repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/sinatrya... ·...
TRANSCRIPT
FATWA MUI TENTANG PERKAWINAN CAMPURAN
(Studi Analisis Yuridis)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
SINATRYA ABDUL JABBAR
NIM : 11140440000066
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1441 H
v
ABSTRAK
Sinatrya Abdul Jabbar. NIM 11140440000066. FATWA MUI TENTANG
PERKAWINAN CAMPURAN (Studi Analisis Yuridis). Program Studi Hukum
Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019 M. 1x + 73 halaman 15 halaman
lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian
perkawinan campuran di Indonesia perspektif hukum positif dan hukum syariah,
terhadap fatwa MUI Pusat tentang Perkawinan Campuran tahun 1980 M. Dalam
ketentuan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Perkawinan Campuran yang termaktub dalam Pasal 57 menjelaskan bahwa,
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia”. Namun, ketentuan substansi yang tertuang pada
fatwa MUI Pusat dalam hal perkawinan campuran ditemukan pengertian
perkawinan campuran sebagai perkawinan beda agama yang tidak sesuai yuridis
dari pengertian perkawinan campuran dalam undang-undang ini.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dan library
reasearch dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
buku, dan kitab-kitab fikih yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara hukum positif yang berlaku di
Indonesia, perkawinan campuran merupakan perkawinan yang dibolehkan dengan
syarat karena perbedaan kewarganegaraan. Hal ini dipahami dari penjelasan pasal
57 yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Sedangkan perkawinan campuran yang dikemukakan fatwa MUI
Pusat melarang perkawinan tersebut sebagai perkawinan yang diharamkan karena
perbedaan agama. Fatwa MUI Pusat melarang perkawinan ini berlandaskan sesuai
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang termaktub dalam
Pasal 2 ayat (1) yaitu, ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Namun tidak memerhatikan
substansi dari Undang-Undang Perkawinan di dalam Pasal 57 yang menyebutkan
perkawinan campuran.
Kata Kunci: Perkawinan Campuran, Kawin Beda Kewarganegaraan
Pembimbing : Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum.
Daftar Pustaka : 1957 s.d. 2017
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah Tuhan semesta alam, yang maha pengasih
dan maha penyayang di dunia dan akhirat. Sesungguhnya tidak ada seorang
hamba yang lebih mulia dihadapan Ilahi robbi kecuali yang bertaqwa kepada-Nya
dengan sebenar-benarnya taqwa. Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wassalam, sang pembawa
petunjuk bagi umatnya dengan risalah keislaman yang mulia. Dari beliau kita
sebagai umatnya dapat memahami berbagai disiplin ilmu khususnya pada
pemahaman perkawinan yang diridhoi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Syukur alhamdulillah karena dukungan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung, baik moril maupun materil, segala kesulitan penulis
akhirnya dapat teratasi dengan sebaik-baiknya dengan lancar skripsi ini dapat
terselesaikan. Atas bimbingan dan bantuan berbagai pihak dalam menyelesaikan
skripsi ini, penulis secara khusus mempersembahkan ungkapan terima kasih
kepada:
1. Bapak Ahmad Tholabi, S.H, M.H, M.A, selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag, selaku Ketua Prodi Hukum Keluarga (Ahwal
Syakhshiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A, selaku Sekretaris Prodi Hukum
Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Hj. Azizah, M.A, selaku dosen Penasehat Akademik (PA) yang
selalu mendampingi penulis dari awal semester hingga akhir semster yang
dituangkan pada skripsi ini.
vii
5. Bapak Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum, selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga selama membimbing
penulis.
6. Bapak H. Zafrullah Salim, M.Hum, selaku anggota Komisi Fatwa di
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat yang telah bersedia menjadi
narasumber untuk wawancara penulis demi mendapatkan informasi
kaitannya dengan skripsi ini.
7. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam pengadaan
referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi ini.
8. Kepada Bapak Dul Khalim dan Ibu Siti Maesaroh, selaku kedua orang tua
penulis, yang telah merestui dan mendoakan dengan sungguh-sungguh
hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
9. Untuk saudari Asri Nur Hafsari (kakak kandung) beserta keluarganya,
yang telah memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi dengan baik.
10. Untuk keluarga Bani Abdurrahman dan keluarga Pondok Pesantren
Salafiyah Kauman Pemalang, yang memberikan moto hidup bagi penulis,
“Ingat Tujuanmu Dari Rumah”. Yang membuat skripsi ini selesai.
11. Untuk saudari Tia Erlin Rahmawati beserta keluarga, yang telah
memberikan semangat bagi penulis dalam proses menyelesaikan skripsi
ini.
12. Serta kepada sahabat-sahabat penulis yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, yang menemani suka dukanya kehidupan ini, sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya, serta menjadi amal baik di sisi Allah Subhanahu Wa
viii
Ta’ala. Penulis menyadari bahwa segala bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak yang diterima tidak akan terbayarkan oleh apapun. Hanya doa yang penulis
panjatkan kepada Allah, dan semoga kebaikan dilipat gandakan oleh Allah bagi
kita semua, Amin ya robbal alamin.
Jakarta, 23 Desember 2019
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 10
D. Metode Penelitian ..................................................................... 11
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................ 13
F. Kerangka Teori dan Konseptual ............................................... 14
G. Sistematika Penulisan ............................................................... 15
BAB II PERKAWINAN CAMPURAN DAN TINJAUAN UMUM
FATWA ........................................................................................ 17
A. Perkawinan Campuran.............................................................. 17
1. Perkawinan Campuran menurut Staatblad tahun 1898 No.
158 .............................................................................. 17
2. Perkawinan Campuran menurut Undang-Undang Nomor 1
tahun1974 ............................................................................ 19
3. Perkawinan Campuran menurut Hukum Syariah ................ 22
4. Syarat dan Ketentuan Perkawinan Campuran ..................... 29
B. Tinjauan Umum Fatwa ............................................................. 30
1. Pengertian Fatwa ................................................................. 30
2. Kedudukan Fatwa ................................................................ 34
x
3. Lembaga-Lembaga di Indonesia dan Metode Penetapan
Fatwa .................................................................................... 35
BAB III MAJELIS ULAMA INDONESIA ............................................. 42
A. Profil Singkat Majelis Ulama Indonesia ................................... 42
1. Sejarah Berdirinya Majelis Ulama Indonesia ...................... 42
2. Visi-Misi Majelis Ulama Indonesia ..................................... 46
3. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia .............................. 47
4. Fatwa MUI Tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran .... 49
BAB IV ANALISIS YURIDIS FATWA MUI TAHUN 1980 TENTANG
PERKAWINAN CAMPURAN ............................................. 52
A. Alasan Fatwa MUI Pusat Tahun 1980 tentang Perkawinan
Campuran Sebagai Perkawinan Beda Agama ......................... 52
B. Sejarah MUI Pusat Tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran 57
C. Metode Pembuatan Fatwa di Tahun 1980 dengan Pasca Tahun
1980 ......................................................................................... 60
D. Analisis Peneliti ........................................................................ 64
BAB V PENUTUP .................................................................................... 67
A. Kesimpulan ............................................................................... 67
B. Rekomendasi ............................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 69
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................ 74
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu perjanjian kuat yang disebut mitsaqan
ghalizhan. Untuk membentuk keluarga, menuruti perintah Allah guna
memperoleh keturunan dan memenuhi tuntunan hajat tabiat kemanusiaan,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu
keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih.1
Perkawinan yang sah dalam Islam berarti melakukan suatu akad nikah
yaitu: pengantin laki-laki menerima (qabul), penyerahan nikah (ijab) dari wali
pengantin perempuan, serta mahar atau maskawin kepada pengantin
perempuan. Akad nikah harus diteguhkan di hadapan dua orang saksi. Jadi,
perkawinan dalam Islam merupakan suatu perikatan antara calon suami
dengan wali dari calon isteri.2
Adapun tujuan perkawinan yang dikemukakan oleh Abdurrahman
Ghazaly menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera
dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota
keluarga. Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan bathin disebabkan
terpenuhinya keperluan hidup lahir dan bathinnya, sehingga timbullah
kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.3
Selanjutnya pembahasan mengenai hukum dari perkawinan. Hukum
perkawinan merupakan suatu masalah yang banyak mendapatkan perhatian
dalam al-Qur’an. Ayat-ayat yang berbicara mengenai hal yang terkait dengan
masalah perkawinan ini sangat detail. Sebagian besar ayat-ayat ini dinilai
1 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 27.
2 Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa, diterjemahkan oleh Zaini Ahmad Noeh,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), h. 30. 3 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 22.
2
sebagai ayat-ayat yang muhkamat. Namun demikian tidak berarti masalah
perkawinan sudah final. Dalam praktiknya masih banyak persoalan-persoalan
yang muncul di tengah masyarakat berkaitan dengan masalah perkawinan ini.
Tentang hukum melakukan perkawinan, segolongan fuqoha, yakni
jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnah.
Menurut golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Sedangkan
para ulama Malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk
sebagian orang, sunnah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan
yang lain. Kemudian ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah
adalah mubah, di samping ada yang sunnah, wajib, haram dan yang makruh.
Di Indonesia, umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal
melakukan perkawinan ialah mubah, hal ini banyak dipengaruhi pendapat
ulama Syafi’iyah.4
Dalam konteks keIndonesiaan, untuk menangani perkawinan yang
dilakukan di Indonesia menurut Undang-Undang Perkawinan yang saat ini
berlaku, apabila kedua belah pihak berdiam di Indonesia dan tidak beragama
Islam perkawinan mereka dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil. Sedangkan
jika keduanya beragama Islam, maka perkawinan dilangsungkan menurut
hukum Islam dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan
Agama.5
Sebelum memasuki ke jenjang rumah tangga, seseorang harus
menemukan jodohnya terlebih dahulu, karena jodoh memegang peranan
penting dalam menciptakan sebuah bangunan rumah tangga yang didirikan
agar kokoh, damai, tentram, dan sejahtera dalam bingkai mawaddah wa
rahmah. Jodoh memang bukan merupakan syarat akan sahnya sebuah
perkawinan, tetapi jodoh itu perlu dicari. Banyak masyarakat yang kurang
memahami dan mendalami pesan-pesan agama seiring berucap bahwa “jodoh
4 Abdul Rahman Ghozaly, Fiqh Munakahat, h. 16-18.
5 Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.
196.
3
itu ada ditangan Tuhan”. Ini sikap yang sangat pasrah, mereka lupa bahwa
segala pekerjaan yang baik maupun yang buruk terulang kembali kepada si
pelaku. Hasil dari proses langkah-langkah itulah kemudian menjadi takdir
manusia yang harus dijalani.6
Di era sekarang ini kemajuan teknologi yang canggih dan berkembang
pesat, tingkat komunikasi semakin mudah dilakukan. Hal ini berpengaruh
pada hubungan internasional yang membawa dampak tertentu terhadap
manusia dalam bidang kekeluargaan khususnya perkawinan. Oleh karena itu,
seseorang yang berkeinginan menikah dengan bule (warga negara asing) dapat
tercapai dengan adanya teknologi yang canggih di era sekarang ini.
Pernikahan tersebut di Indonesia salah satunya dikenal dengan perkawinan
campuran.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
di Pasal 57 menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan perkawinan
campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang
di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.7
Namun tidak demikian dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat
yang menetapkan fatwanya pada Musyawarah Nasional II, bersubstansi bahwa
pernikahan campuran itu sebagai perkawinan beda agama yang haram
hukumnya. Hal ini berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 211, Al-
Maidah ayat 5, Al-Mumtahanah ayat 10 dan At-Tahrim ayat 6 :
ل ر أعججزنن, ل ش هي هششمخ هخ هؤهخ خ نذا الوششمبد دزى ؤهي, ل ر ي نذا الوششم
ش هي هشش لعجذ هؤهي خ للا ذع إلى الجخ دزى ؤها, ى إلى البس أعججنن, ألئل ذع ل ك
ى ش ن ززم للبط لعل جي ءابر الوغفشح ثئر
6 Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam, 2003), h. 148. 7 Jaenal Aripin, Himpunan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Kencana,
2010), h. 613.
4
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221).
زو ي أرا النزبة هي قجلنن إرا آر الوذصبد هي الز الوذصبد هي الوؤهبد ي أجسي ...
وبى فقذ دجظ ع هي نفش ثبإل ل هزخزي أخذاى ي ش هسبفذ ي غ خشح هي هذص ف ا ول
ي الخبسش
“... (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita yang diberi al-kitab (ahlu kitab) sebelum kamu,
bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di akhirat termasuk orang-orang
merugi.” (QS. Al-Maidah: 5).
ى لي لن ذل فئى علوزوي هؤهبد فل رشجعي إلى النفبس لي دل لن
“... Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mu’min) tiada halal bagi orang-
orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka ...” (QS. Al-
Mumtahanah: 10).
نن بسا ل أ فسنن ب الزي آها قا أ ب أ
“Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka...” (QS. At-Tahrim: 6).
Selain Al-Qur’an, juga dalam hadits Rasulullah SAW, menerangkan:
وبى فلزق للا فى الصف الجبقى )سا الطجشاى( ج فقذ اسزنول صف ال هي رض
“Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara setengah dari
imannya, karena itu, hendaklah ia takwa kepada Allah dan bagian yang lain”
(H.R. A-Tabrani).
Adapun hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aswad bin Sura’i,
5
لذ على الفطشح د ل )سا اسد مل ه سب وج شا ص دا ا لسب, فأث ة ع دزى عش
ثي السشاعى(
“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia
menyatakan dengan lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang
menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani dan Majusi”.8
Oleh sebab itu, MUI Pusat berpendapat bahwa pernikahan tersebut di
atas hukumnya haram. Kemudian MUI Pusat menambahkan tentang
perkawinan laki-laki Muslim dengan ahli kitab yang dilarang dan haram
hukumnya.9
Kemudian Majelis Ulama Indonesia Pusat melahirkan fatwa khusus
terhadap perkawinan beda agama Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005, pada
tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/ 26-29 Juli 2005 M. Adapun penjelasan
yang terkandung dari fatwa perkawinan beda agama yaitu dengan menimbang
petitum (alasan) sebagai berikut: bahwa belakangan ini disinyalir banyak
terjadi perkawinan beda agama; bahwa perkawinan beda agama ini bukan saja
mengundang perbedabatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga
sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat; bahwa di tengah-
tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan
beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan; bahwa untuk
mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah tangga, MUI
memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk
dijadikan pedoman.
Selanjutnya mengingat posita (dalil-dalil) yang dirujuk sesuai firman
Allah SWT:
ا فى الزبهى إى خفزن أل رقسط ا هب طبة لنن هي نذ سثبع فب ثلس فئى خفزن أل ، السبء هثى
وبنن هب هلنذ أ ادذح أ ا ف ، رلل أدى أل رعلارعذل
8 Mahmudin Bunyamin, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2017), h.
171. 9 Tim Penyusun, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2015), h. 51.
6
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisa: 3)
سدو ح د نن ه جعل ث ب اجب لزسنا إل فسنن أص أى خلق لنن هي أ هيءابر بد خ، إى ف رلل
شى م زفن لق
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Rum: 21)
ب نن بساب أ ل أ فسنن ب هئنخ غلظ شذاد الزي آها قا أ الذجبسح عل قدب البط ل عصى
ى ى هب ؤهش فعل للا هب أهشن
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.”(QS. At-Tahrim: 6)
طعب طعبم الزي أرا النزبة دل لنن جبد م أدل لنن الط الوذصبد هي الوؤهبد هنن دل لن ال
زوي أجسي ي أرا النزبة هي قجلنن إرا آر الوذصبد هي الز ل ي ش هسبفذ ي غ هذص
ي خشح هي الخبسش ف ا وبى فقذ دجظ عول هي نفش ثبإل هزخزي أخذاى
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu dan makanan
kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan
gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat
termasuk orang-orang yang merugi.”(QS. Al-Maidah: 5)
ل ر أعججزنن, ل ش هي هششمخ هخ هؤهخ خ نذا الوششمبد دزى ؤهي, ل ر ي نذا الوششم
لعجذ هؤهي للا ذع إلى الجخ دزى ؤها, ى إلى البس أعججنن, ألئل ذع ل ش هي هششك خ
ى ش ن ززم للبط لعل جي ءابر الوغفشح ثئر
7
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221)
، للا أعلن ب الزي ءاها إرا جبءمن الوؤهبد هبجشاد فبهزذي ، فئى علوزوي هؤهبد بأ ي ثئوب
لن ف فل رشجعي إلى النفبس، ل ي دل لن ءارن هب أ ، ى لي نن أى ذل ل جبح عل قا،
ل فقزن اسألا هب أ افش ل روسنا ثعصن الن ، زوي أجسي نذي إرا ءار فقا، رلنن ر سألا هب أ
ن دنن للا ن دن للا عل نن، ذنن ث
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar
yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila
kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang
pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir, dan hedaklah
kamu minta mahar yang telah kamu bayar, dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang
ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”(QS. Al-Mumtahanah: 10)
ل أى نن ط هي لن سزطع ه وبنن هي فزبرنن الوؤهبد، نخ الوذصبد الوؤهبد فوي هب هلنذ أ
ءاري أجسي ثبل ي ل نذي ثئرى أ وبنن، ثعضنن هي ثعض فب للا أعلن ثئ وعشف هذصبد
ي صف هب على ي ثفبدشخ فعل ل هزخزاد أخذاى، فئرا أدصي فئى أر ش هسبفذبد الوذصبد هي غ
ن العزاة، رلل للا غفس سد ش لنن، أى رصجشا خ نن، العذ ه لوي خش
“Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh
mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang
lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah
maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang
memelihara diri,bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-
laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan
8
kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas
mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang
takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan
kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”(QS. An-Nisa : 25)
Kemudian hadist Rasulullah SAW dan Qa’idah Fiqh antara lain:
ب. فبظفش ثزاد لذ لجوبلب، لسجب، سثع، لوبلب، نخ الوشأح ي رشثذ ذاك )هزفق عل عي ر الذ
أث ششح(
“Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal: karena hartanya,
karena (asal-usul) keturunannya, karena kecantikannya, karena agamanya.
Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk
agama Islam; (jika tidak), akan binasalah kedua tanganmu.”(hadist riwayat
muttafaq alaih dari Abu Hurairah r.a.)
م عل ى الجلت الوصبلخ.دسء الوفبسذ هقذ
“Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada
menarik kemaslahatan.”
Selain itu MUI dalam menetapkan fatwa ini juga memerhatikan pada
fatwa dalam Munas II tahun 1400 H/ 1980 M tentang Perkawinan Campuran
dan memerhatikan pendapat sidang Komisi C bidang fatwa pada Munas VII
MUI 2005. Isi dari ketetapan fatwa ini antara lain: perkawinan beda agama
adalah haram dan tidak sah, serta perkawinan laki-laki muslim dengan wanita
Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah pula.10
Dalam uraian latar belakang yang dijelaskan di atas, penulis mencoba
untuk mengkaji beberapa hal kaitannya pada fatwa perkawinan campuran
yang ditetapkan oleh MUI Pusat dalam bentuk karya ilmiah berjudul “ Fatwa
MUI Tentang Perkawinan Campuran (Studi Analisis Yuridis) ”.
10 Ibid, h. 472.
9
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan tema yang dibahas. Ada Permasalahan yang
bermunculan dari latar belakang di atas, akan penulis paparkan mengenai,
yaitu: perbedaan hukum perkawinan campuran menurut Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dengan Fatwa MUI Pusat tahun 1980,
masalah yang dihadapi pasangan kawin campur WNI dan WNA,
kedudukan fatwa di Indonesia, prosedur dan tata cara perkawinan
campuran, serta istinbath hukum fatwa perkawinan campuran MUI Pusat
tahun 1980.
