studi terapi ekstrak etanol akar seledri (apium …repository.ub.ac.id/424/1/tyas wahyuli .pdf ·...
TRANSCRIPT
STUDI TERAPI EKSTRAK ETANOL AKAR SELEDRI (Apium graveolens) TERHADAP EKSPRESI TGF-
PROTEIN JEJUNUM PADA TIKUS (Rattus norvegicus) MODEL INFLAMMATORY BOWEL DISEASE
HASIL INDUKSI INDOMETASIN
SKRIPSI
Oleh :
TYAS WAHYULI 105130107111001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2017
ii
STUDI TERAPI EKSTRAK ETANOL AKAR SELEDRI (Apium
graveolens) TERHADAP EKSPRESI TGF- PROTEIN JEJUNUM PADA TIKUS (Rattus norvegicus)
MODEL INFLAMMATORY BOWEL DISEASE HASIL INDUKSI INDOMETASIN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Oleh :
TYAS WAHYULI
105130107111001
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2017
iii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
STUDI TERAPI EKSTRAK ETANOL AKAR SELEDRI (Apium graveolens) TERHADAP EKSPRESI TGF-
PROTEIN JEJUNUM PADA TIKUS (Rattus norvegicus) MODEL INFLAMMATORY BOWEL DISEASE
HASIL INDUKSI INDOMETASIN
Oleh : TYAS WAHYULI 105130107111001
Setelah dipertahankan di depan Majelis Penguji Pada tanggal 06 Juni 2017
dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
LEMBAR PERNYATAAN
Pembimbing II
drh. Dyah Ayu Oktavianie A. P. , M. Biotech NIP. 19841026 200812 2 004
Pembimbing I
NIP. 19600903 198802 2 001
Mengetahui
Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya
NIP. 19600903 198802 2 001
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : TYAS WAHYULI NIM : 105130107111001 Program Studi : Pendidikan Dokter Hewan Penulis Skripsi berjudul :
STUDI TERAPI EKSTRAK ETANOL AKAR SELEDRI (Apium graveolens) TERHADAP EKSPRESI TGF-JEJUNUM PADA TIKUS (Rattus norvegicus) MODEL INFLAMMATORY BOWEL DISEASE HASIL INDUKSI INDOMETASIN
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Isi dari skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya saya sendiri dan tidak menjiplak karya orang lain, selain nama-nama yang termaktub di isi dan tertulis di daftar pustaka dalam skripsi ini.
2. Apabila dikemudian hari ternyata skripsi yang saya tulis terbukti hasil jiplakan, maka saya akan bersedia menanggung segala resiko yang akan saya terima.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.
Malang, 19 Mei 2017 Yang menyatakan, TYAS WAHYULI NIM. 105130107111001
v
STUDI TERAPI EKSTRAK ETANOL AKAR SELEDRI (Apium graveolens) TERHADAP EKSPRESI TGF-
PROTEIN JEJUNUM PADA TIKUS (Rattus norvegicus) MODEL INFLAMMATORY BOWEL DISEASE
HASIL INDUKSI INDOMETASIN
ABSTRAK
Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan suatu kondisi inflamasi pada saluran pencernaan. Indometasin yang termasuk dalam golongan obat NSAID menjadi salah satu penyebab munculnya penyakit IBD. Ekstrak etanol akar seledri mengandung flavonoid diosmin yang berpotensi sebagai alternatif terapi IBD. Penelitian ini bertujuan mengetahui kemampuan ekstrak etanol akar seledri dalam meningkatkan ekspresi TGF- dan mengamati perubahan profil protein pada jejunum tikus IBD hasil induksi indometasin. Penelitian ini menggunakan tikus (Rattus norvegicus) jantan strain Wistar berumur 8-12 minggu, berat 150-200 gram. Induksi indometasin diberikan dengan dosis 15 mg/ kgBB. Terdapat 4 kelompok perlakuan, yaitu kelompok sehat, kelompok IBD, kelompok IBD dengan terapi ekstrak etanol akar seledri 100 mg/kgBB dan 300 mg/kgBB selama 14 hari. Variabel yang diamati adalah ekspresi TGF-jejunum dengan metode imunohistokimia yang dianalisis dengan ANOVA (Analysis of Variance) dan Uji BNJ (Beda Nyata Jujur). Profil pita protein diamati dengan metode SDS PAGE yang dianalisis secara semikuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi ekstrak etanol akar seledri pada terapi IBD secara signifikan (p<0,05) meningkatkan ekspresi TGF-adalah dosis terbaik berdasarkan adanya peningkatan ekspresi TGF-111% dan tidak tersintesisnya protein 26 kDa yang diduga merupakan CRP. Protein 26 kDa hanya tersintesis pada tikus IBD sedangkan pada tikus sehat dan tikus terapi tidak ditemukan. Kesimpulan dari penelitian ini terapi ekstrak etanol akar seledri dapat digunakan sebagai alternatif terapi IBD.
Kata kunci : Inflammatory bowel disease (IBD), Indometasin, Ekstrak etanol akar seledri, TGF-
vi
STUDY OF ETHANOL EXTRACT THERAPY OF CELERY ROOT (Apium graveolens) TOWARD TGF- EXPRESSION AND PROTEIN
PROFILES OF JEJUNUM ON INFLAMMATORY BOWEL DISEASE RATS (Rattus norvegicus) INDUCED
BY INDOMETHACINE
ABSTRACT Inflammatory bowel disease (IBD) is an inflammatory condition that occurs in the digestive tract. Indomethacin belonging to the class NSAIDs is one of the causes of IBD. The ethanol extract of celery root containing diosmin to potentially as an alternative therapy for IBD rats. The aim of this research was to determine the potency ethanol extract of cellery roots increasing TGF-expression and the differences of protein profiles in jejunum on IBD rats. This research used male rats (Rattus norvegicus) with range of age 8-12 weeks and weight average of 150-200 gram which divided into 4 groups: healthy group, IBD group, and two therapy group with dose of 100 mg/kgBW and 300 mg/kgBW for 14 days. The TGF- immunohistochemistry technique. Profile protein observed by SDS PAGE technique were analysed by semi quantitatively. The results showed that ethanol extract of celery root significantly (p <0.05) increase TGF- . The best dose therapy is dose of 300 mg/ kg BW that increase in TGF- 111% and not synthesized protein of 26 kDa as CRP. In conclusions, the ethanol extract of celery root have probably used for an alternative therapy to IBD rats. Key word : Inflammatory bowel disease, Indomethacine, ethanol extract of celery root, TGF- , profile protein.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Studi Terapi Ekstrak Etanol Akar Seledri (Apium graveolens) Terhadap Ekspresi TGF-Profil Protein Jejunum Pada Tikus (Rattus norvegicus) Model Inflammatory Bowel Disease Hasil Induksi Indometasin. Penelitian ini merupakan bagian dari payung penelitian . Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah
mendorong dan membimbing penulis, baik ide, tenaga, maupun pemikiran. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. dan Drh. Dyah Ayu Oktavianie
A.P.,M. Biotech selaku dosen pembimbing atas waktu, motivasi, bimbingan, arahan yang diberikan dalam penulisan tugas akhir.
2. Drh. Fajar Shodiq Permata, M. Biotech dan Drh. Wawid Purwatiningsih, M. Vet dan Drh. Yudit Oktanella M. Si selaku dosen penguji atas kritik, saran, tanggapan maupun masukan yang diberikan.
3. Prof DES selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan yang senantiasa dan tak kenal lelah memajukan FKH UB.
4. Emmy Juliningrum, SE, MM selaku Kasubag Akademik dan Kemahasiswaan atas semangat, kritik dan saran yang diberikan.
5. Drh. Dodik Prasetyo M. Vet selaku Dosen Pembimbing Akademik atas semangat, kritik dan saran yang diberikan.
6. Keluarga Penulis, Ayahanda Wahyudi Bahagia (alm), Ibunda Susmiati, Adek Herlambang Yahya dan Irfan Januar atas doa, kasih sayang, serta pengorbanan baik moril maupun materiil yamg telah diberikan.
7. Seluruh staf dan asisten Laboratorium Biokimia Fakultas MIPA dan Laboratorium Fisiologi Hewan Universitas Brawijaya Pak Harmaji, Mas Elhaq, Mbak Vivi, Mbak Nita, Mas Hilman.
8. Sahabat-sahabat FKH 2010 B Anindya, Rima, Anne, Bea, Tari, Devi Ika, Alm. Haryadi yang telah memberikan dukungan dan informasi yang sangat bermanfaat dalam penulisan dan pelaksanaan penelitian ini.
9. Rekan dan sahabat satu kelompok penelitian Ahmad Istighfar, Amanda Vicky, Annisa, Randi, Nur Maulida dan Teguh.
10. Teman-teman kos Nawangan Atika, Enggar, Ayu, Septi, Fika dan Citra yang telah memberikan semangat dalam penulisan laporan skripsi ini.
11. Semua pihak yang telah berjasa kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
viii
Atas bantuan, bimbingan, kritik dan saran yang diberikan penulis ucapkan beribu terima kasih. Semoga segala bantuan yang tak ternilai harganya ini menjadi amal ibadah di sisi Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap kritik dan saran demi perbaikan selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT membalas degala kebaikan yang telah diberikan kepada semua pihak dan semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat serta menambah pengetahuan.
Malang, 27 April 2017
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN ..............................................................................iii
ABSTRAK .........................................................................................................iv
ABSTRACT .......................................................................................................v
KATA PENGANTAR .......................................................................................vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................xiv
DAFTAR ISTILAH DAN LAMBANG ...........................................................xv
BAB 1. PENDAHULUAN ...............................................................................1
1.1 Latar Belakang .................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................6
1.3 Batasan Masalah ..............................................................................6
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................7
1.5 Manfaat Penelitian ...........................................................................8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................9
2.1 Inflammatory Bowel Disease (IBD) ................................................9
2.2 Tikus Putih (Rattus norvegicus) .....................................................10
2.3 Transforming Growth Factor Beta (TGF- ) ..................................13
2.4 Tikus Model Inflammatory Bowel Disease.....................................14
2.5 Seledri (Apium graveolens) ............................................................16
2.6 Budidaya Seledri ............................................................................19
2.7 Pengaruh IBD terhadap Profil Protein ...........................................22
Halaman
x
BAB 3. KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS ......................................25
3.1 Kerangka Konseptual ......................................................................25
3.2 Hipotesis Penelitian .......................................................................27
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................29
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..........................................................29
4.2 Materi Penelitian..............................................................................29
4.2.1 Alat Penelitian .......................................................................29
4.2.2 Bahan Penelitian ...................................................................29
4.3 Sampel Penelitian ............................................................................30
4.4 Rancangan Penelitian ......................................................................31
4.5 Variabel Penelitian .........................................................................32
4.6 Tahapan Penelitian ..........................................................................32
4.6.1 Persiapan Hewan Percobaan .................................................32
4.6.2 Persiapan Hewan Model IBD dengan Indometasin ..............33
4.6.3 Persiapan Ekstrak Etanol Akar Seledri .................................33
4.6.4 Euthanasia dan Pengambilan Organ Jejunum ......................35
4.6.5 Pembuatan Preparat Imunohistokimia ..................................35
4.6.6 Elektroforesis SDS-PAGE ....................................................36
4.6.6.1 Isolasi Protein ...........................................................36
4.6.6.2 Persiapan Gel ............................................................36
4.6.6.3 Injeksi Sampel dan Running.....................................37
4.6.6.4 Perlakuan Setelah Running ......................................37
4.6.6.5 Penentuan Berat Molekul .........................................38
4.6.6.6 Analisis Data ............................................................38
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................39
5.1 Pengaruh Terapi Ekstrak Etanol Akar Seledri (Apium graveolens) Terhadap Ekspresi Transforming Growth Factor
xi
Beta (TGF- (Rattus norvegicus) Hasil Induksi Indometasin ...............................................................39
5.2 Pangaruh Terapi Ekstrak Etanol Akar Seledri (Apium graveolens)Terhadap Profil Protein Jejunum Tikus Putih (Rattus norvegicu) Hasil Induksi Indometasin ............................................45
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................54
6.1 Kesimpulan .....................................................................................54
6.2 Saran ..............................................................................................54
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................55
LAMPIRAN .......................................................................................................60
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Rancangan Kelompok Penelitian ................................................. 31 Tabel 5.1 Rata-rata Ekspresi TGF- jejunum Tikus perlakuan ..................... 41 Tabel 5.2 Perbedaan Berat Molekul (BM) Protein pada Jejunum ................ 46
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tikus putih (Rattus norvegicus) ............................................... 11 Gambar 2.2 Saluran Pencernaan pada Tikus.................................................. 13 Gambar 2.3 Mekanisme kerusakan usus akibat penghambatan COX-1 ........ 15 Gambar 2.4 Tanaman Seledri .... 17 Gambar 5.1 Ekspresi TGF- 40 Gambar 5.2 Profil Pita Protein jejunum 45
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Sertifikat Laik Etik ..........................................................................................60
2. Hasil Uji LCMS ..............................................................................................61
3. Determinasi Tanaman Seledri .........................................................................62
4. Skema Kerja Penelitian ...................................................................................63
5. Perhitungan Dosis, Sediaan dan Bahan Ekstrak ............................................64
6. Ekstraksi Akar Seledri Metode Maserasi ........................................................66
7. Diagram Kerja Penelitian ...............................................................................67
8. Metode Imunohistokimia ................................................................................70
9. Isolasi Protein ..................................................................................................71
10. Profil Protein dengan Teknik SDS-PAGE ...................................................76
11. Hasil Statistik Kadar TGF- ........................................................................78
12. Perhitungan Berat Molekul Hasil SDS-PAGE .............................................82
xv
DAFTAR ISTILAH DAN LAMBANG
Simbol/singkatan Keterangan
IBD Inflammatory Bowel Disease NSAID Non Steroidal Anti Inflammatory Disease ROS Reactive Oxygen Species MDA Malondialdehida HE Hematoxylin Eosin COX-1 Cyclooxygenase-1 COX-2 Cyclooxygenase-2 cm Centimeter mm Milimeter KU Kolitis ulseratif CD TNF- Tumor Necrosis Factor alpha TGF- Transforming Growth Factor beta INF- Interferon gamma IL-10 Interleukin-10 SDS-PAGE Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrilamide Gel Electroforesis
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inflamasi merupakan respon protektif di dalam tubuh yang ditimbulkan oleh
cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau
mengurung (sekuestrasi) baik agen penyebab maupun jaringan yang mengalami
kerusakan (Dorland, 2002). Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme,
trauma mekanis, zat-zat kimia dan pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon
inflamasi adalah menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami
cedera atau terinvasi agar dapat mengisolasi, menghancurkan atau menginaktifkan
agen yang masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk
proses penyembuhan (Corwin, 2008).
