sanaky.comsanaky.com/materi/artikel sudarman.doc · web viewberbeda dengan ketika ia belajar pada...

32
ANTARA SAINS DAN ORTODOKSI ISLAM: Telaah Pemikiran Seyyed Hossein Nasr Dalam Buku "Science and Civilization in Islam" dan "Knowledge and The Sacred" Oleh: Sudarman (Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandar Lampung, Mahasiswa S-3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) A. PENDAHULUAN Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tokoh pemikir yang unik di dunia Islam. Keunikan pribadi dan pemikiran Seyyed Hossein Nasr karena lahir dari tradisi Sufi-Syi'ah yang dipadu dengan pemikiran Barat modern. Nasr lahir dari keluarga berlatar belakang Sufi terkenal di Persia yang memiliki afiliasi-afiliasi dengan tarekat-tarkat sufi di Persia. Persia, selama ini memang dikenal sebagai gudangnya ilmu, terutama khazanah ilmu-ilmu Islam klasik, semisal filsafat Islam klasik. Dengan latar belakang seperti itu, Nasr mampu mengapresiasi dengan baik khazanah keilmuan tradisional Islam seperti karya Suhrawardi, ibn Arabi dan Mulla Sadra. Tokoh-tokoh tersebut bahkan kemudian menjadi model dan banyak mempengaruhi pemikirannya. Disamping itu, latar belakang pendidikan Baratnya yang cukup kuat membuatnya mampu mengapresiasi khazanah intelektual Barat.

Upload: others

Post on 02-Feb-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

ANTARA SAINS DAN ORTODOKSI ISLAM:Telaah Pemikiran Seyyed Hossein Nasr Dalam Buku "Science and

Civilization in Islam" dan "Knowledge and The Sacred"

Oleh: Sudarman(Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandar Lampung, Mahasiswa S-3 UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta)

A. PENDAHULUAN

Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tokoh pemikir yang unik di dunia

Islam. Keunikan pribadi dan pemikiran Seyyed Hossein Nasr karena lahir dari

tradisi Sufi-Syi'ah yang dipadu dengan pemikiran Barat modern. Nasr lahir dari

keluarga berlatar belakang Sufi terkenal di Persia yang memiliki afiliasi-afiliasi

dengan tarekat-tarkat sufi di Persia. Persia, selama ini memang dikenal sebagai

gudangnya ilmu, terutama khazanah ilmu-ilmu Islam klasik, semisal filsafat Islam

klasik.

Dengan latar belakang seperti itu, Nasr mampu mengapresiasi dengan baik

khazanah keilmuan tradisional Islam seperti karya Suhrawardi, ibn Arabi dan

Mulla Sadra. Tokoh-tokoh tersebut bahkan kemudian menjadi model dan banyak

mempengaruhi pemikirannya. Disamping itu, latar belakang pendidikan Baratnya

yang cukup kuat membuatnya mampu mengapresiasi khazanah intelektual Barat.

Kombinasi latar belakang kultural dan intelektual Seyyed Hossein Nasr

membuatnya menempati posisi khusus dalam berbicara dan berkarya, mempunyai

otoritas dalam berbicara mengenai banyak topik, terutama mengenai perjumpaan

Timur dan Barat, tradisi dan modernisasi. Ditambah lagi pergaulannya yang luas,

baik dengan muslim maupun non-muslim, menjadikan Nasr sebagai figur yang

langka dan jarang ada bandingannya.

Tulisan sederhana ini berusaha mendeskripsikan pemikiran Seyyed

Hossein Nasr kaitannya dengan sains modern. Tokoh ini dipilih karena diskusi-

diskusi program doktor UIN Sunan Kalijaga angkatan tahun 2005 selama ini,

dalam pengamatan saya belum ada yang mengangkat tokoh pemikir dari kalangan

ortodoksi Islam, seperti Nasr. Tulisan ini diawali dengan menguraikan latar

Page 2: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

belakang sosiokultural dan karir inelektual Nasr, diikuti dengan uraian mengenai

pokok-pokok pikiran Nasr yang dapat ditangkap dari dua buah karyanya seperti

tertera dalam sub judul di atas, baru kemudian dianalisis dengan dua "senter",

yaitu model-model inegrasi sains dan agama dan trilogi rastorasionis,

rekonstruksionis dan pragmatis. Kedua "senter' ini dimaksudkan untuk

mendapatkan peta pemikirann Nasr dalam kaitan dengan agama dan sains.

B. SETTING SOSIO-KULTURAL DAN KARIR INTELEKTUAL NASR

Seyyed Hossein Nasr terlahir pada tanggal 7 April 1933 dan dididik

sebagai seorang Syi'ah Iran. Ia berasal dari keluarga cendekiawan terkenal. Ayah

dan kakeknya adalah fisikawan di kerajaan Iran, disamping keduanya juga

terkenal di kalangan muslim Syi'ah sebagai tokoh sufi.

Seyyed Hossein Nasr ketika kecil tidak banyak perbedaannya dengan

anak-anak seusianya, ia belajar pada sekolah dengan standar bangsa Persia.

Ayahnyalah yang membuat Nasr kecil lebih banyak memberikan inspirasi dan

semangat.1 Virus semangat yang disuntikkan ayahnya membuat Nasr begitu

antusias pergi ke Amerika ketika usianya masih 12 tahun. Ia masuk sekolah

Peddie di Haghtown, New Jersey, dan ketika tahun 1950 ia lulus berhasil

memenagkan piala Wyclifte yang merupakan penghargaan tertinggi bagi siswa

berprestasi. Pada sekolah inilah Nasr bersemangat menghimpunpengetahuan

tentang sains, searah Amerika, peradaban Barat dan Kristologi.

Berbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada

tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan fisika, ia merasa tertekan dan

bosan karena menurutnya terlalu berlebihan dalam mengagungkan sisi ilmiah dan

cenderung positivisme. Ia menganggap banyak pertanyaan mengenai masalah-

masalah metafisik yang menjadi minatnya, tidak mendapat tempat di jurusan

fisika tersebut. Oleh karena itu dia mulai meragukan apakah fisika dapat

menghantarkan manusia kepada hakekat ralitas fisik Satu-satunya orang yang

bisa sedikit memberikan jawaban terhadap kegelisahan Nasr adalah Bertnard

1 "Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org., diakses 18 Juni 2006 pukul 16.00 WIB.

2

Page 3: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

Russell, filosof Inggris yang suka mengadakan diskusi dengan para mahasiswa di

tempat Nasr menuntut ilmu.2

Pengalaman pahit Seyyed Hossein Nasr ketika studi S-1 membuatnya

harus mengambil keputusan mengambil bidang lain unuk studi lanjutnya. Ia mulai

menekuni dan membaca secara intensif buku-buku dalam rumpun ilmu

humaniora. Lebih-lebih ketika ia bertemu dengan professor Giorgio de

Santillana,3 filosof sains dan sejarawan dari Italia, Nasr banyak mempelajari

filsafat yunani, filsafat Eropa, Hinduisme dan pemikiran Barat Modern. Nasr

kemudian menekuni konsentrasi geologi dan geofisik pada Program Pascasarjana

di Universitas Harvard. Setelah mendapatkan gelar magister geologi dan geofisik

tahun 1956, meneruskan studi guna memperoleh Ph.D dalam bidang sejarah ilmu

dan filsafat di Universitas Harvard. Selama studi di Harvard yang terakhir ini Nasr

banyak berhubungan dengan para penulis dan tokoh philosophia perennis seperti

Fritjof Schuon dan Titus Burckhardt, yang banyak memberikan sumbangan dan

pengaruh bagi perkembangan intelektual dan spiritualnya.

Ketika lulus dan mendapat gelar Ph.D Nasr baru berusia 25 tahun.

Disertasinya berjudul Conception of Nature in Islamic Thought, diterbitkan oleh

Universitas Harvard dengan judul Introduction to Islamic Cosmological

Doctrines. Masa-masa penulisan disertasi digunakan juga oleh Nasr untuk

menulis sebuah buku yang kemudian diterbitkan dengan judul Science and

Civilization in Islam, yang nanti akan kita lihat pada bab berikutnya.

Seyyed Hossein Nasr setelah purna studi kemudian kembali ke Iran,

diangkat menjadi guru besar madya dalam bidang filsafat dan sejarah sains,

hampir berbarengan waktunya dengan berlangsungnya pernikahannya dengan

seorang wanita dari keluarga terhormat. Pada usianya ke-30 Nasr menjadi orang

termuda yang menyandang gelar profesor penuh pada Universitas Teheran.

Sesuatu yang baru ditawarkan oleh Nasr pada lembaga ini, yakni bahwa ia 2 "Seyyed Hossein Nasr", tersedia di http//www.seriousseekers.com., diakses tanggal 18

Juni 2006 pukul 16.00.

3 Hubungan Seyyed Hossein Nasr dengan Giorgio de Santallana semakin hari semakin intensif, sebagai kawan dalam bergaul dan berdiskusi. Santillana juga memberikan kata pengantar dalam buku Nasr yang sedang kita bahas ini. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York, : New American Library, 1970), hlm. vii-xiv.

3

Page 4: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

menganggap pentingnya pentingnya pengajaran filsafat Islam yang berbasis

sejarah dan perspektif Islam. Nasr berpendapat bahwa orang seyogyanya tidak

mengharapkan dapat memahami dan mengapresiasi tradisi intelektualnya sendiri

dari sudut pandang orang lain, seperti juga tidak mungkinnya seseorang dapat

melihat sesuau dengan mata orang lain.4 Nasr juga menumbuhkan kesadaran dan

minat untuk mempelajari filsafat Timur pada program studi filsafat. Nasr juga

terlibat dalam program doktor bidang bahasa dan sastera Persia bagi yang bahasa

ibunya bukan Persia, banyak asuhan Nasr di bidang ini yang menjadi

cendekiawan penting diantaranya dari Amerika William Chittick, dan

cendekiawati dari Jepang Sachiko Murata.5

Seyyed Hossein Nasr menjabat sebagai rektor Universitas Aryamehr,

universitas sains dan teknik terkenal di Iran, tahun 1972-1975. Shah Reza Pahlevi,

penguasa Iran saat itu, menginginkan agar Nasr mengembangkan Universitas

Aryamehr dengan model perguruan tinggi terkenal di Amerika tetapi mempunyai

dasar yang kuat pada kebudayaan Iran. Nasr membawa perguruan tinggi ini

membuka program pascasarjana dengan bidang filsafat ilmu dengan landasan

filsafat ilmu Islam, untuk pertama kalinya di dunia Islam, bahkan di dunia pada

umumnya.

Seyyed Hossein Nasr di sela-sela kesibukannya masih sempat menimba

ilmu hikmah, di bawah master-master otoritatif di Iran. Diantara guru-guru

terhormat itu adalah Sayyid Muhammad Kazim Assar, seorang alim yang

mempunyai otoritas dalam bidang hokum Islam dan filsafat, yang merupakan

sahabat ayah Nasr, Allamah Sayyid Muhammad Husain Tabatabai dan Sayyid

Abu Hasan Qazwin, ahli hukum Islam yang menguasai juga matematika,

astronomi dan filsafat dengan baik. Terlihat bahwa Nasr telah mendapatkan

pendidikan Barat Modern dan dikombinasikan dengan pendidikan Timur

Tradisional. Kombinasi langka ini mmbuat dirinya berada pada posisi langka

4 "Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org., diakses 18 Juni 2006 pukul 16.00 WIB.

