suap di indonesia
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah suap adalah salah satu masalah yang sudah sangat lama terjadi dalam
masyakat. Pada umumnya suap diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya. Orang yang
memberi suap biasanya memberikan suap agar keinginannya tercapai baik berupa keuntungan
tertentu ataupun agar terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum. Maka tidaklah
mengherankan yang paling banyak di suap adalah pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah
yang mempunyai peranan penting untuk memutuskan sesuatu umpamanya dalam pemberian
izin ataupun pemberian proyek pemerintah. Suap sering diberikan kepada para penegak
hukum umpamnya polisi, jaksa, hakim. Demikian juga kepada para pejabat bea cukai, pajak
dan pejabat-pejabat yang berhubungan denga pemberian izin baik beruap izin berusaha, izin
mendirikan bangunan dan lain-lain.
Suap juga ditemukan dalam penerimaan pegawai, promosi maupun mutasi, bahkan
saat ini suap disinyalir telah merambah ke dunia pendidikan baik dalam tahap peneriman
mahasiswa/siswi baru, kenaikan kelas, kelulusan bahkan untuk mendapatkan nilai tertentu
dalam ujian mata pelajaran atau mata kuliah. Untuk mendapatkan anggaran tertentu dari
pemerintah pun saat ini ditengarai diwarnai suap agar mendapatkan jumlah anggaran yang
diinginkan. Saat ini pejabat yang berwenang untuk mengeluarkan surat keterangan ataupun
identitas juga rawan denga suap umpamanya surat keterangan mengenai umur, status
perkawinan untuk calon TKI, pembuatan paspor, KTP, SIM dan lain-lain. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa suap sudah mewarnai hampir semua aspek kehidupan dan aktivitas
masyarakat. Masalah suap sudah menjadi masalah yang multi dimensional karena
menyangkut masalah sosial, moral, hukum, ekonomi bahkan masalah keamanan.
Suap (bribery) bermula dari asal kata briberie (Perancis) yang artinya adalah
’begging’ (mengemis) atau ’vagrancy’ (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba,
yang artinya ’a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang diberikan kepada
pengemis). Dalam perkembangannya bribe bermakna ’sedekah’ (alms), ’blackmail’, atau
’extortion’ (pemerasan) dalam kaitannya dengan ’gifts received or given in order to influence
corruptly’ (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk
memengaruhi secara jahat atau korup). Dengan demikian seseorang yang terlibat dalam
perbuatan suapmenyuap sebenarnya harus malu apabila menghayati makna dari kata suap
yang sangat tercela dan bahkan sangat merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi si
penerima suap.
Suap juga diindikasikan dapat menimbulkan bahaya terhadap keamanan umat
manusia (human security) karena telah merambah ke dunia pendidikan, kesehatan,
penyediaan sandang pangan rakyat, keagamaan, dan fungsi-fungsi pelayanan sosial lain.
Dalam kerangka penyuapan di dunia perdagangan, baik yang bersifat domestik maupun
transnasional, suap jelas-jelas telah merusak mental pejabat. Demi mengejar kekayaan, para
pejabat negara tidak segan-segan melanggar code of conduct sebagai aparatur negara.
Dengan demikian, tampak bahwa elemen tindak pidana suap sebagai bagian dari
korupsi tidak harus mengandung secara langsung unsur "merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara". Dalam suap-menyuap yang merupakan hal yang tercela adalah
penyalahgunaan kekuasaan, perilaku diskriminatif dengan memberikan privilese atas dasar
imbalan keuntungan finansial dan lain-lain, pelanggaran kepercayaan yang merupakan
elemen demokrasi, rusaknya mental pejabat, ketidakjujuran dalam berkompetisi, bahaya
terhadap human security, dan sebagainya.
Reformasi (reform movement) harus ditafsirkan sebagai upaya sistematik untuk
mengaktualisasikan nilai-nilai dasar (indexs) demokrasi. Menciptakan pemerintahan yang
bersih dan bebas KKN merupakan salah satu agenda reformasi di samping amandemen UUD
1945, promosi dan perlindungan HAM, penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur dan
adil, penguatan civil society, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan pers,
desentralisasi (otonomi daerah), supremasi sipil, dan lain-lainnya.