Salah satu penyakit dengan gejala inflamasi adalah IBD (Inflammatory
Bowel Disease), merupakan salah satu penyakit pada intestinal dan dikenal
dengan sebutan radang usus. Berdasarkan subtipe klinisnya IBD dibedakan
menjadi dua yaitu penyakit Crohn (PC) dan kolitis ulserativa (KU). PC
merupakan inflamasi yang terjadi pada bagian lapisan dinding usus dan bagian
saluran pencernaan meliputi mulut, esophagus, perut dan usus halus, sedangkan
KU hanya sebatas pada usus besar, rektum dan peradangan terjadi pada lapisan
usus (Korpacka et al., 2009). Kedua penyakit PC dan KU lebih lanjut
menyebabkan terjadinya kanker usus (Roessner et al., 2008). Kasus IBD yang
terjadi pada sejumlah 546 ekor anjing sangat rentan di Queen Mother Animal
Hospital Inggris (Katharani et al., 2011).
2
IBD khususnya organ jejunum sering disebabkan oleh bakteri patogen dan
efek samping penggunaan obat-obatan khususnya golongan NSAIDs (Non
Steroidal Anti Inflammatory Drugs) seperti indometasin. Indometasin umumnya
digunakan untuk terapi inflamasi seperti pada penyakit artritis (Takeuchi et al.,
2003). Indometasin mempunyai fungsi menghambat enzim siklooksigenase 1
(COX-1) yang berperan dalam pembentukan prostaglandin pada saluran cerna.
Penurunan prostalglandin menyebabkan sekresi mukus berkurang sehingga terjadi
penurunan perlindungan terhadap mukosa barier usus, yang mengakibatkan
mudahnya invasi bakteri patogen (Kaseret et al., 2010).
Pada tikus pemberian secara oral indometasin dengan dosis 15 mg/ kg BB
dapat menginduksi ulserasi mukosa, perdarahan dan edema pada usus
et al., 2012). Mekanisme kerja dari indometasin secara tidak
langsung akan mengaktifkan makrofag yang berpartisipasi dalam respon imun
mukosa, yaitu terjadi pelepasan ROS (Reactive Oxygen Species) dan
memproduksi sitokin proinflamasi seperti TNF- -1, Interferon- -8
(Waetzig et al., 2002; Abraham, 2009). Produksi ROS yang meningkat
menyebabkan kerusakan jejunum yang ditunjukan dengan kerusakan vili dan
mukosa jejunum serta ditandai dengan adanya edema, infiltrasi sel-sel inflamasi
seperti neutrofil, basofil dan eosinofil, selain itu juga terjadi perubahan protein
organ jejunum karena terjadi proses inflamasi (Scarpignato, 2006; Handoko,
2015).
Pada penyakit IBD, Transforming Growth Factor beta (TGF-
peranan yang penting. TGF-
3
jenis sel kekebalan, termasuk sel B, sel T, sel dendritik dan makrofag untuk
meregulasi proliferasi, diferensiasi dan kematian dari beberapa jenis sel
(apoptosis). TGF-
-
dari pertumbuhan sel dan diferensiasi dengan pengaturan proinflamasi dan
antiinflamasi. Efek utama TGF- encegah proliferasi dan aktivasi
limfosit serta leukosit lain (Baratawidjaja dan Renggganis, 2010). Sinyal-sinyal
dari TGF-
inaktifasi jalur sinyal TGF- ngan
langsung dengan proses inflamasi pada penyakit IBD (Karsono, 2009).
Pengobatan yang dipakai dalam terapi IBD saat ini adalah pengguanaan
preparat kortikosteroid seperti, Prednisone dan Hidrocortisone, juga anti inflamasi
seperti, Sulfasalazin dan Mesalamin, namun penggunaan obat-obatan yang berasal
dari bahan kimia dapat menimbulkan efek samping yang memperparah kondisi
inflamasi, sehingga diperlukan treatment anti inflamasi dari bahan alam (Morrow
dan Robert, 2001). Beberapa penelitian telah banyak memanfaatkan tanaman
herbal seperti curcuma, Rosemary (Rosmarinus officinalis), rumput laut coklat
(Sarsassum duplicatum Bory), daun kedondong (Lannea coromandelica) dan
perasan buah labu siam (Sechium edule) yang mengandung antioksidan polifenol
seperti flavonoid (Rahmah, 2011). Pemanfaatan tanaman sebagai obat herbal
dapat dipakai sebagai alternatif dalam pengobatan yang dinilai lebih aman dari
segi toksisitas dan efek samping (Awang, 2009).
4
Pemanfaatan produk herbal saat ini banyak diteliti khasiatnya untuk
penyembuhan penyakit baik di hewan maupun di manusia. Produk herbal adalah
bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan dan bahan mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran bahan-bahan tersebut (Dirjen POM, 1994). Produk herbal
dimanfaatkan sebagai obat karena adanya kandungan zat aktif di dalamnya, salah
satunya adalah flavonoid yang umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai
glikosida. Senyawa flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial
sebagai antioksidan (Widya, 2013).
Salah satu tumbuhan yang menarik untuk diteliti sebagai komponen aktif
antioksidan adalah seledri. Menurut Dalimartha (2000), berdasarkan hasil analisis
secara farmakologis ditemukan bahwa hampir semua bagian tumbuhan seledri
memiliki khasiat sebagai obat. Di Indonesia tanaman seledri (Apium graveolens
L.) sudah lama dikenal sebagai bahan obat tradisional yang dipercaya dapat
menurunkan tekanan darah. Penelitian tentang khasiat antihipertensi tanaman
seledri semakin berkembang dari herba kebagian tertentu tanaman ini seperti
batang dan daun, namun salah satu bagian tanaman yang berfungsi sebagai
penyokong berdirinya tanaman ini kerap dilupakan, sebelumnya akar seledri
hanya dijadikan limbah. Pada tahun 2010, menurut penelitian Siska menyatakan
bahwa akar seledri dapat dibuat menjadi ekstrak sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai penurun kadar kolesterol total darah pada tikus putih jantan dengan dosis
16 mg/ 200 g BB. Penelitian lain meyatakan, secara in vivo formula terbaik dari
ekstrak akar seledri dengan dosis 100, 200 dan 400 mg/ kg BB yang diberikan
setiap hari selama satu minggu memberikan efek yang cukup bermakna terhadap
5
kadar asam urat dan mempunyai khasiat antiinflamasi secara signifikan pada
tikus. Formula ini mempunyai konsentrasi dibawah nilai LC 50, dan nilai LD50
yang diperoleh adalah lebih dari 15 g/ kg BB, sehingga formula tersebut tidak
toksik (Iswantini, 2004). Hasil penelitian tersebut memperkuat dugaan bahwa akar
seledri memiliki kandungan kimia yang berkhasiat sebagai obat (Sunaryo dkk,
2006).
Pada tanaman seledri bagian buah dan biji tanaman seledri sering dipakai
sebagai pereda kejang (antispasmodik), menurunkan kadar asam urat darah,
antirematik, peluruh kencing (diuretik), peluruh kentut (karminatif), penenang
(sedatif) dan antihipertensi. Sedangkan akar seledri berkhasiat memacu enzim
pencernaan dan juga bersifat diuretik. Peningkatan enzim pencernaan membantu
penyerapan zat di dalam intestinal sehingga akan menurunkaan tekanan osmotik
intraluminal dan diperkirakan dapat membantu mempercepat penyembuhan
gangguan saluran pencernaan seperti pada penyakit Inflammatory Bowel Disease
(IBD). Menurut Pramono (2004), akar seledri mengandung flavonoid kadar
flavonoid 0,91 + 0,10 % dari 200 mg serbuk akar seledri. Menurut Stankevicius et
al., (2010) akar seledri juga mengandung sejumlah senyawa asam phenolik yang
berfungsi sebagai antioksidan. Kandungan antioksidan di dalam seledri dapat
menstabilkan radikal bebas yang merupakan senyawa asing yang masuk ke dalam
tubuh dan merusak sistem imunitas tubuh. Antioksidan ini bekerja dengan cara
melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas dan menghambat
terjadinya proses oksidasi berkelanjutan di dalam tubuh.
6
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek
ekstrak akar seledri (Apium graveolens L) dalam mengobati kondisi inflamasi
pada penyakit IBD pada tikus (Rattus norvegicus) pasca induksi indometasin
dengan cara mengamati ekspresi reseptor TGF- protein pada organ
jejunum.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini adalah
1) Apakah ada pengaruh terapi ekstrak akar seledri terhadap peningkatan
ekspresi Transforming Growth Factor (TGF-
pasca induksi indometasin?
2) Apakah ada pengaruh terapi ekstrak akar seledri terhadap perubahan
profil protein pada organ jejunum tikus pasca induksi indometasin
dibandingkan dengan jejunum tikus normal?
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penelitian ini
dibatasi pada :
1) Hewan coba yang digunakan yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) usia
8 12 minggu dengan berat 150-200 gram, diperoleh dari Unit
Pengembangan Hewan Percobaan (UPHP) UGM Yogyakarta.
Penggunaan hewan coba dalam penelitian ini telah mendapatkan
sertifikasi laik etik nomor 273-KEP-UB oleh Komisi Etik Penelitian
Universitas Brawijaya (KEP UB) (Lampiran 1).
7
2) Induksi IBD dilakukan dengan pemberian indometasin pada tikus
model IBD diberikan satu kali secara per oral (po) dengan dosis 15
mg/kgBB ( et al., 2012).
3) Bahan ekstrak etanol akar seledri yang digunakan adalah akar seledri
yang telah dikeringkan menjadi bentuk serbuk yang diperoleh dari
Balai Materia Medica Kota Batu, Jawa Timur (Lampiran 3) dan
dibuat dengan mengikuti tahapan pada metode maserasi (Lampiran
6).
4) Terapi ekstrak etanol akar seledri yang diberikan yaitu kelompok C
dengan dosis 100 mg/kgBB dan kelompok D dengan dosis 300
mg/kgBB selama 14 hari (Lampiran 5).
5) Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah ekspresi TGF-
dengan teknik imunohistokimia dan profil protein organ jejunum
dengan metode SDS PAGE.
1.4 Tujuan Penelitian
1) Mengetahui pengaruh terapi ekstrak akar seledri terhadap ekspresi
Transforming Growth Factor (TGF-
induksi indometasin dibandingkan dengan jejunum tikus normal.
2) Mengetahui pengaruh terapi ekstrak akar seledri terhadap profil
protein pada organ jejunum tikus pasca induksi indometasin
dibandingkan dengan jejunum tikus normal.
8
1.5 Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini dapat dibuktikan kemampuan ekstrak akar seledri
dalam menekan inflamasi pada GIT sehingga nantinya dapat obat herbal alternatif
yang dapat menangani masalah saluran pencernaan pada manusia dan hewan
seperti anjing.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Inflammatory Bowel Disease (IBD)
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah suatu kondisi inflamasi kronis di
saluran pencernaan, termasuk lambung, usus halus (duodenum, jejunum, ileum)
dan usus besar (kolon). Gejala umum dari IBD adalah nyeri abdominal, demam,
diare disertai darah dan lendir serta penurunan berat badan (Neuman, 2011). Ada
dua macam penyakit IBD, yaitu Kolitis Ulserativa (radang pada usus besar) dan
Penyakit Crohn (radang pada usus halus) (Xavier and Podolsky, 2007).
Secara umum penyakit IBD disebabkan oleh banyak faktor seperti
kerentanan genetik, kegagalan regulasi sistem imun, lingkungan, xenobiotik, virus
dan adanya rangsangan dari flora normal pada saluran pencernaan (Basivirredy et
al., 2002). Kasus IBD pertama kali ditemukan pada abad ke-20. Tingkat kejadian
IBD mencapai 4-10 per 100.000 orang per tahun di wilayah Skandinavia,
Amerika Serikat dan Inggris (Neuman, 2011).
Penyebab IBD belum diketahui dengan jelas, diperkirakan bahwa
patomekanisme IBD secara umum, diawali oleh adanya infeksi seperti bakteri dan
virus pada individu rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetis, defek imun dan
lingkungan sehingga terjadi proses inflamasi pada dinding usus (Kaser et al,
2010). Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa penyebab lain dari IBD
adalah pemakaian obat anti-inflamasi non steroid atau Nonsteroidal anti
inflammatory drugs (NSAIDs) yang dapat menghambat kerja enzim
siklooksigenase (COX) yang dihubungkan dengan patogenesis IBD (Dursun et al,
2009).
