surat cinta dari alumni smala

52
SURAT CINTA ALUMNI SMALA SMALANE SELALU SUCI DALAM PIKIRAN SMALANE PASTI BENAR JIKA BERKATA SMALANE HARUS TEPAT DALAM TINDAKAN DAN SMALANE AKAN SELALU DAPAT DIPERCAYA 0

Upload: suselosuluhito

Post on 21-Jun-2015

836 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Surat Cinta Dari Alumni Smala

SURAT CINTA ALUMNI SMALA

SMALANE SELALU SUCI DALAM PIKIRAN

SMALANE PASTI BENAR JIKA BERKATA

SMALANE HARUS TEPAT DALAM TINDAKAN

DAN SMALANE AKAN SELALU DAPAT DIPERCAYA

“Seribu orang tua hanya bisa bermimpi, Satu orang pemuda dapat mengubah dunia!”

-Ir. Soekarno ketika memimpin langsung pemberantasan buta huruf di Jogjakarta-

0

Page 2: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Elang tetap akan menjadi elang meskipun dikurung di kandang ayam.

Mungkin sepenggal kalimat itu menjadi analogi cantik untuk siswa-siswi Smala yang selalu berprestasi selama ini. Sekolah yang terletak di jalan Kusuma Bangsa 21 ini menjadi kebanggaan segenap warga Surabaya karena menjadi ikon pendidikan sekolah menengah di Kota Pahlawan. Umurnya yang sudah puluhan tahun menunjukkan kematangan usia untuk mendidik tiap-tiap calon pemimpin bangsa Indonesia untuk selalu berkarya untuk masyarakat.

Ada dua hal yang membuat sekolah ini layak mendapatkan gelar sekolah unggulan menurut masyarakat di Jawa Timur. Bukan karena fasilitasnya yang lengkap dan juga bukan karena pengajarnya yang berkualitas international. Tetapi justru karena prestasi-prestasi yang telah dicapai siswa-siswinya dan kesuksesan Alumni Smala bekarir di kancah nasional. Dua hal itulah yang menjadi magnet tersendiri untuk menarik siswa yang baru lulus dari SMP berani bersaing ketat melanjutkan studinya di Smala. Sungguh luar biasa fenomena sekolah ini.

Namun, baru-baru ini status Smala menuju SBI menarik banyak perhatian alumni Smala itu sendiri. Murid-murid yang berasal dari keluarga kurang mampu seringkali membatalkan niat untuk melanjutkan studi di Smala lantas mahalnya biaya pendidikan di sekolah ini akibat “internasinalisasi” siswa. Biaya pendidikan SBI di Smala berlipat-lipat lebih mahal dibandingkan dengan kelas regular membuat kaum ekonomi lemah tidak sanggup untuk masuk kelas SBI. Dan kebijakan menutup semua kelas regular membuat saya yakin nyali warga kaum marginal menjadi semakin ciut untuk menyekolahkan anaknya di Smala SBI.

Sekolah negeri mempunyai amanah yang berbeda dengan sekolah swasta yang mempunyai otonomi khusus. Sekolah swasta berhak menentukan segmen tersendiri siswa-siswinya seperti sekolah Al-Hikmah yang mengeklusifkan diri terdiri dari murid-murid Islam kaum mumpuni, sekolah Ta’miriah untuk murid Islam berbagai kalangan, sekolah Petra untuk yang beragama Kristen, dan sekolah- sekolah swasta lain yang juga punya segmentasi sendiri.

Hal ini berbeda dengan sekolah negeri. Pemerintah mendirikan sekolah negeri di seluruh penjuru nusantara tentu untuk mewujudkan salah satu janji kemerdekaan bangsa ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yaitu MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA. Sekolah negeri ada untuk mempercepat pencerdasan seluruh warga Negara tanpa pandang bulu asal sukunya berasal, asal daerahnya, agamanya, dan juga kemampuan ekonominya. Lantas ketika Smala menobatkan diri sebagai sekolah (hampir) international dengan biaya SPP selangit, apakah masih layak menyandang kata “Negeri” jika mengeklusifkan diri menjadi sekolah yang “hanya boleh” dimasuki orang-orang yang berkemampuan ekonomi mapan lewat biaya SPP yang selangit?

1

Page 3: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Ada anomali yang membuat kami, kaum alumni Smala, merasa tergelitik dengan arah gerak dinas pendidikan saat ini. Perdebatan mengenai SBI sebenarnya sudah lama berkembang pada tahun 2008 ketika Smala menyediakan kelas SBI pertama kali. Tapi saat itu hanyalah sayup-sayup perbincangan kecil karena masih “bau kencur” efek SBI itu sendiri. Namun hal ini menjadi sorotan tajam dan perbincangan serius oleh para alumni ketika prestasi Smala yang dulu acap kali berkumandang jarang terdengar lagi saat ini. Dan juga alumni SBI yang ternyata masih ikut Unas dan ujian

perguruan tinggi di Indonesia padahal bersertifikat international. Lantas apa bedanya dengan sekolah negeri biasa?

Saya akan mencoba menunjukkan bagaimana gambaran dan pandangan alumni Smala terhadap SBI Smala saat ini dengan uraian sebuah artikel. Selamat membaca dan semoga bermanfaat!

Sebuah Artikel SBI SMALA

ANGKATAN PAMUNGKAS SMALANE

Brakkk…. Brakkk…. Brakkk….Itulah penutup lagu terkahir dari Gita Smala siang tadi. Kalau saja tadi melihat penampilan Gita Smala di Festival Paduan Suara ITB (FPS ITB), saya yakin semua orang berdecak kagum melihat performanya. Saya sendiri memang tidak secara langsung masuk Aula Barat dengan mereka, hanya di luar pintu masuk. Tapi dari luar pintu masuk tadi saja saya bisa mendengarkan cantiknya kolaborasi paduan suara yang dibina oleh bu Puji, guru Kewarganegaraan di Smala.

Setelah tampil di Albar, tim Gita Smala bergegas menuju selasar planologi untuk foto-foto satu tim Paduan Suara. Disana bersama dengan Gio, Tika, Uke, Mimiy, dan Momon, saya sempat ngobrol-ngobrol sebentar tentang Srikandi Gita Smala. Mata saya berbinar-binar melihat kecantikan mereka yang menakjubkan. Awalnya saya ragu klo mereka hanya cantik sesaat alias karena di make-up. Tapi rekan seperjuanganku tadi yang lebih dekat mengenal mereka menyakikan saya bahwa mereka memang cantik sebelum dirias. Sungguh luar biasa, peningkatan kualitas bidadari Smalane meningkat sangat signifikan jika melihat perkembangan dari angkatan 2006 hingga angkatan 2010.

ANGKATAN SBI

Tiba-tiba saya ingat bahwa mereka semua adalah angkatan Smala SNBI(Sekolah Nasional Bertaraf International) 100 persen (sekarang lebih dikenal sebagai SBI, Sekolah Bertaraf International). FYI, SBI di Smala sendiri ada sejak angkatanku(2008), namun itu hanya 2 kelas rintisan saja. Begitu juga Smalane angkatan 2009 dan 2010. Warga SBI sendiri dikenakan tarif yang jauh lebih mahal

2

Page 4: Surat Cinta Dari Alumni Smala

dibandingkan kelas reguler oleh pihak sekolah. Pada tahun 2008, sekolah membuat kebijakan menutup semua kelas regular dan membuka 9 kelas SBI untuk ajaran baru.

Menurut saya, ada korelasi antara tingkat kemakmuran dengan tingkat kecantikan seorang wanita. Gadis dengan kemampuan ekonomi sangat makmur cenderung lebih merawat dirinya dengan kualitas super sehingga kecantikannya ikut-ikutan super. Dari sana saya membuat hipotesa bahwa kecantikan mereka bersinar karena mereka adalah kaum mumpuni. Tapi bukan itu yang ingin saya pikirkan saat ini. Tapi ATMOSFER Smala dahulu, sekarang, dan nantinya.

ATMOSFER EKSTRIM

Ketika saya menginjakkan kaki pertama kali di sekolah ini, sepintas tidak ada yang jauh berbeda dari SMP dulu. Siswa-siswi Smala mempunyai latar belakang ekonomi yang sangat bervariasi dan toleransi hati juga masih kental dengan perbedaan kemampuan ekonomi itu. Tapi seiring berjalannya waktu, saya merasa teman-teman saya cukup hedonis mengingat banyak sekali yang hobi jalan-jalan ke mall dan nonton film-film di bioskop yang mana hobi itu tidak saya temui di SMPku yang tercinta, Spensagress. Tapi sebenarnya gaya hidup mereka juga cukup wajar jika dibandingkan dengan tiga sekolah tetangga yang ternyata tingkat hedonnya lebih mengerikan.

Dengan variasi ekonomi di Smala kala itu, warga Smala mempunyai etika yang sangat baik. Anak orang kaya tetap berperilaku sederhana selayaknya siswa lain pada umumnya. Begitu juga hal-hal lain seperti jalinan silahturami kaya-miskin yang tidak ada sekat pembatas, kebersamaan tanpa pembeda latar ekonomi, saling berbagi tawa dan canda, kerja sama berjuang di segala lomba, dan keharmonisan untuk berbagi ilmu pengetahuan antarsiswa. Sungguh atmosfer yang cukup indah di sekolahku ini.

Tapi hal ini pasti akan lenyap pada angkatan baru tahun 2008. Semua siswa dipukul rata dikenakan sekolah tarif international sehingga saya yakin tingkat ekonomi mereka juga 100 persen mumpuni. Otomatis atmosfer tenggang rasa seperti di angkatan yang lebih dulu dari mereka juga pasti hilang karena ada kehomogenan baru yang hadir di tengah-tengah mereka. Agak malang juga nasib mereka tidak mendapat ilmu keharmonisan hidup bersama secara langsung.

Smalane angkatan 2010 yang barusan lulus sekarang adalah angkatan Smala terakhir yang masih memiliki kelas regular. Sehingga saya menyebutnya sekarang adalah Smalane angkatan pamungkas. Dan Smala sekarang telah dihuni 100 persen siswa SBI atau bahasa ekonominya dihuni 100 persen anak orang kaya. Cukup memprihatikan jika komite akademik Smala meng”ekslusif”kan diri menjadi sekolah borjuis sehingga anak dengan kemampuan ekonomi rendah tidak bisa bergabung menjadi warga Smala. Ini sangat tidak adil jika hanya orang kaya yang boleh mengakses pendidikan terbaik di Indonesia.

Beasiswa siswa miskin di Smala? Menurutku itu omong kosong. Dulu ketika saya masih berstatus Smalane memang banyak teman-temanku yang mendapatkan beasiswa dari luar sekolah melalui BP Smala. Tapi adik kelas saya pernah bercerita bahwa semenjak angkatan dia, mendapatkan beasiswa di Smala dipersulit. Bahkan adik kelasku sendiri yang memang membutuhkan bantuan finansial untuk sekolah juga tidak mendapatkan beasiswa dari Smala. Dari situ saja saya bisa tahu arah Smala

3

Page 5: Surat Cinta Dari Alumni Smala

selanjutnya setelah di tutup semua kelas regulernya, yaitu menutup beasiswa untuk yang membutuhkan(CMIIW).

SBI SMALA DIEVALUASI PEMERINTAH

Kabar menteri pendidikan mengevaluasi keberlanjutan sekolah bertaraf international akhir-akhir ini patut diapresisasi. Dinas pendidikan menilai di lapangan bahwa pada kenyataannya banyak sekolah-sekolah yang menyalahgunakan status sekolah international. SMA 5 Surabaya juga pasti tak luput dari evaluasi pemerintah tentang keberlangsungan status internationalnya.

Mungkin warga Smala disana saat ini berharap status sangar mereka tetap tersematkan di sekolah mereka. Tapi saya berbeda, saya berdoa semoga SBI diseluruh Indonesia DIHAPUSKAN. Saya bukan bermaksud jelek menjatuhkan kualitas sekolahku tercinta ini. Tapi saya yakin, permasalahan atmosfer hidup selaras dari keberagaman yang hilang di sekolah tidak hanya dialami oleh SMA 5 Surabaya, tapi juga sekolah-sekolah favorit di kota lain yang mengejar status international. Saya menganggap dengan bubarnya SBI, maka sekolah-sekolah favorit yang memiliki fasilitas memadai akan menurunkan kembali biaya SPP untuk siswanya seperti kelas regular sebelumnya. Dan dari situ jugalah calon siswa-siswi kurang mampu yang mempunyai semangat tinggi mencari ilmu mendapatkan kembali haknya untuk bersekolah dengan fasilitas lengkap seperti yang anak orang kaya dapatkan selama ini.

SALAH KAPRAH KELAS INTERNATIONAL

Di Negara-negara maju, kelas international bukanlah kelas yang diisi oleh orang-orang pribumi kaya yang ingin mendapatkan akses internatiaonal. Tapi justru diisi oleh SISWA DARI LUAR NEGERI yang sedang bersekolah di Negara tersebut karena adanya Kendala bahasa pengantar. Kita ambil contoh adalah kelas international di Jepang. Bahasa pengantar untuk pendidikan di Jepang adalah bahasa nasional, yaitu bahasa Jepang. Dan siswa yang dari luar Jepang pasti kesulitan menyerap ilmu dengan bahasa pengantar Jepang jika mereka ikut bersama kelas regular sekolah pada umumnya. Oleh karena itu, pemerintah Jepang membuat kelas international dengan bahasa inggris sebagai pengantar untuk memudahkan siswa asing dari luar Jepang mengikuti pendidikan dasar sesuai kurikulum(CMIIW). Dan terbukti Jepang bisa menjadi salah satu kiblat pendidikan dunia dengan mempertahankan sistem seperti itu.

Hal ini berbeda dengan sekolah di Indonesia yang justru membuat kelas international untuk “menginternationalkan” murid-murid pribumi. Mengadakan kelas SBI membuat bahasa Indonesia menjadi tergeser sedikit demi sedikit karena pengantar sehari-harinya adalah bahasa inggris. Dan sungguh saya sulit membayangkan jika anak-anak kita nantinya mahir berbahasa inggris dan tidak lancar bahasa Indonesia seperti artis Cinta Laura.

Saat ini ITB sendiri juga menerapkan kurikulum yang hampir sama seperti di Jepang(CMIIW). Yaitu menyedikan kelas international untuk siswa yang memang berasal dari luar Indonesia untuk memudahkan mereka mengikuti pendidikan di ITB. Bukan untuk me”londo”kan mahasiswanya seperti yang terjadi di SMA-SMA belakangan ini. Mungkin sistem seperti ini bisa dijadikan model bagi SMA yang ngotot ingin mengahdirkan kelas International.

