studi tentang lelang eksekusi terhadap …/studi... · buku-buku, laporan, arsip, makalah, dan...
TRANSCRIPT
i
STUDI TENTANG LELANG EKSEKUSI TERHADAP BENDA SITAAN YANG MENDAPAT PERLAWANAN (VERZET)
DARI TERSITA (Studi Kasus Perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Novrizal Ibnu Murwandono
NIM. E0006191
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI TENTANG LELANG EKSEKUSI TERHADAP BENDA SITAAN YANG MENDAPAT PERLAWANAN (VERZET)
DARI TERSITA (Studi Kasus Perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.)
Oleh
Novrizal Ibnu Murwandono
NIM. E0006191
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Juni 2010 Dosen Pembimbing
Harjono, S.H., M.H. NIP. 196101041986011001
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI TENTANG LELANG EKSEKUSI TERHADAP BENDA SITAAN YANG MENDAPAT PERLAWANAN (VERZET)
DARI TERSITA (Studi Kasus Perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.)
Oleh
Novrizal Ibnu Murwandono
NIM. E0006191
Telah diterima dan dipertahankan dihadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 6 Juli 2010
DEWAN PENGUJI
1. Th. Kussunaryatun, S.H., M.H. : ......................................
Ketua 2. Syafrudin Yudowibowo, S.H., M.H. :
...................................... Sekretaris
3. Harjono, S.H., M.H. : ...................................... Anggota
Mengetahui
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.
iv
NIP.196109301986011001
PERNYATAAN
Nama : Novrizal Ibnu Murwandono
NIM : E0006191
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
STUDI TENTANG LELANG EKSEKUSI TERHADAP BENDA SITAAN
YANG MENDAPAT PERLAWANAN (VERZET) DARI TERSITA (Studi
Kasus Perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt) adalah betul-betul karya
sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi
tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari
terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 7 Juni 2010
yang membuat pernyataan
Novrizal Ibnu Murwandono NIM. E0006191
v
ABSTRAK
Novrizal Ibnu Murwandono, E 0006191. STUDI TENTANG LELANG EKSEKUSI TERHADAP BENDA SITAAN YANG MENDAPAT PERLAWANAN (VERZET) DARI TERSITA (Studi Kasus Perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai, aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang mendapatkan perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt., dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus perkara perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. ditinjau dari Hukum Acara Perdata Indonesia.
Penelitan ini merupakan penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian hukum ini, yaitu menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer berupa Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt., Burgerlijk Wetboek dan Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Bahan hukum sekunder berupa dokumen, buku-buku, laporan, arsip, makalah, dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Bahan hukum tersier berupa data dari internet. Teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu dengan cara studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan metode silogisme dan interpretasi.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan. Aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang mendapatkan perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. adalah Pasal 207 HIR/Pasal 225 RBg, Pasal 195 ayat (1) HIR, Pasal 196 HIR, Pasal 197 ayat (1) HIR, Pasal 200 ayat (1) HIR/Pasal 216 ayat (1) RBg, Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908 : 189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad : 1941 : 3, Peraturan Menteri Keuangan RI No. 40/PMK. 07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan SK Menteri Keuangan Nomor : 06/KM.06/UP.11/2007 tertanggal 3 Mei 2007 serta Surat Tugas dari Kepala KPKNL Surakarta Nomor : ST-332/WKN.09/KP.02/2008 tanggal 1 Agustus 2008. Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus perkara perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. telah sesuai dengan aturan Hukum Acara Perdata Indonesia. Gugatan perlawanan ditolak untuk seluruhnya, karena pelawan tidak dapat membuktikan dalil guna menangguhkan lelang eksekusi, meskipun dalam pemeriksaan perkara perdata perlawanan seharusnya diperiksa dan diputus terlebih dahulu sebelum eksekusi dijalankan.
Kata kunci : perlawanan, sita eksekusi, eksekusi.
vi
ABSTRACT
Novrizal Ibnu Murwandono, E 0006191. A STUDY OF EXECUTION AUCTION ON CONFISCATED OBJECT GETTING OPPOSITION (VERZET) FROM THE CONFISCATED (A Case Study on Case Number : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt). Law Faculty of Sebelas Maret University.
This research aims to study and to answer problem about the law ordinances underlying the auction of land execution opposed by the confiscated in the case Number : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. The rationale of judge’s deliberation of Klaten First Instance Court in deciding the opposition case Number : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. viewed from Indonesian Civil Code.
This study belongs to a normative law research that is descriptive in nature. The data type employed was secondary one. The secondary data source employed included primary and secondary law materials. The primary law material included the Decision of Klaten First Instance Court Number : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt., Burgerlijk Wetboek and Herziene Indlandsch Reglement (HIR). The secondary law materials included documents, books, reports, archives, papers, and literatures relevant to the problem studied. The tertiary law material is data from network. Technique of collecting data used was library study, the secondary data collection. Technique of analyzing data used was syllogism and interpretation.
Considering the result of research and discussion, the following conclusions can be drawn. The laws underlying the auction of land execution opposed by the confiscated in the case Number : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt are Articles 207 HIR/225 RBG, 195 clause (1) HIR, 196 HIR, 197 clause (1) HIR, 200 clause (1) HIR/216 clause (1) RBg, Vendu Reglement, Ordonantie February 28, 1908 Staatsblad 1908 : 189 as amended for several times and finally amended with Staatsblad : 1941: 3, RI’s Financial Minister No. 40/PMK. 07/2006 about the Instruction of Auction Organization and Financial Minister’s Decision Number : 06/KM.06/UP.11/2007 dated May 3, 2007 as well as Instruction of Surakarta KPKNL Principal Number : ST-332/WKN.09/KP.02/2008 on August 1, 2008. The rationale of judge’s deliberation of Klaten First Instance Court in deciding the opposition case Number : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. has been consistent with the Indonesian Civil Code. The opposition indictment is rejected as a whole, because the opponent cannot prove the proposition to delay the execution auction, although in civil law of practise opposition should be investigated and decided prior to the execution run.
Keywords : opposition, execution confiscation, execution.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan ridho-Nya, penulis
dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini dengan baik. Penulisan hukum
ini membahas mengenai aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah
yang mendapatkan perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor :
39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. dan dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri
Klaten dalam memutus perkara perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.
ditinjau dari Hukum Acara Perdata Indonesia.
Penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat memberikan referensi
mengenai bahan yang terkait. Penulisan hukum ini tidak lepas dari bantuan yang
telah diberikan oleh pihak lain kepada penulis, oleh karena itu penulis
mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta;
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
3. Bapak Syafrudin Yudo Wibowo S.H., M.H. selaku Pembimbing
Akademik dan Dosen Penguji Penulisan Hukum;
4. Bapak Harjono S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing dan Penguji
Penulisan Hukum, yang telah membimbing penulis hingga penulisan
hukum ini dapat diselesaikan dengan baik;
5. Ibu Th. Kussunaryatun, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Penulisan
Hukum;
6. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H. selaku Ketua Pengelola Penulisan
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
7. Para dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta di semua
bagian untuk ilmu yang tak akan terputus, semoga berguna bagi penulis;
viii
8. Bapak Santun Simamora, S.H., M.Hum., selaku Ketua Pengadilan Negeri
Klaten;
9. Bapak Jaka M. Nur Hasan, S.H., selaku Kepala Kepaniteraan Muda
Bagian Hukum Pengadilan Negeri Klaten;
10. Bapak Murtiman, B.A. dan Ibu Rajinem sebagai orang tua yang selalu
memberikan dukungan dan memenuhi kebutuhan baik lahir maupun batin
bagi penulis dalam menempuh pendidikan;
11. Temanku Chandra, Amriza, Hendro, Vera, Fafa, Tina, Octavia, Sophie,
teman-teman MCC Pers 2010, Yolanda FC dan Cassava FC yang selalu
solid dalam menjaga persahabatan. Salam semangat dan sukses selalu
untuk kita;
12. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
angkatan 2006 yang senantiasa menjaga persahabatan dengan baik;
13. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu, semoga Allah SWT membalas semua bantuan yang
telah diberikan.
Semoga Penulisan Hukum ini bermanfaat bagi pihak yang membaca, menjadi
referensi dan dicatat sebagai amal kepada penulis dan seluruh pihak yang telah
membantu sampai selesainya penyusunan Penulisan Hukum ini.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Surakarta, Juni 2010
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ..................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR BAGAN ......................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 6
E. Metode Penelitian .......................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan Hukum ....................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ............................................................................. 13
1. Tinjauan tentang Perlawanan ................................................. 13
a. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Perlawanan ................... 13
b. Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi ............................... 16
2. Tinjauan tentang Sita Eksekusi............................................... 18
x
a. Pengertian Sita Eksekusi.................................................. 18
b. Macam-Macam Sita Eksekusi ........................................ 19
c. Sita Eksekusi dan Lelang Lanjutan ................................. 20
3. Tinjauan tentang Eksekusi ..................................................... 21
a. Pengertian Eksekusi ........................................................ 21
b. Peraturan-Peraturan tentang Eksekusi ............................ 23
c. Syarat-Syarat Eksekusi ................................................... 24
d. Jenis-Jenis dan Prosedur Eksekusi .................................. 24
e. Hambatan Eksekusi ......................................................... 29
f. Penundaan atau Penangguhan Eksekusi ......................... 30
g. Bentuk Penundaan atau Penangguhan Eksekusi ............ 31
4. Tinjauan tentang Perjanjian Pinjam-Meminjam .................... 32
a. Pengertian Perjanjian Pinjam-Meminjam ....................... 32
b. Subyek dan Obyek Perjanjian Pinjam-Meminjam .......... 33
c. Peminjaman dengan Bunga dalam Perjanjian Pinjam-
Meminjam ....................................................................... 33
5. Tinjauan tentang Penanggungan atau Jaminan Perorangan ... 34
a. Pengertian Penanggungan atau Jaminan Perorangan ...... 34
b. Sifat Perjanjian Penanggungan ....................................... 35
c. Hapusnya Perjanjian Penanggungan ............................... 36
d. Bentuk-Bentuk Penanggungan ........................................ 37
6. Tinjauan tentang Tanah sebagai Benda Jaminan ................... 37
B. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 38
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ............................................................................. 41
xi
B. Pembahasan ................................................................................... 53
1. Aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah
yang mendapatkan perlawanan dari tersita dalam perkara
Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. .........................................
53
2. Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam
memutus perkara perlawanan Nomor :
39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. ditinjau dari Hukum Acara Perdata
Indonesia ................................................................................
62
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ........................................................................................ 71
B. Saran .............................................................................................. 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
DAFTAR BAGAN
Bagan Kerangka Pemikiran .............................................................................. 39
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia
lain. Interaksi terjalin karena kebutuhan hidup manusia sangat beragam.
Hubungan antara manusia satu dengan lainnya tidak hanya menyangkut aspek
kemanusiaan, sosial dan budaya serta aspek-aspek yang lain, tetapi menyangkut
pula aspek hukum. Naluri mempertahankan hidup membuat manusia berpikir
untuk mengatur hubungannya dengan individu yang lain. Interaksi antar sesama
manusia, baik individu maupun kelompok kadang disertai dengan perjanjian
diantara mereka. Perjanjian yang didasarkan atas hukum sangatlah penting, karena
menyangkut hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Hukum perjanjian di Indonesia masih menggunakan produk pemerintah
Hindia Belanda. Peraturan mengenai perjanjian diatur dalam Buku III
KUHPerdata tentang Perikatan. Pasal 1313 KUHPerdata memuat tentang
pengertian perjanjian. Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka (open
system), artinya bahwa para pihak bebas mengadakan perjanjian dengan siapa
pun, menentukan syarat-syaratnya, pelaksanaannya dan bentuk perjanjian itu, baik
tertulis maupun lisan (Salim HS, 2005 : 1). Para pihak diperkenankan untuk
mengadakan perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata. Pasal 1320 dan
Pasal 1338 KUHPerdata mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian dan
prinsip kebebasan untuk membuat perjanjian. Pelaksanaan perjanjian menjadi
pokok masalah penting setelah disepakati dan mengikat para pihak. Perjanjian
melahirkan prestasi dan kontraprestasi yang harus dipenuhi oleh para pihak.
xiii
Contract law is conventionally understood to be uncorcerned with fault. In the influential words of the Restatement : Contract liability is strict liability. It is an accepted maxim that pacta sunt servanda, contracts are to be kept. The obligor is therefore liable in damages for breach of contract even if he is without fault and even if circumstances have made the contract more burdensome or less desirable than he had anticipated (Eric A. Posner, 2009 : 8).
Hukum kontrak biasanya dimengerti untuk tidak mempermasalahkan kesalahan. Pengaruhnya menimbulkan pendapat lain : Pertanggungjawaban kontrak adalah pertanggungjawaban mutlak. Itu dapat diterima sebagai asas pacta sunt servanda, kontrak-kontrak tetap dijaga. Pihak yang dibebani kewajiban untuk itu bertanggung jawab atas kerugian-kerugian terhadap pelanggaran kontrak bahkan jika dia tanpa kesalahan dan bahkan jika keadaan telah dibuat kontrak yang lebih berat dan tidak lebih dari yang diinginkannya guna diantisipasi.
Seseorang yang membutuhkan modal usaha dapat meminjam uang kepada
orang lain untuk dijadikan sebagai modal usaha dan dilakukan dengan
mengadakan perjanjian pinjam-meminjam. Perjanjian pinjam-meminjam dapat
disertai dengan keterlibatan pihak ketiga sebagai penjamin atau penanggung utang
dari debitur. Peraturan tentang jaminan dalam KUHPerdata menganut sistem
tertutup (closed system), maksudnya orang tidak dapat mengadakan hak-hak
jaminan baru, selain yang telah ditetapkan undang-undang (Salim HS, 2004 : 12).
Penanggungan dimaksudkan, apabila debitur cidera janji dengan tidak melunasi
utangnya pada saat jatuh tempo, maka penanggung berkewajiban melunasinya
dengan cara menjual harta kekayaannya. Jaminan yang dapat digunakan dalam
penanggungan utang adalah harta kekayaan penanggung, baik benda bergerak
maupun benda tidak bergerak.
Adakalanya debitur melalaikan kewajiban untuk membayar utang dan
penanggung utang berkewajiban melunasinya. Kreditur dapat mengajukan
gugatan ke pengadilan apabila pelunasan utang tidak dipenuhi oleh debitur dan
penanggung utang. Gugatan itu bertujuan agar hak kreditur yang dilanggar dapat
terpenuhi. Gugatan diajukan ke pengadilan negeri sebagai lembaga peradilan
tingkat pertama.
1
xiv
Hakim dalam menangani perkara perdata, bertugas mencari kebenaran
sesungguhnya dari apa yang dikemukakan dan dituntut para pihak dan tidak boleh
melebihi dari itu, kebenaran itu disebut dengan kebenaran formil (Abdulkadir
Muhammad, 2008 : 21). Mediasi atau perdamaian adalah langkah awal yang
ditempuh dalam menyelesaikan suatu perkara perdata. Hakim harus berusaha
mendamaikan para pihak yang berperkara pada saat hari sidang yang telah
ditentukan. Perkara akan diperiksa dan diputus oleh majelis hakim bila upaya
mediasi yang dilakukan gagal. Pihak yang tidak puas atas putusan hakim, dapat
mengajukan upaya hukum Banding. Masih terbuka pula upaya hukum Kasasi
yang diajukan ke Mahkamah Agung bagi pihak yang tidak puas terhadap putusan
Banding. Perkara yang diputus pada tingkat Kasasi selalu mempunyai kekuatan
hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan dapat dijalankan eksekusi putusan
hakim, meskipun masih dapat diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK)
yang merupakan upaya hukum luar biasa.
Eksekusi putusan hakim dapat dijalankan atas permohonan pihak yang
menang dalam perkara, apabila pihak yang kalah tidak dengan sukarela
melaksanakan putusan hakim. Proses eksekusi didahului dengan aanmaning,
diikuti dengan penetapan dan pelaksanaan sita eksekusi, diakhiri dengan eksekusi
terhadap harta kekayaan pihak yang kalah. Eksekusi dijalankan atas perintah dan
dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Eksekusi putusan hakim terkadang
mengalami berbagai hambatan. Hambatan yang terjadi dapat menangguhkan
eksekusi untuk sementara waktu. Bentuk hambatan eksekusi salah satunya adalah
perlawanan oleh pihak tereksekusi. Perlawanan oleh pihak tereksekusi terhadap
eksekusi putusan hakim merupakan salah satu bentuk upaya hukum luar biasa.
Perlawanan oleh tereksekusi pada asasnya tidak dapat menangguhkan eksekusi,
tetapi dalam praktiknya ada alasan perlawanan yang dianggap relevan untuk
menangguhkan eksekusi.
Pengadilan Negeri Klaten telah memutus perkara perlawanan Nomor :
39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. terkait perlawanan terhadap sita eksekusi oleh tersita.
Awal perkara, WHP meminjam uang kepada YS sebesar Rp. 434.404.206,00
xv
dengan melibatkan D (atas ijin suaminya DH) sebagai penanggung utang yang
menjaminkan sebidang tanah SHM Nomor. 312/Desa Gatak, Kecamatan
Delanggu, Kabupaten Klaten seluas ± 2180 M². Utang piutang itu dituangkan
dalam akta notaris tertanggal 6 Januari 2004.
WHP harus melunasi utangnya dalam jangka waktu 7 bulan sejak dimulainya
peminjaman. D sanggup melunasi utang dengan menjual tanah yang dijadikan
jaminan utang, apabila WHP tidak mampu melunasi utangnya. WHP tidak mampu
melunasi utangnya hingga waktu jatuh tempo dan D tidak memenuhi
kewajibannya.
YS mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Klaten karena WHP dan D
telah ingkar janji. Perkara diperiksa setelah mediasi gagal dan mejelis hakim
memutus Tergugat I/WHP telah ingkar janji dan harus melunasi utangnya sebesar
Rp. 367.355.201,00 serta mengganti kerugian materiil sebesar Rp. 4.591.940,00.