10
Dalam patogenesis IBD, tedapat dua mekanisme yang mungkin terjadi. Pada
patogenesis Penyakit Crohn (PC) yang difokuskan pada sel T helper 1 (Th1) yang
mengeluarkan sitokin seperti TNF- -
proses penyakit inflamasi. Sedangkan pada Kolitis Ulseratif (KU), yang berperan
adalah sel T helper 2 (Th2) yang akan mengeluarkan sitokin seperti IL-4, IL-13
dan TGF- 1 dan Th2 akan dilibatkan pada tiap fase,
kemungkinan terjadi bersamaan atau mungkin terpisah.
Respon imun dimulai ketika limfosit T sitotoksik (CD8+) atau sel helper T
CD4+ pada lumen usus mengenali antigen (Neuman, 2004). Pengaktifan sel T
helper akan menghasilkan sitokin. Sitokin ini akan berperan pada epitel usus
secara langsung akan mengaktifkan makrofag untuk melepaskan mediator
inflamasi dalam jumlah besar seperti Reactive Oxygen Spesies (ROS), Nitric
Oxide (NO) dan TNF alfa. (TNF- ), yang selanjutnya akan merekrut leukosit dan
menyebabkan inflamasi terus menerus, sehingga dapat merusak jaringan usus atau
nekrosis (Laroux et al., 2001).
2.2 Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Hewan model yang dipakai adalah tikus putih dengan nama ilmiah Rattus
norvegicus merupakan spesies tikus yang paling sering digunakan sebagai hewan
model pada penelitian mengenai mamalia. Menurut Hendrich (2006), secara garis
besar fungsi dan bentuk organ serta proses biokimia dan biofisika antara tikus dan
manusia memeiliki banyak kesamaan sehingga hasil penelitiannya dapat
diaplikasikan pada manusia.
11
Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus adalah memiliki rambut tubuh
berwarna putih, mata merah, berat tubuh antara 150 600 gram dengan panjang
18 25 cm, hidung tumpul, telinga relatif kecil dan tidak lebih dari 20 23 mm
dan panjang ekor 205 mm seperti pada gambar (2.2) (Depkes, 2011). Tikus yang
digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian memiliki klasifikasi sebagai
berikut (Armitage, 2004):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Klass : Mammalia
Ordo : Rodentia
Sub Ordo : Sciurognathi
Familia : Muridae
Sub Familia : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus strain Wistar
Gambar 2.1 Rattus norvegicus (Estina, 2011)
Hewan coba merupakan hewan yang sengaja dipelihara sebagai hewan
model untuk mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu
12
dalam skala penelitian atau pengamatan penelitian. Tikus putih (Rattus
norvegicus) umum digunakan sebagai hewan model IBD dikarenakan memiliki
saluran pencernaan yang sama dengan manusia yaitu bersifat monogastrik, kadar
asam amino dan sistem metabolismenya sehingga memudahkan dalam melakukan
penelitian (Miller et al., 2010).
Sebagai hewan laboratorium, ada beberapa keunggulan yang dimiliki yaitu
penanganan dan pemeliharaan yang mudah, kemampuan reproduksi yang tinggi,
masa kebuntingan singkat, sehat, bersih dan cocok untuk berbagai penelitan.
Rattus norvegicus merupakan hewan model yang paling sering digunakan dalam
penelitian yang berkaitan dengan pencernaan. Pemilihan hewan ini sebagai hewan
model didasari oleh beberapa pertimbangan yaitu tikus memiliki pola makan
omnivora seperti manusia (Malole et al., 1989), tikus memiliki saluran
pencernaan dengan tipe monogastrik seperti manusia (Hofstetter et al., 2005),
kebutuhan nutrisi tikus hampir menyerupai manusia (Wolfensohn et al., 1998),
dan struktur anatomi tikus yang tidak lazim dimana esofagus bermuara ke dalam
lambung membuat tikus tidak dapat muntah sehingga mempermudah proses
perlakuan pencekokan melalui sonde lambung (Hedrich, 2006). Saluran
pencernaan tikus dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Jejunum merupakan bagian kedua dari usus halus dengan panjang 2/5 dari
panjang usus secara keseluruhan yaitu sekitar 2-3 meter dan berkelok-kelok,
terletak di sebelah kiri atas intestinum minor. Dengan perantaraan lipatan
peritoneum yang berbentuk kipas (mesentrium) memungkinkan keluar masuknya
arteri dan vena mesentrika superior, pembuluh limfe, dan saraf ke ruang antara
13
lapisan peritoneum. Penampang jejunum lebih lebar, mempunyai dinding yang
lebih tebal dan banyak mengandung pembuluh darah. Jejunum berfungsi sebagai
tempat pemecahan karbohidrat, protein serta vitamin-vitamin yang larut didalam
lemak (Jonqueira et al., 2005; Samuelson, 2007).. Gangguan fungsi jejunum dapat
menyebabkan produk nutrisi tidak termetabolis secara sempurna, sehingga
penyerapan nutrisi pada ileum tidak sempurna, hal tersebut menyebabkan tubuh
tidak menerima nutrisi secara cukup dan terjadi malnutrisi.
Gambar 2.2 Saluran pencernaan pada tikus (Hofstetter et al, 2005)
2.3 Transforming Growth Factor Beta (TGF-
2.2.1. Definisi dan Klasifikasi TGF-
Transforming growth factor beta (TGF- adalah protein yang disekresikan
oleh semua jenis sel imun, seperti sel B, sel T, sel dendritik dan makrofag untuk
meregulasi proliferasi, diferensiasi dan kematian ber
Fungsi TGF- ga berperan sebagai
anti proliferasi. Hal ini dapat dilihat saat TGF-
regulasi imunitas yang sering disebut juga dengan negative feedback regulator.
14
TGF- growth/ differentiation
factors (Grande,1997). Berdasarkan kesamaan struktur dan biologis, superfamili
TGF- Mullerian Inhibitory
Subtance (MIS), famili the inhibin/ activin, famili the Bone Morphogenic Protein
(BMP) dan famili TGF-
TGF-
usus halus dihasilkan oleh sel epitel, fibroblas dan sel T, yang mempunyai
berbagai fungsi primer dalam memodulasi respon imun. Transforming growth
factor beta (TGF- ses biologis
dasar seperti diferensiasi sel, proliferasi pertumbuhan sel, perkembangan,
perbaikan jaringan, aktivasi sistem kekebalan sel, fibrosis, angiogenesis dan
apoptosis. Selain itu TGF- kan sitokin yang berperan penting dalam
meregulasi salah satu fungsi utama faktor proteksi dan homeostasis usus. Dalam
proses ini, reaktivitas imun terhadap antigen yang masuk melalui mulut secara
selektif ditekan, terutama melalui efek TGF- dowstream (Claudio,
2001).
2.4 Tikus (Rattus norvegicus) Model Inflammatory Bowel Disease (IBD)
Salah satu penyebab inflamasi pada saluran pencernaan atau gastrointestinal
tract (GIT) adalah efek samping penggunaan obat golongan NSAID seperti
indometasin (Podolsky, 2002). Indometasin merupakan obat yang banyak
digunakan untuk pengobatan rheumatoid arthritis dan sangat efektif dalam
menekan kejadian inflamasi dengan menghambat produksi prostaglandin namun
15
efek samping penggunaan obat ini adalah mampu menyebabkan IBD (Kazuhide et
al., 2009).
Efek terhadap saluran pencernaan meliputi nyeri abdomen, diare dan
perdarahan saluran pencernaan. Nyeri kepala dialami oleh 20-25 % penderita dan
disertai dengan pusing, bingung dan depresi. Dosis indometasin yang normal
untuk pengobatan yaitu 2-4 kali 25 mg sehari. Untuk mengurangi gejala reumatik
dimalam hari diberikan indometasin dosis 50-100 mg sebelum tidur (Wilmana and
Gan S., 2007).
Gambar 2.3 Mekanisme kerusakan usus akibat penghambatan COX-1 oleh indometasin
(Takeuchi et al., 2003)
Pemberian indometasin terhadap terapi maupun hewan coba dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan usus yang ditunjukkan oleh Gambar 2.3.
Indometasin yang masuk ke dalam tubuh akan bekerja dengan cara menghalangi
aktivitas enzim COX-1 dan COX-2, sehingga terjadi penurunan kadar
protaglandin (PGE-2) yang merupakan faktor protektif usus berupa produksi
mukus terhambat dan peningkatan motilitas usus. Hal ini menyebabkan masuknya
bakteri ke dalam jaringan usus sehingga terjadi aktivitas makrofag, aktivasi
16
neutrofil, induksi Inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS), produksi Nitric Oxide
(NO·), pembentukan peroksidasi nitrit (RNS) dan pembentukan Reactive Oxygen
Spesies (ROS) yang selanjutnya terjadi kerusakan usus (Gommeaux et al., 2007).
Peningkatan produksi ROS yang berlebihan di dalam sel menyebabkan aktivasi
NF-kB dan fosforilasi inhibitor NF-kB (IkB) oleh sistem proteosome sehingga
terjadi degradasi. Karena tidak ada inhibitor bagi NF-kB, maka NF-kB akan
berpindah menuju nukleus dan mengekspresikan sitokin proinflamasi seperti
TNF- -
yang menyebabkan terjadi inflamasi akan menyebabkan penurunan jumlah sitokin
TGF- -
di dalam sel menyebabkan penurunan produksi imunoglobulin A pada permukaan
mukosa dan kelenjar sekretorik usus sehingga memudahkan invasi bakteri
patogen, toksin bakterial dan antigen asing ke dalam sel epitel usus sehingga
memperparah terjadinya proses inflamasi saluran cerna yang dapat dihubungkan
dengan kasus IBD (Burstein and Fearon, 2008).
2.5 Seledri (Apium graveolens)
Tanaman seledri merupakan tanaman yang tumbuh pada daerah dengan
ketinggian dua kaki. Daunnya majemuk (segmented) dengan tepi bergerigi, anak
daun melebar, pangkal berbentuk segitiga terbalik (pasak), hijau mengkilat,
memiliki batang agak keras dan bergalur, mempunyai biji yang berbau khas
dengan rasa agak pahit (Barnes, 2005). Bunga seledri berbentuk kecil dan
berwarna putih kekuningan yang nantinya berkembang menjadi buah dengan biji
yang halus serta mempunyai akar tebal, berumbi kecil. Seledri tumbuh subur pada
17
kondisi tanah yang lembab dengan sifat asam. Pascal menerapkan nama umum ke
beberapa seledri hijau. Di Eropa, seledri merupakan istilah yang sering digunakan
pada sayuran akar, Apium graveolens L. varitas Rapaceum (Marderosian, 2004).
Menurut Badan POM RI (2012), tanaman seledri mempunyai kandungan
kimia minyak atsiri, flavonoid, saponin, tanin 1%, sedanolida, asam sedanot,
manitol, kalsium, fosfor, besi, protein, glisidol, vitamin A, B1, B2, C dan K. Jenis-
jenis dari minyak atsiri yaitu limonen, p- -terpin - -pinen
-kariofilen. Macam-macam flavonoid dalam seledri, yaitu apiin, apigenin,
isokuersitrin. Kumarin, yaitu asparagin, bergapten, isopimpinelin, apiumetin,
santotoksin.
Gambar 2.4 Tanaman Seledri (Haryoto, 2009)
Menurut Marderosian (2004) klasifikasi tanaman seledri (Apium
graveolens) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Dicotyledonae
18
Bangsa : Apiales
Suku : Apiaceae
Genus : Apium
Spesies : Apium graveolens, Linn.
Menurut Pramono (2004) dikatakan bahwa terdapat kandungan flavonoid
dengan kadar sebanyak 0.91 + 0.10 % didalam 200 mg dari sediaan serbuk akar
seledri yang dibuat ekstrak. Menurut Stankevicius et al., (2010) akar seledri
(Apium graveolens ) mengandung flavonoid sebanyak <60 mg/100 g. Selain itu,
akar seledri (Apium graveolens ) juga mengandung sejumlah senyawa phenolik
seperti 9,3 mg/100g Chlorogenic acid; 25,1 mg/100g 4-hydroxy-3-
methoxycinnamic acid; 8,2 mg/100g quercetin -3- -D-glucoside; dan 25,1
mg/100g quercetin-3-rhamnoside. Flavonoid dan senyawa phenolik memiliki
potensi sebagai antiinflamasi. Untuk memanfaatkan tanaman sebagai obat herbal
dapat dilakukan salah satunya dengan cara membuat ekstrak dari bagian tanaman
yang digunakan (Pramono, 2004).
Menurut Skibola and Smith (2000), kandungan kimia golongan flavonoid
juga telah dibuktikan memiliki efek antiinflamasi misalnya apiin dan apigenin
yang terkandung di dalam seledri. Inflamasi merupakan respon protektif terhadap
kerusakan jaringan akibat berbagai rangsangan yang merugikan, baik rangsangan
989). Salah satu bagian tubuh yang sering
terjadi proses inflamasi adalah pada saluran cerna, hal ini bisa disebabkan karena
trauma fisik, bakteri patogen dan bahan kimia yang masuk dalam saluran
pencernaan. Inflamasi karena bahan kimia merupakan efek samping dari
19
penggunaan obat-obatan tertentu misalnya non steroid (NSAIDs) pada pengobatan
rheumatoid atritis atau gout (Park et all., 2011).
