surat keputusan bersama menteri: kajian atas …
TRANSCRIPT
SURAT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI: KAJIAN ATAS
KEBERADAAN DAN KEDUDUKANNYA DALAM SISTEM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
Guretno Sekar Ningsih dan Sony Maulana Sikumbang
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Abstrak
Penelitian ini membahas dua masalah yang terkait dengan Surat Keputusan Bersama
Menteri, yaitu keberadaan Surat Keputusan Bersama Menteri sesuai dengan perkembangan
peraturan perundang-undangan serta Kedudukannya dalam Peraturan Perundang-undangan.
Pembahasan mengenai Keberadaan dan Kedudukannya dilakukan untuk melihat sejauhmana
Surat Keputusan Bersama Menteri memiliki pengaruh dan kekuatan hukum mengikat di
masyarakat. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang dilakukan melalui pendekatan
yuridis yaitu melalui pengkajian literatur-literatur, peraturan perundang-undangan serta
perkembangan sejarah didalamnya disertai dengan beberapa contoh Surat Keputusan Bersama
Menteri sesuai dengan perkembangan masanya. Dalam perkembangan sistem pemerintahan
yang juga mempengaruhi perkembangan sistem peraturan perundang-undangan, keberadaan
Surat Keputusan Bersama Menteri juga mengalami perbedaan terutama jika dilihat dari aspek
pelaksanaan suatu Surat Keputusan Bersama Menteri. Aspek lainnya yaitu mengenai
kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri melalui penafsiran yang berubah setiap
pergantian peraturan perundang-undangan. Melihat dari perkembangan sistem peraturan
perundang-undangan, keberadaan dan kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri dapat
dilihat dari dimana kewenangan pembentukannya didapatkan dan penafsiran undang-undang
terhadap Surat Keputusan Bersama Menteri.
Kata kunci:
Peraturan Bersama Menteri, Peraturan Perundang-Undangan, Surat Keputusan Bersama
Menteri
The research mainly discusses about two problems related to Joint Ministerial Decree. First,
about existence of Joint Ministerial Decree in accordance to legislation progress. Second,
about Joint Ministerial Decree position in the legislations. Discussion about its existence and
position are purpose to reviews Joint Ministerial Decree which always related two problems,
the force of law and how it will be enforced. This research is normative research use
normative juridical approach through reviews of literature, legislations, and its history
progress with number of examples of Joint Ministerial Decree inside. In governmental system
progress which also affect to legislation system progress, existence of Joint Ministerial
Decree has difference progress as well, especially from implementation aspect of Joint
Ministerial Decree. Another aspect, about position of Joint Ministerial Decree through
interpretation which always changed fits on legislations changes. Through legislations
progress, existence and position of Joint Ministerial Decree can be reviews from, forming’s
authority and interpretation of legislations against Joint Ministerial Decree.
Keywords: Joint Ministerial Decree, Joint Ministerial Regulation, Legislation
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum yang pada prinsipnya menghendaki segala tindakan
atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya, baik
berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.1 Negara hukum pada intinya
menghendaki setiap tindakan maupun kewenangan penguasa tidak melanggar dan sesuai
dengan aturan-aturan yang ada. Setiap organ negara dalam bertindak atau menjalankan tugas-
tugasnya harus dilandasi wewenang yang sah, yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan. Penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan oleh hukum (we matigheid van
bestuur = asas legalitas = le principle de la l’egalite de’l administration). Oleh karena itu,
setiap organ negara sebelum menjalankan tugasnya harus terlebih dahulu dilekatkan dengan
suatu kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan.2
Undang-undang merupakan produk hukum yang memberikan landasan bagi
Pemerintah dalam mengambil setiap kebijakan untuk kepentingan rakyat. Namun, jalannya
pemerintahan tidak dapat hanya berdasarkan kepada undang-undang semata. Hal ini karena
undang-undang memiliki cakupan pengaturan yang masih bersifat umum dan perlu
diterjemahkan kedalam peraturan-peraturan yang langsung tertuju pada hal-hal yang akan
diatur. Salah satu bentuk pelaksanaan dari Undang-Undang adalah kewenangan para menteri
dalam membentuk suatu produk hukum. Salah satu produk hukum yang dapat dibentuk oleh
para menteri tersebut adalah Surat Keputusan Bersama Menteri. Didalam lembar resminya
hanya disebut “Keputusan Bersama” atau “Peraturan Bersama”, namun keberlakuannya
didalam masyarakat lebih dikenal sebagai Surat Keputusan Bersama atau SKB.3
Surat Keputusan Bersama bukan merupakan produk hukum baru dalam praktek
peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun jenis dan keberlakuannya masih
mendapatkan perdebatan di masyarakat. Salah satu SKB yang memulai perdebatan di
berbagai pihak mengenai jenis dan kedudukannya adalah SKB dua menteri antara Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006-No. 8 Tahun 2006 yang menggantikan
SKB No. 01/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam
1 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasan Kehakiman di
Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hal.1.
2 Safri Nugraha,dkk, Hukum Administrasi Negara, (Depok: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia,2007), hal.29.
3 Suherman Toha, dkk, “Eksistensi Surat Keputusan Bersama Dalam Penyelesaian Konflik Antar dan
Intern Agama,” (Laporan Akhir Penelitian Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum
Dan Ham RI,2011), hal.26.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
3
Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh
Pemeluk-Pemeluknya. Beberapa pendapat muncul untuk menanggapi keberadaan SKB ini.
SKB dua menteri ini dianggap sebagai suatu produk hukum yang tidak termasuk dalam
peraturan perundang-undangan. Demikian pula tidak ada peraturan yang memberikan
legitimasi atas eksistensi SKB. SKB dianggap pula bukan merupakan peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian SKB tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.4 Disisi lain Prof.
