suap di indonesia

16
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah suap adalah salah satu masalah yang sudah sangat lama terjadi dalam masyakat. Pada umumnya suap diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya. Orang yang memberi suap biasanya memberikan suap agar keinginannya tercapai baik berupa keuntungan tertentu ataupun agar terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum. Maka tidaklah mengherankan yang paling banyak di suap adalah pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah yang mempunyai peranan penting untuk memutuskan sesuatu umpamanya dalam pemberian izin ataupun pemberian proyek pemerintah. Suap sering diberikan kepada para penegak hukum umpamnya polisi, jaksa, hakim. Demikian juga kepada para pejabat bea cukai, pajak dan pejabat-pejabat yang berhubungan denga pemberian izin baik beruap izin berusaha, izin mendirikan bangunan dan lain-lain. Suap juga ditemukan dalam penerimaan pegawai, promosi maupun mutasi, bahkan saat ini suap disinyalir telah merambah ke dunia pendidikan baik dalam tahap peneriman mahasiswa/siswi baru, kenaikan kelas, kelulusan bahkan untuk mendapatkan nilai tertentu dalam ujian mata pelajaran atau mata kuliah. Untuk mendapatkan anggaran tertentu dari pemerintah pun saat ini ditengarai diwarnai suap agar mendapatkan jumlah anggaran yang diinginkan. Saat ini pejabat yang berwenang untuk mengeluarkan

Upload: bangkit-zuas

Post on 10-Aug-2015

54 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Suap Di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah suap adalah salah satu masalah yang sudah sangat lama terjadi dalam

masyakat. Pada umumnya suap diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat agar

melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya. Orang yang

memberi suap biasanya memberikan suap agar keinginannya tercapai baik berupa keuntungan

tertentu ataupun agar terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum. Maka tidaklah

mengherankan yang paling banyak di suap adalah pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah

yang mempunyai peranan penting untuk memutuskan sesuatu umpamanya dalam pemberian

izin ataupun pemberian proyek pemerintah. Suap sering diberikan kepada para penegak

hukum umpamnya polisi, jaksa, hakim. Demikian juga kepada para pejabat bea cukai, pajak

dan pejabat-pejabat yang berhubungan denga pemberian izin baik beruap izin berusaha, izin

mendirikan bangunan dan lain-lain.

Suap juga ditemukan dalam penerimaan pegawai, promosi maupun mutasi, bahkan

saat ini suap disinyalir telah merambah ke dunia pendidikan baik dalam tahap peneriman

mahasiswa/siswi baru, kenaikan kelas, kelulusan bahkan untuk mendapatkan nilai tertentu

dalam ujian mata pelajaran atau mata kuliah. Untuk mendapatkan anggaran tertentu dari

pemerintah pun saat ini ditengarai diwarnai suap agar mendapatkan jumlah anggaran yang

diinginkan. Saat ini pejabat yang berwenang untuk mengeluarkan surat keterangan ataupun

identitas juga rawan denga suap umpamanya surat keterangan mengenai umur, status

perkawinan untuk calon TKI, pembuatan paspor, KTP, SIM dan lain-lain. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa suap sudah mewarnai hampir semua aspek kehidupan dan aktivitas

masyarakat. Masalah suap sudah menjadi masalah yang multi dimensional karena

menyangkut masalah sosial, moral, hukum, ekonomi bahkan masalah keamanan.

Suap (bribery) bermula dari asal kata briberie (Perancis) yang artinya adalah

’begging’ (mengemis) atau ’vagrancy’ (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba,

yang artinya ’a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang diberikan kepada

pengemis). Dalam perkembangannya bribe bermakna ’sedekah’ (alms), ’blackmail’, atau

’extortion’ (pemerasan) dalam kaitannya dengan ’gifts received or given in order to influence

corruptly’ (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk

Page 2: Suap Di Indonesia

memengaruhi secara jahat atau korup). Dengan demikian seseorang yang terlibat dalam

perbuatan suapmenyuap sebenarnya harus malu apabila menghayati makna dari kata suap

yang sangat tercela dan bahkan sangat merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi si

penerima suap.

