surat keputusan bersama menteri: kajian atas …

20
SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS KEBERADAAN DAN KEDUDUKANNYA DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Guretno Sekar Ningsih dan Sony Maulana Sikumbang Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Abstrak Penelitian ini membahas dua masalah yang terkait dengan Surat Keputusan Bersama Menteri, yaitu keberadaan Surat Keputusan Bersama Menteri sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan serta Kedudukannya dalam Peraturan Perundang-undangan. Pembahasan mengenai Keberadaan dan Kedudukannya dilakukan untuk melihat sejauhmana Surat Keputusan Bersama Menteri memiliki pengaruh dan kekuatan hukum mengikat di masyarakat. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang dilakukan melalui pendekatan yuridis yaitu melalui pengkajian literatur-literatur, peraturan perundang-undangan serta perkembangan sejarah didalamnya disertai dengan beberapa contoh Surat Keputusan Bersama Menteri sesuai dengan perkembangan masanya. Dalam perkembangan sistem pemerintahan yang juga mempengaruhi perkembangan sistem peraturan perundang-undangan, keberadaan Surat Keputusan Bersama Menteri juga mengalami perbedaan terutama jika dilihat dari aspek pelaksanaan suatu Surat Keputusan Bersama Menteri. Aspek lainnya yaitu mengenai kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri melalui penafsiran yang berubah setiap pergantian peraturan perundang-undangan. Melihat dari perkembangan sistem peraturan perundang-undangan, keberadaan dan kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri dapat dilihat dari dimana kewenangan pembentukannya didapatkan dan penafsiran undang-undang terhadap Surat Keputusan Bersama Menteri. Kata kunci: Peraturan Bersama Menteri, Peraturan Perundang-Undangan, Surat Keputusan Bersama Menteri The research mainly discusses about two problems related to Joint Ministerial Decree. First, about existence of Joint Ministerial Decree in accordance to legislation progress. Second, about Joint Ministerial Decree position in the legislations. Discussion about its existence and position are purpose to reviews Joint Ministerial Decree which always related two problems, the force of law and how it will be enforced. This research is normative research use normative juridical approach through reviews of literature, legislations, and its history progress with number of examples of Joint Ministerial Decree inside. In governmental system progress which also affect to legislation system progress, existence of Joint Ministerial Decree has difference progress as well, especially from implementation aspect of Joint Ministerial Decree. Another aspect, about position of Joint Ministerial Decree through interpretation which always changed fits on legislations changes. Through legislations progress, existence and position of Joint Ministerial Decree can be reviews from, forming’s authority and interpretation of legislations against Joint Ministerial Decree. Keywords: Joint Ministerial Decree, Joint Ministerial Regulation, Legislation Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Upload: others

Post on 21-Nov-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS

KEBERADAAN DAN KEDUDUKANNYA DALAM SISTEM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

Guretno Sekar Ningsih dan Sony Maulana Sikumbang

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Abstrak

Penelitian ini membahas dua masalah yang terkait dengan Surat Keputusan Bersama

Menteri, yaitu keberadaan Surat Keputusan Bersama Menteri sesuai dengan perkembangan

peraturan perundang-undangan serta Kedudukannya dalam Peraturan Perundang-undangan.

Pembahasan mengenai Keberadaan dan Kedudukannya dilakukan untuk melihat sejauhmana

Surat Keputusan Bersama Menteri memiliki pengaruh dan kekuatan hukum mengikat di

masyarakat. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang dilakukan melalui pendekatan

yuridis yaitu melalui pengkajian literatur-literatur, peraturan perundang-undangan serta

perkembangan sejarah didalamnya disertai dengan beberapa contoh Surat Keputusan Bersama

Menteri sesuai dengan perkembangan masanya. Dalam perkembangan sistem pemerintahan

yang juga mempengaruhi perkembangan sistem peraturan perundang-undangan, keberadaan

Surat Keputusan Bersama Menteri juga mengalami perbedaan terutama jika dilihat dari aspek

pelaksanaan suatu Surat Keputusan Bersama Menteri. Aspek lainnya yaitu mengenai

kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri melalui penafsiran yang berubah setiap

pergantian peraturan perundang-undangan. Melihat dari perkembangan sistem peraturan

perundang-undangan, keberadaan dan kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri dapat

dilihat dari dimana kewenangan pembentukannya didapatkan dan penafsiran undang-undang

terhadap Surat Keputusan Bersama Menteri.

Kata kunci:

Peraturan Bersama Menteri, Peraturan Perundang-Undangan, Surat Keputusan Bersama

Menteri

The research mainly discusses about two problems related to Joint Ministerial Decree. First,

about existence of Joint Ministerial Decree in accordance to legislation progress. Second,

about Joint Ministerial Decree position in the legislations. Discussion about its existence and

position are purpose to reviews Joint Ministerial Decree which always related two problems,

the force of law and how it will be enforced. This research is normative research use

normative juridical approach through reviews of literature, legislations, and its history

progress with number of examples of Joint Ministerial Decree inside. In governmental system

progress which also affect to legislation system progress, existence of Joint Ministerial

Decree has difference progress as well, especially from implementation aspect of Joint

Ministerial Decree. Another aspect, about position of Joint Ministerial Decree through

interpretation which always changed fits on legislations changes. Through legislations

progress, existence and position of Joint Ministerial Decree can be reviews from, forming’s

authority and interpretation of legislations against Joint Ministerial Decree.

Keywords: Joint Ministerial Decree, Joint Ministerial Regulation, Legislation

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 2: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

