studi komparatif kedudukan mahar pernikahan di …
TRANSCRIPT
STUDI KOMPARATIF KEDUDUKAN MAHAR PERNIKAHAN DI NEGARA
INDONESIA DAN PAKISTAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
ATIQOH FATIYAH
NIM : 1112044100052
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2016 M
ABSTRAK
Atiqoh Fatiyah, 1112044100052, “ Studi Komparatif Kedudukan Mahar Pernikahan
Di Negara Indonesia dan Pakistan’’ Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum
Keluarga (Ahwal Syakhsyiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/ 2016.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui konsep mahar dalam fiqih dan bagaimana posisi
mazhab fiqih dalam konteks praktek mahar di Indonesia dan Pakistan serta perbedaan
konsep mahar dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonsia dengan Undang-Undang
Pakistan. Secara metodelogis, penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dengan
menggunakan metode sutudi pustaka, dengan pendekatan normatif, sedangkan teknik
pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan.
Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengambil data dari
berbagai macam sumber sebagai berikut.
1. Data hukum primer yang memuat informasi atau data bahan-bahan hukum yang terkait.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-undang sipil Pakistan Dowry and Bridal Gift
(Restricion) Act Tahun 1974.
2. Data hukum sekunder, sumeber data sekunder yang di ambil adalah studi kepustakaan,
buku-buku, arsip-arsip, jurnal, dokumen, yag mendukung dalam pembahasan ini.
Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah bahwa hukum Islam al-Qur’an maupun
as-Sunnah tidak menetapkan mengenai kadar maksimal mahar yang diberikan oleh calon
mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan. Akan tetapi perundang-undangan
mengenai mahar di Pakistan berbeda dengan negara Islam lainnya, karena di dalam
perundang-undangan Pakistan mahar di tetapkan kadar maksimalnya.
Kata Kunci : Mahar, Studi Komparatif Kedudukan Mahar Pernikahan di Pakistan
dan Indonesia
Pembimbing : Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.
Daftar Pustaka : Tahun 1970-2013
i
KATA PENGANTAR
حين حوي الر بسن الل الر
لاة والسلام عل يي، والص يا والد ا الحود لله رب العالويي، وبه ستعيي على أهىر الد ى أشرف الورسليي، بي
د صلى الل عليه وسلن وعلى يي هحو آله وأصحابه والتابعيي وهي تبعهن بإحساى إلى يىم الد
Segala puji hanya milik Allah Rabb Alam Semesta, kepada Allah kita memohon
pertolongan atas segala urusan dunia dan agama, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah
atas sebaik-baik Rasul yaitu Nabi Muhammad SAW, dan atas semua keluarganya, para
sahabatnya, para tabi`in, dan semua yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari
pembalasan.
Dengan izin dan ridho Allah SWT, skripsi dengan judul “STUDI KOMPARATIF
KEDUDUKAN MAHAR PERNIKAHAN DI NEGARA INDONESIA DAN PAKISTAN’’
telah selesai ditulis guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
(S.H) strata satu dalam Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga
(Ahwal Syakhsiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa ada
bantuan dari berbagai pihak. Maka tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih dan
jazakumullah khoiru jaza kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh jajarannya, baik bapak/ ibu
ii
dosen yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan, maupun para staf yang
telah membantu kelancaran administrasi.
2. Dr. Abdul Halim, M.Ag dan Arip Purkon, MA. Selaku Ketua dan Sekretaris Program
Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah) .
3. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dosen pembimbing yang telah rela meluangkan waktu di
tengah kesibukan untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam pembuatan
skripsi.
4. Hj. Rosdiana, MA. Selaku dosen Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan
dukungan kepada penyusun hingga skripsi ini selesai.
5. Pengurus Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
menyediakan berbagai macam literatur dalam proses belajar di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hiayatullah Jakarta, khususnya pada saat pembuatan skripsi.
6. Kepada kedua orang tua tercinta Ir. H. Fathullah dan Hj. Sunarsiah, kakak-kakak (Teh
Fathna Rahma, S.Pd, kak Firman Rusydi, S. E., adik tersayang Dahlia Faramadina, dan
Salman Al- Farisi) yang telah memberikan motivasi serta memberikan nasehat-nasehat
kepada penulis demi kelancaran penulisan skripsi ini.
7. Sahabat-sahabat dari Keluarga Besar Prodi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah).
Terimakasih atas kebersamaan selama penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Orang tercinta Achmad Firdaus, S.Sy, sahabat-sahabat Eka Yulyana Sari, Sarifah N.F,
Indira.A, Siti Hannah, dan Lia Yulyanti dan seluruh sahabat-sahabat seperjuangan
angkatan 2012 yang telah memberikan semangat dan warna kepada penulis selama ini.
iii
9. Serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan seluruhnya, semoga amal baik
mereka diterima Allah SWT dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.
Saran dan kritik yang membangun, sangat ditunggu demi kesempurnaan penulisan
skripsi ini dan wawasan ilmu penulis. Besar harapan penulis, skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin.
Jakarta, 17 Oktober 2016
Atiqoh Fatiyah
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR…………………………………………………… ......i
DAFTAR ISI……………………………………………………………… .....iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah. .......................................................1
B. Identifikasi Masalah…………………………… ...................11
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .....................................11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................12
E. Review Studi Terdahulu .........................................................13
F. Signifikan Penelitian…………………………………...........17
G. Metode Penellitian ..................................................................17
H. Sistematika Penulisan .............................................................20
BAB II KONSEP MAHAR DALAM ISLAM DAN TRADISI BANGSA
ARAB
A. Sejarah Mahar…………………………………………… .....22
B. Mahar Dalam Tradisi Bangsa Arab…………………… ........35
BAB III HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA DAN
PAKISTAN
A. Profil Islam Indonesia dan Pakistan…………….……… ......38
B. Madzhab Hukum Keluarga Indonesai dan Pakistan………...46
BAB IV KEDUDUKAN DAN JUMLAH MAHAR DI INDONESIA DAN
PAKISTAN
A. Konsep Mahar dalam Fiqih………………………………….57
B. Laporan Administrasi Mahar di Indonesia dan Pakistan….....62
C. Analisis Perbandingan Kedudukan dan Jumlah Mahar di
Indonesia dan Pakistan ………………………………………68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………… .....76
B. Saran-saran……………………………………………… .....77
DAFTARPUSTAKA………………………………………………… ............79
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Surat Mohon Kesediaan Pembimbing Skripsi
iv
2. Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976
3. KompilasiHukum Islam Pasal 30-38
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan sebagai bagian dalam al-ahwal asy-syakhshiyyah merupakan
proses alamiah yang senantiasa dilalui oleh umat manusia, karena pada saat mereka
sampai pada tahap dewasa akan muncul perjalanan ikatan dalam jenisnya. Sebagai
tujuan dari keluarga sakinah, mawaddah warrahmah. Pernikahan yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqan gholidzan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.1
Dengan adanya dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan, oleh karena itu
suatu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan tercapainya
apa yang menjadi tujuan dari perkawinan yaitu terwujudnya keluarga sakinah,
mawaddah, warrahmah. Namun sering sekali sesuatu yang tidak diinginkan terjadi
pada perempuan. Maka Islam sangat memperhatikan kedudukan seorang perempuan
dengan memberikan haknya diantaranya yaitu hak menerima mahar.2 Karena mahar
merupakan hak isteri yang diterima dari suami, pihak suami memberikannya dengan
sukarela tanpa mengharapkan imbalan. Sebagai pernyataan kasih sayang dan
tanggung jawab suami atas kesejahteraan keluarganya.3
Indonesia dan Pakistan merupakan negara yang secara geografis terletak di
benua yang sama namun, berada pada wilayah teritorial yang berbeda. Indonesia
berada di benua Asia bagian Tenggara sedangkan Pakistan berada di benua Asia
1 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV Akademia Pressindo, 2010),
h.114. 2 Abdurrahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 85.
3 Peunoh Dauly, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Studi Banding dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan
negara-negara Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 219.
2
bagian Selatan. Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya bermazhab
Syafi’i, sedangkan Pakistan mayoritasnya menganut mazhab Hanafi. Dengan
demikian paham dikedua negara tersebut memiliki pemahaman yang berbeda.
Perbedaan tersebut bukan hanya terletak pada mazhab yang dianut oleh kedua negara
tersebut akan tetapi perbedaan juga terdapat perundang-undangan di kedua negara
tersebut dalam sistem perkawinan dan mahar. Tidak ada petunjuk yang pasti
mengenai mahar, maka Fuqahah telah sependapat bahwa mahar itu tidak terdapat
batas maksimalnya.4
Sistem hukum yang berlaku di Republik Indonesia yaitu, sistem hukum adat,
sistem hukum Islam, dan sistem hukum barat. Sistem Hukum barat baik itu berasal
dari Eropa Kontinental yang disebut civil law maupun yang berasal dari Eropa
kepulauan yang dikenal dengan common law atau Hukum Anglo Sakson. Sistem
Hukum Eropa Kontinental (civil law) dibawa oleh penjajah Belanda ke Indonesia
pada pertengahan abad ke- 19 (tahun 1954), yang semula dimaksud sebagai pengganti
Hukum adat dan Hukum Islam yang diberlakukan terhadap semua golongan
penduduk. Namun, karena khawatir penduduk yang beragama Islam akan
mengadakan perlawanan terus menerus, maka diberi ruang sempit untuk hukum
kebiasaan atau Hukum adat dan hukum agama bagi masyarakat pribumi dan golongan
bumiputera. Kini berdasarkan aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, hukum
belanda masih tetap diberlakukan di Indonesia.5
Indonesia merupakan negara degan kekayaan berbagai macam adat baik dalam
perkawinan maupun dalam acara-acara penting lainnya. Pada umumnya praktik
upacara perkawinan di Indonesia dipengaruhi oleh bentuk budaya dan sistem
4 Imam Mulim, Shohih Bukhori Juz 5, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah, 1994), h. 69.
5 Muhammad Duad Ali, Cik Hasan Bisri (EDS), Kedudukan dan Pelaksanaan Hukum Islam dalam
Negara Republik Indonesia, dalam Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, cet. Ke-1 (Jakarta:
Logos, 1998), h. 39-40.
3
perkawinan adat yang berkaitan dengan susunan masyarakat atau kekeluargaan yang
dipertahankan oleh suatu masyarakat tertentu.6 Masyarakat yang masih mengikut
kebiasaan di daerah dan ketentuan adat yang masih berlaku diantaranya :
1. Masyarakat Batak Toba menyebut maskawin atau mahar dengan sebutan
pangolin. Pembayaran maskawin atau mahar biasanya terdiri dari uang dan
ternak.7
2. Suku Komering di Sumatera Selatan menggunakan emas sebagai mahar
atau mas kawin.8
3. Pada masyarakat Bugis, mahar dikenal dengan istilah sunrang (Bugis) atau
sompa (Makasar). Sompa atau sunrang itu besar kecilnya mahar atau
maskawin sesuai dengan derajat sosial dari gadis yang akan dipinang.
Sompa atau sunrang menggunakan nominal uang atau dapat saja terdiri
dari sawah, kebun, kris pustaka, perahu, yang semuanya mempunyai
makna penting dalam pernikahan.9
4. Pada masyarakat Maluku mahar biasanya (sehelai kain) juga terdiri atas
sepasang anting emas dan gading gajah yang ditaruh didalam wadah sirih
yang biasa disebut tol’a dan kemudian ditempatkan didalam lumbung
dibumbungan rumah, terus digunakan sebagai mahar dalam perkawinan
generasi selanjutnya.10
5. Pada masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam prroses meminang
gadis dikalangan suku Lamaholot sangat unik. Meski penduduk wilayah
6 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Pandangan Hukum Adat, Hukum
Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2003), h. 97. 7 J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (DIY: Lkis, 2004), h. 225.
8 Hatama Rosid dkk, ed, Harmonisasi Agama dan Budaya Di Indonesia, (Jakarta: Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h. 339. 9 Mattulada, Kebudayaan Bugis-Makasar, Dalam Koentjaraningrat, ed. Manusia dan kebudayan di
Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1979), h. 269. 10
Shavira Alaydrus, Mahar Dalam Tradisi Pernikahan Bangsawan Babar, dari
http://www.antaranews.com/berita/read/431398/mahar-dalam-tradisi-pernikahan-bangawan-babar, artikel
diakses pada 28 April 2016 jam 10.40 WIB .
4
ini tidak memelihara gajah, akan tetapi gading gajah sudah menjadi mahar
dalam suatu perkawinan sejak ratusan tahun lalu. Dalam masyarakat
Lamaholot ukuran atau jumlah mahar dalam pernikahan atau biasa disebut
dengan belis yang berupa gading gajah tergantung pada status sosial gadis
atau calon mempelai perempuan yang akan dipinang.11
Perkawinan dalam pandangan masyarakat adat yaitu bertujuan untuk
membangun, membina, memelihara hubungan keluarga serta kekerabatan yang rukun
dan damai. Hal tersebut disebabkan oleh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
adat yang berkaitan dengan tujuan perkawinan tersebut serta berkaitan dengan
kehormatan keluarga dan kerabat dalam masyarakat. Maka proses pelaksanaan
perkawinan harus diatur dengan tatatertib adat agar dapat terhindar dari
penyimpangan dan pelanggaran yang memalukan yang akan berdampak kepada
martabat bahkan kepada kehormatan keluarga dan kerabat yang bersangkutan.12
Di dalam Kompilasi Hukum Islam membahas mengenai rukun dan syarat
perkawinan dimana pada bab ini menegaskan bahwa mahar tidak menjadi rukun
dalam sebuah perkawinan. Kemudian ditetapkan mengenai asas mahar yaitu
sederhana dan mudah. Serta ditegaskan pula kepemilikan mahar yaitu menjadi hak
isteri. Dan prinsip penyerahan mahar diantaranya dapat berupa tunai dan ada
kemungkinan ditangguhkan. Demikian juga mahar boleh dalam penyerahan lunas
maupun sebagian.13
11
Kornelis Kewa Ama, Mahar Kawin yang Membebani Keluarga, dari
http://lipus.kompas.com/jejakaperadabanntt/read/2010/12/10/08361911, artikel diakses pada 28 April 2016, jam
13.45 WIB . 12
Tolib Setiadi, Intisari Hukum Adat Indoniesa, dalam kajian kepustakaan, (Bandung: Alfabeta, 2013),
h. 222. 13
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonsia, (Jakarta: CV Akademia Pressindo, 2010), h.
113-121.
5
Pengaturan mahar didalam KHI bertujuan untuk:14
1. Menertibkan masalah mahar.
2. Menetapkan kepastian hukum bahwa mahar bukan merupakan “rukun
nikah”.
3. Menetapkan etika mahar atas asas “kesederhanaan dan kemudahan’’ bukan
didasarkan atas asas prinsip ekonomi, status, dan gengsi.
4. Menyeragamkan konsepsi yuridis dan etika mahar agar terbina ketentuan dan
persepsi yang sama dikalangan masyarakat dan aparat penegak hukum.
Mahar yang diberikan kepada calon isteri haruslah memenuhi syarat-syarat
diantaranya:15
1. Barang yang diberikan sebagai mahar ialah harta berharga.
2. Barangnya suci serta dapat diambil manfaatnya.
3. Bukan barang ghasab.
4. Bukan merupakan barang yang tidak jelas keberadaannya.
Mahar di dalam perundang-undangan Indonesia berdasarkan dengan asas
kesederhanaan dan kemudahan hal tersebut sangat berkesinambungan terhadap
mazhab yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Pada hakikatnya mazhab
yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia yaitu mazhab Syafi’i. Dalam
menentukan batas minimal mengenai mahar Imam Syafi’i berpendapat bahwa mahar
tidak ada batas rendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu
14
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika,
2007), h. 40. 15
Tihami dan Sohari, Fiqih Munakahat, Kajian Fiqih Nikah Lengkap, (Jakarta: RajaWali Pers, 2009),
h. 39-40.
6
yang lain dapat dijadikan sebagai mahar.16
Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh
Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Ekualitas laki-laki dan perempuan bukan diimplementasikan dengan cara
pemberian mahar. Karena mahar bukan lambang jual beli, akan tetapi mahar sebagai
lambang penghormatan kepada perempuan sekaligus mahar sebagai lambang
kewajiban tanggung jawab suami untuk memberi nafkah kepada isteri, selain lambang
cinta dan kasih sayang suami terhadap isteri. Sebagaimana dikemukakan oleh ulama
Syafi’i.17
Pelaksanaan pembaharuan hukum keluarga di Pakistan tidak menggunakan
aturan-aturan legislasi modern, akan tetapi hanya berpegang pada konsep
tradisional.18
Proses reformasi di Pakistan dalam rangka penyusunan hukum keluarga
muslim yang baru, dimulai sejak tahun 1955. Dalam hal ini Pemerintah Pakistan
membentuk suatu komisi yang terdiri atas tujuh anggota yang semuanya merupakan
ahli agama. Komisi ini bertugas mensurvei masalah-masalah yang berkaitan dengan
perkawinan dan hukum keluarga dengan tujuan merekomendasikan posisi kaum
perempuan dimasyarakat sesuai dengan dasar-dasar Islam. Pada tahun 1956
pemerintah Pakistan mengumumkan bahwa pada tahun yang akan datang tidak akan
ada hukum yang diberlakukan bertentangan dengan syari’at. Undang-undang yang
sudah berlaku akan ditinjau ulang serta direvisi sesuai dengan pemerintah tersebut.
16
Abdul Mukti Ali, Agama dan Masyarakat, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1993), h. 340.
17 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)
h. 124.
18 Samir Fuady, Peran Urf dalam Formalisasi Hukum Peminangan di Malaysia dan Pakistan menurut
Tinjauan Dalil al-Qur’an dan Sunnah dalam Jurnal Al-Mu’ashirah, vol. 10, No. 1, Januari 2013, Pasca Sarjana
UIN Jakarta 2013 , h. 83.
7
Peraturan perundang-undangan di Pakistan memang tidak dijumpai istilah
musyawarah. Tetapi, prinsip demokrasi yang tercantum dalam undang-undang
tersebut harus dipahami tidak lain adalah sistem demokrasi Islam yang menggunakan
prinsip-prinsip musyawarah sebagai tolak ukurnya. Asumsi ini didasarkan pada
rumusan yang tercantum dalam pembukuan Undang-undang Pakistan dan dalam
beberapa pasal tertentu bahwa kekuasaan dankewenangan negara harus
diselenggarakan menurut ajaran agama Islam dan tuntutan Islam sebagaimana yang
tercantum di dalam Alquran dan Sunnah. Salah satu prinsip pokok dalam pengaturan
negara menurut Alquran dan seperti yang telah dicontohkan oleh nabi ialah
musyawarah yang berbeda dengan sistem demokrasi barat.Karena itu, pengertian
demokrasi bagi Pakistan adalah sistem demokrasi yang sesuai dengan Islam.19
Laporan dan rekomendasi Komisi Tujuh Muslim Family Laws Odonance
(MFLO) pada tahun 1961 secra resmi diumumkan.20
MFLO pada tahun 1961 ini
berisi mengenai peraturan tentang pencatatan perkawinan, poligami, percerian,
nafkah (biaya hidup), mahar, hak waris bagi cucu, dan batas usia perkawinan untuk
pembatasan maksimal. Selain itu terdapat keharusan bagi wali untuk melaporkan
kepada pegawai pencatatan pernikahan mengenai biaya pernikahan dalam waktu 15
hari setelah pelaksanaan akad nikah. Adapun sanksi pidana juga akan diberikan
kepada para pihak yang melanggar ketentuan di dalam Undang-undang tersebut,
dalam hal ini Pakistan merupakan negara yang berani memberikan sanksi pidana
dalam masalah mahar.
19
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, cet. Ke -1, (Bogor: Kencana , 2003), h.234.
20 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (Bombay: N.M. Tripathi PVT, 1970). h.
248.
8
Undang-undang yang berlaku di Pakistan mengenai mahar diatur dalam
Dowry and Bridal Gifts (Restriction) act 1976 yang diatur di dalam pasal 2 sampai
dengan pasal 5, dimana pasal 2 menjelaskan mengenai definisi mahar, pasal 3
mengatur mengenai pembatasan maksimal mahar, hadiah, dan hadiah pengantin. Pada
pasal 3 tepatnya ayat (1) menetapkan jumlah maksimal mahar 5000 Rupee atau setara
dengan Rp980.055,94.21
Serta dalam pasal 4 mengatur mengenai hadiah atau kado
yang boleh diberikan tidak boleh lebih dari 100 Rupee atau setara denganRp
19.601,12.22
Dan dalam pasal 5 perundang-undangan Pakistan menyebutkan bahwa
semua yang diberikan sebagai mahar, pemberian yang berkaitan dengan pernikahan
atau hadiah maupun kado yang diberikan menjadi hak penuh milik istri. Dan pasal 9
menetapkan bahwa seseorang yang melanggar aturan yang ada dalam Undang-undang
ini dapat dihukum dengan hukuman maksimal 6 bulan.23
Di dalam melihat posisi mengenai mahar di Pakistan aspek yang sangat
menonjol dalam perundang-undangan menegenai mahar yaitu dari segi jumlah yang
ditetapkan oleh Undang-undang tersebut dimana hal tersebut saling berterkaitan
dengan mazhab yang dianut oleh mayoritas penduduk Pakistan. Seperti yang sudah
diuraikan diatas dimana mayoritas penduduk Pakistan bermazhab Hanafi. Di dalam
kitab Ushul Fiqih yang di tulis oleh Abdul Wahab Kallaf mendeskripsikan mengenai
ukuran minimal mahar dalam pandangan Imam Abu Hanifah yaitu sebanyak 10
Dirham perak dan bila kurang dari itu tidak memadai dan oleh karena itu diwajibkan
mahar mitsil. Dengan pertimbangan bahwa itu adalah batas minimal barang curian
21 http://in.coinmill.com/IDR_INR.html#INR=100, translate mata uang Pakistan (Rupee) ke Indonesia
(Rupiah), diakses pada tanggal 22 Agustus 2016, 19.34 WIB.
