repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/sinatrya... ·...

99
FATWA MUI TENTANG PERKAWINAN CAMPURAN (Studi Analisis Yuridis) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : SINATRYA ABDUL JABBAR NIM : 11140440000066 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M/1441 H

Upload: others

Post on 15-Mar-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

FATWA MUI TENTANG PERKAWINAN CAMPURAN

(Studi Analisis Yuridis)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

SINATRYA ABDUL JABBAR

NIM : 11140440000066

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019 M/1441 H

Page 2: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan
Page 3: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan
Page 4: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan
Page 5: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

v

ABSTRAK

Sinatrya Abdul Jabbar. NIM 11140440000066. FATWA MUI TENTANG

PERKAWINAN CAMPURAN (Studi Analisis Yuridis). Program Studi Hukum

Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam

Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019 M. 1x + 73 halaman 15 halaman

lampiran.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian

perkawinan campuran di Indonesia perspektif hukum positif dan hukum syariah,

terhadap fatwa MUI Pusat tentang Perkawinan Campuran tahun 1980 M. Dalam

ketentuan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Perkawinan Campuran yang termaktub dalam Pasal 57 menjelaskan bahwa,

“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah

perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Indonesia”. Namun, ketentuan substansi yang tertuang pada

fatwa MUI Pusat dalam hal perkawinan campuran ditemukan pengertian

perkawinan campuran sebagai perkawinan beda agama yang tidak sesuai yuridis

dari pengertian perkawinan campuran dalam undang-undang ini.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dan library

reasearch dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,

buku, dan kitab-kitab fikih yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara hukum positif yang berlaku di

Indonesia, perkawinan campuran merupakan perkawinan yang dibolehkan dengan

syarat karena perbedaan kewarganegaraan. Hal ini dipahami dari penjelasan pasal

57 yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Sedangkan perkawinan campuran yang dikemukakan fatwa MUI

Pusat melarang perkawinan tersebut sebagai perkawinan yang diharamkan karena

perbedaan agama. Fatwa MUI Pusat melarang perkawinan ini berlandaskan sesuai

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang termaktub dalam

Pasal 2 ayat (1) yaitu, ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Namun tidak memerhatikan

substansi dari Undang-Undang Perkawinan di dalam Pasal 57 yang menyebutkan

perkawinan campuran.

Kata Kunci: Perkawinan Campuran, Kawin Beda Kewarganegaraan

Pembimbing : Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum.

Daftar Pustaka : 1957 s.d. 2017

Page 6: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah Tuhan semesta alam, yang maha pengasih

dan maha penyayang di dunia dan akhirat. Sesungguhnya tidak ada seorang

hamba yang lebih mulia dihadapan Ilahi robbi kecuali yang bertaqwa kepada-Nya

dengan sebenar-benarnya taqwa. Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada

junjungan kita Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wassalam, sang pembawa

petunjuk bagi umatnya dengan risalah keislaman yang mulia. Dari beliau kita

sebagai umatnya dapat memahami berbagai disiplin ilmu khususnya pada

pemahaman perkawinan yang diridhoi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Syukur alhamdulillah karena dukungan dari berbagai pihak, baik langsung

maupun tidak langsung, baik moril maupun materil, segala kesulitan penulis

akhirnya dapat teratasi dengan sebaik-baiknya dengan lancar skripsi ini dapat

terselesaikan. Atas bimbingan dan bantuan berbagai pihak dalam menyelesaikan

skripsi ini, penulis secara khusus mempersembahkan ungkapan terima kasih

kepada:

1. Bapak Ahmad Tholabi, S.H, M.H, M.A, selaku Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag, selaku Ketua Prodi Hukum Keluarga (Ahwal

Syakhshiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A, selaku Sekretaris Prodi Hukum

Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dr. Hj. Azizah, M.A, selaku dosen Penasehat Akademik (PA) yang

selalu mendampingi penulis dari awal semester hingga akhir semster yang

dituangkan pada skripsi ini.

Page 7: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

vii

5. Bapak Dr. H. Muchtar Ali, M.Hum, selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga selama membimbing

penulis.

6. Bapak H. Zafrullah Salim, M.Hum, selaku anggota Komisi Fatwa di

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat yang telah bersedia menjadi

narasumber untuk wawancara penulis demi mendapatkan informasi

kaitannya dengan skripsi ini.

7. Segenap jajaran staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam pengadaan

referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi ini.

8. Kepada Bapak Dul Khalim dan Ibu Siti Maesaroh, selaku kedua orang tua

penulis, yang telah merestui dan mendoakan dengan sungguh-sungguh

hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

9. Untuk saudari Asri Nur Hafsari (kakak kandung) beserta keluarganya,

yang telah memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi dengan baik.

10. Untuk keluarga Bani Abdurrahman dan keluarga Pondok Pesantren

Salafiyah Kauman Pemalang, yang memberikan moto hidup bagi penulis,

“Ingat Tujuanmu Dari Rumah”. Yang membuat skripsi ini selesai.

11. Untuk saudari Tia Erlin Rahmawati beserta keluarga, yang telah

memberikan semangat bagi penulis dalam proses menyelesaikan skripsi

ini.

12. Serta kepada sahabat-sahabat penulis yang tidak dapat disebutkan satu

persatu, yang menemani suka dukanya kehidupan ini, sehingga skripsi ini

dapat diselesaikan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi

pembaca pada umumnya, serta menjadi amal baik di sisi Allah Subhanahu Wa

Page 8: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

viii

Ta’ala. Penulis menyadari bahwa segala bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak yang diterima tidak akan terbayarkan oleh apapun. Hanya doa yang penulis

panjatkan kepada Allah, dan semoga kebaikan dilipat gandakan oleh Allah bagi

kita semua, Amin ya robbal alamin.

Jakarta, 23 Desember 2019

Penulis

Page 9: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 10

D. Metode Penelitian ..................................................................... 11

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................ 13

F. Kerangka Teori dan Konseptual ............................................... 14

G. Sistematika Penulisan ............................................................... 15

BAB II PERKAWINAN CAMPURAN DAN TINJAUAN UMUM

FATWA ........................................................................................ 17

A. Perkawinan Campuran.............................................................. 17

1. Perkawinan Campuran menurut Staatblad tahun 1898 No.

158 .............................................................................. 17

2. Perkawinan Campuran menurut Undang-Undang Nomor 1

tahun1974 ............................................................................ 19

3. Perkawinan Campuran menurut Hukum Syariah ................ 22

4. Syarat dan Ketentuan Perkawinan Campuran ..................... 29

B. Tinjauan Umum Fatwa ............................................................. 30

1. Pengertian Fatwa ................................................................. 30

2. Kedudukan Fatwa ................................................................ 34

Page 10: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

x

3. Lembaga-Lembaga di Indonesia dan Metode Penetapan

Fatwa .................................................................................... 35

BAB III MAJELIS ULAMA INDONESIA ............................................. 42

A. Profil Singkat Majelis Ulama Indonesia ................................... 42

1. Sejarah Berdirinya Majelis Ulama Indonesia ...................... 42

2. Visi-Misi Majelis Ulama Indonesia ..................................... 46

3. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia .............................. 47

4. Fatwa MUI Tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran .... 49

BAB IV ANALISIS YURIDIS FATWA MUI TAHUN 1980 TENTANG

PERKAWINAN CAMPURAN ............................................. 52

A. Alasan Fatwa MUI Pusat Tahun 1980 tentang Perkawinan

Campuran Sebagai Perkawinan Beda Agama ......................... 52

B. Sejarah MUI Pusat Tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran 57

C. Metode Pembuatan Fatwa di Tahun 1980 dengan Pasca Tahun

1980 ......................................................................................... 60

D. Analisis Peneliti ........................................................................ 64

BAB V PENUTUP .................................................................................... 67

A. Kesimpulan ............................................................................... 67

B. Rekomendasi ............................................................................ 68

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 69

LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................ 74

Page 11: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan suatu perjanjian kuat yang disebut mitsaqan

ghalizhan. Untuk membentuk keluarga, menuruti perintah Allah guna

memperoleh keturunan dan memenuhi tuntunan hajat tabiat kemanusiaan,

berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu

keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih.1

Perkawinan yang sah dalam Islam berarti melakukan suatu akad nikah

yaitu: pengantin laki-laki menerima (qabul), penyerahan nikah (ijab) dari wali

pengantin perempuan, serta mahar atau maskawin kepada pengantin

perempuan. Akad nikah harus diteguhkan di hadapan dua orang saksi. Jadi,

perkawinan dalam Islam merupakan suatu perikatan antara calon suami

dengan wali dari calon isteri.2

Adapun tujuan perkawinan yang dikemukakan oleh Abdurrahman

Ghazaly menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi

petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera

dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota

keluarga. Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan bathin disebabkan

terpenuhinya keperluan hidup lahir dan bathinnya, sehingga timbullah

kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.3

Selanjutnya pembahasan mengenai hukum dari perkawinan. Hukum

perkawinan merupakan suatu masalah yang banyak mendapatkan perhatian

dalam al-Qur’an. Ayat-ayat yang berbicara mengenai hal yang terkait dengan

masalah perkawinan ini sangat detail. Sebagian besar ayat-ayat ini dinilai

1 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 27.

2 Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa, diterjemahkan oleh Zaini Ahmad Noeh,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), h. 30. 3 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 22.

Page 12: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

2

sebagai ayat-ayat yang muhkamat. Namun demikian tidak berarti masalah

perkawinan sudah final. Dalam praktiknya masih banyak persoalan-persoalan

yang muncul di tengah masyarakat berkaitan dengan masalah perkawinan ini.

Tentang hukum melakukan perkawinan, segolongan fuqoha, yakni

jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnah.

Menurut golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Sedangkan

para ulama Malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk

sebagian orang, sunnah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan

yang lain. Kemudian ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah

adalah mubah, di samping ada yang sunnah, wajib, haram dan yang makruh.

Di Indonesia, umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal

melakukan perkawinan ialah mubah, hal ini banyak dipengaruhi pendapat

ulama Syafi’iyah.4

Dalam konteks keIndonesiaan, untuk menangani perkawinan yang

dilakukan di Indonesia menurut Undang-Undang Perkawinan yang saat ini

berlaku, apabila kedua belah pihak berdiam di Indonesia dan tidak beragama

Islam perkawinan mereka dilangsungkan di Kantor Catatan Sipil. Sedangkan

jika keduanya beragama Islam, maka perkawinan dilangsungkan menurut

hukum Islam dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan

Agama.5

Sebelum memasuki ke jenjang rumah tangga, seseorang harus

menemukan jodohnya terlebih dahulu, karena jodoh memegang peranan

penting dalam menciptakan sebuah bangunan rumah tangga yang didirikan

agar kokoh, damai, tentram, dan sejahtera dalam bingkai mawaddah wa

rahmah. Jodoh memang bukan merupakan syarat akan sahnya sebuah

perkawinan, tetapi jodoh itu perlu dicari. Banyak masyarakat yang kurang

memahami dan mendalami pesan-pesan agama seiring berucap bahwa “jodoh

4 Abdul Rahman Ghozaly, Fiqh Munakahat, h. 16-18.

5 Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.

196.

Page 13: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

3

itu ada ditangan Tuhan”. Ini sikap yang sangat pasrah, mereka lupa bahwa

segala pekerjaan yang baik maupun yang buruk terulang kembali kepada si

pelaku. Hasil dari proses langkah-langkah itulah kemudian menjadi takdir

manusia yang harus dijalani.6

Di era sekarang ini kemajuan teknologi yang canggih dan berkembang

pesat, tingkat komunikasi semakin mudah dilakukan. Hal ini berpengaruh

pada hubungan internasional yang membawa dampak tertentu terhadap

manusia dalam bidang kekeluargaan khususnya perkawinan. Oleh karena itu,

seseorang yang berkeinginan menikah dengan bule (warga negara asing) dapat

tercapai dengan adanya teknologi yang canggih di era sekarang ini.

Pernikahan tersebut di Indonesia salah satunya dikenal dengan perkawinan

campuran.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

di Pasal 57 menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan perkawinan

campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang

di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan

kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.7

Namun tidak demikian dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat

yang menetapkan fatwanya pada Musyawarah Nasional II, bersubstansi bahwa

pernikahan campuran itu sebagai perkawinan beda agama yang haram

hukumnya. Hal ini berdasarkan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 211, Al-

Maidah ayat 5, Al-Mumtahanah ayat 10 dan At-Tahrim ayat 6 :

ل ر أعججزنن, ل ش هي هششمخ هخ هؤهخ خ نذا الوششمبد دزى ؤهي, ل ر ي نذا الوششم

ش هي هشش لعجذ هؤهي خ للا ذع إلى الجخ دزى ؤها, ى إلى البس أعججنن, ألئل ذع ل ك

ى ش ن ززم للبط لعل جي ءابر الوغفشح ثئر

6 Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:

Darussalam, 2003), h. 148. 7 Jaenal Aripin, Himpunan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Kencana,

2010), h. 613.

Page 14: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

4

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka

beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita

musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan

orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka

beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik

walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah

mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan

ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka

mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221).

زو ي أرا النزبة هي قجلنن إرا آر الوذصبد هي الز الوذصبد هي الوؤهبد ي أجسي ...

وبى فقذ دجظ ع هي نفش ثبإل ل هزخزي أخذاى ي ش هسبفذ ي غ خشح هي هذص ف ا ول

ي الخبسش

“... (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga

kehormatan di antara wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga

kehormatan di antara wanita yang diberi al-kitab (ahlu kitab) sebelum kamu,

bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya,

tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.

Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum

Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di akhirat termasuk orang-orang

merugi.” (QS. Al-Maidah: 5).

ى لي لن ذل فئى علوزوي هؤهبد فل رشجعي إلى النفبس لي دل لن

“... Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)

beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami

mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mu’min) tiada halal bagi orang-

orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka ...” (QS. Al-

Mumtahanah: 10).

نن بسا ل أ فسنن ب الزي آها قا أ ب أ

“Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari

api neraka...” (QS. At-Tahrim: 6).

Selain Al-Qur’an, juga dalam hadits Rasulullah SAW, menerangkan:

وبى فلزق للا فى الصف الجبقى )سا الطجشاى( ج فقذ اسزنول صف ال هي رض

“Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara setengah dari

imannya, karena itu, hendaklah ia takwa kepada Allah dan bagian yang lain”

(H.R. A-Tabrani).

Adapun hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aswad bin Sura’i,

Page 15: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

5

لذ على الفطشح د ل )سا اسد مل ه سب وج شا ص دا ا لسب, فأث ة ع دزى عش

ثي السشاعى(

“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia

menyatakan dengan lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang

menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani dan Majusi”.8

Oleh sebab itu, MUI Pusat berpendapat bahwa pernikahan tersebut di

atas hukumnya haram. Kemudian MUI Pusat menambahkan tentang

perkawinan laki-laki Muslim dengan ahli kitab yang dilarang dan haram

hukumnya.9

Kemudian Majelis Ulama Indonesia Pusat melahirkan fatwa khusus

terhadap perkawinan beda agama Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005, pada

tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/ 26-29 Juli 2005 M. Adapun penjelasan

yang terkandung dari fatwa perkawinan beda agama yaitu dengan menimbang

petitum (alasan) sebagai berikut: bahwa belakangan ini disinyalir banyak

terjadi perkawinan beda agama; bahwa perkawinan beda agama ini bukan saja

mengundang perbedabatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga

sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat; bahwa di tengah-

tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan

beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan; bahwa untuk

mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah tangga, MUI

memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk

dijadikan pedoman.

Selanjutnya mengingat posita (dalil-dalil) yang dirujuk sesuai firman

Allah SWT:

ا فى الزبهى إى خفزن أل رقسط ا هب طبة لنن هي نذ سثبع فب ثلس فئى خفزن أل ، السبء هثى

وبنن هب هلنذ أ ادذح أ ا ف ، رلل أدى أل رعلارعذل

8 Mahmudin Bunyamin, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2017), h.

171. 9 Tim Penyusun, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2015), h. 51.

Page 16: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

6

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-

hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah

wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika

kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,

atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat

kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisa: 3)

سدو ح د نن ه جعل ث ب اجب لزسنا إل فسنن أص أى خلق لنن هي أ هيءابر بد خ، إى ف رلل

شى م زفن لق

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan

merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan

sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-

tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Rum: 21)

ب نن بساب أ ل أ فسنن ب هئنخ غلظ شذاد الزي آها قا أ الذجبسح عل قدب البط ل عصى

ى ى هب ؤهش فعل للا هب أهشن

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu

dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya

malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah

terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan

apa yang diperintahkan.”(QS. At-Tahrim: 6)

طعب طعبم الزي أرا النزبة دل لنن جبد م أدل لنن الط الوذصبد هي الوؤهبد هنن دل لن ال

زوي أجسي ي أرا النزبة هي قجلنن إرا آر الوذصبد هي الز ل ي ش هسبفذ ي غ هذص

ي خشح هي الخبسش ف ا وبى فقذ دجظ عول هي نفش ثبإل هزخزي أخذاى

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan

(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu dan makanan

kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita

yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-

wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab

sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud

menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan

gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima

hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat

termasuk orang-orang yang merugi.”(QS. Al-Maidah: 5)

ل ر أعججزنن, ل ش هي هششمخ هخ هؤهخ خ نذا الوششمبد دزى ؤهي, ل ر ي نذا الوششم

لعجذ هؤهي للا ذع إلى الجخ دزى ؤها, ى إلى البس أعججنن, ألئل ذع ل ش هي هششك خ

ى ش ن ززم للبط لعل جي ءابر الوغفشح ثئر

Page 17: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

7

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka

beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita

musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan

orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka

beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik

walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah

mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan

ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka

mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221)

، للا أعلن ب الزي ءاها إرا جبءمن الوؤهبد هبجشاد فبهزذي ، فئى علوزوي هؤهبد بأ ي ثئوب

لن ف فل رشجعي إلى النفبس، ل ي دل لن ءارن هب أ ، ى لي نن أى ذل ل جبح عل قا،

ل فقزن اسألا هب أ افش ل روسنا ثعصن الن ، زوي أجسي نذي إرا ءار فقا، رلنن ر سألا هب أ

ن دنن للا ن دن للا عل نن، ذنن ث

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu

perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)

mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu

telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah

kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.

Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada

halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar

yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila

kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang

pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir, dan hedaklah

kamu minta mahar yang telah kamu bayar, dan hendaklah mereka meminta

mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang

ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Bijaksana.”(QS. Al-Mumtahanah: 10)

ل أى نن ط هي لن سزطع ه وبنن هي فزبرنن الوؤهبد، نخ الوذصبد الوؤهبد فوي هب هلنذ أ

ءاري أجسي ثبل ي ل نذي ثئرى أ وبنن، ثعضنن هي ثعض فب للا أعلن ثئ وعشف هذصبد

ي صف هب على ي ثفبدشخ فعل ل هزخزاد أخذاى، فئرا أدصي فئى أر ش هسبفذبد الوذصبد هي غ

ن العزاة، رلل للا غفس سد ش لنن، أى رصجشا خ نن، العذ ه لوي خش

“Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup

perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh

mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah

mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang

lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah

maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang

memelihara diri,bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-

laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan

Page 18: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

8

kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas

mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang

bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang

takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan

kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.”(QS. An-Nisa : 25)

Kemudian hadist Rasulullah SAW dan Qa’idah Fiqh antara lain:

ب. فبظفش ثزاد لذ لجوبلب، لسجب، سثع، لوبلب، نخ الوشأح ي رشثذ ذاك )هزفق عل عي ر الذ

أث ششح(

“Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal: karena hartanya,

karena (asal-usul) keturunannya, karena kecantikannya, karena agamanya.

Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk

agama Islam; (jika tidak), akan binasalah kedua tanganmu.”(hadist riwayat

muttafaq alaih dari Abu Hurairah r.a.)

