sumber sumber ekonomi islam

38

Click here to load reader

Upload: dahlia-tambajong

Post on 05-Nov-2015

495 views

Category:

Documents


426 download

DESCRIPTION

fsdf

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangHukum Islam (syariah) mempunyai kemampuan untuk ber-evolusi dan berkembang dalam menghadapi soal-soal modern saat ini. Semangat dan prinsip umum hukum Islam flexibel dan luas berlaku di masa lampau, masa kini dan akan datang. Dalam banyak hal, pola sistem hukum Islam menyerahkan soal-soal kekinian kepada akal dan ijtihad manusiaElastisitas Hukum Islam itulah yang menyebabkan Hukum Islam itu senantiasa akan dapat menjawab segala tantangan dan kebutuhan zaman. Alquran hanya menjelaskan dasar-dasar umumnya saja bagi permasalahan yang akan berkembang. Kaidah-kaidah umunya sudah ad, akan tetapi rincian lebih lanjut akan diselesaikan melalui ijtihad manusia itu sendiri. Termasuk dalam hal ekonomi, khususnya yang berkenaan dengan Ekonomi Islam yang cakupannya sangat luas.Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dan akan senantiasa berhubungan dengan yang namanya transaksi. Dalam hal itu lah, bagaimana seharusnya sebagai ekonom Muslim bertindak dan bertranskasi sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, perlu mempelajari dasar-dasar Ekonomi Islam itu sendiri.

B. Rumusan Masalah1. Apa Pengertian Ekonomi Islam?2. Bagaimana Sumber Sumber Ekonomi Islam?

C. Tujuan1. Untuk mengetahui Apa Pengertian Ekonomi Islam2. Untuk mengetahui Bagaimana Sumber Sumber Ekonomi Islam

BAB IIPEMBAHSAN

A. Pengertian Ekonomi IslamIlmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber daya material sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat. Artinya :Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya(QS al-Hasyr [59]: 7)Sistem Ekonomi (an-nizham al-iqtishadi) dalam Islam mencakup pembahasan yang menjelaskan asas-asas yang membangun sistem ekonomi Islam terdiri dari atas tiga asas:[footnoteRef:2] [2: Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA, M.Si. 2009 , CV. Putra Media Nusantara. Ekonomi Islam Surabaya. Hal 106]

1. Kepemilikan harta kekayaan (al-milkiyah)2. kepemilikan harta kekayaan yang telah dimiliki (tasharruf fil milkiyah)3. cara edaran kekayaan tersebut di tengah-tengah masyarakat (tauzi'ul tsarwah bayna an-naas)Jenis-jenis kepemilikan harta :1. Kepemilikan Individuadalah hukum syariah yang berlaku pada barang baik dzat (ayn) maupun manfaatnya, yang memungkinkan seseorang untuk menggunakan barang tersebut atau mendapatkan kompensasi. Diantaranya,

a) BekerjaBekerja adalah salah satu kepemilikan individu. Dengan bekerja setiap manusia akan dapat memenuhi kebutuhannya. Tentunya Allah SWT akan selalu membantunya dalam mendapatkan rezeki seperti yang tercantum pada ayat,

Maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah anugerah dari Allah (QS. Al Jumuah : 10)b) PewarisanWaris merupakan suatu mekanisme pembagian harta milik orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang di tunjuk sebagai pemilik selanjutnya. c) Kebutuhan MendesakNabi saw juga bersabda Sesungguhnya Aku tidak akan memotong tangan orang yang mencuri karena kelaparan.d) Pemberian NegaraNegara dapat memberikan bantuan kepada rakyatnya yang di nilai memenuhi syarat untuk di bantu.[footnoteRef:3] [3: Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA, M.Si. 2009 , CV. Putra Media Nusantara. Ekonomi Islam Surabaya. Hal 107]

