sukolilo lap arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/sukolilo...airnya dapat menopang...

19
KAWASAN KARST SUKOLILO – JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO 1 J. Susetyo Edy Yuwono & Gregorius D. Kuswanto (Arkeologi FIB UGM) A. PENDAHULUAN Kawasan karst merupakan sebuah aset dan sekaligus catatan panjang dari sebagian sejarah bumi di suatu wilayah. Sebagai suatu aset, kawasan ini memiliki berbagai keistimewaan. Bentangalamnya yang unik merupakan sisi luar (eksokarst) yang paling mudah dikenali, berbeda dengan bentangalam lainnya. Di bawah permukaannya (endokarst), keunikan-keunikan lain semakin banyak dijumpai. Ragam bentukan gua, lorong-lorong sungai bawahtanah, dan ornamen-ornamen batuan yang indah hanya dapat dijumpai di kawasan ini. Bahkan salah satu sumber kehidupan kita, yaitu air yang tersimpan di sungai-sungai dan telaga-telaga bawahtanah, memiliki tatanan yang spesifik di kawasan karst. Tidak terpungkiri pula, bahwa kawasan karst menjadi salah satu media penyimpan air yang sangat menentukan kehidupan di atasnya, baik di kawasan karst itu sendiri maupun untuk kawasan-kawasan lain di sekitarnya. Sejumlah keistimewaan di atas adalah hasil dari suatu proses alam yang sangat panjang. Menurut pembabakan waktu geologi, banyak diulas bahwa batuan penyusun karst di Jawa ini sebagian besar berumur Miosen (sekitar 23 juta tahun lalu). Melalui proses tektonis (pengangkatan), sedimen purba ini secara bertahap akhirnya muncul di atas muka laut. Ketika ketinggiannya sudah mencapai posisi tertentu, proses-proses eksogen terutama pelarutan yang dikendalikan oleh curah hujan, mengikis retakan- retakan pada batuannya mulai dari permukaan hingga ke celah-celah yang lebih dalam. Pelarutan yang terjadi bersamaan dengan proses denudasi sepanjang waktu geologi akhirnya menghasilkan bukit-bukit kerucut sebagai bentukan sisa, serta lorong-lorong gua dan sungai-sungai bawahtanah lengkap dengan beragam ornamennya. Keunikan fisik yang terbentuk, sedikit banyak telah berimbas pada keunikan budayanya. Sebagai bentangalam tua, kawasan karst telah menjadi wadah bagi keberlangsungan kolonisasi manusia purba, terutama mendekati akhir kala Pleistosen hingga permulaan Holosen (40.000 – 10.000 tahun lalu). Ketersediaan gua-gua karst dari fase pembentukan awal, yang kini sudah mengering menjadi gua-gua fosil di tebing- tebing bukit dan lembah, serta sumber-sumber air di lorong-lorong gua aktif di bawah permukaan tanah, telah menopang keberlangsungan budaya karstik awal di kawasan ini. Gua-gua fosil menjadi pilihan untuk bermukim, sementara gua-gua aktif dan mataair- mataair bawahtanah yang langsung dapat diakses atau harus memasuki lorong-lorong bawahtanah, menyediakan sumberdaya untuk hidup. Lingkungan sekitar gua menjadi activity area, di mana binatang-binatang dapat diburu untuk dikonsumsi dagingnya dan dimanfaatkan tulangnya sebagai perkakas hidup. Di wilayah Jawa Tengah, bukti-bukti hunian purba tersebut telah dijumpai di beberapa kawasan karst, di antaranya adalah Kawasan Karst Gunung Sewu di Pegunungan Selatan yang sebagian wilayahnya, yaitu Segmen Tengah (Segmen Wonogiri), masuk ke wilayah Jawa Tengah. Meskipun potensi arkeologi di Kabupaten 1 Diselenggarakan oleh PEKINDO dalam rangka Penetapan Zona Lindung Kawasan Karst Sukolilo, Kabupaten Pati (Jawa Tengah) dan sekitarnya, September 2008.

Upload: dinhthuy

Post on 16-Apr-2018

219 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

KAWASAN KARST SUKOLILO – JAWA TENGAH: POTENSI ARKEOLOGI DAN TINJAUANNYA SECARA MAKRO1

J. Susetyo Edy Yuwono & Gregorius D. Kuswanto (Arkeologi FIB UGM)

A. PENDAHULUAN

Kawasan karst merupakan sebuah aset dan sekaligus catatan panjang dari sebagian sejarah bumi di suatu wilayah. Sebagai suatu aset, kawasan ini memiliki berbagai keistimewaan. Bentangalamnya yang unik merupakan sisi luar (eksokarst) yang paling mudah dikenali, berbeda dengan bentangalam lainnya. Di bawah permukaannya (endokarst), keunikan-keunikan lain semakin banyak dijumpai. Ragam bentukan gua, lorong-lorong sungai bawahtanah, dan ornamen-ornamen batuan yang indah hanya dapat dijumpai di kawasan ini. Bahkan salah satu sumber kehidupan kita, yaitu air yang tersimpan di sungai-sungai dan telaga-telaga bawahtanah, memiliki tatanan yang spesifik di kawasan karst. Tidak terpungkiri pula, bahwa kawasan karst menjadi salah satu media penyimpan air yang sangat menentukan kehidupan di atasnya, baik di kawasan karst itu sendiri maupun untuk kawasan-kawasan lain di sekitarnya.

Sejumlah keistimewaan di atas adalah hasil dari suatu proses alam yang sangat panjang. Menurut pembabakan waktu geologi, banyak diulas bahwa batuan penyusun karst di Jawa ini sebagian besar berumur Miosen (sekitar 23 juta tahun lalu). Melalui proses tektonis (pengangkatan), sedimen purba ini secara bertahap akhirnya muncul di atas muka laut. Ketika ketinggiannya sudah mencapai posisi tertentu, proses-proses eksogen terutama pelarutan yang dikendalikan oleh curah hujan, mengikis retakan-retakan pada batuannya mulai dari permukaan hingga ke celah-celah yang lebih dalam. Pelarutan yang terjadi bersamaan dengan proses denudasi sepanjang waktu geologi akhirnya menghasilkan bukit-bukit kerucut sebagai bentukan sisa, serta lorong-lorong gua dan sungai-sungai bawahtanah lengkap dengan beragam ornamennya.

