksistensinya masing-masing. Durkheim menamai suatu masyarakat ini, realitas

sui generis yakni masyarakat melalui eksistensinya sendiri, tetapi, satu fakta sosial

hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial yang lain. Fakta-fakta sosial itu pula,

yang menghadapkan pada dua kesadaran dalam masing-masing masyarakat. Dari fakta-

fakta sosial ini lahir solidaritas-solidaritas, yang menghubungkan individu dengan

masyarakat, melalui eksistensi masing-masing. Jelasnya Durkheim mengatakan:

“There are in us two consciences: one contains states which are personal to

each of us and which characterize us, while the states which comprehend the

others are common to all society. The first represent only our individual

personality and constitute it, the second represent the collective type and

consequently society without which it would not exist. Although distinct, these

two consciences are linked one to the other, since in sum, they are only

one,having one and the same organic substratum. They are thus solidary.

From this results a solidarity sui generis, which, bornof resemblances, directly

links the individual with society” (1964:106).

Pembagian perkembangan masyarakat yang dikotomis ini, oleh Sztompka

(2005:115-131), dikatakan berdasarkan perbedaan kualitas ikatan sosial dalam struktur

sosial masyarakat, yaitu tahap mekanis karena adanya ikatan solidaritas mekanis dalam

masyarakat. Solidaritas mekanis berpaut dalam kesamaan fungsi dan tugas yang tidak

dibeda-bedakan, sedangkan solidaritas organis berpaut dalam peran dan pekerjaan yang

sangat beragam, kerjasama, saling melengkapi dan saling memerlukan. Konsepsi

tentang solidaritas organis inilah yang dikenal dengan masyarakat modern atau

masyarakat majemuk.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, masyarakat tradisional dengan

solidaritas mekanik, maupun masyarakat modern dengan solidaritas organik,

Page 3: T1_352007703_BAB II.pdf

10

mempunyai eksistensi masing-masing yang berhubungan dengan fakta sosial yang

terjadi dalam masyarakat-masyarakat tersebut, yaitu menyangkut bagian luar diri

individu dan mengendalikan individu dalam masyarakat-masyarakat tersebut. Fakta

sosial itu terwujud dari tindakan-tindakan individu untuk membentuk masyarakat, yang

turut mengendalikan individu dalam membentuk masyarakat-masyarakat itu melalui

eksistensinya masing-masing.

Fakta sosial itu pula yang mengikatkan adanya kesadaran kolektif masyarakat

terhadap pemberian hukuman atau sanksi dari suatu keadaan yang menyimpang dari apa

yang telah diputuskan dan yang ditentukan oleh masyarakat. Masyarakat tradisional

dengan bentuk solidaritas mekanik memiliki aturan-aturan kolektif (adat istiadat atau

norma adat) yang mengatur bagaimana mereka berperilaku dengan hukum represif.

Masyarakat modern dengan bentuk solidaritas organik memiliki peraturan-peraturan

dan sanksi-sanksi restitutif (restitutive sanctions) maka, dalam masyarakat tradisional

maupun masyarakat modern, kelangsungan hidup perorangan maupun kelangsungan

hidup masyarakat dalam kesadaran kolektif itu tergantung pada fakta sosial, yang

berhubungan langsung dengan peraturan-peraturan dan sanksi-sanksi tersebut, dimana

dengan penerapan peraturan-peraturan dan sanksi-sanksi tersebut terwujud solidaritas-

solidaritas sosial, karena masing-masing konsisten dengan apa yang telah diputuskan

dan yang ditentukan oleh masyarakat.

Kemampuan dalam menaati segala macam norma baik norma adat maupun

norma hukum (hukum positif) adalah bertujuan untuk menghindari anomi dalam

masyarakat guna terwujudnya kehidupan masyarakat yang harmonis,karena itu, untuk

Page 4: T1_352007703_BAB II.pdf

11

mencapai masyarakat yang toleran, damai dan harmonis itu, solidaritas mekanis saja

dianggap tidak cukup (walau Durkheim sangat menekankan perbedaan yang dikotomis

ini), sebab dalam faktanya kedua bentuk solidaritas (mekanis dan organis) itu saling

melengkapi bahkan saling mengandaikan. Dalam konteks seperti ini, maka sinergisitas

atau kerjasama antara pemerintah dan masyarakat (dalam makna civil society) sangat

diperlukan demi mewujudkan kehidupan masyakat yang damai, toleran dan harmoni itu.