2. Pembatasan Masalah
Agar tidak menimbulkan terlalu luas pembahasan mengenai
permasalahan ini, maka perlu adanya pembatasan masalah sehingga
penelitian ini terpusat pada masalah yang menjadi objek penelitian. Maka
penulis akan memfokuskan penelitian pada Perkawinan Campuran
menurut Fatwa MUI Pusat tahun 1980 dengan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
3. Perumusan Masalah
Dari permasalahan tersebut mengenai perkawinan campuran, maka
rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
a. Apa alasan MUI Pusat menetapkan fatwa perkawinan campuran
yang secara substansi kontradiktif dengan pengertian perkawinan
campuran dalam pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974?
b. Bagaimana historis penetapan fatwa MUI Pusat tahun 1980 tentang
perkawinan campuran dilahirkan?
10
c. Bagaimana metode pembuatan fatwa di tahun 1980 dengan pasca
tahun 1980?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan
penelitian ini adalah untuk mengetahui perkawinan campuran menurut
Undang-Udang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan Fatwa MUI Pusat
tahun 1980.
2. Manfaat Penelitian
Berikutnya dengan tercapainya tujuan tersebut diharapkan dari
hasil penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagai berikut:
a. Bagi peneliti
Diharapkan dapat memperkaya keilmuan bagi peneliti
mengenai kajian hukum yaitu Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
tahun 1974 dan fatwa MUI Pusat tahun 1980 tentang Perkawinan
Campuran untuk dapat dikembangkan kemudian.
b. Bagi akademisi
Bagi sesama mahasiswa ataupun kalangan akademisi di
kampus, hasil penelitian ini akan menjadi tambahan referensi di masa
yang akan datang, memungkinkan dapat dilakukannya penelitian
sejenis oleh kalangan akademisi lainnya.
c. Bagi masyarakat
Diharapkan dapat memberikan sebuah khazanah keilmuan
tentang fatwa MUI Pusat dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 tahun 1974 bagi masyarakat dan bagi semua pihak yang mempunyai
kepentingan dapat menjadi acuan hukum.
11
D. Metode Penelitian
Metodelogi penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam
pengembangan ilmu dan teknologi serta seni.11
Untuk memperoleh data yang
lengkap dan objektif, maka dalam menyusun skripsi ini, penulis melakukan
beberapa langkah metode penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan undang-undang (Statute Approarch), dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani.12
Dalam hal ini tentang fatwa
yang ditetapkan oleh MUI Pusat tahun 1980 dengan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Campuran.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini adalah
penelitian kualitatif lebih khususnya dengan menggunakan penelitian
kepustakaan (Library Reseach), yaitu penelitian yang kajiannya dilakukan
dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur, buku-buku,
perundang-undangan dan sumber lainnya, karena yang menjadi objek
dikajiannya.
3. Data Penelitian
a. Sumber Penelitian
Adapun sumber penelitian antara lain:
1) Sumber Primer, yang diperoleh dari fatwa MUI Pusat tahun
1980 dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan Campuran.
11
Zainuddin Ali, Penelitian Hukum, Cet. III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 17. 12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet. 9, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 133.
12
2) Sumber Sekunder, yang diperoleh dari buku-buku, jurnal,
artikel dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan
yang diangkat dalam penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun untuk memperoleh data-data yang relevan dalam
penelitian ini, ada beberapa teknik yang dilakukan antara lain:
a. Komunikasi: melakukan interview dengan Komisi Fatwa MUI
Pusat mengenai fatwa tentang perkawinan campuran yang
ditetapkan.
b. Observasi: dengan membaca dokumen dari fatwa MUI Pusat tahun
1980 tentang Perkawinan Campuran dan Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan.
5. Subyek Penelitian
a. Adapun yang akan menjadi narasumber penelitian yaitu perwakilan
dari salah satu anggota Komisi Fatwa di Majelis Ulama Indonesia
Pusat untuk menjelaskan fatwa yang ditetapkan mengenai
perkawinan campuran.
b. Proses pembacaan dokumen terkait fatwa MUI Pusat tahun 1980
tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan lebih mendalam saat observasi ke kantor
Majelis Ulama Indonesia Pusat untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan.
6. Analisa Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan conten analysis
atau analisis isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri
berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para
tokoh yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya
dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis dan dianalisa
isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan
13
memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam
mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.13
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Kajian pustaka adalah kajian literatur yang relevan dengan pokok
bahasan penelitian yang akan dilakukan, atau bahkan memberikan inspirasi
dan mendasari dilakukannya penelitian.14
Penulis menemukan tema-tema yang
erat hubungannya dengan pembahasan sekarang, diantaranya skripsi berjudul:
1. “Pengaruh Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap
Proses Pengambilan Kebijakan Pemerintah Indonesia”, skripsi yang
ditulis oleh Andi Shofian Efendi, Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2011.
Dalam skripsi tersebut dijelaskan tentang kedudukan Mejelis
Ulama Indonesia dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia. Mengacu
pada skripsi di atas, penulis berpendapat bahwa pembahasan skripsi ini
berbeda karena yang dibahas oleh penulis dalam skripsi ini adalah
relevansi fatwa tentang perkawinan campuran yang ditetapkan oleh
MUI Pusat tahun 1980 dengan Hukum Islam.
2. “Problematika Kewarganegaraan Ganda Anak Pada Perkawinan
Campuran Antara Isteri WNI Dengan Suami WNA (Studi Terhadap
Komunitas Perkawinan Campuran Srikandi)”, Skripsi yang disusun
oleh Vemi Zauhara, Jurusan Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016.
Pembahasan skripsi yang berisi mengenai status dan
kedudukan anak dari perkawinan campuran. Tetapi dalam
pembahasan skripsi ini hubungannya dengan perbedaan hukum
13
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),
h.163. 14
Huzaemah T. Yanggo, (ed.), Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi, Cet. II,
(Jakarta: IIQ Press, 2011), h. 13.
14
mengenai perkawinan campuran dari Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 tahun 1974 dan Fatwa MUI Pusat tahun 1980.
3. “Diskriminasi Terhadap WNI Dalam Perkawinan Campuran (Studi
Terhadap Kepemilikan Harta Benda di Komunitas Perkawinan
Campuran Srikandi, Cinere-Depok)”, Skripsi yang disusun oleh
Muhammad Haikal, Jurusan Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016.
`Bahwa di dalam skripsi ini menerangkan mengenai peraturan
yang melindungi hak kepemilikan properti di Indonesia terhadap
pasangan suami isteri yang berkewarganegaraan ganda. Sedangkan
dalam skripsi ini menelaah tentang dasar hukum yang dirujuk Fatwa
MUI Pusat tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran.
F. Kerangka Teori dan Konseptual
Pernikahan merupakan suatu perjanjian yang kuat yang disebut
“mitsaqan ghalizhan” untuk membentuk keluarga, menuruti perintah Allah
untuk memperoleh keturunan dan memenuhi tuntunan hajat tabiat
kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih.15
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara laki-laki dan seorang
perempuan yang memiliki status kewarganegaraan yang berbeda dalam
terminologi Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sebagaimana
dikemukakan dalam pasal 57: “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran
dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, salah
satu pihak berkewarganegaraan Asing dan pihak lain berkewarganegaraan
Indonesia”.16
15 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 27.
16 Jaenal Aripin, Himpunan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, h. 613.
15
Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga fatwa yang berkompeten
juga menetapkan terkait permasalahan perkawinan campuran. Fatwa tersebut
ditetapkan dalam Musyawarah Nasional II tanggal 11-17 Rajab 1400 H,
bertepatan dengan tanggal 26 Mei-1 Juni 1980 M, MUI menetapkan fatwa
terkait perkawinan campuran yang hukumnya haram.17
Dari kedua penjelasan di atas, masing-masing memberikan pengertian
yang berbeda. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menerangkan perkawinan campuran sebagai perkawinan berbeda
kewarganegaraan yang dibolehkan, sedangkan menurut fatwa MUI Pusat
tahun 1980 menegaskan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan
antara dua orang yang masing-masing berbeda agama dan memberikan hukum
melarang untuk dilaksanakan perkawinan tersebut.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini merujuk pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas
Syariah dan Hukum tahun 2017. Untuk mengetahui gambaran secara
keseluruhan isi penulisan dalam penelitian ini, penyusun menguraikan secara
singkat sebagai berikut:
Bab Kesatu, pada bab ini menjelaskan tentang pendahuluan yang
meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu,
kerangka teori dan konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, mengkaji dan membahas persoalan perkawinan
campuran, yang berisi mengenai perkawinan campuran menurut peraturan
perundang-undangan dan hukum syariah, syarat dan ketentuan perkawinan
campuran, Kemudian diteruskan dengan menelaah tentang tinjauan umum
17
Tim Penyusun, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, h. 51.
16
fatwa, yang berisi mengenai pengertian fatwa, kedudukan fatwa, lembaga
fatwa di Indonesia dan metode penetapan fatwa.
Bab Ketiga, mengkaji Profil Umum MUI, yang di dalamnya
membahas sejarah berdirinya, visi dan misi, Komisi Fatwa MUI, serta Fatwa
MUI tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran.
Bab Keempat, membahas tentang hasil yang didapatkan. Bab ini
merupakan inti pembahasan dalam skripsi untuk memperoleh jawaban yang
konkret. Poin-poin dari hasil penelitian meliputi: Alasan Fatwa MUI tahun
1980 tentang Perkawinan Campuran sebagai perkawinan beda agama, Sejarah
Fatwa MUI tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran ditetapkan, Metode
Pembuatan Fatwa tahun 1980 dengan Pasca tahun 1980 serta Analisis Peneliti.
Bab Kelima, tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok
permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini dan ditutup dengan saran-saran.
17
BAB II
PERKAWINAN CAMPURAN DAN TINJAUAN UMUM FATWA
A. Perkawinan Campuran
1. Perkawinan Campuran menurut Staatblad 1898 No. 158
Perkawinan campuran terdiri dari dua kata yaitu perkawinan dan
campuran. Perkawinan secara bahasa yaitu menghimpun atau
mengumpulkan.1 Campuran menurut bahasa adalah sesuatu yang
tercampur, gabungan atas kombinasi, peranakan (bukan keturunan asli).2
Semua perkawinan yang dilangsungkan di dalam wilayah
khususnya di Indonesia harus dilakukan menurut ketentuan-ketentuan
yang berlaku di dalamnya. Menurut Ahmad Tholabi Kharlie sebelum
Undang-Undang Perkawinan dirumuskan, menjelaskan bahwa terdapat
sebuah peraturan mengenai perkawinan campuran pada masa Indonesia
belum merdeka atau masih dalam masa jajahan kolonial Belanda yaitu
Staatblad tahun 1898 No. 158 (Regeling op de Gemengde Huwelijk) yang
lebih terkenal dengan istilah Gemengde Huwelijken Regeling yang
biasanya disingkat (GHR). Pada Pasal 1 Peraturan Perkawinan Campuran
(GHR) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran
adalah perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan.3
Karena keumuman ketentuan hukum yang berlainan, para pakar
ahli hukum berbeda pendapat tentang perkawinan ini. Sapiudin Shodiq
menambahkan pendapatnya mengenai hukum berlainan itu, bahwa yang
dimaksud adalah perbedaan golongan penduduk yang terbagi menjadi tiga
kelompok yaitu: Eropa, Pribumi dan Timur Asing. Ada pula yang
1 Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 1329. 2 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2011), h. 239. 3 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
243.
18
menafsirkan perkawinan antar pemeluk agama dan ada yang
mengartikannya berlainan daerah asal atau tempat.4
Perbedaan hukum berlainan yang ada telah menyebabkan beberapa
macam perkawinan campuran, antara lain:5
a. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel)
Mengatur hubungan hukum perkawinan antara dua orang
berbeda kewarganegaraannya, tunduk kepada peraturan hukum yang
berlainan. Misalnya WNA asal Eropa kawin dengan orang Indonesia
asli.
b. Perkawinan campuran antar tempat (interlocal)
Mengatur hubungan hukum perkawinan antara orang-orang
Indonesia asli dari masing-masing lingkungan adat. Misalnya orang
Minang kawin dengan orang Jawa.
c. Perkawinan campuran antar agama (interreligius)
Mengatur hubungan hukum perkawinan antara dua orang yang
masing-masing tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlainan.
Misalnya orang Islam dengan orang Kristen.
Dari sini dapat diambil pemahaman bahwa staatblad tahun 1898
No. 158, menyebutkan bahwa istilah perkawinan campuran merupakan
perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan. Hukum berlainan ini masih memiliki arti luas. Kemudian
dikategorikan menjadi tiga macam perkawinan campuran yang meliputi:
perkawinan campuran antar golongan (intergentiel), perkawinan campuran
antar tempat (interlocal), dan perkawinan campuran antar agama
(interreligius).
4 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 2.
5 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publiser, 2006), h. 242.
19
2. Perkawinan Campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974
Dari ketiga macam perkawinan campuran yang dijelaskan dalam
staatblad di atas, penulis mengarahkan pembahasannya pada perkawinan
antar golongan (intergentiel) dengan perkawinan campuran antar agama
(interreligius) yang keduanya menjadi polemik diperdebatkannya oleh
para pakar ahli hukum.
Menurut Ahmad Rofiq, perkawinan campuran adalah perkawinan
antara laki-laki dan seorang perempuan yang memiliki status
kewarganegaraan yang berbeda dalam terminologi Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sebagaimana dikemukakan dalam
pasal 57.6
Amin Suma juga menambahkan pendapatnya mengenai
perkawinan campuran, yang dimaksud dengan hukum berlainan dari
keterangan pasal 1 Saatblad tahun 1898 No. 158 (GHR), bahwa pengertian
perkawinan campuran ini hampir dapat dipastikan sebagai hukum negara
yang tidak ada kaitannya langsung dengan hukum agama. Pemahaman ini
bisa diperkuat dengan hukum perdata yang menyatakan bahwa “Undang-
Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata.
Menelaah definisi “Perkawinan Campuran” dalam naskah
peraturan perundang-undangan yang ada, paling tidak sebagaimana dikutip
di atas, jelas tidak terbayangkan untuk memaknai “Perkawinan Campuran”
atau “Kawin Campur” dengan maksud “Perkawinan beda agama”,
sebagaimana yang lumrah terjadi pada beberapa tahun terakhir ini. 7
Melihat aturan tentang perkawinan campuran di dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 57, menegaskan “Yang dimaksud
6 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Rajawali Pers,
2013), h. 277.
7 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, Telaah Syariah dan
Qanuniyah, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h. 120.
20
dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia”.8
Jadi, perkawinan campuran itu dapat dipastikan berbeda dengan
perkawinan beda agama dan satu sama lain tidak ada sangkut-pautnya,
meskipun bisa saja terjadi atau ada yang melakukannya. Perkawinan beda
agama yang sekaligus perkawinan campuran, atau perkawinan campuran
yang sekaligus pernikahan beda agama, yakni perkawinan yang dilakukan
oleh dua orang pemeluk agama yang berbeda dan pada saat yang
bersamaan juga sekaligus berbeda kewarganegaraan (satu WNI dan
satunya WNA).9
Abdul Kadir mendefinisikan dalam Pasal 57 Undang-Undang
Perkawinan ini dapat diuraikan berbagai macam unsur-unsur perkawinan
campuran itu sebagai berikut:
a. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita;
b. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan;
c. Karena perbedaan kewarganegaraan;
d. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Unsur pertama menunjuk kepada asas monogami dalam
perkawinan, selanjutnya unsur kedua menunjuk kepada perbedaan hukum
yang berlaku bagi pria dan wanita yang melangsungkan perkawinan itu.
Tetapi hukum tersebut bukan karena agama, suku bangsa di Indonesia
melainkan karena unsur ketiga yaitu kewarganegaraan. Perbedaan
kewarganegaraan ini pun bukan kewarganegaraan asing semuanya,
8 Jaenal Aripin, Himpunan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Kencana,
2010), h. 613. 9 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 123.
21
melainkan unsur keempat yang menyatakan bahwa salah satu
kewarganegaraan itu adalah kewarganegaraan Indonesia.10
Ditegaskan juga oleh Wantjik Saleh, bahwa perkawinan campuran
adalah sebagai berikut:
a. Seorang pria warga Negara Indonesia kawin dengan seorang wanita
warga Negara Asing;
b. Seorag wanita warga Negara Indonesia kawin dengan seorang pria
warga Negara Asing.
Pasal 57 membatasi makna perkawinan campuran pada perkawinan
antara seorang warga Negara Indonesia dengan seorang yang bukan warga
Negara Indonesia, sehingga padanya termasuk perkawinan antar sesama
warga Negara Indonesia yang berbeda hukum dengan antara sesama bukan
warga Negara Indonesia.11
Menurut Mohammad Daud Ali, semua agama yang ada dan diakui
keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia, pada hakikatnya bahwa
melangsungkan perkawinannya secara sah, sebagai contoh agama Katolik,
Protestan dan Islam sebagai agama-agama yang relatif banyak pemeluknya
di tanah air kita. Agama Katolik dengan tegas menyatakan bahwa
“perkawinan antara seorang Katolik dengan penganut agama lain, tidak
sah (kanon 1086)”.
Namun demikian, bagi mereka yang sudah tidak mungkin
dipisahkan lagi karena cintanya sudah terlanjur mendalam, pejabat gereja
yang berwenang yakni uskup dapat memberikan dispensasi (pengecualian
dari aturan umum untuk suatu keadaan yang khusus) dengan jalan
mengawinkan pemeluk agama Katolik dengan pemeluk agama lain, asal
10
Muhammad Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1993), h. 103. 11
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), h.
46.
22
saja kedua-duanya memenuhi syarat yang ditentukan hukum gereja dalam
kanon 1125 yakni:
a. Yang beragama Katolik berjanji
1) Akan tetap setia pada iman Katolik;
2) Berusaha mempermandikan dan mendidik semua anak-anak
mereka secara Katolik; sedangkan
b. Yang tidak beragama Katolik berjanji antara lain
1) Menerima perkawinan secara Katolik;
2) Tidak akan menceraikan pihak yang beragama Katolik;
3) Tidak akan menghalang-halangi pihak yang Katolik
melaksanakan imannya; dan
4) Bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.
Jika memilih menikah dengan orang yang berbeda agama, Agama
Katolik lebih menerima perkawinan dengan Agama Protestan, karena
perkawinan dengan Protestan bukan dikatakan berbeda agama, namun
hanya perbedaan gereja masing-masing. Kedua pemeluk agama ini
(Katolik dan Protestan) mempunyai kitab suci yang sama dan masih
dipersatukan dalam “satu tubuh yesus kristus”.12
Dari sini dapat dipahami mengenai perkawinan campuran itu
dibolehkan oleh Undang-Undang Perkawinan hanya pada unsur
kewarganegaraan yang berbeda dan bukan dari unsur suku bangsa maupun
agama. Sedangkan perkawinan beda agama yang berbeda pada unsur
agama yang tidak diperkenankan untuk dilakukan. Agama-agama yang
diakui di Indonesia pun sepakat bahwa perkawinan beda agama tidak
diperbolehkan.
12
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Cet. 2, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2002), h. 59-61.
23
3. Perkawinan Campuran menurut Hukum Syariah
Menelaah mengenai pengertian perkawinan campuran (berbeda
kewarganegaraan) menurut hukum syariah. Taufiqur Rohman menegaskan
dari pendapatnya bahwa di dalam al-Qur‟an dan hadis tidak pernah
ditemukan penjelasan tentang perkawinan tersebut atau dianggap tidak
menjadi suatu permasalahan dalam hukum syariah, asalkan sekufu
(seimbang) perkawinan dengan siapa saja dapat dilakukan bagi kedua
belah pihak untuk menikah.13
Dilanjutkan menurut Hasbi Ash Shiddieqy yang memberikan
keterangan bahwa para ulama fiqih juga tidak membahas permasalahan
tentang perkawinan campuran. Hal ini baru menjadi masalah apabila
dalam perkawinan tersebut terdapat perbedaan keyakinan atau agama,
meski terdapat pengecualian untuk ahli kitab.14
Meneruskan pendapat di atas yang apabila terjadi masalah karena
perbedaan keyakinan, Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitabnya Fiqhul Islam
wa Adillatuhu, jilid 9 yang diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattani,
menjelaskan tentang perkawinan yang berbeda keyakinan, secara ijma‟
perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki kafir hukumnya haram.