4

Page 6: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Semoga adanya evaluasi dari pemerintah saat ini tentang sekolah bertaraf international menemukan solusi yang lebih cerdas dan cocok diterapkan di Indonesia dengan memperhatikan akses pendidikan negara ini yang masih tidak merata di seluruh pelosok negeri.

Maju Terus Pendidikan INDONESIA! Bravo SMALANE!

SUSELO SULUHITODept. of Mechanical Engineering 2008Institut Teknologi Bandung

PEMODELAN KASUS

Ada 4 siswa yang baru lulus SMP dengan kondisi yang berbeda.Siswa A berkemampuan ekonomi sangat baik dan mendapatkan nilai UAN bagus.Siswa B berkemampuan ekonomi sangat baik tapi mendapatkan nilai UAN pas-pasan.Siswa C berkemampuan ekonomi lemah tapi mendapatkan nilai UAN bagus.Siswa D berkemampuan ekonomi lemah dan mendapatkan nilai UAN pas-pasan.

Dengan Asumsi:1. Soal UAN yang didapatkan 4 siswa tadi bobotnya sama.2. Tidak ada gangguan dalam pelaksanaan UAN(tidak ada kecurangan akademik.red)3. SMA 5 SBY versi SBI diseleksi berdasarkan nilai UAN dan dana yang mampu dibayar untuk SPP4. SMA 5 SBY versi Reguler diseleksi berdasarkan nilai UAN saja tanpa memandang status ekonomi

Maka, kondisional yang terjadi:

SMA 5 SBY versi SBI:Siswa A lolos seleksi karena nilai UAN memadai dan mampu membayar SPPSiswa B lolos seleksi karena walaupun nilai UAN tidak memadai tapi mampu membayar SPPSiswa C tidak lolos seleksi karena tidak mampu membayar SPPSiswa D tidak lolos seleksi karena nilai UAN tidak memadai dan tidak mampu membayar SPPHasil Seleksi: hanya siswa anak orang kaya yang boleh masuk SMA 5 SBY

SMA 5 SBY versi Reguler:Siswa A lolos seleksi karena nilai UAN memadai dan mampu membayar SPPSiswa B tidak lolos seleksi karena nilai UAN tidak memadai Siswa C lolos seleksi karena nilai UAN memadai walaupun tidak mampu membayar SPPSiswa D tidak lolos seleksi karena nilai UAN tidak memadai dan tidak mampu membayar SPPHasil Seleksi: Hanya siswa yang memiliki nilai UAN memadai yang boleh masuk SMA 5 SBY

SMA 5 SBY VERSI APA YANG MENUNJUKAN KEADILAN?

5

Page 7: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Link1: http://suluhmania.wordpress.com/2010/07/25/angkatan-pamungkas-Smalane/Link2: http://suluhmania.wordpress.com/2010/07/26/pemodelan-sma-5-sby/

Itu adalah notes yang penulis buat setelah Gita Smala selesai bertanding di FPS ITB. Saat itu Saya iseng mengupload tulisan ini di FB dan secara mengejutkan banyak sekali teman-teman alumni Smala yang merespon artikel ini. Saya akan menunjukan bagaimana respon para alumni tentang isu SBI ini(tanpa di edit).

[Febrian Arifianto, STAN 2008]Ah iya ak sek iling yaopo atmosfer di Smala, terutama di koridorny pas pena, phpri ato skdr ngumpul sore hari..kantin pun sdh berubah .skrg hmpr dipastikan gak ada suasana kyk gtu

btw, tp klo ga salah Smalane yg msk taun 2008 n 2009 msh ada regulerny sus, adekku msk taun 08wdh klo sbi smua, ad kls sosial ga y?

[Suselo Suluhito, Teknik Mesin ITB 2008]wew, banyak yang ngerespon nih note ternyata....tnada banyak yang masih peduli Smala n pendidikan Indonesia.saya tag2in yang lain deh...moga bisa ngasih pendapat atau pandangan yang bagus.=)

[Rifa Widyaningrum, Kedokteran Umum UGM 2008]hmm, iya sih disamping berniat memajukan bangsa, sekarang pendidikan kan bisnis..

jadi inget kapan hari waktu naik transjogja denger adik2 smp yang ngomongin ga jd masuk smp favorit nya selama ini gara2 ga mampu bayar soalnya semua kelas sbi.. sedih kalo gitu

[Ragil Wicaksono , Metalurgi ITB 2009]sejak aku lulus suasana jadi sepi mas fee..hehehetrus sossh masi ada kok buat anak2 yang baru meskipun sbi semua..

[Suselo Suluhito, Teknik Mesin ITB 2008]eh, ms atika masih jadi guru Smala kan yah?saya ngetag biar aspirasi kita disampaikan ke komite Smala.hehh

[Febrianti Nur Ajizah, Ilmu Ekonomi UGM] terserah ada ga ada rsbi , yang penting jangan hapuskan ssosh!

6

Page 8: Surat Cinta Dari Alumni Smala

[Upi Ruth Palupi WidyaHandari , Teknik Industri UI 2008]Iya 08 msi ada reguler koq..Hmm jd inget pernah nemu ank pke kaos dgn tulisan 'saya ank miskin terakhir yg bisa kuliah' pas ui berubah jd bhp.ya moga aja kita2 yg alumni ini nanti smua jd org sukses dan suatu saat bisa dgn mudahnya blg 'udah sni, ank Smala yg gbs byr spp, kontak aku'Wih! Amiin2 ya Allah amiin.. hehe.

[Suselo Suluhito, Teknik Mesin ITB 2008] iyah. thx buat koreksinya teman2....=)

[Erlangga Budi Pradipta , Teknik Industri ITB 2008]ngomong2, Smala sekarang msh sering menyabet gelar juara? trus tiap hari senin selalu ada pekik gembira gema almamater?

[Dimas Putra Paramajaya , Teknik Kimia ITB 2007]baca dulu gan, komen menyusul, panjang sekali soalnya...

[Dimas Putra Paramajaya , Teknik Kimia ITB 2007]semangat yg bagus sus, tak apresiasi usahamu!!!

aku gak ngomong kebijakan itu bener atau salah, soalnya saya yakin orang2 di komite pendidikan seharusnya sudah memikirkan semua konsekuensi yg ditimbulkan oleh kebijakan ini..dan saya yg hanya seorang mahasiswa (denganIP tidak terlalu menonjol pula) mungkin tidak berhak untuk mengkritisi kebijakan tersebut...

tapi kenyataan yg sudah kulihat hampir sama ama kamu sus, makin banyak siswa kurang mampu yang membatalkan niatnya untuk masuk SMA SBI, dikarenakan ketakutan mereka akan biaya yg mahal.

dan sekarang tinggal kita tunggu saja hasilnya 2-3 tahun lagi, bagaimana kualitas lulusan SMA-SMA yg berstatus SBI, akankah lebih baik? atau malah lebih buruk...

satu hal yg saya yakini, jika memang suatu sekolah menolak siswa yg mampu secara akademik dikarenakan ketidak mampuannya dalam hal finansial, maka bukan anak tersebut yg tidak pantas bersekolah, tapi sekolahnya lah yg tidak pantas untuk anak tersebut!

MAJU TERUS PENDIDIKAN INDONESIA!!!

[Wirio Bagaskoro, Teknik Mesin ITB 2006]note yg bagus sus.. bangga pny tmn yg brpikiran brani sprti anda..tolong bagi teman2 yg pny akun FB guru atau pengurus yg masih brtugas di SMALA atau bahkan kepala skolahnya skalian bisa skiranya di tag ke beliau2 itu..karna kalo tidak.. note ini SIA-SIA..thx b4

7

Page 9: Surat Cinta Dari Alumni Smala

[Arif Amalia Rahman, Design ITS 2008]wih,aku gak di tag.mayak suselo iki..Ralat sus,angkatan reguler terakir itu 2011. Soalnya adekku sekarang kelas 3 Smala,dan juga masek reguler,

[Vanny Erliana Kusumawardhani, Teknik Industri ITB 2007]Aku mengomentari komennya erlangga (nah lo bingung), kmrn baru ketemu sama anak2 Smala yang berangkat AFS taun ini ke amrik&norway (taun ini 5 orang lhoo, patut diapresiasi, biasanya 1 aja uda syukur).. mereka bilang sejak adanya SBI ini Smala jadi jarang nyabet gelar2 olimpiade dan perlombaan lain selain bhs inggris (inget ga setiap senin kita selalu ada jadwal upacara tambahan untuk nyebutin prestasi? skrg uda jarang..).. sayang banget kan, skul kita dulu terkenal untuk itu, skrg jadi gataw lagi identitas SMA 5 yg sebenarnya.. yang kul di luar negeri aku baca di jawa pos juga ga sampai 5% tiap tahun, kurang ada beda antara SBI dan ga..

Yang soal finansial, setuju ma kamu sus, sama dimas juga.. Sayang banget ya kalo ga da keberagaman status sosial lagi di SMA.. Padahal aksi "nongkrong2 bareng di lantai depan kelas tanpa peduli status sosial" itu berkesan banget buat aku pas di Smala..

Kalo bagus ga nya, mungkin baru bisa dilihat taun depan waktu kelas full SBI lulus dan berebut kursi di PTN..

Saya berdoa yang terbaik juga lah untuk almamater, hidup Smala!

[Firmansyah Sumaryono , Geodesi ITB 2008]tapi lek menurutku ya sebagai orang awamseharuse itu SBI (Internasional) otomatis outputnya ntar 60% keluar dong, bahasa pengantar seharusnya bhs inggris, soal ujian bhs inggriseman ae lek ujung2e kuliah dlm negri, nek suroboyo pisanbukan di kelas internasional sing koyo nek UIkalo outputnya mek nek kene-kene ae yo mbalik ke sistem awal ae, tanpa SBI tapi tetap menjadi unggulan

saknoe rek Smalaku.. kantin kesayanganku tak se-cozy yang dulu*ga nyambung

[Dio Koes Brilianto, STAN 2008] waduh aku ketinggalan jauh. Walaupun g di-tag boleh ya sedikit cerita?

aku ada sedikit curhatan dari guru Smala (Pak Dirman dan Bu Emil - yang notabene guru BK kita) dulu waktu main main ke Smala. Waktu itu Smala angkatan 2010 udah SBI semua. Beliau-beliau sebenarnya kurang setuju akan status Smala yang jadi SBI semua. Dengan biaya SPP yang tidak salah sekitar 300rban,CMIIW, kemungkinan besar anak Smala angkatan 2010 ini datang dari keluarga yang 'berada'.

Karena hal itu pula, aku balik tanya ke Bu Emil, "lho bu, jadi kalo keadaannya seperti ini, anak-anak yang (maaf) 'kurang berada' ga bisa masuk Smala?

Bu Emil menyahut, "Nah itu dia masalahnya, kalo kondisinya seperti ini sepertinya g bisa, Nak" (Beliau berbicara dengan nada prihatin)

8

Page 10: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Pak Dirman juga ikut nimbrung, beliau mengatakan kalo Smala ke depannya bakal kurang bisa menghasilkan lulusan yang berkualitas dengan pensiunnya guru-guru lama (Bu Clara, Bu Tatik, Pak Padmo dsb). Dan guru-guru baru yang menggantikan beliau-beliau yang sudah pensiun, menurutn beliau, tidak se kompeten guru-guru yang lama.

Perlu teman-teman tahu juga, Pak Tontowi (Bhs Inggris) dan Pak Chomari (Fisika), sebenarnya bukan guru PNS. Beliau berdua adalah hasil rekrutan dari pihak sekolah sendiri karena pihak sekolah tidak mau mengambil jatah guru baru (PNS) yang kurang kompeten. Kita tahu sendir kan kemampuan Pak Tontowi dan Pak Cho yang sudah tidak diragukan lagi.

tapi untuk tahun ini, Smala tidak bisa lagi mencari guru seperti Pak Cho dan Pak tontowi, nah mau tidak mau Smala harus mendapat jatah guru PNS yang secara random ditempatkan oleh Depdiknas, dan guru-guru yang mendapat tempat di Smala sebagai guru baru, menurut Pak Dirman, kurang kompeten.

Yah mungkin itu saja dari saya..Mohon maap kalo tiba-tiba datang dengan komentar yang seabreg.Jazz.

[Suselo Suluhito, Teknik Mesin ITB 2008]terimakasih buat tanggepan dan masukan dari kawan2 Ikasmanca. jumalh limit tag terbatas fren. yang di tag di gilir biar banyak yang mbaca.

btw, tadi diatas ada yang ngusulkan notes n komen2 disini di samapaikan ke warga Smala? setuju ga?(klo ga ada dukungan ya ga di eksekusi.heheh)klo emang siap dieksekusi, sekiranya kita sekalian mbantu komite sekolah mikir masalah diatas atau bahasa mahasiswanya tuh "cari solusi konkrit".silahkan yang ngasih tanggepan.=)

[Titis Sekar Nurani, Teknik Lingkungan ITB 2007]setujuuuu...*haha. komennya panjang bener*good job, sus!

[Vanny Erliana Kusumawardhani, Teknik Industri ITB 2007]hmm, tp yang lulus full SBI katanya masi angkatan 2011 ya sus, bener ga? kalo maw kritik yang valid harusnya kritik waktu 2011 nanti dong, evaluasi selama 3 tahun mrk disana gimana.. depdiknas kan juga evaluasi, jadi kita mantau aja gitu..kalo skrg kan masa transisi, separuh2, jadi kalo masi banyak penyimpangan bisa dimaklumi..

tapi kalo keluhan tentang sulitnya beasiswa, itu bisa mulai diinisiasikan pemecahannya..

[Dimas Bayu Pradipta , Teknik Elektro ITS 2007]thanks for the tag.. .sedikit mau menanggapi..

Pertama Atmosfer Ekstrim.. .Ya mungkin dulu pas sekolah, q ga seberapa ngerti gimana atmosfir di daerah koridor, tapi entah kenapa, q ga seberapa nyaman dengan atmosfir Smala sekarang. Parkiran yang di dominasi oleh mobil. Bukan sirik atau iri, cuman aneh ae, klo dulu sepeda motor yang ngantri masuk parkiran,

9

Page 11: Surat Cinta Dari Alumni Smala

sekarang mobil yang antri masuk gerbang sekolah. Kantin yang dulu "merakyat", sekarang dah kyk foodcourt ("--).