2

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara hukum yang pada prinsipnya menghendaki segala tindakan

atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya, baik

berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.1 Negara hukum pada intinya

menghendaki setiap tindakan maupun kewenangan penguasa tidak melanggar dan sesuai

dengan aturan-aturan yang ada. Setiap organ negara dalam bertindak atau menjalankan tugas-

tugasnya harus dilandasi wewenang yang sah, yang diberikan oleh peraturan perundang-

undangan. Penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan oleh hukum (we matigheid van

bestuur = asas legalitas = le principle de la l’egalite de’l administration). Oleh karena itu,

setiap organ negara sebelum menjalankan tugasnya harus terlebih dahulu dilekatkan dengan

suatu kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan.2

Undang-undang merupakan produk hukum yang memberikan landasan bagi

Pemerintah dalam mengambil setiap kebijakan untuk kepentingan rakyat. Namun, jalannya

pemerintahan tidak dapat hanya berdasarkan kepada undang-undang semata. Hal ini karena

undang-undang memiliki cakupan pengaturan yang masih bersifat umum dan perlu

diterjemahkan kedalam peraturan-peraturan yang langsung tertuju pada hal-hal yang akan

diatur. Salah satu bentuk pelaksanaan dari Undang-Undang adalah kewenangan para menteri

dalam membentuk suatu produk hukum. Salah satu produk hukum yang dapat dibentuk oleh

para menteri tersebut adalah Surat Keputusan Bersama Menteri. Didalam lembar resminya

hanya disebut “Keputusan Bersama” atau “Peraturan Bersama”, namun keberlakuannya

didalam masyarakat lebih dikenal sebagai Surat Keputusan Bersama atau SKB.3

Surat Keputusan Bersama bukan merupakan produk hukum baru dalam praktek

peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun jenis dan keberlakuannya masih

mendapatkan perdebatan di masyarakat. Salah satu SKB yang memulai perdebatan di

berbagai pihak mengenai jenis dan kedudukannya adalah SKB dua menteri antara Menteri

Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006-No. 8 Tahun 2006 yang menggantikan

SKB No. 01/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam

1 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasan Kehakiman di

Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hal.1.

2 Safri Nugraha,dkk, Hukum Administrasi Negara, (Depok: Fakultas Hukum Universitas

Indonesia,2007), hal.29.

3 Suherman Toha, dkk, “Eksistensi Surat Keputusan Bersama Dalam Penyelesaian Konflik Antar dan

Intern Agama,” (Laporan Akhir Penelitian Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum

Dan Ham RI,2011), hal.26.

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 3: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

3

Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh

Pemeluk-Pemeluknya. Beberapa pendapat muncul untuk menanggapi keberadaan SKB ini.

SKB dua menteri ini dianggap sebagai suatu produk hukum yang tidak termasuk dalam

peraturan perundang-undangan. Demikian pula tidak ada peraturan yang memberikan

legitimasi atas eksistensi SKB. SKB dianggap pula bukan merupakan peraturan perundang-

undangan. Dengan demikian SKB tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.4 Disisi lain Prof.

Mahfud MD menganggap bahwa SKB tersebut penting keberadaannya didalam masyarakat

dan justru keberadaannya nanti akan membuat keadaan kacau balau karna tidak ada

pengaturannya.5

Sejak keberlakuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk

Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat,6 yang kemudian diubah dengan Ketetapan

MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum

Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia,7 hingga

Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan sampai kemudian amandemen yang mengubah hierarki peraturan

perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan dan yang terakhir terbentuk dalam Undang-Undang Nomor 12

tahun 2011, dalam perkembangan peraturan perundang-undangan tersebut, Surat Keputusan

Bersama tidak pernah jelas diatur, begitu juga dengan bentuk dari Surat Keputusan Bersama

yang tidak diatur jelas pengelompokkannya. Melalui alasan ini, banyak yang menganggap

keberadaan SKB merupakan suatu produk hukum yang tidak berdasar pembentukannya dan

tidak dapat mengikat kedalam masyarakat.

Pokok Permasalahan

Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan sebelumnya, pokok-pokok

permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana keberadaan Surat Keputusan Bersama Menteri dalam sistem peraturan

perundang-undangan di Indonesia?

4 Made Darma Weda “Sekitar SKB tentang Pembangunan Tempat Ibadah”

http://mirifica.net/printPage.php?aid=2596 diunduh 6 Juni 2013.

5 “Mahfud MD: Jangan Hapus SKB Pendirian Rumah Ibadah”

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/09/16/134805-mahfud-md-jangan-hapus-skb-

pendirian-rumah-ibadah diunduh 6 Juni 2013.

6 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan :Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta:

Kanisius, 2007), hal.70.

7 Ibid.,hal.71.

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 4: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

4

2. Bagaimana kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri dalam hierarki peraturan

perundang-undangan di Indonesia?

3. Bagaimana materi muatan yang terkandung dalam Surat Keputusan Bersama Menteri?

TINJAUAN TEORITIS

Fungsi dan Karakteristik Peraturan Perundang-Undangan

Setiap jenis peraturan perundang-undangan memiliki karakteristik dan fungsi masing-

masing, yaitu sebagai berikut:

1. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Undang-Undang

merupakan peraturan perundang-undangan yang tertinggi yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat dan Presiden, yang didalamnya telah dapat dicantumkan sanksi pidana

dan sanksi pemaksa serta merupakan peraturan yang sudah dapat berlaku dan mengikat

umum.8. Sementara Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dibentuk

perihal adanya suatu kegentingan yang memaksa yang pada saat itu Presiden tidak dapat

mengaturnya dengan Undang-Undang, yang untuk membentuknya memerlukan waktu

yang relatif lebih lama dan melalui prosedur yang bermacam-macam.9 Sama halnya

dengan UU, fungsi Perpu adalah: a) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan

dalam UUD 1945 yang tegas-tegas menyebutnya; b) pengaturan lebih lanjut secara umum

aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD 1945; c) pengaturan lebih lanjut ketentuan

dalam Ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya; d) pengaturan di bidang materi

konstitusi, seperti organisasi, tugas, dan susunan lembaga (tinggi) negara, tata hubungan

antara negara dan warga negara dan antara warga negara/penduduk timbal balik.10

2. Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah merupakan suatu peraturan yang membuat

ketentuan dalam Undang-Undang dapat berjalan/dilaksanakan. Karakteristik Peraturan

Pemerintah menurut A. Hamid Attamimi yaitu sebagai berikut:11 a) Peraturan Pemerintah

tidak dapat dibentuk tanpa terlebih dahulu ada Undang-Undang yang menjadi induknya;

b) Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila Undang-

Undang yang bersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana; c) Ketentuan Peraturan

Pemerintah tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan Undang-Undang yang

8 Ibid., hal. 186-187.

9 Ibid., hal. 191.

10 Ibid., hal. 221.

11 Ibid., hal. 195.

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 5: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