2.2. Birokrasi Pemerintah Daerah: Melayani atau Dilayani?

Reformasi kehidupan politik dan pemerintahan ditingkat lokal yang ditandai

dengan pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan UU No. 32

Tahun 2004, membawa perubahan signifikan bagi kehidupan politik dan pemerintahan

ditingkat lokal, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota bahkan desa. Kondisi

faktual ini menunjukan pergerakan ke arah keinginan untuk mewujudkan

penyelenggaraan politik dan pemerintahan daerah yang lebih demokratis, terbuka dan

akuntabel. Indikasi yang sangat kuat menandai arah pergerakan itu, adalah selain

adanya upaya perubahan struktur dan mekanisme pemerintahan daerah sesuai amanat

UU di atas, juga bergeliatnya masyarakat untuk turut serta didalam proses

penyelenggaraan politik dan pemerintahan, (pengambilan keputusan yang partisipatif)

secara bebas dan bertanggungjawab.

Kondisi ini sebenarnya berupaya dalam rangka perubahan perspektif tentang

birokrasi pemerintah yang selama ini selalu ingin minta dilayani dan kurang melayani.

Namun demikian upaya tersebut saat ini belum dapat menjawab secara komperhensif

terwujudnya kondisi ideal yang diharapkan bersama. Perubahan struktur dan

Page 5: T1_352007703_BAB II.pdf

12

mekanisme kerja birokrasi, tanpa perubahan sikap dan perilaku aparatur birokrasi ke

arah yang profesional adalah sama saja dengan mengambil satu langka maju tetapi dua

langka mundur.

Dalam tata hubungan pemerintahan, terdapat tiga fungsi utama pemerintah yang

bisa diwujudkan dalam kelembagaan pemerintah daerah. Ketiga fungsi dasar itu adalah

fungsi pengaturan, pelayanan publik dan pemberdayaan, oleh karena itu eksistensi

birokrasi sebagai aparatur pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan publik yang

baik (prima), terutama yang berkaitan dengan beberapa pelayanan dasar seperti

pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, pelayanan sosial dan ekonomi. Birokrasi

sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat mesti menempatkan masyarakat warga

sebagai komunitas yang dilayani, bukan sebaliknya.

Pola perilaku (pattern of behavior) dan budaya birokrasi yang dibangun di atas

sebuah kekuatan rezim otoriter, sesungguhnya telah lama berada dan hidup di atas dasar

atau fundamen yang amat rapuh. Patologi birokrasi yang oleh banyak orang disebut

sebagai “bertele-tele”, minta dilayani dari pada melayani, tertutup dan arogan, dengan

ciri utama ABS (asal bapak senang) adalah bagian dari kerapuhan institusi negara.

Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai dan

regulasi yang berorientasi kolonial tersebut telah menyebabkan gagalnya upaya untuk

memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat (Prasojo, 2006).

Mifta Thoha (2004) bahkan menganalogikan birokrasi pemerintahan sebagai

officialdom atau kerajaan pejabat yang seringkali jauh dari rakyatnya. Suatu kerajaan

yang raja-rajanya adalah para pejabat yang mempunyai yuridiksi tugas dan

Page 6: T1_352007703_BAB II.pdf

13

tanggungjawab resmi (official-duties), jelas dan pasti. Mereka bekerja dalam tatanan

dan pola hirarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaanya,

memperoleh gaji berdasarkan keahlian dan kompetensinya serta proses komunikasi

didasarkan pada dokumen tertulis (the files). Semua jabatan itu lengkap dengan fasilitas

yang mencerminkan kekuasaan tersebut. Di luar hirarki kerajaan pejabat dan jabatan itu,

terdampar rakyat yang powerless di hadapan pejabat birokrasi tersebut. Walaupun

demikian, beberapa kasus membuktikan bahwa dalam kurun waktu tertentu pemerintah

(Negara) terlihat lemah (weak state), dan rakyak menjadi sangat kuat (strong society)