22 http://in.coinmill.com/IDR_INR.html#INR=100, translate mata uang Pakistan (Rupee) ke indonesia
(Rupiah), diakses pada tanggal 22 Agustus 2016, 19.34 WIB.
23 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World,(Bombay: N. M. Tripathi PVT, 1970), h.
249-251.
9
yang mewajibkan had terhadap pencurinya. Ulama Hanafiyah beralasan dengan
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan Baihaqi sebagai berikut:
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال, قال رسول الله ص.م: لا ينكح النساء إلا كفؤا ولا يزوجهن إلا الأولياء و لا مهر دون عشرة
دراهم
Artinya: Dari Jabir ra. Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda: ‘’ketahuilah, wanita
itu tidak boleh dikawinkan kecuali oleh para wali, dan wali itu tidak boleh
mengawinkan mereka (wanita) kecuali dengan lakilaki yang sekufu‟dengannya, dan
tidak ada mahar kecuali paling sedikit sepuluh dirham. (HR. Daruquthni dan
Baihaqi).24
Hadits tersebut menjelaskan penetapan bahwa syarat mahar menurut ukuran
yang benar secara syara’ adalah tidak kurang dari sepuluh dirham dan nash-nash
yang lain yang menunjukan persyaratan kewajiban melakukan, atau sahnya suatu
akad atau lainnya.25
Perbedaan yang terlihat dari beberapa ketentuan yang berlaku di kedua negara
tersebut adalah di dalam menentukan jumlah mahar. Pakistan mencantumkan dalam
aturan yang berlaku bahwa maksimal mahar adalah 5000 Rupee atau setara dengan
Rp980.055,94.26
Bahkan sampai kepada kado atau hadiah yang boleh diberikan
kepada pengantin tidak boleh lebih dari 100 Rupee atau setara dengan Rp 19.601,12.27
Dengan begitu sanksi pidana juga akan diberlakukan kepada para pihak yang
24
Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunnah al-Baihaqi al-Kubro, Juz VII
(Makkah: Dar al-Bazh), h. 240.
25 Abdul Wahhab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih, cet. Ke-2 (Semarang: Toha Putra Group, 20014), h. 178.
26http://in.coinmill.com/IDR_INR.html#INR=100, translate mata uang Pakistan (Rupee) ke Indonesia,
diakses pada tanggal 22 Agustus 2016, 19.34 WIB.
27http://in.coinmill.com/IDR_INR.html#INR=100, translate mata uang Pakistan (Rupee) ke Indonesia
(Rupiah), diakses pada tanggal 22 Agustus 2016, 19.34 WIB.
10
melanggar ketentuan dalam undang-undang tersebut. Dalam hal ini Pakistan
merupakan negara yang lebih berani memberikan sanksi pidana dalam masalah
mahar.
Dilihat dari pembahasan di atas, hukum perkawinan dan perceraian dalam
undang-undang hukum keluarga Pakistan dan Indonesia tidak bertentangan dengan
prinsip dasar hukum Islam sebagaimana yang secara liberal ditafsirkan oleh ahli
hukum.28
Pernyataan tersebut menunjukan suatu fenomena yang sangat menarik untuk
dikaji. Baik itu hal-hal yang terkait dengan paham keagamaan (mazhab), maupun hal-
hal yang terkait dengan politik atau regulasi yang diatur oleh kedua negara tersebut.
Karena itu hal ini menjadi perhatian penting untuk di kaji. Oleh sebab itu hal ini
sangat menarik untuk di kaji dengan melihat bagaimana perbedaan mahar di kedua
negara tersebut yang di pengaruhi oleh letak geografis, tradisi, maupun paham
keagamaan (mazhab) yang dianut oleh kedua negara tersebut. Maka dari itu peneliti
mengangkat judul tentang “Studi Komparatif Kedudukan Mahar Pernikahan di
Negara Indonesia dan Pakistan”.
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian Latar Belakang Masalah diatas, maka penulis mengidentifikasikan
permasalahan-permasalahan yag berkaitan dengan kedudukan mahar pernikahan,
yaitu :
1. Bagaimana ketentuan mahar dalam perundang-undangan di Pakistan dan
Indonesia?
28
Muhammad Zumroni, Sumber Hukum dan Konstitusional Undang-Undang: Perbanding Indonesia
dengan beberapa negara muslim (Pakistan, Mesir, dan Iran) fakultas syariah dan hukum prodi Jinayah Syiasah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009, h. 78.
11
2. Apakah ada pengaruh dualisme aliran mazhab yang membedakan hukum
mengenai mahar di kedua negara tersebut?
3. Bagaimana perbandingan ketentuan mahar pada Kompilasi Hukum Islam di
negara muslim?
4. Siapa saja yang berhak terhadap pemberian mahar tersebut?
5. Bagaimana tradisi mahar pada setiap daerah di Indonesia dan Pakistan terhadap
sistem mahar dan perkawinan?
6. Apa saja jenis perceraian yang diakibatkan dengan pengembalian mahar?
7. Kapan berlakunya kewajiban mengenai mahar di Indonesia dan Pakistan?
Dalam studi ini penulis hanya memfokuskan kepada jumlah dan kedudukan mahar di
Indonesia dan Pakistan.
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka penulis membatasi masalah
pada pokok pembahasan yaitu :
a. Ketentuan mahar yang ditetapkan di dalam undang-undang Pakistan mengenai
mahar telah diatur dan ditetapkan di dalam Undang-undang tersebut.
b. Ketentuan mahar yang ditetapkan di dalam Kompilasi Hukum Islam dalam
perundang-undangan Indonesia bahwa mahar berasaskan kesederhanaan dan
kemudahan bukan berdasarkan jumlah.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diketahui bahwa
permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini dapat diidentifikasikan sebagai
berikut:
12
1. Bagaimana konsep mahar dalam Fiqih?
2. Bagaimana perbedaan konsep mahar dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Indonesia dengan Undang-undang Pakistan?
3. Bagaimana posisi mazhab fiqih dalam konteks praktek mahar di Indonesia dan
Pakistan ?
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan berdasarkan Rumusan Masalah di dalam penulisan skripsi ini
diantaranya yaitu:
1. Untuk mengetahui mahar menurut hukum Islam
2. Untuk mengetahui pengaruh mazhab didalam hukum keluarga di Indonesia
dan Pakistan.
3. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan mengenai ketentuan mengenai
mahar yang diatur di dalam perudang-undangan Indonesia dan Pakistan.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Praktis
Memberikan informasi yang mendalam mengenai perbandingan
Undang-undang mengenai mahar pada hukum keluarga di negara Islam
mengenai penetapan mahar.
b. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu karya tulis ilmiah yang
dapat menambah khazanah keilmuan khususnya dibindang ilmu hukum
keluarga.
E. Review Studi Terdahulu
13
Kajian studi terdahulu disajikan dalam bentuk table.
NO Studi Terdahulu Objek Kajian Perbedaan
1 HUKUM KELUARGA DI
PAKISTAN (ANTARA
ISLAMISASIDANTEKANAN
ADAT)
Artikel : M. Atho Mudhzar
(Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN syarif Hidayatullah
Jakarta, 01 Juni 2014).
Artikel
tersebut
membahas
mengenai
Islamisasi
hukum
keluarga di
Pakistan yang
dengan objek
pembahasan
mengenai batas
minimal usia
pernikahan,
pencatatan
perkawinan,
pembatasan
nilai mahar,
proses
perceraian,
poligami, hak
nafkah istri
dan waris.
Yang membedakan
artikel tersebut
dengan objek
penulis dalam
skripsi ini yaitu
penulis hanya
memfokuskan
kepada penetapan
mahar di Indonesia
dan jumlah mahar
di Pakistan dengan
membandingkan
Undang-undang
yang terkait
dengan kedua
negara tersebut dan
mengurai
mengenai
perbedaan mazhab
yang dianut oleh
kedua negara
tersebut didalam
14
membentuk hukum
keluarga di kedua
negara tersebut.
2 KAJIAN YURIDIS
TENTANG MAHAR.
Artikel : Drs. Husaini, SH.
(Wakil Ketua Mahkamah
Syariah Calang)
Pembahasan
pada artikel
tersebut yaitu
mengenai
mahar yang
berada di
Indonesia
dengan
mengkaji
Kompilasi
Hukum Islam
sebagai sumber
dari artikel
tersebut, serta
artikel tersebut
membahas
menganai
solusi mahar
pada saat cerai
yang masih
belum dilunasi
Yang membedakan
objek kajian
didalam penulisan
skripsi ini yaitu
penulis membahas
mengenai
penetapan mahar di
Indonesia dan
Pakistan,dengan
membandingkan
mengenai
peraturan terhadap
mahar oleh kedua
negara tersebut
berdasarkan hukum
keluarga dikedua
negara tersebut.
Serta meninjau
kembali mengenai
pengaruh mazhab
dikedua negara
15
oleh suami. tesebut dalam
membentuk hukum
keluarga.
3 KEDUDUKAN DAN
JUMLAH MAHAR
DINEGARA MUSLIM
(Jurnal : Qadariah Barkah
IAIN Raden Fatah Palembang,
02 Juli 2014)
Artikel
tersebut
membahas
menegnai
mahar dinegara
muslim yang
meliputi mahar
di Maroko,
Yordania,
Syria,
Pakistan, dan
Indonesia,
artikel ini juga
mengguraikan
mengenai
sanksi pelaku
pelanggar
mahar di
Pakistan, dan
membahas
mengenai
Meskipun judul
dalam artikel
tersebut hampir
sama dengan
penulis dalam
skripsi ini akan
tetapi yang
membedakan
mengenai artikel
tersebut dengan
penulisan dalam
skripsi ini yaitu
penulis hanya
memfokuskan
mengenai
penetapan jumlah
mahar di Pakistan
dan kedudukan
mahar di Indonesia
serta tidak
membahas
16
mahar dari
sudut pandang
fiqih.
mengenai sanksi
yang diberlakukan
di negara Pakistan
terhadap jumlah
mahar yang
ditentukan oleh
kedua negara
tersebut.
Sertadidalam hal
ini penulis tidak
hanya
membandingkan
mengenai
ketentuan mahar
di Indonesia dan
Pakistan akan
tetapi penulis juga
mengkaji lebih
mendalam
mengenai pengaruh
terhadap mazhab
yang dianut oleh
kedua negara
tersebut dalam
membentuk hukum
17
keluarga di kedua
negara tersebut.
F. Signifikan Penelitian
Penelitian ini penting dilakukan mengingat masih banyaknya hukum keluarga
Islam di dunia yang memiliki dampak kontradiktif terhadap realita di masyarakat.
Khususnya terhadap masalah jumlah mahar yang ditentukan oleh Undang-undang di
Pakistan. Setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda-beda serta menimbulkan
dampak yang berbeda terhadap masyarakatnya masing-masing. Sehingga hal tersebut
perlu adanya penelitian secara mendalam, demi memberikan penjelasan yang didasari
pembuktian yang ilmiah.
G. Metode Penelitian
Dalam rangka menyelesaikan penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode
sebagai berikut :
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian library research
(Kepustakaan) yaitu, serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka,membaca dan mencatat serta mengelola bahan
penelitian,29
yaitu dengan cara mengumpulkan data-data yang ada relevansinya
dengan pembahasan skripsi ini. Adapun pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan normatif.
2. Sumber Data
29
Mestika Zed, Metodelogi Penelitian Kepustakaan, (Jakart: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 3.
18
Mengingat penelitian ini menggunakan metode Library Research, maka
diambil data dari berbagai sumber tertulis sebagai berikut :
a. Sumber Hukum Data Primer
Data primer adalah sumber data asli yang memuat informasi atau data
bahan-bahan hukum yang terkait.Sumber data primer dalam penelitian ini
adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Undang-Undang Sipil Pakistan
“Dowry and Bridal Gift (Restricion) Act Tahun 1976.”
b. Sumber Hukum Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber data yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer tersebut. Data sekunder dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan, buku-buku, arsip-arsip, jurnal, dokumen-dokumen
yang mendukung dalam pembahasan ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam rangka mendapatkan data yang akurat untuk mendukung penelitian ini,
maka penulis akan menggunakan metode pengumpulan data, yaitu:
a. menggunakan metode dokumen. Metode dokumen adalah metode yang
dilakukan dengan cara mencari dan mempelajari data-data melalui
catatan-catatan artifak melalui kajian terhadap studi kepustakaan
seperti buku karya ilmiah, jurnal serta kasus-kasus yang berkaitan dan
didapat melalui sumber yang akurat serta berkaitan dengan penelitian
ini.30
Studi dokumen dalam peneitian ini digunakan untuk memperoleh
data-data yang berkitan dengan pembahasan skripsi ini.
30
Suharsimi Arikanto, Prosedur Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta , 1993), h. 202.
19
b. Teknik penulisan skirpsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Tahun 2012” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah
dn Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakata.
4. Teknis Analisis Data
Konsep dasar adanya analisis data adalah proses mengatur urutan-urutan
data, mengordinasikannya kedalam satu pola, dalam katagori dan dalam satuan
uraian data.31
Untuk memenuhi konsep dasar analisis data ini, penulis melakukan
analisis secara komprehensip dan lengkap, yakni secara mendalam dari berbagai
aspek sesuai dengan ruang lingkup penelitian sehingga tidak ada yang
terlupakan.32
Setelah data terkumpul maka langkah selanjutnya adalah
menganalisis data tersebut dengan menggunakan metode berikut ini :
5. Metode Komparatif
Penelitian Komparatif merupakan penelitian yang bersifat membandingkan.
Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan persamaan serta perbedaan dua
atau lebih dari fakta-fakta dan sifat-sifat yang objeknya diteliti berdasarkan
kerangka pemikiran tertentu. Penelitian komparatif adalah jenis penelitian yang
digunakan untuk membandingkan antara dua kelompok atau lebih berdasarkan
variable tertentu. Dalam hal ini penulis membandingkan mengenai ketetapan
mahar yang diatur di dalam Undang-undang Indonesia dan Pakistan.
6. Metode Peneitian Kualitatif
31
Lexi. J, Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, cet. Ke-26 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2009), h. 248.
32 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), h.
127.
20
Adapun metodelogi penelitian yang digunakan dalah metode penelitian
kualitatif dengan jenis penelitian historis dengan maksud menguji hipotesis atau
membandingkan hasil studi kepustakaan dengan dugaan adanya kesamaan sejarah
antar satu negara yang mengalami hemogoni oleh penjajah.33
Adapun teknik
pengumpulan data dari penelitian historis ini diperoleh melalui catatan-catatan
artifak atau laporan-laporan verbal dengan tahapan sebagi berikut:
a. Melakukan observasi terhadap hasil observasi orang lain (studi kepustakaan).
b. Kecermatan penting dilakukan dengan memperhatikan keobjektifitas,
keotentikan data, yang terpenting terdapat dari sumber yang tepat.
c. Data yang diperoleh harus bersifat sistematis menurut urutan peristiwa dan
bersifat tuntas.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripisi ini adalah
BAB perbab, dimana antara BAB yang satu dengan BAB yang lainya memiliki
keterkaitan. Sistematika penulisan yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
Pada BAB I merupakan bab Pendahuluan dalam membuka penulisan skripsi
ini, pada bab ini saya menguraikan dengan uraian bahasa meliputi: Latar Belakang
Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Signifikan Penelitian, Metodologi
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Pada BAB II saya menjelaskan serta mendeskripsikan mengenai Konsep
Mahar dalam Islam dan Tradisi Bangsa Arab.
33 Http:///macam-macampenelitiankualitatif.Subliyato.com diakses pada hari Rabu 04-11-2015, jam
13.15 WIB.
21
Pada BAB III ini saya menjelaskan serta mendeskripsikan mengenai hukum
keluarga Islam di Indonesia dan Pakistan sebagai negara muslim, pengaruh mazhab
terhadap pembentukan hukum keluarga Islam di Indonesia dan Pakistan.
Pada BAB IV ini saya membahas mengenai Konsep Mahar dalam Fiqih,
setelah itu saya membahas mengenai Kewajiban Jumlah Mahar di Pakistan dan
kedudukan Mahar di Indonesia, serta Laporan Admistrasi Mahar di Pakistan
Pada BAB V ini Merupakan bab penutup, yang terdiri dari kesimpulan
terhadap permasalahan dalam penyusunan skripsi ini. Sekaligus memberikan saran
yang mungkin dapat membantu memajukan hukum keluarga.
22
BAB II
KONSEP MAHAR DALAM ISLAM DAN TRADISI BANGSA ARAB
A. Sejarah Mahar
Mahar sudah dikenal pada masa jahiliyah, jauh sebelum Islam datang. Akan
tetapi, sebelum datangnya Islam mahar bukan diperuntukkan kepada calon istri,
melainkan kepada ayah atau kerabat dekat laki-laki dari pihak istri. Karena pada masa
itu konsep perkawinan menurut hukum adat ketika itu sama dengan transaksi jual
beli, yakni jual beli antara calon suami sebagai pembeli dan ayah atau keluarga dekat
laki-laki dari calon istri sebagai pemilik barang.
Di zaman jahiliyah hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga
walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya. Dan tidak memberikan
kesempatan untuk mengurus hartanya dan menggunakannya. Lalu, Islam datang
menghilangkan belenggu ini, kepadanya mahar di berikan.1
Menurut Anderson, sejak zaman pra-Islam (Arab jahiliyah) telah ada berbagai
macam corak perkawinan. Dimulai dari perkawinan patrilineal dan patrilokal,
matrilineal dan matrilokal, hingga perkawinan temporer untuk sekedar bersenang-
senang (perkawinan muth‟ah). Bentuk perkawinan yang terhormat pada masa itu
adalah patrilineal dimana pengantin pria membayar sejumlah uang atau mahar kepada
calon pengantin perempuan.2
1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid ke-VII, (Bandung : PT. Alma‟arif, 1981), h. 53.
2 Jhon Anderson, Hukum Islam Di Dunia Modern, (Surabaya: Amarpress, 1990), h. 48.
23
Pemberian mahar dalam perkawinan tidak dapat di pisahkan dalam tradisi
perkawinan pada masyarakat Arab pra-Islam. Pada masa itu, seorang laki-laki yang
ingin meminang seorang perempuan harus melalui melalui seorang laki-laki yang
menjadi wali dari anak perempuannya sendiri, dan laki-laki yang bersangkutan
memberikan mahar kepada wali, kemudian menikahinya.3
Ketika al-Qur‟an datang mahar tetap diberlakukan, hanya saja konsepnya yang
mengalami perubahan. Kalau dahulu mahar dibayarkan kepada orang tua (ayah) calon
istri sekarang mahar tersebut diperuntukkan calon istri. Salah satu dari usaha Islam
ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk
memegang urusannya.
Kata “Mahar” berasal dari bahasa Arab dan telah diadopsi kedalam bahasa
Indonesia terpakai. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan
pengertian “pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan ketika dilangsungkanakad nikah”. Hal ini sesuai dengan tradisi
yang berlaku di Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad
nikah.4 Di dalam istilah ahli fiqih mahar juga dipakai dengan istilah „‟Shadaq, nihlah
dan faridhah „‟ didalam bahasa Indonesia di paki dengan istilah maskawin.5
Mahar atau maskawin adalah harta pemberian dari mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan yang merupakan hak si istri.6 Mahar merupakan satu diantara
hak istri yang didasarkan atas Kitabullah, Sunnah Rasul dan ijma‟.7 Konsep tentang
3 Khoiruddin Nasution, Islam tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan 1), (Jakarta:
Academia & Tazzafa, 2004), h. 127.
4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 84.
5 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 81.
6 Nasiri, Hebohnya Kawin Misyar, (Surabaya: Al Nur, 2010), h. 13.
7 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007), h. 364.
24
maskawin atau mahar adalah bagian yang sangat penting dalam pernikahan. Tanpa
maskawin atau mahar tidak dinyatakan telah melaksanakan pernikahan dengan
benar.Maskawin atau mahar harus ditetapkan sebelum pelaksanaan pernikahan.8
Mahar ditetapkan sebagai kewajiban suami kepada isteri, sebagai tanda keseriusan
laki-laki untuk menikahi dan mencintai perempuan. Sebagai lambang ketulusan hati
untuk mempergaulinya secara ma‟ruf.9
Dasar wajibnya memberikan mahar ditetapkan dalam al-Qur‟an dan hadits
Nabi. Dalil mengenai mahar dijelaskan dalam al-Qur‟an surah an-Nisa ayat 4 yang
berbunyi:
اسآء صد قتهن نلة فإن طب لكم عن شيء م نو ن فسا فكلوه ىنيئا مريئ وآتوا الن
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.10
Ayat tersebut menjelaskan adanya kewajiban memberikan mahar pada
perempuan yang akan dinikahi. Mahar tersebut merupakan hak mutlak bagi
perempuan, bukan hak ayah atau saudara laki-laki perempuan tersebut.
