studi optimalisasi pengembalian kerugian negara dengan

186

Upload: others

Post on 28-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan
Page 2: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

STUDIOptimalisasi Pengembalian Kerugian Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Perpajakan Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi

PENGARAH: Alexander Marwata, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Herry Muryanto, Plt. Deputi Bidang Informasi dan Data (INDA) KPK

KOORDINATOR Sujanarko, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK

TIM PENYUSUN Novariza Iman Santoso Anugerah Rizki Akbari Sri Bayuningsih Praptadina Amarillys Enika Noora Ariesiyani Putri Rahayu Wijayanti Sutarno Bintoro Muhammad Kharisma Gumilang Johnson Ridwan Ginting

SUPPORTING: Ilah Winarti Henny Mustika Sari

DISUSUN ATAS KERJASAMA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Direktorat Jendral Pajak (DJP)

Page 3: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan
Page 4: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan
Page 5: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan
Page 6: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan
Page 7: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

Ucapan Terima Kasih

Tim Penyusun mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah berkontribusi dan membantu studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara Dengan Pembebanan Kewajiban Pajak Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

• Mohammad Tsani Annafari, Penasihat KPK • RZ Panca Putra Simanjuntak, Direktur Penyidikan KPK • Fitroh Rohcahyanto, Plt. Direktur Penuntutan KPK • Arif Yanuar, Direktur Peraturan Perpajakan I • Yunirwansyah, Direktur Peraturan Perpajakan II • Yuli Kristiyono, Direktur Penegakan Hukum • Pontas Pane, Direktur Intelijen Perpajakan • Irawan, Direktur Penagihan dan Pemeriksaan • Yon Arsal, Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan • Narasumber: Dr. Yunus Husein, S.H. LL.M, Chandra M. Hamzah,

Hasril Hertanto, S.H., M.H. (Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Arsil (LEiP), Sigit Danang Joyo (Kasubdit Bantuan Hukum DJP), Prof. Dr. Rusli Muhammad (F akultas Hukum Universitas Islam Indonesia), Dr. Supriyadi, S.H., M.Hum. (Fakultas Hukum UGM), Dahliana Hasan, S.H., M.Tax., Ph.D. (Fakultas Hukum UGM), Agustina Siswandari (Kabid. Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan, Kanwil DJP DIY) dan Herwin Ardiono (Koordinator Pidsus, Kejati DIY).

• Perwakilan dari KPK: Abdul Basir, Ahmad Burhanudin, Ali Fikri, Aminudin, Andre D.N, Aulia Postiera, Budi Agung Nugroho, Budi Santoso, Fatma Y. Kusalina, Harni Latfia, Herbert Nababan, Herry Purnomo, Juanto, Lakso Anindito, Nexio Helmus, Ni Nengah Gina Saraswati, Sonny Hendarson, Wahyu PRYP, Wawan Yunarwanto, dan Yulia Anastasia F.

• Perwakilan dari DJP: Abdul Aziz, Adi Saputra M, Adityawarman, Andik Tri J, Budi S, Dadan R, Faradina Naviah, I Komang HW, Kuntati Listyawati, M. Tunjung N, Maman S, Mulyadi, Mutiara Budi A, Rachmad Adi, Ridho Supriando M, Roby E, Sutan, Syamsuria, Teza D.F, dan Tito Muladi.

• Perwakilan Kanwil DJP DIY: Syarif Jiwa • Perwakilan Kejati DIY: Ashari Kurniawan dan Anto D. • Seluruh pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu dan telah

membantu terselesaikannya studi ini.

Page 8: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

1

Daftar Isi

BAB I

PENDAHULUAN .................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 4

1.2 Identifikasi Masalah ................................................................................. 10

1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 11

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 11

1.5 Metode Penelitian .................................................................................... 12

1.6 Sistematika Penulisan .............................................................................. 12

BAB II

PEMBEBANAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS PENINGKATAN KEKAYAAN HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI ................................. 15

2.1. Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Objek Pajak .......................................................................................................... 15

2.1.1 Aspek Teoretis Mengenai Hasil Kejahatan (Proceeds of Crime). 15

2.1.2 Peningkatan Kekayaan dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Objek Pajak ...................................................................................... 23

2.1.3 Larangan Pengurangan Pajak atas Biaya Korupsi ........................ 41

2.2 Pembebanan Kewajiban Pajak atas Hasil Tindak Pidana Korupsi yang Telah Dijatuhi Pidana Tambahan yang Memiliki Konsekuensi Finansial .................................................................................................... 55

Page 9: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

2

BAB III

PELUANG PENGGABUNGAN DAKWAAN DAN TUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN ...................................................................................... 77

3.1 Penerapan Delik Perpajakan terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi ...................................................................................................... 77

3.2 Penggabungan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan ............................................................................... 98

BAB IV

MEKANISME KERJA SAMA ANTARA PENEGAK HUKUM & OTORITAS PERPAJAKAN DALAM OPTIMALISASI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA ............................................................................................. 112

4.1 Praktik Terbaik Kerja Sama Penegak Hukum dengan Otoritas Perpajakan .............................................................................................. 112

4.1.1 Inggris ............................................................................................. 114

4.1.2 Australia.......................................................................................... 120

4.1.3 Singapura ........................................................................................ 126

4.2 Kerja Sama yang dikembangkan KPK dengan Kementerian/ Lembaga .................................................................................................. 131

4.2.1 Model Kerja Sama KPK dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ...................................................... 131

4.2.2 Kerja Sama KPK dengan DJP ........................................................ 137

4.3 Model Kerja Sama KPK dan DJP untuk Optimalisasi Pembebanan Kewajiban Perpajakan terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi ....................................................................................... 150

Page 10: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

3

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................. 161

5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 161

5.2 Rekomendasi .......................................................................................... 164

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 165

Page 11: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

4

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia masih memiliki kendala untuk mencapai target rasio pajak yang telah direncanakan. Pasalnya, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto1 yang menjadi salah satu indikator kinerja penerimaan pajak ini cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2016, Kementerian Keuangan Republik Indonesia mencatatkan tingkat penurunan sebesar 0.8% dari tahun 2011 yang berada di angka 11.6%.2 Meski selisihnya tidak sebesar pada tahun 2016, tren yang sama juga terjadi pada tahun 2017 dimana rasio pajak Indonesia kembali turun ke angka 10.7%.3 Pada perkembangannya, persentase ini mengalami peningkatan hingga mencapai 11.5% pada tahun berikutnya dan terus mengalami kenaikan sebesar 0.4% di tahun 2019.4 Meski demikian, menurut catatan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), rasio pajak Indonesia ini masih berada di bawah negara-negara anggota OECD yang berada pada titik 34.2%.5 Jika dibandingkan dengan rasio pajak rata-rata kawasan Amerika Latin dan Karibia, persentase rasio pajak Indonesia juga masih tertinggal dengan negara-negara di regional tersebut yang memiliki rata-rata senilai 22.8%.6 Bahkan, rasio pajak rata-rata negara-negara anggota

1 Ukuran rasio pajak ini menunjukkan kemampuan Pemerintah dalam membiayai keperluan-

keperluan yang menjadi tanggung jawab negara. Baca Kementerian Keuangan Republik Indonesia (1), Mengenal Rasio Pajak Indonesia, https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/mengenal-rasio-pajak-indonesia/, diakses pada 3 September 2019.

2 Ibid.

3 Ibid.

4 Ibid.

5 OECD (5), Revenue Statistics Asia and Pacific Economies 2019 – Indonesia, https://www.oecd.org/tax/tax-policy/revenue-statistics-asia-and-pacific-indonesia.pdf, diakses pada 3 September 2019.

6 Ibid.

Page 12: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

5

OECD yang berasal dari Afrika juga memilki persentase yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia, yakni 18.2%.7 Belum idealnya angka tax ratio Indonesia tersebut dipengaruhi oleh belum tercapainya target penerimaan pajak yang ditetapkan.8 Berdasarkan data yang dirilis Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), sepanjang medio 2006-2015, tercatat hanya pada tahun 2008 Indonesia melebihi target penerimaan pajak yang diinginkan dengan persentase sebesar 107%.9 Meskipun, pada tahun 2015, angka realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 1.000 triliun untuk pertama kalinya, namun hal ini merupakan realisasi penerimaan pajak terendah dalam kurun waktu 2006-2015 dengan persentase 81.5%.10 Pada tahun-tahun berikutnya, penerimaan pajak Indonesia justru mengalami kenaikan secara konsisten. Di tahun 2016, misalnya, Indonesia mencatatkan penerimaan pajak sebesar 82.3% atau setara dengan Rp 1.285 triliun. 11 Dua tahun setelah itu, Kementerian Keuangan mencatatkan realisasi penerimaan pajak tertinggi sejak tahun 2012, dengan nilai penerimaan sebesar Rp 1.315,9 trilun.12 Data terakhir bahkan menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan hingga ke angka Rp 1.786,4 triliun di

7 Ibid.

8 Kementerian Keuangan Republik Indonesia (1), loc.ci.t

9 Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Keadilan Pajak dan Ketimpangan Pendapatan, https://www.cita.or.id/wp-content/uploads/2016/03/Keadilan-Pajak-dan-Ketimpangan-Pendapatan-full-200px.jpg, diakses pada 3 September 2019.

10 Terdapat perbedaan angka realisasi penerimaan pajak dalam Laporan CITA dan Kementerian Keuangan. CITA menyebutkan angka realisasi penerimaan pajak tahun 2015 adalah 81,5%, sedangkan Kementerian Keuangan mencatatkan 82,3%. Baca Penerimaan Perpajakan 2017 Capai Rp 1.339 Triliun, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/02/184405726/penerimaan-perpajakan-2017-capai-rp-1339-triliun?page=all, diakses pada 3 September 2019.

11 Sigit Danang Joyo (1), Optimalisasi Pemulihan Kerugian Negara Dalam Perkara Tipikor Melalui Pembebanan Kewajiban Perpajakan, disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun di Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 23 Mei 2019.

12 Penerimaan Perpajakan 2017 Capai Rp 1.339 Triliun, loc.cit.

Page 13: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

6

tahun 2019.13 Akan tetapi, nominal ini hanya mencapai 82.5% dari target penerimaan pajak yang diprediksikan berada di angka Rp 2.165,1 triliun.14 Menyikapi data-data di atas, Pemerintah terus berupaya meningkatkan penerimaan negara melalui pajak demi meningkatkan rasio pajak (tax ratio).15 Kebutuhan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak kemudian direspon melalui berbagai kebijakan di bidang perpajakan. Di antara kebijakan tersebut adalah upaya perbaikan administrasi, peningkatan kepatuhan serta penguatan basis data dan sistem informasi perpajakan yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.16 Selain RPJMN, instrumen kebijakan lain yang mendukung hal tersebut adalah Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK), yang secara khusus menitikberatkan pada optimalisasi penerimaan pajak melalui fokus keuangan negara.17 Salah satu hasil yang hendak disasar adalah terbangunnya sistem administrasi perpajakan yang terintegrasi18 sehingga mampu meningkatkan penerimaan perpajakan, meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak sekaligus membangun sinergi yang optimal antar lembaga.19

13 Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (DJA), Buku Informasi APBN 2019,

hlm. 15, https://www.kemenkeu.go.id/media/11213/buku-informasi-apbn-2019.pdf, diakses pada 3 September 2019.

14 Ibid.

15 Selfie Miftahul Jannah, Sri Mulyani Bicara Strategi Peningkatan Tax Ratio, https://tirto.id/sri-mulyani-bicara-strategi-peningkatan-tax-ratio-eenk, diakses pada 3 September 2019.

16 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional IV 2020-2024, (Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2019), hlm. 15. Diakses melalui https://www.bappenas.go.id/files/rpjmn/Narasi%20RPJMN%20IV%202020-2024_Revisi%2028%20Juni%202019.pdf

17 Keuangan Negara: Fokus Kedua Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, https://stranaspk.kpk.go.id/id/fokus-aksi/keuangan-negara, diakses pada 3 September 2019.

18 Ibid.

19 Indonesia (12), Peraturan Presiden Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan, Perpres Nomor 40 Tahun 2018, LN Nomor 74 Tahun 2018.

Page 14: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

7

Selain dua hal tersebut, upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak Indonesia adalah pembebanan kewajiban pajak atas peningkatan kekayaan hasil tindak pidana korupsi. Buscaglia dan van Dijk mengartikan korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang publik untuk keuntungan pribadi.20 Sementara itu, Sartor & Beamish melihat korupsi tidak hanya terjadi pada sektor publik, tetapi juga bisa dilakukan dari dan untuk sektor privat.21 Jenis tindak pidana ini dapat berbentuk suap, korupsi besar (grand corruption), korupsi kecil (petty corruption), pemerasan, penggelapan, perbuatan curang, hingga memperdagangkan pengaruh.22 Terlepas dari berbagai modus dan perbuatan yang dilakukan, tindak pidana korupsi akan bermuara pada meningkatnya kekayaan atau diterimanya keuntungan oleh pelaku atau orang lain, baik dalam konteks finansial maupun yang lain. Menariknya, Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh)23 menentukan segala jenis sumber penghasilan dikualifikasikan sebagai objek pajak yang harus dibayarkan dan dilaporkan pajaknya ke Negara. Pada titik ini, perlu dilakukan riset mendalam apakah hasil tindak pidana korupsi juga dapat dikenakan pajak sehingga bisa memberikan kontribusi terhadap penerimaan pajak yang ingin dicapai Indonesia.

Lebih lanjut, penelaahan juga harus dilakukan untuk melihat irisan mekanisme hukuman yang dimiliki peraturan perundang-undangan di bidang antikorupsi dengan ketentuan yang diatur dalam bidang perpajakan dalam kaitannya dengan pembebanan kewajiban perpajakan terhadap

20 Edgardo Buscaglia dan Jan van Dijk, Controlling organized crime and corruption in the public sector, Forum on Crime and Society, 3(1-2), (2003): 3-34.

21 Michael A. Sartor dan Paul W. Beamish, Private sector corruption, public sector corruption, and the organizational structure of foreign subsidiaries, Journal of Business Ethics, (2019): 1-20, https://doi.org/10.1007/s10551-019-04148-1.

22 United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) (5), UN Guide for Anti-Corruption Policies, https://www.unodc.org/pdf/crime/corruption/UN_Guide.pdf, diakses pada 3 September 2019.

23 Indonesia (25), Undang-Undang Pajak Penghasilan, UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir melalui UU Nomor 36 Tahun 2008, LN Nomor 133 Tahun 2008, TLN Nomor 4893, Pasal 4.

Page 15: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

8

kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Dalam praktiknya, selain menjatuhkan pidana pokok berupa penjara dan denda, pengadilan sering menjatuhkan hukuman tambahan yang memiliki konsekuensi finansial terhadap terpidana korupsi, di antaranya (a) perampasan barang bergerak berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak24, (b) pembayaran uang pengganti25, (c) penutupan seluruh atau sebagian perusahaan26, dan (d) penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu27. Jika sanksi-sanksi di atas telah dijatuhkan kepada terpidana korupsi, perlu dianalisis secara mendalam apakah masih dimungkinkan untuk membebankan kewajiban perpajakan terhadap kekayaan hasil tindak pidana korupsi yang dimiliki terpidana. Hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap kemungkinan memasukkan pembebanan kewajiban pajak terutang sebagai bagian dari kerugian keuangan Negara dalam dakwaan dan tuntutan tindak pidana korupsi.

Dari sisi penegakan hukum, harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi berpotensi tidak dilaporkan dan disetorkan pajaknya oleh pelaku kejahatan. Para pelaku dapat memanipulasi pajak yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dalam laporan keuangannya untuk berbagai

24 Perampasan barang bergerak berwujud atau tidak berwujud atau tidak bergerak merupakan perampasan harta benda yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk pula barang yang menggantikan barang-barang tersebut. Indonesia (27), Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 31 Tahun 1999, LN Nomor 140 Tahun 1999, TLN Nomor 3874, Pasal 18 ayat (1) huruf a

25 Yang dimaksud dengan pembayaran uang pengganti adalah jumlah uang pengganti yang dibayarkan terpidana sebanyak-banyaknya harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Tujuan dari pembayaran uang pengganti adalah merampas keuntungan yang telah dinikmati pelaku dari perbuatan yang dilakukannya, dan bukan semata-mata untuk mengembalikan kerugian negara yang diakibatkan. Ibid., Pasal 18 ayat (1) huruf b. Baca juga Indonesia (3), Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi, BN Nomor 2014 Tahun 2014, TBN Nomor 8, Pasal 1.

26 Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan diartikan sebagai pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan. Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf c.

27 Ibid., Pasal 18 ayat (1) huruf d.

Page 16: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

9

macam kepentingan pribadi.28 Perbuatan demikian pada prinsipnya merupakan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).29 Dalam konteks ini, perlu ditelusuri lebih lanjut apakah konsep ne bis in idem30 berlaku bagi pelaku yang telah diputus terbukti melakukan tindak pidana korupsi, lalu terindikasi melakukan tindak pidana di bidang perpajakan karena tidak memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan yang mengikat penghasilan dari kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tersebut. Akan tetapi, indikasi dilakukannya tindak pidana di bidang perpajakan ini juga dapat ditemukan pada awal proses penanganan perkara tindak pidana korupsi. Dalam kerangka teoretis, proses penuntutan atas dua atau lebih tindak pidana secara sekaligus dimungkinkan dilakukan dengan menggunakan kerangka gabungan tindak pidana (samenloop).31 Pada tataran praktik, penuntut umum juga akan menggunakan berbagai jenis surat dakwaan32 sebagai dasar untuk membuktikan tindak pidana yang dilakukan pelaku. Akan tetapi, di sisi lainnya, proses penanganan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan juga memiliki mekanisme dan prosedur yang berbeda satu sama lain, termasuk dalam hal kelembagaan yang berwenang menangani perkara tersebut. Oleh karenanya, riset ini juga akan membahas kemungkinan dilakukannya

28 Chairil Anwar Pohan, Perspektif kepatuhan pajak dalam upaya pemberantasan korupsi,

Prosiding Seminar STIAMI, 1(2), (Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia, 2014), hlm. 51.

29 Indonesia (20), Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009, LN Nomor 62 Tahun 2009, TLN Nomor 4999, Pasal 39.

30 Indonesia (18), Undang-Undang Hukum Pidana, UU Nomor 1 Tahun 1946, LN Nomor ... Tahun 1946, TLN Nomor ...

31 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II: Suatu Pengantar Hukum Pidana untuk Tingkat Pelajaran Sarjana Muda Hukum Suatu Pembahasan Pelajaran Umum, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), hlm.137-213.

32 Indonesia (14), Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Pembuatan Surat Dakwaan, SEJA Nomor SE-004/JA/11/1993.

Page 17: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

10

penggabungan penuntutan antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan.

Di samping itu, untuk memperjelas pelaksanaannya dalam praktik, koordinasi penegak hukum dan otoritas di bidang perpajakan harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga potensi penerimaan negara melalui pembebanan kewajiban perpajakan terhadap peningkatan kekayaan hasil tindak pidana korupsi dapat dimaksimalkan. Perbedaan wewenang, tugas, dan fungsi yang dimiliki penegak hukum dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus diidentifikasi dengan rinci untuk menemukan mekanisme koordinasi terbaik dalam melaksanakan kegiatan ini. Pembelajaran terbaik dari negara-negara lain juga perlu dilihat untuk memberikan informasi dan menganalisis peluang kerja sama antara penegak hukum dan DJP sehingga efektivitas dan efisiensi kinerja dapat dicapai.

1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, pertanyaan penelitian dalam kajian ini antara lain: 1. Bagaimana pembebanan kewajiban perpajakan atas peningkatan

kekayaan hasil tindak pidana korupsi diterapkan melalui pertimbanganaspek berikut:a. Apakah peningkatan kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana,

termasuk tindak pidana korupsi, dapat dikategorikan sebagai objekpajak?

b. Apakah penjatuhan pidana yang memiliki konsekuensi finansialterhadap pelaku tindak pidana korupsi, dapat menghapuskankewajiban pajak terpidana atas peningkatan kekayaan hasil tindakpidana yang diterimanya? Kemudian apakah kekayaan/keuntunganyang telah dirampas oleh negara sebagai hasil tindak pidana korupsidapat ditagihkan pajaknya?

c. Apakah dimungkinkan memasukkan kewajiban pajak terutang ataskekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi sebagai bagiandari penghitungan kerugian keuangan Negara dalam dakwaan dantuntutan perkara tindak pidana korupsi?

Page 18: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

11

2. Apakah pelaku tindak pidana korupsi yang tidak membayarkan pajaknyatersebut dapat dikenakan tindak pidana di bidang perpajakan? Apakahhal ini bertentangan dengan asas ne bis in idem? Apakah dimungkinkanpenggabungan dakwaan dan tuntutan tindak pidana korupsi dengantindak pidana di bidang perpajakan?

3. Bagaimana mekanisme kerja sama yang seharusnya dibangun antarapenegak hukum dan otoritas perpajakan dalam mengoptimalkan potensi penerimaan negara melalui pembebanan pajak terhadap peningkatankekayaan hasil tindak pidana korupsi?

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah: 1. Untuk mendapatkan gambaran secara utuh mengenai pembebanan

kewajiban perpajakan atas peningkatan kekayaan hasil tindak pidanakorupsi.

2. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kemungkinan penggabunganpenuntutan antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidangperpajakan.

3. Untuk mendapatkan gambaran mengenai mekanisme kerja sama antarapenegak hukum dan otoritas perpajakan dalam rangka optimalisasipotensi penerimaan negara melalui pembebanan pajak terhadappeningkatan kekayaan hasil tindak pidana korupsi.

1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat praktis dan manfaat teoretis: a. Manfaat Praktis:

1. Meningkatkan efektivitas penanganan Tindak Pidana Korupsi,Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Tindak Pidana Perpajakan,dan tindak pidana lainnya dalam mengoptimalkan pengembaliankerugian negara.

2. Meningkatkan potensi penerimaan pajak dari hasil tindak pidanakorupsi dan tindak pidana lainnya.

3. Menjadi acuan untuk mengoptimalkan kerja sama antara penegakhukum dengan otoritas perpajakan.

Page 19: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

12

b. Manfaat Teoretis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi upaya penanganan tindak pidana di Indonesia, sehingga akan menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam ranah ilmu hukum dan administrasi perpajakan.

1.5 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan normatif. Data diperoleh dengan melakukan studi pustaka dan wawancara dengan pakar yang relevan dan pemangku kepentingan. Studi pustaka dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan terkait, konsep-konsep hukum pidana dan hukum acara pidana, serta praktik terbaik dari negara lain. Data-data yang telah terkumpul selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Untuk menguji validitas hasil analisis, dilakukan 3 (tiga) kali Focus Group Discussion (FGD) dengan pakar yang relevan dan pemangku kepentingan di Jakarta, Yogyakarta, dan Bogor.

1.6 Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN

Bab ini akan membahas latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PEMBEBANAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS

PENINGKATAN KEKAYAAN HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI Bab ini akan membahas pengenaan kewajiban perpajakan pada peningkatan kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi. Pertama, menganalisis aspek teoretis mengenai hasil kejahatan (proceeds of crime), termasuk hasil tindak pidana

Page 20: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

13

korupsi dan apakah peningkatan kekayaan hasil tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai objek pajak. Kedua, membahas apakah penjatuhan pidana yang memiliki konsekuensi finansial terhadap pelaku tindak pidana korupsi, dapat menghapuskan kewajiban pajak terpidana atas peningkatan kekayaan hasil tindak pidana yang diterimanya. Kemudian, apakah kekayaan/keuntungan yang telah dirampas oleh negara sebagai hasil tindak pidana korupsi dapat ditagihkan pajaknya. Ketiga, membahas kemungkinan memasukkan kewajiban pajak terutang atas kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi sebagai bagian dari penghitungan kerugian keuangan Negara dalam dakwaan dan tuntutan perkara tindak pidana korupsi.

BAB III PELUANG PENGGABUNGAN DAKWAAN DAN TUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN Bagian ini membahas apakah pelaku tindak pidana korupsi yang tidak membayarkan pajaknya dapat dikenakan tindak pidana di bidang perpajakan, serta apakah hal ini bertentangan dengan asas ne bis in idem. Selain itu, bagian ini juga membahas kemungkinan dilakukannya penggabungan dakwaan dan tuntutan tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan. Analisis peraturan perundang-undangan juga akan dilakukan untuk melihat kesesuaian usulan penggabungan

Page 21: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

14

dakwaan dengan kewenangan KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk menangani perkara tersebut.

BAB IV MEKANISME KERJA SAMA ANTARA PENEGAK HUKUM DAN OTORITAS PERPAJAKAN DALAM OPTIMALISASI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA Bab ini akan membahas mekanisme kerja sama yang harus dibangun antara penegak hukum dengan otoritas perpajakan dalam optimalisasi pengembalian kerugian negara melalui pembebanan kewajiban perpajakan terhadap hasil tindak pidana korupsi. Untuk memperkaya pembahasan, praktik-praktik terbaik dari luar negeri mengenai hal ini akan dibahas secara mendalam agar dapat dijadikan referensi kebijakan yang akan diambil. Selanjutnya, akan dipaparkan tantangan dan hambatan yang mungkin ditemui dalam melaksanakan koordinasi tersebut.

BAB V PENUTUP Bab ini akan menyarikan pembahasan yang dilakukan pada

Bab 1-4 sekaligus memberikan rekomendasi untuk melakukan optimalisasi pembebanan kewajiban pajak terhadap peningkatan kekayaan hasil tindak pidana korupsi.

Page 22: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

15

BAB II PEMBEBANAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN ATAS

PENINGKATAN KEKAYAAN HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI Satu hal yang perlu diklarifikasi berkaitan dengan usulan membebankan kewajiban perpajakan terhadap harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi adalah bisa atau tidaknya hasil korupsi tersebut untuk dikualifikasikan sebagai objek pajak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama perlu dijelaskan mengenai konsep hasil kejahatan (proceeds of crime) untuk menghubungkannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang dibahas. Selain itu, kerangka perundang-undangan yang mengatur objek pajak dan kewajiban perpajakan, baik dalam kapasitas pribadi maupun korporasi, termasuk larangan pengurangan pajak pada harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi juga akan dijelaskan pada bab ini. Terakhir, pembahasan akan diarahkan pada persinggungan pengenaan pajak pada hasil kejahatan dengan instrumen pidana yang berkaitan dengan konsekuensi finansial bagi pelaku tindak pidana korupsi, seperti perampasan barang/keuntungan, pengembalian uang pengganti, hingga kemungkinan membebankan penagihan kewajiban perpajakan di dalam dakwaan.

2.1. Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Objek Pajak

2.1.1 Aspek Teoretis Mengenai Hasil Kejahatan (Proceeds of Crime) Definisi mengenai hasil kejahatan dapat ditemukan di beberapa konvensi internasional seperti United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC) dan United Nations Against Corruption (UNCAC). UNTOC menegaskan bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan properti yang berasal atau diperoleh, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui suatu tindak pidana.33 Properti yang dimaksud ketentuan ini dimaknai sebagai berbagai jenis aset, baik

33 UNODC (4), United Nations Convention against Transnational Organized Crime, UNTOC,

Pasal 2 huruf e.

Page 23: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

16

berbentuk badan atau tidak berbentuk badan, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud dan berbagai dokumen maupun instrumen hukum yang menunjukkan hak atas sesuatu, bunga pinjaman, dan aset lainnya.34 Sementara itu, UNCAC juga memberikan definisi serupa, yakni segala properti yang berasal atau diperoleh, secara langsung maupun tidak langsung, melalui suatu tindak pidana35, termasuk yang sudah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain atau korporasi.36 Edgeworth menambahkan bahwa hasil kejahatan dapat berupa bunga, dividen, pendapatan, properti yang berasal dari perbuatan ilegal termasuk peningkatan nilai properti.37

Pengaturan hasil tindak pidana ini biasanya dikaitkan dengan penyitaan dan perampasan barang dalam perkara pidana. Di dalam yurisdiksi Britania Raya, misalnya, berlaku Proceeds of Crime Act 2002 (POCA) yang bertujuan untuk menghindarkan pelaku kejahatan menikmati keuntungan-

34 Ibid., Pasal 2 huruf d.

35 UNODC (3), United Nations Convention against Corruption, UNCAC, Pasal 2 huruf e.

36 Ibid., Pasal 2 ayat (6).

37 John, L. Worral, Problem-Oriented Guides for Police Response Guides Series Guide No.7: Asset Forfeiture, (California: Community Oriented Policing Service – U.S Department of Justice, 2008), hlm. 5. Lihat juga Edgeworth, D, Assets Forfeiture: Practice and Procedure in State and Federal Courts, (Chicago: American Bar Association, Criminal Justice Section, 2004), hlm. 11.

Di Indonesia, sebagai satu-satunya undang-undang yang secara eksplisit memberikan definisi mengenai ‘hasil kejahatan’1, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juga mengartikan hasil kejahatan ini sebagai harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, baik yang berasal dari tindak pidana korupsi, narkotika, perpajakan, pencucian uang, dan tindak pidana lain yang memiliki ancaman pidana penjara selama minimal empat tahun.1 Selain itu, jika mencermati rumusan Pasal 39 ayat (1) KUHP, hasil kejahatan dapat ditafsirkan sebagai ‘barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan’.1

Page 24: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

17

keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukannya.38 Jumlah yang dirampas harus setara dengan keuntungan yang diterima oleh pelaku tindak pidana.39 Di Australia, aset-aset yang yang diperoleh dari tindak pidana akan disita dan dirampas oleh Negara.40 Pengaturan yang demikian juga memiliki tujuan yang sama dengan POCA dan diharapkan pelaku tindak pidana tidak mengulangi tindak pidana akibat tindakan punitif yang dilakukan terhadap aset mereka.41 Di samping itu, penyitaan dan perampasan tersebut juga dimaksudkan untuk mencegah digunakannya barang-barang dan/atau keuntungan tersebut untuk tujuan pelaksanaan tindak pidana di masa yang akan datang.42 Sementara itu, di Belanda, perampasan tidak hanya dilakukan atas hasil kejahatan yang diperoleh secara langsung atas tindak pidana yang dilakukan, tetapi juga hasil kejahatan yang tidak diperoleh secara langsung.43

Dalam kerangka pemberantasan tindak pidana korupsi, barang-barang yang diperoleh dari jenis kejahatan ini dibenarkan untuk dirampas oleh Negara.44 Dalam pandangan R. Soesilo, secara umum, barang-barang hasil kejahatan yang dapat dirampas berdasarkan putusan pengadilan memiliki dua syarat, yaitu:

“... barang (termasuk pula binatang) yang diperoleh dengan kejahatan, misalnya uang palsu yang diperoleh dengan melakukan kejahatan memalsukan uang, yang didapat dengan kejahatan suap,

38 United Kingdom, Proceeds of Crime Act 2002, POCA, http://www.legislation.gov.uk/ukpga/2002/29/data.pdf, diakses pada 10 September 2019.

39 Ibid., Section 7 (1).

40 Nicholas Cowdery, Explainer: How Proceeds-of-Crime Law works in Australia, https://theconversation.com/explainer-how-proceeds-of-crime-law-works-in-australia-78600, diakses pada 27 September 2019.

41 Ibid.

42 Ibid.

43 Hans Nelen, Hit them where it hurts most? The proceeds-of-crime approach in the Netherlands, Crime, Law and Social Change, 41(5), (2004): 517-534.

44 Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf a.

Page 25: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

18

dan lain-lain. Barang ini bisa disebut ‘corpora dilicti’ dan senantiasa dapat dirampas asal kepunyaan terhukum45 dan asal dari kejahatan (baik ... dolus maupun ... culpa)”46

Akan tetapi, di dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), barang-barang hasil kejahatan yang dapat dirampas tersebut diperluas hingga mencakup barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang-barang tidak bergerak, perusahaan milik terpidana, termasuk barang yang menggantikan barang-barang tersebut.47 Perampasan ini pun baru bisa dilakukan apabila didasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).48

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dipahami bahwa hasil kejahatan pada tindak pidana korupsi erat kaitannya dengan diperolehnya keuntungan finansial dari kejahatan yang dilakukan pelaku.49 Sebagai contoh, dalam kasus suap sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Lebak, Kabupaten Empat Lawang, serta Kabupaten Palembang pada tahun 2013, Akil Mochtar yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi terbukti menerima suap senilai lebih

45 Menurut R. Soesilo, Pasal 39 KUHP mengharuskan barang-barang yang dirampas merupakan barang yang dimiliki terpidana. Oleh karenanya, apabila barang tersebut bukan milik terpidana, secara hukum tidak dibenrkan untuk dirampas Negara. Selain itu, R. Soesilo menambahkan bahwa status kepemilikan barang itu harus secara jelas dimiliki oleh terpidana ketika perkara pidana tersebut diputus oleh pengadilan. Baca R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1996), hlm. 58.

46 Ibid.

47 Indonesia (24), loc.cit.

48 Indonesia (17), Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8 Tahun 1981, LN Nomor 76 Tahun 1981, TLN Nomor 3258, Pasal 46 ayat (2). Baca juga Indonesia (4), Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. 16 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara Pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, PERMENKUMHAM Nomor 16 Tahun 2014, BN Nomor 876 Tahun 2014, Pasal 1 angka 4.

49 Maud Perdriel Vaissiere, The Accumulation of Unexplained Wealth by Public Officials: Making the offence of illicit enrichment enforceable, U4 Brief January 2012:1, (Norway: CMI. CHR Michelsen Institute), hlm. 1.

Page 26: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

19

dari Rp 40 miliar untuk memuluskan pemenangan salah satu calon dalam pemilihan tersebut.50 Di kasus lain, Setya Novanto yang terbukti memperkaya diri sebanyak $ 7,3 juta dolar dan jam tangan Richard Mille seharga $ 135.000 dolar dari proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (E-KTP).51

Dari kedua kasus ini, terlihat bahwa sebaran kekayaan yang diperoleh pelaku pada tindak pidana korupsi dapat berupa uang maupun barang-barang lain selain uang. Hal ini juga sejalan dengan rumusan tindak pidana korupsi pada UU Tipikor yang tidak membatasi kekayaan atau keuntungan yang diperoleh pelaku pada perolehan uang semata. Jika mengacu pada Tabel 2.1, terlihat bahwa perbuatan korupsi yang diatur lebih banyak menekankan pada perbuatan dan akibat yang dilarang, tanpa menentukan secara spesifik apakah hasil kejahatannya berupa uang atau barang. Dengan melihat konstruksi berpikir Pasal 39 KUHP dan Pasal 18 UU Tipikor, prinsip terpenting dalam menentukan barang bukti dalam perkara korupsi sebagai hasil tindak pidana adalah adanya hubungan sedemikian rupa yang menunjukkan bahwa barang dan/atau uang tersebut diperoleh dari tindak pidana korupsi, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk apabila barang-barang hasil korupsi tersebut telah digantikan dengan barang lainnya.

Meski demikian, UU Tipikor mengatur secara terpisah konsekuensi yang diterima pelaku apabila hasil korupsi yang diperoleh berupa uang. Berbeda dengan hasil korupsi yang berupa barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak, jika hasil tindak pidana korupsi yang diterima pelaku adalah uang, maka pelaku akan dibebankan untuk membayar uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.52 Akan tetapi, apabila dalam proses penyidikan

50 Putusan Mahkamah Agung Nomor 336 K/Pid.Sus/2015, hlm. 602-604.

51 Abba Gabrillin, Setya Novanto Dituntut 16 Tahun Penjara, https://nasional.kompas.com/read/2018/03/29/16091791/setya-novanto-dituntut-16-tahun-penjara?page=all, diakses pada 21 September 2019.

52 Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf b.

Page 27: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

20

dan penuntutan, dilakukan penyitaan terhadap hasil korupsi yang diperoleh pelaku, Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Uang Pengganti menentukan harta tersebut akan diperhitungkan dalam menentukan jumlah uang pengganti yang harus dibayarkan terpidana.53

Setelah memahami konsep dan pemetaan konteks hasil tindak pidana korupsi, pembahasan berikutnya akan diarahkan untuk menjawab apakah kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut dapat dibebankan kewajiban penagihan pajak kepada pelaku korupsi. Analisis juga akan mengarah pada kemungkinan membebankan kewajiban perpajakan pada kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, bahkan setelah hasil korupsi tersebut dirampas oleh Negara atau pelaku juga dibebankan untuk membayar uang pengganti oleh pengadilan.