Kedua, tentang SBISakjane sistem ini bagus, pemerintah berusaha untuk memacu anak2 bangsa untuk Go International. Membiasakan murid2 untuk bisa berbahasa inggris sejak dini, agar nantinya siap untuk bersaing di dunia. Di ITS sendiri, ada syarat TOEFL untuk bisa lulus, meskipun IPK cumlaude tapi TOEFL jeblok, sama aja ga bisa lulus. Nah klo sejak SMA udah dibiasain pake b.ing, kan sedikit banyak bisa mbantu ntar pas mw lulus kuliah :D Selain itu, kita juga ga bisa memungkiri klo negara kita masi tertinggal, jadi mungkin, salah satu tujuan pemerintah itu biar anak2 bangsa bisa mahir b.ing, trus lanjut pendidikan di luar, kemudian balik ke indonesia menularkan ilmunya.Jadi lek menurut q, tidak ada yang salah dengan penerapan SBI, cuman dalam penerapannya, harus memperhitungkan banyak aspek. Seperti pada note diatas, aq ga setuju klo Siswa C ga bisa sekolah gara2 ga bisa mbayar, disinilah yang perlu dievaluasi. Sampai sekarang, aq masi belum tw ada beasiswa apa ga, tapi coba ntar ta cari info.

Semoga berkenan TS :)

Dimas B.P / Jincheng4team, Axi VITS - Teknik Elektro 2007ICT Staff Smala 2010

[Dimas Putra Paramajaya, Teknik Kimia ITB 2007]wah setelah membaca komennya sodara jincheng, saya jadi semakin penasaran untuk melihat kondisi Smala yg sekarang...sayang sekali kemarin pas liburan gak kesana...

sekalian jawab pertanyaan suselo, coba aja sampaikan sus, paling nggak buat menyadarkan mereka kalo masih ada alumni Smala yg masih peduli ama Smala...tp kalo berbicara mengenai turunnya kualitas kita jg belum bisa justifikasi, soalnya angkatan SBI kan belum ada yg lulus...

[Suselo Suluhito , Teknik Mesin ITB 2008]Tanggepan Pribadi saya yah:@vany. Maksudnya bukan mengkritik, hanya memberi masukan dari pandangan kita bersama. Sebenere Smala ga bisa disamakan kayak ITB atau kampus lain yang udah berbadan hukum dan punya senat akademik dan MWA(50 persen sahamnya masyarakat luar). Yang mana BHMNnya bisa dipengaruhi masyarakat luar seperti kritikan, demo, aksi damai, dll.

Klo di Smala sendiri itu Lembaga Pendidikan dibawah diknas, kebijakan dan Grand Plan Smala ditentukan oleh Komite Smala dan Diknas saja. Masyarakat, Smalane, orangtua siswa, bahkan alumni Smala pun ga bisa ikut andil mempengaruhi kebijakan Smala. Jadi kita hanya bisa memberi masukan ke warga Smala karena gerakan aksi kita ga bisa menentukan arah Smala kedepannya.

oiya,Thx juga buat masukannya mbak Vanny.=)

@jincheng. Ibaratnya gini, kita ingin mbuat Mobil, tapi yang dibuat cuma Bodynya doank. Sama kayak gini, Kita ingin Smala Go International, tapi yang dikejar STATUSnya doank.Sistem SBI di Indonesia ga mengikat, jadi GA ADA JAMINAN klo misal udah kuliah di luar negeri, trus balik lagi menularkan ilmunya ke Indonesia.

10

Page 12: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Lain lagi klo Smala udah dididik militer yang udah disematkan "Garuda Di Dadaku" sehingga mereka udah punya tanggung jawab mengabdi ke negara.

FYI, Sangat banyak sekali siswa negeri kelas reguler yang lancar berbahasa inggris tanpa harus di kelas international selama 3 tahun. Jadi alasan buat melancarkan bahasa inggris siswa kurang tepat untuk mempertahankan status SBI. Bahkan tanpa status SBI pun masih bisa dibuat berbahasa inggris sebagai bahasa pengantar sekolah kayak SMA di Kediri.

FYI lagi, masuk Smala ga ada jalur beasiswa. Jadi mau ga mau harus bayar uang gedung n SPP selangit. Tapi coba cari info terbarunya, mungkin udah berubah.

Thx buat masukannya Jincheng.=)

@cemonk. oke. Ntar coba dibuat langkah aksi berikutnya.=)

[Fitrian Pambudi , Teknik Elektro ITB 2007]thx infonya.nice writing! baru tahu Smala sekarang SBI semua.Cukup gembira dan prihatin saja

[Nurfrida Nashira Ramadhanti , Teknik Sipil ITS 2008]hmmhh.boleh ikut nimbrung ga ya?? aq juga sempet baca di koran ttg Smala yg di sbi kan (semua kelasnya)..hummh..prihatin banget rasanya..sebenernya emang bener si,,ada bagusnya..diharapkan nantinya kualitas anak2 indonesia itu berwawasan internasional..tp ya moga2 ttp sesuai semboyan 'think globally act locally'..kalo cerita masalah sbi jaman q dulu,,emang si,,qt masi belum ada apa2nya..persiapan ujian cambridge aja mepet banget,,jadinya hasilnya pun g maksimal..ya namanya juga rintisan..tapi aq berharap nantinya dengan sbi yg uang spp nya mahal ga cuma bagus di fasilitas aja..tapi yang lebih penting gmn membentuk Smalane yg siap bersaing di dunia internasional..dan 'seharusnya' ada sistem subsidi silang di dalamnya..sehingga anak2 yg (maaf) kurang mampu masi bisa ikut bersaing juga..salut buat note ini!!!

[Ridho Wastu Widyawan, Teknik Elektro ITB 2008]*numpang nimbrung sus...

sbenarnya tujuan didirikannya SBi tu buat apa sih?apa supaya lulusan yang dihasilkan bisa bersaing dengan luar negri??..mohon pencerahannya bagi yang mengerti..

*haha..jadi inget dulu ga jadi masuk SBI gara2 namaku ketuker mbek Ridho wasisto...-___-"

[Antee Hadiyanti, Farmasi Unair 2009]numpang comment mz...terakhir aq ke Smala, tgl 24 juli 2010 yg lalu..aq emg udah ngerasa Smala agak berubah...

mereka seolah lbh mementingkan prestasi mereka sebagai SBI ketimbang prestasi sebagai SEKOLAH UNGGULAN di bidang akademik maupun non akademik.

11

Page 13: Surat Cinta Dari Alumni Smala

knp aq bisa blg gtu?bayangkan saja, sekarang Smala mau terima sponsor dari luar pada waktu demo SS.dan, dengn adanya sponsor itu,acara demo SS yg tadinya bertujuan untuk mngenalkan SS ke Smalane baru, berubah menjadi ajang pameran motor!!!sungguh ironi menurutku,Smala mau saja di jadikan ajang promosi seperti itu.mereka mengorbankan siswa-siswi mereka yg telah bekerja keras agar acara demo SS dapat berlangsung demi sebuah sponsor..padahal jika kita berpikir lagi, apa manfaat sponsor bagi kaum Smalane??cuma nebeng beken dan cenderung untuk hedonisme semata (menururt saya)..

sebenernya banyak c keluh kesah saya terhadap perkembangn Smala sekarang, tapi klo aq tulis di comment, kasian yg baca...mgkn kah kita bisa urun rembug almamater kita tercinta tentang pandangan kita thd Smala??? sebelum Smala kehilangan wibawanya...*cuma saran aja c ituu... hehhee...

[D' Angga Septian , Teknik Kelautan ITS 2008]Mmang SBI tu proyek maya milik pra dosen indonesia saat ni, tak khayal gol. sosial ekonomi lemah yg jdi korbanny. astoo,

[Briawan Dwipa Keswara, Teknik Sipil ITB 2008](urun nimbrung meski ga d tag)

SBI. Mungkin ini sebuah inisiatif yg kelewatan ya.

>> Skala keluargaPerhatikan bahwa kenyataannya, pendidikan adalah solusi jangka panjang bagi perekonomian. Begitupun siswa pandai-miskin, ternyata merekalah harapan keluarganya untuk memperbaiki ekonomi keluarganya (oke ini agak ekstrim, aku ambil yg gampang). Dan yg ironis, ternyata biaya untuk jenjang kuliah (PTN) tidak berubah banyak (bahkan sampai sekarang). Alangkah sayang jika seorang siswa pandai-miskin yang ternyata terpaksa melepas kesempatan u/ menempuh pendidikan di SMA terbaik, dan gawatnya kalo hal tersebut membuatnya gagal pula menembus PTN terbaik.Jelas sekali bahwa perbaikan taraf hidup manusia tidak terjawab oleh pendidikan. Ini melenceng dari tujuan pendidikan.

>>Skala daerahMungkin analisis tiap daerah ya. Pendidikan seharusnya dapat dinikmati oleh seluruh masusia Indonesia. (Kita tinggikan standarnya,menjadi pendidikan yang layak). Jelas ada yang salah apabila kita menyaksikan beberapa potensi daerah harus merantau untuk mengecap pendidikan yang saya katakan layak itu. Kondisinya sekarang malah lebih ekstrim. Potensi daerah (yang rata2 miskin), sekarang mulai kesulitan untuk menembus sekolah2 terbaik akibat masalah biaya. Tentu berbeda jika pemerintah telah menjamin peningkatan mutu pendidikan di daerah2, sedangkan (mungkin), sekolah2 terbaik di kota2 besar itu memang dipersiapkan u/ menghasilkan SDM bermutu internasional. Kesulitan bagi putra putri daerah u/ mendapat pendidikan yg baik juga akan menghambat kemandirian daerah2 di Indonesia.

>>Skala negaraKita adalah bangsa dengan beragam permasalahan. Dalam dan luar negeri. Sekolah yang secara utuh berstatus 'Internasional'? Apakah kita sebegitu membutuhkannya? Tidakkah masalah dalam negeri SAJA pun sangat kompleks. Menurutku, kiita belum siap untuk itu. Perbaiki dulu yang dalam, baru

12

Page 14: Surat Cinta Dari Alumni Smala

bertarunglah keluar. Saat Indonesia diluluhlantakan oleh penjajah, yang ditanyakan pemimpin kita adalah "berapa banyak makanan yang tersisa?". Sedangkan ketika Hiroshima di bom oleh sekutu, pemimpin Jepang bertanya, "Berapa jumlah guru yang tersisa?"Ini keanehan bangsa kita yang sangat mengagungkan hal2 instan. Perbaikan mutu kehidupan negara pun tidak selayaknya diambil dengan cara yang instan. Pendidikan menjawab itu,namun pendidikan pun tidak instan! Teruslah menapak bumi, wahai pemimpin dan pemimpi negaraku!!

Sori terlalu panjang. Ini cuma pandanganku, tapi aku juga belum tahu tujuan dijadikannya Smala menjadi SBI (dan kita butuh itu, karena apalah arti tesis tanpa antitesis =P).CMIIW.

[Eka Chartina, Kesehatan Masyarakat Unair 2007]Hhmmm..Gag bs comment pnjg lebar..bgung!Yg q tw..bkin kbjakan ntu gag segampng ngebalik krtas..Stiap pngamblan..kbjakan ada resiko..ada konsekuensi..ada untg di stu phak..ada rugi di laen pihak..

Q cmn brharap yg trbaik ajah bwt SMALA..Jga trus nama baik almamater SMALA,,!Dimulai dr dri sndri!

'Smalane suci dlm fikiran..Smalane benar jika brkta..Smalane tepat dlm tindakan..Smalane dpt dipercaya..'

[Herdi Prihandana , STAN 2008]trm ksh atas analisinya..dan saya rasa itu benar..hmm..sy menyoroti dari ruang lingkup Keuangan Publik... Pendidikan merupakan barang publuk yang disediakan pemerintah untuk rakyatnya,pendidikan bs dinikmati oleh semua golongan.. dan untuk "meningkatkan" mutu,pemerintah menaikkan anggaran pendidikan menjadi 20% dr APBN..tapi,kenyataannya,biaya pendidikan lebih mahal. Ironis memang, kenaikan jatah ini tidak diimbangi ekonomisnya biaya..lalu,kemanakah dana sebesar ini?mgkn dana ini dihabiskan untuk evaluasi2 pendidikan,,mgkn jg trmsuk evaluasi SBI..sangat disayangkan apabila dana sebesar ini hanya dihabiskan untuk evaluasi2 seperti ini,,dan bukannya untuk membiayai masyarakat ekonomi rendah yg punya semangat dan kemampuan..dan miris melihat temen2 yang ekonomi kurang dipersulit untuk mendapatkan beasiswa.. Saya sendiri mendukung dengan adanya evaluasi atas SBI,,dikarenakan masalah efisiensi dan efektivitas..jgn sampai uang rakyat hanya dihabiskan dengan kegiatan2 yang kurang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia seluruhnya...))Semoga sj SMALA kedepan menjadi lebih baik lagi..jaga terus nama baik Almamater...

[Wilda Prihatiningtyas , Fakultas Hukum Unair 2009]sangaarr... smpe speechless ak, ms.. hehehe

[MsAttyka Dewiyanti, Pengajar Smala]assalamualaikum,iya mas Suselo, saya masih di Smala :)

13

Page 15: Surat Cinta Dari Alumni Smala

dan membaca notes ini beserta komentar2nya, membuat saya bangga akan kepedulian penulis & komentator diatas yang rata-rata alumni ya?

apa mau disampaikan ke pihak sekolah, tulisan ini? trus saya bisa bantu apa? mas suselo, tolong cek inbox ya :)

[Suselo Suluhito , Teknik Mesin ITB 2008]@all. thx buat pemberian wawasan dan share pengalaman di Smala.Senang rasanya masih banyak yang peduli Smala n Pendidikan Indonesia.

@D'Annga. di Smala ga ada dosen boi.heheh

@wilda. Speechless tapi melu ngomen. ikut kasih masukan yah...

@mstyka. udah dibales di inbox juga.heheh

[Ahmad Izzuddin , Teknik Telekomunikasi ITB 2007]wah, aku wis suwe gak nang Smala, dadi gak ngerti yeopo arek Smala saiki

[Brina Oktafiana, Arsitektur Univ. Petra 2008]hahaha.selo,adekku kterima di SMALA, aku liburan ini jadi sering njemput dia waktu pulang skolah.dan mnurut spengetauanku,ada kesenjangan sosial yang mncolok antara SMALA & SMADA dengan SMA 9 & SMA 1.

[Dizka Zulianah , Teknik Informatika PENS ITS 2009]subhanallah .. kritis bgt mas .. very very like this lah !:D

[Febrian Arifianto , STAN 2008]Alhamdulilah trnyta komen para alumni dr berbagai angkatan rata2 setuju dgn suselo ttg pendidikan yg berkualitas dan terjangkau bagi semua murid :)

Berhubung kykny saat ini ak dan bbrp yg lain mgkn msh blm bs bantu scr konkret, ingt aj komen2 kita semua di note ini pas kita insyaAllah udh jadi 'orang'kita punya komitmen bwt ngasih yg terbaik buat pendidikan, apapun profesi dan sumbangsih kita nanti..