Bagi Indonesia yang sejak tahun 1998 berada di Era Reformasi, penanggulangan
korupsi yang sudah bersifat sistemik dan endemik, termasuk suap-menyuap (yang oleh
mantan Presiden Bank Dunia James Wolfensohn disebut sebagai "the cancer of developing
countries") merupakan salah satu agenda reformasi yang harus dituntaskan.
Pelbagai substansi hukum (legal substance) telah dibangun untuk memberantas KKN
dan menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN seperti Tap MPR No
XI/MPR/1998 dan UU No 28 Tahun 1999, UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 15 Tahun 2002 jo UU No 25 Tahun
2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan Indonesia telah meratifikasi UN
Convention Against Corruption 2003. Dalam konvensi ini ada empat hal yang menonjol,
yaitu penekanan pada unsur pencegahan, kriminalisasi yang lebih luas, kerja sama
internasional, dan pengaturan lembaga asset recovery untuk mengembalikan aset yang
dilarikan ke luar negeri.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan suap sudah menjadi budaya buruk
masyarakat yang membahayakan, sehingga perlu untuk dicegah. Berdasarkan hal tersebut,
maka perlu diketahui faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya suap.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan wacana di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi suap ?
2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana baik bersifat prefentif maupun represif dalam
menanggulangi praktik suap ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Suap
Suap terjadi sebagai ungkapan gejala venalitas yang makin merebak. Secara sosiologis,
istilah venalitas menunjuk pada suatu keadaan saat uang bisa digunakan membayar hal-hal
yang secara hakiki tidak bisa dibeli dengan uang. Keadilan bisa dipertukarkan dengan uang.
Begitu pula dengan pasal-pasal dalam kebijakan. Dalam uang, terdapat faktor ekonomi yang
bernama keuntungan.
Dalam jangka pendek, suap paling mudah dilakukan karena langkah itu akan memotong
serangkaian prosedur demokrasi yang rumit dan melelahkan serta hanya akan menghasilkan
"keadilan" yang tidak diinginkan. Elite politik dan ekonomi melihat suap sebagai langkah
potong kompas yang bisa dilakukan untuk menghindari dirinya menderita kerugian secara
ekonomis.
Suap berkaitan dengan mentalitas dan sistem. Suap terjadi akibat sebagian kecil elite
sejak semula sudah terdidik untuk melakukannya. Untuk menjadi anggota parlemen, sudah
menjadi rahasia umum berbagai jenis KKN dilakukan, dari yang skala kecil sampai besar.
Begitu pula untuk "menjadi pejabat". Makin lama, suap menjadi mentalitas bersama yang
berlindung dalam budaya "tahu sama tahu".
Terjadinya suap disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem pemerintahan dan
birokrasi yang memang kondusif untuk melakukan penyimpangan, (2) belum adanya sistem
kontrol dari masyarakat yang kuat, dan belum adanya perangkat peraturan dan perundang-
perundangan yang tegas.[1]
Apabila dilihat dari segi pelaku suap, sebab-sebab dia melakukan suap dapat berupa
dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau
kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong untuk melakukan suap antara
lain : (a) sifat tamak manusia, (b) moral yang kurang kuat menghadapi godaan, (b)
penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, (d) kebutuhan hiduop yang
mendesak, (e) gaya hidup konsumtif, (f) tidak mau bekerja keras, (g) ajaran-ajaraan agamaa
kurang diterapkan secara benar.