53 Indonesia (1), op.cit., Pasal 2.

Page 28: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan
Page 29: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

Del

ik g

rati

fikas

i Pa

sal 1

2B jo

. Pas

al 12

C

UU

Tip

ikor

Peja

bat p

enye

leng

gara

neg

ara

men

erim

a gr

atifi

kasi

te

rkai

t jab

atan

nya

dan

berl

awan

an d

enga

n ke

waj

iban

nya,

ser

ta ti

dak

mel

apor

kan

kepa

da K

PK

dala

m w

aktu

30

hari

sej

ak g

rati

fikas

i dit

erim

a

Del

ik p

erbu

atan

cur

ang

Pasa

l 7 a

yat (

1) h

uruf

a,b

,c,

d, P

asal

7 a

yat (

2), d

an

Pasa

l 12

huru

f h U

U

Tipi

kor

Tind

akan

cur

ang

oleh

pem

boro

ng a

hli b

angu

nan,

pe

ngaw

as p

roye

k, re

kana

n TN

I/Po

lri y

ang

mer

ugik

an

nega

ra, s

erta

pej

abat

pen

yele

ngga

ra n

egar

a ya

ng

men

yero

bot t

anah

Del

ik b

entu

ran

kepe

ntin

gan

dala

m

peng

adaa

n Pa

sal 1

2 hu

ruf i

UU

Tip

ikor

Pe

jaba

t pen

yele

ngga

ra n

egar

a de

ngan

sen

gaja

bai

k la

ngsu

ng a

tau

tida

k la

ngsu

ng tu

rut s

erta

dal

am

peng

adaa

n ba

rang

yan

g di

urus

nya

dala

m in

stan

si

peru

saha

an

22

Page 30: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

23

2.1.2 Peningkatan Kekayaan dari Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Objek Pajak

Setiap riset yang menganalisis kemungkinan pembebanan kewajiban perpajakan atas suatu hal akan selalu mengkaji sistem perpajakan yang berlaku pada suatu negara, tak terkecuali pada kajian ini. Untuk memperjelas konteks yang sedang dibangun, penting kiranya untuk terlebih dahulu memahami makna dan konsep pajak yang selama ini berkembang di dunia.

Martin T. Crowe melihat pajak sebagai bentuk kontribusi yang wajib diberikan kepada negara, dijalankan untuk kepentingan masyarakat secara umum, dengan tujuan untuk membiayai berbagai hal yang dijalankan untuk melaksanakan fungsi publik atau untuk kepentingan penyusunan regulasi, tanpa memberikan manfaat tertentu kepada mereka yang membayarkan pajak tersebut.55 Senada dengan pendapat tersebut, Prof. Rochmat Soemitro mendefinisikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa imbalan (kontra pretasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.56

Untuk menggambarkan karakteristik dan konsep pajak secara lebih rinci, Crowe57 dan Seligman58 membagi kekuatan perpajakan (taxing power) ke dalam tiga kategori sebagai berikut:

“... fees, such as licenses, franchises and permits; special assessments, such as an assessment to pave a road; and taxes proper, such as the income tax, where those paying the tax have no special claim on any of the proceeds.

55 Martin T. Crowe, The Moral Obligation of Paying Just Taxes, The Catholic University of America Studies in Sacred Theology, 84, (1944): 14-15.

56 Fidel, Tindak Pidana Perpajakan dan Amandemen Undang-Undang KUP, PPh, PPN, Pengadilan Pajak, (Jakarta: PT Carofin Media, 2015), hlm. 5

57 Martin T. Crowe, op.cit., hlm. 11.

58 E. R. Seligman, Essays in Taxation, 406, (1931).

Page 31: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

24

In the case of fees and assessments, those paying are entitled to some right. Those who pay for an automobile license are entitled to drive. Those who pay for a business permit are entitled to operate a business. Those who pay to have their road paved are entitled to have it paved.

But in the case of taxes, those who pay do not have any automatic right to any of the proceeds. New York residents who pay a federal income tax may have their money used to construct a bridge in California, even though they derive no direct benefit for their tax dollars. And they have no right to demand that a bridge be built in New York. All the taxes the government collects go into a common pool and are distributed as the government sees fit. Taxpayers have an obligation to pay, but they have no specific right to any of the proceeds.”59

Dari ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak adalah kontribusi terutang oleh individu atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan dipergunakan untuk keperluan negara demi kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.60 Dalam konteks sistem perpajakan di Indonesia, pajak dikenakan terhadap Wajib Pajak yakni orang pribadi, badan dan warisan.61 Pada prinsipnya pajak terutang muncul apabila ada objek pajak yang dapat dikenai pajak.62 Dengan kata lain, jika seseorang atau suatu badan memiliki sumber pendapatan yang dapat dikenakan pajak oleh negara, maka mereka harus membayarkan pajak atas sumber pendapatan tersebut.

59 Robert W. McGee, The Philosophy of Taxation and Public Finance, (Massachusetts: Kluwer Academic Publishers, 2004), hlm. 16.

60 Indonesia (18), op.cit., Pasal 1 angka 1.

61 Ibid., Pasal 1 angka 2.

62 Ibid., Penjelasan Pasal 12 ayat (1).

Page 32: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

25

Berkenaan dengan hal tersebut, Indonesia memiliki tujuh jenis pajak yang dapat dibebankan terhadap Wajib Pajak, yang selengkapnya dijelaskan sebagai berikut: 1. Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap orangpribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilanyang diterimanya selama satu tahun pajak.63 Penghasilan di sinidiartikan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yangditerima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesiamaupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengannama dan dalam bentuk apapun, termasuk gaji, honorarium, komisi,bonus, gratifikasi, hadiah, laba usaha, bunga, dividen, royalti,tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan belum kenapajak hingga surplus Bank Indonesia.64 Namun demikian, UU PPhmengecualikan penghasilan-penghasilan tertentu sebagai objek pajak ini, seperti warisan, bantuan atau sumbangan, dan beasiswa.65

2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN)Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa adalah pungutan yangdibebankan terhadap setiap pertambahan nilai dari barang atau jasadalam peredarannya dari produsen ke konsumen.66 Pajak ini menjadikewajiban konsumen yang membeli barang atau menggunakan jasaprodusen, tetapi yang menyetorkan pajaknya adalah produsentersebut.67 Oleh karena itu, PPN ini dapat dikategorikan sebagai jenispajak tidak langsung.68 Adapun besar PPN yang harus dibayarkan

63 Indonesia (25), op.cit, Pasal 1

64 Ibid., Pasal 4 ayat (1).

65 Untuk mengetahui jenis penghasilan yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan dapat dilihat di Pasal 4 ayat (3) UU PPh.

66 Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2), Pengembalian PPN, https://www.kemenkeu.go.id/page/pengembalian-ppn/, diakses pada 29 September 2019.

67 Ibid.

68 Ibid.

Page 33: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

26

oleh penanggung pajak atas barang atau jasa yang dibelinya adalah 10% (sepuluh persen).69 Pasal 4 UU PPN merinci pembebanan jenis pajak ini terhadap delapan jenis barang dan jasa, di antaranya: a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang

dilakukan oleh pengusaha; b. impor Barang Kena Pajak; c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang

dilakukan oleh pengusaha; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar

Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam

Daerah Pabean; f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena

Pajak; g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha

Kena Pajak; dan h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak Namun demikian, seperti halnya PPh di atas, undang-undang ini juga mengecualikan beberapa barang dan/atau jasa dari pembebanan PPN, seperti barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, warung, dan sebagainya, uang, emas batangan, dan surat berharga70 serta jasa asuransi, keagamaan, pendidikan, ketenagakerjaan, hingga jasa boga atau katering.71

69 Indonesia (26), Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah, UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009, LN Nomor 150 Tahun 2009, TLN Nomor 5069, Pasal 7 ayat (1).

70 Ibid., Pasal 4A ayat (2).

71 Selengkapnya baca Ibid., Pasal 4A ayat (3).

Page 34: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

27

3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)

Pajak Penjualan atas Barang Mewah merupakan pajak yang dikenakan terhadap barang-barang yang tergolong mewah dan dibebankan terhadap pengusaha yang menghasilkan atau mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.72 Pajak ini hanya dikenakan sekali pada saat penyerahan atau pada waktu impor barang-barang yang tergolong mewah ini.73 Adapun pembebanan jenis pajak ini dimaksudkan untuk (a) menyeimbangkan pembebanan pajak antara konsumen berpenghasilan rendah dan konsumen berpenghasilan tinggi, (b) mengendalikan pola konsumsi barang-barang yang tergolong mewah, (c) melindungi produsen kecil atau tradisional, dan (d) mengamankan penerimaan negara.74 Besaran pajak yang dikenakan bervariasi mulai dari 10% (sepuluh persen) hingga maksimal 200% (dua ratus persen).75 UU PPN juga memberikan panduan pengenaan pajak atas barang-barang ini, dengan ketentuan (a) barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok, (b) hanya dikonsumsi oleh masyarakat tertentu, (c) pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi, dan/atau (d) pengonsumsian barang tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan status pemilik barang.76 Lebih lanjut, Menteri Keuangan menentukan jenis barang-barang yang tergolong mewah, yang dibedakan antara kendaraan bermotor77

72 Ibid., Pasal 5 ayat (1).

73 Ibid., Pasal 5 ayat (2).

74 Ibid., Penjelasan Pasal 5 ayat (1).

75 Ibid., Pasal 8.

76 Ibid.

77 Indonesia (6), Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Jenis Kendaraan Bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pemberian Pembebasan dari Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, PERMENKEU Nomor 64/PMK.011/2014 sebagaimana diubah dengan PERMENKEU Nomor 33/PMK.010/2017, BN Nomor 360 Tahun 2017, Lampiran I-VII.

Page 35: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

28

maupun non-kendaraan bermotor78, seperti hunian mewah dengan harga jual minimal Rp 30 miliar, helikopter, kapal pesiar mewah, dan sebagainya.

4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas bumidan bangunan yang muncul karena adanya keuntungan ataukedudukan sosial-ekonomi bagi individu maupun badan yangmemiliki alas hak atau memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan tersebut.79 Besar tarif yang dikenakan untuk PBB ini adalah 0,5%(lima persepuluh persen)80 dan dikecualikan81 bagi bumi danbangunan, yang:a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum

di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dankebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untukmemperoleh keuntungan;

b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yangsejenis dengan itu;

c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai olehdesa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;

d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkanasas perlakuan timbal balik;

e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasiinternasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

78 Indonesia (5), Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah, PERMENKEU Nomor 35/PMK.010/2017 sebagaimana diubah degan PERMENKEU Nomor 86/PMK.010/2019.

79 Indonesia (23), Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, UU Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994, LN Nomor 62 Tahun 1994, TLN Nomor 3569, Pasal 4 ayat (1).

80 Ibid., Pasal 5.

81 Ibid., Pasal 3 ayat (1).

Page 36: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

29

Sejak lahirnya Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah82, pemungutan PBB di sektor pedesaan dan perkotaan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.83 Sementara itu, PBB di sektor pertambangan, perhutanan, dan perkebunan masih dipungut dan dikelola oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.84 Yang menjadi dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang merupakan harga rata-rata dari yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar85. Jika tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ini ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.86 Besaran NJOP ini dapat ditentukan dengan pendekatan pasar atau perbandingan harga (market data/sales comparison approach), pendekatan biaya (cost approach), dan/atau pendekatan kapitalisasi pendapatan (income approach).87 Meskipun Kepala Daerah diwajibkan untuk menetapkan besaran NJOP setiap tiga tahun88, Menteri Keuangan juga memberikan pedoman untuk secara objektif memberikan penilaian sekaligus menetapkan nilai NJOP di masing-masing wilayah tersebut.89

5. Bea Meterai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen dan terutang sejak dokumen ditandatangani oleh pihak-pihak yang

82 Indonesia (24), Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU Nomor 28 Tahun

2009, LN Nomor 130 Tahun 2009, TLN Nomor 5049.

83 Rani Maulida (1), Mengenal Pajak Bumi dan Bangunan, https://www.online-pajak.com/pajak-bumi-dan-bangunan, diakses pada 29 September 2019.

84 Ibid.

85 Indonesia (23), op.cit., Pasal 1 angka 3.

86 Ibid.

87 Indonesia (23), op.cit., Pasal 79 ayat (1) dan Penjelasan Umum.

88 Untuk beberapa objek pajak tertentu, NJOP nya ditetapkan setiap tahun. Ibid., Pasal 79.

89 Sebagai contoh, Menteri Keuangan telah menerbitkan PERMENKEU Nomor 208/PMK.07/2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan.

Page 37: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

30

berkepentingan atau diserahkan kepada pihak lain jika dokumen tersebut disusun oleh satu pihak.90 Undang-Undang Bea Meterai menentukan jenis dokumen yang dikenakan pajak ini dan biasanya dokumen-dokumen tersebut digunakan oleh masyarakat dalam bidang hukum.91 Adapun jenis dokumen92 yang dibebankan bea meterai, antara lain: a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan

tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata;

b. Akta-akta notaris sebagai salinannya; c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya; d. Surat yang memuat jumlah uang, yaitu:

1) yang menyebutkan penerimaan uang; 2) yang menyatakan pembukuan atau penyimpanan uang

dalam rekening di bank; 3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; atau 4) yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya

atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan. e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek; f. dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di

muka Pengadilan, yaitu: 1) surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan; 2) surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai

berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula.

90 Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bea Meterai,

https://www.pajak.go.id/id/bea-meterai-0, diakses pada 29 September 2019.

91 Indonesia (15), Undang-Undang Bea Meterai, UU Nomor 13 Tahun 1985, LN Nomor 69 Tahun 1985, TLN Nomor 3313, Penjelasan Umum.

92 Indonesia (10), Peraturan Pemerintah Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Meterai, PP Nomor 24 Tahun 2000, LN Nomor 51 Tahun 2000, TLN Nomor 3950, Pasal 1.

Page 38: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

31

6. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan terhadap perolehan hak atas tanah dan bangunan93, yang terjadi baik dengan pemindahan hak94 atau pemberian hak baru95. Adapun hak atas tanah dan bangunan yang dijadikan alas pembebanan bea ini bervariasi dari hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, hingga hak pengelolaan.96 Pada dasarnya, setiap individu dan badan wajib membayarkan BPHTB untuk setiap hak atas tanah dan bangunan yang diperolehnya. Akan tetapi, UU BPHTB mengatur beberapa objek pajak yang dikecualikan97 membayar bea ini, yaitu yang diperoleh: a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan

timbal balik; b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk

pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang

ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;

d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

e. orang pribadi atau badan karena wakaf;

93 Indonesia (16), Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, UU Nomor

21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000, LN Nomor 130 Tahun 2000, TLN Nomor 3988, Pasal 1 angka 1.

94 Pemindahan hak dapat terjadi karena jual-beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah. Ibid., Pasal 2 ayat (2) huruf a.

95 Pemberian hak baru dapat terjadi karena kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan hak. Ibid., Pasal 2 ayat (2) huruf b.

96 Ibid., Pasal 2 ayat (3).

97 Ibid., Pasal 3 ayat (1).

Page 39: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

32

f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

7. Pajak Daerah Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.98 Jenis pajak ini memiliki ciri-ciri99 sebagai berikut: 1. Pajak daerah bisa berasal dari pajak asli daerah atau pajak

pusat yang diserahkan ke daerah sebagai pajak daerah; 2. Pajak daerah hanya dipungut di wilayah administrasi yang

dikuasainya; 3. Pajak daerah digunakan untuk membiayai urusan atau

pengeluaran untuk pembangunan dan pemerintahan daerah; 4. Pajak daerah dipungut berdasarkan Peraturan Daerah

(PERDA) dan undang-undang sehingga pajaknya dapat dipaksakan kepada subjek pajaknya.

Adapun pajak daerah ini dapat dikelompokkan menjadi (a) pajak provinsi, yang terdiri dari pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air permukaan, dan pajak rokok;100 dan pajak kabupaten/kota yang meliputi pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, mineral bukan logam dan batuan, parkir, air tanah, sarang burung walet, PBB Perdesaan dan Perkotaan, dan BPHTB.101 Namun demikian, pajak ini dapat tidak dipungut jika potensinya dianggap kurang memadai dan/atau bisa disesuaikan dengan kebijakan

98 Indonesia (24), op.cit., Pasal 1 angka 10.

99 Rani Maulida (2), Pajak Daerah: Pengertian, Ciri-Ciri, Jenis, dan Tarifnya, https://www.online-pajak.com/pajak-daerah, diakses pada 29 September 2019.

100 Indonesia (24), op.cit., Pasal 2 ayat (1).

101 Ibid., Pasal 2 ayat (2).

Page 40: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

33

masing-masing daerah dalam PERDA yang dimilikinya.102 Untuk daerah yang setingkat dengan provinsi, kedua kelompok pajak ini dapat dipungut sebagai pajak daerahnya.103

Sebagai contoh, dalam kasus suap yang melibatkan Akil Mochtar di atas, diterimanya hadiah berupa uang sejumlah lebih dari Rp 40 miliar oleh yang bersangkutan secara nyata menambah kemampuan ekonomisnya sebagai Wajib Pajak dan digunakan untuk menambah kekayaan pelaku sebagai individu. Oleh karenanya, UU KUP akan melihat kekayaan tersebut sebagai penghasilan dan dapat dibebankan PPh terhadapnya. Di samping itu, kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dapat dikonstruksikan sebagai ‘gratifikasi’104 atau ‘imbalan dalam bentuk

102 Ibid., Pasal 2 ayat (4).

103 Ibid., Pasal 2 ayat (5).

104 UU KUP tidak memberikan pengertian apapun mengenai gratifikasi. Oleh karenanya, definisi gratifikasi dalam konteks ini harus mengacu pada UU PTPK, yakni pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut bisa diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Indonesia (27), op.cit., Penjelasan Pasal 12B ayat (1).

Peningkatan harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dapat dilihat sebagai objek Pajak Penghasilan (PPh). Pasalnya, UU KUP menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas dimana esensi pengenaan jenis pajak ini selalu berhubungan dengan tambahan kemampuan ekonomis Wajib Pajak yang digunakan untuk kepentingan konsumsi maupun untuk menambah kekayaan individu atau badan yang menjadi subjek pajak PPh, dari mana pun asalnya.1 Sepanjang syarat yang ditentukan dalam Pasal 4 UU PPh tersebut terpenuhi, terlepas penghasilan tersebut diterima sebagai bagian dari penghasilan yang sah atau tidak, maka kekayaan yang demikian dapat dibebankan Pajak Penghasilan.1

Page 41: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

34

lainnya’105 sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh atau ‘hadiah’106 seperti yang dirumuskan Pasal 4 ayat (1) huruf b UU PPh. Dalam kasus suap pilkada Akil Mochtar di atas, perlu digarisbawahi bahwa yang bersangkutan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf c dan Pasal 11 UU Tipikor serta Pasal 3 UU TPPU dan Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c UU TPPU 2003107.108 Jika menelusuri rumusan perbuatan yang dilarang dalam Pasal 12 huruf c dan Pasal 11 UU Tipikor109, kedua pasal tersebut melarang pegawai negeri, penyelenggara negara, dan hakim, untuk tidak menerima ‘hadiah atau janji’ yang berhubungan dengan kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau putusan yang akan/sedang diadilinya. Mengingat kedua pasal tersebut merupakan ketentuan yang diadopsi dari Pasal 418 dan Pasal 420 ayat (1) KUHP, terminologi ‘hadiah’ yang dimaksud UU Tipikor juga mengikuti makna yang sama dalam KUHP. R. Soesilo menilai ‘hadiah’ ini tidak perlu dibatasi sebagai uang, tetapi dapat juga berupa barang.110 Penafsiran yang demikian tentu dapat disandingkan dengan terminologi ‘imbalan dalam bentuk lainnya’, ‘hadiah’, atau ‘gratifikasi’ seperti yang diatur UU KUP. Keduanya memiliki persinggungan dengan pekerjaan yang

105 Dalam UU KUP, imbalan dalam bentuk lainnya termasuk juga imbalan dalam bentuk natura

yang pada hakikatnya merupakan penghasilan. Indonesia (20), op.cit., Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a.

106 Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Ibid., Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf b.

107 Indonesia (25), Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003, LN Nomor 108 Tahun 2003, TLN Nomor 4324, Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c. Undang-undang ini telah dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 8 Tahun 2010 yang mengatur hal yang sama.

108 Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 10/PID.SUS-TPK/2014/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 63/PID/TPK/2014/PT.DKI, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 336 K/Pid.Sus/2015.

109 Untuk kepentingan analisis pada bagian ini, kasus Akil Mochtar hanya akan difokuskan pada tindak pidana korupsi yang terbukti dilakukan oleh yang bersangkutan.

110 R. Soesilo, op.cit., hlm. 284-286.

Page 42: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

35

dilakukan oleh subjek pajak, baik dalam konteks pembayaran atau imbalan yang berhubungan dengan pekerjaan maupun hadiah yang diperoleh karena melakukan pekerjaan.111 Mengingat Akil Mochtar menerima uang tersebut untuk mempengaruhi penilaiannya atas putusan yang ditangani olehnya, dapat diargumentasikan bahwa tambahan penghasilan ini adalah ‘imbalan dalam bentuk lainnya’ atau ‘hadiah’ yang diperoleh hakim atas pekerjaan yang dilakukannya dengan maksud untuk memenangkan salah satu pihak dalam kasus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konsitusi. Selain itu, meskipun UU Tipikor mensyaratkan adanya batas waktu 30 hari untuk melaporkan penerimaan gratifikasi kepada KPK112, peningkatan kekayaan Akil Mochtar ini juga dapat dilihat sebagai 'gratifikasi’ dalam UU KUP mengingat pemberian uang tersebut dilakukan dengan melihat pada jabatan hakim konstitusi yang melekat pada diri Akil.113 Di samping itu, penting juga untuk diingat bahwa kekayaan yang mungkin diterima oleh pelaku tindak pidana korupsi dapat berbentuk barang atau benda lain yang tidak berbentuk uang. Namun demikian, pajak yang dibebankan terhadap jenis kekayaan yang seperti ini memiliki mekanisme pemungutan yang berbeda dengan pajak penghasilan. Jika hasil korupsi berbentuk barang yang dihasilkan oleh produsen, maka dengan sendirinya barang-barang tersebut akan secara otomatis dikenakan PPN yang dibebankan terhadap pembeli barang sesaat ketika barang tersebut diserahkan oleh penjual kepada pembeli.114 Dengan menggunakan logika ini, jika pun pelaku mengambil keuntungan berupa barang dari tindak pidana korupsi, kewajiban perpajakan atas barang yang diperoleh dari kejahatan tersebut telah selesai saat transaksi jual-beli dengan membayarkan harga barang yang telah dihitung berikut PPN atas barang tersebut.

111 Indonesia (20), op.cit., Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Penjelasan Pasal 4 ayat (1)

huruf b.

112 Indonesia (27), op.cit., Pasal 12C.

113 Ibid., Pasal 11.

114 Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2), loc.cit.

Page 43: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

36

Hal yang sama juga terjadi ketika barang yang diperoleh melalui tindak pidana korupsi merupakan barang mewah. Pada titik ini, jenis pajak yang berlaku adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM). Akan tetapi, PPn BM ini dibebankan terhadap pengusaha yang menghasilkan atau mengimpor barang mewah115 dan hanya dibayarkan sekali ketika penyerahan barang atau saat melakukan impor barang mewah tersebut.116 Oleh karena itu, seandainya pelaku tindak pidana korupsi menerima suap berupa yacht117 sebagai hadiah karena melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka PPn BM atas yacht tersebut sudah selesai ketika produsen menghasilkan jenis kapal pesiar ini atau ketika pengusaha mengimpor barang tersebut. Penerima suap tidak akan bisa dibebankan untuk membayarkan PPn BM atas yacht yang diberikan oleh pemberi suap tersebut. Di sisi lain, apabila kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi berupa benda tidak bergerak, seperti tanah atau apartemen, jenis pajak yang relevan adalah PBB. Akan tetapi, dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis pajak yang demikian akan secara otomatis terutang kepada subjek pajak setelah dilakukan penghitungan oleh institusi pemungut pajak mengenai besaran PBB yang harus dibayarkan atas objek PBB ini.118 Perlu dipahami bahwa pembayaran PBB atas bumi dan bangunan ini melekat pada objeknya, terlepas dari siapapun yang memperoleh keuntungan atau kedudukan sosial-ekonomi dari bumi dan bangunan tersebut.119 Dengan

115 Indonesia (26), op.cit., Pasal 5 ayat (1).

116 Ibid., Pasal 5 ayat (2).

117 Yacht merupakan salah satu barang non-kendaraan bermotor yang dibebankan PPn BM oleh PERMENKEU Nomor 35/PMK.010/2017.

118 Sistem pemungutan pajak dengan model ini disebut sebagai official assessment. Dalam sistem ini, besarnya pajak terutang ditetapkan sepenuhnya oleh institusi pemungut pajak. Wajib pajak dalam hal ini bersifat pasif dan menunggu penyampaian utang pajak yang ditetapkan oleh institusi pajak. Jenis pajak yang menggunakan sistem pemungutan ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau jenis pajak daerah lainnya. Fidel, op.cit., hlm. 13.

119 Indonesia (23), op.cit., Pasal 4 ayat (1).

Page 44: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

37

demikian, meskipun tanah atau apartemen di atas ditransaksikan dalam suap-menyuap atau ditargetkan sebagai hasil korupsi, PBB akan selalu dibebankan terhadap objek-objek ini dan dipungut oleh institusi pajak. Oleh karena itu, pembebanan kewajiban perpajakan dan pemungutan pajak atas bumi dan bangunan akan tetap berjalan normal, bahkan jika objek tersebut merupakan hasil tindak pidana korupsi. Analisis serupa berlaku juga untuk pembebanan BPHTB dan Pajak Daerah. Seperti yang diketahui bersama, BPHTB merupakan pungutan yang dibebankan terhadap perolehan hak atas tanah dan bangunan dan harus dibayarkan oleh individu untuk setiap alas hak yang diperolehnya.120 Jika koruptor memperoleh tanah atau bangunan sebagai hasil kejahatannya, secara otomatis ia harus membayarkan BPHTB terhadap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dimilikinya. Kewajiban ini tidak akan berbeda seandainya ia mendapatkan tanah dan/atau bangunan melalui transaksi yang sah, seperti jual-beli. Seperti halnya PBB, pembebanan kewajiban perpajakan ini selalu menempel pada perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut dan akan selalu dipungut oleh institusi pajak setempat.121 Logika yang sama juga diberlakukan bagi pembebanan Pajak Daerah. Seandainya pelaku tindak pidana korupsi memperoleh kendaraan bermotor dalam transaksi suap-menyuap, yang bersangkutan akan tetap berkewajiban membayarkan pajak kendaraan bermotornya ke Pemerintah Provinsi122, selayaknya warga negara lain yang memiliki kendaraan bermotor. Mekanisme ini akan berjalan seperti biasanya meskipun objek pajak daerah tersebut diperoleh dari tindak pidana korupsi. Sementara itu, pembebanan bea meterai juga akan terutang ketika para pihak menandatangani dokumen atau menyerahkan dokumen-dokumen yang menjadi objek bea meterai apabila dokumen dibuat oleh satu pihak

120 Indonesia (13), op.cit., Pasal 1 angka 1.

121 Khusus untuk PBB Perdesaan dan Perkotaan dan BPHTB, pemungutan pajak akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Indonesia (24), op.cit., Pasal 2 ayat (2).

122 Ibid., Pasal 2 ayat (1).

Page 45: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

38

saja.123 Sebagai contoh, pelaku korupsi yang menerima cek senilai Rp 500 juta secara otomatis akan dibebani bea meterai sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah) ketika menerima cek tersebut dari pemberi cek.124 Proses pembebanan kewajiban perpajakan yang demikian juga akan terus berlaku seperti halnya pada penandatanganan atau perolehan dokumen yang menjadi objek bea meterai pada umumnya. Oleh sebab itu, tidak ada hal baru yang menjadi dasar pembebanan pajak atas hasil tindak pidana korupsi pada jenis pajak ini.

123 Indonesia (13), op.cit., Penjelasan Umum.

124 Indonesia (10), loc.cit.

Page 46: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

39

Dia

gram

2.1

SK

EMA

PEM

BEB

AN

AN

KEW

AJI

BA

N P

ERPA

JAK

AN

TE

RH

AD

AP

PEN

ING

KA

TAN

KEK

AYA

AN

HA

SIL

TIN

DA

K P

IDA

NA

KO

RU

PSI

Page 47: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

40

Praktik ini juga dilakukan di Jerman. Pada tahun 2015125, Mahkamah Pajak Jerman (Supreme Tax Court) menangani perkara yang mempersoalkan pengurangan pajak126 yang diperhitungkan ke dalam komponen ganti rugi, hilangnya bonus, dan hak pensiun seorang karyawan yang diputus hubungan kerjanya oleh suatu perusahaan.127 Yang menjadi penyebab pemecatan dalam kasus ini berkaitan dengan suap yang diterima secara reguler oleh karyawan tersebut dari sebuah pemasok barang (supplier).128 Selanjutnya, ia mengeluarkan faktur atas nama istrinya untuk layanan yang sama sekali tidak pernah diberikan oleh perusahaan serta membebankan pajak atasnya dan dimasukkan ke dalam pemasukan perusahaan.129 Selain mendapatkan sanksi pemecatan, karyawan ini setuju untuk membayarkan ganti rugi yang dialami perusahaan atas suap yang diterimanya tersebut, serta melepaskan hak pensiun dan bonus yang belum dibayarkan oleh perusahaan.130 Karyawan ini lantas mengklaim pengurangan pajak ke institusi pajak karena komponen-komponen yang dibayarkan ke perusahaan berasal dari penghasilan dirinya.131 Namun, kantor pajak menolak permohonan ini dan bahkan mengklasifikasikannya sebagai penghasilan tambahan yang diperoleh si karyawan.132 Lebih lanjut, kompensasi yang dibayarkan ke perusahaan dianggap sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan tambahan tersebut.133

125 German Supreme Tax Court Judgment, IX R26/4, 16 June 2015.

126 Biaya-biaya yang dapat dihitung sebagai pengurang pajak (deductible expense) dan yang tidak dapat dijadikan pengurang pajak (non-deductible expense) akan dibahas pada sub-bab berikutnya.

127 PricewaterhouseCoopers (PwC), Tax & Legal News, 6, (29 Oktober 2015): hlm. 3.

128 Ibid.

129 Ibid.

130 Ibid.

131 Ibid.

132 Ibid.

133 Ibid.

Page 48: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

41

Oleh karena itu, terhadap hal ini, tetap dapat dibebankan pajak yang harus dibayarkan oleh karyawan di atas.

Terhadap permasalahan ini, Mahkamah Pajak Jerman menilai:

“ ... The bonus and pension forfeitures were not deductible at all, as the income would only have been taxable when paid. The compensation payment to the employer was neither an expense of earning employment income leading to a generally deductible loss, nor was it a repayment of previously taxed income that would similarly have been generally deductible. It was a payment for damages caused by the employee’s dishonesty and was thus linked to the fruits of that dishonesty – to the bribe receipts taxed as other income. It could therefore only be set against other income, either now or in the future, as and when other income came to be earned”134

Meskipun perkara di atas terjadi pada ranah privat dan tidak sama dengan konstruksi suap yang ditentukan oleh UU Tipikor, akan tetapi esensi kedua perbuatan tersebut adalah sama, yakni diberikannya sesuatu kepada seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Dengan demikian, belajar dari pertimbangan Mahkamah Pajak Jerman di atas, dapat disimpulkan bahwa uang suap dapat dibebankan kewajiban pajak yang tetap harus dibayarkan dan dilaporkan oleh Wajib Pajak kepada Negara.

2.1.3 Larangan Pengurangan Pajak atas Biaya Korupsi Sehubungan dengan klarifikasi atas kemungkinan membebankan kewajiban perpajakan terhadap peningkatan kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, hal lain yang penting untuk didiskusikan secara mendalam adalah larangan pengenaan pajak atas biaya korupsi. Konsep ini pertama kali diperkenalkan melalui Pasal 12 ayat (4) UNCAC dengan tujuan agar pelaku korupsi tidak mendapatkan keuntungan fiskal dari kejahatan yang

134 German Supreme Tax Court, loc.cit.

Page 49: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

42

telah dilakukannya.135 Lebih lanjut, ketentuan ini secara eksplisit melarang Negara Pihak UNCAC memperhitungkan pengeluaran-pengeluaran yang merupakan biaya suap dan, jika dinilai pantas, termasuk juga biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk kepentingan lebih lanjut perbuatan korupsi tersebut, sebagai komponen pengurang pajak.136 Ketentuan di atas akan sangat berhubungan dengan penghitungan nilai pajak yang harus dibayarkan oleh pelaku kepada negara atas tambahan penghasilan yang diperolehnya dari tindak pidana korupsi. Dalam bidang perpajakan, secara umum, besarnya nilai pajak akan ditentukan berdasarkan jenis pajak dan tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak yang menjadi tanggung jawab wajib pajak.137 Sebagai contoh, sebagai dasar pengenaan pajak atas kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, besar PPh yang harus dibayar akan ditentukan dari nominal Penghasilan Kena Pajak (PKP), yang dihitung berdasarkan penghasilan bruto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)138 dan biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih atau memelihara penghasilan139, seperti biaya perjalanan dan biaya sewa.140 Nominal PKP inilah yang pada akhirnya akan dikalikan dengan tarif pajak yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan untuk memperoleh nilai PPh yang harus dibayarkan oleh wajib pajak.141

135 UNODC (1), Legislative Guide for The Implementation of The United Nations Convention

Against Corruption, (New York: United Nations, 2006), hlm. 40.

136 UNODC (3), op.cit., Pasal 12 ayat (4).

137 Rani Maulida (3), Tarif Pasal 17: Rumus Menghitung Penghasilan Kena Pajak, https://www.online-pajak.com/tarif-pasal-17, diakses pada 4 Oktober 2019.

138 PTKP hanya diperhitungkan untuk mengurangi nilai PPh bagi Wajib Pajak pribadi. Indonesia (25), op.cit., Pasal 7.

139 Biaya-biaya ini hanya diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto yang dimiliki oleh Wajib Pajak Badan. Ibid., Pasal 6 ayat (1).

140 PTKP dan biaya-biaya yang diperhitungkan untuk mengurangi penghasilan bruto Wajib Pajak disebut sebagai deductible expense.

141 Ibid., Pasal 17.

Page 50: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

43

Sementara itu, UU PPh juga mengecualikan beberapa biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak tetapi tidak dihitung sebagai komponen pengurang penghasilan bruto. Sebagai akibatnya, meskipun biaya-biaya betul-betul dikeluarkan oleh wajib pajak, hal ini tidak akan berpengaruh apapun terhadap PKP yang menjadi dasar penghitungan nilai PPh yang harus dibayarkan oleh yang bersangkutan. Pengeluaran-pengeluaran yang biasa disebut sebagai non-deductible expenses ini, dalam konteks PPh, bervariasi mulai dari (a) pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, (b) biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, (c) pembentukan atau pemupukan dana cadangan, hingga (d) sanksi administrasi seperti bunga, denda, dan kenaikan serta pidana denda yang dijatuhkan dalam konteks perpajakan.142 Pasal 12 ayat (4) UNCAC di atas menambahkan ‘biaya suap’ sebagai salah satu komponen non-deductible expenses dalam perpajakan. Namun demikian, UNCAC juga membatasi ruang lingkup pemberlakuan non-deductible expenses yang diatur Pasal 12 ayat (4) tersebut pada perbuatan suap yang dilakukan kepada pejabat publik nasional143, pejabat publik asing144, dan pejabat organisasi internasional145. Meski ketentuan ini pada awalnya ditujukan agar korporasi tidak bisa mendapatkan klaim atas biaya suap yang telah dikeluarkannya146, UNCAC juga mengatur hal yang sama dapat diberlakukan juga kepada individu-individu yang menyuap ketiga kelompok pejabat tersebut.147 Lebih lanjut, UNCAC juga menekankan otoritas pajak untuk berhati-hati memastikan biaya suap tidak

142 Rincian non-deductible expenses yang berlaku untuk pajak penghasilan dapat dtemukan

dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh.

143 UNODC (3), op.cit., Pasal 15.

144 Ibid., Pasal 16.

145 Ibid.

146 Hal ini dapat ditafsirkan dari posisi korporasi yang dicantumkan terlebih dahulu dalam pedoman teknis UNCAC jika dibandingkan dengan perluasannya terhadap individu. Baca UNODC (2), Technical Guide to The United Nations Convention Against Corruption, (New York: United Nations, 2009), hlm. 60.

147 Ibid.

Page 51: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

44

disembunyikan ke dalam pos pengeluaran yang sah, seperti ‘biaya sosial dan hiburan’ atau ‘komisi’.148 Dalam perkembangannya, sejumlah negara telah mengadopsi ketentuan tersebut ke dalam sistem perpajakan nasionalnya. Dalam laporan yang dirilis OECD pada tahun 2011, misalnya, terdapat lebih dari 30 negara yang telah melarang pengurangan pajak terhadap biaya suap yang diberikan kepada pejabat publik asing, baik yang secara eksplisit dirumuskan dalam ketentuan perundang-undangannya maupun yang secara praktik memberlakukan ketentuan Pasal 12 ayat (4) UNCAC tersebut.149 Di Australia, melalui Taxation Laws Amendment Act (No.2) 2000, biaya suap terhadap pejabat publik, baik asing maupun bukan asing, dikategorikan sebagai non-deductible expense sesuai ketentuan perpajakan Australia.150 Lebih lanjut, biaya suap kepada pejabat publik ini terbagi menjadi (a) pengeluaran yang memberikan/mengakibatkan keuntungan atau menawarkan/menjanjikan sesuatu151, (b) pemberian keuntungan yang tidak sah kepada orang lain152, dan (c) pengeluaran untuk mempengaruhi kebijakan pejabat publik yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang tidak sah.153 Keuntungan yang diperoleh ini tidak hanya terbatas pada harta, tetapi meliputi juga berbagai kenikmatan yang telah diterima oleh pejabat yang bersangkutan.154

148 Ibid.

149 OECD (7), Update on Tax Legislation on the Tax Treatment of Bribes to Foreign Public Officials in Countries Parties to the OECD Anti Bribery Convention, June 2011, https://www.oecd.org/ctp/crime/41353070.pdf, diakses pada 25 September 2019.