[Yunita Ayu Irwanti , Unair 2008]catatan yg keren bgt suz,, jg banyak komen2 kritis temen2 yg nanggapi note ini dari banyak perspektif. aq stuju bgt klo emang note ini disampaiin k pihak Smala, trutama jajaran guru+kepsek. Tapi klo mnurutku, kita g bisa ngejudge gitu aj klo sbi lebih jelek dari Smala dgn kelas reguler. Tapi y itu tadi, mbok ya jangan menutup diri dari kesempatan menerima murid berprestasi+layak masuk Smala karena kepintarannya tapi terkena kendala finansial, dengan mematok tarif sekolah yg tinggi. Apalagi beasiswa. Murid yg mampu tuh juga suka dan nyari beasiswa kok, apalagi murid yg (maaf) kurang mampu yg butuh bantuan. Semoga kualitas Smala tetap jadi aspek utama dalam membanguan Smala k depannya, baik kualitas murid2nya maupun guru2ny. G cuma hardskill tapi softskill jg ..

14

Page 16: Surat Cinta Dari Alumni Smala

[Endo Rizqon , Kedokteran Gigi Unair 2008]wah lulus saka ITB g usah dadi pegawai , dadi analis ekonomi ae ..

skalian menteri ekonomi , lak luwih sip tah ? u've got d talent ..

hahahah

[Ardian Cepe Djohari , Metalurgi ITB 2009]@pemodelan kasus : ah serius mas nilai jelek asal mampu bayar bisa diterima sekarang ?

mau share kenyataan SBI yah mas, kebetulan saya kan anak SBI generasi kedua.

SBI dijamanku sedikit maksa, daftar kelas reguler , diadain tes TOEFL, dan tau2 aja dimasukkin kelas SBI.

Keuntungan SBI ? fasilitas lebih, ditambah a.c , lcd, dan komputer satu untuk setiap kelas. Selain itu diberi materi lokal dan materi internasional yg berkiblat ke tes Cambridge. Nyatanya, selain untuk tes cambridge bhs. inggris, persiapan untuk tes cambridge lainnya hanya 1-2 bulan sebelum tes tersebut. Selain itu, pemberian materi jadi gak fokus karena terkesan jadi setengah2 antara materi lokal dan internasional.

Saran saya, kalau SBI hanya untuk sekedar fasilitas tambahan dan tes cambridge, lebih baik tetap reguler. untuk masalah tes cambridge nya bisa ditawarkan siapa saja yg mau ( karena memang untuk ikut harus membayar lagi dan cukup mahal ) . Tidak perlu seperti sekarang yang untuk masuk dilihat dulu kemampuan finansialnya.

Kalau yang saya lihat dari terakhir saya sekolah di Smala, lama kelamaan concern sekolah kita lebih kearah bagaimana Smala makin mendapat banyak gelar mulai dari RSBI, standard ISO (apa itu saya lupa) , dll. Bukan lagi bagaimana membuat siswanya yg berpotensi semakin berkualitas kedepannya. Malahan dengan sistem SBI yang ada sekarang, belum tentu mendapat input yg berpotensi juga kalau mengutamakan kemampuan finansial. Sepertinya butuh dibuat pengawas dari alumni2 ya ? hahaha. CMIIW

[Decky Restyawan, Unair 2008]secara holistik, aku setuju lo ambek pemikiranmu.. SANGAT SETUJU malah! tapi mungkin ada beberapa hal yang menggelitikku untuk sedikit ngomong..check inbox ae gan, oke? ditunggu forum diskusinya..

[Rakhman Santoso , Teknik Kelautan ITB 2008]pendapat pribadi ae,1. SMALA sekarang udah jauh berbeda dari SMALA yang dulu dari segi kejaran, menurut saya SMALA sudah kehilangan jati diri sebagai sarana menuntut ilmu. Kejaran utama dari SMALA menurut saya hanyalah pamor akan kehebatan-kehebatan akan fasilitas, sistem akademik, terobosan-terobosan baru, dan tentu saja ini kebijakan dari jajaran-jajaran atas di SMALA (KepSek, WaKepSep)2. Menurut saya itu kembali lagi ke individu-individu SMALANE yang sudah terbentuk sebelum masuk, solusinya adalah, dengan adanya ospek yang memiliki metode yang cocok sehingga bisa tersampaikan dengan baik dan menuai banyak manfaat, menurut saya ospek SMALA mengalami penurunan mulai tahun 2006.3. Pemerintah belum cukup siap untuk menjalankan program SBI, yang ada hanya menggembor-nggemborkan SBI di seantero Indonesia tanpa adanya persiapan dan kematanga konsep. Sehingga yang ada semua melenceng dari kejaran, berjalan tanpa ada panutan, dan biaya yang mahal. Saya

15

Page 17: Surat Cinta Dari Alumni Smala

selaku siswa SBI angkatan pertama di SMALA merasa ini kenyataannya, SMALA hanya menjual nama SBI yang mana di dalamnya sekolah reguler tapi bayar mahal. Dari pihak pengajar saja mungkin kurang mumpuni (sebagian saja ya). Contoh, untuk ujian cambridge, menurut saya sekolah selaku sara menuntut ilmu bertanggung jawab terhadap penyampaian materi ujian, latihan-latiahan, tapi yang ada gak seperti itu, ada seorang guru yang selalu memandang sebelah mata kelas saya,4. Tidak semua orang kaya itu borjuis, bagaimana kita bisa memandang SBI pasti borjuis, itu hanyalah pandangan yang terlalu awam, haya menggambil 1 contoh untuk mengambil kesimpulan. Coba liat sekolah swasta, yang reguler saja hedon, apalagi yang SBI? Makannya disini saya tekankan, itu kembali ke individu masing-masing, SBI hanyalah sebuah sistem ciptaan manusia yang mungkin masih jauh dari sempurna.Kesimpulan saya, SBI sebenernya adalah salah satu upaya pemerintah untuk memajukan pendidikan di Indonesia, naun dalam aplikasinya mungkin masih jauh dari kata matang. Semoga kelak ke-depannya bisa menjadi jauh lebih baik. Sebagai warga negara seharusnya yang bisa kita lakukan bukan mengeluh dan terus mengkritik saja, lakukan sesuatu, paling tidak untuk adik-adik kita SMALANE, toh 15 tahun mendatang Indonesia ada di tangan kita. Jadikan ini semua sebagai blajaran hidup.

[Fiqrie Hidayat, Sastra Prancis UI 2009]klo mw dibahas dengan rinci semua pendapat yang ada bisa dibenarkan, tetapi tidak bisa dipungkiri banyak sekali orang yang sekedar mengambil kesimpulan hanya dengan melihat sisi luarnya, dalam kasus ini kita lihat saja imej SMALA yg telah bergeser.ya dengan keadaan SMALA yang jd SBI seperti skg ini memang akan lebih didominasi golongan yg mampu,karena mereka bisa memenuhi sarana pendukung yg dibutuhkan, misalnya biaya les, bukan menjadi sesuatu yang salah tapi yg perlu diobenahi adalah manajemen penerimaannya, jangan sampai hanya karena mengejar pemenuhan fasilitas sebagaimana telah menjadi syarat SBI,mejadikan tujuan utama sekolah.Disisi lain pihak sekolah yang katanya diminta "mandiri" oleh pemerintah, mengejar status sekolah untuk menjadi yg semakin diakui, untuk pemenuhan sarana ditempuhlah cara sumbangsih dari orang tua siswa karena katanya pembiayaan SMALA disuruh "mandiri", oleh karena itu timbulah kebijakan yang "kesannya" mendominasikan golongan yg mampu.sebenarnya masalah ini merupakan persoalan klasik yg biasa ditemui pada sekolah-sekolah yg ingin semakin meningkatkan mutunya. dan masalah ini masalah yg seharusnya dipecahkan bersama, bukan hanya pihak-pihak tertentu. semuanya tergantung pada kebijakan yang dikeluarkan orang-orang yg memiliki hak megambil keputusan, dan jgn sampai melupakan status SMA Negeri, yg notabene adalah sekolah untuk semua rakyat Indonesia tanpa pandang status

[Eryan Ramadhani Hariyadi, Hubungan International UI 2007]hmmm..tiga tahun gak dengar kabar dari Smala ternyata begini toh modelnya SMA paling bagus di Jatim..skrg saya di UI yang muridnya notabene dari seluruh penjuru Indonesia, tradisi anak baru kan pasti nanya asalnya dari SMA mana, dan kalo saya jawab SMA 5 Surabaya semuanya pasti langsung 'terpesona' (asli bikin ge-er)..sebenarnya aroma2 komersialisasi (halah bahasaku rek ^.^) Smala itu udah ada sejak tahun kedua SBI a.k.a angkatan masuk 2006, eh bener gak ya pokoknya waktu itu saya tahun kedua di Smala. yang paling saya ingat waktu daftar ulang SBI (kan dulu daftar ulangnya SBI dan reguler waktunya beda) masa' ada yang bawa mobil Jaguar? asli Jaguar yang model kayak hadiahnya Indosat itu, wah keren juga nih Smala (pemikiran dulu ini ceritanya). Sekarang?? correct me if i'm wrong, jarang ada nama Smala di lomba2 sekelas nasional, bener gak? ato saya yang kurang up-date? =D tahun 2009 lalu saya sempat jadi LO untuk OIS atau Olimpiade Ilmu Sosial tingkat SMA se-Indonesia, saya sudah bela2-in ngirim undangan buat Smala untuk partisipasi tapi ternyata Smala tidak menanggapi undangan OIS tersebut (ini kabar yang saya dengar dari teman saya yang sama2 jadi

16

Page 18: Surat Cinta Dari Alumni Smala

panitia OIS). Hello? apakah ini Smala yang sudah terlalu IPA atau memang Smala sudah tidak sehebat dulu? only God knows it..

PS: nulis ini bikin emosi *sumpah*, kapan2 tak sambung lagi ya Sus..

[Hesti Para'mita' Sari Suharsono, Agronomi dan Holtikultura IPB 2007]hm..Sedih aq sus..

Pernah ndenger curhatan bu emil,, sekarang para wali murid susah diajak musyawarah kekeluargaan..

[Endo Rizqon, Kedokteran Gigi Unair 2008]ayo2 yg komen jgn skedar bkin pendapat ala jurusan masing2 ,,

mnurut saya yg hrus dbahas adlh solusi ajj ..

sperti :

1.bagaimna nasib ank yg mmiliki kmampuan (akademik) bwt skul d Smala , tp tdk memiliki biaya ?

2.klopun sudah tdk bsa dperbaiki , bagaimana cara dana yg memang "besar" bwt skul tu dialokasikan dgn baek ?

3.bagaimana dgn SS ?? hanya beberapa saja yg bnr2 ddukung oleh pihak skul ,, dan pihak skul mnurut saya hanya dtg mndukung ktika suatu SS dlm sbuah kompetisi sudah mncapai babak yg tinggi .. (ngutip DBL 2010 / Semifinal Pertama SMALA ) maklum saya emg ank bzket , tp bagaimana dgn ank futsal , voli , tari ? kmana dukungannya ?

4.mgkn salah satu yg paling penting ,, GENERASI : mengapa hrus ad generasi ? pdhl d taun2 sblumnya tanpa generasi itulah yg mmbwa SMALA mnuju ketenaran .. klopun hrus ad GENERASI , mka cm hrus ad satu generasi yg ad = GENERASI SMALA / SMANCA dr angkatan awal smpe kiamat ..

5.pihak SMALA spertinya krg merata tntg care / peduli ,, yg akan direken oleh para guru hanya ank yg pandai2 saja dan yg paling nakal .. smentara yg biasa / ditengah2 ?

yah mgkn pndapat saya akan mnyinggung banyak pihak ,, tp emg sperti itu adanya , saya mengajak para SMALANE / Alumni Ikasmanca bwt mncari solusi .. SOLUSI , bkn hanya pemaparan saja ..

terima kasih ..

[Gilank Kristiawan, Kedokteran Unibraw 2008]gini....

Smala dari dulu dikenal sebagai sekolah unggulan, kenapa? apakah karena fasilitasnya?lab2nya? gurunya? mungkin bukan...tapi karena emang mayoritas anak2 yang masuk Smala itu pinter2.

mungkin maksud pihak sekolah sudah baik..

mereka ingin memfasilitasi anak2 pinter yang masuk Smala dengan fasilitas terbaik misal :

17

Page 19: Surat Cinta Dari Alumni Smala

lcd, AC, komputer per kelas, dll. konsekuensinya adalah naiknya SPP. ono rupo ono rego rek...pasti itusebenernya kalo emang sistem per-beasiswaan jalan dengan baik, kita mestinya berbahagia, karena anak2 kurang mampu yg pinter akan dapat fasilitas terbaik pula.nah, kalo emang beasiswa macet, ini yang perlu dibenahi.

SBI itu apa sih? kalau cuma kurikulum reguler Indonesia yang di-Inggriskan, tentu gak patut disebut SBI...yang ada dalam pikiran saya adalah, anak2 Smala mendapat kurikulum berbasis internasional, sehingga anak2 Indonesia bisa sejajar dengan anak2 dari USA,UK,Jepang dalam pendidikan (g bisa dipungkiri Indonesia masih tertinggal dalam hal pendidikan). cuman saya gak tau eksekusi SBI di Smala gimana, apakah kedodoran atau memang sudah greng..go International.

sistem beasiswa perlu dibenahi, ngga apa2 Smala jadi semakin canggih dengan kelas yang nyaman, lab2 yang komplit, kantin yang bersih (tapi aku gak setuju kantin wartel digusur, kangen ayam kremese om widji!) asal harus menjamin siswa kurang mampu yang berprestasi dapat bersekolah di Smala....

solusi nih, gimana dengan sistem subsidi silang? kalo di univ saya, tiap maba diminta rek. listrik, air, telp, dll. untuk diperiksa, selanjutnya SPP tiap maba disesuaikan dengan kemampuan ekonominya. terbukti di kampus saya, sistem ini jalan dengan baik koq...

kalo soal bahasa, bukankah baik kalau anak2 Smala bisa berbahasa Inggris lisan maupun tertulis? ingat sekarang jamannya free trading..kalo lihat lowongan kerja di koran, rata2 persyaratannya adalah mahir bahasa Inggris lo....

cuman ya, pinter2 guru bahasa Indonesia untuk meramu pelajaran yang menyenangkan, sehingga siswa2 tetap cinta akan bahasa indonesia (dadi kangen bu djamilah rek....)

duowo yo, hehe

tolong ditanggapi, maaf kalo ada beda pendapat yo rek

GBU

[Suselo Suluhito , Teknik Mesin ITB 2008]Saya nanggepin yang punya gilang yah.Bahasa inggris itu penting agar bisa bergaul sebagai warga dunia.Tapi, Kita harus ingat SUMPAH PEMUDA. ...Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia...Jadi hemat saya dengan adanya SUMPAH itu, kita perlu menggunakan bahasa inggris dengan WAKTU dan TEMPAT yang TEPAT. Bukan segalanya harus pakai bahasa inggris.

