studi tentang negara kesejahteraan

Upload: ety-moment

Post on 25-Feb-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/25/2019 Studi Tentang Negara Kesejahteraan

    1/6

    Studi tentang Negara kesejahteraanOleh Asep Mulyana

    Studi tentang Negara Kesejahteraan (NK) tersebar dalam beberapa topik berikut: 1.

    Kajian klasik tentang batasan dan asal-usul NK; 2. Studi Titmuss dan Esping-

    Andersen yang melakukan kategorisasi NK berdasarkan cakupan penerima manfaat

    kesejahteraan dan tingkat kemampuan negara melepaskan ketergantungan

    kesejahteraan masyarakat terhadap pasar (dekomodifikasi); 3. studi-studi tentang

    penciutan NK setelah mengalami krisis transisi pascaindustri; 4. Studi-studi tentang

    replikasi NK di kawasan lain yang dihuni negara-negara industri baru, terutama di

    Amerika Latin dan Asia Timur (Triwibowo dan Bahagijo 2006).

    Dalam karya klasiknya, Asa Briggs mendefinisikan NK sebagai sebuah negara yangdengan kekuasaan terorganisir (melalui politik dan pemerintahan) memodifikasi

    kekuatan pasar dalam tiga arahan: pertama, menjamin pendapatan minimum

    individu dan keluarga terlepas dari nilai pasar atas pekerjaan dan properti mereka;

    kedua, mengurangi atau menghapus resiko sosial yang berhubungan dengan

    kontingensi sosial, seperti sakit, tua, dan pengangguran; ketiga, memberikan

    pelayanan sosial dengan standar terbaik kepada semua warga tanpa memandang

    perbedaan status dan kelas (Pierson dan Castle 2006).

    NK mencapai titik kulminasi dari sebuah proses panjang yang dimulai dari abad 18

    dengan pembangunan hak-hak sipil dan hukum, kemudian berlanjut pada abad 19

    dengan munculnya hak politik, serta mencapai puncaknya pada abad 20 dengan

    konsolidasi apa yang disebut Marshall sebagai kewargaan sosial. Pembangunan NK,

    terutama di Skandinavia, sangat ditentukan oleh konsolidasi kelas buruh yang

    melakukan perjuangan politik melalui parlemen dengan berafiliasi dengan kelas lain

    (petani dan kelas borjuasi kecil) untuk melambagakan skema kesejahteraan sosial

    (Esping-Andersen 1985). Masa keemasan NK pasca-Perang Dunia II dimana

    kemakmuran, kesetaraan, dan kesempatan kerja penuh terbangun dengan sempurna.

    (Segura-Ubiergo)

    Tidak semua negara yang menerapkan rejim NK dapat memberikan manfaat dan

    pelayanan jaminan sosial kepada seluruh penduduk. Titmuss (1968) meneliti

    dinamika rejim NK dengan melihat cakupan penerima manfaat kebijakan

    kesejahteraan sosial dalam dua tipe NK, yaitu: 1. NK residual yang memberikan

    jaminan sosial kepada sebagian elemen dalam masyarakat, dalam hal ini rakyat

    miskin; 2. NK institusional atau komprehensif yang memberikan akses dan pelayanan

    sosial kepada seluruh penduduk.

    https://asepmulyana02.wordpress.com/2012/10/18/studi-tentang-negara-kesejahteraan/https://asepmulyana02.wordpress.com/2012/10/18/studi-tentang-negara-kesejahteraan/
  • 7/25/2019 Studi Tentang Negara Kesejahteraan

    2/6

    Studi yang dilakukan Titmuss ini disempurnakan oleh Esping-Andersen (1990) yang

    membagi tipe-tipe rejim NK berdasarkan kapasitas negara untuk melakukan

    kebijakan dekomodifikasi. Semakin rendah tingkat dekomodifikasinya, maka kian

    terbatas pula cakupan dan penerima manfaat dari kebijakan kesejahteraan sosial

    tersebut. Kapasitas negara ditentukan oleh konstelasi politik dan koalisi kelas di

    parlemen dan dukungan publik kepada partai politik pengusung politik kesejahteraan.