Di dalam flavonoid juga memiliki efek antioksidan yang dapat mendukukng
efek antiinflamasi seperti polifenol (Ishige et al., 2001). Mekanisme antioksidatif
flavonoid inilah dilaporkan melalui aktivitasnya sebagai penagkap radikal bebas
yang merupakan suatu senyawa asing yang masuk ke dalam tubuh, merusak
sistem imunitas dan penyebab inflamasi. Proses antioksidan menstabilkan radikal
bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan
menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas (Selawa,
2013).
2.6 Budidaya Seledri
Seledri (Apium graveolens L.) adalah tanaman sayuran yang berasal dari
Mediterania sekitar Laut Tengah. Tanaman ini kemudian menyebar ke berbagai
wilayah, diantaranya di Dataran Cina, Asia Tengah, India, Mediterania, Etiopia,
Amerika Serikat, serta Meksiko Selatan dan tengah. Di Indonesia, seledri masih
belum menjadi komoditi utama para petani sehingga sulit untuk menentukan
sentra dan tanam, luas panen dan besarnya produksi nasional.
Untuk dapat tumbuh dengan baik, seledri harus ditanam di daerah subtropis
dengan ketinggian 1.000-1.200 m dpl, suhu udara 15o-24o C, kelembaban
berkisar antara 80-90%, Curah hujan berkisar antara 60-100 mm/bulan, dan lahan
harus mendapat penyinaran matahari yang cukup. Lahan yang ideal untuk
tanaman seledri adalah tanah yang gembur, subur, mengandung bahan organik,
serta tata udara dan air yang baik.
20
Tanah yang paling baik untuk budidaya seledri adalah tanah jenis Andosol,
karena mengandung unsur-unsur yang mendukung pertumbuhan tanaman seledri,
seperti: pH tanah antara 5,5-6,5, mengandung cukup natrium, boron, dan kalsium.
Karena jika kekurangan ketiga unsur tersebut, maka pertumbuhan tanaman seledri
akan kerdil, kuncup dan pucuk mengering, dan batang serta tangkai daun retak-
retak.
Menurut Susila (2006), budidaya tanaman seledri tidak terdapat persyaratan-
persyaratan khusus yang dibutuhkan oleh tanaman ini untuk dapat tumbuh dengan
baik. Namun, karena secara teknis budidaya seledri hampir mirip dengan tanaman
sayuran yang lain, maka juga tidak dapat dikatakan sulit. Berikut teknik dan cara
menanam seledri yang baik:
2.6.1. Pembibitan
Perkembangbiakan seledri dapat dilakukan secara generatif lewat bijinya
maupun vegetatif yakni dengan anakannya. Namun, memperbanyak seledri
dengan menggunakan biji lebih sering dilakukan untuk tujuan komersial. Biji
yang dijadikan benih berasal dari varietas unggul yang memiliki kemampuan atau
daya berkecambah >90%. Proses pembenihan diawali dengan merendam benih ke
dalam air hangat bersuhu 55-60°C selama 15 menit, selanjutnya disemai di
bedengan yang telah diolah dengan puput kandang yang berukuran lebar 100-120
cm, tinggi 30-40 cm dan panjang sesuai kondisi lahan. Bedengan dinaungi plastik
bening setinggi 120-150 cm di sisi timur dan 80-100 cm di sisi barat. Kemudian
bibit disemai diatas bedengan sedalam 0,5 cm dengan jarak antar alur 10-20 cm,
lalu ditutup dengan tanah tipis dan bedengan disiram sampai seluruh permukaanya
21
lembab. Selanjutnya benih yang sudah disemai dilakukan semprot pupuk pada
hari ke 15-25. Setelah benih berumur satu bulan atau lebih memiliki 3-4 helai
daun, bibit dipindahkan ke media tanam.
2.6.2. Pengolahan Media Tanam
Pengolahan media tanam dilakukan dengan mencangkul lahan sedalam 30-
40 cm, dibiarkan selama 15 hari. Tanah diolah dengan mencampur kapur kalsit
atau dolomite jika pH tanah kurang dari 6.5. Dosisnya sebanyak 1-2 ton kapur
untuk setiap hektar lahan, tergantung dari besarnya pH tanah serta kandungan
Alumunium di dalam tanah. Di atas tanah yang telah diolah tersebut kemudian
dibuat bedengan dengan lebar 80-100 cm, tinggi 30 cm, dan panjang sesuai
dengan kondisi lahan, sementara jarak antar bedengan antara 30-40 cm. Kemudian
dicampur pupuk kandang dengan tanah bedengan sebanyak 10-20 ton pupuk
kandang untuk setiap 1 hektar lahan, selanjutnya dibuat parit di antara bedengan
yang satu dengan yang lain.
2.6.3. Teknik Penanaman
Penanaman seledri dapat dilakukan dengan cara tumpangsari, namun untuk
tujuan komersil seledri ditanam sebagai tanaman tunggal atau monokultur dengan
cara menanam satu bibit seledri yang sudah siap pada setiap lubang pada media
tanam kemudian bedengan disiram dengan air bersih hingga lembab dan
permukaan bedengan ditutup dengan jerami padi kerinng setebal 3-5 cm.
2.6.4. Pemeliharaan Tanaman
Selama masa pemeliharaan, lakukan penyulaman saat tanaman berumur 7-
15 hari. Ganti bibit yang mati dan ganti dengan bibit tanaman yang baru. Untuk
22
penyiangan, dilakukan bersamaan dengan penggemburan dan pemupukan yakni
pada saat umur tanaman 2 dan 4 minggu. Agar unsur hara dalam lapisan tanah
senantiasa tercukupi. Selama proses pemeliharaan tanaman, pengairan atau
penyiraman dilakukan 1-2 kali sehari pada awal tanam. Selanjutnya pengairan
dikurangi menjadi 2-3 kali seminggu, tergantung dari kondisi cuaca. Tapi yang
pasti jangan sampai kondisi tanah kering, serta jangan sampai ada air yang
tergenang atau becek.
2.6.5. Panen dan Pasca Panen
Masa panen tanaman seledri terhitung cepat,yakni 1-3 bulan setelah
ditanam, tergantung dari jenis varietasnya. Untuk varietas Tall-Utah misalnya,
sudah dapat dipanen pada umur 3 minggu setelah tanam dan Kintsai pada umur
50. Tanaman seledri dapat dipanen ketika pertumbuhannya telah maksimal
dengan ditandai banyaknya daun, mencapai ketinggian tertentu. Cara
memanennya dilakukan dengan mencabut seluruh tanaman.
2.7 Pengaruh IBD terhadap Profil Protein
Elektroforesis adalah sebuah metode untuk separasi atau pemisahan sebuah
molekul besar (seperti protein, fragmen, DNA, RNA) dari campuran molekul
yang serupa. Elektroforesis digunakan untuk memisahkan komponen atau
molekul bermuatan berdasarkan perbedaan tingkat migrasinya dalam sebuah
medan listrik. Sebuah arus listrik dilewatkan melalui medium yang mengandung
sampel yang akan dipisahkan. Elektroforesis sering dipakai dalam penelitian
mengenai adanya protein yang terekspresi di dalam sel, jaringan tumbuhan, hewan
ataupun manusia baik keadaan normal maupun tidak normal (Yuwono, 2008).
23
Menurut Manatsathit et al. (2002), pada kasus terjadinya suatu penyakit
seperti IBD yang disebabkan oleh pemberian obat-obatan NSAIDs seperti
indometasin dengan dosis 15 gram/kg BB dapat menyebabkan kerusakan vili dan
mukosa di usus. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau
bersifat non infeksi seperti (Lanas dan Scarpignato, 2006). Dalam sistem imunitas
mukosa usus pada kasus IBD juga diekspresikan beberapa protein-protein yang
berperan dalam membantu penghambatan NF-
transkripsi yang mengatur ekspresi sel-sel sitokin proinflamatori seperti TNF-
sehingga menginisiasi terjadinya inflamasi usus. Protein tersebut akan berbeda
ketika dalam kondisi normal yang kemudian diperlukan analisa protein (Petrof et
al., 2004).
Tujuan analisa protein dengan metode elektroforesis yaitu untuk
memisahkan protein berdasarkan berat molekul dengan menggunakan matriks
penyangga akrilamid. Selain itu, dengan elektroforesis akan diketahui jenis
protein dalam bahan atau sampel yang akan dianalisis. Elektroforesis dalam skala
besar memungkinkan digunakan sebagi metode pemisahan untuk menentukan
komponen dari protein (Wibowo, 2010)
Salah satu metode elektroforesis adalah SDS-PAGE (sodium deodecyl
sulphate poly-acrilamid gel), yaitu metode yang umumnya digunakan untuk
analisa campuran protein secara kualitatif. SDS merupakan detergen anionik,
yang apabila dilarutkan molekulnya memiliki muatan negatif dalam pH yang luas.
Fungsi utama SDS pada metode SDS-PAGE yaitu memberikan muatan negatif
pada protein yang akan dianalisis, selain itu SDS dapat mendenaturasi protein,
24
mempermudah menyamakan kondisi dan menyederhanakan protein (bentuk,
ukuran dan muatan). Muatan negatif SDS akan menghancurkan sebagian struktur
kompleks protein dan secara kuat tertarik ke arah anoda bila ditempatkan pada
suatu medan listrik (Anam, 2009). Fungsi akrilamid pada metode SDS-PAGE
yaitu untuk mencegah difusi akibat timbulnya pana pada arus listrik. Selain itu gel
akrilamid sering dimanfaatkan untuk memisahkan molekul protein yang kecil.
Konsentrasi akrilamid total dalam gel dapat mempengaruhi migrasi protein. Pada
proses pembuatan gel, akrilamid akan berpolimerisasi secara spontan bila tidak
ada oksigen (Prihanto, 2011).
25
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Keterangan : : pengaruh induksi indometasin : pengaruh terapi ekstrak akar seledri : parameter yang diamati : induksi indometasin : pemberian terapi
: menghambat karena ekstrak akar seledri
Tikus (Rattus norvegicus)
Produksi ROS
Aktivasi NF-kB dan Fosforilasi inhibitor NF-kB
Ekspresi sitokin pro-inflamasi (TNF )
Perubahan Profil Protein
Kerusakan jaringan jejunum
Ekstrak akar seledri (bioaktif Diosmin)
Indometasin
Inflamasi
26
Jejunum yang terpapar indometasin dalam sekali induksi dengan dosis
15mg/ kgBB pada tikus Rattus norvegicus yang diinduksi secara oral dapat
menyebabkan inflamasi. Indometasin merupakan NSAID yang mengakibatkan
produksi ROS yang berlebih dalam sel. Oksigen reaktif yang terlepas
menyebabkan ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan endogen
sehingga menimbulkan stres oksidatif. Produksi ROS yang berlebihan dalam sel
menyebabkan aktivasi NF-kB dan fosforilasi inhibitor NF-kB. Kemudian NF-kB
berpindah menuju nukleus dan mengekspresikan sitokin pro-inflamasi seperti
TNF-
TNF- dapat mengaktifkan limfosit T. Limfosit T dibagi
menjadi Th1 dan Th2. Pada IBD, terjadi peningkatan aktivasi Th1 dan penurunan
Th2. Sel Th1 akan memproduksi sitokin-sitokin proinflamasi seperti TNF- -1,
IL-12, IFN- eningkatkan respon inflamasi. Th2 mensekresikan
sitokin antiinflamasi yaitu TGF- -sel imun
mencakup deaktivasi dalam produksi makrofag serta menghambat proliferasi Th1.
Sehingga secara tidak langsung peningkatan TNF- juga berhubungan dengan
adanya penurunan sitokin regulator seperti TGF- yang mengkontrol jumlah
TNF- .
Pada saluran cerna seperti pada jejunum, TGF- berperan dalam akumulasi
matriks ekstraseluler, proliferasi dan migrasi fibroblas pada usus, sehingga apabila
ekspresi sitokin ini turun akan terjadi inflamasi dan meningkatkan aktivasi
neutrofil, penurunan proteksi usus serta pelepasan enzim protease yang
menyebabkan kerusakan jaringan jejunum. Adanya proses inflamasi ini juga
27
menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan dan juga terjadi perubahan pada
profil protein pada organ jejunum dengan tersintesisnya protein marker penanda
inflamasi.
Ekstrak akar seledri memiliki potensi digunakan sebagai terapi IBD karena
mengandung flavonoid yang merupakan senyawa antioksidan berperan dalam
menurunkan stres oksidatif. Penurunan stres oksidatif menyebabkan ROS ikut
menurun yang mengakibatkan NF-kB dan fosforilasi inhibitor NF-kB (IkB)
mengalami deaktivasi, sehingga terjadi penurunan ekspresi sitokin TNF-
akan diimbangi dengan peningkatan serta kestabilan TGF- aktor
keseimbangan toleransi mukosa, peningkatan perbaikan dan intregritas jaringan
jejunum. Adanya peningkatan sitokin antiinflamasi TGF- akan menghambat
regulasi sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti TNF- -
aktivitas neutrofil sehingga kerusakan jaringan dapat dihambat. Selain itu, TGF-
yang meningkat memicu integrin dalam mengontrol reaksi perbaikan jaringan
melalui produksi kolagen, matriks ekstraseluler dan fibroblas sehingga
mengurangi inflamasi pada organ jejunum.