2. Kepemilikan Umumadalah izin al-Syari kepada masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan suatu benda semisal saja mineral-mineral dalam bentuk pejal, cair dan gas termasuk petroleum, besi, tembaga, emas dan sebagainya yang didapati sama ada di dalam perut bumi atau di atasnya, termasuk juga segala bentuk tenaga dan intensif tenaga serta industri-industri berat. Semua ini murni dan wajib diuruskan (dikelola) oleh Daulah Islamiyah(negara) dan manfaatnya wajib dikembalikan kepada rakyat.3. Kepemilikan Negaraadalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang khalifah semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya.Meliputi segala bentuk bayaran yang dipungut oleh negara secara syari dari warganegara, bersama dengan perolehan dari pertanian, perdagangan dan aktiviti industri, di luar dari lingkungan pemilikan umum di atas.Negara membelanjakan perolehan tersebut untuk kemaslahatan negara dan rakyat.[footnoteRef:4] [4: Kamal Mustafa,, 1997. Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi. Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta. Hal 113]

B. Sumber-Sumber Ekonomi Islam Agama Islam memiliki pedoman yang sangat penting dalam menghadapi hidup. Setiap muslim diwajibkan agar berpedoman dengan sumber-sumber tersebut. Sumber-sumber tersebut terdapat beberapa bagian[footnoteRef:5]. Sumber yang paling penting, sempurna, tidak diragukan, berlaku sepanjang zaman dan diwajibkan pula setiap muslim atas pemahamannya yaitu Al-Quran. Sumber lainnya cukup penting dalam pengaplikasian dari Al-Quran ke kehidupan sehari-hari yaitu Hadits dan ijtihad yang diambil berdasarkan kedua sumber tersebut. [5: Jamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997]

1. Al-Quran al-karimAl-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan bahasa Arab dengan perantaraan malaikat Jibril, sebagai hujjah (argumentasi) bagi-Nya dalam mendakwahkan kerasulan-Nya dan sebagai pedoman hidup bagi manusia yang dapat dipergunakan untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta sebagai media untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Tuhan dengan membacanya. Wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw ini terwujud dalam bahasa arab dan secara autentik terhimpun dalam mushaf.[footnoteRef:6] Dalil : alquran menjadi sumber Ekonomi Islam (an-nisa : 59 ) [6: Azyumardi Azra, Buku Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, cet. III.Direktorat Perguruan Agama Islam, Jakarta, 2002, hlm. 61. ]

[footnoteRef:7] [7: Al-quran surat An-nisa:59]

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.Al-quran adalah sumber pertama dan utama bagi Ekoomi Islam, di dalamnya dapat kita temui hal ihwal yang berkaitan dengan ekonomi dan uga terhadap hukum hukum dan undang undang ekonomi dalam tujuan Islam, di antaranya seperti hukum diharamkannya riba, dan diperbolehkannya jual beli yang tertera pada suran Al-Baqoroh ayat 275: ......padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhyannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yanag telah di ambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Contoh lain adalah perintah menepati dan menghormati jajnji pada surat Al-Maidah ayat 1: Wahai orang orang yang beriman penuhilah akad akad itu......

2. Al-HaditsHadits (bahasa Arab: ,) adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad.Namun pada saat ini kata hadits mengalami perluasan makna, sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum. Hadits menurut ahli hadits adalah sesuatu yang didapatkan dari Nabi SAW yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an. Kedudukan hadits sebagai sumber Ekonomi Islam kedua, telah diterima oleh semua ulama dan umat islam. Hal ini di kuatkan dengan ayat al-quran surat an-nisa:80 Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. Dengan demikian jelaslah bahwa hadits merupakan sumber Ekonomi Islam disamping al-quran. Orang-orang yang menolak hadits sebagai Ekonomi Islam, berrarti hakikatnya orang itu menolak al-quran. Mereka yang menolak hadits sebagai sumber Ekonomi Islam, lebih disebabkan keterbatasan pengetahuan mereka terhadap al-quran dan kepada hadits.As-Sunah adalah sumber kedua dalam perundang undanagn islam. Di dalamnya dapat kita jumpai khazanah aturan perokonomian islam. Di antaranya seperti sebah hadis yang isinya memerintahkan untuk menjaga dan melindungi harta, baik milik pribadi maupun umum serta tidak boleh mengambil harta yang bukan miliknya. Sesungguhnya (menumpahkan) darah kalian, (mengambil) harta kalian, (mengganggu) kehormatan kalian haramnsebagaimana haramnya hari kalian saat ini, di bulan ini, di negeri ini.....(H.R BukhoriContoh lain misalnya As-Sunah juga menjelaskan jenis jenis harta yang harus menjadi milik umum dan untuk kepentingan umnum, tertera pada hadis: Aku ikut berperang bersama Rasulullah, ada tiga hal yang aku dengar dari Rasulullah: Orang orang muslim bersyarikat (sama sama memiliki) tempat penggembala, air dan api (HR. Abi Dawud) [footnoteRef:8] [8: Kamal Mustafa,, 1997. Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi. Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta. Hal 113]