    Esping-Andersen kemudian membagi rejim NK dalam tiga tipe, yakni: 1. NK sosial

    demokrat di Skandinavia yang memberikan jaminan sosial kepada seluruh penduduk

    dengan cakupan jaminan sosial yang lengkap. Rejim ini melepaskan ketergantungan

    masyarakat dari pasar dengan kebijakan kesempatan kerja penuh; 2. NK konservatif

    di Eropa Daratan yang memberikan tekanan pada peran keluarga sebagai pihak

    penanggung resiko dan memberikan jaminan sosial kepada pihak yang segmented

    tergantung pada jenis pekerjaannya; 3. NK liberal di negara-negara Anglo-Saxon yang

    memberi jaminan sosial pada segmen paling rentan atas resiko dan jumlahnya sangat

    terbatas. Rejim ini lebih menggantungkan kesejahteraan masyarakat kepada pasar.

    Pierson (2001) mencatat bahwa rejim NK menemukan masa-masa emasnya sejak

    berakhirnya Perang Dunia II sampai akhir 1970-an. Paralel dengan pertumbuhan

    ekonomi yang tinggi, negara-negara penganut rejim NK menerapkan berbagai

    kebijakan kesejahteraan sosial baru seperti program pensiun, jaminan orang cacat,dan santunan bagi para penganggur.

    Masa-masa kejayaan rejim NK makin menciut, setidaknya, karena dua hal, pertama,

    faktor eksogen berupa perubahan tata ekonomi global terkait deregulasi pasar modal

    demestik dan internasional. Rejim-rejim NK kehilangan kendali atas kebijakan nilai

    tukar, suku bunga dan fleksibilitas fiskal. Mereka juga harus menurunkan standar

    kebijakan sosial untuk menekan biaya tenaga kerja dan meningkatkan daya saing

    internasional. terkena imbasnya sehingga harus melakukan restrukturisasi yang luas

    (Triwibowo dan Bahagijo 2006: 30).

    Kedua, adanya faktor-faktor endogen yang, bersama-sama globalisasi, mendorong

    restrukturisasi NK, yakni: 1. Transisi pascaindustri yang menurunkan kecepatan

    pertumbuhan produktifitas. Hal ini memicu pengangguran menciutkan basis

    anggaran negara di satu sisi dan menambah beban tanggungan negara di sisi lain.

    Pergeseran sektor industri manufaktur yang efisien dan padat modal ke sektor jasa

    yang padat karya juga menyulitkan negara untuk memperluas basis pajak melalui

    peningkatan upah dan gaji. Negara pun mengalami kesulitan membiayai

  • 7/25/2019 Studi Tentang Negara Kesejahteraan

    3/6

    kesejahteraan sosial; 2. Matangnya negara kesejahteraan akibat menuanya struktur

    demografi. Situasi ini memberatkan beban fiskal untuk jaminan sosial di satu sisi dan

    memberatkan beban pajak bagi tenaga kerja produktif di sisi yang lain; 3.

    Transformasi struktur rumah tangga dan keluarga yang ditandai oleh masuknya kaum

    perempuan ke pasar tenaga kerja, merosotnya angka kelahiran, dan meningkatnya

    jumlah single-parent household. Situasi ini memang meningkatkan basis pajak,

    namun pada sisi lain justru menghilangkan jasa-jasa domestik yang semula

    disediakan dalam rumah tangga secara gratis. Alhasil, negara harus menciptakan jasa

    baru atau memberikan subsidi yang cukup besar atas jasa-jasa yang bisa disediakan

    pihak swasta (Pierson dalam Triwibowo dan Bahagijo 2006: 3133).

    Faktor endogen dan eksogen di atas memaksa rejim-rejim NK untuk melakukan

    strategi restukturisasi yang berbeda di setiap tipe rejim. Pada rejim liberal Anglo-

    Saxon, terutama Inggris dan Selandia Baru, stategi yang ditempuh untuk mengatasi

    transisi pascaindustri adalah rekomodifikasi, yaitu memperkuat ikatan tenaga kerja

    kepada pasar. Pasokan kesejahteraan diperketat dan dibatasi. Sementara pada rejim

    sosial demokrasi Skandinavia dan konservatif Eropa Daratan, strategi yang ditempuh

    ada dua, yaitu: 1. Cost containment, upaya menekan defisit anggaran dengan

    mengurangi belanja sosial dan mengurangi beban pajak dengan mengerem kebiajakan

    pajak progresif; 2. Rekalibrasi, yaitu upaya penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan

    baru melalui (a) rasionalisasi (modifikasi kebijakan/program yang ada agar lebihefektif, dan dini dilakukan rejim NK sosial demokrasi, (b) updating (penyusunan

    kebijakan/program baru sebagai tanggapan atas kebutuhan-kebutuhan baru, dan ini

    dilakukan oleh rejim NK konservatif (Ibid).