Berdasarkan fiman Allah SWT yang artinya,
كحىا الوشسكات ححى يؤهي ...ول ج
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (al-Baqarah: 221).
Juga firmanNya SWT,
Kemudian pelarangan menikahi orang-orang kafir dilanjutkan
dalam surat al-Mumtahanah ayat 10:
فئى علوحوىهي هؤهات فل جسجعىهي إلى الكفاز لهي حل لهن ولهن يحلىى لهي
13
Moh. Taufiqur Rohman, Perkawinan Campuran dan Perkawinan Antar Agama di
Indonesia, Jurnal Al-Ahwal, Vol. 4, No. 1, Tahun 2011, h. 60. 14
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqih Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1991), h.127.
24
“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu
dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (al-
Mumtahanah: 10). 15
Asbabun an-nuzul dari surat Al-Baqarah ayat 221 tersebut menjadi
polemik di kalangan ahli tafsir al-Qur‟an dari generasi ke generasi. Hal ini
dipicu oleh adanya dua periwayatan yang berbeda mengenai sebab
turunnya ayat tersebut.16
Penjelasan pertama, diriwayatkan oleh Ibnu al-Munzhir, Ibnu Abi
Hatim dan al-Wahidi dari Muqatil, dia mengatakan bahwa ayat ini
diturunkan berkaitan dengan kasus Abu Martsad al-Ghanawi atau Martsad
bin Abi Martsad, seorang laki-laki anggota persekutuan Bani Hasyim yang
diutus Rasulullah ke Makkah untuk membantu mengevakuasi orang-orang
Muslim secara rahasia.
Dahulu, ketika masih jahiliyah (di Makkah), ia memiliki seorang
kekasih yang bernama Inaq. Tapi, pada saat Martsad masuk Islam ia
meninggalkan Inaq kekasihnya. Pada suatu ketika, kekasihnya mendatangi
Martsad dan mempertanyakan alasan mengapa ia meninggalkannya.
Martsad menjawabnya dengan mengatakan bahwa Islam melarang
hubungan kita sembari menegaskan bahwa ia akan meminta izin pada
Rasulullah untuk mengawininya. Mendengar jawaban itu, Inaq kecewa,
menjerit dan datanglah orang-orang memukuli Martsad dengan pukulan
keras lalu membiarkannya pergi. Setelah tugasnya selesai Martsad
menghadap kepada Rasulullah dan meminta izin untuk mengawini Inaq.
Lalu turunlah ayat ini.17
15
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, diterjemahkan oleh Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2010) h. 148. 16
Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2006),
h. 22. 17
Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1957), h. 247.
25
Penjelasan kedua, al-Wahidi meriwayatkan dari jalur al-Suddi dari
Malik dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ayat ini berkaitan dengan seorang
sahabat Abdillah bin Rawahah yang datang kepada Rasulullah
menceritakan perbuatannya yang telah memukul hamba perempuannya
berkulit hitam kelam dan jelek karena marah. Dia merasa menyesal dan
meminta petunjuk kepada Rasulullah.” Rasulullah bertanya, “Bagaimana
keadaan hamba sahaya tersebut?” Abdillah menjawab bahwa budaknya itu
seorang muslimah yang taat. Rasulullah kembali berkata, “Wahai
Abdillah, dia itu adalah seorang yang beriman”. Maka Abdillah
menimpali, “Demi Zat yang mengutusmu dengan hak, aku akan
memerdekakannya dan menikahinya”. Peristiwa tersebut memancing
penghinaan dan rasa sinis dari masyarakat, karena menganggap Abdillah
menikahi budaknya yang hina dan jelek. Sehubungan dengan hal tersebut
turunlah wahyu Allah tersebut.18
Ayat di atas dalam surat al-Mumtahanah pun menyiratkan bahwa
adanya suatu larangan meneruskan tali perkawinan dengan wanita-wanita
musyrikah dan kafir, yang saat itu masih mempunyai ikatan dengan laki-
laki Muslim.19
Dari kedua ayat yang telah diterangkan, baik laki-laki muslim
maupun perempuan muslimah, tidak dibolehkan atau dianjurkan untuk
menikah dengan laki-laki atau perempuan yang musyrik dan kafir, karena
alasan orang-orang musyrik dan kafir tidak halal bagi orang-orang muslim.
Kemudian para ulama telah sepakat untuk membolehkan menikah
dengan perempuan ahli kitab. Berdasarkan firman-Nya SWT:
يي أوجىا الكحة حل لكن وطعاهكن حل لهن والوحصات هي اليىم أحل لكن الطيثث وطعام الر
... الوؤهات والوحصات هي الريي أوجىا الكحاب هي قثلكن
18
Al-Wahidi, Asbab an-Nuzul, (Kairo: Dar al-Ittihad al-Arabi li al-Tab‟ah, 1968), h. 45. 19
Abdul Mutaal Muhammad Al-Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan
Islam, terjemah dari Achmad Sathori (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988), h. 39.
26
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini)
wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al-Kitab sebelum kamu.” (al-Maa’idah: 5).
Yang dimaksud dengan para perempuan yang menjaga kehormatan
di dalam ayat ini adalah para perempuan yang suci. Maksud ayat ini
mendorong manusia untuk menikah dengan para perempuan yang suci,
karena dalam perkawinan yang seperti ini terdapat rasa sayang dan cinta di
antara suami isteri, serta menyebarkan rasa tentram dan tenang.
Sebab dalam pembolehan kawin dengan perempuan ahli kitab
berbeda halnya dengan perempuan musyrikah, karena dia memiliki
kesamaan keimanan pada beberapa prinsip yang asasi. Yang dimulai
dengan pengakuan terhadap Tuhan, keimanan kepada para rasul dan hari
kiamat, dengan segenap hisab dan siksaan yang ada di dalamnya.20
Dari ayat yang dijelaskan di atas mengenai ahli kitab, dapat
diketahui bahwa awal mula perkawinan beda agama diperbolehkan oleh
Allah. Akan tetapi dalam perkembangan Islam selanjutnya, perkawinan
beda agama tersebut dilarang meskipun bagi laki-laki Muslim. Pelarangan
ini bermula ketika zaman khalifah Umar Ibn Khattab. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Muhammad Rawwas yang dikutip oleh Karsayuda.21
Pelarangan perkawinan beda agama adalah karena ada dua pertimbangan,
antara lain:
a. Pertama, anak-anak mereka paling sedikit akan terpengaruh
dengan agama ibunya. Umar beranggapan bahwa isteri yang
berasal dari ahli kitab merupakan satu sandungan bagi rumah
20
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, diterjemahkan oleh Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, h. 149. 21
M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi
Hukum Islam, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 283.
27
tangga. Umar khawatir rumah tangga tersebut nantinya akan ada
pertentangan hanya karena perbedaan keyakinan.
b. Kedua, laki-laki Muslim lebih tertarik kepada perempuan ahli kitab
sehingga perempuan muslimah tergeser oleh perempuan ahli
kitab.22
Al-Qurtubi memberikan penjelasan di dalam kitab al Jami‟ Li
Ahkamil Qur‟an, terhadap pengertian perempuan Muhson (perempuan
yang menjaga kehormatan) dengan perempuan ahli kitab. Bahwa menurut
Ibnu Abbas, arti muhson adalah Al „Afifatu Al „Aqilatu (perempuan suci
yang bijak) yaitu perempuan yang bisa menjaga kemaluannya dari
perbuatan zina.
Kemudian pendapat tentang perempuan ahli kitab menurut Ibnu
Abbas, yaitu perempuan ahli kitab yang bukan dari negara perang (darul
harbi). Dan menurut pendapat Abu „Ubaid bahwasanya menikah dengan
perempuan ahli kitab tidak dihalalkan dengan dasar surat An-Nisa ayat
25.23
ي ف ا هلكث ايواكن ه كح الوحصث الوؤهث فوي ه كن طىل اى ي حيحكن الوؤهث وهي لن يسحطع ه
كحىهي تا ي تعض فا ذى اهلهي واجىهي اجىزهي تالوعسوف هحصث وهللا اعلن تايواكن تعضكن ه
ل هحخرت اخداى فاذآ احصي فاى اجيي تفاحشة فعليهي صف ها على ال وحصث هي غيس هسفحث و
حين العراب ذلك لوي خشي العث ه كن واى جصثسوا خيس لكن وهللا غفىز ز
“Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk
menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi
perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang
lain (sama-sama keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka
dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena
mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan
pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain
22
Masthuriyah Sa‟dan, Perkawinan Beda Agama: Perspektif Islam Progresif, (jurnal:
Kontemplasi, Volume 04 Nomor 02, Desember 2016), h. 323. 23
Al-Qurtubi, Al-Jami‟ Li Ahkamil Qur‟an, Juz 6, (Mesir: Dar al-Kitab al-Araby
Litthoba‟aty Wa Nashr, 1967), h. 79.
28
sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami),
tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka
setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak
bersuami). (Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-
orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan
zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang” (an-Nisa: 25).
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, bahwa jelas perkawinan
campuran menurut hukum syariah tidak mengatur atau menganggap tidak
bermasalah perkawinan warga negara Indonesia dengan warga negara
asing asalkan sekufu.
Berikutnya hukum syariah akan mempermasalahkan apabila orang
muslim menikah dengan non-muslim. Para ulama sepakat untuk melarang
menikahi orang-orang musyrik dan kafir baik wanita maupun laki-laki
karena tidak dihalalkan bagi orang-orang muslim untuk melakukannya.
Selanjutnya mengenai menikah dengan ahli kitab, para ulama
sepakat menikah dengan perempuan ahli kitab itu diperbolehkan karena
memiliki kesamaan keimanan dalam beberapa prinsip yang asasi.
Kemudian menurut pendapat dari Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa
menikah dengan perempuan ahli kitab dibolehkan kecuali perempuan ahli
kitab dari darul harbi (negara perang) yang dilarang untuk dinikahi.
Sedangkan menurut Abu „Ubaid menikah dengan perempuan ahli kitab
tidak diperbolehkan dengan landasan surat An-Nisa ayat 25.
Namun pada masa kekhalifahan Umar Ibn Khattab, menikah
dengan ahli kitab itu dilarang. Pelarangan menikah dengan perempuan ahli
kitab dengan alasan karena, khawatir anak-anak yang terlahir dari rahim
ibunya terpengaruh agama yang dibawanya dan laki-laki muslim lebih
mengidolakan perempuan ahli kitab ketimbang perempuan muslimah di
masa itu.
29
4. Syarat dan Ketentuan Perkawinan Campuran
Bagi warga negara asing yang akan melakukan perkawinan
campuran di Indonesia, maka yang bersangkutan harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Photo copy paspor yang bersangkutan;
b. Photo copy surat izin menikah dengan WNI dari kedutaan Negara
WNA;
c. Surat keterangan dari imigrasi;
d. Surat keterangan status (perjaka/duda atau perawan/janda) dari
kantor catatan sipil Negara WNA, dengan melampirkan:
1) Akta cerai bila istri/suaminya bercerai; atau
2) Akta kematian bila istri/suaminya meninggal dunia.
e. Pas photo terbaru berwarna (dianjurkan berlatar belakang warna
biru) ukuran 2x3 sebanyak 3 (tiga) lembar;
f. Apabila WNA adalah seorang wanita hendaknya memastikan
kehadiran wali atau surat wakalah wali dari pihak yang berkuasa
dari negara yang bersangkutan.
Surat-surat tersebut diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh
penerjemah yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh kedutaan
negara WNA tersebut yang ada di Indonesia.24
Adapun syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi oleh WNI
yang hendak melakukan perkawinan campuran adalah syarat-syarat
perkawinan yang terdapat dalam pasal 6 sampai dengan pasal 11 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974.25
24
Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Pusat Studi
dan Pengembangan Pesantren, 2009), h. 55. 25
Jaenal Aripin, Himpunan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, h. 600.
30
B. Tinjauan Umum Fatwa
1. Pengertian Fatwa
Secara etimologis kata fatwa berasal dari bahasa Arab al-fatwa.
Menurut Ibnu Manzhur yang dikutip oleh Ma‟ruf Amin, kata fatwa ini
merupakan bentuk mashdar dari kata fata, yaftu, fatwan, yang bermakna
muda, baru, penjelasan, penerangan. Pendapat ini hampir sama dengan
pendapat al-Fayumi, yang mengatakan bahwa al-fatwa berasal dari kata
al-fata artinya pemuda yang kuat. Sehingga seorang yang memberi fatwa
dikatakan sebagai mufti, karena orang tersbut diyakini mempunyai
kekuatan dalam memberikan penjelasan (al-bayan) dan jawaban terhadap
permasalahan yang dihadapinya sebagaimana kekuatan yang dimiliki oleh
seorang pemuda.
Selain itu, Ma‟ruf Amin juga mengutip pendapat al-Jurjani, bahwa
fatwa berasal dari al-fatwa atau al-futya, artinya jawaban terhadap suatu
permasalahan (musykil) dalam bidang hukum. Sehingga fatwa dalam
pengertian ini juga diartikan sebagai memberikan penjelasan (al-ibanah).
Dikatakan aftahu fi al-amr mempunyai arti memberikan penjelasan
kepadanya atau memberikan jawaban atas persoalan yang diajukannya.26
Sedangkan secara terminologis, sebagaimana dikemukakan oleh
Zamakhsyari: (w. 538 H) yang dikutip Ma‟ruf Amin, fatwa adalah
penjelasan hukum syara‟ tentang suatu masalah atas pertanyaan seseorang
atau kelompok. Selain itu Ma‟ruf Amin mengutip pendapat as-Syatibi
tentang fatwa dalam arti al-iftaa berarti keterangan-keterangan tentang
hukum syara‟ yang tidak mengikat untuk diikuti. Kemudian mengutip juga
pendapat Yusuf Qardawi, bahwa fatwa adalah alat untuk menerangkan
hukum syara‟ dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan
26
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS Jakarta, 2008), h.
19.
31
yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) baik secara perorangan atau
kolektif.27
Selain itu istilah fatwa yang diterangkan oleh Ija Suntana, yakni
sebagai sebuah keputusan atau nasehat resmi yang diambil oleh sebuah
lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh
seorang mufti sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang
diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai
keterikatan.28
Amir Syarifuddin menerangkan istilah mufti dan mustafti yang
dijelaskan di atas. Mufti (pemberi fatwa) harus memiliki syarat-syarat
tertentu, syarat itu dikelompokkan menjadi empat kelompok sebagai
berikut:
a. Syarat umum: karena seorang mufti menyampaikan hal-hal yang
berkenaan dengan hukum syara‟, maka seorang mufti harus
mukalaf yaitu muslim, dewasa dan sempurna akalnya.
b. Syarat keilmuan: mufti harus ahli dan mempunyai kemampuan
untuk berijtihad. Syarat berijtihad yaitu mengetahui secara baik
dalil-dalil sam‟i dan mengetahui dalil-dalil aqli.
c. Syarat kepribadian: yaitu adil dan dipercaya. Kedua syarat ini
sebagai tuntutan bagi mufti karena secara langsung akan menjadi
panutan bagi umat dalam beragama.
d. Syarat pelengkap: seorang mufti dalam berfatwa bermaksud
mendidik untuk mengetahui hukum syara‟, bersifat tenang
(sakinah), berkecukupan, mempunyai niat dan iktikad baik, kuat
pendirian dan dikenal umat.
Mustafti (peminta fatwa) adalah orang yang tidak mempunyai
pengetahuan tentang suatu hukum syara‟ baik secara keseluruhan atau
27
Ibid, h. 20. 28
Ija Suntana, Politik Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), h. 16.
32
sebagian. Pada dasarnya orang yang meminta fatwa adalah orang awam
yang tidak tahu sama sekali dan tidak mampu untuk melakukan ijtihad.29
Mengingat betapa penting keberadaan fatwa bagi orang awam
dalam menjalankan amal ibadahnya, maka setiap orang yang telah
memenuhi syarat untuk menetapkan fatwa tidak boleh menolak apabila
dimintai fatwa. Dalam hal ini al-Imam an-Nawawi yang dikutip oleh
Ma‟ruf Amin, menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan
kaitannya dengan hukum fatwa:30
a. Pertama, berfatwa hukumnya adalah fardhu kifayah. Dimana jika
ada seseorang atau pihak menanyakan hukum suatu masalah maka
wajib bagi orang yang mempunyai kompetensi berfatwa untuk
menjawabnya. Jika ada orang lain yang juga mempunyai
kemampuan berfatwa, maka menjawab hukum suatu masalah yang
dipertanyakan hukumnya fardhu kifayah.
b. Kedua, jika suatu fatwa dikeluarkan akan tetapi oleh karena suatu
hal fatwa tersebut dirasa tidak sesuai, maka bagi pihak yang
menetapkan fatwa (mufti) harus memberitahukan orang yang
meminta fatwa (mustafti) bahwa fatwa yang dikeluarkan terdahulu
tidak sesuai. Para ulama sepakat jika sebelum diketahui ketidak
sesuaian fatwa tersebut pihak yang meminta fatwa (mustafti) belum
dapat melaksanakannya, maka haram baginya untuk tetap
melaksanakan fatwa tersebut, karena yang menetapkan fatwa
(mufti) sendiri menyatakan bahwa fatwa tersebut tidak sesuai.31
c. Ketiga, haram hukumnya bagi mufti untuk terlalu mudah
menetapkan fatwa (at-tasahul fi al-fatwa), dan jika diketahui
seperti itu maka haram bagi mustafti untuk meminta fatwa
29
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Cet. 7, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 485-487. 30
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h. 31. 31
Ibid, h. 32.
33
kepadanya. Kedudukan fatwa bagi peminta fatwa adalah
merupakan penuntun dalam menjalankan amal ibadahnya.
d. Keempat, seorang mufti ketika menetapkan fatwa harus stabil
psikis dan fisiknya, sehingga bisa berfikir jernih dan menjaga
kenetralannya dalam menetapkan hukum suatu masalah.32
e. Kelima, seorang mufti dilarang menjadikan fatwa sebagai sumber
penghasilan untuk kepentingan dirinya. Seorang pemberi fatwa
tidak boleh mengutip upah dari peminta fatwa (mustafti) atas fatwa
yang ditetapkan. Akan tetapi pemberi fatwa atau mufti sebaiknya
diberikan tunjangan negara.
f. Keenam, bagi mufti yang dalam menetapkan fatwa merujuk
pendapat ulama mazhab, maka harus didasarkan atas pendapat
ulama yang terdapat dalam kitab –kitab fiqih yang diakui (al-kutub
al mu‟tabarah).33
g. Ketujuh, jika seorang mufti telah menetapkan fatwa tentang hukum
suatu masalah kemudian di lain waktu pihak lain yang menanyakan
masalah yang sama maka dalam hal ini apabila mufti mengingat
keputusan fatwa beserta dalil-dalil dan argumentasinya (wajh al-
istidlal), maka boleh baginya untuk menetapkan fatwa seperti
fatwa yang pertama.
Sedangkan apabila ia ingat kesimpulan hukumnya saja, dan
tidak ingat dalil dan wajh al-istidlalnya, maka boleh baginya untuk
menetapkan fatwa yang sama dengan disertai dalil-dalilnya. Akan
tetapi sebaiknya dalam hal ini dilakukan penelitian dan penelaahan
ulang (tajdid an-nadhar), karena dikhawatirkan adanya
kondisi/alasan hukum (illat) baru yang menjadikan kesimpulan
hukum terhadap permasalahan tersebut bisa berbeda.
32
Ibid, h. 33. 33
Ibid, h. 34.