Jumlah utang telah diperhitungkan dengan angsuran sebelumnya. Pemenuhan
putusan hakim dilakukan dengan cara menjual lelang sebidang tanah milik
Tergugat II/D. Turut Tergugat/DH dihukum untuk mematuhi segala isi putusan.
Para pihak yang kalah mengajukan upaya hukum sampai tingkat Kasasi.
Permohonan Kasasi ditolak dan menguatkan putusan sebelumnya. Putusan Kasasi
selalu mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan dapat
dijalankan eksekusi.
Penggugat/YS mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan
Negeri Klaten. Ketua Pengadilan Negeri Klaten mengeluarkan surat penetapan
sita eksekusi. Para Termohon Eksekusi merasa tidak terima atas penetapan sita
eksekusi dan mengajukan perlawanan sita eksekusi. Upaya perlawanan tidak
menangguhkan eksekusi, kecuali Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan untuk
itu. Eksekusi dalam perkara ini tetap dijalankan meskipun perlawanan masih
diperiksa oleh Pengadilan Negeri Klaten. Perkara perlawanan diputus setelah
eksekusi selesai dijalankan.
xvi
Bertitik tolak dari uraian diatas, menjadi penting penelitian mengenai
perlawanan yang diajukan oleh tersita terhadap sita eksekusi sebidang tanah yang
menjadi obyek jaminan dalam perjanjian utang piutang. Aturan hukum yang
dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang mendapatkan perlawanan dari tersita
dan dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus perkara
perlawanan tersita penting untuk diketahui. Putusan perlawanan dalam perkara
perdata yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah Perkara Nomor :
39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. di Pengadilan Negeri Klaten.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, penulis tertarik
untuk meneliti dan menuangkannya dalam penulisan hukum dengan judul :
“STUDI TENTANG LELANG EKSEKUSI TERHADAP BENDA SITAAN
YANG MENDAPAT PERLAWANAN (VERZET) DARI TERSITA (Studi
Kasus Perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.).”
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian harus tegas, agar dapat memperoleh
data yang dibutuhkan dalam penelitian dan menghindari data yang tidak
diperlukan. Dalam perumusan masalah akan diperoleh kerangka yang sistematis
dan terbatas pada obyek yang bersifat pokok saja. Berdasarkan pada latar
belakang yang telah diuraikan diatas, peneliti merumuskan masalah untuk dikaji
lebih terperinci. Adapun beberapa masalah yang dikaji dalam penelitian ini, antara
lain :
1. Apa aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang
mendapatkan perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor :
39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.?
2. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam
memutus perkara perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. ditinjau dari
Hukum Acara Perdata Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
xvii
Tujuan merupakan target yang ingin dicapai sebagai pemecahan atas berbagai
masalah yang diteliti (tujuan obyektif) dan untuk memenuhi kebutuhan
perorangan (tujuan subyektif). Tujuan penelitian diperlukan karena berkaitan erat
dengan perumusan masalah dalam penelitian dan untuk memberikan arah yang
tepat dalam penelitian agar dapat berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif :
a. Untuk mengetahui aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi
tanah yang mendapatkan perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor :
39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.;
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten
dalam memutus perkara perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.
ditinjau dari Hukum Acara Perdata Indonesia.
2. Tujuan Subyektif :
a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam
penyusunan penulisan hukum guna memenuhi persyaratan akademis bagi
setiap mahasiswa dalam meraih gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu
hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
b. Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan dan
pengalaman serta pemahaman aspek hukum acara perdata dalam teori
dan praktik di lapangan, khususnya mengenai perlawanan tersita terhadap
sita eksekusi dalam perkara perdata;
c. Untuk mendalami teori dan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama
menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan adanya manfaat dan kegunaan, karena nilai
suatu penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari
penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan oleh penulis dalam
penelitian ini, antara lain :
xviii
1. Manfaat Teoritis :
a. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang ilmu hukum pada umumnya,
khususnya hukum acara perdata, terutama yang berkaitan dengan
perlawanan oleh tersita terhadap sita eksekusi dalam perkara perdata;
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah referensi di bidang
karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan;
c. Penelitian ini merupakan latihan dan pembelajaran dalam menerapkan
teori yang diperoleh, sehingga dapat menambah pengetahuan,
pengalaman dan dokumentasi ilmiah.
2. Manfaat Praktis :
a. Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dalam teori
dan praktik penelitian ilmiah di bidang ilmu hukum;
b. Hasil penelitian dapat memberikan jawaban atas permasalahan-
permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini;
c. Meningkatkan wawasan dalam pengembangan pengetahuan bagi peneliti
akan permasalahan yang diteliti dan dapat dipergunakan sebagai bahan
tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan permasalahan
dalam penelitian ini.
E. Metode Penelitian
Penelitian ilmiah harus disusun dengan berpedoman pada metode yang tepat.
Peneliti harus cermat dalam menggunakan metode, agar hasil penelitian sesuai
dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Metode penelitian merupakan suatu
unsur yang mutlak harus ada didalam penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan (Soerjono Soekanto, 2007 : 7). Hakikatnya metode memberikan
pedoman bagi peneliti untuk mempelajari, menganalisa dan memahami
lingkungan-lingkungan yang akan dihadapinya. Pengertian dari metode penelitian
adalah suatu unsur mutlak yang memberikan pedoman dalam penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Adapun metode penelitian yang peneliti
gunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
xix
Berdasarkan judul dan permasalahan yang diteliti, jenis penelitian ini
adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengkonsepkan hukum
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books)
atau hukum sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku
manusia yang dianggap pantas (Amirudin dan Zainal Asikin, 2004 : 118).
Penelitian hukum jenis ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier yang berkaitan dengan obyek penelitian. Bahan-
bahan hukum itu disusun secara sistematis, dikaji dan ditarik suatu
kesimpulan sesuai dengan masalah yang diteliti.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang menguji adanya
suatu fakta yang disebabkan oleh faktor tertentu (Peter Mahmud Marzuki,
2008 : 35). Penulis dalam penelitian ini ingin mendeskripsikan mengenai
dasar yuridis lelang eksekusi yang mendapat perlawanan dari tersita dan dasar
pertimbangan hakim dalam memutus perlawanan tersita ditinjau dari aspek
Hukum Acara Perdata Indonesia, yang merupakan faktor tertentu. Lelang
eksekusi yang tetap berjalan meskipun mendapat perlawanan dari tersita dan
putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. yang
menolak perlawanan tersita, merupakan suatu fakta.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case
study). Studi kasus (case study) merupakan studi terhadap kasus tertentu dari
berbagai aspek hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 94). Studi kasus
memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan terperinci
mengenai latar belakang keadaan yang dipermasalahkan. Kasus yang diteliti
merupakan satu kesatuan secara mendalam, hasilnya merupakan gambaran
lengkap atas kasus itu (Beni Ahmad Saebani, 2009 : 58). Kasus yang menjadi
xx
fokus penelitian ini, yaitu perlawanan sita eksekusi oleh tersita dalam perkara
Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.
4. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah data
sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka yang memuat
informasi atau data tersebut. Data sekunder meliputi dokumen-dokumen
resmi, buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, laporan, majalah,
artikel dan sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan masalah yang akan
diteliti.
5. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah
sumber data sekunder. Sumber data sekunder adalah sumber data yang
diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang dapat berupa dokumen, buku-buku
literatur, majalah dan artikel yang berkaitan dengan masalah yang akan
diteliti. Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
norma atau kaidah dasar hukum acara yang berlaku di Indonesia, antara
lain :
1) Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
2) Herziene Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang
diperbaharui (RIB);
3) Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.
Putusan pengadilan merupakan bahan hukum primer disamping
undang-undang, karena putusan pengadilan merupakan konkretisasi
dari undang-undang.
xxi
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang mendukung
data sekunder dari bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari buku-buku literatur di bidang
hukum, pendapat para sarjana (doktrin), jurnal-jurnal hukum, majalah,
artikel dan karya ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang akan
diteliti.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, yang mencakup kamus hukum, bahan-bahan dari
internet dan bahan lain yang berhubungan dengan masalah dalam
penelitian.
6. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat
penting dalam penulisan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini dengan cara studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data
sekunder. Penulis mengumpulkan data sekunder dari peraturan perundang-
undangan yang berlaku, buku-buku, dokumen resmi, jurnal-jurnal hukum dan
artikel yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data untuk memperoleh jawaban dalam penelitian hukum
ini dengan menggunakan metode silogisme dan interpretasi. Penggunaan
silogisme dalam penelitian hukum ini berpangkal pada pengajuan premis
mayor dan kemudian diajukan premis minor, selanjutnya ditarik suatu
simpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 47). Dalam logika
silogistik untuk penalaran hukum, yang merupakan premis mayor adalah
aturan hukum, sedangkan fakta hukum merupakan premis minor yang
kemudian dari kedua premis tersebut ditarik kesimpulan.
xxii
Pada penelitian ini, Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata), Herziene Inlandsch Reglement (HIR), sebagai premis mayor.
Adapun premis minor, yaitu perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. Akhir
dari proses silogisme tersebut diperoleh simpulan (conclusion) atas
permasalahan dalam penelitian hukum ini.
Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang
memberi penjelasan mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah
dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode interpretasi
adalah sarana untuk mengetahui makna undang-undang. Menjelaskan
ketentuan undang-undang adalah untuk merealisir fungsi agar hukum positif
itu berlaku (Sudikno Mertokusumo, 1999 : 154).
Metode interpretasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
interpretasi Teleologis atau Sosiologis, yaitu apabila makna undang-undang
ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dalam interpretasi Teleologis
atau Sosiologis, undang-undang yang masih berlaku namun sudah usang atau
sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan
dan kepentingan masa kini, tidak mempedulikan apakah hal ini semuanya
pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut tidak dikenal atau tidak.
Peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi
sosial yang baru, untuk menyelesaikan sengketa kehidupan waktu sekarang
(Sudikno Mertokusumo, 1999 : 156).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk mempermudah pemahaman dan memberikan gambaran secara
menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan
baru dalam penulisan hukum, maka penulis menjabarkannya dalam sistematika
penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat)
bab. Setiap bab terbagi dalam sub-sub bab yang dimaksudkan untuk memudahkan
pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan
hukum tersebut, sebagai berikut :
xxiii
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menguraikan pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan tentang materi-materi dan landasan teori
berdasarkan sumber-sumber data yang digunakan oleh penulis berkaitan
dengan masalah yang diteliti. Tinjauan pustaka terbagi atas dua bagian,
yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi
tinjauan tentang perlawanan, sita eksekusi, eksekusi, perjanjian pinjam-
meminjam, penanggungan dan tanah sebagai benda jaminan. Kerangka
pemikiran merupakan gambaran logika hukum berbentuk bagan dan
disertai deskripsi singkat guna mempermudah alur pemikiran dalam
menjawab permasalahan yang diteliti.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai hasil penelitian dan
pembahasan yang diperoleh dalam proses penelitian. Berdasarkan
rumusan masalah yang diteliti, terdapat pokok masalah yang dibahas
dalam bab ini, yaitu mengenai aturan hukum yang dijadikan dasar
lelang eksekusi tanah yang mendapatkan perlawanan dari tersita dan
dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus
perkara perlawanan dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.
ditinjau dari Hukum Acara Perdata Indonesia.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini diterangkan dari keseluruhan uraian yang telah
dipaparkan ke dalam bentuk simpulan dan saran-saran yang dapat
penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan penulisan
hukum ini.
xxiv
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Perlawanan
a. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Perlawanan
Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang
dijatuhkan diluar kehadiran tergugat atau biasanya disebut putusan
verstek. Dasar hukumnya dalam Pasal 125 Ayat (3) jo. Pasal 129 HIR
dan Pasal 149 Ayat (3) jo. Pasal 153 RBg. Pada asasnya perlawanan
sebagai media bagi pihak tergugat yang pada umumnya berkedudukan
sebagai pihak yang dikalahkan dalam suatu perkara perdata, karena
ketidakhadiran tergugat dalam pemeriksaan di persidangan meskipun
telah dipanggil secara patut (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 232).
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 290.K/Sip/1973,
tanggal 13 Agustus 1974 menyatakan bahwa perlawanan yang diajukan
terlambat harus dinyatakan tidak dapat diterima, bukan ditolak.
Praktik dalam peradilan, ada berbagai macam bentuk verzet. Bentuk
verzet yang lain diantaranya (R. Soeparmono, 2000 : 160-161) :
1) Verzet atas Sita Conservatoir (Conservatoir Beslag), yaitu
perlawanan yang diajukan oleh tergugat/debitur terhadap sita atas
barang tidak tetap dan barang tetap miliknya;
2) Verzet atas Sita Revindicatoir (Revindicatoir Beslag), yaitu
perlawanan yang diajukan oleh tergugat/debitur terhadap sita atas
barang tidak tetap milik kreditur yang dikuasai oleh debitur;
xxv
Verzet terhadap sita conservatoir dan sita revindicatoir sama
sekali tidak diatur dalam HIR. Sita jaminan tidak ditujukan untuk
melakukan eksekusi terhadap barang sitaan, hanya sekedar melarang
tersita untuk melakukan perbuatan hukum terhadap barang sitaan.
Sita jaminan tetap dapat menimbulkan kerugian bagi tersita. Dalam
Rv justru diatur tentang ketentuan tentang perlawanan terhadap sita
jaminan. Pasal 724 dan Pasal 725 Rv mengatur tentang perlawanan
yang diajukan oleh tersita dalam suatu pemeriksaan perkara atas sah
dan berharga atau tidaknya sita jaminan yang harus diadakan 8 hari
setelah sita ditetapkan.
3) Verzet oleh pihak ketiga atau biasa disebut Derden Verzet, yaitu
suatu perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang merasa
kepentingan dan hak-haknya dirugikan karena adanya sita dari
pengadilan;
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No.
306.K/Sip/1962 tanggal 31 Oktober 1962 menyatakan, bahwa
perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga selaku pemilik barang
yang disita dapat diterima, dalam hal sita conservatoir belum
disahkan (van waarde verklaard). Verzet terhadap conservatoir
beslag bersifat insidentil, apabila perlawanan diterima seharusnya
diperiksa secara tersendiri (insidentil) dengan menunda pemeriksaan
terhadap pokok perkara. Dasar hukumnya adalah Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI No. 1346.K/Sip/1971 tanggal 23 Juli 1973.
4) Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan baik conservatoir
beslag maupun revindicatoir beslag (tidak diatur dalam HIR, RBg
maupun Rv);
Perlawanan pihak ketiga didasarkan pada hak milik. Pelawan
harus dapat membuktikan bahwa barang yang disita adalah miliknya,
agar dapat dinyatakan sebagai pelawan yang benar dan sita akan
diangkat. Pelawan yang tidak dapat membuktikan hak miliknya akan
dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar dan sita akan tetap
13
xxvi
dipertahankan. Perlawanan terhadap sita conservatoir tidak akan
dapat memenuhi perlawanannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
195 (6) HIR, karena perlawanan bukan berdasarkan atas hak milik.
Perlawanan oleh pihak ketiga berdasarkan hak milik atas barang
yang disita dapat diterima selama sita belum disahkan
(http://hukumpedia.com/index.php?title=Sita_jaminan>[20 Januari
2010 pukul 10.00]).
5) Verzet atas Sita Eksekusi, yaitu perlawanan yang dilakukan oleh
pihak yang dikalahkan (debitur) terhadap eksekusi. Perlawanan
terhadap Sita Eksekusi ini diatur dalam Pasal 195 ayat (6) dan Pasal
207 HIR/Pasal 225 RBg;
Perlawanan terhadap sita eksekusi bisa dilakukan selama barang
yang disita masih belum dilelang atau masih belum dilaksanakan
penyerahannya kepada pihak yang menang. Perlawanan tidak akan
berhasil dan akan ditolak bila diajukan terlambat, meskipun pelawan
adalah pihak yang benar dan pemilik yang sah atas barang yang
disita. Barang yang telah dilelang tetap berada ditangan pembeli dari
pelelangan dan terhadap barang yang telah diserahkan kepada pihak
pemenang lelang tetap ditangan yang menerima barang. Cara yang
dapat ditempuh oleh pelawan adalah mengajukan gugatan kepada
tergugat semula untuk mendapatkan ganti rugi (Putusan Mahkamah
Agung tertanggal 24 Januari 1980 No. 393/K/Sip/1975). Pada
umumnya yang dimohonkam pelawan dalam perlawanannya adalah :
1. Menyatakan bahwa perlawanan tersebut adalah tepat dan
beralasan;
2. Menyatakan bahwa pelawan adalah pelawan yang benar;
3. Meminta agar sita jaminan atau sita eksekutorial yang
bersangkutan diperintahkan untuk di angkat;
4. Meminta agar para terlawan dihukum untuk membayar biaya
perkara.
xxvii
Apabila pelawan dapat membuktikan bahwa barang yang disita
itu miliknya, maka keempat hal yang diminta tersebut diatas akan
dikabulkan. Pengadilan akan menyatakan perlawanan tidak beralasan
dan pelawan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak benar, apabila
tidak dapat membuktikan. Penyitaan pun tetap dipertahankan dan
biaya perkara dibebankan kepada pelawan (Retnowulan Sutantio dan
Iskandar Oeripkartawinata, 2009 : 176-177).
6) Derden Verzet atas Sita Eksekusi, yaitu perlawanan dari pihak ketiga
yang merasa dirugikan kepentingan dan hak-haknya karena adanya
sita eksekusi. Dasar hukum perlawanan pihak ketiga terhadap sita
eksekusi diatur dalam Pasal 195 ayat (6) dan Pasal 208 HIR/Pasal
206 dan Pasal 228 RBg;
7) Verzet atas Eksekusi Riil, yaitu perlawanan yang dilakukan oleh
debitur karena kepentingan dan hak-haknya dirugikan oleh tindakan
kreditur dalam hal eksekusi riil, seperti penyerahan barang,
pengosongan, penjualan lelang dan pembayaran uang;
8) Verzet atas Sita yang lain, seperti Sita Maritaal, Sita Gadai
(Pandbeslag), dan lain sebagainya.
b. Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi
Pelaksanaan putusan hakim yang pada dasarnya berupa penyitaan
barang-barang milik pihak yang dikalahkan dalam perkara perdata dapat
diajukan perlawanan, baik oleh pihak yang kalah maupun pihak ketiga.