3. Ijtihada) Ijtihad Sebagai Sumber Ekonomi IslamMenurut istilah, ijtihad berarti penggunaan rasion atau akal semaksimal mungkin guna menemukan sesuatu ketetapan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara tegas dalam al-Quran dan al-Sunnah.b) Kedudukan IjtihadIjtihad menduduki posisi yang ketiga dalam Ekonomi Islam setelah al-Quran dan al-Sunnah. Dalam ijtihad ini timbullah sumber hukum lainnya yaitu ijma(consensus ulama), qiyas(analogi berdasarkan sebab atau illat masalah), urf(adat kebiasaan setempat), maslahah mursalah(kepentingan umum), dan istihsan.Ijtihad dilakukan oleh para imam, para kepala pemerintahan, para hakim, dan oleh para panglima perang untuk menemukan solusi dari permasalahan yang berkembang di kalangan mereka berdasarkan bidang mereka masing-masing.c) Lapangan Ijtihad:Sesuai dengan namanya, ijtihad berarti mencari sesuatu yang tidak secara eksplisit didapat di dalam al-Quran dan al-Sunnah, berarti mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari kedua sumber tersebut, maka ijtihad terikat oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut :a) Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Karena urusan ibadah mahdhah telah diatur oleh al-Quran dan al-Hadist secara jelas dan terperinci.b) Hasil ketetapan ijtihad sifatnya kondisional dan situasional, mungkin berlaku bagi seseorang tetapi tidak berlaku bagi oranng lain. Juga berlakunya kadangkala hanya untuk satu masa atau tempat tertentu saja.c) Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Quran dan al-Sunnah.d) Ketetapan ijtihad tidak melahirkan keputusan yang absolute, tetapi sifatnya relative.e) Dalam proses berijtihad harus mempertimbangkan berbagai aspek, diantaranya aspek lingkungan, aspek manfaat dan madharat atau akibat, aspek motivasi dan nilai-nilai yang menjadi ciri khas ajaran Islam.f) Ijtihad mencakup bidang muamalah (ihwal ekonomi), jinayat (kriminalitas), siasat (politik), ahwal syakhshiyyah (ihwal kekeluargaan), dan dawah (misson), kedokteran, sains dan teknologi dan sebagainya.d) Syarat-syarat ijtihad:Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya:a) Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengan masalah hokum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayatuntuk menggali hukum.b) Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadist-hadist yang berhubungan dengan masalah hukum.c) Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma agar ia berijtihad tidak bertentangan dengan ijma.d) Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.e) Menguasai bahasa arab secara mendalam. Sebab al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber asasi Ekonomi Islam tersusun dalam bahasa arab yang sangat tinggi gaya bahasanya.f) Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh.g) Mengetahui tentang latar belakang turunnya ayat-ayat al-Quran dan hadist.e) Peranan Ijtihad dalam Perkembangan Masyarakat Islam:Ijtihad memiliki peranan penting dalam pembinaan Ekonomi Islam; diantaranya:a) Agar Ekonomi Islam dapat ditetapkan secara fleksibel sehingga tidak kaku.b) Agar dapat disesuaikan dengan perkembangan zamanc) Dapat memudahkan penerapan ajaran Islam menurut situasi dan kondisi yang adad) Dapat mengembangkan intelektualitas umat Islam sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologie) Dapat meningkatkan dinamika masyarakat Islam yang heterogen, namun senantiasa hidup toleran dengan ukhuwah Islamiyah. Imam Syafii mengatakan bahwa seorang mujtahid tidak boleh mengtakan tidak tahu dalam suatu permasalahan sebelum ia berusaha dengan sungguh sungguh untuk menelitinya dan tidak boleh mengatakan aku tahu seraya menyebutkan hukum yang diketahui itu sebelum ia mencurahkan kemampuan dan mendapatkan hukum itu. Keberadaan ijtihad sebagai sebuah hukum dinyatakan dalam Al-Quran dalam surat an Nisa (4) ayat 83, yang berbunyi:4. Kitab kitab Fikih Umum dan Khusus.Kitab kitab ini menjelaskan tentang ibadah dan muamalah, di dalamnya terdapat pula bahasan tentang ekonomi yang kemudian dikenal dengan istilah Al-Muamalah Al-Maliyah, isinya merupakan hasil hasil ijtihad Ulama terutama dalam mengeluarkan hum hukum dari dalil dalil Al-Quran maupun hadis yang sahih. Adapun bahasan bahasan yang langsung berkaitan dengan ekonomi Islam adalah: Zakat, Sedekah sunah, fidyah, zakat fitrah, jual beli, riba dan jual beli uang, dan lain lain.[footnoteRef:9] [9: Jamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997]