34
h. Kedelapan, ketetapan fatwa harus jelas dan dapat langsung
dilaksanakan oleh peminta fatwa (mustafti), karena hal seperti
itulah yang dibutuhkan oleh mustafti dengan meminta fatwa. Oleh
karenanya dalam fatwa sebisa mungkin untuk menghindarkan
kesimpulan hukum yang lebih dari satu, karena misalnya ada
perbedaan pendapat diantara para ulama dalam kasus tersebut.34
2. Kedudukan Fatwa
Fatwa memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum
Islam, sehingga fatwa menurut pandangan para ulama adalah bersifat
opsional “ikhtiyariah” (pilihan yang tidak mengikat secara legal,
meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak yang meminta
fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat “i‟laniyah” atau informatif
yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil fatwa
yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/ seorang ahli lain.35
Adapun kedudukannya dalam sistem hukum Islam adalah fatwa
saat ini merupakan hasil dari ijtihad kolektif, menurut Muhtar Yahya dan
Fathurrahman berpendapat tidak bisa serta merta dapat dipersamakan
dengan ijma‟, karena para ulama yang berperan dalam ijtihad kolektif
tersebut tidak meliputi seluruh ulama yang menjadi persyaratan bagi suatu
ijma‟, karena kegiatan ijtihad jama‟i (ijtihad kolektif).
Ini dimungkinkan untuk dilakukan beberapa kali oleh pelaku yang
berbeda pada waktu dan tempat yang berlainan pula sehingga hasil temuan
hukumnya dimungkinkan ada perbedaan antara satu kegiatan ijtihad
jama‟i dengan lainnya, meskipun terhadap masalah-masalah yang sama.
Akan tetapi sebaliknya ijma‟ tidak memberikan kesempatan untuk berbeda
pendapat karena semua ulama telah sepakat, sehingga fatwa bukan
34
Ibid, h. 35. 35
M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif
(Analisis Yuridis Normatif), Ulumuddin, Vol. VI, No. IV, Januari-Juni 2010, h. 475.
35
merupakan ijma‟, dan dimungkinkan bagi masyarakat untuk menerima
atau tidak sebuah fatwa.36
Sedangkan kedudukan fatwa dalam sistem hukum positif Indonesia
adalah berdasarkan sumber hukum nasional, yang terdiri dari undang-
undang, kebiasaan, keputusan pengadilan (yurisprudensi), traktat
(perjanjian antar negara), doktrin (pendapat pakar/ahli hukum), dan
berdasarkan pada pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan bahwa tata urutan
peraturan perundang-undangan adalah Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah yang
meliputi: Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
dan Peraturan Desa.37
Berdasarkan hal ini, maka fatwa tidak memiliki kedudukan dalam
sumber hukum positif Indonesia. Fatwa hanya pendapat, nasehat ulama
yang tidak dapat berlaku mengikat, maka fatwa harus melewati legislasi
terlebih dahulu yang kemudian menjadi sebuah undang-undang.
3. Lembaga-Lembaga Fatwa di Indonesia dan Metode Penetapan
Fatwa
Menyikapi urgensitas fatwa dalam perkembangan hukum dan
perkembangan masyarakat dimana realitas kapabilitas ulama tidak dalam
kepakarannya menguasai berbagai bidang dan perkembangan
kompleksitas permasalahan hukum yang terus berkembang maka fatwa
jama‟i yang bersifat fatwa kolektif dalam bentuk lembaga dipandang akan
jauh lebih dinilai lebih meyakinkan (memenuhi) kebutuhan hukum
36
Muhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,
(Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1997), h. 40. 37
Andi Fariana, Urgensi Fatwa MUI dalam Pembangunan Sistem Hukum Ekonomi Islam
di Indonesia, Al-Ihkam, Vol. 12, No. 1 Juni 2017, h. 99.
36
masyarakat. Fatkhul Mujib memberikan penjelasan bahwa ada 4 lembaga
yang menetapkan fatwa di Indonesia.38
a. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Majelis Tarjih adalah suatu lembaga dalam Muhammadiyah
yang membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum
bidang fiqih. Majelis ini dibentuk dan disahkan pada kongres
Muhammadiyah XVII tahun 1928 di Pekalongan.
Majelis ini didirikan pertama kali untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan khilafiyah, hingga dalam perkembangan
selanjutnya, Majelis Tarjih mengarah pada penyelesaian persoalan-
persoalan baru atau kontemporer. Oleh karena itu banyak anggota
lajnah tarjih menuntut agar Majelis Tarjih diubah menjadi Majelis
Ijtihad saat itu. Pada muktamar Muhammadiyah ke-43 pada tanggal 8-
12 Shafar 1416 H bertepatan tanggal 6-10 Juli 1995 M di Banda Aceh,
nama majelis ini ditetapkan menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam.39
Menurut Asmuni Abdurrahman, proses pembentukan Fatwa
Ijtihad Muhammadiyah dipahami sebagai aktifitas mencurahkan
segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan hukum
syar‟i yang bersifat zhanni dengan menggunakan metode tertentu yang
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan, berkompeten
baik secara metodologis maupun permasalahan.
Ijtihad berfungsi sebagai metode merumuskan ketetapan-
ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam Al-Qur‟an atau yang
ruang lingkupnya masalah-masalah yang memiliki dalil Zhanniyyud.
38
Fatkhul Mujib, Perkembangan Fatwa di Indonesia, Nizham, Vol. 4, No. 01 Januari-
Juni 2015, h. 101. 39
Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan
Organisasi, Cet. VII, (Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Dasar (LPID) Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2008), h.97-98.
37
Dengan demikian bagi Muhammadiyah, ijtihad bukan sebagai sumber
hukum melainkan sebagai metode penetapan hukum.40
Muhammadiyah dalam Ijtihad sesuai dengan kaidah ushul fiqh
menempuh tiga jalur, yaitu:
1) Al-Ijtihad Bayani, (semantik) dengan pola metode kebahasaan,
yakni menjelaskan hukum yang permasalahannya telah diatur
dalam Al-Qur‟an maupun Hadits maka secara praktis dapat
ditetapkan berdasarkan nash yang sudah jelas.
2) Tahlili (rasionalistik) metode pendekatan dengan jalan
rasioanalistik atau penalaran, sebelumnya majelis tarjih
menggunakan istilah Qiyasi yakni menyelesaikan kasus hukum
yang sifatnya baru dengan cara menganologi atau
mengqiyaskan dengan masalah yang telah diatur oleh Al-
Qur‟an dan Hadits. Akan tetapi metode qiyasi disadari
memiliki ruang lingkup yang terbatas, dengan metode Tahlili
jauh lebih luas dari metode qiyasi sekaligus mencakup metode
qiyasi.
3) Al-Ijtihad Al-Istislahi (filosofis), yakni menyelesaikan hukum
baru yang tidak terdapat dalam dua sumber pokok Al-Qur‟an
dan Hadits. Dengan cara penalaran dengan memperhatikan
nilai-nilai maslahat.41
b. Lajnah Bahtsul Masail NU
NU sebagai jam‟iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan
ijtima‟iyah serta menjadikan paham sunah wal jama‟ah sebagai basis
teologi dan menganut salah satu mazhab. Metode istinbath hukum
lajnah bahtsul masail dikalangan NU tidak diartikan dengan
mengambil hukum secara langsung (Al-Qur‟an dan Sunah), namun
40
Asmuni Abdurrahman, Manhaj Majelis Tarjih Muhammadiyah Metode dan Aplikasi,
Cet. V, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 105. 41
Ibid, h. 106.
38
diartikan sesuai dengan sikap dasar bermazhab terutama mazhab
Syafi‟i menempati posisi yang dominan.42
Sistem penetpan fatwa dalam bahtsul masail di lingkungan
Nahdlatul Ulama (NU) ditetapkan pada Musyawarah Nasional
(MUNAS) alim ulama NU di Bandar Lampung tanggal 21-25 Januari
1992, sistem penetapan fatwa kemudian disempurnakan kembali
melalui keputusan Musyawarah Nasioanal Alim Ulama Nomor
2/Munas/VII/2006 tentang Fikrah Nahdliyah adalah kerangka berfikir
yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah wal Jama‟ah.
Ahmad Munjin dalam jurnalnya mengungkapkan, ada 2 metode
yang ditetapkan bahtsul masail, yakni metode qauli dan manhaji.
Metode qauli adalah suatu cara penetapan hukum dengan mempelajari
masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-
kitab fiqih dari mazhab empat atau ulama pengikut mazhab dengan
mengacu dan merujuk secara langsung dari teks kitab imam-imam
mazhab. Ada tiga tahapan yang dipakai dalam metode ini, yakni
merujuk langsung kepada ta‟bir suatu kitab, taqrir jama‟i dan ilhaq al-
masail.
Adapun yang dimaksud taqrir jama‟i adalah menentukan suatu
teks dari sekian banyak teks yang dianggap paling sesuai dengan
persoalan yang dibahas dengan mekanisme musyawarah antar peserta
bahtsul masail. Sedangkan ilhaq al-masail adalah upaya apabila
melalui jalan qaul sudah tidak diperoleh pendapat yang akan dijadikan
pijakan fatwa, dengan menyamakan (analogi) hukum suatu kasus
dengan kasus yang telah ada jawabannya dalam kitab.43
Metode manhaji adalah suatu cara menyelesaikan masalah
keagamaan yang ditempuh lajnah bahtsul masail dengan mengikuti
42
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1998), h. 12. 43
Ahmad Munjin Nasih, Lembaga Fatwa Keagamaan di Indonesia, (Telaah Atas
Lembaga Majelis Tarjih dan Lajnah Bahtsul Masail), de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 5,
No. 01, Juni 2013, h. 73.
39
jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam
mazhab. Metode manhaji merupakan alternatif apabila metode qauli
tidak bisa dipakai untuk menjawab persoalan yang dibahas. Yang
dimaksud metode ini adalah istinbath jama‟i.44
Istinbath jama‟i adalah upaya secara kolektif untuk
mengeluarkan hukum syara‟ dari dalilnya yang akan dijadikan dasar
dengan melalui qawa‟id ushuliyah. Syarat yang melekat yang harus
dimiliki oleh ulama yang melakukan istinbath jama‟i antara lain;
memahami secara benar tentang suatu kasus (tashawwur al-masalah)
terhadap masalah yang akan ditetapkan hukumnya, mampu mencari
dalil yang akan dijadikan dasar penetapan hukum (istidlal), mampu
menerapkan dalil terhadap masalah dengan kayfiyah al-istidlal (metode
pengambilan hukum) dan kemudian mampu menetapkan hukum atas
masalah yang dibahas.45
c. Dewan Hisbah Persatuan Islam
Persis merupakan organisasi sosial Islam yang berdiri 12
September 1923, mengajak untuk memajukan Islam dengan landasan
Al-Qur‟an dan sunah Nabi. Mereka menganggap bahwa organisasinya
sebagai genre baru ulama yang perjuangannya ditujukan untuk
membersihkan agama dari bid‟ah dan mengadaptasikan prinsip-prinsip
agama dengan kondisi-kondisi kontemporer.46
Metode istinbath hukum yang digunakan yaitu, kaidah
ushuliyah (kebahasaan), tujuan umum perundangan Islam dan cara
menyelesaikan nash yang terlihat bertentangan. Mekanisme ijtihad
yang ditempuh oleh dewan hisbah persis yaitu: mencari keterangan
dari Al-Qur‟an, jika ada perbedaan pemahaman dan penafsiran maka
diadakan thoriqot al-jam‟i, bila tidak terdapat dalil dari Al-Qur‟an
44
Ibid, h. 74. 45
Fatkhul Mujib, Perkembangan Fatwa di Indonesia, h. 107. 46
Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim, Pencarian dan Pergulatan Persis di
Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957), Cet. I, diterjemahkan oleh Ruslan dan
Kurniawan Abdullah, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 112-116.
40
maka diadakan penelitian tentang Hadits, jika tidak ada di sunah maka
dengan atsar sahabat.47
d. Komisi Fatwa MUI
Secara kelembagaan, Komisi Fatwa MUI adalah perangkat
organisasi yang dimiliki MUI dengan tugas utama untuk menelaah,
membahas dan merumuskan masalah fatwa keagamaan. Kelembagaan
Komisi Fatwa MUI ini bersifat permanen. Keberadaannya bersamaan
dengan berdirinya MUI pada tahun 1975.48
Metode ijtihad MUI menggunakan sistem fatwa yang
ditetapkan dalam sidang komisi fatwa, musyawarah nasional MUI, dan
fatwa ijtima‟ ulama komisi fatwa MUI se-Indonesia. Kewenangan dan
wilayah fatwa MUI dalam bab VI berdasarkan prosedur fatwa MUI
tahun 2003 antara lain: MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai
masalah-masalah keagamaan secara umum, terutama masalah hukum
fiqh dan masalah aqidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian
keimanan umat Islam Indonesia. Pedoman prosedur fatwa adalah
sebagai berikut:
1) Dasar penetapan umum fatwa meliputi; Aktivitas penetapan
Fatwa dilakukan secara kolektif oleh lembaga Komisi fatwa
MUI, Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif dan
antisipatif,
2) Dasar-dasar (dalil) Fatwa; Al-Qur‟an, Sunnah, Ijma, Qiyas dan
dalil-dalil lain yang mu‟tabar.
Proses dan prosedur fatwa dilakukan dengan metode
penetapan fatwa: Masalah yang sudah jelas hukumnya akan
difatwakan sesuai dengan apa adanya. Sedangkan masalah-masalah
yang khilafiyah dikalangan mazhab fiqh, diselesaikan dengan jalan
diusahakan melalui metode al-jam‟u wa al-talfiq, yaitu usaha titik
47
Fatkhul Mujib, Perkembangan Fatwa di Indonesia, h. 108. 48
M. Arorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa, (Jakarta: Erlangga, 2016), h. 85.
41
temu dan apabila tidak dapat diselesaikan dengan metode talfiq maka
perbedaan dapat diusahakan dengan penyelesaian muqaranah, atau
perbandingan dasar pendapat (comperative legal opinion). Penetapan
fatwa didasarkan pada hasil tarjih yang dianggap lebih kuat melalui
kaidah-kaidah dan Ushul Fiqh sebagai parameter tarjih.49
49
Tim Penyusun, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2015), h. 5-6.
42
BAB III
MAJELIS ULAMA INDONESIA
A. Profil Singkat Majelis Ulama Indonesia
1. Sejarah Berdirinya Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia (MUI) hadir ke pentas sejarah ketika
bangsa Indonesia tengah berada di fase kebangkitan kembali, setelah
selama tiga puluh tahun sejak kemerdekaan energi bangsa terserap dalam
perjuangan politik, baik dalam negri maupun dalam forum internasional,
sehingga kurang mempunyai kesempatan untuk membangun menjadi
bangsa yang maju dan berakhlak mulia.1
Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan di Jakarta pada tanggal
17 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 Masehi
dalam petemuan alim ulama yang dihadiri oleh Majelis Ulama Daerah dari
dua puluh enam provinsi di Indonesia saat itu provinsi, Pembina
kerohanian dari empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Udara,
Angkatan Laut, dan POLRI), beberapa tokoh Islam yang hadir sebagi
pribadi, serta Pimpinan Ormas Islam tingkat Nasional.2
Adapun kesepuluh Ormas Islam yang hadir dalam konferensi
tersebut adalah KH. Moh. Dahlan dari Nahdhatul Ulama (NU), Ir. H. Basit
Wahid dari Muhammadiyah, H. Syafi’I Wira Kusumah dari Syarikat Islam,
H Nurhasan dan Ibnu Hajar dari Perti, Anas Tanjung dari Al-Wasliyah,
KH. Saleh Su’aidi dari Mathlaul Anwar, KH. S Qudratullah dari GUPP, H.
1 Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia Edisi Revisi 2011
Hasil Rakernas MUI Tahun 2011, (Diterbitkan oleh Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Pusat,
2011), h. 4.
2 Profil Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Sumatra Utara, (Dewan Pimpinan Majelis
Ulama Indonesia Sumatra Utara, 2006), h. 1.
43
Sukarsono dari PTDI, KH. Hasim Adnan dari DMI, H. Zaenal Arifin
Abbas dari al-Ittihadiyah.3
Pertemuan alim ulama yang melahirkan MUI tersebut ditetapkan
sebagai Munas (Musyawarah Nasional) MUI Pertama. Musyawarah ini
diselenggarakan oleh sebuah panitia yang diangkat oleh Menteri Agama
dengan Surat Keputusan No.28 tanggal 1 Juli 1975, yang diketuai oleh
Letjen. Purn. H Soedirman dn Tim Penasehat yang terdiri dari Prof. Dr.
Hamka, KH. Abdullah Syade’I, dan KH. M Syukri Ghazali.4
Namun demikian, sebelum adanya MUI Pusat, terlebih dahulu
daerah-daerah telah terbentuk Majelis Ulama, termasuk Majelis Ulama
Indonesia Provinsi Sumatra Utara yang berdiri tanggal 11 Januari 1975
Masehi bertepatan dengan 28 Zulhijjah 1394 Hijriah.5
Sebelum MUI diresmikan, telah muncul beberapa kali pertemuan
yang melibatkan para ulama dan tokoh-tokoh Islam. Pertemuan tersebut
gagasan akan pentingnya suatu majelis ulama yang mejalankan fungsi
ijtihad kolektif dan memberikan masukan serta nasehat keagamaan kepada
pemerintah dan masyarakat. Pertemuan-pertemuan itu diantaranya, pada
tanggal 30 September 1970 Pusat Dakwah Islam menyelenggarakan
sebuah konferensi untuk membuat sebuah majelis ulama yang berfungsi
untuk memberikan fatwa.6
Kemudian pada tahun 1974 Pusat Dakwah Islam kembali
menyelenggarakan konferensi untuk para da’i. Konferensi tersebut
menghasilkan suatu kesimpulan bahwa pentingnya pendirian majelis
ulama dan merekomendasikan para ulama tingkat provinsi untuk
3 20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 1995), h.16-17.
4M. Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia “Sebuah Studi Tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988”, (Jakarta: INIS, 1993), h. 63.
5 Profil Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Sumatra Utara, h. 2.
6 M. Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 54.
44
mendirikan sebuah majelis ulama. Selain itu, dipihak pemerintah pada
tanggal 24 Mei 1975, presiden Soeharto menyatakan dengan menekankan
akan pentingnya sebuah majelis ulama setelah menerima kunjungan dari
Dewan Masjid Indonesia.
Akhirnya pada tanggal 21-27 Juli 1975 digelarlah sebuah
konferensi ulama nasional, yang menghasilkan sebuah deklarasi yang
ditandatangani oleh lipa puluh tiga peserta yang hadir, deklarasi tersebut
menyatakan berdirinya sebuah organisasi atau perkumpulan para ulama
dengan sebutan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Peristiwa lahirnya MUI
diabadikan dalam bentuk penandatanganan piagam berdirinya MUI yang
ditandatangani oleh 53 orang ulama terdiri dari 26 orang ketua Majelis
Ulama tingkat Provinsi se-Indonesia, 10 orang ulama dari unsur ormas
Islam tingkat pusat, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian, serta 13 orang
ulama yang hadir sebagai pribadi.7
Lahirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak terlepas dari faktor
interen dan eksteren. Faktor interen adalah kondisi umat Islam dan bangsa
Indonesia seperti rendahnya pemahaman dan pendalaman agama. Lebih
dari pada itu, kemajemukan dan keragaman umat Islam dalam alam
pikiran keagamaan umat Islam, organisasi sosial, dan kecenderungan
aliran dan aspirasi politik selain dapat merupakan kekuatan, tetapi sering
menjelma menjadi kelemahan dan sumber pertentangan dikalangan umat
Islam sendiri.8
Sedangkan faktor eksteren adalah suasana yang sering
mengitari umat Islam dan bangsa Indonesia yang menghadapi tantangan
global yang sangat berat.9
7 Tim Penyusun, Gambaran Umum Organisasi MUI dalam Pedoman penyelenggaraan
Organisasi MUI, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2002), h. 7.