Perintah untuk memberikan mahar juga tercantum dalam al-Qur‟an surah an-
Nisa ayat 25 yang berbunyi:
……… بالمعروف أجورىن وآت وىن أىلهن بإذن ىن فانكحو ……
Artinya : “Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut”.11
8 Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan, (Jakarta: Teraju, 2004 ), h. 101.
9 Muhammad Husain, Fiqih Perempuan Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender,
(Yongyakarta: LKIS, 2010), h. 108-109. 10
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2005), h. 77.
11 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Di ponegoro, 2005), h. 82.
25
Dalam ayat lain dijelaskan tentang kewajiban memberikan mahar sebagaimana
dalam al-Qur‟an surah an-Nisa ayat 24 yang berbunyi:
هن فأ ت وىن أجورىن فريضة …… ..……فمااستمت عتم بو من
Artinya: “Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna)”12
Selain dalam al-Qur‟an kewajiban mahar disebutkan pula di dalam hadits
Rasulullah sebagai berikut:
ا ت زوج على فاطمة قال لو رسول اللو صلى اللو عليو وسلم قال: ماعندى : "اعطها شيئا، عن ابن عباس قال : لم (شيئ، قال: اين درعك الطمية )رواه ابو داود
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ia berkata: ketika Ali menikahi Fatimah, Rasulullah SAW
berkata kepada Ali: berikanlah sesuatu kepada Fatimah, Ali berkata: saya tidak
memiliki sesuatu”. Nabi berkata: „‟dimana baju besimu”. (H.R Abu Dawud).
Nabi sangat menekankan kepada Ali agar memberikan sesuatu apapun kepada
Fatimah anak beliau sebagai mahar walau hanya dengan baju besi.
Begitu pula Rasulullah sangat menekankan pada umat Islam tentang
kewajiban memberikan mahar kepada calon istri walau hanya dengan beberapa surah
dari al-Qur‟an, sebagaimana hadist Rasul yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari
Sahl bin Sa‟ad sebagai berikut:
و صلى اللو عليو وسلم ف قالت: يا رسول اللو جئت لىب لك ن فسي عن سهل بن سعد: أن امرأة جاءت رسول الل ها وصوبو ث طأطأ أة أنو ل ي قض فيها رأسو ف لما رأت المر ف نظر إلي ها رسول اللو صلى اللو عليو وسلم فصعد النظر إلي
يها ف قال ىل عندك من شيئا جلست ف قام رجل من أصحابو ف قال: يا رسول اللو إن ل تكن لك با حاجة ف زو جن ل أىلك فانظر ىل تد شيئا. فذىب ث رجع ف قال: ل واللو يا شيء. ف قال: ل واللو يا رسول اللو قال: اذىب إ
من يا رسول اللو ول خاتا رسول اللو ما وجدت شيئا قال: انظر ولو خاتا من حديد. فذىب ث رجع ف قال: ل واللو و وسلم: ما تصنع بإزارك إن حديد ولكن ىذا إزاري. قال سهل: ما لو رداء ف لها نصفو ف قال رسول اللو صلى اللو علي
يك شيء؟ فجلس الرجل حت طال ملسو ث قام ف رآه رسول اللو لبستو ل يكن علي ها منو شيء وإن لبستو ل يكن عل ذا صلى اللو عليو وسلم مول يا فأمر بو فدعي ف لما جاء قال: ماذا معك من القرآن؟ قال ذا وسورة : معي سورة
12
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2005), h. 82.
26
دىا قال أت قرؤىن عن ظهر ق لبك؟ قال: ن عم قال: اذىب ف قد ملكتكها ب ذا عد ا معك من القرآن. )رواه وسورة البخاري(.
Artinya: “Dari Sahl bin Sa‟ad: bawa seorang perempuan telah datang kepada
Rasulullah saw kemudian ia berkata: wahai Rasulullah aku datang untuk mencintai
dirimu seorang. Maka Rasulullah saw. menaikan pandangannya kepada perempuan
itu dan merendahkan pandangannya kemudian menundukkan kepalanya, dan ketika
perempuan itu melihat belum ada keputusan apa-apa maka perempuan itu pun duduk
dan datanglah seorang laki-laki dari golongnya dan berkata: wahai Rasulullah jika
anda tidak punya keinginan untuk mengawininya, maka kawinkanlah aku dengannya,
Rasulullah berkata: “apakah kamu mempunyai sesuatu ?” “tidak demi Allah ya
Rasulullah saya tidak mempunyai apa-apa”, maka Rasulullah berkata:“pergilah
kepada keluargamu dan lihatlah apakah kamu menemukan sesuatu”. Maka pergilah
laki-laki tersebut kemudian datang kembali kepada Rasulullah dan laki-laki itu
berkata “tidak ada, demi Allah saya tidak mendapatkan sesuatu pun, maka
Rasulullah berkata “carilah walau pun hanya berbentuk cincin besi”,maka laki-laki
itu pergi dan kembali lagi kemudian ia berkata “demi Allah tidak ada ya Rasulullah
walaupun hanya sebuah cincin besi akan tetapi ini saya mempunyai sarung,
Rasulullah berkata apa yang bisa kau lakukan dengan sarungmu ? jika kamu
memakainya maka tak ada satu pun untuk dia, dan jika ia memakainya maka tak akan
ada satu pun untukmu, maka duduklah laki-laki itu pada majelis tersebut dalam
waktu yang lama kemudian ia berdiri. Dan Rasulullah saw. melihatnya kemudian
memanggilnya dan ketika laki-laki itu datang, Rasulullah berkata “apa yang kamu
tahu tentang al-Qur‟an”? laki-laki itu menjawab “saya menghafal surat ini dan surat
ini dan surat ini, kemudian Rasulullah berkata “apakah kamu membacakan untuk dia
dari hatimu yang paling dalam ? laki-laki itu menjawab “ya” Rasulullah berkata
“pergilah maka kamu telah menikahinya dengan apa yang kamu punya dari al-
Qur‟an”.13
(H.R Al-Bukhari)
Pada umumnya mahar biasanya berbentuk materi baik berupa uang atau
barang berharga lainnya. Namun syari‟at Islam memungkinkan mahar dalam bentuk
yang lainnya, seperti dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Sebagaimana firman
Allah dalam surah al-Qasas ayat 27 yang berbunyi:
عندك وما أريد أن شرا فمن قال إن أريد أن أنكحك إحدى اب نت ىات ي على أن تأجرن ثان حجج فإن أتمت ع .أشق عليك ستجدن إن شاء اللو من الصالي
Artinya:”Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu
dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun. Maka itu adalah
(suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu
insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik".14
13
Al-Bukhari, Sahih Al-bukhari, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 2008), h. 440. 14
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2005), 388.
27
Kewajiban membayarkan mahar pada hakikatnya tidak hanya untuk
mendapatkan kesenangan, namun lebih kepada penghormatan dan pemberian dari
calon suami kepada calon isteri sebagai awal dari sebuah pernikahan dan sebagai
tanda bukti cinta kasih seorang laki-laki.15
Adapun mahar menurut para madzhab diantaranya yaitu: Madzhab Hanafi
ialah mahar sebagai sesuatu yang didapatkan seseorang perempuan akibat akad
pernikahan atau persetubuhan. Sedangkan mahar menurut Mazhab Maliki yaitu
sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai imbalan persetubuhan dengannya
dan Mazhab Syafi‟i mendefinisikan mahar sebagai sesuatu yang diwajibkan sebab
pernikahan atau persetubuhan, atau lewatnya kehormatan perempuan dengan tanpa
daya, seperti akibat susuan dan mundurnya para saksi, begitu juga mahar menurut
Mazhab Hambali mendefinisikan mahar sebagai pengganti dalam akad pernikahan,
baik mahar ditentukan di dalam akad atau ditetapkan setelahnya dengan keridhaan
kedua belah pihak atau hakim.16
Ekualitas laki-laki dan perempuan bukan diimplementasikan dengan cara
pemberian mahar. Karena mahar bukan lambang jual-beli, akan tetapi mahar
merupakan lambang penghormatan terhadap perempuan sekaligus sebagai lambang
kewajiban tanggung jawab suami memberi nafkah kepada istri, selain lambang cinta
kasih sayang suami terhadap istri, sebagaimana dikemukakan ulama Syafi‟iyah.17
15
Syaikh Muhammad Amin al-Kurdiy, Tanwir al-Qulub, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1995), h.
384.
16 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Damaskus: Darul Fikir, 2007), h. 230.
17 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), h. 124.
28
Para ulama mazhab sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad
sebagaimana halnya dalam jual-beli, tetapi merupakan salah satukonsekuensi adanya
akad. Akad nikah boleh dilakukan tanpa menyebut mahar.
Mengenai jumlah rukun nikah para Imam Madzhab berbeda pendapat dalam
membentuknya. Imam malik mengatakan rukun nikah itu ada lima macam
diantaranya adalah :
1. Wali dari pihak perempuan.
2. Mahar (maskawin)
3. Calon pengantin laki-laki.
4. Calon pengantin perempuan.
5. Sighat akad nikah.
Imam Syafi‟i juga menyebutkan lima rukun pernikahan ada lima, yaitu:
1. Calon pengantin laki-laki.
2. Calon pengantin perempuan.
3. Wali.
4. Dua orang saksi.
5. Sighat akad nikah.
Menurut Abd. Rahman Ghazali madhzab Hanafiyah menyebutkan rukun
pernikahan hanya ada ijab dan qabul (akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan
dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan menurut segolongan ulama yang lain
menyebutkan rukun dari pernikahan ada empat yaitu:18
1. Sighat (ijab dan qabul).
18
Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenanda Media, 2003), h. 48.
29
2. Calon pengantin perempuan.
3. Calon pengantin laki-laki.
4. Wali dari pihak calon pengantin perempuan.
Para Imam madzhab berbeda pendapat mengenai redaksi mahar akan tetapi
maksud dan tujuannya tetap sama. Diantara mereka yang berbeda pendapat ialah:
a.) Golongan Syafi‟iyah berpendapat bahwa mahar adalah19
وىو ما وجب بنكاح أو وطءartinya: „‟ Sesuatu yang wajib diberikan sebab adanya pernikahan atau jima‟ „‟.
b.) Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa mahar adalah20
في مقابلة منافع البضع، إما بالتسمية أو بالعقدوالمهر ىو المال يجب في عقد النكاح على الزوج
Artinya : „‟Mahar adalah sejumlah harta yang diwajibkan kepada suami dalam
suatu akad nikah sebagai imbalan halalnya jima', baik dengan sebab penyebutan
mahar atau karena adannya akad‟‟.
c.) Golongan Malikiyah berpendapat bahwa mahar adalah21
ىو ما يجعل اللزوجة في نظي الإ ستمتاع با المهر
Artinya: „‟Mahar adalah sesuatu yang di berikan kepada isteri sebagai ganti
(imbalan) dari istimta‟ atau bersenag-senang dengannya‟‟
d.) Golongan Hanabilah mengenai mahar adalah
menurut golongan Hanabilah mahar terbagi menjadi 2 jenis atau bentuk, yaitu
pertama mahar yang disebutkan didalam akad nikah atau yang diwajibkan setelah
akad nikah. Mahar yang disebutkan atau ditetapkan pada waktu pemberlakuan akad
nikah disebut mahar musamma. Dan yang kedua mahar yang tidak disebutkan
19
Syekh Ahmad Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Ma'bari Al-Malibari Al-Fannan, Fathul Mu'in Bisyarhi
Qurrotil Ain Bimuhimmatiddin, cet. Ke-1 (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 2004), h. 485. 20
Al-Babarty Hasyiyah al-Mufti Asy-Syahir bin Sa‟ied al-Halbi, Al-'inayah Syarhul Hidayah, jilid 3
(Beirut: Darul Fikri, t.th), h. 316. 21
Ibnu Humam, Syarh Fath al-QadirJuz III, (Beirut: Darul Kutub al-„Ilmiyah,t.th), h. 304.
30
didalam akad nikah, mahar tersebut disebut dengan mahar mitsil. Jika tidak
menyebutkan mahar di dalam akad nikah maka pernikhannya tetap sah.
Adapun mengenai status hukum mahar para fuqaha sependapat bahwa mahar
itu termasuk syarat sahnya sebuah pernikahan, dan tidak boleh diadakan persetujuan
untuk meniadakannya.22
Sedangkan menurut Wahbah Zuhayliy mahar bukanlah
rukun dan syarat syahnya dari sebuah pernikahan, melainkan hanya akibat dari adanya
akad nikah sehingga jika mahar tidak disebutkan dalam akad nikah maka hukum
perkawinannya adalah sah.23
Akibat hukum dari perkawinan yang akad nikahnya
tanpa menyebutkan mahar adalah jika terjadi perceraian, maka isteri berhak atas hak-
hak mereka seperti hak nafkah „iddah, muth‟ah, hak pembagian harta bersama, hak
hadhanah atas anak yang belum muayyiz dan hak waris jika perceraian itu disebabkan
karena suami meninggal dunia.24
Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Muhammad
Amin al-Kurdiy yang menyatakan bahwa akad tanpa menyebutkan mahar adalah sah
namun dibenci (makruh).25
Imam Syafi‟i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan
tabi‟in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu
yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar.26
Pendapat
ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Segolongan fuqaha mewajibkan penentuan batas terendahnya, tetapi kemudian
mereka berselisih dalam dua pendapat. Pendapat pertama dikemukakan oleh Imam
22
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 432.
23 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Damaskus: Darul Fikir, 2007), h. 6761.
24 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan &Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.
136.
25 Syaikh Muhammad Amin al-Kurdiy, Tanwir al-Qulub, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1995), h. 385.
26 Abdul Mukti Ali, Agama dan Masyarakat, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1993), 340.
31
Malik dan para pengikutnya. Imam Malik berpendapat bahwa sedikit-dikitnya mahar
adalah seperempat dinar emas atau perak seberat 3 dirham timbangan atau barang
yang sebanding dengan 3 dirham tersebut. Sedangkan pendapat kedua dikemukakan
oleh Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya batas minimal mahar sebanyak 10
Dirham. Ulama Hanafiyah beralasan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ad-
Daruquthni dan Baihaqi sebagai berikut:
فؤا ول يزوجهن إل الولياء و ل عن جابر بن عبد الله رضي الله عنو قال, قال رسول الله ص.م: ل ينكح النساء إل مهر دون عشرة دراىم
Artinya: Dari Jabir ra. Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda: „‟ketahuilah, wanita
itu tidak boleh dikawinkan kecuali oleh para wali, dan wali itu tidak boleh
mengawinkan mereka (wanita) kecuali dengan lakilaki yang sekufu‟dengannya, dan
tidak ada mahar kecuali paling sedikit sepuluh dirham.(HR. Daruquthni dan
Baihaqi).27
Hadis di atas menjelaskan bahwa batas minimal mahar adalah sepuluh
dirham.Kurang dari itu dianggap tidak ada mahar atau pernikahan itu tidak
sah.Adapun dalil qiyas yang dikemukakan oleh mazhab Hanafiyah adalah dengan
mengqiyaskan batas minimal maharkepada nishab potong tangan dalam pencurian,
karena masing-masing merupakan ketentuan syara‟ yang menghalalkan anggota
tubuh. Menurut mereka nishab pencurian yang mewajibkan potong tangan adalah
sepuluh dirham. Maka itulah yang bisa menghalalkan kehormatan wanita. Hadis ini
menjelaskan penetapan bahwa syarat mahar menurut ukuran yang benar secara syara‟
adalah tidak kurang dari sepuluh dirham dan nash-nash yang lain yang menunjukkan
persyaratan kewajiban melakukan, atau sahnya suatu akad atau segala sesuatu yang
disyaratkan.28
27
Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunnah al-Baihaqi al-Kubro,
(Makkah: Dar al-Bazh, Juz VII), h. 240. 28
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, cet. Ke-2 (Semarang: Toha Putra Group, 2014), h. 178.
32
Adapun mahar menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 1 huruf d
disebutkan: „‟Pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita,
baik dalam berbentuk barang, uang, maupun jasa yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam‟‟. Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat dipahami bahwa mahar
merupakan pemberian wajib yang penuh kerelaan dari suami sebagai simbol
penghormatan kepada istri dikarenakan adanya ikatan perkawinan, dengan mahar
tersebut suami menunjukkan kesungguh-sungguhannya atas kerelaan dan cita-cita
untuk membina rumah tangga bersama istrinya. Pengaturan mahar dalam KHI
bertujuan:29
a. Untuk menertibkan masalah mahar.
b. Menetapkan kepastian hukum bahwa mahar bukan “rukun nikah”.
c. Menetapkan etika mahar atas asas “kesederhanaan dan kemudahan”,
bukan didasarkan atas asas prinsip ekonomi, status, dan gengsi.
d. Menyeragamkan konsepsi yuridis dan etika mahar agar terbina ketentuan
dan persepsi yang sama dikalangan masyarakat dan aparat penegak
hukum.
Mahar menurut Abdul Shomad adalah :30
a. Pemberian seorang suami kepada isterinya sebelum, sesudah atau pada
waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib.
b. Sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam
rangka akad perkawinan kedua mempelai, sebagai lambang kecintaan
29
Yahya harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika,
2007), h. 40.
30 Abd. Shomad, Hukum Islam Penoromaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:
Kencana Group, 2010), h. 229.
33
calon suami terhadap calon isteri serta kesedian calon isteri untuk menjadi
isterinya.
Adapun menurut Tihami dan Sohari Sahrani dalam bukunya yang
berjudul Fiqih Munakahat yang menjelaskan tentang syarat-syarat mahar dengan
maksud yang serupa sebagai berikut:31
1. Harta berharga, tidak sah mahar dengan barang dan harta yang tidak
berharga meskipun tidak ada penentuan banyaknya mahar, sesuatu yang
bernilai tetap sah disebut mahar.
2. Barangnya suci serta dapat diambil manfaat, tidak sah mahar dengan
memberikan khamar, babi atau darah, karena semua itu haram dan tidak
berharga.
3. Barang yang dijadikan mahar bukan barang ghasab. Ghasab artinya
mengambil barang milik orang lain tanpa izinnya namun tidak bermaksud
untuk memilikinya karena bermaksud akan mengembalikannya kelak.
4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya, tidak sah mahar dengan
memberikan barang yang tidak jelas keadaannya atau tidak disebutkan
jenisnya.
Al-Qur‟an tidak menentukan jenis mahar harus berupa sebuah benda atau jasa
tertentu yang harus dibayarkan seorang suami terhadap istrinya. Jawwad Mugniyah
menjelaskan bahwa jenis mahar boleh berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga,
binatang, jasa, harta perdagangan atau benda-benda lainnya asalkan mahar tersebut
31
M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 39-40.
34
adalah barang yang halal dan dinilai berharga.32
Adapun Syarat yang harus dipenuhi
ketika mahar berbentuk barang adalah :33
a. Jelas dan diketahui bentuk dan sifatnya.
b. Barang itu miliknya sendiri secara penuh dalam arti dimiliki zatnya dan
juga manfaatnya.
c. Barang itu memenuhi syarat untuk diperjual-belikan dalam arti barang
yang tidak boleh diperjual-belikan tidak diperbolehkan dijadikan mahar.
d. Mahar dapat diserahkan pada waktu akad atau pada waktu yang
dijanjikan, dalam arti barang tersebut sudah berada ditangannya pada
waktu diperlukan.
Mahar itu merupakan pemberian pertama dari seorang suami kepada istrinya
yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu
akantimbul beberapa kewajiban materil yang harus dilaksanakan oleh suami selama
masa perkawinan untuk kelangsungan hidup perkawinan itu. Dengan pemberian
mahar itu suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban materil
berikutnya. Diberlakunya mahar di dalam Islam memiliki hikmah yang cukup dalam
antara lain:34
a. Untuk menghalalkan hubungan antara pria dan wanita, karena keduanya
saling membutuhkan.
b. Untuk memberi penghargaan terhadap wanita, dalam arti bukan sebagai alat
tukar yang mengesankan pembelian.
32
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007), h. 365. 33
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 95.
34 Amir Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2004), h. 66.
35
c. Untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah diikat
dengan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah menceraikan
istrinya sesukanya.
d. Untuk kenangan dan pengikat kasih sayang antara suami istri.35
e. Menunujukkan pentingnya dan posisi akad serta menghargai dan memuliakan
perempuan.36
Mahar sebagai kewajiban laki-laki bukan perempuan, selaras dengan prinsip
syariat bahwa seorang perempuan sama sekali tidak dibebankan kewajiban nafkah,
baik sebagai ibu, anak perempuan, ataupun seorang istri. Sesungguhnya yang
dibebankan untuk memberi nafkah adalah orang laki-laki, baik yang berupa mahar
maupun nafkah kehidupan, dan yang selainnya karena orang laki-laki lebih mampu
untuk berusaha dan mencari rizeki.