Keunikan fisik yang terbentuk, sedikit banyak telah berimbas pada keunikan budayanya. Sebagai bentangalam tua, kawasan karst telah menjadi wadah bagi keberlangsungan kolonisasi manusia purba, terutama mendekati akhir kala Pleistosen hingga permulaan Holosen (40.000 – 10.000 tahun lalu). Ketersediaan gua-gua karst dari fase pembentukan awal, yang kini sudah mengering menjadi gua-gua fosil di tebing-tebing bukit dan lembah, serta sumber-sumber air di lorong-lorong gua aktif di bawah permukaan tanah, telah menopang keberlangsungan budaya karstik awal di kawasan ini. Gua-gua fosil menjadi pilihan untuk bermukim, sementara gua-gua aktif dan mataair-mataair bawahtanah yang langsung dapat diakses atau harus memasuki lorong-lorong bawahtanah, menyediakan sumberdaya untuk hidup. Lingkungan sekitar gua menjadi activity area, di mana binatang-binatang dapat diburu untuk dikonsumsi dagingnya dan dimanfaatkan tulangnya sebagai perkakas hidup.

Di wilayah Jawa Tengah, bukti-bukti hunian purba tersebut telah dijumpai di beberapa kawasan karst, di antaranya adalah Kawasan Karst Gunung Sewu di Pegunungan Selatan yang sebagian wilayahnya, yaitu Segmen Tengah (Segmen Wonogiri), masuk ke wilayah Jawa Tengah. Meskipun potensi arkeologi di Kabupaten

1Diselenggarakan oleh PEKINDO dalam rangka Penetapan Zona Lindung Kawasan Karst

Sukolilo, Kabupaten Pati (Jawa Tengah) dan sekitarnya, September 2008.

Page 2: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

2

Wonogiri belum lama diungkap (Yuwono, 2004; Sutikno dan Tanudirjo, 2006), namun kandungan informasinya tidak berbeda jauh dengan segmen-segmen tetangganya di Kabupaten Gunung Kidul (Propinsi D.I. Yogyakarta) dan Kabupaten Pacitan (Propinsi Jawa Timur) yang sudah lebih lama diteliti.

Di wilayah selatan Jawa Tengah, Kawasan Karst Gombong juga menyediakan potensi prasejarah serupa. Beberapa kali pengamatan di wilayah ini menemukan bukti-bukti artefak (sisa perkakas prasejarah) di beberapa gua. Belum adanya penggalian arkeologi (ekskavasi) di wilayah ini mengakibatkan kurangnya informasi untuk mengungkapkan aspek-aspek hunian prasejarah di bagian selatan Jawa Tengah. Kasus serupa juga dijumpai di Kawasan Karst Blora di ujung timur Jawa Tengah bagian utara. Potensi arkeologi di wilayah ini sudah dikenali melalui survei permukaan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta (Yuwono, 2005). Hasil-hasil penelitian Blora ternyata tidak dapat dipisahkan dari potensi arkeologi Kawasan Karst Tuban di sebelah timurnya, yang sedikitnya mengandung 20 situs gua arkeologi (Suhartono, 2000). Dua di antaranya, yaitu Gua Gede dan Gua Kandang di Kecamatan Semanding, bahkan sudah diteliti oleh W.J.A. Willems pada tahun 1938. Sebagai bagian dari Perbukitan Rembang, Kawasan Karst Sukolilo di Kabupaten Pati dan Grobogan, Jawa Tengah, diduga kuat juga memiliki nilai arkeologi seperti kawasan-kawasan karst lainnya. Bahkan jalur pegunungan lain yang membujur barat-timur di sebelah selatannya (Punggungan Kendeng), telah terbukti mengandung situs-situs yang lebih tua lagi (situs-situs kala Pleistosen). Di antaranya adalah Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngandong, Kedungbrubus, dan Jetis-Perning, yang terletak di sayap selatan Kendeng. Melalui dugaan ini maka survei awal untuk mengungkap potensi arkeologi Kawasan Karst Sukolilo dilakukan.

B. TUJUAN SURVEI

1. Tujuan Akademis: a. Pada skala meso, survei ini ditujukan untuk menjajagi dan

mengidentifikasi kemungkinan adanya situs-situs arkeologi (situs gua) di Kawasan Karst Sukolilo yang selama ini belum pernah diteliti. Penemuan-penemuan baru nantinya, jelas akan memperkaya khasanah sejarah budaya wilayah Jawa Tengah utara, yang selama ini masih terfokus di daerah Sangiran dan situs-situs lain di Punggungan Kendeng.

b. Pada skala makro, penelitian ini juga bertujuan untuk menempatkan posisi Sukolilo dalam konteks penghunian/migrasi purba di Jawa, sehingga nilai tambah Kawasan Karst Sukolilo dapat diperoleh.

2. Tujuan Praktis: a. Mengangkat potensi arkeologi karstik Kawasan Karst Sukolilo, yang

bersama-sama dengan potensi lainnya (hidrologi, speleologi, biologi, ekowisata, dan lain-lain), dapat memberikan penguatan untuk penetapannya sebagai Kawasan Lindung.

b. Memberikan nilai tambah dalam pengemasan dan pengembangan ekowisata setempat untuk jangka panjang, yang berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat tanpa menimbulkan dampak kerusakan yang berarti.

Page 3: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

3

C. PELAKSANAAN SURVEI Bentuk Kegiatan : Survei permukaan dengan melakukan pengamatan dan

pengukuran terhadap beberapa kriteria, meliputi: a) kriteria morfologi dan genesa gua, b) kriteria lingkungan dan morfoasosiasi, c) kriteria kandungan. Melalui kriteria-kriteria tersebut akan diketahui berpotensi tidaknya suatu gua sebagai situs arkeologi.