Dalam teori kebutuhan Maslow, demikian dikatakan Sulistyantoro bahwa, suap
seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah
dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang
bertahan hidup, namum saat ini suap dilakukan oleh orang kaya, pendidikan tinggi.[2]
Selanjutnya, poling yang dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW) berdasarkan
jawaban dari 9273 responden, hasilnya menunjukkan sekitar 30,2% suap terjadi karena aspek
individu demi kepentingan pribadinya. Pola-pola penyimpangan yang terjadi biasanya tidak
bekerja pada saat jam kantor (14,2%), pemakaian fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi
dan keluarganya (10%), dan (6)% adalah biaya pengurusan sesuatu yang berkaitan dengan
adminstarsi.[3]
Organisasi atau institusi dapat saja menjadi korban suap atau dimana suap terjadi
biasanya memberi andil terjadinya suap karena membuka peluang atau kesempatan untuk
terjadinya suap.[4] Bilamana organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi
seseorang untuk melakukan suap, maka suap tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab
terjadinya suap dari sudut pandang organisasi ini meliputi: (a) kurang adanya teladan dari
pimpinan, (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem akuntabilitas di instansi
pemerintah kurang memadai, (d) manajemen cenderung menutupi suap di dalam
organisasinya.
Tindakan suap mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-
undangan, yang dapat mencakup: (a) adanya peraturan perundang-undangan yang monolistik
yang hanya menguntungkan kerabat dan “konco-konco” presiden, (b) kualitas peraturan
perundang-undangan kurang memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sangsi yang
terlalu ringan, (e) penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, (f) lemahnya
bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan. Beberapa ide strategis untuk
menanggulangi kelemahan ini telah dibentuk oleh pemerintah diantaranya dengan mendorong
para pembuat undang-undang untuk melakukan evaluasi atas efektivitas suatu undang-
undang secara terencana sejak undang-undang tersebut dibuat.
Lembaga-lembaga ekskutif (Bupati/Walikota dan jajarannya) dalam melakukan praktek
suapnya tidak selalu berdiri sendiri, akan tetapi melalui suatu kosnpirasi dengan para
pengusaha atau dengan kelompok kepentingan lainnya misalnya, dalam hal penentuan tender
pembangunan yang terlebih dahulu pengusaha menanamkan saham kekuasaannya lewat
proses pembiayaan pengusaha dalam terpilihnya bupati/Walikota tersebut. Kemudian mereka
secara bersama-sama dengan DPRD, Bupati/Walikota membuat kebijakan yang koruptif
yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat yaitu para kolega, keluarga maupun
kelompoknya sendiri. Dengan kemampuan lobi kelompok kepentingan dan pengusaha kepada
pejabat publik yang berupa uang sogokan, hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian
yang mempunyai motif koruptif telah berhasil membawa pengusaha melancarkan aktifitas
usahanya yang berlawanan dengan kehendak masyarakat, sehingga masyarakat hanya
menikmati sisa-sisa ekonomi kaum borjuasi atau pemodal yang kapitalistik. Dari kasus ini
dapat disimpulkan bahwa terjadinya suap APBD sangat mungkin jika aspek peraturan
perundang-undangan sangat lemah atau hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Hal
senada juga dikemukakan oleh Basyaib, dkk (2002) yang menyatakan bahwa lemahnya
sistem peraturan perundang-undangan memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana
suap.
Pengawasan yang dilakukan instansi terkait (BPKP, Itwil, Irjen, Bawasda) kurang bisa
efektif karena beberapa faktor, diantaranya (a) adanya tumpang tindih pengawasan pada
berbagai instansi, (b) kurangnya profesionalisme pengawas, (c) kurang adanya koordinasi
antar pengawas (d) kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun pemerintahan oleh
pengawas sendiri. hal ini sering kali para pengawas tersebut terlibat dalam praktik suap.