Mahfud MD menganggap bahwa SKB tersebut penting keberadaannya didalam masyarakat
dan justru keberadaannya nanti akan membuat keadaan kacau balau karna tidak ada
pengaturannya.5
Sejak keberlakuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk
Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat,6 yang kemudian diubah dengan Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia,7 hingga
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan sampai kemudian amandemen yang mengubah hierarki peraturan
perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dan yang terakhir terbentuk dalam Undang-Undang Nomor 12
tahun 2011, dalam perkembangan peraturan perundang-undangan tersebut, Surat Keputusan
Bersama tidak pernah jelas diatur, begitu juga dengan bentuk dari Surat Keputusan Bersama
yang tidak diatur jelas pengelompokkannya. Melalui alasan ini, banyak yang menganggap
keberadaan SKB merupakan suatu produk hukum yang tidak berdasar pembentukannya dan
tidak dapat mengikat kedalam masyarakat.
Pokok Permasalahan
Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan sebelumnya, pokok-pokok
permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keberadaan Surat Keputusan Bersama Menteri dalam sistem peraturan
perundang-undangan di Indonesia?
4 Made Darma Weda “Sekitar SKB tentang Pembangunan Tempat Ibadah”
http://mirifica.net/printPage.php?aid=2596 diunduh 6 Juni 2013.
5 “Mahfud MD: Jangan Hapus SKB Pendirian Rumah Ibadah”
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/09/16/134805-mahfud-md-jangan-hapus-skb-
pendirian-rumah-ibadah diunduh 6 Juni 2013.
6 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan :Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta:
Kanisius, 2007), hal.70.
7 Ibid.,hal.71.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
4
2. Bagaimana kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri dalam hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia?
3. Bagaimana materi muatan yang terkandung dalam Surat Keputusan Bersama Menteri?
TINJAUAN TEORITIS
Fungsi dan Karakteristik Peraturan Perundang-Undangan
Setiap jenis peraturan perundang-undangan memiliki karakteristik dan fungsi masing-
masing, yaitu sebagai berikut:
1. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Undang-Undang
merupakan peraturan perundang-undangan yang tertinggi yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden, yang didalamnya telah dapat dicantumkan sanksi pidana
dan sanksi pemaksa serta merupakan peraturan yang sudah dapat berlaku dan mengikat
umum.8. Sementara Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dibentuk
perihal adanya suatu kegentingan yang memaksa yang pada saat itu Presiden tidak dapat
mengaturnya dengan Undang-Undang, yang untuk membentuknya memerlukan waktu
yang relatif lebih lama dan melalui prosedur yang bermacam-macam.9 Sama halnya
dengan UU, fungsi Perpu adalah: a) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan
dalam UUD 1945 yang tegas-tegas menyebutnya; b) pengaturan lebih lanjut secara umum
aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD 1945; c) pengaturan lebih lanjut ketentuan
dalam Ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya; d) pengaturan di bidang materi
konstitusi, seperti organisasi, tugas, dan susunan lembaga (tinggi) negara, tata hubungan
antara negara dan warga negara dan antara warga negara/penduduk timbal balik.10
2. Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah merupakan suatu peraturan yang membuat
ketentuan dalam Undang-Undang dapat berjalan/dilaksanakan. Karakteristik Peraturan
Pemerintah menurut A. Hamid Attamimi yaitu sebagai berikut:11 a) Peraturan Pemerintah
tidak dapat dibentuk tanpa terlebih dahulu ada Undang-Undang yang menjadi induknya;
b) Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila Undang-
Undang yang bersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana; c) Ketentuan Peraturan
Pemerintah tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan Undang-Undang yang
8 Ibid., hal. 186-187.
9 Ibid., hal. 191.
10 Ibid., hal. 221.
11 Ibid., hal. 195.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
5
bersangkutan; d) Untuk menjalankan, menjabarkan, atau merinci ketentuan Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meski ketentuan Undang-Undang tersebut
tidak memintanya secara tegas-tegas. Peraturan Pemerintah tidak berisi penetapan semata-
mata. Sebagai delegasian undang-undang, peraturan pemerintah memiliki fungsi yaitu: a)
pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya;
b) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Undang-Undang yang
mengatur meski tidak tegas-tegas menyebutnya.12
3. Peraturan Presiden (Perpres). Dengan adanya kekuasaan pemerintahan yang dimiliki
sesuai Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Presiden dapat mengatur segala sesuatu di
dalam Negara RI, hanya saja kekuasaan tersebut memiliki batasan. Dalam hal
pembentukan Undang-Undang harus dilakukan bersama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat, yang merupakan pelaksanaan fungsi legislatifnya sedangkan dalam jalur
eksekutif, Presiden dapat membentuk suatu Peraturan Presiden atau dulu dinamakan
Keputusan Presiden.13 Fungsi Peraturan Presiden adalah, a) menyelenggarakan pengaturan
secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan, fungsi ini adalah
kewenangan atribusi dari UUD 1945 kepada Presiden. Fungsi ini merupakan fungsi
keputusan Presiden yang merupakan ‘sisa’ dari peraturan perundang-undangan yang
tertentu batas lingkupnya yaitu Undang-Undang, Perpu, PP, dan Keputusan Presiden yang
merupakan pengaturan delegasian;14 b) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya;15 c)
menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Peraturan Pemerintah,
meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.