C. Fatwa Fatwa Dalam Bidang Ekonomi IslamPertama: Ketentuan Umum1. Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat hutang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga;2. Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah;3. Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.Kedua: Ketentuan Khusus1. Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain: Mudharabah (Muqaradhah)/Qiradh Musyarakah Murabahah Salam Istishna Ijarah;2. Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memper-hatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;3. Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudha-rabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;4. Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan;5. Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.Ketiga: Penyelesaian PerselisihanJika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.Keempat: PenutupFatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Fatwa DSN 33/DSN-MUI/IX/2002: Obligasi Syari'ah Mudharabah Pertama: Ketentuan Umum1. Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.2. Obligasi Syariah Mudharabah adalah Obligasi Syariah yang berdasarkan akad Mudharabah dengan memperhatikan substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 7/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah.3. Emiten dalam Obligasi Syariah Mudharabah adalah Mudharib sedangkan pemegang Obligasi Syariah Mudharabah adalah Shahibul Mal.

Kedua: Ketentuan Khusus1. Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Mudharabah adalah akad Mudharabah;2. Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;3. Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudha-rabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;4. Nisbah keuntungan dalam Obligasi Syariah Mudharabah ditentukan sesuai kesepakatan, sebelum emisi (penerbitan) Obligasi Syariah Mudharabah;5. Pembagian pendapatan (hasil) dapat dilakukan secara periodik sesuai kesepakatan, dengan ketentuan pada saat jatuh tempo diperhitungkan secara keseluruhan;6. Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi Obligasi Syariah Mudharabah dimulai;7. Apabila Emiten (Mudharib) lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas, Mudharib berkewajiban menjamin pengembalian dana Mudharabah, dan Shahibul Mal dapat meminta Mudharib untuk membuat surat pengakuan hutang;8. Apabila Emiten (Mudharib) diketahui lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas kepada pihak lain, pemegang Obligasi Syariah Mudharabah (Shahibul Mal) dapat menarik dana Obligasi Syariah Mudharabah;9. Kepemilikan Obligasi Syariah Mudharabah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.

Ketiga: Penyelesaian PerselisihanJika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.Keempat: Ketentuan PenutupFatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Fatwa DSN 34/DSN-MUI/IX/2002: Letter of Credit (L/C) Impor Syari'ah Pertama: Ketentuan Umum1. Letter of Credit (L/C) Impor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk kepentingan Importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah.2. L/C Impor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qardh, Murabahah, Salam/Istishna, Mudharabah, Musyarakah, dan Hawalah.Kedua: Ketentuan AkadAkad untuk L/C Impor yang sesuai dengan syariah dapat digunakan beberapa bentuk:1. Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan: Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang diimpor; Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor; Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.

2. Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan: Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor; Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor; Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase; Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada importir untuk pelunasan pembayaran barang impor.3. Akad Murabahah dengan ketentuan: Bank bertindak selaku pembeli yang mewakilkan kepada importir untuk melakukan transaksi dengan eksportir; Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank saat dokumen diterima (at sight) dan/atau tangguh sampai dengan jatuh tempo (usance); Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik dengan pembayaran tunai maupun cicilan. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan sebagai harga perolehan barang.4. Akad Salam/Istishnadan Murabahah, dengan ketentuan: Bank melakukan akad Salam atau Istishna dengan mewakilkan kepada importir untuk melakukan transaksi tersebut. Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank; Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik dengan pembayaran tunai maupun cicilan. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan sebagai harga perolehan barang.5. Akad Wakalah bil Ujrah dan Mudharabah, dengan ketentuan: Nasabah melakukan akad wakalah bil ujrah kepada bank untuk melakukan pengurusan dokumen dan pembayaran. Bank dan importir melakukan akad Mudharabah, dimana bank bertindak selaku shahibul mal menyerahkan modal kepada importir sebesar harga barang yang diimpor.6. Akad Musyarakah dengan ketentuan: Bank dan importir melakukan akad Musyarakah, dimana keduanya menyertakan modal untuk melakukan kegiatan impor barang.7. Dalam hal pengiriman barang telah terjadi, sedangkan pembayaran belum dilakukan, akad yang digunakan adalah:

Fatwa DSN 35/DSN-MUI/IX/2002: Letter of Credit (L/C) Ekspor Syari'ah Pertama: Ketentuan Umum1. Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk memfasilitasi perdagangan ekspor dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah.2. L/C Ekspor Syariah dalam pelaksanaannya meng-gunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qardh, Mudharabah, Musyarakah dan Al-Bai.Kedua: Ketentuan AkadAkad untuk L/C Ekspor yang sesuai dengan syariah dapat berupa:1. Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan: Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah; Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam prosentase.2. Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan: Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank); Bank memberikan dana talangan (Qardh) kepada nasabah eksportir sebesar harga barang ekspor; Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase. Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuai kesepakatan dalam akad. Antara akad Wakalah bil Ujrah dan akad Qardh, tidak dibolehkan adanya keterkaitan (taalluq).3. Akad Wakalah Bil Ujrah dan Mudharabah dengan ketentuan: Bank memberikan kepada eksportir seluruh dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir; Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank). Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance); Pembayaran dari bank penerbit L/C (issuing bank) dapat digunakan untuk: Pembayaran ujrah; Pengembalian dana mudharabah; Pembayaran bagi hasil. Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.4. Akad Musyarakah dengan ketentuan: Bank memberikan kepada eksportir sebagian dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir; Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank); Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance); Pembayaran dari bank penerbit L/C (issuing bank) dapat digunakan untuk: Pengembalian dana musyarakah; Pembayaran bagi hasil.5. Akad Al-Bai (Jual-beli) dan Wakalah dengan ketentuan: Bank membeli barang dari eksportir; Bank menjual barang kepada importir yang diwakili eksportir; Bank membayar kepada eksportir setelah pengiriman barang kepada importir; Pembayaran oleh bank penerbit L/C (issuing bank) dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance).