م عل ى الجلت الوصبلخ.دسء الوفبسذ هقذ

“Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada

menarik kemaslahatan.”

Selain itu MUI dalam menetapkan fatwa ini juga memerhatikan pada

fatwa dalam Munas II tahun 1400 H/ 1980 M tentang Perkawinan Campuran

dan memerhatikan pendapat sidang Komisi C bidang fatwa pada Munas VII

MUI 2005. Isi dari ketetapan fatwa ini antara lain: perkawinan beda agama

adalah haram dan tidak sah, serta perkawinan laki-laki muslim dengan wanita

Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah pula.10

Dalam uraian latar belakang yang dijelaskan di atas, penulis mencoba

untuk mengkaji beberapa hal kaitannya pada fatwa perkawinan campuran

yang ditetapkan oleh MUI Pusat dalam bentuk karya ilmiah berjudul “ Fatwa

MUI Tentang Perkawinan Campuran (Studi Analisis Yuridis) ”.

10 Ibid, h. 472.

Page 19: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

9

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang

berkaitan dengan tema yang dibahas. Ada Permasalahan yang

bermunculan dari latar belakang di atas, akan penulis paparkan mengenai,

yaitu: perbedaan hukum perkawinan campuran menurut Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dengan Fatwa MUI Pusat tahun 1980,

masalah yang dihadapi pasangan kawin campur WNI dan WNA,

kedudukan fatwa di Indonesia, prosedur dan tata cara perkawinan

campuran, serta istinbath hukum fatwa perkawinan campuran MUI Pusat

tahun 1980.

2. Pembatasan Masalah

Agar tidak menimbulkan terlalu luas pembahasan mengenai

permasalahan ini, maka perlu adanya pembatasan masalah sehingga

penelitian ini terpusat pada masalah yang menjadi objek penelitian. Maka

penulis akan memfokuskan penelitian pada Perkawinan Campuran

menurut Fatwa MUI Pusat tahun 1980 dengan Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.

3. Perumusan Masalah

Dari permasalahan tersebut mengenai perkawinan campuran, maka

rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

a. Apa alasan MUI Pusat menetapkan fatwa perkawinan campuran

yang secara substansi kontradiktif dengan pengertian perkawinan

campuran dalam pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974?

b. Bagaimana historis penetapan fatwa MUI Pusat tahun 1980 tentang

perkawinan campuran dilahirkan?

Page 20: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

10

c. Bagaimana metode pembuatan fatwa di tahun 1980 dengan pasca

tahun 1980?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan

penelitian ini adalah untuk mengetahui perkawinan campuran menurut

Undang-Udang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan Fatwa MUI Pusat

tahun 1980.

2. Manfaat Penelitian

Berikutnya dengan tercapainya tujuan tersebut diharapkan dari

hasil penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagai berikut:

a. Bagi peneliti

Diharapkan dapat memperkaya keilmuan bagi peneliti

mengenai kajian hukum yaitu Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

tahun 1974 dan fatwa MUI Pusat tahun 1980 tentang Perkawinan

Campuran untuk dapat dikembangkan kemudian.

b. Bagi akademisi

Bagi sesama mahasiswa ataupun kalangan akademisi di

kampus, hasil penelitian ini akan menjadi tambahan referensi di masa

yang akan datang, memungkinkan dapat dilakukannya penelitian

sejenis oleh kalangan akademisi lainnya.

c. Bagi masyarakat

Diharapkan dapat memberikan sebuah khazanah keilmuan

tentang fatwa MUI Pusat dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor

1 tahun 1974 bagi masyarakat dan bagi semua pihak yang mempunyai

kepentingan dapat menjadi acuan hukum.

Page 21: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

11

D. Metode Penelitian

Metodelogi penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam

pengembangan ilmu dan teknologi serta seni.11

Untuk memperoleh data yang

lengkap dan objektif, maka dalam menyusun skripsi ini, penulis melakukan

beberapa langkah metode penelitian sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan undang-undang (Statute Approarch), dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut

dengan isu hukum yang sedang ditangani.12

Dalam hal ini tentang fatwa

yang ditetapkan oleh MUI Pusat tahun 1980 dengan Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Campuran.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini adalah

penelitian kualitatif lebih khususnya dengan menggunakan penelitian

kepustakaan (Library Reseach), yaitu penelitian yang kajiannya dilakukan

dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur, buku-buku,

perundang-undangan dan sumber lainnya, karena yang menjadi objek

dikajiannya.

3. Data Penelitian

a. Sumber Penelitian

Adapun sumber penelitian antara lain:

1) Sumber Primer, yang diperoleh dari fatwa MUI Pusat tahun

1980 dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan Campuran.

11

Zainuddin Ali, Penelitian Hukum, Cet. III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 17. 12

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet. 9, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 133.

Page 22: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

12

2) Sumber Sekunder, yang diperoleh dari buku-buku, jurnal,

artikel dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan

yang diangkat dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun untuk memperoleh data-data yang relevan dalam

penelitian ini, ada beberapa teknik yang dilakukan antara lain:

a. Komunikasi: melakukan interview dengan Komisi Fatwa MUI

Pusat mengenai fatwa tentang perkawinan campuran yang

ditetapkan.

b. Observasi: dengan membaca dokumen dari fatwa MUI Pusat tahun

1980 tentang Perkawinan Campuran dan Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 tentang Perkawinan.

5. Subyek Penelitian

a. Adapun yang akan menjadi narasumber penelitian yaitu perwakilan

dari salah satu anggota Komisi Fatwa di Majelis Ulama Indonesia

Pusat untuk menjelaskan fatwa yang ditetapkan mengenai

perkawinan campuran.

b. Proses pembacaan dokumen terkait fatwa MUI Pusat tahun 1980

tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan lebih mendalam saat observasi ke kantor

Majelis Ulama Indonesia Pusat untuk mendapatkan data yang

dibutuhkan.

6. Analisa Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan conten analysis

atau analisis isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri

berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para

tokoh yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya

dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis dan dianalisa

isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan

Page 23: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

13

memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam

mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.13

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Kajian pustaka adalah kajian literatur yang relevan dengan pokok

bahasan penelitian yang akan dilakukan, atau bahkan memberikan inspirasi

dan mendasari dilakukannya penelitian.14

Penulis menemukan tema-tema yang

erat hubungannya dengan pembahasan sekarang, diantaranya skripsi berjudul:

1. “Pengaruh Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap

Proses Pengambilan Kebijakan Pemerintah Indonesia”, skripsi yang

ditulis oleh Andi Shofian Efendi, Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas

Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2011.

Dalam skripsi tersebut dijelaskan tentang kedudukan Mejelis

Ulama Indonesia dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia. Mengacu

pada skripsi di atas, penulis berpendapat bahwa pembahasan skripsi ini

berbeda karena yang dibahas oleh penulis dalam skripsi ini adalah

relevansi fatwa tentang perkawinan campuran yang ditetapkan oleh

MUI Pusat tahun 1980 dengan Hukum Islam.

2. “Problematika Kewarganegaraan Ganda Anak Pada Perkawinan

Campuran Antara Isteri WNI Dengan Suami WNA (Studi Terhadap

Komunitas Perkawinan Campuran Srikandi)”, Skripsi yang disusun

oleh Vemi Zauhara, Jurusan Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan

Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016.

Pembahasan skripsi yang berisi mengenai status dan

kedudukan anak dari perkawinan campuran. Tetapi dalam

pembahasan skripsi ini hubungannya dengan perbedaan hukum

13

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),

h.163. 14

Huzaemah T. Yanggo, (ed.), Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi, Cet. II,

(Jakarta: IIQ Press, 2011), h. 13.

Page 24: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

14

mengenai perkawinan campuran dari Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 tahun 1974 dan Fatwa MUI Pusat tahun 1980.

3. “Diskriminasi Terhadap WNI Dalam Perkawinan Campuran (Studi

Terhadap Kepemilikan Harta Benda di Komunitas Perkawinan

Campuran Srikandi, Cinere-Depok)”, Skripsi yang disusun oleh

Muhammad Haikal, Jurusan Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan

Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016.

`Bahwa di dalam skripsi ini menerangkan mengenai peraturan

yang melindungi hak kepemilikan properti di Indonesia terhadap

pasangan suami isteri yang berkewarganegaraan ganda. Sedangkan

dalam skripsi ini menelaah tentang dasar hukum yang dirujuk Fatwa

MUI Pusat tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran.

F. Kerangka Teori dan Konseptual

Pernikahan merupakan suatu perjanjian yang kuat yang disebut

“mitsaqan ghalizhan” untuk membentuk keluarga, menuruti perintah Allah

untuk memperoleh keturunan dan memenuhi tuntunan hajat tabiat

kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka

mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih.15

Perkawinan campuran adalah perkawinan antara laki-laki dan seorang

perempuan yang memiliki status kewarganegaraan yang berbeda dalam

terminologi Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sebagaimana

dikemukakan dalam pasal 57: “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran

dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia

tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, salah

satu pihak berkewarganegaraan Asing dan pihak lain berkewarganegaraan

Indonesia”.16

15 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 27.

16 Jaenal Aripin, Himpunan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, h. 613.

Page 25: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

15

Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga fatwa yang berkompeten

juga menetapkan terkait permasalahan perkawinan campuran. Fatwa tersebut

ditetapkan dalam Musyawarah Nasional II tanggal 11-17 Rajab 1400 H,

bertepatan dengan tanggal 26 Mei-1 Juni 1980 M, MUI menetapkan fatwa

terkait perkawinan campuran yang hukumnya haram.17

Dari kedua penjelasan di atas, masing-masing memberikan pengertian

yang berbeda. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menerangkan perkawinan campuran sebagai perkawinan berbeda

kewarganegaraan yang dibolehkan, sedangkan menurut fatwa MUI Pusat

tahun 1980 menegaskan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan

antara dua orang yang masing-masing berbeda agama dan memberikan hukum

melarang untuk dilaksanakan perkawinan tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini merujuk pada Buku Pedoman Penulisan

Skripsi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas

Syariah dan Hukum tahun 2017. Untuk mengetahui gambaran secara

keseluruhan isi penulisan dalam penelitian ini, penyusun menguraikan secara

singkat sebagai berikut:

Bab Kesatu, pada bab ini menjelaskan tentang pendahuluan yang

meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu,

kerangka teori dan konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, mengkaji dan membahas persoalan perkawinan

campuran, yang berisi mengenai perkawinan campuran menurut peraturan

perundang-undangan dan hukum syariah, syarat dan ketentuan perkawinan

campuran, Kemudian diteruskan dengan menelaah tentang tinjauan umum

17

Tim Penyusun, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, h. 51.

Page 26: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

16

fatwa, yang berisi mengenai pengertian fatwa, kedudukan fatwa, lembaga

fatwa di Indonesia dan metode penetapan fatwa.

Bab Ketiga, mengkaji Profil Umum MUI, yang di dalamnya

membahas sejarah berdirinya, visi dan misi, Komisi Fatwa MUI, serta Fatwa

MUI tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran.

Bab Keempat, membahas tentang hasil yang didapatkan. Bab ini

merupakan inti pembahasan dalam skripsi untuk memperoleh jawaban yang

konkret. Poin-poin dari hasil penelitian meliputi: Alasan Fatwa MUI tahun

1980 tentang Perkawinan Campuran sebagai perkawinan beda agama, Sejarah

Fatwa MUI tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran ditetapkan, Metode

Pembuatan Fatwa tahun 1980 dengan Pasca tahun 1980 serta Analisis Peneliti.

Bab Kelima, tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok

permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini dan ditutup dengan saran-saran.

Page 27: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

17

BAB II

PERKAWINAN CAMPURAN DAN TINJAUAN UMUM FATWA

A. Perkawinan Campuran

1. Perkawinan Campuran menurut Staatblad 1898 No. 158

Perkawinan campuran terdiri dari dua kata yaitu perkawinan dan

campuran. Perkawinan secara bahasa yaitu menghimpun atau

mengumpulkan.1 Campuran menurut bahasa adalah sesuatu yang

tercampur, gabungan atas kombinasi, peranakan (bukan keturunan asli).2

Semua perkawinan yang dilangsungkan di dalam wilayah

khususnya di Indonesia harus dilakukan menurut ketentuan-ketentuan

yang berlaku di dalamnya. Menurut Ahmad Tholabi Kharlie sebelum

Undang-Undang Perkawinan dirumuskan, menjelaskan bahwa terdapat

sebuah peraturan mengenai perkawinan campuran pada masa Indonesia

belum merdeka atau masih dalam masa jajahan kolonial Belanda yaitu

Staatblad tahun 1898 No. 158 (Regeling op de Gemengde Huwelijk) yang

lebih terkenal dengan istilah Gemengde Huwelijken Regeling yang

biasanya disingkat (GHR). Pada Pasal 1 Peraturan Perkawinan Campuran

(GHR) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran

adalah perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk pada

hukum yang berlainan.3

Karena keumuman ketentuan hukum yang berlainan, para pakar

ahli hukum berbeda pendapat tentang perkawinan ini. Sapiudin Shodiq

menambahkan pendapatnya mengenai hukum berlainan itu, bahwa yang

dimaksud adalah perbedaan golongan penduduk yang terbagi menjadi tiga

kelompok yaitu: Eropa, Pribumi dan Timur Asing. Ada pula yang

1 Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,

2006), h. 1329. 2 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2011), h. 239. 3 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.

243.

Page 28: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

18

menafsirkan perkawinan antar pemeluk agama dan ada yang

mengartikannya berlainan daerah asal atau tempat.4

Perbedaan hukum berlainan yang ada telah menyebabkan beberapa

macam perkawinan campuran, antara lain:5

a. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel)

Mengatur hubungan hukum perkawinan antara dua orang

berbeda kewarganegaraannya, tunduk kepada peraturan hukum yang

berlainan. Misalnya WNA asal Eropa kawin dengan orang Indonesia

asli.

b. Perkawinan campuran antar tempat (interlocal)

Mengatur hubungan hukum perkawinan antara orang-orang

Indonesia asli dari masing-masing lingkungan adat. Misalnya orang

Minang kawin dengan orang Jawa.

c. Perkawinan campuran antar agama (interreligius)

Mengatur hubungan hukum perkawinan antara dua orang yang

masing-masing tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlainan.

Misalnya orang Islam dengan orang Kristen.

Dari sini dapat diambil pemahaman bahwa staatblad tahun 1898

No. 158, menyebutkan bahwa istilah perkawinan campuran merupakan

perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan. Hukum berlainan ini masih memiliki arti luas. Kemudian

dikategorikan menjadi tiga macam perkawinan campuran yang meliputi:

perkawinan campuran antar golongan (intergentiel), perkawinan campuran

antar tempat (interlocal), dan perkawinan campuran antar agama

(interreligius).

4 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 2.

5 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, (Jakarta: Prestasi Pustaka

Publiser, 2006), h. 242.

Page 29: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

19

2. Perkawinan Campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974

Dari ketiga macam perkawinan campuran yang dijelaskan dalam

staatblad di atas, penulis mengarahkan pembahasannya pada perkawinan

antar golongan (intergentiel) dengan perkawinan campuran antar agama

(interreligius) yang keduanya menjadi polemik diperdebatkannya oleh

para pakar ahli hukum.

Menurut Ahmad Rofiq, perkawinan campuran adalah perkawinan

antara laki-laki dan seorang perempuan yang memiliki status

kewarganegaraan yang berbeda dalam terminologi Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sebagaimana dikemukakan dalam

pasal 57.6

Amin Suma juga menambahkan pendapatnya mengenai

perkawinan campuran, yang dimaksud dengan hukum berlainan dari

keterangan pasal 1 Saatblad tahun 1898 No. 158 (GHR), bahwa pengertian

perkawinan campuran ini hampir dapat dipastikan sebagai hukum negara

yang tidak ada kaitannya langsung dengan hukum agama. Pemahaman ini

bisa diperkuat dengan hukum perdata yang menyatakan bahwa “Undang-

Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata.

Menelaah definisi “Perkawinan Campuran” dalam naskah

peraturan perundang-undangan yang ada, paling tidak sebagaimana dikutip

di atas, jelas tidak terbayangkan untuk memaknai “Perkawinan Campuran”

atau “Kawin Campur” dengan maksud “Perkawinan beda agama”,

sebagaimana yang lumrah terjadi pada beberapa tahun terakhir ini. 7

Melihat aturan tentang perkawinan campuran di dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 57, menegaskan “Yang dimaksud

6 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Rajawali Pers,

2013), h. 277.

7 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, Telaah Syariah dan

Qanuniyah, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h. 120.

Page 30: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

20

dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah

perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Indonesia”.8

Jadi, perkawinan campuran itu dapat dipastikan berbeda dengan

perkawinan beda agama dan satu sama lain tidak ada sangkut-pautnya,

meskipun bisa saja terjadi atau ada yang melakukannya. Perkawinan beda

agama yang sekaligus perkawinan campuran, atau perkawinan campuran

yang sekaligus pernikahan beda agama, yakni perkawinan yang dilakukan

oleh dua orang pemeluk agama yang berbeda dan pada saat yang

bersamaan juga sekaligus berbeda kewarganegaraan (satu WNI dan

satunya WNA).9

Abdul Kadir mendefinisikan dalam Pasal 57 Undang-Undang

Perkawinan ini dapat diuraikan berbagai macam unsur-unsur perkawinan

campuran itu sebagai berikut:

a. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita;

b. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan;

c. Karena perbedaan kewarganegaraan;

d. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Unsur pertama menunjuk kepada asas monogami dalam

perkawinan, selanjutnya unsur kedua menunjuk kepada perbedaan hukum

yang berlaku bagi pria dan wanita yang melangsungkan perkawinan itu.

Tetapi hukum tersebut bukan karena agama, suku bangsa di Indonesia

melainkan karena unsur ketiga yaitu kewarganegaraan. Perbedaan

kewarganegaraan ini pun bukan kewarganegaraan asing semuanya,

8 Jaenal Aripin, Himpunan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, (Jakarta: Kencana,

2010), h. 613. 9 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia, h. 123.

Page 31: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

21

melainkan unsur keempat yang menyatakan bahwa salah satu

kewarganegaraan itu adalah kewarganegaraan Indonesia.10

Ditegaskan juga oleh Wantjik Saleh, bahwa perkawinan campuran

adalah sebagai berikut:

a. Seorang pria warga Negara Indonesia kawin dengan seorang wanita

warga Negara Asing;

b. Seorag wanita warga Negara Indonesia kawin dengan seorang pria

warga Negara Asing.

Pasal 57 membatasi makna perkawinan campuran pada perkawinan

antara seorang warga Negara Indonesia dengan seorang yang bukan warga

Negara Indonesia, sehingga padanya termasuk perkawinan antar sesama

warga Negara Indonesia yang berbeda hukum dengan antara sesama bukan

warga Negara Indonesia.11

Menurut Mohammad Daud Ali, semua agama yang ada dan diakui

keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia, pada hakikatnya bahwa

melangsungkan perkawinannya secara sah, sebagai contoh agama Katolik,

Protestan dan Islam sebagai agama-agama yang relatif banyak pemeluknya

di tanah air kita. Agama Katolik dengan tegas menyatakan bahwa

“perkawinan antara seorang Katolik dengan penganut agama lain, tidak

sah (kanon 1086)”.

Namun demikian, bagi mereka yang sudah tidak mungkin

dipisahkan lagi karena cintanya sudah terlanjur mendalam, pejabat gereja

yang berwenang yakni uskup dapat memberikan dispensasi (pengecualian

dari aturan umum untuk suatu keadaan yang khusus) dengan jalan

mengawinkan pemeluk agama Katolik dengan pemeluk agama lain, asal

10

Muhammad Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 1993), h. 103. 11

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), h.

46.