4. Peraturan Menteri. Kewenangan menteri untuk membentuk peraturan menteri bersumber
pada Pasal 17 UUD RI Tahun 1945, oleh karena menteri-menteri negara adalah pembantu
Presiden yang menangani bidang-bidang tugas pemerintahan yang diberikan padanya.16
Fungsi peraturan menteri adalah sebagai berikut: a) menyelenggarakan pengaturan secara
umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya,
penyelenggara fungsi ini adalah berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 Perubahan dan
12 Ibid., hal. 222.
13 Ibid., hal. 198.
14 Ibid., hal. 224.
15 Ibid.
16 Ibid., hal. 199.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
6
kebiasaan yang ada.17 b) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam
Peraturan Presiden, fungsi ini sifatnya adalah delegasian dari Peraturan Presiden, maka
sifatnya adalah pengaturan lebih lanjut dari kebijakan yang oleh Presiden dan dituangkan
dalam Peraturan Presiden;18 c) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam
Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya; d) menyelenggarakan pengaturan lebih
lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya. Fungsi pada
poin (c) dan (d) adalah fungsi yang lahir dari Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Pada masa UUDS, Indonesia menganut sistem parlementer. Dengan adanya pelimpahan
kewenangan langsung kepada menteri di dalam sistem ini, maka setiap pelaksanaan
Undang-Undang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri karena menterilah
yang bertanggung jawab kepada parlemen untuk setiap peraturan yang dibentuknya.19
Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan
UUD 1945 dalam batang tubuhnya memberi petunjuk, bahwa sejumlah materi harus
diatur dalam bentuk undang-undang.20 Materi muatan undang-undang yaitu, i) hal-hal yang
tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan TAP MPR; ii) yang mengatur lebih lanjut ketentuan
UUD; iii) yang mengatur hak-hak asasi manusia; iv) yang mengatur hak dan kewajiban warga
negara; v) yang mengatur pembagian kekuasaan negara; vi) yang mengatur organisasi pokok
lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara; vii) yang mengatur pembagian wilayah/daerah
negara; viii) yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan
kewarganegaraan; ix) yang dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan
undang-undang.
Materi muatan produk hukum yang lainnya adalah sebagai berikut:
a. Konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), menurut
Hans Kelsen yaitu: (a) the preambule (pembukaan); (b) determination of the contents of
the future statutes (penentuan isi ketentuan-ketentuan pada masa depan); (c) determination
of the administrative and judicia function (penentuan fungsi administratif dan yudikatif);
(d) the “unconstitutional” law (hukum yang inkonstitusional); (e) constitutional
17 Ibid., hal. 226.
18 Ibid.
19 Ibid., hal.227.
20A. Hamid Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara.” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990), hal. 212.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
7
prohibition (pembatasan-pembatasan konstitusional); (f) bill of rights (perlindungan hak-
hak); (g) guarantees of the constitution (jaminan-jaminan konstitusi).21
b. Peraturan Pemerintah (PP), yaitu semua materi UU yang perlu dijalankan atau
diselenggarakan lebih lanjut, atau dengan kata lain yang perlu diatur lebih lanjut.
c. Peraturan Presiden, didalam Pasal 11 UU No. 10 Tahun 2004, materi muatan Peraturan
Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk
melaksanakan peraturan pemerintah. Materi muatan keputusan presiden merupakan materi
muatan sisa dari materi muatan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, yaitu materi
yang bersifat atribusian, serta materi muatan yang merupakan delegasian dari Undang-
Undang dan Peraturan Pemerintah.22
d. Peraturan Menteri, menurut A. Hamid S.A., perlu diingat hal-hal berikut:23
a) Kewenangan menteri dalam mengeluarkan peraturan menteri adalah selalu bersifat
derivatif dari kewenangan Presiden;
b) Undang-undang seyogyanya tidak menetapkan bahwa kententuan-ketentuannya akan
diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri kecuali apabila memang tidak akan dapat
atau tidak akan wajar apabila diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah atau
peraturan presiden;
c) Peraturan pemerintah tidak akan mendelegasikan pengaturan lebih lanjut ketentuan-
ketentuannya kepada peraturan menteri kecuali apabila tidak akan dapat atau tidak
akan wajar apabila diatur lebih lanjut dengan peraturan presiden.
d) Peraturan menteri sebaiknya merupakan peraturan ke dalam kecuali ditugaskan untuk
memperinci lebih lanjut suatu ketentuan Perpres.
Didalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, peraturan menteri didefinisikan
sebagai “…peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.” Sementara yang
dimaksud dengan berdasarkan kewenangan adalah “…penyelenggaraan urusan
tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”24
21 H.A.S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia,(Jakarta: Sekjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 161.
22 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan…., hal. 244.
23 Op.Cit.
24 Indonesia (a), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12
Tahun 2011, LN. No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Ps. 8 ayat (2).
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
8
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif.
Penelitian ini akan menjelaskan mengenai hierarki dari Surat Keputusan Bersama Menteri
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur terkait serta keberadaan dan
perkembangannya dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia. Metode
penelitian tersebut terkait dengan bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
penelitian eksplanatoris.25
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang
diperoleh dari studi kepustakaan,26 diantaranya Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 dan
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
maupun produk hukum lainnya yang mengatur tentang peraturan perundang-undangan.
Sementara bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal
yang berkaitan dengan isi bahan hukum primer serta implementasinya yaitu melalui buku,
laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi dan literatur lain, maupun bahan hukum.27
HASIL PENELITIAN
Pada masa awal kemerdekaan telah dikenal adanya Surat Keputusan Bersama (SKB)
Menteri. Salah satunya adalah SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan (PP & K) tentang pendidikan agama yang mulai diberikan pada kelas IV sampai
kelas VI Sekolah Rakyat. Namun situasi keamanan di zaman revolusi yang tidak stabil
membuat Surat Keputusan Bersama Menteri tersebut tidak dapat dilaksanakan.28
Surat Keputusan Bersama Menteri baru benar-benar terbentuk dan berlaku di
masyarakat pada saat dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-
Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah.29 Dalam pasal 20 ayat (2) Undang-Undang
tersebut diatur bahwa “Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri
25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1986), hal. 10.
26 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta:Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia,2005), hal. 12.
27 Ibid.,hal 31.
28 Ringkasan Laporan Penelitisan Problematika Pendidikan Agama; Penelitian di Sekolah-Sekolah SD,
SMP, SMA di Kota Jogjakarta 2004-2006, hal.15 http://e-
dokumen.kemenag.go.id/files/tF8gZUp21284260139.pdf diunduh 10 Mei 2013.