5 Ibid.

4

Page 5: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

ketika berbicara dan menulis, yang menguasai banyak isu yang terkait dengan

perjumpaan Barat-Timur, tradisi dan modernitas.

Nasr juga menulis secara aktif ketika berada di Iran dalam bahasa Inggris,

Perancis dan Arab. Disertasinya ditulis kembali dalam bahasa Persia yang

kemudian mendapat penghargaan raja Iran. Nasr juga menulis buku-buku

Suhrawardi dan Mulla Sadra dalam bahasa Persia dan karya Ibnu Sina dan al-

Biruni dalam bahasa Arab.

Kiprah Seyyed Hossein Nasr tidak terbatas pada Iran saja tetapi merambah

dunia "luar" baik kawasan muslim maupun bukan. Ia pernah menjadi direkrut

Caultural Institute, dimana Iran, Pakistan dan Turki menjadi anggotanya. Di

Beirut iamendirikan Aga Khan Chair of Islamic Studies pada Universitas Amerika

di Beirut (1964-1965). Mskipun tinggal di Amerika, Nasr sering keluar dan

berhubungan dengan negara lain. Tahun 1977 ia menyampaikan Kevorkian

Lectures dalam seni Islam di New York, ia berbicara mengenai seni dan Islam.

Pada tahun 1979, ketika meletus Revolusi Iran, Nasr pindah ke Amerika, dan

mulai aktif lagi menulis di sana.

Tahun 1980 ia aktif menulis dan berdiskusi dalam forum prestisius yang

disebut Gifford Lectures, karena diikuti oleh para ilmuwan terkemuka, dan Nasr

adalah orang Timur dan orang Islam pertama yang mendapatkan kesempatan

berharga tersebut. Karyanya Knowledge and The Sacred adalah judul yang telah

dipresentasikannya di forum Gifford Lectures tersebut. Nasr mengungkapkan

bahwa Knowledge and The Sacred merupakan hadiah dari langit karena

penulisannya dapa diselesaikan dalam waktu kurang dari tiga bulan.

Sebenarnya banyak sekali karya Seyyed Hossein Nasr selain yang

disebutkan di atas, tetapi karena mengingat berbagai keterbatasan, tidak mungkin

diampilkan dan diulas semua di sini. Oleh karena itu dicukupkan disini agar bisa

lebih banyak mengulas pemikiran Nasr di dalam buku yang menjadi pusat

perhatian artikel ini.

5

Page 6: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

C. SAINS DAN ISLAM PERSPEKTIF SEYYED HOSSEIN NASR

Kaum modernis Islam umumnya mempunyai kecenderungan ingin

menunjukkan kesesuaian antara Islam dengan sains modern. Dianara bukti yang

mendukungya adalah kenyataan bahwa sains pernah berkembang di bumi Islam

dan dapat mempertahankan kecemerlangannya selama hampir lima abad. Maka

sering dijumpai kesimpulan kaum modernis bahwa Islam pasti mendukung sains

modern. Argumen kaum Islam modernis ini ditanggapi oleh para pemikir Islam

ortodoks, diantaranya adalah Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh yang paling

berpengaruh di kalangan ini.

Seyyed Hossein Nasr tidak sepakat dengan argumen umum kaum

modernis tentang kesesuaian Islam dengan sains tersebut. Menurutnya mereka

secara sewenang-wenang mengubah agama Islam agar sesuai dengan tujuan akhir

mereka sendiri. Dia dengan keras mencela:

tulisan-tulisan apologetik kaum modernis Islam yang ingin berdamai dengan modernisme dan mau melakukan apa saja untuk menunjukkan bahwa Islam bagaimanapun juga adalah agama 'modern' dan, berbda dengan Kristen, sama sekali tidak bertentanagan dengan sains.6

Menurut Nasr tulisan-tulisan kaum Islam modernis yang mengklaim Islam

sesuai dengan sains modern, yaitu sains yang dianggap dipelopori oleh Galileo

dan Newton, jelas-jelas mengandung cacat. Kesalahan mereka, menurut Nasr,

adalah bahwa ilm dalam bahasa Arab yang berarti menuntut ilmu sesuai dengan

kewajiban agama, sengaja diubah agar menjadi sains dan pengetahuan sekuler.

Nasr menganggap keliru karena term ilm, tidak hanya menyangkut masalah

duniawi teapi juga menyangkut pengetahuan tentang Tuhan, dan lain-lain hal gaib

lainnya. Jika mengikuti pandangan kaum Islam modernis, menurut Nasr, berarti

menggerogoti tauhid.7

Menurut Nasr seorang ilmuwan yang secara konsisten menggunakan

peralaan dan eknik-teknik sains modern, jika tidak hati-hati akan menghancurkan

6 Seyyed Hossein Nasr, Islam and Contemporary Society (London: Longman Group, 1982), hlm. 176.

7 Ibid., hlm. 179.

6

Page 7: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

struktur agama Islam. Masalahnya, sains modern hanya mengandalkan akal dan

pengamatan sebagai wasit penentu kebenaran. Bagi ortodoksi Islam, sejenis Nasr,

ini sama sekali tidak dapat diterima. Hal ini sangat berbeda dengan sains zaman

dulu. Mengenai sains zaman dulu Nasr mempunayi pendapat yang baik:

tidak pernah menjadi tanangan bagi Islam seperti halnya sains modern. Para pelajar Islam di madrasah-madrasah tradisional tidak berhenti melaksanakan shalat waktu mereka mempelajari aljabar Khayyam atau risalat al-kimia dari Jabir ibn Hayyan. Tidak seperti pelajar-pelajar zaman sekarang yang begitu banyak kehilangan semangat beragama mereka setelah mempelajari matematika dan kimia modern.8