Page 32: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

22

saja kedua-duanya memenuhi syarat yang ditentukan hukum gereja dalam

kanon 1125 yakni:

a. Yang beragama Katolik berjanji

1) Akan tetap setia pada iman Katolik;

2) Berusaha mempermandikan dan mendidik semua anak-anak

mereka secara Katolik; sedangkan

b. Yang tidak beragama Katolik berjanji antara lain

1) Menerima perkawinan secara Katolik;

2) Tidak akan menceraikan pihak yang beragama Katolik;

3) Tidak akan menghalang-halangi pihak yang Katolik

melaksanakan imannya; dan

4) Bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.

Jika memilih menikah dengan orang yang berbeda agama, Agama

Katolik lebih menerima perkawinan dengan Agama Protestan, karena

perkawinan dengan Protestan bukan dikatakan berbeda agama, namun

hanya perbedaan gereja masing-masing. Kedua pemeluk agama ini

(Katolik dan Protestan) mempunyai kitab suci yang sama dan masih

dipersatukan dalam “satu tubuh yesus kristus”.12

Dari sini dapat dipahami mengenai perkawinan campuran itu

dibolehkan oleh Undang-Undang Perkawinan hanya pada unsur

kewarganegaraan yang berbeda dan bukan dari unsur suku bangsa maupun

agama. Sedangkan perkawinan beda agama yang berbeda pada unsur

agama yang tidak diperkenankan untuk dilakukan. Agama-agama yang

diakui di Indonesia pun sepakat bahwa perkawinan beda agama tidak

diperbolehkan.

12

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Cet. 2, (Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2002), h. 59-61.

Page 33: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

23

3. Perkawinan Campuran menurut Hukum Syariah

Menelaah mengenai pengertian perkawinan campuran (berbeda

kewarganegaraan) menurut hukum syariah. Taufiqur Rohman menegaskan

dari pendapatnya bahwa di dalam al-Qur‟an dan hadis tidak pernah

ditemukan penjelasan tentang perkawinan tersebut atau dianggap tidak

menjadi suatu permasalahan dalam hukum syariah, asalkan sekufu

(seimbang) perkawinan dengan siapa saja dapat dilakukan bagi kedua

belah pihak untuk menikah.13

Dilanjutkan menurut Hasbi Ash Shiddieqy yang memberikan

keterangan bahwa para ulama fiqih juga tidak membahas permasalahan

tentang perkawinan campuran. Hal ini baru menjadi masalah apabila

dalam perkawinan tersebut terdapat perbedaan keyakinan atau agama,

meski terdapat pengecualian untuk ahli kitab.14

Meneruskan pendapat di atas yang apabila terjadi masalah karena

perbedaan keyakinan, Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitabnya Fiqhul Islam

wa Adillatuhu, jilid 9 yang diterjemahkan oleh Abdul Hayyie Al-Kattani,

menjelaskan tentang perkawinan yang berbeda keyakinan, secara ijma‟

perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki kafir hukumnya haram.

Berdasarkan fiman Allah SWT yang artinya,

كحىا الوشسكات ححى يؤهي ...ول ج

“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan

wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (al-Baqarah: 221).

Juga firmanNya SWT,

Kemudian pelarangan menikahi orang-orang kafir dilanjutkan

dalam surat al-Mumtahanah ayat 10:

فئى علوحوىهي هؤهات فل جسجعىهي إلى الكفاز لهي حل لهن ولهن يحلىى لهي

13

Moh. Taufiqur Rohman, Perkawinan Campuran dan Perkawinan Antar Agama di

Indonesia, Jurnal Al-Ahwal, Vol. 4, No. 1, Tahun 2011, h. 60. 14

M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqih Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,

1991), h.127.

Page 34: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

24

“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)

beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami

mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu

dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (al-

Mumtahanah: 10). 15

Asbabun an-nuzul dari surat Al-Baqarah ayat 221 tersebut menjadi

polemik di kalangan ahli tafsir al-Qur‟an dari generasi ke generasi. Hal ini

dipicu oleh adanya dua periwayatan yang berbeda mengenai sebab

turunnya ayat tersebut.16

Penjelasan pertama, diriwayatkan oleh Ibnu al-Munzhir, Ibnu Abi

Hatim dan al-Wahidi dari Muqatil, dia mengatakan bahwa ayat ini

diturunkan berkaitan dengan kasus Abu Martsad al-Ghanawi atau Martsad

bin Abi Martsad, seorang laki-laki anggota persekutuan Bani Hasyim yang

diutus Rasulullah ke Makkah untuk membantu mengevakuasi orang-orang

Muslim secara rahasia.

Dahulu, ketika masih jahiliyah (di Makkah), ia memiliki seorang

kekasih yang bernama Inaq. Tapi, pada saat Martsad masuk Islam ia

meninggalkan Inaq kekasihnya. Pada suatu ketika, kekasihnya mendatangi

Martsad dan mempertanyakan alasan mengapa ia meninggalkannya.

Martsad menjawabnya dengan mengatakan bahwa Islam melarang

hubungan kita sembari menegaskan bahwa ia akan meminta izin pada

Rasulullah untuk mengawininya. Mendengar jawaban itu, Inaq kecewa,

menjerit dan datanglah orang-orang memukuli Martsad dengan pukulan

keras lalu membiarkannya pergi. Setelah tugasnya selesai Martsad

menghadap kepada Rasulullah dan meminta izin untuk mengawini Inaq.

Lalu turunlah ayat ini.17

15

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, diterjemahkan oleh Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2010) h. 148. 16

Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2006),

h. 22. 17

Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1957), h. 247.

Page 35: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

25

Penjelasan kedua, al-Wahidi meriwayatkan dari jalur al-Suddi dari

Malik dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Ayat ini berkaitan dengan seorang

sahabat Abdillah bin Rawahah yang datang kepada Rasulullah

menceritakan perbuatannya yang telah memukul hamba perempuannya

berkulit hitam kelam dan jelek karena marah. Dia merasa menyesal dan

meminta petunjuk kepada Rasulullah.” Rasulullah bertanya, “Bagaimana

keadaan hamba sahaya tersebut?” Abdillah menjawab bahwa budaknya itu

seorang muslimah yang taat. Rasulullah kembali berkata, “Wahai

Abdillah, dia itu adalah seorang yang beriman”. Maka Abdillah

menimpali, “Demi Zat yang mengutusmu dengan hak, aku akan

memerdekakannya dan menikahinya”. Peristiwa tersebut memancing

penghinaan dan rasa sinis dari masyarakat, karena menganggap Abdillah

menikahi budaknya yang hina dan jelek. Sehubungan dengan hal tersebut

turunlah wahyu Allah tersebut.18

Ayat di atas dalam surat al-Mumtahanah pun menyiratkan bahwa

adanya suatu larangan meneruskan tali perkawinan dengan wanita-wanita

musyrikah dan kafir, yang saat itu masih mempunyai ikatan dengan laki-

laki Muslim.19

Dari kedua ayat yang telah diterangkan, baik laki-laki muslim

maupun perempuan muslimah, tidak dibolehkan atau dianjurkan untuk

menikah dengan laki-laki atau perempuan yang musyrik dan kafir, karena

alasan orang-orang musyrik dan kafir tidak halal bagi orang-orang muslim.

Kemudian para ulama telah sepakat untuk membolehkan menikah

dengan perempuan ahli kitab. Berdasarkan firman-Nya SWT:

يي أوجىا الكحة حل لكن وطعاهكن حل لهن والوحصات هي اليىم أحل لكن الطيثث وطعام الر

... الوؤهات والوحصات هي الريي أوجىا الكحاب هي قثلكن

18

Al-Wahidi, Asbab an-Nuzul, (Kairo: Dar al-Ittihad al-Arabi li al-Tab‟ah, 1968), h. 45. 19

Abdul Mutaal Muhammad Al-Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan

Islam, terjemah dari Achmad Sathori (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988), h. 39.

Page 36: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

26

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan

(sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan

makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini)

wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman

dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang

diberi Al-Kitab sebelum kamu.” (al-Maa’idah: 5).

Yang dimaksud dengan para perempuan yang menjaga kehormatan

di dalam ayat ini adalah para perempuan yang suci. Maksud ayat ini

mendorong manusia untuk menikah dengan para perempuan yang suci,

karena dalam perkawinan yang seperti ini terdapat rasa sayang dan cinta di

antara suami isteri, serta menyebarkan rasa tentram dan tenang.

Sebab dalam pembolehan kawin dengan perempuan ahli kitab

berbeda halnya dengan perempuan musyrikah, karena dia memiliki

kesamaan keimanan pada beberapa prinsip yang asasi. Yang dimulai

dengan pengakuan terhadap Tuhan, keimanan kepada para rasul dan hari

kiamat, dengan segenap hisab dan siksaan yang ada di dalamnya.20

Dari ayat yang dijelaskan di atas mengenai ahli kitab, dapat

diketahui bahwa awal mula perkawinan beda agama diperbolehkan oleh

Allah. Akan tetapi dalam perkembangan Islam selanjutnya, perkawinan

beda agama tersebut dilarang meskipun bagi laki-laki Muslim. Pelarangan

ini bermula ketika zaman khalifah Umar Ibn Khattab. Sebagaimana yang

dikatakan oleh Muhammad Rawwas yang dikutip oleh Karsayuda.21

Pelarangan perkawinan beda agama adalah karena ada dua pertimbangan,

antara lain:

a. Pertama, anak-anak mereka paling sedikit akan terpengaruh

dengan agama ibunya. Umar beranggapan bahwa isteri yang

berasal dari ahli kitab merupakan satu sandungan bagi rumah

20

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9, diterjemahkan oleh Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk, h. 149. 21

M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi

Hukum Islam, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. 283.

Page 37: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

27

tangga. Umar khawatir rumah tangga tersebut nantinya akan ada

pertentangan hanya karena perbedaan keyakinan.

b. Kedua, laki-laki Muslim lebih tertarik kepada perempuan ahli kitab

sehingga perempuan muslimah tergeser oleh perempuan ahli

kitab.22

Al-Qurtubi memberikan penjelasan di dalam kitab al Jami‟ Li

Ahkamil Qur‟an, terhadap pengertian perempuan Muhson (perempuan

yang menjaga kehormatan) dengan perempuan ahli kitab. Bahwa menurut

Ibnu Abbas, arti muhson adalah Al „Afifatu Al „Aqilatu (perempuan suci

yang bijak) yaitu perempuan yang bisa menjaga kemaluannya dari

perbuatan zina.

Kemudian pendapat tentang perempuan ahli kitab menurut Ibnu

Abbas, yaitu perempuan ahli kitab yang bukan dari negara perang (darul

harbi). Dan menurut pendapat Abu „Ubaid bahwasanya menikah dengan

perempuan ahli kitab tidak dihalalkan dengan dasar surat An-Nisa ayat

25.23

ي ف ا هلكث ايواكن ه كح الوحصث الوؤهث فوي ه كن طىل اى ي حيحكن الوؤهث وهي لن يسحطع ه

كحىهي تا ي تعض فا ذى اهلهي واجىهي اجىزهي تالوعسوف هحصث وهللا اعلن تايواكن تعضكن ه

ل هحخرت اخداى فاذآ احصي فاى اجيي تفاحشة فعليهي صف ها على ال وحصث هي غيس هسفحث و

حين العراب ذلك لوي خشي العث ه كن واى جصثسوا خيس لكن وهللا غفىز ز

“Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk

menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi

perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah

mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang

lain (sama-sama keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka

dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena

mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan

pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain

22

Masthuriyah Sa‟dan, Perkawinan Beda Agama: Perspektif Islam Progresif, (jurnal:

Kontemplasi, Volume 04 Nomor 02, Desember 2016), h. 323. 23

Al-Qurtubi, Al-Jami‟ Li Ahkamil Qur‟an, Juz 6, (Mesir: Dar al-Kitab al-Araby

Litthoba‟aty Wa Nashr, 1967), h. 79.

Page 38: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

28

sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami),

tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka

setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak

bersuami). (Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-

orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan

zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha

Pengampun, Maha Penyayang” (an-Nisa: 25).

Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, bahwa jelas perkawinan

campuran menurut hukum syariah tidak mengatur atau menganggap tidak

bermasalah perkawinan warga negara Indonesia dengan warga negara

asing asalkan sekufu.

Berikutnya hukum syariah akan mempermasalahkan apabila orang

muslim menikah dengan non-muslim. Para ulama sepakat untuk melarang

menikahi orang-orang musyrik dan kafir baik wanita maupun laki-laki

karena tidak dihalalkan bagi orang-orang muslim untuk melakukannya.

Selanjutnya mengenai menikah dengan ahli kitab, para ulama

sepakat menikah dengan perempuan ahli kitab itu diperbolehkan karena

memiliki kesamaan keimanan dalam beberapa prinsip yang asasi.

Kemudian menurut pendapat dari Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa

menikah dengan perempuan ahli kitab dibolehkan kecuali perempuan ahli

kitab dari darul harbi (negara perang) yang dilarang untuk dinikahi.

Sedangkan menurut Abu „Ubaid menikah dengan perempuan ahli kitab

tidak diperbolehkan dengan landasan surat An-Nisa ayat 25.

Namun pada masa kekhalifahan Umar Ibn Khattab, menikah

dengan ahli kitab itu dilarang. Pelarangan menikah dengan perempuan ahli

kitab dengan alasan karena, khawatir anak-anak yang terlahir dari rahim

ibunya terpengaruh agama yang dibawanya dan laki-laki muslim lebih

mengidolakan perempuan ahli kitab ketimbang perempuan muslimah di

masa itu.

Page 39: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

29

4. Syarat dan Ketentuan Perkawinan Campuran

Bagi warga negara asing yang akan melakukan perkawinan

campuran di Indonesia, maka yang bersangkutan harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

a. Photo copy paspor yang bersangkutan;

b. Photo copy surat izin menikah dengan WNI dari kedutaan Negara

WNA;

c. Surat keterangan dari imigrasi;

d. Surat keterangan status (perjaka/duda atau perawan/janda) dari

kantor catatan sipil Negara WNA, dengan melampirkan:

1) Akta cerai bila istri/suaminya bercerai; atau

2) Akta kematian bila istri/suaminya meninggal dunia.

e. Pas photo terbaru berwarna (dianjurkan berlatar belakang warna

biru) ukuran 2x3 sebanyak 3 (tiga) lembar;

f. Apabila WNA adalah seorang wanita hendaknya memastikan

kehadiran wali atau surat wakalah wali dari pihak yang berkuasa

dari negara yang bersangkutan.

Surat-surat tersebut diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh

penerjemah yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh kedutaan

negara WNA tersebut yang ada di Indonesia.24

Adapun syarat-syarat perkawinan yang harus dipenuhi oleh WNI

yang hendak melakukan perkawinan campuran adalah syarat-syarat

perkawinan yang terdapat dalam pasal 6 sampai dengan pasal 11 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974.25

24

Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Pusat Studi

dan Pengembangan Pesantren, 2009), h. 55. 25

Jaenal Aripin, Himpunan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, h. 600.

Page 40: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

30

B. Tinjauan Umum Fatwa

1. Pengertian Fatwa

Secara etimologis kata fatwa berasal dari bahasa Arab al-fatwa.

Menurut Ibnu Manzhur yang dikutip oleh Ma‟ruf Amin, kata fatwa ini

merupakan bentuk mashdar dari kata fata, yaftu, fatwan, yang bermakna

muda, baru, penjelasan, penerangan. Pendapat ini hampir sama dengan

pendapat al-Fayumi, yang mengatakan bahwa al-fatwa berasal dari kata

al-fata artinya pemuda yang kuat. Sehingga seorang yang memberi fatwa

dikatakan sebagai mufti, karena orang tersbut diyakini mempunyai

kekuatan dalam memberikan penjelasan (al-bayan) dan jawaban terhadap

permasalahan yang dihadapinya sebagaimana kekuatan yang dimiliki oleh

seorang pemuda.

Selain itu, Ma‟ruf Amin juga mengutip pendapat al-Jurjani, bahwa

fatwa berasal dari al-fatwa atau al-futya, artinya jawaban terhadap suatu

permasalahan (musykil) dalam bidang hukum. Sehingga fatwa dalam

pengertian ini juga diartikan sebagai memberikan penjelasan (al-ibanah).

Dikatakan aftahu fi al-amr mempunyai arti memberikan penjelasan

kepadanya atau memberikan jawaban atas persoalan yang diajukannya.26

Sedangkan secara terminologis, sebagaimana dikemukakan oleh

Zamakhsyari: (w. 538 H) yang dikutip Ma‟ruf Amin, fatwa adalah

penjelasan hukum syara‟ tentang suatu masalah atas pertanyaan seseorang

atau kelompok. Selain itu Ma‟ruf Amin mengutip pendapat as-Syatibi

tentang fatwa dalam arti al-iftaa berarti keterangan-keterangan tentang

hukum syara‟ yang tidak mengikat untuk diikuti. Kemudian mengutip juga

pendapat Yusuf Qardawi, bahwa fatwa adalah alat untuk menerangkan

hukum syara‟ dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan

26

Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS Jakarta, 2008), h.

19.

Page 41: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

31

yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) baik secara perorangan atau

kolektif.27

Selain itu istilah fatwa yang diterangkan oleh Ija Suntana, yakni

sebagai sebuah keputusan atau nasehat resmi yang diambil oleh sebuah

lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh

seorang mufti sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang

diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai

keterikatan.28

Amir Syarifuddin menerangkan istilah mufti dan mustafti yang

dijelaskan di atas. Mufti (pemberi fatwa) harus memiliki syarat-syarat

tertentu, syarat itu dikelompokkan menjadi empat kelompok sebagai

berikut:

a. Syarat umum: karena seorang mufti menyampaikan hal-hal yang

berkenaan dengan hukum syara‟, maka seorang mufti harus

mukalaf yaitu muslim, dewasa dan sempurna akalnya.

b. Syarat keilmuan: mufti harus ahli dan mempunyai kemampuan

untuk berijtihad. Syarat berijtihad yaitu mengetahui secara baik

dalil-dalil sam‟i dan mengetahui dalil-dalil aqli.

c. Syarat kepribadian: yaitu adil dan dipercaya. Kedua syarat ini

sebagai tuntutan bagi mufti karena secara langsung akan menjadi

panutan bagi umat dalam beragama.

d. Syarat pelengkap: seorang mufti dalam berfatwa bermaksud

mendidik untuk mengetahui hukum syara‟, bersifat tenang

(sakinah), berkecukupan, mempunyai niat dan iktikad baik, kuat

pendirian dan dikenal umat.

Mustafti (peminta fatwa) adalah orang yang tidak mempunyai

pengetahuan tentang suatu hukum syara‟ baik secara keseluruhan atau

27

Ibid, h. 20. 28

Ija Suntana, Politik Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), h. 16.

Page 42: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

32

sebagian. Pada dasarnya orang yang meminta fatwa adalah orang awam

yang tidak tahu sama sekali dan tidak mampu untuk melakukan ijtihad.29

Mengingat betapa penting keberadaan fatwa bagi orang awam

dalam menjalankan amal ibadahnya, maka setiap orang yang telah

memenuhi syarat untuk menetapkan fatwa tidak boleh menolak apabila

dimintai fatwa. Dalam hal ini al-Imam an-Nawawi yang dikutip oleh

Ma‟ruf Amin, menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan

kaitannya dengan hukum fatwa:30

a. Pertama, berfatwa hukumnya adalah fardhu kifayah. Dimana jika

ada seseorang atau pihak menanyakan hukum suatu masalah maka

wajib bagi orang yang mempunyai kompetensi berfatwa untuk

menjawabnya. Jika ada orang lain yang juga mempunyai

kemampuan berfatwa, maka menjawab hukum suatu masalah yang

dipertanyakan hukumnya fardhu kifayah.

b. Kedua, jika suatu fatwa dikeluarkan akan tetapi oleh karena suatu

hal fatwa tersebut dirasa tidak sesuai, maka bagi pihak yang

menetapkan fatwa (mufti) harus memberitahukan orang yang

meminta fatwa (mustafti) bahwa fatwa yang dikeluarkan terdahulu

tidak sesuai. Para ulama sepakat jika sebelum diketahui ketidak

sesuaian fatwa tersebut pihak yang meminta fatwa (mustafti) belum

dapat melaksanakannya, maka haram baginya untuk tetap

melaksanakan fatwa tersebut, karena yang menetapkan fatwa

(mufti) sendiri menyatakan bahwa fatwa tersebut tidak sesuai.31

c. Ketiga, haram hukumnya bagi mufti untuk terlalu mudah

menetapkan fatwa (at-tasahul fi al-fatwa), dan jika diketahui

seperti itu maka haram bagi mustafti untuk meminta fatwa

29

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Cet. 7, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 485-487. 30

Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h. 31. 31

Ibid, h. 32.