Ada banyak alternatif agar Smalane jago bahasa inggris. Seperti penambahan jam pelajaran bahasa inggris, tapi kelas intensif bahasa inggris untuk yang belum mahir, dan masih banyak cara lain agar adik2 kita jago bahasa inggris tanpa harus meng-SBI-kan sekolah.

Smalane ada untuk regenerasi PEMIMPIN BANGSA, bukan untuk pelajar yang bersertifikat international.

18

Page 20: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Thx udah ngasih masukan sebelumnya.=)

Komentar- komentar para alumni setidaknya dapat menggambarkan bagaimana perkembangan Smala karena mereka sendiri pernah merasakan berstatus Smalane sehingga dapat membandingkan Smala zaman mereka dengan Smala zaman sekarang.

Ada beberapa poin yang dapat dipetik dari komentar-komentar diatas. Yaitu:1. Alumni Smala masih peduli dengan kondisi Smala saat ini karena banyak sekali masukan

yang mereka berikan melalui notes ini dan Milist Ikasmanca2. Alumni Smala masih OPTIMIS dengan adik-adik Smalane sekarang karena alumni

beranggapan bahwa fenomena-fenomena aneh di Smala adalah akibat dari sistem yang dibuat oleh komite sekolah, bukan akibat Smalane itu sendiri

3. TIDAK ADA SATUPUN alumni Smala yang menginginkan Smala eksklusif sebagai sekolah yang hanya diisi orang-orang yang 100 persen kaum ekonomi sangat mapan

4. Semua alumni Smala sepakat bahwa Smala harus bisa diakses oleh siswa-siswi dari semua kalangan ekonomi karena SMALA MASIH DISUBSIDI UANG RAKYAT.

5. Hanya sedikit dari alumni Smala yang masih mendukung SBI Smala. Namun dari sedikit orang yang mendukung itupun masih mensyaratkan bahwa SBI harus dibuka untuk semua kalangan, meraka mensyaratkan usaha yang lebih dari pengurus Smala untuk meyelesaikan ini mulai dari subsidi silang bagi siswa yang kurang mampu, pembentukan tim khusus untuk mencari dana beasiswa, dan cara-cara lain yang memungkin siswa ekonomi lemah dapat mengikuti pendidikan di Smala

6. Alumni SBI Smala merasa bahwa SBI Smala itu tak ubahnya seperti kelas regular yang di”inggris”kan plus penambahan fasilitas AC dan computer serta sertifikat international ketika lulus. Belum ada konsep yang jelas mengenai kejaran yang dicapai dengan adanya SBI Smala dan belum dirasakan manfaat yang significant oleh alumni SBI sendiri.

7. Banyak alumni Smala yang masih mempertanyakan tujuan didirikan SBI Smala itu sendiri karena belum ada sosialisasi parameter kesuksesan SBI Smala.

8. Alumni Smala merasa tidak masuk akal jika Smala menjadikan status SBI hanya untuk menjadikan Smala jagoan bahasa inggris dan mematok biaya yang mahal bagi siswanya.

9. Alumni Smala merasa prestasi Smala saat ini merosot karena mulai jarang sekali terdengar Gema Almamater Smala.

19

Page 21: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Poin-poin diatas sudah sepatutnya diketahui oleh pihak komite Smala agar perkembangan Smala tidak melenceng dari yang dicita-citakan oleh Bangsa Indonesia.

Saya membuat dua hipotesa sederhana untuk poin nomer 9. Hipotesa pertama, siswa-siswi dengan ekonomi lemah banyak yang mengurungkan niatnya untuk sekolah di Smala karena biaya yang mahal sehingga mereka lebih memilih melanjutkan studinya ke SMA negeri biasa. Pada akhirnya, siswa-siswi potensial tersebut mengharumkan nama sekolah yang ditempatinya karena dapat berkontribusi memenangkan banyak kompetisi. Hipotesa kedua, Smalane sekarang terlalu terlena dengan kejayaan Smala jaman dahulu dan status SBI nya menjadikan Smalane saat ini merasa sebagai siswa terbaik di Surabaya sehingga meremehkan sekolah lain. Karena sifat itulah yang membuat Smalane sering kali sombong sehingga lengah dalam berkompetisi.

Pernah kali ketika berstatus Smalane, saya mendengar dari seorang guru yang menyatakan bahwa SBI Smala ada bertujuan agar lulusan Smala SBI dapat melanjutkan perguruan tinggi di luar negeri dengan sertifikat internasionalnya, karena biasanya lulusan SMA di Indonesia harus melalui program penyetaraan Negara yang bersangkutan. Sehingga dengan adanya SBI ini, mempermudah mereka masuk kuliah ke luar negeri tanpa melalui program penyetaraan.

Jika tujuan SBI adalah seperti yang guru itu ucapankan, sangat aneh sekali jika kita membiarkan murid-murid cerdas berkarir di luar negeri dengan realita bangsa ini masih banyak masalah yang belum tuntas. Saya sendiri belum pernah mendengar adanya kesepakatan bahwa alumni SBI diwajibkan mengabdi ke Tanah Air Indonesia setelah studi atau kuliah di luar negeri. Lantas kapan Indonesia cerdas jika roadmapnya seperti ini?

Dan satu lagi fakta yang membuat saya tergelitik juga, bahwa hampir semua Alumni SBI Smala masih melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Indonesia. Nah, lantas apa bedanya Smala versi SBI dengan Smala versi regular?

Komentar-komentar alumni diatas mayoritas adalah Ikasmanca Muda alias angkatan yang belum satu dekade lulus dari Smala. Adapun komentar Alumni Smala yang udah senior ternyata tidak jauh berbeda dengan Ikasmanca Muda.

Saya akan tunjukkan respon apa yang diberikan oleh Ikasmanca senior terhadap SBI Smala saat ini melalui milist Ikasmanca. Semoga bermanfaat dan selamat membaca!

[Dari: fhierly_hu(xxxx)@yahoo.com]

Waduuhhh, udah lama gak ngikuti progress Smala ternyata udah sejauh ini, ya ?

20

Page 22: Surat Cinta Dari Alumni Smala

SBI di Smala apa benar menurunkan output intellectual quality krn input yg lbh rendah?

Iklim lembaga ? yg pasti merubah semua stakeholder dg homogenitas siswa yg ada skrg. Terjadi pergeseran dinamika sosial yang mengakibatkan terbentuknya attitude yg berbeda dg angkt sblmnya.

Sebagai alumni, apakah fenomena diatas cukup sekedar menjadi wacana keprihatinan bersama? Atau ada alternatif lain yg bisa membantu untuk mengembangkan kualitas pribadi dan kualitas sosial para alumni SBI menjadi lebih baik ?

FhierlyLulus '95

[Dari: d(xxxx)@trans.si.itb.ac.id]

Ass.Wr.Wbr.. .

Menarik sekali dgn apa yg ditulis Cak Suselo...Ini yg namanya Komersialisasi Pendidikan.Pendidik an itu memang mahal tapi perlu adanya kesetaraan bagi Yg Tidak Mampu.Kalo di negara maju,memang pendidikan tinggi ini mahal tetapi ada jalur bagi mahasiswa krg mampu untuk menjalanin perguruan tinggi melalui beasiswa berprestasi. Dan tdk semua orang mampu atau dapat menempuh pendidikan tinggi ini.Jadi bila dibatasi masih wajar spertinya.

Tapi kalo pendidikan menengah atau dasar mahal?Tentunya ini tergantung dgn sumber pendanaan dan fasilitasnya. Di sekolah swasta dgn pendanaan TIDAK dari Pemerintah dan fasilitas yg baik atau > rata-rata tentunya uang SPP-nya mahal masih wajar.Kualitas akan sangat bergantung dari metoda pengajarannya dan input murid2nya.Kalo metoda pengajaran baik,input baik maka dimungkinkan Output dan Outcome-nya baik.Bila metoda baik,input buruk atau cukup maka msh dpat dimungkinkan Output dan Outcome baik.Tp bila metoda buruk,input baik,buruk atau cukup maka spertinya kecendeerungan Output dan Outcome-nya menjadi turun.

Kalo swasta dapat memperlakukan metoda dan fasilitas sesuai dgn standar yg mereka anggqap baik.Dengan asumsi metoda dan fasilitas tsb dpat meningkatkan kualitas Output, ya WAJAR menurut saya.Tentunya market sekolah ini juga segmented.Tapi kalo sekolah Negeri,dimana market-nya lebih luas dan umum dgn strata ekonomi dan kualitas input lebih lebar,maka pembatasan SULIT sekali kami anggap WAJAR.Apabila ada klasifikasi dari kualitas input itu masih WAJAR dan SAH menurut kami.Tapi bila Sekolah Negeri membatasi dgn klasifikasi strata ekonomi,kayaknya kok GAK WAJAR ya.Dengan asumsi,market Sekolah Negeri yg harus lebar dan lebih umum.

Jadi mnrt kami,kalo pendidikan menengah dan dasar msh memerlukan input dgn beragam strata ekonomi dan klasifikasi input masih diperbolehkan. ,karena sulit menyamakan sluruh

21

Page 23: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Input dan Output/Outcome dari suatu sistem.Selain itu Otonomi Sekolah Dasar dan Menengah ini sangat ditentukan oleh klasifikasi sumber pendanaan (Negeri atau Swasta),kalo Swasta mungkin Otonomi agak besar msh bisa diberikan dgn trade off pendanaan tdk tergantung Pemerintah.Tapi kalo Negeri sgt TIDAK DIMENGERTI bila Otonomi dan keputusan memilih 100% SBI diberikan ke sekolah tipe ini.

Salam

Dimas

[Dari: nien(xxxx)@yahoo.co.id]

Smala dan Ikasmanca....Apakah tidak tiba saatnya mengambil peran anak dan bapak atau adik dan kakak ??? Yg selama ini yang saya rasakan pribadi hanya sebagai wadah peralihan dari aktif sekolah menjadi alumni dgn kegiatan share dan temu kangen.

Dari artikel Sdr.Suselo,ada hal yg menarik dr aspek sosial yang intinya kesempatan untuk anak bangsa berkarya di smu 5 terutama adik2 yg kurang mampu semakin tipis.

Hedon yg Sdr.Suselo ungkapkan,sy mau share pada masa sy,pd saat awal masuk,mmg ada masa transisi adaptasi dmn tmn2 yg msuk Smala terdiri dr jenius,pintar,bruntung (ini gol saya),kaya,miskin. Dgn SPP saat itu min. Rp 25rb dan uang ged min 500rb

namun dlm 1 jiwa Smalane yg sy rskan saat itu adalah ak dan km adalah sama,kesulitanmu adalah kesulitanku,jd pny uang saku atau nggak bisa aja kita skelas nonton,mkn breng,bahkan keluarkota yg kbtln difasilitasi tmn2 yg mmiliki roda4,saya ingat bbrp tmn yg jauh tmpt tinggal ksulitan financial untk kost,tmn2 lainnya brebutan untuk mngajak ikut tinggal,makan,belajar brsma. Bahkan jd pny bnyk ortu asuh istilah saya! trmsuk sy yg msh sendiko dawuh bbrp kluarga tmn2 yg sudah sy anggap dulur maw ngrumat sy masa sma (kalo sy mmg dasarnya malas pulang)

Nah skrg saya maw matur ini ma kang mas dan mbkyu ikasmanca yg senior maupun angktn perintis, apakah mungkin dan terealisasi Ikasmanca mnjadi organisasi. Secara legal non profit,non politicz dan sosial? untuk bantu anak bgs khususny ikasmanca jw timur iki rek dket kita mosok mbidek ae (sorry lho cak suroboyoane metu) untuk beasiswa dan tidak hanya sbg ajang reuni.

Smalane suci dalam pikiranSmalane benar jika berkataSmalane tepat dalam tindakanSmalane dapat dipercaya(Sampai saat ini saya penasaran siapa y penciptanya,kalo tau sampaikan salam hormat saya ,sampai saat ini saya pegang doktrin ini)

22

Page 24: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Smula untuk Indonesia

Regrads,Classix United (P6'00)Handy ESpv Tax FinancePT Perkebunan Nusantara XI (Persero)

[Dari: d_sukm(xxxx)@yahoo.com]

Salam Smalane....Saya sebagai angkatan lulus 93 bangga sekaligus prihatin dengan kondisi yang ada... Semoga peningkatan status SBI tidak membuat ekslusifitas untuk siswa siswa kaya saja, tapi dapat mencakup seluruh siswa yang berprestasi.Untuk itu saya berharap para dedengkot alumni utk membuka rekening alumni Smala yg bisa digunakan utk membantu siswa berprestasi yg tidak mampu masuk Smala karena dana.Salam Smalane...

[Dari: koespur(xxxx)@gmail.com]

Kami 3 angkatan yaitu 88,89 dan 90 sudah lama punya program bea siswa untuk adik2 Smala. Biasanya dibagikan pas awal semester dan jumlahnya tergantung dari hasil urunan selama 1 semester sebelumnya sehingga jumlahnya bervariasi. Selain itu kalau ada yang tertarik untuk menjadikan adik asuh (SPP sampai lulus) juga kami tampung terutama setelah melihat profil penerima bea siswa yang ditulis di website Smalabaya89. org.

ini tag di milist Smalabaya89 :Ayo Bantu Adik kelas !!Salurkan Bantuanmu ke Rekening BEASISWA SMALA : BCA a.c 3880434755 a.n Retno Wulandari S, SS / Syahrul Sonata.Kalau sudah Transfer harap segera Konfirm ke :Tatax,email: tataxz@yahoo. com HP: 0818320275 atau Retno, email: retno29@yahoo. com,HP: 08123013194

TQEko Susatio Purnomo - SMALA89

[Dari: Arka.Pras(xxxx)@petrofac.com]

Assalamu’alaikum…

Coba cari latar belakang nya dari ada nya SBI di SMALA cak ….

23

Page 25: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Kalau ga ada alasan yang bisa dipertanggungjawabk an ….wes wayahe dirombak sistem dan orang2 nya….

Coba kalo dibalik….ketika anak2 dari guru2 itu pingin masuk SMALA …pas biaya nya juga mahal…..gmna juga reaksinya…..????

Kalo masalah menghubungi Mendiknas..alias Pak Muhammad Nuh iku gampang cak….kari aku SMS opo telpon ….Insya Allah langsung di sidak cak….

Ojo wedi menyuarakan kebenaran dan keadilan cak….

Salam Wong Miskin sing pingin tetep sekolah,

[Dari: agung_(xxxx)@yahoo.com]

Matur nuwon buat Cak Suselo yang telah membuka informasi ini ke kita.