5

bersangkutan; d) Untuk menjalankan, menjabarkan, atau merinci ketentuan Undang-

Undang, Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meski ketentuan Undang-Undang tersebut

tidak memintanya secara tegas-tegas. Peraturan Pemerintah tidak berisi penetapan semata-

mata. Sebagai delegasian undang-undang, peraturan pemerintah memiliki fungsi yaitu: a)

pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya;

b) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Undang-Undang yang

mengatur meski tidak tegas-tegas menyebutnya.12

3. Peraturan Presiden (Perpres). Dengan adanya kekuasaan pemerintahan yang dimiliki

sesuai Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Presiden dapat mengatur segala sesuatu di

dalam Negara RI, hanya saja kekuasaan tersebut memiliki batasan. Dalam hal

pembentukan Undang-Undang harus dilakukan bersama dengan Dewan Perwakilan

Rakyat, yang merupakan pelaksanaan fungsi legislatifnya sedangkan dalam jalur

eksekutif, Presiden dapat membentuk suatu Peraturan Presiden atau dulu dinamakan

Keputusan Presiden.13 Fungsi Peraturan Presiden adalah, a) menyelenggarakan pengaturan

secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan, fungsi ini adalah

kewenangan atribusi dari UUD 1945 kepada Presiden. Fungsi ini merupakan fungsi

keputusan Presiden yang merupakan ‘sisa’ dari peraturan perundang-undangan yang

tertentu batas lingkupnya yaitu Undang-Undang, Perpu, PP, dan Keputusan Presiden yang

merupakan pengaturan delegasian;14 b) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut

ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya;15 c)

menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Peraturan Pemerintah,

meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.

4. Peraturan Menteri. Kewenangan menteri untuk membentuk peraturan menteri bersumber

pada Pasal 17 UUD RI Tahun 1945, oleh karena menteri-menteri negara adalah pembantu

Presiden yang menangani bidang-bidang tugas pemerintahan yang diberikan padanya.16

Fungsi peraturan menteri adalah sebagai berikut: a) menyelenggarakan pengaturan secara

umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya,

penyelenggara fungsi ini adalah berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 Perubahan dan

12 Ibid., hal. 222.

13 Ibid., hal. 198.

14 Ibid., hal. 224.

15 Ibid.

16 Ibid., hal. 199.

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 6: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

6

kebiasaan yang ada.17 b) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam

Peraturan Presiden, fungsi ini sifatnya adalah delegasian dari Peraturan Presiden, maka

sifatnya adalah pengaturan lebih lanjut dari kebijakan yang oleh Presiden dan dituangkan

dalam Peraturan Presiden;18 c) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam

Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya; d) menyelenggarakan pengaturan lebih

lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya. Fungsi pada

poin (c) dan (d) adalah fungsi yang lahir dari Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Pada masa UUDS, Indonesia menganut sistem parlementer. Dengan adanya pelimpahan

kewenangan langsung kepada menteri di dalam sistem ini, maka setiap pelaksanaan

Undang-Undang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri karena menterilah

yang bertanggung jawab kepada parlemen untuk setiap peraturan yang dibentuknya.19

Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan

UUD 1945 dalam batang tubuhnya memberi petunjuk, bahwa sejumlah materi harus

diatur dalam bentuk undang-undang.20 Materi muatan undang-undang yaitu, i) hal-hal yang

tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan TAP MPR; ii) yang mengatur lebih lanjut ketentuan

UUD; iii) yang mengatur hak-hak asasi manusia; iv) yang mengatur hak dan kewajiban warga

negara; v) yang mengatur pembagian kekuasaan negara; vi) yang mengatur organisasi pokok

lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara; vii) yang mengatur pembagian wilayah/daerah

negara; viii) yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan

kewarganegaraan; ix) yang dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan

undang-undang.

Materi muatan produk hukum yang lainnya adalah sebagai berikut:

a. Konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), menurut

Hans Kelsen yaitu: (a) the preambule (pembukaan); (b) determination of the contents of

the future statutes (penentuan isi ketentuan-ketentuan pada masa depan); (c) determination

of the administrative and judicia function (penentuan fungsi administratif dan yudikatif);

(d) the “unconstitutional” law (hukum yang inkonstitusional); (e) constitutional

17 Ibid., hal. 226.

18 Ibid.

19 Ibid., hal.227.

20A. Hamid Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Negara.” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990), hal. 212.

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 7: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

7

prohibition (pembatasan-pembatasan konstitusional); (f) bill of rights (perlindungan hak-

hak); (g) guarantees of the constitution (jaminan-jaminan konstitusi).21

b. Peraturan Pemerintah (PP), yaitu semua materi UU yang perlu dijalankan atau

diselenggarakan lebih lanjut, atau dengan kata lain yang perlu diatur lebih lanjut.

c. Peraturan Presiden, didalam Pasal 11 UU No. 10 Tahun 2004, materi muatan Peraturan

Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk

melaksanakan peraturan pemerintah. Materi muatan keputusan presiden merupakan materi

muatan sisa dari materi muatan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, yaitu materi

yang bersifat atribusian, serta materi muatan yang merupakan delegasian dari Undang-

Undang dan Peraturan Pemerintah.22

d. Peraturan Menteri, menurut A. Hamid S.A., perlu diingat hal-hal berikut:23

a) Kewenangan menteri dalam mengeluarkan peraturan menteri adalah selalu bersifat

derivatif dari kewenangan Presiden;

b) Undang-undang seyogyanya tidak menetapkan bahwa kententuan-ketentuannya akan

diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri kecuali apabila memang tidak akan dapat

atau tidak akan wajar apabila diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah atau

peraturan presiden;

c) Peraturan pemerintah tidak akan mendelegasikan pengaturan lebih lanjut ketentuan-

ketentuannya kepada peraturan menteri kecuali apabila tidak akan dapat atau tidak

akan wajar apabila diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden.

d) Peraturan menteri sebaiknya merupakan peraturan ke dalam kecuali ditugaskan untuk

memperinci lebih lanjut suatu ketentuan Perpres.

Didalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, peraturan menteri didefinisikan

sebagai “…peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam

rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.” Sementara yang

dimaksud dengan berdasarkan kewenangan adalah “…penyelenggaraan urusan

tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”24

21 H.A.S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia,(Jakarta: Sekjen dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 161.

22 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan…., hal. 244.

23 Op.Cit.

24 Indonesia (a), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12

Tahun 2011, LN. No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Ps. 8 ayat (2).

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 8: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

8

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif.