Jika kita ingat perbedaan mendasar kerangka konseptual sains abad

pertengahan dan abad modern, sesungguhnya pemikiran Syyed Hossein Nasr

tersebut tidaklah sulit dipahami. Ilmuwan abad pertengahan, baik yang Islam

maupun Kristen, bekerja dalam batas-batas, paradigma teologis. Sains harus

menemukan perintah ketuhanan dari alam semesta yang ciri-cirinya sudah

ditetapkan oleh apa yang diyakini sebagai wahyu. Secara umum., sains secara

prinsip dipandang sebagai cara untuk menggambarkan kebenaran teologis. Maka

sains, sebagai kaki tangan teologi, harus membuktikan bahwa iman didukung

oleh alasan dan faka-fakta fisik.9

Sains modern dalam pandangan Nasr, terutama yang berkembang di Barat,

sejak Renaissance telah menciptakan bentuk dan paradigma baru yang merupakan

manifesasi corak pemikiran rasionalistis dan antroposentris serta sekularisasi

kosmos.10 Ilmu dalam konsepsi Barat seperti inilah yang disebut oleh Nasr telah

menempati mode khusus, yaitu sama sekali tidak berhubungan dengan Kesucian.11

Sekularisasi ilmu yang terjadi di Barat, antara lain dilatarbelakangi oleh

pecahnya kesatuan gereja Kristen bersamaan dengan gelombang Renaissance.

Gelombang sekularisasi tersebut menggempur peradaban Barat pada waktu itu

8 Ibid.

9 G. Sarton, Introduction to he History of Science, vol. 1., (New York: Krieger Publishing, 1975), hlm. 5.

10 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Edinburg: Edinburg University Press, 1981), hlm. 45-46.

11 Ibid., hlm. 9

7

Page 8: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

sehingga mistisisme Kristen, yang dimotori antara lain oleh Lutherian, tidak dapat

mencegah dahsyatnya gelombang sekularisasi tersebut.12 Pemikiran yang bercorak

rasional dan empiris juga ikut menymbangkan peran bagi proses sekularisasi ilmu

di Barat. Empirisme yang berkembang di Barat, terutama di Inggris, membuat

fungsi suci intelek tidak lagi berguna. Isaac Newton, bapak fisika klasik yang

menulis Principia, ketika mempropagandakan rasionalisme ilmu juga turut

berperan dalam proses desakralisasi ilmu.13

Menurut analisis Seyyed Hossein Nasr Descartes adalah orang yang sangat

banyak memberikan andil terhadap desakralisasi ilmu di Barat. Ketika Descartes

membuat basis baru bagi ilmu, dengan memunculkan kesadaran individu sebagai

subjek berpikir, cogito ergo sum, dimaknai secara profan dan sama sekali tidak

meruuk kepada "Aku" ilahi. Menurut Nasr habitus baru yang dimunculkan

Descartes ini berbeda jauh dengan tradisi para Sufi Islam yang menafikan banyak

hal profan dan muncullah "Aku" ilahi.14 mengacu pada diri manusia, yang

memiliki makna semu dalam pandangan orang arif. Descartes dalam kondisi ini,

demikian Nasr, telah menempatkan pengalaman dan kesadaran berpikir sebagai

landasan onto

Kata "aku" dalam ucapan Descartes logi, epistemologi serta sumber

kepastian. Akibat dari pengaruh pikiran Descartes ini banyak orang yang

menjadikan pikiran individu sebagai standar dan mengubah arah filsafat menjadi

bentuk rasionalisme murni. Implikasi dari bentuk pemikiran seperti ini sering

obyek diketahui lain sama sekali dengan yang dikehendaki obyek tiu sendiri, dan

sering pula banyak persoalan yang direduksi sekedar menjadi "it" atau "thing"

dalam dunia yang mekanistik, padahal mungkin saja jika melihanya dari sudut

pandang lain "it" atau "thing" trsebut sangat sarat dengan nilai-nilai sakral.15

Proses desakralisasi sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum masa

Renaissance dan masa Descartes, yakni sejak masa Yunani kuno. Pentingnya jiwa 12 Ibid., hlm. 26-27.

13 Ibid., hlm. 29-32.

14 Ibid., hlm. 41.

15 Ibid., hlm. 46

8

Page 9: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

simbolis yang diserukan Plato, pengosongan kosmos dari unsur suci pada agama

Olympia yang membawa kepada filsafat naturalistik, munculnya rasionalisme dan

transformasi lain, adalah beberapa bukti proses desakralisasi ilmu di Barat ini.

Lebih mencolok lagi proses sekularisasi di Barat ketika kita melihat kasus

ibnu Sina dan ibn Rusyd. Filsafat ibn Sina di dunia Islam menjadi basis penting

bagi penekanan kembali sakralitas pengetahuan dan intelek seperti versi

Suhrawardi, tetapi ketika karya-karya ibn Sina sampai di Barat dia berupah hanya

sekedar menjadi potongan-potongan pengetahuan yang bercorak rasionalistik.