8 Profil Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Sumatra Utara, h. 8.
9 Ibid, h. 9.
45
Beberapa alasan atau latar belakang berdirinya Majelis Ulama
Indonesia (MUI) antara lain adalah:
a. Di berbagai Negara, terutama Asia Tenggara, ketika itu telah
dibentuk Dewan Ulama atau Mufti selaku penasehat tertinggi
dibidang keagamaan yang memiliki peran tertinggi.
b. Sebagai lembaga atau “alamat” yang mewakili umat Islam
Indonesia kalau ada pertemuan-pertemuan ulama Internasional,
atau ada tamu dari luar negri yang ingin bertukar pikiran dengan
ulama Indonesia.
c. Untuk membantu pemerintah dalam memberikan pertimbangan
keagamaan dalam pelaksanaan pembangunan, serta sebagai
jembatan penghubung dan penterjemah komunikasi antar ulama
dan umat Islam.
d. Sebagai wadah pertemuan, dan silarahim para ulama seluruh
Indonesia untuk mewujudkan ukhuwah Islamiah.
e. Sebagai wadah musyawarah bagi para ulama, zuama dan
cendekiawan muslim Indonesia untuk membicarakan permasalahan
umat.
Pada Munas (Musyawarah Nasional) MUI Pertama,terpilih Prof.
Buya Hamka untuk periode 1975-1981. Pada awalnya Buya Hamka
menolak pendirian sebuah majelis namun kemudian terpilih sebagai ketua
umum dengan memberikan alasan atas penerimaan jabatannya MUI
diantaranya; pertama, umat Islam harus bekerjasama dengan pemerintah
Soeharto, sebab pemerintah Soeharto anti-komunis. Kedua, pendirian MUI
harus bisa meningkatkan hubungan antara pemerintah dan umat Islam.10
10
Rusjdi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas,
1981), h. 68.
46
Pada tahun 1981, Buya Hamka mengundurkan diri dari jabatan
Ketua Umum MUI dan digantikan oleh K.H. Syukri Ghazali yaitu seorang
Kyai dari kalangan NU yang lahir tahun 1906. Beliau terkenal dengan
keramahan dan keluasan ilmu syari’ahnya. Beliau memimpin MUI selama
tiga tahun, dan meninggal pada tahun 1984 ketika masih menjabat Ketua
Umum. Selama beliau menjabat telah dilakukan penyempurnaan pedoman
dasar dan pedoman rumah tangga MUI, dan penyelenggaraan Munas
Utama tentang kependudukan, kesehatan, lingkungan hidup, dan keluarga
berencana yang menghasilkan fatwa tentang haramnya praktek aborsi serta
vesektomi dan tubektomi.11
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali
musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian ketua
umum. Urutan dari sejak dibentuknya MUI hingga sekarang, yaitu: Prof.
Dr. Buya Hamka (1975-1981), K.H. Syukri Ghozali (1981-1983), K.H.
Hasan Basri (1983-1990), Dr. K.H. Muhammad Ali Yafie (1990-2000), Dr.
K.H. M. Sahal Mahfudz (2000-2014), Prof. Dr. H. Muhammad Din
Syamsuddin, MA (2014-2015) dan Prof. Dr. K.H. Ma’ruf Amin (2015-
sekarang).12
2. Visi-Misi Majelis Ulama Indonesia
Sebagaimana tercantum pedoman penyelenggaraan organisasi, visi
organisasi MUI adalah tercapainya kondisi kehidupan kemasyarakatan,
kebangsaan, dan kenegaraan yang baik sebagai hasil penggalangan potensi
dan partisipasi umat Islam melalui aktualisasi potensi ulama’, zuama’, dan
cendekiawan muslim untuk kejayaan Islam dan umat Islam guna
terwujudnya Islam yang penuh rahmat ditengah kehidupan umatmanusia
dan msyarakat Indonesia khususnya.
11
20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, h. 27-28.
12 Lihat website resmi MUI, https://mui.or.id/sejarah-mui/, diakses pukul 16.40 WIB
tanggal 29 september 2019.
47
Sementara misi yang diemban MUI adalah menggerakkan
kepemimpinan dan kelembagaan yang dinamis dan efektif sehingga
mampu mengawal umat Islam dalam melaksanakan Aqidah Islamiyyah,
membimbing mereka dalam menjalankan ibadah, menuntun mereka dalam
mengembankan muamalat, menjadi panutan mereka dalam
mengembankan akhlakul karimah.13
Dalam hasil munas MUI VII tahun 2005 dijelaskan tiga misi MUI
diantaranya:
a. Menggerakkan kepemimpinan kelembagaan umat secara efektif
dengan menjadikan ulama sebagai panutan (uswah hasanah),
sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam
menanamkan dan memupuk aqidah Islamiyah, serta
menjalankansyari’ah islamiyyah.
b. Melaksanakan dakwah Islam, amar makruf nahyi munkar dalam
mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyarakat
berkualitas dalam berbagai aspek kehidupan.
c. Mengembangkan Ukhuwah Islamiyah dan kebersamaan
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
MUI mempunyai tugas dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat,
baik kepada pemerintah maupun kepada kaum muslimin (baik secara
kelompok atau individu) mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan
13
Anwar Abbas, dkk, Pedoman penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia,
(Majelis Ulama Indonesia, 2010), h. 7.
48
dengan keagamaan khususnya dan semua masalah yang dihadapi bangsa
umumnya.14
Penyusunan dan pengeluaran fatwa-fatwa dilakukan oleh Komisi
Fatwa MUI. Komisi ini diberi tugas untuk merundingkan dan
mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang
dihadapi masyarakat. Persidangan-persidangan Komisi Fatwa dilakukan
menurut keperluan atau bila MUI telah dimintai pendapatnya oleh umum
atau oleh pemerintah mengenai persoalan-persoalan tertentu dalam hukum
Islam.
Fatwa-fatwa itu sendiri adalah berupa pernyataan pernyataan,
diumumkan baik oleh komisi fatwa sendiri atau oleh MUI. Bentuk lahiriah
fatwa selalu sama, dimulai dengan keterangan bahwa komisi telah
mengadakan sidang pada tanggal tertentu berkenaan dengan adanya
pertanyaan yang telah diajukan oleh orang-orang atau badan-badan
tertentu. Kemudian dilanjutkan dengan dalil-dalil yang digunakan sebagai
dasar pembuatan fatwa.15
Keberadaan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dipandang
sangat penting bagi kehidupan beragama khususnya bagi umat Islam di
Indonesia. Dapat dikatakan menurut Ma’ruf Amien bahwa ruh dari
lembaga MUI itu adalah pada komisi fatwa itu sendiri. Komisi fatwa dan
komisi-komisi lain yang ada di MUI, diharapkan senantiasa berkordinasi
dalam mematuhi fenomena dan kondisi masyarakat yang terus
berkembang, sehingga segala macam bentuk keresahan, keraguan
membuat masyarakat bingung dan jika tidak dicari solusi dan jalan
pemecahannya dikhawatirkan akan timbul perpecahan, perselisihan
dikalangan masyarakat yang dampaknya kekuatan Islam menjadi lemah.
14
Tim penyusun, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Perspektif Hukum
dan Perundang-undangan, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, 2012), h. 44.
15 M. Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 53.
49
MUI sebagai wadah pengkhidmatan ulama kepada umat Islam di
Indonesia, mempunyai beberafa fungsi dan tugas yang harus diemban.
Salah satu fungsi dan tugas adalah memberi fatwa keagamaan di
Indonesia. Fatwa sangat dibutuhkan oleh umat Islam yang tidak
mempunyai kemampuan untuk menggali hukum langsung dari sumbernya,
karena fatwa membuat penjelasan tentang kewajiban-kewajiban agama
(Faraidl), batasan-batasan (hudud), serta menyatakan tentang haram atau
halalnya sesuatu.16
4. Fatwa MUI Tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran
Pada tanggal 26 Mei - 1 Juni tahun 1980 Masehi bertepatan dengan
tanggal 11-17 Rajab tahun 1400 Hijriah, Majelis Ulama Indonesia
mengadakan Musyawarah Nasional yang kedua kalinya, memberikan
suatu penetapan fatwanya tentang perkawinan campuran. Yang dimaksud
perkawinan campuran oleh MUI adalah perkawinan yang berbeda
keyakinan. Adapun posita (dalil-dalil) yang dirujuk oleh MUI mengenai
perkawinan campuran sebagai berikut:
a. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221 menjelaskan
tentang larangan kawinan dengan orang musyrik:
ل ت أعجبتكم, ل ش مه مششكت لمت مؤمىت خ ل تىكحا المششكبث حتى ؤمه, ىكحا
ن إل أعجبكم, ألئك ذع ل ش مه مششك لعبذ مؤمه خ ه حتى ؤمىا, ى الىبس المششك
ن )ال ش م تزك للىبس لعل به ءابت المغفشة بئرو للا ذع إلى الجىت (332بشة
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221).
16
Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. 21.
50
Dalam surat Al-Maidah ayat 5 mengenai perkawinan dengan
wanita ahli kitab:
تم ه أتا الكتبة مه قبلكم إرا آت المحصىبث مه الز المحصىبث مه المؤمىبث ه ...
ل متخزي أخذان ه ش مسبفح ه غ أجسه محصى مبن فذ حبط عمل مه كفش ببإل
ه )المبئذة خشة مه الخبسش (5ف ا
“...(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara wanita yang diberi al-kitab (ahlu kitab)
sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal-
amalnya dan ia di akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-
Maidah: 5).
Kemudian dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 yang
menjelaskan tentang larangan kawin dengan orang kafir:
ن له لم حل فئن علمتمه مؤمىبث فل تشجعه إلى الكفبس له حل لم
(21)الممتحىت
“... Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-
benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mu’min)
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal bagi mereka...” (QS. Al-Mumtahanah: 10).
Serta dalam surat At-Tahrim ayat 6 menegaskan tentang
pemeliharaan diri dan keluarga dari api neraka:
م كم وبسا )التحش ل أ ب الزه آمىا قا أوفسكم (6ب أ
“Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka...” (QS. At-Tahrim: 6).
b. Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh imam
Tabrani menjelaskan :
51
مبن فلتق للا فى الىصف الببقى )ساي الطبشاوى( ج فذ استكمل وصف ال مه تز
“Barangsiapa telah kawin, ia telah memelihara setengah
bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia taqwa kepada Allah
dalam bagian yang lain” (HR. Tabrani).
Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Aswad
bin Sura’i:
شاو ىص داو اي ة عى لسبو, فأب لذ على الفطشة حتى عش د ل كل م سبو مج
)ساي السد به السشاعى(
“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia
menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang
menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR.
Aswad bin Sura’i).
Dari dalil-dalil yang telah dipaparkan di atas, MUI
menfatwakan sebagai berikut:
Pertama, perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki
non muslim adalah haram hukumnya.
Kedua, seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini
wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim
dengan wanita ahlu kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah
mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada
maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia menfatwakan perkawinan
tersebut hukumnya haram.17
Dari uraian fatwa MUI Pusat tahun 1980 mengenai
perkawinan campuran, menerangkan bahwa perkawinan ini dilakukan
oleh orang-orang yang berbeda dari status agamanya yang disoroti
oleh MUI dan memberikan suatu hukum haram bagi kaum muslim
melaksanakan perkawinan tersebut.
17 Tim Penyusun, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2015), h. 51.
52
BAB IV
ANALISIS YURIDIS FATWA MUI TAHUN 1980 TENTANG
PERKAWINAN CAMPURAN
Perkawinan sebagai institusi sosial yang sangat kompleks dengan
kontroversi seperti institusi lainnya yang berpengaruh dan sama-sama disoroti
kaitannya mengenai keadilan dan menegakkan kedaulatan bagi para pihak yang
berkepentingan. Tak dapat dipungkiri, banyak peraturan yang berkembang dan
tampak juga peraturan yang tak berfungsi serta menjadi hal yang menuai pro dan
kontra.
Misalnya aturan tentang perkawinan campuran yang masih menjadi
polemik dan masih berselisihan hingga saat ini. Namun ada lagi yang menjadi
kontroversi yaitu munculnya fatwa perkawinan campuran yang ditetapkan oleh
lembaga yang berkompeten menegaskan bahwa perkawinan beda agama
dimaksud juga sebagai perkawinan campuran. Berikut beberapa cara penyelesaian
problem perkawinan campuran menurut aturan yang berlaku.
A. Alasan Fatwa MUI Pusat Tahun 1980 Tentang Perkawinan
Campuran Sebagai Perkawinan Beda Agama
Sebelum Indonesia merdeka istilah perkawinan campuran pada masa
jajahan kolonial Belanda terdapat sebuah peraturan yang dinamakan staatblad
tahun 1898 yang menyatakan bahwa maksud dari perkawinan campuran
adalah perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan.1
Mengenai pemahaman hukum yang berlainan ini, para pakar hukum
berbeda pendapat dalam hal kaitannya dengan perkawinan campuran itu. Ada
1 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
243.
53
yang menafsirkan perkawinan antar pemeluk agama dan ada yang
mengartikannya berlainan daerah asal atau tempat.2
Dari penjelasan ini MUI Pusat dalam fatwa tahun 1980 tentang
Perkawinan Campuran memahaminya dari perbedaan antar pemeluk agama.
Di mana isi dari fatwa tersebut menjelaskan ketidakbolehan laki-laki muslim
menikah dengan perempuan non muslim maupun sebaliknya dan juga
menerangkan hukum pernikahan dengan ahli kitab.
Pada saat wawancara dengan Bapak Hasanuddin selaku narasumber,
alasan mengapa MUI Pusat menetapkan suatu fatwa terkait dengan
perkawinan campuran adalah perkawinan yang berbeda antar pemeluk agama
pada tahun 1980, karena sejak dilahirkannya Undang-Undang Perkawinan
tahun 1974, terdapat sebuah wacana dari pihak non muslim yang
menginginkan agar perkawinan beda agama jangan dilarang atau dibolehkan
untuk dilakukan.
Berdasarkan alasan hak asasi manusia untuk menikah beda agama,
karena mengenai perkawinan baik antara muslim dengan non muslim ada
yang mengatakan tidak menjadi permasalahan. Artinya selama masih satu
akidah yang meyakini Tuhan Yang Maha Esa walaupun secara syariat saja
yang berbeda.
Itulah yang diharapkan pihak non muslim agar diperbolehkannya
menikah beda agama. Namun MUI Pusat merespon terkait permasalahan
tersebut dan mengeluarkan fatwanya di tahun 1980 tentang Perkawinan
Campuran yang dimaksud adalah perkawinan beda agama yaitu secara
hukumnya haram untuk melakukan perkawinan antara muslim dengan non
muslim.3
2 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 2.
3 Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. H. Maulana Hasanuddin M.Ag, selaku Wakil
Ketua Komisi Fatwa MUI pada tanggal 13 Januari 2020 pukul 11.38 WIB.
54
Menurut Bapak Zafrullah Salim selaku anggota Komisi Fatwa pun
menambahkan responnya mengenai perkawinan campuran yang dimensinya
hanya berbeda keyakinan pada orangnya. Karena yang dimaksud Undang-
Undang Perkawinan, bahwa perkawinan campuran masih mempunyai
kekurangan penjelasan di dalam pasal 57 yang masih belum menjelaskan,
apakah beda kewarganegaraan itu orangnya juga memeluk keyakinan yang
berbeda.
Maka dari itu, beliau memberikan penjelasan kaitannya fatwa tentang
Perkawinan Campuran yang dimaksud adalah perkawinan yang orangnya
memiliki perbedaan keyakinan hukumnya adalah haram. Sedangkan apabila
orangnya tidak berbeda keyakinan atau masih satu keyakinan dan berbeda
kewarganegaraan juga, itu tidak akan menjadi suatu permasalahan yang
dibahas oleh MUI Pusat.4
Dari hukum syariah istilah mengenai perkawinan campuran yang disini
hanya berbeda kewarganegaraan, tidak akan menjadi suatu permasalahan.
Karena dalam Al-Qur’an dan hadis tidak ada pembahasan mengenai
perkawinan berbeda kewarganegaraan. Akan tetapi ketika perbedaannya itu
adalah keyakinan atau kerap disebut perkawinan beda agama, para ulama
sepakat untuk membahas permasalahan soal perkawinan tersebut.5
Dari sini dapat dilihat bahwa walaupun Undang-Undang Perkawinan
telah mengaturnya kembali secara khusus terhadap perkawinan campuran
yang berbeda hanya pada kewarganegaraan saja serta mengugurkan
berlakunya atau tidak berlaku kembali peraturan-peraturan mengenai
perkawinan setelah Undang-Undang Perkawinan dilahirkan di dalam pasal 66
yang menyatakan bahwa;
4 Hasil Wawancara dengan Bapak H. Zafrullah Salim, M.Hum, selaku Anggota Komisi
Fatwa MUI pada tanggal 9 Oktober 2019 pukul 12.28. 5 M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqih Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1991), h. 127.
55
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek),
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Indonesia
1933 No.73), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Huwelijken
S.1898 No.158), dan Peraturan-Peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak
berlaku”.
Akan tetapi masyarakat masih menganggap bahwa perkawinan beda
agama masih diperbolehkan dengan alasan karena perkawinan antar pemeluk
sama dengan perkawinan campuran yang dilegalkan di Indonesia. Adapun
dalil-dalil yang tertuang di dalam fatwa MUI yaitu sebagai berikut;
نحا الوششمبد حتى ؤهي ل ت ي نحا الوششم ل ت أعججتنن, ل ش هي هششمخ لهخ هؤهخ خ ,
للا ى إلى البس أعججنن, ألئل ذع ل ش هي هششك لعجذ هؤهي خ ذع إلى الجخ حتى ؤها,
ى ش ن تزم للبس لعل جي ءابت الوغفشح ثئر
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221).
ي أتا النتب الوحصبد هي الز الوحصبد هي الوؤهبد توي أجسي ... ة هي قجلنن إرا آت
ف وبى فقذ حجط عول هي نفش ثبإل ل هتخزي أخذاى ي ش هسبفح ي غ خشح هي هحص ا
ي الخبسش
“... (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita yang diberi al-kitab (ahlu kitab) sebelum kamu,
bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
56
Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di akhirat termasuk orang-orang
merugi.” (QS. Al-Maidah: 5).
ى ليفئى علوتوي هؤهبد لن حل فل تشجعي إلى النفبس لي حل لن
“... Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mu’min) tiada halal bagi orang-
orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka ...” (QS. Al-
Mumtahanah: 10).
نن بسا ل أ فسنن ب الزي آها قا أ ب أ
“Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka...” (QS. At-Tahrim: 6).
Selain Al-Qur’an, juga dalam hadits Rasulullah SAW, menerangkan:
وبى فلتق للا فى الصف الجبقى )سا الطجشاى( ج فقذ استنول صف ال هي تز
“Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara setengah dari
imannya, karena itu, hendaklah ia takwa kepada Allah dan bagian yang lain”
(H.R. A-Tabrani).
Adapun hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aswad bin Sura’i,
لسب, ة ع لذ على الفطشح حتى عش د ل )سا السد مل ه سب وج شا ص دا ا فأث
ثي السشاعى(
“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia
menyatakan dengan lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang
menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani dan Majusi”.6
MUI Pusat memperkuat argumennya yang mengharamkan menikah
dengan ahli kitab lewat metode muqaranah (perbandingan) didasarkan pada
hasil tarjih dengan landasan surat Al-Bayyinah ayat 1:
الوشش ل النتت ا هي ا ي مفش خ لن ني الز ي حتى تأتن الج فن ي ه م
6 Mahmudin Bunyamin, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2017), h.
171.
57
“Orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang
musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada
mereka bukti yang nyata”. (QS. Al-Bayyinah: 1).
Dari penjelasan ayat tersebut mengenai ahli kitab, MUI Pusat
memberikan pengakuan bahwa ahli kitab dipersamakan sebagai orang kafir.