Suap juga diindikasikan dapat menimbulkan bahaya terhadap keamanan umat

manusia (human security) karena telah merambah ke dunia pendidikan, kesehatan,

penyediaan sandang pangan rakyat, keagamaan, dan fungsi-fungsi pelayanan sosial lain.

Dalam kerangka penyuapan di dunia perdagangan, baik yang bersifat domestik maupun

transnasional, suap jelas-jelas telah merusak mental pejabat. Demi mengejar kekayaan, para

pejabat negara tidak segan-segan melanggar code of conduct sebagai aparatur negara.

Dengan demikian, tampak bahwa elemen tindak pidana suap sebagai bagian dari

korupsi tidak harus mengandung secara langsung unsur "merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara". Dalam suap-menyuap yang merupakan hal yang tercela adalah

penyalahgunaan kekuasaan, perilaku diskriminatif dengan memberikan privilese atas dasar

imbalan keuntungan finansial dan lain-lain, pelanggaran kepercayaan yang merupakan

elemen demokrasi, rusaknya mental pejabat, ketidakjujuran dalam berkompetisi, bahaya

terhadap human security, dan sebagainya.

Reformasi (reform movement) harus ditafsirkan sebagai upaya sistematik untuk

mengaktualisasikan nilai-nilai dasar (indexs) demokrasi. Menciptakan pemerintahan yang

bersih dan bebas KKN merupakan salah satu agenda reformasi di samping amandemen UUD

1945, promosi dan perlindungan HAM, penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur dan

adil, penguatan civil society, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan pers,

desentralisasi (otonomi daerah), supremasi sipil, dan lain-lainnya.

Bagi Indonesia yang sejak tahun 1998 berada di Era Reformasi, penanggulangan

korupsi yang sudah bersifat sistemik dan endemik, termasuk suap-menyuap (yang oleh

mantan Presiden Bank Dunia James Wolfensohn disebut sebagai "the cancer of developing

countries") merupakan salah satu agenda reformasi yang harus dituntaskan.

Pelbagai substansi hukum (legal substance) telah dibangun untuk memberantas KKN

dan menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN seperti Tap MPR No

XI/MPR/1998 dan UU No 28 Tahun 1999, UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 15 Tahun 2002 jo UU No 25 Tahun

Page 3: Suap Di Indonesia

2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan Indonesia telah meratifikasi UN

Convention Against Corruption 2003. Dalam konvensi ini ada empat hal yang menonjol,

yaitu penekanan pada unsur pencegahan, kriminalisasi yang lebih luas, kerja sama

internasional, dan pengaturan lembaga asset recovery untuk mengembalikan aset yang

dilarikan ke luar negeri.

Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan suap sudah menjadi budaya buruk

masyarakat yang membahayakan, sehingga perlu untuk dicegah. Berdasarkan hal tersebut,

maka perlu diketahui faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya suap.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan wacana di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi suap ?

2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana baik bersifat prefentif maupun represif dalam

menanggulangi praktik suap ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Suap

Suap terjadi sebagai ungkapan gejala venalitas yang makin merebak. Secara sosiologis,

istilah venalitas menunjuk pada suatu keadaan saat uang bisa digunakan membayar hal-hal

yang secara hakiki tidak bisa dibeli dengan uang. Keadilan bisa dipertukarkan dengan uang.

Begitu pula dengan pasal-pasal dalam kebijakan. Dalam uang, terdapat faktor ekonomi yang

bernama keuntungan.

Dalam jangka pendek, suap paling mudah dilakukan karena langkah itu akan memotong

serangkaian prosedur demokrasi yang rumit dan melelahkan serta hanya akan menghasilkan

"keadilan" yang tidak diinginkan. Elite politik dan ekonomi melihat suap sebagai langkah

potong kompas yang bisa dilakukan untuk menghindari dirinya menderita kerugian secara

ekonomis.

Page 4: Suap Di Indonesia

Suap berkaitan dengan mentalitas dan sistem. Suap terjadi akibat sebagian kecil elite

sejak semula sudah terdidik untuk melakukannya. Untuk menjadi anggota parlemen, sudah

menjadi rahasia umum berbagai jenis KKN dilakukan, dari yang skala kecil sampai besar.

Begitu pula untuk "menjadi pejabat". Makin lama, suap menjadi mentalitas bersama yang

berlindung dalam budaya "tahu sama tahu".