Perlawanan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang menjalankan
eksekusi atau dalam wilayah hukumnya terjadi penyitaan itu dan dapat
diajukan secara lisan ataupun tertulis. Perlawanan oleh tersita terhadap
sita eksekusi atas barang miliknya, dapat mengemukakan alasan-alasan
yang dapat diterima (Abdulkadir Muhammad, 2008 : 241), sebagai
berikut :
1) Putusan pengadilan tersebut sudah dipenuhi;
xxviii
Apabila pelaksanaan sita telah selesai, namun pihak yang kalah
mampu memenuhi isi putusan dengan membayar utangnya.
Penyitaan dapat dilawan karena putusan pengadilan sudah selesai
dilaksanakan dan penyitaan itu harus diangkat.
2) Syarat penyitaan tidak sesuai atau bertentangan dengan undang-
undang;
Contoh : Pelaksanaan putusan dapat dilawan jika tanpa ada
pemberitahuan kepada yang bersangkutan atau tidak menurut
tenggang waktu yang telah ditetapkan.
3) Penyitaan bertentangan dengan ketentuan Pasal 197 Ayat (8) HIR/
Pasal 211 RBg, yaitu terhadap hewan dan barang bergerak untuk
menjalankan perusahaan/yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh
tersita.
Sekarang ini, hanya ada satu alasan yang dianggap paling relevan
sebagai dalil atas perlawanan tersita terhadap eksekusi. Alasannya yaitu
putusan yang dieksekusi telah dipenuhi seluruhnya atau grosse akta
(pengakuan hutang, hak tanggungan, atau jaminan fidusia) telah dilunasi
seluruhnya atau sebagian, sedangkan pelunasan sebagian itu tidak
dikurangi jumlah utang (M. Yahya Harahap, 2006 : 437).
Perlawanan terhadap penyitaan dapat diajukan oleh pihak ketiga
apabila ternyata barang yang disita adalah barang milik pihak ketiga dan
dia dapat membuktikan hak miliknya. Perlawanan pada asasnya tidak
menangguhkan eksekusi putusan hakim (pelelangan atas barang sitaan),
kecuali apabila Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan
memerintahkan agar menangguhkan eksekusi sampai dijatuhkan putusan
terhadap perlawanan tersebut (Pasal 196 ayat (6), Pasal 207 dan Pasal
208 HIR/Pasal 206 ayat (3), Pasal 225 s.d. 228 RBg). Penundaan
eksekusi dapat diterapkan apabila perlawanan tersita didasarkan pada
Pasal 207 HIR/Pasal 225 RBg yang disesuaikan dengan asas kasuistik
dan asas eksepsional (M. Yahya Harahap, 2006 : 435).
xxix
Perlawanan secara faktual apabila diajukan dengan alasan yang
sangat mendasar, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat menunda
eksekusi sampai putusan perlawanan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Perlawanan diajukan setelah selesai pelaksanaan putusan hakim/
penjualan lelang, maka oleh pengadilan negeri harus ditolak dan tidak
dapat dibenarkan. Jalan yang dapat ditempuh oleh pelawan adalah
dengan mengajukan gugat baru.
Perlawanan yang diajukan oleh tersita terhadap eksekusi pada
dasarnya mempunyai beberapa tujuan. Tujuan itu meliputi :
a). Membatalkan eksekusi dengan jalan menyatakan putusan yang
hendak dieksekusi tidak mengikat;
b). Mengurangi nilai jumlah yang dieksekusi.
Perlawanan tersita terhadap eksekusi dalam praktiknya tidak semua
mempunyai makna seperti pada tujuan tersebut diatas. Perlawanan yang
diajukan sebagian besar hanya sebagai kedok untuk menunda proses
eksekusi. Tersita berharap mendapat kelonggaran waktu untuk
mengusahakan memenuhi putusan, apabila eksekusi ditunda.
2. Tinjauan tentang Sita Eksekusi
a. Pengertian Sita Eksekusi
Sita eksekusi adalah sita yang didasarkan pada titel eksekutorial.
Titel eksekutorial tercantum dalam putusan hakim. Sita eksekusi
dijalankan oleh jurusita dengan dibantu oleh panitera (panitera
pengganti) disertai 2 (dua) orang saksi dan menandatangani berita acara
sita eksekusi. Barang yang dapat disita secara eksekutorial adalah barang
bergerak milik pihak yang dikalahkan dan memang diprioritaskan
terlebih dahulu untuk disita (Pasal 197 ayat (1) HIR/Pasal 208 RBg),
termasuk yang berada dalam penguasaan orang lain. Sita eksekusi tidak
boleh dijalankan atas hewan dan alat-alat yang digunakan untuk mencari
mata pencaharian hidup (Pasal 197 ayat (8)/Pasal 211RBg). Barang
xxx
bergerak yang dimaksudkan adalah uang, surat berharga dan barang
bergerak yang bertubuh. Dalam Pasal 229 RBg diatur mengenai
dimungkinkan untuk menyita piutang dari pihak yang dihukum yang
dapat ditagihnya dari pihak ketiga. Ketentuan dalam Pasal 229 RBg tidak
diatur dalam HIR (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 257).
Sita eksekusi dapat diletakkan terhadap barang tidak bergerak milik
pihak yang dikalahkan, selain barang bergerak. Barang tidak bergerak
bisa berupa tanah, rumah, gedung dan sebagainya. Penyitaan barang
tidak bergerak harus dibuat berita acara penyitaan dengan menyebutkan
jam, hari, bulan dan tahun yang kemudian diberitahukan kepada
lurah/kepala desa setempat untuk diumumkan (Pasal 198 ayat (1) dan
(2)). Selanjutnya oleh panitera didaftarkan pada Kantor Badan
Pertanahan dan diregister kepaniteraan pengadilan negeri dalam buku
Register Sita Eksekusi. Pihak yang disita barangnya tidak boleh lagi
memindahkan, menggadaikan atau menyewakan barang yang disita sejak
berita acara penyitaan diumumkan (Pasal 198 ayat (1) dan (2)).
b. Macam-Macam Sita Eksekusi
Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua macam sita
eksekutorial/sita eksekusi (Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata, 2009 : 130-131) :
1) Sita eksekutorial sebagai kelanjutan dari sita jaminan;
Dalam proses pemeriksaan perkara perdata, sebelumnya telah
diadakan sita jaminan (conservatoir beslag). Sita jaminan ini
bertujuan agar dapat terjamin pelaksanaan putusan hakim. Setelah
putusan hakim menyatakan sita jaminan sah dan berharga, maka
secara otomatis sita jaminan menjadi sita eksekutorial.
2) Sita eksekutorial yang dilakukan sehubungan dengan eksekusi
(sebelumnya tidak ada sita jaminan).
Sita eksekutorial yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri,
apabila sebelumnya dalam proses pemeriksaan perkara perdata
xxxi
belum diadakan sita jaminan (conservatoir beslag). Sita jaminan
yang belum dimohonkan, mengakibatkan besarnya kemungkinan
termohon eksekusi sudah tidak memiliki harta benda, karena sudah
dijual ataupun dialihkan kepada pihak lain pada saat sita eksekusi
ditetapkan. Akibatnya sita eksekusi menjadi gagal dan gugatan yang
bersangkutan tidak dapat dieksekusi, karena gugatan tidak memiliki
jaminan atau gugatan hampa (illusoir).
c. Sita Eksekusi dan Lelang Lanjutan
Semua harta kekayaan tergugat (debitur) dapat dijual lelang untuk
memenuhi pelunasan utangnya kepada penggugat (kreditur). Ketua
Pengadilan Negeri berwenang memerintahkan sita eksekusi dan lelang
lanjutan atas harta kekayaan debitur yang masih ada sampai terpenuhi
lunas pembayaran kepada pihak kreditur, apabila hasil penjualan lelang
belum mencukupi untuk melunasi pembayaran utang. Eksekusi
merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisah sampai terpenuhi secara
sempurna apa yang dihukumkan kepada pihak tereksekusi sesuai amar
putusan hakim.
Ketua Pengadilan Negeri berwenang memerintahkan sita eksekusi
dan penjualan lelang lanjutan terhadap harta kekayaan pihak tereksekusi
atas dasar permintaan yang diajukan oleh pihak pemohon eksekusi
dengan kewajiban menunjukkan harta kekayaan tereksekusi. Pengadilan
bersikap menunggu dengan dasar anggapan, selama tidak ada permintaan
sita eksekusi dan penjualan lelang lanjutan dari pihak pemohon eksekusi,
pemohon dianggap telah menerima sepenuhnya eksekusi yang
dijalankan. Konsekuensi hukum perjanjian utang piutang dengan
penjaminan adalah sita eksekusi dan penjualan lelang tahap pertama
hanya dapat dijalankan terhadap barang jaminan. Sita eksekusi dan
penjualan lelang lanjutan, berlaku sepenuhnya Pasal 197 ayat (1) HIR.
Sita eksekusi dan penjualan lelang lanjutan harus dinyatakan tidak dapat
xxxii
dijalankan atas alasan tidak dijumpai harta kekayaan tereksekusi (M.
Yahya Harahap, 2006 : 409-411).
3. Tinjauan tentang Eksekusi
a. Pengertian Eksekusi
Suatu perkara perdata yang diajukan ke pengadilan oleh pihak yang
merasa dirugikan pihak lain, pasti selalu diakhiri dengan putusan hakim.
Kedua pihak yang berperkara apabila dapat menerima putusan atau tidak
mengajukan upaya hukum atas putusan hakim, maka putusan hakim
akan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan dapat
dieksekusi. Putusan hakim pada tingkat peradilan pertama belum
mempunyai kekuatan hukum tetap bila salah satu pihak mengajukan
upaya hukum Banding maupun Kasasi dan praktis belum bisa dieksekusi,
kecuali perkara diputus serta merta (Uitvoerbaar Bij Voorrad) agar
putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu. Putusan Mahkamah Agung
pada tingkat Kasasi selalu mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
meskipun masih tersedia upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan
Kembali.
Pelaksanan putusan hakim atau eksekusi ialah “realisasi daripada
kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang
tercantum dalam putusan tersebut” (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 248).
Berdasarkan Pasal 195 HIR/Pasal 206 RBg, pelaksanaan putusan hakim
dijalankan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
yang memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama.
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap didalamnya terdapat 3
(tiga) jenis kekuatan, salah satunya adalah kekuatan untuk
dilaksanakan/eksekutorial. Kekuatan eksekutorial merupakan kekuatan
xxxiii
untuk dilaksanakan tentang apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara
paksa oleh alat-alat negara. Kekuatan eksekutorial putusan hakim terletak
pada kepala putusan yang berbunyi, “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-
Tuhanan Yang Maha Esa.”
Putusan hakim tidak semuanya dapat dilaksanakan secara paksa oleh
pengadilan. Putusan declaratoir dan putusan constitutif tidak
memerlukan sarana-sarana pemaksa untuk melaksanakan isi putusan,
karena tidak dimuat adanya hak atas suatu prestasi, maka terjadinya
akibat hukum tidak tergantung pada kesediaan pihak yang kalah dalam
perkara. Putusan condemnatoir sangat berbeda, putusan ini dapat
dilaksanakan secara paksa oleh pengadilan dengan bantuan alat
kekuasaan negara karena adanya hak atas suatu prestasi yang harus
dipenuhi oleh pihak yang kalah (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 247).
Upaya paksa oleh pengadilan dalam menjalankan putusan ini dapat
ditempuh apabila pihak yang kalah tidak mau memenuhi isi putusan
secara sukarela.
Pasal 180 HIR/Pasal 191 RBg mengatur, bahwa hakim diizinkan
menjalankan putusan terlebih dahulu (Uitvoerbaar Bij Voorrad),
meskipun ada upaya hukum verzet, banding dan kasasi. Berdasarkan
SEMA RI No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar
Bij Voorrad) dan Provisionil, ketentuan yang harus dipenuhi agar
putusan yang belum berkekuatan hukum tetap dapat dijalankan terlebih
dahulu, yaitu :
a. Gugatan didasarkan pada bukti surat otentik atau surat tulisan tangan (handschrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya, yang menurut undang-undang tidak mempunyai kekuatan bukti;
b. Gugatan tentang utang piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;
c. Gugatan tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain, dimana hubungan sewa-menyewa sudah habis/
xxxiv
lampau, atau Penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai Penyewa yang beritikad baik;
d. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap;
e. Dikabulkannya gugatan Provisionil, dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv;
f. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan;
g. Pokok sengketa mengenai bezitsrecht.
b. Peraturan-Peraturan tentang Eksekusi
Beberapa peraturan yang mengatur tentang eksekusi, antara lain :
1) Herziene Inlandsch Reglement (HIR)/Reglemen Indonesia yang
diperbarui (RIB) atau Reglement Buitengewijsten (RBg). Pasal
195 s.d. 224 HIR atau Pasal 206 s.d. 258 RBg, yang masih
berlaku efektif Pasal 195 s.d. Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau
Pasal 206 s.d. 240 dan Pasal 258 RBg;
2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria;
3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman;
4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;
5) Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
6) Undang-Undang No. 49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan
Piutang Negara jo. Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1991
tentang Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara;
7) SEMA No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta
(Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan Putusan Provisionil jo. Pasal
180 HIR;
8) Peraturan Lelang No. 189/1908 (Staatsblad 1908 Nomor 189);
9) Peraturan Menteri Keuangan RI No. 40/PMK. 07/2006 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang;
xxxv
10) Keputusan Menteri Keuangan RI No. 336/KMK.01/2000
tentang Paksa Badan dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara.
c. Syarat-Syarat Eksekusi
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar putusan hakim dapat
dieksekusi, antara lain (Sudikno Mertokusumo, 2006 : 247-248) :
1) Putusan hakim bersifat comdemnatoir (menghukum);
Putusan hakim yang bersifat declaratoir (menetapkan) dan
constitutif (menimbulkan/meniadakan hukum baru) tidak
memerlukan eksekusi. Amar putusan hakim harus berupa :
a) Menghukum tergugat membayar sejumlah uang;
b) Menghukum tergugat menyerahkan rumah yang ditempati;
c) Menghukum tergugat mengosongkan barang sengketa.
2) Putusan hakim sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht
van gewijsde);
Beberapa pengecualian dari syarat ini, yaitu putusan serta merta
(Uitvoerbar Bij Voorraad), putusan provisionil, putusan akta
perdamaian dan eksekusi grosse akta (Pasal 224 HIR).
3) Pihak yang kalah dengan tidak sukarela menjalankan putusan hakim;
4) Adanya permohonan eksekusi dari pihak yang menang disertai
dengan pembayaran biaya eksekusi;
5) Atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
secara ef officio (Pasal 197 HIR).
d. Jenis-Jenis dan Prosedur Eksekusi
Ada dua jenis eksekusi menurut M. Yahya Harahap (2006 : 24),
yaitu :
xxxvi
1) Eksekusi Riil, yaitu melakukan tindakan nyata, misalnya
menyerahkan suatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau
rumah, melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu;
2) Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang, yaitu memenuhi isi putusan
hakim dengan membayar sejumlah uang. Eksekusi Pembayaran
Sejumlah Uang memerlukan tahap sita eksekusi dan penjualan
lelang.
Lelang Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan atau dokumen-dokumen lain, yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dipersamakan dengan itu, dalam rangka membantu penegakan hukum, antara lain: Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), Lelang Eksekusi dikuasai/tidak dikuasai Bea Cukai, Lelang Eksekusi Barang Sitaan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lelang Eksekusi Barang Rampasan, Lelang Eksekusi Barang Temuan, Lelang Eksekusi Fidusia, Lelang Eksekusi Gadai (Pasal 1 angka 4 Permenkeu No.40/PMK.07/2006).
Penjualan lelang (executorial verkoop) adalah kelanjutan sita
eksekusi yang ditegaskan dalam Pasal 200 ayat (1) HIR/Pasal 216
ayat (1) RBg, yang memerintahkan penjualan lelang dilakukan
dengan perantaraan kantor lelang. Sumber hukum yang menjadi
pedoman pelaksanaannya tidak semata-mata merujuk pada HIR dan
RBg. HIR dan RBg tidak mengatur lebih lanjut tata cara penjualan
lelang. Lelang eksekusi dilakukan berdasarkan Peraturan Lelang Stb.
1908 No. 189 (Vendu Reglement) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Stb. 1940 No. 56 yang juga didukung oleh
beberapa peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Menteri
Keuangan.
Alasan Yahya Harahap membagi eksekusi menjadi 2 (dua) macam,
karena eksekusi perintah melakukan atau tidak melakukan suatu
xxxvii
perbuatan tertentu termasuk dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang.
Melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tidak dapat dipaksakan
kepada setiap orang.
Sudikno Mertokusumo (2006 : 248) membagi jenis-jenis eksekusi
menjadi tiga macam, yaitu :
1) Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk
membayar sejumlah uang;
Prestasi yang diwajibkan untuk memenuhi isi putusan hakim
adalah dengan membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam
Pasal 196 s.d. 200 HIR. Prosedur eksekusi pembayaran sejumlah
uang, sebagai berikut :
a). Permohonan eksekusi oleh pihak yang menang kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang memutus pada tingkat pertama;
b). Panggilan aanmaning;
c). Pelaksanaan aanmaning;
d). Surat penetapan sita eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri.
e). Sita eksekusi (jika dalam pemeriksaan perkara perdata belum
diadakan sita jaminan). Apabila sebelumnya sudah diadakan sita
jaminan, pada tahap eksekusi sita jaminan dinyatakan sah dan
berharga, kemudian menjadi sita eksekutorial;
f). Surat perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk megadakan
penjualan lelang;
g). Pelaksanaan lelang.
2) Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk
melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu;
Eksekusi jenis ini diatur dalam Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg
yang memuat ketentuan bahwa orang tidak dapat dipaksakan untuk
memenuhi suatu prestasi dengan melakukan atau tidak melakukan
perbuatan tertentu. Prestasi dapat dinilai dengan sejumlah uang yang
harus dibayar oleh pihak yang kalah sebagai pengganti perbuatan
xxxviii
tertentu yang seharusnya dilakukan. Pihak yang menang dapat minta
kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai
dengan uang. Perubahan eksekusi dapat dilakukan dengan cara
perubahan secara langsung yang dimohonkan pada petitum gugatan
dan dengan cara mengajukan permohonan perubahan dari eksekusi
melakukan perbuatan tertentu menjadi eksekusi pembayaran
sejumlah uang. Prosedurnya, meliputi :
a). Setelah tahap aanmaning, pihak yang kalah tidak mau
melakukan perbuatan tertentu;
b). Pihak yang menang mengajukan perubahan eksekusi dengan
menyebutkan secara jelas jumlah uang yang dimohonkan;
c). Pengadaan sidang khusus, tidak perlu memanggil kedua belah
pihak dan pihak yang menang tidak wajib hadir. Pihak yang
kalah diwajibkan untuk hadir dalam sidang khusus tanpa harus
didengar keterangannya dalam sidang. Pemanggilan terhadap
pihak yang kalah adalah untuk menerima perubahan dari
eksekusi putusan melakukan perbuatan tertentu menjadi
eksekusi pembayaran sejumlah uang;
d). Putusan hakim tentang perubahan eksekusi dalam sidang
khusus, tidak diperkenankan mengajukan permohonan Banding
dan Kasasi.
Pasal 225 HIR sesungguhnya sudah tidak mencukupi lagi kebutuhan didalam praktik. Sejak beberapa puluh tahun didalam praktik, orang telah menggunakan akal yang lebih memuaskan dan praktis, yaitu dengan apa yang dinamakan astreinte atau dwangsom (uang paksaan). Dengan jalan astreinte ini, maka yang dikenakan hukuman itu diharuskan membayar sejumlah uang (biasanya suatu jumlah yang tetap) buat tiap hari ia melalaikan putusan itu. Uang paksaan atau dwangsom itu tidak dapat disamakan dengan membayar ganti rugi, sebab kewajiban buat melakukan perbuatan atau membiarkan perbuatan itu pada pokoknya tetap ada. Uang paksaan itu hanya merupakan suatu akal untuk memaksa orang yang dikenakan itu berbuat melaksanakan putusan hakim (R. Tresna, 2005 : 189).
xxxix
3) Eksekusi Riil.
Eksekusi riil tidak diatur dalam HIR, melainkan dalam Pasal
1033 Rv. Pasal 1033 Rv yang mengatur perihal eksekusi riil
berbunyi :
Jika putusan hakim yang memerintahkan pengosongan suatu barang yang tidak bergerak, tidak dipenuhi oleh orang yang dihukum, maka Ketua akan memerintahkan dengan surat kepada seorang jurusita supaya dengan bantuannya alat kekuasaan negara, barang itu dikosongkan oleh orang yang dihukum serta keluarganya dan segala barang kepunyaannya (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2009 : 137).
Ketentuan yang dimaksudkan dengan eksekusi riil oleh Pasal
1033 Rv maksudnya adalah pelaksanaan putusan hakim yang
memerintahkan pengosongan benda tetap. Pihak yang kalah apabila
tidak dengan sukarela memenuhi isi putusan, maka Ketua Pengadilan
Negeri akan memerintahkan dengan surat kepada jurusita dengan
bantuan panitera pengadilan dan jika perlu dengan bantuan alat
kekuasaan negara agar barang tetap itu dikosongkan oleh orang yang
dihukum beserta keluarganya dan segala barang yang dimilikinya.
Meskipun diatur dalam Rv, namun dalam praktiknya sangat
dibutuhkan. Eksekusi riil murni pada umumnya tidak mungkin,
karena debitur tidak dapat dipaksa secara langsung untuk memenuhi
prestasi secara pribadi (nemo praecise ad factum cogi potest).
Prosedur eksekusi riil meliputi :
a). Permohonan eksekusi oleh pihak yang menang kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang memutus pada tingkat pertama;
b). Panggilan aanmaning;
c). Pelaksanaan aanmaning;
d). Surat penetapan sita eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri;
e). Panitera memberitahukan perintah eksekusi kepada pemohon,
termohon, kepala desa, camat dan jika perlu meminta bantuan
alat negara untuk pengamanan;
xl
f). Eksekusi dijalankan oleh panitera dan jurusita secara fisik.
Eksekusi bisa berupa penyerahan atau pengosongan obyek
sengketa yang berwujud benda tidak bergerak.
Ada jenis eksekusi lain yang dikenal selain tiga jenis eksekusi diatas.
Eksekusi itu adalah parate executie atau eksekusi langsung. Parate
executie terjadi apabila seorang kreditur menjual barang-barang tertentu
milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial (Pasal 1155 dan 1175
ayat (2) BW).
e. Hambatan Eksekusi
Praktik dunia peradilan, terkadang pelaksanaan putusan hakim tidak
begitu mudahnya untuk dijalankan karena adanya hambatan-hambatan
untuk menjalankan putusan hakim. Hambatan-hambatan eksekusi pada
umumnya, yaitu (M. Yahya Harahap, 2006 : 390-396) :
1) Tereksekusi menolak karena tidak sesuai dengan amar putusan;
Penolakan eksekusi yang diajukan tereksekusi atas alasan
eksekusi yang hendak atau sedang dijalankan tidak sesuai amar
putusan, tidak dapat dijadikan alasan menunda eksekusi. Pihak
tereksekusi dapat mengajukan perlawanan jika tetap keberatan.
Hampir setiap orang yang terkena eksekusi berusaha menolak
eksekusi itu, meskipun dijalankan sesuai amar putusan.
2) Pemohon eksekusi menolak karena tidak sesuai amar putusan;
Penolakan oleh pemohon eksekusi dapat diajukan sebelum
eksekusi dijalankan. Pengadilan menunda eksekusi sampai pemohon
eksekusi mencabut penolakan itu. Pemohon eksekusi dianggap
menggugurkan haknya sendiri untuk meminta eksekusi. Selama
pemohon eksekusi belum mencabut penolakan, haknya gugur untuk
meminta eksekusi.
Eksekusi tetap dilanjutkan apabila penolakan oleh pemohon
eksekusi diajukan pada saat eksekusi sedang dijalankan. Penerapan
xli
yang demikian merupakan penegasan atas eksekusi yang sedang atau
sudah selesai dijalankan, sekaligus merupakan penegasan kepada
pemohon eksekusi agar tidak mempermainkan eksekusi.
3) Kedua belah pihak menolak eksekusi;
Kedua belah pihak (pemohon dan termohon eksekusi) menolak
atas alasan eksekusi yang hendak atau sedang dijalankan tidak sesuai
dengan amar putusan, mutlak eksekusi tidak dapat dijalankan atau
harus dihentikan. Eksekusi berada dalam keadaan status quo dan
obyek eksekusi tetap dalam keadaan semula. Penundaan dan keadaan
status quo dapat dicairkan apabila pemohon eksekusi mencabut
penolakannya. Pencairan belum dapat dijalankan jika yang mencabut
penolakan datang dari pihak tereksekusi. Eksekusi belum dapat
dijalankan selama pemohon eksekusi belum mencabut penolakan.
4) Amar putusan kurang jelas.
Amar putusan hakim yang kurang jelas, menyebabkan eksekusi
tidak sesuai dengan amar putusan hakim. Pemohon atau termohon
eksekusi dapat menolak eksekusi. Termohon eksekusi dapat menolak
eksekusi dengan mengajukan permohonan penundaan eksekusi,
meskipun tidak menghalangi dijalankannya eksekusi. Pemohon
eksekusi apabila sebagai pihak yang menolak eksekusi, maka
eksekusi dapat ditunda jika penolakan diajukan sebelum eksekusi
dijalankan. Penolakan yang diajukan pada saat eksekusi dijalankan
tidak dapat menunda eksekusi.
f. Penundaan atau Penangguhan Eksekusi
Putusan No. 1243 K/Pdt/1984 tanggal 27 Februari 1984, menyatakan
bahwa Ketua Pengadilan Negeri berwenang menangguhkan eksekusi.
Penangguhan eksekusi dituangkan dalam bentuk penetapan dan sifatnya
merupakan kebijaksanaan Ketua Pengadilan Negeri. Asas yang berlaku
pada penundaan eksekusi adalah “tidak ada patokan umum” untuk
menunda eksekusi. Penerapan penundaan eksekusi bersifat kasuistik.
xlii
Tidak ada alasan penundaan eksekusi yang bersifat menentukan. Alasan
yang sama, berbeda penerapan dan penilaiannya, sehingga alasan itu
tidak berlaku umum untuk semua penundaan eksekusi. Asas yang lain
adalah penundaan eksekusi bersifat eksepsional, artinya pengabulan
penundaan eksekusi merupakan tindakan pengecualian dari asas aturan
umum. Menurut asas umum yang berlaku (M. Yahya Harahap, 2006 :
309-310) :
1) Pada setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap telah melekat kekuatan eksekutorial;
2) Eksekusi atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap tidak boleh ditunda pelaksanaannya;
3) Perdamaian yang dapat menunda eksekusi.
g. Bentuk Penundaan atau Penangguhan Eksekusi
Penundaan atau penangguhan eksekusi dapat dituangkan dalam
bentuk penetapan (beschikking). Penetapan (beschikking) dikeluarkan
oleh Ketua Pengadilan Negeri, yang dapat berisi penolakan atau
pengabulan permintaan pengguhan eksekusi. Praktik dalam peradilan,
Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan apabila permohonan
penundaan dikabulkan. Permohonan penundaan eksekusi yang ditolak,
Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan surat korespondensi. Penegakan
sistem peradilan yang baik, maka sudah seharusnya penolakan pun harus
dituangkan dalam bentuk penetapan yang memuat pertimbangan alasan
penolakan. Dasar alasan pertimbangan penangguhan diberikan agar
supaya pihak pemohon eksekusi mengetahui landasan hukum penundaan
yang bersangkutan.
Penundaan eksekusi secara imperatif harus tertulis, tidak boleh
berbentuk lisan. Bentuk penundaan eksekusi secara lisan adalah tidak sah
dan tidak mengikat kepada para pihak yang bersengketa. Penangguhan
eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri, sifatnya merupakan kebijakan.
xliii
Keberatan terhadap penundaan eksekusi tidak dapat diajukan banding
atau kasasi. Upaya yang dapat diajukan hanya pengaduan kepada Ketua
Pengadilan Tinggi dalam rangka tindakan pengawasan (M. Yahya
Harahap, 2006 : 333-334).
4. Tinjauan tentang Perjanjian Pinjam-Meminjam
a. Pengertian Perjanjian Pinjam-Meminjam
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang
berbunyi, “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.”
Perjanjian menurut namanya digolongkan menjadi dua macam, yaitu
perjanjian nominaat (bernama) dan perjanjian innominaat (tidak
bernama). Perjanjian nominaat (bernama) merupakan perjanjian yang
dikenal dalam KUHPerdata dan diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata.
Pasal 1319 KUHPerdata menyatakan, “Semua perjanjian, baik yang
mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan
suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang
termuat didalam bab ini dan bab yang lalu.” Contohnya, perjanjian jual-
beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan lain-lain. Perjanjian
innominaat (tidak bernama) ialah perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup
dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, seperti perjanjian
waralaba, joint venture, dan lain-lain.
Obyek dalam penelitian ini adalah eksekusi putusan hakim atas
perkara wanprestasi. Perkara timbul karena adanya cidera janji dalam
perjanjian pinjam-meminjam. Perjanjian pinjam-meminjam (pakai habis).
Perjanjian Pinjam-Meminjam merupakan salah satu jenis perjanjian yang
xliv
diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian Pinjam-Meminjam diatur dalam
Pasal 1754 s.d. Pasal 1762 KUHPerdata.
Perjanjian Pinjam-Meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang dapat habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan jumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula (Pasal 1754 KUHPerdata).
b. Subyek dan Obyek Perjanjian Pinjam-Meminjam
Subyek dalam perjanjian pinjam-meminjam adalah pemberi
pinjaman (kreditur), yaitu orang yang memberikan pinjaman kepada
penerima pinjaman (debitur) dan penerima pinjaman (debitur), yaitu
orang yang menerima pinjaman dari pemberi pinjaman (kreditur).
Obyek perjanjian pinjam-meminjam adalah semua barang-barang
yang dapat habis dipakai, dengan syarat bahwa barang-barang tersebut
harus tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan.
c. Peminjaman dengan Bunga dalam Perjanjian Pinjam-Meminjam
Perjanjian Pinjam-Meminjam pada dasarnya diperbolehkan
mengenakan syarat untuk pembayaran bunga dalam peminjaman barang
yang dapat habis pakai, termasuk uang (Pasal 1765 KUHPerdata).
Pembayaran bunga apabila tidak diperjanjikan sebelumnya, maka tidak
ada kewajiban yang lahir bagi penerima pinjaman untuk membayar
bunga. Penerima pinjaman yang membayar bunga dengan tidak
diperjanjikan sebelumnya, maka penerima pinjaman tidak dapat meminta
kembali bunga yang telah dibayarkan dan tidak dapat menguranginya
dari pinjaman pokok, kecuali bunga yang telah dibayarkan itu melampaui
bunga yang ditentukan oleh undang-undang. Pembayaran bunga yang
xlv
telah diperjanjikan sebelumnya, penerima pinjaman harus membayarnya
sampai pada pengembalian uang pokoknya.
Berdasarkan pada Pasal 1767 KUHPerdata, bunga dapat dibedakan
menjadi bunga yang ditentukan dalam undang-undang dan bunga yang
didasarkan pada perjanjian. Bunga menurut undang-undang ditentukan
dalam undang-undang, sebesar 6% per tahun (Staatsblaad Tahun 1848
No. 22). Kenyataan yang ada, bunga perbankan berkisar antara 18%-24%
per tahun. Bunga berdasarkan perjanjian merupakan bunga yang
besarnya ditentukan oleh para pihak berdasarkan atas perjanjian yang
telah disepakati. Bunga menurut perjanjian besarnya boleh melampaui
bunga yang ditentukan dalam undang-undang dalam segala hal yang
tidak dilarang oleh undang-undang. Bunga yang didasarkan pada
perjanjian seringkali ditentukan oleh salah satu pihak, terutama pemberi
pinjaman. Bunga yang ditetapkan oleh pemberi pinjaman biasanya sangat
tinggi, yaitu berkisar antara 5%-7% per bulan dan bisa mencapai 60%-
84% per tahun (Salim HS, 2005 : 79).
5. Tinjauan tentang Penanggungan atau Jaminan Perorangan
a. Pengertian Penanggungan atau Jaminan Perorangan
Penanggungan atau jaminan perorangan diatur dalam Pasal 1820
sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata. Menurut Pasal 1820
KUHPerdata penanggungan adalah “suatu perjanjian dengan mana
seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri
untuk memenuhi si berutang manakala orang ini sendiri tidak
memenuhinya.” Tujuan penanggungan adalah untuk memberikan
jaminan dipenuhinya utang dalam perjanjian pokok. Si berutang jika
cidera janji dengan tidak membayar utang, maka si penanggung yang
wajib untuk membayar utangnya kepada si berpiutang.
Pada dasarnya pemenuhan terhadap suatu perikatan antara debitur dan kreditur dilakukan oleh debitur sendiri. Hal tersebut dapat diketahui dari Pasal 1131 KUHPerdata yang menyebutkan
xlvi
bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Akan tetapi dapat pula diberikan atau dijamin untuk dipenuhi pihak ketiga yaitu orang pribadi atau badan hukum. Jaminan inilah yang disebut dengan Personal Guaranty. Personal Guaranty (Jaminan Perorangan) ini timbul dengan adanya hubungan hukum yang akan menimbulkan kewajiban untuk melakukan pembayaran pada salah satu pihak. Agar pihak kreditur terjamin bahwa pembayarannya akan dilakukan, maka disertakan pihak ketiga yang kadang-kadang sama sekali tidak ada hubungan dengan perikatan yang dilakukan dan bahkan menyediakan diri untuk menanggungnya (Atik Indriyani, 2006 : 1).
b. Sifat Perjanjian Penanggungan
Perjanjian penanggungan merupakan perjanjian yang bersifat
accessoir, artinya apabila perjanjian pokok yang pemenuhannya dijamin
dengan perjanjian penanggungan tidak dipenuhi oleh si berutang, maka si
berpiutang dapat menuntut kepada penanggung agar melunasi utang itu
(http://endangmintorowati.staff.hukum.uns.ac.id/2009/11/25/perjanjian-
jaminan-dan-lembaga-jaminan/>[20 Januari 2010 pukul 10.30]). Maksud
daripada perjanjian penanggungan bersifat accessoir, yaitu :
1) Adanya perjanjian penanggungan tergantung pada perjanjian pokok;
2) Perjanjian pokoknya apabila hapus, maka perjanjian
penanggungannya pun ikut hapus;
3) Piutang pada perjanjian pokok dialihkan, maka semua perjanjian
yang melekat pada piutang akan ikut beralih.
Perjanjian penanggungan dapat berbentuk lisan maupun tertulis,
namun merupakan pernyataan yang tegas. Biasanya perjanjian
penanggungan dimasukkan dalam pengakuan utang. “Such errors can
render a guaranty useless. The laws of virtually all jurisdiction require
that an agreement to guarantee the debt of another be in writing and be
signed by the guarantor. Unlike other types of contracts, which can be
enforced even if oral, contracts of guaranty must be written in order to
xlvii
satisfy the Statute of Frauds and thereby be legally effective” (Karl W.