Begitu juga dalam kasus ibn Rusyd, ia kelihatan lebih rasional dan sekuler di

Barat ketimbang ibn Rusyd asli yang dibaca di dunia Arab.16

Seyyed Hossein Nasr memandang proses desakralisasi ilmu di Barat

antara lain diandai dengan pereduksian intelek menjadi akal (reason) dan

intelligence dibatasi dengan sekedar cunning dan cleverness, yang semua itu

merusak teologi, termasuk teologi natural, baik di kalangan Islam maupun

Kristen. Pencabutan pengathuan dari karakter sucinya dan menumbuhkan ilmu

profan, membuat orang lupa akan keunggulan spiritual dalam berbagai tradisi,

maka ilmu pengetahuan Barat yang profan menjadi sentral sementara intuisi dan

unsur-unsur yang bercorak ilahi menjadi periferal.17

Pemikiran sekuler yang terjadi pada desakralisasi ilmu tersebut merambah

uga pada bidang-bidang lain. Bahkan sampai kepada bahasa pun terkena pengaruh

desakralisasi ini. Bahasa-bahasa yang berkembang di Barat kehilangan ragam

makna mendalam karena pengaruh desakralisasi ini.

Pandangan Nasr yang kritis terhadap perkembangan ilmu di Barat,

membawanya pada penilaian bahwa ilmu di Barat mengalami kritis yang, dalam

pandangannya, membawa ancaman serius sebagai akibat skularisasi. Nasr melihat

sisi lemah sains di Barat dengan kacamata perennisnya, kemudian untuk solusinya

ia menawarkan konstruksi ilmu Islam sebagai alternatif, yang dianggapnya

mampu mengatasi krisis kemanusiaan yang diderita manusia modern.

16 Ibid., hlm. 38.

17 Ibid., hlm. 4-6.

9

Page 10: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

Ilmu Islam menurut Nasr bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja.

Munculnya ilmu Islam merupakan persinggungan dan interaksi mendalam dengan

pradaban lain seperti Yunani, Persia, India, Kalde, dan Cina. Ketika berjumpa

dengan berbagai peradaban tersebut umat Islam terbuka terhadap berbagai

perkembangan ilmu dan peradaban tetapi juga menyeleksinya dengan seksama

sehingga gabungan dari keterbukaan dan daya selektif yang ketat itu melahirkan

corpus baru yang unik.18

Secara ontologism ilmu Islam didasarkan pada metafisika simbolis. Alam

yang terbentang luas ini, dalam pandangan Nasr, harus dipahami secara

simbolis,sehingga hubungan dengan realitas yang lebih tinggi tidak hilang. Alam

semesta tidak bisa direduksi menjadi sekedar fakta empiris, tetapi lebih dari itu

harus membantu intelektual manusia untuk sampai kepada berbagai eksistensi,

bukan hanya sebagai fakta mati tetapi ia juga sebagai simbol, sebagai cermin yang

memantulkan wajah agung sang pencipta.19

Dalam tataran epistemologi ilmu Islam berlandaskan pada iluminasi akal

dan intelek. Intelek adalah alat, akal adalah aspek pasifnya dan refleksinya pada

diri manusia. Intelek adalah dasar akal, akal perlu dilatih secara sehat untuk dapat

sampai kepada intelek. Itulah sebabnya ahli fisika muslim menyatakan bahwa

ilmu rasional secara alamiah akan mmbimbing manusia sampai kepada yang ilahi.

Intelek, dalam pandangan Nasr, adalah kapasitas batin,namun sering

dikaitkan dengan fungsi analitis pikiran sehingga dianggap tidak ada sangkut

pautnya dengan sifat kontemplatif. Pereduksian makna ini sering menimbulkan

semangat manusia untuk menaklukkan alam semesta. Padahal seharusnya,

18Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York: American Library, 1970), hlm. 30.

19 Ibid., hlm. 24. Untuk argumen ini Seyyed Hossein Nasr mengutip Al-Qur'an Surat

Fusshilat (41) ayat 53, disana dejelaskan bahwa alam semesta juga merupakan ayat Tuhan. Dengan demikian ayat Tuhan itu ada dua macam, ayat yang tertulis di dalam kitab suci, Al-Qur'an, dan ayat yang tidak tertulis, tetapi mewujud yaitu alam semesta. Ayat yang tertulis dalam Al-Qur'an biasanya disebut dengan ayat qauliyyah sedangkan alam semesta disebut dengan ayat kauniyyah. Ayat qauliyyah dan ayat kauniyyah sama-sama perlu "dibaca" karena keduanya sama-sama merupakan cara Tuhan memberi pelajaran, dan keduanya sama-sama dapat menghantarkan manusia sampai kepada Tuhan.

10

Page 11: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

demikian Nasr, hubungan antara ilmuwan dengan alam bersifat intelektif, tidak

abstrak, tidak analitis dan tidak sentimental.20

Terma intelek dalam pemahaman Nasr berkaitan dengan terma lain seperti

qalb, fu'ad, dan bashirah. Qalb, sebagaimana fu'ad, memiliki muatan makna yang

identik dengan sesuatu alat untul memahami realitas dan nilai-nilai. Sehingga

konsep intelek dalam terminology Islam berbeda dengan reason, karena intelek

dalam pengertian Islam tidak semata-mata berkaitan dengan rasionalisme tetapi

juga berhubungan erat dengan persoalan wahyu,21 sehingga bagi seorang muslim

kegiatan ilmiah tidaklah harus menjauhkan dirinya dari ibadah dan Tuhan.

Struktur keilmuan seperti tersebut di atas adalah pondasi yang paling kuat

dan telah terbukti keampuhannya ketika berhadapan dengan peradaban-peradaban

lain. Sesungguhnya konstruksi model ini juga tidak bertentangan dengan

konstruksi peradaban lain yang berlandaskan wahyu, karena konstruksi keilmuan

itu nerupakan "heart of all revelations".22

Perbedaan mendasar konstruksi ilmu di Barat dengan Islam, jika di Barat

sains identik dengan teknologi dan aplikasinya, sebaliknya sains dalam pandangan

Islam, disamping bermakna seperti pengertian sains dalam perspektif Barat juga

bermakna pengetahuan yang berkaitan dengan apiritualitas.23

D. PETA PEMIKIRAN SEYYED HOSSEIN NASR

Ada banyak model yang diajukan orang untuk integrasi sains dan agama.