3.2 Hipotesa Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka hipotesis yang dapat
diajukan adalah
1. Ada peningkatan produksi sitokin antiinflamasi TGF-
tikus (Rattus norvegicus) model IBD hasil induksi indometasin pasca
pemberian terapi ekstrak etanol akar seledri (Apium graveolens).
28
2. Ada perubahan profil protein antara jejunum tikus (Rattus norvegicus)
model IBD hasil induksi indometasin dan pasca pemberian terapi
ekstrak etanol akar seledri (Apium graveolens).
29
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai Juni 2015 di
Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Brawijaya, Malang.
4.2 Materi Penelitian
4.2.1 Alat Penelitian
Alat yang dipakai dalam penelitian ini yaitu bak pemeliharaan hewan coba,
tempat pakan dan minum hewan coba, seperangkat alat bedah (gunting tajam tumpul,
gunting tajam tajam, scalpel dan pinset), papan bedah, cawan petri, beaker glass, tabung
reaksi, labu takar (10 mL, 100 mL, 500 mL, 1000 mL), pipet tetes, mikro pipet (200 µL
dan 1000 µL), pH meter digital, stirrer, microtube, spuit, aluminium foil, sentrifugasi,
plastik organ, mortar, freezer -20oC, kulkas, waterbath, Spektofotometri Uv-Vis,
mikroskop cahaya, blue tip, yellow tip, spuit, autoclave, sarung tangan, vortex, pisau
dan timbangan digital.
4.2.2 Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang dipakai dalam penelitian ini antara lain ekstrak etanol akar
seledri yang dibagi menjadi dua sediaan yaitu sediaan dengan konsentrasi 1000 mg/100
mL dan 3000 mg/100 mL, tikus (Rattus norvegicus) jantan strain Wistar berumur 8-12
minggu, indometasin dengan dosis 15 mg/ kg BB tikus, minyak jagung, air, aquades,
30
larutan PBS-Azida, larutan PFA 4%, larutan NaCl fisiologis 0,9%, KCl, Formaldehyde,
HCl 1 N, parafin, xylol, Na2HPO4, Tris-HCl, etanol, PBS-Tween, PSMF, Lower Gel
Buffer (GLB), T-Acryl, gliserol, SDS, Ammonium Persulphate (APS), TEMED, Upper
Gel Buffer (UGB), marker pasir kuarsa dan alkohol.
4.3 Sampel Penelitian
Sampel penelitian yang digunakan adalah hewan coba berupa tikus (Rattus
norvegicus) jantan strain Wistar berumur 8-12 minggu dengan berat badan tikus antara
150-200 gram (Kusriningrum, 2008). Hewan coba diaklimatisasi selama tujuh hari
untuk menyesuaikan dengan kondisi di laboratorium. Estimasi besar sampel dihitung
berdasarkan rumus:
t (n-1)
4 (n-1)
4n 4
4n
n
n
n
Berdasarkan perhitungan di atas, maka diperoleh 4 perlakuan kelompok dengan 5 kali
ulangan dalam setiap kelompok. Total tikus yang dibutuhkan adalah 20 ekor.
Keterangan:
t = jumlah kelompok perlakuan
n = jumlah ulangan yang diperlukan
31
4.4 Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Hewan coba dibagi menjadi empat kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol
negatif, kelompok kontrol positif, kelompok yang diinduksi indometasin dan diberi
terapi ekstrak etanol akar seledri dengan dosis 100 mg/ kg BB, kelompok yang
diinduksi indometasin dan diberi terapi ekstrak etanol akar seledri dengan dosis 300 mg/
kg BB. Kelompok kontrol negatif merupakan tikus tanpa perlakuan, sedangkan kontrol
positif merupakan tikus yang telah dipapar indometasin. Masing masing kelompok
perlakuan terdiri dari lima ekor tikus sebagai ulangan. Rancangan kelompok penelitian
ditunjukkan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Rancangan kelompok penelitian
Kelompok Perlakuan Keterangan
Kontrol negatif (A)
Tikus dibiarkan hidup normal dengan pakan standar dan air minum ad libitum selama 23 hari. Pada hari ke 23 dilakukan pembedahan.
Kontrol positif (B)
Kontrol positif diinduksi dengan indometasin 15mg/kg BB pada hari ke 8 dan dilakukan pembedahan 24 jam setelah induksi indometasin.
IBD terapi 100 mg/ kg BB (C)
Pada hari ke 8 tikus diinduksi indometasin 15mg/kg BB. Selanjutnya pada hari ke 9 diberi terapi ekstrak etanol akar seledri dosis 100 mg/ kg BB sebanyak 2 mL/tikus selama 14 hari kedepan. Pada hari ke 23 dilakukan pembedahan.
32
4.5 Variabel Penelitian
Adapun variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:
Variabel bebas : Pemberian Indometasin dan terapi ekstrak etanol akar
seledri ( Apium graveolens).
Variabel tergantung : Profil protein jejunum jejunum.
Variabel kendali : Tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar jantan, umur
8-12 minggu, berat badan 150-200 gram, kandang berukuran 17,5
x 23,75 x 17,5 cm, pakan pellet dan diberi air ad libitum.
4.6 Tahapan Penelitian
4.6.1 Persiapan Hewan Coba
Tikus dibagi dalam 4 kelompok perlakuan (Tabel 4.1) dan setiap kelompok
perlakuan di isi 5 tikus sesuai ulangan. Sebelum mendapat perlakuan, tikus
diaklimatisasi di kandang berukuran 17.5 x 23.75 x 17.5 cm selama 7 hari agar tikus
beradaptasi dengan lingkungan (AOAC, 2005). Tikus diberi minum ad libitum dan
pakan yang sama selama proses perlakuan.
IBD terapi 300 mg/ kg BB (D)
Pada hari ke 8 tikus diinduksi indometasin 15mg/kg BB. Selanjutnya pada hari ke 9 diberi terapi ekstrak etanol akar seledri dosis 300 mg/ kgBB sebanyak 2 mL/tikus selama 14 hari kedepan. Pada hari ke 23 dilakukan pembedahan.
33
4.6.2 Persiapan Hewan Model IBD dengan Indometasin
Pemberian indometasin menggunakan metode sonde oral. Dosis indometasin yang
digunakan adalah 15 mg/kg BB tikus. Indometasin dilarutkan dalam minyak jagung
steril dengan perbandungan 45 mg indometasin dilarutkan dalam 4 mL minyak jagung.
Berat rata-rata tikus yang digunakan ±150 gram dan terdapat 15 ekor yang akan
diinduksi indometasin. Jadi indometasin yang diperlukan untuk setiap tikus dengan
berat badan 150 gram adalah
Kebutuhan indometasin = 150 gram / 1000 gram X 15 mg = 2,25 mg / tikus
Jadi yang diperlukan untuk pemberian indometasin pada 15 ekor tikus adalah 15
x 2,25 = 33,75 mg
Pengenceran dengan minyak jagung (dalam 45 mg diencerkan ke dalam 4 mL
minyak jagung) (Bures et al, 2011)
33,75 mg x 4 mL = 3 mL
45 mg
Untuk larutan indometasin yang diperlukan sebayak 33,75 mg indometasin yang
diencerkan ke dalam minyak jagung 3 mL untuk 15 ekor tikus dan induksi indometasin
per tikus sebanyak 2,25 mg / 45 mg x 4 mL = 0,2 mL/tikus.
4.6.3 Persiapan Ekstrak Etanol Akar seledri
Ekstrak etanol akar seledri dibuat dengan mengikuti tahapan pada metode
maserasi. Gel akar seledri hasil ekstraksi yang dibutuhkan dalam pembuatan stok
sediaan ekstrak etanol akar seledri adalah 8 g yang diperoleh dari proses ekstraksi
metode maserasi (Lampiran 6).
34
Bahan sejumlah 100 g serbuk akar seledri diekstraksi dan dibuat menjadi sediaan
dengan dosis 100 mg/ kg BB yang diberikan sebagai terapi untuk kelompok IBD C dan
dosis 300 mg/ kg BB yang diberikan sebagai terapi untuk kelompok IBD D (Lampiran
5). Terapi dilakukan satu kali sehari dengan pemberian sebesar 2 mL/ ekor selama 14
hari. Pemberian dilakukan secara sonde oral dengan spuit 10 mL.
4.6.4 Euthanasia dan Pengambilan Organ Jejunum
Pengambilan organ jejunum dilakukan dengan melakukan pembedahan tikus
terlebih dahulu. Sebelum dibedah tikus dilakukan euthanasia dengan cara dislokasi
leher, kemudian diletakkan pada papan bedah dan diposisikan secara terlentang
(dorsoventral). Alat bedah yang digunakan antara lain, yaitu scalpel, pinset dan gunting
serta dibutuhkan juga cawan petri. Setelah hewan dibedah dilakukan pengambilan organ
jejunum dengan cara diisolasi dan dipotong dari organ usus halus yang lain. Organ
jejunum diletakkan pada cawan petri sebagai tempat pencucian organ dengan larutan
NaCl Fisiologis 0,9%, kemudian organ jejunum dipotong menjadi dua bagian yang
masing-masing dimasukkan dalam larutan Phospate Buffer Saline-azida (PBS-azida)
pH 7,4 dan larutan paraformaldehid 4% (PFA).
4.6.5 Pembuatan Preparat Imunohistokimia Jejunum dan pengamatan
ekspresi TGF-
Organ difiksasi dengan cara jejunum dibilas dengan NaCL-fisiologis 0,9% dingin,
kemudian organ dibagi dan dimasukkan dalam larutan paraformaldehid 4% (PFA),
kemudian didehidrasi menggunakan alkohol bertingkat dari konsentrasi 70% selama 24
jam, etanol 80% selama 2 jam, etanol 90%, 95% dan etanol absolut selama 20 menit.
35
Kemudian organ dijernihkan dengan cara menerndam jaringan dalam larutan xylol I
selama 20 menit dan xylol II selama 30 menit. Proses selanjutnya adalah infiltrasi dan
embending jaringan dengan parafin cair pada inkubator suhu 58-60°C. Trimming
jaringan dengan cara meletakkan cetakan dalam mikrotom dan jaringan dipotong
dengan ketebalan 5µm. Sediaan jaringan dalam blok parafin kemudian disimpan dalam
inkubator 38-40°C selama 24 jam dan dilakukan pembuatan preparat imunohistokimia
(Muntiha, 2001)
Preparat organ jejunum yang telah jadi dilakukan deparafinasi dengan cara
direndam dalam larutan xylol 1, xylol 2, alkohol bertingkat (96%, 90%, 80%, 70%) dan
aquades masing-masing sebanyak satu kali lima menit. Kemudian preparat dicuci
dengan PBS pH 7,4 selama tiga kali lima menit dan selanjutnya diteteskan 3% hydrogen
peroksida (dalam dionize) selama 20 menit. Setelah itu preparat ddicuci dengan PBS 7,4
sebanyak tiga kali dan masing-masing selama lima menit. Preparat selanjutnya ditetesi
BSA (Bovin Serum Albumin) 1% dalam PBS selama 30 menit, lalu dicuci kemudian
preparat ditetesi dengan antibodi primer yakni Rat Anti TGF- dengan perbandingan (1
: 100), dibiarkan semalam dengan suhu 40°C (diencerkan dalam 1% BSA dalam PBS).
Preparat kemudian dicuci lalu ditetesi dengan antibodi sekunder Rabbit Anti Rat IgG
Biotin Labeled (2497,5 ; 2,5) yang didiamkan selama satu jam dalam suhu ruang.
Setelah itu preparat dicuci lalu ditetesi dengan SA-HRP (Strepta avidin-Horseradish
Peroxidase) selama 30-60 menit dalam suhu ruang selanjutnya dicuci kembali. Setelah
dicuci preparat diteteskan chromogen DAB (3,3-Diaminobenzidine tetrahydrochloride)
dibiarkan selama 10-20 menit dalam suhu ruang, lalu preparat dicuci kembali dan
36
ditetesi counter stam (Hematoxylen-Eosin) dan ditunggu 5 menit dalam suhu ruang.
selanjutnya dilakukan mounting dengan entellan dan hasilnya diamati dengan
mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali. Diagram alir metode imunohistokimia
dapat dilihat pada lampiran 8 (Dewi, 2011).
4.6.6 Elektroforesis SDS-PAGE
4.6.6.1 Isolasi Protein
Isolasi protein dimulai dengan menimbang organ jejunum sebanyak 0,5 gram,
ditambah sedikit pasir kuarsa dan digerus dengan mortar dingin yang diletakkan diatas
balok es. Setelah itu homogenat ditambah dengan larutan PBS-Tween : PSMF (9:1)
sebanyak 1 mL dan dipindahkan ke dalam tabung ependorf steril lalu disonifikasi
selama 10 menit dengan sonikator lalu disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan
6000 rpm. Selanjutnya supernatan diambil dan ditambahkan etanol absolut dingin
dengan perbandingan 1:1 dan disimpan dalam freezer selama semalam. Kemudian
dilakukan sentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 10.000 rpm, lalu supernatan
dibuang dan dikering anginkan sampai bau etanol hilang. Kemudian endapan
ditambahkan dengan larutan Tris-HCl pH 6,8.