150 Ibid., hlm. 1

151 Ibid.

152 Ibid., hlm. 16.

153 Ibid.

154 Ibid.

Page 52: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

45

Ketentuan serupa juga diatur di Amerika Serikat melalui Section 162 1 (C) Internal Revenue Code.155 Menurut peraturan ini, pengurangan pajak tidak diperkenankan untuk segala bentuk pembiayaan, baik langsung atau tidak langsung, yang diberikan kepada pejabat publik atau pegawai pemerintahan, jika pengeluaran tersebut merupakan suap atau penggelapan dana.156 Larangan tersebut juga berlaku terhadap pengeluaran tidak sah, yang dikeluarkan untuk pejabat atau pegawai pemerintahan asing sesuai dengan ketentuan Foreign Corrupt Practices Act of 1977 (FCPA).157 Sebagai contoh, apabila perusahaan kontraktor asal Amerika Serikat mengikuti penawaran proyek pembangunan tiga pembangkit listrik di negara lain dan memberikan uang tunai sejumlah $500,000 kepada pejabat publik asing tersebut untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan, yang bersangkutan akan diproses karena melakukan suap berdasarkan FCPA.158 Dalam kaitannya dengan penghitungan pajak perusahaan tersebut, maka pengeluaran yang demikian harus dilihat sebagai biaya suap untuk memperoleh proyek dari pemerintah asing di atas.159 Oleh karena itu, biaya ini akan tetap dikenakan pajak oleh negara.160 Sementara itu di Inggris, Pasal 68 ayat (1) The Finance Act 2002 menyatakan setiap jenis pengeluaran yang merupakan tindak pidana menurut hukum Inggris akan dikecualikan sebagai komponen pengurang pajak.161 Pengeluaran tersebut termasuk biaya suap yang diberikan kepada pejabat

155 Ibid.

156 Ibid.

157 Ibid.

158 Charles, Gnaedinger, News Analysis: Facilitating Payment vs. Bribes Under the Tax Law, Tax Notes, 2008, hlm. 788, https://www.millerchevalier.com/sites/default/files/resources/TaxAnalysts.pdf, diakses pada 25 September 2019.

159 Ibid.

160 Ibid.

161 The Finance Act 2002, Part 3, chapter 2, Section 68 on Expenditure Involving Crime.

Page 53: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

46

publik Inggris162 maupun pejabat publik asing.163 Selain itu, segala bentuk pembayaran yang terjadi di luar Britania Raya juga akan diberlakukan konsekuensi perpajakan yang sama sepanjang pembayaran tersebut memenuhi unsur-unsur delik suap seandainya dilakukan di yurisdiksi Britania Raya.164 Dari sisi praktik peradilan, melalui putusan nomor IX R26/4 tertanggal 16 Juni 2015, Mahkamah Pajak Jerman mempertimbangkan dengan tegas bahwa pengeluaran yang ditujukan untuk melakukan suap tidak dapat diperhitungkan sebagai salah satu komponen untuk mengurangi nilai pajak yang harus dibayarkan wajib pajak.165 Terlepas dari berbagai perkembangan di atas, otoritas pajak juga harus cermat menentukan apakah pembayaran-pembayaran tersebut merupakan biaya suap atau uang pelicin (facilitation payments) seperti yang berlaku di beberapa negara. Untuk memperjelas batasan tersebut, Antonio Argandona mendefinisikan uang pelicin sebagai pembayaran yang diberikan kepada pejabat untuk mempercepat atau mengurangi ketidaknyamanan yang terkait dengan proses administratif.166 Selain itu, pemberi uang pelicin biasanya mencatat pengeluarannya tersebut, sedangkan penerima tidak melakukan hal yang sama.167 Di sisi lain, penerima uang pelicin merupakan pejabat publik atau pegawai level rendah yang berkutat dengan hal-hal administratif, tetapi tidak memiliki kewenangan besar dalam pengambilan keputusan.168 Terakhir, Argandona menilai pemberian uang pelicin

162 The Bribery Act 2010, chapter 23, Section 16 Application to Crown.

163 Ibid., chapter 23, Section 6 Bribery to Foreign Officials.

164 The Finance Act 2002, loc.cit.

165 Kasus ini tidak membahas transaksi suap-menyuap di kalangan pejabat maupun pejabat publik asing, melainkan suap yang terjadi di sektor swasta. Namun, logika yang ditarik oleh pengadilan dapat digunakan juga untuk kasus suap yang melibatkan ketiga kelompok pejabat yang ditargetkan oleh Pasal 15 dan Pasal 16 UNCAC. German Supreme Tax Court, loc.cit.

166 Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Bersih Uang Pelicin, (Jakarta: TII, 2014), hlm. 5.

167 Ibid.

168 Ibid.

Page 54: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

47

dilakukan secara rahasia dengan nominal yang kecil dan dalam waktu yang tetap.169 Di antara ketiga negara tersebut, yang mengategorikan uang pelicin sebagai pengeluaran yang dilarang adalah Inggris. The Bribery Act 2010 Guidance menyebutkan bahwa uang pelicin merupakan bentuk suap skala kecil yang diberikan kepada layanan publik pemerintah.170 Pemberian tersebut dilakukan untuk mempengaruhi kegiatan-kegiatan rutin pejabat publik dan biasanya ditujukan untuk mempengaruhi kuasa yang dipegang pejabat publik.171 Tidak ada batasan minimum mengenai nominal dan frekuensi transaksi yang ditentukan oleh undang-undang tersebut untuk dapat dikatakan telah memberikan uang pelicin kepada pejabat publik.172 Mengingat uang pelicin ini dikategorikan sebagai suap dan dengan mengacu pada pengaturan non-deductible expenses dalam The Finance Act 2002, pembayaran yang demikian tetap harus dikecualikan sebagai komponen pengurang pajak di Inggris. Di sisi lain, Amerika Serikat dan Australia justru mengecualikan uang pelicin dari kategori non-deductible expense dalam sistem perpajakannya. Di dalam FCPA, misalnya, pemberian uang pelicin kepada pejabat asing dengan level rendah yang menjalankan kegiatan-kegiatan rutin pemerintahan tidak akan dilakukan penuntutan.173 Kegiatan-kegiatan rutin ini tidak termasuk keputusan yang diambil oleh pejabat asing untuk membuka bisnis baru atau meneruskan bisnis dengan pihak-pihak tertentu.174 Adapun bentuk-bentuk kegiatan rutin pemerintahan yang

169 Ibid.

170 Ibid.

171 TII, op.cit., hlm. 26.

172 Ibid.

173 FCPA menggunakan terminologi ‘facilitating’, expediting, or grease payments’ untuk menggambarkan uang pelicin. Robert W. Tarun dan Peter P. Tomczak, The Foreign Corrupt Practices Act Handbook: A Practical Guide for Multinational General Counsel, Transactional Lawyers, and White Collar Criminal Practitioners, Fifth Edition, (USA: American Bar Association, 2010), hlm. 21.

174 Ibid.

Page 55: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

48

dimaksud FCPA ini antara lain (a) pemrosesan izin, lisensi, visa, izin kerja, atau dokumen lainnya; (b) penyediaan perlindungan kepolisian, penyediaan listrik dan air, jasa kargo, perlindungan produk-produk yang cepat rusak; dan (c) pengaturan jadwal inspeksi yang berhubungan dengan kinerja yang ditentukan dalam kontrak atau transit barang-barang ke berbagai penjuru negeri.175 Di dalam Section 162 (a) dan (c), FCPA secara spesifik menyebutkan bahwa uang pelicin yang diberikan kepada pejabat publik asing dianggap sebagai pengeluaran bisnis yang sah dan larangan pengurangan pajak tidak berlaku untuk jenis pengeluaran tersebut.176 Sementara itu, sejak tahun 2006, Australia mengamandemen The Income Tax Assesment Act 1997 untuk diselaraskan dengan ketentuan Divisi 70 Criminal Code Act 1995 yang menyatakan bahwa uang pelicin yang diberikan kepada pejabat publik asing diperbolehkan menjadi pengurang pajak.177 Uang pelicin terhadap pejabat publik asing dianggap bukan suap jika: a) nilai keuntungannya kecil; dan b) pengeluaran semata-mata bertujuan untuk mempercepat atau mengamankan kerja rutin pemerintah.178 Ketentuan ini kurang lebih sama dengan pengaturan yang ada di dalam FCPA milik Amerika Serikat. Meski begitu kompleks perdebatan antara suap dan uang pelicin, diskursus ini tidak begitu relevan untuk disikapi lebih lanjut dalam konteks sistem anti-korupsi yang dimiliki Indonesia. Indonesia sama sekali tidak mengenal konsep uang pelicin. Berbagai pemberian yang ditujukan kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri, baik dalam konteks untuk mempengaruhi pengambilan keputusan maupun sekedar memberikan hadiah, hal ini dapat dilihat sebagai suap maupun gratifikasi dan merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan UU Tipikor179.

175 Ibid.

176 Foreign Corrupt Practice Act 1977, Section 162 (a) dan (c)

177 OECD (2), op.cit., hlm. 2.

178 Income Tax Assessment Act 1997, No. 38, 1997, Section 26-52 Facilitation Payments

179 Berdasarkan Pasal 12A UU PTPK, gratifikasi akan dilihat sebagai suap jika berhubungan dengan jabatannya atau bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Terhadap hal ini, Pasal 12C

Page 56: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

49

Sehubungan dengan hal tersebut, Sigit Danang Joyo menyampaikan upaya melakukan optimalisasi penerimaan pajak melalui pengenaan non-deductible expense pada biaya suap bukanlah hal yang mudah.180 Ia menambahkan bahwa penerima suap cenderung tidak akan melaporkan pajak dari suap yang diterimanya.181 Hal yang sama juga dilakukan oleh pemberi suap dengan memasukkan biaya suap sebagai biaya perjalanan dan

UU PTPK menentukan gratifikasi wajib dilaporkan dalam kurun waktu maksimal 30 hari kepada KPK agar dapat terbebas dari proses penuntutan. Adapun jenis gratifikasi yang wajib dilaporkan ke KPK, antara lain:

1. pemberian karena hubungan keluarga, yaitu dari kakek/nenek, bapak/ibu/mertua, suami/istri, anak/menantu, cucu, besan, paman/bibi, kakak/ adik/ ipar, sepupu, dan keponakan yang memiliki konflik kepentingan;

2. penerimaan uang/barang oleh pejabat/pegawai dalam suatu kegiatan seperti pesta pernikahan, kelahiran, aqiqah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara agama/adat/tradisi lainnya yang melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per pemberian per orang;

3. pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh penerima, bapak/ibu/mertua, suami/istri, atau anak penerima gratifikasi yang melebihi Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per pemberian per orang;

4. pemberian sesama pegawai dalam rangka pisah sambut, pensiun, promosi jabatan, dan ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau tidak berbentuk setara uang (cek, bilyet gori, saham, deposito, voucher, pulsa, dan lain-lain) yang melebihi nilai yang setara dengan Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per pemberian per orang dengan total pemberian Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama;

5. pemberian sesama rekan kerja tidak dalam bentuk uang atau tidak berbentuk setara uang (cek, bilyet gori, saham, deposito, voucher, pulsa, dan lain-lain) yang melebihi Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per pemberian per orang dengan total pemberian maksimal Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama Baca KPK (4), Pedoman Pengendalian Gratifikasi, (Jakarta: KPK, 2015), hlm. 24,

https://www.kpk.go.id/gratifikasi/BP/Pedoman_Pengendalian_Gratifikasi.pdf, diakses pada 4 September 2019.

180 Joyo (3), loc.cit.

181 Ibid.

Oleh karena itu, sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 12 ayat (4) UNCAC, biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan suap ini akan dikecualikan sebagai komponen pengurang pajak dalam sistem perpajakan Indonesia.1

Page 57: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

50

hiburan (entertainment) dari suatu perusahaan miliknya.182 Selain digunakan untuk menyembunyikan suap, kedok tersebut juga digunakan untuk menyembunyikan kecurangan pajak.183 Sehubungan dengan hal tersebut, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-27/PJ.22/1986 tentang Biaya “Entertainment” Dan Sejenisnya menentukan bahwa biaya hiburan, representasi, jamuan dan sejenisnya termasuk dalam kategori biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expense) menurut Pasal .184 Akan tetapi, hal tersebut wajib dibuktikan oleh Wajib Pajak dengan melampirkan bukti-bukti yang menjelaskan bahwa biaya tersebut benar-benar dikeluarkan secara resmi dan ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan.185 Dalam konteks tersebut, Sigit menambahkan jika petugas pajak yang melakukan penelitian atau pemeriksaan terhadap SPT menemukan pos biaya hiburan dan sejenisnya, maka seyogyanya dimintakan daftar nominatif untuk membuktikan seperti tersebut di atas.186 Jika terbukti pos biaya hiburan dan sejenisnya digunakan sebagai biaya suap, maka pemberi suap akan diminta petugas pajak untuk mengubah daftar nominatif yang dimilikinya yakni biaya suap tidak termasuk dalam deductible expense.187 Namun pembetulan daftar nominatif pada SPT hanya berlaku selama 5 tahun saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak.188 Jika pembetulan daftar nominatif pada SPT melebihi jangka waktu daluarsa tersebut maka pemberi suap baru dianggap melakukan tindak pidana

182 OECD (1), OECD Bribery Awareness Handbook for Tax Examiners, (Paris: OECD, 2009), hlm.

19.

183 Ibid., hlm. 17

184 Indonesia (13), Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Biaya “Entertainment” Dan Sejenisnya (Seri PPh Umum 18), SE Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986, Poin 2.

185 Ibid., Poin 3.

186 Joyo (3), loc.cit dan Indonesia (SE DJP), op.cit., Poin 3.

187 Syarif, loc.cit.

188 Indonesia (20), op.cit., Pasal 13 ayat (1).

Page 58: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

51

perpajakan.189 Tetapi tindak pidana perpajakan tersebut tidak dapat dituntut jika telah lampau 10 tahun sejak terhutangnya pajak.190 Menurut Sigit, perlakuan non-deductible expense pada biaya suap tidak serta merta bisa dikenakan kepada pemberi suap.191 Dalam praktiknya, biaya suap cenderung tidak dilaporkan pajaknya kepada Ditjen Pajak.192 Kondisi tersebut didukung dengan adanya manipulasi terhadap laporan keuangan pemberi suap yang menempatkan biaya suap sebagai bentuk pengeluaran pengurang pajak.193 Dengan berdasarkan kondisi di atas, maka kemungkinan penerapan non-deductible expense atas biaya suap hanya bisa dilakukan apabila (a) telah ada putusan pengadilan atas praktik suap atau (b) upaya asset tracing yang dilakukan DJP terhadap laporan keuangan milik pemberi suap194, sebagai bagian dari pemeriksaan lebih lanjut atas sumber penerimaan suap yang diterima oleh penerima suap.195 Akan tetapi, kemungkinan kedua hanya bisa dilakukan apabila sudah terdeteksi adanya penerimaan suap oleh si penerima.196 Dengan demikian, penyidik KPK dapat berkoordinasi dengan petugas pajak untuk memeriksa lebih lanjut perihal penerimaan suap tersebut.197 Selain itu, Sigit menambahkan bahwa pemberi suap bisa saja dikenakan pembayaran pajak apabila dalam proses penelusuruan oleh DJP ditemukan adanya harta kekayaan lain yang tidak dilaporkan dan dibayarkan pajaknya oleh pemberi suap.198

189 Syarif, loc.cit.

190 Ibid., Lihat juga Indonesia (20), op.cit., Pasal 40.

191 Ibid.

192 Ibid.

193 Ibid.

194 Ibid.

195 Ibid.

196 Ibid.

197 Ibid.

198 Ibid.

Page 59: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

52

Contoh kasus yang bisa digunakan untuk melihat penerapan non-deductible expense adalah kasus suap berupa pemberian fasilitas hotel, hiburan malam dan motor Harley Davidson dari Setia Budi (General Manager PT. Jasa Marga Purbaleunyi) kepada Sigit Yugoharto selaku ketua Tim Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).199 Kasus tersebut bermula ketika PT. Jasa Marga sedang berada dalam tahap pemeriksaan audit BPK karena ada kelebihan pembayaran proyek pekerjaan sebanyak Rp 8 miliar.200 Untuk mengurangi temuan mencurigakan, Setia Budi memberikan suap berupa fasilitas hiburan malam senilai Rp 107 juta dan motor Harley Davidson seharga Rp 155 juta kepada Sigit.201 Apabila biaya suap tersebut dimasukkan sebagai biaya hiburan dalam laporan keuangan perusahaan, untuk membuktikan biaya tersebut adalah biaya suap sehingga dapat dibebankan pajak, diperlukan adanya putusan pengadilan mengenai suap yang diterima oleh Sigit. Opsi lain yang bisa digunakan adalah pemeriksaan lebih lanjut oleh petugas pajak mengenai biaya hiburan yang dikeluarkan PT. Jasa Marga sebagai sumber penerimaan suap yang diterima Sigit, setelah berkoordinasi dengan penyidik KPK karena terdapat indikasi penerimaan suap. Sementara itu, dari sisi penerima suap, perlakuan non-deductible expense terhadap biaya suap akan berakibat pada diakomodasinya suap sebagai salah satu bentuk penghasilan yang dapat dikenakan pajak mengingat Pasal 4 ayat (1) UU PPh tidak mempedulikan cara memperoleh penghasilan tersebut. Sepanjang ada peningkatan kemampuan ekonomis dari wajib pajak, maka ada beban pajak yang wajib dibayarkan oleh yang bersangkutan, tak terkecuali oleh penerima suap. Dalam contoh kasus di atas, suap yang diterima Sigit berupa fasilitas hiburan malam dan motor Harley Davidson dapat dinyatakan sebagai penghasilan. Keduanya dapat

199 PT. Jasa Marga dan Rekanan Habiskan Rp 107 Juta untuk Biaya Hiburan Malam Auditor

BPK, https://nasional.kompas.com/read/2018/02/13/15355661/pt-jasa-marga-dan-rekanan-habiskan-rp-107-juta-untuk-biaya-hiburan-malam, diakses pada 1 Oktober 2019.

200 Ibid.

201 Joyo (3), loc.cit.

Page 60: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

53

dikonversikan nilainya menjadi rupiah dan dibebankan pajak penghasilan sesuai UU PPh.202

202 Sigit Danang Joyo menambahkan bahwa penghasilan dalam UU PPh tidak hanya meliputi uang, tapi juga meliputi fasilitas kenikmatan (natura) yang diterima. Jika penghasilan yang diterima bukan berbentuk uang, maka dapat dikonversikan nilainya menjadi rupiah, sehingga dapat dihitung pajaknya. Ibid.

Page 61: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

54

Dia

gram

2.2

LA

RA

NG

AN

PEN

GU

RA

NG

AN

PA

JAK

ATA

S B

IAYA

KO

RU

PSI

Page 62: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

55

2.2 Pembebanan Kewajiban Pajak atas Hasil Tindak Pidana Korupsi yang Telah Dijatuhi Pidana Tambahan yang Memiliki Konsekuensi Finansial

Setelah berhasil menganalisis konteks pembebanan kewajiban pajak dan mengidentifikasi jenis pajak yang dapat dibebankan terhadap harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, bahasan lain yang perlu diperdalam adalah persinggungan pembebanan kewajiban pajak tersebut dengan mekanisme sanksi yang memiliki konsekuensi finansial dalam UU Tipikor. Secara lebih khusus, yang perlu digali lebih jauh adalah kemungkinan pembebanan kewajiban pajak atas hasil tindak pidana korupsi jika pelaku telah dijatuhi sanksi dalam UU Tipikor yang berimplikasi secara finansial terhadap terpidana. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, penting untuk dipahami bersama bahwa varian sanksi yang dimiliki UU Tipikor beragam mulai dari pidana mati203, pidana penjara, pidana denda, hingga pidana tambahan seperti perampasan barang dan/atau perusahaan, pembayaran uang pengganti, hingga penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu. Berbagai jenis sanksi ini memiliki maksud dan tujuannya masing-masing. Sebagai contoh, jika yang dijatuhkan berupa pidana pokok seperti penjara atau denda, penjatuhan pidana ini dimaksudkan untuk memberikan derita atas perbuatan yang telah dilakukan pelaku.204 Jenis pidana ini akan selalu diancamkan pada setiap tindak pidana yang diatur oleh peraturan perundang-undangan manapun, tak terkecuali di UU Tipikor.

203 Pidana mati dikenakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang melanggar Pasal 2 ayat

(2) UU PTPK, yakni tindak pidana korupsi yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Indonesia (27), op.cit., Pasal 2 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 2 ayat (2).

204 Jan Remmelink (1), Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 438.

Page 63: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

56

Karakteristik ini tidak dijumpai di pidana tambahan. Seperti yang disampaikan R. Sianturi, penjatuhan pidana tambahan tidak boleh secara berdiri sendiri, tanpa pidana pokok.205 Corak yang demikian disadur dari postulat ubi non est principalis, non potest esse accessorius.206 Ia merupakan tambahan atas pidana pokok, yang juga bersifat fakultatif dan diserahkan kepada hakim untuk menentukan apakah terpidana akan dihukum dengan jenis pidana ini.207 Selain itu, pidana tambahan ini juga hanya bisa dijatuhkan terhadap delik-delik yang secara tegas mencantumkan pilihan untuk menghukum pelaku dengan pidana tambahan, di samping pidana pokoknya.208 Dilihat dari tujuannya, pengenaan pidana tambahan ini justru ditujukan agar masyarakat terlindungi dari potensi kejahatan yang mungkin dilakukan pelaku di kemudian hari.209

Namun, tidak seluruh sanksi yang dimiliki UU Tipikor akan berakibat kemampuan ekonomi pelaku tindak pidana korupsi. Sebagai contoh, pidana mati akan dekat persinggungannya dengan hilangnya hak untuk hidup pelaku tindak pidana korupsi, sedangkan pidana penjara juga berimplikasi pada kemerdekaan terpidana yang dirampas oleh Negara sebagai bentuk penghukuman atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Kedua jenis pidana tidak memiliki konsekuensi secara langsung terhadap kondisi finansial pelaku. Sebagai akibatnya, irisan antara dua pidana ini dengan pembebanan kewajiban perpajakan atas kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi menjadi sangat jauh dan tidak dapat diperbandingkan satu dengan yang lain.

205 E.Y, Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakata: PT Storia Grafika, 2012), hlm. 481.

206 Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), hlm. 402.

207 Utrecht, op.cit., hlm. 326-327.

208 Sebagai contoh, delik-delik yang dicantumkan pada Bab XXV KUHP tentang Penipuan dibenarkan untuk dijatuhkan pidana tambahan, seperti pengumuman putusan hakim dan pencabutan hak-hak tertentu. Indonesia (18), op.cit., Pasal 395.

209 Eva Achjani Zulfa, Anugerah Rizki Akbari, & Zakky Ihsan Ahmad, Perkembangan Sistem Pemidanaan dan Sistem Pemasyarakatan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2017), hlm. 3-7 dan 46-52.

Page 64: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

57

Konsekuensi finansial dari pidana yang diterima pelaku korupsi dalam putusan pengadilan menjadi sangat penting untuk dianalisis mengingat pengenaan pajak terutang atas hasil tindak pidana korupsi juga akan berimplikasi pada kemampuan ekonomis terpidana tersebut. Oleh karena itu, untuk menghindari penjatuhan hukuman ganda terhadap pelaku korupsi dengan kembali membebankan pajak atas harta yang diperoleh dari kejahatan tersebut, harus dilakukan penelaahan terlebih dahulu terhadap konsep dan karakteristik sanksi finansial yang dimiliki oleh UU Tipikor.

1. Pidana DendaSeperti halnya pidana pokok lainnya, pidana denda memiliki tujuanuntuk memberikan derita kepada pelaku atas perbuatan yang telahdilakukannya.210 Dalam kasus tindak pidana korupsi, konseppenghukuman yang dimiliki pidana denda ini kerap disalahartikandengan tujuan untuk mengembalikan kerugian keuangan Negara.211

Jika ditelusuri lebih mendalam, nominal denda yang dicantumkansebagai ancaman pidana untuk delik-delik korupsi di UU Tipikor,tidak terikat dengan kerugian keuangan Negara. Ia hanyamemberikan estimasi penghukuman dalam konteks finansial atasperbuatan yang dilakukan. Pidana denda ini juga berbeda konteksnyadengan denda administratif, yang mengharuskan adanya hubunganadministrasi antara pemberi dan penerima hukuman tersebut dantidak dijatuhkan melalui putusan pengadilan.212 Pasal 30 KUHP jugamenentukan, jika denda tidak dibayarkan oleh terpidana, makapidana ini akan digantikan dengan pidana kurungan maksimal 6-8bulan.213 Barang-barang yang dirampas oleh negara tersebut,

210 Ibid., hlm. 4

211 Sebagai contoh, baca RKUHP: Hukuman Koruptor Makin Enteng, ‘Korupsi Makin Marak’, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49589230; Dhani Irawan, Hukuman Pidana hingga Denda Koruptor Lebih Rendah di RKUHP, https://news.detik.com/berita/d-3911927/hukuman-pidana-hingga-denda-koruptor-lebih-rendah-di-rkuhp; diakses pada 2 Oktober 2019.

212 Zulfa et al., loc.cit.

213 Dalam kondisi normal, pidana kurungan pengganti denda ditetapkan selama-lamanya enam bulan. Namun, apabila tindak pidana yang dilakukan merupakan gabungan tindak pidana,

Page 65: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

58

selanjutnya akan dieksekusi dengan cara: a) dimusnahkan214; b) dilelang untuk negara215; c) diserahkan kepada instansi yang ditetapkan untuk dimanfaatkan216; dan d) diserahkan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (RUPBASAN) untuk barang bukti dalam perkara lain.217

2. Pidana Perampasan Barang/Perusahaan Pidana ini merupakan pidana tambahan yang diatur secara spesifik dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Tipikor.218 Jika pelaku tindak pidana korupsi terbukti bersalah melakukan delik-delik korupsi, hakim dibenarkan untuk memberikan hukuman tambahan di luar yang tercantum dalam rumusan pasal tindak pidananya, berupa perampasan baran bergerak berwujud atau tidak berwujud atau tidak bergerak yang digunakan (instrumentum sceleris)219 atau yang diperoleh (fructum sceleris)220 dari tindak pidana korupsi.221 Perampasan ini juga meliputi perusahaan milik terpidana yang digunakan untuk melakukan tindak pidana korupsi.222 UU Tipikor juga mengatur seandainya barang-barang dimaksud telah digantikan

pengulangan tindak pidana, atau dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 52 KUHP, maka pidana kurungan pengganti denda tersebut bisa ditetapkan untuk selama-lamanya delapan bulan. Indonesia (18), op.cit., Pasal 30 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (4).

214 Indonesia (4), op.cit., Pasal 6 dan Pasal 21.

215 Ibid.

216 Ibid., Pasal 27.

217Ibid.

218 Pidana ini merupakan pengembangan pidana perampasan barang dalam Pasal 39 KUHP. Hanya saja, UU PTPK merinci jenis barang yang dapat dirampas dan menambahkan elemen ‘perusahaan’ dan barang-barang yang menggantikan barang yang digunakan atau diperoleh dari suatu tindak pidana sebagai barang yang dapat dirampas oleh Negara dalam perkara pidana. Indonesia (18), op.cit., Pasal 39.

219 Hiariej, op.cit., hlm. 404.

220 Ibid.

221 Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf a.

222 Ibid.

Page 66: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

59

oleh barang-barang lainnya, perampasan juga dapat dilakukan atas benda-benda tersebut.223

3. Pidana Pembayaran Uang Pengganti Pembayaran uang pengganti merupakan jenis pidana tambahan yang secara khusus dimunculkan dalam perkara korupsi. Dalam kerangka Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Tipikor, terpidana korupsi dapat dibebani kewajiban untuk membayarkan sejumlah uang yang nominal maksimalnya sesuai dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.224 Pidana ini sama sekali tidak ditujukan untuk mengganti kerugian keuangan Negara, tetapi lebih kepada penggantian harta benda yang telah dikorupsi oleh pelaku.225 Sebagai konsekuensinya, hakim harus dapat menggali keterangan mengenai besarnya harta benda yang diperoleh oleh terdakwa dari suatu tindak pidana korupsi.226 Oleh karena itu, pidana tambahan ini dapat dikenakan terhadap seluruh tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor dan tidak terbatas pada Pasal 2 dan Pasal 3 yang memiliki unsur ‘kerugian keuangan Negara’.227 Uang pengganti ini juga hanya dapat dijatuhkan kepada terdakwa dalam perkara yang bersangkutan.228 Jika pelaku dibebankan untuk membayar uang pengganti ini, ia diberikan kesempatan untuk melunasi kewajibannya tersebut selama 30 hari setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.229 Jika belum bisa melunasinya, harta benda yang dimiliki terpidana akan

223 Ibid.

224 Ibid., Pasal 18 ayat (1) huruf b.

225 Indonesia (1), loc.cit.

226 Ibid., Penjelasan Umum.

227 Ibid., Pasal 3.

228 Ibid., Pasal 6.

229 Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (2).

Page 67: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

60

disita oleh Jaksa dan dilelang230 untuk keperluan pelunasan uang pengganti tersebut.231 Seandainya pun harta benda terpidana tidak cukup untuk melunasi uang pengganti di atas, terhadapnya akan dikenakan pidana penjara yang jumlahnya tidak boleh melebihi ancaman pidana pokok pada pasal yang dinyatakan terbukti oleh pengadilan.232

4. Pidana Penutupan Perusahaan

UU Tipikor juga memungkinkan dilakukannya penutupan perusahaan, baik sebagian atau seluruhnya, untuk jangka waktu paling lama satu tahun.233 Lebih lanjut, pidana tambahan ini harus dimaknai sebagai pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan.234 UU Tipikor tidak merinci konteks penjatuhan pidana ini, akan tetapi dapat ditafsirkan bahwa penutupan perusahaan harus berkorelasi dengan korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi.235

5. Pidana Penghapusan Keuntungan Jenis pidana ini ditentukan sebagai salah satu pidana tambahan yang dapat dijatuhkan dalam tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf d UU Tipikor.236 Secara lebih khusus, apabila pelaku

230 Pelelangan ini dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 273 ayat (3)

KUHAP dan dilakukan paling lambat 3 bulan setelah penyitaan. Selain itu, penyitaan dan pelelangan terhadap harta benda terpidana yang ditemukan oleh Jaksa tetap dapat dilakukan sepanjang terpidana belum selesai menjalani pidana pokoknya. Indonesia (1), op.cit., Pasal 9.

231 Indonesia (27), loc.cit.

232 Ibid., Pasal 18 ayat (3).

233 Ibid., Pasal 18 ayat (1) huruf c.

234 Ibid., Penjelasan Pasal 18 ayat (1) huruf c.

235 Hal ini dikonfirmasi oleh Mahkamah Agung yang mengatakan bahwa penjatuhan pidana tambahan penutupan perusahaan bisa dilakukan jika perusahaan melakukan tindak pidana yang berat. Baca MA: Korporasi Nakal Bisa Didenda hingga Penutupan Usaha, https://nasional.tempo.co/read/848859/ma-korporasi-nakal-bisa-didenda-hingga-penutupan-usaha, diakses pada 2 Oktober 2019.

236 Dalam perumusaannya di UU PTPK, pidana penghapusan keuntungan ini disandingkan dengan pidana pencabutan hak. Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf d.

Page 68: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

61

terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, hakim dapat mempertimbangkan untuk menghapus seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada terpidana.237 Mengingat UU Tipikor tidak merinci maksud ‘keuntungan’ yang dapat dihapuskan tersebut, dapat ditafsirkan keuntungan ini meliputi keuntungan yang bersifat finansial maupun non-finansial.

Logika yang sama juga berlaku bagi penjatuhan pidana yang lain, seperti misalnya, pidana denda dan pidana pembayaran uang pengganti.238 Pada

237Ibid.

238 Termasuk juga pidana tambahan lain seperti penutupan perusahaan maupun penghapusan keuntungan tertentu dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c dan d UU PTPK.

Dapat disimpulkan bahwa berbagai pidana yang memiliki konsekuensi finansial terhadap pelaku tindak pidana korupsi di atas merupakan bentuk hukuman yang diberikan kepada terpidana, baik dalam konteks sebagai pidana pokok maupun pidana tambahan. Sifat yang demikian berbeda maksud dan tujuannya dengan pembebanan kewajiban perpajakan yang diletakkan terhadap harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pajak adalah suatu pungutan yang wajib dibayarkan kepada Negara oleh individu maupun badan yang menjadi subjek pajak. Pengenaannya tidak bisa dilihat sebagai sebuah hukuman yang diberikan Negara melalui institusi pajak kepada rakyat, melainkan bagian dari kontribusi warga negara untuk membiayai fungsi-fungsi publik yang dijalankan oleh negara.1 Sebagai konsekuensinya, apabila harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dirampas oleh Negara sebagai bagian dari pidana tambahan yang dijatuhkan hakim kepada pelaku, Negara masih dibenarkan untuk memungut pajak atas peningkatan kekayaan pelaku yang berasal dari korupsi tersebut.

Page 69: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

62

bagian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa pembayaran pidana denda dan uang pengganti sama sekali tidak terikat pada nominal kerugian keuangan Negara yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi yang dilakukan pelaku. Denda akan berfungsi sebagai hukuman ekonomis atas perbuatan pelaku yang jumlahnya telah ditentukan dalam rumusan pasal yang dinyatakan terbukti.239 Sementara itu, uang pengganti bertujuan untuk mengganti harta benda yang diperoleh terdakwa dari tindak pidana korupsi.240

Siapapun yang dijatuhi pidana pembayaran uang pengganti ini, baru akan membayarkan sejumlah uang tersebut jika yang bersangkutan (a) terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan (b) dihukum oleh hakim untuk membayar uang pengganti. Hal ini jelas berbeda dengan kewajiban perpajakan yang akan terus dibebankan kepada warga negara241 tanpa melihat apakah yang bersangkutan melakukan tindak pidana (korupsi) atau tidak.

240 Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf b.

241 Akan tetapi, individu maupun badan yang dibebankan kewajiban perpajakan harus terlebih dahulu mendaftarkan dirinya di institusi pajak untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Indonesia (20), op.cit., Pasal 2.

Pada dasarnya, negara tidak mendapatkan pemasukan apapun dari terpidana yang diposisikan sebagai iuran wajib yang seharusnya dibayarkan pelaku sebagai subjek pajak. Seandainya pun pelaku membayarkan denda yang dijatuhkan oleh hakim, uang yang diterima Negara dari pembayaran denda tersebut harus dilihat sebagai konsekuensi finansial yang disetorkan pelaku kepada Negara akibat perbuatan kriminal yang telah dilakukannya. Pembayaran uang pengganti pun juga tidak bisa dibingkai sebagai kontribusi terutang pelaku korupsi atas tambahan penghasilan yang diperolehnya dari kejahatan tersebut.

Pada tataran yang lebih praktis, apabila harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi telah dirampas melalui pidana denda atau pidana pembayaran uang pengganti, maka pelaku dapat menggunakan harta kekayaan lain yang dimilikinya untuk melunasi kewajiban pajakan.1

Page 70: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

63

Mekanisme pembayaran atas penundaan utang pajak tersebut dapat dilakukan secara mengangsur paling lama 12 bulan setelah diterbitkannya SKPKB atau paling lama sampai dengan bulan terakhir tahun pajak berikutnya.242 Pengangsuran tersebut disertai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan yang dihitung sejak jatuh tempo pembayaran pajak.243

242 Kristijono, loc.cit., Lihat juga Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Perpajakan, PerDirjen Pajak Nomor PER-38/PJ/2008, Pasal 4 ayat (2).