Pilger, 1996 : 10). Maksudnya, beberapa kesalahan dapat membuat
sebuah penjaminan tidak berguna. Hukum yang sebenarnya dari segala
yurisdiksi membutuhkan persetujuan sebagai jaminan utang yang lain
dalam penulisannya dan ditandatangani oleh penjamin. Tidak seperti
jenis kontrak lainnya, dimana dapat dijalankan bahkan secara lisan,
kontrak-kontrak penjaminan harus ditulis guna memenuhi peraturan
perundang-undangan tentang penipuan/kecurangan dan dengan demikian
menjadi efektif menurut hukum.
c. Hapusnya Perjanjian Penanggungan
Perjanjian penanggungan merupakan perjanjian yang bersifat
accessoir, maka hapusnya tergantung hapusnya perjanjian pokoknya.
Pasal 1845 s.d. 1850 KUHPerdata mengatur mengenai hapusnya
perjanjian penanggungan, namun dikarenakan oleh sebab-sebab lain,
yaitu :
1) Perikatan yang diterbitkan dari penanggungan hapus karena sebab-
sebab yang sama, sebagaimana hapusnya perikatan-perikatan yang
lain;
2) Percampuran yang terjadi antara pribadi si berutang dengan pribadi
si penanggung utang, sehingga hak dan kewajiban kedua belah pihak
berada pada satu orang;
3) Penanggung menggunakan segala tangkisan yang digunakan oleh si
berutang terhadap si berpiutang mengenai segala utangnya yang
ditanggung itu sendiri, namun penanggung tidak diperbolehkan
mengajukan tangkisan-tangkisan khusus yang menyangkut pribadi si
berutang;
4) Penanggung dibebaskan akibat kesalahan si berpiutang, sehingga
penanggung tidak dapat memenuhi hak-hak si berpiutang, hipotiknya
dan hak-hak istimewanya;
xlviii
5) Si berpiutang dengan sukarela menerima segala benda tidak bergerak
maupun benda lain sebagai bentuk pembayaran atas utang pokok,
maka penanggung dibebaskan karenanya, meskipun benda tersebut
oleh suatu putusan hakim harus diserahkan si berpiutang kepada
pihak lain;
6) Adanya penundaan pembayaran yang diberikan oleh si berpiutang
kepada si berutang yang mana tidak membebaskan penanggung
utang, namun penanggung utang dalam keadaan seperti itu dapat
menuntut kepada si berutang untuk membayar utang atau
membebaskan penanggung utang dari penanggungannya.
d. Bentuk-Bentuk Penanggungan
Berdasarkan pertimbangan kepentingan pemberian utang dan oleh
siapa penanggungan diberikan, maka bentuk perjanjian penanggungan
dapat dibedakan sebagai berikut (Purwahid Patrik dan Kashadi, 2001 :
110) :
1) Jaminan Kredit (kredit garansi, jaminan orang);
Perjanjian penanggungan berbentuk jaminan kredit, seorang
penanggung diwajibkan menanggung untuk memenuhi utang debitur
sebesar jumlah yang telah disepakati dalam perjanjian pokoknya.
Pada praktik dunia perbankan, jaminan ini disebut dengan istilah
jaminan perseorangan (personal guaranty), yaitu perjanjian antara
kreditur dengan debitur dimana seseorang mengikatkan dirinya
dalam perjanjian itu sebagai penanggung debitur, baik karena
ditunjuk oleh kreditur (tanpa persetujuan debitur) maupun yang
diajukan debitur atas perintah kreditur.
2) Jaminan bank (bank guaranty).
Penanggungan berbentuk jaminan bank, bank bertindak sebagai
penanggung yang wajib menanggung dipenuhinya pembayaran
utang dalam jumlah tertentu kepada kreditur.
6. Tinjauan tentang Tanah sebagai Benda Jaminan
xlix
Berdasarkan pembedaan macam-macam benda, tanah termasuk air dan
ruang yang ada diatasnya merupakan benda berwujud dan tidak bergerak.
Pada dasarnya tidak dapat dipindah-pindahkan, tetapi hak atas tanah dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Tanah juga merupakan benda
terdaftar. Benda terdaftar dapat dibuktikan dengan tanda pendaftaran atau
sertifikat hak milik atas nama pemiliknya. Arti penting dari pendaftaran
adalah untuk pembuktian, ketertiban umum dan menghormati hak milik orang
lain.
Aturan dalam hukum jaminan, jenis jaminan dibagi atas jaminan materiil
(kebendaan) dan jaminan immateriil (perorangan). Jaminan materiil
(kebendaan) dibagi menjadi benda bergerak dan benda tidak begerak (Salim
HS, 2004 : 8). Dalam jaminan immateriil (perorangan) diatur, seorang
penanggung utang dapat menjaminkan harta kekayaannya termasuk tanah
miliknya untuk dijadikan jaminan utang. Debitur yang cidera janji dengan
tidak melunasi utangnya kepada kreditur, maka tanah milik penanggung
utang harus dijual untuk melunasi pembayaran utang debitur kepada kreditur.
B. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan gambaran logika hukum yang berfungsi
untuk menjawab permasalahan dalam penelitian. Kerangka berpikir disajikan
dalam bentuk bagan, kemudian diikuti dengan deskripsi atas bagan kerangka
pemikiran. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini, sebagai berikut :
l
Putusan Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt.
jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo.
Nomor : 1465 K/Pdt/2006
Permohonan eksekusi oleh pihak yang
menang
Pemeriksaan Perlawanan
oleh Majelis Hakim
Penetapan Sita Eksekusi
oleh Ketua Pengadilan
Negeri Klaten
Lelang Eksekusi tanah
yang mendapat
Perlawanan Tersita
Perlawanan Sita Eksekusi oleh Tersita
dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.
Aturan Hukum yang menjadi Dasar Lelang
Eksekusi Tanah
li
Bagan Kerangka Pemikiran Keterangan :
Berdasarkan pada kerangka pemikiran diatas, penulis ingin memberikan
gambaran guna menjawab perumusan masalah dalam penelitian hukum ini. Dalam
kerangka pemikiran tersebut, putusan Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 oleh pihak yang menang
diajukan permohonan eksekusi. Permohonan diajukan karena pihak yang kalah
tidak dengan sukarela melaksanakan isi putusan. Penerbitan surat penetapan sita
eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri Klaten mendapat perlawanan dari pihak
tersita dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. Lelang eksekusi atas
tanah dalam putusan Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 tetap dilaksanakan meskipun
ada perlawanan sita eksekusi dari tersita, karena pada asasnya perlawanan tidak
menangguhkan eksekusi. Lelang eksekusi yang mendapatkan perlawanan dari
tersita mempunyai dasar yuridis dalam pelaksanaannya.
Perlawanan tersita dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. tetap
diperiksa oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Klaten. Alasan yang dianggap
relevan dalam perlawanan dapat menangguhkan lelang eksekusi. Lelang eksekusi
Dasar Pertimbangan
Hakim
Putusan Hakim
lii
terhadap putusan Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 tetap dilanjutkan dan
perlawanan yang diajukan oleh tersita tidak menangguhkan eksekusi. Majelis
hakim memutus perlawanan tersita dengan dasar pertimbangan hukum.
Penulis ingin meneliti apa yang menjadi dasar yuridis lelang eksekusi tanah
yang mendapat perlawanan dari tersita, meskipun perkara masih dalam tahap
pemeriksaan dan dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam
memutus perkara perlawanan ditinjau dari aspek Hukum Acara Perdata Indonesia.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab III merupakan intisari dari penulisan hukum berisi hasil penelitian
dengan disertai pembahasannya. Dalam penelitian ini penulis meneliti tentang
aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang mendapatkan
perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. dan dasar
pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus perkara
perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.
A. Hasil Penelitian
Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh penulis dengan mengkaji perkara
Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. terkait dengan aturan hukum lelang eksekusi
yang mendapatkan perlawanan dari tersita dan dasar pertimbangan hakim
Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus perkara perlawanan Nomor :
39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt., diperoleh data sekunder yang merupakan hasil
penelitian. Data sekunder berfungsi untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian yang sebelumnya telah dirumuskan. Data sekunder dari hasil penelitian
oleh penulis akan diuraikan dibawah ini :
1. Putusan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.
liii
2. Para Pihak yang Berperkara :
a. Tergugat/Termohon Eksekusi/Pelawan.
WHP, pekerjaan swasta, dan D, pekerjaan swasta, serta DH, pekerjaan
PNS, ketiganya beralamat di Sidomulyo Rt. 05/Rw. 04, Desa Gatak,
Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten.
b. Penggugat/Pemohon Eksekusi/Terlawan.
YS, pekerjaan swasta, beralamat di Jalan Budi Mulia Rt. 008/Rw. 010,
Pademangan, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara.
3. Duduk Perkara
Perlawanan bermula dari adanya permohonan eksekusi putusan
Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006. Tanggal 2 April 2008
Pengadilan Negeri Klaten mengeluarkan Surat Penetapaan Sita Eksekusi
perkara Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg.
jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 yang bernomor : 07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt.
Ketua Pengadilan Negeri Klaten, selanjutnya mengeluarkan aanmaning
tertanggal 7 April 2008 kepada Termohon Eksekusi. Tujuan dari aanmaning
adalah untuk memberikan peringatan kepada Termohon Eksekusi agar segera
memenuhi isi putusan Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006. Pemenuhan isi putusan
itu harus dilaksanakan dalam waktu paling lama 8 (delapan) hari sejak
pelaksanaan aanmaning.
Tanggal 22 April 2008, Pengadilan Negeri Klaten mengeluarkan Surat
Pelaksanaan Sita Eksekusi Nomor : W.12.U.9/HPDT.04.01/IV/2008 kepada
Termohon Eksekusi. Hal ini merupakan indikasi bahwa Termohon Eksekusi
tidak memenuhi isi putusan Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006.
Gugatan Perlawanan terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Klaten
tanggal 2 Mei 2008, tanggal 5 Mei 2008 register perkara perdata Nomor :
41
liv
39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. Pemeriksaan perkara perlawanan dilakukan setelah
upaya mediasi gagal, ditandai dengan surat pernyataan yang ditandatangani
oleh mediator tanggal 13 Agustus 2008. Gugatan perlawanan didasarkan pada
Surat Penetapan Sita Eksekusi Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 yang bernomor :
07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. tertanggal 2 April 2008.
Sejak putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt.
jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) sampai dengan
diajukannya gugatan perlawanan, Pelawan/WHP berdalil telah mengangsur
utangnya sebesar Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) melalui
Bilyet Giro Bank CIC Cabang Nonongan Solo. Angsuran utang dimulai sejak
tanggal 9 Januari 2004 s.d. 2 Juli 2004. Perlawanan diajukan oleh pelawan
berdasarkan alasan yang kuat, yaitu sebagian utang sudah dibayar, namun sisa
cicilan tidak ikut diperhitungkan (vide YAHYA HARAHAP, Ruang Lingkup
Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata).
Ketentuan dalam Pasal 195 ayat (6) HIR, dimana yang dilawan oleh
Pelawan dalam perkara ini adalah pelaksanaan putusan. Berdasarkan hukum
apabila Pelawan menuntut agar penetapan Pengadilan Negeri Klaten Nomor :
07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. tertanggal 2 April 2008 berikut penetapan-
penetapan dan/atau Berita Acara yang merupakan kelanjutan adalah tidak sah
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap Pelawan sebagai
pihak ketiga serta batal atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak berkekuatan
hukum.
Besar kekhawatiran Pelawan eksekusi atas tanah milik Pelawan a Quo
tetap dijalankan pada saat perlawanan Pelawan a Quo diperiksa di Pengadilan
Negeri Klaten, karena Pelawan memiliki kepentingan hukum agar penetapan
eksekusi perkara Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 tidak dilaksanakan
lv
terlebih dahulu sebelum perlawanan yang diajukan Pelawan memperoleh
putusan yang berkekuatan hukum tetap. Perlawanan yang diajukan Pelawan
sangat beralasan untuk mengajukan tuntutan provisionil yang menyatakan
penetapan sita eksekusi Nomor : 07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. tertanggal 2 April
2008 tidak dapat dilaksanakan hingga Pelawan memperoleh putusan yang
berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan alasan tersebut, sepatutnya penetapan
sita eksekusi Nomor : 07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. tertanggal 2 April 2008 harus
dibatalkan.
4. Tuntutan
Dalam Provisi :
Menyatakan penetapan eksekusi Nomor : 07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt.
tertanggal 2 April 2008 tidak dapat dilaksanakan hingga Pelawan dalam
perkara ini memperoleh putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap
(in kracht van gewijsde).
Dalam Pokok Perkara :
a. Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang baik;
b. Menyatakan Pelawan D dan DH adalah pemilik sah atas sertifikat
tanah Hak Milik dengan sertifikat hak milik No. 312 seluas ± 2180
M² terletak di Desa Gatak, Kecamatan Delanggu, Kabupatan Klaten;
c. Menyatakan Penetapan Pengadilan Negeri Klaten Nomor :
07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. tertanggal 2 April 2008 adalah tidak sah
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap Pelawan;
d. Menyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat terhadap Pelawan segala penetapan maupun berita acara
yang merupakan kelanjutan dari Penetapan Pengadilan Negeri
Klaten Nomor : 07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. tertanggal 2 April 2008;
lvi
e. Membatalkan atau setidak-tidaknya menyatakan tidak berkekuatan
hukum Penetapan Pengadilan Negeri Klaten Nomor :
07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. tertanggal 2 April 2008;
f. Membatalkan atau setidak-tidaknya menyatakan tidak berkekuatan
hukum segala penetapan maupun berita acara yang merupakan
kelanjutan dari Penetapan Pengadilan Negeri Klaten Nomor :
07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. tertanggal 2 April 2008;
g. Menghukum Terlawan mentaati dan mematuhi putusan;
h. Menyatakan putusan perkara perlawanan dapat dijalankan terlebih
dahulu walaupun ada upaya hukum verzet, banding maupun kasasi;
i. Menghukum Terlawan untuk membayar biaya perkara yang timbul.
ATAU
Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, demi peradilan yang baik,
Pelawan mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
5. Lelang Eksekusi
a. Dalam Putusan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN/Klt.
Pengadilan Negeri Klaten pada tanggal 20 Agustus 2008 telah
melaksanakan putusan Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 dengan melakukan
lelang eksekusi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, lelang
eksekusi adalah sah dan tidak melawan hukum. Amar Putusan Nomor :
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor :
1465 K/Pdt/2006, sebagai berikut :
Dalam Konpensi :
1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2) Menyatakan sah menurut hukum Akta Perjanjian Utang Piutang
Nomor : 02 tertanggal 6 Januari 2004;
lvii
3) Menyatakan sah menurut hukum perjanjian penjaminan yang
tertuang dalam Akta Perjanjian Utang Piutang Nomor : 02
tertanggal 6 Januari 2004, oleh Tergugat II (D) atas sebidang
tanah Sertifikat Hak Milik No. 312 seluas ± 2180 M² terletak di
Desa Gatak, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten;
4) Menyatakan sebagai hukum bahwa Tergugat I (WHP) berutang
kepada Penggugat sebesar Rp. 367.355.201,00 (tiga ratus enam
puluh tujuh juta tiga ratus lima puluh lima ribu dua ratus satu
rupiah);
5) Menyatakan sebagai hukum bahwa Tergugat I (WHP) telah
ingkar janji membayar/melunasi utang kepada Penggugat
sebesar Rp. 367.355.201,00 (tiga ratus enam puluh tujuh juta
tiga ratus lima puluh lima ribu dua ratus satu rupiah);
6) Menyatakan sebagai hukum Penggugat telah dirugikan secara
materiil sebesar Rp. 4.591.940,00 (empat juta lima ratus
sembilan puluh satu ribu sembilan ratus empat puluh rupiah)
setiap bulan terhitung sejak lalai melunasi utang, yaitu tanggal 6
Agustus 2004;
7) Menghukum kepada Tergugat I (WHP) untuk membayar
kerugian materiil kepada Penggugat sebesar Rp. 4.591.940,00
(empat juta lima ratus sembilan puluh satu ribu sembilan ratus
empat puluh rupiah) setiap bulan terhitung sejak tanggal 6
Agustus 2004 sampai dengan putusan ini mempunyai kekuatan
hukum tetap;
8) Menghukum Tergugat II (D) untuk menjual dimuka umum
melalui perantara Pengadilan Negeri Klaten atas obyek jaminan
berupa sebidang tanah Sertifikat Hak Milik No. 312 seluas ±
2180 M² terletak di Desa Gatak, Kecamatan Delanggu,
Kabupaten Klaten guna membayar/melunasi utang Tergugat I
kepada Penggugat sebesar Rp. 367.355.201,00 (tiga ratus enam
lviii
puluh tujuh juta tiga ratus lima puluh lima ribu dua ratus satu
rupiah) beserta kerugian materiil yang timbul;
9) Menghukum Turut Tergugat (DH) untuk mematuhi putusan
hakim;
10) Menolak gugatan selain dan selebihnya.
Dalam Rekonpensi :
Menolak gugatan Penggugat Rekonpensi untuk seluruhnya.
Dalam Konpensi dan Rekonpensi :
Menghukum Para Tergugat Konpensi dan Turut Tergugat Konpensi
untuk membayar biaya yang timbul sebesar Rp. 314.000,00 (tiga
ratus empat belas ribu rupiah).
b. Dalam Salinan Risalah Lelang Nomor : 233/2008.