Melihat dari Sudut Pandang 'Mahal'-nya SMA 5Bedane sekolah bertaraf internasional karo sing reguler opo?Opo mek sing siji nggawe bahasa inggris sijine bahasa indonesia?Signifikan ga SBI nang SMA 5? Apakah Gema Almamater yg dibacakan tiap upacara makin bergema dg adanya SBI?

Aku pingin bandingin antara kenaikan SPP di UI dg yg di SMALA.Di UI, rektornya secara tegas menyampaikan (pelaksanaannya? ) bahwa ga akan ada mahasiswa UI yang di-DO karena masalah ekonomi (ga bisa bayar biaya pendidikan). Sistem yang (direncanakan) dipakai adalah subsidi silang. Sing sugih mbayar larang gawe nambali kekurangan duit mahasiswa-mahasiswa kurang mampu? (FYI, aku termasuk orang yg 'ditambali' di sini. SPP kuliahku lebih murah dari SPP sekolah.)

Nah, klo di SMA tercinta kita ini, apakah ada jaminan dari pihak sekolah kalau orang miskin juga bisa sekolah di SMALA?Apa yang terjadi kalau seorang siswa brilian -yang secara nilai sudah diterima di Smala- tp akhirnya ga bisa bayar SPP?

Mohon infonya Cak dan Ning...

Melihat dari Sudut Pandang Kita sebagai AlumniSecara pribadi aku setuju bila Ika Smanca diarahkan ke kegiatan sosial, terutama yang berkaitan dengan adek2 kita di Smala. Akan baik kalau organisasi ini pun diresmikan, mungkin seperti kata Cak Arka, dijadikan yayasan. Aku siap membantu dari segi tenaga dan keahlian-IT (mboh digawe opo keahlian iki). Soalnya klo dari segi finansial, aku sendiri baru lulus belum setahun :D.

24

Page 26: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Agung FirmansyahQA - PT Astra Graphia ITComputer Science UI – 2005

[Dari: dancing_den(xxxx)@yahoo.com]

Mohon maaf, kayaknya pembicaraan sudah melenceng dari topik utama ya? Memang bagus siy, kalo qta mikir gimana caranya mbantu supaya anak-anak dari kalangan yg kurang mampu itu tetap bisa mengecap pendidikan di Smala. Tapi pertanyaannya; is it worth it? Apakah kurikulum sistem belajar-mengajar di Smala yg SBI 100% itu mampu menghasilkan output yg bagus, siap bersaing, bisa masuk PTN melalui jalur SNMPTN? Jaman dulu, banggaa rasanya kl dengar komentar bahwa Unair serasa Smala pindah, krn qta tahu bahwa satu2nya jalan masuk Unair jaman dulu hanya 1 pintu: UMPTN. Jd kan maksud komentar itu adalah lulusan Smala pinter-pinter, bisa lulus UMPTN ketrima di PTN yg baik. Bukti nyata aja deh... di angkatan saya, lulusan 1996, 7 orang diterima di FKG UnAir. Tapi, bgmn output Smala yg sekarang? Jangan2 output SBI ya anak-anak manja tanpa daya saing yg cuma mengandalkan dompet ortunya lagi utk melanjutkan kuliah di luar negeri, atau masuk PTN melalui jalur PMDK Jalur Umum?Apakah proses belajar-mengajar SBI cukup bagus, sementara qta tau pelajaran kimia yg diberikan dlm bhs Indonesia aja susahnya setengah mati, apalagi ini diberikan dlm bhs inggris, dan disampaikan oleh guru yang kemampuan english speaking-nya. ...saya koq terus-terang ngga yakin. Jangan-jangan, sudah sukar-sukar sekolah di Smala tp tetep aja anak2 qta harus ikut 2 bimbingan belajar di sore-malam hari mereka sehingga kehilangan waktu mereka utk mengikuti kegiatan mengembangkan otak kanan seperti musik dan tari? Sudah gitu, lulusa pun ternyata tetap tidak berkompeten utk bersaing masuk PTN lewat jalur SNMPTN, tp masi harus dibantu dompet ortunya utk masuk lewat jalur yg lebih mahal, atau malah harus sekolah di luar negri?

Kalau memang pendidikan di Smala ngga jelas ngga bisa menjamin kualitas outputnya, trus utk apa qata bikin yayasan utk membantu orang masuk ke situ?

IMHO, saya jdi lebih pro pd upaya utk memberantas habis sistem kelas internasional yg salah konsep itu, daripada mencari upaya supaya banyak yg "kebluwuk" masuk ke situ ya....

Salam Smalane! Trima... Trima... Trima kasih!

-Deisy-Lulusan 1996

Staf Pengajar Fakultas Kedokteran GigiDepartemen Ilmu Penyakit MulutUniversitas Airlangga

25

Page 27: Surat Cinta Dari Alumni Smala

[Dari: d_sukm(xxxx)@yahoo.com]

Salam ning Deisy, awalnya SBI dibentuk agar siswa sma mempunyai daya saing ketika memasuki perkuliahan, bukannya text book kebanyakan bahasa Inggris, permasalahannya kalau input hanya berdasar biaya bgm menghasilkan output yang baik, apakah nilai UAN menjamin kualitas ? Bagaimana dg siswa yg berkualitas tp minim biaya sedangkan masuk SMA 5 yg SBI biayanya tinggi ? Mari kita pikirkan bgm dg kualitas input yg baik tapi minim dana.

[Dari: dancing_den(xxxx)@yahoo.com]

Kalau memang tujuannya adalah itu, saya rasa cukup deh dengan memberikan pelajaran bhs inggris ekstra, sehingga score TOEFL-nya saat lulus SMU di atas 500.. Sehingga dijamin nanti anak ini mampu memahami kuliah dlm bhs inggris (kalau memang dia sekolah di luar negri) atau sekedar studi literatur dari textbook2 berbahasa inggris. Tapi tidak perlu sampai memberikan seluruh pelajaran dlm bhs inggris.

Masalahnya, kalaupun inputnya baik, tp transfer ilmu berjalan dgn tersendat-sendat (gara2 diberikan dlm bhs inggris oleh guru yg kemampuan bhs inggrisnya ala kadarnya), bagaimana outputnya bisa baik? Harusnya mrk sadar dgn melihat kenyataan bahwa peraih danem tertinggi bertahun-tahun terakhir ini sudah tidak pernah lagi dari Smala. SMU (maaf) pinggir atau bahkan luar kota, yg tidak neko2 pakai ngasih pelajaran dlm bhs inggris segala, yg inputnya jelas lebih jelek drpd Smala, tp outputnya malah lebih baik..???

[Dari: wisjnoe_wahjud(xxxx)@yahoo.de] Hallo Kawan2x, CAK lan NING Smala!!!suatu bahan untuk di Diskusikan adalah masukkan yang bagus. Karena tidak semua CAK lan NING yang pernah mengenyam Pendidikan di SMAN5, itu 100% setuju dengan Program/ Kurikulum yang sedang berjalan. Ini semua sebetulnya keadaan yang memaksa untuk bisa mengikuti perkembangan Jaman yangcepat. Negara INDONESIA, itu bisa dikatakan Negara yang hidupnya bukan dari pendapatan PAJAK, seperti di Negara Jerman dimana saya sementara ini tinggal.Untuk Cak Dimas, sekolah di Jerman (LN) untuk sampai tingkatan SMA/SMU semua pelajar tidak dikenakan/ dipungut biaya, dengan catatan sekolah tersebut sekolah negeri. Kalau seandainya salah satu murit, yang orang tuanya kurang mampu untuk anaknya bisa mengikut i kurikulum sekolah karena biaya( misalnya STUDYTOUR), kekurangan biaya bisa diminta ke Badan Sosial, dengan surat pengantar dari sekolah, dimana si Pelajar yang bersangkutan terdaftar. Kalau di perguruan tinggi, mereka bisa mengambil KREDIT dari BANK, dengan bunga yang ringan atau bisa juga mengambil Pinjaman yang namanya BAFOEG, cara mengembalikan pinjaman2x tadi, setelah mereka 2thn lulus dari Perguruan tinggi.

Untuk NING dancing_dentist, berlakunya zertifikat TOEFEL/ CAMBRIEDGE terbatas(2thn) , seperti Ijasah SMA/ SMU yang kita dimiliki, untuk bisa mengikuti ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri. Dan seperti yang Anda tulis, --- tp transfer ilmu berjalan dgn tersendat-sendat( gara2 diberikan dlm bhs

26

Page 28: Surat Cinta Dari Alumni Smala

inggris oleh guru yg kemampuan bhs inggrisnya ala kadarnya)???----- Anda tidak menghargai kemampuan Ibu/ Bapak Guru yang mendapat tugas memberikan mata Pelajaran dalam bahasa asing dalam hal ini Inggris.

CAK lan NING sekalian, dimana mana itu sama saja, hidup itu penuh dengan persaingan sampai di kehidupan berkarya pun kita masih bersaing.

Ok, sampai sekian dulu, mungkin yang lainnya mempunyai pendapat yang berbeda.Wisjnoe Wahjudi '73, Hamburg- Deutschland, yang juga termasuk katagori SISWA "D"

[Dari: daffodil(xxxx)@gmail.com] Setahu saya, semenjak 2 tahun yg lalu, gak ada anak SMALA yang berhasil tembus seleksi Beasiswa Singapore. Padahal udah mulai SBI... Mentok2 sampe tahap seleksi tes tulis, abis itu gugur.

Katanya SBI, lha kok seleksi masuk univ internasional aja berguguran :DMendingan dulu2, masih bisa nembusin beberapa orang.

Dilla Handini

[Dari: praset(xxxx)@yahoo.com]

Dear Cak lan Ning SMALANE,

Melok urun rembug...

Saya baca di jawapos online (http://www.jawapos. com/metropolis/ index.php? act=detail&nid=146454) status SMALABAYA masih RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dan memang SMALABAYA berusaha mengejar status SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) .

Kalo memang benar bahwa status SBI di SMALABAYA akan menghapuskan kelas reguler dan mematok harga yang mahal (baik uang gedung, SPP, donasi, dll) maka saya melihat status SBI di SMALABAYA hanya mementingkan taraf internasionalnya dan "harga" yang cukup mahal dan bisa dipastikan itu menutup peluang calon siswa dari kalangan pas2an (walaupun ada beasiswa yang kabarnya prosesnya berbelit2 dan dipersulit).

Saya sendiri sejak kecil berangkat dari keluarga pas2an, dimana jaman saya sekolah dulu SPP sekolah sangat murah baik SMP, SMA bahkan sampai kuliah di ITS pun saya cuman bayar 300 ribu per semester (atau cuman 50 ribu per bulan, saya sampai ingat almarhum bapak saya tiap bulan

27

Page 29: Surat Cinta Dari Alumni Smala

menyisihkan gajinya untuk membayar SPP kuliah saya supaya ketika waktunya bayar SPP bisa membayar 300 rb) dan Alhamdulillah bisa lulus bahkan sempat mencicipi beasiswa SUPERSEMAR.

Saya tidak bisa membayangkan apabila saya masih mengenyam pendidikan SMA atau kuliah dijaman sekarang dengan kondisi keuangan pas2an, bisa2 saya nggak kuliah karena SPP kuliahpun sekarang tinggi selangit atau bahkan bisa2 saya nggak tamat SMA karena harga pendidikan yang mahal.

Oleh karena itu seharusnya ada solusi dari sistem SBI bagi kalangan yang pintar tapi ekonominya pas2an, karena bukan berarti saya tidak setuju sama sekali dengan SBI di SMALABAYA tetapi seharusnya ada proteksi bagi siswa yang pintar yang ekonominya pas2an atau kurang mampu.

Misalkan : 50% siswa dengan beasiswa dan 50% siswa non beasiswa, atau ada fit & proper test bagi calon siswa SMALABAYA dengan memasukkan unsur kemampuan ekonomi dan apabila ada 2 siswa yang memiliki nilai yang sama tapi kemampuan ekonominya berbeda maka yang berhak masuk adalah yang ekonominya kurang mampu (tentunya dengan survey atau data yang valid), bukan malah yang mampu membayar mahal yang berhak masuk karena mengharapkan donasinya bagi SMALABAYA :-)

Mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan.

Prasetya Nugraha

IPA-7 Angkatan 1998 (lulus 1998)

Siswa yang masuk kategori D dari contoh kasus dibawah :-)

[Dari: wisjnoe_wahjud(xxxx)@yahoo.de] Cak lan Ning Ikasmanca!!,matur suwun Cak prasetya nugraha, ngirim linknya Jawapos, dan sudah saya baca dan di mengerti isi dari sebutt. Sebuah pertanyaan saya, kalau benar SMAN5 ada keinginan menghapus kelas2x reguler, apa ya semudah seperti itu. Saya rasa, masih jauh Prosesnya, dan lagi tidak semuanya setuju, karena Sekolah ini sekolah negeri, bukan swasta. Yang mana semua biaya pendidikan untuk sekolah Swasta tersebut dari sumber Swasta juga. Sekolah Negeri dari APBN- Pendidikan untuk di Indonesia.Kalau hanya kerja sama dengan sekolah2x yang ada di luar Indonesia, saya rasa normal2x saja.Cuma saya kira, persaingannya ketat, tidak transparan.. .dll,dll- - dan tidak semua SISWA SMAN5 bisa mengikuti, Program2x kerjasama dengan sekolah di LN.Salam IkasmancaWisjnoe Wahjudi '73-Hamburg- DeutschlandEx Siswa di Golongan D, seperti EMail sebelumnya.

28

Page 30: Surat Cinta Dari Alumni Smala

[Dari: wisjnoe_wahjud(xxxx)@yahoo.de] Btw, apakah tinggi rendah pembayaran SPP+Sumbangan al. Gedung, Bangku ataupun uang Administrasi. .dll. itu tidak lagi tergantung dari pendapatan Orangtua siswa yang bisa lolos dari Test yang diadakan oleh pihak sekolah/ departemen pendidikan?? ?----Atau, ada syarat2x lain yang tidak disebutkan, waktu mendaftar Jurusan Sekolah Bertaraf Internasional tsb.??---(tidak tranparant dan kurang akurat!!, menurutku Pribadi).

Mengajar dikejar target kurikulum??? .....tidak di Indonesia, Surabaya khususnya, tidak juga di Jerman- Hamburg khususnya... ....sami mawon. Cuma bedanya, biaya pendidikan sampai tingkat SMAN/ SMUN...tidak dikenakan biaya. Kalau sudah tingkat UNI...sejak 10 thn belakangan ini, UNIVERSITAS Negeri, memberi beban khusus, disamping pembayaran uang semester, yang nilainya berbeda beda, dimana siswa yang bersangkutan sekolah( Negara bagian di Jerman). Tidak seperti dulu(dibawah thn 1982/83), dimana Negara Jerman masih kaya raya.Salam Ikasmanca!!Wisjnoe Wahjudi '73 Hamburg- Deutschland.