Model-model itu dapat diklasifikasikan dengan menghitung jumlah konsep dasar

yang menjadi komponen utama model itu. Jika hanya ada satu, model itu disebut

model monadic.Jika ada dua, tiga, empat atau lima kompoonen, model itu masing-

masingnya bisa disebut sebagai model-model diadik, triadik, tetradik dan

pentadik. Berikut ini akan dibahas secara singkat masing-masing model tersbut.24

20 Ibid., hlm 24.21 Ibid., hlm. 27.22 Ibid., hlm. 30.23 Ibid., hlm. 29-30.24 Model-model integrasi agama dan sains yang digunakan dan ditampilkan dalam tulisan

ini merujuk kepada apa yang ditulis oleh Armahedi Mahzar. Hampir semua diderivasi dari konstruksi Mahzar kecuali yang disebut secara khusus. Armahedi Mahzar "Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi" dalam Zaenal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi dan Afnan Anshori

11

Page 12: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

Model pertama yang popular di kalangan fundamentalis, religius maupun

sekuler. Fundamentalis religius memandang bahwa agama adalah keseluruhan

yang mengandung semua cabang ilmu dan kebudayaan. Sedangkan yang sekuler

memandang bahwa agama sebagai salah satu cabang kebudayaan. Dalam

fundamentalisme religius, agama dianggap sebagai satu-satunya kebenaran, sains

hanyalah salah satu cabang kebudayaan, sementara bagi fundamentalisme sekuler

kebudayaanlah yang merupakan ekspresi manusia dalam mewujudkan kehidupan

yang berdasarkan sains sebagai satu-satunya kebenaran.

Dengan model monadik totalistik semacam ini tidak mungkin terjadi

koeksistensi antara sains dan agama, karena keduanya menegasikan eksistensi

atau kebenaran lainnya. Maka hubungan antara kedua sudut pandang ini, tidak

bisa tidak berupa konflik, seperti yang dikonsepsikan Barbour25 atau Haught26

mengenai hubungan sains dan agama.

Gambar 1Model Monadik Totalistik

Mengingat kelemahan model monadik tersebut, diajukanlah model kedua,

yaitu model diadik. Ada beberapa varian model kedua ini. Varian pertama

mengatakan bahwa sains dan agama merupakan dua kebenaran yang setara. Sains

(Ed), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 92-99.25 Ian G Barbour, When Science Meets Religion: Enemies, Strangers or Partners? (San

Francisco: Harper Collins, 2000).26 John F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conservation (New York:

Paulist Press, 1995).

AGAMA

SAINS

12

Page 13: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

membicarakan fakta alamiah, sedangkan agama membicarakan nilai-nilai ilahiah.

Secara geometris dapat didiagramkan model ini sebagai dua buah lingkaran yang

tidak berpotongan. Model ini dapat disebut sebagai model diadik kompartementer.

Gambar 2Model Diadik Independen/kompartementer

Varian kedua model diadik ini mungkin dapat dinyatakan oleh gambar

sebuah lingkaran yang terbagi oleh sebuah garis lengkung menjadi dua bagian

yang bentuk dan luasnya sama, seperti pada simbol Tao dalam tradisi Cina.

Berbeda dengan model interpendensi, dalam varian kedua antara sains dan agama

adalah bagian yang tak terpisahkan. Seorang tokoh yang patut dipertimbangkan

dalam kaitan ini adalah Fritjof Capra ketika ia mengeluarkan sebuah ungkapan:

"sains tak membutuhkan mistisisme dan mistisisme takmembutuhkan sains. Akan

tetapi,manusia membutuhkan keduanya".27 Varian kedua ini adalah model diadik

komplementer.

27 Fritjof Capra, The Tao of Physics (New York: Bantam Book, 1976).

SAINS AGAMA

13

Page 14: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

Gambar 3Model Diadik Komplementer

Varian ketiga dapat dilukiskan secara diagram dengan dua buah lingkaran

sama besar yang saling berpotongan. Jika kedua lingkaran itu menggambarkan

sains dan agama, akan terdapat sebuah kesamaan. Kesamaan itulah yang

merupakan bahan dialog antara sains dan agama. Misalnya Maurice Buccaille

mnemukan sejumlah data ilmiah di dalam kitab suci Al-Qur'an. Atau para

ilmuawan yang menemukan sebuah bagian pada otak yang disebut sebagai "The

God Spot" yang dipandang sebagai pusat kesadaran religius manusia. Model ini

dapat disebut sebagai model diadik dialogis.

Gambar 4Model Diadik Dialogis

Model ketiga adalah model triadik sebagai koreksi terhadap model diadik

independent. Dalam model triadik ada unsur ketiga yang menjembatani sains dan

agama. Jembatan itu adalah filsafat. Model ini diajukan oleh para kaum teosofis

yang bersemboyan "There is no religion higher than Truth". Kebenaran atau

"Truth" adalah kesamaan antara sains, filsafat dan agama.

SAINS FILSAFAT AGAMA

SAINS AGAMA

14

Page 15: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

Model ketiga ini merupakan perluasan saja dari model diadik

komplementer dengan memasukkan filsafat sebagai komponen ketiga yang

letaknya diantara sains dan agama.