Waktu kegiatan : Tanggal 1 – 5 September 2008

Lokasi : Kawasan Karst Sukolilo di Pegunungan Kendeng Utara atau Perbukitan Rembang, meliputi Desa Jimbaran, Kedungmulyo, Kedungwinong, Sukolilo, Sumbersuko, Tompegunung (Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah); dan Desa Sedayu (Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Jawa Timur) (Lihat Peta).

Pemilihan desa-desa di atas dilakukan secara purposif, dengan mempertimbangkan potensi hidrologi (gua dan mataair) yang sudah diinventarisasi sebelumnya, antara lain oleh Tim ASC Yogyakarta. Hasil inventarisasi sementara menunjukkan bahwa lokasi terpilih merupakan bagian inti karst yang paling kompleks potensi dan permasalahannya, paling strategis perannya, dan karenanya paling mendesak untuk diselamatkan.

Page 4: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

4

D. DESKRIPSI HASIL SURVEI

Kegiatan survei selama 5 hari telah mendata 19 gua. 11 gua di antaranya sudah dikunjungi sedangkan sisanya belum (Lihat Tabel). Delapan gua yang belum diprioritaskan untuk dikunjungi sebagian besar berupa gua-gua vertikal dan gua-gua air yang secara arkeologis tidak berpotensi sebagai situs hunian. Gua-gua yang dimaksud adalah Gua Gondang, Gua Banyu, Gua Tangis, Gua Ngancar, dan Gua Telo (Desa Sumbersuko); serta Gua Lowo (Desa Tompegunung). Sedangkan Gua Tapan (Desa Kedungmulyo) dan Gua Gogak (Desa Kedungwinong) merupakan gua-gua horisontal dan kering yang memungkinkan untuk dihuni, tetapi selama 5 hari di lapangan belum sempat dikunjungi.

Pemerian di bawah ini adalah hasil pengamatan dan deskripsi terhadap 11 gua yang telah dikunjungi, terdiri atas 2 gua di Kabupaten Grobogan dan 9 gua di Kabupaten Pati (Lihat Peta). Tabel Potensi Gua Kawasan Karst Sukolilo

NO NAMA JENIS DESA KEC. KAB. POTENSI ARKEOLOGI 1 G. Bandung Collapse doline Kedungwinong Sukolilo Pati Tidak potensial 2 G. Serut Horisontal, kering Kedungwinong Sukolilo Pati Tidak potensial 3 G. Kidang Ceruk Sukolilo Sukolilo Pati Potensial kandungan 4 C. Watupayung Ceruk Sukolilo Sukolilo Pati Potensial morfologi 5 G. Gogak Horisontal Sukolilo Sukolilo Pati Perlu dicek ulang 6 G. Pawon Ceruk Kedungwinong Sukolilo Pati Potensial kandungan 7 G. Gondang Horisontal, berair Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial 8 G. Banyu Horisontal, berair Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial 9 G. Tangis Vertikal Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial

10 G. Ngancar Vertikal Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial 11 G. Telo Vertikal Sumbersuko Sukolilo Pati Tidak potensial 12 G. Tapan Horisontal, kering Kedungmulyo Sukolilo Pati Perlu dicek ulang 13 G. Lowo Horisontal, berair Tompegunung Sukolilo Pati Tidak potensial 14 G. Wareh Horisontal, berair Kedungmulyo Sukolilo Pati Tidak potensial 15 G. Plemburan Horisontal, kering Kedungmulyo Sukolilo Pati Tidak potensial 16 G. Pancor A Horisontal, berair Jimbaran Sukolilo Pati Tidak potensial 17 G. Pancor B Horisontal, kering Jimbaran Sukolilo Pati Potensial kandungan 18 G. Lawa Horisontal, kering Sedayu Grobogan Grobogan Potensial morfologi 19 G. Macan Collapse doline Sedayu Grobogan Grobogan Tidak potensial

Gregorius D.K (dimodifikasi)

Page 5: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

5

KABUPATEN GROBOGAN Kecamatan Sedayu 1. Gua Lawa

(Foto: Gregorius D.K) Letak Administratif : Desa Sedayu, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Grobogan. Letak Koordinat : UTM 49L 494608 9228945 Elevasi/lereng : 332 m.dpal/150

Deskripsi : Gua Lawa memiliki dua mulut, masing-masing menghadap ke arah tenggara dan barat. Mulut pertama memiliki bentangan 1,85 m, tinggi 2,5 m, dan melebar ke arah dalam. Tanah di bagian mulut lebih tinggi 1 m dibandingkan bagian lorong, dengan kemiringan sekitar 15°. Mulut kedua memiliki bentangan sekitar 7 m, ketinggian tanah lebih tinggi 3 m dibandingkan dasar lorong.

Lorong Gua Lawa secara keseluruhan memiliki panjang 80-100 m, terbagi atas dua ruangan yang dipisahkan oleh timbunan bongkah runtuhan atap. Ruang pertama berada di sekitar mulut gua dengan pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik. Kondisi tanahnya kering dengan sedimen tebal dan permukaannya relatif datar. Ketinggian atap pada ruang pertama 2-3 m, kemudian naik 7-8 m di bagian barat laut. Speleothem di bagian ruang ini sudah tidak aktif.

Ruang kedua terletak lebih ke dalam dan posisinya lebih rendah dibandingkan ruang pertama. Kondisi ruangannya lebih gelap dan lembab, dan tanahnya pun berlumpur.

Potensi : Secara arkeologis gua ini cukup berpotensi, terutama diprediksi melalui morfologi dan dimensi ruangannya, sedangkan indikasi temuan arkeologinya tidak diperoleh karena tingkat gangguannya sudah tinggi.

Potensi pariwisata sudah dikembangkan dengan membuat jalan setapak dari semen selebar 1 m hingga ke bagian dalam gua.