Page 43: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

33

kepadanya. Kedudukan fatwa bagi peminta fatwa adalah

merupakan penuntun dalam menjalankan amal ibadahnya.

d. Keempat, seorang mufti ketika menetapkan fatwa harus stabil

psikis dan fisiknya, sehingga bisa berfikir jernih dan menjaga

kenetralannya dalam menetapkan hukum suatu masalah.32

e. Kelima, seorang mufti dilarang menjadikan fatwa sebagai sumber

penghasilan untuk kepentingan dirinya. Seorang pemberi fatwa

tidak boleh mengutip upah dari peminta fatwa (mustafti) atas fatwa

yang ditetapkan. Akan tetapi pemberi fatwa atau mufti sebaiknya

diberikan tunjangan negara.

f. Keenam, bagi mufti yang dalam menetapkan fatwa merujuk

pendapat ulama mazhab, maka harus didasarkan atas pendapat

ulama yang terdapat dalam kitab –kitab fiqih yang diakui (al-kutub

al mu‟tabarah).33

g. Ketujuh, jika seorang mufti telah menetapkan fatwa tentang hukum

suatu masalah kemudian di lain waktu pihak lain yang menanyakan

masalah yang sama maka dalam hal ini apabila mufti mengingat

keputusan fatwa beserta dalil-dalil dan argumentasinya (wajh al-

istidlal), maka boleh baginya untuk menetapkan fatwa seperti

fatwa yang pertama.

Sedangkan apabila ia ingat kesimpulan hukumnya saja, dan

tidak ingat dalil dan wajh al-istidlalnya, maka boleh baginya untuk

menetapkan fatwa yang sama dengan disertai dalil-dalilnya. Akan

tetapi sebaiknya dalam hal ini dilakukan penelitian dan penelaahan

ulang (tajdid an-nadhar), karena dikhawatirkan adanya

kondisi/alasan hukum (illat) baru yang menjadikan kesimpulan

hukum terhadap permasalahan tersebut bisa berbeda.

32

Ibid, h. 33. 33

Ibid, h. 34.

Page 44: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

34

h. Kedelapan, ketetapan fatwa harus jelas dan dapat langsung

dilaksanakan oleh peminta fatwa (mustafti), karena hal seperti

itulah yang dibutuhkan oleh mustafti dengan meminta fatwa. Oleh

karenanya dalam fatwa sebisa mungkin untuk menghindarkan

kesimpulan hukum yang lebih dari satu, karena misalnya ada

perbedaan pendapat diantara para ulama dalam kasus tersebut.34

2. Kedudukan Fatwa

Fatwa memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum

Islam, sehingga fatwa menurut pandangan para ulama adalah bersifat

opsional “ikhtiyariah” (pilihan yang tidak mengikat secara legal,

meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak yang meminta

fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat “i‟laniyah” atau informatif

yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil fatwa

yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/ seorang ahli lain.35

Adapun kedudukannya dalam sistem hukum Islam adalah fatwa

saat ini merupakan hasil dari ijtihad kolektif, menurut Muhtar Yahya dan

Fathurrahman berpendapat tidak bisa serta merta dapat dipersamakan

dengan ijma‟, karena para ulama yang berperan dalam ijtihad kolektif

tersebut tidak meliputi seluruh ulama yang menjadi persyaratan bagi suatu

ijma‟, karena kegiatan ijtihad jama‟i (ijtihad kolektif).

Ini dimungkinkan untuk dilakukan beberapa kali oleh pelaku yang

berbeda pada waktu dan tempat yang berlainan pula sehingga hasil temuan

hukumnya dimungkinkan ada perbedaan antara satu kegiatan ijtihad

jama‟i dengan lainnya, meskipun terhadap masalah-masalah yang sama.

Akan tetapi sebaliknya ijma‟ tidak memberikan kesempatan untuk berbeda

pendapat karena semua ulama telah sepakat, sehingga fatwa bukan

34

Ibid, h. 35. 35

M. Erfan Riadi, Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif

(Analisis Yuridis Normatif), Ulumuddin, Vol. VI, No. IV, Januari-Juni 2010, h. 475.

Page 45: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

35

merupakan ijma‟, dan dimungkinkan bagi masyarakat untuk menerima

atau tidak sebuah fatwa.36

Sedangkan kedudukan fatwa dalam sistem hukum positif Indonesia

adalah berdasarkan sumber hukum nasional, yang terdiri dari undang-

undang, kebiasaan, keputusan pengadilan (yurisprudensi), traktat

(perjanjian antar negara), doktrin (pendapat pakar/ahli hukum), dan

berdasarkan pada pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Peraturan Perundang-Undangan yang menyebutkan bahwa tata urutan

peraturan perundang-undangan adalah Undang-Undang Dasar 1945,

Undang-Undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang,

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah yang

meliputi: Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

dan Peraturan Desa.37

Berdasarkan hal ini, maka fatwa tidak memiliki kedudukan dalam

sumber hukum positif Indonesia. Fatwa hanya pendapat, nasehat ulama

yang tidak dapat berlaku mengikat, maka fatwa harus melewati legislasi

terlebih dahulu yang kemudian menjadi sebuah undang-undang.

3. Lembaga-Lembaga Fatwa di Indonesia dan Metode Penetapan

Fatwa

Menyikapi urgensitas fatwa dalam perkembangan hukum dan

perkembangan masyarakat dimana realitas kapabilitas ulama tidak dalam

kepakarannya menguasai berbagai bidang dan perkembangan

kompleksitas permasalahan hukum yang terus berkembang maka fatwa

jama‟i yang bersifat fatwa kolektif dalam bentuk lembaga dipandang akan

jauh lebih dinilai lebih meyakinkan (memenuhi) kebutuhan hukum

36

Muhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam,

(Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1997), h. 40. 37

Andi Fariana, Urgensi Fatwa MUI dalam Pembangunan Sistem Hukum Ekonomi Islam

di Indonesia, Al-Ihkam, Vol. 12, No. 1 Juni 2017, h. 99.

Page 46: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

36

masyarakat. Fatkhul Mujib memberikan penjelasan bahwa ada 4 lembaga

yang menetapkan fatwa di Indonesia.38

a. Majelis Tarjih Muhammadiyah

Majelis Tarjih adalah suatu lembaga dalam Muhammadiyah

yang membidangi masalah-masalah keagamaan, khususnya hukum

bidang fiqih. Majelis ini dibentuk dan disahkan pada kongres

Muhammadiyah XVII tahun 1928 di Pekalongan.

Majelis ini didirikan pertama kali untuk menyelesaikan

persoalan-persoalan khilafiyah, hingga dalam perkembangan

selanjutnya, Majelis Tarjih mengarah pada penyelesaian persoalan-

persoalan baru atau kontemporer. Oleh karena itu banyak anggota

lajnah tarjih menuntut agar Majelis Tarjih diubah menjadi Majelis

Ijtihad saat itu. Pada muktamar Muhammadiyah ke-43 pada tanggal 8-

12 Shafar 1416 H bertepatan tanggal 6-10 Juli 1995 M di Banda Aceh,

nama majelis ini ditetapkan menjadi Majelis Tarjih dan Pengembangan

Pemikiran Islam.39

Menurut Asmuni Abdurrahman, proses pembentukan Fatwa

Ijtihad Muhammadiyah dipahami sebagai aktifitas mencurahkan

segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan hukum

syar‟i yang bersifat zhanni dengan menggunakan metode tertentu yang

dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan, berkompeten

baik secara metodologis maupun permasalahan.

Ijtihad berfungsi sebagai metode merumuskan ketetapan-

ketetapan hukum yang belum terumuskan dalam Al-Qur‟an atau yang

ruang lingkupnya masalah-masalah yang memiliki dalil Zhanniyyud.

38

Fatkhul Mujib, Perkembangan Fatwa di Indonesia, Nizham, Vol. 4, No. 01 Januari-

Juni 2015, h. 101. 39

Sudarno Shobron, Studi Kemuhammadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan

Organisasi, Cet. VII, (Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Dasar (LPID) Universitas

Muhammadiyah Surakarta, 2008), h.97-98.

Page 47: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

37

Dengan demikian bagi Muhammadiyah, ijtihad bukan sebagai sumber

hukum melainkan sebagai metode penetapan hukum.40

Muhammadiyah dalam Ijtihad sesuai dengan kaidah ushul fiqh

menempuh tiga jalur, yaitu:

1) Al-Ijtihad Bayani, (semantik) dengan pola metode kebahasaan,

yakni menjelaskan hukum yang permasalahannya telah diatur

dalam Al-Qur‟an maupun Hadits maka secara praktis dapat

ditetapkan berdasarkan nash yang sudah jelas.

2) Tahlili (rasionalistik) metode pendekatan dengan jalan

rasioanalistik atau penalaran, sebelumnya majelis tarjih

menggunakan istilah Qiyasi yakni menyelesaikan kasus hukum

yang sifatnya baru dengan cara menganologi atau

mengqiyaskan dengan masalah yang telah diatur oleh Al-

Qur‟an dan Hadits. Akan tetapi metode qiyasi disadari

memiliki ruang lingkup yang terbatas, dengan metode Tahlili

jauh lebih luas dari metode qiyasi sekaligus mencakup metode

qiyasi.

3) Al-Ijtihad Al-Istislahi (filosofis), yakni menyelesaikan hukum

baru yang tidak terdapat dalam dua sumber pokok Al-Qur‟an

dan Hadits. Dengan cara penalaran dengan memperhatikan

nilai-nilai maslahat.41

b. Lajnah Bahtsul Masail NU

NU sebagai jam‟iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan

ijtima‟iyah serta menjadikan paham sunah wal jama‟ah sebagai basis

teologi dan menganut salah satu mazhab. Metode istinbath hukum

lajnah bahtsul masail dikalangan NU tidak diartikan dengan

mengambil hukum secara langsung (Al-Qur‟an dan Sunah), namun

40

Asmuni Abdurrahman, Manhaj Majelis Tarjih Muhammadiyah Metode dan Aplikasi,

Cet. V, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 105. 41

Ibid, h. 106.

Page 48: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

38

diartikan sesuai dengan sikap dasar bermazhab terutama mazhab

Syafi‟i menempati posisi yang dominan.42

Sistem penetpan fatwa dalam bahtsul masail di lingkungan

Nahdlatul Ulama (NU) ditetapkan pada Musyawarah Nasional

(MUNAS) alim ulama NU di Bandar Lampung tanggal 21-25 Januari

1992, sistem penetapan fatwa kemudian disempurnakan kembali

melalui keputusan Musyawarah Nasioanal Alim Ulama Nomor

2/Munas/VII/2006 tentang Fikrah Nahdliyah adalah kerangka berfikir

yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah wal Jama‟ah.

Ahmad Munjin dalam jurnalnya mengungkapkan, ada 2 metode

yang ditetapkan bahtsul masail, yakni metode qauli dan manhaji.

Metode qauli adalah suatu cara penetapan hukum dengan mempelajari

masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-

kitab fiqih dari mazhab empat atau ulama pengikut mazhab dengan

mengacu dan merujuk secara langsung dari teks kitab imam-imam

mazhab. Ada tiga tahapan yang dipakai dalam metode ini, yakni

merujuk langsung kepada ta‟bir suatu kitab, taqrir jama‟i dan ilhaq al-

masail.

Adapun yang dimaksud taqrir jama‟i adalah menentukan suatu

teks dari sekian banyak teks yang dianggap paling sesuai dengan

persoalan yang dibahas dengan mekanisme musyawarah antar peserta

bahtsul masail. Sedangkan ilhaq al-masail adalah upaya apabila

melalui jalan qaul sudah tidak diperoleh pendapat yang akan dijadikan

pijakan fatwa, dengan menyamakan (analogi) hukum suatu kasus

dengan kasus yang telah ada jawabannya dalam kitab.43

Metode manhaji adalah suatu cara menyelesaikan masalah

keagamaan yang ditempuh lajnah bahtsul masail dengan mengikuti

42

M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 1998), h. 12. 43

Ahmad Munjin Nasih, Lembaga Fatwa Keagamaan di Indonesia, (Telaah Atas

Lembaga Majelis Tarjih dan Lajnah Bahtsul Masail), de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 5,

No. 01, Juni 2013, h. 73.

Page 49: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

39

jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam

mazhab. Metode manhaji merupakan alternatif apabila metode qauli

tidak bisa dipakai untuk menjawab persoalan yang dibahas. Yang

dimaksud metode ini adalah istinbath jama‟i.44

Istinbath jama‟i adalah upaya secara kolektif untuk

mengeluarkan hukum syara‟ dari dalilnya yang akan dijadikan dasar

dengan melalui qawa‟id ushuliyah. Syarat yang melekat yang harus

dimiliki oleh ulama yang melakukan istinbath jama‟i antara lain;

memahami secara benar tentang suatu kasus (tashawwur al-masalah)

terhadap masalah yang akan ditetapkan hukumnya, mampu mencari

dalil yang akan dijadikan dasar penetapan hukum (istidlal), mampu

menerapkan dalil terhadap masalah dengan kayfiyah al-istidlal (metode

pengambilan hukum) dan kemudian mampu menetapkan hukum atas

masalah yang dibahas.45

c. Dewan Hisbah Persatuan Islam

Persis merupakan organisasi sosial Islam yang berdiri 12

September 1923, mengajak untuk memajukan Islam dengan landasan

Al-Qur‟an dan sunah Nabi. Mereka menganggap bahwa organisasinya

sebagai genre baru ulama yang perjuangannya ditujukan untuk

membersihkan agama dari bid‟ah dan mengadaptasikan prinsip-prinsip

agama dengan kondisi-kondisi kontemporer.46

Metode istinbath hukum yang digunakan yaitu, kaidah

ushuliyah (kebahasaan), tujuan umum perundangan Islam dan cara

menyelesaikan nash yang terlihat bertentangan. Mekanisme ijtihad

yang ditempuh oleh dewan hisbah persis yaitu: mencari keterangan

dari Al-Qur‟an, jika ada perbedaan pemahaman dan penafsiran maka

diadakan thoriqot al-jam‟i, bila tidak terdapat dalil dari Al-Qur‟an

44

Ibid, h. 74. 45

Fatkhul Mujib, Perkembangan Fatwa di Indonesia, h. 107. 46

Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim, Pencarian dan Pergulatan Persis di

Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957), Cet. I, diterjemahkan oleh Ruslan dan

Kurniawan Abdullah, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 112-116.

Page 50: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

40

maka diadakan penelitian tentang Hadits, jika tidak ada di sunah maka

dengan atsar sahabat.47

d. Komisi Fatwa MUI

Secara kelembagaan, Komisi Fatwa MUI adalah perangkat

organisasi yang dimiliki MUI dengan tugas utama untuk menelaah,

membahas dan merumuskan masalah fatwa keagamaan. Kelembagaan

Komisi Fatwa MUI ini bersifat permanen. Keberadaannya bersamaan

dengan berdirinya MUI pada tahun 1975.48

Metode ijtihad MUI menggunakan sistem fatwa yang

ditetapkan dalam sidang komisi fatwa, musyawarah nasional MUI, dan

fatwa ijtima‟ ulama komisi fatwa MUI se-Indonesia. Kewenangan dan

wilayah fatwa MUI dalam bab VI berdasarkan prosedur fatwa MUI

tahun 2003 antara lain: MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai

masalah-masalah keagamaan secara umum, terutama masalah hukum

fiqh dan masalah aqidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian

keimanan umat Islam Indonesia. Pedoman prosedur fatwa adalah

sebagai berikut:

1) Dasar penetapan umum fatwa meliputi; Aktivitas penetapan

Fatwa dilakukan secara kolektif oleh lembaga Komisi fatwa

MUI, Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif dan

antisipatif,

2) Dasar-dasar (dalil) Fatwa; Al-Qur‟an, Sunnah, Ijma, Qiyas dan

dalil-dalil lain yang mu‟tabar.

Proses dan prosedur fatwa dilakukan dengan metode

penetapan fatwa: Masalah yang sudah jelas hukumnya akan

difatwakan sesuai dengan apa adanya. Sedangkan masalah-masalah

yang khilafiyah dikalangan mazhab fiqh, diselesaikan dengan jalan

diusahakan melalui metode al-jam‟u wa al-talfiq, yaitu usaha titik

47

Fatkhul Mujib, Perkembangan Fatwa di Indonesia, h. 108. 48

M. Arorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,

Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa, (Jakarta: Erlangga, 2016), h. 85.

Page 51: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

41

temu dan apabila tidak dapat diselesaikan dengan metode talfiq maka

perbedaan dapat diusahakan dengan penyelesaian muqaranah, atau

perbandingan dasar pendapat (comperative legal opinion). Penetapan

fatwa didasarkan pada hasil tarjih yang dianggap lebih kuat melalui

kaidah-kaidah dan Ushul Fiqh sebagai parameter tarjih.49

49

Tim Penyusun, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2015), h. 5-6.

Page 52: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

42

BAB III

MAJELIS ULAMA INDONESIA

A. Profil Singkat Majelis Ulama Indonesia

1. Sejarah Berdirinya Majelis Ulama Indonesia

Majelis Ulama Indonesia (MUI) hadir ke pentas sejarah ketika

bangsa Indonesia tengah berada di fase kebangkitan kembali, setelah

selama tiga puluh tahun sejak kemerdekaan energi bangsa terserap dalam

perjuangan politik, baik dalam negri maupun dalam forum internasional,

sehingga kurang mempunyai kesempatan untuk membangun menjadi

bangsa yang maju dan berakhlak mulia.1

Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan di Jakarta pada tanggal

17 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 Masehi

dalam petemuan alim ulama yang dihadiri oleh Majelis Ulama Daerah dari

dua puluh enam provinsi di Indonesia saat itu provinsi, Pembina

kerohanian dari empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Udara,

Angkatan Laut, dan POLRI), beberapa tokoh Islam yang hadir sebagi

pribadi, serta Pimpinan Ormas Islam tingkat Nasional.2

Adapun kesepuluh Ormas Islam yang hadir dalam konferensi

tersebut adalah KH. Moh. Dahlan dari Nahdhatul Ulama (NU), Ir. H. Basit

Wahid dari Muhammadiyah, H. Syafi’I Wira Kusumah dari Syarikat Islam,

H Nurhasan dan Ibnu Hajar dari Perti, Anas Tanjung dari Al-Wasliyah,

KH. Saleh Su’aidi dari Mathlaul Anwar, KH. S Qudratullah dari GUPP, H.

1 Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia Edisi Revisi 2011

Hasil Rakernas MUI Tahun 2011, (Diterbitkan oleh Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Pusat,

2011), h. 4.

2 Profil Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Sumatra Utara, (Dewan Pimpinan Majelis

Ulama Indonesia Sumatra Utara, 2006), h. 1.

Page 53: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

43

Sukarsono dari PTDI, KH. Hasim Adnan dari DMI, H. Zaenal Arifin

Abbas dari al-Ittihadiyah.3

Pertemuan alim ulama yang melahirkan MUI tersebut ditetapkan

sebagai Munas (Musyawarah Nasional) MUI Pertama. Musyawarah ini

diselenggarakan oleh sebuah panitia yang diangkat oleh Menteri Agama

dengan Surat Keputusan No.28 tanggal 1 Juli 1975, yang diketuai oleh

Letjen. Purn. H Soedirman dn Tim Penasehat yang terdiri dari Prof. Dr.