(Suwondo, 2005: 3-4; 8-9)

Buruknya kinerja pelayanan publik tersebut, adalah hasil dari kompleksitas

permasalahan yang ada dalam tubuh birokrasi seperti tidak adanya sistem insentif,

buruknya tingkat diskresi atau pengambilan inisiatif yang ditandai dengan tingkat

ketergantungan yang tinggi pada aturan formal dan petunjuk pimpinan dalam

menjalankan tugas pelayanan, selain itu budaya paternalisme yang tinggi menyebabkan

aparat menempatkan pimpinan sebagai prioritas utama dan bukan kepentingan

masyarakat.

Tentu buruknya pelayanan publik semacam ini tidak hanya akibat kendala

internal baik teknis maupun strategis dari birokrasi sendiri, tetapi juga sebagai akibat

dari akumulasi persoalan-persoalan yang lebih luas yang melibatkan dua pihak, yaitu,

internal birokrasi sebagai pelayan, maupun masyarakat warga sebagai yang dilayani,

seperti rendahnya kesadaran terutama dalam memenuhi persyaratan administratif,

maupun perilaku rakyat yang masih belum berubah dari kebiasaan-kebiasaan lama yang

Page 7: T1_352007703_BAB II.pdf

14

suka memberi uang ataupun memanfaatkan saluran-saluran pribadi dan kroni dalam

memperlancar usahanya. Sadar maupun tidak, baik birokrasi sebagai pelayan dan warga

sebagai yang dilayani, masing-masing menyumbang secara signifikan atas buruknya

wajah pelayanan publik di negeri ini.

2.3. Good Governance Dalam Layanan Publik

Salah satu segi penting dari demokratisasi pemerintahan daerah adalah upaya

mewujudkan pelayanan publik yang responsiv, transparan dan akuntabel, yang

melibatkan peran serta masyarakat (public) dalam setiap tahapan, baik perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan maupun evaluasinya. Peningkatan peran serta masyarakat

dalam rangka menyelenggarakan pelayanan umum atau pelayanan public sejalan

dengan pandangan noe-ortodoksi yang antara lain menekankan peran serta masyarakat

atau kemitraan pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Pandangan seperti itu saat ini lebih populer dengan konsep good governance (tata-

kelola pemerintahan yang baik), atau dengan kata lain, Negara harus memperluas peran

ruang pulik (Giddens, 1999:83).

Kata governance digunakan karena institusi pemerintah (government) tidak lagi

memadai jika diperlakukan sebagai satu-satunya institusi yang menjalankan fungsi

governing. Government adalah fenomena abad 20 ketika negara memegang hegemoni

kekuasaan atas rakyat. Saat ini telah terjadi perubahan yang sangat fundamental, terkait

paragidma penyelenggaraan pemerintahan negara. Government hanya sebagai salah satu

dari elemen yang ada selain sektor swasta dan komunitas. Bahkan Anthony Giddens

(1999) mengkritik keras pemikiran David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka

Page 8: T1_352007703_BAB II.pdf

15

“Reinventing Government (1992), akibat mengidentikan pemerintah (negara) dengan

pasar, yang “mengusulkan” pemerintah mengadopsi solusi berdasarkan pasar. Bahkan

karya mereka sangat mempengaruhi kebijakan-kebijakan Clinton di awal 1990–an. Bagi

Giddens pemerintah tidak harus menjadi pasar, namun perlu memperluas ruang publik

agar pasar bisa hidup dan menjadi economic society.

Pergeseran paradigma government ke governance mulai dipopulerkan oleh Bank

Dunia sejak tahun 1989, dalam laporannya yang berjudul “Sub-Saharan Africa : from

Crisis to Sustainable Growth, defenisi yang diberikan bagi governance adalah “exercise

of political power to manage nation”. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa

pemerintah sebagai aktor negara merupakan penyebab utama kegagalan pembangunan

di Negara Sub-Sahara Afrika karena negara gagal membangun sinergi dengan economic

society dan civil society. Akibatnya negara tidak mampu mempertahankan legitimasi

dan konsensus yang merupakan prasyarat bagi pembangunan berkelanjutan dan prinsip

dasar bagi penerapan good governance (Pratikno, dkk, 2005).