Page 6: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

6

2. Gua Macan

(Foto: Gregorius D.K) Letak Administratif : Desa Sedayu, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Grobogan, Koordinat : UTM 49L 494589 9229026 (sekitar 200 m sebelah barat Gua Lawa). Elevasi/lereng : 350 m.dpal/140

Deskripsi : Gua Macan terletak pada punggungan sebuah bukit dengan lorong memanjang ke arah barat. Mulut gua berupa collapse doline, dengan akses masuk menurun 15-20 m, kemiringan 30°-35°. Lorong gua memiliki lebar 5-7 m, tinggi 7-15 m, panjang sekitar 50 m dengan aven di bagian tengah dan ujung lorong.

Potensi : Gua Macan sudah dikelola sebagai tempat wisata oleh pemerintah daerah setempat, dengan membuat jalan selebar 1 m hingga ke mulut gua. Potensi arkeologi tidak dijumpai di gua ini.

Page 7: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

7

KABUPATEN PATI Kecamatan Sukolilo 3. Gua Pancor A

(Foto: Gregorius D.K) Letak Administratif : Desa Jimbaran, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L 497807 9234418 (sekitar 200 m sebelah barat Gua Lawa). Elevasi/lereng : 46 m.dpal/30

Deskripsi : Gua Pancor A memiliki dua mulut menghadap ke barat yang salah satunya merupakan outlet dari aliran sungai bawahtanah. Panjang

Page 8: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

8

lorong gua yang dapat dikenali sekitar 600 m. Menurut kepercayaan masyarakat, gua ini merupakan petilasan Mbah Saridin (Syeh Jangkung) yang dipercaya sebagai tokoh mitologis setempat. Petilasan tersebut berupa sumber air hangat dan sumuran yang terdapat di dalam gua.

Potensi : Di samping sebagai sumber air yang vital bagi penduduk setempat, potensi lain yang paling menonjol di gua ini adalah kandungan etnografi dan wisata religinya. Hingga sekarang banyak peziarah yang datang untuk melakukan ritual-ritual yang didasari beberapa permohonan, di antaranya untuk penglarisan, memperoleh jodoh, dan ngalap berkah.

Indikasi sebagai situs arkeologi tidak dijumpai, namun potensi airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi orientasi ekologis bagi para pemukim purba untuk memilih lokasi habitasinya.

4. Gua Pancor B

(Foto: Gregorius D.K) Letak Administratif : Desa Jimbaran, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L 497546 9234396 (sekitar 400 m sebelah barat Gua Pancor A) Elevasi/lereng : 44 m.dpal/30

Deskripsi : Pancor B merupakan sebuah ceruk (rockshelter) yang menghadap ke barat, dengan bentangan mulut 20 m. Kedalaman horizontal ruangannya 8,6 m, dan tinggi atap di bagian dripline sekitar 8 m. Kondisi tanahnya kering dan tebal, dan terdapat bekas-bekas galian di beberapa bagian lantainya. Pada bekas galian tersebut banyak ditemukan ekofak organik berupa cangkang kerang, fragmen gigi, dan fragmen tulang yang menunjukkan ciri-ciri kekunoan.

Di bagian dalam terdapat ruang pertama dengan tinggi langit-langit 1-1,5 m dari permukaan tanah. Ukuran ruangannya seluas 6,37 x 5,20 m, dan memiliki dua pintu masuk. Permukaan tanah pada

Page 9: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

9

ruang pertama lebih tinggi 1-1,5 m dibandingkan bagian mulut gua. Kondisi tanahnya agak basah, sirkulasi udaranya baik dan cukup terang.

Di sisi timur ruangan pertama terdapat dua lorong yang menghubungkannya dengan ruangan kedua. Langit-langitnya miring ke utara, dengan ketinggian 0,5 m (sisi utara) dan 2,5 m (sisi selatan). Permukaan tanahnya lebih tinggi 0,5 m dibandingkan ruangan pertama. Kondisi di dalam ruangan gelap dan lembab, tanahnya tebal tetapi basah karena ornamen di atasnya masih aktif meneteskan air.

Potensi : Potensi arkeologinya tinggi, terbukti dengan kandungan ekofak organik yang ada di dalam sedimennya. Ekofak yang dimaksud berupa fragmen gigi dan fragmen tulang, serta cangkang kerang. Salah satu temuan gigi dikenali sebagai gigi molar hewan dari jenis Cervidae, sedangkan kerang lautnya berupa kerang bivalvia dari Famili Veneridae dan Mytilidae. Di samping itu juga ditemukan beberapa cangkang kerang air tawar (fresh water) bercampur dengan kerang laut.

5. Gua Wareh

(Foto: Gregorius D.K) Letak Administratif : Desa Kedungmulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L 495619 9234217 Elevasi/lereng : 25 m.dpal/00

Deskripsi : Gua Wareh memiliki dua mulut/lorong masing-masing menghadap barat dan utara. Lorong yang menghadap ke barat merupakan gua kering, sedangkan lorong yang menghadap ke utara merupakan outlet sungai bawahtanah yang kemudian membentuk semacam kedung di mulut gua, sebelum airnya keluar sebagai sungai permukaan. Kedung tersebut dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan mencuci.

Panjang lorong kering 40–50 m, meninggi 5 m ke arah dalam dengan kemiringan sekitar 20º. Di ujung lorong terdapat aven yang

Page 10: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

10

kemudian dibangun tangga dari semen sebagai jalan masuk. Kondisi tanahnya basah dan lengket, dengan ornamen dinding dan atap yang masih aktif.

Potensi : Meliputi potensi hidrologi dan wisata religi. Menurut masyarakat setempat, Gua Wareh merupakan petilasan semar, gareng, petruk, yang masih dikeramatkan hingga sekarang. Sisa-sisa sesaji berupa bunga setaman dan kemenyan masih dijumpai di sekitar mulut gua. Potensi arkeologinya sejauh ini tidak dijumpai.