    Demikianlah, literatur-literatur penting di atas mencoba memberi penjelasan atas NK

    yang merupakan perkembangan kelembagaan kesejahteraan yang fenomenal di

    negara-negara demokrasi kapitalis maju. Pencapaian NK dalam mengangkat

    kesejahteraan warganya menjadi magnet tersendiri yang merangsang negara-negara

    berkembang di belahan Selatan, khususnya Amerika Latin dan Asia Timur, untuk

    melakukan replikasi terbatas dengan membangun kelembagaan NK melalui

    kebijakan-kebijakan kesejahteraan sosial.

    Ada beberapa studi yang dilakukan untuk meneliti eksperimen pelembagaan negara

    kesejahteraan di luar Eropa. Pertama, studi yang dilakukan Segura-Ubiergo menguji

    jalan Amerika Latin dalam pembangunan sistem ksejahteraan dan menganalisis

    dampak globalisasai dan politik domestik pada komitmen anggaran pemerintah pada

    jaminan sosial, kesehatan, dan pendidikan. Negara Amerika Latin dipandang penting

  • 7/25/2019 Studi Tentang Negara Kesejahteraan

    4/6

    sejak negara-negara di kawasan ini, Chili, Kostarika, dan Peru, memiliki sistem

    ksejahteraan yang punya sejarah panjang seperti di Eropa dengan skema pensiun,

    pelayanan kesehatan, dan jaminan keluarga.

    Ubiergo menyimpulkan bahwa: 1. perdagangan yang makin terbuka paralel dengan

    pengurangan secara signifikan pada belanja sosial. Meski dampak tersebut tidaklah

    sama untuk semua kategori. Dampak negatif keterbukaan perdagangan bekerja secara

    penuh melalui pengeluaran jaminan sosial, tapi tidak tampak pada kebijakan di sektor

    pendidikan dan kesehatan; 2. pergeseran ke sistem politik demokratik rupanya tidak

    berdampak negatif pada pengeluaran jaminan sosial, tetapi berhubungan dengan

    peningkatan dalam belanja pendidikan dan kesehatan. Belanja sosial di Amerika Latin

    berbasis pada pekerja di sektor formal padahal mayoritas masyarakat kelas bawah

    bekerja di sektor informal, sehinga kelas mayoritas ini tidak masuk dalam skema

    transfer (utamanya pensiun). Maka tidak mengherankan jika kelompok ini tidak

    menekan pemerintah untuk meningkatkan program jaminan sosial yang tidak

    menguntungkan mereka secara langsung. Hal ini berbeda dengan belanja untuk

    pendidikan dan jaminan kesehatan yang dinikmati oleh segmen penduduk yang lebih

    luas.

    Kedua, studi yang dilakukan Haggard dan Kaufman (2008), menganalisis komitmen

    kesejahteraan di tiga kawasan besar, yaitu Amerika Latin, Asia Timur, Eropa Timurdengan rentang waktu antara awal perang dunia sampai akhir 1970-an. Studi ini

    berkesimpulan bahwa reformasi kesejahteraan di tiga kawasan ini bergerak dalam

    jejak-jejak yang berbeda. Beberapa negara memperluas jaminan dan pelayanan sosial,

    sementara negara lainnya meliberalisasi atau menciutkan komitmen atas kebijakan

    kesejahteraan sosial.