belum lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal yang dilakukan masyarakat dan media juga
lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk pengawasan APBD yang sarat
dengan suap. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Baswir yang mengemukakan bahwa negara
kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan
lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya suap itu.[5]
B. Kebijakan Hukum Pidana dan Upaya Dalam Menanggulangi Praktik Suap
Beberapa langkah strategis (umum) yang dapat dilakukan sebagai pencegahan dan
perlawanan bagi tindak pidana suap, antara lain melalui dekonstruksi Budaya yang
melestarikan Suap. Dalam kaitan dengan marak dan suburnya praktek suap di Indonesia,
tidak terlepas dari kontribusi besar yang dianut oleh budaya masyarakatnya. Karena
masyarakat sudah menganggap apa yang dilakukan menjadi bagian dari budaya yang telah
dilakukan selama ini, akhirnya masyarakat bersikap permisif, dan bahkan dalam banyak hal
menganggap lumrah. Hal itulah yang kemudian terkadang melahirkan sikap pesismis
terhadap upaya-upaya pemberantasan suap. Untuk itu, harus dilakukan dekonsatruksi budaya
yang telah beranak-pinak dalam kehidupan masyarakat.
Memberantas budaya kultus dan paternalistik yang sudah berlangsung secara turun
temurun telah mendorong suburnya praktek suap. Budaya ini telah melahirkan sikap ewuh
pakewuh atau rikuh dalam upaya pemberantasan suap atau penyimpangan lainnya yang
dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki kedudukan terhormat di masyarakat.
Bahkan tidak jarang dijumpai, orang yang sudah “tercemari suap” pun masih dihormati dan
disanjung-sanjung.
Memberantas budaya hadiah yang diberikan kepada orang yang memiliki kewenangan
tertentu dalam kaitannya dengan urusan publik. Sebab dalam prakteknya, makna hadiah telah
mengalami reduksi dan penyimpangan dari konteks yang dimaksudkan oleh konsep hadiah
itu sendiri. Hadiah semacam inilah yang semakin menyuburkan praktek suap di Indonesia.
Memberantas budaya komunalisme dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam
konteks ketergantungan akan kehidupan kolektif yang kemudian melahirkan sikap toleransi
terhadap praktek-praktek suap, karena hal itu dipandang merupakan bagian dari kehidupan
komunalnya. Konteks komunalisme semacam ini yang menyimpang dan harus dikikis.
Budaya instan telah mendorong praktek penyimpangan dan suap, karena sesuatu ingin
diraih dengan serba singkat dan tidak mau bekerja keras. Etos kerja pun telah
dikesampingkan karena dipandang memperlama proses pencapaian terhadap sesuatu yang
diinginkan. Akibatnya aturan atau prosedur yang sudah menjadi ketentuan dengan mudah
dilanggarnya.
Mengikis budaya permisif, hedonis, dan materialis. Pola kehidupan seperti ini telah
menghilangkan idealisme dalam menegakkan nilai-nilai kebajikan. Akibatnya parameter
yang digunakan bersandar pada kenikmatan duniawi dan materi. Fenomena ini sudah menjadi
wabah endemic di masyarakat. Perlunya membangun budaya kritis dan akuntabilitas pada
masyarakat, sehingga tidak memberi ruang terhadap lahirnya praktek dan tindak pidana suap.
Orang akan berpikir panjang untuk melakukan suap karena munculnya kesadaran kritis
masyarakat terhadapnya dan sekaligus menuntut adanya akuntabilitas terhadap setiap
jabatan/kewenangan yang diembannya.
Pendekatan Keagamaan dan Pendidikan dalam menindak praktik suap juga perlu
dilakukan yakni dengan mendorong para tokoh dan lembaga agama mengeluarkan fatwa atau
opini umum terhadap para pelaku suap yang merugikan masyarakat.
Merumuskan dan mensosialisasikan pelajaran/mata kuliah civic education / tentang KKN
di berbagai lembaga pendidikan, sebagai upaya penyadaran bagi peserta didik atau
mahasiswa yang kelak dapat melahirkan warga Negara yang memiliki komitmen kejujuran,
keadilan dan kebenaran. Para akademisi perlu didorong untuk terus melakukan berbagai riset
(kualitatif maupun kuantitatif) tentang kasus KKN maupun yang terkait dengan budaya dan
sosiologi suap.