243 Indonesia (20), loc.cit., Pasal 19 (2)

Page 71: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

64

Dia

gram

2.3

H

UB

UN

GA

N P

EMB

EBA

NA

N K

EWA

JIB

AN

PER

PAJA

KA

N D

ENG

AN

SA

NK

SI

DA

LAM

UU

TIP

IKO

R

Page 72: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

65

Di sisi lain, dengan melihat pada jenis pendapatan negara244 seperti yang tertera dalam Diagram 2.2 di atas, uang atau aset yang diterima Negara dari eksekusi pidana tidak akan berada pada pos yang sama dengan pendapatan negara yang diterima dari pajak. Segala jenis penerimaan yang didasarkan pada putusan pengadilan merupakan salah satu kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf e UU PNBP.245 Lebih lanjut, pembayaran denda, pembayaran uang pengganti, hingga hasil penjualan barang rampasan negara yang berasal dari tindak pidana korupsi merupakan jenis PNBP yang berlaku pada Kejaksaan246 dan KPK247 sebagai penegak hukum yang berwenang melakukan eksekusi putusan pengadilan dalam perkara korupsi. Sementara itu, jika terpidana dibebankan untuk membayar pajak atas tambahan penghasilan dari tindak pidana korupsi, maka Negara akan mendapatkan penerimaan dalam konteks pajak, yang berbeda pos pendapatannya dengan PNBP di atas.248

244 Dalam Undang-Undang Keuangan Negara, pendapatan negara dibedakan menjadi penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Indonesia (21), Undang-Undang Keuangan Negara, UU Nomor 17 Tahun 2003, LN Nomor 47 Tahun 2003, TLN Nomor 4286, Pasal 11 ayat (3).

245 Indonesia (29), Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak, UU Nomor 20 Tahun 1997, LN Nomor 43 Tahun 1997, TLN Nomor 3687, Pasal 2 ayat (1) huruf e.

246 Indonesia (8), Peraturan Pemerintah Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia, PP Nomor 39 Tahun 2016, LN Nomor 199 Nomor 2016, TLN Nomor 5935, Pasal 1 ayat (1).

247 Indonesia (9), Peraturan Pemerintah Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Komisi Pemberantasan Korupsi, PP Nomor 54 Tahun 2019, LN Nomor 140 Tahun 2019, TLN Nomor 6370, Pasal 1 ayat (1).

248 Indonesia (29), loc.cit.

Page 73: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

66

Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun pelaku tindak pidana korupsi telah dijatuhi pidana yang bersifat ekonomis oleh pengadilan, hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapuskan kewajiban perpajakan yang dapat dibebankan terhadap harta kekayaan yang diperolehnya dari tindak pidana korupsi.249

249 Namun demikian, menurut pemahaman sebagian penyidik pajak, jika jumlah harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi telah dirampas negara melalui penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti dan pidana denda, maka kewajiban perpajakan tidak dapat dibebankan lagi kepada terpidana. Syarif, disampaikan pada Kelompok Diskusi Terpumpun di Hotel Santika Yogyakarta, 10 Oktober 2019.

Selain itu, Yuli Kristijono berpendapat bahwa pembebanan kewajiban perpajakan bisa saja dijatuhkan terhadap sebagian harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi yang tidak ikut dirampas oleh negara melalui pidana denda atau pembayaran uang pengganti. Misalnya, A menerima suap Rp 10 Miliar, kemudian A dijatuhkan pidana pembayaran uang pengganti sebesar Rp 7,5 miliar, maka terhadap Rp 2,5 miliar sisanya dapat dibebankan kewajiban perpajakan. Kristijono, loc.cit.

Dengan melihat pada uraian konsep pidana dan pembebanan kewajiban perpajakan yang sama sekali berbeda, pendapat ini tidak dapat dibenarkan baik dari sisi teori maupun praktik.

Page 74: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

Tabe

l 2.2

PER

BA

ND

ING

AN

JEN

IS P

NB

P Y

AN

G B

ERLA

KU

PA

DA

KEJ

AK

SAA

N D

AN

KP

K25

0

No

PN

BP

pad

a K

ejak

saan

P

NB

P p

ada

KP

K

1 Pe

mba

yara

n ua

ng p

engg

anti

tind

ak p

idan

a ko

rups

i U

ang

ram

pasa

n ne

gara

yan

g be

rasa

l dar

i tin

dak

pida

na

koru

psi

2 Pe

mba

yara

n bi

aya

perk

ara

tind

ak p

idan

a U

ang

ram

pasa

n ne

gara

yan

g be

rasa

l dar

i tin

dak

pida

na

penc

ucia

n ua

ng

3 Pe

mba

yara

n de

nda

tind

ak p

idan

a Pe

mba

yara

n ua

ng p

engg

anti

tind

ak p

idan

a ko

rups

i 4

Pem

baya

ran

dend

a ti

ndak

pid

ana

pela

ngga

ran

lalu

lint

as

Pem

baya

ran

dend

a ti

ndak

pid

ana

koru

psi

5 Pe

mba

yara

n de

nda

tind

ak p

idan

a pe

lang

gara

n pe

ratu

ran

daer

ah

Pem

baya

ran

dend

a ti

ndak

pid

ana

penc

ucia

n ua

ng

6 U

ang

ram

pasa

n ne

gara

Pe

mba

yara

n bi

aya

perk

ara

7 U

ang

ram

pasa

n ne

gara

yan

g be

rasa

l dar

i tin

dak

pida

na

koru

psi

Has

il pe

njua

lan

bara

ng ra

mpa

san

nega

ra y

ang

bera

sal d

ari

tind

ak p

idan

a ko

rups

i 8

Uan

g ra

mpa

san

nega

ra y

ang

bera

sal d

ari t

inda

k pi

dana

pe

ncuc

ian

uang

H

asil

penj

uala

n ba

rang

ram

pasa

n ne

gara

yan

g be

rasa

l dar

i ti

ndak

pid

ana

penc

ucia

n ua

ng

9 H

asil

penj

uala

n ba

rang

ram

pasa

n ne

gara

H

asil

peny

etor

an u

ang

grat

ifika

si o

leh

pela

por

10

Has

il pe

njua

lan

bara

ng ra

mpa

san

nega

ra y

ang

bera

sal d

ari

tind

ak p

idan

a ko

rups

i H

asil

kom

pens

asi b

aran

g at

au fa

silit

as g

rati

fikas

i

11 H

asil

penj

uala

n ba

rang

has

il si

ta e

ksek

usi t

inda

k pi

dana

ko

rups

i 12

H

asil

penj

uala

n ba

rang

ram

pasa

n ne

gara

yan

g be

rasa

l dar

i ti

ndak

pid

ana

penc

ucia

n ua

ng

13

Has

il pe

njua

lan

bara

ng b

ukti

yan

g ti

dak

diam

bil o

leh

yang

be

rhak

250 D

iola

h da

ri P

P N

omor

39

Tahu

n 20

16 te

ntan

g Je

nis

dan

Tari

f ata

s Je

nis

Pene

rim

aan

Neg

ara

Buka

n Pa

jak

yang

Ber

laku

pad

a K

ejak

saan

Rep

ublik

In

done

sia

dan

PP N

omor

54

Tahu

n 20

19 te

ntan

g Je

nis

dan

Tari

f ata

s Je

nis

Pene

rim

aan

Neg

ara

Buka

n Pa

jak

yang

Ber

laku

pad

a K

omis

i Pem

bera

ntas

an K

orup

si.

67

Page 75: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

14

Has

il pe

njua

lan

bara

ng te

mua

n 15

U

ang

tem

uan

16

Has

il pe

ngem

balia

n ua

ng n

egar

a 17

H

asil

pem

ulih

an k

erug

ian

keua

ngan

neg

ara

18

Has

il ke

rja

sam

a di

bid

ang

huku

m d

enga

n ne

gara

lain

68

Page 76: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

69

Yunus Husein, misalnya, menilai hal ini dapat dilakukan dengan memperluas tafsir ‘keuangan negara’ dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor meliputi juga pendapatan negara yang seharusnya diterima oleh negara (accrual basis).251 Pilihan lain yang dapat digunakan adalah menafsirkan unsur ‘kerugian pada perekonomian negara’ sehingga bermakna dengan tidak dibayarkannya pajak atas hasil tindak pidana korupsi tersebut, maka sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berkurang dan perekonomian negara, khususnya di sektor fiskal, terganggu.252

Meski demikian, terdapat sejumlah kelemahan atas usulan-usulan tersebut. Kelemahan pertama berkaitan dengan konsep penghukuman dalam perkara korupsi. Sebagai prinsip mendasar yang melahirkan mekanisme lanjutan dalam pemidanaan, postulat nulla poena sine lege253 yang dikemukakan Anselm von Feuerbach harus diterapkan dengan konsisten, dimana tidak boleh ada hukuman (pidana) yang diterapkan kepada pelaku selain dari apa yang telah dicantumkan dalam undang-undang.254

251 Yunus Husein, Optimalisasi Pemulihan Kerugian Negara dengan Pembebanan Kewajiban Pajak dalam TIPIKOR, disampaikan pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 23 Mei 2019. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Sigit Danang Joyo di forum yang sama. Baca Joyo (1), loc.cit.

252 Husein, loc.cit.

253 Selain postulat ini, von Feuerbach juga menambahkan nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana) dan nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang). Tiga postulat ini adalah komponen asas legalitas dalam hukum pidana. Hiariej, op.cit., hlm. 61-62.

254 Ibid.

Ide lain yang muncul untuk mengoptimalkan potensi penerimaan negara dari kekayaan yang bersumber dari tindak pidana korupsi adalah dengan memasukkan penagihan kewajiban perpajakan ke dalam dakwaan atau tuntutan tindak pidana korupsi.

Page 77: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

70

Dalam hal ini, penuntut umum tetap harus menggunakan pilihan pidana yang disediakan oleh Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor, yakni pidana penjara dan/atau pidana denda, sebagai hukuman yang akan dituntut kepada pelaku. Dari kedua varian pidana tersebut, yang relevan untuk diperhitungkan ke dalam konteks optimalisasi potensi penerimaan negara adalah pidana denda.

Namun, seperti yang telah dijelaskan secara mendalam di atas, pidana denda tidak diperuntukkan sebagai sarana untuk mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.255 Ia berdiri secara terpisah dari konsep kerugian tersebut dan berfungsi untuk memberikan derita dari segi finansial terhadap pelaku akibat kejahatan yang telah dilakukannya. Selain itu, perlu dipahami bahwa pidana denda yang dirumuskan di dalam UU Tipikor memiliki batas minimum dan maksimum, yakni berkisar antara Rp 200 juta-1 miliar untuk Pasal 2 dan antara Rp 50 juta-1 miliar untuk Pasal 3. Pengaturan yang demikian tentu akan membatasi penagihan kewajiban pajak seandainya nominal pajak terutang untuk kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi berada di bawah pidana denda minimum atau bahkan melebihi pidana denda maksimum yang ditentukan oleh kedua pasal tersebut.

255 Zulfa et.al., loc.cit.

Patut diingat bahwa UU PTPK tidak mengenal kewajiban pembayaran pajak sebagai salah satu bentuk hukuman yang dapat dikenakan terhadap pelaku korupsi. Oleh karenanya, penuntut umum tidak bisa memasukkannya sebagai bagian dari tuntutan yang akan dimohonkan kepada hakim. Seandainya pun kewajiban pembayaran pajak tersebut akan dimasukkan ke dalam dakwaan sebagai bagian dari ‘kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian negara’, ia harus dikonstruksikan terbatas sebagai salah satu fakta yang mendukung pemenuhan unsur tindak pidana korupsi yang dilakukan pelaku.

Page 78: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

71

Hal teknis lain yang akan membuat usulan tersebut sulit untuk dijalankan berkaitan pencatatan pendapatan negara atas ‘pajak’ yang dimasukkan ke dalam pidana denda tindak pidana korupsi. Tabel 2.2 memaparkan secara jelas bahwa pembayaran denda tindak pidana korupsi merupakan PNBP yang dikelola baik oleh Kejaksaan maupun KPK. Oleh karena itu, seandainya pun terpidana membayarkan penuh pidana denda ini256, pembayaran ini akan dicatatkan sebagai penerimaan negara bukan pajak oleh Kementerian Keuangan. Selanjutnya, dari titik ini, permasalahan lain akan muncul seandainya DJP berpandangan kewajiban perpajakan pelaku korupsi tersebut tetap dapat ditagih karena yang bersangkutan sama sekali tidak pernah membayarkan pajak atas hasil tindak pidana korupsi yang diperolehnya. Dengan sistem pencatatan yang berbeda, besar kemungkinan pelaku akan dibebankan membayar pidana denda yang sudah memperhitungkan kewajiban pembayaran pajak dan pajak yang dibebankan atas kekayaan hasil korupsi secara sekaligus. Hal ini tentu akan menciptakan ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi tersebut. Pasalnya, Pasal 1 PERMA Uang Pengganti menegaskan bahwa pembayaran uang pengganti harus dihitung berdasarkan harta benda yang diperoleh terdakwa dari tindak pidana korupsi yang dilakukan.257 Uang pengganti ini

256 Terpidana juga masih memiliki opsi untuk tidak membayarkan pidana denda dan

menggantinya dengan pidana kurungan maksimal enam bulan atau delapan bulan jika ada pemberatan seperti yang dimaksud Pasal 30 KUHP.

257 Indonesia (1), op.cit., Pasal 1.

Dengan menggunakan konteks pembahasan yang sama, pelaku juga dimungkinkan untuk dituntut melakukan pembayaran uang pengganti dari tindak pidana korupsi tersebut. Seandainya penuntut umum berpendapat penagihan pajak ini tidak dimasukkan dalam pidana denda, tetapi diperhitungkan dalam penghitungan uang pengganti, strategi ini pun juga dinilai tidak tepat.

Page 79: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

72

pun tidak boleh dihitung dari nilai kerugian keuangan Negara yang timbul dari korupsi tersebut.258 Prof. Rusli Muhammad menyatakan bahwa terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi yang tidak dibayarkan pajaknya dapat dirampas negara melalui mekanisme tuntutan ganti rugi.259

Konsep ini dimunculkan

dengan merujuk pada Pasal 98 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana dapat dilakukan jika perbuatan yang jadi dasar dakwaan atas pemeriksaan perkara pidana tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain.260 Pihak yang dapat mengajukan gugatan ganti rugi adalah korban atau orang lain yang dirugikan.261 Menurut Rusli, konsep “orang lain” dalam pasal tersebut tidak hanya terbatas pada orang perorangan (naturlijk persoon),

258 Ibid.

259 Rusli Muhammad, Mekanisme Pembebanan Kewajiban Pajak (Tuntutan Ganti Kerugian) Melalui Peradilan Pidana, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Santika Yogyakarta, 10 Oktober 2019

260 Indonesia (17), op.cit., Pasal 98 ayat (1)

261 Ibid.

Dengan demikian, penghitungan uang pengganti yang didasarkan pada kewajiban perpajakan yang timbul dari tambahan penghasilan dari tindak pidana korupsi tidak dapat dibenarkan mengingat penagihan pajak merupakan hal yang terpisah dari nominal harta benda yang dikorupsi. Penuntut umum hanya dibenarkan untuk menarik uang pengganti dengan menyesuaikan nominal harta benda yang dikorupsi tanpa menambahkan komponen pajak atas harta benda tersebut di dalamnya.

Selain menggunakan cara-cara di atas, ada usulan lain mengenai optimalisasi penerimaan negara yakni melalui penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana.

Page 80: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

73

namun juga mencakup badan hukum (rechtpersoon).262 Menurutnya, DJP merupakan salah satu bentuk recht person yang dilihat sebagai korban atas tidak dibayarkannya pajak terhadap hasil tindak pidana korupsi tersebut.263

Selain itu, “kerugian” yang dimaksud dalam pasal tersebut mencakup kerugian akibat tindak pidana korupsi baik materiil maupun immateriil.264 Akan tetapi usulan tersebut memiliki beberapa kelemahan yang perlu dicermati. Pasal 98 KUHAP secara spesifik mengatur pihak yang dapat mengajukan penggabungan gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana terbatas pada orang perorangan sebagai subjek hukum. Pada proses penyusunannya, KUHAP belum mengenal konsep rechtpersoon sehingga perluasan pihak yang dapat mengajukan penggabungan ganti kerugian seperti yang diusulkan tersebut menjadi tidak dapat dibenarkan dalam hukum acara pidana Indonesia.265 Konsep ini sejalan dengan pengaturan di KUHP yang hanya mengenal manusia (natuurlijk person) sebagai subjek hukum pidana.266 Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 98 ayat (1) juga membatasi pemaknaan ‘orang lain’ pada pihak ketiga yang berkepentingan akibat kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana yang dilakukan tersangka/terdakwa, termasuk korban.267 Dengan melihat konstruksi berpikir yang demikian, Negara tidak dapat diposisikan sebagai ‘korban’ atau ‘pihak ketiga yang berkepentingan’ dengan tidak dibayarkannya pajak atas hasil tindak pidana korupsi. Oleh karenanya, penggabungan gugatan

262 Rusli Muhammad, loc.cit.

263 Ibid.

264 Ibid.

265 Indonesia (17), loc.cit.

266 Aulia Ali Reza, Pertanggung Jawaban Korporasi Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2015), hlm. 3. Lihat juga, Moeljatno, KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, cet-20 (Jakarta: Bumi Aksara, 1999). Konsep yang demikian merupakan pengaruh dari asas universitas delinguere non potest yang berarti korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana dan societas delinguere non potest yang berarti korporasi tidak dapat dipidana terhadap KUHP yang berlaku di Indonesia.

267 Indonesia (17), op.cit., Penjelasan Pasal 98 ayat (1).

Page 81: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

74

ganti kerugian ini menjadi tidak mungkin dilakukan. Di sisi lain, penggabungan gugatan ganti kerugian ini akan sangat bergantung pada perkara pidana yang bersangkutan.268 Dengan kata lain, gugatan ganti kerugian bukan merupakan perkara dan putusan yang berdiri sendiri, tetapi bergantung pada keadaan dan sifat yang melekat pada putusan perkara pidana.269 Putusan ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya telah mendapat kekuatan hukum tetap.270 Selain itu, apabila perkara pokoknya diajukan upaya hukum banding, pemeriksaan di tingkat banding ini juga akan dilakukan atas gugatan ganti rugi tersebut.271 Sekalipun terdakwa hanya secara tegas meminta banding terhadap perkara pidananya saja, tetapi hakim banding harus tetap melakukan pemeriksaan dan memberi keputusan terhadap ganti rugi.272 Begitu pula jika perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka terdakwa tidak bisa mengajukan banding hanya untuk putusan perkara ganti rugi saja.273 Akibat dari adanya ketentuan di atas, upaya pembebanan kewajiban perpajakan terhadap hasil korupsi yang dilakukan melalui penggabungan gugatan ganti kerugian ini dinilai tidak efektif dan efisien. Dengan menggantungkan pada perkara pokoknya, Negara akan memiliki keterbatasan untuk mengejar potensi penerimaan negara berhubung ketidakpastian yang akan ditimbulkan dari opsi menggunakan usulan ini. Selanjutnya, konsep kerugian pada Pasal 98 ayat (1) KUHAP ini tidak bisa diperluas menjadi kerugian negara yang bersifat materiil dan immateriil seperti yang diutarakan di atas. Kerugian yang dimaksud pada gugatan ganti

268 Ibid.

269 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 83

270 Indonesia (17), op.cit., Pasal 99 ayat (3)

271 Ibid., Pasal 100 ayat (1)

272 Harahap, op.cit., hlm. 84

273 Indonesia (17), op.cit., Pasal 100 ayat (2).

Page 82: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

75

rugi di KUHAP hanya mencakup kerugian materiil274, yakni hanya sebatas pengabulan ‘penggantian biaya’ yang dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.275 Apabila kerugian immateriil diajukan oleh pihak yang dirugikan atau korban maka hakim harus menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet onvakelyk).276 Selain itu, Negara telah memiliki jalur tersendiri untuk menagih kewajiban perpajakan yang belum dibayarkan oleh wajib pajak. Jalur ini merupakan proses administrasi perpajakan yang dikelola oleh DJP sesuai dengan ketentuan UU KUP. Secara lebih rinci, DJP dapat menerbitkan SPT bagi wajib pajak yang bersangkutan, memproses tindak pidana pajak dan menerbitkan SKPKB untuk tetap dapat membebankan kewajiban perpajakan kepada wajib pajak.

274 Indonesia (17), op.cit., Pasal 99 ayat (2).

275 Harahap, op.cit., hlm. 82.

276 Ibid.

Oleh karena itu, dengan adanya mekanisme ini, Negara tidak dibenarkan untuk menggugat wajib pajak di peradilan perdata dan juga menggunakan penggabungan ganti kerugian dalam perkara pidana tersebut. Mekanisme ini yang harus digunakan sehingga potensi penerimaan negara melalui pembebanan pajak terhadap kekayaan hasil tindak pidana korupsi dapat ditindaklanjuti secara optimal.

Page 83: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

76

Dia

gram

2.4

PE

RSI

NG

GU

NG

AN

PEM

BEB

AN

AN

KEW

AJI

BA

N P

ERPA

JAK

AN

D

ENG

AN

MEK

AN

ISM

E YA

NG

TER

SED

IA D

ALA

M H

UK

UM

AC

AR

A P

IDA

NA

Page 84: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

77

BAB III PELUANG PENGGABUNGAN DAKWAAN DAN TUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN TINDAK PIDANA DI

BIDANG PERPAJAKAN

Pada bagian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa peningkatan kekayaan yang diterima terpidana sebagai hasil dari kejahatan yang dilakukannya, termasuk tindak pidana korupsi, dapat dikategorikan sebagai objek pajak penghasilan (PPh). Oleh karena itu, Negara tetap dapat membebankan pajak atas kekayaan tersebut dan mekanisme di bidang perpajakan dapat diberlakukan terhadap terpidana dalam kapasitasnya sebagai Wajib Pajak.

Namun demikian, penting kiranya untuk mendiskusikan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku, baik dalam konteks individu maupun korporasi, yang tidak melaporkan dan tidak membayarkan pajak atas peningkatan kekayaan yang diperolehnya dari tindak pidana korupsi tersebut. Pembahasan dalam bab ini juga akan menyentuh dimensi penuntutan dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, serta kemungkinan dilakukannya penggabungan proses penuntutan antara tindak pidana pajak dengan tindak pidana korupsi.

3.1 Penerapan Delik Perpajakan terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Sebagai bagian dari sistem perpajakan nasional, UU KUP juga mengatur konsekuensi hukum yang akan ditetapkan bagi setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Secara umum, konsekuensi atas pelanggaran ini terbagi ke dalam dua mekanisme penyelesaian, yakni pengenaan sanksi administratif dan sanksi pidana.277

277 Kedua jenis sanksi ini memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Philippus Hadjon et al, misalnya, menilai sanksi administratif memiliki sifat reparatoir yang bertujuan untuk memulihkan situasi/kondisi tertentu pasca dilakukannya pelanggaran administrasi, penjatuhan sanksi ini tidak perlu melalui peradilan (non-contentious), dan hanya bisa dijatuhkan kepada mereka yang memiliki

Page 85: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

78

Sanksi administratif akan dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan administrasi perpajakan, seperti tidak dilaporkannya Surat Pemberitahuan oleh Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang.278 Pelanggaran atas ketentuan ini akan dikenakan sanksi berupa denda administrasi yang berkisar antara Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) hingga Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), yang berbeda nominalnya untuk setiap jenis surat pemberitahuan279 yang telat dilaporkan. Di sisi lain, UU KUP juga mengatur konsekuensi pengenaan sanksi pidana bagi pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Seperti halnya praktik yang terjadi di banyak negara, pengenaan sanksi pidana terhadap persoalan di bidang perpajakan ini tidak terlepas dari begitu masifnya kerugian yang mungkin diderita oleh Negara dan masyarakat akibat perbuatan ilegal tersebut. Sebagai contoh, studi yang dilakukan oleh European Commission melaporkan kesenjangan pajak pertambahan nilai (value-added tax gap)280 dari 28 negara Uni Eropa berada pada angka € 147,1 milyar pada tahun 2016.281 Selain itu, kejahatan-kejahatan

hubungan administratif dengan pemberi hukuman. Sementara itu, Jan Remmelink menilai pengenaan sanksi pidana justru bersifat umum (tanpa melihat hubungan administratif), hanya dapat dijatuhkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku, dan harus melalui proses peradilan pidana serta mengandung makna pencelaan atas perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Baca Philippus Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm. 247 dan Remmelink (1), op.cit., hlm. 15-16.

278 Indonesia (20), op.cit., Pasal 7 ayat (1).

279 Jika yang tidak dilaporkan sesuai dengan batas waktu adalah Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, denda administrasi yang harus dibayarkan sejumlah Rp 500.000 (lima ratus ribu rupiah). Di sisi lain, apabila dokumen yang dimaksud berupa Surat Pemberitahuan Masa lainnya, maka sanksi administrasi yang harus dibayarkan adalah Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah), begitu juga halnya untuk Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang Pribadi. Akan tetapi, apabila yang terlambat melaporkan SPT Pajak Penghasilan adalah wajib pajak Badan, maka denda administrasi yang harus dibayarkan sejumlah Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Ibid.

280 Angka ini merupakan estimasi kerugian yang diakibatkan oleh kecurangan pajak (tax fraud), penggelapan pajak (tax evasion), penghindaran pajak (tax avoidance), termasuk kepailitan, insolvensi finansial, dan miskalkulasi. European Commission, VAT GAP, https://ec.europa.eu/taxation_customs/business/tax-cooperation-control/vat-gap_en, diakses pada 19 September 2019.

281 Center for Social and Economic Research & Barcelona Institute for Economics, Study and Reports on the VAT Gap in the EU-28 Member States: 2018 Final Report, (Warsaw: Institute for

Page 86: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

79

di bidang perpajakan juga akan berimbas pada ketidakmampuan pembayar pajak yang taat untuk berkompetisi dengan pelaku usaha yang tidak membayarkan pajaknya kepada Negara.282 Berkaitan dengan hal tersebut, adapun delik-delik yang dirumuskan oleh UU KUP tersebar283 dari: a. kealpaan untuk kedua kalinya284 tidak menyampaikan Surat

Pemberitahuan yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara285;

b. sengaja menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak286; hingga

c. sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara287.

Oleh karenanya, apabila pelaku ditemukan terbukti melanggar ketentuan-ketentuan ini, terhadapnya dapat dikenakan pidana penjara, kurungan, hingga denda sebagaimana diancamkan pada tindak pidana tersebut.

Advanced Studies, 2018), hlm. 8, https://ec.europa.eu/taxation_customs/sites/taxation/files/2018_vat_gap_report_en.pdf, diakses pada 19 September 2019.

282 Ibid.

283 Penjabaran beberapa tindak pidana di bidang perpajakan pada bagian ini tidak secara otomatis dapat diartikan bahwa hanya tindak pidana ini sajalah yang diatur di dalam UU KUP. Adapun rincian seluruh tindak pidana yang dirumuskan dalam UU KUP dapat ditemukan dalam Tabel 3.1.

284 Penuntutan baru akan dilakukan apabila Wajib Pajak melakukan perbuatan yang sama untuk kedua kalinya. Dalam konteks ini, UU KUP memberikan jalan bagi Wajib Pajak, untuk yang pertama kalinya, lalai tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikannya dengan data yang tidak akurat, untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan mekanisme perpajakan, yakni melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Ibid., Pasal 13A.

285 Ibid., Pasal 38 huruf a.

286 Ibid., Pasal 39 ayat (1) huruf b.

287 Ibid., Pasal 41C ayat (4).

Page 87: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

a

Page 88: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

81

b.m

enya

lahg

unak

an a

tau

men

ggun

akan

tanp

a ha

k N

omor

Poko

k W

ajib

Paj

ak a

tau

Peng

ukuh

an P

engu

saha

Ken

a Pa

jak;

c.ti

dak

men

yam

paik

an S

urat

Pem

beri

tahu

an;

d.m

enya

mpa

ikan

Sur

at P

embe

rita

huan

dan

/ata

u ke

tera

ngan

yang

isin

ya ti

dak

bena

r ata

u ti

dak

leng

kap;

e.m

enol

ak u

ntuk

dila

kuka

n pe

mer

iksa

an s

ebag

aim

ana

dim

aksu

d da

lam

Pas

al 2

9;f.

mem

perl

ihat

kan

pem

buku

an, p

enca

tata

n, a

tau

doku

men

lain

yang

pal

su a

tau

dipa

lsuk

an s

eola

h-ol

ah b

enar

, ata

u ti

dak

men

ggam

bark

an k

eada

an y

ang

sebe

narn

ya;

g.ti

dak

men

yele

ngga

raka

n pe

mbu

kuan

ata

u pe

ncat

atan

di

Indo

nesi

a, ti

dak

mem

perl

ihat

kan

atau

tida

k m

emin

jam

kan

buku

, cat

atan

, ata

u do

kum

en la

in;

h.ti

dak

men

yim

pan

buku

, cat

atan

, ata

u do

kum

en y

ang

men

jadi

dasa

r pem

buku

an a

tau

penc

atat

an d

an d

okum

en la

inte

rmas

uk h

asil

peng

olah

an d

ata

dari

pem

buku

an y

ang

dike

lola

seca

ra e

lekt

roni

k at

au d

isel

engg

arak

an s

ecar

a pr

ogra

m a

plik

asi

onlin

e di

Indo

nesi

a se

baga

iman

a di

mak

sud

dala

m P

asal

28

ayat

(11)

; ata

ui.

tida

k m

enye

tork

an p

ajak

yan

g te

lah

dipo

tong

ata

u di

pung

ut.

bany

ak 4

(em

pat)

kal

i jum

lah

paja

k te

ruta

ng

yang

tida

k at

au k

uran

g di

baya

r.

sehi

ngga

dap

at m

enim

bulk

an k

erug

ian

pada

pen

dapa

tan

nega

ra

39(2

) M

elak

ukan

lagi

tind

ak p

idan

a di

bid

ang

perp

ajak

an s

ebel

um le

wat

1 (s

atu)

tahu

n, te

rhit

ung

seja

k se

lesa

inya

men

jala

ni p

idan

a pe

njar

a D

ua k

ali s

anks

i pid

ana

yang

tarc

antu

m p

ada

Pasa

l 39

ayat

(1) U

U K

UP

yang

dija

tuhk

an

39(3

) Pe

rcob

aan

untu

k m

elak

ukan

tind

ak p

idan

a m

enya

lahg

unak

an a

tau

men

ggun

akan

tanp

a ha

k N

omor

Pok

ok W

ajib

Paj

ak a

tau

Peng

ukuh

an P

engu

saha

Ken

a Pa

jak

seba

gaim

ana

dim

aksu

d pa

da

ayat

(1) h

uruf

b, a

tau

men

yam

paik

an S

urat

Pem

beri

tahu

an d

an/a

tau

kete

rang

an y

ang

isin

ya ti

dak

bena

r ata

u ti

dak

leng

kap,

seb

agai

man

a

Pida

na p

enja

ra p

alin

g si

ngka

t 6 (e

nam

) bul

an

dan

palin

g la

ma

2 (d

ua) t

ahun

dan

den

da p

alin

g se

diki

t 2 (d

ua) k

ali j

umla

h re

stit

usi y

ang

dim

ohon

kan

dan/

atau

kom

pens

asi a

tau

peng

kred

itan

yan

g di

laku

kan

dan

palin

g ba

nyak

Page 89: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

82

39A

dim

aksu

d pa

da a

yat (

1) h

uruf

d, d

alam

rang

ka m

enga

juka

n pe

rmoh

onan

rest

itus

i ata

u m

elak

ukan

kom

pens

asi p

ajak

ata

u pe

ngkr

edit

an p

ajak

D

enga

n se

ngaj

a:

1.m

ener

bitk

an d

an/a

tau

men

ggun

akan

fakt

ur p

ajak

, buk

tipe

mun

guta

n pa

jak,

buk

ti p

emot

onga

n pa

jak,

dan

/ata

u bu

kti

seto

ran

paja

k ya

ng ti

dak

berd

asar

kan

tran

saks

i yan

g se

bena

rnya

; ata

u

2.m

ener

bitk

an fa

ktur

paj

ak te

tapi

bel

um d

ikuk

uhka

n se

baga

iPe

ngus

aha

Ken

a Pa

jak

41(1

) Pe

jaba

t yan

g ka

rena

kea

lpaa

nya

tida

k m

emen

uhi k

ewaj

iban

m

erah

asia

kan

hal s

ebag

aim

ana

dim

aksu

d da

lam

Pas

al 3

4

Buny

i Pas

al 3

4 U

U K

UP:

“Set

iap

peja

bat d

ilara

ng m

embe

rita

huka

n ke

pada

pih

ak la

in s

egal

a se

suat

u ya

ng d

iket

ahui

ata

u di

beri

tahu

kan

kepa

dany

a ol

eh W

ajib

Pa

jak

dala

m ra

ngka

jaba

tan

atau

pek

erja

anny

a un

tuk

men

jala

nkan

ke

tent

uan

pera

tura

n pe

rund

ang-

unda

ngan

per

paja

kan”

4 (e

mpa

t) k

ali j

umla

h re

stit

usi y

ang

dim

ohon

kan

dan/

atau

kom

pens

asi a

tau

peng

kred

itan

yan

g di

laku

kan

Pi

dana

pen

jara

pal

ing

sing

kat 2

(dua

) tah

un d

an

palin

g la

ma

6 (e

nam

) tah

un s

erta

den

da p

alin

g se

diki

t 2 (d

ua) k

ali j

umla

h pa

jak

dala

m fa

ktur

pa

jak,

buk

ti p

emun

guta

n pa

jak,

buk

ti

pem

oton

gan

paja

k, d

an/a

tau

bukt

i set

oran

paj

ak

dan

palin

g ba

nyak

6 (e

nam

) kal

i jum

lah

paja

k da

lam

fakt

ur p

ajak

, buk

ti p

emun

guta

n pa

jak,

bu

kti p

emot

onga

n pa

jak,

dan

/ata

u bu

kti s

etor

an

paja

k

Pida

na k

urun

gan

palin

g la

ma

1 (sa

tu) t

ahun

dan

de

nda

palin

g ba

nyak

Rp2

5.00

0.00

0,00

(dua

pul

uh

lima

juta

rupi

ah)

41(2

) Pe

jaba

t yan

g de

ngan

sen

gaja

tida

k m

emen

uhi k

ewaj

iban

nya

atau

se

seor

ang

yang

men

yeba

bkan

tida

k di

penu

hiny

a ke

waj

iban

pej

abat

se

baga

iman

a di

mak

sud

dala

m P

asal

34

Buny

i Pas

al 3

4 U

U K

UP:

“Set

iap

peja

bat d

ilara

ng m

embe

rita

huka

n ke

pada

pih

ak la

in s

egal

a se

suat

u ya

ng d

iket

ahui

ata

u di

beri

tahu

kan

kepa

dany

a ol

eh W

ajib

Pida

na p

enja

ra p

alin

g la

ma

2 (d

ua) t

ahun

dan

de

nda

palin

g ba

nyak

Rp5

0.00

0.00

0,00

(lim

a pu

luh

juta

rupi

ah)

Page 90: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

83

41A

Pi

dana

kur

unga

n pa

ling

lam

a 1 (

satu

) tah

un d

an

dend

a pa

ling

bany

ak R

p25.

000.