B. Mahar dalam Tradisi Arab
Sistem pernikahan yang berlaku pada bangsa Arab adalah sistem pernikahan
endogami.Dimana sistem pernikahan tersebut memiliki aturan khusus yang harus
dipatuhi oleh masyrakat karena hal tersebut sudah menjadi suatu kebiasaan yang telah
dijalankan dari dulu hingga kini, sperti hal nya mengawini sesama golongan Arab,
hingga pada pemberian mahar.37
Kalau dahulu mahar dibayarkan kepada orang tua
(ayah) calon istri sekarang mahar tersebut diperuntukkan calon istri.Salah satu dari
usaha Islam ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu
memberinya hak untuk memegang urusannya.
35
Nurjannah, Mahar Pernikahan, (Yogyakarta: Prima Shopi, 2003), h. 55-56.
36 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Damaskus: Darul Fikir, 2007), h. 232.
37 Soepomo, Sejarah Politik Hukum Adat Jilid II, (Jakarta: Pradya Pramita, 2001), h. 53.
36
Praktik ednogami dan kekerabatan ini masih dipertahankan oleh banyak
masyarakat dunia, seperti Kuwait, Jordan, Lebanono, Al-Jazair, Mesir, dan masih
banyak negara lainnya yang memperaktikan perkawinan ednogami maupun sesama
etnis.38
Di negara-negara Arab seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Somalia
dan lain-lain calon pengantin laki-laki harus menyediakan dana minimal Rp
500.000.000,- atau setengah miliyar untuk perkawinannya. Uang sebanyak itu di
pergunakan untuk biaya mahar, biaya perkawinan yang di tanggung oleh pihak
penngantin laki-laki, biaya rumah biaya mobil serta biaya bulan madu. Di sebagian
masyarakat Arab , semakin tinggi mahar semakin bangga mereka karena itu seakan
sebagai bukti bahwa anak perempuan mereka mendapat calon suami yang status
sosialnya tinggi.
Tradisi tersebut dikarenakan masih banyak hal yang bergantung pada
hubungan keluarga, isolasi geografi, maupun startifikasi sosial, dan budaya dengan
alasan yang fundamental dari beberapa alasan tersebut disebabkan oleh faktor
ekonomi.39
Di beberapa negara Arab, antara lain Arab Saudi, mahar menjadi mahal karena
dikaitkan juga dengan status sosial wanita. Semakin tinggi status sosial, misalnya
keluarga kerajaan, bisa jadi maharnya mencapai 1 juta Riyal atau Rp 3 milyar, atau
bahkanlebih. Tetapi, mahar untuk kebanyakan masyarakat di Arab Saudi antara 1.000
Riyal (sekitar Rp 3 juta) dan 10.000 Riyal (atau sekitar Rp 30 juta). Karena itu angka
perkawinan di beberapa negara Arab, termasuk Arab Saudi sangat kecil karena
38
Ar-Rifa‟i, Muhammad Talal, dan Robert C. Woody, Marriage Patterns and Pediadnic Neurologic
Disease in Damascus, Scince II (Syiri‟a: Pakistan Journal, 2007).
39 Sari, Badr-Eddine, Mourad Aribi, & Badia Sari, Effect of Enogamy and Consanguinity on The
Development Labial Venous Malformations in area of tlemcen (Wes Algeria) The Oppen genomics Journal,
2008.
37
keharusan bagi calon mempelai laki-laki untuk memenuhi mahar yang tinggi,
meskipun kini banyak lembaga sosial yang membantu perkawinan lajang, baik
dengan pinjaman dengan angsuran tanpa bunga atau sedekah dari kalangan berduit.40
Di Somalia besaran mahar yang harus disiapkan oleh mempelai pria adalah
sebesar 1.000 Shilling Somalia atau besaran nilai lain yang dianggap layak. Jika ia
tidak sanggup membayar, maka dengan kesepakatan kedua belah pihak, mahar
tersebut dapat dihutangkan.41
Namun demikian, kedua mempelai dapat bersama-sama
menanggung biaya yang dikeluarkan dalam mencukupi besaran mahar sesuai dengan
Undang-undang, hal tersebut terkait dengan kemampuan mempelai pria dalam ketidak
sanggupannya memenuhi tuntutan mahar yang telah ditentukan pemerintah.42
40
https://musallamudassir.wordpress.com/2009/10/27/ketentuan-mahar-mitsil/ diakses pada tanggal 21
Agustus 2016, 19.56 Wib. 41
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (N. M Tripathi PVT. LTD, Bombay,
1972), h. 258. ( The Family Code of Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 24). 42
Tahir Mahmood, Tahir, Family Law Reform in The Muslim World, (N. M Tripathi PVT. LTD,
Bombay, 1972), h. 259.( The Family Code of Somalia Nomor 23 Tahun 1975, Pasal 28).
38
BAB III
HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA DAN PAKISTAN
A. Profile Islam Indonesia dan Pakistan
1. Profile Islam Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.Negara ini memiliki
letak geografis yang unik sekaligus menjadikannya strategis. Hal ini dapat dilihat dari
letak Indonesia yang berada diantara dua samudera (samudra Hindia dan samudra
Pasifik) dan dua benua (benua Asia dan benua Australia). Indonesia juga memiliki
perairan yang menjadi salah satu urat nadi perdagangan internasional.1 Letak
astronomis wilayah Indonesia yaitu 6°LU -11°.08‟LS dan 95°BT – 141°.45‟BT.2
Indonesia terdiri dari 360 suku bangsa, mereka mendiami pulau dan memiliki
adat dan kebudayaannya sendiri.3 Pada tangal 01 Juli 2015 jumlah penduduk
Indonesia sebanyak 255.461.700 jiwa.4 Indonesia adalah negara dengan jumlah
penduduk muslim terbesar di dunia, yaitu sekitar 89% dari seluruh penduduk
Indonesia.5 Sebagian besar muslim di Indonesia merupakan golongan sunni dengan
mayoritas menganut mazhab Syafi‟i. Banyak teori yang mengemukakan bahwa
masyarakat muslim di Indonesia bermazhab Syafi‟i. Agama Islam telah ada dan
sangat berkembang pesat di dalam masyarakat Indonesia sejak dulu melalaui aktifitas
dakwah oleh para pengemban atau aktifis dakwah, salah satu agama yang telah ada
1 M. Thayeb, Pengetahuan Sosial Terapdu untuk kelas SD kelas V, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 8.
2 Arsyad Umar, Pengetahuan Sosial Terpadu untuk SD kelas IV, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 10.
3http://www.anneahira.com/suku-suku-bangsa-di-indonesia.htm diakses pada tanggal Selasa09 Agustus
2016 pukul 13.00 Wib. 4http://id.m.wikipwdia.org/wiki Daftar_negara_menurut_jumlah_penduduk, diakses pada tanggal Selasa 09
Agustus 2016, pukul 20.00 Wib. 5 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), h. 125.
39
dan berkembang dengan pesat di dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu adalah
agama Islam. Hal ini bemula sejak masuknya agama Islam dari Gujarat India ke
Indonesia berabad-abad lalu. Dan saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa agama Islam
merupakan agama mayoritas masyarakat di Indonesia.
Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan melalui jalur
perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam sangat besar. Tidak hanya itu
proses Islamisasi di Indonesia melalui beberapa saluran diantaranya perdagangan,
perkawinan, kesenian, sufisme, dan pendidikan. Pada saat itu pendidikan masih
bersifat informal.6 Pendidikan Islam pada saat itu diantaranya adalah:
1. Masjid dan Langgar.
2. Pondok Pesantren.
3. Meunasah, Rangkang, Daya (Aceh).
4. Surau.
5. Sekolah Dinas.
6. Madrasah.
7. Pindidikan Tinggi Islam.
Adanya interaksi dan asimilasi antara para saudagar sebagai pembawa ajaran
agama Islam dengan penduduk menjadi titik awal pemasyarakatan hukum Islam.
Kontrak perdagangan dan perkawinan antara seorang pedagang muslim dengan
penduduk di beberapa daerah nusantara sebagai salah satu media peresapan hukum
Islam.7
Posisi sentral saudagar dalam penyebaran Islam kemudian secara formal
beralih kepada peran ulama. Misalnya Nurudin ar-Raniri yang menulis buku hukum
6 Daulay H.P, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 11-13.
7 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), h.35.
40
Islam dengan judul Sirathal Mustaqim pada tahun 1628. Kitab tersebut merupakan
kitab hukum Islam yang pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia. Kitab tersebut
ditulis oleh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian diperluas dan diperpanjang
uraiannya dengan judul Sabilal Muhtadin. Buku tersebut kemudian dijadikan
pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan
Banjar. Di samping itu, di kesultanan Palembang dan Banten menerbitkan beberapa
kitab hukum Islam yang ditulis oleh syekh Abdul Samad dan Syekh Nawawi al-
Bantani.Kitab tersebut dijadikan pegangan umat Islam dalam menyelesaikan berbagai
masalah yang mereka hadapi. Dibeberapa kerajaan seperti kerajaan Demak, jepara,
Tuban, Gresik, Ngampil dan Mataram pemeluk agama Islam juga melaksanakan
hukum Islam. Hal ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang ada saat itu
antara lain Sajinatul Hukum.8
Dari sudut pandang sejarah, meskipun terjadi perbedaan pendapat mengenai
Islam masuk ke Indonesia baik menurut abad ke tujuh versi sejarawan muslim atau
abad ke empat belas menurut versi sejarah Barat, menurut Amir Syarifudin,9 ternyata
yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafi‟i.10
Setidaknya ada dua kondisi
yang memberikan dukungan terhadap perkembangan mazhab Syafi‟i di Indonesia
dimana perkembangan Islam di Indonesia (bila memakai teori pertama) pada abad 12-
13 Masehi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa tersebut adalah masa dimana
perkembangan hukum Islam sedang mengalami kesulitan (stagnan) dan mengarah
pada pintu ijtihad yang tertutup.Kedua disinyalir bahwa para penyebar Islam waktu
8 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 35-36. 9 Amir Syarifudin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesa,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 27 10
Pendapat yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia sejak abad XIII, menyatakan bahwa orang-
orang Arab bermazhab Syafi‟i bermigrasi dan menetap di daerah India, kemudian mereka membawa Islam ke
Nusantara. Menurut Arnold yang menyatakan bahwa Islam Nusantara berasal dari Coromandel dan Malabar
menjelaskan bahwa ada kesamaan madzhab fiqh di antara kedua wilayah (Coromandel dan Malabar dengan
Nusantara) yaitu mayoritas penduduknya bermazhab Syafi‟i,lihat Mumuh Muhsin Z, Teori Masuknya Islam ke
Nusantara Sebuah Diskusi Ulang, (Bandung:2007), h. 5
41
itu mereka yang bermazhab Syafi‟i.11
Demikian juga dengan para Kyai sepertinya
dengan “sengaja” lebih mengutamakan ajaran dan pendekatan tentang hukum Islam
yang dikembangkan oleh Imam Syafi‟i bila dibandingkan dengan kitab-kitab
lainnya.12
Indonesia dapat dikatagorikan sebagai negara muslim dalam kaitannya dengan
hukum, khususnya terhadap hukum keluarga.13
Di dalam perundang-undangan
Indonesia khususnya mengenai hukum keluarga bagi masyarakat Islam dirangkum di
dalam Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam yang bertujuan untuk
mengkodifikasikan hukum Islam yang masih berserakan dalam berbagai kitab fiqih
klasik, dan sebagai peraturan khusus yang menjelaskan secara rinci bagaimana hukum
perkawinan, wakaf, dan warisan di Indonesia.14
Menurut Cik Hasan Bisri Kompilasi
Hukum Islam (KHI) merupakan upaya akomodatif dari madzhab fiqih klasik dan
materi hukum yang terkandung di dalam KHI pun masih di dominasi oleh madzhab
Syafi‟i.15
Dikatakan demikan karena 38 kitab mu‟tabarah yang ditulis oleh ulama
yang bermadzhabkan Syafi‟i dijadikan rujukan di dalam penyusunan KHI.
Salah satu bab di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
berkesinambungan dengan madzhab Syafi‟i yaitu pada Bab V tentang mahar tepatnya
pada pasal 30-38 yang hampir keseluruhannya mengadopsi dari kitab fiqih menurut
jumhur ulama.16
11
Rumadi, Post Tradisionalisme Islam, Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU Seri Penerbitan Hasil
Penelitian Kompetitip Depag RI, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam –Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Depag RI 2007), h. 67-68. 12
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1985),
h. 149. 13
M. Atho Mudzhar, Hukum Islam Di Dunia Modern (Suatu Perbandingan dalam) Mimbar Hukum No. 12,
(Jakarta: Ditbinpera Islam Depag RI, 1994), h. 25.
14
Zarkowi Soedjati, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.I (Surabaya:
Arkola, 1997),h. 16-17. 15
Cik Hasan Bisri (ed), KHI dan PA dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
h. 15. 16
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung, Nuansa Aulia, 2008), h. 10.
42
2. Profile Islam Pakistan
Pada tahun 1947 Pakistan memproklamirkan diri sebagai negara Islam.
Pakistan terletak antara 20° LU – 37° LU dan 66° BT – 75° BT. Jumlah penduduk
Pakistan pada tanggal 01 juli 2015 sebanyak 188. 925. 000 jiwa.17
Pakistan terletak
secara strategis diantara daerah-daerah penting di Asia Selatan, Asia Tengah dan Asia
Timur.18
Pakistan berbatasan dengan Iran di Barat, Afganistan di Barat Laut, di
Tenggara dan Kashmir di Timur Laut. Pakistan merupakan negara federal dengan
system parlamen yang terdiri dari 4 provinsi dan 4 daerah federal. Jumlah penduduk
pakistan lebih dari 170 juta orang. Pakistan menjadi salah satu negara terpadat didunia
dan memiliki penduduk muslim terbanyak setelah Indonesia.
Pakistan adalah bangsa muslim terbesar kedua di dunia, meskipun mereka
berasal dari lima kelompok etnis yang berbeda diantaranya yaitu: Pujanbi, Sindhi,
Pathan, Baluch serta Muhajir (Imigran berasal dari Urdu dan India sebelum
perpecahan. Mayoritas masyarakat Pakistan 97% beragama Muslim, dan minoritas
dari mereka beragama non muslim termasuk beragama Kristen, Hindu, dan Persi.
Diantara masyarakat Pakistan yang beragama muslim 10%-15% dari mereka
menganut syiah Istna „Asya‟ariah (Dua Belas Imam). Minoritas sekte Syi‟ah termasuk
Isma‟illiyah, kebanyakan terdapat di Karachi wilayah barat laut Gilgit, dan Bohoras.
Sedangkan markas spiritualnya terletak di Bombay, India. Mayoritas masyarakat
Pakistan kaum muslim Sunni. Pakistan menganut madzhab Hanafi meskipun
minoritasnya sebagian pengikut madzhab Hambali.19
17
http://id.m.wikipwdia.org/wiki Daftar_negara_menurut_jumlah_penduduk, diakses pada tanggal 09
Agustus 2016, pukul 20.00 Wib. 18
Benazir Bhuto, Rekonsilasi, Islam Demokrasi & Barat, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2008), h.
133 19
Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno dan Geo Politik, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012), h. 212.
43
Mayoritas penduduk Pakistan 97% beragama Islam dari jumlah penduduk,
sebagian besar dari mereka beraliran Sunni sedangkan sisanya pengikut Syiah dan
Ahmadiyyah.20
Mayoritas muslim di Pakistan adalah pengikut madzhab Hanafi, hal
ini lebih jelas lagi dalam peraktek kehidupan beragama khususnya berhubungan
dengan hukum Islam seperti dalam hukum keluarga dan warisan masih tetap
mengikuti aliran madzhab tersebut.21
Pada abad modern seperti ini, kecendrungan pada pembangunan dan
pengkajian agama tetap berlanjut. Hal tersebut terlihat dalam pendirian perguruan-
perguruan tinggi seperti Universitas Baluchistan, Universitas Pertanian Faisalabad,
Government College Lahore. Di samping itu Pakistan juga memiliki lembaga
pengkajian ilmu-ilmu Islam yang merupakan sumbangan yang amat besar dari
perkembangan ilmu pengetahuan Islam diantaranya:22
1. Yayasan Ilmu Pengetahuan Pakistan.
2. Akademi Ilmu-ilmu Pengetahuan Pakistan.
3. Pakistan Philosophical Congrees.
4. Internasional Islamic Philosophical Association.
5. Internasional Iqbal Forum.
6. Academic Center.
7. Wes Pakistan Urdu Academy.
Pengkajian ilmu-ilmu ke Islaman tersebut masih berlangsung sampai saat ini,
dan Pakistan tercatat sebagai pengkaji paling aktif mengenai masalah ke Islaman dan
filsafat. Pakistan juga berperan penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
20
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pakistan diakes pada 16-07-2016, 13.00 WIB. 21
Syariahalauddin, Sejarah Pemberlakuan Hukum Keluarga Di Pakistan, artikel diposkan pada tanggal
22 April 2012 dari http://www.scribd.com/doc/90610937/Makalah-HKI-DI-PAKISTAN.Diakses pada hari
jum‟at 12 Agustus 2016, 16.31 WIB. 22
Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, Cet. IV (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1997), h. 74.
44
filsafat serta berhasil melahirkan sejumlah lembaga pengkajian dan intelektual
muslim, tokoh politik dan ilmuan terkenal yang telah memberikan kontribusi positif
bukan saja bagi Pakistan, namun juga bagi dunia Islam.23
Mayoritas muslim di Pakistan adalah pengikut madzhab Hanafi, hal ini lebih
jelas lagi dalam peraktek kehidupan beragama khususnya berhubungan dengan
hukum Islam seperti dalam hukum keluarga dan warisan masih tetap mengikuti aliran
madzhab tersebut.24
Salah satunya mengenai mahar yang diatur di dalam perundang-
undangan Pakistan „‟Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976)‟‟ di mana di
dalam perundang-undang tersebut Pakistan memberi batasan maksimal pemberian
mahar dan ditetapkan mengenai sanksi bagi masyarakat yang melanggar aturan
tersebut. Begitupun mengenai batsan mahar menurut madzhab hanafi menetapkan
batas minimal mahar sebanyak 10 dirham perak dan bila kurang dari itu tidak
memadai dan oleh karenanya diwajibkan mahar misil, dengan pertimbangan bahwa
itu adalah batas minimal barang curian yang mewajibkan had terhadap pencurinya.
Ulama Hanafiyah beralasan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ad-
Daruquthni dan Baihaqi sebagai berikut:
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال, قال رسول الله ص.م: لا ينكح النساء إلا كفؤا ولا يزوجهن إلا الأولياء و لا مهر دون عشرة دراهم
Artinya: Dari Jabir ra. Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda: ‘’ketahuilah, wanita
itu tidak boleh dikawinkan kecuali oleh para wali, dan wali itu tidak boleh
mengawinkan mereka (wanita) kecuali dengan lakilaki yang sekufu‟dengannya, dan
tidak ada mahar kecuali paling sedikit sepuluh dirham.(HR. Daruquthni dan
Baihaqi).25
23
Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, Cet. IV (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1997), h. 74. 24
Syariahalauddin, Sejarah Pemberlakuan Hukum Keluarga Di Pakistan, artikel diposkan pada tanggal
22 April 2012 dari http://www.scribd.com/doc/90610937/Makalah-HKI-DI-PAKISTAN.Diakses pada hari
Senin 15 Agustus 2016, 16.45 WIB. 25
Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunnah al-Baihaqi al-Kubro, Juz VII
(Makkah: Dar al-Bazh), h. 240.
45
Hadis tersebut menjelaskan penetapan bahwa syarat mahar menurut ukuran
yang benar secara syara‟ adalah tidak kurang dari sepuluh dirham dan nash-nash yang
lain yang menunjukkan persyaratan kewajiban melakukan, atau sahnya suatu akad
atau segala sesuatu yang di syaratkan.26
Perundang-undangan yang berlaku di Pakistan mengenai mahar diatur dalam
pasal 2 sampai dengan pasal 5, di mana pasal 2 menjelaskan mengenai definisi mahar,
pasal 3 mengatur mengenai pembatasan maksimal mahar, hadiah, dan hadiah
pengantin. Pada pasal 3 tepatnya ayat (1) menetapkan jumlah maksimal mahar 5000
Rupee atau setara dengan Rp980.055,94.27
Serta dalam pasal 4 mengatur mengenai
hadiah atau kado yang boleh diberikan tidak boleh lebih dari 100 Rupee atau setara
dengan Rp 19.601,12.28
Dan dalam pasal 5 perundang-undangan Pakistan
menyebutkan bahwa semuah yang diberikan sebagai mahar, pemberian yang
berkaitan dengan pernikahan atau hadiah maupun kado yang diberikan menjadi hak
penuh milik istri. Dan pasal 9 menetapkan bahwa seseorang yang melanggar aturan
yang ada dalam Undang-undang ini dapat di hukum dengan hukuman maksimal 6
bulan atau denda yang setara dengan batas maksimum yang diatur oleh Undang-
undang.29
Pelanggaran mengenai mahar atau mas kawin, biaya dan hadiah di dalam
perundang-undang Pakistan Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976) dapat di
hukum penjara maksimal 6 bulan atau denda setara dengan batas maksimum yang
diatur di dalam Undang-undang tersebut atau dapat di kenakan hukuman kedua-
26
Abdul Wahhab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih, cet. Ke-2 (Semarang: Toha Putra Group, 20014), h. 178. 27
http://in.coinmill.com/IDR_INR.html#INR=100, translate mata uang Pakistan (Rupee) ke Indonesia
(Rupiah), diakses pada tanggal 22 Agustus 2016, 19.34 WIB. 28
http://in.coinmill.com/IDR_INR.html#INR=100, translate mata uang Pakistan (Rupee) ke Indonesia
(Rupiah), diakses pada tanggal 22 Agustus 2016, 19.34 WIB. 29
Tahir Mahmood, FamilyLaw Reform in The Muslim World, (Bombay: N.M Tripathi PVT, 1970),h.