Terjadinya suap disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan dan

birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya sistem

kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan perundang-

perundangan yang tegas.[1]

Apabila dilihat dari segi pelaku suap, sebab-sebab dia melakukan suap dapat berupa

dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau

kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan suap antara

lain : (a) sifat tamak manusia, (b) moral yang kurang kuat menghadapi godaan, (b)

penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, (d) kebutuhan hiduop yang

mendesak, (e) gaya hidup konsumtif, (f) tidak mau bekerja keras, (g) ajaran-ajaraan agamaa

kurang diterapkan secara benar.

Dalam teori kebutuhan Maslow, demikian dikatakan Sulistyantoro bahwa, suap

seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah

dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang

bertahan hidup, namum saat ini suap dilakukan oleh orang kaya, pendidikan tinggi.[2]

Selanjutnya, poling yang dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW) berdasarkan

jawaban dari 9273 responden, hasilnya menunjukkan sekitar 30,2% suap terjadi karena aspek

individu demi kepentingan pribadinya. Pola-pola penyimpangan yang terjadi biasanya tidak

bekerja pada saat jam kantor (14,2%), pemakaian fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi

dan keluarganya (10%), dan (6)% adalah biaya pengurusan sesuatu yang berkaitan dengan

adminstarsi.[3]

Organisasi atau institusi dapat saja menjadi korban suap atau dimana suap terjadi

biasanya memberi andil terjadinya suap karena membuka peluang atau kesempatan untuk

terjadinya suap.[4] Bilamana organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi

seseorang untuk melakukan suap, maka suap tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab

terjadinya suap dari sudut pandang organisasi ini meliputi: (a) kurang adanya teladan dari

pimpinan, (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem akuntabilitas di instansi

Page 5: Suap Di Indonesia

pemerintah kurang memadai, (d) manajemen cenderung menutupi suap di dalam

organisasinya.

Tindakan suap mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-

undangan, yang dapat mencakup: (a) adanya peraturan perundang-undangan yang monolistik

yang hanya menguntungkan kerabat dan “konco-konco” presiden, (b) kualitas peraturan

perundang-undangan kurang memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sangsi yang

terlalu ringan, (e) penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, (f) lemahnya

bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan. Beberapa ide strategis untuk

menanggulangi kelemahan ini telah dibentuk oleh pemerintah diantaranya dengan mendorong

para pembuat undang-undang untuk melakukan evaluasi atas efektivitas suatu undang-

undang secara terencana sejak undang-undang tersebut dibuat.

Lembaga-lembaga ekskutif (Bupati/Walikota dan jajarannya) dalam melakukan praktek

suapnya tidak selalu berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu kosnpirasi dengan para

pengusaha atau dengan kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal penentuan tender

pembangunan yang terlebih dahulu pengusaha menanamkan saham kekuasaannya lewat

proses pembiayaan pengusaha dalam terpilihnya bupati/Walikota tersebut. Kemudian mereka

secara bersama-sama dengan DPRD, Bupati/Walikota membuat kebijakan yang koruptif

yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat yaitu para kolega, keluarga maupun

kelompoknya sendiri. Dengan kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha kepada

pejabat publik yang berupa uang sogokan, hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian

yang mempunyai motif koruptif telah berhasil membawa pengusaha melancarkan aktifitas

usahanya yang berlawanan dengan kehendak masyarakat, sehingga masyarakat hanya

menikmati sisa-sisa ekonomi kaum borjuasi atau pemodal yang kapitalistik. Dari kasus ini

dapat disimpulkan bahwa terjadinya suap APBD sangat mungkin jika aspek peraturan

perundang-undangan sangat lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Hal

senada juga dikemukakan oleh Basyaib, dkk (2002) yang menyatakan bahwa lemahnya

sistem peraturan perundang-undangan memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana

suap.