Tanggal 20 Agustus 2008 dihadapan Pejabat Lelang Kelas I
berdasarkan SK Menteri Keuangan Nomor : 06/KM.06/UP.11/2007
tertanggal 3 Mei 2007, berkedudukan di Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang (KPKNL) Surakarta dan berdasarkan Surat Tugas
dari Kepala KPKNL Surakarta Nomor : ST-332/WKN.09/KP.02/2008
tanggal 1 Agustus 2008 dilaksanakan Lelang Eksekusi Pengadilan Negeri
Klaten. Pelaksanaan lelang dilakukan atas permintaan Panitera/Sekretaris
Pengadilan Negeri Klaten sesuai Surat Permohonan Lelang Nomor :
W.12.U.9/519/Pdt.04.01/VI/2008 tanggal 25 Juni 2008, dalam hal itu
berdasarkan Penetapan aanmaning/teguran kepada tereksekusi dari Ketua
Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 jo. Nomor :
07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. tertanggal 2 April 2008 dan Penetapan Perintah
Lelang Ketua Pengadilan Negeri Klaten yang berkepala “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo.
Nomor : 1465 K/Pdt/2006 jo. Nomor : 07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. tanggal
4 Juni 2008.
lix
Barang yang dilelang berupa sebidang tanah yang semula tanah
pertanian sekarang bukan tanah pertanian yang tercatat dalam sertifikat
hak milik No. 312 Desa Gatak , Surat Ukur GS Nomor 953/1980 tanggal
15 Februari 1980, luas ± 2180 M² atas nama pemegang hak Djumirah
yang terletak di Desa Gatak, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten
dengan batas-batas :
Sebelah Utara : Jalan;
Sebelah Timur : Tanah Sawah Kas Desa Gatak;
Sebelah Selatan : Jalan;
Sebelah Barat : Tanah Sawah Yohanes Berman Suwarno.
Tanah itu telah disita oleh Pengadilan Negeri Klaten berdasarkan
Penetapan Sita Ketua Pengadilan Negeri Klaten Nomor :
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor :
1465 K/Pdt/2006 jo. Nomor : 07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. tertanggal 22
April 2008 dan Berita Acara Sita Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo.
Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 jo. Nomor
: 07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. tertanggal 25 April 2008 dan sesuai dengan
Surat Keterangan Tanah dari Kantor Pertanahan Kabupaten Klaten
Nomor : 141/2008 tanggal 7 Agustus 2008.
Penjualan lelang telah diberitahukan kepada pihak tereksekusi oleh
Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Klaten, berdasarkan Surat Panitera
Pengadilan Negeri Klaten Nomor : W.12.U.9/590/Pdt.04.01/VI/2008
tanggal 22 Juli 2008. Pelelangan telah diumumkan oleh Penjual melalui
Surat Kabar Harian Solo Pos, terbit di Surakarta tanggal 6 Agutus 2008
sebagai Pengumuman Lelang kedua dan Ralat tanggal 11 Agustus 2008
melalui Surat Kabar Harian Solo Pos.
Berdasarkan rincian utang/jumlah kewajiban yang harus dipenuhi
tereksekusi yang dibuat oleh Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri
Klaten tanggal 9 Juli 2008, untuk memenuhi isi putusan Nomor :
lx
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor :
1465 K/Pdt/2006, adalah sebagai berikut :
a. Pokok utang Rp. 367.355.201,00
b. Kerugian materiil terhitung sejak tanggal
6 Agustus 2004 s.d. tanggal 25 Maret
2008 (selama 37 bulan x Rp. 4.501.940,00) Rp. 166.571.780,00 +
Rp. 533.926.981,00
Penjualan lelang dilakukan menurut Undang-Undang Lelang (Vendu
Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908 : 189
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941
: 3) jis Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 40/PMK.07/2006 tanggal
30 Mei 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Hasil penjualan
lelang eksekusi Pengadilan Negeri Klaten dengan perantara KPKNL
Surakarta sebesar Rp. 305.100.000,00.
Penjualan lelang yang dilaksanakan pada tanggal 20 Agustus 2008,
sebelumnya telah diajukan perlawanan oleh tersita yang merupakan
Termohon Eksekusi. Perlawanan itu dimaksudkan untuk melawan
Penetapan Sita Eksekusi Pengadilan Negeri Klaten. Tujuannya untuk
menghambat proses lelang eksekusi.
6. Alat Bukti
Alat Bukti Pelawan (telah dicocokkan sesuai dengan aslinya) :
a. Fotocopy salinan rekening koran Bank CIC Internasional Tbk. periode :
Desember 2003, no rekening : 70.00.00348.4. diberi tanda bukti (P-1);
b. Fotocopy salinan rekening koran Bank CIC Internasional Tbk. periode :
Januari 2004, no rekening : 70.00.00348.4. diberi tanda bukti (P-2);
c. Fotocopy salinan rekening koran Bank CIC Internasional Tbk. periode :
Januari 2004, no rekening : 70.00.00348.4. diberi tanda bukti (P-3);
d. Fotocopy salinan rekening koran Bank CIC Internasional Tbk. periode :
Februari 2004, no rekening : 70.00.00348.4. diberi tanda bukti (P-4);
lxi
e. Fotocopy salinan rekening koran Bank CIC Internasional Tbk. periode :
Mei 2004, no rekening : 70.00.00348.4. diberi tanda bukti (P-5);
f. Fotocopy salinan rekening koran Bank CIC Internasional Tbk. periode :
Mei 2004, no rekening : 70.00.00348.4. diberi tanda bukti (P-6);
g. Fotocopy salinan rekening koran Bank CIC Internasional Tbk. periode :
Mei 2004, no rekening : 70.00.00348.4. diberi tanda bukti (P-7);
h. Fotocopy salinan rekening koran Bank CIC Internasional Tbk. periode :
Juni 2004, no rekening : 70.00.00348.4. diberi tanda bukti (P-8);
i. Fotocopy salinan rekening koran Bank CIC Internasional Tbk. periode :
Juni 2004, no rekening : 70.00.00348.4. diberi tanda bukti (P-9);
j. Fotocopy salinan rekening koran Bank CIC Internasional Tbk. periode :
Juli 2004, no rekening : 70.00.00348.4. diberi tanda bukti (P-10);
k. Fotocopy salinan rekening koran Bank CIC Internasional Tbk. periode :
Agustus 2004, no rekening : 70.00.00348.4. diberi tanda bukti (P-11);
Alat Bukti Terlawan (telah dicocokkan sesuai dengan aslinya) :
Fotocopy akta Notaris tanggal 6 Januari 2004 Nomor : 02 tentang perjanjian
utang piutang, diberi tanda (T.1).
7. Dasar Pertimbangan Hakim
Perkara apapun, hakim memberikan dasar pertimbangan hukum yang
mendasari putusan yang dijatuhkan dalam perkara yang bersangkutan.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten yang memeriksa perkara
perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt., memberikan dasar
pertimbangan hukum yang mendasari putusan yang dijatuhkan. Dasar
pertimbangan itu meliputi :
Menimbang, bahwa atas gugatan Kuasa Pelawan, Kuasa Terlawan
menyangkal dalil-dalil Pelawan, karenanya menjadi kewajiban hukum bagi
Kuasa Hukum Pelawan untuk membuktikan dalilnya, sebaliknya pihak Kuasa
Terlawan dapat mengajukan bukti balik;
lxii
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya, Kuasa
Pelawan dipersidangan mengajukan bukti surat diberi tanda P.1 s.d. P.11 dan
tidak mengajukan saksi, sedangkan untuk menguatkan dalil-dalil bantahannya
Kuasa Terlawan mengajukan bukti surat diberi tanda T.1 dan tidak
mengajukan saksi;
Menimbang, bahwa dari jawab-menjawab terdapat fakta pengakuan yang
pada pokoknya : bahwa sebidang tanah sertifikat hak milik No. 312 seluas ±
2180 M² terletak di Desa Gatak, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten
telah dilakukan penetapan sita eksekusi tanggal 2 April 2008 Nomor :
07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt.;
Menimbang, bahwa selanjutnya berdasarkan jawab-menjawab para pihak
yang perkara di persidangan Majelis Hakim mendapat fakta penyangkalan-
penyangkalan, oleh karenanya menjadi perselisihan hukum sepanjang hal-hal
sebagai berikut :
Menurut Pelawan : bahwa Pelawan (WHP) telah mengangsur sebesar Rp.
75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) kepada Terlawan untuk
membayar utangnya, sehingga uang tersebut untuk diperhitungkan
dengan pinjamannya;
Menurut Terlawan : Bahwa Terlawan tidak pernah menerima angsuran
dari Pelawan (WHP) sebesar Rp. 75.000.000,00 dan Pelawan tidak
pernah menepati isi putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor :
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor :
1465 K/Pdt/2006, tanah tersebut dimohonkan lelang untuk memenuhi isi
putusan;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta pengakuan dan fakta sangkalan
para pihak, dihubungkan dengan pokok posita dan petitum gugatan Kuasa
Pelawan dan jawaban Kuasa Terlawan serta bukti surat-surat yang diajukan di
persidangan, maka Majelis Hakim mendapatkan persoalan hukum yaitu :
- Apakah Pelawan merupakan pelawan yang baik dan benar?;
lxiii
Menimbang, bahwa Majelis Hakim akan mempertimbangkan persoalan
hukum yaitu apakah Pelawan sebagai pelawan yang baik dan benar sebagai
berikut :
Menimbang, bahwa menurut bukti P.1 s.d. P.11 ternyata Pelawan telah
mengangsur utang piutang sebesar Rp. 75.000.000,00 kepada Terlawan;
Menimbang, bahwa bukti T.1 ternyata antara Pelawan dan Terlawan
telah terjadi perjanjian utang piutang karena ingkar janji maka barang
jaminan berupa sertifikat No. 312 seluas ± 2180 M² terletak di Desa Gatak,
Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten telah dilakukan penetapan sita
eksekusi guna memenuhi bunyi putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor :
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465
K/Pdt/2006 telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
Menimbang, bahwa Pengadilan Negeri Klaten pada tanggal 20 Agustus
2008 telah melaksanakan putusan tersebut dengan melakukan lelang eksekusi
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, lelang eksekusi adalah sah dan
tidak melawan hukum;
Menimbang, bahwa gugatan pokok perlawanan Pelawan adalah agar
penetapan sita eksekusi Nomor : 07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. terhadap tanah
dengan sertifikat hak milik No. 312 seluas ± 2180 M² terletak di Desa Gatak,
Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten adalah tidak sah dan melawan
hukum, akan tetapi ternyata sertifikat tersebut telah dilakukan eksekusi guna
memenuhi isi putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor :
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465
K/Pdt/2006 telah selesai dilaksanakan, petitum nomor 3 gugatan Pelawan
harus ditolak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, petitum nomor 1,
2, 4 s.d. 9 gugatan pelawan tidak beralasan dan harus ditolak;
lxiv
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas,
ternyata Pelawan tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya, gugatan
Pelawan ditolak untuk seluruhnya;
Menimbang, bahwa Pelawan adalah pihak yang dikalahkan, biaya
perkara yang timbul dalam gugatan ini harus dibebankan kepada Pelawan;
Mengingat pasal-pasal serta peraturan perundang-undangan lainnya yang
bersangkutan dengan perkara ini.
8. Putusan
Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten itu digunakan
untuk menjatuhkan putusan dalam perkara perlawanan Nomor :
39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. Amar Putusan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.
sebagai berikut :
a. M
enyatakan Pelawan adalah pelawan yang tidak benar;
b. M
enolak perlawanan Pelawan untuk seluruhnya;
c. M
enghukum Pelawan untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam
perkara ini sebesar Rp. 636.600,00 (enam ratus tiga puluh enam ribu
enam ratus rupiah).
Putusan diucapkan pada hari Kamis, tanggal 19 Maret 2009 dalam
persidangan yang terbuka unttuk umum.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan oleh penulis, dapat
disusun pembahasan untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Pembahasan
atas permasalahan yang diteliti, penulis uraikan sebagai berikut dibawah ini.
lxv
1. Aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang
mendapatkan perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor :
39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.
Pemohon eksekusi mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua
Pengadilan Negeri Klaten berdasarkan pada putusan Nomor :
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465
K/Pdt/2006 yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Permohonan eksekusi diajukan karena termohon eksekusi tidak dengan
sukarela melaksanakan putusan hakim.
Eksekusi yang dimohonkan sudah memenuhi syarat, dengan putusan
yang bersifat comdemnatoir yang menghukum Tergugat II (D) untuk menjual
lelang barang jaminan utang guna melunasi utang Tergugat I (WHP) kepada
Penggugat dan kerugian materiil yang timbul. Putusan hakim telah
berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), karena putusan itu
merupakan putusan Mahkamah Agung (tingkat kasasi) yang sudah pasti
berkekuatan hukum tetap. Pihak yang kalah dengan tidak sukarela
menjalankan putusan hakim, dibuktikan dengan adanya permohonan eksekusi
Putusan Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg.
jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 oleh Pemohon Eksekusi.
Berdasarkan pada permohonan eksekusi dari pemohon eksekusi, Ketua
Pengadilan Negeri Klaten pada tanggal 2 April 2008 mengeluarkan Surat
Penetapan Sita Eksekusi perkara Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 yang bernomor :
07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. Surat Penetapan Sita Eksekusi perkara Nomor :
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465
K/Pdt/2006 yang bernomor : 07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt., kemudian diikuti
dengan aanmaning tertanggal 7 April 2008 kepada Termohon Eksekusi, serta
mengeluarkan Surat Pelaksanaan Sita Eksekusi Nomor :
W.12.U.9/HPDT.04.01/IV/2008 tanggal 22 April 2008.
lxvi
Berdasarkan Surat Penetapan Sita Eksekusi perkara Nomor :
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465
K/Pdt/2006 yang bernomor : 07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt., Termohon Eksekusi
mengajukan gugatan perlawanan ke Pengadilan Negeri Klaten yang
menjalankan putusan, sekaligus memeriksa serta memutus perlawanan yang
diajukan. Gugatan Perlawanan terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Klaten tanggal 2 Mei 2008, tanggal 5 Mei 2008 register perkara perdata
Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. Pemeriksaan perkara perlawanan
dilakukan setelah upaya mediasi gagal, ditandai dengan surat pernyataan yang
ditandatangani oleh mediator tanggal 13 Agustus 2008;
Tanggal 20 Agustus 2008 dihadapan Pejabat Lelang Kelas I yang
berkedudukan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)
Surakarta, dilaksanakan Lelang Eksekusi Pengadilan Negeri Klaten atas
sebidang tanah sertifikat hak milik No. 312 Desa Gatak, luas ± 2180 M² atas
nama pemegang hak D (Tergugat II/Pelawan) yang terletak di Desa Gatak,
Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten. Tergugat II/Pelawan (D)
merupakan penjamin utang Tergugat I/Pelawan (WHP).
Lelang eksekusi dilakukan guna memenuhi pelunasan utang Tergugat I
(WHP) kepada Penggugat dan kerugian materiil yang ditimbulkan, dengan
perincian : Pokok utang sebesar Rp. 367.355.201,00 ditambah dengan
kerugian materiil (terhitung sejak tanggal 6 Agustus 2004 s.d. tanggal 25
Maret 2008, selama 37 bulan x Rp. 4.501.940,00) sebesar Rp.
166.571.780,00. Total yang harus dibayar Tergugat I (WHP) kepada
Penggugat sebesar Rp. 533.926.981,00. Lelang eksekusi tehadap putusan
hakim Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 tetap berjalan, meskipun
ada perlawanan yang diajukan oleh pihak tereksekusi.
Eksekusi hanya dapat ditangguhkan atas perintah Ketua Pengadilan
Negeri Klaten yang memeriksa perkara perlawanan itu. Penangguhan
lxvii
eksekusi sepenuhnya merupakan kebijakan dari Ketua Pengadilan Negeri
Klaten. Ketua Pengadilan Negeri Klaten berwenang untuk menangguhkan
eksekusi apabila terlihat adanya indikasi bahwa perlawanan yang diajukan
oleh tersita berdasarkan alasan benar. Eksekusi ditangguhkan sampai pada
saat dijatuhkan putusan atas perlawanan itu.
Asas yang berlaku pada penundaan eksekusi adalah “tidak ada patokan
umum” untuk menunda eksekusi. Penerapan penundaan eksekusi bersifat
kasuistik, artinya tidak ada alasan penundaan eksekusi yang bersifat
menentukan. Alasan yang sama, berbeda penerapan dan penilaiannya,
sehingga alasan itu tidak berlaku umum untuk semua penundaan eksekusi.
Asas yang lain adalah penundaan eksekusi bersifat eksepsional, artinya
pengabulan penundaan eksekusi merupakan tindakan pengecualian dari asas
aturan umum. Perdamaian yang dapat menunda eksekusi (M. Yahya Harahap,
2006 : 309-310).
Perkembangannya, hanya ada satu alasan yang dianggap paling relevan
sebagai dalil atas perlawanan tersita terhadap eksekusi. Alasannya yaitu
putusan yang dieksekusi telah dipenuhi seluruhnya atau grosse akta
(pengakuan hutang, hak tanggungan, atau jaminan fidusia) telah dilunasi
seluruhnya atau sebagian, sedangkan pelunasan sebagian itu tidak dikurangi
jumlah utang. Eksekusi akan tetap berlanjut jika utang seluruhnya belum
dilunasi (M. Yahya Harahap, 2006 : 437).
Pelawan mengajukan perlawanannya dengan dalil bahwa sudah beberapa
kali mengangsur utangnya sebesar Rp. 75.000.000,00 melalui Bilyet Giro
Bank CIC Cabang Nonongan Solo. Pelawan menganggap bahwa perlawanan
diajukan berdasarkan alasan yang kuat, yaitu sebagian utang sudah dibayar,
namun semua cicilan tidak ikut diperhitungkan (vide YAHYA HARAHAP,
Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata).