29 Ibid., hal. 17. Saat RIS berakhir dan beralih pada Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950,
Undang-Undang ini tetap berlaku namun ditegaskan keberlakuannya melalui Undang-Undang No. 12 Tahun
1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 Dari Republik Indonesia Dahulu
Tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
9
diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama”, yang kemudian menghasilkan Surat
Keputusan Bersama Menteri yang dikeluarkan pada Januari 1951.30
Kewenangan menteri untuk membentuk SKB didelegasikan langsung oleh UU No. 4
Tahun 1950. Hal ini berkaitan dengan sistem pemerintahan yang dianut saat itu yaitu sistem
parlementer. Didalam sistem pemerintahan ini, menteri-menteri bertanggung jawab langsung
kepada parlemen. Oleh karena itu delegasi pengaturan undang-undang dilimpahkan kepada
menteri bukan kepada presiden. Oleh karena kedudukan menteri-menteri yang sangat kuat
maka wajar ketika itu menteri-menteri mendapatkan delegasian langsung dari undang-undang
untuk mengatur dan mengeluarkan produk hukum. Hal ini juga diperkuat dengan adanya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan
Pemerintah Pusat yang menempatkan kedudukan Peraturan Menteri ada di bawah Peraturan
Pemerintah.
ASS Tambunan dalam bukunya yang berjudul “MPR, Perkembangan dan
Pertumbuhannya, Suatu Pengamatan dan Analisis,” mengatakan bahwa bentuk/jenis peraturan
perundang-undangan yang dimuat dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 diilhami oleh
tulisan Moh. Yamin dalam bukunya yang berjudul “Naskah Persiapan Undang-Undang
Dasar”, Moh. Yamin mengatakan bahwa bentuk-bentuk peraturan Negara salah satunya
adalah Peraturan dan Keputusan Menteri, yang diterbitkan atas tanggungan seorang atau
bersama Menteri. Dengan adanya pernyataan ini bisa diartikan bahwa Muh.Yamin mengakui
adanya suatu peraturan atau keputusan yang dikeluarkan bersama oleh beberapa menteri
sebagai bentuk peraturan perundang-undangan. Pernyataan Yamin diatas juga menunjukkan
bahwa Yamin secara eksplisit hanya menyebut peraturan menteri sebagai salah satu peraturan
pelaksanaan yang kemudian diatur dalam Butir II.A Tap MPRS No. XX/MPRS/1966.
Pada masa ini, salah satu Surat Keputusan Bersama yang dibentuk yaitu Surat
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.01/BER/mdn-mag/1969
tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan
Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama Oleh Pemeluk-Pemeluknya. SKB
tersebut bersifat mengatur dengan nomenklatur “keputusan” terutama yang diatur disini
adalah ketentuan mengenai pelaksanaan serta pengawasan pelaksanaan agama oleh kepala
30 Setelah UU dikeluarkan, pemerintah membentuk panitia bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud
Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen PP & K, yang menghasilkan sebuah SKB yang
dikeluarkan pada Januari 1951 dan pada tanggal 16 Juli 1951, Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
dengan No. 17678/Kab. dan Menteri Agama dengan No. K/I/9180 mengeluarkan peraturan bersama (Surat
Keputusan Bersama) tentang pendidikan agama. Lihat Ibid., hal. 18
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
10
daerah. Contoh lainnya yaitu, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri No. 1/BER/MDN-MAG/1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan
Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Pembentukan SKB ini lebih
kepada penegasan atau penguatan pengaturan sebelumnya yaitu Keputusan Menteri Agama
No. 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama dan Keputusan Menteri Agama No. 77
tahun 1978 tentang Bantuan Keagamaan di Indonesia.
Lain halnya dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian
dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 364/Kpts-II/90–519/Kpts/HK.050/90–23-VIII-
1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha Untuk
Pengembangan Usaha Pertanian. SKB ini merupakan pencabutan dari peraturan sebelumnya
yaitu Keputusan Menteri Kehutanan No. 145/Kpts-II/1986 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Pengembangan Usaha Budidaya Pertanian. Dalam
persyaratan pencabutan, produk hukum hanya dapat dicabut dengan produk hukum yang
sederajat atau lebih tinggi kedudukannya. Tidak mungkin mengatakan bahwa Keputusan
Menteri berada diatas Keputusan Bersama Menteri karena Keputusan Bersama Menteri
ternyata dapat melakukan pencabutan terhadap Keputusan Menteri, dan Surat Keputusan
Bersama Menteri serta Peraturan Menteri merupakan produk hukum yang dibentuk oleh
menteri, maka pejabat yang kedudukannya lebih tinggi dari para menteri adalah Presiden.
Contoh lainnya, Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri
Keuangan No. 44/KPTS/1984-No.215/KMK.01/1984 tentang Perubahan Atas Keputusan
Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik dan Menteri Keuangan No.
211/KPTS/1974-No.KEP-1189/MK/IV/8/1974 tentang Pelaksanaan Penjualan Rumah Negeri.
SKB ini merupakan delegasi tertulis dari Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1974 tentang
Pelaksanaan Penjualan Rumah Negeri, yaitu Pasal 10 PP No. 16 tahun 1974, yaitu:
“Pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur bersama-sama oleh Menteri Pekerjaan
Umum dan Tenaga Listrik dan Menteri Keuangan sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 1 Undang-undang Nomor 72 Tahun 1957 tentang Penetapan Undang-undang
Darurat Nomor 19 Tahun 1955 tentang Penjualan Rumah-rumah Negeri kepada
Pegawai Negeri sebagai Undang-undang.”
Pasal 1 Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1955 sendiri mengatur, “Menteri Pekerjaan
Umum dan Tenaga Listrik dengan persetujuan Menteri Keuangan dapat menjual rumah-
rumah Negeri ... menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Menteri-menteri tersebut.”