000,

00 (d

ua p

uluh

lim

a ju

ta ru

piah

)

41B

Paja

k da

lam

rang

ka ja

bata

n at

au p

eker

jaan

nya

untu

k m

enja

lank

an

kete

ntua

n pe

ratu

ran

peru

ndan

g-un

dang

an p

erpa

jaka

n”

Seti

ap o

rang

yan

g w

ajib

mem

beri

kan

kete

rang

an a

tau

bukt

i yan

g di

min

ta s

ebag

aim

ana

dim

aksu

d da

lam

Pas

al 3

5 te

tapi

den

gan

seng

aja

tida

k m

embe

ri k

eter

anga

n at

au b

ukti

, ata

u m

embe

ri

kete

rang

an a

tau

bukt

i yan

g ti

dak

bena

r D

enga

n se

ngaj

a m

engh

alan

gi a

tau

mem

pers

ulit

pen

yidi

kan

tind

ak

pida

na d

i bid

ang

perp

ajak

an

41C

(1)

Den

gan

seng

aja

tida

k m

emen

uhi k

ewaj

iban

seb

agai

man

a di

mak

sud

dala

m P

asal

35A

aya

t (1)

Buny

i Pas

al 3

5A a

yat (

1) U

U K

UP:

“Set

iap

inst

ansi

pem

erin

tah,

lem

baga

, aso

sias

i, da

n pi

hak

lain

, waj

ib

mem

beri

kan

data

dan

info

rmas

i yan

g be

rkai

tan

deng

an p

erpa

jaka

n ke

pada

Dir

ekto

rat J

ende

ral P

ajak

yan

g ke

tent

uann

ya d

iatu

r den

gan

Pera

tura

n Pe

mer

inta

h de

ngan

mem

perh

atik

an k

eten

tuan

se

baga

iman

a di

mak

sud

dala

m P

asal

35

ayat

(2)”

Pida

na p

enja

ra p

alin

g la

ma

3 (t

iga)

tahu

n da

n de

nda

palin

g ba

nyak

Rp7

5.00

0.00

0,00

(tuj

uh

pulu

h lim

a ju

ta ru

piah

) Pi

dana

kur

unga

n pa

ling

lam

a 1 (

satu

) tah

un a

tau

dend

a pa

ling

bany

ak R

p1.0

00.0

00.0

00,0

0 (s

atu

mili

ar ru

piah

)

41C

(2)

Den

gan

seng

aja

men

yeba

bkan

tida

k te

rpen

uhin

ya k

ewaj

iban

pe

jaba

t dan

pih

ak la

in s

ebag

aim

ana

dim

aksu

d da

lam

Pas

al 3

5A a

yat

(1)

Buny

i Pas

al 3

5A a

yat (

1) U

U K

UP:

“Set

iap

inst

ansi

pem

erin

tah,

lem

baga

, aso

sias

i, da

n pi

hak

lain

, waj

ib

mem

beri

kan

data

dan

info

rmas

i yan

g be

rkai

tan

deng

an p

erpa

jaka

n ke

pada

Dir

ekto

rat J

ende

ral P

ajak

yan

g ke

tent

uann

ya d

iatu

r den

gan

Pera

tura

n Pe

mer

inta

h de

ngan

mem

perh

atik

an k

eten

tuan

se

baga

iman

a di

mak

sud

dala

m P

asal

35

ayat

(2)”

Pida

na k

urun

gan

palin

g la

ma

10 (s

epul

uh) b

ulan

at

au d

enda

pal

ing

bany

ak R

p800

.000

.000

,00

(del

apan

ratu

s ju

ta ru

piah

)

Page 91: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

84

41C

(3)

Den

gan

seng

aja

tida

k m

embe

rika

n da

ta d

an in

form

asi y

ang

dim

inta

ol

eh D

irek

tur J

ende

ral P

ajak

seb

agai

man

a di

mak

sud

dala

m P

asal

35

A a

yat (

2)

Buny

i Pas

al 3

5A a

yat (

2):

“Dal

am h

al d

ata

dan

info

rmas

i seb

agai

man

a di

mak

sud

pada

aya

t (1)

tid

ak m

encu

kupi

, Dir

ektu

r Jen

dera

l Paj

ak b

erw

enan

g m

engh

impu

n da

ta d

an in

form

asi u

ntuk

kep

entin

gan

pene

rim

aan

nega

ra y

ang

kete

ntua

nnya

dia

tur d

enga

n Pe

ratu

ran

Pem

erin

tah

deng

an

mem

perh

atik

an k

eten

tuan

seb

agai

man

a di

mak

sud

dala

m P

asal

35

ayat

(2)”

Pida

na k

urun

gan

palin

g la

ma

10 (s

epul

uh) b

ulan

at

au d

enda

pal

ing

bany

ak R

p800

.000

.000

,00

(del

apan

ratu

s ju

ta ru

piah

)

41C

(4)

Den

gan

seng

aja

men

yala

hgun

akan

dat

a da

n in

form

asi p

erpa

jaka

n se

hing

ga m

enim

bulk

an k

erug

ian

kepa

da n

egar

a

43

Peny

erta

an u

ntuk

Pas

al 3

9A, 3

9B, 4

1A, d

an 4

1B

Pida

na k

urun

gan

palin

g la

ma

1 (sa

tu) t

ahun

ata

u de

nda

palin

g ba

nyak

Rp5

00.0

00.0

00,0

0 (l

ima

ratu

s ju

ta ru

piah

) D

ipid

ana

sepe

rti h

alny

a pe

laku

yan

g m

elan

ggar

Pa

sal 3

9A, 3

9B, 4

1A, d

an 4

1B

Page 92: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

85

Diagram 3.1 menjelaskan secara rinci konsekuensi perpajakan yang akan diterima oleh pelaku tindak pidana korupsi yang memperoleh harta kekayaan dari kejahatan tersebut.

Diagram 3.1 Konsekuensi Perpajakan yang berkaitan dengan Peningkatan Kekayaan dari

Tindak Pidana Korupsi288

288 Diolah dari mekanisme yang tersedia dalam UU KUP.

Dalam kaitannya dengan peningkatan kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana korupsi, secara teoretis, ketentuan-ketentuan pidana yang dimiliki oleh UU KUP dapat juga dikenakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi sepanjang yang bersangkutan tidak memenuhi kewajiban perpajakan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

Page 93: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

86

Dari bagan tersebut, terlihat bahwa pelaporan dan pembayaran pajak atas harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi memegang peranan penting dalam menentukan konsekuensi perpajakan apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku. Sebagai contoh, dalam hal pajak atas hasil korupsi ini telah dibayarkan oleh pelaku atau pihak lain yang terlibat dalam delik, pelaku tetap dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila ia, karena kelalaiannya yang dilakukan bukan untuk pertama kali atau dengan sengaja, tidak melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi seperti yang diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP. Di sisi lain, apabila pajak dimaksud belum dibayarkan, pelaku akan bisa dituntut dengan Pasal 39 ayat (1) huruf c UU KUP jika dirinya juga tidak melaporkan SPT kepada Direktorat Jenderal Pajak. Selain itu, seandainya pun pelaku tetap melaporkan SPT Pajak Penghasilannya, dirinya berpotensi untuk diancam pidana karena dinilai melaporkan Surat Pemberitahuan atau memberi keterangan yang isinya tidak lengkap atau tidak benar seperti yang dirumuskan dalam Pasal 39 ayat (1) huruf d UU KUP.

Untuk memperjelas konteks penerapan delik perpajakan di atas, kita dapat mempelajari kasus korupsi pengadaan driving simulator uji klinik roda dua dan roda empat yang melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), Inspektur Jenderal Djoko Susilo, pada rentang waktu 2010-2011.289 Dalam perkara tersebut, Djoko Susilo dinyatakan terbukti memperkaya dirinya secara melawan hukum sebesar Rp 32 miliar dan sejumlah orang serta korporasi lainnya dengan nominal yang sangat besar.290 Untuk bisa mencapai tujuannya tersebut, Djoko Susilo bersama-sama dengan Budi Susanto291 menetapkan penggelembungan harga pada anggaran pengadaan spesifikasi

289 Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 36/PID/TPK/2013/PT.DKI, dan putusan Mahkamah Agung Nomor 537 K/Pid.Sus/2014.

290 Ibid.

291 Budi Susanto adalah Direktur PT. Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) yang merupakan perusahaan pemenang tender proyek pengadaan driving simulator uji klinik roda dua dan roda empat di Korlantas POLRI.

Page 94: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

87

teknis simulator tersebut.292 Selanjutnya, dilakukan pencairan dana sebesar 100% (seratus persen) meski pengerjaan proyek belum sepenuhnya rampung.293 Sebagai akibatnya, proyek pengadaan driving simulator ini tidak terlaksana dengan baik dan merugikan keuangan negara sejumlah lebih dari Rp 140 miliar.294

Sebagai hasil dari suatu kejahatan, uang sebesar Rp 32 miliar dari proyek pengadaan driving simulator tersebut tidak bersumber dari penghasilan yang secara sah diterima oleh Djoko Susilo sebagai Kepala Korlantas POLRI. Akan tetapi, dari analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi ini dapat dikategorikan sebagai objek pajak, harus dibayarkan pajaknya ke Negara, dan wajib dilaporkan sebagai bagian dari penghasilan Djoko Susilo dalam SPT Pajak Penghasilan pada masa pajak tersebut.

Dalam kaitannya dengan hal di atas, perlu dicermati secara utuh bahwa uang yang diperoleh Djoko Susilo dari tindak pidana korupsi ini terjadi pada tahun 2011295, sedangkan perkara ini mulai disidangkan pada tahun 2013.296 Oleh karena itu, apabila Djoko Susilo tidak melaporkannya sebagai penghasilan yang diterimanya dalam SPT Pajak Penghasilan pada masa pajak tahun 2011, yang bersangkutan seharusnya juga dapat dimintai pertanggungjawaban atas kesengajaannya untuk tidak melaporkan ‘penghasilan’ yang ia peroleh dari tindak pidana korupsi tersebut seperti yang diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf d UU KUP.

Meski demikian, pada tataran praktik, satu hal yang perlu dianalisis lebih lanjut mengenai bisa atau tidaknya dilakukan penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perpajakan di atas, jika sebelumnya, pelaku telah dipidana

292 Putusan Mahkamah Agung Nomor 537 K/Pid.Sus/2014, hlm. 12.

293 Ibid., hlm. 24-32.

294 Ibid., hlm. 32-33.

295 Ibid., hlm. 32.

296 Ibid., hlm. 1.

Page 95: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

88

dalam perkara tindak pidana korupsi. Perlu dipahami bersama bahwa Pasal 76 ayat (1) KUHP melarang dilakukannya penuntutan untuk kedua kalinya terhadap perbuatan seseorang yang telah diadili oleh hakim serta putusannya telah berkekuatan hukum tetap.297 Utrecht memberikan pendapatnya mengenai makna pemberlakuan asas ne bis in idem ini dengan mengatakan:

“Rasio a[s]as ini adalah dua buah: (a) tiap perkara harus diselesaikan secara definitif Pada satu saat tertentu, penyelidikan fakta-fakta dan menjalankan undang-undang pidana berhubung dengan adanya fakta-fakta itu harus berakhir ... dan (b) tujuan tiap-tiap peraturan hukum adalah memberi kepastian hukum sebesar-besarnya bagi individu maupun masyarakat. Sudah barang tentu sikap pemerintah yang tidak dapat membuat satu keputusan terakhir yang tidak dapat diubah atau ditiadakan, menggelisahkan baik individu maupun masyarakat. Individu tidak akan merasa diri aman selama pemerintah masih dapat mengadakan tuntutan hukum terhadapnya, sedangkan beberapa golongan tertentu dalam masyarakat, merasa gelisah selama belum ada kepastian tentang nasib individu atau beberapa individu yang menjadi anggota salah salah satu di antara beberapa golongan tertentu itu”.298

Berangkat dari logika tersebut, Utrecht menilai asas ne bis in idem dalam hukum pidana memiliki tiga komponen penting299, yaitu: 1. Pelakunya adalah satu orang tertentu300;

297 Indonesia (18), op.cit., Pasal 76 ayat (1).

298 Utrecht, op.cit., hlm. 217-218.

299 Ibid., hlm. 216.

300 Syarat ini merupakan syarat subyektif ne bis in idem. Vos mengamini elemen ini mengingat pertanggungjawaban pidana melekat pada individu-individu tertentu (werkt personlijk). Dengan demikian, apabila suatu tindak pidana dilakukan lebih dari satu orang, maka dengan telah dilakukannya penuntutan terhadap salah satu pelaku tindak pidana tersebut tidak secara otomatis menggugurkan kewenangan Negara untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku lainnya. Baca R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan Pidana jang Penting, (Bandung: Universitas Padjajaran, 1959), hlm. 218 dan Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut: Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 18.

Page 96: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

89

2. Perbuatannya adalah satu perbuatan tertentu301; dan 3. Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap302 yang

mengadili perbuatan tersebut.

Dari ketiga elemen di atas, yang menjadi poin krusial dalam mengenakan ketentuan delik perpajakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah syarat kedua. Namun, sebelum sampai pada keputusan untuk bisa melakukan penuntutan, perlu dipelajari terlebih dahulu apakah tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh terpidana korupsi ini merupakan satu perbuatan yang sama. Berkaitan dengan hal tersebut, makna ‘perbuatan’ di dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP telah mengalami banyak perkembangan. Van Hamel, misalnya, mengartikan ‘perbuatan’ dalam pasal tersebut menjadi tiga hal, yaitu:

1. Perbuatan dalam arti peristiwa jahat yang telah terjadi (misdadig voorval) Berdasarkan pengertian ini, perbuatan harus dimaknai sebagai peristiwa jahat secara luas yang telah dilakukan oleh pelaku tindak

301 Adapun yang dimaksud dengan ‘perbuatan’ akan dijelaskan lebih lanjut pada bab ini.

302 Pada prinsipnya, putusan yang berkekuatan hukum tetap dimaknai sebagai putusan hakim yang tidak lagi diajukan upaya hukum oleh pihak yang berperkara. Akan tetapi, Jonkers menilai syarat ketiga ne bis in idem ini dapat diterjemahkan menjadi tiga jenis putusan, yaitu:

a. Penghukuman (veroordeling); Hakim berpendapat terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang

didakwakan kepadanya. b. Pembebasan dari penuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging); dan Dalam hal ini, terdakwa dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya, tetapi tidak dapat dipidana karena memiliki alasan-alasan yang mengecualikan hukuman (strafuitsluitingdgronden) atau perbuatan yang didakwakan tidak dapat dihukum.

c. Pembebasan (putusan bebas/vrijspraak) Hakim berpendapat kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tersebut

tidak dapat dibuktikan.

Ibid., hlm. 216-217.

Page 97: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

90

pidana.303 Sebagai contoh, B yang bersama-sama melakukan pencurian dengan A, tidak akan bisa dituntut apabila terhadap A telah dilakukan penuntutan mengingat peristiwa jahat yang dilakukan oleh (para) pelaku, yakni pencurian, telah diadili pada perkara A. Terhadap hal ini, Utrecht menilai makna yang ditawarkan oleh Van Hamel terkesan terlalu luas dan akan bertentangan dengan prinsip individualisasi pidana yang dianut oleh KUHP.304

2. Perbuatan dalam arti perbuatan yang menjadi pokok dakwaan (de handeling zoals die is te laste gelegd) Dalam pengertian yang kedua, Van Hamel mengonstruksikan perbuatan (hetzefde feit) sebagai perbuatan pidana yang sama (hetzefde strafbare feit).305 Van Hamel mengilustrasikan penuntutan yang telah dilakukan terhadap A karena menganiaya B pada Sabtu, 15 Agustus 1959 pukul 10.00 tidak akan menghapuskan peluang dilakukannya penuntutan terhadap A yang kembali menganiaya B pada hari dan tanggal yang sama pada pukul 20.00.306 Hal ini mungkin terjadi mengingat kedua perbuatan tersebut didakwa secara terpisah dan oleh karenanya, penuntutan pun tetap dapat dijalankan. Vos dan Utrecht menentang teori ini307 karena dianggap terlalu sempit menafsirkan makna ‘perbuatan’ dan bertentangan dengan asas nemo debet vis ve[x]ari.308

303 Ibid., hlm. 219.

304 Ibid.

305 Ibid., hlm. 220.

306 Ibid.

307 Ibid.

308 Seseorang tidak boleh dituntut untuk kedua kalinya atas suatu perbuatan yang sama jika telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. https://www.oxfordreference.com/view/10.1093/oi/authority.20110803100228814, diakses pada 19 September 2019.

Page 98: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

91

3. Perbuatan dalam arti perbuatan materiil (materiele handeling) Perbuatan dimaknai sebagai perbuatan (yang ditinjau) terlepas dari unsur kesalahan dan terlepas dari akibat.309 Pendapat ini mencoba menghilangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan dari dua teori sebelumnya.310 Vos berpendapat A yang telah dipidana sebelumnya karena mencuri sebuah jam tangan yang ditinggalkan pemiliknya, tetap dapat dituntut oleh Negara jika setelah melakukan pencurian itu, A lantas ingin memiliki jam tangan tersebut meskipun tanpa persetujuan pemilik aslinya (penggelapan311).312 Kondisi ini menjadi mungkin karena perbuatan materiil pada pencurian berbeda sama sekali dengan perbuatan materiil pada penggelapan.313 Pendapat ini telah ditinggalkan oleh Hoge Raad melalui putusannya pada tanggal 27 Juni 1932314 yang lebih menekankan pada sifat peristiwa pidana yang berbeda untuk memaknai ‘perbuatan’ pada Pasal 76 ayat (1) KUHP tersebut.315 Namun, Vos dan Utrecht menilai pertimbangan Hoge Raad ini harus dimaknai secara kasuistis dan harus dibaca terbatas pada perkara yang memiliki konteks gabungan

309 Ibid.

310 Ibid.

311 Bunyi Pasal 372 KUHP adalah sebagai berikut:

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”

312 Ibid., hlm. 220-221.

313 Ibid., hlm. 221.

314 NJ 1932, hlm. 1959, W Nr 12543. Ibid.

315 Hal ini terlihat pada putusan tertanggal 18 Februari 1935, NJ 1935, hlm. 791, W Nr 12980. Dalam perkara ini, A yang berada dalam keadaan mabuk dan tidak bisa menguasai dirinya lantas mengganggu ketertiban umum (Pasal 492 KUHP) dengan memukul seorang polisi (Pasal 356 sub 2e KUHP). Hoge Raad menilai sifat peristiwa pidana yang tercantum dalam Pasal 492 KUHP adalah keadaan terdakwa yang mabuk, tempat dan gangguan atas ketertiban umum. Sementara itu, Pasal 356 sub 2e KUHP memiliki sifat yang berbeda, yakni penganiayaan dan kedudukan resmi (polisi) sebagai korban. Oleh karena itu, Hoge Raad membenarkan dilakukannya penuntutan atas tindak pidana yang kedua tersebut. Ibid., 221-222.

Page 99: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

92

berupa concursus idealis.316 Dengan melihat pada perkembangan terakhir pada berbagai putusan Hoge Raad, Vos mengusulkan tafsir atas makna perbuatan menjadi “seluruh kejadian seperti ternyata dari luar, sepanjang kejadian itu tidak terbagi dalam beberapa peristiwa-peristiwa pidana yang masing-masing berdiri tersendiri (merupakan peristiwa pidana tersendiri)”.317

Penjelasan di atas menggambarkan dinamika pemaknaan terminologi ‘perbuatan’ dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP berikut justifikasi dan kritik terhadapnya. Akan tetapi, di balik semua tafsir tersebut, menjadi sangat penting untuk menentukan tempus delicti dari masing-masing tindak pidana agar mampu membedakan apakah tindak pidana yang akan dituntut kepada pelaku merupakan satu perbuatan atau kejahatan yang berdiri secara terpisah antara satu dengan yang lainnya. Apabila kita mengacu pada kasus Djoko Susilo di atas, Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yang dijadikan dasar untuk menghukum yang bersangkutan adalah tindak pidana yang mementingkan terpenuhinya akibat yang dilarang undang-undang (delik materiil).318 Oleh karenanya, ketika UU Tipikor merumuskan Pasal 2 ayat (1) dengan redaksional ‘secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’319, maka tempus delicti tindak pidana ini terjadi seketika terdapat peningkatan kekayaan pada pelaku yang merugikan keuangan negara. Dengan demikian, seketika pada saat uang korupsi dari pengadaan driving simulator diterima oleh Djoko Susilo dan beberapa orang serta korporasi lainnya, sejak saat

316 Ibid., hlm. 222.

317 Ibid., hlm. 223.

318 J. Remmelink (2), Pengantar Hukum Pidana Material 1, (Yogyakarta: Maharsa Publishing, 2014)., hlm. 77-79.

319 Mahkamah Konstitusi menghilangkan kata ‘dapat’ dari rumusan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK melalui putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016 karena dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 100: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

93

itulah akibat yang dilarang oleh Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor telah selesai secara sempurna. Pada sisi lainnya, salah satu tindak pidana di bidang perpajakan yang berpotensi untuk dilakukan oleh terpidana korupsi dalam kaitannya dengan peningkatan kekayaan yang diperolehnya dari kejahatan tersebut adalah tindak pidana yang dirumuskan Pasal 39 ayat (1) huruf b UU KUP. Dalam konteks ini, pelaku melaporkan Surat Pemberitahuan atau memberikan keterangan kepada Direktorat Jenderal Pajak, tetapi isi dokumen atau keterangan tersebut tidak benar atau tidak lengkap.320 Berbeda halnya dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, tindak pidana ini lebih mementingkan terselesainya anasir perbuatan yang diatur oleh ketentuan tersebut (delik formil).321 Apabila dihubungkan dengan kasus Djoko Susilo di atas, terselesainya tindak pidana di bidang perpajakan ini baru terjadi ketika Djoko Susilo menyerahkan Surat Pemberitahuan atau memberikan keterangan yang isinya tidak lengkap atau tidak benar kepada Direktorat Jenderal Pajak. Dari analisis tersebut, terlihat dengan jelas bahwa kedua perbuatan di atas bukan merupakan satu perbuatan yang sama. Oleh karena itu, jika penuntutan kembali dilakukan terhadap Djoko Susilo atas delik perpajakan yang dilakukannya, maka hal ini tidak bertentangan dengan asas ne bis in idem di atas.

320 Indonesia (18), op.cit., Pasal 39 ayat (1) huruf d.

321 Remmelink (2), loc.cit.

Diterimanya uang korupsi dan kesengajaan untuk tidak melaporkan ‘penghasilan’ yang diperoleh dari tindak pidana korupsi ini ke otoritas pajak adalah dua perbuatan (feit) yang berbeda sama sekali. Niat jahat untuk melakukan dua perbuatan tersebut juga tidak bisa disamakan satu dengan yang lain. Selain itu, tempus delicti pada dua perbuatan tersebut juga berbeda-beda. Sebagai konsekuensinya, perbuatan-perbuatan ini harus dipandang sebagai kejahatan yang berdiri sendiri-sendiri.

Page 101: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

94

Dengan menggunakan logika yang sama, proses penuntutan tetap dapat dilakukan secara terpisah seandainya tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan tersebut belum pernah diadili oleh putusan pengadilan sebelumnya. Mengingat terdapat lebih dari satu tindak pidana dalam ilustrasi kasus Djoko Susilo di atas, maka segala ketentuan yang mengatur gabungan tindak pidana (concursus) harus dipertimbangkan secara saksama. Berkaitan dengan hal ini, hukum pidana mengenal tiga jenis gabungan tindak pidana, yaitu:

1. Concursus idealis/Eendaadse samenloop Konsep gabungan yang pertama mengatur apabila satu perbuatan melanggar beberapa ketentuan pidana secara sekaligus.322 Apabila di antara beberapa ketentuan pidana tersebut memiliki ancaman pidana yang berbeda-beda, maka yang akan digunakan adalah pasal yang memiliki ancaman pidana yang lebih berat.323 Selain itu, apabila perbuatan ini diatur oleh aturan-aturan yang umum dan khusus, maka yang memiliki pengaturan lebih khusus itulah yang akan digunakan.324

2. Concursus realis/Meerdaadse samenloop Konsep gabungan berikutnya mengatur dilakukannya beberapa perbuatan yang dapat dilihat sebagai delik-delik yang berdiri sendiri-sendiri.325 Jika tindak-tindak pidana tersebut memiliki ancaman pidana yang sejenis, akan dijatuhkan satu pidana dengan ketentuan maksimal hukuman yang dapat dikenakan adalah jumlah maksimum pidana untuk pasal-pasal tersebut tetapi tidak boleh lebih berat daripada maksimum pidana terberat ditambah dengan sepertiga.326 Apabila ancaman pidana di antara tindak pidana tersebut berbeda

322 Utrecht, op.cit., hlm. 140-141.

323 Indonesia (18), op.cit., Pasal 63 ayat (1).

324 Ibid., Pasal 63 ayat (2).

325 Utrecht, op.cit., hlm. 181-182.

326 Indonesia (18), op.cit., Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2).

Page 102: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

95

jenis, maka akan dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan tetapi jumlahnya tidak boleh lebih berat dibandingkan dengan pidana maksimum untuk delik tersebut ditambah sepertiga.327

3. Voorgezette handeling

Konsep ini dikenal dengan istilah perbuatan berlanjut atau perbuatan yang terus-menerus.328 Dalam pandangan Utrecht, voorgezette handeling adalah bentuk khusus yang dirumuskan oleh Pasal 64 KUHP yang dapat diidentifikasi apabila beberapa perbuatan terhubung satu dengan yang lain sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang diteruskan.329

Melihat pada konsep gabungan tindak pidana di atas, perbuatan yang diilustrasikan pada kasus Djoko Susilo tidak dapat dikategorikan sebagai concursus idealis. Dari rincian perbuatan yang dilakukan, terlihat dengan jelas bahwa perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dan tidak disertakannya ‘penghasilan’ yang diperoleh pelaku dari tindak pidana korupsi pada SPT Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang Pribadi bukanlah merupakan satu perbuatan. Selain itu, perbuatan-perbuatan pada kasus ini juga tidak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan berlanjut (voorgezette handeling). Kedua peristiwa ini tidak saling berhubungan dimana tindak pidana korupsi tersebut tidak dijadikan sarana untuk melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

327 Ibid., Pasal 66 ayat (1).

328 Utrecht, op.cit., hlm. 192.

329 Ibid., hlm. 192-193.

Akan menjadi lebih tepat apabila kasus tersebut didudukkan sebagai concursus realis1 mengingat perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum ini dan tidak melaporkan pendapatan secara benar/lengkap harus dipandang sebagai kejahatan yang terpisah. Oleh karena itu, apabila penuntut umum ingin menjalankan proses penuntutan terhadap kedua perbuatan pelaku secara bersamaan, hal ini tidak bertentangan dengan asas ne bis in idem.

Page 103: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

96

Dia

gram

3.2

IL

UST

RA

SI P

EMIL

AH

AN

TEM

PUS

DEL

ICTI

TI

ND

AK

PID

AN

A K

OR

UPS

I & T

IND

AK

PID

AN

A D

I BID

AN

G P

ERPA

JAK

AN

Page 104: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

97

Dalam kaitannya dengan hal di atas, proses penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan ini juga tetap dapat dijalankan meskipun, pada perkara tindak pidana korupsi yang dijalaninya, pelaku telah dirampas barangnya atau diwajibkan membayar uang pengganti. Perlu diperhatikan bahwa sifat jahat suatu tindak pidana tidak melekat pada objek atau hasil kejahatan. Fakta bahwa hakim telah merampas barang-barang yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi330 tidak secara otomatis menghapuskan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan tersebut. Peningkatan kekayaan dari tindak pidana korupsi tersebut hanya menjadi pemantik niat jahat dari pelaku untuk secara sengaja merahasiakan nominal atau sumber penghasilan yang diterima sehingga kewajiban pajaknya dapat berkurang. Pertanggungjawaban pidana akan selalu melekat pada perbuatan pelaku, bukan pada objek tindak pidana.331

Demikian halnya dengan pembayaran uang pengganti yang berbeda tujuan peruntukannya dan tidak beririsan sama sekali dengan tindak pidana di bidang perpajakan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pembayaran uang pengganti dimaksudkan untuk mengganti uang korupsi yang telah dinikmati terpidana.332 Sementara itu, pembayaran pajak atas penghasilan yang diterima individu merupakan kewajiban yang harus dicatatkan, dilaporkan, dan dibayarkan kepada Negara.333 Oleh sebab itu, seandainya data pelaporan yang disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak tidak lengkap atau tidak benar, hal ini merupakan suatu tindak pidana yang dapat diproses secara langsung oleh penegak hukum, terlepas apakah terpidana juga dihukum untuk membayar uang pengganti pada perkara korupsi yang dijalaninya.

330 Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf a.

331 R. Tresna, loc.cit.

332 Indonesia (27), op.cit., Pasal 18 ayat (1) huruf b.

333 Indonesia (20), op.cit., Pasal 1 ayat (1).

Page 105: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

98

3.2 Penggabungan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan

Setelah memahami konteks penerapan tindak pidana di bidang perpajakan atas peningkatan kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, persoalan berikutnya yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kemungkinan dilakukannya penggabungan tuntutan antara tindak pidana korupsi dan delik perpajakan tersebut. Untuk menjawab isu tersebut, kita perlu memahami terlebih dahulu proses penanganan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan secara menyeluruh. Seperti halnya penanganan perkara pidana pada umumnya, kasus tindak pidana korupsi akan ditangani dengan menggunakan ketentuan hukum acara pidana seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan berbagai ketentuan spesifik yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menangani tindak pidana korupsi, baik dalam konteks hukum acara maupun kelembagaan penegakan hukum.334 Proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di sidang pengadilan akan menjadi tahapan-tahapan yang akan dilalui dalam sebuah proses penanganan perkara tindak pidana korupsi, termasuk yang ditangani oleh KPK.335

334 Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 jo. Undang-Undang Nomor ... Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

335 Indonesia (22), Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 30 Tahun 2002 jo. UU Nomor 10 Tahun 2015 jo. UU Nomor .. Tahun 2019, Pasal 38 dan Pasal 39.

Page 106: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

99

Diagram 3.3 Alur Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi

Namun, penanganan perkara tindak pidana pajak sangat berbeda dari proses yang ditentukan untuk tindak pidana korupsi. Diagram 3.3 menjelaskan secara utuh alur penanganan perkara pada delik perpajakan. Secara umum, proses ini dimulai dengan melakukan pengecekan terhadap pangkalan data perpajakan yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak, yang dapat berasal dari (a) data internal seperti informasi intelijen, (b) data pembayar pajak seperti SPT, dan (c) data eksternal seperti data dan informasi instansi, lembaga, asosiasi dan pihak ketiga lainnya (ILAP) dan data akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan (exchange of information/EOI).336

Informasi-informasi ini dibandingkan kesesuaiannya dengan SPT yang dilaporkan oleh Wajib Pajak.337 Ketika data yang tercatat dalam pangkalan data tidak sesuai dengan SPT dan tidak dilakukan pembetulan, kasus ini akan masuk dalam tahap pemeriksaan atau dikelola dalam sistem informasi, data, laporan dan pengaduan (IDLP).338 Apabila tidak ditemukan indikasi

336 Sigit Danang Joyo (2), Tindak Pidana Perpajakan, disampaikan pada mata kuliah Tindak Pidana Tertentu II terhadap Harta, Perekonomian, dan Kehormatan, 2 April 2019 di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Jakarta Selatan.

337 Ibid.

338 Ibid.

Page 107: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

100

tindak pidana pada tahap pemeriksaan, harus dilakukan pengungkapan ketidakbenaran SPT atau pengenaan sanksi administrasi/penetapan Surat Ketetapan Pajak (SKP) bagi Wajib Pajak.339 Jika pada proses penelaahan IDLP tidak ditemukan indikasi tindak pidana, maka penyelesaian perkara akan diarahkan pada pengenaan sanksi administratif atau penerbitan SKP.340

339 Ibid.

340 Ibid.

Page 108: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

101

Dia

gram

3.4

Alu

r Pe

nang

anan

Tin

dak

Pida

na P

ajak

341

341 Diolah dari data Direktorat Penegakan Hukum pada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Page 109: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

102

Apabila setelah data IDLP ditelaah dan ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan bukti permulaan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan.342 Jika dibandingkan dengan hukum acara pidana, pemeriksaan bukti permulaan ini dapat dipersamakan dengan konsep penyelidikan yang diatur di dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP yang bertujuan untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan terhadap peristiwa yang dilaporkan tersebut. Seandainya ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka penanganan perkara akan dilanjutkan ke tahap penyidikan. Namun demikian, demi kepentingan penerimaan negara, pemeriksaan bukti permulaan ini dapat dihentikan apabila Wajib Pajak bersedia mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya dan melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak terutang beserta denda administratif sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar tersebut.343 Penyidikan tindak pidana pajak dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberikan wewenang khusus sebagai penyidik dalam perkara ini.344 Dalam tahap ini, seluruh rangkaian kegiatan yang dilakukan akan ditujukan untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti dengan maksud membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan ini serta menemukan tersangkanya.345 Jika seluruh alat bukti dan informasi-informasi lain yang berkaitan dengan tindak pidana telah berhasil dikumpulkan oleh penyidik, berkas perkara berikut tersangka dapat diserahkan ke penuntut umum untuk dilakukan penuntutan dan diperiksa di sidang pengadilan.

342 Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai proses pemeriksaan bukti permulaan, dapat

dipelajari konteks dan mekanisme yang diatur di dalam UU KUP, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

343 Indonesia (20), op.cit., Pasal 8 ayat (3).

344 Ibid., Pasal 1 angka 32 dan Pasal 44 ayat (1).

345 Ibid., Pasal 1 angka 31.

Page 110: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

103

Namun, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan ini dapat juga dihentikan demi kepentingan penerimaan negara. Pasal 44B ayat (1) UU KUP mengharuskan Menteri Keuangan meminta kepada Jaksa Agung agar dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan ini paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permintaan tersebut. Akan tetapi, seperti halnya penghentian pemeriksaan bukti permulaan di atas, pelaku harus bersedia mengungkapkan kesalahannya dalam peristiwa yang disidik serta melunasi hutan pajak yang kurang dibayar berikut denda administratif sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan.346 Apabila tindak pidana korupsi ditangani dengan prosedur beracara yang biasa digunakan dalam hukum acara pidana, tindak pidana di bidang pajak tidak bisa dilepaskan sama sekali dari prosedur perpajakan yang ditentukan oleh UU KUP. Penyidik tindak pidana di bidang pajak harus betul-betul memahami kapan pelanggaran pajak akan diproses menjadi tindak pidana. Proses perpajakan yang terbagi menjadi self-assessment, official assessment, hingga pemeriksaan di sidang pengadilan membuat penanganan delik ini menjadi begitu berbeda dengan tindak pidana pada umumnya.347 Tidak hanya itu, bahkan pada tahap pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan, perkara dapat dihentikan apabila pelaku bersedia menyatakan kesalahannya, membayarkan jumlah pajak yang tidak/kurang dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan berikut denda yang mengikutinya. Dengan demikian, dilihat dari hukum acara yang dimiliki oleh kedua tindak pidana ini, akan sangat sulit untuk menggabungkan proses penuntutan tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan secara bersamaan.

346 Ibid., Pasal 44B ayat (2).

347 Joyo (1), loc.cit.

Tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan memiliki skema dan alur penanganan perkara yang sangat berbeda satu sama lain.

Page 111: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

104

Kesimpulan yang sama juga akan terlihat setelah melakukan penelaahan terhadap kewenangan penyidikan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang anti korupsi dan di bidang perpajakan. Berkaitan dengan penyidikan tindak pidana korupsi, Pasal 26 UU Tipikor mengatur pelaksanaannya harus didasarkan pada hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang tersebut. Oleh karena itu, Pasal 6 ayat (1) KUHAP juga akan berlaku pada penyidikan tindak pidana korupsi dimana yang berwenang melakukan penyidikan adalah pejabat POLRI dan PPNS yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Di samping itu, kejaksaan juga memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU Kejaksaan348, UU Tipikor 349, dan UU KPK.350 Akan tetapi, apabila tindak pidana korupsi yang sedang ditangani (a) melibatkan penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang berhubungan dengan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum atau penyelenggara negara; dan/atau (b) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar, maka perkara tersebut akan ditangani oleh KPK.351 Di sisi lain, Pasal 8 ayat (2) UU KPK membenarkan KPK untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi dari kepolisian atau kejaksaan jika alasan-alasan yang disebutkan undang-undang tersebut terpenuhi.352 Selain kondisi-kondisi dan dalam konteks penanganan perkara

348 Indonesia (19), Undang-Undang Kejaksaan, UU Nomor 16 Tahun 2004, LN Nomor 67 Tahun

2004, TLN Nomor 4401, Pasal 30 ayat (1) huruf d.

349 Indonesia (27), op.cit., Pasal 26.

350 Indonesia (22), op.cit., Pasal 50.

351 Selain melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi seperti yang dijelaskan di atas, Pasal 11 huruf b UU KPK menentukan KPK juga berwenang untuk menangani tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. Akan tetapi, setelah dilakukan revisi kedua atas UU KPK pada September 2019, wewenang ini dihilangkan oleh pembuat undang-undang.

352 Alasan-alasan tersebut di antaranya:

a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-

tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

Page 112: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

105

di atas, KPK tidak dibenarkan untuk mengambilalih penanganan perkara dari penegak hukum lainnya.

Tabel 3.2 WEWENANG MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Kualifikasi Perkara

Tindak pidana korupsi secara umum

Tindak pidana korupsi yang: a. melibatkan penegak

hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang berhubungan dengan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum atau penyelenggara negara

b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 mi

Penyidik POLRI dan Kejaksaan KPK

Sementara itu, berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan, Pasal 44 ayat (1) UU KUP menentukan yang berwenang melakukan penyidikan terbatas pada PPNS di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan.

c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak

pidana korupsi yang sesungguhnya; d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari

eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan

Ibid., Pasal 9.

Page 113: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

106

Pada tempat lainnya, wewenang yang dimiliki Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga menghilangkan kemungkinan bagi pengadilan ini untuk mengadili tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan. Perlu dipahami bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hanya berwenang memeriksa, mengadili dan memutus tiga jenis perkara353, yakni: a. tindak pidana korupsi; b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah

tindak pidana korupsi; dan/atau c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain

ditentukan sebagai tindak pidana korupsi. Dari ketiga syarat di atas, yang mungkin dijadikan dasar untuk memeriksa delik perpajakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah jenis kasus pada poin c. Perumusan jenis tindak pidana yang demikian sangat berhubungan dengan Pasal 14 UU Tipikor yang menyatakan:

“Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap

353 Indonesia (31), Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 46 Tahun

2009, LN Nomor 155 Tahun 2009, TLN Nomor 5074, Pasal 6.