Pengawasan yang dilakukan instansi terkait (BPKP, Itwil, Irjen, Bawasda) kurang bisa

efektif karena beberapa faktor, diantaranya (a) adanya tumpang tindih pengawasan pada

berbagai instansi, (b) kurangnya profesionalisme pengawas, (c) kurang adanya koordinasi

antar pengawas (d) kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun pemerintahan oleh

Page 6: Suap Di Indonesia

pengawas sendiri. hal ini sering kali para pengawas tersebut terlibat dalam praktik suap.

belum lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal yang dilakukan masyarakat dan media juga

lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk pengawasan APBD yang sarat

dengan suap. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Baswir yang mengemukakan bahwa negara

kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan

lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya suap itu.[5]

B. Kebijakan Hukum Pidana dan Upaya Dalam Menanggulangi Praktik Suap

Beberapa langkah strategis (umum) yang dapat dilakukan sebagai pencegahan dan

perlawanan bagi tindak pidana suap, antara lain melalui dekonstruksi Budaya yang

melestarikan Suap. Dalam kaitan dengan marak dan suburnya praktek suap di Indonesia,

tidak terlepas dari kontribusi besar yang dianut oleh budaya masyarakatnya. Karena

masyarakat sudah menganggap apa yang dilakukan menjadi bagian dari budaya yang telah

dilakukan selama ini, akhirnya masyarakat bersikap permisif, dan bahkan dalam banyak hal

menganggap lumrah. Hal itulah yang kemudian terkadang melahirkan sikap pesismis

terhadap upaya-upaya pemberantasan suap. Untuk itu, harus dilakukan dekonsatruksi budaya

yang telah beranak-pinak dalam kehidupan masyarakat.

Memberantas budaya kultus dan paternalistik yang sudah berlangsung secara turun

temurun telah mendorong suburnya praktek suap. Budaya ini telah melahirkan sikap ewuh

pakewuh atau rikuh dalam upaya pemberantasan suap atau penyimpangan lainnya yang

dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki kedudukan terhormat di masyarakat.

Bahkan tidak jarang dijumpai, orang yang sudah “tercemari suap” pun masih dihormati dan

disanjung-sanjung.

Memberantas budaya hadiah yang diberikan kepada orang yang memiliki kewenangan

tertentu dalam kaitannya dengan urusan publik. Sebab dalam prakteknya, makna hadiah telah

mengalami reduksi dan penyimpangan dari konteks yang dimaksudkan oleh konsep hadiah

itu sendiri. Hadiah semacam inilah yang semakin menyuburkan praktek suap di Indonesia.

Memberantas budaya komunalisme dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam

konteks ketergantungan akan kehidupan kolektif yang kemudian melahirkan sikap toleransi

terhadap praktek-praktek suap, karena hal itu dipandang merupakan bagian dari kehidupan

komunalnya. Konteks komunalisme semacam ini yang menyimpang dan harus dikikis.

Page 7: Suap Di Indonesia

Budaya instan telah mendorong praktek penyimpangan dan suap, karena sesuatu ingin

diraih dengan serba singkat dan tidak mau bekerja keras. Etos kerja pun telah

dikesampingkan karena dipandang memperlama proses pencapaian terhadap sesuatu yang

diinginkan. Akibatnya aturan atau prosedur yang sudah menjadi ketentuan dengan mudah

dilanggarnya.

Mengikis budaya permisif, hedonis, dan materialis. Pola kehidupan seperti ini telah

menghilangkan idealisme dalam menegakkan nilai-nilai kebajikan. Akibatnya parameter

yang digunakan bersandar pada kenikmatan duniawi dan materi. Fenomena ini sudah menjadi

wabah endemic di masyarakat. Perlunya membangun budaya kritis dan akuntabilitas pada

masyarakat, sehingga tidak memberi ruang terhadap lahirnya praktek dan tindak pidana suap.

Orang akan berpikir panjang untuk melakukan suap karena munculnya kesadaran kritis

masyarakat terhadapnya dan sekaligus menuntut adanya akuntabilitas terhadap setiap

jabatan/kewenangan yang diembannya.

Pendekatan Keagamaan dan Pendidikan dalam menindak praktik suap juga perlu

dilakukan yakni dengan mendorong para tokoh dan lembaga agama mengeluarkan fatwa atau

opini umum terhadap para pelaku suap yang merugikan masyarakat.

Merumuskan dan mensosialisasikan pelajaran/mata kuliah civic education / tentang KKN

di berbagai lembaga pendidikan, sebagai upaya penyadaran bagi peserta didik atau

mahasiswa yang kelak dapat melahirkan warga Negara yang memiliki komitmen kejujuran,

keadilan dan kebenaran. Para akademisi perlu didorong untuk terus melakukan berbagai riset

(kualitatif maupun kuantitatif) tentang kasus KKN maupun yang terkait dengan budaya dan

sosiologi suap.