6. Gua Plemburan

(Foto: Gregorius D.K) Letak Administratif : Desa Kedungmulyo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L 495656 9234408 (sekitar 400 m sebelah barat Gua Pancor A) Elevasi/lereng : 25 m.dpal/00

Deskripsi : Gua ini menghadap ke arah baratlaut (230°), memiliki sebuah ruangan berupa lorong selebar 10 m, panjang 15 m, dan tinggi langit-langit 6-7 m. Lantai gua berupa flowstone dan tidak memiliki sedimen tanah. Ketinggian lantai di bagian dalam hampir sejajar dengan lantai di bagian depan gua. Kondisi gua kering, sisa ornamen berupa stalaktit di bagian mulut juga sudah tidak aktif.

Potensi : Saat ini ruangan gua dimanfaatkan penduduk setempat untuk menyimpan peralatan pertanian. Potensi etnografi dapat dijumpai, berupa kepercayaan lokal bahwa gua ini masih memiliki kaitan dengan Gua Wareh, yaitu sebagai petilasan Punokawan sehingga tetap dikeramatkan. Tidak ada indikasi arkeologi yang dijumpai.

Page 11: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

11

7. Gua Pawon

(Foto: Gregorius D.K) Letak Administratif : Desa Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L 489420 9232914 Elevasi/lereng : 59 m.dpal/190

Deskripsi : Gua Pawon terletak di lereng atas tebing dengan beda tinggi dari dasar lembah 20-25 m, kemiringan lereng 35°-40°, dengan arah hadap mulut ke barat (240°). Vegetasi di depan gua jarang sehingga tanahnya mudah longsor. Pada endapan koluvial di depan gua ditemukan beberapa ekofak organik berupa fragmen cangkang kerang laut, fragmen tulang, dan fragmen gigi Bovidae. Sisa-sisa runtuhan atap banyak dijumpai di sepanjang tebing hingga dasar lembah. Ada kemungkinan gua ini dahulunya memiliki atap yang panjang, yang kemudian runtuh hingga tinggal menyisakan lorong yang pendek.

Bentangan mulut gua selebar 5 m dengan kedalaman sisi horisontalnya 7,5 m, dan ketinggian sisa atap dari lantai gua 2,8 m. Kondisi lantai rata, terbentuk oleh endapan tanah yang kering dan tidak begitu tebal. Beberapa speleothem yang dijumpai sudah tidak aktif lagi.

Potensi : Gua ini memiliki potensi arkeologi sebagai bekas situs hunian, meskipun morfologinya sudah banyak mengalamami degradasi.

Page 12: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

12

8. Gua Bandung

(Foto: Gregorius D.K) Letak Administratif : Desa Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L 490078 9232543 Elevasi/lereng : 100 m.dpal/190

Deskripsi : Gua Bandung berupa collapse doline dengan dua lorong di bagian bawah yang saling berhadapan, masing-masing menghadap tenggara (155°) dan timurlaut (30°). Lorong timurlaut berukuran kecil karena sebagian besar tertutup runtuhan atap, sedangkan lorong satunya berukuran lebih besar. Kondisi di dalamnya lembab dengan lapisan tanah yang basah dan berlumpur, disebabkan oleh masuknya limpasan air pada saat hujan.

Potensi : Potensi arkeologi tidak dijumpai di gua ini. 9. Gua Serut

(Foto: Gregorius D.K) Letak Administratif : Desa Kedungwinong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L 490125 9232190 Elevasi/lereng : 150 m.dpal/210

Deskripsi : Gua Serut berada di lereng tengah sebuah tebing dengan pintu menghadap ke timur, yaitu ke sebuah lembah dengan beda tinggi terhadap dasar lembah sebesar 10-15 m. Bentangan mulut gua 8 m,

Page 13: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

13

tinggi 6 m, permukaan tanah di dalam lorong gua lebih rendah dibandingkan bagian mulut, dengan kemiringan sekitar 15°. Pada kedalaman horisontal 15 m, lorong ini bertemu dengan lorong lain yang membujur utara-selatan.

Kondisi lantai di sekitar mulut gua bergelombang, diakibatkan oleh adanya beberapa bekas galian dan timbunan tanah. Di bagian sekitar mulut kondisi lantainya kering, semakin ke dalam semakin lembab. Di bagian dalam lorong masih dapat dijumpai speleothem yang aktif.

Potensi : Tidak ditemukan indikasi arkeologi. 10. Gua Kidang

(Foto: Gregorius D.K) Letak Administratif : Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L 492112 9234082 Elevasi/lereng : 52 m.dpal/240

Deskripsi : Gua Kidang merupakan ceruk di bagian lereng atas tebing, dengan ketinggian sekitar 80 m dari dataran di bawahnya. Mulut ceruk menghadap ke utara (330°), yaitu ke dataran aluvial yang luas. Di lokasi ini terdapat dua ceruk yang berjajar timur-barat.

Ceruk timur memiliki bentangan mulut 19,5 m, kedalaman horisontal 8 m, tinggi atap 4-7 m. Sebagian atap bagian depan ceruk telah runtuh, sehingga tanah di bagian depan mulut banyak tererosi dan longsor oleh air hujan. Kondisi lantai ceruk kering, tersusun oleh sedimen tanah yang tebal, dan banyak terkandung fragmen cangkang kerang laut dan fragmen tulang fauna. .

Di bagian dalam ceruk terdapat ruang kedua seluas 3,6 x 8,5 m, terhubung dengan ruang pertama melalui semacam lorong dengan lebar 1,7 m dan tinggi 2,15 m. Ketinggian tanah di ruang ini lebih tinggi 0,5 m dibandingkan ruang pertama. Kondisi tanahnya juga kering, tebal, dan banyak terdapat bongkah runtuhan atap.

Page 14: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

14

Ceruk barat berada pada jarak 6 m dari ceruk timur, dengan bentangan mulut 6,5 m, kedalaman horizontal ruangannya 7,5 m, dan tinggi langit-langit 4 m. Kondisi tanahnya datar, kering, dengan sedimen tebal. Pada permukaannya banyak dijumpai ekofak organik berupa fragmen cangkang kerang laut dan fragmen tulang.

Potensi : Dimensi, morfologi, dan indikasi temuan ekofak di gua ini menunjukkan bahwa potensinya sebagai situs arkeologi sangat tinggi.