Penyidik POLRI, Kejaksaan, dan KPK yang menemukan indikasi tindak pidana di bidang perpajakan ketika mengusut perkara tindak pidana korupsi, tidak bisa dengan sendirinya melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perpajakan tersebut. Sebaliknya, seandainya pun PPNS pada Direktorat Jenderal Pajak menemukan indikasi tindak pidana korupsi pada delik perpajakan yang sedang ditanganinya, yang bersangkutan tidak dibenarkan untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana korupsi tersebut karena kewenangannya untuk melakukan penyidikan terbatas pada tindak pidana di bidang perpajakan semata.1 Pengaturan yang demikian secara tegas menutup kemungkinan dilakukannya penyidikan dan penuntutan kedua tindak pidana tersebut oleh satu penegak hukum.

Page 114: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

107

ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.”354

Jika dilihat dari sejarah perumusannya, ketentuan ini meniru yang dirumuskan dalam Pasal 1 sub 3e UU Tindak Pidana Ekonomi355 dengan redaksional sebagai berikut:

“Yang disebut tindak pidana ekonomi ialah: 1e. ...; 2e. ...; 3e. pelanggaran sesuatu ketentuan dalam atau berdasar undang-

undang lain, sekadar undang-undang itu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi”

Dalam pandangan Loebby Loqman, pengaturan ini merupakan ‘aturan pidana yang masih kosong (blanco straf bepalingen)’ yang bermaksud memberlakukan UU Tindak Pidana Ekonomi terhadap suatu peraturan yang belum diundangkan, sepanjang aturan tersebut mengklasifikasikan delik dalam undang-undangnya sebagai tindak pidana ekonomi.356 Lebih lanjut, perumusan yang demikian memang sengaja dirumuskan untuk mempermudah mengategorikan delik-delik baru sebagai tindak pidana ekonomi.357 Pada perkembangannya, sejumlah undang-undang yang disahkan setelah UU Tindak Pidana Ekonomi menggunakan terminologi ‘tindak pidana ekonomi’ terhadap delik-delik yang diaturnya.358 Sebagai contoh, Pasal 8

354 Indonesia (27), op.cit., Pasal 14.

355 Indonesia (30), Undang-Undang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955, LN Nomor 27 Tahun 1955, TLN Nomor 801, Pasal 1 sub 3e.

356 Loebby Loqman, Hukum Pidana di Bidang Perekonomian, Hukum dan Pembangunan, 5, (Oktober 1994: 387-397).

357 Ibid.

358 Arsil, Optimalisasi Pemulihan Kerugian Negara dengan Pembebanan Kewajiban Pajak dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, dipresentasikan pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 23 Mei 2019.

Page 115: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

108

ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan menyebutkan “pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini serta peraturan-peraturan pelaksanaannya adalah tindak pidana ekonomi”.359 Karena telah merumuskan tindak pidana di PERPPU tersebut sebagai tindak pidana ekonomi, maka berbagai ketentuan yang diatur di dalam UU Tindak Pidana Ekonomi dapat diberlakukan terhadap delik-delik tersebut.360

359 Indonesia (11), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perdagangan Barang-

Barang dalam Pengawasan, PERPPU Nomor 8 Tahun 1962, LN Nomor 42 Tahun 1962, TLN Nomor 2469, Pasal 8 ayat (1).

360 Loebby Loqman, loc.cit.

Page 116: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan
Page 117: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

110

atau berdasarkan Peraturan Pemerintah ini adalah tindak pidana ekonomi

6 PERPPU Nomor 2 Tahun 1965 tentang Kebijaksanaan Penerimaan Negara

13 Pelanggaran terhadap ketentuan yang dianggap sebagai kejahatan dalam peraturan-peraturan perpajakan, dapat dinyatakan sebagai tindak pidana ekonomi.

7 PP Nomor 36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang Perdagangan

14 Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 Peraturan Pemerintah ini dan Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini adalah kejahatan dan merupakan tindak pidana ekonomi

Untuk memperkuat pandangan Loebby Loqman ini, putusan Pengadilan Negeri Blora Nomor 15/Pid.Sus/2015/PN.Bla dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2299 K/Pid.Sus/2015 dapat dijadikan contoh yang baik untuk mengetahui penerapan blanco straf bepalingen pada UU Tindak Pidana Ekonomi tersebut. Dalam perkara ini, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 8 PERPPU Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan digabungkan penggunaannya dengan Pasal 1 sub 3e UU Tindak Pidana Ekonomi dan dijadikan dasar untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana ekonomi. Adapun diktum putusan tersebut adalah sebagai berikut:

“Menyatakan Terdakwa Judianto Bin Sukiman terbukti bersalah melakukan tindak pidana ekonomi sebagai pihak lain selain Produsen, Distributor, dan Pengecer yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan memperjualbelikan pupuk bersubsidi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b jo. Pasal 1 sub 3e Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi jo. Pasal 4 ayat (1) huruf a jo. Pasal 8 ayat (1) Peraturan

Page 118: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

111

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan jo. Pasal 2 ayat (1), (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang dalam Pengawasan jo. Pasal 30 ayat (3) jo. Pasal 21 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian;”361

Apabila dihubungkan dengan kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 6 huruf c di atas, pertanyaan hukum yang harus dijawab berkaitan dengan kemungkinan menggabungkan proses penuntutan tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan adalah ‘apakah UU KUP mengklasifikasikan tindak pidana di bidang perpajakan yang diatur dalam undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi?’

361 Putusan Pengadilan Negeri Blora Nomor 15/Pid.Sus/2015/PN.Bla.

Dengan menelusuri batang tubuh UU KUP secara menyeluruh, tidak dapat ditemukan satu ketentuan pun yang menggolongkan delik perpajakan sebagai tindak pidana korupsi.1 Oleh sebab itu, penggabungan penuntutan tindak pidana korupsi dan tindak pidana di bidang perpajakan menjadi tidak mungkin untuk dilakukan dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku di Indonesia.

Page 119: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

112

BAB IV MEKANISME KERJA SAMA ANTARA PENEGAK HUKUM &

OTORITAS PERPAJAKAN DALAM OPTIMALISASI PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA

Setelah memahami konteks perpajakan dan penegakan hukum yang dapat dilakukan terhadap peningkatan kekayaan hasil tindak pidana korupsi, langkah penting berikutnya adalah mengidentifikasi dan memproyeksikan mekanisme kerja sama terbaik yang dapat dilakukan oleh penegak hukum dan otoritas perpajakan untuk dapat melakukan optimalisasi pengembalian kerugian negara melalui pembebanan kewajiban perpajakan terhadap kekayaan di atas. Pada bagian ini, praktik terbaik dari negara-negara lain akan dipaparkan terlebih dahulu untuk memberikan informasi dan menganalisis peluang kerja sama antara penegak hukum dan otoritas pajak. Selanjutnya, pembahasan akan diarahkan pada model kerja sama yang telah dikembangkan oleh KPK dengan PPATK & DJP, sekaligus mengevaluasi tantangan dan hambatan pelaksanaan kerja sama tersebut. Terakhir, akan dijelaskan rekomendasi kerja sama yang seharusnya dibangun oleh kedua institusi ini untuk bisa mengoptimalkan pembebanan kewajiban perpajakan terhadap hasil tindak pidana korupsi.

4.1 Praktik Terbaik Kerja Sama Penegak Hukum dengan Otoritas Perpajakan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hubungan strategis antara korupsi dengan perpajakan terlihat dalam konteks pembebanan kewajiban perpajakan atas hasil tindak pidana korupsi maupun interkoneksi yang timbul dari proses penanganan perkara. Relasi ini kemudian mendorong dilakukannya berbagai skema kerja sama antara otoritas pajak dengan penegak hukum dengan tujuan memperlancar proses identifikasi tindak pidana, penanganan perkara, hingga administrasi perpajakan yang timbul dalam suatu kasus. Sejalan dengan perkembangan tersebut, OECD menggarisbawahi posisi strategis yang dimiliki otoritas pajak dalam penanganan tindak pidana

Page 120: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

113

korupsi.362 Dengan tugas dan fungsi maupun data yang dimiliki otoritas perpajakan, institusi ini mampu menganalisis dan melakukan audit atas informasi-informasi perpajakan tersebut serta menemukan indikasi tindak pidana korupsi.363 Jika data-data tersebut dapat disampaikan kepada penegak hukum yang berwenang menangani tindak pidana korupsi, kualitas penanganan tindak pidana korupsi akan semakin optimal.364 Signifikansi pertukaran informasi-informasi di atas juga diterima oleh The OECD Oslo Dialogue 2011 sebagai langkah strategis yang diperlukan untuk menangani kejahatan perpajakan, korupsi, pencucian uang, dan peningkatan harta kekayaan secara tidak sah.365 Lebih lanjut, pertukaran data ini harus dikembangkan antar lembaga pemerintah maupun kelembagaan antar-negara, khususnya yang berkaitan dengan pencegahan, pendeteksian, penanganan pelaku serta pengembalian aset hasil tindak pidana.366 Empat tahun berikutnya, OECD dan World Bank berkomitmen untuk mendukung upaya penanganan tindak pidana korupsi dan penggelapan pajak (tax evasion) dalam tataran kebijakan dan teknis.367 Komitmen tersebut diwujudkan dengan disusunnya pedoman mengenai praktik terbaik di berbagai negara untuk memperkuat institusi hukum berikut strategi penanganan tindak pidana pajak dan korupsi, yang dirumuskan oleh OECD Task Force on Tax Crimes and Other Tax Crime (TFTC) dalam

362 OECD (3), Effective Inter-Agency Co-operation in Fighting Tax Crimes and Other Financial

Crimes (Third Edition), (Paris: OECD, 2017), hlm. 77

363 OECD (1), op.cit., hlm. 22.

364 Ibid.

365 OECD (6), The OECD Oslo Dialogue: A Whole of Government Approach to Fighting Tax Crimes and Illicit Flows, https://www.oecd.org/tax/crime/Oslo-Dialogue-flyer.pdf, diakses pada 25 Oktober 2019.

366 Ibid.

367 OECD dan The World Bank, Improving Co-operation between Tax Authorities and Anti-Corruption Authorities in Combating Tax Crime and Corruption, (Paris: OECD & The World Bank, 2018), hlm. 14.

Page 121: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

114

10 Prinsip Global Pemberantasan Tindak Pidana Pajak.368 Dari sejumlah negara anggta OECD yang tergabung dalam TFTC ini, praktik yang dijalankan oleh Inggris, Australia, dan Singapura dapat dijadikan pembelajaran untuk mengefektifkan penanganan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pajak.369

4.1.1 Inggris

Dalam sistem hukum Inggris, proses pengumpulan dan analisis informasi perpajakan dilakukan oleh HM Revenue dan Customs (HMRC).370 Institusi ini dibentuk dari penggabungan Inland Revenue (kantor otoritas perpajakan) dengan HM Customs and Excise (otoritas keimigrasian dan bea cukai), yang terjadi pada tahun 2005.371 Selain melakukan tugas administrasi perpajakan, HMRC juga memiliki tanggung jawab melaksanakan maupun memimpin investigasi tindak pidana perpajakan.372 Fungsi ini dilakukan oleh HMRC Fraud Investigation Service373 yang memiliki penyidik pajak yang berpengalaman melakukan audit, analisis maupun penyidikan transaksi mencurigakan.374 Dalam menjalankan fungsi ini, HMRC berwenang menjangkau berbagai informasi dan dokumentasi wajib pajak hingga pihak ketiga.375 Akses data yang sedemikian luas ini merepresentasikan posisi strategis HMRC dalam mencegah dan melakukan deteksi dini terhadap tindak pidana pajak dan korupsi.376

368 OECD (4), Fighting Tax Crime: The Ten Global Principles, (Paris: OECD, 2017), hlm. 9.

Kesepuluh prinsip global ini secara garis besar mencakup pencegahan, deteksi dini, investigasi dan kerja sama dalam penanganan tindak pidana pajak dan korupsi baik di dalam maupun luar negeri serta pengembalian aset hasil kedua tindak pidana tersebut.

369 Ibid.

370 OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 22

371 OECD (3), op.cit., hlm. 477.

372 Ibid., hlm. 23.

373 OECD (3), loc.cit.

374 OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 22.

375 Ibid., hlm. 23.

376 Ibid.

Page 122: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

115

Sementara itu, penanganan tindak pidana korupsi di Inggris tersebar di beberapa unit mencakup kepolisian, dan lembaga penegak hukum lainnya.377 Pada tahun 2013, dibentuk National Crime Agency (NCA) yang berwenang menangani kejahatan serius dan terorganisir, fraud, dan cyber crime.378 Selain ketiga isu tersebut, NCA juga bekerja sama dengan lembaga penegak hukum lainnya dalam pemberantasan korupsi.379 Tepat pada bulan Mei 2015, NCA International Corruption Unit dibentuk380 sebagai bagian dari NCA. Unit tersebut bertugas melakukan investigasi tindak pidana korupsi dan pencucian uang baik di dalam maupun luar negeri, penelusuran aset, dan mendukung lembaga asing dalam melakukan investigasi penegakan hukum atas tindak pidana korupsi.381

Selain itu, lembaga lain yang juga berwenang menangani tindak pidana korupsi adalah Serious Fraud Office (SFO) yang bertugas melaksanakan investigasi dan penuntutan atas kasus kecurangan serius (serious fraud) dan korupsi, termasuk suap yang melibatkan pejabat publik asing.382 Umumnya, kejahatan serius dan kompleks seperti korupsi akan ditangani oleh penyidik yang memiliki spesialisasi di bidang tersebut.383 Sementara itu, untuk kasus-kasus dengan skala kecil akan ditangani oleh penyidik biasa.384

377 OECD (3), op.cit., hlm. 479.

378 Ibid.

379 Ibid.

380 Ibid, NCA International Corruption Unit merupakan gabungan dari Metropolitan Police Service Proceeds of Corruption Unit, City of London Police Overseas Anti-Corruption Unit, and NCA Kleptocracy Investigation Unit.

381 Ibid.

382 OECD & The World Bank, op.cit, hlm. 25.

383 Ibid., hlm. 29

384 Ibid.

Page 123: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

116

4.1.1.1 Model Kerja sama HMRC dengan Lembaga Anti Korupsi di Inggris

Model kerja sama yang dikembangkan antara HMRC dan lembaga anti korupsi di Inggris salah satunya dilakukan melalui pertukaran informasi.385 Pertukaran informasi sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2001, yakni antara kantor pajak dan bea cukai dengan lembaga penegak hukum di bidang anti terorisme.386 Kerja sama tersebut melegalkan penggunaan informasi untuk mendukung investigasi atau penuntutan tindak pidana, atau dapat juga digunakan sebagai bukti awal atau penghentian investigasi atau penuntutan suatu tindak pidana.387 Di tahun 2016, Pemerintah Inggris mendorong pertukaran informasi di bidang pajak, korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya, melalui pembentukan joint task force (satuan tugas/satgas) antara HMRC, NCA, SFO dan Financial Conduct Authority (FCA).388 Satgas tersebut kemudian membentuk Joint Financial Analysis Centre (JFAC), sebuah gateway yang menyediakan berbagai informasi yang telah diolah kepada satgas.389 Data yang diolah tersebut berasal dari data dan intelijen di masing-masing lembaga yang tergabung di satgas.390 JFAC juga membantu satgas untuk mengidentifikasi sektor tertentu untuk selanjutnya dapat dilakukan investigasi mendalam, baik di bidang perpajakan dan kejahatan ekonomi yang berhubungan dengan kejahatan terorganisasi.391

385 Ibid.

386 OECD (6), Tax Administration Detecting Corruption, (Paris: OECD, 2012), hlm. 11.

387 Ibid.

388 OECD (3), op.cit., hlm. 481. Sejak pembentukannya, joint task force telah mampu mengungkap penyidikan tindak pidana pajak yang dilakukan individu, mengidentifikasi indikasi tindak pidana di bidang ekonomi, transaksi mencurigakan di berbagai perusahaan. Awal pembentukan join task force tersebut ialah untuk mengungkap kasus Panama Papers.

389 Ibid.

390 Ibid.

391 Ibid.

Page 124: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

117

Diagram 4.1 Mekanisme Kerja sama Otoritas Perpajakan dengan Penegak Hukum

di Inggris Merujuk pada keterangan tabel 4.1, HMRC dan SFO/NCA memiliki kewenangan yang sama untuk saling melakukan pertukaran informasi terkait penanganan tindak pidana pajak dan korupsi. SFO/NCA dapat memberikan informasi kepada HMRC jika menemukan indikasi tindak pidana perpajakan dalam kasus yang ditanganinya, begitu pula sebaliknya. Namun pemberian informasi ini bersifat spontaneusly sharing information, yakni masing-masing lembaga tetap dapat memilih untuk memberikan informasi atau tidak.392 Merujuk pada hal tersebut, penanganan perkara

392 Ibid., hlm. 93

Page 125: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

118

tindak pidana perpajakan dan korupsi diserahkan kembali pada masing-masing lembaganya, yakni HMRC dan NCA/SFO. Selain kedua model kerja sama yang disebutkan di atas, bentuk kerja sama yang juga digunakan di Inggris adalah penempatan pegawai suatu lembaga di lembaga lain. Sebagai contoh, HMRC menempatkan pegawainya di Civil Recovery and Tax Team NCA.393 Pegawai tersebut dapat menggunakan informasi perpajakan untuk membantu penanganan kejahatan di lembaga tempat ia ditempatkan.394 Cara ini dianggap efektif untuk meningkatkan keterampilan pegawai tersebut sekaligus membangun relasi dengan pegawai lembaga lain.395 Pegawai tersebut dapat berbagi keterampilan, pengalaman serta pengetahuan secara langsung dengan lembaga dimana ia ditempatkan.396

393 Ibid., hlm. 152

394 Ibid.

395 Ibid.

396 Ibid.

Page 126: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan
Page 127: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

120

4.1.2 Australia Di Australia model kerja sama antara otoritas pajak dan lembaga anti-korupsi mencakup pertukaran informasi, joint investigation, pendidikan dan pelatihan serta pertukaran personil. Pertukaran informasi antara Australian Tax Office (ATO), Australian Federal Police (AFP) dan lembaga lainnya bersifat spontaneusly sharing information, yakni antar-lembaga diperbolehkan mengirimkan data satu sama lain tetapi bukan merupakan suatu kewajiban.398 Diperbolehkannya ATO untuk mengungkap data perpajakan juga diatur dalam Tax Administration Act 1953 (TAA). TAA memperbolehkan ATO mengungkap data perpajakan untuk tujuan penyidikan atas kejahatan dengan ancaman pidana lebih dari 12 bulan atau atas dasar permintaan taskforce399.400 Dalam rangka mendukung pertukaran informasi, pemerintah Australia mendirikan The Australian Criminal Intelligence (ACIC).401 ACIC didirikan dengan tujuan untuk menganalisis berbagai informasi dan berkoordinasi dengan lembaga lain seperti ATO, AFP, Australian Securities and Investments Commission, Attorney General dan sebagainya.402 Kewenangan yang dimiliki ACIC diantaranya adalah menyediakan berbagai informasi, termasuk informasi yang sulit didapatkan serta menjadi pusat data intelijen nasional.403

398 OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 59-60

399 Task force ini merupakan satuan tugas yang terdiri dari ATO, AFP dan lembaga lainnya yang tergabung dalam Serious Financial Crime Task force (SFCT).

400 Inspector General of Taxation, Review Into The ATO’s Fraud Control Management, Chapter 7 – Interagency Collaboration, Poin 7.9, https://igt.gov.au/publications/reports-of-reviews/review-into-the-atos-fraud-control-management-2/chapter-7-interagency-collaboration/, diakses pada 25 Oktober 2019.

401 OECD (3), op.cit., hlm. 140

402 Ibid.

403 Ibid.

Page 128: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

121

Selain ACIC, terdapat juga Fintel Alliance yang dibentuk oleh AUSTRAC (Australian Transaction Reports and Analysis Centre) pada tahun 2017.404 Fintel Alliance merupakan kerja sama antara pemerintah Australia dan sektor privat (publik maupun asing) yang bergerak di bidang penyediaan data, pertukaran informasi dan analisis terkait data keuangan.405 Data tersebut digunakan salah satunya untuk mendukung investigasi dan penuntutan atas tindak pidana serius, pendanaan terorisme dan hal-hal yang bersifat mengancam keamanan nasional.406

Selain pertukaran informasi, Australia juga menggunakan mekanisme kerja sama yang mengizinkan antar-lembaga melakukan penyidikan dan penuntutan bersama melalui joint investigation team.407 Pembentukan joint investigation team dimulai pada tahun 2006 melalui Project Wickenby.408 ATO berperan sebagai pemimpin dalam proyek tersebut dan bekerja sama dengan Australian Crime Commission (selanjutnya berubah menjadi Australian Criminal Intelligence Commission/ACIC), AFP, Australian Securities and Investments Commission, Commonwealth Director of Public Prosecutions, Finance Intelligence Unit (FIU), Attorney-General’s Department dan Australia Government Solicitor.409 Project Wickenby memungkinkan otoritas pajak untuk memberikan informasi perpajakan

404 Australian Transaction Reports and Analysis Centre, Fintel Alliance, https://www.austrac.gov.au/about-us/fintel-alliance, diakses pada 26 Oktober 2019.

405 Ibid.

406 Ibid.

407 OECD (3), op.cit., p. 135. Negara-negara lain yang menggunakan joint investigation team adalah Austria, Azerbaijan, Singapura, US, Denmark, Brazil, Kanada, El Salvador, Jerman, Ghana, Yunani, India, Israel, Finlandia, Jepang, Luxembourg, Belanda, Portugal, Malaysia, Afrika Selatan, Slovenia, Turki, Hungaria, dan Republik Ceko.

408 Ibid. Project Wickenby dibentuk pertama kali untuk melindungi integritas sistem keuangan dan regulasi Australia sekaligus mencegah masyarakat untuk mempromosikan atau ikut serta dalam penyalahgunaan harta kekayaan yang diperoleh secara tidak sah.

409 Ibid.

Page 129: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

122

yang lebih luas kepada tim gabungan untuk digunakan dalam proses investigasi dan menentukan strategi terbaik di masa mendatang.410

Diagram 4.2

Project Wickenby sebagai Kerja Sama Otoritas Perpajakan dengan Penegak Hukum di Australia

Menyusul kesuksesan Project Wickenby, pemerintah Australia kemudian membentuk The Serious Financial Crime Task Force (SFCT) yang terdiri dari AFP, ATO, dan lembaga intelijen, kepolisian serta lembaga penegak

410 Ibid

Page 130: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

123

hukum lainnya.411 SFCT merupakan bagian dari Fraud and Anti-Corruption Centre yang dipimpin oleh AFP.412 Fokus dari SFCT adalah penanganan kejahatan keuangan serius di Australia, yang mana salah satunya terkait perpajakan.413

SFCT fokus pada kegiatan operasional, mengumpulkan data intelijen dan pertukarannya, mengidentifikasi dan menginisasi pembaharuan yang dibutuhkan terkait penanganan tindak pidana pajak, korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya.414 Selain itu, SFCT juga bertugas merampas harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana, termasuk tindak pidana pajak dan korupsi, serta melakukan penuntutan atas kejahatan ekonomi yang serius.415 Proses penuntutan tindak pidana sebagaimana dimaksud dilakukan langsung oleh SFCT dengan melibatkan anggota-anggota yang ada di dalamnya seperti ATO dan AFP, dan bekerja sama dengan organisasi lain.416 Sebagai contoh, dalam penuntutan kasus Issadikis dan Dickson terkait tindak pidana pajak dan pencucian uang, yang diputus oleh New South Wales Supreme Court di tahun 2015, SFCT bersama dengan anggotanya ATO dan AFP, bekerja sama dengan Criminal Assets Confiscation Task Force sukses mengungkap kasus tersebut.417

Subjek yang menjadi target SFCT adalah pihak yang terlibat atau berhubungan dengan serious fraud dan pencucian uang.418 Sejak dibentuk

411 OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 83

412 Ibid.

413 OECD (2), Combatting Tax Crimes More Effectively in APEC Economies, (Paris: OECD, 2019), hlm. 10.

414 Ibid.

415 Ibid.

416 Australian, Tax Office, Justice Served in Largest Ever Prosecuted Tax Fraud, https://www.ato.gov.au/media-centre/media-releases/justice-served-in-largest-ever-prosecuted-tax-fraud/, diakses pada 25 Oktober 2019.

417 Ibid.

418 Ibid. Namun prioritas SFCT saat ini berfokus pada penggelapan pajak, fraud, dana pensiun dan trust.

Page 131: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

124

pada 1 Juli 2015, berikut adalah hasil capaian SFCT yang dirilis pada Juni 2019 lalu:419 a. 284 Surat Penggeledahan diterbitkan;b. 1145 audit selesai dilaksanakan;c. 7 penuntutan ;d. 5 orang terpidana;e. AUD 836 juta kenaikan kewajiban pajak; danf. AUD 306 juta dikembalikan kepada negara.

Mekanisme kerja sama lainnya yang dilaksanakan di Australia adalah melalui program pelatihan bersama antar lembaga yang terlibat dalam penanganan tindak pidana pajak dan korupsi. Program pelatihan yang ditawarkan di antaranya adalah pelatihan khusus bagi petugas pajak untuk mengidentifikasi korupsi dengan berbagai indikator tindak pidana korupsi.420 Selain itu, Australia juga melaksanakan pertukaran penempatan pegawai antar lembaga untuk mengefektifkan pertukaran pengetahuan (transfer of knowledge) di masing-masing lembaga.421 Selain itu, praktik penempatan pegawai di lembaga lain juga mendorong kerja sama yang lebih efektif dan meningkatkan pengalaman serta pemahaman para pegawai terkait tindak pidana perpajakan, korupsi dan sebagainya.422 Selain yang disebutkan di atas, Pemerintah Australia juga aktif melaksanakan diseminasi, berbagi produk intelijen seperti berita serta berkoordinasi satu sama lain terkait kebijakan yang melibatkan lembaga pajak dan anti-korupsi satu sama lain.423

419 Australian Federal Police, Serious Financial Crime Taskforce, https://www.afp.gov.au/what-we-do/crime-types/fraud/serious-financial-crime-taskforce, diakses pada 25 Oktober 2019.

420 OECD (3), op.cit., hlm. 153

421 Ibid., hlm. 17

422 Ibid.

423 Ibid.

Page 132: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

125

Tab

el 4

.2

MO

DEL

PER

TUK

AR

AN

INFO

RM

ASI

AN

TAR

A O

TOR

ITA

S PE

RPA

JAK

AN

D

ENG

AN

PEN

EGA

K H

UK

UM

DI A

UST

RA

LIA

Page 133: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

126

4.1.3 Singapura Menurut Global Competitive Report 2015-2016, kasus korupsi yang berhubungan dengan perpajakan di Singapura terbilang sangat jarang.424 Meski demikian, kerja sama antara otoritas pajak dan lembaga anti korupsi di Singapura dinilai cukup bagus. Salah satu perkara yang menjadi preseden baik dari kerja sama kedua lembaga tersebut adalah kasus korupsi dan pelanggaran pajak yang melibatkan pejabat bea cukai dan warga negara India pada tahun 2014.425 Di Singapura, otoritas yang berwenang melakukan administrasi perpajakan adalah The Inland Revenue Authority of Singapore atau lazim disebut IRAS. IRAS bersama dengan Investigation and Forensics Division (IFD) berwenang melakukan penanganan perkara tindak pidana pajak.426 Dalam praktiknya, penyidikan tindak pidana pajak di Singapura dipimpin oleh Kepala IRAS.427 Namun, Kepala IRAS juga dapat menunjuk petugas pajak lainnya untuk memimpin pelaksanaan penyidikan pajak.428 Sementara itu, untuk perkara tindak pidana korupsi, pihak yang berwenang menanganinya adalah The Corruption Practices Investigation Bureau (CPIB) yang didirikan pada tahun 1952 dan berada di bawah koordinasi Perdana Menteri.429 Direktur CPIB bertanggung jawab langsung terhadap Perdana Menteri terkait pelaksanaan kewenangan tersebut.430

424 GAN Business Anti-Corruption Portal, Singapore Corruption Report,

https://www.ganintegrity.com/portal/country-profiles/singapore/, diakses pada 26 Oktober 2019.

425 Corruption Practices Investigation Bureau, Six Charged for Corrupt and Fraudulent GST Tourist Refund Claims, https://www.cpib.gov.sg/press-room/press-releases/six-charged-corrupt-and-fraudulent-gst-tourist-refund-claims, diakses pada 26 Oktober 2019.

426 Ibid., hlm. 422

427 OECD (4), op.cit., hlm. 76

428 OECD & The World Bank, op.cit, hlm. 26

429 Ibid., hlm. 423

430 OECD & The World Bank, loc.cit.

Page 134: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

127

Kerja sama pertukaran informasi kedua lembaga di Singapura tersebut berbeda dengan Australia maupun Inggris. Jika Inggris dan Australia memperbolehkan otoritas pajak dan lembaga anti-korupsi bertukar data secara langsung walaupun tidak diwajibkan, maka Singapura hanya mengizinkan IRAS mempertukarkan data ke CPIB berdasarkan permintaan431 dan hanya bisa digunakan untuk proses penyidikan/penuntutan.432 Namun demikian, petugas pajak diwajibkan untuk melaporkan kepada kepolisian, kejaksaan atau CPIB, jika menemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi.433 Lebih lanjut, jika petugas kepolisian maupun jaksa menemukan indikasi tindak pidana korupsi, mereka dapat melaporkan hal tersebut kepada CPIB, akan tetapi pelaporan tersebut tidak diwajibkan.434 Sebaliknya, lembaga penegak hukum dapat langsung memberikan informasi atau data jika menemukan adanya indikasi tindak pidana perpajakan kepada IRAS, tetapi hal tersebut tidak diwajibkan.435

431 Ibid., hlm. 59-60. Baca juga OECD (3), op.cit., hlm. 77.

432 Ibid., hlm. 424-425.

433 Ibid., hlm. 78.

434 Ibid., hlm. 99

435 Ibid., hlm. 93

Page 135: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

128

Diagram 4.3

Skema Kerja sama Otoritas Perpajakan dengan Penegak Hukum di Singapura

Penanganan perkara tindak pidana pajak dan korupsi dilakukan secara terpisah oleh masing-masing lembaga yang berwenang yakni IRAS dan CPIB. Akan tetapi jika perkara yang ditangani terdapat indikasi tindak pidana korupsi dan pajak yang saling berhubungan, maka kedua lembaga tersebut dapat saling bekerja sama dalam penanganan perkara, contohnya kasus korupsi dan pelanggaran perpajakan yang melibatkan petugas bea cukai dan 4 (empat) orang warga negara India.436 Pada kasus tersebut, IRAS dan Kantor Bea Cukai Singapura mendeteksi adanya pelanggaran perpajakan terhadap Pajak Konsumsi.437 Keduanya kemudian melakukan penyelidikan lebih lanjut dan menemukan keterlibatan petugas bea cukai dalam kasus tersebut.438 Kasus ini kemudian

436 Corruption Practices Investigation Bureau, loc.cit.

437 Ibid.

438 Ibid.

Page 136: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

129

dilimpahkan ke CPIB untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut.439 Sampai dengan putusan dijatuhkan, IRAS bersama dengan Kantor Bea Cukai bekerja sama dengan CPIB secara intensif dalam penanganan kasus tersebut.440 Oleh pengadilan, petugas bea cukai dinyatakan terbukti menerima gratifikasi dan membantu 4 warga negara India melakukan klaim palsu atas Pajak Konsumsi.441 Gambaran mengenai praktik kerja sama di atas menunjukkan terpisahnya penanganan tindak pidana pajak dan korupsi, tidak menutup kemungkinan dilakukannya kerja sama di antara kedua lembaga tersebut untuk menangani perkara secara bersama-sama. Di sisi lain, dari putusan yang dijatuhkan, membuka ruang penggabungan penuntutan atas kedua tindak pidana tersebut, sepanjang keduanya saling berhubungan satu sama lain. Metode kerja sama yang dikembangkan untuk penanganan tindak pidana pajak dan korupsi lainnya adalah melalui pemberian pelatihan (training). Praktik pemberian training diberikan kepada pegawai CPIB untuk memahami indikator tindak pidana pajak.442 Training ini diberikan dalam pendidikan dasar CPIB maupun dalam pelatihan berkala yang diselenggarakan CPIB.443

439 Ibid.

440 Ibid. Dalam Putusan yang dirilis Court 26, petugas bea cukai Singapura terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa penerimaan gratifikasi sebesar $11.400,00 dan pelanggaran pajak konsumsi karena membantu 4 orang WN India melakukan klaim pengembalian Pajak Konsumsi secara curang. Sedangkan 4 orang WN India terbukti memberikan gratifikasi dan mengajukan klaim palsu atas pajak konsumsi.

441 Ibid.

442 OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 72

443 Ibid.

Page 137: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan
Page 138: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

131

4.2 Kerja Sama yang Dikembangkan KPK dengan Kementerian/ Lembaga

4.2.1 Model Kerja Sama KPK dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

Kerja sama antara KPK dan PPATK dimulai sejak tahun 2011, yang ditandai dengan adanya Nota Kesepahaman di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pemberantasan tindak pidana korupsi.444 Adapun ruang lingkup Nota Kesepahaman tersebut meliputi:445 a. pertukaran informasi; b. perumusan produk hukum; c. intersepsi atau penyadapan; d. penanganan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian

uang; e. penelitian dan sosialisasi; f. pendidikan dan pelatihan; dan g. pengembangan sistem teknologi informasi. Kerja sama tersebut bermula pada keinginan intelijen PPATK membantu penyidikan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang ditangani oleh KPK.446 Hingga pada akhirnya kerja sama tersebut disahkan melalui Nota Kesepahaman di antara kedua belah pihak.447 Dalam kerja sama tersebut, masing-masing pihak, yakni KPK dan PPATK memiliki pejabat penghubung dalam rangka pelaksanaan Nota Kesepahaman tersebut. Pejabat penghubung KPK diwakili oleh Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Antar Instansi (PJKAKI)448, sementara itu

444 Iman Santoso (1), Wawancara, disampaikan di Direktorat PJKAKI-KPK, 17 Oktober 2019

445 Nota Kesepahaman antara KPK dan PPATK, Pasal 2.

446 Santoso (1), loc.cit.

447 Ibid.

448 Nota Kesepahaman antara KPK dan PPATK, op.cit., Pasal 13 ayat (1)

Page 139: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

132

PPATK diwakili oleh Direktur Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat (KSHM).449 Sebagaimana diuraikan di atas, salah satu bentuk kerja sama kedua lembaga tersebut adalah pertukaran informasi yang dilakukan melalui sistem online yang disebut Secure Online Communication (SOC).450 Yang dipertukarkan dalam pertukaran informasi berupa data enquiry dan informasi pro-aktif.451 Informasi enquiry adalah informasi yang diberikan karena adanya permintaan dari KPK.452 Di sisi lain, informasi pro-aktif merupakan informasi yang diberikan oleh PPATK kepada KPK tanpa adanya permintaan dari KPK, tetapi atas inisiatif dari PPATK langsung.453 Informasi pro-aktif diperoleh melalui berbagai sumber yakni: a. Informasi hasil analisis PPATK yang bersumber dari Laporan

Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM);454 b. Informasi hasil analisis mandiri PPATK terhadap kasus-kasus tindak

pidana korupsi yang ditangani oleh KPK.455 Dalam hal ini, PPATK memantau kasus-kasus yang sedang ditangani KPK melalui berbagai media dan melakukan analisis mandiri tanpa permintaan KPK;456

449 Ibid., Pasal 13 ayat (2).

450 Santoso (1), loc.cit.

451 Ibid.

452 Ibid.

453 Ibid.

454 Ibid. Pasal 1 angka 5 UU TPPU menentukan kriteria transaksi keuangan mencurigakan yakni:

1. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan;

2. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan UU TPPU;

3. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dnegan menggunaka Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau

4. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.