Dari kasus Afrika tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk membangun

pemerintahan yang baik maka peran negara harus dikurangi (negara berfungsi hanya

sebagai fasilitator, bukan lagi bersifat regulatif) dan untuk itu diperlukan senergi 3 (tiga)

aktor yakni Negara, economic society dan civil society. Perumusan governance akhirnya

ditekankan pada pelibatan aktor-aktor non-negara (Pratikno, dkk, 2005). Governance

diartikan sebagai mekanisme, praktek dan tata cara pemerintah dan warga mengatur

sumberdaya serta memecahkan masalah-masalah publik. Dalam konsep ini pemerintah

hanya menjadi salah satu aktor, dan tidak selalu menjadi aktor paling menentukan.

Page 9: T1_352007703_BAB II.pdf

16

Implikasinya, peran pemerintah sebagai pembangun maupun penyedia jasa pelayanan

dan infra struktur akan bergeser menjadi badan pendorong terciptanya lingkungan yang

mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas dan sektor swasta untuk ikut aktif

memberdayakan masyarakat. Governance menuntut redefinisi peran negara, dan itu

berarti adanya redefinisi pula pada peran warga antara lain untuk memonitor

akuntabilitas pemerintah itu sendiri (Putra, 2003).

Dilihat dari sudut penyelenggaraan pemerintahan yang baik Uphoff (Suwondo,

2005: 114-115) mengemukakan tiga kaidah yang harus secara setia dijalani yaitu : 1)

Accountabilitas (pertanggungjawaban); 2) Fairnes (keadilan); 3) Tranparancy atau

keterbukaan. Selain itu, Suwondo (2003) juga mengemukakan empat kaidah yang

harus secara setia dilaksanakan yakni agar terciptanya pemerintahan yang baik,

diantaranya: 1) Responsibility (bertanggungjawab); 2) Independency (kemandirian); 3)

Freedom (kebebasan) dan 4) Efisiensi dalam alokasi sumber daya. Sedangkan UNDP

juga metetapkan beberapa karakteristik dasar dalam penyelenggaraan good governance

yaitu, partisipatif, transparansi dan akuntabilitas, efektif dan berkeadilan, supremasi

hukum, orientasi konsensus, akomodatif terhadap suara penduduk miskin dan rentan

dalam proses pembuatan keputusan (Dwipayana dan Eko, 2003).

Penerapan otonomi daerah sebagai implementasi azas desentralisasi di tingkat

lokal, memberikan peluang yang cukup besar bagi upaya perwujudan prinsip-prinsip

good governance. Suwondo (2005) yang mengutip pandangan Gustavo, mengatakan

bahwa desentralisasi mengandung dua makna yaitu: pelimpahan wewenang sering

disebut sebagai “delegation” yang berarti pelimpahan wewenang atau penyerahan

Page 10: T1_352007703_BAB II.pdf

17

tanggungjawab kepada bawahan untuk mengambil keputusan tetapi pengawasannya

masih berada di tangan pemerintah pusat. Makna yang kedua adalah “devolution” atau

pelimpahan kekuasaan yang berarti adanya pelimpahan tanggungjawab penuh kepada

bahwahan atau daerah. Berdasarkan pemahaman ini maka makna desentralisasi

(otonomi daerah) seharusnya merupakan penyerahan tanggungjawab penuh kepada

daerah yang akan mengelola pemerintahannya sesuai dengan aspirasi rakyatnya yang

disampaikan dan dilaksanakan secara demokratis dan baik. Oleh karena itu, birokrasi

sebagai aparatur negara atau pemerintah dihadapkan pada sebuah tantangan yang

dilematis, disatu sisi dituntut memperbaiki kinerja internalnya dan membatasi

dominasinya, tetapi disisi lain dituntut pula memberikan pelayanan profesional (prima)

kepada masyarakat.