249-251.
46
duanya. Dalam hal tersebut apabila maskawin serta berbagai barang hantaran dan
hadiah yang di terima tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang maka, akan
diserahkan kepada pemerintah federal untuk digunakan bagi perkawinan gadis-gadis
miskin sebagaimana diatur di dalam Undang-undang tersebut.30
B. Madzhab dalam Hukum Keluarga di Indonesia dan Pakistan
1. Madzhab dalam Hukum Keluarga di Indonesia
Hukum keluarga Islam merupakan aturan yang mengkonsep kepada
keperdataan umat Islam mengenai prihal pernikahan, kewarisan dan hal-hal mengenai
ruang lingkup ahwal asy-syakhsiyyah yang kemudian dalam istilah Islam disebut
sebagai Fiqhul Usrah. Salah satu fenomena yang muncul di dunia muslim pada abad
ke- 20 adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (perkawianan, perceraian, dan
warisan) di negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Turki misalnya
melakukannya pada tahun 1917, Mesir pada tahun 1920, Iran pada tahun 1931, Syiria
pada tahun 1953, Tunisia pada tahun 1956, Pakistan pada tahun 1961, dan Indonesia
pada tahun 1974.31
Menurut Khairudin Nasution, dibandingkan dengan negara muslim lainnya,
Indonesia termasuk negara yang terlambat dalam memberlakukkan pembaharuan
hukum keluarga. Hal ini terjadi karena Indonesia sendiri baru membuat aturan hukum
keluarga secara rinci dan unifikasi pada tahun 1974, yakni ketika di undangkannya
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.32
30
Dowry and memenuhinya tersebut terdiri dari ayah dan ibunya maka yang dikenakan hukuman
adalah sang ayah saja, sedangkan jika orang tua pia hanya sang ibu saja maka cukup dikenakan denda,
bukan hukuman penjara.Bridal Gifts [Restriction] ACT 1976 dan amandemennya Ordonansi No. 36 Tahun
1980 Pasal 9 ayat (1) disebutkan dalam pasal ini bahwa Jika orang tua dari pihak mempelai pria melanggar
atau gagal. 31
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (Bombay: N.M. Tripathi PVT, 1970), h. 139
32 Khoirudin Nasuttion, Status Wanita di Asia Tenggara:Studi terhadap Perundang-Undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS,2002), h.88-100.
47
Dalam perkembangan hukum yang ada di Indonesia, pada tahun 1973
dirancang sebuah regulasi yang memuat masalah hukum perkawinan. Pada tahun
1974 disahkannya rancangan tersebut dengan diberlakukannya Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan. Materi perundang-undangan di dalam pasal-pasal
tersebut mampu memberikan gambaran umum tentang hukum perkawinan yang ada
di Indonesia sesuai dengan kondisi (culture) rakyat Indonesia khususnya bagi
masyarakat muslim.33
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, maka ketentuan
perkawinan yang diatur di Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum
Perdata) tidak berlaku lagi. Hal ini berarti Undang-undang Perkawinan akan menjadi
sumber pokok bagi peraturan hukum perkawinan, perceraian, dan rujuk yang berlaku
bagi semua Warga Negara Indonesia.34
Untuk melaksanakan Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang telah
diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif, maka masih diperlukan
peraturan-peraturan pelaksanya, antara lain yang menyangkut tantang masalah-
masalah: pencatatan perkawinan, tata cara pelaksanaan perkawinan, tata cara
perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang
mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan, ketentuan dalam hal seorang
suami beristri lebih dari seorang.35
Sebagai tindak lanjutnya pada tanggal 1 april 1975 oleh pemerintah ditetapkan
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksana Undang-undang No. 1
tahun 1974. Dalam peraturan pemerintah ini, memuat tentang masalah-masalah yang
33
Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Pro-kontra Pembentukannya
hingga putusan mahkamah konstitusi, (Jakarta: Kencana Prenanda Media Group, 2013), h. 19. 34
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), h. 242. 35
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006),h. 251.
48
dikemukakan di atas, yang diharapkan akan dapat memperlancar pelaksanaan
Undang-undang No.1 tahun 1974.36
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 berlaku untuk semua warga negara di
Indonesia, hal tersebut menimbulkan persepsi yang berbeda terutama di kalangan
hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan suatu perkara, karena setiap putusan
hakim mengandung ijtihad. Jika ada yang tidak sependapat dengan hasil ijtihad
tersebut, maka ijtihad hakim tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad lain. Akibatnya
akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga Peradilan Agama dan
semakin mempertajam perbedaan tentang masalah-masalah hukum Islam.37
Hal-hal yang diatur dalam hukum perkawinan di Indonesia yang terdapat
dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diantaranya :
1. Dasar Perkawinan yang diatur dalam pasal 1-5.
2. Syarat-syarat Perkawinan yang diatur dalam pasal 6-12.
3. Pencegahan Perkawinan yang diatur dalam pasal 13- 21.
4. Batalnya Perkawinan yang diatur dalam pasal 22- 28.
5. Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam pasal 29.
6. Hak dan kewajiban suami istri yang diatur dalam pasal 30- 34.
7. Harta benda dalam perkawinan yang diatur dalam pasal 35-37.
8. Putusnya perkawinan dan akibatnya yang diatur dalam pasal 38- 41.
9. Kedudukan anak yang diatur dalam pasal 42-44.
10. Hak dan kewajiban orang tua dan anak yang diatur dalam pasal 45- 49.
36
Rachmadi Usman, Asek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), h.252. 37
Rahmat Djatnika, Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Abdurahman Wahid, Iet. Al,
Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), h.254.
49
Karena belum ada kompilasi di Indonesia, dalam praktik sering dijumpai
adanya keputusan Pengadilan Agama yang tidak seragam padahal kasusnya sama.
Masalah fiqih yang semestinya membawa rahmat malah menjadi perpecahan. Hal itu
disebabkan karena umat Islam salah paham dalam mendudukan fikih, selain belum
adanya Kompilasi Hukum Islam.
Setelah disahkan undang-undang Perkawinan, upaya pembaharuan berikutnya
terjadi pada Mentri Agama Munawir Syadzali, ditandai dengan lahirnya KHI
(Kompilasi Hukum Islam) pada tanggal 10 Juni tahun 1991 yang materinya
mencangkup aturan Perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.
Pada tanggal 10 Juni 1991 dibuatlah Kompilasi Hukum Islam yang
dikeluarkan dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991. Instruksi itu
dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 juli 1991 yang
bertujuan untuk mengkodifikasi hukum Islam yang masih berserakan dalam berbagai
kitab fiqih klasik, dan sebagai peraturan khusus yang menjelaskan secara rinci
bagaimana hukum perkawinan, wakaf, dan warisan di Indonesia.38
Materi hukum yang tetera di dalam KHI bersifat umum , misalnya hal yang
berkaitan dengan larangan perkawinan sesusuan. Dimana pembahasan tersebut
didalam KHI hanya menyebukan mengenai ketentuan umunya saja mengenai larangan
perkawinan karena pertalian sesusuan (pasal 39 ayat (a-d)).39
Sedangkan dalam fiqih,
terutama pemikiran para Fuqahah madzhab mengenai larangan perkawinan karena
sesusuan dijelaskan secara rinci mengenai syarat dan kuantitas penyusuan yang
38 Zarkowi Soedjati, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.I (Surabaya:
Arkola, 1997),h. 16-17. 39
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Cet ke- 1,(Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 122.
50
mengakibatkan larangan perkawinan.40
Mencermati lebih jauh materi di dalam KHI,
nampaknya belum melepaskan diri dari pengaruh madzhab fiqih aliran Timur Tengah,
bahkan kuatnya pengaruh fiqih aliran Timur Tengah nampak dalam penyusunan KHI
dengan melakukan studi banding ke Timur Tengah.41
Materi yang ada di dalam KHI berisi tentang uraian pasal demi pasal yang
berkenan dengan ketentuan perkawinan, kewarisan, serta perwakafan. Hubungan KHI
dengan Peradilan Agama serta materi hukum yang ada dalam KHI pada dasarnya
tidak mengikat, melainkan hanya sebagai panduan bagi seseorang muslim yang
berperkara di Pengadilan Agama serta rujukan bagi hakim Pengadilan Agama di
dalam menyelesaikan kasus perdata.42
Instruksi Presdien Nomor 1 tahun 1991 ini ditujukan kepada Menteri Agama
untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang sudah disepakati tersebut,
sesuai dengan maksud penetapannya Instruksi Presiden tersebut hanyalah mengatur
tentang soal penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam yang telah diterima oleh para
ulama dalam satu lokakarya nasional. KHI ini dapat digunakan sebagai pedoman
dalam penyelesaian masalah-masalah di bidang perkawinan, waris dan wakaf.
Kedudukan KHI di sini hanyalah sebagai pedoman yang dipakai baik di lingkungan
Pengadilan Agama maupun warga masyarakat dalam bidang hukum perkawinan,
kewarisan, dan perwakafan.43
40
Abu Zakariya Muhy al-Din Yahya bin Syarf al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, juz V
(Beirut: Dar al-Fikr, 1398 H/ 1978 M), h. 30. 41
Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Fiqih ‘ala Madzhabal-Khamsah, di terjemahkan oleh Alif
Muhammad dengan judul Fiqih Lima Madzhab, Juz II(Jakarta: Basrie Pers, 1994), h. 26. 42
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Antara Fqih Munakahat dan Undang-
undang Perkawinan, cet ke-3 (Jakarta Kencana Prenanda Media Group, 2009), h. 61. 43
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: CV Akademika Presindo,1995), h. 53-55.
51
Meskipun dalam negara Islam, Indonesia dapat di katagorikan sebagai negara
muslim. Dalam kaitannya dengan reformasi hukum, khususnya hukum keluarga.44
Secara sosiologis KHI secara nyata telah menjadi buku hukum, pedoman hukum,
kitab hukum yaitu hukum yang mandiri dan ijtihad serta ijma‟ umat Islam Indonesia.
Bahkan lebih dari pada itu, menurut Cik Hasan Bisri KHI merupakan upaya
akomodatif dari madzhab fiqih klasik dan materi hukum yang terkandung didalam
KHI pun masih didominasi oleh madzhab Syafi‟i.45
Contoh pasal dari KHI masih di
dominasi oleh madzhab syafi‟i diantaranya mengenai mahar didalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI)
Pasal 30 ‘’ calon mempelai pria wajib memberikan mahar kepada calon
mempelai wanita, yang jumlah, bentuk, dan jenisnya sudah disepakati oleh
kedua belah pihak’’.
Ulama Syafi‟iyah mengemukakanmahar bukan lambang jual-beli, akan tetapi
mahar merupakan lambang penghormatan terhadap perempuan sekaligus
sebagai lambang kewajiban tanggung jawab suami memberi nafkah kepada
istri, selain lambang cinta kasih sayang suami terhadap istri.46
Pasal 31‘’penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan
yang dianjurkan oleh agama Islam’’.
Imam Syafi‟i berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya.
Dikatakan demikian karena 38 kitab mu‟tabarah yang ditulis oleh ulama yang
bermadzhab Syafi‟i dijadikan rujukan dalam penyusunan KHI.
44
M. Atho Mudzhar, Hukum Islam Di Dunia Modern (Suatu Studi Perbandingan) dalam Mimbar
Hukum No. 12, (Jakarta: Ditbinpera Islam Depag RI, 1994), h. 25. 45
Cik Hasan Bisri (ed), KHI dan PA dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 15. 46
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), h. 124.
52
2. Madzhab dalam Hukum Keluarga di Pakistan
Pakistan merdeka pada tanggal 14 Agustus tahun 1947, mempunyai kosntitusi
negara yang dibuat setelah berasal dari konstitusi India tahun 1935. Pakistan
merupakan negara Islam yang sangat solid dengan madzhab Hanafi yang terkenal
sangat rasional terhadap masalah-masalah yang menyangkut dengan masalah personal
dalam sosial kemasyarakatan, di samping itu adanya beragam pemikiran dan paham
yang berkembang seperti aliran syiah Itsna „Asyariyah Islamiyah, Qadiani dan juga
golongan non muslim yang mempunyai keragaman aspirasi.47
Berpedoman pada aturan-aturan pembentukan dan penemuan hukum, maka
pelaksana pembaharuan hukum keluarga Islam Pakistan tidak menggunakan aturan-
aturan legislasi modern akan tetapi hanya berpegang pada konsep tradisional. Dimana
yang menentukan hukum bukanlah negara, akan tetapi negara hanya sebagai
pelaksana hukum. Hukum Islam adalah hukum Ilahiyah yang bersifat komplit, yang
terangkum di dalam al-Qur‟an ataupun Hadits hal ini merupakan tanggung jawab
ulama sehingga negara dapat berjalan.48
Pakistan menjabarkan pembaharuan terhadap hukum keluarga Islam tersebut
dalam perluasan ruang lingkup dan pembaharuan aspek utama hukum keluarga Islam
dari tahun 1961-1962 yang dikenal dengan sebutan Muslim Family Law Ordonansi
pada tahun 1961 yang berarti fase pembaharuan kedua setelah fase tahun 1911-1950
dan 1951-1970 sebagai tahapan reformasi.49
Pada dasarnya Reformasi hukum
keluarga Islam, dalam berbagai keadaan di gunakan secara khusus dengan
menggunakan metodologi Islam Talfiq, Takhayur, Syiasyah Syar‟iyahdan
47
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Tripathi, 1987), h. 236. 48
Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, (United Kingdom: Curson Press, 1994), h.
20. 49
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law and Religion,
1987), h. 3-13.
53
mentafsirkan kembali teks nash dan menyesuaikan dengan kebutuhan dan perubahan
masa.50
Undang-undang Pakistan merupakan Undang-undang yang diadopsi dari
undang-undang India sampai tanggal 14 Agustus 1947 saat negara Pakistan berdiri
sendiri. Beberapa Undang-undang hukum perdata ketika itu, kecuali yang sudah
diamandemen sesuai dengan hirarki setempat, sebagai berikut:
1. Caste Disabilities Removal ACT 1890, Undang-undang kasta
2. Divorse Act 1865 and Christian Merriage Act 1872, Perpisahan
3. Majority Act 1875.
4. Guardians and Wards Act 1890, Mahar dan Hadiah.
5. Mussalaman Waqf Validating Acts 1913-1930, Waqaf.
6. Mussalaman Waqf Act 1923. (Amanded in Sindh by local Act 18 of 1935.
7. Child Merriage Restraint Act 1929, Waqaf.
8. Muslim Personal Law (Syari‟ah) Application Act 1937 (along with a similar local
Act in force in (NWFP).
9. Dissolution of Muslim Marriage Act 1935, Perceraian dan Iddah.51
Beranjak dari fase perubahan sesuai dengan apa yang dituliskan oleh Tahir
Mahmood di atas, yang benar-benar memuat hukum keluarga adalah reformasi yang
diadakan pada tahun 1961 dengan menamakan peraturan tersebut sebagai Musim
Family Law Ordonansi (MFLO) tahun 1961.52
Muatan hukum keluarga Islam
Pakistan pada Tahun 1961 Muslim Family Law Ordonansi (MFLO) adalah sebagai
berikut:
50
Atho Mudzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 3. 51
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law and Religion,
1987), h.235. 52
Rubya Mahedi, The Islamization of the Law in Pakistan, (United Kingdom: Curson Press, 1994), h.
157.
54
1. Peraturan untuk pendaftaran perkawinan.
2. Kebutuhan persetujuan dewan arbitrase untuk beristri dua.
3. Kebutuhan pemberitahuan perceraian untuk diberikan kepada pejabat sipil
yang akan mengatur dia untuk membentuk dewan arbitrase dan ketidak
efektifan perceraian pada masa iddah selama tiga bulan.
4. Denda biaya mahar dan lainnya pada biaya perkawinan dan hadiah.
5. Pengenalan prinsipnya representasi dalam hukum waris untuk kepentingan
anak-anak keturunan predeceased dari preapositus.
6. Penyelesaian perselisihan keluarga oleh pengadilan keluarga spesial.
7. Pengakuan Herarkhi hukum syari‟ah pada yang berhubungan dengan
konvensional hak milik.
Dengan demikian, masyarakat di Pakistan tergolong kedalam salah satu negara
Islam yang proaktif terhadap pembaharuan hukum Islam dari hukum keluarga, dasar
undang-undang yang mengatur tentang perkawinan, perceraian, waris dan waqaf.
Pembaharuan tersebut sangat menyangkut kerja keras pemerintah dengan melibatkan
berbagai unsur formal dan informal seperti para peneliti, ulama dan intelektual
legislasi sehingga legitimasi peraturan dan perundang-undangan yang sebagiannya
mengacu kepada:
1. Unifikasi Hukum Keluarga.
2. Meningkatkan Status dan Kedudukan Wanita.
3. Respon tuntutan dan perkembangan Zaman
Hukum yang dibuat oleh Brist sebelum adanya Pakistan terus menjadi hukum
Pakistan. Dikarenakan hukum tersebut merupakan aspirasi ulama untuk menjadikan
hukum Islam sebagai hukum Pakistan. Konstitusi pertama yang dilakukan oleh
pakistan pada tahun 1956, konstitusi kedua dilakukan pada tahun 1962, konstitusi
55
ketiga adalah hukum yang di ciptakan oleh Modernisme dengan menciptakan dua
instusi untuk mempromosiskan Islamisasi yaitu pertama dewan ideologi syariah dan
yang kedua adalah lembaga riset Islam. Namun kedua badan tersebut hanya memiliki
fungsi sebagai pengaruh. Hal tersebut merupakan alasan mengapa ketiga konstitusi
yang dilakukan oleh Pakistan berisikan klausul yang menyatakan bahwa hukum
Pakistan akan sesuai dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah.53
Masalah umum hukum keluarga sebagaimana yang dipaparkan diatas berkisar
pada masalah sebagaimana berikut:
1. Perkawinan – perceraian dengan segala permasalahannya.
2. Waris dengan segala permasalahannya.
3. Waqaf dengan segala permasalahannya.
Adapun yang menjadi konsep hasil dari pembaharuan hukum keluarga Islam
di Pakistan, bahwa hukum keluarga tersebut diberlakukan kepada penduduk muslim.
Sehingga yang paling menonjol dan merupakan tujuan utama perubahan tersebut
adalah untuk kesatuan hukum atau unifikasi hukum keluarga Islam di samping
memang terakumulasi juga kepentingan mengangkat status wanita dan respon
tuntutan dan perkembangan zaman.54
Mayoritas muslim di Pakistan adalah pengikut madzhab Hanafi, hal ini lebih
jelas lagi dalam peraktik kehidupan beragama khususnya berhubungan dengan hukum
Islam seperti dalam hukum keluarga dan warisan masih tetap mengikuti aliran
53
Rubya Mehdi, TheIslamization of the Law in Pakistan, (United Kingdom: Curson Press, 1994), h. 25. 54
Ihsan Yilmaz, Muslim Laws Politik and Society in Modern nation states: dynamic legal pluralism in
England, Turkey and Pakistan (England, Ashgate, 1971), h. 125
56
madzhab tersebut.55
contoh undang-undang hukum keluarga yang berhubungan
dengan madzhab salah satunya adalah sebagai berikut:
Dowry and Bridal gifts [Restriction] act 1976 pada pasal 3Restriction on
dowry, presents and bridal gifts. - (1) Neither the aggregate value of the
dowry and presents given to the bride by her parents nor the aggregate value
of the bridal gifts or of the presents given to the bridegroom shall exceed five
thousand rupees.
Translite Indonesia
pasal 3 mengatur mengenai pembatasan maksimal mahar, hadiah, dan hadiah
pengantin. Pada pasal 3 tepatnya ayat (1) menetapkan jumlah maksimal mahar
5000.
Hal tersebut berkaitan dengan mazhab yang dianut oleh mayoritas masyarakat
Pakistan dimana Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya juga membatasi
minimal mahar sebanyak 10 Dirham atasu setara dengan Rp. 35.476,86.
Kurang dari itu dianggap tidak ada mahar atau pernikahan itu tidak sah. Ulama
Hanafiyah beralasan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ad-
Daruquthni dan Baihaqi sebagai berikut:
كفؤا ولا يزوجهن إلا عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال, قال رسىل الله ص.م: لا ينكح النساء إلا
الأولياء و لا مهر دون عشرة دراهم
Artinya: Dari Jabir ra. Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda: ‘’ketahuilah,
wanita itu tidak boleh dikawinkan kecuali oleh para wali, dan wali itu tidak
boleh mengawinkan mereka (wanita) kecuali dengan lakilaki yang
sekufu‟dengannya, dan tidak ada mahar kecuali paling sedikit sepuluh
dirham.(HR. Daruquthni dan Baihaqi).56
Hadits tersebut menjelaskan penetapan bahwa syarat mahar menurut ukuran
yang benar secara syara‟ adalah tidak kurang dari sepuluh dirham dan nash-nash
yang lain yang menunjukan persyaratan kewajiban melakukan, atau sahnya suatu
akad atau lainnya.57
55
Syariahalauddin, Sejarah Pemberlakuan Hukum Keluarga Di Pakistan, artikel diposkan pada tanggal
22 April 2012 dari http://www.scribd.com/doc/90610937/Makalah-HKI-DI-PAKISTAN, di akses pada hari
senin 15 Agustus 2016, 16.45 WIB. 56
Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunnah al-Baihaqi al-Kubro, Juz VII
(Makkah: Dar al-Bazh), h. 240. 57
Abdul Wahhab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih, cet. Ke-2 (Semarang: Toha Putra Group, 20014), h. 178.