455 Ibid.

456 Ibid.

Page 140: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

133

c. Informasi yang disampaikan oleh bank-bank kepada PPATK, tanpapermintaan PPATK (LTKM Pro-Aktif).457 Informasi tersebut biasanyadisampaikan apabila ada transaksi keuangan milik pelaku tindakpidana korupsi yang sedang ditangani KPK.458 Bank-bank tersebutberinisiatif melaporkan transaksi keuangan tersebut kepada PPATKuntuk ditindaklanjuti dan disampaikan ke KPK.459

Prosedur pelaksanaan pertukaran informasi diawali dengan pengajuan surat permintaan data kepada PPATK yang ditandatangani oleh Komisioner KPK.460 Surat tersebut dikirimkan melalui Direktorat PJKAKI-KPK kepada Direktorat Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat PPATK.461 Setelah diterima oleh PPATK, maka Direktorat Kerja Sama dan Hubungan masyarakat akan mendisposisi surat permintaan tersebut kepada analis PPATK untuk menganalisis informasi yang diminta oleh KPK.462

Informasi yang sudah dianalisis oleh analis PPATK kemudian dikirimkan ke Direktorat PJKAKI-KPK melalui Direktorat Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat PPATK,untuk selanjutnya disampaikan pada divisi terkait.463 Pengajuan surat permintaan informasi dan informasi yang dipertukarkan dilakukan melalui SOC.464

457 Ibid.

458 Ibid.

459 Ibid.

460 Ibid. Lihat juga Indonesia (2), Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor PER-08/1.02/PPATK/05/2013 tentang Permintaan Informasi Ke Pusar Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Pasal 6 ayat (1)

461 Santoso (1), loc.cit.

462 Ibid.

463 Ibid.

464 Ibid.

Page 141: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

134

Selain melalui jalur formal sebagaimana di atas, dalam praktiknya pertukaran informasi antara KPK dan PPATK juga dilakukan secara informal. Dalam hal ini, pihak KPK seperti penyidik biasanya berkomunikasi langsung dengan analis PPATK.465 Namun data yang diperoleh melalui informasi informal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti oleh penyidik KPK, tetapi hanya sebagai informasi intelijen saja.466

Bentuk komunikasi informal tersebut dapat juga digunakan apabila KPK mengajukan pemintaan analisis lanjutan di PPATK atas kasus yang sebelumnya sudah dimintakan analisisnya.467 Komunikasi secara intens melalui jalur informal tersebut dilakukan untuk meminimalkan kesalahan dan miskomunikasi terhadap data yang dianalisis oleh PPATK.468 Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan analisis pada tahap awal suatu perkara dengan analisis lanjutan atas kasus tersebut.469 Kondisi tersebut disebabkan karena analis yang ditugaskan menganalisis informasi tersebut berbeda dengan analis awal.470 Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hal tersebut,

465 Ibid.

466 Ibid.

467 Ibid.

468 Ibid.

469 Ibid.

470 Ibid.

Diagram 4.4 Alur Proses Pertukaran Data KPK dan PPATK

Page 142: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

135

dilakukan komunikasi secara informal agar dapat tertangani dengan baik. Pertukaran informasi tersebut tidak hanya dilakukan sepihak atas permintaan KPK terhadap PPATK, tetapi juga sebaliknya. Keduanya dapat saling memberitahukan informasi yang diterima untuk mendukung penanganan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.471

4.2.1.1 Pembelajaran Pelaksanaan Kerja Sama KPK dengan PPATK

Pelaksanaan pertukaran informasi antara KPK dan PPATK bukanlah tanpa tantangan. Sejumlah tantangan kerap dihadapi oleh KPK dan PPATK antara lain meliputi: a. Miskomunikasi antara penyidik KPK dan analis PPATK sehingga data

analisis PPATK tidak sesuai dengan kasus yang ditangani oleh penyidik KPK dan sebaliknya.472 Kondisi tersebut biasanya terjadi dalam hal permintaan analisis lanjutan dari KPK ke PPATK.473 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hal ini bisa terjadi karena analis yang ditugaskan untuk menganalisis data lanjutan berbeda dengan analis awal, atau karena perbedaan tahun periode antara data analisis awal dan analisis lanjutan.474

b. Anggapan bahwa data yang dikirimkan dari PPATK lama pengirimannya. Penyebab lamanya pengiriman tersebut umumnya disebabkan oleh beberapa faktor yakni: a) tidak semua data transaksi dilaporkan ke PPATK;475 b) Data yang dimiliki PPATK sebatas pada yang dilaporkan lembaga keuangan bank dan non-bank dan datanya

471 Ibid.

472 Ibid.

473 Ibid.

474 Ibid.

475 Indonesia (28), op.cit., Pasal 23 ayat (1). Data transaksi yang wajib dilaporkan kepada PPATK meliputi: a) Transaksi Keuangan Mencurigakan; b) Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 hari kerja; dan/atau c) Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri.

Page 143: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

136

tidak rinci;476 c) Kecepatan waktu pengiriman tergantung pada masing-masing lembaga keuangan bank dan non-bank;477 d) Format laporan yang disampaikan oleh lembaga keuangan bank dan non-bank ke PPATK berbeda-beda;478 dan e) Kualitas data yang dilaporkan masih rendah, misalnya ada data berbentuk hardcopy atau berupa data scan namun tulisan tidak terlalu jelas terbaca.479

c. Upaya permintaan data ke Bank Pembangunan Daerah (BPD) jika kasus korupsi melibatkan Kepala Daerah setempat biasanya memakan waktu lama dan cukup sulit. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena Kepala Daerah juga menjabat sebagai komisaris BPD, sehingga terjadi conflict of interest.480

Untuk menghadapi tantangan tersebut, beberapa upaya yang dilakukan KPK dan PPATK yakni melalui pelaksanaan komunikasi secara intensif baik secara formal maupun non-formal.481 Selain itu, kedua lembaga tersebut juga melaksanakan bedah kasus bersama dalam setiap perkara yang ditangani.482 Pelaksanaan bedah kasus tersebut meminimalisir terjadinya miskomunikasi di antara kedua belah pihak, sekaligus membantu menentukan langkah strategis dalam penanganan perkara jika ditemukan kesulitan.483 KPK dan PPATK juga melaksanakan evaluasi bersama atas kerja

476 Shirlay Santosa, Analisis Perbandingan PPATK (Pusat Pelaporan Analisa Transaksi

Keuangan) Di Indonesia dengan FinCEN (Financial Crimes Enforcement Network) di Amerika Serikat, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hlm. 74.

477 Santoso (1), loc.cit.

478 Ibid.

479 Ibid. Baca juga Wahyu, Murtinanto, Kualitas Laporan Pihak Pelapor ke PPATK Harus Ditingkatkan, https://economy.okezone.com/read/2019/09/12/320/2104179/kualitas-laporan-pihak-pelapor-ke-ppatk-harus-ditingkatkan, diakses pada 25 Oktober 2019.

480 Santoso (1), loc.cit.

481 Ibid.

482 Ibid.

483 Ibid.

Page 144: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

137

sama yang telah dilaksanakan, paling sedikit satu tahun sekali atau sewaktu-waktu jika diperlukan.484

4.2.2 Kerja Sama KPK dengan DJP Sebagaimana telah dibahas pada pembahasan sebelumnya, salah satu upaya memaksimalkan penerimaan negara adalah melalui pembebanan kewajiban perpajakan atas harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi. Maraknya kasus yang melibatkan tindak pidana korupsi dan perpajakan membuat KPK dan DJP akhirnya bergerak untuk menjalin koordinasi dan kerja sama kedua lembaga, khususnya di sektor perpajakan dengan memaksimalkan penerimaan negara.485

Kerja sama antara KPK dan DJP dimulai sejak 23 Februari 2005, ditandai dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman yang menyebutkan bahwa KPK berwenang meminta data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait sesuai UU KPK.486 Ruang lingkup Nota Kesepahaman tersebut meliputi:487

a. tukar-menukar data dan/atau informasi; b. bantuan oleh KPK kepada DJP dalam mendukung pelaksanaan

pemeriksaan dan penyidikan tindak pidana perpajakan; c. bantuan DJP kepada KPK untuk mendukung pelaksanaan

penyidikan, penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan Wajib Pajak;

d. penugasan pegawai KPK pada DJP dan sebaliknya; e. penunjukan pejabat penghubung (liaison officer); f. sosialisasi UU KPK dan peraturan perundang-undangan terkait; g. pendidikan, pelatihan dan magang/pertukaran staf;

484 Nota Kesepahaman, op.cit., Pasal 18 ayat (2).

485 Abba Gabrilin, Bahas Kerja Sama Antar Lembaga, Dirjen Pajak Temui Pimpinan KPK, https://nasional.kompas.com/read/2017/08/08/14094741/bahas-kerja-sama-antarlembaga-dirjen-pajak-temui-pimpinan-kpk, diakses pada 27 Oktober 2019.

486 Joyo (3), loc.cit.

487 Nota Kesepahaman Antara KPK dan DJP tentang Kerjasama Dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi dan Tindak Pidana Perpajakan, Pasal 3.

Page 145: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

138

h. kajian sistem; i. distribusi LHKPN; dan j. distribusi formulir gratifikasi.

KPK dapat memberikan bantuan kepada DJP dalam melakukan analisis pelanggaran tindak pidana korupsi terhadap wajib pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan atau penyidikan tindak pidana perpajakan.488 Bantuan tersebut bisa diberikan dalam bentuk pendapat ataupun tertulis berdasarkan permintaan DJP.489 Begitu pula dengan DJP terhadap KPK, DJP dapat memberikan analisis pelanggaran perpajakan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Wajib Pajak.490 Bantuan tersebut diberikan dalam bentuk pendapat atau masukan tertulis atas dasar permintaan KPK.491

Nota Kesepahaman tersebut juga menjelaskan tata cara pelaksanaan pertukaran data dan/atau informasi antara KPK dan DJP. Langkah pertama dimulai dengan adanya pengajuan permintaan data dan/atau informasi dari masing-masing pihak yang dilengkapi dengan tujuan penggunaan data dan/atau informasi tersebut.492 Permintaan data dan/atau informasi tersebut dilakukan melalui surat tertulis yang ditandatangani masing-masing oleh Direktur Jenderal Pajak atau Pimpinan KPK atau pejabat yang telah ditunjuk oleh masing-masing instansi.493 Surat tersebut kemudian dikirimkan ke KPK atau DJP melalui pejabat penghubung yang telah ditunjuk.494 Untuk konfirmasi atau penjelasan lebih lanjut atas permintaan

488 Ibid., Pasal 7 ayat (1).

489 Ibid., Pasal 7 ayat (2) jo. Ayat (3).

490 Ibid., Pasal 6 ayat (1).

491 Ibid., Pasal 6 ayat (2) jo. Ayat (3).

492 Ibid., Pasal 4 ayat (5).

493 Ibid., Pasal 4 ayat (2).

494 Ibid., Pasal 4 ayat (6).

Page 146: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

139

data maupun data yang telah diberikan, akan dilakukan melalui Pejabat Penghubung yang telah ditunjuk.495

Diagram 4.5 Alur Pertukaran Data dan/atau Informasi KPK dan DJP

Data dan/atau informasi yang diberikan KPK kepada DJP mencakup: a) laporan pengaduan masyarakat yang berindikasi penggelapan pajak; b) hasil penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK yang berindikasi penggelapan pajak; c) laporan kekayaan penyelenggara negara; dan d) informasi lain yang diperlukan DJP untuk melakukan pemeriksaan dan penyidikan tindak pidana perpajakan atau berkaitan dengan perpajakan.496 Sedangkan data DJP yang dapat diberikan kepada KPK berupa: a) NPWP untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; b) data dan/atau informasi perpajakan tersangka atau terdakwa tindak pidana

495 Ibid.,

496 Ibid., Pasal 4 ayat (3).

Data/Informasi yang

dimintakan diproses/dia

nalisis di KPK/DJP

Data/Informasi KPK/DJP

dikirimkan ke Pejabat

Penghubung

Data/Informasi dari KPK/DJP diterima oleh

Pejabat Penghubung

Pejabat Penghubung mengirimkan

data/informasi ke Direktorat di

KPK/DJP

Penyampaian kebutuhan data /informasi dan

tujuan penggunaannya dari Direktorat

di KPK/DJP

Pejabat Penghubung di

KPK/DJP menerima

rincian kebutuhan dan

Surat Permohonan

ditandatangani Pimpinan

KPK/Dirjen Perpajakan/Peja

b t

Pejabat Penghubung mengirimkan

Surat Permohonan ke

KPK/DJP

Surat permohonan diterima KPK/DJP

Page 147: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

140

korupsi; dan c) hasil pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak yang menunjukkan adanya indikasi tindak pidana korupsi.497

Keberlakuan Nota Kesepahaman antara KPK dan DJP tidak berbatas waktu tertentu, tetapi hanya mengatur bahwa sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan kebutuhan.498 Dengan demikian, maka sebenarnya Nota Kesepahaman tersebut masih berlaku hingga saat ini. Sayangnya, tidak banyak pegawai KPK dan DJP yang mengetahui adanya Nota Kesepahaman tersebut.499 Kondisi tersebut menyebabkan belum berjalan efektifnya model kerja sama sebagaimana diatur dalam Nota Kesepahaman tersebut.500

Terlepas dari Nota Kesepahaman tersebut, dalam praktiknya kerja sama kedua institusi tersebut sebenarnya sudah dilakukan dalam berbagai kasus, baik melalui pertukaran informasi dan penanganan perkara bersama. Selama ini pertukaran data dan informasi antara KPK dan DJP dilakukan secara formal yakni melalui surat permintaan resmi maupun non-formal melalui komunikasi langsung.501 Sedangkan penanganan perkara bersama menggunakan beberapa model kerja sama seperti penunjukkan tenaga ahli KPK di DJP dan pelibatan ahli pajak DJP dalam penyidikan di KPK.

Bentuk pertukaran informasi yang dilakukan melalui surat pemintaan contohnya adalah pada penanganan kasus E-KTP. Di penanganan kasus E-KTP, Unit Labuksi KPK membantu proses penyidikan untuk melakukan asset tracing, yang salah satunya dilakukan dengan mengirimkan surat permintaan resmi yang ditujukan kepada Menteri Keuangan terkait permintaan data PPh, PPn, SPT dan tax amnesty.502 Surat jawaban dari

497 Ibid., Pasal 4 ayat (4).

498 Iman Santoso (2), Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04 November 2019. Lihat juga, Nota Kesepahaman Antara KPK dan DJP, Pasal 12 ayat (2).

499 Ibid.,

500 Ibid.,

501 Ibid.,

502 Fatma, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok

Page 148: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

141

Kementerian Keuangan menyatakan bahwa Unit Labuksi KPK seharusnya mengirimkan surat tersebut kepada KPP yang dituju.503 Tetapi ketika dikonfirmasi ke KPP terkait, ternyata belum ada koordinasi dari pusat kepada KPP tersebut untuk permintaan data.504 Proses permintaan data tersebut setidaknya memakan waktu 2-3 bulan505, padahal jangka waktu yang dimiliki Unit Labuksi untuk membantu penyidikan hanya 120 hari.506 Data perpajakan yang diminta oleh Unit Labuksi termasuk perusahaan-perusahan yang terlibat dalam kasus E-KTP baru diterima ketika proses penyidikan selesai.507 Jika saja data perpajakan tersebut dapat diterima lebih awal, maka aset negara yang diselamatkan juga akan semakin banyak.508

Selain menggunakan surat permintaan, bentuk kerja sama lain yang pernah dilakukan misalnya ketika KPK diizinkan oleh DJP menggunakan SPT dalam penanganan Kasus Korupsi Kotak Suara, dengan syarat yang spesifik bahwa penyidik yang membaca SPT harus berlatar belakang pendidikan akuntansi.509 Selain itu dalam kasus Korupsi Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, KPP Pratama setempat pernah mengajukan surat permintaan data kepada KPK, yang mana daftar data yang dimintakan berasal dari informasi yang diperoleh dari media massa.510 Wawan diketahui hanya melaporkan pajak dalam SPT nya sebesar Rp . 1.800.00,00, padahal KPK berhasil menyita

Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019

503 Ibid.,

504 Ibid.,

505 Ibid.,

506 Ibid.,

507 Ibid.,

508 Ibid.,

509 Sujanarko, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019

510 Nexio, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.

Page 149: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

142

12 mobil mewah miliknya.511 KPP Pratama tersebut kemudian membebankan pajak atas hasil tindak pidana korupsi yang dimiliki Wawan untuk memenuhi target penerimaan pajak.512

Pertukaran data dan informasi secara non-formal yang dilakukan KPK dan DJP biasanya dilakukan melalui komunikasi langsung karena adanya kedekatan personal.513 Namun pertukaran data dan informasi secara non-formal memiliki beberapa kelemahan. Pertama, karena pelaksanaannya bergantung pada orang yang dikenal, akibatnya ketika orang tersebut dipindahtugaskan maka pertukaran data dan informasi menjadi terganggu bahkan terhenti.514 Selain itu, data yang diperoleh melalui proses non-formal tersebut tidak bisa digunakan sebagai alat bukti, melainkan hanya sebagai data intelijen.515

Walaupun dalam praktiknya kerja sama KPK dan DJP sudah banyak dilakukan, tetapi hal tersebut bukanlah tanpa kendala. Pembahasan mengenai pertukaran data dan informasi antara KPK dan DJP sebelumnya pernah dibahas di tahun 2015, tetapi terkendala oleh ketentuan Pasal 34 UU KUP mengenai kerahasiaan data perpajakan.516 Ketentuan tersebut menyebutkan larangan bagi fiskus (pegawai) pajak untuk memberikan informasi data perpajakan kepada pihak lain, dikecualikan bagi pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam pengadilan atau yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk melakukan

511 Sujanarko., loc.cit.,

512 Nexio, loc.cit.,

513 Budhi Santoso, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019. Baca juga, Santoso (1), loc.cit.,

514 Tsani, Anafari, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019

515 Santoso (1), loc.cit.,

516 Aulia, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.

Page 150: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

143

pemeriksaan di bidang keuangan negara.517 Kewenangan pemberian data perpajakan untuk pemeriksaan pengadilan perkara pidana yang berhubungan dengan masalah perpajakan, hanya dapat diberikan oleh Menteri Keuangan dengan permintaan tertulis hakim ketua sidang.518 Dengan kata lain, pegawai pajak tidak diizinkan memberikan informasi data perpajakan tanpa izin Menteri Keuangan dan permintaan tersebut hanya dapat dilakukan ketika sudah masuk dalam tahap penuntutan, bukan di tahap penyelidikan dan penyidikan.

Ketentuan tersebut membuat banyak pegawai pajak tidak bisa memberikan informasi data perpajakan ke sembarang pihak, karena jika ketentuan itu dilanggar maka yang dikenakan hukuman adalah pegawai pajak itu sendiri.519 Selain itu, kepada siapa data perpajakan diberikan juga menjadi penekanan dalam Pasal 34 UU KUP. Alasan mengapa data perpajakan dirahasiakan adalah adanya kekhawatiran Menteri Keuangan mengenai pemberian informasi data perpajakan yang diberikan kepada pihak yang tidak bertanggungjawab.520

Terkait dengan kepentingan penegakan hukum, Harkristuti Harkrisnowo menyatakan bahwa pelanggaran Pasal 34 UU KUP dianggap melanggar asas non-self incrimination.521 Pasalnya data perpajakan yang diberikan Wajib Pajak seharusnya hanya untuk kepentingan perpajakan, bukan kepentingan lainnya seperti penegakan hukum.522 Pelanggaran asas non-self incrimination terjadi ketika data perpajakan digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. Namun jika data perpajakan diposisikan sebagai data

517 Indonesia (20), Pasal 34 ayat (1) jo. Ayat (2a).

518 Ibid, Penjelasan Pasal 34 ayat (4)

519 Pontas, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.

520 Sigit, Danang Joyo (4), Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.

521 Ibid.,

522 Ibid.,

Page 151: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

144

intelijen bukan sebagai alat bukti, seharusnya data tersebut dapat dipertukarkan.523

Dalam faktanya, Pasal 34 UU KUP pernah dilanggar oleh pegawai pajak terkait SPT milik Eddy B Yudhoyono, tetapi tidak pernah ditindaklanjuti karena adanya kebingungan antara kepolisian dan DJP dalam melakukan penanganan perkara.524 Pihak kepolisian menyatakan bahwa yang berwenang menangani perkara pelanggaran Pasal 34 UU KUP adalah penyidik pajak sesuai ketentuan UU KUP.525 Begitu pula dengan DJP yang menyatakan bahwa penyidik pajak hanya melakukan penyidikan perpajakan terkait perhitungan perpajakan yang harus dibebankan saja.526 Hingga saat ini tidak ada tindak lanjut atas pelanggaran Pasal 34 UU KUP tersebut.

Selain pertukaran informasi, model kerja sama KPK dan DJP lainnya adalah penanganan perkara bersama yakni melalui penunjukkan tenaga ahli KPK di DJP dan pelibatan ahli pajak DJP dalam penyidikan. Penunjukan tenaga ahli KPK di DJP dilakukan pada penanganan perkara pajak di Kasus Asian Agri, yang mana tenaga ahli KPK ditunjuk langsung dalam surat penugasan bersama dengan penyidik pajak.527 Tenaga ahli KPK bersama dengan penyidik pajak bersama-sama dalam melakukan penanganan kasus Asian Agri.528 Sebagai tenaga ahli yang ditunjuk, tenaga ahli KPK bebas

523 Robby, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.

524 Joyo (4), loc.cit., Salah satu contoh pelanggaran Pasal 34 UU KUP adalah ketika SPT milik Eddy Yudhoyono dibuka oleh salah satu fiscus pajak, dan perkara tersebut dilaporkan ke Kepolisian. Kepolisian menyatakan bahwa yang berwenang menangani perkara tersebut adalah Penyidik Pajak sesuai UU KUP. Namun Penyidik Pajak menyatakan bahwa penyidikan yang mereka lakukan hanya terkait perhitungan perpajakan.

525 Ibid.,

526 Ibid.,

527 Robby., loc.cit.,

528 Ibid.,

Page 152: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

145

mendapatkan informasi data perpajakan untuk kepentingan penanganan perkara.529

Model kerja sama penunjukkan tenaga ahli seperti contoh di atas juga dilakukan DJP bersama BPH Migas dan BPKP di sektor Migas.530 Model kerja sama ketiganya dituangkan dalam bentuk PMK Nomor 34/PMK.03/2018.531 DJP, BPH Migas dan BPKP membentuk Satgas Pemeriksaan Bersama yang berwenang melakukan pemeriksaan bersama atas kewajiban bagi hasil dan PPh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas, dengan tujuan agar pemeriksaan lebih efisien dan menghindari sengketa.532 Tim pemeriksa Satgas Pemeriksaan Bersama dapat berasal dari tenaga ahli yang ditunjuk dari institusi yang tergabung dalam satgas tersebut.533 Melalui penunjukkan tersebut, tenaga ahli dapat mengakses data perpajakan sesuai dengan kepentingan pemeriksaan, karena tidak ada keterikatan kerahasiaan data.534

Kerja sama antara KPK dan DJP lainnya yang sudah sering dilaksanakan adalah pelibatan ahli pajak DJP dalam penyidikan perkara korupsi di KPK.535 Ahli pajak DJP biasanya dilibatkan untuk perhitungan penghasilan resmi atau perhitungan harta terkait tindak pidana pencucian uang di tahap penyidikan.536 Akan tetapi, setelah tahap penyidikan selesai tidak ada

529 Joyo (4)., loc.cit.,

530 Irawan, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.

531 Ibid.,

532 Rizki, Alika, Tiga Institusi Kerja Sama, Pemeriksaan PPh Migas Bisa Selesai 4 Bulan, https://katadata.co.id/berita/2018/04/04/tiga-institusi-kerja-sama-pemeriksaan-pph-migas-selesai-dalam-4-bulan, diakses pada 09 November 2019.

533 Indonesia (7), Peraturan Menteri Keuangan Keuangan Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Bersama Atas Pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Berbentuk Kontrak Bagi Hasil Dengan Pengembalian Biaya Operasu di Bidang Usaha Hulu Migas, Permenkeu Nomor 34/PMK.03/2018, Pasal 8 huruf e.

534 Tunjung, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.

535 Joyo (4)., loc.cit.,

536 Ibid.,

Page 153: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

146

koordinasi lebih lanjut terkait penanganan perkara.537 Kedepannya akan lebih baik jika KPK juga memberikan informasi mengenai data aset yang lebih dilakukan tracing kepada DJP untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.538 Atau seminimal-minimalnya, aset-aset tersebut juga termasuk yang diperhitungkan oleh ahli pajak DJP dan dituangkan di dalam BAP, meskipun tidak dijadikan pertimbangan di dalam perkara.539 Jika perhitungan aset tersebut disebutkan dalam BAP ahli pajak dan dicantumkan di dalam putusan, maka akan mempermudah DJP dalam melakukan pemeriksaan lebih lanjut atas aset tersebut.540

Selain kedua model penanganan perkara bersama di atas, penanganan perkara tindak pidana korupsi dan perpajakan pernah juga dilakukan oleh Kejaksaan dan DJP yakni berupa penggabungan dakwaan tindak pidana korupsi dan perpajakan terhadap Widjokongko Puspoyo alias Djoko Puspoyo di tahun 2007-2008.541 Pada kasus Djoko Puspoyo, kerja sama antara Kejaksaan dan DJP dimulai sejak tahap penyidikan, dimana Kejaksaan melakukan penyidikan atas perkara korupsi sedangkan DJP melakukan penyidikan penggelapan pajak PT. ABIL yang dilakukan oleh Djoko Puspoyo.542 Hasil penyidikan DJP kemudian diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk digabungkan dengan perkara korupsi menjadi satu berkas penuntutan.543 Penuntut Umum mendakwa Djoko Puspoyo dengan dakwaan kumulatif, yakni dakwaan kesatu terkait gratifikasi menggunakan Pasal 11 UU Tipikor dan dakwaan kedua menggunakan Pasal 39 ayat (1) huruf

537 Ibid.,

538 Ibid.,

539 Ibid.,

540 Ibid.,

541 Ibid.,

542 Syamsuria, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.

543 Ibid., Lihat juga Hans, Henricus B, Widjokongko Jadi Tersangka Pengemplang Pajak Rp 5 Miliar, http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=316&q=widjokongko%20puspoyo&hlm=1, diakses pada 09 November 2019.

Page 154: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

147

a UU KUP mengenai penggelapan pajak.544 Selaku Direktur Investasi PT. ABIL, Djoko Puspoyo terbukti membantu Widjanarko Puspoyo (Direktur Utama Perum BULOG) menerima hadiah dari rekanan bulog dalam pengadaan Beras Nasional yang ditransfer ke rekening PT. ABIL untuk selanjutnya ditransfer ke rekening Widjanarko Puspoyo.545 Sedangkan untuk dakwaan penggelapan pajak, Djoko Puspoyo terbukti dengan sengaja tidak mendaftarkan diri dan tidak menyampaikan SPT ke DJP selama PT. ABIL menjalankan usahanya.546

Akan tetapi, penggabungan dakwaan tersebut dapat dilakukan karena Kasus Djoko Puspoyo terjadi sebelum UU Pengadilan Tipikor disahkan.547 Merujuk pada ketentuan UU Pengadilan Tipikor, penggabungan dakwaan tersebut tidak dimungkinkan lagi, karena yurisdiksi pengadilan tindak pidana korupsi hanya meliputi tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal dan tindak pidana dalam undang-undang lain dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi.548 Di sisi lain, tindak pidana perpajakan juga tidak diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi dalam UU KUP, sehingga penggabungan dakwaan korupsi dan pajak tidak bisa lagi dilakukan saat ini.

4.2.2.1 Pembelajaran Pelaksanaan Kerja Sama KPK dengan DJP

Beberapa hambatan yang muncul dalam pelaksanaan kerja sama antara KPK dan DJP diantaranya adalah sebagai berikut:

544Ali, Dakwaan Widjokongko Salah Sasaran?,

https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18065/dakwaan-widjokongko-salah-sasaran/, diakses pada 09 November 2019.

545 Kejaksaan, Republik Indonesia, Perkara Yang Menarik Perhatian: Perkara Tindak Pidana Korupsi a.n Terdakwa Widjanarko Puspoyo (Kasus BULOG), https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=24&idsu=15&idke=0&hal=1&id=1269&bc=, diakses pada 09 November 2019. Lihat juga Putusan Mahkamah Agung Nomor 1066 K/Pid.Sus/2008, hlm. 3.

546 Ibid.,

547 Ibid.,

548 Indonesia (31), Pasal 6.

Page 155: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

148

a. Nota Kesepahaman antara KPK dan DJP tidak tersosialisasi denganbaik. Sebagai konsekuensinya, banyak pegawai di kedua belah pihakyang tidak mengetahui adanya Nota Kesepahaman tersebut. Di sisilain, Nota Kesepahaman juga perlu diperbaharui dan disesuaikandengan undang-undang yang berlaku, khususnya terkait Pasal 34 UUKUP mengenai kerahasiaan data perpajakan yang baru dicantumkandalam UU KUP di tahun 2007.549

b. Pelibatan ahli maupun analis DJP dalam kasus tindak pidana korupsiyang ditangani KPK hanya sebatas menghitung penghasilan resmiatau perhitungan harta terkait tindak pidana pencucian uang di tahappenyidikan.550 Setelah tahap penyidikan biasanya tidak adakoordinasi lebih lanjut.551

c. Proses permintaan data dan/atau informasi dari KPK ke DJPmemakan waktu yang lama yakni bisa mencapai 2-3 bulan.552 Hal initidak seimbang dengan batas waktu penyidikan korupsi di KPK yanghanya 120 hari553, sehingga seringkali data perpajakan baru diterimaketika proses penyidikan selesai.554

d. Pertukaran data dan/atau informasi terkendala karena Pasal 34 UUKUP mengenai kerahasiaan data perpajakan. Jika Pasal 34 UU KUPdilanggar maka yang dijatuhi hukuman adalah pegawai pajaksendiri.555 KPK hanya bisa mengakses data perpajakan jika

549 Anugerah, Rizki Akbari, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019.

550 Joyo (3), loc.cit. Lihat juga, Joyo (4), loc.cit.

551 Ibid.

552 Fatma, loc.cit.,

553 Ibid., Baca juga Budhi, A Nugraha, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04 November 2019.

554 Ibid.,

555 Pontas, loc.cit.,

Page 156: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

149

ditempatkan sebagai tenaga ahli yang ditunjuk Menteri Keuangan di DJP, sebagai contoh di Kasus Asian Agri.556

e. Penempatan tenaga ahli KPK di DJP sifatnya hanya penanganan perkasus. Akibatnya penempatan tenaga ahli tersebut tidakberkesinambungan dan akan berakhir pada saat penanganan perkaraselesai.557

f. DJP tidak melakukan pemeriksaan terhadap semua SPT yangdilaporkan.558 Pemeriksaan dilakukan hanya jika ada IDLP terhadapSPT, hasil compliance risk menyatakan ketidaksesuaian pelaporanSPT559 atau jika ditemukan data atau informasi yangmenginformasikan sebaliknya.560 Dengan kata lain, DJP tidak bisasecara inisiatif melakukan pemeriksaan sendiri atas SPT yangdilaporkan.

g. Belum diperbaharuinya jenis data dan informasi apa saja yang dapatdipertukarkan oleh KPK dan DJP. Walaupun di Nota Kesepahamansudah disebutkan jenis data dan informasi yang dapat dipertukarkan,tetapi penting untuk diidentifikasi kembali kebutuhan kedua belahpihak. Hal ini penting mengingat bahwa di KPK terdapat data daninformasi yang tidak bisa dibagikan kepada pihak lain karena kasustersebut berisiko tinggi.561

h. Tidak dimungkinkannya penggabungan penuntutan perkara korupsidan pajak karena yurisdiksi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hanyaberlaku untuk tindak pidana korupsi, TPPU dan tidak mencakuppajak.562

556 Joyo (4), loc.cit., Lihat juga Indonesia (20), Pasal 34 ayat (2a).

557 Tsani, Anafari, loc.cit.,

558 Yuli Kristijono et. al., Wawancara, disampaikan di Direktorat Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Jakarta, 23 Oktober 2019.

559 Ibid.

560 Dahliana Hasan, Potensi Pengembalian Kerugian Pendapatan Negara dari Sisi Perpajakan, disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Santika Yogyakarta, 10 Oktober 2019.

561 Santoso (1), loc.cit

562 Arsil, loc.cit.

Page 157: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

150

4.3 Model Kerja Sama KPK dan DJP untuk Optimalisasi Pembebanan Kewajiban Perpajakan terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi

Untuk menjawab tantangan kerja sama di atas, OECD pernah merekomendasikan mekanisme kerja sama terhadap penanganan tindak pidana pajak dan korupsi yang mencakup beberapa metode yakni joint investigation team, pertukaran informasi, pertukaran personel antar lembaga, pelatihan hingga pelaksanaan diseminasi bersama.563

1) Pembentukan Peraturan Bersama Kementerian Keuangan dan KPKtentang Penanganan Perkara Bersama

Berkaca dari praktik kerja sama otoritas perpajakan dengan penegak hukum di Inggris dan Australia, keduanya sukses dalam melakukan penanganan kejahatan keuangan serius, yang mana salah satunya terkait perpajakan.564 Selain itu, kerja sama antara otoritas perpajakan dan penegak hukum juga dapat memberikan dampak psikologis yang besar bagi Wajib Pajak untuk mendorong kepatuhan perpajakan mereka.565

Untuk mendorong suksesnya penanganan perkara korupsi dan perpajakan di Indonesia, maka penting untuk melegitimasi kerja sama KPK dan DJP

563 OECD (3), op.cit., hlm. 132-133.

564 OECD (2), op.cit., hlm. 10. Lihat juga Australian Federal Police, Serious Financial Crime Taskforce, loc.cit.

565 Joyo (4), loc.cit.

Dari berbagai metode yang direkomendasikan, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam pelaksanaan kerja sama antara KPK dan DJP yakni pembentukan Peraturan Bersama Kementerian Keuangan dan KPK tentang penanganan perkara bersama yang didalamnya memuat pertukaran informasi, pendidikan dan pelatihan, penempatan personel di lembaga lain serta evaluasi rutin.

Page 158: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

151

dalam bentuk Peraturan Bersama antara Menteri Keuangan dan Pimpinan KPK tentang penanganan perkara bersama.566 Ruang lingkup Peraturan Bersama tersebut hanya akan memuat mengenai penanganan perkara bersama, pertukaran data dan informasi KPK dan DJP dan penempatan personil.567 Sedangkan lingkup kerja sama lainnya seperti sosialisasi, pelatihan tidak perlu dimasukkan karena sudah diatur di dalam Nota Kesepahaman KPK dan DJP di tahun 2005.568

Selain itu, untuk memastikan kerja sama KPK dan DJP berjalan dengan baik maka perlu ditentukan pejabat penghubung kedua lembaga tersebut.569 Sedangkan untuk teknis pertukaran informasi, maka kedepannya perlu dibentuk satuan tugas atau satgas (task force).570 Melalui task force maka DJP dapat memberikan data dan informasi serta analisis data perpajakan terhadap kasus yang sedang ditangani KPK.571 Begitu pula sebaliknya, jika penyidik KPK menemukan indikasi tindak pidana pajak atau aspek perpajakan lainnya maka bisa menyampaikan informasi tersebut ke DJP melalui task force.572

Pertukaran informasi bisa dilakukan melalui online system seperti yang dilakukan oleh KPK dan PPATK573 atau bisa juga menggunakan melalui email yang terenkripsi sehingga penggunaan dan penyebarannya terbatas pada pihak-pihak yang berkepentingan.574 Namun demikian, kedepannya penting untuk mengidentifikasi jenis data-data apa saja yang dapat dipertukarkan oleh KPK dan DJP dengan memperhatikan pengecualian-

566 Joyo (4), loc.cit.

567 Ibid.,

568 Ibid.,

569 Ibid.,

570 Ibid.,

571 Robby, loc.cit.

572 Joyo (4)., loc.cit.

573 Santoso (1), loc.cit.,

574 Ibid.

Page 159: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

152

pengecualian, seperti tidak semua data terkait tindak pidana korupsi dapat dibagikan kepada instansi lain, khususnya terhadap kasus-kasus berisiko tinggi.575 Identifikasi data apa yang dipertukarkan sebaiknya ditentukan bersama oleh tim penyusun Peraturan Bersama KPK dan DJP.576

Membahas mengenai pertukaran data dan informasi, dalam praktiknya hal tersebut bukanlah sesuatu hal yang baru bagi KPK maupun DJP. Pertukaran data dan informasi sudah dilakukan DJP bersama dengan BPH Migas dan BPKP yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 34/PMK.03/2018.577 Sedangkan KPK bersama dengan 27 Kementerian/Lembaga juga telah bekerja sama terkait pertukaran data dan informasi di sektor SDA melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesai (GNP-SDA).578

DJP, BPH Migas dan BPKP tergabung sebagai tim pemeriksa yang disebut Satgas Pemeriksaan Bersama.579 Satgas tersebut bertugas melaksanakan pemeriksaan bersama untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Bagi Hasil dan PPh Migas.580 Pada pelaksanaan pemeriksaan bersama, anggota tim pemeriksa dapat saling melakukan pertukaran dan konfirmasi data untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat581, yang mana salah satunya adalah data dan informasi perpajakan. Data dan informasi yang diperoleh wajib dijaga kerahasiaanya dan hanya dapat ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing-masing instansi.582 Berdasarkan hal tersebut, jika bentuk kerja sama KPK dan DJP dituangkan dalam regulasi mengikat

575 Ibid.

576 Joyo (4), loc.cit.,

577 Irawan, loc.cit.,

578 Anti, Corruption Clearing House, Evaluasi GNP-SDA 2018, https://acch.kpk.go.id/id/evaluasi-gnp-sda-2018, diakses pada 11 November 2019.

579 Indonesia (7), Pasal 8 huruf d. Tim pemeriksa ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan dengan masa kerja paling lama 3 (tiga) tahun.

580 Ibid, Pasal 4 ayat (1).

581 Ibid., Pasal 30 ayat (1). Lihat juga Irawan, loc.cit.,

582 Ibid., Pasal 30 ayat (2).

Page 160: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

153

seperti yang dilakukan DJP, BPH Migas dan BPKP maka kendala kerahasiaan data perpajakan dapat diatasi.