[Dari: desi(xxxx)@yahoo.com]

Cak Wis,

Tinggi rendahnya uang SPP + Uang gedung, bukan tergantung dari pendapatan ortu siswa, tetapi tergantung kebutuhan biaya penyelenggaraan pendidikan di sekolah ybs yang besarnya bisa bervariasi. Sedangkan kelulusan siswa hanya tergantung dari Daya Tampung dan Nilai test siswa ybs., tidak ada yang lainnya.

Salah satu syarat sekolah bisa menjadi SBI adalah mempunyai sertifikasi ISO.Jadi semua pemasukan dan pengeluaran harus tercatat dan teraudit. Jika ada penggunaan yang tidak benar, laporkan saja kepseknya ke diknas/polisi/ wartawan.

Kalau menurut saya, dalam hal transparansi, proses penerimaan sekarang sudah jauh lebih baik daripada jaman saya dahulu.

Salam*Desig

[Dari: wisjnoe_wahjud(xxxx)@yahoo.de] Cak Dinarto,---terima kasih di pangil mbah, cuma aku dhurung dhadhi mbah...anak2x ku ijik dhurung mentas soko sekolah. Ijik sekolah kabeh.Di Hamburg dan di Surabaya, cara mengajar yang sepintas lalu, kalau murit sudah dianggap bisa semua ini yang saya maksut, seperti yang Anda tulis sendiri. Dan lagi setiap tahun ajaran baru selalu ada perubahan2x kurikulum di setiap negara bagian, dalam hal ini Hamburg sebagai contohnya.Dan lagi, orang tua memberikan keterangan lagi terhadap anaknya dirumah, juga saya alami sendiri, karena itu saya tulis, tidak di Surabaya dan di Hamburg sama saja.Kalau begitu, sangat berbeda sekali waktu saya sekolah di Surabaya. Kalau dulu pembayaran SPP,

29

Page 31: Surat Cinta Dari Alumni Smala

besarnya tergantung dari penghasilan ORTU. Ini saya urus sendiri di Kantor Bendahara Negara di Surabaya, di Jalan Kemayoran- Indrakila??, yang ke arah Perak/ Ujung, sebelah kiri Jalan. Kalau kantor tersebut masih di sana.Salam IkasmancaWisjnoe Wahjudi '73 Hamburg- Deutschland.

[Dari: fe(xxxx)@yahoo.com]

Supaya 'fair' SBI jg hrs dibebani semacam kuota bahwa sekian alumninya harus bisa masuk universitas world class seperti toudai,stanford, harvard,dll. ..

Jgn cuma krn pengantarnya bahasa inggris,lab lengkap,kelas ber-AC,guru bule/asing trus ngaku2 SBI dan pasang tarif selangit tapi output alumninya masih dipertanyakan :)

[Dari: jupiter_rin(xxxx)@yahoo.co.uk] Efek undergraduate terhadap kemajuan riset itu kecil, praktis nggak ada. Jadi jangan khawatir kalau mereka pergi keluar negeri.

Yang jadi masalah, seperti sudah disebutkan sebelumnya, apakah harus ada label SBI? apakah harus pakai pengantar bahasa inggris? dan apakah harus universitas LN?

1. Label SBI menurut saya tidak perlu, dari dulu banyak lulusan sma 5 yang masuk UI, ITB, dan UGM. 3 universitas itu jelas termasuk world class (memang bukan termasuk 10 besar, tapi rankingnya not bad) untuk bidang - bidang tertentu.2. Pengantar bahasa inggris? kalau mau ke universitas di prancis, jerman, jepang, swiss, bagaimana? setahu saya untuk kelas undergraduate tidak banyak universitas, yang bahasa negaranya bukan bahasa inggris, punya kelas internasional dengan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar. 3. apakah harus universitas LN? jelas harusnya tidak, seperti yang sudah saya tulis diatas, indonesia punya universitas yang termasuk world class, kenapa harus ke luar negeri? dan menurut saya, diknas daripada repot mengatur masalah SMA SBI, sebaiknya mereka fokus ke arah peningkatan level universitas dalam negeri.

Tapi 3 point diatas hanya berlaku untuk level sarjana. Untuk level pasca-sarjana, khususnya bidang medis, sains, dan teknologi, praktis untuk sekarang lebih baik keluar negeri, karena dana dan peralatan penelitian jauh lebih baik di universitas LN. Contoh, peralatan yang saya pakai hampir tiap hari disini (Tokyo), hanya ada 1 seindonesia. dan peralatan yang saya pakai setiap 1-2 bulan sekali disini tidak ada di Indonesia. Dan peralatannya termasuk peralatan yang basic untuk riset di bidang kimia dan farmasi!

Just my two cents Alfarius Eko Nugroho, IPA2'02

30

Page 32: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Wahduh gawat kalau diharuskan.. . Awakku gak setuju lho, nek lulusan sing pinter-pinter iki diarahno sekolah nang luar negeri...

Perguruan tinggi di dalam negeri masih sangat membutuhkan banyak orang pintar untuk memajukan riset-risetnya. ..

[Dari: desi(xxxx)@yahoo.com]

Interesting, Cak !

Mungkin untuk ukuran LN memang betul, undergraduate memang tidak berarti dalam memajukan riset.Tetapi untuk ukuran di Indonesia justru sebaliknya. Banyak tulisan/karya ilmiah yang baik, justru berasal atau terinspirasi dari level ini. Hal ini disebabkan untuk masuk ke jenjang S1 melewati seleksi yang sangat ketat sedangkan untuk level S2/S3, proses seleksinya tidak seketat S1. Jadi, dapat diprediksi kualitas hasil penelitiannya seperti apa. Seperti kita ketahui bersama, bahkan ITB pernah kebobolan, salah satu mahasiswanya pada level ini melakukan plagiat disertasi yang sangat memalukan sampai tingkat dunia !

Kendala terbesar jika melakukan penelitian di LN mulai dari jenjang S1 s.d. S2/S3 adalah proses adaptasi melakukan penelitan lanjutan di dalam negeri, karena peralatan canggih yang ada di perguruan tinggi LN belum tentu ada disini. Kasus ini pernah terjadi pada jaman Pak Habibie mengirimkan putra-putri terbaiknya untuk belajar ke LN, ternyata banyak yang tidak kembali ke Indonesia atau "menganggur" karena hasil risetnya tidak bisa diteruskan disini karena keterbatasan alat penelitian.

Kalau menurut saya, sebaiknya dikuatkan dahulu penelitian di DN (minimal sampai tingkat S1), kemudian baru mencari beasiswa S2/S3 di LN dengan penelitian yang cocok untuk dikembangkan kembali di Indonesia. Dengan demikian adaptasinya pada saat kembali ke Indonesia tidak terlalu sulit.

Salam,Desig

[Dari: nuggs(xxxx)@yahoo.de] salam... sebenarnya penelitian di indonesia itu yang lemah SDM atau perangkatnya?kalo SDM saya yakin kita nggak akan kehabisan orang pinter, termasuk insya Allah juga dari Smala. untuk perangkat, tentu saja tiap bidang penelitian berbeda-beda. umumnya kalo bidang sosial bisa-bisa aja diaplikasikan dan diteliti lebih lanjut di tanah air. kalo teknik, kedokteran, atau katakanlah yang berhubungan dengan nuklir, rasanya nggak gampang. sekedar contoh

31

Page 33: Surat Cinta Dari Alumni Smala

riset saya sekarang (bidang artificial intelligence), sulit sekali untuk dilakukan di tanah air karena kendala sarana. dan salut juga buat orang indonesia bisa ngirim hasil karya penelitiannya ke konferensi internasional dengan berbagai keterbatasan tersebut, walo rata-rata -maaf- "masih" di hilir alias aplikasi - sekali lagi karena keterbatasan sarana. di conf int'l tahun ini yang saya sempat jadi program committee (reviewer), hanya ada 3 paper dari indonesia. kebetulan jatah saya me-review paper dari jepang, iran, dan india. kalo dapet yang indonesia kemungkinan susah obyektif... heh heh heh.overall, saya cenderung sepakat dengan ide untuk "mewajibkan" sebagian lulusan sekolah internasional turut meng-internasional-kan nama indonesia. wassalam,:::nugg:::pernah kuliah teknik di surabaya... sampe lulus 2x

[Dari: wisjnoe_wahjud(xxxx)@yahoo.de] Salam Ikasmanca!!,wah tambah rame, diskusi tentang RSBI/ SBI....sampai S1- S2 dan S3.....pakai bahasa Ingris, Jerman, Perancis, Spanjol dsb, dsb.----meskipun saya sendiri, hanya mempunyai ijazah SMAN 5 tertanggal 26.11.1973, di tandatanggani oleh Drs. Soepeno dan walikelas saya Pak Soebagio, suami IbuPunce....saya bisa menyelesaikan Kuliah saya di Jerman. Ditambah Ijazah dari Goethe Institut Surabaya G2, yang di tanda tanggani oleh Pak Djoko, suami ibu Harsini ( Guru Kimia ku selama 3 tahun di SMALA).Hanya, saya di wajibkan mengikuti Studienkolleg di Jerman, baru ijazahku komplit, untuk bisa mengikuti Kuliah di Universitas di Jerman sini( Allg. Hochschulreife). Yang mana dulu, 37 thn yang lalu, ijazah SMA kita itu nilainya di turunkan, karena kurikulumnya Sekolah kita( jaman ku) itu memakai kurikulum Indonesia Merdeka, bukan Indonesia yang masih menganut Kurikulum Belanda ( seperti jaman B.J.Habibie, jamanWardiman Djojonegoro..dll).Nah sekolah di Jerman, waktu itu-----setelah lulus mendapat gelar Diplom Ingenieur, kalau sekolah Technik, kalau sekolah Kedokteran dapat gelar dr.med....dsb.... dsb. Nah setelah itu, kalau ingin melanjutkan penelitian di Institut dimana dia belajar, dia bisa mengambil gelar Doktornya, (dimana) dan biasanya itu kelanjutan dari tugas akhir mahasiswa yang bersangkutan, dan ada pembimbingnya( kelanjutan pembimbing dari Tugas Akhir nya tadi). Ini semua, sebelum ada perjanjian yang di tandatangani oleh negara2x OECD, di BOLOGNA. Dimana Kurikulum di Universitas diseluruh Jerman dirubah, disamakan ke jenjang Internasional. (Bacelor - Master kemudian Doktor).Nah, sejak 5-10thn. belakangan ini kalau mau sekolah di Jerman, di JKT itu ada sekolah Jerman yang mana Kurikulumnya 100% mengikuti sekolah Jerman (di daerah DEPOK).....kalau si Siswa tersebut lulus dari sekolah ini, si Siswa tersebut tidak di kenakan sangsi lagi untuk mengikuti sekolah seperti saya dulu, lewat Studienkolleg baru bisa masuk Universitas di Jerman.Bahasa pengantar diUniversitas seluruh Jerman itu memakai bahasa Jerman. Nah ada, Universitas di Jerman untuk mengambil Program Master/ Doktor, yang menggunakan bahasa pengantar Inggris.( untuk ini saya sendiri tidak pernah mengenyam pendidikannya, Jamanku gak onok REK!!!)----Mungkin CAK NUGG bisa menjelaskan lebih lanjut!!!. Karena ada kemungkinan CAK NUGG menggunakan sistem baru ini seperti CAK IRDHAM KUSUMA.

Terus terang, saya Pribadi, tidak setuju kalau sekolah SMAN5 menghapus semua kelas Reguler,

32

Page 34: Surat Cinta Dari Alumni Smala

untuk di ganti dengan semuanya RSBI/SBI. Karena sekolah Negeri itu untuk rakyat dari segala lapisan, untuk bisa mengenyam pendidikan yang di inginkan, dengan syarat, asal pada waktu ujian masuknya lulus dengan kepandaian masing2x siswa. (tanpa JOKIE dari luar).Tetapi tidak bisa menghindarkan kalau, seandainya SMAN5 memilih jalan paksa utuk merubah Kelas Reguler ke RSBI/ SBI....karena saya sendiri tinggal di luar wilayah Surabaya. Cuma bisa memberikan pandangan secara Demokrasi, dengan mengumpulkan tanda tangan dari seluruh Masyarakat di Surabaya, di berikan ke dewan di SBY....untuk dinilai kembali. Yang mana, kita bisa menurunkan Meteri Pendidikan ataupun Kaseknya dari Jabatannya.Dan kejadian ini seperti di Kota tempat tinggal saya. Dimana Gubernurnya, menteri Kebudayaan dan menteri Ekonominya turun(18JULI2010). Karena apa, karena Programm sekolah yang baru, untuk tahun ajaran 2010/2011di Hamburg banyak yang kurang setuju tadi. Dan pernah saya tulis beberapa waktu yang lalu, kejadian2x yang hampir sama seperti di tempat saya tinggal.

Untuk Cak Desig,memang di era BJ Habibie, dia, banyak menyekolahkan anak2x Indonesia, setelah lulus SMA...ini di Thn 86-87 sewaktu saya di Indonesia. Mereka di sekolahkan ke LN, disamping sudah di angkat juga seperti pegawai negeri, mereka di beri uang saku, yang menurut saya pada waktu itu lebih dari cukup. Nah kalau mereka setelah selesai, banyak yang nganggur ataupun tidak bisa melanjutkan penelitian mereka, ataupun mereka memilih untuk tinggal di LN. Sebenarnya kita tidak bisa hanya mengatakan karena keterbatasan alat2x dsb, dsb. Banyak sekali faktor2x yang saya sendiri ataupun anda sendiri tidak tahu.

Untuk Cak NUGG,kalau dari segi SDM, memang orang Indonesia, saya tekankan lagi Orang Indonesia tidak kalah dengan Orang Eropa ataupun dengan Orang Asia/ Afrika/ USA ataupun yang lain, dalam hal kepandaian. Cuma kalau di Dalam Negeri, itu banyak faktor2x yang tidak mungkin bisa mungkin. Nah beda nya di Luar Negeri, semuanya serba Transparan dan ini bisa Anda nikmati selama Anda di Karlsruhe.Dan kalau mewajibkan Siswa RSBI/ SBI menginternasionalkan Indonesia, saya kira tidak perlu. Selama kita masih tahu dari mana asal kita saja sudah cukup.

Untuk Cak Alfarius Eko Nugroho,saya kira, dimana mana sama saja, tidak di Tokio atau Hamburg. Saya dulu waktu masih Mahasiswa, pulang kerja di percetakan Axel Springer jam 04.30, kawan depan kamar saya itu berangkat untuk mengambil nomer untuk bisa mengikuti Praktikum Kimia Labor di Semester berikutnya. Jadi berbahagialah kalau penelitianmu lancar2x saja....semua sudah tersedia, di Hamburg alat2x tersedia dan bisa dibilang cukup mutakir, cuma mahasiswanya yang banyak. Makanya kawan depan kamar setiap awal semester ( dimana Semesternya belum mulai) mesti ngantri di mulai jam 04.30.