57
BAB IV
KEDUDUKAN DAN JUMLAH MAHAR DI INDONESIA DAN PAKISTAN
A. Konsep Mahar dalam Fiqih
Kata “Mahar” berasal dari bahasa Arab dan telah diadopsi kedalam
bahasa Indonesia terpakai. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan
mahar itu dengan pengertian “pemberian wajib berupa uang atau barang
dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika
dilangsungkanakad nikah”. Hal ini sesuai dengan tradisi yang berlaku di
Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.1
Mahar atau maskawin adalah harta pemberian dari mempelai laki-
laki kepada mempelai perempuan yang merupakan hak si istri.2 Mahar
merupakan satu diantara hak istri yang didasarkan atas Kitabullah, Sunnah
Rasul dan ijma‟ kaum muslimin.3 Konsep tentang maskawin atau mahar
adalah bagian yang sangat penting dalam pernikahan. Tanpa maskawin
atau mahar tidak dinyatakan telah melaksanakan pernikahan dengan benar.
Maskawin atau mahar harus ditetapkan sebelum pelaksanaan pernikahan.4
Mahar ditetapkan sebagai kewajiban suami kepada isteri, sebagai tanda
1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), h.
84.
2 Nasiri, Hebohnya Kawin Misyar, (Surabaya: Al Nur, 2010), h. 13.
3 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007),
h. 364.
4 Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan, (Jakarta: Teraju, 2004 ), h. 101.
58
keseriusan laki-laki untuk menikahi dan mencintai perempuan.Sebagai
lambang ketulusan hati untuk mempergaulinya secara ma‟ruf.5
Dasar wajibnya memberikan mahar ditetapkan dalam al-Qur‟an
dan hadits Nabi. Dalil mengenai mahar dijelaskan dalam al-Qur‟an surah
an-Nisa ayat 4 yang berbunyi:
نو ن فسا فكلوه ايئ ىنيئا مر وآتوا النسآء صد قتهن نلة فإن طب لكم عن شيء م
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya”.6
Ayat tersebut menjelaskan adanya kewajiban memberikan mahar
pada perempuan yang akan dinikahi. Mahar tersebut merupakan hak
mutlak bagi perempuan, bukan hak ayah atau saudara laki-laki perempuan
tersebut.
Selain dalam al-Qur‟an kewajiban mahar disebutkan pula di dalam
hadits Rasulullah sebagai berikut:
ا ت زوج على فاطمة قال لو رسول اللو صلى اللو عليو وسلم : "اعطها شيئا، عن ابن عباس قال : لمطمية )رواه ابو داودق (ال: ماعندى شيئ، قال: اين درعك ال
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ia berkata: ketika Ali menikahi Fatimah,
Rasulullah SAW berkata kepada Ali: berikanlah sesuatu kepada Fatimah,
Ali berkata: saya tidak memiliki sesuatu”. Nabi berkata: „‟dimana baju
besimu”. (H.R Abu Dawud).
5 Muhammad Husain, Fiqih Perempuan Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender,
(Yongyakarta: LKIS, 2010), h. 108-109.
6 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2005),
h. 77.
59
Nabi sangat menekankan kepada Ali agar memberikan sesuatu
apapun kepada Fatimah anak beliau sebagai mahar walau hanya dengan
baju besi. Begitu pula Rasulullah sangat menekankan pada umat Islam
tentang kewajiban memberikan mahar kepada calon istri walau hanya
dengar beberapa surah dari al-Qur‟an, sebagaimana hadist Rasul yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Sahl bin Sadin sebagai berikut:
و جئت عن سهل بن سعد: أن امرأة جاءت رسول اللو صلى اللو عليو وسلم ف قالت: يا رسول الل ها وصوبو ث طأطأ رأسو لىب لك ن فسي ف نظر ها رسول اللو صلى اللو عليو وسلم فصعد النظر إلي إلي
ا رأت المرأة أنو ل ي قض فيها شيئا جلست ف قام رجل من أصحابو ف قال: يا رسول و إن ل الل ف لم: اذىب إل تكن لك با حاجة ف زوجنيها ف قال ىل عندك من شيء. ف قال: ل واللو يا رسول اللو قال
و ما وجدت شيئا قال: انظر أىلك فانظر ىل تد شيئا. فذىب ث رجع ف قال: ل واللو يا رسول الل لكن ىذا ولو خاتا من حديد. فذىب ث رجع ف قال: ل واللو يا رسول اللو ول خاتا من حديد و
و صلى اللو عليو وسلم: ما تصنع بإزارك إن إزاري. قال سهل: ما لو رداء ف لها نصفو ف قال رسول الل ها منو شيء وإن لبستو ل يكن عليك شيء؟ فجلس الرجل حت طال ملسو ث قام لبستو ل يكن علي
ا جاء قال: ماذا معك من القرآن؟ قال: ف رآه رسول اللو صلى اللو عليو وسلم موليا فأمر بو فدعي ف لمدىا قال أت قرؤىن عن ظهر ق لبك؟ قال: ن عم قال : اذىب معي سورة كذا وسورة كذا وسورة كذا عد
ملكتكها با معك من القرآن. )رواه البخاري(.ف قد
Artinya: “Dari Sahl bin Sa‟ad: bawa seorang perempuan telah datang
kepada Rasulullah saw kemudian ia berkata: wahai Rasulullah aku
datang untuk mencintai dirimu seorang. Maka Rasulullah saw. menaikan
pandangannya kepada perempuan itu dan merendahkan pandangannya
kemudian menundukkan kepalanya, dan ketika perempuan itu melihat
belum ada keputusan apa-apa maka perempuan itu pun duduk dan
datanglah seorang laki-laki dari golongnya dan berkata: wahai
Rasulullah jika anda tidak punya keinginan untuk mengawininya, maka
kawinkanlah aku dengannya, Rasulullah berkata: “apakah kamu
mempunyai sesuatu ?” “tidak demi Allah ya Rasulullah saya tidak
mempunyai apa-apa”, maka Rasulullah berkata:“pergilah kepada
keluargamu dan lihatlah apakah kamu menemukan sesuatu”. Maka
pergilah laki-laki tersebut kemudian datang kembali kepada Rasulullah
dan laki-laki itu berkata “tidak ada, demi Allah saya tidak mendapatkan
sesuatu pun, maka Rasulullah berkata “carilah walau pun hanya
berbentuk cincin besi”,maka laki-laki itu pergi dan kembali lagi kemudian
60
ia berkata “demi Allah tidak ada ya Rasulullah walaupun hanya sebuah
cincin besi akan tetapi ini saya mempunyai sarung, Rasulullah berkata
apa yang bisa kau lakukan dengan sarungmu ? jika kamu memakainya
maka tak ada satu pun untuk dia, dan jika ia memakainya maka tak akan
ada satu pun untukmu, maka duduklah laki-laki itu pada majelis tersebut
dalam waktu yang lama kemudian ia berdiri. Dan Rasulullah saw.
melihatnya kemudian memanggilnya dan ketika laki-laki itu datang,
Rasulullah berkata “apa yang kamu tahu tentang al-Qur‟an”? laki-laki
itu menjawab “saya menghafal surat ini dan surat ini dan surat ini,
kemudian Rasulullah berkata “apakah kamu membacakan untuk dia dari
hatimu yang paling dalam ? laki-laki itu menjawab “ya” Rasulullah
berkata “pergilah maka kamu telah menikahinya dengan apa yang kamu
punya dari al-Qur‟an”.7(H.R Al-Bukhari)
Pada umumnya mahar biasanya berbentuk materi baik berupa uang
atau barang berharga lainnya.Namun syari‟at Islam memungkinkan mahar
dalam bentuk yang lainnya, seperti dalam bentuk jasa melakukan sesuatu.
Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Qasas ayat 27 yang berbunyi:
تأجرن ثان حجج فإن أتمت عشرا فمن عندك قال إن أريد أن أنكحك إحدى اب نت ىات ي على أن .وما أريد أن أشق عليك ستجدن إن شاء اللو من الصالي
Artinya:”Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud
menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar
bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan
sepuluh tahun. Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku
tidak hendak memberati kamu.Dankamu insya Allah akan mendapatiku
termasuk orang- orang yang baik".8
Kewajiban membayarkan mahar pada hakikatnya tidak hanya
untuk mendapatkan kesenangan, namun lebih kepada penghormatan dan
7Al-Bukhari, Sahih Al-bukhari, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 2008), h. 440.
8 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2005),
388.
61
pemberian dari calon suami kepada calon isteri sebagai awal dari sebuah
pernikahan dan sebagai tanda bukti cinta kasih seorang laki-laki.9
Adapun menurut Tihami dan Sohari Sahrani dalam bukunya
yang berjudul Fiqih Munakahat yang menjelaskan tentang syarat-
syarat mahar dengan maksud yang serupa sebagai berikut:10
1. Harta berharga, tidak sah mahar dengan barang dan harta yang
tidak berharga meskipun tidak ada penentuan banyaknya
mahar, sesuatu yang bernilai tetap sah disebut mahar.
2. Barangnya suci serta dapat diambil manfaat, tidak sah mahar
dengan memberikan khamar, babi atau darah, karena semua
itu haram dan tidak berharga.
3. Barang yang dijadikan mahar bukan barang ghasab. Ghasab
artinya mengambil barang milik orang lain tanpa izinnya
namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena bermaksud
akan mengembalikannya kelak.
4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya, tidak sah mahar
dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya atau
tidak disebutkan jenisnya.
Al-Qur‟an tidak menentukan jenis mahar harus berupa sebuah
benda atau jasa tertentu yang harus dibayarkan seorang suami terhadap
9 Syaikh Muhammad Amin al-Kurdiy, Tanwir al-Qulub, (Beirut: Dar al-Kutub al-
„Ilmiyah, 1995), h. 384.
10 Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), h. 39-40.
62
istrinya. Jawwad Mugniyah menjelaskan bahwa jenis mahar boleh berupa
uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta perdagangan
atau benda-benda lainnya asalkan mahar tersebut adalah barang yang halal
dan dinilai berharga.11
Mahar merupakan kewajiban laki-laki bukan perempuan, selaras
dengan prinsip syariat bahwa seorang perempuan sama sekali tidak
dibebankan kewajiban nafkah, baik sebagai ibu, anak perempuan, ataupun
seorang istri. Sesungguhnya yang dibebankan untuk memberi nafkah
adalah orang laki-laki, baik yang berupa mahar maupun nafkah kehidupan,
dan yang selainnya karena orang laki-laki lebih mampu untuk berusaha
dan mencari rizeki.
B. Laporan Admistrasi Mahar di Pakistan dan di Indonesia
Mahar atau maskawin adalah harta pemberian dari mempelai laki-
laki kepada mempelai perempuan yang merupakan hak si istri.12
Mahar
merupakan salah satu diantara hak istri yang didasarkan atas Kitabullah,
Sunnah Rasul dan ijma‟ kaum muslimin.13
Banyak dalil yang menjelaskan
mengenai mahar, bahwa mahar menurut al-Qur‟an dan as-Sunnah tidak di
tentukan menurut kadar dan jumlahnya yang diberikan kepada calon
mempelai wanita dari calon mempelai laki-laki. Perintah untuk
11
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 365. 12
Nasiri, Hebohnya Kawin Misyar, (Surabaya: Al Nur, 2010), h. 13.
13 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2007), h.
364.
63
memberikan mahar juga tercantum dalam al-Qur‟an surah An-Nisa ayat 25
yang berbunyi:
ورىن بالمعروف فانكحوىن بإذن أىلهن وآتوىن أج
Artinya : “Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan
mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut”.14
Selain dalam al-Qur‟an kewajiban mahar disebutkan pula di dalam
hadits Rasulullah sebagai berikut:
ا ت زوج على فاطمة قال لو رسول اللو صلى اللو عليو وسلم : "اعطها شي عن ابن عب ئا، اس قال : لمطمية )رواه ابو داود ).قال: ماعندى شيئ، قال: اين درعك ال
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ia berkata: ketika Ali menikahi
Fatimah, Rasulullah SAW berkata kepada Ali: berikanlah sesuatu kepada
Fatimah, Ali berkata: saya tidak memiliki sesuatu”. Nabi berkata:”
dimana baju besimu”. (H.R Abu Dawud).
Dalam hadits di atas menjelaskan bahwa Nabi sangat menekankan
kepada Ali agar memberikan sesuatu apapun kepada Fatimah anak beliau
sebagai mahar walau hanya dengan baju besi.
Di Indonesia peraturan yang terkait mengenai mahar tidak
dijumpai di dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 akan
tetapi hal yang mengatur mahar secara jelas dan terperinci diatur di dalam
Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam mengatur mahar secara
jelas dan terperinci pada Bab V tepatnya pada Pasal 30, 31,32, 33, 34, 35,
14
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2005), h.
82.
64
36, 37, 38, yang hampir keseluruhannya mengadopsi dari kitab fiqh
menurut jumhur ulama.15
1. Persamaan Mahar di Indonesia dan Pakistan
a. Mahar dalam Pernikahan
Dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia dan
Pakistan sama-sama memakai mahar di dalam sebuah pernikahan,
seperti yang tercantum di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 30
„‟Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon
mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh
kedua belah pihak‟‟.
Sedangkan menurut peraturan Perundang-undangan di Pakistan
mahar di perlukan juga untuk melangsungkan sebuah pernikahan,
sebagaimana yang tercantum di dalam muslim Family Law Ordonansi
dalam pembahasan Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976) .
b. Yang berhak memberikan mahar
Di Indonesia mahar di berikan oleh Calon mempelai laki-laki
kepada calon mempelai perempuan sebagaimana yang tercantum di
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 30 Calon mempelai
pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang
jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Begitupun mengenai mahar di Pakistan yang diberikan oleh
mempelai pria kepada mempelai wanita.
15
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008),
h.10.
65
c. Mahar Merupakan Hak Isteri
Di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
mengenai mahar diatur di dalam KHI tepatnya pada pasal 30-38.
Mengenai mahar yang diberikan oleh suami kepada istri menjadikan
mahar tersebut merupakan hak isteri sebagaimana yang tercantum di
dalam KHI pasal 32 yang berbunyi „‟mahar diberikan langsung
kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya‟‟.
Begitupun mengenai peraturan perundang-undangan mengenai
mahar di Pakistan. Dimana mahar diatur di dalam Undang-undang
khusus yaitu Dowry and Bridal Gift [Restriction] Act 1976 tepatnya
pada pasal 5 yang menyebutkan „‟bahwa semua yang diberikan
sebagai mahar, pemberian yang berkaitan dengan pernikahan atau
hadiah maupun kado yang diberikan menjadi hak penuh milik isteri‟‟.
Dimana hal tersebut menyatakan bahwa mahar dan hal-hal yang di
berikan pada saat pernikahan (kado) itu semua menjadi milik isteri.
2. Perbedaan Kedudukan dan Jumlah Mahar di Indonesia dan
Pakistan
Perundang-undangan mengenai mahar di Pakistan berbeda dengan
negara muslim lainnya. Di Pakistan ada semacam ketentuan maksimal
66
dalam memberikan mahar, sedangkan di negara mayoritas muslim
lainnya seperti Indonesia, Malaysia, tidak ada ketuntuan seperti itu.16
Hal Indonesia Pakistan
Jumlah Mahar
dalam
pernikahan
- Di Indonesia
mahar didalam
pernikahan
hanya
berasaskan
kesederhanaan
dan kemudahan
tanpa dibatasi
dengan jumlah
dalam
memberikan
mahar.
- Kompilasi
Hukum Islam
Pasal 31
Penentuan
mahar
berdasarkan
- Di Pakistan
peraturan
Perundang-
undangan
mengenai mahar
ditetepkan dalam
jumlah maksimal
mahar yaitu Pada
pasal 3 tepatnya
ayat (1)
menetapkan
jumlah maksimal
mahar 5000
Rupee atau setara
dengan Rp.
980.055.94.
16
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: Academia & Tazzafa, 2004),
h. 141-151.
67
asas
kesederhanaan
dan kemudahan
yang dianjurkan
oleh ajaran
Islam.
Sanksi - Di Indonesia
tidak ada
ketentuan
mengenai
sanksi pidana
atau kurungan
bagi yang
melanggar
perundang-
undangan
mengenai
hukum keluarga
termasuk
mahar. Karena
mahar di
Indonesia
- Di dalam
Perundang-
undangan
Pakistan terdapat
sanksi apabila
melanggar
ketentuan mahar
yang telah
ditetapkan oleh
Undang-undang
tersebut.
- Dan pasal 9
menetapkan
bahwa seseorang
yang melanggar
aturan yang ada
68
berasaskan
kesederhanaan
dan kemudahan
sebagimana
yang tercantum
di dalam
Kompilasi
Hukum Islam
pasal 30.
dalam Undang-
undang ini dapat
dihukum dengan
hukuman
maksimal 6 bulan
atau denda yang
setara dengan
batas maksimum
yang diatur oleh
Undang-undang.
C. Analisis Perbandingan Kedudukan dan Jumlah Mahar di Indonesia
dan Pakistan
Mahar merupakan suatu kewajiban yang harus dipikul oleh setiap
calonsuami yang akan menikahi calon istri sebagai tanda persetujuan dan
kerelaan untuk hidup bersama sebagai suami istri.17
Di dalam al-Qur‟an
dan as-Sunnah mahar tidak dibatasi dengan jumlah. Dan mahar pun di
peruntukan oleh perempuan yang dijadikan sebagai isteri. Berbeda halnya
dengan para Imam madzhab yang menentukan batasan minimal mahar
salah satunya yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan para
pengikutnya batas minimal mahar sebanyak 10 Dirham. Ulama Hanafiyah
17
Mustafa Kamal Pasha, Fikih Islam, (Yogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2009), h. 274
69
beralasan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan
Baihaqi sebagai berikut:
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنو قال, قال رسول الله ص.م: ل ينكح النساء إل كفؤا ول يزوجهن إل الولياء و ل مهر دون عشرة دراىم
Artinya: Dari Jabir ra. Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda:
„‟ketahuilah, wanita itu tidak boleh dikawinkan kecuali oleh para wali,
dan wali itu tidak boleh mengawinkan mereka (wanita) kecuali dengan
laki-laki yang sekufu‟dengannya, dan tidak ada mahar kecuali paling
sedikit sepuluh dirham. (HR. Daruquthni dan Baihaqi).18
Hadits di atas menjelaskan bahwa batas minimal mahar adalah
sepuluh dirham. Kurang dari itu dianggap tidak ada mahar atau pernikahan
itu tidak sah. Adapun dalil tersebut merupakan qiyas yang dikemukakan
oleh mazhab Hanafiyah yaitu dengan mengqiyaskan batas minimal
maharkepada nishabpotong tangan dalam pencurian, karena masing-
masing merupakan ketentuan syara‟yang menghalalkan anggota tubuh.
Menurut mereka nishab pencurian yang mewajibkan potong tangan adalah
sepuluh dirham atau setara dengan Rp. 35. 476, 86. Maka itulah yang bisa
menghalalkan kehormatan wanita. Hadits ini menjelaskan penetapan
bahwa syarat mahar menurut ukuran yang benar secara syara‟ adalah tidak
kurang dari sepuluh dirham dan nash-nash yang lain yang menunjukan
persyaratan kewajiban melakukan, atau sahnya suatu akad atau segala
sesuatu yang disyaratkan.19
Berbeda halnya dengan mahar yang di
kemukakan oleh madzhab Syafi‟i yang berpendapat bahwa mahar tidak
18
Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunnah al-Baihaqi al-Kubro,
(Makkah: Dar al-Bazh, Juz VII), h. 240. 19
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Semarang: Toha Putra Group, 2014, cet. Ke-2),
h. 178.
70
ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang berharga dapat dijadikan
sebagai mahar.20
Di negara muslim khusnya Indonesia dan Pakistan mempunyai
peraturan perundang-undangan tersendiri mengenai mahar. Peratauran
perundang-undangan tersebut di pengaruhi oleh aliran madzhab yang
berlaku di kedua negara tersebut. Mayoritas masyarakat di Indonesia
menganut madzhab Syafi‟i dan adapun perundang-undangan yang
menyanagkut mengenai mahar di Indonesia tercantum secara jelas di
dalam Kompilasi Hukum Islam. Materi hukum yang tercantum di dalam
Kompilasi Hukum Islam masih di dominasi oleh madzhab Syafi‟i.21
Mahar
di Indonesia berasaskan kesederhanaan dan kemudahan sesuai dengan
pendapat madzhab yang dianut oleh mayoritas muslimIndonesia.