Sebagai koreksi terhadap model diadik dan triadik komplementer, telah

dikembangkan sebuah model tetradik. Salah satu interpretasi dari model diadik

komplementer adalah identifikasi komplementasi "sains/agama" dengan

komplementasi "luar/dalam". Pemilahan "luar/dalam" identik dengan pemilahan

"objek/subjek" dalam perspektif epistemology. Menurut Wilber,28 pemilahan ini

tidak mencukupi lagi untuk memahami fenomena budaya.

Wilber kemudian memasukkan komplementasi baru untuk melengkapi

komplementasi-komplementasi modernis terdahulu. Komplementasi itu adalah

komplementasi "satu/banyak", yang oleh Wilber disebut "individual/sosial".

Dengan adanya dua komplementasi, yang lama dan yang baru, maka realitas

budaya dibagi menjadi empat kuadran dimana satu lingkaran dipecah oleh dua

buah sumbe komplementasi yang saling tegal lurus satu sama lainnya: horizontal

dan vertikal. Pada diagram empat kuadran Wilber ini sumbu individual/sosial

diletakkan secara horizontal, dengan individualitas di sebelah kiri dan sosialitas di

sebelah kanan, dan sumbu interior/eksterior pada arah vertical dengan interioritas

di sedelah kiri dan eksterioritas di sebelah kanan.

28 Ken Wilber, The Marriage of Sense and Soul: Integrating Science and Religion (Boston: Shambala Publication, 1998).

15

INDIVIDUAL

Page 16: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

Menurut Wilber kuadran kiri atas bwerkaitan dengan subjektivitas, yang

menjadi topic bagi psikologi Barat dan mistisisme Timur, dan kuadran kanan atas

berkaitan dengan objektivitas yang menjadi topic bagi ilmu-ilmu kealaman atau

sains. Sedangkan kiri bawah berkaitan dengan intersubjektivitas yang menjadi

topic bahasan humaniora atau kebudayaan. Sementara itu, kuadtran kanan bawah

menmyangkut interobjektivitas yang mempelajari gabungan objek-objek yang

disebut Wilber sebagai masyarakat atau teknologi. Dengan demikian, ada empat

kuadran keilmuan, yaitu ilmu-ilmu kealaman (kanan atas), ilmu-ilmu keagamaan

(kiri atas), ilmu-ilmu kebudayaan (kiri bawah) dan ilmu-ilmu keteknikan (kanan

bawah).29

Jika dilihat dengan ketiga model di atas pemikiran Seyyed Hossein Nasr

kelihatannya cenderung masuk dalam kategori model perama. Bagi Nasr agama,

29 Selain ketiga model integrasi antara sains dan agama seperti tersebut di ats Armahedi Mahzar masih mengajukan satu lagi model integrasi agama dan sains yang disebutnya dengan "Model Penadik: Paradigma Integralisme Islam". Tetapi model ini kurang relevan untukmenganalisis pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sehingga tidak diampilkan. Lihat Armahedi Mahzar, Integrasi…hlm. 100-106.

EKSTERIORINTERIOR

SOSIAL

Objektivitas

Interobjektivitas

Subjektivitas

Intersubjektivitas

16

Page 17: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

yang diwakili oleh eologi, adalah segala-galanya. Sains dan ilmu-ilmu lain tidak

boleh keluar dari kerangka dan dalam rangka membela teologi.

"Senter" kedua tenang trilogi Restorasionis, Rekonstruktionis dan

Pragmatis perlu dikemukakan di sini untuk melihat formulasi pemikiran Nasr.

Konstruksi trilogi yang dipakai adalah apa yang telah dibangun oleh Pervev

Hoodbhoy.30

Pertumbuhan pesat sains modern mengundang anggapan dari banyak

pihak, termasuk umat Islam. Beberapa diantara tanggapan itu ada yang masuk

dalam kategori restorasionis, rekonstruktionis dan pragmatis. Ketiga kategori

kelompok tanggapan terhadap sains tersebut dilihat secara sepintas dalam tulisan

ini untuk "menyorot" pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sehingga peta

pemikirannya dalam hal sains modern mudah dipahami.

Pertama, Kaum Restorasionis. Kaum restorasionis adalah kelompok yang

paling bersemangat mengembalikan kejayaan Islam di masa lampau. Kelompok

ini juga berargumen bahwa kemunduran umat Islam saat ini karena mereka tidak

mampu memegang fikrah dan thariqah Islam secara istiqamah. Menjamurnya

gerakan fundamenalis pada sekita tahun 1970-1980-an adalah manifestasi yang

paling nyata dari gerakan kaum restorasionis ini.

Salah satu contoh gerakan kaum restorasionis adalah gerakan Jemaat-e

Islami di Pakistan, suatu kelompok politik-agama yang mendapatkan dukungan

dari masyarakat urban kelas menengah dan para mahasiswa. Walaupun belum

pernah mendapat kemenangan dalam pemilu di Pakistan tetapi pengaruh

kelompok ini sangat kuat di Pakistan. Maryam Jameelah, seorang Yahudi

Amerika yang masuk Islam, adalah juru bicara Jemaat-e Islami yang paling cakap

tentang masalah-masalah sains dan modernias. Jameelah berpandangan bahwa

semua ideology modernis dicirikan dengan pemujaan manusia. Pemujaan manusia

paling sering muncul di bawah kedok sains. Kepada modernis ditayangkan bahwa

kemajuan dalam sains pada akhirnya akan menganugerahkan pada mereka

kekuatan ilahi.31 Bagi Maryam Jameelah umat Islam seyogyanya tidak perlu

"mengejar Barat" karena sifat sains Barat jahat dan tidak bertuhan. Masa lampau 30 Pervev Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains dan Ortodoksi

Islam, terj. Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 97-118.