11. Ceruk Watupayung

(Foto: Gregorius D.K) Letak Administratif : Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Koordinat : UTM 49L 491903 9233770 Elevasi/lereng : 75 m.dpal/00

Deskripsi : Ceruk Watupayung berada di lembah yang memanjang barat-timur, dengan arah hadap selatan. Bentangan ceruk sekitar 52 m, atap yang menggantung selebar 7 m dengan tinggi 18 m dari permukaan tanah. Terdapat sisa-sisa runtuhan atap di sebelah timur. Kondisi permukaan tanah umumnya kering dan miring ke sisi timur dengan sedimen tanah yang tebal.

Potensi : Potensi yang dijumpai di gua ini berupa potensi wisata religi, karena gua ini masih dikeramatkan dan sering digunakan untuk bertapa. Bahkan sudah dibuatkan beberapa fasilitas untuk kepentingan tersebut, berupa bangunan tempat semedi dan lantai yang sudah di semen.

Potensi arkeologi berupa temuan permukaan tidak diperoleh, tetapi morfologi dan dimensi ceruk memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai tempat hunian sementara.

Page 15: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

15

E. PEMBAHASAN 1. Kawasan Arkeologis Sukolilo

Hasil survei pada tahap awal ini membuktikan bahwa Kawasan Karst Sukolilo, seperti halnya kawasan karst lain yang sudah banyak diteliti, merupakan kawasan yang mengandung nilai kultural penting. Hal ini tampak dari beberapa gua dan ceruk yang memiliki potensi arkeologi tinggi, baik dikaji melalui aspek morfologi, lingkungan, maupun indikasi temuan permukaannya. Indikasi yang dimaksud berupa data ekofak organik yang terdiri atas fragmen tulang, gigi, dan cangkang kerang baik yang berasal dari lingkungan marin maupun non-marin (darat dan air tawar).

Di dalam kajian arkeologi dikenal sedikitnya tiga bentuk data, yaitu artefak (artifact), ekofak (ecofact), dan fitur (feature) (Sharer & Ashmore, 1992). Artefak adalah data yang berupa perkakas atau sisa perkakas buatan manusia. Adanya ciri-ciri tertentu yang menunjukkan bahwa suatu benda pernah diubah atau dibuat oleh manusia, baik untuk fungsi praktis, fungsi seni dan religi, maupun fungsi sosial, merupakan kriteria penting untuk menyebut sebuah temuan sebagai artefak. Berbeda dengan artefak yang mengandung makna teknologis, ideologis, dan sosiologis, maka ekofak lebih bermakna ekologis. Data yang dikategorikan sebagai ekofak tidak memiliki ciri-ciri ubahan secara sengaja untuk menciptakan perkakas, tapi dapat berupa limbah atau sisa aktivitas. Bahkan objek-objek yang tidak pernah berhubungan dengan aktivitas manusia, tetapi dapat dipakai sebagai bahan untuk menjelaskan kondisi suatu budaya atau lingkungan masa lalu, dapat dikategorikan sebagai ekofak. Adapun yang dimaksud dengan fitur adalah gejala-gejala di permukaan atau di dalam tanah yang menunjukkan anomali tertentu, dan dapat digunakan sebagai referensi untuk mengungkapkan kondisi suatu budaya atau lingkungan masa lalu, termasuk di dalamnya untuk menjelaskan bagaimana deposit budaya terbentuk di dalam lapisan sedimen.

.Pada umumnya, temuan yang dijumpai pada survei permukaan di situs-situs gua berupa ekofak, khususnya ekofak organik, meskipun tidak tertutup kemungkinan ditemukannya pula data artefak. Pada beberapa kasus, sisa-sisa tulang hewan atau cangkang kerang yang ditemukan di suatu situs bukan lagi berupa data ekofak, namun sudah dapat dikategorikan sebagai artefak karena sudah ada unsur-unsur pengerjaan oleh manusia. Sebagai contoh adalah fragmen cangkang kerang yang dipertajam untuk membuat serut, atau fragmen tulang yang dipertajam untuk lancipan, mata panah, pisau, atau benda-benda seni. Namun karena kondisi permukaannya umumnya sudah tersementasi oleh endapan karbonat, maka ciri-ciri yang dimaksud sulit dikenali. Dengan kata lain, masih diperlukan analisis lebih lanjut untuk menggolongkan suatu temuan dari situs gua sebagai artefak, baik secara magaskopis ataupun mikroskopis.

Uraian di atas dimaksudkan untuk memberikan penekanan, bahwa ditemukannya data ekofak di suatu gua dapat dipakai sebagai petunjuk awal bahwa gua tersebut pantas diduga sebagai situs arkeologi. Apalagi jika ekofak organik tersebut berupa sisa fauna yang habitatnya bukan dari lingkungan gua, tetapi dari lingkungan ekologis yang berbeda. Contoh paling jelas mengenai hal ini adalah ditemukannya cangkang-cangkang kerang laut di suatu gua yang lokasinya relatif di pedalaman. Asumsi bahwa cangkang kerang tersebut diambil oleh manusia dari habitatnya dan dibawa ke dalam lokasi huniannya untuk dikonsumsi dagingnya, atau untuk membuat perkakas tertentu, dapat

Page 16: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

16

menguatkan anggapan bahwa gua-gua yang mengandung temuan ekofak tersebut adalah bekas lokasi hunian manusia.

Data di atas tentunya bukan satu-satunya indikator bahwa suatu gua adalah situs arkeologi. Kriteria lain perlu dipertimbangkan, misalnya layak dan tidaknya gua-gua tersebut dijadikan lokasi hunian. Oleh karena itu, kriteria morfologi dan dimensi gua juga perlu dipertimbangkan. Demikian pula kondisi atau dayadukung lingkungan sekitar gua yang menjadikan para penghuninya dapat eksis untuk tinggal dan hidup di lingkungan tersebut. Sebagai contoh adalah kedekatannya dengan sumberair, baik itu mataair, sungai, atau telaga; ketersediaan fauna untuk diburu, atau kondisi lahan yang memungkinkan untuk mengembangkan aktivitas-aktivitas di tempat terbuka.