Pelawan menginginkan agar angsuran utang sebesar Rp. 75.000.000,00
melalui Bilyet Giro Bank CIC Cabang Nonongan Solo untuk ikut
lxviii
diperhitungkan dengan seluruh jumlah nominal yang harus dibayar oleh
Tergugat I/Pelawan (WHP) kepada Penggugat/Terlawan. Angsuran utang
sebesar Rp. 75.000.000,00 melalui Bilyet Giro Bank CIC Cabang Nonongan
Solo belum dibuktikan kebenarannya dalam persidangan, meskipun benar
angsuran itu belum bisa melunasi utang Tergugat I/Pelawan (WHP) kepada
Penggugat/Terlawan dan kerugian metariil yang timbul. Lelang eksekusi pun
tetap dilaksanakan.
Hasil penjualan lelang eksekusi Pengadilan Negeri Klaten dengan
perantara KPKNL Surakarta sebesar Rp. 305.100.000,00. Jumlah dari hasil
penjualan lelang itu belum mampu untuk mencukupi pembayaran utang.
Kekurangan pelunasan utang Tergugat I/Pelawan (WHP) kepada
Penggugat/Terlawan sebesar Rp. 228. 826. 981,00. Kebenaran angsuran utang
sebesar Rp. 75.000.000,00 melalui Bilyet Giro Bank CIC Cabang Nonongan
Solo jika dapat dibuktikan di persidangan, belum bisa melunasi utang karena
apabila diperhitungkan sisa utang sebesar Rp. 153.826.981,00.
Pada saat lelang eksekusi tanggal 20 Agustus 2008, pemeriksaan perkara
belum sampai pada tahap pembuktian. Perkara perlawanan Nomor :
39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt., diputus pada tanggal 19 Maret 2009.
Bertitik tolak pada uraian diatas, maka dapat ditegaskan bahwa yang
menjadi aturan hukum dalam lelang eksekusi tanah yang mendapatkan
perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.,
sebagai berikut :
a. Pasal 207 HIR/Pasal 225 RBg;
Ayat (1) : Bantahan orang yang berutang tentang menjalankan putusan, baik dalam hal disita barang yang tiada tetap, maupun dalam hal disita barang yang tetap, harus diberitahukan oleh orang yang hendak membantah itu, dengan surat atau dengan lisan, kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang tersebut dalam Pasal 195 ayat (6); jika bantahan itu diberitahukan dengan lisan, maka ketua wajib mencatatnya atau menyuruh catatnya.
lxix
Ayat (2) : Kemudian perkara itu dihadapkan oleh ketua pada persidangan pengadilan negeri yang pertama sesudah itu, supaya diputuskan sesudah kedua belah pihak diperiksa atau dipanggil dengan patut.
Ayat (3) : Bantahan itu tiada dapat menahan orang mulai atau meneruskan hal menjalankan putusan itu, kecuali jika ketua telah memberi perintah, supaya hal itu ditangguhkan sampai jatuh putusan pengadilan negeri.
b. Pasal 195 ayat (1) HIR;
“Hal menjalankan putusan hakim oleh pengadilan dalam perkara
yang mula-mula diperiksa oleh pengadilan negeri, dilakukan atas
perintah dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang mula-mula
memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal
dibawah ini.”
c. Pasal 195 ayat (6) HIR;
Jika hal menjalankan putusan itu dibantah dan juga jika yang membantahnya itu orang lain, oleh karena barang yang disita itu diakunya sebagai miliknya, maka hal itu serta segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan itu, dihadapkan kepada pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi hal menjalankan putusan itu, serta diputuskan juga oleh pengadilan negeri itu.
d. Pasal 196 HIR;
Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai mencukupi isi putusan itu dengan baik, maka pihak yang dimenangkan memasukkan permintaan baik dengan lisan, baik dengan surat, supaya putusan itu dijalankan, yaitu kepada Ketua Pengadilan Negeri yang tersebut pada Pasal 195 ayat (1). Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta menasihati, supaya ia mencukupi putusan itu dalam waktu yang ditentukan oleh ketua itu, selama-lamanya delapan hari.
e. Pasal 197 ayat (1) HIR;
Jika sudah lalu waktu yang ditentukan itu, serta orang yang dikalahkan itu belum juga mencukupi putusan itu, atau jika orang yang dikalahkan itu, sesudah dipanggil dengan patut tiada juga menghadap, maka ketua karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita sekian barang yang tiada tetap dan jika tidak ada barang demikian itu, atau ternyata tiada
lxx
cukup, sekian barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu, sehingga dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut didalam putusan itu dan sekalian biaya untuk menjalankan putusan itu.
f. Pasal 200 ayat (1) HIR/Pasal 216 ayat (1) RBg;
“Penjualan barang sitaan dilakukan dengan pertolongan kantor
lelang atau menurut keadaaan yang akan ditimbang oleh ketua, oleh
orang yang melakukan itu atau orang yang cakap dan boleh dipercaya,
yang ditunjukkan oleh ketua dan yang tinggal ditempat penjualan itu
dilakukan atau didekat tempat itu.”
g. Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908 : 189
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad :
1941 : 3;
Pasal 20 : Penjualan karena putusan hakim berdasarkan Pasal 197 HIR atau Pasal 208 RBg, mengenai barang-barang tidak bergerak yang disita, tidak dapat dilakukan kecuali jika kepada juru lelang diberikan bukti-bukti pengumuman penjualan, sekurang-kurangnya tiga hari sebelum hari penjualan, atau yakin dengan cara lain bahwa pengumuman telah dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang.
h. Peraturan Menteri Keuangan RI No. 40/PMK. 07/2006 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang;
Pasal 2 : “Setiap pelaksanaan lelang harus dilakukan oleh dan/atau
dihadapan Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan.”
i. SK Menteri Keuangan Nomor : 06/KM.06/UP.11/2007 tertanggal 3 Mei
2007;
SK Menteri Keuangan Nomor 06/KM.06/UP.11/2007 tertanggal 3
Mei 2007 merupakan Surat Keputusan pengangkatan Pejabat Lelang
Kelas I yang berkedudukan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang (KPKNL) Surakarta oleh Menteri Keuangan.
lxxi
j. Surat Tugas dari Kepala KPKNL Surakarta Nomor : ST-
332/WKN.09/KP.02/2008 tanggal 1 Agustus 2008.
Surat Tugas Nomor ST-332/WKN.09/KP.02/2008 tanggal 1 Agustus
2008 adalah surat tugas yang dikeluarkan oleh Kepala KPKNL Surakarta
kepada Pejabat Lelang Kelas I untuk melakukan lelang eksekusi terhadap
putusan Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006.
Penjabaran aturan hukum dalam lelang eksekusi tanah yang mendapatkan
perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. oleh
penulis diatas, maka dapat dianalisis sebagai berikut :
a. Dalam kasus yang menjadi fokus penelitian oleh penulis, lelang eksekusi
terhadap putusan Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 dijalankan atas
perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri Klaten, yang
memeriksa perkara pada tingkat pertama (Pasal 195 ayat (1) HIR);
b. Pemohon Eksekusi sebagai pihak yang menang mengajukan permintaan
eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri Klaten, selanjutnya Ketua
Pengadilan Negeri Klaten memanggil pihak yang kalah/Termohon
Eksekusi untuk memberi peringatan (aanmaning) agar putusan itu
dipenuhi dalam waktu selama-lamanya delapan hari (Pasal 196 HIR);
c. Ketua Pengadilan Negeri Klaten karena jabatannya memberi perintah
dengan surat untuk melakukan penyitaan terhadap barang bergerak dan
apabila tidak ada/tidak cukup dapat disita pula barang tidak bergerak
milik pihak yang kalah/Termohon Eksekusi. Penyitaan dilakukan karena
pihak yang kalah/Termohon Eksekusi dalam waktu yang telah ditentukan
tidak memenuhi isi putusan. Dalam kasus yang menjadi obyek penelitian
penulis, terdapat pengecualian terhadap sebagian substansi Pasal 197 ayat
(1) HIR. Konsekuensi hukum perjanjian utang piutang dengan
penjaminan adalah sita eksekusi dan penjualan lelang tahap pertama
hanya dapat dijalankan terhadap barang jaminan (tanah), tidak seperti
lxxii
ketentuan Pasal 197 ayat (1) HIR. Pasal 197 ayat (1) HIR menentukan
untuk menyita barang bergerak terlebih dahulu yang kemudian diikuti
barang tidak bergerak, jika hasil lelang barang bergerak tidak cukup;
d. Sita eksekusi atas barang jaminan itu oleh pihak yang kalah/Termohon
Eksekusi dilakukan perlawanan yang diajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri Klaten. Gugatan perlawanan diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Negeri Klaten yang daerah hukumnya terjadi lelang eksekusi
(Pasal 195 ayat (6) HIR);
e. Perlawanan diajukan secara tertulis, selanjutnya diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Negeri Klaten setelah kedua belah pihak diperiksa atau
dipanggil secara patut. Perlawanan itu tidak dapat menangguhkan
jalannya lelang eksekusi, kecuali Ketua Pengadilan Negeri Klaten
memerintahkan agar lelang eksekusi ditangguhkan sampai Pengadilan
Negeri Klaten memutus perlawanan itu (Pasal 207 HIR/Pasal 225 RBg);
f. Penundaan eksekusi dapat diterapkan apabila perlawanan tersita
didasarkan pada Pasal 207 HIR/Pasal 225 RBg yang disesuaikan dengan
asas kasuistik dan asas eksepsional. Tidak ada alasan penundaan eksekusi
yang bersifat menentukan. Perkembangan dalam situasi sosial sekarang,
hanya ada satu alasan yang dapat digunakan untuk menangguhkan
eksekusi. Penerapannya berbeda antara satu kasus dengan kasus lainnya,
harus menyesuaikan keadaan yang ada;
g. Ketua Pengadilan Negeri sepenuhnya memegang dan mempunyai
kebijakan untuk menunda eksekusi. Eksekusi dapat ditunda/ditangguhkan
apabila segera terlihat/nampak bahwa perlawanan diajukan dengan alasan
yang sifatnya mendasar guna menangguhkan eksekusi. Ketua Pengadilan
Negeri Klaten tidak memerintahkan lelang eksekusi barang jaminan
untuk ditangguhkan, jadi lelang eksekusi tetap dijalankan meskipun
perlawanan masih dalam proses pemeriksaan;
h. Lelang eksekusi putusan Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 sudah benar
menurut Hukum Acara Perdata Indonesia. Angsuran utang tidak dapat
lxxiii
dijadikan dasar alasan guna menangguhkan lelang eksekusi, karena
jumlah angsuran utang Pelawan (WHP) kepada Terlawan belum bisa
melunasi utang. Lelang eksekusi hanya dapat ditangguhkan atas perintah
Ketua Pengadilan Negeri Klaten, apabila telah terbukti bahwa Termohon
Eksekusi (WHP) sudah melunasi utangnya kepada Pemohon Eksekusi;
i. Lelang eksekusi didasarkan atas Pasal 200 ayat (1) HIR/Pasal 216 ayat (1)
RBg, bahwa penjualan barang jaminan yang telah disita oleh Pengadilan
Negeri Klaten dilakukan dengan perantaraan kantor lelang (KPKNL
Surakarta). Ketentuan Pasal 200 ayat (1) HIR/Pasal 216 ayat (1) RBg
yang memerintahkan penjualan lelang dilakukan dengan bantuan kantor
lelang, berarti sumber hukum pelaksanaan lelang eksekusi tidak hanya
merujuk pada HIR/RBg, karena HIR/RBg tidak mengatur lebih lanjut
tata caranya;
j. Lelang eksekusi barang jaminan dalam putusan Nomor :
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor :
1465 K/Pdt/2006 dilakukan menurut Peraturan Lelang (Vendu
Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908 : 189
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad :
1941 : 3). Peraturan lelang itu tidak berdiri sendiri, terdapat beberapa
Peraturan Pelaksanaan yang dikeluarkan Menteri Keuangan demi
mengefektifkan dan mengaktualkan pelaksanaan lelang yang diatur
dalam Peraturan Lelang yang beberapa kali mengalami perubahan,
terakhir diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 40/PMK.
07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang;
k. Lelang eksekusi barang jaminan dalam putusan Nomor :
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor :
1465 K/Pdt/2006 dilakukan oleh Pejabat Lelang Kelas I yang diangkat
berdasarkan atas SK Menteri Keuangan Nomor : 06/KM.06/UP.11/2007
tertanggal 3 Mei 2007 dan berdasarkan pada Surat Tugas dari Kepala
KPKNL Surakarta Nomor : ST-332/WKN.09/KP.02/2008 tanggal 1
Agustus 2008.
lxxiv
2. Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus
perkara perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. ditinjau dari
Hukum Acara Perdata Indonesia.
Eksekusi dimohonkan terhadap putusan Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt.
jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006. Ketua
Pengadilan Negeri Klaten kemudian menerbitkan Surat Penetapan Sita
Ekseusi bernomor : 07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. tertanggal 2 April 2008 yang
diikuti dengan aanmaning tertanggal 7 April 2008 kepada Termohon
Eksekusi, serta mengeluarkan Surat Pelaksanaan Sita Eksekusi Nomor :
W.12.U.9/HPDT.04.01/IV/2008 tanggal 22 April 2008.
Gugatan Perlawanan terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Klaten
tanggal 2 Mei 2008, tanggal 5 Mei 2008 register perkara perdata Nomor :
39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. Dalam gugatan perlawanannya, Pelawan berdalil
bahwa perlawanan yang diajukannya berdasarkan alasan yang kuat, yaitu
sebagian utang sudah dibayar, namun sisa cicilan tidak ikut diperhitungkan.
Alasan itu didasarkan pada isi buku M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup
Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Alasan itu merupakan alasan yang
kasuistik yang dapat diterapkan guna menunda eksekusi. Alasan yang sama,
berbeda penerapan dan penilaiannya, sehingga alasan itu tidak berlaku umum
untuk semua penundaan eksekusi.
Amar Putusan Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 telah berkekuatan
hukum tetap (in kracht van gewijsde). Amar putusan itu menyatakan sebagai
hukum bahwa Tergugat I (WHP) telah ingkar janji dan menghukum Tergugat
II (D) untuk menjual secara lelang melalui perantara Pengadilan Negeri
Klaten guna membayar/melunasi utang Tergugat I (WHP) kepada Penggugat
dan kerugian materiil yang ditimbulkan. Pokok utang sebesar Rp.
367.355.201,00 dan kerugian materiil sebesar Rp. 4.501.940,00 terhitung
sejak putusan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Total yang
harus dibayar sebesar Rp. 533.926.981,00.
lxxv
Dalam persidangan, Pelawan mengajukan bukti berupa fotocopy Bilyet
Giro Bank CIC Cabang Nonongan Solo yang keseluruhannya berjumlah
sebesar Rp. 75.000.000,00, dengan diberi tanda P.1 s.d. P.11. Alat bukti yang
diajukan oleh Pelawan berupa fotocopy Bilyet Giro Bank CIC Cabang
Nonongan Solo yang sudah disesuaikan dengan aslinya. Terlawan
mengajukan fotocopy Akta Perjanjian Utang Piutang Nomor : 02 tertanggal 6
Januari 2004 dengan diberi tanda T.1 dan telah sesuai dengan aslinya. Kedua
pihak yang berperkara tidak mengajukan saksi dalam pemeriksaan di
persidangan.
Fotocopy sebagai alat bukti di persidangan adalah sah sebagai akta
otentik atau akta pada umumnya, jika dapat diperlihatkan aslinya. Penerapan
ini merujuk pada ketentuan Pasal 1888 KUHPerdata. Salinan dan ikthisar
dapat dipercaya jika sesuai dengan aslinya dan senantiasa dapat diperintahkan
untuk ditunjukkan aslinya. Salinan adalah sah sebagai alat bukti serta nilai
kekuatan pembuktiannya sempurna dan mengikat sebagaimana yang melekat
pada aslinya. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 1889 KUHPerdata.
Pasal 165 HIR : Surat (akta) yang sah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya, menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akta) itu.
Berdasarkan Pasal 165 HIR, akta otentik dapat dibagi menjadi dua, yaitu
(Sudikno Mertokusumo, 2006 : 155-156) :
a. Akta Ambtelijk, yaitu akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang
untuk itu dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat
dan apa yang dilakukannya;
b. Akta Partij, yaitu akta yang dibuat dihadapan pejabat yang diberi
wewenang untuk itu dengan mana pejabat menerangkan apa yang dilihat
dan dilakukannya.
lxxvi
Kekuatan pembuktian dari akta otentik, sebagai berikut (Sudikno
Mertokusumo, 2006 : 161-162) :
a. Kekuatan pembuktian lahir;
Suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik dan memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat
dianggap sebagai akta otentik sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Baik
akta ambtelijk maupun akta partij, mempunyai kekuatan pembuktian
lahir.
b. Kekuatan pembuktian formil;
Akta otentik membuktikan kebenaran daripada apa yang dilihat,
didengar dan dilakukan pejabat. Akta ambtelijk tidak terdapat pernyataan
atau keterangan dari para pihak, pejabatlah yang menerangkan. Dalam
akta partij, bagi siapapun telah pasti bahwa pihak-pihak dan pejabat
menyatakan seperti yang tercantum diatas tanda tangan mereka.
c. Kekuatan pembuktian materiil.
Akta ambtelijk hanya membuktikan kebenaran apa yang dilihat dan
dilakukan oleh pejabat. Kebenaran pernyataan pejabat serta akta itu
dibuat oleh pejabat adalah pasti bagi siapapun. Pada umumnya, akta
ambtelijk tidak mempunyai kekuatan pembuktian materiil. Akta
ambtelijk yang mempunyai kekuatan pembuktian materiil hanya akta
yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil. Kekuatan pembuktiannya
diserahkan pada pertimbangan hakim. Akta partij, bagi para pihak dan
mereka yang memperoleh hak daripadanya merupakan bukti sempurna.
Semua akta partij mempunyai kekuatan pembuktian materiil.
Dalam kasus yang menjadi obyek penelitian penulis, Pelawan
mengajukan akta ambtelijk yang mempunyai kekuatan pembuktian bebas.