    Kajian ini memperlihatkan perluasan kebijakan sosial dipengaruhi oleh tipe rejim dan

    penyesuaian kebijakan yang dilakukan menghadapi krisis ekonomi. Transisi ke

    pemerintahan demokrasi memperkuat insentif untuk memperluas komitmen

    kesejahteraan public ke sektor penduduk yang rentan. Sementara itu, krisis ekonomi

    yang membuka jalan bagi penyesuaian struktural propasaryang diikuti dengan

    kebangkitan liberalisasi perdagangan dan pasar modal, privatisasi, dan berbagai

    reformasi berorientasi pasarcukup mengganggu sektor yang berlindung dari resiko

    pasar baru karena besaran belanja sosial dipengaruhi oleh faktor ini.

    Negara-negara di kawasan ini mengembangkan model kesejahteraan yang sangat

    berbeda dengan model NK pascaperang di Eropa. Di negeri lahirnya NK, kekuatan dan

  • 7/25/2019 Studi Tentang Negara Kesejahteraan

    5/6

    lingkup gerakan buruh linier dengan lingkup dan progresifitas NK. Kekuatan buruh di

    negara berkembang merepresentasikan segmen yang kecil dari kekuatan kelas

    pekerja, sehingga peran kelas ini kurang signifikan dalam mendorong pelembagaan

    kebijakan kesejahteraan sosial. Manfaat dari kebijakan kesejahteraan sosial

    didapatkan tidak hanya dari pajak para pekerja tetapi juga pajak umum dan inflasi

    kelompok berpendapatan rendah.

    Ketiga, studi yang dilakukan Pierson (2004) yang memeriksa penerapan kebijakan

    kesejahteraan sosial di Amerika Latin dan Asia Timur. Untuk kasus Amerika Latin,

    Pierson membagi tiga golongan eksperimen NK di Amerika Latin, yaitu regional

    pioneer, intermediate, dan late comers. Kategori pertama lebih dulu menerapkan

    kebijakan kesejahteraan sosial dengan cakupan manfaat yang lebih besar ketimbang

    kategori sesudahnya.

    Sementara untuk kasus Asia Timur, Pierson meneliti sistem jaminan sosial di Jepang

    yang lebih tersegregasi dan memperlihatkan pentingnya peran keluarga sebagai

    penyedia kesejahteraan. Komodifikasi kesejahteraan tampak dari upaya

    pengembangan sistem jaminan kesejahteraan kepada perusahaan dan keluarga atau

    komunitas, sedangkan negara hanya berperan dalam penyediaan jasa sosial

    (Triwibowo dan Bahagijo 2006). Lemahnya posisi buruh nampaknya menjadi ciri

    pelembagaan NK di Asia Timur, sehingga tuntutan akan adanya sistem jaminan sosialhampir tidak tampak. Di Taiwan dan Korea Selatan, kebijakan kesejahteraan sosial

    bukan target penting jika dilihat porsi belanja sosial yang sangat rendah.

    Studi lain menunjukkan bahwa sistem jaminan sosial di kawasan ini bersandar pada

    tiga kebijakan utama, yaitu jaminan pensiun, jaminan kesehatan, dan santunan bagi

    orang cacat. Cakupan penerima manfaatnya juga sangat rendah karena banyaknya

    warga yang terserap dalam sektor informal (Huber dalam Triwibowo dan Bahagijo

    2006). Namun NK kesejahteraan tidak identik dengan kebijakan sosial kesejahteraan

    an sich. NK mensyaratkan adanya basis yang penting, yaitu kewargaan sosial,

    sehingga replikasi sistem jaminan sosial di Amerika Latin dinilai dapat disetarakan

    dengan NK di Eropa (Figueira 2005).

    Goodman dan Peng (1996) menyimpulkan bahwa pengadopsian beragam aspek dari

    NK di Asia Timur tidak bisa disandingkan dengan model pelembagaan kesejahteraan

    sosial di Eropa karena perbedaan konteks sosial politik dan budaya yang begitu

    mencolok. Gogh (2000) mencatat bahwa apa yang terjadi di Asia Timur lebih tepat

    dikategorikan sebagai negara developmentalis ketimbang NK yang sepenuhnya

  • 7/25/2019 Studi Tentang Negara Kesejahteraan

    6/6

    menjalankan ekonomi propasar, sehingga kebijakan sosial hanyalah subordinat dalam

    mainstream kebijakan ekonomi (Triwibowo dan Bahagijo 2006).