Melakukan reformasi silabi pendidikan keagamaan dari yang bercorak personal sosial
morality menuju sosial morality, yakni dengan melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan
secara lebih membumi khususnya yang terkait dengan isu KKN. Melakukan pendidikan dan
penyadaran bagi segenap warga masyarakat tentang bahaya KKN melalui lembaga pengajian
dan pengkajian agama maupun upacara keagamaan.
Suap juga dapat dicegah melalui pendekatan Sosial-Budaya yaitu dengan menciptakan
dan memasyarakatkan budaya malu di kalangan warga bangsa khususnya yang terkait dengan
kasus penyalahgunaan kekuasaan/suap. Masyarakat hendaknya mulai melakukan upaya
pengucilan bagi setiap anggota masyarakat yang terbuka melakukan suap yakni menolak
kehadiran para koruptor untuk tampil di berbagai forum resmi baik di masyarakat maupun
media massa, kecuali bagi mereka yang sudah bertobat dijalanNya. Pengucilan melalui
medium hukum adat atau budaya lokal juga sangat efektif untukk menimbulkan rasa jera bagi
koruptor.
Melakukan sosialisasi secara intensif tentang bahaya suap di tengah masyarakat melalu
media massa. Pencegahan suap juga dapat dilakukan dengan memberikan penghargaan
(award) secara tulus dan selektif bagi para tokoh yang layak untuk diteladani.
Menghimbau kepada segenap masyarakat untuk segera menghentikan kebiasaan suap-
menyuap, dari hal yang bersifat administratif sampai kasus money politics. Mendorong
segenap anggota masyarakat untuk segera melaporkan kepada aparat yang berwenang tentang
adanya indikasi penyalahgunaan wewenang/suap.
Melalui kebijakan kriminal dan pendekatan hukum suap juga dapat ditanggulangi
yaitu melalui pemerintah maupun anggota legislatif untuk segera merevisi undang-undang
anti suap yang mengedepankan asas pembuktian terbalik terhadap warga masyarakat yang
diduga melakukan tindakan pidana suap. Istilah menguatkan dalam pembuktian terbalik
dikembangkan menjadi alat bukti secara mandiri.
Setiap anggota masyarakat, baik secara individual maupun kelembagaan ormas dan
LSM, hendaknya melakukan pressure kepada para aparat penegak hukum / judikatif
(khususnya para jaksa dan polisi) untuk konsekwen dan memiliki keberanian dalam
menindak para pelaku tindak pidana suap.
Selain itu penangglangan masalah suap juga dapat dilakukan dengan memperluas
horizon tentang makna suap bahwa suap bukan hanya suap uang tetapi juga termasuk suap
waktu, kesetiaan, kasih sayang, informasi, martabat kemanusiaan, dan lain-lain. Mendorong
aparat birokrasi untuk senantiasa mengembangkan sistem pemerintahan yang trasnparan dan
responsif terhadap berbagai aspirasi masyarakat yang berkembang, serta selalu berupaya bagi
terwujudnya sistem birokrasi yang memiliki akuntabilitas yang tinggi. Seleksi kepegawaian
juga harus mempertimbangkan terlibat/tidaknya calon pegawai yang bersangkutan dalam
suap.
Kasus-kasus suap dari yang paling rendah hingga tindak pidana suap tingkat tinggi
agar diketahui oleh khalayak umum sekaligus membuat jera para pelaku suap. Selain itu perlu
juga untuk mendorong setiap proses sosial maupun politik yang dapat mewujudkan
terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat, sehingga dengan terwujudnya kesejahteraan
tersebut akan dapat mereduksi munculnya berbagai penyakit sosial semacam KKN maupun
tindak kriminalitas lainnya.
Pemerintah dan segenap anggota masyarakat untuk secara terus-menerus
meningkatkan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan melalui berbagai sarana
pengawasan yang sudah tersedia, di samping media informal lainnya. Memeperbaiki Sistem
Upah
Tentang sistem upah bagi karyawan/pekerja kita dapat belajar dari Cina. Di Cina
perbandingan sistem penggajian antara buruh paling rendah dengan majikan rata-rata 1:7.