Terlawan mengajukan akta partij yang kekuatan pembuktiannya sempurna
dan mengikat. Hakim terikat pada akta partij yang mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam
menjatuhkan putusan.
lxxvii
Batas minimal pembuktian dalam perkara perdata tidak tergantung pada
faktor kuantitas, melainkan didasarkan pada faktor kualitas dari alat bukti.
Nilai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat pada akta otentik, pada
dasarnya dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan atau dukungan alat
bukti yang lain (M. Yahya Harahap, 2007 : 546).
Tanggal 20 Agustus 2008 lelang eksekusi atas putusan Pengadilan Negeri
Klaten Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg.
jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 telah dilaksanakan melalui perantaraan KPKNL
Surakarta. Perlawanan yang diajukan tidak menangguhkan lelang eksekusi
barang jaminan.
Gugatan pokok perlawanan Pelawan adalah agar penetapan sita eksekusi
Nomor : 07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. terhadap tanah dengan sertifikat hak milik
No. 312 seluas ± 2180 M² terletak di Desa Gatak, Kecamatan Delanggu,
Kabupaten Klaten adalah tidak sah dan melawan hukum, sebagaimana
tercantum dalam petitum nomor 3 gugatan perlawanan. Petitum itu
dinyatakan ditolak. Tanggal 20 Agustus 2008, sertifikat tersebut telah
dilakukan eksekusi guna memenuhi isi putusan Nomor :
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465
K/Pdt/2006 yang telah berkekuatan hukum tetap. Perkara perlawanan Nomor
: 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt., diputus pada tanggal 19 Maret 2009.
Petitum nomor 3 dalam gugatan perlawanan yang merupakan petitum
pokok, telah ditolak. Petitum yang lain dan selebihnya yang erat kaitannnya
dengan petitum pokok pun sudah seharusnya ditolak.
Perlawanan yang diajukan Pelawan dimaksudkan untuk menunda lelang
eksekusi dan mengurangi nilai jumlah eksekusi. Lelang eksekusi pada
kenyataannya telah dijalankan pada saat pemeriksaan gugatan perlawanan
dilakukan. Perlawanan yang diajukan Pelawan tidak dapat mengangguhkan
lelang eksekusi.
lxxviii
Alasan yang disebut Pelawan yaitu sebagian utang sudah dibayar, namun
sisa cicilan tidak ikut diperhitungkan dianggap sebagai alasan yang kuat guna
menangguhkan eksekusi. Alasan itu ternyata bukan merupakan alasan yang
dapat menangguhkan lelang eksekusi, karena sebagian utang yang telah
dibayar ditambah dengan sisa cicilan utang tidak dapat digunakan untuk
membayar/melunasi utang Pelawan (WHP) kepada Terlawan.
Pengadilan Negeri Klaten menyatakan perlawanan tidak beralasan dan
Pelawan dinyatakan sebagai Pelawan yang tidak benar, karena dasar gugatan
perlawanan tidak sesuai aturan hukum guna menangguhkan eksekusi. Biaya
perkara dibebankan kepada Pelawan sebagai pihak yang kalah.
Berdasarkan pada uraian penulis diatas, maka dapat ditegaskan bahwa
yang menjadi dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam
perkara perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt., antara lain :
a. Bahwa berdasarkan pada bukti P.1 s.d. P.11 yang diajukan oleh Pelawan,
menerangkan Pelawan telah mengangsur utang piutang sebesar Rp.
75.000.000,00 kepada Terlawan;
b. Bahwa bukti T.1 yang diajukan oleh Terlawan menyatakan antara Pelawan
dan Terlawan telah terjadi perjanjian utang piutang, karena ingkar janji
maka barang jaminan berupa sertifikat No. 312 seluas ± 2180 M² terletak
di Desa Gatak, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten telah dilakukan
penetapan sita eksekusi guna memenuhi bunyi putusan Pengadilan
Negeri Klaten Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
c. Bahwa Pengadilan Negeri Klaten pada tanggal 20 Agustus 2008 telah
melaksanakan putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor :
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor :
1465 K/Pdt/2006 telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan
melakukan lelang eksekusi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku
dan lelang eksekusi adalah sah dan tidak melawan hukum;
lxxix
d. Bahwa gugatan pokok perlawanan yang diajukan Pelawan adalah agar
penetapan sita eksekusi Nomor : 07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. terhadap tanah
dengan sertifikat hak milik No. 312 seluas ± 2180 M² terletak di Desa
Gatak, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten adalah tidak sah dan
melawan hukum, akan tetapi ternyata sertifikat itu telah dilakukan
eksekusi guna memenuhi isi putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor :
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor :
1465 K/Pdt/2006 telah selesai dilaksanakan, sehingga petitum nomor 3
gugatan pelawan harus ditolak;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, karena petitum nomor 3 yang
merupakan petitum pokok gugatan perlawanan ditolak, maka petitum lain
pada nomor 1, 2, 4 s.d. 9 yang erat kaitannya dengan gugatan pelawan
adalah tidak beralasan dan harus ditolak;
f. Bahwa Pelawan tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya guna
menangguhkan lelang eksekusi putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor
: 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor :
1465 K/Pdt/2006, maka gugatan perlawanan ditolak untuk seluruhnya;
g. Bahwa pelawan adalah pihak yang dikalahkan, biaya perkara yang timbul
dalam gugatan ini harus dibebankan kepada pelawan.
Penulis dalam pembahasan kedua ini ingin memberikan pendapat atas
dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus perkara
perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. Secara substansial, dasar
pertimbangan hakim dalam putusan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.,
menurut penulis telah sesuai dengan aturan Hukum Acara Perdata Indonesia.
Perlawanan tersita sekarang hanya dapat dikabulkan dengan satu alasan
faktual yang sifatnya mendasar. Alasan itu adalah putusan yang dieksekusi
telah dipenuhi seluruhnya atau grosse akta (pengakuan hutang, hak
tanggungan, atau jaminan fidusia) telah dilunasi seluruhnya atau sebagian,
sedangkan pelunasan sebagian itu tidak dikurangi jumlah utang (M. Yahya
Harahap, 2006 : 437). Alasan yang sama, berbeda penerapan dan
lxxx
penilaiannya. Alasan itu tidak berlaku umum untuk semua penundaan
eksekusi. Perlawanan yang diajukan dengan alasan selain itu, sudah
seharusnya ditolak.
Penulis setuju dengan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Klaten
yang menjatuhkan putusan menolak perlawanan dan menyatakan Pelawan
sebagai Pelawan yang tidak baik, serta menghukum Pelawan untuk
membayar biaya perkara, dalam putusan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.
Penulis berpendapat bahwa pelawan memang merupakan pelawan yang
tidak baik, karena mengajukan perlawanan guna menangguhkan lelang
eksekusi dengan mengajukan dalil bahwa sebagian utang telah dibayar,
namun semua cicilan pembayaran tidak ikut diperhitungkan. Pelawan (WHP)
memang telah membayar angsuran kepada Terlawan, namun jumlahnya tidak
mencukupi guna melunasi utang. Penulis pun menilai bahwa Pelawan
merupakan pelawan yang tidak benar, karena perlawanan diajukan dengan
alasan yang tidak sesuai untuk menangguhkan eksekusi. Perlawanan yang
diajukan oleh pihak yang kalah hanya sebagai kedok untuk menunda lelang
eksekusi, bukan diajukan murni dengan alasan yang relevan. Pelawan
mengajukan perlawanan yang seperti itu, harapannya apabila lelang eksekusi
ditunda, Pelawan mendapatkan kelonggaran waktu untuk mengusahakan
pemenuhan isi putusan. Pelawan sebagai pihak yang kalah, sudah
sepantasnya membayar biaya perkara yang timbul. Ketentuan itu didasarkan
pada Pasal 181 ayat (1) HIR.
Alasan relevan untuk menunda lelang eksekusi adalah dengan pelunasan
utang oleh Pelawan (WHP) kepada Terlawan atau sebagian utang yang telah
dibayar ditambah dengan sisa cicilan utang dapat digunakan untuk melunasi
utang Pelawan (WHP) kepada Terlawan. Apabila Pelawan (WHP) hanya
memenuhi sebagian isi putusan, lelang eksekusi tetap dapat dijalankan.
Pelunasan utang pelawan (WHP) kepada Terlawan merupakan alasan faktual
lxxxi
yang sifatnya mendasar, karena dengan alasan tersebut lelang eksekusi dapat
ditangguhkan.
Penulis berpendapat, guna mewujudkan proses peradilan yang baik,
secara prosedural seharusnya perlawanan diperiksa terlebih dahulu dan lelang
eksekusi ditangguhkan untuk sementara waktu. Lelang eksekusi dijalankan
setelah perlawanan diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Klaten dan
putusan telah berkekuatan hukum tetap. Lelang eksekusi yang dijalankan
pada saat perlawanan masih diperiksa adalah tidak tepat. Ada beberapa alasan
penundaan eksekusi yang sering diajukan dalam praktik peradilan. Alasan
tersebut tidak dapat dijadikan patokan umum untuk menunda eksekusi. Setiap
alasan permohonan penundaan eksekusi harus diteliti, diperiksa dan
dipertimbangkan lebih lanjut untuk dikabulkan atau ditolak.
Dalam perkara Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt., Surat Penetapan Sita
Eksekusi perkara Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 yang bernomor :
07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Klaten
tanggal 2 April 2008, diikuti dengan aanmaning tertanggal 7 April 2008 dan
Surat Pelaksanaan Sita Eksekusi Nomor : W.12.U.9/HPDT.04.01/IV/2008
tanggal 22 April 2008. Perlawanan terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri Klaten tanggal 2 Mei 2008 dan diperiksa setelah upaya mediasi gagal
dilakukan, ditandai dengan surat pernyataan yang ditandatangani oleh
mediator tanggal 13 Agustus 2008. Lelang eksekusi dijalankan pada tanggal
20 Agustus 2008 dan perlawanan diputus oleh majelis hakim Pengadilan
Negeri Klaten pada tanggal 19 Maret 2009.
Perkara perlawanan seharusnya diperiksa terlebih dahulu setelah upaya
mediasi gagal dengan menunda lelang eksekusi yang dijalankan pada tanggal
20 Agustus 2008 untuk sementara waktu, sampai perlawanan diputus oleh
majelis hakim Pengadilan Negeri Klaten dan putusan telah berkekuatan
hukum tetap. Lelang eksekusi bisa dijalankan setelah perlawanan diputus oleh
lxxxii
majelis hakim Pengadilan Negeri Klaten pada tanggal 19 Maret 2009 dan
berkekuatan hukum tetap dalam waktu dua minggu usai perkara diputus.
Dalam perkara peralawanan tersebut, pihak yang kalah tidak mengajukan
upaya hukum.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan pada pembahasan yang telah penulis kemukakan pada bab
sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang
mendapatkan perlawanan dari tersita dalam perkara Nomor :
39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt.
Bertitik tolak pada putusan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt., aturan
hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah yang mendapatkan
perlawanan dari tersita, yaitu :
a. Ketentuan Pasal 195 ayat (1) HIR, permohonan eksekusi diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri Klaten berdasarkan putusan Nomor :
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor :
1465 K/Pdt/2006 yang telah berkekuatan hukum tetap;
b. Ketua Pengadilan Negeri Klaten pada tanggal 7 April 2008 sesuai
ketentuan Pasal 196 HIR, memanggil Termohon Eksekusi untuk
memberi peringatan (aanmaning) berdasarkan Surat Penetapan Sita
lxxxiii
Eksekusi Nomor : 59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor :
181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor : 1465 K/Pdt/2006 jo. Nomor :
07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. tertanggal 2 April 2008;
c. Berdasarkan Pasal 197 ayat (1) HIR, Ketua Pengadilan Negeri Klaten
mengeluarkan Surat Pelaksanaan Sita Eksekusi Nomor :
W.12.U.9/HPDT.04.01/IV/2008 kepada Termohon Eksekusi pada
tanggal 22 April 2008;
d. Lelang eksekusi yang tetap dijalankan atas dasar Pasal 207 HIR/Pasal 225
RBg. Lelang eksekusi dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2008, dengan
perantaraan KPKNL Surakarta;
e. Lelang eksekusi didasarkan atas Pasal 200 ayat (1) HIR/Pasal 216 ayat (1)
RBg, dilakukan dengan perantaraan kantor lelang (KPKNL Surakarta)
atas permintaan Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Klaten sesuai
Surat Permohonan Lelang Nomor : W.12.U.9/519/Pdt.04.01/VI/2008
tanggal 25 Juni 2008;
f. Lelang eksekusi menurut Peraturan Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie
28 Februari 1908 Staatsblad 1908 : 189 sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Staatsblad : 1941 : 3) dan Peraturan Menteri
Keuangan RI No. 40/PMK. 07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang, dilakukan Pejabat Lelang Kelas I yang diangkat berdasarkan SK
Menteri Keuangan Nomor : 06/KM.06/UP.11/2007 tertanggal 3 Mei
2007 dan berdasarkan pada Surat Tugas dari Kepala KPKNL Surakarta
Nomor : ST-332/WKN.09/KP.02/2008 tanggal 1 Agustus 2008.
2. Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus
perkara perlawanan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. ditinjau dari
Hukum Acara Perdata Indonesia.
Dalam putusan Nomor : 39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt., hakim Pengadilan
Negeri Klaten memberikan dasar pertimbangan hukum yang secara garis
besar, yaitu :
a. Gugatan perlawanan ditolak untuk seluruhnya, karena Pelawan tidak dapat
membuktikan dalil guna menangguhkan eksekusi. Pelawan (WHP) telah
71
lxxxiv
membayar angsuran kepada Terlawan, namun jumlahnya tidak
mencukupi guna melunasi utang;
b. Petitum pokok dalam gugatan perlawanan ditolak, yaitu penetapan sita
eksekusi Nomor : 07/Pdt.Eks/2008/PN.Klt. terhadap tanah dengan
sertifikat hak milik No. 312 seluas ± 2180 M² terletak di Desa Gatak,
Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten adalah tidak sah dan melawan
hukum. Sertifikat itu telah dilakukan eksekusi tanggal 20 Agustus 2008
guna memenuhi isi putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor :
59/Pdt.G/2004/PN.Klt. jo. Nomor : 181/Pdt/2005/PT.Smg. jo. Nomor :
1465 K/Pdt/2006. Petitum lain tidak beralasan dan harus ditolak. Pelawan
adalah pihak yang dikalahkan, biaya perkara yang timbul dibebankan
kepada Pelawan;
c. Alasan relevan untuk menunda lelang eksekusi adalah pelunasan utang
oleh Pelawan (WHP) kepada Terlawan atau sebagian utang yang telah
dibayar ditambah dengan sisa cicilan utang dapat digunakan untuk
melunasi utang Pelawan (WHP) kepada Terlawan;
d. Pada umumnya, perlawanan secara prosedural harus diperiksa terlebih
dahulu dan lelang eksekusi ditangguhkan untuk sementara waktu. Lelang
eksekusi dijalankan setelah perlawanan diputus oleh majelis hakim
Pengadilan Negeri Klaten dan putusan telah berkekuatan hukum tetap.
B. Saran Setelah mengetahui aturan hukum yang dijadikan dasar lelang eksekusi tanah
yang mendapatkan perlawanan dari tersita dan dasar pertimbangan hakim
Pengadilan Negeri Klaten dalam memutus perkara perlawanan Nomor :
39/Pdt.Plw/2008/PN.Klt. ditinjau dari Hukum Acara Perdata Indonesia, penulis
ingin memberikan saran, sebagai berikut :
1. Putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde),
hendaknya segera dipenuhi isi putusan itu dengan sukarela oleh pihak yang
kalah;
lxxxv
2. Dalam mengajukan perlawanan (verzet) terhadap eksekusi, seharusnya
diajukan dengan alasan yang secara faktual merupakan alasan yang relevan
guna menangguhkan eksekusi;
3. Dalam proses pemeriksaan perkara perlawanan, hendaknya hakim
memperhatikan asas kasuistis dan asas eksepsional. Kecermatan hakim
diperlukan untuk menerapkannya, karena asas-asas itu menyesuaikan masing-
masing kasus yang belum tentu sama dengan kasus yang lainnya;
4. Lelang eksekusi hendaknya dijalankan setelah perlawanan diputus dan telah
berkekuatan hukum tetap, guna mewujudkan peradilan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad. 2008. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Amirudin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja Grfindo Persada.
Asep Nursobah. Sita dan Eksekusi dalam Katalog Yurisprudensi. http://hukumpedia.com/index.php?title=Sita_jaminan>[20 Januari 2010 pukul 10.00].
Atik Indriyani. 2006. “Aspek Hukum Personal Guaranty.” Jurnal Hukum Prioris. Vol. 1, No. 1.
Beni Ahmad Saebani. 2009. Metode Penelitian Hukum. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Endang Mintorowati. Perjanjian Jaminan dan Lembaga Jaminan. http://endangmintorowati.staff.hukum.uns.ac.id/2009/11/25/perjanjian-jaminan-dan-lembaga-jaminan/>[20 Januari 2010 pukul 10.30].
Eric A. Posner. 2009. “Fault In Contract Law”. Vol. 107. No. 8.
Karl W. Pilger. 1996. “Using Reformation To Enforce Defective Personal Guaranties”. Vol. 98. No. 10.
M. Yahya Harahap. 2006. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
_________________. 2007. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta : Sinar Grafika.
lxxxvi
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Purwahid Patrik dan Kashadi. 2001. Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
R. Soeparmono. 2000. Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi. Bandung: Mandar Maju.
R. Tresna. 2005. Komentar HIR. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. 2009. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.
Salim HS. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: PT. Taja Grafindo Persada.
_______. 2005. Hukum Kontrak Teori dan Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.
Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.
Sudikno Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
__________________. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Herziene Inlandsch Reglement (HIR).
Rechtsreglement Buitengewesten (RBg).
Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv).
Peraturan Lelang (Ordonansi 28 Februari 1908 Staatsblad 1908 : 189 jo. Staatsblad : 1941 : 3).
Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorrad) dan Provisionil.