4.6.6.2 Persiapan Gel
Pada persiapan gel, yang dilakukan pertama adalah membuat plat gel dengan
merangkai dua plat kaca dengan jarak antar plate kurang lebih 1 mm. Gel dibuat dua
lapis yaitu sel sebagai tempat sampel (stacking gel) dan gel sebagai media untuk
pemisah protein (separating gel). Bahan-bahan untuk separating gel yaitu lower gel
buffer (LGB), T-Acryl, aquades, ammonium persulphate (APS), dan TEMED yang
37
dilarutkan menjadi satu dalam aquades steril. Kemudian larutan tersebut dituangkan ke
dalam plate tempat lapisan gel menggunakan mikropipet dan dibiarkan selama 15 menit
hingga terbentuk gel. Selanjutnya stacking gel dituangkan diatas separating gel yang
telah memadat sambil dipasang sisir hingga terbentuk gel beserta sumurannya.Untuk
pembuatan stacking gel dibuat dengan komposisi upper buffer (UGB), T-Acryl, APS,
TEMED dan dilarutkan menjadi satu dalam aquades steril. Setelah menjadi gel, sisir
diangkat dengan hati-hati dan plate dipasang pada alat elektroforesis dan dituangkan
larutan running buffer pada bejana alat elektroforesis.
4.6.6.3 Injeksi Sampel dan Running
Ekstrak kasar hasil isolasi dari jejunum diambil sebanyak 150 µl, ditambahkan
150 µl Reducing Sampel Buffer (RSB) dan dipanaskan pada penangas air dengan
temperatur 100°C selama 5 menit. Setelah dingin sampel dimasukkan dalam sumuran
gel dengan masing-masing sumuran sebanyak 30 µl dan pada salah satu sumuran gel
diisi dengan protein standar marker. Selanjutnya, anoda pada alat elektroforesis
dihubungkan pada reservoir bawah dan katoda dihubungkan pada reservoir atas, lalu
power supply dinyalakan dengan arus listrik konstan volt 200 volt selama 45 menit. Alat
elektroforesis dihentikan apabila warna penanda biru berada kurang lenih 0,5 cm dari
batas bawah plat gel. Kemudian gel diambil dari alat elektroforesis.
4.6.6.4 Perlakuan Setelah Running
Pewarnaan dilakukan dengan merendam gel dalam larutan staining selama 30-60
menit menggunakan shaker. Setelah gel terwarnai, larutan staining diganti dengan
38
larutan destaining untuk dapat membedakan pita protein yang terwarnai dengan gel
tanpa pita protein menggunakan shaker sampai gel menjadi jernih.
4.6.6.5 Penentuan Berat Molekul
Pita protein yang telah terbentuk pada gel hasil elektroforesis diukur berat
molekulnya dengan cara membandingkan dengan marker. Penentuan berat molekul
dilakuukan dengan menghitung nilai Rf (Retardation factor) dari masing-masing pita
dengan rumus:
Rf = jarak pergerakan protein dari tempat awal (cm)
jarak pergerakan warna dari tempat awal (cm)
kemudian dibuat kurva standar dengan harga Rf sebagai sumbu X dan harga
logaritma berat molekul sebagai sumbu Y, lalu diplotkan mobilitas dan berat molekul
dari protein yang dicari sehingga diketahui berat molekulnya.
4.6.6.6 Analisa Data
Data diperoleh dengan melihat dan menganalisa profil protein secara
semikuantitatif pada organ jejunum dengan metode SDS-PAGE, sedangkan analisa data
rata-rata presentase area ekspresi TGF- ukan secara kuantitatif statistik dengan
metode one-way ANOVA, kemudian dilakukan uji lanjutan BNJ (Beda Nyata Jujur)
dengan (taraf kepercayaan 95%).
39
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengaruh Terapi Ekstrak Etanol Akar Seledri (Apium graveolens) Terhadap Ekspresi Transforming Growth Factor Beta (TGF- pada Jejunum Tikus Putih (Rattus norvegicus) Hasil Induksi Indometasin
Penyakit IBD atau secara medis disebut Inflammatory Bowel Disease adalah
penyakit dengan gejala peradangan pada saluran cerna. Parameter yang dapat
digunakan untuk mengetahui adanya reaksi inflamasi dengan cara pengamatan
ekspresi Transforming Growth Factor Beta (TGF- pada jejunum tikus dengan
metode imunohistokimia pada empat kelompok perlakuan yakni, kelompok
kontrol, kelompok IBD, kelompok terapi ekstrak etanol akar seledri dosis 100
mg/kg BB dan kelompok terapi ekstrak etanol akar seledri dosis 300 mg/kg BB
(Gambar 5.1).
Pada metode imunohistokimia ekspresi TGF-
berwarna kecoklatan pada preparat jejunum, karena adanya ikatan antara antigen
TGF- -
ini menggunakan dua jenis antibodi yaitu antibodi primer yakni Rat Anti TGF-
yang berikatan dengan antigen pada jaringan dan antibodi sekunder Rabbit Anti
Rat IgG Biotin Labeled. Pemberian antibodi sekunder diikuti dengan penambahan
SAHRP dan subtratnya berupa DAB yang merupakan substrat dari peroksidase
yang dapat menghasilkan warna kecoklatan, sehingga akan terbentuk warna yang
lebih jelas pada jaringan tersebut (Elias et al., 1989).
40
Gambar 5.1 Ekspesi TGF- tikus (Rattus norvegicus) Inflammatory
Bowel Disease (IBD) hasil induksi indometasin (Perbesaran 400x) (Pewarnaan IHK)
Keterangan : A = Jejunum tikus kontrol; B = Jejunum Tikus Model IBD diinduksi
indometasin; C = Jejunum tikus yang diiduksi indometasin dan diberi terapi ekstrak etanol akar seledri 100 mg/ kg BB; D = Jejunum tikus yang diinduksi indometasin dan diberi terapi ekstrak etanol akar seledri 300 mg/ kg BB. Tanda ) menunjukkan ekspresi TGF-
Hasil rata-rata ekspresi TGF-
dari 5 bidang pandang perbesaran 400x dengan menggunakan program
ImmunoRatio. Hasil yang diperoleh kemudian dikonversikan ke dalam presentase
dengan cara rata-rata perlakuan (B, C, D) dikurangi dengan rata-rata kontrol (A)
dibagi dengan rata-rata kontrol kemudian dikalikan dengan 100% pada Tabel 5.1.
Data yang diperoleh kemudian dilakukan perhitungan statistik menggunakan one
A B
C D
41
way dengan hasil uji
statistika (Calnek, 1997).
Tabel 5.1 Rata-rata Ekspresi TGF- perlakuan
Kelompok Rata-rata Ekspresi TGF- Ekspresi TGF- (%)
Penurunan Peningkatan
Sehat 25,06 ± 1.49 d - -
Induksi Indometasin
9,46 ± 1,11 a 62,25 -
Terapi 100 mg/kgBB
15,52 ± 0,89 b - 64,05
Terapi 300 mg/kgBB
19,69 ± 1,86 c - 111
Keterangan : Notasi yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05). Persentase peningkatan terhadap kontrol negatif. Persentase penurunan terhadap kontrol positif.
Hasil Uji stastika (one way ANOVA) menggunakan software SPSS
Statistics 17.0 for windows nilai p-value (p<0,05) sebesar 0,000 menunjukkan
adanya perbedaan yang nyata antara ekspresi TGF- Rattus
norvegicus) yang diinduksi indometasin dengan ekspresi TGF-
kontrol, tikus (Rattus norvegicus) yang diberi terapi ekstrak etanol akar seledri
100 mg/ kg BB dan tikus (Rattus norvegicus) yang diberi ekstrak etanol akar
seledri 300 mg/ kg BB (Lampiran 11). Pada uji lanjutan BNJ (Lampiran 11)
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan kontrol
yang memiliki notasi d dengan kelompok tikus induksi indometasin yang
memiliki notasi a. Kelompok terapi ekstrak etanol akar seledri 100 mg/ kg BB dan
kelompok terapi ekstrak etanol akar seledri 300 mg/ kg BB mampu meningkatkan
42
ekspresi TGF- b pada terapi 100 mg/
kg BB dan notasi c pada terapi 300 mg/ kg BB.
Perbedaan hasil perlakuan menunjukkan adanya pengaruh pemberian
indometasin terhadap penurunan ekspresi TGF- model IBD dan
peningkatan ekspresi TGF- etanol akar seledri.
Pada kelompok kontrol negatif ditunjukkan melalui Tabel 5.1 dengan nilai rata-
rata ekspresi TGF- tinggi sebesar 25,06 ± 1,49 dengan gambaran
imunohistokimia jejunum tikus (Rattus norvegicus) yang ditunjukkan dengan
warna kecoklatan pada seluruh pengamatan jaringan atau sel di jejunum yaitu
lamina propia dan sel epitel. Hal ini menunjukkan bahwa TGF-
tubuh walaupun kondisi tubuh sehat atau normal dengan kadar yang relatif stabil.
Sitokin TGF-
proinflamasi maupun antiinflamasi, yang berfungsi sebagai sitokin pengatur
homeostasis pada tubuh (Linda, 2010).
Ekspresi TGF- (Tabel 5.1) yaitu yang
diinduksi indometasin mengalami penurunan secara signifikan (p<0,05) terhadap
kelompok negatif yaitu sebanyak 62,25%. Penurunan ekspresi TGF-
karena adanya induksi indometasin, yakni golongan obat NSAID yang respon
kerjanya adalah mengakibatkan produksi ROS yang berlebihan dalam sel. ROS
merupakan radikal bebas yang dihasilkan endogen dan eksogen. Secara
intraseluler ini, terbentuk karena oksigen reaktif yang terbentuk menyebabkan
ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan endogen sehingga
menimbulkan stres oksidatif yang memicu aktivasi NF-kB dan fosforilasi
43
inhibitor NF-kB, kemudian NF-kB berpindah menuju nukleus dan
mengekspresikan TNF- sebagai sitokin proinflamatori, yang akan menyebabkan
timbulkan inflamasi. Produksi TNF- dapat mengaktifkan
limfosit T.
Limfosit T dibagi menjadi Th1 dan Th2. Pada IBD, terjadi peningkatan
aktivasi Th1 dan penurunan Th2. Sel Th1 akan memproduksi sitokin-sitokin
proinflamasi seperti TNF- -1, IL-12, IFN-
respon inflamasi. Th2 mensekresikan sitokin antiinflamasi yaitu TGF-
memiliki efek supresi sel-sel imun mencakup deaktivasi dalam produksi makrofag
serta menghambat proliferasi Th1. Sehingga secara tidak langsung peningkatan
TNF- urunan sitokin regulator seperti
TGF- -
jejunum, TGF- lam, menjaga toleransi usus, mempertahankan dan
memperbaiki jaringan yang rusak dengan cara akumulasi matriks ekstraseluler,
proliferasi dan migrasi fibroblas pada usus, sehingga apabila ekspresi sitokin ini
turun dan terjadi inflamasi akan meningkatkan aktivasi neutrofil serta pelepasan
enzim protease yang menyebabkan kerusakan jaringan jejunum.Tingginya
produksi sitokin proinflamasi, akan menurunkan sitokin regulator seperti TGF- ,
sehingga diperlukan zat seperti bioaktif flavonoid untuk membantu peningkatan
TGF- -
tinggi. Kelompok tikus terapi ekstrak etanol akar seledri pada tikus IBD dengan
dosis 100 mg/ kg BB dapat meningkatkan ekspresi TGF- 64,05% (Tabel
5.1). Begitu juga dengan perlakuan kelompok tikus yang keempat diberikan terapi
44
ekstrak etanol akar seledri dengan dosis 300 mg/ kgBB mengalami peningkatan
ekspresi TGF- 111% (Tabel 5.1). Data ini menjelaskan bahwa ekstrak
etanol akar seledri yang menjadi bioaktif diosmin dengan menurunkan reaksi
inflamasi pada kasus IBD melalui pengamatan ekspresi TGF-
Kandungan diosmin dari ekstrak etanol akar seledri yang merupakan salah
satu dari antioksidan golongan flavonoid yang berfungsi sebagai antioksiidan
yang menghambat efek toksis dari radikal bebas seperti ROS. Flavonoid akan
mendonorkan ion hidrogen sehinggan ion-ion yang mengalami radikal bebas
membentukan ikatan dengan ion hidrogen dan berubah menjadi lebih stabil.
Keadaan ion yang stabil menyebabkan penurunan stres oksidatif. Radikal bebas
yang sudah stabil juga dapat menekan pembentukan NF-kB, Penurunan stres
oksidatif menyebabkan ROS ikut menurun yang mengakibatkan NF-kB dan
fosforilasi inhibitor NF-kB (IkB) mengalami deaktivasi, sehingga terjadi
penurunan ekspresi sitokin TNF-
kestabilan TGF-
perbaikan dan intregritas jaringan jejunum. Adanya peningkatan sitokin
antiinflamasi TGF- -sitokin pro-inflamasi
seperti TNF- -
jaringan dapat dihambat. Selain itu, TGF-
dalam mengontrol reaksi perbaikan jaringan melalui produksi kolagen, matriks
ekstraseluler dan fibroblas sehingga mengurangi inflamasi pada organ jejunum.
(Chattopadhyay et al., 2006). Berdasarkan hasil analisis statistika diketahui terapi
ekstrak etanol akar seledri (Apium graveolens) yang terbaik dalam meningkatkan
45
ekspresi TGF-
dosis 300 mg/kgBB.
5.2 Pangaruh Terapi Ekstrak Etanol Akar Seledri (Apium graveolens) Terhadap Profil Protein Jejunum Tikus Putih (Rattus norvegicu) Hasil Induksi Indometasin
Profil pita protein yang diperoleh dari hasil elektroforesis SDS-PAGE
antara tikus kontrol negatif, tikus hasil induksi indometasin dosis 15 mg/kg BB,
tikus terapi ekstrak etanol akar seledri dosis 100 mg/ kg BB dan tikus terapi
ekstrak akar seledri dosis 300 mg/ kg BB, menunjukkan adanya perbedaan pita
protein yang tersintesis (Gambar 5.2).