Penelitian ini akan menjelaskan mengenai hierarki dari Surat Keputusan Bersama Menteri

berdasarkan peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur terkait serta keberadaan dan

perkembangannya dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia. Metode

penelitian tersebut terkait dengan bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

penelitian eksplanatoris.25

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang

diperoleh dari studi kepustakaan,26 diantaranya Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 dan

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

maupun produk hukum lainnya yang mengatur tentang peraturan perundang-undangan.

Sementara bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal

yang berkaitan dengan isi bahan hukum primer serta implementasinya yaitu melalui buku,

laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi dan literatur lain, maupun bahan hukum.27

HASIL PENELITIAN

Pada masa awal kemerdekaan telah dikenal adanya Surat Keputusan Bersama (SKB)

Menteri. Salah satunya adalah SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan

Kebudayaan (PP & K) tentang pendidikan agama yang mulai diberikan pada kelas IV sampai

kelas VI Sekolah Rakyat. Namun situasi keamanan di zaman revolusi yang tidak stabil

membuat Surat Keputusan Bersama Menteri tersebut tidak dapat dilaksanakan.28

Surat Keputusan Bersama Menteri baru benar-benar terbentuk dan berlaku di

masyarakat pada saat dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-

Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah.29 Dalam pasal 20 ayat (2) Undang-Undang

tersebut diatur bahwa “Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri

25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,

1986), hal. 10.

26 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta:Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia,2005), hal. 12.

27 Ibid.,hal 31.

28 Ringkasan Laporan Penelitisan Problematika Pendidikan Agama; Penelitian di Sekolah-Sekolah SD,

SMP, SMA di Kota Jogjakarta 2004-2006, hal.15 http://e-

dokumen.kemenag.go.id/files/tF8gZUp21284260139.pdf diunduh 10 Mei 2013.

29 Ibid., hal. 17. Saat RIS berakhir dan beralih pada Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950,

Undang-Undang ini tetap berlaku namun ditegaskan keberlakuannya melalui Undang-Undang No. 12 Tahun

1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 Dari Republik Indonesia Dahulu

Tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 9: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

9

diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan

Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama”, yang kemudian menghasilkan Surat

Keputusan Bersama Menteri yang dikeluarkan pada Januari 1951.30

Kewenangan menteri untuk membentuk SKB didelegasikan langsung oleh UU No. 4

Tahun 1950. Hal ini berkaitan dengan sistem pemerintahan yang dianut saat itu yaitu sistem

parlementer. Didalam sistem pemerintahan ini, menteri-menteri bertanggung jawab langsung

kepada parlemen. Oleh karena itu delegasi pengaturan undang-undang dilimpahkan kepada

menteri bukan kepada presiden. Oleh karena kedudukan menteri-menteri yang sangat kuat

maka wajar ketika itu menteri-menteri mendapatkan delegasian langsung dari undang-undang

untuk mengatur dan mengeluarkan produk hukum. Hal ini juga diperkuat dengan adanya

Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan

Pemerintah Pusat yang menempatkan kedudukan Peraturan Menteri ada di bawah Peraturan

Pemerintah.

ASS Tambunan dalam bukunya yang berjudul “MPR, Perkembangan dan

Pertumbuhannya, Suatu Pengamatan dan Analisis,” mengatakan bahwa bentuk/jenis peraturan

perundang-undangan yang dimuat dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 diilhami oleh

tulisan Moh. Yamin dalam bukunya yang berjudul “Naskah Persiapan Undang-Undang

Dasar”, Moh. Yamin mengatakan bahwa bentuk-bentuk peraturan Negara salah satunya

adalah Peraturan dan Keputusan Menteri, yang diterbitkan atas tanggungan seorang atau

bersama Menteri. Dengan adanya pernyataan ini bisa diartikan bahwa Muh.Yamin mengakui

adanya suatu peraturan atau keputusan yang dikeluarkan bersama oleh beberapa menteri

sebagai bentuk peraturan perundang-undangan. Pernyataan Yamin diatas juga menunjukkan

bahwa Yamin secara eksplisit hanya menyebut peraturan menteri sebagai salah satu peraturan

pelaksanaan yang kemudian diatur dalam Butir II.A Tap MPRS No. XX/MPRS/1966.

Pada masa ini, salah satu Surat Keputusan Bersama yang dibentuk yaitu Surat

Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.01/BER/mdn-mag/1969

tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan

Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama Oleh Pemeluk-Pemeluknya. SKB

tersebut bersifat mengatur dengan nomenklatur “keputusan” terutama yang diatur disini

adalah ketentuan mengenai pelaksanaan serta pengawasan pelaksanaan agama oleh kepala

30 Setelah UU dikeluarkan, pemerintah membentuk panitia bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud

Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen PP & K, yang menghasilkan sebuah SKB yang

dikeluarkan pada Januari 1951 dan pada tanggal 16 Juli 1951, Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan

dengan No. 17678/Kab. dan Menteri Agama dengan No. K/I/9180 mengeluarkan peraturan bersama (Surat

Keputusan Bersama) tentang pendidikan agama. Lihat Ibid., hal. 18

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 10: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

10

daerah. Contoh lainnya yaitu, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam

Negeri No. 1/BER/MDN-MAG/1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan

Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Pembentukan SKB ini lebih

kepada penegasan atau penguatan pengaturan sebelumnya yaitu Keputusan Menteri Agama

No. 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama dan Keputusan Menteri Agama No. 77

tahun 1978 tentang Bantuan Keagamaan di Indonesia.

Lain halnya dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian

dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 364/Kpts-II/90–519/Kpts/HK.050/90–23-VIII-

1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha Untuk

Pengembangan Usaha Pertanian. SKB ini merupakan pencabutan dari peraturan sebelumnya

yaitu Keputusan Menteri Kehutanan No. 145/Kpts-II/1986 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Pengembangan Usaha Budidaya Pertanian. Dalam

persyaratan pencabutan, produk hukum hanya dapat dicabut dengan produk hukum yang

sederajat atau lebih tinggi kedudukannya. Tidak mungkin mengatakan bahwa Keputusan

Menteri berada diatas Keputusan Bersama Menteri karena Keputusan Bersama Menteri

ternyata dapat melakukan pencabutan terhadap Keputusan Menteri, dan Surat Keputusan

Bersama Menteri serta Peraturan Menteri merupakan produk hukum yang dibentuk oleh

menteri, maka pejabat yang kedudukannya lebih tinggi dari para menteri adalah Presiden.