Kategori kafir itu ada 2, yaitu dari golongan ahli kitab yang mempertuhankan
nabi Isa dan orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Sesuai dasar
surat Al-Bayyinah ayat 1 ini, MUI Pusat memberikan hukum haram menikahi
wanita ahli kitab di masa sekarang.7
MUI Pusat juga mempertimbangkan terhadap pengharaman menikahi
wanita ahli kitab, dikhawatikan akan terjadi intervensi marriage terhadap
kedua pasangan yang berbeda keyakinan, maka pegangan yang digunakan
dalam kaidah ushul fikih yaitu:
دسع الوفبسذ هقذم على جلت الوصبلح
“Meninggalkan suatu kerusakan lebih didahulukan dari pada
mendapat suatu kemaslahatan baru”
Oleh sebab itu, MUI Pusat mencegah adanya kemudharatan yang akan
terjadi apabila perkawinan dengan ahli kitab dilakukan, maka memberikan
hukum haram sebagai solusi yang konkrit dan bisa dijadikan sandaran bagi
masyarakat khususnya umat Islam di Indonesia.8
B. Sejarah fatwa MUI Pusat tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran
Sebelum memasuki penjelasan mengenai perkawinan campuran yang
ditetapkan oleh MUI Pusat di konferensi Musyawarah Nasional yang kedua,
peneliti mencoba menguraikan beberapa penjelasan sebelum konferensi
tersebut. Terdapat faktor interen dan eksteren yang bermunculan di tengah-
tengah masyarakat saat itu.
7 Hasil wawancara dengan Bapak H. Zafrullah Salim, M.Hum.
8 Ibid.
58
Faktor interen adalah kondisi umat Islam dan bangsa Indonesia seperti
rendahnya pemahaman dan pendalaman agama. Lebih dari pada itu,
kemajemukan dan keragaman umat Islam dalam alam pikiran keagamaan
umat Islam, organisasi sosial, dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik
selain dapat merupakan kekuatan, tetapi sering menjelma menjadi kelemahan
dan sumber pertentangan dikalangan umat Islam sendiri.9 Sedangkan faktor
eksteren adalah suasana yang sering mengitari umat Islam dan bangsa
Indonesia yang menghadapi tantangan global yang sangat berat.10
Atas dasar itu, MUI berdiri untuk memberikan pemahaman kepada
umat Islam di Indonesia sebagai lembaga yang berfungsi sebagai ijtihad
kolektif dan memberikan masukan serta nasehat kepada pemerintah dan
masyarakat.11
Untuk itu, diperlukan suatu badan atau lembaga yang mampu
menjawab suatu masalah kaitannya dengan persoalan agama.
Mulailah MUI lahir pada Musyawarah Nasional pertama kali.
Musyawarah ini diselenggarakan oleh sebuah panitia yang diangkat oleh
Menteri Agama dengan Surat Keputusan No. 28 tanggal 1 Juli 1975, yang
diketuai oleh Letjen. Purn. H Soedirman dn Tim Penasehat yang terdiri dari
Prof. Dr. Hamka, KH. Abdullah Syade’I, dan KH. M Syukri Ghazali.12
Sebelum MUI lahir, terlebih dahulu daerah-daerah telah terbentuk
Majelis Ulama, termasuk Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara yang
berdiri tanggal 11 Januari 1975 Masehi bertepatan dengan 28 Zulhijjah 1394
Hijriah.13
Bersamaan dengan lahirnya Majelis Ulama Indonesia, lahir pula
Komisi Fatwa. Komisi ini termasuk salah satu komisi yang mendapat
9 Profil Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Sumatra Utara, (Dewan Pimpinan Majelis
Ulama Indonesia Sumatra Utara, 2006), h. 8. 10
Ibid, h. 9. 11
M. Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia “Sebuah Studi Tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988”, (Jakarta: INIS, 1993), h. 54. 12
Ibid, h. 63. 13
Profil Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Sumatra Utara, h. 2.
59
perhatian khusus karena masyarakat sangat memerlukan nasehat keagamaan
agar perubahan sosial yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan,
teknologi dan pembangunan tidak menjadikan masyarakat, bangsa dan Negara
Indonesia menyimpang dari kehidupan yang religius.
Namun setelah lahirnya MUI dan komisi fatwanya terdapat faktor
intern dan eksteren yang masih dirasakan di tengah-tengah masyarakat seperti
banyaknya praktek perkawinan yang dilakukan beberapa umat Islam dengan
pemeluk agama lain.
Masyarakat pada umumnya masih memahami bahwa perkawinan beda
agama sama dengan perkawinan campuran pada tahun 1980. Walaupun
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah menjelaskan
mengenai perkawinan campuran di dalam pasal 57 yaitu perkawinan yang
antara dua pihak masing-masing tunduk pada hukum berlainan, karena
perbedaan kewargangeraannya, artinya perkawinan campuran itu dibolehkan
oleh pemerintah.14
Dari sinilah masyarakat pada masa itu banyak yang melakukan praktek
pernikahan antara muslim dengan non muslim serta meyakini bahwa
perkawinan tersebut itu dipersamakan dengan perkawinan campuran yang
diperbolehkan oleh pemerintah di dalam Undang-Undang Perkawinan.
Misalnya di Yogyakarta, masyarakatnya masih banyak yang tidak
mempermasalahkan apabila melakukan perkawinan beda agama yang penting
bisa rukun antar keduanya. Itulah penegasan yang disampaikan terkait
perkawinan beda agama yang diharapkan oleh masyarakat tersebut.15
Fatwa Perkawinan Campuran sebagai rekomendasi berbentuk surat
pada Musyawarah Nasional yang kedua, ini bentuk keresahan MUI Pusat
merespon terhadap persoalan yang terjadi pada masyarakat menurut fakta dan
kejadian di tengah-tengah pergaulan sehari-hari yang begitu banyaknya
14
Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. H. Maulana Hasanuddin M.Ag. 15
Ibid.
60
perkawinan campuran, baik karena diawali dengan pacaran, mungkin juga
karena ada kesulitan faktor ekonomi atau karena terjadi dukhul terlebih dahulu
yang kemudian perempuan dipaksa untuk menikah dengan laki-laki yang
menzinahinya.16
Begitulah respon dari MUI Pusat dalam menjelaskan
mengenai perkawinan campuran.
Maka dari itu MUI Pusat menetapkan fatwa tentang Perkawinan
Campuran di tahun 1980, karena perkawinan campuran yang berkembang
pada masa itu adalah perkawinan antar pemeluk agama, masyarakat pada
waktu itu masih beranggapan perkawinan beda agama diartikan juga dengan
perkawinan campuran. Artinya faham fatwa MUI Pusat mengenai perkawinan
campuran melihat dari ayat yang dipakai itu adalah ayat musyrikah, ayat
tentang ahli kitab, ayat tentang kafir dan membahas pula ayat tentang
keimanan. Jadi tidak merujuk pada aturan yang menjelaskan perkawinan
campuran yang berbeda kewarganegaraan.17
C. Metode pembuatan fatwa di tahun 1980 dengan pasca tahun 1980
Pada masa awal berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) formulasi
untuk menetapkan fatwa belum sebaik fatwa-fatwa yang ditetapkan sekarang,
ada latar belakangnya, ada mustaftinya (peminta fatwa) yang langsung datang
ke kantor MUI seperti yang peneliti lihat langsung. Akan tetapi walau
formulasi belum sesempurna sekarang, tetap pada masa itu komisi fatwa
selalu mengamati gejala-gejala yang terjadi.18
Sejak itu memang pedoman penetapan belumlah diperlukan seperti
sekarang ini. Karena dahulu Majelis Ulama Indonesia yang telah disampaikan
oleh Pak Hasanuddin, memberikan pemahaman bahwa para tokoh yang masuk
16
Hasil Wawancara dengan Bapak H. Zafrullah Salim, M.Hum. 17
Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. H. Hasanuddin M.Ag. 18
Hasil Wawancara dengan Bapak H. Zafrullah Salim, M.Hum.
61
jajaran pengurus adalah seorang mufti yang pengetahuannya masih bisa
dipertanggungjawabkan tanpa ada sistematika penulisan.19
Hingga sampai pembuatan fatwa pada tahun 1980 belum mempunyai
pedoman atau acuan yang secara terakomodir menetapkan fatwa. Namun
untuk mewujudkan fatwa di masa itu adalah dengan memperbincangkan
persoalan yang ada di dalam konferensi tahunan para ulama yang
diselenggarakan oleh MUI Pusat.
Konferensi semacam itu mengemukakan persoalan-persoalan yang
memerlukan di buatnya fatwa, dan setelah beberapa persoalan dapat disetujui
serta dilengkapi dalil-dalilnya, kemudian mendaftar dan menyampaikan
persoalan-persoalan itu kepada Komisi Fatwa, yang selanjutnya akan
mengumumkannya dalam bentuk biasa. Dengan demikian para anggota
Komisi Fatwa tidak usah memperbincangkannya, karena persoalan tersebut
telah dirundingkan dalam sidang yang lebih besar atau sering dinamakan
dengan Musyawarah Nasional.20
Adapun pedoman penetapan fatwa MUI diakomodir pertama kali pada
tahun 1986 berdasarkan keputusan Sidang Pengurus Paripurna Majelis Ulama
Indonesia tanggal 7 Jumadil Awwal 1406 H/ 18 Januari 1986 M. Kemudian
pada tahun 1997 menganggap perlu untuk disempurnakan yaitu sesuai
keputusan MUI No. U-596/MUI/X/1997 tentang Pedoman Penetapan Fatwa
MUI memperbaiki kembali pedoman fatwa di tahun 1986.21
Artinya, pada tahun ini ulama merasakan kurangnya suatu fatwa yang
terformat, memandang para tokoh yang diyakini mumpuni atau mampu untuk
berijtihad lagi sudah berkurang. Majelis Ulama Indonesia Pusat memerhatikan
perlu untuk membuat pedoman penetapan fatwa supaya kekuatan dari fatwa
yang dikeluarkan memiliki formulasi.
19
Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. H. Hasanuddin M.Ag. 20
Majelis Ulama Indonesia, Keputusan-Keputusan Musyawarah Nasional ke-II Majelis
Ulama Indonesia, (Jakarta, 1980), h. 65-68 dan 87-89. 21
Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nomor : U-596/MUI/X/1997.
62
Selanjutnya pada tahun 98 dan 99 terdapat penyempurnaan kembali
mengenai pedoman penetapan fatwa tahun 1997. Saat itu mengutip pendapat
dari ulama jarang sekali dipakai oleh Majelis Ulama Indonesia Pusat dalam
fatwanya. Mulai tahun 2000an barulah pendapat-pendapat ulama disertakan ke
dalam pedoman.
Kemudian ditetapkan kembali pada tahun 2003 oleh Ijtima Ulama
Komisi Fatwa MUI Pusat. Pedoman ini mulai diatur secara sistematis dan
menjadi bahan suatu revisi yang sebelumnya belum terlalu jelas atau “yang
penting ada” sebelum tahun 2003. Pedoman ini dibuat pun bersamaan dengan
penetapan fatwa tentang Bunga karena ditentukannya lewat hasil Ijtima Ulama
Komisi Fatwa dan Ormas Islam se Indonesia.22
Akan tetapi ternyata tidak berakhir MUI Pusat menyempurnakan
pedomannya pada tahun 2003. Sesuai dengan amanat Musyawarah Nasional
yang ke-VI tahun 2000, Majelis Ulama Indonesia Pusat berupaya untuk
meningkatkan kualitas peran dan kinerja Majelis Ulama Indonesia terutama
dalam memberikan jawaban dan solusi keagamaan terhadap setiap
permasalahan. Hal ini dimaksud untuk dapat memenuhi harapan umat Islam
Indonesia yang semakin kritis dan tinggi kesadaran keberagamaannya.
Sebagai wujud nyata dalam usaha untuk memenuhi harapan tersebut di
atas, Majelis Ulama Indonesia memandang bahwa Pedoman dan Prosedur
Penetapan Fatwa MUI yang ditetapkan melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa
Se-Indonesia melalui Sidang Pleno di Jakarta, tanggal 22 Syawal 1424 H/ 16
Desember 2003 M, dipandang perlu untuk disempurnakan.
Atas dasar itu, Majelis Ulama Indonesia perlu mengeluarkan pedoman
baru yang memadai, cukup sempurna dan transparan terkait pedoman dan
prosedur pemberian jawaban masalah keagamaan, dengan prinsip sistematis
(tafshiliy), argumentatif (berpijak pada dalil syar’i), kontekstual (waqi’iy), dan
aplikatif (tathbiqy) yaitu pada tahun 2012 Keputusan Komisi Fatwa Majelis
22
Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. H. Hasanuddin M.Ag.
63
Ulama Indonesia dengan Nomor: Istimewa/VII/2012 tentang Pedoman
Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.23
Pedoman penetapan di tahun 2012 ini adalah terakhir yang dimiliki
oleh MUI sebagai rujukan untuk pembuatan fatwa, mungkin pedoman ini bisa
disempurnakan kembali apabila terjadi suatu yang dibutuhkan dan dianggap
perlu. Akan tetapi untuk saat ini di dalam menetapkan fatwanya masih
mengikuti atau merujuk kepada pedoman penetapan fatwa tahun 2012 yang
telah dibukukan. Adapun ketentuan-ketentuan yang ada dalam pedoman yaitu:
1. Sebelum fatwa ditetapkan, dilakukan kajian komprehensif terlebih
dahulu guna memperoleh deskripsi utuh tentang obyek masalah
(tashawwur al-masalah), rumusan masalah, termasuk dampak social
keagamaan yang ditimbulkan dan titik kritis dari berbagai aspek
hukum (norma syari’ah) yang berkaitan dengan masalah tersebut.
2. Kajian komprehensif dimaksud mencakup telaah atas pandangan
fuqaha mujtahid masa lalu, pendapat para imam madzhab dan ulama
yang mu’tabar, telaah atas fatwa-fatwa yang terkait, serta pandangan
ahli fikih terkait masalah yang akan difatwakan.
3. Kajian komprehensif antara lain dapat melalui penugasan pembuatan
makalah kepada Anggota Komisi atau ahli yang memiliki kompetensi
di bidang yang terkait dengan masalah yang akan difatwakan.
4. Penetapan fatwa terhadap masalah yang telah jelas hukum dan dalil-
dalilnya (ma’lum min al-din bi al-dlarurah) dilakukan dengan
menyampaikan hukum sebagaimana apa adanya.
5. Penetapan fatwa terhadap masalah yang terjadi perbedaan pendapat
(masail khilafiyah) di kalangan madzhab, maka:
a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha pencapaian titik
temu di antara pendapat-pendapat yang dikemukakan melalui
metode al-jam’u wa al-taufiq;
23
Ma’ruf Amin DKK, Pedoman Penetapan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2017), h. 5-6.
64
b. Jika tidak tercapai titik temu antara pendapat-pendapat tersebut,
penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode
muqaranah (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-
kaidah ushul fiqih muqaran.
6. Penetapan fatwa terhadap masalah yang tidak ditemukan pendapat
hukum di kalangan madzhab atau ulama yang mu’tabar, didasarkan
pada ijtihad kolektif melalui metode bayani dan ta’lili (qiyasi,
istihsaniy, ilhaqy, dan sad al-dzaraa’i) serta meode penetapan hukum
(manhaj) yang dipedomani oleh para ulama madzhab.
7. Dalam masalah yang sedang dibahas dalam rapat dan terdapat
perbedaan di kalangan Anggota Komisi, dan tidak tercapai titik temu,
maka penetapan fatwa disampaikan tentang adanya perbedaan
pendapat tersebut disertai dengan penjelasan argument masing-masing,
disertai penjelasan dalam hal pengamalannya, sebaikna mengambil
yang paling hati-hati (ihtiyath) serta sedapat mungkin keluar dari
perbedaan pendapat (al-khuruuj min al-khilaaf).
8. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan otoritas pengaturan
hukum oleh syari’at serta mempertimbangkan kemaslahatan umum
dan maqashid al-syari’ah.24
D. Analisis Peneliti
Dari hasil analisis di atas, peneliti menganggap bahwa penetapan fatwa
MUI pada tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran memiliki penjelasan
yang kontradiktif dengan pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Artinya penjelasan perkawinan campuran dari hukum positif adalah karena
alasan perbedaan kewarganegaraan, sedangkangkan perkawinan campuran
yang difatwakan oleh MUI memiliki perberbedaan pada keyakinan masing-
masing yang berkembang pada waktu itu.
24
Pedoman Penetapan Fatwa, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Cet. 7, (Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia, 2017), h. 9-10.
65
Hal ini disebabkan karena adanya pihak yang menginginkan
perkawinan beda agama (beda keyakinan) diperbolehkan seperti perkawinan
campuran yang diperbolehkan menurut pasal 57, Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan.
Alasannya karena pihak non muslim pada masa itu, menginginkan
perkawinan antar pemeluk jangan dilarang oleh Negara. Asalkan keduanya
rukun tak akan menjadi suatu permasalahan bagi kedua belah pihak (Islam
dengan agama lain).
Namun Majelis Ulama Indonesia Pusat resah apabila banyak yang
mempraktekan soal perkawinan beda agama, walaupun harapannya yaitu
rukun dalam istilah sakinah, mawadah dan rahmah, mungkin itu secara
lahiriyah. Akan tetapi secara bathiniyah pasti akan menjadi konflik dan perang
bathin yang dirasakan antara kedua belah pihak yang berbeda keyainan.
Oleh sebab itu, MUI mengeluarkan fatwa perkawinan campuran
karena dalam perkembangan masa dahulu masyarakat memahami bahwa
perkawinan muslim dan non muslim sama dengan perkawinan campuran.
Maka dari itu MUI menetapkan fatwa perkawinan campuran sebagai
perkawinan yang diharamkan karena perbedaan keyakinan.
Selanjutnya mengenai pembuatan fatwa perkawinan campuran tahun
1980, pembahasan perkawinan tersebut dihasilkan pada Musyawarah Nasional
yang kedua, yang tidak memiliki formulasi penetapan fatwanya seperti fatwa-
fatwa pada tahun sekarang. Fatwa perkawinan campuran dihasil dalam diskusi
atau seminar besar yang ada di Musyawarah MUI Pusat, kemudian
mendapatkan keputusan dari Majelis Ulama Indonesia Pusat mengenai hukum
keharaman atas perkawinan campuran. Pada perkembangan zaman dahulu
istilah kawin campur diadopsi dan diaplikasikan sebagai perkawinan beda
agama.
Untuk itu keputusan dari MUI Pusat memberikan kepada Komisi
Fatwa MUI Pusat yang berwenang untuk, menerbitkan atau menetapkan
66
perkawinan campuran yang dimaksud adalah kawin antar pemeluk haram dan
menjelaskan pula kawin dengan ahli kitab pun hukumnya haram. Walaupun
secara ketentuan di dalam nash baik al-Qur’an dan hadis membolehkan
perkawinan umat Islam dengan ahli kitab. Akan tetapi ahli kitab dijelaskan
oleh MUI Pusat, ahli kitab yang berada di Indonesia tidak memiliki keturunan
langsung dengan para nabi terdahulu yang diberi al-Kitab (seperti Nabi Musa
dan Nabi Isa).
Selanjutnya ahlli kitab di Indonesia dipersamakan atas dasar
penjelesan surat al-Bayyinah ayat 1 yang berbunyi;
خ ي حتى تأتن الج فن ي ه الوششم ل النتت ا هي ا ي مفش لن ني الز
“Orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang
musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada
mereka bukti yang nyata”. (QS. Al-Bayyinah: 1).
Bahwa ahli kitab termasuk bagian dari orang-orang kafir. Kategori
yang di dapat dalam surat al-Bayyinah ini memberikan 2 penjelasan
mengenai kafir, pertama, ahli kitab yang mengakui Nabi Isa sebagai Tuhan
dan yang kedua, orang-orang yang musryrik yang menyembah berhala atau
patung.