Berdasarkan kriteris-kriteria di atas, yaitu morfologi gua, kondisi lingkungan, dan adanya indikasi permukaan berupa artefak, ekofak, ataupun fitur, maka beberapa gua kering (dry caves) di Kawasan Karst Sukolilo merupakan situs arkeologi, yaitu sebagai bekas gua hunian manusia. Gua-gua yang dimaksud ada lima buah, yaitu (Lihat Peta):

a. Gua Kidang : Desa Sukolilo, Kec. Sukolilo, Kab. Pati b. Gua Watupayung : Desa Sukolilo, Kec. Sukolilo, Kab. Pati c. Gua Pawon : Desa Kedungwinong, Kec. Sukolilo, Kab. Pati d. Gua Pancor B : Desa Jimbaran, Kec. Sukolilo, Kab. Pati e. Gua Lawa : Desa Jimbaran, Kec. Grobogan, Kab. Gobogan Berdasarkan kualitas sampel dari lima gua di atas, maka Kawasan Karst Sukolilo

dapat disebut sebagai salah satu kawasan arkeologis penting di bagian utara Jawa Tengah yang perlu dilindungi, diselamatkan dari berbagai tindakan degradatif, dan dikaji lebih mendalam untuk kepentingan ilmiah dan kesejahteraan masyarakat setempat. Dalam skala meso, Kawasan Karst Sukolilo adalah sebuah kawasan yang ikut merekam bukti-bukti kehadiran manusia prasejarah di wilayah utara Jawa Tengah. Kehadiran mereka tentunya didukung sumberdaya setempat yang memungkinkan mereka untuk hidup. Sumberdaya terpenting yang juga teramati melalui hasil survei ini terutama sumberdaya air, flora, dan fauna. Hingga kini, ketiga sumberdaya lahan ini tetap memiliki arti penting bagi masyarakat setempat, yaitu masyarakat Samin yang tinggal di daerah Pati, Grobogan, dan sekitarnya. Kedekatan mereka dengan lingkungan karst Sukolilo telah mampu menghasilkan suatu kearifan lokal dalam bentuk pemanfaatan sumberdaya lingkungan secara arif dan tidak berlebihan. Bersamaan dengan upaya pemanfaatan tersebut, berkembang pula pemaknaan lokal untuk melindungi aset lingkungan mereka melalui bentuk-bentuk mitos dan pantangan/tabu sebagai bentuk penghormatan terhadap alam dan sumberdayanya. Beberapa dari gua-gua yang dikeramatkan ternyata berupa gua-gua sumberair yang telah menghidupi mereka. Gua-gua tersebut adalah Gua Pancor A di Desa Jimbaran dan Gua Wareh di Desa Kedungmulyo. Meskipun keduanya bukan situs arkeologi, namun secara kontekstual atau morfoasosiasi telah menjadi panduan bagi para pemukim purba untuk menentukan lokasi-lokasi hunian di sekitarnya.

2. Kawasan Arkeologis Sukolilo dalam Kajian Makro Bagian utara Jawa Tengah sebagian besar tersusun atas bentangalam tua yang dicirikan oleh tinggian-tinggian dan depresi dengan konfigurasi yang khas. Di bagian selatan terdapat Punggungan Kendeng membujur barat – timur mulai daerah Ungaran hingga ujung timur Jawa. Di sebelah barat Ungaran, Pegunungan Serayu Utara membujur

Page 17: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

17

ke barat seolah meneruskan jalur Kendeng di sebelah timurnya. Di sebelah utara Kendeng dijumpai dataran aluvial dengan Sungai Lusi mengalir di bagian tengahnya. Secara genetis dataran ini adalah sebuah depresi antar pegunungan yang dikenal sebagai Randublatung, yang memisahkan Punggungan Kendeng di selatan dengan Perbukitan Rembang di utaranya. Di utara Perbukitan Rembang, terdapat dataran aluvial berikutnya yang langsung berbatasan dengan pesisir Laut Jawa dan Kompleks Muria di bagian barat. Sekilas gambaran di atas, menegaskan bahwa bagian wilayah Jawa Tengah ini memiliki peran penting dalam proses migrasi purba di Jawa. Bahkan dapat disimpulkan bahwa Jalur Utama kolonisasi Homo erectus di Jawa telah mengikuti Pegunungan Serayu Utara dan Punggungan Kendeng, dari arah barat ke timur. Jejak-jejak mereka antara lain terekam di situs-situs manusia purba Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngandong, Kedungbrubus, dan Jetis-Perning, yang terletak di sayap selatan Kendeng (Yuwono, 2005a). Temuan fosil-fosil di daerah Mranggen (Demak), pada bukit-bukit terisolasi di sebelah utara Kendeng (Bukit Dieng dan Bukit Rowosari) (Yuwono, 2004a, 2005b), Situs Semedo di jalur Pegunungan Serayu Utara daerah Tegal, dan Bukit Patiayam, semakin menguatkan hipotesis ini. Permasalahannya adalah, dari manakah para penghuni situs-situs gua di kawasan karst Gunung Sewu dan Tuban berasal? Jawaban sementara adalah, bahwa telah terjadi percabangan ke dua arah dari jalur utama Kendeng. Ke selatan melalui Gunung Wilis Tua masuk ke Gunung Sewu, dan ke utara memasuki Perbukitan Rembang yang sebagian besar bertopografi karst. Jalur utara ini sementara telah terlacak di Kawasan Karst Tuban dan Blora dengan situs-situs gua karstnya (Yuwono, 2005). Meskipun pengujian secara kronometrik belum dilakukan, dan lebih banyak mempertimbangkan aspek fisiografi, distribusi situs, serta pertanggalan relatif, namun sejauh ini belum pernah ada koreksi terhadap hipotesis di atas. Ditemukannya potensi arkeologi di Kawasan Karst Sukolilo, justru merupakan peluang untuk memperkaya hipotesis di atas, sehingga dinamika pergerakan Homo sapiens setelah keluar dari jalur Kendeng dapat digambarkan. Tentu saja dibutuhkan data pertanggalan terukur dan pemahaman konteks temuan situs melalui ekskavasi di beberapa gua kawasan Sukolilo. Periode penghunian gua di beberapa kawasan karst memang merupakan fenomena kultural yang sangat khas, berbeda dengan periode-periode hunian sebelum dan sesudahnya. Ciri menonjol mengenai hal ini adalah adanya perubahan dari kehidupan open site -- cave site – open site. Pada kasus Jawa Tengah bagian utara, pergeseran tersebut berlangsung dari Punggunggan Kendeng – Perbukitan Rembang – Dataran-dataran Aluvial. Dengan demikian, hunian di kawasan karst merupakan salah satu mata rantai untuk merunut sejarah panjang okupasi manusia terhadap lingkungannya. Periode ini berlangsung kira-kira pada Pleistosen Akhir hingga Holosen Awal dan Pertengahan. Sebagai perbandingan, di wilayah Asia Tenggara, khususnya di Thailand, penghunian gua telah berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama, pada 40.000 – 11.000 BP (Pleistosen), gua-gua digunakan secara sporadis dan hanya dihuni sementara (temporary campsites). Para penghuni gua mulai menggunakan api, mengenal benda-benda seni, dan mengkonsumsi makanan dari hewan atau tumbuhan; Tahap kedua, 11.000 – 6.500 BP (Holosen Awal), beberapa gua mulai diokupasi dalam jangka waktu lebih lama, sehingga memungkinkan terbentuknya timbunan-timbunan sampah dan sisa-sisa aktivitas, termasuk deposit penguburan pada tempat-tempat tertentu di dalam gua;