Contoh lainnya, Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri

Keuangan No. 44/KPTS/1984-No.215/KMK.01/1984 tentang Perubahan Atas Keputusan

Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik dan Menteri Keuangan No.

211/KPTS/1974-No.KEP-1189/MK/IV/8/1974 tentang Pelaksanaan Penjualan Rumah Negeri.

SKB ini merupakan delegasi tertulis dari Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1974 tentang

Pelaksanaan Penjualan Rumah Negeri, yaitu Pasal 10 PP No. 16 tahun 1974, yaitu:

“Pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur bersama-sama oleh Menteri Pekerjaan

Umum dan Tenaga Listrik dan Menteri Keuangan sebagaimana ditetapkan dalam

Pasal 1 Undang-undang Nomor 72 Tahun 1957 tentang Penetapan Undang-undang

Darurat Nomor 19 Tahun 1955 tentang Penjualan Rumah-rumah Negeri kepada

Pegawai Negeri sebagai Undang-undang.”

Pasal 1 Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1955 sendiri mengatur, “Menteri Pekerjaan

Umum dan Tenaga Listrik dengan persetujuan Menteri Keuangan dapat menjual rumah-

rumah Negeri ... menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Menteri-menteri tersebut.”

Undang-Undang No. 19 Tahun 1955 langsung mendelegasikan kewenangan mengatur kepada

menteri. Hal ini terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut saat itu yaitu sistem

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 11: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

11

parlementer yang memberikan delegasi langsung kepada menteri karena kedudukan menteri

yang menjalankan pemerintahan. Namun karena pembentukan peraturan lebih lanjut

dilakukan setelah masa sistem parlementer berakhir, maka pengaturan didalam Undang-

Undang yang tadinya memberikan kewenangan langsung kepada menteri untuk membentuk

keputusan bersama menteri harus didelegasikan terlebih dahulu kepada Peraturan Pemerintah

dalam hal ini Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1974.

Setelah berakhirnya masa Orde Baru, Tap MPRS No. XX digantikan dengan Tap No.

III/MPR/2000. Didalam Pasal 4 ayat (1) Ketetapan tersebut, perihal produk hukum yang

dibentuk oleh menteri hanya disebutkan sebatas peraturan atau keputusan menteri. Penyebutan

tersebut membuat produk hukum yang diakui yang merupakan produk hukum menteri hanya

limitatif pada peraturan menteri dan keputusan menteri.

Beberapa contoh SKB yang dibentuk pada masa ini diantaranya: Keputusan Bersama

Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral, Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian Dan

Perdagangan Republik Indonesia No.1905 K/34/Mem/2001-No.426/Kmk.01/2001 No.

233/Mpp/Kep/7/2001 tentang Ketentuan Impor Pelumas. SKB ini terbentuk dari adanya

perintah Keputusan Presiden No. 21 Tahun 2001 tentang Penyediaan dan Pelayanan Pelumas,

namun delegasian lebih ditujukan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan melalui

Pasal 6 ayat (3) Keputusan Presiden tersebut, yaitu, “Persyaratan dan tata cara impor

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri yang

bertanggung jawab di bidang perdagangan.”

Di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, dalam pasal 1 angka 2 disebutkan “Peraturan Perundang-undangan

adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan

mengikat secara umum.” Di dalam Pasal 7 ayat (4) diatur bahwa “Jenis Peraturan Perundang-

undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang

lebih tinggi”. Sementara didalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) disebutkan, “Jenis Peraturan

Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat…, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia,

Menteri….” Jika mengacu pada ketentuan pasal 1 angka 2, produk hukum yang dibentuk

berdasarkan Pasal 7 ayat (4) tidak dapat ditentukan hanya sebatas pengaturan lebih lanjut dari

peraturan perundang-undangan diatasnya. Oleh karena itu yang harus dibedakan adalah,

ketentuan Pasal 7 ayat (4) terbatas untuk pengaturan yang mengikat umum.

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 12: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

12

Di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan sebagai pengganti UU No. 10 Tahun 2004, definisi “peraturan perundang-

undangan” diartikan sebagai “Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat

secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang

melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.” Sementara bentuk-

bentuk peraturan perundang-undangan yang sebelumnya hanya diletakan dalam penjelasan

dalam UU No. 10 Tahun 2004, pada UU No. 12 Tahun 2011 diletakkan pada ketentuan Pasal

8 ayat (1), yaitu: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan…Bank Indonesia, Menteri…” dan

ketentuan Pasal 8 ayat (2), yaitu: “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk

berdasarkan kewenangan.” Selama Surat Keputusan Bersama Menteri memenuhi unsur-unsur

diatas, ia dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan, mengingat bahwa ketentuan

Pasal 8 ayat (1) menyebutkan “Peraturan yang ditetapkan oleh menteri” bukan “Peraturan

Menteri” sehingga bentuk-bentuk peraturan yang ditetapkan oleh menteri ini masih dapat

diinterpretasikan kembali.

Sebelum masa keberlakuan undang-undang tersebut, nomenklatur produk hukum yang

berbentuk peraturan maupun yang berbentuk penetapan atau keputusan seringkali tidak

dibedakan. Sehingga suatu produk hukum yang dibentuk dengan nama keputusan dapat saja

mengatur hal-hal yang bersifat umum. Disatu sisi produk hukum disebut peraturan, disisi lain

produk hukum yang lain disebut keputusan namun keduanya adalah produk hukum yang

bersifat mengatur.31

PEMBAHASAN

Kewenangan Pembentukan Surat Keputusan Bersama Menteri

Sebelum mengenal sistem pemerintahan presidensil, Indonesia terlebih dahulu

menerapkan sistem parlementer dalam pemerintahannya.32 Dalam sistem pemerintahan

kabinet atau parlementer, menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada parlemen. Kinerja

pemerintahan sepenuhnya ada pada Perdana Menteri. Perdana Menteri yang menjalankan

pekerjaan jabatan Presiden sehari-hari jika Presiden berhalangan dalam melaksanakan

31 Diatur dalam Pasal 56 UU No. 10 Tahun 2004 juncto Pasal 100 UU No. 12 Tahun 2012

32 Melalui Konstitusi RIS 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 13: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

13

pemerintahan.33 Dengan adanya kewenangan yang begitu besar, maka tidak mengherankan

jika menteri dapat membentuk produk hukum langsung dari delegasian Undang-Undang

karena sistem pemerintahan mendukung hal tersebut. Hal ini berbeda dengan sistem

presidensil yang dianut setelahnya hingga saat ini.