Selain DJP, KPK juga melakukan kerja sama di sektor Sumber Daya Alam (SDA) bersama 27 Kementerian/Lembaga yang dituangkan dalam Nota Kesepakatan Bersama (NKB) Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesai (GNP-SDA) pada 19 Maret 2015.583 Salah satu upaya yang dilakukan KPK-GNP-SDA adalah pertukaran data dan informasi untuk membangun sistem informasi yang terintegrasi sebagai instrumen pengendalian di sektor SDA.584

Lebih lanjut, untuk teknis penanganan perkara bersama, KPK dan DJP bisa merujuk pada praktik baik yang dilaksanakan di Inggris, Australia maupun Singapura. Namun untuk menentukan model kerja sama yang tepat maka perlu dikaji kembali lebih dalam dengan menyesuaikan pada ketentuan yang berlaku, khususnya karena perbedaan hukum acara tindak pidana korupsi dan perpajakan.

Jika Indonesia ingin merujuk pada praktik di Inggris, maka antara KPK dan DJP dapat bekerja sama membentuk task force (satgas) dan membentuk sebuah gateway untuk menyediakan berbagai berbagai informasi yang telah diolah oleh satgas, seperti model Joint Financial Analysis Centre (JFAC) di Inggris. Sedangkan untuk penanganan perkara tindak pidana korupsi dan perpajakan akan diserahkan kembali pada masing-masing instansi yakni KPK dan DJP.

Model kerja sama seperti diatas mirip dengan kerja sama yang telah dilakukan KPK dan PPATK. Pertukaran data dan informasi keduanya dilakukan melalui sistem online yang disebut SOC (secure online communication), yang dikelola oleh pejabat penghubung di kedua instansi tersebut.585 Pertukaran informasi melalui online system tersebut dirasa

583 Anti, Corruption Clearing House, loc.cit.,

584 Komisi, Pemberantasan Korupsi (4), Nota Sintesis: Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, https://www.kpk.go.id/images/berita-media/Nota_Sintesis_GNPSDA.pdf, diaksea pada 11 November 2019.

585 Santoso (1), loc.cit.,

Page 161: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

154

cukup efektif karena cenderung praktis, tidak memakan waktu dan dapat diakses darimana saja.586 Bedanya dengan model kerja sama di Inggris adalah penanganan perkara hanya bisa ditangani oleh KPK, baik itu perkara korupsi maupun tindak pidana pencucian uang. Sedangkan PPATK hanya berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Transaksi Keuangan Mencurigakan terkait indikasi tindak pidana pencucian uang dan mengoordikasikannya dengan penyidik untuk dilakukan penyidikan.587

Selain opsi model kerja sama di atas, contoh penanganan perkara bersama tindak pidana korupsi dan perpajakan juga dapat merujuk pada Australia. Seperti yang dibahas sebelumnya, bahwa otoritas pajak Australia (ATO) bersama penegak hukum lainnya membentuk The Serious Financial Crime Task Force (SFCT)588 untuk melakukan penanganan perkara bersama di bidang kejahatan keuangan serius seperti perpajakan, korupsi, tindak pidana pencucian uang dan kejahatan ekonomi lainnya.589 Proses penuntutan tindak pidana sebagaimana dimaksud dilakukan langsung oleh SFCT.590 Berdasarkan data Australian Federal Police (AFP) 2019, angka pengembalian pajak ke negara dari hasil penanganan perkara oleh SFCT cukup signifikan yakni mencapai AUD 836 juta sedangkan jumlah yang berhasil dikembalikan kepada negara AUD 306 juta.591

Walaupun model kerja sama yang dilakukan SFCT Australia mencapai hasil yang signifikan, tetapi model tersebut tidak memungkinkan diterapkan di Indonesia. Penanganan perkara tindak pidana pajak sangat berbeda dengan proses yang ditentukan untuk tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi di Indonesia ditangani dengan prosedur beracara yang digunakan dalam hukum acara pidana, sedangkan tindak pidana perpajakan menggunakan prosedur yang telah diatur dalam UU KUP. Selain itu, terdapat kewenangan

586 Ibid.,

587 Indonesia (28), Pasal 64.

588 OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 83.

589 OECD (2), loc.cit,

590 Australian, Tax Office, loc.cit.,

591 Australian, Federal Police, Serious Financial Crime, loc.cit.,

Page 162: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

155

penyidikan antara tindak pidana korupsi dan perpajakan. Wewenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi hanya bisa dilakukan oleh POLRI, Kejaksaan dan KPK. Sedangkan tindak pidana pajak dilakukan oleh PPNS di lingkungan DJP.592

Di sisi lain, penggabungan penuntutan perkara korupsi dan pajak seperti yang dilakukan SFCT, tidak bisa diterapkan karena adanya batasan yurisdiksi pengadilan tindak pidana korupsi. Yurisdiksi pengadilan tindak pidana korupsi hanya terbatas pada tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal dan tindak pidana dalam undang-undang lain dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi.593 Selain itu, UU KUP juga tidak mengklasifikasikan tindak pidana perpajakan sebagai tindak pidana korupsi, sehingga penggabungan tuntutan korupsi dan pajak tidak bisa dilakukan.

Di Singapura, penanganan perkara tindak pidana korupsi dan perpajakan oleh otoritas pajak (IRAS) dan lembaga anti korupsi (CPIB) dilakukan tanpa adanya gateway maupun satgas khusus. IRAS dan CPIB melakukan pertukaran data dan informasi secara langsung terkait indikasi tindak pidana korupsi dan perpajakan, dengan penanganan perkara yang dilakukan secara terpisah oleh masing-masing lembaga.594 Namun, baik IRAS dan CPIB tetap dapat saling bekerja sama dalam penanganan perkara korupsi dan perpajakan yang saling berhubungan.595

Mengacu pada praktik di Singapura, KPK dan DJP dapat saling melalukan pertukaran data dan informasi terkait indikasi tindak pidana korupsi dan perpajakan, dengan tetap memperhatikan ketentuan yang berlaku.596 Walaupun penangangan perkara oleh KPK dan DJP dilakukan secara terpisah, tetapi keduanya dapat saling bekerja sama dalam penanganan

592 Indonesia (20), Pasal 44 ayat (1).

593 Indonesia (31), Pasal 6.

594 OECD & The World Bank, op.cit., hlm. 59-60. Baca juga OECD (3), op.cit., hlm. 77.

595 Corruption Practices Investigation Bureau, loc.cit.

596 Ketentuan yang berlaku salah satunya adalah mengenai kerahasiaan data perpajakan sebagaimana Pasal 34 UU KUP.

Page 163: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan
Page 164: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan
Page 165: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

158

Internal risk environment • Legal structures that could be used to facilitate tax crime

• Business methods that could conceal income or facilitate tax crime

• History of tax evasion or tax crime Transactions • Bribe payment to a domestic or foreign

official • Suspicious payment to a public official

not part of their normal income stream • Assets that have not been declared to

the tax authority • Foreign or hidden accounts

Payments and money flows • Payments or money flows with an unusual or unclear source/destination

• Payments with suspicious terms

Outcomes of transactions • Companies that are permanent loss-makers

• Unusual outcomes, or destroyed/incomplete records

Receiving a bribe • Receiving a corrupt payment 3) Penempatan Personil di Lembaga lain Pelaksanaan penempatan personil di lembaga lain merupakan salah satu bentuk kerja sama yang sudah lazim dilaksanakan di Indonesia, salah satunya oleh KPK dan Kejaksaan. Kejaksaan dapat menempatkan Penuntut Umum di KPK atas permintaan dari KPK yang disampaikan secara lisan dan tertulis begitu pula sebaliknya.599 Selain saling membantu dalam

599 Indonesia (1), Kerjasama Antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan

Republik Indonesia Dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Keputusan Bersama Ketua

Page 166: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

159

pemberantasan tindak pidana korupsi, penempatan personil di lembaga lain juga bertujuan meningkatkan kapasitas kemampuan KPK dan Kejaksaan.600

Praktik penempatan personil tersebut, juga pernah dilakukan oleh KPK dan DJP. Dalam Kasus Asian Agri, tenaga ahli KPK ditugaskan bersama dengan penyidik pajak dalam surat penugasan untuk membantu DJP melakukan pemeriksaan pajak.601 Selain itu, masa kepemimpinan Chandra Hamzah, penempatan pegawai KPK di DJP juga pernah dilakukan dan berlangsung selama 2-3 bulan.602 Pegawai KPK yang ditempatkan di DJP juga mendapatkan akses informasi data perpajakan secara bebas.603

Berdasarkan hal tersebut, maka penempatan personil KPK dan DJP di masing-masing lembaga berpotensi dapat dilaksanakan. Penempatan pegawai DJP di KPK dan sebaliknya diharapkan dapat meningkatkan kerja sama dan pemahaman mengenai tindak pidana korupsi dan perpajakan semakin meningkat.604 Dengan kerja sama tersebut, maka memberikan dampak psikologis yang besar terhadap kepatuhan Wajib Pajak.605 Namun dalam pelaksanaan hal tersebut harus diperhatikan mengenai jangka waktu serta keperluannya, serta jumlah personil yang akan ditempatkan.606

4) Evaluasi Rutin

Untuk melihat progress pelaksanaan kerja sama antara KPK dan DJP, maka dapat diselenggarakan evaluasi rutin. Mencontoh dari yang dilaksanakan KPK dan PPATK, maka KPK dan DJP dapat melaksanakan evaluasi bersama

Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor 11/KPK-KEJAGUNG/XII/2005, Nomor: KEP-347/A/J,A/12/2005, Ps. 5 huruf b,c, dan d.

600 Ibid., Ps. 2.

601 Robby, loc.cit.,

602 Aminudin, Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Pembebanan Kewajiban Pajak Terhadap Peningkatan Kekayaan Hasil Tindak Pidana Korupsi, disampaikan pada pada Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Harris Sentul - Bogor, 04-06 November 2019

603 Ibid.,

604 Pontas, loc.cit.,

605 Pontas, loc.cit.,

606 Ibid., Ps. 5 huruf b dan c.

Page 167: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

160

paling sedikit satu tahun sekali atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Melalui pelaksanaan evaluasi rutin diharapkan kedua instansi tersebut mampu mengidentifikasi tantangan dan kendala selama pelaksanaan kerja sama. Sekaligus menemukan upaya terbaik untuk menghadapi tantangan dan kendala yang ditemukan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi dan pajak.

Page 168: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

161

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis terhadap permasalahan dalam kajian ini, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Peningkatan harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidanakorupsi dapat dilihat sebagai Objek Pajak Penghasilan (PPh). Halini karena UU PPh menganut prinsip pemajakan atas penghasilandalam pengertian luas dimana pengenaan jenis pajak iniberhubungan dengan tambahan kemampuan ekonomis WajibPajak yang digunakan untuk kepentingan konsumsi maupunmenambah kekayaan individu atau badan yang menjadi subjekpajak PPh., dari manapun asalnya. Sepanjang syarat yangditentukan Pasal 4 UU PPh terpenuhi, terlepas penghasilan tersebut merupakan penghasilan yang sah atau tidak, maka kekayaan yangdemikian dapat dibebankan Pajak Penghasilan.

2. Berbagai jenis pidana yang memiliki konsekuensi finansial terhadap pelaku tindak pidana korupsi, seperti pidana denda, pembayaranuang pengganti dan sebagainya, merupakan bentuk hukuman yangdiberikan kepada terpidana, baik dalam konteks pidana pokokmaupun tambahan. Sifat yang demikian berbeda dengan maksuddan tujuan dari pembebanan kewajiban perpajakan yang diletakkan terhadap harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.Sebagaimana diketahui, pajak merupakan pungutan yang wajibdibayarkan kepada Negara oleh individu maupun badan yangmenjadi subjek pajak. Pengenaan pajak tidak bisa dilihat sebagaisebuah hukuman yang diberikan Negara melalui institusi pajakkepada rakyat, melainkan sebagai kontribusi warga negara untukmembiayai fungsi-fungsi publik yang dijalankan warga negara.Sebagai konsekuensinya, apabila harta yang diperoleh dari tindakpidana korupsi dirampas oleh Negara sebagai bagian dari pidanatambahan yang dijatuhkan hakim kepada pelaku, Negara masih

Page 169: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

162

dibenarkan untuk memungut pajak atas peningkatan kekayaan pelaku yang berasal dari korupsi tersebut.

3. Penagihan kewajiban perpajakan tidak bisa dimasukkan ke dalam dakwaan atau tuntutan tindak pidana korupsi. Postulat nulla poena sine lege yang dikemukakan Anselm von Feurbach harus diterapkan secara konsisten, dimana tidak boleh ada hukuman (pidana) yang diterapkan kepada pelaku selain dari apa yang telah dicantumkan dalam undang-undang. Sehubungan dengan hal tersebut, UU Tipikor tidak mengenal kewajiban pembayaran pajak sebagai salah satu bentuk hukuman yang dapat dikenakan terhadap pelaku korupsi. Sehingga penuntut umum tidak bisa memasukkannya sebagai bagian dari tuntutan yang akan dimohonkan kepada hakim. Jika pun kewajiban pembayaran pajak akan dimasukkan pada dakwaan sebagai bagian dari “kerugian negara atau kerugian perekonomian negara”, maka harus dikonstruksikan terbatas sebagai salah satu fakta yang mendukung pemenuhan unsur tindak pidana korupsi yang dilakukan pelaku.

4. Penuntutan kembali terhadap pelaku tindak pidana korupsi atas delik perpajakan yang dilakukannya tidak bertentangan dengan asas ne bis in idem. Pasalnya, tindak pidana korupsi dan tindak pidana pajak bukan merupakan satu perbuatan yang sama. Diterimanya uang korupsi dan kesengajaan tidak melaporkan ‘penghasilan’ yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi kepada otoritas pajak merupakan dua perbuatan (feit) yang berbeda. Niat jahat kedua perbuatan tersebut tidak bisa disamakan satu dengan yang lainnya. Selain itu, tempus delicti pada dua perbuatan tersebut juga berbeda, sehingga harus dipandang sebagai kejahatan yang berdiri sendiri-sendiri.

5. Penanganan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pajak memiliki hukum acara yang berbeda. Kasus tindak pidana korupsi akan ditangani dengan menggunakan ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP dan berbagai ketentuan spesifik terkait tindak pidana korupsi. Sementara, tindak pidana pajak menggunakan prosedur yang telah diatur dalam UU KUP. Selain

Page 170: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

163

itu, yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi hanya POLRI, Kejaksaan dan KPK, sedangkan untuk tindak pidana pajak yang diberikan wewenang menangani perkara adalah PPNS di lingkungan DJP. Di tahap pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan tindak pidana pajak, perkara dapat dihentikan apabila pelaku mengakui kesalahannya dan bersedia membayar jumlah pajak yang tidak/kurang bayar beserta dendanya. Selain itu, yurisdiksi pengadilan tindak pidana korupsi hanya meliputi pemeriksaan perkara korupsi, tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi. UU KUP sendiri tidak mengklasifikasikan tindak pidana pajak sebagai tindak pidana korupsi. Dengan demikian penggabungan dakwaan atau penuntutan tindak pidana korupsi dan pajak tidak bisa dilakukan.

6. Mekanisme kerja sama antara KPK dan DJP sudah diinisiasi sejaktahun 2005 melalui Nota Kesepahaman. Namun tidak banyakpegawai KPK dan DJP yang mengetahui adanya nota kesepahamantersebut, sehingga kerja sama kedua pihak belum berjalan efektif.Kerja sama KPK-DJP saat ini dilakukan baik secara formal dannormal. Secara formal kerja sama tersebut dilakukan melalui suratpemintaan data dan informasi yang ditujukan ke MenteriKeuangan. Sayangnya kerja sama secara formal dengan model inimemakan waktu yang cukup lama. Sedangkan secara non-formal,biasanya dilakukan melalui komunikasi langsung karena adanyakedekatan personal. Permintaan data dan informasi secara non-formal memiliki kelemahan yakni bergantung pada sosok yangdikenal. Akibatnya jika orang tersebut dipindahtugaskan makapertukaran data dan informasi dapat terganggu bahkan terhenti.Selain pertukaran data dan informasi, model kerja sama yangpernah dilakukan KPK dan DJP antara lain penunjukan tenaga ahliKPK Bersama dengan penyidik pajak dalam pemeriksaan perkaraAsian Agri dan pelibatan ahli pajak DJP dalam penyidikan korupsidan pencucian uang di KPK.

Page 171: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

164

5.2 Rekomendasi Saran yang dapat diberikan terhadap hasil pembahasan dalam kajian ini adalah:

1. Dalam rangka mengefektifkan kerja sama antara KPK dan DJP maka perlu disusun Peraturan Bersama antara Menteri Keuangan dan Pimpinan KPK tentang penanganan perkara bersama. Di dalam peraturan bersama tersebut akan memuat mengenai penanganan perkara bersama, pertukaran informasi dan penempatan personil antara kedua belah pihak tersebut. Untuk penentuan model kerja sama, identifikasi data dan informasi yang dipertukarkan, serta teknis pertukaran informasi akan ditentukan oleh tim penyusun peraturan bersama yang melibatkan KPK dan DJP.

2. Kerja sama bentuk lainnya, seperti pendidikan dan pelatihan serta evaluasi rutin dapat diatur didalam Nota Kesepahaman yang pernah disusun antara KPK dan DJP. Agar menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku saat ini, maka terhadap Nota Kesepahaman KPK dan DJP perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian.

3. Rekomendasi terhadap perubahan UU Pengadilan Tipikor, khususnya mengenai kewenangan pengadilan tindak pidana korupsi. Pembatasan kewenangan pengadilan Tipikor akan menghalangi kemungkinan penggabungan perkara antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana selain korupsi, contohnya seperti tindak pidana pajak. Dengan memperluas rumusan kewenangan pengadilan tindak pidana korupsi maka memungkinkan penggabungan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain.

Page 173: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

166

BBC. 2019. RKUHP: Hukuman Koruptor Makin Enteng, ‘Korupsi Makin Marak’. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49589230. Diakses pada 2 Oktober 2019.

Bureau, Corruption Practice Investigation. 2014. Six Charged for Corrupt and

Fraudulent GST Tourist Refund Claims. https://www.cpib.gov.sg/press-room/press-releases/six-charged-corrupt-and-fraudulent-gst-tourist-refund-claims. Diakses pada 26 Oktober 2019.

Buscaglia, Eduardo dan Jan van Dijk. 2003. Controlling organized crime and

corruption in the public sector. New York: United Nations, Forum on Crime and Society.

Center for Social and Economic Research & Barcelona Institute for. 2018.

Study and Reports on the VAT Gap in the EU-28 Member States: 2018 Final Report. Warsaw: Institute for Advanced Studies.

Centre, Australian Transaction Reports and Analysis. 2017. Fintel Alliance.

https://www.austrac.gov.au/about-us/fintel-alliance. Diakses pada 26 Oktober 2019.

Coopers, Pricewaterhouse (PwC). 2015. Tax and Legal News,6. PwC. Commission, European. 2019. VAT GAP.

https://ec.europa.eu/taxation_customs/business/tax-cooperation-control/vat-gap_en. Diakses pada 19 September 2019.

Cowdery, Nicholas. 2017. Explainer: How Proceeds-of-Crime Law works in

Australia. https://theconversation.com/explainer-how-proceeds-of-crime-law-works-in-australia-78600. Diakses pada 27 September 2019.

Crowe, Martin T. 1944. The Moral Obligation of Paying Just Taxes.

Washington: The Catholic University of America Studies in Sacred Theology.

D, Edgeworth. 2004. Assets Forfeiture: Practice and Procedure in State and

Federal Courts. Chicago: American Bar Association, Criminal Justice Section.

Page 174: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

167

Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. 2019. Buku Informasi

APBN 2019. https://www.kemenkeu.go.id/media/11213/buku-informasi-apbn-2019.pdf. Diakses pada 3 September 2019.

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. 2019. Bea Materai.

https://www.pajak.go.id/id/bea-meterai-0. Diakses pada 29 September 2019.

Fidel. 2015. Tindak Pidana Perpajakan dan Amandemen Undang-Undang KUP, PPh, PPN, Pengadilan Pajak. Jakarta: PT Carofin Media.

Gabrillin, Abba (1). 2017. Bahas Kerja Sama Antar Lembaga, Dirjen Pajak

Temui Pimpinan KPK. Dalam https://nasional.kompas.com/read/2017/08/08/14094741/bahas-kerja-sama-antarlembaga-dirjen-pajak-temui-pimpinan-kpk. Diakses pada 27 Oktober 2019.

Gabrillin, Abba (2). 2018. PT. Jasa Marga dan Rekanan Habiskan Rp 107 Juta

untuk Biaya Hiburan Malam Auditor BPK. https://nasional.kompas.com/read/2018/02/13/15355661/pt-jasa-marga-dan-rekanan-habiskan-rp-107-juta-untuk-biaya-hiburan-malam. Diakses pada 1 Oktober 2019.

Gabrillin, Abba (3). 2018. Setya Novanto Dituntut 16 Tahun Penjara.

https://nasional.kompas.com/read/2018/03/29/16091791/setya-novanto-dituntut-16-tahun-penjara?page=all. Diakses pada 21 September 2019.

GAN Business Anti-Corruption Portal. 2019. Singapore Corruption Report.

https://www.ganintegrity.com/portal/country-profiles/singapore/. Diakses pada 26 Oktober 2019.

German Supreme Tax Court Judgment, IX R26/4, 16 June 2015. Gnaedinger, Charles. 2008. News Analysis: Facilitating Payment vs. Bribes

Under the Tax Law. https://www.millerchevalier.com/sites/default/files/resources/TaxAnalysts.pdf. Diakses pada 25 September 2019.

Page 175: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

168

Hadjon, Philipus. 1994. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hasan, Dahliana. 2019. Potensi Pengembalian Kerugian Pendapatan Negara

dari Sisi Perpajakan, disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Santika Yogyakarta, 10 Oktober 2019.

Hiariej, Eddy O.S. 2014. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya

Atma Pustaka.

House, Anti Corruption Clearing House. 2018. Evaluasi GNP-SDA 2018, https://acch.kpk.go.id/id/evaluasi-gnp-sda-2018, diakses pada 11 November 2019.

Husein, Yunus. 2019. Optimalisasi Pemulihan Kerugian Negara dengan Pembebanan Kewajiban Pajak dalam Tipikor. Disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun di Komisi Pemberantasan Korupsi. Jakarta, 23 Mei 2019.

Indonesia (1). Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan

Jaksa Agung Republik Indonesia tentang Kerja sama Antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Nomor 11/KPK-KEJAGUNG/XII/2005, Nomor: KEP-347/A/J,A/12/2005.

Indonesia (2). Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan tentang Permintaan Informasi Ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, PERKA PPATK Nomor PER-08/1.02/PPATK/05/2013.

Indonesia (3). Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Pidana

Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi, BN Nomor 2014 Tahun 2014, TBN Nomor 8.

Indonesia (4). Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia tentang Tata Cara Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara Pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, Permenkumham Nomor 16 Tahun 2014, BN Nomor 876 Tahun 2014.

Page 176: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

169

Indonesia (5). Peraturan Menteri Keuangan Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Permenkeu Nomor 35/PMK.010/2017 sebagaimana diubah dengan PERMENKEU Nomor 86/PMK.010/2019.

Indonesia (6). Peraturan Menteri Keuangan Jenis Kendaraan Bermotor yang

dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pemberian Pembebasan dari Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Permenkeu Nomor 64/PMK.011/2014 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.010/2017 tentang, BN Nomor 360 Tahun 2017.

Indonesia (7). Peraturan Menteri Keuangan Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Bersama Atas Pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Berbentuk Kontrak Bagi Hasil Dengan Pengembalian Biaya Operasi di Bidang Usaha Hulu Migas, Permenkeu Nomor 34/PMK.03/2018

Indonesia (8). Peraturan Pemerintah Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Republik Indonesia. PP Nomor 39 Tahun 2016. LN Nomor 199 Nomor 2016. TLN Nomor 5935.

Indonesia (9). Peraturan Pemerintah Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan

Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Komisi Pemberantasan Korupsi. PP Nomor 54 Tahun 2019. LN Nomor 140 Tahun 2019. TLN Nomor 6370.

Indonesia (10). Peraturan Pemerintah Perubahan Tarif Bea Meterai dan

Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang dikenakan Bea Meterai. PP Nomor 24 Tahun 2000. LN Nomor 51 Tahun 2000, TLN Nomor 3950.

Indonesia (11). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan. PERPPU Nomor 8 Tahun 1962. LN Nomor 42 Tahun 1962. TLN Nomor 2469

Indonesia (12). Peraturan Presiden Pembaruan Sistem Administrasi

Perpajakan. Perpres Nomor 40 Tahun 2018.

Page 177: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

170

Indonesia (13). Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Biaya “Entertainment” Dan Sejenisnya (Seri PPh Umum 18). SE Dirjen Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986.

Indonesia (14). Surat Edaran Jaksa Agung Indonesia Pembuatan Surat

Dakwaan. SEJA Nomor SE-004/JA/11/1993. Indonesia (15). Undang-Undang Bea Meterai. UU Nomor 13 Tahun 1985. LN

Nomor 69 Tahun 1985. TLN Nomor 3313. Indonesia (16). Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan. UU Nom0r 21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang LN Nomor 130 Tahun 2000. TLN Nomor 3988.

Indonesia (17). Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 8 Tahun

1981. LN Nomor 76 Tahun 1981. TLN Nomor 3258. Indonesia (18). Undang-Undang Hukum Pidana. UU Nomor 1 Tahun 1946.

LN Nomor ... Tahun 1946. TLN Nomor ... Indonesia (19). Undang-Undang Kejaksaan. UU Nomor 16 Tahun 2004. LN

Nomor 67 Tahun 2004. TLN Nomor 4401 Indonesia (20). Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan. UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009. LN Nomor 62 Tahun 2009. TLN Nomor 4999

Indonesia (21). Undang-Undang Keuangan Negara. UU Nomor 17 Tahun

2003. LN Nomor 47 Tahun 2003. TLN Nomor 4286 Indonesia (22). Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. UU Nomor 30 Tahun 2002 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 19 Tahun 2019. LN Nomor 197 Tahun 2019. TLN Nomor 6409.

Indonesia (23). Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. UU Nomor 12

Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994. LN Nomor 62 Tahun 1994. TLN Nomor 3569.

Page 178: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

171

Indonesia (24). Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. UU

Nomor 28 Tahun 2009. LN Nomor 130 Tahun 2009. TLN Nomor 5049. Indonesia (25). Undang-Undang Pajak Penghasilan. UU Nomor 7 Tahun 1983

sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008. LN Nomor 133 Tahun 2008. TLN Nomor 4893.

Indonesia (26). Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa

dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. UU Nomor Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009. LN Nomor 150 Tahun 2009. TLN Nomor 5069.

Indonesia (27). Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU

Nomor 31 Tahun 1999. LN Nomor 140 Tahun 1999. TLN Nomor 3874. Indonesia (28). Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang. UU Nomor Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. LN Nomor 122 Tahun 2010. TLN Nomor 5164.

Indonesia (29). Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak. UU

Nomor 20 Tahun 1997. LN Nomor 43 Tahun 1997. TLN Nomor 3687 Indonesia (30). Undang-Undang Darurat Pengusutan, Penuntutan, dan

Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. UU Darurat Nomor Nomor 7 Tahun 1955. LN Nomor 27 Tahun 1955. TLN Nomor 801.

Indonesia (31). Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. UU

Nomor 46 Tahun 2009. LN Nomor 155 Tahun 2009. TLN Nomor 5074. Inspector General of Taxation. 2019. Review Into The ATO’s Fraud Control

Management. https://igt.gov.au/publications/reports-of-reviews/review-into-the-atos-fraud-control-management-2/chapter-7-interagency-collaboration/. Diakses pada 25 Oktober 2019.

Irawan, Dhani. 2018. Hukuman Pidana hingga Denda Koruptor Lebih Rendah di RKUHP. https://news.detik.com/berita/d-3911927/hukuman-

Page 179: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

172

pidana-hingga-denda-koruptor-lebih-rendah-di-rkuhp. Diakses pada 2 Oktober 2019.

Jannah, Selfie Miftahul. 2019. Sri Mulyani Bicara Strategi Peningkatan Tax

Ratio. https://tirto.id/sri-mulyani-bicara-strategi-peningkatan-tax-ratio-eenk. Diakses pada 3 September 2019.

Joyo (1), Sigit Danang. 2019. Optimalisasi Pemulihan Kerugian Negara Dalam

Perkara Tipikor Melalui Pembebanan Kewajiban Perpajakan. Disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun di Komisi Pemberantasan Korupsi. Jakarta, 23 Mei 2019.

Joyo (2), Sigit Danang. 2019. Tindak Pidana Perpajakan. Jakarta: Sekolah

Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Disampaikan pada mata kuliah Tindak Pidana Tertentu II terhadap Harta, Perekonomian, dan Kehormatan.

Julianto, Pramdia Arhamto. 2018. Penerimaan Perpajakan 2017 Capai Rp 1.339

Triliun, https://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/02/184405726/penerimaan-perpajakan-2017-capai-rp-1339-triliun?page=all. Diakses pada 3 September 2019.

Kanter, E.Y dan S.R Sianturi. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerapannya. Jakata: PT Storia Grafika. Kementerian Keuangan (1). 2019. Mengenal Rasio Pajak Indonesia.

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/mengenal-rasio-pajak-indonesia/. Diakses pada 3 September 2019.

Kementerian Keuangan (2). 2019. Pengembalian PPN.

https://www.kemenkeu.go.id/page/pengembalian-ppn/. Diakses pada 29 September 2019.

United Kingdom (1). 2002. The Finance Act 2002. United Kingdom (2). 2002. Proceeds of Crime Act 2002.

http://www.legislation.gov.uk/ukpga/2002/29/data.pdf. United Kingdom (3). 2010. The Bribery Act 2010.

Page 180: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

173

Komisi Pemberantasan Korupsi (1). 2019. Keuangan Negara: Fokus Kedua

Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. https://stranaspk.kpk.go.id/id/fokus-aksi/keuangan-negara. Diakses pada 3 September 2019.

Komisi Pemberantasan Korupsi (2). Delik Tindak Pidana Korupsi.

https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis/delik-tindak-pidana-korupsi. Diakses pada 13 September 2019.

Komisi Pemberantasan Korupsi (3). 2019. Nota Sintesis: Evaluasi Gerakan

Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam, https://www.kpk.go.id/images/berita-media/Nota_Sintesis_GNPSDA.pdf, diakses pada 11 November 2019.

Komisi Pemberantasan Korupsi (4). 2015. Pedoman Pengendalian Gratifikasi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.

Loqman, Loebby. 1994. Hukum Pidana di Bidang Perekonomian. Hukum

dan Pembangunan, 5, (Oktober 1994: 387-397). Maulida (1), Rani. 2018. Mengenal Pajak Bumi dan Bangunan.

https://www.online-pajak.com/pajak-bumi-dan-bangunan. Diakses pada 29 September 2019.

Maulida (2), Rani. 2018. Pajak Daerah: Pengertian, Ciri-Ciri, Jenis, dan

Tarifnya. https://www.online-pajak.com/pajak-daerah. Diakses pada 29 September 2019.

Maulida (3), Rani. 2018. Tarif Pasal 17: Rumus Menghitung Penghasilan Kena

Pajak. https://www.online-pajak.com/tarif-pasal-17. Diakses pada 4 Oktober 2019.

McGee, Robert W. 2004. The Philosophy of Taxation and Public Finance.

Massachusetts: Kluwer Academic Publishers. Muhammad, Rusli. 2019. Mekanisme Pembebanan Kewajiban Pajak

(Tuntutan Ganti Kerugian) Melalui Peradilan Pidana. Disampaikan

Page 181: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

174

dalam Diskusi Kelompok Terpumpun di Hotel Santika Yogyakarta, 10 Oktober 2019.

Murtinanto, Wahyu. 2019. Kualitas Laporan Pihak Pelapor ke PPATK Harus

Ditingkatkan. https://economy.okezone.com/read/2019/09/12/320/2104179/kualitas-laporan-pihak-pelapor-ke-ppatk-harus-ditingkatkan. Diakses pada 25 Oktober 2019.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. 2019. Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional IV 2020-2024. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.

Nelen, Hans. 2004. Hit them where it hurts most? The proceeds-of-crime

approach in the Netherlands. Crime, Law and Social Change Journal. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) (1).

2009. OECD Bribery Awareness Handbook for Tax Examiners. Paris: OECD.

OECD (2). 2019. Combatting Tax Crimes More Effectively in APEC

Economies. Paris: OECD. OECD (3). 2017. Effective Inter-Agency Co-operation in Fighting Tax Crimes

and Other Financial Crimes (Third Edition). Paris: OECD. OECD (4). 2017. Fighting Tax Crime: The Ten Global Principles. Paris: OECD. OECD (5). 2019. Revenue Statistics Asia and Pacific Economies 2019 –

Indonesia. https://www.oecd.org/tax/tax-policy/revenue-statistics-asia-and-pacific-indonesia.pdf. Diakses pada 3 September 2019.

OECD (6). 2012. Tax Administration Detecting Corruption. Paris: OECD. OECD (7). 2011. Update on Tax Legislation on the Tax Treatment of Bribes to

Foreign Public Officials in Countries Parties to the OECD Anti Bribery Convention. Paris: OECD.

Page 182: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

175

OECD & The World Bank. 2018. Improving Co-operation between Tax Authorities and Anti-Corruption Authorities in Combating Tax Crime and Corruption. Paris: OECD & The World Bank.

Pohan, Chairil Anwar. 2014. Perspektif kepatuhan pajak dalam upaya

pemberantasan korupsi. Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1066 K/Pid.Sus/2008. Putusan Mahkamah Agung Nomor 336 K/Pid.Sus/2015. Putusan Pengadilan Negeri Blora Nomor 15/Pid.Sus/2015/PN.Bla. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat Nomor 10/PID.SUS-TPK/2014/PN.JKT.PST. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 63/PID/TPK/2014/PT.DKI. Remmelink (1), Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-Pasal

Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Remmelink (2), Jan. 2014. Pengantar Hukum Pidana Material 1. Yogyakarta:

Maharsa Publishing. Santosa, Shirlay. 2011. Analisis Perbandingan PPATK (Pusat Pelaporan

Analisa Transaksi Keuangan) Di Indonesia dengan FinCEN (Financial Crimes Enforcement Network) di Amerika Serikat. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Sartor, Michael A, dan Paul W. Beamish. 2019. Private Sector Corruption,

Public Sector Corruption, and The Organizational Structure of Foreign Subsidiaries. Journal of Business Ethics.

Seligman, E.R. 1931. Essays in Taxation, (406).

Page 183: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

176

Soesilo, R. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politeia.

Tarun, Robert W dan Peter P Tomczak. 2010. The Foreign Corrupt Practices Act Handbook: A Practical Guide for Multinational General Counsel, Transactional Lawyers, and White Collar Criminal Practitioners. USA: American Bar Association.

Tempo. 2019. MA: Korporasi Nakal Bisa Didenda hingga Penutupan Usaha. https://nasional.tempo.co/read/848859/ma-korporasi-nakal-bisa-didenda-hingga-penutupan-usaha. Diakses pada 2 Oktober 2019.

Transparency International Indonesia (TII). 2014. Indonesia Bersih Uang Pelicin. Jakarta: TII.

Tresna, R. 1959. Azas-Azas Hukum Pidana disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan Pidana jang Penting. Bandung: Universitas Padjajaran.

United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) (1). 2006. Legislative Guide for The Implementation of The United Nations Convention Against Corruption. New York: United Nations.

UNODC (2). 2009. Technical Guide to The United Nations Convention Against Corruption. New York: United Nations.

UNODC (3). 2004. United Nations Convention against Corruption. New York: United Nations.

UNODC (4). 2000. United Nations Convention against Transnational Organized Crime.New York: United Nations.

UNODC (5). 2003. UN Guide for Anti-Corruption Policies. New York: United Nations.

United States of America (USA) (1). 1977. Foreign Corrupt Practice Act 1977.

USA (2). 1997. Income Tax Assessment Act 1997.

Page 184: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan

177

Utrecht, E. 1986. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II: Suatu Pengantar Hukum Pidana untuk Tingkat Pelajaran Sarjana Muda Hukum Suatu Pembahasan Pelajaran Umum. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

Vaissiere, Maud Perdriel. 2012. The Accumulation of Unexplained Wealth by Public Officials: Making The Offence of Illicit Enrichment Enforceable. Norway: CMI. CHR Michelsen Institute.

Worral, John L. 2008. Problem-Oriented Guides for Police Response Guides Series Guide No.7: Asset Forfeiture. California: Community Oriented Policing Service – U.S Department of Justice.

Zulfa, Eva Achjani. 2010. Gugurnya Hak Menuntut: Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana. Bogor: Ghalia Indonesia.

Zulfa, Eva Achjani, Anugerah Rizki Akbari dan Zakky Ihsan Ahmad. 2017. Perkembangan Sistem Pemidanaan dan Sistem Pemasyarakatan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Page 185: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan
Page 186: Studi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dengan