Kemudian MUI Pusat juga mempertimbangkan terhadap
pengharaman menikahi wanita ahli kitab, dikhawatikan apabila dilakukannya
pernikahan orang Islam dengan ahli kitab akan terjadi pergulatan bathin antar
keduanya, dalam kaidah ushul fikih yang dirujuk MUI Pusat yaitu:
دسع الوفبسذ هقذم على جلت الوصبلح
“Meninggalkan suatu kerusakan lebih didahulukan dari pada
mendapat suatu kemaslahatan baru”.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dipaparkan di atas, penulis
menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Perkawinan campuran yang ditetapkan Fatwa MUI tahun 1980 dengan
perkawinan campuran pada pasal 57, Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan berbeda pemahaman. Alasan yang menjadi
pengaruh yaitu karena adanya suatu pihak yang pro atau
menginginkan perkawinan beda agama jangan dilarang. Artinya
menginginkan untuk diperbolehkan melakukan perkawinan tersebut
seperti halnya perkawinan campuran yang dijelaskan Undang-Undang
Perkawinan tahun 1974 yang diperbolehkan. Jadi pihak yang pro
menyamakan status perkawinan beda agama (perkawinan campuran
menurut MUI) dengan perkawinan campuran menurut Undang-
Undang Perkawinan.
2. Perkawinan beda agama dikalangan masyarakat umum pada tahun
1980 masih menganggap perkawinan itu sebagai perkawinan
campuran yang legal untuk dilakukan. Maka dari banyaknya praktek
perkawinan beda agama pada masa itu, MUI Pusat menetapkan hasil
dari perkawinan campuran yang dimaksud perkawinan beda agama
(beda keyakinan) hukumnya adalah haram.
3. Di tahun 1980, pedoman penetapan fatwa belum terakomodir. Pada
saat itu penetapan fatwanya hanya menggunakan konferensi ulama
yang disebut Musyawarah Nasional saja. Barulah pedoman penetapan
fatwa terakomodir pertama kali pada tahun 1986, kemudian ada
penyempurnaan kembali di tahun 1997. Penyempurnaan selanjutnya
dilakukan pada tahun 2003, dan masih berlanjut penyempurnaan
68
pedoman penetapan fatwa itu dengan rujukan Musyawarah Nasional
yang ke-6 di tahun 2000 karena menurut MUI pedoman di tahun 2003
masih perlu untuk disempurnakan. Akhirnya MUI mengeluarkan
pedoman baru lagi di tahun 2012 yang memadai, cukup sempurna dan
transparan terkait pedoman dan prosedur dengan prinsip sistematis
tafshiliy), argumentatif (berpijak pada dalil syar’i), kontekstual
(waqi’iy), dan aplikatif (tathbiqy).
B. Rekomendasi
Kepada Komisi Fatwa MUI dalam mempertimbangkan suatu fatwa
terutama dalam hukum perkawinan campuran perlulah untuk memerhatikan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan
melakukan antara lain:
1. Mengkaji kembali fatwa MUI tahun 1980 tentang Perkawinan
Campuran dengan mencermati isi penjelasan pasal 57 Undang-
Undang Perkawinan, agar tidak terjadi kontradiktif terhadap substansi
perkawinan campuran antar keduanya.
2. Perlulah untuk menegaskan judul fatwa tersebut dan diubah menjadi
perkawinan beda agama sesuai materi di dalamnya yang menyatakan
haram hukumnya orang-orang muslim menikah dengan orang-orang
non-muslim, guna untuk menyesuaikan kepastian hukum yang relevan
dengan hukum positif yang berlaku agar nantinya masyarakat
memahami dan tidak kebingungan mengenai hal perkawinan
campuran di Indonesia.
69
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Anwar dkk. Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia, 2010.
Abdurrahman, Asmuni. Manhaj Majelis Tarjih Muhammadiyah Metode dan Aplikasi.
Cet. V. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Cet. 2. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002.
Ali, Zainuddin. Penelitian Hukum. Cet. III. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Al-Jabry, Abdul Mutaal Muhammad. Perkawinan Campuran Menurut Pandangan
Islam. terjemah dari Achmad Sathori. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988.
Al-Qurtubi. Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an. Juz 6. Mesir: Dar al-Kitab al-Araby
Litthoba’aty Wa Nashr, 1967.
Al-Wahidi. Asbab an-Nuzul. Kairo: Dar al-Ittihad al-Arabi li al-Tab’ah, 1968.
Amin, Ma’ruf. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: eLSAS Jakarta, 2008.
Amin, Ma’ruf dkk, Pedoman Penetapan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2017.
Aripin, Jaenal. Himpunan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Kencana,
2010.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Hukum-hukum Fiqih Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1991.
Asmawi, Mohammad. Nikah dalam Perbincangan danPerbedaan.Yogyakarta:
Darussalam, 2003.
Aziz, Dahlan Abdul.Ensiklopedi Hukum Islam.Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. jilid 9. diterjemahkan oleh Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: GemaInsani Press, 2010.
70
Bunyamin, Mahmudin. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2017.
Engelbrecht. Kitab-Kitab Undang-Undang, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan
Republik Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1989.
Fariana, Andi. Urgensi Fatwa MUI dalam Pembangunan Sistem Hukum Ekonomi
Islam di Indonesia. Al-Ihkam, Vol. 12, No. 1 Juni 2017.
Federspiel, Howard M. Labirin Ideologi Muslim, Pencarian dan Pergulatan Persis di
Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957). Cet. I. Diterjemahkan oleh
Ruslandan Kurniawan Abdullah. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Ghazaly, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2003.
Haidar, M. Ali. Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1998.
Hamka, Rusjdi. Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka. Jakarta: Pustaka Panji Mas,
1981.
Kadir, Muhammad Abdul. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1993.
Karsayuda, M. Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi
Hukum Islam. Yogyakarta: LkiS, 2000.
Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Lihat website resmi MUI, https://mui.or.id/sejarah-mui/, diakses pukul 16.40 WIB
tanggal 29 september 2019.
Majelis Ulama Indonesia, Keputusan-Keputusan Musyawarah Nasional ke-II Majelis
Ulama Indonesia. Jakarta: 1980.
Mardani. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2016.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum.Cet. 9. Jakarta: Kencana, 2016.
Mesraini. Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga. Jakarta: Pusat Studi
dan Pengembangan Pesantren, 2009.
71
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosdakarya, 2001.
Mudzhar, M. Atho. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia “Sebuah Studi Tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988”. Jakarta: INIS, 1993.
Mujib, Fatkhul. Perkembangan Fatwa di Indonesia. Nizham, Vol. 4, No. 01 Januari-
Juni 2015.
Nakamura, Hisako. Perceraian Orang Jawa.diterjemahkan oleh Zaini Ahmad Noeh,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991.
Nasih, Ahmad Munjin. Lembaga Fatwa Keagamaan di Indonesia, (Telaah Atas
Lembaga Majelis Tarjih dan Lajnah Bahtsul Masail).De Jure, Jurnal Syariah
dan Hukum, Vol. 5, No. 01, Juni 2013.
Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Nomor : U-596/MUI/X/1997.
Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia Edisi Revisi 2011
Hasil Rakernas MUI Tahun 2011.Diterbitkan oleh Sekretariat Majelis
Ulama Indonesia Pusat, 2011.
Profil Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Sumatra Utara. Dewan Pimpinan Majelis
Ulama Indonesia Sumatra Utara, 2006.
Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2011.
Ramulyo, Mohammad Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: BumiAksara, 1996.
Riadi, M. Erfan. Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif
(AnalisisYuridisNormatif. Ulumuddin, Vol. VI, No. IV, Januari-Juni 2010.
Rida, Muhammad Rasyid.Tafsir al-Manar. jilid II. Beirut: Dar al-Fikr, 1957.
Rofiq, Ahmad.Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet. I. Jakarta: Rajawali Pers,
2013.
Rohman, Moh. Taufiqur. Perkawinan Campuran dan Perkawinan Antar Agama di
Indonesia. Jurnal Al-Ahwal, Vol. 4, No. 1, Tahun 2011.
72
Sa’dan, Masthuriyah. Perkawinan Beda Agama: Perspektif Islam Progresif. Jurnal:
Kontemplasi, Volume 04 Nomor 02, Desember 2016.
Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980.
Shidiq, Sapiudin. Fikih Kontemporer. Cet. 2. Jakarta: Kencana, 2017.
Shobron, Sudarno. Studi Kemuhammadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan
Organisasi. Cet. VII.Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Dasar
(LPID) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008.
Sholeh, M. Arorun Ni’am. Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa. Jakarta: Erlangga, 2016.
Suhadi. Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam. Yogyakarta: LKiS, 2006.
Suma, Muhammad Amin. Kawin Beda Agama di Indonesia, Telaah Syariah dan
Qanuniyah. Tangerang:Lentera Hati, 2015.
Suntana, Ija. Politik Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2014.
Syarifuddin, Amir.Ushul Fiqh. Jilid 2. Cet. 7. Jakarta: Kencana, 2014.
Tim penyusun. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Perspektif
Hukum dan Perundang-undangan. Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012.
Tim Penyusun. Gambaran Umum Organisasi MUI dalam Pedoman penyelenggaraan
Organisasi MUI. Jakarta: Sekretariat MUI, 2002.
Tim Penyusun. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975. Jakarta: Erlangga, 2015.
Tutik, Titik Triwulan. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara. Jakarta: Prestasi Pustaka
Publiser, 2006.
Wawancara dengan Bapak Dr. H. Maulana Hasanuddin, M.Ag, Wakil Ketua Komisi
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat pada tanggal 13 Januari 2020 pukul
11.38 WIB.
73
Wawancara dengan Bapak Zafrullah Salim, Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Pusat pada tanggal 09 Oktober 2019 pukul 12:28 WIB.
Yahya, Muhtar dan Fathurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam.
Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997.
Yanggo, Huzaemah T. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi. Cet. II.
Jakarta: IIQ Press, 2011.
20 Tahun Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Sekretariat MUI, 1995.
Wawancara dengan Bapak H. Zafrullah Salim, M.Hum
(Rabu, 9 Oktober 2019, pukul 12.28 WIB)
Saya (S) : Sinatrya Abdul Jabbar
Narasumber (N) : Bapak Zafrullah Salim (Anggota Komisi Fatwa MUI)
S: Apa faktor yang melatarbelakangi fatwa tahun 1980 tentang perkawinan
campuran ditetapkan?
N: Jadi yang pertama, pada saat masa-masa awal berdirinya Majelis Ulama
Indonesia (MUI) belum ada formulasi fatwa mencantumkan latarbelakang. Tidak
seperti masa sekarang yang ada latarbelakangnya, ada mustaftinya, ada sebab
fatwa itu diterbitkan sesuai masalah yang dihadapi oleh penanya (seperti tadi yang
berkonsultasi). Lalu MUI bisa merespon dalam bentuk fatwa, surat serta bisa juga
dalam bentuk konsultasi biasa. Nah mungkin ini kita tidak tahu, apakah ini
lahirnya fatwa atau cuma berbentuk surat. Jadi karena itu, ini kan sebenarnya
masalah yang sering terjadi baik pada masa dikeluarkannya fatwa tahun 80
bahkan sampai sekarang, akan selalu kita lihat gejala-gejala tejadinya perkawinan
campuran dan perkawinan campuran yang di maksud MUI itu adalah perkawinan
antar agama. Padahal sebenarnya, perkawinan campuran yang ada di dalam
undang-undang adalah perkawinan campuran itu adalah perkawinan orang yang
berbeda kewarganegaraan. Jadi untuk menjawab pertanyaan pertama ini, saya
pikir dapat diringkaskan secara sederhana, secara tersirat dibalik perkawinan
campuran ini sebagai respon MUI, keresahan MUI untuk respon terhadap apa
yang ditanyakan oleh masyarakat menurut fakta dan kejadian di tengah pergaulan
sehari-hari yang begitu banyaknya terjadi perkawinan campuran. Baik perkawinan
campuran karena di awali dengan pacaran, mungkin juga oleh karena ada
kesulitan ekonomi untuk dapat hutang budi, bahkan barangkali karena terjadi
dukhul terlebih dahulu yang kemudian perempuan dipaksa oleh laki-laki dan tidak
ada jalan lain kecuali orang tua merelakan anaknya dikawini oleh laki-laki yang
menzinahinya.
S: Metode istinbath hukum yang dilakukan oleh komisi fatwa dalam
menetapkan fatwa?
N: Ini sudah ada di buku (Pedoman Penetapan Fatwa) tapi paling tidak
pertanyaan tadi itu bisa kita jawab, dengan melihat kembali metode pedoman
penetapan fatwa yang dipakai di dalam komisi fatwa majelis ulama. Di sini kalau
kit abaca, misalnya di pasal 5 yaitu sebelum fatwa ditetapkan, dilakukan kajian
komprehensif terlebih dahulu guna memperoleh deskripsi di dalam pasal ini
mengenai masalah tashawwur al-masalah (obyek masalah) perlu lebih dahulu jelas
juga rumusan masalahnya, dampak sosial keagamaan yang ditimbulkan dan titik
kritis dari berbagai aspek hukum syar’I yang berkaitan dengan masalah tersebut.
setelah itu telaah atas pandangan fuqoha masalalu. Jadi setelah ada masalah,
bagaimana ada pandangan ulama masalalu. Yang selanjutnya kajian
komprehensif yang ditugaskan pada anggota untuk membuat makalah mengenai
masalah yang dibahas sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Jadi ada
penetapan fatwa terhadap masalah yang telah jelas hukum dan dalil-dalilnya. Dan
di sini (dalam fatwa MUI tahun 1980) sudah jelas adanya. “jangan pula engkau
menikahkan orang musyrik dengan wanita-wanita muslim. Artinya wali jangan
sampai menikahkan orang musyrik dengan wanita mukmin. Jadi ini sudah
termasuk hal yang ma’lum minaddin bil ad-darurah, penetapan fatwa yang telah
jelas hukum dan dalilnya sebagaimana apa adanya. Nah nanti apabila terjadi
khilafiyah, maka khilafiyah itu yang akan dibahas, seperti yang ayat kedua
mengenai ahli kitab. Dilakukanlah telaah banding atau muqaranah madzahib,
maka lalu MUI mengatakan fatwa perkawinan antara laki-laki muslim dengan
wanita ahlu kitab itu hukumnya haram. Itu setelah diadakan telaah terhadap
berbagai pendapat yang terjadi mengenai perkawinan antara laki-laki muslim
dengan seorang wanita ahlu kitab atau wanita kitabiyah. Jadi nanti, kamu baca
lagi bukunya. Kita ini kan MUI ijtihadnya adalah ijtihad kolektif yah seperti
qiyasi,istihsany, ilhaqy dan sad al-adzaraa’i. artinya kalau ini dikatakan sad al-
adzaar’i, mencegah seandainya ini terjadi perkawinan antar agama, laki-laki
muslim perempuannya kafir atau laki-laki kafir atau perempuannya muslimah, itu
berpotensi akan terjadi murtad dan berarti kalau murtad dia sudah melanggar
maqasidus syari’ah yaitu hifdzu din. Dan kalau perkawinan itu nanti ternyata
adalah perkawinan antar agama, dimana para pihak itu memegang masing-masing
keyakinannya itu akan menimbulkan instabilitas rumah tangga. Dan yang
selanjutnya akan lebih berat lagi, anak-anaknya akan dipaksa oleh ayahnya yang
kafir untuk dibaptis.
S: Jadi bapak telah memberikan penjelasan mengenai ahlu kitab, untuk
sekarang apakah konteks ahlu kitab masih sesuai dengan nash alqur’an maupun
hadist?
N: Mengenai ahlu kitab penjelasannya panjang sekali. Fakta yang kita terima
sekarang, ada 4 kitab suci yang masih dianggap ada yang menurut kita Islam
sudah banyak perubahan-perubahan yaitu seperti taurat, kitab perjanjian lama,
kitab perjanjian baru yang sering disebut injil. Jadi artinya bagi mereka yang
menyatakan itu sebagai kitab suci, kitab suci itu masih ada eksis. Dengan
demikian mereka mereka yang mengaku kitab suci itu harus kita hormati. Yang
menyatakan kitab suci itu masih ada sampai sekarang sebenarnya bukan kita
orang Islam tapi saudara-saudara kita orang Kristen yang bilang sama adanya
kitab suci. Atas dasar itulah republik mengakui Kristen sebagai agama, kalau
andai kata tidak memiliki kitab suci tidak mungkin dia bisa eksis di Indonesia.
Sama juga misalnya dengan hindu, mereka ada kitab suci weda. Jadi itu syarat
pengakuan terhadap suatu agama ka nada kitab suci. Jadi menurut saya itu yang
mubtadal hal yang kenyataannya ada sekarang itu kitab suci mereka masih ada.
Dengan demikian mereka-mereka bisa digolongkan sebagai ahlu kitab menurut
apa yang kita pahami. Walaupun ahlu kitab yang dimaksudkan itu sifatnya adalah
ahlu kitab berdasarkan pengakuan yang mereka sebagai pengikut nabi isa, dimana
mereka meyakini nabi isa. Itulah yang penting, keturunan yang dimaksud yaitu
keturunan dari mereka nenek moyangnya mengakui adanya kitab suci berupa
taurat dan injil perjanjian lama perjanjian baru yang kemudian menyebabkan
mereka itu menjadi pengikut agama tersebut. Muslim hanya mengakui
yasudahlah, itu hanya suatu yang eksis yang sudah ada ya kita akui. Karena itulah
menurut hemat kita menurut apa yang dikatakan oleh MUI pada pertimbangan
surat al baqarah ayat 21 ini artinya MUI itumenyangkal ahlu kitab masih ada
sampai sekarang. Kalau tidak ada tidak mungkin ayat ini dijadikan sebagai
pertimbangan.
S: Untuk menikah dengan ahlu kitab itu bagaimana pak?
N: Seorang laki-laki muslim dilarang mengawini wanita bukan muslim
tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab, terdapat
perbedaan pendapat. Dan setalah mempertimbangkan mafsadat, MUI
menfatwakan perkawinan tersebut haram dengan dar’ul mafasid muqadamun ala
jalbil masalih. Jadi mana yang lebih besar mudharat dan manfaatnya maka
menjauhkan atau menyingkirkan mudharat itu lebih didahulukan. Selain dari nash
yang mengatakan haram mengawini maka juga tidak boleh kita mengabaikan efek
samping dari sebuah perkawinan yang akan mengganggu keselamatan rumah
tangga yang dibangun atas dasar takwa, atas dasar iman kepada Allah yang kita
mengharapkan rumah tangganya sakinah mawaddah warahmah. Dan kalau sudah
andaikata itu menjadi perkawinan antar agama maka, saya dulu pernah menjadi
penasihat perkawinan yah, itu ada sepuluh macam faktor yang terjadinya
instabilitas rumah tangga. Instabilitas itu artinya rumah tangga menjadi goncang.
Yang pertama sekali itu dikatakan oleh ahli dari Amerika itu adalah yang disebut
intervens merried. Jadi itu adalah perkawinan antar iman, kalau kedua-duanya
aktif itu bisa sakinah mawadah warahmah. Satu ke gereja satunya ke masjid, kalau
pun itu rukun hanya di lahiriyah saja. sedangkan undang-undang mengatakan
perkawinan itu ikatan laki-laki dan perempuan secara lahir bathin. Tidak hanya
ikatan lahiriyah namun adanya bathiniyah juga, jadi saya berpendapat larangan
yang dimaksud ini selain daripada mengacu surat al baqarah ayat 21, janganlah
engkau menikahi wanita musyrik. Perempuan musyrik itu termasuk di dalamn ya
pengertian ahlu kitab. Kenapa, misalnya saja kita ambil ayat lain itu dalam surat
albayyinah ayat 1. Itu dikatakan orang kafir itu ada 2, pertama ahlu kitab yang
kedua musyrik. Jadi kalau dia ahlu kitab yang mempertuhankan nabi isa atau
mempertuhankan uzair dia termasuk kelompok ahlu kitab. Yang musyrik mereka
yang memang menyembah berhala atau patung. Karena itu kategori orang kafir
menurut surat al bayyinah menyangkut tentang ahlu kitab itu musyrik. Jadi ada di
sini bisa dibaca nantinya. Jadi bahwa ayat-ayat yang dijadikan pembahasan MUI
itu adalah ayat-ayat yang masih tetap berlaku sebagai pedoman penetapan fatwa
itu sekarang.