Pemerintahan dalam arti luas mencakup seluruh fungsi yang ada di dalam negara. Hal

ini dapat dilihat dari teori trias politica Montesquieu yang membagi pemerintahan ke dalam

pembagian eksekutif (melaksanakan undang-undang), legislatif (membentuk undang-undang),

dan yudikatif (mengadili).34 Sementara pemerintahan dalam arti sempit adalah pemerintahan

yang hanya berhubungan dengan fungsi eksekutif saja. Didalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI

Tahun 1945 disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan dilakukan oleh Presiden. Selain itu

dalam menjalankan kewajiban pemerintahan, khususnya dalam menentukan politik

kenegaraan, di dalam pasal 17 UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa tugas Presiden

dibantu oleh menteri-menteri negara dan setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam

pemerintahan.

Menteri-menteri negara bukanlah pegawai tinggi biasa, karena setiap menteri

membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Menteri memiliki pengaruh yang besar

terhadap presiden dalam menentukan politik negara yang mengenai kementeriannya.35

Walaupun kedudukannya tergantung pada presiden, tetapi menteri-menterilah yang terutama

menjalankan kekuasaan pemerintahan (pouvoir executive) di bidangnya.36

Ketentuan lebih lanjut mengenai menteri-menteri negara diatur dalam Undang-Undang

No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Urusan pemerintahan yang dimaksud dalam

UUD 1945 terbagi menjadi tiga, yaitu: 1) Urusan pemerintahan yang nomenklatur

Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945.;37 2) Urusan

pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945;38 Urusan

pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah.39

33 Republik Indonesia Serikat, Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Ps. 72 ayat (1)

34 Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan

Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 57.

35 Ibid., hal. 117.

36 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan …..., hal. 155.

37 Indonesia (b), Undang-Undang Kementerian Negara, UU No. 39 Tahun 2008, LN No. 166 Tahun

2008, TLN No. 4916, Ps. 4 ayat (2) huruf a

38 Ibid., Ps. 4 ayat (2) huruf b

39 Ibid., Ps. 4 ayat (2) huruf c

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 14: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

14

Dari semua menteri-menteri negara yang disebutkan, menteri negara yang termasuk

dalam Lembaga Pemerintah dalam Perundang-undangan adalah hanya menteri-menteri

departemen. Menteri Koordinator, dan Menteri Negara tidak merupakan lembaga-lembaga

pemerintah dalam perundang-undangan, sebab dalam membentuk perundang-undangan yang

berwenang adalah Menteri Departemen. Menteri Koordinator dan Menteri Negara hanya

dapat membuat peraturan yang bersifat intern, dalam lingkungannya sendiri, jadi tidak

berwenang membentuk peraturan yang mengikat umum.40 Namun kemudian penyebutan

Departemen dan Kementerian Negara seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 9

Tahun 2005 sudah tidak digunakan lagi, semuanya seragam dengan nama menteri sebagai

pembantu

presiden.41

Hal inilah kemudian yang diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang

Kementerian Negara, dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009

tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, Peraturan Presiden No. 24 Tahun

2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi,

Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, serta peraturan lainnya yang mengatur

tentang Kementerian Negara.

Menurut Maria Farida Indrati, semua kementerian memiliki kewenangan untuk

membentuk peraturan yang mengikat umum kecuali kementerian yang non portofolio atau

Kementerian Negara. Menteri yang tidak memimpin departemen tidak boleh mengatur umum.

Jika kementerian-kementerian itu ingin mengatur umum maka mereka meminta Presiden

untuk membentuk Peraturan Presiden atau Undang-Undang. Peraturan perundang-undangan

yang dibuat oleh Kementerian Negara dan Kementerian Koordinator atau dalam hal ini jika

surat keputusan bersama menteri dibentuk antar kementerian negara atau kementerian

koordinator maka peraturan itu hanya berlaku diantara kementerian tersebut.42

Pada prakteknya kewenangan pembentukan produk hukum menteri itu sendiri tidak

terbatas pada lingkup kewenangan yang dimiliki masing-masing menteri namun karena

perkembangan aspek pemerintahan membuat beberapa surat keputusa bersama menteri

dibentuk. Pada kementerian koordinator, kementerian koordinator juga dapat membentuk

40 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan …..., hal. 141.

41 Menurut Deputi Kelembagaan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi

Birokrasi (Kemenpan-RB) Ismadi Ananda lihat “Tak Ada Lagi Istilah Menteri Negara”

http://www.jpnn.com/read/2011/11/03/107346/Tak-Ada-Lagi-Istilah-Menteri-Negara- Diunduh 12 Mei 2013

42 Wawancara dengan Prof. Maria Farida Farida, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

Jakarta, 28 Mei 2013.

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 15: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

15

surat keputusan bersama dengan menteri yang bukan menteri koordinator tetapi sifat dari surat

keputusan bersama menteri tersebut tidak mengikat umum dan hanya sebagai bentuk

koordinasi menteri koordinator sesuai dengan fungsinya. Namun untuk kementerian yang

menangani urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi

program pemerintah atau yang dulu dengan nama menteri negara, pembentukan produk

hukum surat keputusan bersama yang bersifat peraturan dapat dibentuk selama menteri negara

atau menteri yang melakukan koordinasi dan penajaman membentuk surat keputusan bersama

dengan departemen yang punya lingkup pemerintahan hingga ke daerah atau yang memiliki

pelaksanaan tugas secara nasional.

Karakteristik dan Fungsi Surat Keputusan Bersama Menteri

Kewenangan menteri untuk membentuk peraturan menteri bersumber pada Pasal 17

ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yaitu “setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam

pemerintahan” oleh karena menteri-menteri negara adalah pembantu Presiden yang

menangani bidang-bidang tugas pemerintahan yang diberikan. Perbedaan mendasar dari Surat

Keputusan Bersama Menteri dan Peraturan Menteri adalah hal yang diatur dalam Surat

Keputusan Bersama Menteri lebih luas karena urusan yang diatur mencakup urusan lintas

sektoral namun pada hakikatnya keduanya merupakan produk hukum yang dibentuk oleh

organ yang sama yaitu menteri.