Hamka, KH. Abdullah Syade’I, dan KH. M Syukri Ghazali.4

Namun demikian, sebelum adanya MUI Pusat, terlebih dahulu

daerah-daerah telah terbentuk Majelis Ulama, termasuk Majelis Ulama

Indonesia Provinsi Sumatra Utara yang berdiri tanggal 11 Januari 1975

Masehi bertepatan dengan 28 Zulhijjah 1394 Hijriah.5

Sebelum MUI diresmikan, telah muncul beberapa kali pertemuan

yang melibatkan para ulama dan tokoh-tokoh Islam. Pertemuan tersebut

gagasan akan pentingnya suatu majelis ulama yang mejalankan fungsi

ijtihad kolektif dan memberikan masukan serta nasehat keagamaan kepada

pemerintah dan masyarakat. Pertemuan-pertemuan itu diantaranya, pada

tanggal 30 September 1970 Pusat Dakwah Islam menyelenggarakan

sebuah konferensi untuk membuat sebuah majelis ulama yang berfungsi

untuk memberikan fatwa.6

Kemudian pada tahun 1974 Pusat Dakwah Islam kembali

menyelenggarakan konferensi untuk para da’i. Konferensi tersebut

menghasilkan suatu kesimpulan bahwa pentingnya pendirian majelis

ulama dan merekomendasikan para ulama tingkat provinsi untuk

3 20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 1995), h.16-17.

4M. Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia “Sebuah Studi Tentang

Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988”, (Jakarta: INIS, 1993), h. 63.

5 Profil Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Sumatra Utara, h. 2.

6 M. Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 54.

Page 54: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

44

mendirikan sebuah majelis ulama. Selain itu, dipihak pemerintah pada

tanggal 24 Mei 1975, presiden Soeharto menyatakan dengan menekankan

akan pentingnya sebuah majelis ulama setelah menerima kunjungan dari

Dewan Masjid Indonesia.

Akhirnya pada tanggal 21-27 Juli 1975 digelarlah sebuah

konferensi ulama nasional, yang menghasilkan sebuah deklarasi yang

ditandatangani oleh lipa puluh tiga peserta yang hadir, deklarasi tersebut

menyatakan berdirinya sebuah organisasi atau perkumpulan para ulama

dengan sebutan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Peristiwa lahirnya MUI

diabadikan dalam bentuk penandatanganan piagam berdirinya MUI yang

ditandatangani oleh 53 orang ulama terdiri dari 26 orang ketua Majelis

Ulama tingkat Provinsi se-Indonesia, 10 orang ulama dari unsur ormas

Islam tingkat pusat, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam Angkatan

Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian, serta 13 orang

ulama yang hadir sebagai pribadi.7

Lahirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak terlepas dari faktor

interen dan eksteren. Faktor interen adalah kondisi umat Islam dan bangsa

Indonesia seperti rendahnya pemahaman dan pendalaman agama. Lebih

dari pada itu, kemajemukan dan keragaman umat Islam dalam alam

pikiran keagamaan umat Islam, organisasi sosial, dan kecenderungan

aliran dan aspirasi politik selain dapat merupakan kekuatan, tetapi sering

menjelma menjadi kelemahan dan sumber pertentangan dikalangan umat

Islam sendiri.8

Sedangkan faktor eksteren adalah suasana yang sering

mengitari umat Islam dan bangsa Indonesia yang menghadapi tantangan

global yang sangat berat.9

7 Tim Penyusun, Gambaran Umum Organisasi MUI dalam Pedoman penyelenggaraan

Organisasi MUI, (Jakarta: Sekretariat MUI, 2002), h. 7.

8 Profil Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Sumatra Utara, h. 8.

9 Ibid, h. 9.

Page 55: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

45

Beberapa alasan atau latar belakang berdirinya Majelis Ulama

Indonesia (MUI) antara lain adalah:

a. Di berbagai Negara, terutama Asia Tenggara, ketika itu telah

dibentuk Dewan Ulama atau Mufti selaku penasehat tertinggi

dibidang keagamaan yang memiliki peran tertinggi.

b. Sebagai lembaga atau “alamat” yang mewakili umat Islam

Indonesia kalau ada pertemuan-pertemuan ulama Internasional,

atau ada tamu dari luar negri yang ingin bertukar pikiran dengan

ulama Indonesia.

c. Untuk membantu pemerintah dalam memberikan pertimbangan

keagamaan dalam pelaksanaan pembangunan, serta sebagai

jembatan penghubung dan penterjemah komunikasi antar ulama

dan umat Islam.

d. Sebagai wadah pertemuan, dan silarahim para ulama seluruh

Indonesia untuk mewujudkan ukhuwah Islamiah.

e. Sebagai wadah musyawarah bagi para ulama, zuama dan

cendekiawan muslim Indonesia untuk membicarakan permasalahan

umat.

Pada Munas (Musyawarah Nasional) MUI Pertama,terpilih Prof.

Buya Hamka untuk periode 1975-1981. Pada awalnya Buya Hamka

menolak pendirian sebuah majelis namun kemudian terpilih sebagai ketua

umum dengan memberikan alasan atas penerimaan jabatannya MUI

diantaranya; pertama, umat Islam harus bekerjasama dengan pemerintah

Soeharto, sebab pemerintah Soeharto anti-komunis. Kedua, pendirian MUI

harus bisa meningkatkan hubungan antara pemerintah dan umat Islam.10

10

Rusjdi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas,

1981), h. 68.

Page 56: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

46

Pada tahun 1981, Buya Hamka mengundurkan diri dari jabatan

Ketua Umum MUI dan digantikan oleh K.H. Syukri Ghazali yaitu seorang

Kyai dari kalangan NU yang lahir tahun 1906. Beliau terkenal dengan

keramahan dan keluasan ilmu syari’ahnya. Beliau memimpin MUI selama

tiga tahun, dan meninggal pada tahun 1984 ketika masih menjabat Ketua

Umum. Selama beliau menjabat telah dilakukan penyempurnaan pedoman

dasar dan pedoman rumah tangga MUI, dan penyelenggaraan Munas

Utama tentang kependudukan, kesehatan, lingkungan hidup, dan keluarga

berencana yang menghasilkan fatwa tentang haramnya praktek aborsi serta

vesektomi dan tubektomi.11

Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali

musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian ketua

umum. Urutan dari sejak dibentuknya MUI hingga sekarang, yaitu: Prof.

Dr. Buya Hamka (1975-1981), K.H. Syukri Ghozali (1981-1983), K.H.

Hasan Basri (1983-1990), Dr. K.H. Muhammad Ali Yafie (1990-2000), Dr.

K.H. M. Sahal Mahfudz (2000-2014), Prof. Dr. H. Muhammad Din

Syamsuddin, MA (2014-2015) dan Prof. Dr. K.H. Ma’ruf Amin (2015-

sekarang).12

2. Visi-Misi Majelis Ulama Indonesia

Sebagaimana tercantum pedoman penyelenggaraan organisasi, visi

organisasi MUI adalah tercapainya kondisi kehidupan kemasyarakatan,

kebangsaan, dan kenegaraan yang baik sebagai hasil penggalangan potensi

dan partisipasi umat Islam melalui aktualisasi potensi ulama’, zuama’, dan

cendekiawan muslim untuk kejayaan Islam dan umat Islam guna

terwujudnya Islam yang penuh rahmat ditengah kehidupan umatmanusia

dan msyarakat Indonesia khususnya.

11

20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, h. 27-28.

12 Lihat website resmi MUI, https://mui.or.id/sejarah-mui/, diakses pukul 16.40 WIB

tanggal 29 september 2019.

Page 57: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

47

Sementara misi yang diemban MUI adalah menggerakkan

kepemimpinan dan kelembagaan yang dinamis dan efektif sehingga

mampu mengawal umat Islam dalam melaksanakan Aqidah Islamiyyah,

membimbing mereka dalam menjalankan ibadah, menuntun mereka dalam

mengembankan muamalat, menjadi panutan mereka dalam

mengembankan akhlakul karimah.13

Dalam hasil munas MUI VII tahun 2005 dijelaskan tiga misi MUI

diantaranya:

a. Menggerakkan kepemimpinan kelembagaan umat secara efektif

dengan menjadikan ulama sebagai panutan (uswah hasanah),

sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam

menanamkan dan memupuk aqidah Islamiyah, serta

menjalankansyari’ah islamiyyah.

b. Melaksanakan dakwah Islam, amar makruf nahyi munkar dalam

mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyarakat

berkualitas dalam berbagai aspek kehidupan.

c. Mengembangkan Ukhuwah Islamiyah dan kebersamaan

mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia

MUI mempunyai tugas dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat,

baik kepada pemerintah maupun kepada kaum muslimin (baik secara

kelompok atau individu) mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan

13

Anwar Abbas, dkk, Pedoman penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia,

(Majelis Ulama Indonesia, 2010), h. 7.

Page 58: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

48

dengan keagamaan khususnya dan semua masalah yang dihadapi bangsa

umumnya.14

Penyusunan dan pengeluaran fatwa-fatwa dilakukan oleh Komisi

Fatwa MUI. Komisi ini diberi tugas untuk merundingkan dan

mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang

dihadapi masyarakat. Persidangan-persidangan Komisi Fatwa dilakukan

menurut keperluan atau bila MUI telah dimintai pendapatnya oleh umum

atau oleh pemerintah mengenai persoalan-persoalan tertentu dalam hukum

Islam.

Fatwa-fatwa itu sendiri adalah berupa pernyataan pernyataan,

diumumkan baik oleh komisi fatwa sendiri atau oleh MUI. Bentuk lahiriah

fatwa selalu sama, dimulai dengan keterangan bahwa komisi telah

mengadakan sidang pada tanggal tertentu berkenaan dengan adanya

pertanyaan yang telah diajukan oleh orang-orang atau badan-badan

tertentu. Kemudian dilanjutkan dengan dalil-dalil yang digunakan sebagai

dasar pembuatan fatwa.15

Keberadaan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dipandang

sangat penting bagi kehidupan beragama khususnya bagi umat Islam di

Indonesia. Dapat dikatakan menurut Ma’ruf Amien bahwa ruh dari

lembaga MUI itu adalah pada komisi fatwa itu sendiri. Komisi fatwa dan

komisi-komisi lain yang ada di MUI, diharapkan senantiasa berkordinasi

dalam mematuhi fenomena dan kondisi masyarakat yang terus

berkembang, sehingga segala macam bentuk keresahan, keraguan

membuat masyarakat bingung dan jika tidak dicari solusi dan jalan

pemecahannya dikhawatirkan akan timbul perpecahan, perselisihan

dikalangan masyarakat yang dampaknya kekuatan Islam menjadi lemah.

14

Tim penyusun, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Perspektif Hukum

dan Perundang-undangan, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat

Kementrian Agama RI, 2012), h. 44.

15 M. Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 53.

Page 59: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

49

MUI sebagai wadah pengkhidmatan ulama kepada umat Islam di

Indonesia, mempunyai beberafa fungsi dan tugas yang harus diemban.

Salah satu fungsi dan tugas adalah memberi fatwa keagamaan di

Indonesia. Fatwa sangat dibutuhkan oleh umat Islam yang tidak

mempunyai kemampuan untuk menggali hukum langsung dari sumbernya,

karena fatwa membuat penjelasan tentang kewajiban-kewajiban agama

(Faraidl), batasan-batasan (hudud), serta menyatakan tentang haram atau

halalnya sesuatu.16

4. Fatwa MUI Tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran

Pada tanggal 26 Mei - 1 Juni tahun 1980 Masehi bertepatan dengan

tanggal 11-17 Rajab tahun 1400 Hijriah, Majelis Ulama Indonesia

mengadakan Musyawarah Nasional yang kedua kalinya, memberikan

suatu penetapan fatwanya tentang perkawinan campuran. Yang dimaksud

perkawinan campuran oleh MUI adalah perkawinan yang berbeda

keyakinan. Adapun posita (dalil-dalil) yang dirujuk oleh MUI mengenai

perkawinan campuran sebagai berikut:

a. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221 menjelaskan

tentang larangan kawinan dengan orang musyrik:

ل ت أعجبتكم, ل ش مه مششكت لمت مؤمىت خ ل تىكحا المششكبث حتى ؤمه, ىكحا

ن إل أعجبكم, ألئك ذع ل ش مه مششك لعبذ مؤمه خ ه حتى ؤمىا, ى الىبس المششك

ن )ال ش م تزك للىبس لعل به ءابت المغفشة بئرو للا ذع إلى الجىت (332بشة

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik

dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah

kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita

mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min

lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka

mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan

dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-

perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil

pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221).

16

Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. 21.

Page 60: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

50

Dalam surat Al-Maidah ayat 5 mengenai perkawinan dengan

wanita ahli kitab:

تم ه أتا الكتبة مه قبلكم إرا آت المحصىبث مه الز المحصىبث مه المؤمىبث ه ...

ل متخزي أخذان ه ش مسبفح ه غ أجسه محصى مبن فذ حبط عمل مه كفش ببإل

ه )المبئذة خشة مه الخبسش (5ف ا

“...(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga

kehormatan di antara wanita yang beriman dan wanita-wanita yang

menjaga kehormatan di antara wanita yang diberi al-kitab (ahlu kitab)

sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan

maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)

menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah

beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal-

amalnya dan ia di akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-

Maidah: 5).

Kemudian dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 yang

menjelaskan tentang larangan kawin dengan orang kafir:

ن له لم حل فئن علمتمه مؤمىبث فل تشجعه إلى الكفبس له حل لم

(21)الممتحىت

“... Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-

benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada

(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mu’min)

tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada

halal bagi mereka...” (QS. Al-Mumtahanah: 10).

Serta dalam surat At-Tahrim ayat 6 menegaskan tentang

pemeliharaan diri dan keluarga dari api neraka:

م كم وبسا )التحش ل أ ب الزه آمىا قا أوفسكم (6ب أ

“Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu

dari api neraka...” (QS. At-Tahrim: 6).

b. Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh imam

Tabrani menjelaskan :

Page 61: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

51

مبن فلتق للا فى الىصف الببقى )ساي الطبشاوى( ج فذ استكمل وصف ال مه تز

“Barangsiapa telah kawin, ia telah memelihara setengah

bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia taqwa kepada Allah

dalam bagian yang lain” (HR. Tabrani).

Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Aswad

bin Sura’i:

شاو ىص داو اي ة عى لسبو, فأب لذ على الفطشة حتى عش د ل كل م سبو مج

)ساي السد به السشاعى(

“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia

menyatakan oleh lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang

menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR.

Aswad bin Sura’i).

Dari dalil-dalil yang telah dipaparkan di atas, MUI

menfatwakan sebagai berikut:

Pertama, perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki

non muslim adalah haram hukumnya.

Kedua, seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini

wanita bukan muslim. Tentang perkawinan antara laki-laki muslim

dengan wanita ahlu kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah

mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar daripada

maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia menfatwakan perkawinan

tersebut hukumnya haram.17

Dari uraian fatwa MUI Pusat tahun 1980 mengenai

perkawinan campuran, menerangkan bahwa perkawinan ini dilakukan

oleh orang-orang yang berbeda dari status agamanya yang disoroti

oleh MUI dan memberikan suatu hukum haram bagi kaum muslim

melaksanakan perkawinan tersebut.

17 Tim Penyusun, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2015), h. 51.

Page 62: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

52

BAB IV

ANALISIS YURIDIS FATWA MUI TAHUN 1980 TENTANG

PERKAWINAN CAMPURAN

Perkawinan sebagai institusi sosial yang sangat kompleks dengan

kontroversi seperti institusi lainnya yang berpengaruh dan sama-sama disoroti

kaitannya mengenai keadilan dan menegakkan kedaulatan bagi para pihak yang

berkepentingan. Tak dapat dipungkiri, banyak peraturan yang berkembang dan

tampak juga peraturan yang tak berfungsi serta menjadi hal yang menuai pro dan

kontra.

Misalnya aturan tentang perkawinan campuran yang masih menjadi

polemik dan masih berselisihan hingga saat ini. Namun ada lagi yang menjadi

kontroversi yaitu munculnya fatwa perkawinan campuran yang ditetapkan oleh

lembaga yang berkompeten menegaskan bahwa perkawinan beda agama

dimaksud juga sebagai perkawinan campuran. Berikut beberapa cara penyelesaian

problem perkawinan campuran menurut aturan yang berlaku.

A. Alasan Fatwa MUI Pusat Tahun 1980 Tentang Perkawinan

Campuran Sebagai Perkawinan Beda Agama

Sebelum Indonesia merdeka istilah perkawinan campuran pada masa

jajahan kolonial Belanda terdapat sebuah peraturan yang dinamakan staatblad

tahun 1898 yang menyatakan bahwa maksud dari perkawinan campuran

adalah perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum

yang berlainan.1

Mengenai pemahaman hukum yang berlainan ini, para pakar hukum

berbeda pendapat dalam hal kaitannya dengan perkawinan campuran itu. Ada

1 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.

243.

Page 63: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

53

yang menafsirkan perkawinan antar pemeluk agama dan ada yang

mengartikannya berlainan daerah asal atau tempat.2

Dari penjelasan ini MUI Pusat dalam fatwa tahun 1980 tentang

Perkawinan Campuran memahaminya dari perbedaan antar pemeluk agama.

Di mana isi dari fatwa tersebut menjelaskan ketidakbolehan laki-laki muslim

menikah dengan perempuan non muslim maupun sebaliknya dan juga

menerangkan hukum pernikahan dengan ahli kitab.

Pada saat wawancara dengan Bapak Hasanuddin selaku narasumber,

alasan mengapa MUI Pusat menetapkan suatu fatwa terkait dengan

perkawinan campuran adalah perkawinan yang berbeda antar pemeluk agama

pada tahun 1980, karena sejak dilahirkannya Undang-Undang Perkawinan

tahun 1974, terdapat sebuah wacana dari pihak non muslim yang

menginginkan agar perkawinan beda agama jangan dilarang atau dibolehkan

untuk dilakukan.

Berdasarkan alasan hak asasi manusia untuk menikah beda agama,

karena mengenai perkawinan baik antara muslim dengan non muslim ada

yang mengatakan tidak menjadi permasalahan. Artinya selama masih satu

akidah yang meyakini Tuhan Yang Maha Esa walaupun secara syariat saja

yang berbeda.

Itulah yang diharapkan pihak non muslim agar diperbolehkannya

menikah beda agama. Namun MUI Pusat merespon terkait permasalahan

tersebut dan mengeluarkan fatwanya di tahun 1980 tentang Perkawinan

Campuran yang dimaksud adalah perkawinan beda agama yaitu secara

hukumnya haram untuk melakukan perkawinan antara muslim dengan non

muslim.3

2 Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 2.

3 Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. H. Maulana Hasanuddin M.Ag, selaku Wakil

Ketua Komisi Fatwa MUI pada tanggal 13 Januari 2020 pukul 11.38 WIB.

Page 64: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

54

Menurut Bapak Zafrullah Salim selaku anggota Komisi Fatwa pun

menambahkan responnya mengenai perkawinan campuran yang dimensinya

hanya berbeda keyakinan pada orangnya. Karena yang dimaksud Undang-

Undang Perkawinan, bahwa perkawinan campuran masih mempunyai

kekurangan penjelasan di dalam pasal 57 yang masih belum menjelaskan,

apakah beda kewarganegaraan itu orangnya juga memeluk keyakinan yang

berbeda.

Maka dari itu, beliau memberikan penjelasan kaitannya fatwa tentang

Perkawinan Campuran yang dimaksud adalah perkawinan yang orangnya

memiliki perbedaan keyakinan hukumnya adalah haram. Sedangkan apabila

orangnya tidak berbeda keyakinan atau masih satu keyakinan dan berbeda

kewarganegaraan juga, itu tidak akan menjadi suatu permasalahan yang

dibahas oleh MUI Pusat.4

Dari hukum syariah istilah mengenai perkawinan campuran yang disini

hanya berbeda kewarganegaraan, tidak akan menjadi suatu permasalahan.