Undang-Undang No. 19 Tahun 1955 langsung mendelegasikan kewenangan mengatur kepada
menteri. Hal ini terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut saat itu yaitu sistem
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
11
parlementer yang memberikan delegasi langsung kepada menteri karena kedudukan menteri
yang menjalankan pemerintahan. Namun karena pembentukan peraturan lebih lanjut
dilakukan setelah masa sistem parlementer berakhir, maka pengaturan didalam Undang-
Undang yang tadinya memberikan kewenangan langsung kepada menteri untuk membentuk
keputusan bersama menteri harus didelegasikan terlebih dahulu kepada Peraturan Pemerintah
dalam hal ini Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1974.
Setelah berakhirnya masa Orde Baru, Tap MPRS No. XX digantikan dengan Tap No.
III/MPR/2000. Didalam Pasal 4 ayat (1) Ketetapan tersebut, perihal produk hukum yang
dibentuk oleh menteri hanya disebutkan sebatas peraturan atau keputusan menteri. Penyebutan
tersebut membuat produk hukum yang diakui yang merupakan produk hukum menteri hanya
limitatif pada peraturan menteri dan keputusan menteri.
Beberapa contoh SKB yang dibentuk pada masa ini diantaranya: Keputusan Bersama
Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral, Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian Dan
Perdagangan Republik Indonesia No.1905 K/34/Mem/2001-No.426/Kmk.01/2001 No.
233/Mpp/Kep/7/2001 tentang Ketentuan Impor Pelumas. SKB ini terbentuk dari adanya
perintah Keputusan Presiden No. 21 Tahun 2001 tentang Penyediaan dan Pelayanan Pelumas,
namun delegasian lebih ditujukan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan melalui
Pasal 6 ayat (3) Keputusan Presiden tersebut, yaitu, “Persyaratan dan tata cara impor
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang perdagangan.”
Di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, dalam pasal 1 angka 2 disebutkan “Peraturan Perundang-undangan
adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan
mengikat secara umum.” Di dalam Pasal 7 ayat (4) diatur bahwa “Jenis Peraturan Perundang-
undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi”. Sementara didalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) disebutkan, “Jenis Peraturan
Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat…, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia,
Menteri….” Jika mengacu pada ketentuan pasal 1 angka 2, produk hukum yang dibentuk
berdasarkan Pasal 7 ayat (4) tidak dapat ditentukan hanya sebatas pengaturan lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan diatasnya. Oleh karena itu yang harus dibedakan adalah,
ketentuan Pasal 7 ayat (4) terbatas untuk pengaturan yang mengikat umum.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
12
Di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan sebagai pengganti UU No. 10 Tahun 2004, definisi “peraturan perundang-
undangan” diartikan sebagai “Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat
secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.” Sementara bentuk-
bentuk peraturan perundang-undangan yang sebelumnya hanya diletakan dalam penjelasan
dalam UU No. 10 Tahun 2004, pada UU No. 12 Tahun 2011 diletakkan pada ketentuan Pasal
8 ayat (1), yaitu: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan…Bank Indonesia, Menteri…” dan
ketentuan Pasal 8 ayat (2), yaitu: “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.” Selama Surat Keputusan Bersama Menteri memenuhi unsur-unsur
diatas, ia dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan, mengingat bahwa ketentuan
Pasal 8 ayat (1) menyebutkan “Peraturan yang ditetapkan oleh menteri” bukan “Peraturan
Menteri” sehingga bentuk-bentuk peraturan yang ditetapkan oleh menteri ini masih dapat
diinterpretasikan kembali.
Sebelum masa keberlakuan undang-undang tersebut, nomenklatur produk hukum yang
berbentuk peraturan maupun yang berbentuk penetapan atau keputusan seringkali tidak
dibedakan. Sehingga suatu produk hukum yang dibentuk dengan nama keputusan dapat saja
mengatur hal-hal yang bersifat umum. Disatu sisi produk hukum disebut peraturan, disisi lain
produk hukum yang lain disebut keputusan namun keduanya adalah produk hukum yang
bersifat mengatur.31
PEMBAHASAN
Kewenangan Pembentukan Surat Keputusan Bersama Menteri
Sebelum mengenal sistem pemerintahan presidensil, Indonesia terlebih dahulu
menerapkan sistem parlementer dalam pemerintahannya.32 Dalam sistem pemerintahan
kabinet atau parlementer, menteri tunduk dan bertanggung jawab kepada parlemen. Kinerja
pemerintahan sepenuhnya ada pada Perdana Menteri. Perdana Menteri yang menjalankan
pekerjaan jabatan Presiden sehari-hari jika Presiden berhalangan dalam melaksanakan
31 Diatur dalam Pasal 56 UU No. 10 Tahun 2004 juncto Pasal 100 UU No. 12 Tahun 2012
32 Melalui Konstitusi RIS 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
13
pemerintahan.33 Dengan adanya kewenangan yang begitu besar, maka tidak mengherankan
jika menteri dapat membentuk produk hukum langsung dari delegasian Undang-Undang
karena sistem pemerintahan mendukung hal tersebut. Hal ini berbeda dengan sistem
presidensil yang dianut setelahnya hingga saat ini.
Pemerintahan dalam arti luas mencakup seluruh fungsi yang ada di dalam negara. Hal
ini dapat dilihat dari teori trias politica Montesquieu yang membagi pemerintahan ke dalam
pembagian eksekutif (melaksanakan undang-undang), legislatif (membentuk undang-undang),
dan yudikatif (mengadili).34 Sementara pemerintahan dalam arti sempit adalah pemerintahan
yang hanya berhubungan dengan fungsi eksekutif saja. Didalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan dilakukan oleh Presiden. Selain itu
dalam menjalankan kewajiban pemerintahan, khususnya dalam menentukan politik
kenegaraan, di dalam pasal 17 UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa tugas Presiden
dibantu oleh menteri-menteri negara dan setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan.