Melakukan reformasi silabi pendidikan keagamaan dari yang bercorak personal sosial

morality menuju sosial morality, yakni dengan melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan

secara lebih membumi khususnya yang terkait dengan isu KKN. Melakukan pendidikan dan

penyadaran bagi segenap warga masyarakat tentang bahaya KKN melalui lembaga pengajian

dan pengkajian agama maupun upacara keagamaan.

Suap juga dapat dicegah melalui pendekatan Sosial-Budaya yaitu dengan menciptakan

dan memasyarakatkan budaya malu di kalangan warga bangsa khususnya yang terkait dengan

kasus penyalahgunaan kekuasaan/suap. Masyarakat hendaknya mulai melakukan upaya

pengucilan bagi setiap anggota masyarakat yang terbuka melakukan suap yakni menolak

Page 8: Suap Di Indonesia

kehadiran para koruptor untuk tampil di berbagai forum resmi baik di masyarakat maupun

media massa, kecuali bagi mereka yang sudah bertobat dijalanNya. Pengucilan melalui

medium hukum adat atau budaya lokal juga sangat efektif untukk menimbulkan rasa jera bagi

koruptor.

Melakukan sosialisasi secara intensif tentang bahaya suap di tengah masyarakat melalu

media massa. Pencegahan suap juga dapat dilakukan dengan memberikan penghargaan

(award) secara tulus dan selektif bagi para tokoh yang layak untuk diteladani.

Menghimbau kepada segenap masyarakat untuk segera menghentikan kebiasaan suap-

menyuap, dari hal yang bersifat administratif sampai kasus money politics. Mendorong

segenap anggota masyarakat untuk segera melaporkan kepada aparat yang berwenang tentang

adanya indikasi penyalahgunaan wewenang/suap.

Melalui kebijakan kriminal dan pendekatan hukum suap juga dapat ditanggulangi

yaitu melalui pemerintah maupun anggota legislatif untuk segera merevisi undang-undang

anti suap yang mengedepankan asas pembuktian terbalik terhadap warga masyarakat yang

diduga melakukan tindakan pidana suap. Istilah menguatkan dalam pembuktian terbalik

dikembangkan menjadi alat bukti secara mandiri.

Setiap anggota masyarakat, baik secara individual maupun kelembagaan ormas dan

LSM, hendaknya melakukan pressure kepada para aparat penegak hukum / judikatif

(khususnya para jaksa dan polisi) untuk konsekwen dan memiliki keberanian dalam

menindak para pelaku tindak pidana suap.

Selain itu penangglangan masalah suap juga dapat dilakukan dengan memperluas

horizon tentang makna suap bahwa suap bukan hanya suap uang tetapi juga termasuk suap

waktu, kesetiaan, kasih sayang, informasi, martabat kemanusiaan, dan lain-lain. Mendorong

aparat birokrasi untuk senantiasa mengembangkan sistem pemerintahan yang trasnparan dan

responsif terhadap berbagai aspirasi masyarakat yang berkembang, serta selalu berupaya bagi

terwujudnya sistem birokrasi yang memiliki akuntabilitas yang tinggi. Seleksi kepegawaian

juga harus mempertimbangkan terlibat/tidaknya calon pegawai yang bersangkutan dalam

suap.

Kasus-kasus suap dari yang paling rendah hingga tindak pidana suap tingkat tinggi

agar diketahui oleh khalayak umum sekaligus membuat jera para pelaku suap. Selain itu perlu

juga untuk mendorong setiap proses sosial maupun politik yang dapat mewujudkan

Page 9: Suap Di Indonesia

terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat, sehingga dengan terwujudnya kesejahteraan

tersebut akan dapat mereduksi munculnya berbagai penyakit sosial semacam KKN maupun

tindak kriminalitas lainnya.