Karena dalam Al-Qur’an dan hadis tidak ada pembahasan mengenai

perkawinan berbeda kewarganegaraan. Akan tetapi ketika perbedaannya itu

adalah keyakinan atau kerap disebut perkawinan beda agama, para ulama

sepakat untuk membahas permasalahan soal perkawinan tersebut.5

Dari sini dapat dilihat bahwa walaupun Undang-Undang Perkawinan

telah mengaturnya kembali secara khusus terhadap perkawinan campuran

yang berbeda hanya pada kewarganegaraan saja serta mengugurkan

berlakunya atau tidak berlaku kembali peraturan-peraturan mengenai

perkawinan setelah Undang-Undang Perkawinan dilahirkan di dalam pasal 66

yang menyatakan bahwa;

4 Hasil Wawancara dengan Bapak H. Zafrullah Salim, M.Hum, selaku Anggota Komisi

Fatwa MUI pada tanggal 9 Oktober 2019 pukul 12.28. 5 M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqih Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,

1991), h. 127.

Page 65: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

55

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan

perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang

diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek),

Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Indonesia

1933 No.73), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Huwelijken

S.1898 No.158), dan Peraturan-Peraturan lain yang mengatur tentang

perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak

berlaku”.

Akan tetapi masyarakat masih menganggap bahwa perkawinan beda

agama masih diperbolehkan dengan alasan karena perkawinan antar pemeluk

sama dengan perkawinan campuran yang dilegalkan di Indonesia. Adapun

dalil-dalil yang tertuang di dalam fatwa MUI yaitu sebagai berikut;

نحا الوششمبد حتى ؤهي ل ت ي نحا الوششم ل ت أعججتنن, ل ش هي هششمخ لهخ هؤهخ خ ,

للا ى إلى البس أعججنن, ألئل ذع ل ش هي هششك لعجذ هؤهي خ ذع إلى الجخ حتى ؤها,

ى ش ن تزم للبس لعل جي ءابت الوغفشح ثئر

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka

beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita

musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan

orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka

beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik

walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah

mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan

ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka

mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221).

ي أتا النتب الوحصبد هي الز الوحصبد هي الوؤهبد توي أجسي ... ة هي قجلنن إرا آت

ف وبى فقذ حجط عول هي نفش ثبإل ل هتخزي أخذاى ي ش هسبفح ي غ خشح هي هحص ا

ي الخبسش

“... (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga

kehormatan di antara wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga

kehormatan di antara wanita yang diberi al-kitab (ahlu kitab) sebelum kamu,

bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya,

tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.

Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum

Page 66: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

56

Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di akhirat termasuk orang-orang

merugi.” (QS. Al-Maidah: 5).

ى ليفئى علوتوي هؤهبد لن حل فل تشجعي إلى النفبس لي حل لن

“... Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)

beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami

mereka) orang-orang kafir. Mereka (wanita mu’min) tiada halal bagi orang-

orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka ...” (QS. Al-

Mumtahanah: 10).

نن بسا ل أ فسنن ب الزي آها قا أ ب أ

“Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari

api neraka...” (QS. At-Tahrim: 6).

Selain Al-Qur’an, juga dalam hadits Rasulullah SAW, menerangkan:

وبى فلتق للا فى الصف الجبقى )سا الطجشاى( ج فقذ استنول صف ال هي تز

“Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara setengah dari

imannya, karena itu, hendaklah ia takwa kepada Allah dan bagian yang lain”

(H.R. A-Tabrani).

Adapun hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aswad bin Sura’i,

لسب, ة ع لذ على الفطشح حتى عش د ل )سا السد مل ه سب وج شا ص دا ا فأث

ثي السشاعى(

“Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci sehingga ia

menyatakan dengan lidahnya sendiri. Maka, ibu bapaknyalah yang

menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani dan Majusi”.6

MUI Pusat memperkuat argumennya yang mengharamkan menikah

dengan ahli kitab lewat metode muqaranah (perbandingan) didasarkan pada

hasil tarjih dengan landasan surat Al-Bayyinah ayat 1:

الوشش ل النتت ا هي ا ي مفش خ لن ني الز ي حتى تأتن الج فن ي ه م

6 Mahmudin Bunyamin, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2017), h.

171.

Page 67: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

57

“Orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang

musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada

mereka bukti yang nyata”. (QS. Al-Bayyinah: 1).

Dari penjelasan ayat tersebut mengenai ahli kitab, MUI Pusat

memberikan pengakuan bahwa ahli kitab dipersamakan sebagai orang kafir.

Kategori kafir itu ada 2, yaitu dari golongan ahli kitab yang mempertuhankan

nabi Isa dan orang-orang musyrik yang menyembah berhala. Sesuai dasar

surat Al-Bayyinah ayat 1 ini, MUI Pusat memberikan hukum haram menikahi

wanita ahli kitab di masa sekarang.7

MUI Pusat juga mempertimbangkan terhadap pengharaman menikahi

wanita ahli kitab, dikhawatikan akan terjadi intervensi marriage terhadap

kedua pasangan yang berbeda keyakinan, maka pegangan yang digunakan

dalam kaidah ushul fikih yaitu:

دسع الوفبسذ هقذم على جلت الوصبلح

“Meninggalkan suatu kerusakan lebih didahulukan dari pada

mendapat suatu kemaslahatan baru”

Oleh sebab itu, MUI Pusat mencegah adanya kemudharatan yang akan

terjadi apabila perkawinan dengan ahli kitab dilakukan, maka memberikan

hukum haram sebagai solusi yang konkrit dan bisa dijadikan sandaran bagi

masyarakat khususnya umat Islam di Indonesia.8

B. Sejarah fatwa MUI Pusat tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran

Sebelum memasuki penjelasan mengenai perkawinan campuran yang

ditetapkan oleh MUI Pusat di konferensi Musyawarah Nasional yang kedua,

peneliti mencoba menguraikan beberapa penjelasan sebelum konferensi

tersebut. Terdapat faktor interen dan eksteren yang bermunculan di tengah-

tengah masyarakat saat itu.

7 Hasil wawancara dengan Bapak H. Zafrullah Salim, M.Hum.

8 Ibid.

Page 68: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

58

Faktor interen adalah kondisi umat Islam dan bangsa Indonesia seperti

rendahnya pemahaman dan pendalaman agama. Lebih dari pada itu,

kemajemukan dan keragaman umat Islam dalam alam pikiran keagamaan

umat Islam, organisasi sosial, dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik

selain dapat merupakan kekuatan, tetapi sering menjelma menjadi kelemahan

dan sumber pertentangan dikalangan umat Islam sendiri.9 Sedangkan faktor

eksteren adalah suasana yang sering mengitari umat Islam dan bangsa

Indonesia yang menghadapi tantangan global yang sangat berat.10

Atas dasar itu, MUI berdiri untuk memberikan pemahaman kepada

umat Islam di Indonesia sebagai lembaga yang berfungsi sebagai ijtihad

kolektif dan memberikan masukan serta nasehat kepada pemerintah dan

masyarakat.11

Untuk itu, diperlukan suatu badan atau lembaga yang mampu

menjawab suatu masalah kaitannya dengan persoalan agama.

Mulailah MUI lahir pada Musyawarah Nasional pertama kali.

Musyawarah ini diselenggarakan oleh sebuah panitia yang diangkat oleh

Menteri Agama dengan Surat Keputusan No. 28 tanggal 1 Juli 1975, yang

diketuai oleh Letjen. Purn. H Soedirman dn Tim Penasehat yang terdiri dari

Prof. Dr. Hamka, KH. Abdullah Syade’I, dan KH. M Syukri Ghazali.12

Sebelum MUI lahir, terlebih dahulu daerah-daerah telah terbentuk

Majelis Ulama, termasuk Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara yang

berdiri tanggal 11 Januari 1975 Masehi bertepatan dengan 28 Zulhijjah 1394

Hijriah.13

Bersamaan dengan lahirnya Majelis Ulama Indonesia, lahir pula

Komisi Fatwa. Komisi ini termasuk salah satu komisi yang mendapat

9 Profil Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Sumatra Utara, (Dewan Pimpinan Majelis

Ulama Indonesia Sumatra Utara, 2006), h. 8. 10

Ibid, h. 9. 11

M. Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia “Sebuah Studi Tentang

Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988”, (Jakarta: INIS, 1993), h. 54. 12

Ibid, h. 63. 13

Profil Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Sumatra Utara, h. 2.

Page 69: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

59

perhatian khusus karena masyarakat sangat memerlukan nasehat keagamaan

agar perubahan sosial yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan,

teknologi dan pembangunan tidak menjadikan masyarakat, bangsa dan Negara

Indonesia menyimpang dari kehidupan yang religius.

Namun setelah lahirnya MUI dan komisi fatwanya terdapat faktor

intern dan eksteren yang masih dirasakan di tengah-tengah masyarakat seperti

banyaknya praktek perkawinan yang dilakukan beberapa umat Islam dengan

pemeluk agama lain.

Masyarakat pada umumnya masih memahami bahwa perkawinan beda

agama sama dengan perkawinan campuran pada tahun 1980. Walaupun

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah menjelaskan

mengenai perkawinan campuran di dalam pasal 57 yaitu perkawinan yang

antara dua pihak masing-masing tunduk pada hukum berlainan, karena

perbedaan kewargangeraannya, artinya perkawinan campuran itu dibolehkan

oleh pemerintah.14

Dari sinilah masyarakat pada masa itu banyak yang melakukan praktek

pernikahan antara muslim dengan non muslim serta meyakini bahwa

perkawinan tersebut itu dipersamakan dengan perkawinan campuran yang

diperbolehkan oleh pemerintah di dalam Undang-Undang Perkawinan.

Misalnya di Yogyakarta, masyarakatnya masih banyak yang tidak

mempermasalahkan apabila melakukan perkawinan beda agama yang penting

bisa rukun antar keduanya. Itulah penegasan yang disampaikan terkait

perkawinan beda agama yang diharapkan oleh masyarakat tersebut.15

Fatwa Perkawinan Campuran sebagai rekomendasi berbentuk surat

pada Musyawarah Nasional yang kedua, ini bentuk keresahan MUI Pusat

merespon terhadap persoalan yang terjadi pada masyarakat menurut fakta dan

kejadian di tengah-tengah pergaulan sehari-hari yang begitu banyaknya

14

Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. H. Maulana Hasanuddin M.Ag. 15

Ibid.

Page 70: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

60

perkawinan campuran, baik karena diawali dengan pacaran, mungkin juga

karena ada kesulitan faktor ekonomi atau karena terjadi dukhul terlebih dahulu

yang kemudian perempuan dipaksa untuk menikah dengan laki-laki yang

menzinahinya.16

Begitulah respon dari MUI Pusat dalam menjelaskan

mengenai perkawinan campuran.

Maka dari itu MUI Pusat menetapkan fatwa tentang Perkawinan

Campuran di tahun 1980, karena perkawinan campuran yang berkembang

pada masa itu adalah perkawinan antar pemeluk agama, masyarakat pada

waktu itu masih beranggapan perkawinan beda agama diartikan juga dengan

perkawinan campuran. Artinya faham fatwa MUI Pusat mengenai perkawinan

campuran melihat dari ayat yang dipakai itu adalah ayat musyrikah, ayat

tentang ahli kitab, ayat tentang kafir dan membahas pula ayat tentang

keimanan. Jadi tidak merujuk pada aturan yang menjelaskan perkawinan

campuran yang berbeda kewarganegaraan.17

C. Metode pembuatan fatwa di tahun 1980 dengan pasca tahun 1980

Pada masa awal berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) formulasi

untuk menetapkan fatwa belum sebaik fatwa-fatwa yang ditetapkan sekarang,

ada latar belakangnya, ada mustaftinya (peminta fatwa) yang langsung datang

ke kantor MUI seperti yang peneliti lihat langsung. Akan tetapi walau

formulasi belum sesempurna sekarang, tetap pada masa itu komisi fatwa

selalu mengamati gejala-gejala yang terjadi.18

Sejak itu memang pedoman penetapan belumlah diperlukan seperti

sekarang ini. Karena dahulu Majelis Ulama Indonesia yang telah disampaikan

oleh Pak Hasanuddin, memberikan pemahaman bahwa para tokoh yang masuk

16

Hasil Wawancara dengan Bapak H. Zafrullah Salim, M.Hum. 17

Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. H. Hasanuddin M.Ag. 18

Hasil Wawancara dengan Bapak H. Zafrullah Salim, M.Hum.

Page 71: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

61

jajaran pengurus adalah seorang mufti yang pengetahuannya masih bisa

dipertanggungjawabkan tanpa ada sistematika penulisan.19

Hingga sampai pembuatan fatwa pada tahun 1980 belum mempunyai

pedoman atau acuan yang secara terakomodir menetapkan fatwa. Namun

untuk mewujudkan fatwa di masa itu adalah dengan memperbincangkan

persoalan yang ada di dalam konferensi tahunan para ulama yang

diselenggarakan oleh MUI Pusat.

Konferensi semacam itu mengemukakan persoalan-persoalan yang

memerlukan di buatnya fatwa, dan setelah beberapa persoalan dapat disetujui

serta dilengkapi dalil-dalilnya, kemudian mendaftar dan menyampaikan

persoalan-persoalan itu kepada Komisi Fatwa, yang selanjutnya akan

mengumumkannya dalam bentuk biasa. Dengan demikian para anggota

Komisi Fatwa tidak usah memperbincangkannya, karena persoalan tersebut

telah dirundingkan dalam sidang yang lebih besar atau sering dinamakan

dengan Musyawarah Nasional.20

Adapun pedoman penetapan fatwa MUI diakomodir pertama kali pada

tahun 1986 berdasarkan keputusan Sidang Pengurus Paripurna Majelis Ulama

Indonesia tanggal 7 Jumadil Awwal 1406 H/ 18 Januari 1986 M. Kemudian

pada tahun 1997 menganggap perlu untuk disempurnakan yaitu sesuai

keputusan MUI No. U-596/MUI/X/1997 tentang Pedoman Penetapan Fatwa

MUI memperbaiki kembali pedoman fatwa di tahun 1986.21

Artinya, pada tahun ini ulama merasakan kurangnya suatu fatwa yang

terformat, memandang para tokoh yang diyakini mumpuni atau mampu untuk

berijtihad lagi sudah berkurang. Majelis Ulama Indonesia Pusat memerhatikan

perlu untuk membuat pedoman penetapan fatwa supaya kekuatan dari fatwa

yang dikeluarkan memiliki formulasi.

19

Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. H. Hasanuddin M.Ag. 20

Majelis Ulama Indonesia, Keputusan-Keputusan Musyawarah Nasional ke-II Majelis

Ulama Indonesia, (Jakarta, 1980), h. 65-68 dan 87-89. 21

Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Nomor : U-596/MUI/X/1997.

Page 72: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

62

Selanjutnya pada tahun 98 dan 99 terdapat penyempurnaan kembali

mengenai pedoman penetapan fatwa tahun 1997. Saat itu mengutip pendapat

dari ulama jarang sekali dipakai oleh Majelis Ulama Indonesia Pusat dalam

fatwanya. Mulai tahun 2000an barulah pendapat-pendapat ulama disertakan ke

dalam pedoman.

Kemudian ditetapkan kembali pada tahun 2003 oleh Ijtima Ulama

Komisi Fatwa MUI Pusat. Pedoman ini mulai diatur secara sistematis dan

menjadi bahan suatu revisi yang sebelumnya belum terlalu jelas atau “yang

penting ada” sebelum tahun 2003. Pedoman ini dibuat pun bersamaan dengan

penetapan fatwa tentang Bunga karena ditentukannya lewat hasil Ijtima Ulama

Komisi Fatwa dan Ormas Islam se Indonesia.22

Akan tetapi ternyata tidak berakhir MUI Pusat menyempurnakan

pedomannya pada tahun 2003. Sesuai dengan amanat Musyawarah Nasional

yang ke-VI tahun 2000, Majelis Ulama Indonesia Pusat berupaya untuk

meningkatkan kualitas peran dan kinerja Majelis Ulama Indonesia terutama

dalam memberikan jawaban dan solusi keagamaan terhadap setiap

permasalahan. Hal ini dimaksud untuk dapat memenuhi harapan umat Islam

Indonesia yang semakin kritis dan tinggi kesadaran keberagamaannya.

Sebagai wujud nyata dalam usaha untuk memenuhi harapan tersebut di

atas, Majelis Ulama Indonesia memandang bahwa Pedoman dan Prosedur

Penetapan Fatwa MUI yang ditetapkan melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa

Se-Indonesia melalui Sidang Pleno di Jakarta, tanggal 22 Syawal 1424 H/ 16

Desember 2003 M, dipandang perlu untuk disempurnakan.

Atas dasar itu, Majelis Ulama Indonesia perlu mengeluarkan pedoman

baru yang memadai, cukup sempurna dan transparan terkait pedoman dan

prosedur pemberian jawaban masalah keagamaan, dengan prinsip sistematis

(tafshiliy), argumentatif (berpijak pada dalil syar’i), kontekstual (waqi’iy), dan

aplikatif (tathbiqy) yaitu pada tahun 2012 Keputusan Komisi Fatwa Majelis

22

Hasil Wawancara dengan Bapak Dr. H. Hasanuddin M.Ag.

Page 73: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

63

Ulama Indonesia dengan Nomor: Istimewa/VII/2012 tentang Pedoman

Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.23

Pedoman penetapan di tahun 2012 ini adalah terakhir yang dimiliki

oleh MUI sebagai rujukan untuk pembuatan fatwa, mungkin pedoman ini bisa

disempurnakan kembali apabila terjadi suatu yang dibutuhkan dan dianggap

perlu. Akan tetapi untuk saat ini di dalam menetapkan fatwanya masih

mengikuti atau merujuk kepada pedoman penetapan fatwa tahun 2012 yang

telah dibukukan. Adapun ketentuan-ketentuan yang ada dalam pedoman yaitu:

1. Sebelum fatwa ditetapkan, dilakukan kajian komprehensif terlebih

dahulu guna memperoleh deskripsi utuh tentang obyek masalah

(tashawwur al-masalah), rumusan masalah, termasuk dampak social

keagamaan yang ditimbulkan dan titik kritis dari berbagai aspek

hukum (norma syari’ah) yang berkaitan dengan masalah tersebut.

2. Kajian komprehensif dimaksud mencakup telaah atas pandangan

fuqaha mujtahid masa lalu, pendapat para imam madzhab dan ulama

yang mu’tabar, telaah atas fatwa-fatwa yang terkait, serta pandangan

ahli fikih terkait masalah yang akan difatwakan.

3. Kajian komprehensif antara lain dapat melalui penugasan pembuatan

makalah kepada Anggota Komisi atau ahli yang memiliki kompetensi

di bidang yang terkait dengan masalah yang akan difatwakan.

4. Penetapan fatwa terhadap masalah yang telah jelas hukum dan dalil-

dalilnya (ma’lum min al-din bi al-dlarurah) dilakukan dengan

menyampaikan hukum sebagaimana apa adanya.

5. Penetapan fatwa terhadap masalah yang terjadi perbedaan pendapat

(masail khilafiyah) di kalangan madzhab, maka:

a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha pencapaian titik

temu di antara pendapat-pendapat yang dikemukakan melalui

metode al-jam’u wa al-taufiq;

23

Ma’ruf Amin DKK, Pedoman Penetapan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama

Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2017), h. 5-6.

Page 74: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

64

b. Jika tidak tercapai titik temu antara pendapat-pendapat tersebut,

penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode

muqaranah (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-

kaidah ushul fiqih muqaran.