Menteri-menteri negara bukanlah pegawai tinggi biasa, karena setiap menteri
membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Menteri memiliki pengaruh yang besar
terhadap presiden dalam menentukan politik negara yang mengenai kementeriannya.35
Walaupun kedudukannya tergantung pada presiden, tetapi menteri-menterilah yang terutama
menjalankan kekuasaan pemerintahan (pouvoir executive) di bidangnya.36
Ketentuan lebih lanjut mengenai menteri-menteri negara diatur dalam Undang-Undang
No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Urusan pemerintahan yang dimaksud dalam
UUD 1945 terbagi menjadi tiga, yaitu: 1) Urusan pemerintahan yang nomenklatur
Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945.;37 2) Urusan
pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945;38 Urusan
pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah.39
33 Republik Indonesia Serikat, Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Ps. 72 ayat (1)
34 Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 57.
35 Ibid., hal. 117.
36 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan …..., hal. 155.
37 Indonesia (b), Undang-Undang Kementerian Negara, UU No. 39 Tahun 2008, LN No. 166 Tahun
2008, TLN No. 4916, Ps. 4 ayat (2) huruf a
38 Ibid., Ps. 4 ayat (2) huruf b
39 Ibid., Ps. 4 ayat (2) huruf c
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
14
Dari semua menteri-menteri negara yang disebutkan, menteri negara yang termasuk
dalam Lembaga Pemerintah dalam Perundang-undangan adalah hanya menteri-menteri
departemen. Menteri Koordinator, dan Menteri Negara tidak merupakan lembaga-lembaga
pemerintah dalam perundang-undangan, sebab dalam membentuk perundang-undangan yang
berwenang adalah Menteri Departemen. Menteri Koordinator dan Menteri Negara hanya
dapat membuat peraturan yang bersifat intern, dalam lingkungannya sendiri, jadi tidak
berwenang membentuk peraturan yang mengikat umum.40 Namun kemudian penyebutan
Departemen dan Kementerian Negara seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 9
Tahun 2005 sudah tidak digunakan lagi, semuanya seragam dengan nama menteri sebagai
pembantu
presiden.41
Hal inilah kemudian yang diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara, dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009
tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, Peraturan Presiden No. 24 Tahun
2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi,
Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, serta peraturan lainnya yang mengatur
tentang Kementerian Negara.
Menurut Maria Farida Indrati, semua kementerian memiliki kewenangan untuk
membentuk peraturan yang mengikat umum kecuali kementerian yang non portofolio atau
Kementerian Negara. Menteri yang tidak memimpin departemen tidak boleh mengatur umum.
Jika kementerian-kementerian itu ingin mengatur umum maka mereka meminta Presiden
untuk membentuk Peraturan Presiden atau Undang-Undang. Peraturan perundang-undangan
yang dibuat oleh Kementerian Negara dan Kementerian Koordinator atau dalam hal ini jika
surat keputusan bersama menteri dibentuk antar kementerian negara atau kementerian
koordinator maka peraturan itu hanya berlaku diantara kementerian tersebut.42
Pada prakteknya kewenangan pembentukan produk hukum menteri itu sendiri tidak
terbatas pada lingkup kewenangan yang dimiliki masing-masing menteri namun karena
perkembangan aspek pemerintahan membuat beberapa surat keputusa bersama menteri
dibentuk. Pada kementerian koordinator, kementerian koordinator juga dapat membentuk
40 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan …..., hal. 141.
41 Menurut Deputi Kelembagaan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (Kemenpan-RB) Ismadi Ananda lihat “Tak Ada Lagi Istilah Menteri Negara”
http://www.jpnn.com/read/2011/11/03/107346/Tak-Ada-Lagi-Istilah-Menteri-Negara- Diunduh 12 Mei 2013
42 Wawancara dengan Prof. Maria Farida Farida, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Jakarta, 28 Mei 2013.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
15
surat keputusan bersama dengan menteri yang bukan menteri koordinator tetapi sifat dari surat
keputusan bersama menteri tersebut tidak mengikat umum dan hanya sebagai bentuk
koordinasi menteri koordinator sesuai dengan fungsinya. Namun untuk kementerian yang
menangani urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi
program pemerintah atau yang dulu dengan nama menteri negara, pembentukan produk
hukum surat keputusan bersama yang bersifat peraturan dapat dibentuk selama menteri negara
atau menteri yang melakukan koordinasi dan penajaman membentuk surat keputusan bersama
dengan departemen yang punya lingkup pemerintahan hingga ke daerah atau yang memiliki
pelaksanaan tugas secara nasional.
Karakteristik dan Fungsi Surat Keputusan Bersama Menteri
Kewenangan menteri untuk membentuk peraturan menteri bersumber pada Pasal 17
ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yaitu “setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan” oleh karena menteri-menteri negara adalah pembantu Presiden yang
menangani bidang-bidang tugas pemerintahan yang diberikan. Perbedaan mendasar dari Surat
Keputusan Bersama Menteri dan Peraturan Menteri adalah hal yang diatur dalam Surat
Keputusan Bersama Menteri lebih luas karena urusan yang diatur mencakup urusan lintas
sektoral namun pada hakikatnya keduanya merupakan produk hukum yang dibentuk oleh
organ yang sama yaitu menteri.
Sama halnya dengan Peraturan Menteri, Surat Keputusan Bersama Menteri juga dapat
dibentuk dalam rangka pengaturan lebih lanjut ketentuan didalam Peraturan Presiden. Hal ini
dapat dilihat salah satunya dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Energi Dan Sumber
Daya Mineral, Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik
Indonesia No.1905 K/34/Mem/2001-No.426/Kmk.01/2001 No. 233/Mpp/Kep/7/2001 tentang
Ketentuan Impor Pelumas, yang dibentuk dari perintah Keputusan Presiden No. 21 Tahun
2001 tentang Penyediaan dan Pelayanan Pelumas, dan Keputusan Bersama Menteri Kesehatan
dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 264A/MENKES/SKB/VII/2003–No.