Sama halnya dengan Peraturan Menteri, Surat Keputusan Bersama Menteri juga dapat

dibentuk dalam rangka pengaturan lebih lanjut ketentuan didalam Peraturan Presiden. Hal ini

dapat dilihat salah satunya dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Energi Dan Sumber

Daya Mineral, Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik

Indonesia No.1905 K/34/Mem/2001-No.426/Kmk.01/2001 No. 233/Mpp/Kep/7/2001 tentang

Ketentuan Impor Pelumas, yang dibentuk dari perintah Keputusan Presiden No. 21 Tahun

2001 tentang Penyediaan dan Pelayanan Pelumas, dan Keputusan Bersama Menteri Kesehatan

dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 264A/MENKES/SKB/VII/2003–No.

02/SKB/M.PAN/7/2003 tentang Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Di Bidang Pengawasan

Obat dan Makanan, yang merupakan delegasian dari Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001

tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja

Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang walaupun tidak disebutkan secara tegas namun

perlu dibentuk peraturan lebih lanjut untuk memperjelas dan memperinci ketentuan dalam

Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden.

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 16: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

16

Fungsi ketiga dan keempat dari Peraturan Menteri adalah sebagai penyelenggaraan

lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya, dan

penyelenggaraan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya. Dua

fungsi dari Peraturan Pemerintah tersebut dapat dilihat dari Surat Keputusan Bersama Menteri

Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik dan Menteri Keuangan No. 211/KPTS/1974-No.KEP-

1189/MK/IV/8/1974 tentang Pelaksanaan Penjualan Rumah Negeri, yang lahir dari delegasian

langsung Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1955 yang berisi penetapan memberikan

kewenangan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik dengan persetujuan

Menteri Keuangan dapat menjual rumah-rumah Negeri, namun karena pembentukan peraturan

kemudian dilakukan tidak pada ranah sistem parlementer maka kemudian pembentukan SKB

diterjemahkan terlebih dahulu melalui Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1974 tentang

Pelaksanaan Penjualan Rumah Negeri.

Materi Muatan

Walaupun Surat Keputusan Bersama Menteri tidak diatur dalam peraturan perundang-

undangan, tetapi karena merupakan produk hukum menteri, materi muatan yang dimilikinya

adalah materi muatan pelaksanaan undang-undang atau kewenangan pemerintahan. Hal ini

juga dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan yang dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1), disebutkan bahwa “Peraturan

yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan

urusan tertentu dalam pemerintahan.” Sementara didalam lampiran UU No. 10 Tahun 2004

maupun Lampiran UU No. 12 Tahun 2011,43 pendelegasian kewenangan mengatur dari

Undang-Undang kepada menteri atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk

peraturan yang bersifat teknis administratif.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, peraturan yang ditetapkan oleh menteri

salah satunya adalah untuk menjalankan pemerintahan, disisi lain materi muatan peraturan

presiden juga salah satunya untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan, selengkapnya adalah

“berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan

Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan

43 Indonesia (c), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 10

Tahun 2004, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389, Lampiran No. 173 jo. Indonesia (a), Undang-Undang

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN. No. 82 Tahun 2011, TLN

No. 5234, Lampiran No. 211.

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 17: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

17

pemerintahan.”44 Pembeda diantara keduanya adalah, walaupun peraturan presiden dan

peraturan yang ditetapkan oleh menteri (surat keputusan bersama menteri, peraturan menteri)

sama-sama mengatur perihal pelaksanaan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan,

penyelenggara pemerintahan tertinggi adalah Presiden, seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat

(1) “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan.” Ketentuan Pasal 4

ayat (1) memberikan wewenang kepada Presiden yang luas dan tidak terperinci, sehingga

segala pelaksanaan pemerintahannya sedikit banyak tergantung pada Presiden. Namun

demikian, tidak berarti bahwa Presiden dapat berbuat sekehendak hati, karena UUD 1945

membatasinya.45 Oleh karena kewenangan pemerintahan presiden yang luas, maka presiden

dibantu oleh menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

Hierarki Surat Keputusan Bersama Menteri

Mengenai kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri apakah berada di atas

peraturan menteri ataukah setara/sejajar dengan peraturan menteri dapat diuraikan sebagai

berikut: Pertama, dilihat dari pembentuknya, maka Surat Keputusan Bersama Menteri

meskipun dibuat oleh beberapa menteri atau pejabat setingkat menteri (lintas

instansi/departemen) namun keputusan untuk membuat Surat Keputusan Bersama Menteri ada

di tangan masing-masing menteri. Kedua, meskipun materi muatan yang diatur dalam Surat

Keputusan Bersama Menteri pada dasarnya adalah dalam rangka menjalankan bidang

pemerintahan yang bersifat lintas kementerian atau dengan kata lain adalah materi muatan

dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1)

UUD 1945, namun pelaksanaan dan pertanggungjawabannya tetap berada di masing-masing

menteri. Ketiga, sama dengan fungsi peraturan menteri, Surat Keputusan Bersama Menteri

memiliki fungsi: i) menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka

menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan di bidangnya; ii) menyelenggarakan pengaturan

lebih lanjut ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti undang-

undang dan peraturan pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya; iii) menyelenggarakan

pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan presiden.46

44 Indonesia (a), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12

Tahun 2011, LN. No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Pasal 13.

45 Pendapat Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,

Pengantar Hukum Tata Negara. 1993 hal. 198 dalam Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata

Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia…., hal. 112.

46 Bayu Dwi Anggoro,”Keputusan Bersama dalam Perundang-Undangan Republik Indonesia” Tesis

Magister Universitas Indonesia,Jakarta, 2009, hal. 130-131.

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 18: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

18

Salah satu peraturan menteri yang mengatur mengenai pembentukan produk

hukumnya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 68 Tahun 2009 tentang Pembentukan

Produk Hukum di Lingkungan Departemen Dalam Negeri. Di dalam pasal 1 angka 8, Surat

Keputusan Bersama Menteri dengan nomenklatur Peraturan Bersama Menteri diartikan

sebagai peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Menteri Dalam Negeri bersama

Menteri lainnya. Didalam Pasal 5 Peraturan Menteri tersebut, Surat Keputusan Bersama

Menteri diatur sebagai produk hukum yang bersifat pengaturan bersama dengan Peraturan

Menteri, yaitu sebagai berikut:

Produk hukum yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri yang bersifat pengaturan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, meliputi:

a. Peraturan Menteri; dan

b. Peraturan Bersama Menteri.