6. Penetapan fatwa terhadap masalah yang tidak ditemukan pendapat

hukum di kalangan madzhab atau ulama yang mu’tabar, didasarkan

pada ijtihad kolektif melalui metode bayani dan ta’lili (qiyasi,

istihsaniy, ilhaqy, dan sad al-dzaraa’i) serta meode penetapan hukum

(manhaj) yang dipedomani oleh para ulama madzhab.

7. Dalam masalah yang sedang dibahas dalam rapat dan terdapat

perbedaan di kalangan Anggota Komisi, dan tidak tercapai titik temu,

maka penetapan fatwa disampaikan tentang adanya perbedaan

pendapat tersebut disertai dengan penjelasan argument masing-masing,

disertai penjelasan dalam hal pengamalannya, sebaikna mengambil

yang paling hati-hati (ihtiyath) serta sedapat mungkin keluar dari

perbedaan pendapat (al-khuruuj min al-khilaaf).

8. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan otoritas pengaturan

hukum oleh syari’at serta mempertimbangkan kemaslahatan umum

dan maqashid al-syari’ah.24

D. Analisis Peneliti

Dari hasil analisis di atas, peneliti menganggap bahwa penetapan fatwa

MUI pada tahun 1980 tentang Perkawinan Campuran memiliki penjelasan

yang kontradiktif dengan pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Artinya penjelasan perkawinan campuran dari hukum positif adalah karena

alasan perbedaan kewarganegaraan, sedangkangkan perkawinan campuran

yang difatwakan oleh MUI memiliki perberbedaan pada keyakinan masing-

masing yang berkembang pada waktu itu.

24

Pedoman Penetapan Fatwa, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Cet. 7, (Jakarta:

Majelis Ulama Indonesia, 2017), h. 9-10.

Page 75: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

65

Hal ini disebabkan karena adanya pihak yang menginginkan

perkawinan beda agama (beda keyakinan) diperbolehkan seperti perkawinan

campuran yang diperbolehkan menurut pasal 57, Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 tentang Perkawinan.

Alasannya karena pihak non muslim pada masa itu, menginginkan

perkawinan antar pemeluk jangan dilarang oleh Negara. Asalkan keduanya

rukun tak akan menjadi suatu permasalahan bagi kedua belah pihak (Islam

dengan agama lain).

Namun Majelis Ulama Indonesia Pusat resah apabila banyak yang

mempraktekan soal perkawinan beda agama, walaupun harapannya yaitu

rukun dalam istilah sakinah, mawadah dan rahmah, mungkin itu secara

lahiriyah. Akan tetapi secara bathiniyah pasti akan menjadi konflik dan perang

bathin yang dirasakan antara kedua belah pihak yang berbeda keyainan.

Oleh sebab itu, MUI mengeluarkan fatwa perkawinan campuran

karena dalam perkembangan masa dahulu masyarakat memahami bahwa

perkawinan muslim dan non muslim sama dengan perkawinan campuran.

Maka dari itu MUI menetapkan fatwa perkawinan campuran sebagai

perkawinan yang diharamkan karena perbedaan keyakinan.

Selanjutnya mengenai pembuatan fatwa perkawinan campuran tahun

1980, pembahasan perkawinan tersebut dihasilkan pada Musyawarah Nasional

yang kedua, yang tidak memiliki formulasi penetapan fatwanya seperti fatwa-

fatwa pada tahun sekarang. Fatwa perkawinan campuran dihasil dalam diskusi

atau seminar besar yang ada di Musyawarah MUI Pusat, kemudian

mendapatkan keputusan dari Majelis Ulama Indonesia Pusat mengenai hukum

keharaman atas perkawinan campuran. Pada perkembangan zaman dahulu

istilah kawin campur diadopsi dan diaplikasikan sebagai perkawinan beda

agama.

Untuk itu keputusan dari MUI Pusat memberikan kepada Komisi

Fatwa MUI Pusat yang berwenang untuk, menerbitkan atau menetapkan

Page 76: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

66

perkawinan campuran yang dimaksud adalah kawin antar pemeluk haram dan

menjelaskan pula kawin dengan ahli kitab pun hukumnya haram. Walaupun

secara ketentuan di dalam nash baik al-Qur’an dan hadis membolehkan

perkawinan umat Islam dengan ahli kitab. Akan tetapi ahli kitab dijelaskan

oleh MUI Pusat, ahli kitab yang berada di Indonesia tidak memiliki keturunan

langsung dengan para nabi terdahulu yang diberi al-Kitab (seperti Nabi Musa

dan Nabi Isa).

Selanjutnya ahlli kitab di Indonesia dipersamakan atas dasar

penjelesan surat al-Bayyinah ayat 1 yang berbunyi;

خ ي حتى تأتن الج فن ي ه الوششم ل النتت ا هي ا ي مفش لن ني الز

“Orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang

musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada

mereka bukti yang nyata”. (QS. Al-Bayyinah: 1).

Bahwa ahli kitab termasuk bagian dari orang-orang kafir. Kategori

yang di dapat dalam surat al-Bayyinah ini memberikan 2 penjelasan

mengenai kafir, pertama, ahli kitab yang mengakui Nabi Isa sebagai Tuhan

dan yang kedua, orang-orang yang musryrik yang menyembah berhala atau

patung.

Kemudian MUI Pusat juga mempertimbangkan terhadap

pengharaman menikahi wanita ahli kitab, dikhawatikan apabila dilakukannya

pernikahan orang Islam dengan ahli kitab akan terjadi pergulatan bathin antar

keduanya, dalam kaidah ushul fikih yang dirujuk MUI Pusat yaitu:

دسع الوفبسذ هقذم على جلت الوصبلح

“Meninggalkan suatu kerusakan lebih didahulukan dari pada

mendapat suatu kemaslahatan baru”.

Page 77: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

67

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dipaparkan di atas, penulis

menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Perkawinan campuran yang ditetapkan Fatwa MUI tahun 1980 dengan

perkawinan campuran pada pasal 57, Undang-Undang Nomor 1 tahun

1974 tentang Perkawinan berbeda pemahaman. Alasan yang menjadi

pengaruh yaitu karena adanya suatu pihak yang pro atau

menginginkan perkawinan beda agama jangan dilarang. Artinya

menginginkan untuk diperbolehkan melakukan perkawinan tersebut

seperti halnya perkawinan campuran yang dijelaskan Undang-Undang

Perkawinan tahun 1974 yang diperbolehkan. Jadi pihak yang pro

menyamakan status perkawinan beda agama (perkawinan campuran

menurut MUI) dengan perkawinan campuran menurut Undang-

Undang Perkawinan.

2. Perkawinan beda agama dikalangan masyarakat umum pada tahun

1980 masih menganggap perkawinan itu sebagai perkawinan

campuran yang legal untuk dilakukan. Maka dari banyaknya praktek

perkawinan beda agama pada masa itu, MUI Pusat menetapkan hasil

dari perkawinan campuran yang dimaksud perkawinan beda agama

(beda keyakinan) hukumnya adalah haram.

3. Di tahun 1980, pedoman penetapan fatwa belum terakomodir. Pada

saat itu penetapan fatwanya hanya menggunakan konferensi ulama

yang disebut Musyawarah Nasional saja. Barulah pedoman penetapan

fatwa terakomodir pertama kali pada tahun 1986, kemudian ada

penyempurnaan kembali di tahun 1997. Penyempurnaan selanjutnya

dilakukan pada tahun 2003, dan masih berlanjut penyempurnaan

Page 78: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

68

pedoman penetapan fatwa itu dengan rujukan Musyawarah Nasional

yang ke-6 di tahun 2000 karena menurut MUI pedoman di tahun 2003

masih perlu untuk disempurnakan. Akhirnya MUI mengeluarkan

pedoman baru lagi di tahun 2012 yang memadai, cukup sempurna dan

transparan terkait pedoman dan prosedur dengan prinsip sistematis

tafshiliy), argumentatif (berpijak pada dalil syar’i), kontekstual

(waqi’iy), dan aplikatif (tathbiqy).

B. Rekomendasi

Kepada Komisi Fatwa MUI dalam mempertimbangkan suatu fatwa

terutama dalam hukum perkawinan campuran perlulah untuk memerhatikan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan

melakukan antara lain:

1. Mengkaji kembali fatwa MUI tahun 1980 tentang Perkawinan

Campuran dengan mencermati isi penjelasan pasal 57 Undang-

Undang Perkawinan, agar tidak terjadi kontradiktif terhadap substansi

perkawinan campuran antar keduanya.

2. Perlulah untuk menegaskan judul fatwa tersebut dan diubah menjadi

perkawinan beda agama sesuai materi di dalamnya yang menyatakan

haram hukumnya orang-orang muslim menikah dengan orang-orang

non-muslim, guna untuk menyesuaikan kepastian hukum yang relevan

dengan hukum positif yang berlaku agar nantinya masyarakat

memahami dan tidak kebingungan mengenai hal perkawinan

campuran di Indonesia.

Page 79: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

69

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Anwar dkk. Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia, 2010.

Abdurrahman, Asmuni. Manhaj Majelis Tarjih Muhammadiyah Metode dan Aplikasi.

Cet. V. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Cet. 2. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2002.

Ali, Zainuddin. Penelitian Hukum. Cet. III. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Al-Jabry, Abdul Mutaal Muhammad. Perkawinan Campuran Menurut Pandangan

Islam. terjemah dari Achmad Sathori. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988.

Al-Qurtubi. Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an. Juz 6. Mesir: Dar al-Kitab al-Araby

Litthoba’aty Wa Nashr, 1967.

Al-Wahidi. Asbab an-Nuzul. Kairo: Dar al-Ittihad al-Arabi li al-Tab’ah, 1968.

Amin, Ma’ruf. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: eLSAS Jakarta, 2008.

Amin, Ma’ruf dkk, Pedoman Penetapan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama

Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2017.

Aripin, Jaenal. Himpunan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: Kencana,

2010.

Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Hukum-hukum Fiqih Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang,

1991.

Asmawi, Mohammad. Nikah dalam Perbincangan danPerbedaan.Yogyakarta:

Darussalam, 2003.

Aziz, Dahlan Abdul.Ensiklopedi Hukum Islam.Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,

2006.

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. jilid 9. diterjemahkan oleh Abdul

Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: GemaInsani Press, 2010.

Page 80: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

70

Bunyamin, Mahmudin. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2017.

Engelbrecht. Kitab-Kitab Undang-Undang, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan

Republik Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1989.

Fariana, Andi. Urgensi Fatwa MUI dalam Pembangunan Sistem Hukum Ekonomi

Islam di Indonesia. Al-Ihkam, Vol. 12, No. 1 Juni 2017.

Federspiel, Howard M. Labirin Ideologi Muslim, Pencarian dan Pergulatan Persis di

Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957). Cet. I. Diterjemahkan oleh

Ruslandan Kurniawan Abdullah. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004.

Ghazaly, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2003.

Haidar, M. Ali. Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 1998.

Hamka, Rusjdi. Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka. Jakarta: Pustaka Panji Mas,

1981.

Kadir, Muhammad Abdul. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 1993.

Karsayuda, M. Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi

Hukum Islam. Yogyakarta: LkiS, 2000.

Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Lihat website resmi MUI, https://mui.or.id/sejarah-mui/, diakses pukul 16.40 WIB

tanggal 29 september 2019.

Majelis Ulama Indonesia, Keputusan-Keputusan Musyawarah Nasional ke-II Majelis

Ulama Indonesia. Jakarta: 1980.

Mardani. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2016.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum.Cet. 9. Jakarta: Kencana, 2016.

Mesraini. Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga. Jakarta: Pusat Studi

dan Pengembangan Pesantren, 2009.

Page 81: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

71

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosdakarya, 2001.

Mudzhar, M. Atho. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia “Sebuah Studi Tentang

Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988”. Jakarta: INIS, 1993.

Mujib, Fatkhul. Perkembangan Fatwa di Indonesia. Nizham, Vol. 4, No. 01 Januari-

Juni 2015.

Nakamura, Hisako. Perceraian Orang Jawa.diterjemahkan oleh Zaini Ahmad Noeh,

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991.

Nasih, Ahmad Munjin. Lembaga Fatwa Keagamaan di Indonesia, (Telaah Atas

Lembaga Majelis Tarjih dan Lajnah Bahtsul Masail).De Jure, Jurnal Syariah

dan Hukum, Vol. 5, No. 01, Juni 2013.

Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Nomor : U-596/MUI/X/1997.

Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia Edisi Revisi 2011

Hasil Rakernas MUI Tahun 2011.Diterbitkan oleh Sekretariat Majelis

Ulama Indonesia Pusat, 2011.

Profil Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Sumatra Utara. Dewan Pimpinan Majelis

Ulama Indonesia Sumatra Utara, 2006.

Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

2011.

Ramulyo, Mohammad Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: BumiAksara, 1996.

Riadi, M. Erfan. Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif

(AnalisisYuridisNormatif. Ulumuddin, Vol. VI, No. IV, Januari-Juni 2010.

Rida, Muhammad Rasyid.Tafsir al-Manar. jilid II. Beirut: Dar al-Fikr, 1957.

Rofiq, Ahmad.Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet. I. Jakarta: Rajawali Pers,

2013.

Rohman, Moh. Taufiqur. Perkawinan Campuran dan Perkawinan Antar Agama di

Indonesia. Jurnal Al-Ahwal, Vol. 4, No. 1, Tahun 2011.

Page 82: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

72

Sa’dan, Masthuriyah. Perkawinan Beda Agama: Perspektif Islam Progresif. Jurnal:

Kontemplasi, Volume 04 Nomor 02, Desember 2016.

Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980.

Shidiq, Sapiudin. Fikih Kontemporer. Cet. 2. Jakarta: Kencana, 2017.

Shobron, Sudarno. Studi Kemuhammadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan

Organisasi. Cet. VII.Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Dasar

(LPID) Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008.

Sholeh, M. Arorun Ni’am. Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,

Penggunaan Prinsip Pencegahan dalam Fatwa. Jakarta: Erlangga, 2016.

Suhadi. Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam. Yogyakarta: LKiS, 2006.

Suma, Muhammad Amin. Kawin Beda Agama di Indonesia, Telaah Syariah dan

Qanuniyah. Tangerang:Lentera Hati, 2015.

Suntana, Ija. Politik Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2014.

Syarifuddin, Amir.Ushul Fiqh. Jilid 2. Cet. 7. Jakarta: Kencana, 2014.

Tim penyusun. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Perspektif

Hukum dan Perundang-undangan. Jakarta: Puslitbang Kehidupan

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012.

Tim Penyusun. Gambaran Umum Organisasi MUI dalam Pedoman penyelenggaraan

Organisasi MUI. Jakarta: Sekretariat MUI, 2002.

Tim Penyusun. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975. Jakarta: Erlangga, 2015.

Tutik, Titik Triwulan. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara. Jakarta: Prestasi Pustaka

Publiser, 2006.

Wawancara dengan Bapak Dr. H. Maulana Hasanuddin, M.Ag, Wakil Ketua Komisi

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pusat pada tanggal 13 Januari 2020 pukul

11.38 WIB.

Page 83: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

73

Wawancara dengan Bapak Zafrullah Salim, Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama

Indonesia Pusat pada tanggal 09 Oktober 2019 pukul 12:28 WIB.

Yahya, Muhtar dan Fathurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam.

Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997.

Yanggo, Huzaemah T. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi. Cet. II.

Jakarta: IIQ Press, 2011.

20 Tahun Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Sekretariat MUI, 1995.

Page 84: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan
Page 85: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

Wawancara dengan Bapak H. Zafrullah Salim, M.Hum

(Rabu, 9 Oktober 2019, pukul 12.28 WIB)

Saya (S) : Sinatrya Abdul Jabbar

Narasumber (N) : Bapak Zafrullah Salim (Anggota Komisi Fatwa MUI)

S: Apa faktor yang melatarbelakangi fatwa tahun 1980 tentang perkawinan

campuran ditetapkan?

N: Jadi yang pertama, pada saat masa-masa awal berdirinya Majelis Ulama

Indonesia (MUI) belum ada formulasi fatwa mencantumkan latarbelakang. Tidak

seperti masa sekarang yang ada latarbelakangnya, ada mustaftinya, ada sebab

fatwa itu diterbitkan sesuai masalah yang dihadapi oleh penanya (seperti tadi yang

berkonsultasi). Lalu MUI bisa merespon dalam bentuk fatwa, surat serta bisa juga

dalam bentuk konsultasi biasa. Nah mungkin ini kita tidak tahu, apakah ini

lahirnya fatwa atau cuma berbentuk surat. Jadi karena itu, ini kan sebenarnya

masalah yang sering terjadi baik pada masa dikeluarkannya fatwa tahun 80

bahkan sampai sekarang, akan selalu kita lihat gejala-gejala tejadinya perkawinan

campuran dan perkawinan campuran yang di maksud MUI itu adalah perkawinan

antar agama. Padahal sebenarnya, perkawinan campuran yang ada di dalam

undang-undang adalah perkawinan campuran itu adalah perkawinan orang yang

berbeda kewarganegaraan. Jadi untuk menjawab pertanyaan pertama ini, saya

pikir dapat diringkaskan secara sederhana, secara tersirat dibalik perkawinan

campuran ini sebagai respon MUI, keresahan MUI untuk respon terhadap apa

yang ditanyakan oleh masyarakat menurut fakta dan kejadian di tengah pergaulan

sehari-hari yang begitu banyaknya terjadi perkawinan campuran. Baik perkawinan

campuran karena di awali dengan pacaran, mungkin juga oleh karena ada

kesulitan ekonomi untuk dapat hutang budi, bahkan barangkali karena terjadi

dukhul terlebih dahulu yang kemudian perempuan dipaksa oleh laki-laki dan tidak

ada jalan lain kecuali orang tua merelakan anaknya dikawini oleh laki-laki yang

menzinahinya.

Page 86: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

S: Metode istinbath hukum yang dilakukan oleh komisi fatwa dalam

menetapkan fatwa?

N: Ini sudah ada di buku (Pedoman Penetapan Fatwa) tapi paling tidak

pertanyaan tadi itu bisa kita jawab, dengan melihat kembali metode pedoman

penetapan fatwa yang dipakai di dalam komisi fatwa majelis ulama. Di sini kalau

kit abaca, misalnya di pasal 5 yaitu sebelum fatwa ditetapkan, dilakukan kajian

komprehensif terlebih dahulu guna memperoleh deskripsi di dalam pasal ini

mengenai masalah tashawwur al-masalah (obyek masalah) perlu lebih dahulu jelas

juga rumusan masalahnya, dampak sosial keagamaan yang ditimbulkan dan titik

kritis dari berbagai aspek hukum syar’I yang berkaitan dengan masalah tersebut.

setelah itu telaah atas pandangan fuqoha masalalu. Jadi setelah ada masalah,

bagaimana ada pandangan ulama masalalu. Yang selanjutnya kajian

komprehensif yang ditugaskan pada anggota untuk membuat makalah mengenai

masalah yang dibahas sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Jadi ada

penetapan fatwa terhadap masalah yang telah jelas hukum dan dalil-dalilnya. Dan

di sini (dalam fatwa MUI tahun 1980) sudah jelas adanya. “jangan pula engkau

menikahkan orang musyrik dengan wanita-wanita muslim. Artinya wali jangan

sampai menikahkan orang musyrik dengan wanita mukmin. Jadi ini sudah

termasuk hal yang ma’lum minaddin bil ad-darurah, penetapan fatwa yang telah

jelas hukum dan dalilnya sebagaimana apa adanya. Nah nanti apabila terjadi

khilafiyah, maka khilafiyah itu yang akan dibahas, seperti yang ayat kedua

mengenai ahli kitab. Dilakukanlah telaah banding atau muqaranah madzahib,

maka lalu MUI mengatakan fatwa perkawinan antara laki-laki muslim dengan

wanita ahlu kitab itu hukumnya haram. Itu setelah diadakan telaah terhadap

berbagai pendapat yang terjadi mengenai perkawinan antara laki-laki muslim

dengan seorang wanita ahlu kitab atau wanita kitabiyah. Jadi nanti, kamu baca

lagi bukunya. Kita ini kan MUI ijtihadnya adalah ijtihad kolektif yah seperti

qiyasi,istihsany, ilhaqy dan sad al-adzaraa’i. artinya kalau ini dikatakan sad al-

adzaar’i, mencegah seandainya ini terjadi perkawinan antar agama, laki-laki

muslim perempuannya kafir atau laki-laki kafir atau perempuannya muslimah, itu

Page 87: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

berpotensi akan terjadi murtad dan berarti kalau murtad dia sudah melanggar

maqasidus syari’ah yaitu hifdzu din. Dan kalau perkawinan itu nanti ternyata

adalah perkawinan antar agama, dimana para pihak itu memegang masing-masing

keyakinannya itu akan menimbulkan instabilitas rumah tangga. Dan yang

selanjutnya akan lebih berat lagi, anak-anaknya akan dipaksa oleh ayahnya yang

kafir untuk dibaptis.