Sementara itu, Pamerdi Giri Wiloso (2011) mengemukakan bahwa

penyelenggaraan pelayanan publik tidak dapat dilepaskan dengan konteks tata kelola

pemerintahan, yang berlaku secara gencar pada era desentralisasi atau otonomi daerah

yang berpusat pada aras kabupaten/kota. Baginya, secara normatif penyelenggaraan

seharusnya selalu berorientasi pada peningkatan kesejahtraan masyarakat. Oleh karena

itu, penyelenggaraannya harus selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang

tumbuh dalam masyarakat; meningkatkan pelayanan public dan daya saing daerah

sesuai dengan potensi, peluang investasi, kekhasan, dan unggulan daerah yang dikelola

secara demokratis, transparan dan akuntabel.

Hal menarik dari kajian Wiloso (2011) ini adalah konsepsi teoritiknya yang

merujuk kepada pemikiran Diane Davis tentang power of distance (kekuatan jarak).

Page 11: T1_352007703_BAB II.pdf

18

Konsepsi teoritik ini memiliki empat konsep turunan yang dideskripsikan secara apik

oleh penulis, diantaranya: 1). Geographic source of distance, merupakan jarak yang

berkaitan dengan ruang fisik yang membentang antara lokasi pelayanan pemerintah dan

lokasi tempat tinggal warga masyarakat selaku penerima pelayanan; 2) institutional

source of distance merupakan jarak yang berkaitan dengan pelembagaan lembaga-

lembaga publik; 3). Social class positional source of distance merupakan jarak yang

berkaitan dengan perbedaan status sosial (-ekonomi) antara aparat birokrasi tata

pemerintahan yang menyediakan pelayanan public dengan warga masyarakat penerima

pelayanan public; dan 4). Cultural source of distance merupakan jarak yang berkaitan

dengan perbedaan budaya; yaitu budaya dalam pengertian pola piker (mindset) antara

aparat birokrasi tata pemerintahan selalu penyedia pelayanan public dengan warga

masyarakat selaku penerima pelayanan publik.

Konsepsi teoritik yang dikemukakan Pamerdi Giri Wiloso yang bersandar pada

pemikiran Diane Davis ini, bagi saya (peneliti) memiliki makna yang bisa disepadankan

dengan konsep Mifta Thoha (2004) tentang officialdom yang telah dikemukakan di atas.

Dalam kerangka seperti ini, maka pertanyaannya apa yang perlu dilakukan pemerintah

(negara) untuk meminimalisir kecurigaan masyarakat kepadanya? Salah satu yang perlu

dilakukan adalah reformasi birokrasi pemerintahan menjadi “obat mujarab” dalam

mengembalikan kepercayaan masyarakat itu.

Reformasi birokrasi inilah yang salah satunya dilakukan oleh Kepolisian

Republik Indonesia (RI) dengan mencoba mendekatkan diri dan menjadi teman

masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial kemasyarakat dengan

Page 12: T1_352007703_BAB II.pdf

19

pendekatan kekeluargaan. Reformasi birokrasi kepolisian itu dimaksudkan untuk

mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap istitusi kepolisian yang selama ini

dianggap sebagai institusi yang sangar dan menakutkan bagi setiap anggota masyarakat

yang melakukan kesalahan.

Salah satu bentuk reformasi birokrasi kepolisian itu adalah dengan membentuk

forum-forum yang dapat mendekatkan diri dengan masyarakat sebagai penerima

pelayanan. Salah satu forum yang dibentuk itulah yang saat ini menjadi focus kajian

peneliti, yakni, Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) yang ada di desa

Kaliurang, Kec. Srumbun, Kab. Magelang. Dengan kajian teoritik yang telah diuraikan

di atas, maka kajian ini akan difokuskan para peran dan implementasi program FKPM

serta tanggapan masyarakat desa Kaliurang terhadapnya.

Page 13: T1_352007703_BAB II.pdf

20

2.4. Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan urain di atas, maka kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan

sebagai berikut:

Gambar 1

Kerangka Pikir Penelitian

Reformasi

Birokrasi Polri

PELAYANAN

PUBLIK

POLMAS

Fungsi dan

Peran FKPM Masalah Sosial

(Kamtibmas)

Teratasinya masalah

kamtibmas di desa

Kaliurang

Power of

Distance