Di Pakistan mayoritas muslim menganaut madzhab Hanafi. Di
dalam praktek keseharian masyarakat muslim Pakistan yang berhubungan
dengan hukum Islam, khususnya terhadap hukum keluarga dan waris
masih masih tetap mengikuti aliran madzhab Hanafi.22
Begitu pula
terhadap mahar di Pakistan mahar di tentukan jumlahnya dan ditegaskan
bagi siapa saja yang melanggar kan dikenakan sanksi pidana di dalam
perundang-undangannya Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976.
20
Abdul Mukti Ali, Agama dan Masyarakat, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 1993), h.
340. 21
Cik Hasan Bisri (ed), KHI dan PA dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), h. 15 22
Syariahalauddin, Sejarah Pemberlakuan Hukum Keluarga di Pakistan, artikel di postkan
pada tanggal 22 April 2012 dari http://www.scribd.com/doc/90610937/Makalah-HKI-Di-Pakistan.
Diakses pada tanggal 15 Agustus 2016, 16.45 WIB.
71
Berdasarkan hasil pemaparan penulis di atas, maka untuk
memperjelas uraian dan analisis bab keempat skripsi ini dapat dipahami
bahwa peraturan mengenai mahar di Pakistan lebih dipertegas
dibandingkan dengan di Indonesia. Faktor yang mempengaruhi
perundang-undangan mahar di pakistan berbeda dengan negara muslim
lainnya disebabkan oleh pertama karena faktor tradisi atau adat yang
masih berlaku pada masyarakat pakistan sangat kuat . Khususnya terhadap
mahar. Di Pakistan pemberian mahar di pengaruhi oleh tradisi atau adat
yang berlaku di kalangan masyarakat. Hal itu dimungkinkan karena oleh
praktek dimana pihak wali lebih mendominasi dalam menetapkan jumlah
mahar, atau pemberian yang seolah-olah statusnya sama dengan mahar
dengan jumlah yang sangat besar, sehingga hal itu memberatkan pihak
yang ingin melangsungkan akad pernikahan.
Perundang-undangan mahar di Pakistan merupakan pembaharuan
terhadap hukum keluarga di Pakistan yang beranjak jauh dari kitab fiqih
klasik. Hal tersebut di lakukan untuk memudahkan mengenai tradisi mahar
yang berlaku di Pakistan agar tidak memberatkan bagi masyarkat yang
ingin melangsungkan akad nikah sebagimana yang terapkan di dalam
agama Islam. Dijelaskan secara jelas dan rinci di dalam undang-undang
tersebut. Hal tersebut jika dibandingkan tentu sangatlah berbeda dengan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Kedua faktaktor penyebab Pakistan memiliki hukum keluarga yang
berbeda dengan Indonesia tentu di sebabkan oleh adanya perbedaan
72
madzhab yang dianut oleh kedua negara ini. Madzhab yang dianut oleh
mayoritas masyarakat Pakistan adalah madzhab Hanafi, hal tersebut
menjadi faktor terpenting dalam pembentukan perundang-undangan di
Pakistan khususnya dalam pembentukan perundang-undangan hukum
keluarga. Salah satu contohnya mengenai perundang-undangan mahar di
Pakistan dimana kadar mahar yang ditetapkan oleh Ulama Hanafiyah
mengenai batas minimal mahar sebanyak 10 dirham perak. Ulama
Hanafiyah beralasan dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh mereka
dari Jabir r.a. dari Nabi saw. Beliau bersabda:
ء إل كفؤا ول يزوجهن إل عن جابر بن عبد الله رضي الله عنو قال, قال رسول الله ص.م: ل ينكح النسا الولياء و ل مهر دون عشرة دراىم
Artinya: Dari Jabir ra. Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda:
„‟ketahuilah, wanita itu tidak boleh dikawinkan kecuali oleh para wali,
dan wali itu tidak boleh mengawinkan mereka (wanita) kecuali dengan
lakilaki yang sekufu‟dengannya, dan tidak ada mahar kecuali paling
sedikit sepuluh dirham.(HR. Daruquthni dan Baihaqi).23
Hadis ini menjelaskan penetapan bahwa syarat mahar menurut
ukuran yang benar secara syara‟ adalah tidak kurang dari sepuluh dirham
dan nash-nash yang lain yang menunjukkan persyaratan kewajiban
melakukan, atau sahnya suatu akad atau segala sesuatu yang disyaratkan.24
Di dalam perundang-undang Pakistan dimana batas maksimal
maharyang diatur di dalam Dowry and Bridal Gifts [Restriction] Act 1976
tepat nya pada pasal 3 mengatur mengenai pembatasan maksimal mahar,
23
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, cet ke- XII (Bandung: al-Ma‟arif, 1996), h. 56. 24
Abdul Wahhab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih, cet. Ke-2 (Semarang: Toha Putra Group, 20014),
h. 178.
73
hadiah, dan hadiah pengantin. Pada pasal 3 tepatnya ayat (1) menetapkan
jumlah maksimal mahar 5000 Rupee atau setara dengan Rp. 980.055,94.
Di Indonesia mayoritas masyarakat muslimnya menganut madzhab
Syafi‟i, madzhab ini memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Meskipun dalam negara
Islam, Indonesia dapat di katagorikan sebagai negara muslim. Dalam
kaitannya dengan reformasi hukum, khususnya hukum keluarga.25
Secara
sosiologis KHI secara nyata telah menjadi buku hukum, pedoman hukum,
kitab hukum yaitu hukum yang mandiri dan ijtihad serta ijma‟ umat Islam
Indonesia. Bahkan lebih dari pada itu, menurut Cik Hasan Bisri KHI
merupakan upaya akomodatif dari madzhab fiqih klasik, dan materi
hukum yag terkandung di dalam KHI pun masih didominasi oleh madzhab
Syafi‟i.26
Dikatakan demikian karena 38 kitab mu‟tabarah yang di tulis
oleh ulama yang bermadzhab Syafi‟i dijadikan rujukan dalam penyusunan
KHI.
Berbeda halnya dengan mahar yang ditetapkan oleh Pakistan. Di
Indonesia mahar tidak diatur di dalam Undang-undang Perkawinan No. 1
tahun 1974, akan tetapi perundang-undangan mengenai mahar di
Indonesia diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam secara jelas dan
terperinci tepatnya di dalam pasal 30-38. Dalam pembahasan khusus
25
M. Atho Mudzhar, Hukum Islam Di Dunia Modern (Suatu Studi Perbandingan) dalam
Mimbar Hukum No. 12, (Jakarta: Ditbinpera Islam Depag RI, 1994), h. 25. 26
Cik Hasan Bisri (ed), KHI dan PA dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), h. 15.
74
mengenai mahar di dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia di awali
dengan penegasan kewajiban calon suami untuk memberikan mahar
kepada calon isteri. Hal tersebut berkesinambungan mengenai mahar yang
dikemukakan oleh ulama Syafi‟i bahwa mahar bukan lambang jual-beli
akan tetapi mahar merupakan lambang penghormatan terhadap perempuan
sekaligus sebagai lambang kewajiban dan tanggung jawab suami
memberikan nafkah kepada isteri, selain lambang cinta dan kasih sayang
suami terhadap isteri.27
Kemudian pada pasal 31 ditetapkan atas asas
mahar yaitu sederhana dan mudah. Pada pasal 32 ini sebagimana mahar
yang di terapkan oleh madzhab Syafi‟i bahwa mahar tidak ada batas
terendahnya.Selanjutnya ditegaskan pula mengenai kepemilikan mahar
adalah menjadi milik isteri. Selanjutnya adapun penyerahan mahar pada
prinsipnya adalah tunai akan tetapi ada kemungkinan di tangguhkan atau
sebagian.28
27
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), h. 124. 28
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), h. 40.
76
BAB V
KESIMPULAN
a. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya, maka
sebagai akhir dari penelitian ini penulis akan menarik kesimpulan sebagimana
berikut:
1. Hukum keluarga yang berlaku di Indonesia dan pakistan mengenai mahar
sesuai dengan hukum Islam. Di mana mahar tidak diberatkan bagi calon
mempelai laki-laki yang ingin melangsungkan akad pernikahan.
2. Faktor budaya dan aliran madzhab mempengaruhi tradisi mahar di Indonesia
dan Pakistan. Pakistan merupakan negara Islam yang sangat kental dengan
madzhab yang dianutnya. Seperti halnya maahar di dalam pernikahan. Budaya
mahar di Pakistan di tunjang dari status sosial akan tetapi di dalam perundang-
undangan mengenai mahar di pakistan Dowry and Bridal Gifts (Restriction)
act 1976 menyatakan bahwa batas maksimal mahar berdasarkan dengan
jumlah yang telah diatur oleh di dalam perundang-undangannya. Sedangkan di
Indonesia mahar tidak dijumpai dalam kadar jumlah yang ditetapkan akan
tetapi mahar di Indonesia hanya berdasarkan asas kesederhanaan dan
kemudahan sebagimana yang tercantum di dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Pasal 31 sebgaimana yang ditetapkan oleh madzhab Syafi’I bahwa
mahar tidak ada batas minimal maupun maksimalnya.
3. Peraturan Perundang-undangan mengai mahar di Indonesia di tidak di jumpai
dalam kadar jumlah yang ditetapkan di dalam Undang-undang yang berlaku
akan tetapi mahar di Indonesia hanya berdasarkan asas kesederhanaan dan
77
kemudahan sebagimana yang tercantum di dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Pasal 31.
Di Pakistan peraturan mengenai mahar yang diatur di dalam Perundang-
undangan Pakistan, mahar diatur secara jelas di dalam Muslim Family Law
Ordonansi yang digunakan oleh Pakistan sebagai kitab Undang-undang hukum
keluarga yang berlaku. Di dalam perudangan-undangan Pakistan tersebut
tercantum secara jelas mengenai Dowry and Bridal Gifts [Restriction] act 1976
bahwa mahar di Pakistan ditetapkan di dalam perundang-undangan tersebut
dengan kadar maksimal dalam memberikan mahar. Tepatnya pada pasal pasal
3 mengatur mengenai pembatasan maksimal mahar, hadiah, dan hadiah
pengantin. Padapasal 3 tepatnya ayat (1) menetapkan jumlah maksimal mahar
5000 Rupee atau setara dengan Rp 980.055,94. Mahar yang ditetapkan oleh
perundang-undangan di Pakistan merupakan hasil pembaharuan yang sudah
beranjak jauh dari hukum fiqih klasik yang biasa dipakai oleh negara-negara
yang mayoritas penduduknya muslim. Hal tersebut di latar belakangi oleh
praktek yang ada di Pakistan di mana pihak wali lebih mendominasi dalam
menetapkan jumlah mahar, atau pemberian yang seolah-olah statusnya sama
dengan mahar dengan jumlah yang besar, sehingga hal itu memberatkan pihak
yang akan melakukan akad nikah. Jadi aturan itu dibuat untuk mengembalikan
konsep dasar Islam yang tidak mempersulit masalah pemberian mahar.
A. Saran-saran
Sebagai catatan akhir maka penulisakan memberikan saran:
1. Peraturan perundang-undangan perkawinan khususnya mengenai mahar di
Indonesia lebih di pertegaslagi agar tidak ada perbedaan kasta yang terjadi di
78
dalam keseharian masyarakat Indonesia dalam memberikan mahar guna
mempermudah perkawinan yang akanberlangsung.
2. Pengetahuan mengenai perbandingan hukum keluarga Islam ini sangat penting
dikarenakan sering kali terjadi perdebatan masalah yang ada di negara kita
khususnya mengenai mahar yang yang tertulis di Kompilasi Hukum Islam ini
tidak sejalan dengan apa yang terjadi pada masyarakat. Di Pakistan mahar
yang ditetapkan oleh Perundang-undangan yang berlaku salah satunya yaitu
dibatasi kadar maksimal dari mahar tersebut. Dan di Pakistan pun ditetapkan
sanksi bagi yang melanggar.
3. Peraturan perundang-undangan di Indoensia sudah cukup baik dan benar
sesuai dengan fiqih munakahat dan hukum Islam yang berlaku. Begitu juga
dengan peraturan mengenai mahar yang diperaktekan di sejumlah kalangan
mengenai kadar mahar yang tergolong tinggi, dengan maksud menyeragamkan
mahar yang berlaku di Indonesia sesuai degan asas mahar yang ada di dalam
perundang-undang di Indonesia yaitu sederhana dan mudahakan tetapi
kenyataannya masih banyak pihak-pihak yang ingin melangsungkan
perkawinan dengan meminta mahar yang mungkin sedikit memberatkan pihak
dari calon mempelai laki-laki. Hal demikian perlu dipertegas dengan adanya
sanksi yang ditetapkan dari perundang-undangan hukum keluarga yang
berlaku di Indonesia khususnya mengenai masalah mahar.
79
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonsia, (Jakarta: CV Akademia
Pressindo, 2010).
Ahmad, Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Ma'bary Al-Fannan, Fathul Mu'in
Bisyarhi Qurrotil Ain Bimuhimmatiddin, cet. Ke-1 (Beirut: Dar Ibnu Hazm,
2004).
Alaidrus, Shavira, Mahar Dalam Tradisi Pernikahan Bangsawan Babar, dari
http://www.antaranews.com/berita/read/431398/mahar-dalam-tradisi-
pernikahan-bngawan-babar, artikel diaksespada 28 April 2016 jam 10.40
WIB .
Ali, Abdul Mukti, Agama dan Masyarakat, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta,
1993).
Ali, Muhammad Daud, Cik Hasan Bisri (EDS), Kedudukan dan Pelaksanaan
Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia, dalam Hukum Islam
dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, cet. Ke-1 (Jakarta: Logos, 1998).
Anderson, Jhon, Hukum Islam Di Dunia Modern, (Surabaya: Amarpress, 1990)
Syaikh Amin al-Kurdiy, Muhammad, Tanwir al-Qulub, (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1995).
Arikanto, Suharsimi, Prosedur Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: RinekaCipta,
1993).
Atho, M Mudzhar, Hukum Islam Di Dunia Modern (Suatu Studi Perbandingan)
dalam Mimbar Hukum No. 12, (Jakarta: Ditbinpera Islam Depag RI, 1994).
----, ---------------, Hukum Keluarga di Dunia Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2003).
Al-Bukhari, Sahih Al-bukhari, Juz III, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 2008).
Bhuto, Benazir, Rekonsilasi, Islam Demokrasi & Barat, (Jakarta: PT. Bhuana
Ilmu Populer, 2008).
Daly, Peunoh, HukumPerkawinan Islam, Suatu Studi Banding dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan negara-negara Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang,
2005).
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro,
2005).
Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam Jilid IV, Cet. IV, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Houve, 1997).
80
Dhofier, Zamaksyari, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta : LP3ES, 1985).
Dhofier, Zamaksyari, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta : LP3ES, 1985).
Djubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan dan Perawinan Tidak Dicatat,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
Djatnika, Rahmat, Sosialisasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Abdurahman
Wahid, Iet. Al, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosda karya, 1990).
Effendi, Satria, UshulFiqih, (Jakarta: Kencana Prenanda Media Group, 2005).
Ghozali, Abdurrahman, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006).
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Pandangan Hukum
Adat, Hukum Agama, (Bandung: MandarMaju, 2003).
Halim, Abdul,Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002).
Harahap, Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2007).
Hasan, CikBisri (ed), KHI dan PA dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999).
Hasyiyah, Al-Babarty al-Mufti Asy-Syahir bin Sa’ied al-Halbi, Al-'inayah
Syarhul Hidayah, jilid 3 (Beirut: DarulFikri, t.th).
Humam, Ibnu, Syarh Fath al-QadirJuz III, (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah,t.th).
al-Husain bin Ahmad, bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqi, Sunnah al-Baihaqi
al-Kubro, Juz VII (Makkah: Dar al-Bazh, 1994).
Husain, Muhammad, Fiqih Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender, (Yongyakarta: LKIS, 2010).
H.P Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2009).
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan, (Jakarta: Teraju, 2004 ).
J. Lexi, Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, cet. Ke-26 (Bandung: PT. Remaja
Rosda karya, 2009).
81
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2004).
Pasha, Mustafa Kamal, Fikih Islam, (Yogjakarta: Citra Karsa Mandiri, 2009).
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in The Muslim World, (N. M Tripathi PVT.
LTD, Bombay, 1972).
-----------, -----, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: N.M Triphati
PVT, 1987).
Mattulada, Kebudayaan Bugis-Makasar, Dalam Koentjaraningrat, ed. Manusia
dan kebudayan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1979).
Mehdi, Rubya, The Islamization of the Law in Pakistan, (United Kingdom:
Curson Press, 1994).
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: Penerbit Lentera,
2007).
------, ---------------------------, al-Fiqih ‘ala Madzhab al-Khamsah, di terjemahkan
oleh Alif Muhammad dengan judul Fiqih Lima Madzhab, Juz II, (Jakarta:
BasriePers, 1994).
Muslim, Imam, Shohih Bukhori Juz 5, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah, 1994).
Nasiri, Hebohnya Kawin Misyar, (Surabaya: Al Nur, 2010).
Nasution, Khoiruddin, Islam tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan
1), (Jakarta: Academia &Tazzafa, 2004).
----------, --------------, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap
Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan
Malaysia, (Jakarta: INIS,2002).
Nurjannah, Mahar Pernikahan, (Yogyakarta: Prima Shopi, 2003).
Nuruddin, Amir & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2004).
Rao, Vijayendra Dowry inflation in Rural India, a Statistical Investigation,
“dalam population Studies, Vol. 47 (2), 1993.
Rosid Hatama dkk, ed, Harmonisasi Agama dan Budaya Di Indonesia, (Jakarta:
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009).
RusydIbnu, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, (Jakarta: PustakaAmani, 2007).
82
Rumadi, Post Tradisionalisme Islam, Wacana Intelektualisme dalam Komunitas
NU Seri Penerbitan Hasil Penelitian Kompetitip Depag RI, (Jakarta:
Direktorat PendidikanTinggi Islam-Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Depag RI 2007).
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, cet. Ke- XII (Bandung: al-Ma’arif, 1996).
-------,-------, Fiqih Sunnah VII, (Bandung : PT. Alma’arif, 1981).
Setiadi, Tolib, Intisari Hukum Adat Indoniesa, dalam kajian kepustakaan,
(Bandung: Alfabeta, 2013).
Shomad, Abd, Hukum Islam Penoromaan Prinsip Syariah Dalam Hukum
Indonesia, (Jakarta: Kencana Group, 2010).
Soedjati, Zarkowi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia cet.
I, (Surabaya: Arkola, 1997).
Soepomo, Sejarah Politik Hukum Adat Jilid II, (Jakarta: Pradya Pramita, 2001).
Syahuri, Taufiqurrahman, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Pro-kontra
Pembentukannya hingga putusan mahkamah konstitusi, (Jakarta: Kencana
Prenanda Media Group, 2013).
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2009).
------------, ------, HukumPerkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006).
------------, ------, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-isu Penting Hukum Islam
Kontemporer di Indonesa, (Jakarta: Ciputat Press, 2002).
Tahir, Muhammad Azhary, Negara Hukum, cet. Ke -1, (Bogor: Kencana , 2003).
Thayeb, M, Pengetahuan Sosial Terapadu untuk kelas SD kelas V, (Jakarta:
Erlangga, 2004).
Thohir, Ajid, Studi Kawasan Dunia Islam, Perspektif Etno dan Geo Politik,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012).
Tihami M.A. danSohari, Fiqih Munakahat, Kajian Fiqih Nikah Lengkap,
(Jakarta: Raja WaliPers, 2009).
Umar, Arsyad, Pengetahuan Sosial Terpadu untuk SD kelas IV, (Jakarta:
Erlangga, 2007).
Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
83
Vergouwen, J.C., Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (DIY: Lkis, 2004).
Wahhab, Abdul Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih, cet. Ke-2 (Semarang: Toha Putra
Group, 20014).
Yahya, Mukhtar, Fatchur Rahman, Dasa-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam,
(Bandung: Al-Ma’arif, 1986).
Yilmaz, Ihsan, Muslim Laws Politik and Society in Modern nation states: dynamic
legal pluralism in England, Turkey and Pakistan (England, Ashgate, 1971).
Zakariya Abu Muhy, al-Din Yahya bin Syarf al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh
al-Nawawi, juz V (Beirut: Dar al-Fikr, 1398 H/ 1978 M).
Zed, Mestika, Metodelogi Penelitian Kepustakaan, (Jakart: Yayasan Obor
Indonesia, 2004).
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam WaAdilatuhu, (Damaskus: DarulFikir, 2007).
Zumroni, Muhammad, Sumber Hukum dan konstitusional Undang-Undang:
Perbanding Indonesia dengan beberapa negara muslim (Pakistan, Mesir,
dan Iran) fakultas syariah dan hukum prodi Jinayah Syiasah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009.
Perundang-undangan
Dowry and Bridgal Gift [Restriction] Act 1972.
Kompilasi Hukum Islam
DokumenElektronikdan Internet
Alaidrus, Shavira, Mahar Dalam Tradisi Pernikahan Bangsawan Babar, dari
http://www.antaranews.com/berita/read/431398/mahar-dalam-tradisi-
pernikahan-bngawan-babar, artikel diakses pada 28 April 2016 jam 10.40
WIB.
http://id.m.wikipwdia.org/wiki Daftar_negara_menurut_jumlah_penduduk,
diakses pada tanggal hari Selasa 09 Agustus 2016, pukul 20.00 WIB.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pakistan diakes pada tanggal 16 Juli 2016, jam
13.00 WIB.
84
http://in.coinmill.com/IDR_INR.html#INR=100, translate matauang Pakistan
(Rupee) ke Indonesia, diakses pada tanggal 22 Agustus 2016, 19.34 WIB.