Salam IkasmancaWisjnoe Wahjudi '73, Hamburg- Deutschland----bedanya dengan Cak NUGG----...yang tidak pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi di INDONESIA----hanya di Jerman.----hehehe peace---

33

Page 35: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Komentar-komentar alumni Smala di Milist membuat Saya terkejut. Mereka seolah dengan konkrit menemukan fenomena SBI dan realitanya, kemudian mencarikan solusi praktis mulai dari menghimpun dana untuk beasiswa, membentuk yayasan sosial Ikasmanca, hingga yang paling ekstrim menghubungi Pak Menteri Muhammad Nuh.

Alumni Smala senior tersebut memandang permasalahan ini dari berbagai sudut pandang karena mereka secara langsung membandingkan sistem SBI di Smala dengan sekolah-sekolah di Jerman hingga sekolah di Tokyo. Tak hanya itu, mereka juga memaparkan secara singkat pendidikan di luar negeri yang telah mapan seperti Jepang dan Jerman.

Tapi, dari semua komentar tersebut, pandangan Ikasmanca yang masih muda maupun yang sudah senior tidak jauh berbeda. Alumni Smala disini masih mempertanyakan konsep SBI yang tidak jelas, masih banyak yang tidak setuju SBI dilanjutkan, masih sepakat bahwa Sekolah negeri harus dapat diakses warga Negara yang berasal dari semua kalangan, dan masih sepakat SBI Smala harus dibenahi.

Ada referensi menarik yang diceritakan oleh seorang rekan saya yang melakukan studi banding pendidikan ke Hongkong dan Jepang. Sekolah-sekolah di dua tempat tersebut tidak melakukan sertifikat ISO seperti yang SBI Indonesia jalankan karena mereka memiliki rasa percaya diri tinggi bahwa manajemen mereka baik dan diakui internasional tanpa melalui ISO. Sekolah yang ada disana berorientasi kebutuhan bangsa mereka sendiri dibandingkan meningkatkan status pendidikan untuk diperhitungkan di tingkta international.

Masih membahas ISO Smala, waktu saya pertama kali masuk SMA, sekolah masih tidak bersertifikat IS. Dan dipertengahan kelas tiga, guru-guru di Smala dengan bangga menggembor-gemborkan sertifikat ISO kepada murid-murid Smala dan yang saya sangat yakin semua teman-temanku kala itu tidak mengerti maksud dari ISO itu sendiri. Satu hal lagi, tidak ada perubahan yang berarti di Smala kala itu antara berlabel ISO amupun tidak.

Sekarang kita akan mencoba bermain pengadaian, andaikan dana ISO Smala dipergunakan sepenuhnya untuk peningkatan kualitas guru sehingga Smalane dapat lulus Unas dengan hasil yang sangat memuasakan TANPA KECURANGAN AKADEMIK. Maka yang terjadi adalah Smalane akan memiliki rasa percaya diri untuk mengikuti ujian PTN dan berimbas pada meningkatnya secara significant jumlah alumni Smala yang masuk PTN ternama. Hal tersebut akan membuat masyarakat berpandangan sangat positif dengan system pendidikan di Smala.

Sekarang pengandaian kedua, Smala masih menggunakan ISO. Masyarakat akan memandang “wah” pada sekolah ini sehingga masyarakat berpandangan kualitas pendidikan di Indonesia tidak kalah dengan asing. Tapi masyarakat tidak akan memandang bahwa system pendidikan di Smala itu bagus karena masyarakat di Surabaya sangat awam untuk mengetahui apa itu ISO dan apa pengaruhnya terhadap kualitas pendidikan.

Dari dua pengadaian itu, jika dimainkan logika, otomatis pengandaian satu lebih banyak manfaatnya karena lebih cenderung mencerdaskan siswa daripada pengandaian kedua yang “mempercantik” label sekolah. Berikut ada gambaran unik untuk guru-guru di Smala yang menggembor-gemborkan sekolah berkualitas harus MAHAL.

34

Page 36: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Cukup memprihatinkan pada kenyataan bahwa sekolah di daerah luar pulau Jawa kekurangan tenaga pengajar tapi di Jawa banyak sekali pengajar berlebih. Sangat menyedihkan ketika kualitas pendidikan di penjuru negeri ini sangat tidak merata tetapi pemerintah sibuk memproduksi SBI baru di kota-kota besar. Juga sangat mengherankan pada realitas bangsa yang menyatakan bahwa jutaan anak putus sekolah akibat kekurangan biaya tetapi pembangunan sekolah baru sangatlah lambat. Dan yang paling menggelitik adalah SBI Smala yang hampir seluruhnya “eksklusif” diisi siswa dari kaum mapan tetapi operasional sekolah masih DISUBSIDI UANG NEGARA yang notabenenya adalah UANG RAKYAT.

Berikut Saya akan mengangkat artikel SBI dari kacamata pengamat pendidikan untuk memperluas wawasan kita bersama.

Stop Sekolah Bertaraf Internasional

Jum'at, 30 Juli 2010 | 07:43 WIB

Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan

TEMPO Interaktif, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) tiba-tiba menjadi isu besar di Kementerian Pendidikan Nasional. Menteri M. Nuh bermaksud mengevaluasi RSBI dan SBI tersebut. Ada empat parameter yang akan dijadikan dasar evaluasi, yaitu akuntabilitas keuangan, proses perekrutan siswa, prestasi akademik yang dihasilkan, dan apakah persyaratan RSBI sudah terpenuhi.

Menurut penulis, yang perlu dilakukan pemerintah sekarang bukan hanya mengevaluasi, tapi juga menghentikan proses menuju RSBI maupun SBI. Dalam mengevaluasi itu terkandung pengertian

35

Page 37: Surat Cinta Dari Alumni Smala

program ini masih dapat dilanjutkan dengan beberapa perbaikan yang selama ini menjadi kelemahannya.

Sedangkan menghentikan berarti meniadakan program tersebut sama sekali dan mengembalikannya menjadi sekolah umum yang dapat diakses oleh segenap lapisan masyarakat. Mengapa RSBI dan SBI patut dihentikan?

Pertama, seperti halnya ujian nasional (UN), RSBI dan SBI ini telah menjadi teror di masyarakat ketika akan menyekolahkan anak-anak mereka. Masyarakat kebanyakan merasa terteror oleh biaya pendidikan di RSBI/SBI yang tidak terjangkau, padahal sekolah itu adalah sekolah negeri yang mestinya terbuka untuk umum.

Kedua, RSBI/SBI telah menimbulkan keresahan karena biayanya amat mahal, tapi kualitasnya rendah. Selain mahal, pengelolaan keuangan di sekolah-sekolah RSBI/SBI--seperti sekolah pada umumnya--amat tertutup, tidak transparan, dan hanya diketahui oleh kepala sekolah dan kroninya. Bahkan guru pun tidak dapat mengakses anggaran belanja di sekolahnya.

Ketiga, RSBI dan SBI akan memerosotkan mutu pendidikan nasional akibat proses pembelajarannya yang salah. Bayangkan saja, mengajar dengan menggunakan bahasa Indonesia saja belum tentu dapat dipahami oleh murid, apalagi menggunakan bahasa Inggris, di mana kemampuan berbahasa Inggris murid terbatas. Pasti yang dapat diserap oleh murid maksimal hanya 60 persen. Sebab, jangankan memahami materi yang disampaikan, memahami bahasa Inggrisnya saja sudah butuh energi ekstra. Akibatnya, secara evolutif RSBI dan SBI akan memerosotkan mutu pendidikan nasional sampai pada yang terendah.

Keempat, RSBI dan SBI ini jelas-jelas melanggar konstitusi, baik yang menyangkut pasal 31 ayat (3) mengenai amanat untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional maupun pasal 32 ayat (2) yang mengamanatkan negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Juga pasal 36 mengenai bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Dengan proses pembelajaran yang menggunakan pengantar bahasa Inggris, RSBI dan SBI tidak menunjang pemeliharaan bahasa daerah maupun pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.

Kelima, meskipun dasar penyelenggaraan RSBI dan SBI itu adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pasal 50 ayat (3), yang menyatakan “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”, praksis RSBI dan SBI yang amat mahal dan eksklusif itu bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, yang menyatakan “Setiap warga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.

Keenam, konsep “bertaraf internasional” dalam RSBI/SBI itu tidak jelas. Sebab, bila acuannya pendidikan di negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) , negara-negara seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat, Australia, Jepang, Selandia Baru, dll., yang menjadi anggota OECD, memiliki sistem pendidikan yang tidak seragam; masing-masing memiliki keunggulan yang tidak bisa dibandingkan satu dengan lainnya. Lalu, “internasional” mana yang akan menjadi acuan?

36

Page 38: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Ketidakjelasan acuan itulah yang menyebabkan terjadinya simplifikasi pelaksanaan RSBI di lapangan, yaitu dalam bentuk proses belajar-mengajarnya sebagian menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar, ruangannya ber-AC, manajemennya diberi sertifikasi ISO, sedangkan kurikulumnya tetap menggunakankurikulum pendidikan nasional. Tapi yang ironis adalah RSBI dan SBI itu tetap harus mengikuti ujian nasional. Ini jelas kontradiktif dengan dirinya sendiri dan sekaligus memperjelas ketidakjelasan konsep RSBI dan SBI tersebut, karena mau menjadi bertaraf internasional tapi kok harus ikut UN.

Saya masih teringat argumen Prof Dr Suyanto (sekarang Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, sebagai Komite Reformasi Pendidikan saat itu) pada saat diskusi naskah akademik RUU Sisdiknas (2001), mengenai alasan pentingnya mendorong daerah untuk mengembangkan sekolah bertaraf internasional itu, bahwa SBI perlu agar lulusan kita dapat sejajar dengan lulusan negara-negara maju.

Tapi tujuan yang sama dapat dicapai tanpa harus ada pelabelan internasional. Yang penting, proses pembelajarannya benar dan jangan terlalu banyak intervensi kepentingan politik. Sebelum ada pelabelan internasional, sudah banyak sekolah yang lulusannya langsung melanjutkan ke negara-negara maju dan mereka lulus dengan baik. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan yang sama, meskipun tidak berlabel “internasional”. Artinya, soal kualitas bertaraf internasional bukan terletak pada label, melainkan pada proses pembelajaran yang benar.

Alasan ketujuh, RSBI dan SBI menjadi pintu terbuka bagi masuknya intervensi asing ke dalam sistem pendidikan nasional. Dengan alasan mengesahkan label “internasional”, sekolah-sekolah tersebut wajib menggunakan buku-buku terbitan negara-negara OECD untuk mata pelajaran tertentu, lalu model evaluasi mereka (yang tidak gratis), guru dari mereka dengan alasan sudah terbiasa berbahasa Inggris sehari-hari, serta kurikulum dari mereka. Kurikulum yang berasal dari mereka itu berarti isi pendidikan adalah dari perspektif mereka. Pada saat itulah kita baru menyadari bahwa RSBI dan SBI ternyata di satu sisi menghancurkan kedaulatan budaya, di sisi lain telah membuka peluang kerja bagi para penganggur di negara-negara maju untuk menjadi guru di Indonesia dengan menggusur para sarjana kita sendiri dengan alasan tidak berkualitas. Inilah tragedi dari RSBI dan SBI yang tidak terpikirkan oleh pengambil kebijakan.

Kedelapan, gugatan yang paling mendasar terhadap RSBI dan SBI ini adalah telah menutup akses masyarakat luas terhadap layanan pendidikan yang bermutu lantaran uang menjadi dasar penerimaan murid baru. Banyak calon murid yang nilainya bagus tidak berani mendaftar ke sekolah yang berlabel RSBI/SBI karena biaya sekolahnya amat tinggi, baik uang sumbangan maupun SPP per bulan.

Kesimpulannya, program RSBI dan SBI ini pantas untuk dihentikan bukan sekadar karena alasan-alasan teknis manajerial seperti yang disebutkan oleh Menteri Pendidikan M. Nuh di atas, melainkan yang lebih substansial adalah alasan ideologis-konstitus ional. Secara ideologis, RSBI dan SBI bertentangan dengan Pancasila (sila kelima, Keadilan Sosial) dan secara konstitusional jelas melanggar konstitusi negara. Padahal, peraturan perundangan pendidikan mestinya merupakan turunan dari konstitusi negara, bukan justru melanggarnya. Bila institusi pendidikan yang seharusnya dapat menjadi tuntutan dalam menjaga ideologi bangsa dan konstitusi negara justru secara sengaja melanggarnya, dapat dibayangkan kerusakan seperti apa yang akan terjadi pada tatanan kehidupan bernegara kita di masa mendatang.

37

Page 39: Surat Cinta Dari Alumni Smala

Bila program RSBI dan SBI ini dihentikan, perhatian pemerintah dan pemda dapat merata pada semua institusi pendidikan, baik negeri maupun swasta, tanpa mengalami diskriminasi seperti sekarang ini. Sekolah-sekolah negeri yang berlabel RSBI/SBI dikembalikan menjadi sekolah milik publik yang terjangkau bagi segenap lapisan masyarakat.

Pekerjaan rumah (PR) yang perlu dikerjakan oleh pemerintah dan DPR dalam kaitan dengan usulan menghentikan program RSBI dan SBI tersebut adalah merevisi UU Sisdiknas, yang selama ini dijadikan dasar pengembangan RSBI dan SBI. Meskipun, bila dibaca secara cermat, pasal 50 ayat (3) itu lebih bermakna sifat (bertaraf internasional) , bukan bentuk kelembagaan (RSBI/SBI). Tapi, selama ayat (3) tersebut masih berlaku, pasal ini akan terus dijadikan pedoman bagi birokrasi pendidikan untuk melanggengkan Program RSBI dan SBI.*

http://www.tempoint eraktif.com/ hg/kolom/ 2010/07/30/ kol,20100730- 216,id.html

Seperti analogi cantik yang awal tulisan ini saya berikan, Elang tetap akan menjadi elang meskipun dikurung di kandang ayam. Saya sangat berharap “Elang-Elang” Smalane tidak akan pernah sekalipun merasa dirinya seekor ayam ketika dikurung di kandang ayam. Semoga rangkaian tulisan ini dapat menjadi masukan yang berharga untuk membuka wawasan semua orang yang berpengaruh dalam menentukan kebijakan pendidikan di Indonesia dan pendidikan di Smala pada khususnya agar kita dapat menuntaskan janji proklamasi yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sekian. Terima Kasih….

SUSELO SULUHITODept. of Mechanical Engineering 2008Mechanical and Aeronautics Engineering FacultyInstitut Teknologi BandungContact E-Mail: [email protected]

38