Oleh karena Surat Keputusan Bersama Menteri digolongkan sebagai produk hukum

yang bersifat peraturan, maka penyusunannya mengikuti ketentuan penyusunan peraturan

menurut Peraturan Menteri tersebut.

KESIMPULAN

1. Pada dasarnya pelaksanaan Surat Keputusan Bersama Menteri terkait dengan sistem

pemerintahan yang dianut. Didalam negara yang menganut sistem pemerintahan

parlementer, kedudukan menteri bersifat sentral. Menteri baik sendiri atau bersama-sama

memiliki kewenangan penuh untuk mengatur pemerintahan, termasuk juga dalam

membentuk peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, pelaksanaan atas Undang-

Undang selalu mendelegasikan kepada peraturan menteri atau keputusan bersama menteri.

Pada sistem parlementer, kedudukan menteri bersifat sentral dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Oleh karena itu delegasi pengaturan undang-undang dilimpahkan kepada

menteri bukan kepada presiden. Sementara di dalam sistem presidensil, kewenangan

pemerintahan yang utama dilaksanakan oleh Presiden. Menteri sebagai pembantu Presiden

dan kewenangannya merupakan delegasian dari kewenangan Presiden. Keberadaan

keputusan bersama menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan tetap

dilanjutkan, walaupun tidak lazim lagi dilakukan pelimpahan langsung pembentukan

Keputusan dari Undang-Undang. Hal ini karena dalam sistem presidensil yang memegang

kekuasaan utama pemerintahan adalah Presiden, menteri merupakan pembantu Presiden

yang mendapatkan pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Presiden.

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 19: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

19

2. Kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri sama dengan Peraturan Menteri, yang

berbeda adalah aspek pengaturannya merupakan aspek pemerintahan lintas sektoral namun

pada hakikatnya keduanya merupakan produk hukum yang dibentuk oleh organ yang sama

yaitu menteri. Walaupun lintas sektor dan sama-sama melalui pembentukan tim

antardepartemen, namun materi muatan yang diatur didalam Surat Keputusan Bersama

Menteri dan Peraturan Presiden hakikatnya berbeda. Kewenangan menteri untuk

membentuk peraturan menteri bersumber pada Pasal 17 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

yaitu “setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan” oleh karena

menteri-menteri negara adalah pembantu Presiden yang menangani bidang-bidang tugas

pemerintahan yang diberikan.

3. Secara umum, materi muatan Peraturan Menteri dan Surat Keputusan Bersama Menteri

adalah untuk mengatur lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan

melaksanakan penyelenggaraan urusan pemerintahan, dan urusan pemerintahan

disesuaikan dengan tugas dan fungsi masing-masing kementerian. Walaupun Surat

Keputusan Bersama Menteri tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi

karena merupakan produk hukum menteri, materi muatan yang dimilikinya adalah materi

muatan pelaksanaan undang-undang atau kewenangan pemerintahan.

SARAN

1. Keseragaman pedoman dalam pembentukan produk hukum menteri untuk menghindari

adanya penafsiran-penafsiran yang berbeda pada masing-masing kementerian, dan untuk

memperjelas keberadaan Keputusan Bersama Menteri atau Peraturan Bersama Menteri

dalam Peraturan Perundang-Undangan Nasional untuk menghindari banyaknya penafsiran

dan pemahaman yang berbeda mengenai bentuk Keputusan atau Peraturan Bersama

Menteri. Hal ini karena di dalam salah satu Peraturan Menteri yaitu Peraturan Menteri

Dalam Negeri, Peraturan Bersama Menteri adalah termasuk dalam salah satu peraturan

perundang-undangan.

2. Mengingat keberadaan dan keberlakuan Peraturan Bersama Menteri dalam praktek

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia telah diakui, maka sebaiknya keberadaan serta

keberlakuannya diatur dalam suatu Undang-Undang yang mengatur mengenai tata cara

pembentukan peraturan perundang-undangan.

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013

Page 20: SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS …

20

DAFTAR PUSTAKA

Buku

H.A.S. Natabaya. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: Sekjen dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006.

Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan :Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan.

Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Nugraha,Safri dkk. Hukum Administrasi Negara. Depok: Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2007.

Mamudji,Sri et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta:Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia,2005.

Soekanto,Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum Cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia, 1986.

Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasan

Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2005.

Toha, Suherman dkk, “Eksistensi Surat Keputusan Bersama Dalam Penyelesaian Konflik

Antar dan Intern Agama. Laporan Akhir Penelitian Hukum, Badan Pembinaan Hukum

Triwulan, Titik dan Ismu Gunadi Widodo. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara

Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta: Kencana, 2011.

Nasional Kementerian Hukum Dan Ham RI. 2011.

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Republik Indonesia Serikat. Konstitusi Republik Indonesia Serikat.

_________. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU

No. 10 Tahun 2004. LN No. 53 Tahun 2004. TLN No. 4389.

________.Undang-Undang Kementerian Negara. UU No. 39 Tahun 2008. LN No. 166 Tahun

2008. TLN No. 4916.

________. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No.

12 Tahun 2011, LN. No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.

Artikel

Made Darma Weda “Sekitar SKB tentang Pembangunan Tempat Ibadah”

<http://mirifica.net/printPage.php?aid=2596>, diunduh 6 Juni 2013.

“Mahfud MD: Jangan Hapus SKB Pendirian Rumah Ibadah”

<http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/09/16/134805-mahfud-

md-jangan-hapus-skb-pendirian-rumah-ibadah>, diunduh 6 Juni 2013.

Ringkasan Laporan Penelitisan Problematika Pendidikan Agama; Penelitian di Sekolah-

Sekolah SD, SMP, SMA di Kota Jogjakarta 2004-2006 <http://e-

dokumen.kemenag.go.id/files/tF8gZUp21284260139.pdf>, diunduh 10 Mei 2013.

“Tak Ada Lagi Istilah Menteri Negara” <http://www.jpnn.com/read/2011/11/03/107346/Tak-

Ada-Lagi-Istilah-Menteri-Negara->, diunduh 12 Mei 2013.

Lain-Lain

Anggoro,Bayu Dwi.”Keputusan Bersama dalam Perundang-Undangan Republik Indonesia.”

Tesis Magister Universitas Indonesia. Jakarta. 2009.

Wawancara dengan Prof. Maria Farida Farida, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia, Jakarta, 28 Mei 2013.

Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013