Fatwa DSN 36/DSN-MUI/X/2002: Sertifikat Wadi'ah Bank Indonesia (SWBI) Pertama:1. Bank Indonesia selaku bank sentral boleh menerbitkan instrumen moneter berdasarkan prinsip syariah yang dinamakan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), yang dapat dimanfaatkan oleh bank syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditasnya.2. Akad yang digunakan untuk instrumen SWBI adalah akad wadiah sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro dan Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.3. Dalam SWBI tidak boleh ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak Bank Indonesia.4. SWBI tidak boleh diperjualbelikan.Kedua:Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.Fatwa DSN 37/DSN-MUI/X/2002: Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah Pertama: Ketentuan Umum1. Pasar uang antarbank yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu pasar uang antarbank yang berdasarkan bunga.2. Pasar uang antarbank yang dibenarkan menurut syariah yaitu pasar uang antarbank yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.3. Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarpeserta pasar berdasarkan prinsip-prinsip syariah.4. Peserta pasar uang sebagaimana tersebut dalam butir 3, adalah: bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana bank konvensional hanya sebagai pemilik danaKedua: Ketentuan Khusus1. Akad yang dapat digunakan dalam Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah adalah: Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh Musyarakah Qardh Wadiah Al-Sharf2. Pemindahan kepemilikan instrumen pasar uang sebagaimana tersebut dalam butir 1. menggunakan akad-akad syariah yang digunakan dan hanya boleh dipindahtangankan sekali.Ketiga: Penyelesaian PerselisihanJika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah yang berkedudukan di Indonesia, setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.Keempat: PenutupFatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Tanggal: 23 Oktober 2002 M / 16 Syaban 1423HFatwa DSN 38/DSN-MUI/X/2002: Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA) Pertama: Ketentuan Umum1. Sertifikat investasi antarbank yang berdasarkan bunga, tidak dibenarkan menurut syariah.2. Sertifikat investasi yang berdasarkan pada akad Mudharabah, yang disebut dengan Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA), dibenarkan menurut syariah.3. Sertifikat IMA dapat dipindahtangankan hanya satu kali setelah dibeli pertama kali.4. Pelaku transaksi Sertifikat IMA adalah: bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana. bank konvensional hanya sebagai pemilik dana.Kedua: Ketentuan KhususImplementasi dari fatwa ini secara rinci diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah pada bank syariah dan oleh Bank Indonesia.Ketiga: Penyelesaian PerselisihanJika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah yang berkedudukan di Indonesia setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.Keempat: PenutupFatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Fatwa DSN 39/DSN-MUI/X/2002: Asuransi Haji Pertama: Ketentuan Umum1. Asuransi Haji yang tidak dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang menggunakan sistem konvensional.2. Asuransi Haji yang dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.3. Asuransi Haji yang berdasarkan prinsip syariah bersifat taawuni(tolong menolong) antar sesama jamaah haji.4. Akad asuransi haji adalah akad Tabarru (hibah) yang bertujuan untuk menolong sesama jamaah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jamaah haji sebagai pemberi tabarru dengan Asuransi Syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah.Kedua: Ketentuan Khusus1. Menteri Agama bertindak sebagai pemegang polis induk dari seluruh jamaah haji dan bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.2. Jamaah haji berkewajiban membayar premi sebagai dana tabarru yang merupakan bagian dari komponen Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).3. Premi asuransi haji yang diterima oleh asuransi syariah harus dipisahkan dari premi-premi asuransi lainnya.4. Asuransi syariah dapat menginvestasikan dana tabarru sesuai dengan Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, dan hasil investasi ditambahkan ke dalam dana tabarru.5. Asuransi Syariah berhak memperoleh ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar.6. Asuransi Syariah berkewajiban membayar klaim kepada jamaah haji sebagai peserta asuransi berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.7. Surplus Operasional adalah hak jamaah haji yang pengelolaannya diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai pemegang polis induk untuk kemaslahatan umat.Ketiga: Penyelesaian PerselisihanJika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah yang berkedudukan di Indonesia setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanSebagai umat islam, kita diwajibkan untuk mengetahui serta memperdalam sumber ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena sumber ajaran agama islam merupakan merupakan media penuntun agar kita dapat melaksanakan semua perintah Allah dan semua larangan-Nya. Agama islam pun tidak mempersulit kita dalam mempelajari seluk beluk agama islam. Karena terdapat tingkatan sumber ajaran agama islam yang harus kita pedomani.

B. SaranDalam pembuatan makalah ini tentunya masih banyak terdapat kesalahan dan kekhilafan, untuk itu kami sangat mengharapkan masukan dari para pembaca berupa kritik dan saran yang sifatnya membangun, sehingga dapat menjadi acuan kami kedepan dalam membuat makalah.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA, M.Si. 2009 , CV. Putra Media Nusantara. Ekonomi Islam Surabaya.Kamal Mustafa,, 1997. Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi. Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta. Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA, M.Si. 2009 , CV. Putra Media Nusantara. Ekonomi Islam Surabaya. Basyir, Ahmad Azhar. Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Ekonomi Islam. Yogyakarta: UII Pres Yogyakarta. 1984.Jamil, Fathurrahman. Filsafat Ekonomi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2005.

MAKALAHUshul Fiqih Fatwa Dalam Bidang Ekonomi Islam

Oleh :Jesi Novita: 1316130174Julia Wensi : 1316130177Indrawan:

Dosen Dr. H. Toha Andiko, M.Ag

PRODI PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAMINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERIBENGKULU201iii5

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR iDAFTAR ISIiiBAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang1 B. Rumusan Masalah1C. Tujuan1

BAB II PEMBAHASANA. Pengertian Ekonomi Islam 3B. Sumber Ekonomi Islam 4C. Fatwa Dalam Bidang Ekonomi11BAB III PENUTUPA. Kesimpulan21B. Saran21DAFTAR PUSTAKA

ii23