Http:///macam-macampenelitiankualitatif.Subliyato.com diakses pada hari Rabu
04-11-2015, jam 13.15 WIB.
https://musallamudassir.wordpress.com/2009/10/27/ketentuan-mahar-mitsil/
diakses pada tanggal 21 Agustus 2016, 19.56 WIB.
http://www.anneahira.com/suku-suku-bangsa-di-indonesia.htm diakses pada hari
Selasa 09 Agustus 2016 pukul 13.00 WIB.
http://id.m.wikipwdia.org/wiki Daftar_negara_menurut_jumlah_penduduk,
diakses pada tanggal hari Selasa 09 Agustus 2016, pukul 20.00 WIB.
Kewa, Kornelis Ama, Mahar Kawin yang Membebani Keluarga, dari
http://lipus.kompas.com/jejakaperadabanntt/read/2010/12/10/08361911,
artikel diakses pada 28 April 2016, jam 13.45 WIB .
Syariah, alauddin, Sejarah Pemberlakuan Hukum Keluarga Di Pakistan, artikel
diposkan pada tanggal 22 April 2012 dari
http://www.scribd.com/doc/90610937/Makalah-HKI-DI-PAKISTAN.
Diakses pada tanggan jum’at 12 Agustus 2016, 16.31 Wib.
Syariah, alauddin, Sejarah Pemberlakuan Hukum Keluarga Di Pakistan, artikel
diposkan pada tanggal 22 April 2012 dari
http://www.scribd.com/doc/90610937/Makalah-HKI-DI-PAKISTAN,
diakses pada tanggal senin 15 Agustus 2016, 16.45 WIB.
Ensiklopediadan Journal
Badr-Eddine, Sari, MouradAribi, &Badia Sari, Effect of Enogamy and
Consanguinity on The Development Labial Venous Malformations in area
of tlemcen (Wes Algeria) The Oppen genomics Journal, 2008.
Fuady, Samir, Peran Urf dalam Formalisasi Hukum Peminangan di Malaysia dan
Pakistan menurut Tinjauan Dalil al-Qur’an dan Sunnah dalam Jurnal Al-
Mu’ashirah, vol. 10, No. 1,Januari 2013, Pasca Sarjana UIN Jakarta 2013.
Muhammad, Ar-Rifa’I Talal, dan Robert C. Woody, Marriage Patterns and
Pediadnic Neurologic Disease in Damascus, Scince II (Syiri’a: Pakistan
Journal, 2007).
Mumuh, Muhsin Z, Teori Masuknya Islam ke Nusantara Sebuah Diskusi Ulang,
(Bandung: 2007).
KOMPILASI HUKUM ISLAM *
BUKU I HUKUM PERKAWINAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dengan : a. Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara
seorang pria dengan seorang wanita, b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya,
yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah; c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi; d. Mahar adalah pemberiandari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk
barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam; e. Taklil-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang;
f. Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersam suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya sisebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;
g. Pemeliharaan atak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memeliharadan mendidik anaka hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri;
h. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
i. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya;
j. Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa bendaatau uang dan lainnya.
BAB II DASAR-DASAR PERKAWINAN
Pasal 2
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diaturdalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
* Disalin dari ”Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam
Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001.
Pasal 6 (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, seyiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan
dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai
kekuatan Hukum.
Pasal 7 (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya
ke Pengadilan Agama. (3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian; (b) Hilangnya Akta Nikah; (c) Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian; (d) Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan; (e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974; (4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka,
wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pasal 8 Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan
Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.
Pasal 9
(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
BAB III PEMINANGAN
Pasal 11
Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya.
Pasal 12
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seotrangwanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Pasal 13
(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
BAB IV RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Rukun
Pasal 14 Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon Suami; b. Calon Isteri; c. Wali nikah; d. Dua orang saksi dan; e. Ijab dan Kabul.
Bagian Kedua
Calon Mempelai
Pasal 15 (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon
mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun
(2) Bagi calon mempelai yang bgelum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.
Pasal 16
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. (2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan
tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Pasal 17
(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Pasal 18
Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.
Bagian Ketiga Wali Nikah
Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari : a. Wali nasab; b. Wali hakim.
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Ababila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Bagian Keempat
Saksi Nikah
Pasal 24 (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akdan nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.
Bagian Kelima Akad Nikah
Pasal 27
Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.
Pasal 28
Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 29
(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. (2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain sengan ketentuan
calon mempelai pria memeberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
BAB V MAHAR
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya.
Pasal 33 (1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. (2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk
seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belumditunaikan penyerahannya menjadi hutangcalon mempelai pria.
Pasal 34
(1) Kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan rukun dalm perkawinan. (2) Kelalaian menyebut jenis dan jumalh mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya
perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.
Pasal 35
(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka sumai wajib membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelasaian diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas.
(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.
BAB VI
LARANGAN KAWIN
Pasal 39 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan : (1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
(2) Karena pertalian kerabat semenda :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya; b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya; c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul; d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan : a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas; b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah; c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah; d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas; e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu: a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya; a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya; b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.
Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria : a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali; b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
BAB VII PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk : 1. Taklik talak dan 2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pasal 46
(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. (2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidek dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan
persoalannya ke pengadilan Agama. (3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi
sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 47 (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat
perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai
tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan
wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan (3) sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak
ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.
(4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian y7ang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri untuk memeinta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh doiperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.
BAB VIII KAWIN HAMIL
Pasal 53
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dialngsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang
setelah anak yang dikandung lahir.
Pasal 54 (1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga
boleh bertindak sebagai wali nikah. (2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram
perkawinannya tidak sah.
BAB IX BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri. (2) Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri
dan anak-anaknya. (3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri
dari seorang.
Pasal 56 (1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. (2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975. (3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan
Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57 Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila : a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu : a. adanya pesetujuan isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak
mereka. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,
persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
BAB X
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 60 (1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum
Islam dan Peraturan Perundang-undangan. (2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan
melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan.
Pasal 61
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.
Pasal 62
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudar, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan
(2) Ayah kandung yang tidak penah melaksankan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akna dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Pasal 63
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.
Pasal 64
Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.
Pasal 65
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Pasal 66
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belu dicabut.
Pasal 67 Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada
Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau denganputusan Pengadilan Agama.
Pasal 68 Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan
perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 69
(1) Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undanf No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berjak mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.
(4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memebrikan ketetapan, apabila akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
BAB XI BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 70
Perkawinan batal apabila : a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah
mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i; b. seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya; c. seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas
isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu : 1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataukeatas. 2. berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri. 4. berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman
sesusuan. e. isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya.
Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud. c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain; d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang-undang No.1. tahun 1974; e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah : a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atauisteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang. d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
Pasal 74
(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap : a. perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad; b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.
Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
BAB XII HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 77 (1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat (2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
bathin yang satui kepada yang lain; (3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik
mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya; (4) suami isteri wajib memelihara kehormatannya; (5) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Agama
Pasal 78 (1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama.
Bagian Kedua Kedudukan Suami Isteri
Pasal 79
(1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. (2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. (3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Bagian Ketiga Kewajiban Suami
Pasal 80
(1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.
(2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(4) sesuai dengan penghasislannya suami menanggung : a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; c. biaya pendididkan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.
Bagian Keempat Tempat Kediaman
Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
Bagian Kelima
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dan Seorang
Pasal 82 (1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tiggaldan
biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
(2) Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.
Bagian Keenam Kewajiban Isteri
Pasal 83
(1) Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
(2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz (4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
BAB XIII HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
Pasal 86
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. (2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap
menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
Pasal 87 (1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai
hasiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
Pasal 88 Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian
perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89 Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri.
Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.
Pasal 91 (1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau
tidak berwujud. (2) Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat
berharga. (3) Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban. (4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan
pihak lainnya.
Pasal 92 Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan
harta bersama.
Pasal 93 1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing. 2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan
kepada harta bersama. 3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami. 4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri
Pasal 94
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.
Pasal 95
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
2. Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96
1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama,.
2. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97
Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
BAB XIV
PEMELIHARAAN ANAK
Pasal 98 (1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
Pasal 99
Anak yang sah adalah : a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Pasal 100
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li`an.
Pasal 102
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukansesudah lampau waktu terebut tidak dapat diterima
Pasal 103 (1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya. (2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah.
(3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Pasal 104
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah
atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya; c. biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya.
Pasal 106
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keslamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).
BAB XV PERWALIAN
Pasal 107
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya. (3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan
Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untukbertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau oranglain yang sudah dewasa, berpiiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.
Pasal 109
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatbya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Pasal 110
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebanni dan mengasingkan harta orang yang berada dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan.
(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang No.1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun satu kali.
Pasal 111
(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah.
(2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
Pasal 112
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali fakir.
BAB XVI PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 113 Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan.
Pasal 114 Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian.
Pasal 115 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan; b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain
dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung; d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau isteri; f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; g. Suami menlanggar taklik talak; k. peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Pasal 117
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.
Pasal 118
Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa iddah.
Pasal 119
1. talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
2. Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah : a. talak yang terjadi qabla al dukhul; b. talak dengan tebusan atahu khuluk; c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 120
Talak Ba`in Kubraa adalah talak y6ang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.
Pasal 121
Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122
Talak bid`I adalahtalak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
Pasal 123
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan
Pasal 125 Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamnya.
Pasal 126 Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
Pasal 127
Tata cara li`an diatur sebagai berikut : a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut
diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”
b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran gtersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya :tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;
c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan; d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an.
Pasal 128 Li`an hanya sah apabila dilakukann di hadapan sidang Pengadilan Agama.
Bagian Kedua
Tata Cara Perceraian
Pasal 129 Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi
Pasal 131
1. Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak danternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagihidup rukun dalamrumah tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
3. Setelah keputusannya mempunyai kekeutan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatanhukum yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri.
Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama
Pasal 132
1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama,. Yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 133
1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah.
2. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman besama.
Pasal 134
Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.
Pasal 135
Gugatan perceraraian karena alsan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyapaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 136
1. Selama berlangsungya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mingkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat : a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi
hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri
Pasal 137
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu.
Pasal 138
1. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatanpada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau bebrapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-siurat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua
3. Tenggang dwaktu antara penggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
Pasal 140
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2), panggilandisampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat
Pasal 141
1. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian
2. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tenyang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa meeka.
3. Apabila tergughat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkanya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pasal 142
1. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
2. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.
Pasal 143 1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. 2. Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan.
Pasal 144 Apabila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan
alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 145
Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 146
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka. (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap
Pasal 147 (1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, aka panitera Pengadilan Agama menyampaikan
salinan surat putusan tersebut kepada suami isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan.
(2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepadaPegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.
(3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat Keterngan kepada masing-masing suami isteri atau kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri.
(4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai.
Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera.
(5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungka dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah Jakarta.
(6) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.
Pasal 148
1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyanpaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau lasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk disengar keterangannya masing-masing.
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya disepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5) 6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusanatau iwadl Pengadilan Agama
memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.
BAB XVII AKIBAT PURUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu Akibat Talak
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali
bekas isteri tersebut qobla al dukhul; b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas
isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil; c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul; d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah.
Pasal 151 Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
Pasal 152
Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.
Bagian Kedua Waktu Tunggu
Pasal 153
1. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut : a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari: b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktutunggubagi yang masih haid ditetapkan 3
(tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda gtersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitungsejak kematian suami.
5. Waktu tunggu bagi isteri yang oernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.
6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Pasal 154
Apabila isteri bertalak raj`I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulansepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.
Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah talak.
Bagian Ketiga
Akibat Perceraian
Pasal 156 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah
meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; 2. ayah; 3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahatau ibunya; c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmanidan rohanianak,
meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)
e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama membverikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d);
f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
Pasal 157
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96,97
Bagian Keempat Mut`ah
Pasal 158
Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat : a. belum ditetapkan mahar bagi isteriba`da al dukhul; b. perceraian itu atas kehendak suami.
Pasal 159
Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158
Pasal 160 Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
Bagian Kelima Akibat Khuluk
Pasal 161
Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk
Bagian Keenam
Akibat Li`an
Pasal 162 Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung
dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.
BAB XVIII RUJUK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 163 (1) Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam masaiddah. (2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan qobla al dukhul;
b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.
Pasal 164
Seorang wanita dalam iddah talak raj`I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi
Pasal 165
Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 166
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatbya kepada instansi yang mengeluarkannya semula.
Bagian Kedua
Tata Cara Rujuk
Pasal 167 (1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah
atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteridengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan
(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri dihadapan Pegawaii Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan meyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya.
(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan besrta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikahmenasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal 168
(1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan besreta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
(2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
(3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.
Pasal 169
(1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan isteri masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia ppada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk.
(3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera.
BAB XIX MASA BERKABUNG
Pasal 170
(1) Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
(2) Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.
BUKU II HUKUM KEWARISAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 171
Yang dimaksud dengan: a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
f. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
g. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada aorang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
h. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.
i. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan.
BAB II AHLI WARIS
Pasal 172
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum di\ewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.
Pasal 173 Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan
suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Pasal 174 (1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut hubungan darah: - golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. - Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda. (2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu,
janda atau duda.
Pasal 175 (1) Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai; b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban
pewaris maupun penagih piutang;
c. menyelesaikan wasiat pewaris; d. membagi harta warisan di antara wahli waris yang berhak.
(2) Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.
BAB III BESARNYA BAHAGIAN
Pasal 176
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapzt dua pertiga bagian, dan apabila anask perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Pasal 177 Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah
mendapat seperenam bagian. *
Pasal 178 (1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak
atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian. (2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-
sama dengan ayah.
Pasal 179 Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian.
Pasal 180 Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris
meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian.
Pasal 181 Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
Pasal 182 Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara
perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.
Pasal 183 Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah
masing-masing menyadari bagiannya.
Pasal 184 Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannyua, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.
Pasal 185 (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan
oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
* Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 2 Tahun 1994, maksud pasal tersebut ialah :
ayah mendapat sepertiga bagfian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Pasal 186
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
Pasal 187 (1) bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya
atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas: a. mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak maupun tidak
bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang;
b. menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c.
(2) Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
Pasal 188
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.
Pasal 189 (1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya
dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.
(2) Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Pasal 190
Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.
Pasal 191 Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau
tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.
BAB IV AUL DAN RAD
Pasal 192
Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli warisnya Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisnya dibagi secara aul menutu angka pembilang.
Pasal 193 Apabila dalam pembarian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan
bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka.
BAB V WASIAT
Pasal 194
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat. (3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat
dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Pasal 195 (1) Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang
saksi, atau dihadapan Notaris. (2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila
semua ahli waris menyetujui. (3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. (4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang
saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.
Pasal 196 Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa-
siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.
Pasal 197 (1) Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena: a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada
pewasiat; b. dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah
melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;
c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat;
d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dan pewasiat.
(2) Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu: a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya
pewasiat; b. mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya; c. mengetahui adanya wasiaty itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak
sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat. (3) Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.
Pasal 198 Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda haris diberikan
jangka waktu tertentu.
Pasal 199 (1) Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan
persetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali. (2) Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau
tertulis dengan disaksikan oleh dua prang saksi atau berdasarkan akte Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
(3) Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris.
(4) Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasartkan akte Notaris.
Pasal 200 Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab yang sah mengalami
penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa.
Pasal 201 Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.
Pasal 202 Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedangkan harta wasiat tidak mencukupi, maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya.
Pasal 203 (1) Apabila surat wasiat dalam keadaan tertup, maka penyimpanannya di tempat Notaris yang
membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya. (2) Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal 199 maka surat wasiat yang telah
dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.
Pasal 204 (1) Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada Notaris,
dibuka olehnya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu.
(2) Jikas surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris maka penyimpan harus menyerahkan kepada Notaris setempat atau Kantor Urusan Agama setempat dan selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan Agama tersebut membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini.
(3) Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya.
Pasal 205
Dalam waktu perang, para anggota tentara dan mereka yang termasuk dalam golongan tentara dan berada dalam daerah pertewmpuran atau yang berda di suatu tempat yang ada dalam kepungan musuh, dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan seorang komandan atasannya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 206
Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan nakhoda atau mualim kapal, dan jika pejabat tersebut tidak ada, maka dibuat di hadapan seorang yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 207
Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntutran kerohanian sewaktu ia mewnderita sakit sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.
Pasal 208
Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut.
Pasal 209 (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut
di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
BAB VI HIBAH
Pasal 210
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.
Pasal 211 Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.
Pasal 212 Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.
Pasal 213 Hibah yang diberikan pada swaat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan
kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
Pasal 214 Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan
Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal ini.
BUKU III HUKUM PERWAKAFAN
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 215
Yang dimaksud dengan: (1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakfkan benda miliknya. (3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya. (4) Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak uang memiliki daya
tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. (5) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf. (6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petuga spemerintah
yang diangkat berdasarkan peraturan peraturan yang berlaku, berkwajiban menerima ikrar dan wakif dan menyerahkannya kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan.
(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (6), diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.
BAB II FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT WAKAF
Bagian Kesatu Fungsi Wakaf
Pasal 216
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Bagian Kedua
Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf
Pasal 217 (1) Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat
akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.
(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) harus merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.
Pasal 218
(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), yang kemudian menuangkannya dalam bentuk ikrar Wakaf, dengan didaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi.
(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dan ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
Pasal 219
(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam;
c. sudah dewasa; d. sehat jasmani dan rohani; e. tidak berada di bawah pengampuan; f. bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.
(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; b. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang diwakafkannya.
(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut: ”Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi Nadzir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga” ”Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”. ”Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku Nadzir dalam pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuannya”.
(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
Bagian Ketiga Kewajiban dan Hak-hak Nadzir
Pasal 220
(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.
(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri Agama.
Pasal 221
(1) Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan karena: a. meninggal dunia; b. atas permohonan sendiri; c. tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai Nadzir; d. melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.
(2) Bilama terdapat lowongan jabatan Nadzir karena salah satu alasan sebagaimana tersebut dalam ayat (1), maka penggantinya diangkat oleh Kepala Kantor Urutan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Seorang Nadzir yang telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sub a, tidak dengan sendirinya digantikan oleh salah seorang ahli warisnya.
Pasal 222
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.
BAB III TATA CARA PERWAKAFAN
DAN PENDAFTARAN BENDA WAKAF
Bagian Kesatu Tata Cara Perwakafan
Pasal 223
(1) Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat Pembuaty Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
(2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama. (3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. (4) Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan
menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut: a. tanda bukti pemilikan harta benda; b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat
keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;
c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan.
Bagian Kedua Pendaftaran Benda Wakaf
Pasal 224
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian.
BAB IV PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN
PENGAWASAN BENDA WAKAF
Bagian Kesatu Perubahan Benda Wakaf
Pasal 225
(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
(2) Penyimpangan dari ketentuantersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan: a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif; b. karena kepentingan umum.
Bagian Kedua Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf
Pasal 226
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan benda wakaf dan Nadzir
diajukan kepada Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga Pengawasan
Pasal 227
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan agama yang mewilayahinya.
BAB V KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 228
Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya ketentuan ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini.
Ketentuan Penutup
Pasal 229 Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan
dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.
PENJELASAN ATAS
BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM
PENJELASAN UMUM 1. Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,
adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan poerwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.
2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, jo Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan lainnya sebagai peradilan negara.
3. Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan hukum Perwakafan. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735 hukum Materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas adalah bersumber pada 13 kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i.
4. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik maka kebutuhan hukum masyarakat semakin berkembang sehingga kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk diperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dari madzhab yang lain, memperluas penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya membandingkannya dengan Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa para ulama maupun perbandingan di negara-negara lain.
5. Hukum Materiil tersebut perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumen Yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 s/d 6
Cukup jelas
Pasal 7 Pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan agama.
Pasal 8 s/d 18 Cukup jelas
Pasal 19 Yang dapat menjadi wali terdiri dari wali nasab dan wali hakim, wali anak angkat dilakukan oleh ayah kandung.
Pasal 20 s/d 71 Cukup jelas
Pasal 72 Yang dimaksud dengan penipuan ialah bila suami mengaku jejaka pada waktu nikah kemudian ternyata diketahui sudah beristeri sehingga terjadi poligami tanpa izin Pengadilan. Demikian pula penipuan terhadap identitas diri.
Pasal 73 s/d 86 Cukup jelas
Pasal 87 Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 88 s/d 93 Cukup jelas
Pasal 94 Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 95 s/d 97 Cukup jelas
Pasal 98 Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 99 s/d 102 Cukup jelas
Pasal 103 Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 104 s/d 106 Cukup jelas
Pasal 107 Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 108 s/d 118 Cukup jelas
Pasal 119 Setiap talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan agama adalah talak ba’in sughraa.
Pasal 120 s/d 128 Cukup jelas
Pasal 129 Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 130 Cukup jelas
Paal 131 Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 132 Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 133 s/d 147 Cukup jelas
Pasal 148 Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.
Pasal 149 s/d 185 Yang dimaksud dengan anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah.
Pasal 187 s/d 228 Cukup jelas
Pasal 229
Ketentuan dalam pasal ini berlaku untuk Buku I, Buku II dan Buku III.