Gambar 5.2 Profil pita protein jejunum tikus putih (Rattus norvegicus) dengan teknik SDS-PAGE.
Profil pita protein pada jejunum dengan berat molekul dari Gambar 5.2
ditunjukkan pada Tabel 5.2.
167 kDa
120 kDa
64 kDa 54 kDa
26 kDa
14 kDa
11 kDa
Keterangan: M = Marker Protein K (-) = Sehat K (+) = Hasil induksi indometasin T1 = Terapi ekstrak akar seledri 100 mg/ kg BB T2 = Terapi ekstrak akar seledri 300 mg/kg BB = Menunjukkan profil protein yang tersintesis berbeda pada perlakuan
46
Tabel 5.2. Perbedaan Berat Molekul (BM) Protein pada Jejunum
Kelompok
Berat Molekul (BM) Protein (kDa)
167 120 64 54 26 14 11
Sehat -
Induksi indometasin
- - -
Terapi 100 mg/ kg BB
- -
Terapi 300 mg/ kg BB
-
Hasil analisis penelitian profil protein jejunum tikus IBD dengan metode
SDS PAGE (Tabel 5.2) (Lampiran 12) menunjukkan sintesis protein yang
terekspresi pada kelompok tikus sehat dengan berat molekul 167 kDa, 120 kDa,
64 kDa, 54 kDa, 14 kDa dan 11 kDa . Kelompok tikus induksi indometasin
muncul profil protein dengan berat molekul 64 kDa, 26 kDa, 14 kDa dan 11 kDa,
yang mana ada beberapa protein yang tidak terkspresi seperti pada kelompok tikus
sehat serta ada satu protein yang tersintesis hanya pada tikus induksi indometasin
yaitu dengan berat molekul 26 kDa. Pada kelompok tikus terapi 100mg/ kgBB
terekspresi kembali protein dengan berat molekul 167 kDa, 64 kDa, 54 kDa, 14
kDa dan 11 kDa, sedangkan pada kelompok tikus terapi 300 mg/ kg BB protein
yang dengan berat molekul 167 kDa, 120 kDa, 64 kDa, 54 kDa, 14 kDa dan 11
kDa. Ekspresi protein ini terekspresi sama pada kelompok tikus sehat.
Data dari hasil penelitian tikus IBD yaitu pada Gambar 5.2 dan Tabel 5.2
menunjukkan tidak terjadi sintesis protein dengan berat molekul 167 kDa, 120
kDa dan 54 kDa. Namun ada sintesis protein dengan berat molekul 26 kDa yang
tidak ditemukan pada kelompok kontrol dan kelompok terapi. Protein dengan
47
berat molekul 26 kDa ini hanya nampak tersintesis pada kelompok kontrol positif
yang dilakukan induksi indometasin 15 mg/ kg BB.
Menurut pendapat Silalahi (2013) protein dengan berat molekul 26 kDa
diduga merupakan C-Reactive Protein (CRP). C-Reactive Protein (CRP) adalah
anggota dari golongan protein pentraxin, karena memiliki komposisi pentamer
cyclic yang identik dengan sub unit glikosilasi dan merupakan suatu protein
pengikat kalsium dengan sifat pertahanan imunologis. Molekul CRP terdiri dari 5-
6 subunit polipeptida non glikosilat yang identik, terdiri dari 206 residu asam
amino dan berikatan satu sama lain secara non kovalen, selain itu CRP juga
merupakan marker inflamasi yang diproduksi dan dilepas oleh hepar dibawah
rangsangan sitokin-sitokin seperti Interleukin 6 (IL-6), Interleukin 1 (IL-1) dan
(TNF- yang ditujukan pada organ-organ yang
mengalami inflamasi seperti pada kasus ini adalah organ jejunum. Konsentrasi
CRP dalam keadaan normal adalah 0,0008-0,004 g/L atau 0,08-4 mg/dL
sedangkan dalam keadaan peradangan akut, konsentrasinya kira-kira 0,4 g/L atau
40 mg/dL, CRP beredar dalam darah selama 6-10 jam setelah proses inflamasi
akut serta destruksi jaringan, kadarnya akan naik dalam 48-72 jam. Kadar CRP
akan menurun tajam bila proses peradangan atau kerusakan jaringan mereda
dalam waktu sekitar 24-48 jam telah mencapai nilai normal kembali (Susanto dan
Adam, 2009).
CRP merupakan salah satu dari beberapa protein yang sering disebut
sebagai protein fase akut dan digunakan untuk memantau perubahan-perubahan
dalam fase inflamasi akut yang dihubungkan dengan banyak penyakit infeksi.
48
(Nakou et al., 2010). Induksi indometasin dosis 15 mg/kg BB menunjukkan
tersitesisnya protein dengan berat molekul 26 kDa yang merupakan C-Reactive
Protein (CRP) dimana protein ini merupakan marker penanda adanya inflamasi.
Munculnya protein ini disebabkan karena Indometasin terbukti meningkatkan
produksi Reactive Oxygen Species (ROS) yaitu radikal hidroksil
peroksida (H2O2) dan radikal nitrit oksida . ada proses oksidasi metabolit
indometasin dari DMBI (desmetildeskoro-benzoil-indometasin) menjadi
imunokuinon dan imunokuinon ini merupakan metabolit yang cukup reaktif.
imunokuinon ini nantinya akan berpengaruh terhadap aktivasi dari neutrofil yang
merupakan merupakan salah satu responden pertama sel-sel inflamasi untuk
bermigrasi ke jaringan yang mengalami peradangan dengan cara penghancuran
mikroorganisme hingga dapat merusak sel maupun jaringan (Basivirreddy et al.,
2002).
Pada tikus kontrol poritif (IBD) hasil induksi indometasin, profil protein
dengan berat molekul 167 kDa tidak tersintesis, diduga protein tersebut
merupakan 2-makrogloulin yang merupakan protein plasma terbesar di dalam
tubuh dan diproduksi oleh darah. Protein 2-makroglobulin bertindak sebagai
antiprotease dan mampu melumpuhkan berbagai macam proteinase, selain itu juga
dapat bertindak sebagai protein pembawa karena mampu mengikat berbagai faktor
pertumbuhan dan sitokin, antara lain platelet, TGF, insulin dan IL- Protein 2-
makroglobulin tidak tersintesis pada tikus kontrol positif karena adanya
peningkatan aktivitas protease yang mengindikasikan bahwa telah terjadi
inflamasi. Hal ini sesuai hasil penelitian (2012) bahwa induksi
49
indometasin dengan dosis 15 mg/ kg BB dapat menyebabkan IBD pada jejunum.
Peningkatan aktivitas enzim protease ini dapat memecah dan merusak protein
tersebut.
Pada tikus kontrol positif dengan induksi indometasin yang diharapkan
mampu membentuk gejala IBD, pita protein dengan berat molekul 120 kDa tidak
tersintesis, diduga protein tersebut merupakan enzim -galaktosidase yang mampu
menghidrolisis gugus -D-galaktosil terminal dari polimer -D-galaktosida
(Jacobson et al., 1994). Pada tikus sehat secara normal enzim -galaktosidase
berfungsi dalam pencernaan karbohidrat yang terdapat di mukosa usus halus
termasuk jejunum (Campbell et al., 2000), sedangkan pada tikus kontrol positif
tidak dtemukan karena terjadi kerusakan mukosa jejunum akibat gangguan
gastrointestinal oleh indometasin, sehingga konsentrasi -galaktosidae pada brush
border mukosa jejunum berkurang dan aktivitas enzim tersebut menjadi terganggu
(Sinuhaji, 2006). Pada kasus IBD terjadi gangguan gastrointestinal karena adanya
stres oksidatif yang salah satunya adalah penggunaan obat NSAID seperti
indometasin sehingga menyebabkan inflamasi dan aktivitas enzim protease
meningkat, sehingga mampu merusak kerja jejunum yang mengakibatkan
kerusakan enzim-enzim pencernaan. Sedangkan protein dengan berat molekul 54
kDa yang diduga merupakan enzim dehidrogenase, merupakan kompleks enzim
pertama yang sering disebut sebagai kompleks 1, pada bagian mitokondria disebut
rantai transport elektron. Enzim dehidrogenase bertindak memisahkan dan
menambahkan elektron atau hidrogen dari substrat, enzim ini juga tidak
50
ditemukan pada kontrol positif karena peningkatan aktifitas enzim protease yang
dapat memecah dan merusak protein tersebut (Naiola dan Widhyastuti, 2002).
Pemberian terapi ekstrak akar seledri dengan dosis 100 mg/ kg BB dan
300 mg/ kg BB pada masing-masing kelompok perlakuan menunjukkan tidak
tersintesisnya protein dengan berat molekul 26 kDa, yang merupakan C-Reactive
Protein (CRP), tidak munculnya protein marker penanda inflamasi ini disebabkan
karena kandungan dari ekstrak akar seledri berupa diosmin yang merupakan salah
satu golongan dari flavonoid yang merupakan antioksidan, yakni senyawa yang
mampu menghambat reaksi oksidasi atau zat yang mampu menetralkan radikal
bebas (Widjaya, 2003). Diosmin ini bertindak sebagai antioksidan karena mampu
mengurangi kerusakan akibat radikal bebas sampai 90% (Gadow et al., 2000).
Antioksidan dibagi menjadi dua kelompok yaitu antioksidan non enzimatik yang
didapat dari luar tubuh seperti flavonoid dan antioksidan enzimatik yang didapat
dalam tubuh. Produksi ROS dalam tubuh yang normal dapat di seimbangkan oleh
enzim Superoksida Dismutase (SOD) (Droge, 2002).
Pita protein dengan berat molekul 64 kDa merupakan protease yang
ditemukan pada semua kelompok perlakuan. Penelitian Sidney and Lester (1972)
menjelaskan bahwa enzim protease memiliki berat molekul 18-90 kDa. Pada
keadaan sehat, enzim protease berfungsi mengkatalisasi pemecahan ikatan peptida
dalam peptida, polipeptida dan protein menjadi molekul-molekul seperti rantai
pendek dan asam amino (Naiola dan Widhyastuti, 2002). Protein dengan berat
molekul 14 kDa diduga merupakan enzim lipase, protein ini terdapat di semua
perlakuan. Menurut Gong et enzim lipase dengat berat molekul 14 kDa
51
merupakan FABP (fatty acid binding protein) yang secara normal berfungsi
mengkatalisasi pemecahan lemak menjadi asam lemak dan gliserol. FABP
menghasilkan protein yang berfungsi untuk mengikat, transportasi dan pengaturan
deposit asam lemak.
Protein dengan berat molekul 11 kDa muncul di semua perlakuan, protein
dengan berat molekul antara 11-48 kDa termasuk small heat shock protein
(SHSP), protein ini memiliki fungsi utama molekul pendamping yang mencegah
aggregasi dan kesalahan pelipatan protein target, dan menjaga protein dalam
komponen lipatan yang benar, serta proteksi jaringan terhadap beberapa jenis stres
(Borges, 2005). Dalam keadaan sehat SHSP berfungsi sebagai molekul
pendamping, menjaga protein dan menfasilitasi transport protein. Dalam kondisi
stres SHSP menjaga agregasi protein, melipat kembali protein yang rusak dan
mendegradasikan protein yang sudah tidak bisa diperbaiki. Selain itu HSPS
bertindak sebagai molekul pro dan antiinflamasi. Sebagai anti inflamasi SHSP
memodulasi sinyal transduksi sitokin dan ekspresi gen melalui penghambatan
terhadap nuclear factor-kappa B (NF-kB) sehingga mencegah pelepasan mediator
inflamasi. Sebagai mediator pro inflamasi SHSP dapat melepaskan zat nekrotik
dan non nekrotik ke dalam lingkungan ekstraselluler yang akan memproduksi
berbagai respon immune dan inflamasi termasuk mengaktivasi beberapa efektor
sistim imun dan pelepasan sitokin.
Protein 2-makroglobulin dan dehidrogenase ditemukan kembali
tersintesis pada kelompok tikus terapi 100 mg/ kg BB dan 300 mg/ kg BB karena
kembali ke fungsi protein 2-makroglobulin adalah sebagai antiprotease, salah
52
satunya juga dengan mengikat faktor-faktor pertumbuhan, sedangkan dengan
pemberian ekstrak etanol akar seledri (Apium graveolens) mengandung
antioksidan dan antiinflamasi yang mampu menekan radikal bebas akibat dari
indometasin, sehingga perbaikan jaringan mulai terjadi sehinggan protein 2-
makroglobulin kembali bekerja normal, sementara untuk enzim dehidrogenase
pemberian terapi ekstrak etanol akar seledri dapat terekspresi kembali karena
mekanisme kerja dari flavonoid (Fl-OH) sebagai antioksidan yaitu dengan cara
mendonasikan atom hidrogen (H) dari gugus hidroksil (OH) kepada radikal bebas
(R ) yang mana mekanisme ini diperlukan enzim dehidrogenase sebagai rantai
transpor elektron, sehingga flavonoid berubah menjadi radikal fenoksis flavonoid
(FIO ) yakni (FI-OH+R
mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi maka dapat menyeimbangkan dengan
cara delokalisasi elektron sehinggan menjadi senyawa kuinon yang stabil.