02/SKB/M.PAN/7/2003 tentang Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Di Bidang Pengawasan
Obat dan Makanan, yang merupakan delegasian dari Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang walaupun tidak disebutkan secara tegas namun
perlu dibentuk peraturan lebih lanjut untuk memperjelas dan memperinci ketentuan dalam
Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
16
Fungsi ketiga dan keempat dari Peraturan Menteri adalah sebagai penyelenggaraan
lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya, dan
penyelenggaraan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya. Dua
fungsi dari Peraturan Pemerintah tersebut dapat dilihat dari Surat Keputusan Bersama Menteri
Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik dan Menteri Keuangan No. 211/KPTS/1974-No.KEP-
1189/MK/IV/8/1974 tentang Pelaksanaan Penjualan Rumah Negeri, yang lahir dari delegasian
langsung Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1955 yang berisi penetapan memberikan
kewenangan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik dengan persetujuan
Menteri Keuangan dapat menjual rumah-rumah Negeri, namun karena pembentukan peraturan
kemudian dilakukan tidak pada ranah sistem parlementer maka kemudian pembentukan SKB
diterjemahkan terlebih dahulu melalui Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1974 tentang
Pelaksanaan Penjualan Rumah Negeri.
Materi Muatan
Walaupun Surat Keputusan Bersama Menteri tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan, tetapi karena merupakan produk hukum menteri, materi muatan yang dimilikinya
adalah materi muatan pelaksanaan undang-undang atau kewenangan pemerintahan. Hal ini
juga dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1), disebutkan bahwa “Peraturan
yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
urusan tertentu dalam pemerintahan.” Sementara didalam lampiran UU No. 10 Tahun 2004
maupun Lampiran UU No. 12 Tahun 2011,43 pendelegasian kewenangan mengatur dari
Undang-Undang kepada menteri atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk
peraturan yang bersifat teknis administratif.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, peraturan yang ditetapkan oleh menteri
salah satunya adalah untuk menjalankan pemerintahan, disisi lain materi muatan peraturan
presiden juga salah satunya untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan, selengkapnya adalah
“berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan
Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan
43 Indonesia (c), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 10
Tahun 2004, LN No. 53 Tahun 2004, TLN No. 4389, Lampiran No. 173 jo. Indonesia (a), Undang-Undang
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN. No. 82 Tahun 2011, TLN
No. 5234, Lampiran No. 211.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
17
pemerintahan.”44 Pembeda diantara keduanya adalah, walaupun peraturan presiden dan
peraturan yang ditetapkan oleh menteri (surat keputusan bersama menteri, peraturan menteri)
sama-sama mengatur perihal pelaksanaan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan,
penyelenggara pemerintahan tertinggi adalah Presiden, seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat
(1) “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan.” Ketentuan Pasal 4
ayat (1) memberikan wewenang kepada Presiden yang luas dan tidak terperinci, sehingga
segala pelaksanaan pemerintahannya sedikit banyak tergantung pada Presiden. Namun
demikian, tidak berarti bahwa Presiden dapat berbuat sekehendak hati, karena UUD 1945
membatasinya.45 Oleh karena kewenangan pemerintahan presiden yang luas, maka presiden
dibantu oleh menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Hierarki Surat Keputusan Bersama Menteri
Mengenai kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri apakah berada di atas
peraturan menteri ataukah setara/sejajar dengan peraturan menteri dapat diuraikan sebagai
berikut: Pertama, dilihat dari pembentuknya, maka Surat Keputusan Bersama Menteri
meskipun dibuat oleh beberapa menteri atau pejabat setingkat menteri (lintas
instansi/departemen) namun keputusan untuk membuat Surat Keputusan Bersama Menteri ada
di tangan masing-masing menteri. Kedua, meskipun materi muatan yang diatur dalam Surat
Keputusan Bersama Menteri pada dasarnya adalah dalam rangka menjalankan bidang
pemerintahan yang bersifat lintas kementerian atau dengan kata lain adalah materi muatan
dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1)
UUD 1945, namun pelaksanaan dan pertanggungjawabannya tetap berada di masing-masing
menteri. Ketiga, sama dengan fungsi peraturan menteri, Surat Keputusan Bersama Menteri
memiliki fungsi: i) menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan di bidangnya; ii) menyelenggarakan pengaturan
lebih lanjut ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti undang-
undang dan peraturan pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya; iii) menyelenggarakan
pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan presiden.46
44 Indonesia (a), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 12
Tahun 2011, LN. No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Pasal 13.
45 Pendapat Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,
Pengantar Hukum Tata Negara. 1993 hal. 198 dalam Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata
Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia…., hal. 112.
46 Bayu Dwi Anggoro,”Keputusan Bersama dalam Perundang-Undangan Republik Indonesia” Tesis
Magister Universitas Indonesia,Jakarta, 2009, hal. 130-131.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
18
Salah satu peraturan menteri yang mengatur mengenai pembentukan produk
hukumnya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 68 Tahun 2009 tentang Pembentukan
Produk Hukum di Lingkungan Departemen Dalam Negeri. Di dalam pasal 1 angka 8, Surat
Keputusan Bersama Menteri dengan nomenklatur Peraturan Bersama Menteri diartikan
sebagai peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Menteri Dalam Negeri bersama
Menteri lainnya. Didalam Pasal 5 Peraturan Menteri tersebut, Surat Keputusan Bersama
Menteri diatur sebagai produk hukum yang bersifat pengaturan bersama dengan Peraturan
Menteri, yaitu sebagai berikut:
Produk hukum yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri yang bersifat pengaturan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, meliputi:
a. Peraturan Menteri; dan
b. Peraturan Bersama Menteri.
Oleh karena Surat Keputusan Bersama Menteri digolongkan sebagai produk hukum
yang bersifat peraturan, maka penyusunannya mengikuti ketentuan penyusunan peraturan
menurut Peraturan Menteri tersebut.