Page 18: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

18

Tahap ketiga, 6.500 – 3.500 BP (Holosen Tengah), fungsi gua telah bergeser dari lokasi hunian menjadi tempat penguburan. Sejak pertengahan Holosen pula, pemanfaatan dinding gua sebagai media pengekspresian seni mulai berkembang (Anderson, 2005). Apakah tahap-tahap di atas juga berlangsung di tempat-tempat lain, termasuk di gua-gua kawasan Sukolilo? Hal ini memerlukan kajian lebih mendalam. F. PENUTUP

Kawasan Karst Sukolilo merupakan kawasan karst yang relatif baru dikenal. Namun demikian, data arkeologi permukaan yang baru teramati dalam waktu singkat, sudah menunjukkan bahwa kandungan temuan di dalam tanah cukup besar. Apalagi beberapa gua memiliki morfologi dan lingkungan yang sangat mendukung suatu bentuk hunian purba. Oleh karena itu, survei lanjutan dan ekskavasi di kawasan ini sangat diperlukan untuk menggali informasi lebih dalam tentang posisi arkeologis dan strategis kawasan ini, bagi kepentingan ilmiah maupun kemanusiaan.

Ucapan Terima Kasih: PEKINDO dan Bapak Hanang Samodra, atas kesempatan yang telah diberikan untuk mengenal dan menyelami Kawasan Karst Sukolilo.

G. DAFTAR BACAAN Anderson, D., 2005, “The Use of Caves in Peninsular Thailand in the Late Pleistocene and Early

and Middle Holocene”, Asian Perspectives 44 (1), The University of Hawai’i Press, Spring, p.137-153.

Sharer, R.J. and W. Ashmore, 1992, Archaeology: Discovering Our Past, 2nd edition, Mayfield Publishing Co., California.

Suhartono, D., 2000, “Site Catchment Analysis pada Penghunian Gua di Kawasan Tuban”, Skripsi, Jurusan Arkeologi UGM, Yogyakarta.

Sutikno, D.A. Tanudirjo, 2006, ”Kajian Geoarkeologi Kawasan Gunungsewu sebagai Dasar Pengembangan Model Pelestarian Lingkungan Karst”, Laporan Hasil Penelitian - Hibah Penelitian Tim Pascasarjana – HPTP Tahun 2006, Dirjendikti, Depdiknas - UGM, Yogyakarta.

Yuwono, J.S.E, 2004, “Arkeologi Karstik dan Metode Penelusuran Potensi Kawasam: Introduksi tentang Model Penerapannya di Gunung Sewu”, Pendidikan dan Pelatihan Scientific Karst Exploration Tingkat Nasional, Rasamala KPA Sylvalestari dan Lawalata IPB, Bogor, 10-13 April 2004.

----------, 2004a, “Posisi Geoarkeologis Temuan Artefak dan Fosil di Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, Propinsi Jawa Tengah”, Seminar Hasil Penelitian dengan Dana Masyarakat 2004, Unit Pengkajian dan Pengembangan FIB UGM, Yogyakarta, 23 Oktober 2004.

----------., 2005, “Kawasan Karst Perbukitan Rembang dan Potensi Arkeologisnya”, Makalah untuk laporan penelitian tentang Pola Okupasi Gua-gua Hunian Prasejarah Kawasan Pegunungan Kendeng di Kab. Blora dan Rembang, Balai Arkeologi, Yogyakarta.

Page 19: Sukolilo Lap Arkeoxa.yimg.com/kq/groups/10604795/806406843/name/Sukolilo...airnya dapat menopang kehidupan yang pernah berlangsung pada masa lalu. Dengan demikian, gua ini dapat menjadi

19

----------., 2005a, “Paleogeografi Pegunungan Selatan Jawa dan Implikasinya terhadap Penyusunan Hipotesis tentang Migrasi Lokal Komunitas Prasejarah di Jawa Bagian Timur, dalam Sumijati As dan Sumarsono (ed), 2005, Potret Transformasi Budaya di Era Global, Unit Pengkajian dan Pengembangan FIB UGM, Yogyakarta, hlm.142-163.

----------., 2005b, “Potensi Fosil di Wilayah Jawa Tengah: Nilai Penting dan Tantangannya”, Lokakarya Permuseuman: Peranan Museum dalam Pembentukan Jati Diri Masyarakat, Ungaran, Museum Jawa Tengah Ronggowarsito, 18-19 Juli 2005.