Enzim -galaktosidase ditemukan kembali pada kelompok terapi ekstrak
akar seledri dengan dosis 300 mg/ kg BB dikarenakan adanya kandungan diosmin
dalam ekstrak yang berfungsi sebagai antioksidan mampu menangkal ROS yang
disebabkan oleh induksi indometasin dan memperbaiki permeabilitas membran
sel-sel intestinal untuk menyeimbangkan produksi sitokin proinflamatori dan
memperbaiki aktivitas kelenjar usus sehingga aktivitas enzim -galaktosidase
menjadi normal kembali.
53
Berdasarkan ekspresi TGF-
hasil induksi indometasin yang diterapi ekstrak etanol akar seledri dengan
kandungan antioksidan flavonoid diosmin menunjukkan pemberian terapi
menyebabkan protein marker inflamasi seperti CRP tidak tersintesis kembali,
sementara protein-protein yang tersintesis pada kelompok sehat (kontrol)
semuanya terekspresi kembali dan berpengaruh terhadap perbaikan jaringan
seperti kondisi normal dan dikuatkan dengan hasil pengamatan imunohistokimia
menyatakan hasil data ekspresi sitokin TGF-
terapi ekstrak etanol akar seledri sehingga apabila sitokin regulator ini meningkat
dapat membantu dalam proteksi usus dan bekerja menurunkan aktivitas sitokin
proinflamasi seperti TNF-
54
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Terapi ekstrak etanol akar seledri (Apium graveolens) meningkatkan
ekspresi sitokin TGF- tikus (Rattus norvegicus) model
IBD hasil induksi indometasin dengan dosis efektif 300 mg/ kg BB
dengan peningkatan ekspresi TGF- sebesar 111 %.
2. Terapi ekstrak etanol akar seledri (Apium graveolens) menunjukkan
adanya perubahan ekspresi profil pita protein dengan berat molekul
167 kDa, 120 kDa dan 54 kDa hanya tersintesis pada tikus sehat dan
terapi. Sintesis protein dengan berat molekul 26 kDa yang hanya
ditemukan pada kelompok tikus model IBD, serta ditemukan juga
sintesis protein dengan berat molekul 64 kDa, 14 kDa dan 11 kDa
pada seluruh perlakuan.
6.2 Saran
1. Diperlukan uji lanjutan secara kuantitatif dan kualitatif untuk
menentukan kadar dosis ekstrak akar seledri (Apium graveolens) yang
terbaik dan efektif untuk terapi penyakit Inflammatory Bowel Disease
(IBD).
2. Diperlukan uji lanjutan berupa uji western blot untuk mengkonfirmasi
protein dengan berat molekul 26 kDa sebagai C-Reactive Protein
(CRP).
3. Diperlukan identifikasi profil flora normal pasca terapi seledri.
55
DAFTAR PUSTAKA
Allen R. G. and M. Tressini, 2000. Oxidative Stress and Gene Regulation, Free Radical Biol Med., 28: 463-99.
Pengaruh Paparan
Lipopolisakarida pada Rongga Mulut dan Assisted Drainage Therapy (Adt) terhadap Kadar S-Ige dan Profil Radikal Bebas Pada Tikus Asma. Seminar Nasional Biologi XX dan Kongres PBI XIV UIN Maliki Malang 24-25 Juli 2009.
AOAC, International. 2005. Officials Methods of Analysis of AOAC International.
2 Vols. 16 edition, Arlington VA. USA. Association of Analytical Community.
and NL. Rahmah. 2012. The Potency of Sargassum
duplicatum Bory Extract on Inflammatory Bowel Disease Therapy in Rattus norvegicus. Journal of Life Sciences 6 : 144-154. https://www.davidpublishing.org/journal. Diakses 04 Desember 2014.
Basivireddy, J., M. Jacob, R. Prabhu, A.B. Pulimood and K.A. Balasubramanian.
2002. Indometachin-induced Free Radical- Mediated Changes in The Intestinal Brush Border Membranes. Biochem. Pharmacol. 65: 683-695.
Besselsen, DG. 2004. Biology of laboratory rodent.http://www.ahsc.arizona.edu/ Bures, J., J. Pejchal, J. Kvetina, A. Tichy, S. Rejchrt, M. Kunes and M. Kopacova.
2011. Morphometric Analysis of The Porcine Gastrointestinal Tract in a 10-Day High-dose Indometachin Administration with or Without Probiotic Bacteria Eschericia coli Nissle 1917. J.Human and Experimental Toxicology 30(12): 1955-1962.
Campbell, K.J. and N.D. Perkins. 2000. Regulation of NF-kappaB Function. Biochem Soc Symp. 73:165-180.
Dalimartha, S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Bogor : Trobus Agriwidya. Deltabase. 2006. Digestive system. Deltagen Inc. http://www.deltagen.com. [29
Mei 2014]. Djojoniningrat, D. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC. p. 384-
388. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Pedoman Pengendalian Tikus.
http://www.depkes.go.id/Pengendalian%20tikus.pdf. Diakses 04 Desember 2014.
56
Droge, W., 2002. Free Radicals in the Physiological Control of Cell Function.
Physiol Rev 82:47-95. Dursun, H., F. Albayrak, M. Bilici, F. Koc, H. Hakan, T. Candar and O. Kukula.
2009. Gastroprotective and Antioxidant Effect of Opipramol on Indometachin-induced Ulcer Rats. Yakugaku Zasshi 129 (7) : 861-869.
Efendi, Z. 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik Dalam Tubuh.
Bagian Histologi. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara. Elahi, M., Q. Inayat, F. Wazir and Z. Huma. 2009. Adaptation of Rat Gastric
Mucosa Exposed to Indomethacin: a Histological Study. Gomal Journal of Medical Sciences. 7(2): 340-346
European Comission, Directorate-General Health & Consumer Protection.
. Report of the scientific Committee Health and Animal Welfare, 2000 April.
Fiocchi, C. 2001. TGF-
mechanisms and Possible Novel Therapies For Chronic Inflammation. Division of Gastroenterology, University Hospitals of Cleveland, and Case Western Reserve University. USA.
Friedman S, and RS Blumberg. Inflammatory Bowel Disease - Dalam, Longo DL,
Fauci AS, penyunting. th
edition. United States : The Mc Graw Hill companies ; 2010 ; 16 : 174-95.
Gadow, A., E. Joubert and CF. Hansmann. 2000. Comparison of the antioxidant
activity of aspalathin with that of other plant phenols of Rooibos Tea (Aspalathus linearis) -tocopherol, BHT and BHA. J. Agric.Food Chem., 45, 632-638.
Geboes, K. 2003. . J
Clin Pathol (18): 255-276 Halliwell, B and J.M.C., Gutteridge, 2000. Free Radical in Biology and Medicine.
Oxford University Press. New York. Hasanah, H. 2008. Pengaruh lama fermentasi terhadap kadar alkohol tape ketan
hitam (Oryza sativa L. var. formaglutinosa) dan tape singkong (Manihot utilissima Pohl). Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri, Malang.
57
Hedrich, HJ. 2006. Taxonomy stock and strains. J The laboratory Rat 71(92). Hofstetter, C. P., Holmstrom, N. A., and Lilja, J. A. 2005. Allodynia limits the
useful-ness of intraspinal neural stem cell grafts; directed differentiation improves outcome. Nat. Nerosci. 8:346-353.
Inamoto T, M Namba, WM Qi, K Yamamoto, Y Yokoo, H Miyata, J Kawano, T
Yokoyama, N Hoshi, and H Kitagawa. 2008. An immunohistochemical detection of actin and myosin in the indigenous bacteria-adhering sites of micvilli in the rat jejunoileum. J Vet Med Sci 70(11):1153-1158.
Junqueira LC, and J Carneiro. 2005. Basic Histology: Text and Atlas. Ed.11.
Poule; McGraw-Hill Medical. Junqueira, LC. and J Carneiro. 2007. Basic Histology. The McGraw-Hill
Companies. Kathrani A., D. Werling, K. Allenspach. 2011. Canine breeds at high risk of
developing inflammatory bowel disease in the south-eastern UK. Veterinary Record. 169:635.
Kaser, A., S. Zeissig and R.S. Blumberg. 2010. Inflammatory Bowel Disease. Annu Rev Immunol. 28:573-621.
Kazuhide H, E. Umegaki, T. Watanabe, Y. Yoda, E. Morita, M. Murano, S.
Tokioka and T. Arakawa. 2009. Present status and strategy of NSAIDs-induced small bowel injury. J Gastroenterol 44:879 888.
Kumar, V., A.K Abbas., and N. Fausto, 2005. Tissue Renewal and Repair:
Regeneration, Healing, and Fibrosis In: Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease 7th eds. Philadelphia: Elsevier Saunders. p. 111-4.
Kusriningrum, 2008. Dasar Perancangan Percobaan dan Rancangan Acak
Lengkap. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. Lanas A, and C. Scarpignato. 2006. Microbial Flora in NSAID-Induced Intestinal
Damage: A Role for Antibiotics? Digestion;73(Suppl.1):136-150. Linda,A., and MD Feagins. 2010. Role of Transforming Growth Factor-
Inflammatory Bowel Disease and Colitis-associated Colon Cancer. Inflamm Bowel Dis 2010:16:1963-1968.
58
Martins, N.B. and MA Peppercorn. 2004. Inflammatory bowel disease. Am J Manag Care 2004, 10:544-552.
McCance, K.L., and S.E. Huether, 2006. Innate Immunity: Inflammation In: PATHOPHYSIOLOGY: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children 5th eds. Philadelphia: Elsevier Saunders. p. 201-4.
McGavin MD and JF Zachary. 2007. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Edisi ke-4. USA: Mosby Elsevier.
Middleton EJ, C Kandaswami, and TC.Theoharides. 2000. The effects on mammalian cells: implication for inflammation, heart disease, and cancer. Pharmacol Rev, 52(4):673-51Hofstetter et al. 2005.
Mitchell, R.N. and Cotran, R.S. 2003. Acute and chronic inflammation. Dalam S.
L. Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology (7th ed.)(pp33-59). Philadelphia: Elsevier Saunders.
Neuman, M.G. and R.M Nanau. 2011. Inflammatory bowel disease: role of diet,
microbiota, lifestyle. Translational Research. 160(1):29-44. Niedernhofer, Laura J., J. Daniels., Scott., C, A. Rouzer., Greene, F., Rachel., and
L. J. Marnett, 2003. Malondialdehyde, a Product of Lipid Peroxidation, Is Mutagenic in Human Cells. Journal of Biological and Chemistry Vol. 278, No. 33, pp. 31426-31433.
Podolsky, DK. 2002. Inflammatory Bowel Disease. N. Engl. J. Med. 347 (6): 417-
429. Pramono, S. 2005. Efek Antiinflamasi Beberapa Tumbuhan Umbelliferae.
Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Sekip Utara, Yogyakarta 55281.
Prihanto, A.A. 2011. Teknik Molekuler: Elektroforesis.
http://asep.lecture.ub.ac.id. Diakses tanggal 03 Desember 2014. Qi WM, K Yamamoto, Y Yokoo, H Miyata, T Inamoto, KGS Udayanga, J
Kawano, T Yokoyama, N Hoshi, and H Kitagawa. 2008. Histoplanimetrical study on the relationship between the cell kinetics of villous columnar epithelial cells and the proliferation of indigenous bacteria in rat small intestine. J Vet Med Sci 71(4):463-470.
Rush, J.W.E., S.G Denniss and D.A Graham. 2005. Vascular Nitric Oxide and
Oxidative Stress: Determinants of Endothelial Adaptations to Cardiovascular Disease and to Physical Activity. Can J Appl Physiol 30(4): 442-474.
59
Samuelson, DA. 2007. Textbook of Veterynary Histology. China: Saunder
Elsevier. Selawa, Widya,Max Revolta John Runtuwene, Gayatri Citraningtyas. 2013.
Kandungan Flavonoid dan Kapasitas Antioksidan Total Ekstrak Etanol Daun Binahong Anredera cordifolia (Ten) Steenis. Program Studi Farmasi FMIPA UNSRAT. Manado.
Skibola CF and MT Smith. 2000. Potential health impacts of excessive flavonoid
intake. Free Rad Biol Med 29:375-383
Analysis of phenolic compounds and radical scavenging activities of spice plants extracts. Journal. Vytautas Magnus University, Faculty of Natural Sciences, Department of Biochemistry and Biotechnologies, Vileikos 8, Kaunas, LT-44404, Lithuania.
Susanto, H.K. and J.M.F. Adam. 2009. Plasminogen Activator Inhibitor-1 and
High Sensitivity C-Reactive Protein in Obesity. The Indonesian Journal of Medical Science, 2 (1): 23-31.
Takeuchi, K.; A. Tanaka; R. Ohno and A. Yokota. 2003. Role of COX Inhibition
in Pathogenesis of NSAID-Induced Small Intestinal Damage, Kyoto Pharmaceutical University, Kyoto.
Tamtomo, DG. 2008. Gambaran Histopatologi Kulit pada Pengobatan
Tradisional Kerokan. cdk 160/35 (1). UPT Materia Medica, 2014. Determinasi Tanaman Seledri. Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa timur. Kota Batu. Wibowo, M. S. 2010. Elektroforesis. Sekolah Farmasi Institut Teknologi
Bandung. Widjaya, C. H. 2003. Peran antioksidan Terhadap Kesehatan Tubuh. Healthy
Choice. Edisi IV Yamada T. 2005. Inflammatory Bowel Disease. Handbook of Gastroenterology.
2nd ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.p. 357-73. Yuwono, T. 2008. Biologi Molekuler. Jakarta: Penerbit Erlangga.