Sedangkan di Indonesia bisa sampai 1:100 seperti yang terlihat dalam kasus BUMN maupun
perusahaan swasta. Demikian pula halnya tentang standar UMR (Upah Minimum Regional)
haruslah selalu disesuaikan dengan KHM (Kebutuhan Hidup Minimun) hingga meningkat ke
standar KHL (Kebutuhan Hidup Layak). Dalam kenyataan di lapangan, seringkali kenaikan
gaji pegawai/karyawan tidak sebanding dengan kenaikan harga BBM/barang kebutuhan
hidup sehari-hari.
Penting disadari oleh segenap komponen bangsa bahwa sistem birokrasi yang tidak
terbuka / transparan, membuat para investor asing menjadi enggan menanamkan modalnya
di Indonesia. Hal ini tentu berdampak pada semakin menyempitnya lapangan kerja yang
secara otomatis semakin memperbanyak jumlah pengangguran. Akumulasi pengangguran –
terdidik maupun yang tidak terdidik – akan berimplikasi pada semakin merebaknya
kemiskinan, kebodohan, rendahnya tingkat kesehatan rakyat dan semakin merajalelanya
angka kriminalitas di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, suap menjadi pangkal
segala maksiat di negeri ini, akibat lemahnya sistem birokrasi pemerintahan selama ini. Maka
proses de-birokratisasi menjadi sebuah keniscayaan.
Sebenarnya kebijakan otonomi daerah merupakan peluang emas bagi pemerintah,
khususnya di daerah, untuk memajukan wilayahnya masing-masing. Sistem birokrasi yang
sentralistik di masa Orde Baru ternyata hanya memperkaya para pejabat dan penguasa di
pusat saja. Sebagian besar kekayaan di daerah terserap ke pusat kekuasaan di Jakarta. Secara
evolutif dan sistematis daerah-daerah mengalami pemiskinan. Kini dengan adanya DPD
(Dewan Perwakilan Daerah), misalnya diharapkan pola dan sistem pengambilan keputusan –
baik di pusat maupun di daerah – menjadi lebih tepat sasaran. DPD berperan ganda, di satu
sisi sebagai artikulator dari daerah yang diwakili, di sisi lainnya menjadi pengontrol
kebijakan pemerintah pusat terhadap daerah. Upaya de-birokrasi juga akan berdampak pada
otonomisasi, pendelegasian wewenang, swastanisasi di segala bidang, Dengan demikian
semakin banyak partisipasi rakyat yang bisa ditumbuhkan dan digerakkan untuk memacu laju
pembangunan bangsa di masa yang akan datang. Namun penting pula disadari bahwa proses
debirokratisasi ini juga harus ditopang oleh komitmen paratur Negara untuk selalu
mewujudkan clean government, disamping telah tersedianya sistem hukum dan perundang-
undangan yang ketat sekaligus kontrol masyarakat secara terus menerus.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapa disimpulkan bahwa :
1. Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) aspek prilaku individu organisasi,
(2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada.
Sementara menurut Lutfhi (2002) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1)
motif, baik motif ekonomi maupun motif politik, (2) peluang, dan (3) lemahnya
pengawasan.
2. Berdasarkan beberapa catatan di atas, pada hakikatnya,banyak cara atau metode yang
dapat digunakan oleh pemerintah bersama masyarakat Indonesia untuk mengatasi
fenomena dan dampak korupsi di negeri ini. Kebijakan pidana dan upaya lain yang dapat
dilakukan untuk menanggulangi suap antara lain dekonstruksi Budaya yang melestarikan
Suap, Pendekatan Keagamaan dan Pendidikan, pendekatan Sosial-Budaya, penegakan
hukum,pendekatan politis, dan debirokrasi.
B. Saran
Tindakan suap sangatlah sulit dibuktikan dan terkadang sering lewat dari pengawasan,
maka dari itu lebih baik pengetauan tentang tindak kejahatan suap dapat dibangun sejak dini
agar membangun anak bangsa yang lebih baik dan negara yang lebih baik pula.