17

Page 18: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

Islam jauh lebih baik, sementara modernitas tidak menghasilkan apapun kecuali

kerusakan.32

Kedua, Kaum Rekonstruksionis. Posisi kaum rekonstruksionis sangat

sangat bertentangan dengan posisi ortodoks yang sangat anti-sains dan anti

modernisme. Rekonstruksionis secara esensial menafsirkan kembali keimanan

untuk mendamaikan tuntuan peradaban modern dengan ajaran dan tradisi Islam.

Kelompok ini berpandangan bahwa Islam di masa Nabi dan masa khulafa' al-

Rasyidin adalah Islam yang progersif, revolusioner, liberal dan rasional. Maka

kelompok yang dogmatis reaksioner dianggap taqlid dan menolak inovasi

(ijtihad).

Diantara tokoh kaum rekonstruksionis adalah Syed Ahmad Khan (1817-

1898) dan Syed Ameer Ali (1849-1924). Ahmad Khan berpendapat bahwa Al-

Qur'an harus ditafsirkan ulang berkaitan dengan realitas yang berubah. Sementara

Ameer Ali berpendapat bahwa Islam adalah agama revolusioner, rasional dan

berorientasi maju.

Ketiga, Kaum Pragmatis. Kaum pragmatis sesungguhnya merupakan

juml;ah terbesar dari umat Islam, tetapi kelompok ini lebih banyak memilih

bungkam terhadap masalah modernitas dan sains. Merekalebih suka

memperlakukan persyaratan-persayaratan agama dan keimanan sebagai sesuatu

yang secara esensial tidak langsung berkaitan dengan masalah kehidupan politik

ekonomi, atau dengan sains dan pengetahuan secular lainnya. Kaum pragmatis

merasa puas dengan keyakinan samara bahwa Islam dan modernitas tidak

bertentangan, tetapi mereka enggan menguji masalah-masalah tersebut dengan

lebih mendalam. Salah satu contoh tokoh pro modernis dan pro sains adalah

Jamaluddin al-Afghani (1838-1897).

Jika dilihat dengan snter trilogi ersebut di atas tampak bahwa pemikiran

Seyyed Hossein Nasr berada pada kategori perama, yaitu kelompok restorianis.

31 Maryam Jameelah, Islam and Modernism (Lahore: Muhammad Yusuf Khan Publisher, 1977), hlm. 16-17.

32 Maryam Jameelah, Modern Technology and The Dehumanization of Man (Lahore: El-Matbaat-ul-Arabia, 1983), hlm. 8. Senada dengan Maryam Jameelah di atas adalah Abu al-A'la al-Maududi, pendiri Jemaat-e Islami Pakistan.

18

Page 19: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

Hal ini wajar saja mengingat Nasr adalah tokoh terkemuka ortodoksi Islam,

sehingga sangat mudah dipahami jika pola berpikirnya berada dalam frame

restorianis.

E. PENUTUP

Pemikiran Seyyed Hossein Nasr berangkat dari keprihatinannya bahwa

seolah-olah teolog ditaklukkan oleh sains, teologi diubah demi untuk

mempertimbangkan penemuan-penemuan sains. Bagi Nasr, yang merupakan

pendukung filsafat perennial, yang sebaliknyalah yang semestinya harus terjadi,

teologi menjadi tolok ukur eori-teori ilmiah.

Nama Seyyed Hossein Nasr sering disandingkan dengan Syed M. Naquin

Al-Attas, Ismail Razi Al-Faruqi dan Ziauddin Sardar. Al-Attas menyebut

gagasannya dengan "dewesternisasi ilmu", Ismail Razi al-Faruqi berbicara tentang

"Islamisasi ilmu" dan Sardar tentang penciptaan suatu "sains Islamkontemporer".

Gagasanpara pemikir itu tentu berbeda-beda dan terkadang bahkan berseberangan.

Kelemahan pemikiran mereka ini sampai saat ini belum bisa menjelaskan secara

jelas bagaimana gagasan filosofis itu bisa menjadi relevan dengan kegiatan

praktis. Hal-hal inilah barangkali yang menjadikan tokoh-tokoh seperti Ian G

Barbour, John F Haught dan Gholshani menjadi relevan untuk dikaji secara lebih

mendalam.

Wallahu a'lam!

DAFTAR PUSTAKA

19

Page 20: sanaky.comsanaky.com/materi/Artikel Sudarman.doc · Web viewBerbeda dengan ketika ia belajar pada Sekolah Menengah di Peddie, pada tahun kedua kuliah strata satu-nya pada jurusan

Ian G Barbour, When Science Meets Religion: Enemies, Strangers or Partners? . San Francisco: Harper Collins, 2000.

John F. Haught, Science and Religion: From Conflict to Conservation. New York: Paulist Press, 1995.

Fritjof Capra, The Tao of Physics . New York: Bantam Book, 1976.

G. Sarton, Introduction to he History of Science, vol. 1., New York: Krieger Publishing, 1975.

Ken Wilber, The Marriage of Sense and Soul: Integrating Science and Religion (Boston: Shambala Publication, 1998.

Maryam Jameelah, Islam and Modernism. Lahore: Muhammad Yusuf Khan Publisher, 1977.

Maryam Jameelah, Modern Technology and The Dehumanization of Man . Lahore: El-Matbaat-ul-Arabia, 1983.

Pervev Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalittas Antara Sains dan Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996.

Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Edinburg: Edinburg University Press, 1981.

___________, Scince and Civilization in Islam. New York: New American Library, 1970.

___________, Islam and Contemporary Society (London: Longman Group, 1982

Zaenal Abidin Bagir, Jarot Wahyudi dan Afnan Anshori (Ed), Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005

"Biography"/Dr. Seyyed Hossein Nasr, tersedia di http//www.nasr.org.

"Seyyed Hossein Nasr", tersedia di http//www.seriousseekers.com

20