Pemerintah dan segenap anggota masyarakat untuk secara terus-menerus

meningkatkan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan melalui berbagai sarana

pengawasan yang sudah tersedia, di samping media informal lainnya. Memeperbaiki Sistem

Upah

Tentang sistem upah bagi karyawan/pekerja kita dapat belajar dari Cina. Di Cina

perbandingan sistem penggajian antara buruh paling rendah dengan majikan rata-rata 1:7.

Sedangkan di Indonesia bisa sampai 1:100 seperti yang terlihat dalam kasus BUMN maupun

perusahaan swasta. Demikian pula halnya tentang standar UMR (Upah Minimum Regional)

haruslah selalu disesuaikan dengan KHM (Kebutuhan Hidup Minimun) hingga meningkat ke

standar KHL (Kebutuhan Hidup Layak). Dalam kenyataan di lapangan, seringkali kenaikan

gaji pegawai/karyawan tidak sebanding dengan kenaikan harga BBM/barang kebutuhan

hidup sehari-hari.

Penting disadari oleh segenap komponen bangsa bahwa sistem birokrasi yang tidak

terbuka / transparan, membuat para investor asing menjadi enggan menanamkan modalnya

di Indonesia. Hal ini tentu berdampak pada semakin menyempitnya lapangan kerja yang

secara otomatis semakin memperbanyak jumlah pengangguran. Akumulasi pengangguran –

terdidik maupun yang tidak terdidik – akan berimplikasi pada semakin merebaknya

kemiskinan, kebodohan, rendahnya tingkat kesehatan rakyat dan semakin merajalelanya

angka kriminalitas di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, suap menjadi pangkal

segala maksiat di negeri ini, akibat lemahnya sistem birokrasi pemerintahan selama ini. Maka

proses de-birokratisasi menjadi sebuah keniscayaan.

Sebenarnya kebijakan otonomi daerah merupakan peluang emas bagi pemerintah,

khususnya di daerah, untuk memajukan wilayahnya masing-masing. Sistem birokrasi yang

sentralistik di masa Orde Baru ternyata hanya memperkaya para pejabat dan penguasa di

pusat saja. Sebagian besar kekayaan di daerah terserap ke pusat kekuasaan di Jakarta. Secara

evolutif dan sistematis daerah-daerah mengalami pemiskinan. Kini dengan adanya DPD

(Dewan Perwakilan Daerah), misalnya diharapkan pola dan sistem pengambilan keputusan –

baik di pusat maupun di daerah – menjadi lebih tepat sasaran. DPD berperan ganda, di satu

sisi sebagai artikulator dari daerah yang diwakili, di sisi lainnya menjadi pengontrol

Page 10: Suap Di Indonesia

kebijakan pemerintah pusat terhadap daerah. Upaya de-birokrasi juga akan berdampak pada

otonomisasi, pendelegasian wewenang, swastanisasi di segala bidang, Dengan demikian

semakin banyak partisipasi rakyat yang bisa ditumbuhkan dan digerakkan untuk memacu laju

pembangunan bangsa di masa yang akan datang. Namun penting pula disadari bahwa proses

debirokratisasi ini juga harus ditopang oleh komitmen paratur Negara untuk selalu

mewujudkan clean government, disamping telah tersedianya sistem hukum dan perundang-

undangan yang ketat sekaligus kontrol masyarakat secara terus menerus.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapa disimpulkan bahwa :

1. Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) aspek prilaku individu organisasi,

(2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada.

Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1)

motif, baik motif ekonomi maupun motif politik, (2) peluang, dan (3) lemahnya

pengawasan.

2. Berdasarkan beberapa catatan di atas, pada hakikatnya,banyak cara atau metode yang

dapat digunakan oleh pemerintah bersama masyarakat Indonesia untuk mengatasi

fenomena dan dampak korupsi di negeri ini. Kebijakan pidana dan upaya lain yang dapat

dilakukan untuk menanggulangi suap antara lain dekonstruksi Budaya yang melestarikan

Suap, Pendekatan Keagamaan dan Pendidikan, pendekatan Sosial-Budaya, penegakan

hukum,pendekatan politis, dan debirokrasi.

B. Saran

Tindakan suap sangatlah sulit dibuktikan dan terkadang sering lewat dari pengawasan,

maka dari itu lebih baik pengetauan tentang tindak kejahatan suap dapat dibangun sejak dini

agar membangun anak bangsa yang lebih baik dan negara yang lebih baik pula.