S: Apakah penetapan fatwa MUI memerhatikan Undang-undang perkawinan.
N: Yah perkawinan itu kan ada di dalam pasal 2, bahwa perkawinan sah
apabila dilakukan masing-masing keyakinan. Hukum agama Islam mengatakan
haram kawin dengan perempuan musyrik, haram perempuan muslimah kawin
dengan orang musyrik itu yang ada dalam fatwa. Itu dasar penetapan kawin
karena pasal 2 itu tadi mengatakan hukum agama diakui yang mengatur tentang
siapa saja yang boleh menikah atau tidak, maka dengan demikian sesuai itu apa
yang dikatakan dalam fatwa dengan undang-undang perkawinan. Sama kok
orang-orang katolik mengatakan dia tidak boleh kawin dengan orang muslim.
Kalau andaikata boleh orang katolik sepanjang saya pahami, gereja mengizinkan
pastur member izin kepada seorang pria katolik kawin dengan non katolik
termasuk kawin dengan perempuan muslimah dengan syarat dia berjanji akan
isterinya untuk dibaptis. Kan sama jadinya, tidak berbeda perizinan kristiani yang
ada dalam qur’an.
S: Namun merujuk undang-undang pasal 57 tentang perkawinan campuran,
substansinya agak berbeda dengan fatwa yang dikeluarkan?
N: Bunyinya apa?
S: Bunyinya di sini, bahwa dalam pasal 57 yang dimaksud adalah
perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlain, karena perbedaan kewarganegaraan.
N: Perkawinan campuran yang dimaksud undang-undang ini adalah
perkawinan antar kewarganegaraan. Dia di Indonesia tapi hukumnya berlaku
beda, sebagai orang asing dia berlaku hukum privatnya, hukum akhwal
akhsyakhsiyyahnya berbeda dengan hukum orang Indonesia. Jadi artinya misalnya
orang Malaysia kawin dengan orang Indonesia, kalau agamanya boleh kawin,
karena yang dimaksudkan perkawinan campuran itu bukan berarti melanggar
pasal 2, yang mengatakan perkawinan boleh dilangsungkan menurut hukum
agamanya masing-masing. Nah hukum agama Islam mengatakan, haram kawin
antar agama. Antar warga boleh tidak? Boleh. Nah perkawinan semacam itu kalau
dilangsungkan di Indonesia harus menurut tata cara hukum yang ada di Indonesia
dan tidak seperti yang terjadi di sana. Jadi itu tidak berbeda. Kalau andaikata itu
nanti antar Negara ini berbeda agama, maka yang menyebabkan mereka tma,
maka yang menyebabkan mereka tidak boleh kawin bukan mereka beerbeda
warga Negara tapi karena perbedaan agama.
S: Jadi konteks perkawinan beda agama itu termasuk ke dalam perkawinan
campuran?
N: Sebenarnya kan perkawinan campuran bagian dari hukum privat. Hukum
privat yang terkait dengan masalah perkawinan. Nanti sebenarnya ini itu adalah
ranah hukum publik sebenarnya. Itu ya hukum kewarganegaraan. Itu terkait
dengan kedudukan anak, terkait juga dengan proses menghindari
dwikewarganegaraan. Jadi harus dia pilih nanti, anak ini mau ikut
kewarganegaraan ibunya atau ayahnya. Dan menurut undang-undang Negara anak
akan ikut hukum ayahnya. Jadi antara undang-undang perkawinan itu punya
hubungan normatif eksternal dengan undang-undang kenegaraan. Aspek
agamanya diatur disini, aspek hukum yang terkait dengan kedudukan sebagai
kewarganegaraan mengacu undang-undang kewarganegaraan.
S: Nah jadi MUI perkawinan campuran adalah perkawinan beda agama yah
pak?
N: Iya betul.
S: Bukan termasuk perkawinan beda warga Negara?
N: Kalau beda warga negaraan asalkan seagama boleh kawin, baik oleh
undang-undang perkawinan atau undang-undang kewarganegaraan bahkan hukum
Islam boleh kawin. Ada beberapa anggota MUI yang anaknya kawin dengan
orang asing. Boleh.
S: Boleh?
N: Iya.
N: Kedudukan nanti setelah anaknya kawin mengikuti kewarganegaraan ibu
bapaknya itu tergantung pada pilihannya.
S: Jadi di fatwa 1980 itu apakah salah ketik atau hanya membatasi
perkawinan campuran adalah perkawinan beda agama pak?
N: Tidak salah ketik, apa yang menjadi salah ketiknya?
S: Maksudnya isi dari judul itu kan membuat salah paham kalau perkawinan
campuran menurut UU perkawinan kan adalah perkawinan antar warg Negara,
sedangkan fatwa MUI bahwa perkawinan campuran bersubstansinya yaitu
perkawinan beda agama.
N: Itu tidak salah ketik, dan itu sudah dipahami sebelumnya. Yang menyusun
undang-undang perkawinan itu juga ahli-ahli hukum perdata, ahli hukum nasional
juga. Jadi aspek perkawinan campuran yang dianggap fatwa MUI adalah aspek
perkawinan campuran yang berdimensi perkawinan beda agama. Bukan
berdimensi berbeda kewarganegaraan, itu sebabnya tadi dalam pasal yang
dibacakan itu dikatakan juga berbeda kewarganegaraan. Bukan dia berbeda
kewarganegaraan itu dia menghalangi terjadinya perkawinan kalau dia seagama.
Tidak mungkin di fatwa MUI iya adalah perkawinan antar agama. Kalo dia akan
disebut perkawinan antar agama memang tepat, tapi mungkin pada waktu itu
istilah perkawinan antar agama, di dalam undang-undang tidak ada. Yang ada
ialah perkawinan campuran, perkawinan campuran itu dimensinya dua berbeda
agama dengan berbeda kewarganegaraan. Jadi yang diatur ole MUI adalah yang
berbeda keagamaan bukan berbeda kewarganegaraan.
S: Nah iya pak, sedangkan Undang-undang Perkawinan di keluarkan tahun
1974, fatwa MUI tahun 1980. Disitukan ada ketergantungan masa yang jauh.
N: Undang-undang itu kan dikeluarkan tahun 74 dan MUI tahun 80, apa
artinya itu. Bahwa Fatwa MUI ini mencoba untuk memberikan penjelasan pada
umat bab mengenai perkawinan campuran yang ada di undang-undang
perkawinan. Jadi undang-undang perkawinan itu seperti tadi dikatakan mencakup
juga pengertian perkawinan campuran yang orangnya berbeda agama. Artinya
yang berbeda agama kalau andaikata perkawinan itu terjadi ada orang yang
berbeda agama juga itu dibolehkan. Jadi yang diterangkan oleh fatwa MUI kalau
dia perkawinan campuran kalau orangnya itu berbeda agama maka ia tidak boleh
kawin. Dan kalau perkawinan berbeda kewarganegaraan MUI tidak mengatur.
S: Berarti bisa dimaksud MUI sah (membolehkan) menikah berbeda warga
Negara
N: Asalkan seagama. Jadi artinya MUI memakai istilah yang terdapat dalam
Undang-undang perkawinan yaitu perkawinan campuran, tapi di dalam dimensi
berbeda agama bukan dimensi ke dalam berbeda kewarganegaraan.
S: Di masa itu, bagaimana respon dari masyarakat setelah fatwa itu
dikeluarkan?
N: Banyak yang mematuhi, buktinya catatan sipil tidak meladeni (melayani)
berbeda agama. Apalagi di kantor urusan agama gak boleh. Tapi ada juga salah
satu kasus dimana para pihak itu kawin diluar negeri, jadi mereka tunduk pada
hukum yang berlaku di sana yang perkawinan itu dilangsungkan.
S: Jadi kalau menikah di Negara lain, kita tidak mengikuti syarat ketentuan di
sini tidak masalah yah pak, berarti nanti masuknya ke hukum internasional yah
pak?
N: Kalau andaikata dia melangsungkan perkawinan diluar negeri itu nanti
perkawinan itu dibawa ke Indonesia harus diisbatkan oleh pengadilan agama.
Tentu melalui mekanisme, tatacara dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Karena
Wawancara dengan Bapak Dr. H. Maulana Hasanuddin, M.Ag
(Senin, 13 Januari 2020, pukul 11.38 WIB)
Saya (S) : Sinatrya Abdul Jabbar
Narasumber (N) : Bapak Hasanuddin, M. Ag (Wakil Ketua Komisi Fatwa)
S: Bagaimana pedoman fatwa tahun 1980 dengan pasca tahun 1980?
N: Pedoman itu kan ada keputusannya. Pedoman di tahun 2003 itu
sebenarnya kan adalah suatu revisi yang sebelumnya tidak terlalu jelas. Pedoman
tahun 2003 itu bersamaan dengan penetapan fatwa tentang Bunga. Dan
sebelumnya pedomn itu sudah ada dan di tahun 2003 sebagai perbaikan mengenai
pedoman yang sudah ditentukan tahun 2000. Karena ditahun 2003 mengenai
pedoman penetapan fatwa itu diputuskannya di dalam ijtima ulama komisi fatwa
dan ormas Islam se Indonesia, dan salah satunya memutuskan tentang pedoman
penetapan fatwa. Jadi pada tahun itu beberapa kali dibahas pertama tentang bunga,
kedua penetapan awal dan akhir ramadhan yang ketiga tentang pedoman ini
(pedoman tahun 2003). Topik-topik itulah yang ditetapkan pada 16 Desember
2003, tapi biasanya sebelum itu sudah ada rancangan sebelum keluar SK pada
bulan 16 desember 2003. Ijtima ulama komisi fatwa kan berada atau
momenklaturnya di MUI dan keputusan pimpinan, keputusan komisi fatwa itu
menjadi dasar yang sah. Kalau ijtima ulama yang sifatnya nasional itu hanya
semacam seminar atau rekomendasi sebagai masukan MUI pada waktu itu di
ijtima ulama pertama.
S: Jadi di sekitar tahun berapa pedoman penetapan fatwa itu dibuat?
N: Kalau dalam pentepan fatwa kan dari awal sudah ada tapi saya tidak tahu
sejarahnya (karena saya masuk pada tahun 1997) sebelum tahun 2003 sebenarnya
sudah ada. Mungkin di tahun 98 atau 99 ada penyempurnaan, Cuma saya lupa
persisnya tapi ini (di tahun 2003) penyempurnaan lebih lanjut, itu yang dibahas
secara nasional dan disempurnakan lagi 3 tahun belakangan. Kalau sampai sampai
2003 itu pertama kali dibuat ketika zaman sekretaris fatwa sebelum pak Munif
(sekretaris fatwa). Kemudian waktu saya masuk ke MUI (tahun 1997) ada revisian
lagi mulai ditertibkan, artinya mulai diatur secara sistematiskan. Kalau yang dulu
kan hanya “yang penting ada”. Dan diperbaiki lagi di 2003.
S: Pada saat zaman dulu, apakah perkawinan campuran termasuk
perkawinan beda agama?
N: Emang perkawinan campuran bunyinya seperti apa?
S: Kalau perkawinan campuran di fatwa itu bunyinya sama dengan fatwa
tahun 2005 tentang perkawinan beda agama?
N: Kalau disini kan (fatwa tahun 2005 tentang kawin beda agama) dipertegas
haram dan tidak sah. Tetapi yang sebelumnya (fatwa tahun 1980) hanya haram
saja. haram itu belum tentu tidak sah, tapi bisa juga sah. Tapi secara teori haram
itu belum tentu tidak sah, seperti sholat meminjam baju orang lain tanpa izin.
Sholatnya sah tapi haram karena ada keharaman pakai baju orang tanpa izin,
makanya difatwa ini (tahun 2005) mempertegas haram dan tidak sah. Secara tidak
langsung fatwa ini (1980) ada yang mengakui perkawinan laki-laki muslim
dengan wanita non muslim itu “boleh”. Tetapi berdasarkan tafsir-tafsir dan fikih,
itu haram dan tidak sah. Mengenai interpretasi ahlu kitab, menurut imam syafi’I
ahlu kitab itu adalah pengikut agama yang dibawa oleh Nabi Isa atau Nabi Musa
yang memang dari keturunan yang sah sebagai umat Nabi Isa maupun Nabi Musa.
Sehingga orang Indonesia bukan termasuk keturunan Nabi Isa dan Nabi Musa.
Jadi kalau ada yang mengatakan mengikuti ajaran Nabi sebelum Nabi Muhammad
(di Indonesia) itu bukan dikatakan ahli kitab menurut madzhab Syafi’i.
S: Istilah zaman dahulu apakah perkawinan campuran itu adalah perkawinan
beda agama?
N: Iya perkawinan beda agama, yang masuk dalam fatwa ini (tahun 1980)
bukan perkawinan antar suku, karena perkawinan campuran bisa saja yang lain,
tapi yang dimaksud oleh fatwa ini (1980) sebenarnya perkawinan beda agama
saja. sejak zaman dahulu di Indonesia banyak yang melakukan akidah
keberagamaannya kurang atau tidak kuat, sehingga ini masalah kesepakatan dan
sampai sekarang masyarakat dicontohkan di masyarakat jogja, sebagian masih
banyak yang tidak bermasalah kalau melakukan perkawinan beda agama yang
penting rukun. Banyak penegasan ini, setahu saya fatwa ini juga lahir karena
waktu itu sudah ada wacana revisi undang-undang perkawinan, revisi undang-
undang perkawinan dari dulu dan ada kelompok yang memang menginginkan
berdasarkan alasan hak asasi mengenai perkawinan beda agama, itu ada yang
tidak mempermasalahkan. Apalagi sekurang-kurangnya mereka beranggapan
boleh menikah (Islam dengan agama yang lain) itu karena satu rumpunnya dari
Tuhan Yang Maha Esa, kenapa harus dilarang. Toh yang menjadi berbeda hanya
karena ajaran syariatnya sedangkan akidahnya sama yang mengakui satu Tuhan,
itu ada wacana yang seperti itu. Makanya keluarlah fatwa ini.
S: Artinya bahwa perkawinan campuran pun dijelaskan juga di undang-
undang perkawinan tahun 74 pada pasal 57, mengatakan perkawinan campuran
itu antara dua orang yang masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan
karena berbeda kewarganegaraan.
N: Kalau di MUI kalau perkawinan campuran dimaksud adalah perkawinan
beda agama.
S: Jadi alasan MUI menyatakan perkawinan campuran sebagai beda agama
karena?
N: Karena salah satu pengertian perkawinan campuran yang berkembang
pada saat itu.
S: Tapi fatwa ini lahir di tahun 80 sedangkan undang-undang lahir pada tahun
74.
N: Ya mungkin karena pihak non muslim itu selalu berupaya supaya
pernikahan beda agama itu jangan dilarang. Upaya-upaya itu terus berlanjut
sekurang-kurang secara praktek itu banyak kejadian yang menyatakan bahwa
kawin campur yaitu kawin beda agama. Nyatanya banyak nikah non muslim
dengan muslim pada saat itu. Jadi di MUI saya bisa memastikan perkawinan
campuran itu adalah perkawinan beda agama. Bukan perkawinan campuran
karena kewarganegaraan.
S: Jadi tidak merujuk ke undang-undang perkawinan yah pak?
N: Tidak, kalau dilihat dari ayat yang dipakai itu ayat musyrikah, ayat di sini
adalah ayat ahli kitab, ayat di sini juga membahas tentang kafir, serta ayat di sini
membahas tentang keimanan. Jadi perkawinan campuran ini bisa dipastikan
perbedaan agama, bukan perkawinan beda kewarganegaraan yang mempunyai
hukum yang berbeda.
S: Kalau fatwa ini (1980) belum ada nomer-nomernya, berarti belum ada
pedomannya yah pak?
N: Itu hanya sebatas penulisan saja, zaman dahulu mufti semua jadi tidak
perlu ada pedoman. Karena pedoman itu lebih banyak sistematika penulisannya.
Kalau fatwa yang ini (1980) jarang sekali mengutip pendapat ulama. Mulai tahun
2000an setelah ada revisi, barulah itu pendapat-pendapat ulama disertakan ke
dalam pedoman. Jadi dilihat pada periode ini (1980) pedoman ulama nyaris tidak
dikutip dalam diskusi, kenapa? Karena pedomannya tidak memungkinkan. Karena
pedoman itu dibuat dalam rangka agar komisi fatwa menjadi lembaga ijtihad
mujtahid. Jadi saya pernah menanyakan kenapa pendapat ulama tidak
dicantumkan, supaya lembaga ini menjadi lembaga yang mufti meskipun mufti
jama’I itu yang mampu berijtihad. Jadi bukan muqallim. Kalau pendapat ulama
kan kesannya muqallim. Jadi ini mendorong betul-betul komisi fatwa itu mampu
meningkatkan ilmunya secara kolektif sudah menjadi syarat-syarat menjadi
mujtahid. Tapi ketika komisi fatwa dirubah diganti oleh kyai ma’ruf amin sebagai
tokoh NU mengenai bahtsul masail di NU, maka ketika itu beliau memimpin dan
meminta pedoman diakomodir maka muncullah pedoman yang terakhir tahun
2012. Jadi begini dan begitu baru berijtihad karena masanya sudah berbeda. Tidak
ada yang salah sebetulnya semuanya mempunyai semangat mujtahid.
S: Jadi di tahun 80 memang belum ada kepastian penetapan pedoman?
N: Saya tidak tahu persis, kemungkinan sudah ada di tahun 75 berdirinya
MUI. Walaupun dalam bentuk sederhana fatwanya dengan cara penulisannya
sangat sederhana pada saat itu. Baru mulai diterbitkan baru baru ini mempunyai
format penulisan fatwa sendiri seperti peraturan perundang-undangan di
Indonesia, adanya mengingat menimbang memperhatikan.
S: Jadi di sini juga artinya perkawinan campuran di MUI, itu tidak
kontradiktif isi dari perkawinan campuran dengan undang-undang perkawinan ya
pak?
N: Perkawinan campuran di sini (dalam fatwa) dalam arti perbedaan agama
dan sedangkan di undang-undang perbedaan agama termasuk perkawinan
campuran atau tidak?
S: Kalau beda agama di undang-undang atau hukum positif tidak
tercantumkan secara jelas.
N: Kalau dalam masyarakat mungkin belum tentu tahu kalau perkawinan
campuran hanya berbeda kewarganegaraan, tapi di masyarakat yang umum
dibicarakan perkawinan campuran itu perkawinan beda agama, bukan perkawinan
beda Negara. Fatwa itu mengikuti apa yang dipahami masyarakat walaupun tidak
sejalan dengan peraturan perundang-undangan. Jadi terindikasi dari ayat di fatwa
ini (1980) bahwa menurut MUI perkawinan itu adalah perkawinan beda agama
yang haram.
S: Karena pemahaman di masyarakat oleh perkawinan campuran itu artinya
beda agama, MUI berarti mengikuti pemahaman yang ada di masyarakat?
N: Biasanya kalau dikaitkan dengan undang-undang , bifatwa pun ada
memerhatikan permintaan atau pertanyaan yang sepeti peraturan undang-undang,
misalnya fatwa tentang zakat penghasilan itukan yang dulu pemerintah yang
meminta ketika menyusun undang-undang zakat, biasanya itu terekam dalam
fatwa. Hanya mungkin kadang-kadang kan sekarang asbabun nuzul itu bisa
diketahui meski tidak gamblang (jelas) misalnya permohonan dari IDI (Ikatan