KESIMPULAN
1. Pada dasarnya pelaksanaan Surat Keputusan Bersama Menteri terkait dengan sistem
pemerintahan yang dianut. Didalam negara yang menganut sistem pemerintahan
parlementer, kedudukan menteri bersifat sentral. Menteri baik sendiri atau bersama-sama
memiliki kewenangan penuh untuk mengatur pemerintahan, termasuk juga dalam
membentuk peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, pelaksanaan atas Undang-
Undang selalu mendelegasikan kepada peraturan menteri atau keputusan bersama menteri.
Pada sistem parlementer, kedudukan menteri bersifat sentral dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Oleh karena itu delegasi pengaturan undang-undang dilimpahkan kepada
menteri bukan kepada presiden. Sementara di dalam sistem presidensil, kewenangan
pemerintahan yang utama dilaksanakan oleh Presiden. Menteri sebagai pembantu Presiden
dan kewenangannya merupakan delegasian dari kewenangan Presiden. Keberadaan
keputusan bersama menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan tetap
dilanjutkan, walaupun tidak lazim lagi dilakukan pelimpahan langsung pembentukan
Keputusan dari Undang-Undang. Hal ini karena dalam sistem presidensil yang memegang
kekuasaan utama pemerintahan adalah Presiden, menteri merupakan pembantu Presiden
yang mendapatkan pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Presiden.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
19
2. Kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri sama dengan Peraturan Menteri, yang
berbeda adalah aspek pengaturannya merupakan aspek pemerintahan lintas sektoral namun
pada hakikatnya keduanya merupakan produk hukum yang dibentuk oleh organ yang sama
yaitu menteri. Walaupun lintas sektor dan sama-sama melalui pembentukan tim
antardepartemen, namun materi muatan yang diatur didalam Surat Keputusan Bersama
Menteri dan Peraturan Presiden hakikatnya berbeda. Kewenangan menteri untuk
membentuk peraturan menteri bersumber pada Pasal 17 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
yaitu “setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan” oleh karena
menteri-menteri negara adalah pembantu Presiden yang menangani bidang-bidang tugas
pemerintahan yang diberikan.
3. Secara umum, materi muatan Peraturan Menteri dan Surat Keputusan Bersama Menteri
adalah untuk mengatur lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan
melaksanakan penyelenggaraan urusan pemerintahan, dan urusan pemerintahan
disesuaikan dengan tugas dan fungsi masing-masing kementerian. Walaupun Surat
Keputusan Bersama Menteri tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi
karena merupakan produk hukum menteri, materi muatan yang dimilikinya adalah materi
muatan pelaksanaan undang-undang atau kewenangan pemerintahan.
SARAN
1. Keseragaman pedoman dalam pembentukan produk hukum menteri untuk menghindari
adanya penafsiran-penafsiran yang berbeda pada masing-masing kementerian, dan untuk
memperjelas keberadaan Keputusan Bersama Menteri atau Peraturan Bersama Menteri
dalam Peraturan Perundang-Undangan Nasional untuk menghindari banyaknya penafsiran
dan pemahaman yang berbeda mengenai bentuk Keputusan atau Peraturan Bersama
Menteri. Hal ini karena di dalam salah satu Peraturan Menteri yaitu Peraturan Menteri
Dalam Negeri, Peraturan Bersama Menteri adalah termasuk dalam salah satu peraturan
perundang-undangan.
2. Mengingat keberadaan dan keberlakuan Peraturan Bersama Menteri dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia telah diakui, maka sebaiknya keberadaan serta
keberlakuannya diatur dalam suatu Undang-Undang yang mengatur mengenai tata cara
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013
20
DAFTAR PUSTAKA
Buku
H.A.S. Natabaya. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: Sekjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006.
Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan :Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan.
Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Nugraha,Safri dkk. Hukum Administrasi Negara. Depok: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2007.
Mamudji,Sri et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta:Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia,2005.
Soekanto,Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum Cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986.
Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasan
Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 2005.
Toha, Suherman dkk, “Eksistensi Surat Keputusan Bersama Dalam Penyelesaian Konflik
Antar dan Intern Agama. Laporan Akhir Penelitian Hukum, Badan Pembinaan Hukum
Triwulan, Titik dan Ismu Gunadi Widodo. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta: Kencana, 2011.
Nasional Kementerian Hukum Dan Ham RI. 2011.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Republik Indonesia Serikat. Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
_________. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU
No. 10 Tahun 2004. LN No. 53 Tahun 2004. TLN No. 4389.
________.Undang-Undang Kementerian Negara. UU No. 39 Tahun 2008. LN No. 166 Tahun
2008. TLN No. 4916.
________. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No.
12 Tahun 2011, LN. No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.
Artikel
Made Darma Weda “Sekitar SKB tentang Pembangunan Tempat Ibadah”
<http://mirifica.net/printPage.php?aid=2596>, diunduh 6 Juni 2013.
“Mahfud MD: Jangan Hapus SKB Pendirian Rumah Ibadah”
<http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/09/16/134805-mahfud-
md-jangan-hapus-skb-pendirian-rumah-ibadah>, diunduh 6 Juni 2013.
Ringkasan Laporan Penelitisan Problematika Pendidikan Agama; Penelitian di Sekolah-
Sekolah SD, SMP, SMA di Kota Jogjakarta 2004-2006 <http://e-
dokumen.kemenag.go.id/files/tF8gZUp21284260139.pdf>, diunduh 10 Mei 2013.
“Tak Ada Lagi Istilah Menteri Negara” <http://www.jpnn.com/read/2011/11/03/107346/Tak-
Ada-Lagi-Istilah-Menteri-Negara->, diunduh 12 Mei 2013.
Lain-Lain
Anggoro,Bayu Dwi.”Keputusan Bersama dalam Perundang-Undangan Republik Indonesia.”
Tesis Magister Universitas Indonesia. Jakarta. 2009.
Wawancara dengan Prof. Maria Farida Farida, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, 28 Mei 2013.
Surat keputusan ..., Guretno Sekar Ningsih, FH UI, 2013