S: Jadi bapak telah memberikan penjelasan mengenai ahlu kitab, untuk

sekarang apakah konteks ahlu kitab masih sesuai dengan nash alqur’an maupun

hadist?

N: Mengenai ahlu kitab penjelasannya panjang sekali. Fakta yang kita terima

sekarang, ada 4 kitab suci yang masih dianggap ada yang menurut kita Islam

sudah banyak perubahan-perubahan yaitu seperti taurat, kitab perjanjian lama,

kitab perjanjian baru yang sering disebut injil. Jadi artinya bagi mereka yang

menyatakan itu sebagai kitab suci, kitab suci itu masih ada eksis. Dengan

demikian mereka mereka yang mengaku kitab suci itu harus kita hormati. Yang

menyatakan kitab suci itu masih ada sampai sekarang sebenarnya bukan kita

orang Islam tapi saudara-saudara kita orang Kristen yang bilang sama adanya

kitab suci. Atas dasar itulah republik mengakui Kristen sebagai agama, kalau

andai kata tidak memiliki kitab suci tidak mungkin dia bisa eksis di Indonesia.

Sama juga misalnya dengan hindu, mereka ada kitab suci weda. Jadi itu syarat

pengakuan terhadap suatu agama ka nada kitab suci. Jadi menurut saya itu yang

mubtadal hal yang kenyataannya ada sekarang itu kitab suci mereka masih ada.

Dengan demikian mereka-mereka bisa digolongkan sebagai ahlu kitab menurut

apa yang kita pahami. Walaupun ahlu kitab yang dimaksudkan itu sifatnya adalah

ahlu kitab berdasarkan pengakuan yang mereka sebagai pengikut nabi isa, dimana

mereka meyakini nabi isa. Itulah yang penting, keturunan yang dimaksud yaitu

keturunan dari mereka nenek moyangnya mengakui adanya kitab suci berupa

taurat dan injil perjanjian lama perjanjian baru yang kemudian menyebabkan

mereka itu menjadi pengikut agama tersebut. Muslim hanya mengakui

yasudahlah, itu hanya suatu yang eksis yang sudah ada ya kita akui. Karena itulah

Page 88: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

menurut hemat kita menurut apa yang dikatakan oleh MUI pada pertimbangan

surat al baqarah ayat 21 ini artinya MUI itumenyangkal ahlu kitab masih ada

sampai sekarang. Kalau tidak ada tidak mungkin ayat ini dijadikan sebagai

pertimbangan.

S: Untuk menikah dengan ahlu kitab itu bagaimana pak?

N: Seorang laki-laki muslim dilarang mengawini wanita bukan muslim

tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab, terdapat

perbedaan pendapat. Dan setalah mempertimbangkan mafsadat, MUI

menfatwakan perkawinan tersebut haram dengan dar’ul mafasid muqadamun ala

jalbil masalih. Jadi mana yang lebih besar mudharat dan manfaatnya maka

menjauhkan atau menyingkirkan mudharat itu lebih didahulukan. Selain dari nash

yang mengatakan haram mengawini maka juga tidak boleh kita mengabaikan efek

samping dari sebuah perkawinan yang akan mengganggu keselamatan rumah

tangga yang dibangun atas dasar takwa, atas dasar iman kepada Allah yang kita

mengharapkan rumah tangganya sakinah mawaddah warahmah. Dan kalau sudah

andaikata itu menjadi perkawinan antar agama maka, saya dulu pernah menjadi

penasihat perkawinan yah, itu ada sepuluh macam faktor yang terjadinya

instabilitas rumah tangga. Instabilitas itu artinya rumah tangga menjadi goncang.

Yang pertama sekali itu dikatakan oleh ahli dari Amerika itu adalah yang disebut

intervens merried. Jadi itu adalah perkawinan antar iman, kalau kedua-duanya

aktif itu bisa sakinah mawadah warahmah. Satu ke gereja satunya ke masjid, kalau

pun itu rukun hanya di lahiriyah saja. sedangkan undang-undang mengatakan

perkawinan itu ikatan laki-laki dan perempuan secara lahir bathin. Tidak hanya

ikatan lahiriyah namun adanya bathiniyah juga, jadi saya berpendapat larangan

yang dimaksud ini selain daripada mengacu surat al baqarah ayat 21, janganlah

engkau menikahi wanita musyrik. Perempuan musyrik itu termasuk di dalamn ya

pengertian ahlu kitab. Kenapa, misalnya saja kita ambil ayat lain itu dalam surat

albayyinah ayat 1. Itu dikatakan orang kafir itu ada 2, pertama ahlu kitab yang

kedua musyrik. Jadi kalau dia ahlu kitab yang mempertuhankan nabi isa atau

mempertuhankan uzair dia termasuk kelompok ahlu kitab. Yang musyrik mereka

Page 89: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

yang memang menyembah berhala atau patung. Karena itu kategori orang kafir

menurut surat al bayyinah menyangkut tentang ahlu kitab itu musyrik. Jadi ada di

sini bisa dibaca nantinya. Jadi bahwa ayat-ayat yang dijadikan pembahasan MUI

itu adalah ayat-ayat yang masih tetap berlaku sebagai pedoman penetapan fatwa

itu sekarang.

S: Apakah penetapan fatwa MUI memerhatikan Undang-undang perkawinan.

N: Yah perkawinan itu kan ada di dalam pasal 2, bahwa perkawinan sah

apabila dilakukan masing-masing keyakinan. Hukum agama Islam mengatakan

haram kawin dengan perempuan musyrik, haram perempuan muslimah kawin

dengan orang musyrik itu yang ada dalam fatwa. Itu dasar penetapan kawin

karena pasal 2 itu tadi mengatakan hukum agama diakui yang mengatur tentang

siapa saja yang boleh menikah atau tidak, maka dengan demikian sesuai itu apa

yang dikatakan dalam fatwa dengan undang-undang perkawinan. Sama kok

orang-orang katolik mengatakan dia tidak boleh kawin dengan orang muslim.

Kalau andaikata boleh orang katolik sepanjang saya pahami, gereja mengizinkan

pastur member izin kepada seorang pria katolik kawin dengan non katolik

termasuk kawin dengan perempuan muslimah dengan syarat dia berjanji akan

isterinya untuk dibaptis. Kan sama jadinya, tidak berbeda perizinan kristiani yang

ada dalam qur’an.

S: Namun merujuk undang-undang pasal 57 tentang perkawinan campuran,

substansinya agak berbeda dengan fatwa yang dikeluarkan?

N: Bunyinya apa?

S: Bunyinya di sini, bahwa dalam pasal 57 yang dimaksud adalah

perkawinan antara dua orang yang ada di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlain, karena perbedaan kewarganegaraan.

N: Perkawinan campuran yang dimaksud undang-undang ini adalah

perkawinan antar kewarganegaraan. Dia di Indonesia tapi hukumnya berlaku

beda, sebagai orang asing dia berlaku hukum privatnya, hukum akhwal

Page 90: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

akhsyakhsiyyahnya berbeda dengan hukum orang Indonesia. Jadi artinya misalnya

orang Malaysia kawin dengan orang Indonesia, kalau agamanya boleh kawin,

karena yang dimaksudkan perkawinan campuran itu bukan berarti melanggar

pasal 2, yang mengatakan perkawinan boleh dilangsungkan menurut hukum

agamanya masing-masing. Nah hukum agama Islam mengatakan, haram kawin

antar agama. Antar warga boleh tidak? Boleh. Nah perkawinan semacam itu kalau

dilangsungkan di Indonesia harus menurut tata cara hukum yang ada di Indonesia

dan tidak seperti yang terjadi di sana. Jadi itu tidak berbeda. Kalau andaikata itu

nanti antar Negara ini berbeda agama, maka yang menyebabkan mereka tma,

maka yang menyebabkan mereka tidak boleh kawin bukan mereka beerbeda

warga Negara tapi karena perbedaan agama.

S: Jadi konteks perkawinan beda agama itu termasuk ke dalam perkawinan

campuran?

N: Sebenarnya kan perkawinan campuran bagian dari hukum privat. Hukum

privat yang terkait dengan masalah perkawinan. Nanti sebenarnya ini itu adalah

ranah hukum publik sebenarnya. Itu ya hukum kewarganegaraan. Itu terkait

dengan kedudukan anak, terkait juga dengan proses menghindari

dwikewarganegaraan. Jadi harus dia pilih nanti, anak ini mau ikut

kewarganegaraan ibunya atau ayahnya. Dan menurut undang-undang Negara anak

akan ikut hukum ayahnya. Jadi antara undang-undang perkawinan itu punya

hubungan normatif eksternal dengan undang-undang kenegaraan. Aspek

agamanya diatur disini, aspek hukum yang terkait dengan kedudukan sebagai

kewarganegaraan mengacu undang-undang kewarganegaraan.

S: Nah jadi MUI perkawinan campuran adalah perkawinan beda agama yah

pak?

N: Iya betul.

S: Bukan termasuk perkawinan beda warga Negara?

Page 91: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

N: Kalau beda warga negaraan asalkan seagama boleh kawin, baik oleh

undang-undang perkawinan atau undang-undang kewarganegaraan bahkan hukum

Islam boleh kawin. Ada beberapa anggota MUI yang anaknya kawin dengan

orang asing. Boleh.

S: Boleh?

N: Iya.

N: Kedudukan nanti setelah anaknya kawin mengikuti kewarganegaraan ibu

bapaknya itu tergantung pada pilihannya.

S: Jadi di fatwa 1980 itu apakah salah ketik atau hanya membatasi

perkawinan campuran adalah perkawinan beda agama pak?

N: Tidak salah ketik, apa yang menjadi salah ketiknya?

S: Maksudnya isi dari judul itu kan membuat salah paham kalau perkawinan

campuran menurut UU perkawinan kan adalah perkawinan antar warg Negara,

sedangkan fatwa MUI bahwa perkawinan campuran bersubstansinya yaitu

perkawinan beda agama.

N: Itu tidak salah ketik, dan itu sudah dipahami sebelumnya. Yang menyusun

undang-undang perkawinan itu juga ahli-ahli hukum perdata, ahli hukum nasional

juga. Jadi aspek perkawinan campuran yang dianggap fatwa MUI adalah aspek

perkawinan campuran yang berdimensi perkawinan beda agama. Bukan

berdimensi berbeda kewarganegaraan, itu sebabnya tadi dalam pasal yang

dibacakan itu dikatakan juga berbeda kewarganegaraan. Bukan dia berbeda

kewarganegaraan itu dia menghalangi terjadinya perkawinan kalau dia seagama.

Tidak mungkin di fatwa MUI iya adalah perkawinan antar agama. Kalo dia akan

disebut perkawinan antar agama memang tepat, tapi mungkin pada waktu itu

istilah perkawinan antar agama, di dalam undang-undang tidak ada. Yang ada

ialah perkawinan campuran, perkawinan campuran itu dimensinya dua berbeda

agama dengan berbeda kewarganegaraan. Jadi yang diatur ole MUI adalah yang

berbeda keagamaan bukan berbeda kewarganegaraan.

Page 92: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

S: Nah iya pak, sedangkan Undang-undang Perkawinan di keluarkan tahun

1974, fatwa MUI tahun 1980. Disitukan ada ketergantungan masa yang jauh.

N: Undang-undang itu kan dikeluarkan tahun 74 dan MUI tahun 80, apa

artinya itu. Bahwa Fatwa MUI ini mencoba untuk memberikan penjelasan pada

umat bab mengenai perkawinan campuran yang ada di undang-undang

perkawinan. Jadi undang-undang perkawinan itu seperti tadi dikatakan mencakup

juga pengertian perkawinan campuran yang orangnya berbeda agama. Artinya

yang berbeda agama kalau andaikata perkawinan itu terjadi ada orang yang

berbeda agama juga itu dibolehkan. Jadi yang diterangkan oleh fatwa MUI kalau

dia perkawinan campuran kalau orangnya itu berbeda agama maka ia tidak boleh

kawin. Dan kalau perkawinan berbeda kewarganegaraan MUI tidak mengatur.

S: Berarti bisa dimaksud MUI sah (membolehkan) menikah berbeda warga

Negara

N: Asalkan seagama. Jadi artinya MUI memakai istilah yang terdapat dalam

Undang-undang perkawinan yaitu perkawinan campuran, tapi di dalam dimensi

berbeda agama bukan dimensi ke dalam berbeda kewarganegaraan.

S: Di masa itu, bagaimana respon dari masyarakat setelah fatwa itu

dikeluarkan?

N: Banyak yang mematuhi, buktinya catatan sipil tidak meladeni (melayani)

berbeda agama. Apalagi di kantor urusan agama gak boleh. Tapi ada juga salah

satu kasus dimana para pihak itu kawin diluar negeri, jadi mereka tunduk pada

hukum yang berlaku di sana yang perkawinan itu dilangsungkan.

S: Jadi kalau menikah di Negara lain, kita tidak mengikuti syarat ketentuan di

sini tidak masalah yah pak, berarti nanti masuknya ke hukum internasional yah

pak?

N: Kalau andaikata dia melangsungkan perkawinan diluar negeri itu nanti

perkawinan itu dibawa ke Indonesia harus diisbatkan oleh pengadilan agama.

Tentu melalui mekanisme, tatacara dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Karena

Page 93: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan
Page 94: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

Wawancara dengan Bapak Dr. H. Maulana Hasanuddin, M.Ag

(Senin, 13 Januari 2020, pukul 11.38 WIB)

Saya (S) : Sinatrya Abdul Jabbar

Narasumber (N) : Bapak Hasanuddin, M. Ag (Wakil Ketua Komisi Fatwa)

S: Bagaimana pedoman fatwa tahun 1980 dengan pasca tahun 1980?

N: Pedoman itu kan ada keputusannya. Pedoman di tahun 2003 itu

sebenarnya kan adalah suatu revisi yang sebelumnya tidak terlalu jelas. Pedoman

tahun 2003 itu bersamaan dengan penetapan fatwa tentang Bunga. Dan

sebelumnya pedomn itu sudah ada dan di tahun 2003 sebagai perbaikan mengenai

pedoman yang sudah ditentukan tahun 2000. Karena ditahun 2003 mengenai

pedoman penetapan fatwa itu diputuskannya di dalam ijtima ulama komisi fatwa

dan ormas Islam se Indonesia, dan salah satunya memutuskan tentang pedoman

penetapan fatwa. Jadi pada tahun itu beberapa kali dibahas pertama tentang bunga,

kedua penetapan awal dan akhir ramadhan yang ketiga tentang pedoman ini

(pedoman tahun 2003). Topik-topik itulah yang ditetapkan pada 16 Desember

2003, tapi biasanya sebelum itu sudah ada rancangan sebelum keluar SK pada

bulan 16 desember 2003. Ijtima ulama komisi fatwa kan berada atau

momenklaturnya di MUI dan keputusan pimpinan, keputusan komisi fatwa itu

menjadi dasar yang sah. Kalau ijtima ulama yang sifatnya nasional itu hanya

semacam seminar atau rekomendasi sebagai masukan MUI pada waktu itu di

ijtima ulama pertama.

S: Jadi di sekitar tahun berapa pedoman penetapan fatwa itu dibuat?

N: Kalau dalam pentepan fatwa kan dari awal sudah ada tapi saya tidak tahu

sejarahnya (karena saya masuk pada tahun 1997) sebelum tahun 2003 sebenarnya

sudah ada. Mungkin di tahun 98 atau 99 ada penyempurnaan, Cuma saya lupa

persisnya tapi ini (di tahun 2003) penyempurnaan lebih lanjut, itu yang dibahas

secara nasional dan disempurnakan lagi 3 tahun belakangan. Kalau sampai sampai

2003 itu pertama kali dibuat ketika zaman sekretaris fatwa sebelum pak Munif

Page 95: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

(sekretaris fatwa). Kemudian waktu saya masuk ke MUI (tahun 1997) ada revisian

lagi mulai ditertibkan, artinya mulai diatur secara sistematiskan. Kalau yang dulu

kan hanya “yang penting ada”. Dan diperbaiki lagi di 2003.

S: Pada saat zaman dulu, apakah perkawinan campuran termasuk

perkawinan beda agama?

N: Emang perkawinan campuran bunyinya seperti apa?

S: Kalau perkawinan campuran di fatwa itu bunyinya sama dengan fatwa

tahun 2005 tentang perkawinan beda agama?

N: Kalau disini kan (fatwa tahun 2005 tentang kawin beda agama) dipertegas

haram dan tidak sah. Tetapi yang sebelumnya (fatwa tahun 1980) hanya haram

saja. haram itu belum tentu tidak sah, tapi bisa juga sah. Tapi secara teori haram

itu belum tentu tidak sah, seperti sholat meminjam baju orang lain tanpa izin.

Sholatnya sah tapi haram karena ada keharaman pakai baju orang tanpa izin,

makanya difatwa ini (tahun 2005) mempertegas haram dan tidak sah. Secara tidak

langsung fatwa ini (1980) ada yang mengakui perkawinan laki-laki muslim

dengan wanita non muslim itu “boleh”. Tetapi berdasarkan tafsir-tafsir dan fikih,

itu haram dan tidak sah. Mengenai interpretasi ahlu kitab, menurut imam syafi’I

ahlu kitab itu adalah pengikut agama yang dibawa oleh Nabi Isa atau Nabi Musa

yang memang dari keturunan yang sah sebagai umat Nabi Isa maupun Nabi Musa.

Sehingga orang Indonesia bukan termasuk keturunan Nabi Isa dan Nabi Musa.

Jadi kalau ada yang mengatakan mengikuti ajaran Nabi sebelum Nabi Muhammad

(di Indonesia) itu bukan dikatakan ahli kitab menurut madzhab Syafi’i.

S: Istilah zaman dahulu apakah perkawinan campuran itu adalah perkawinan

beda agama?

N: Iya perkawinan beda agama, yang masuk dalam fatwa ini (tahun 1980)

bukan perkawinan antar suku, karena perkawinan campuran bisa saja yang lain,

tapi yang dimaksud oleh fatwa ini (1980) sebenarnya perkawinan beda agama

saja. sejak zaman dahulu di Indonesia banyak yang melakukan akidah

Page 96: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

keberagamaannya kurang atau tidak kuat, sehingga ini masalah kesepakatan dan

sampai sekarang masyarakat dicontohkan di masyarakat jogja, sebagian masih

banyak yang tidak bermasalah kalau melakukan perkawinan beda agama yang

penting rukun. Banyak penegasan ini, setahu saya fatwa ini juga lahir karena

waktu itu sudah ada wacana revisi undang-undang perkawinan, revisi undang-

undang perkawinan dari dulu dan ada kelompok yang memang menginginkan

berdasarkan alasan hak asasi mengenai perkawinan beda agama, itu ada yang

tidak mempermasalahkan. Apalagi sekurang-kurangnya mereka beranggapan

boleh menikah (Islam dengan agama yang lain) itu karena satu rumpunnya dari

Tuhan Yang Maha Esa, kenapa harus dilarang. Toh yang menjadi berbeda hanya

karena ajaran syariatnya sedangkan akidahnya sama yang mengakui satu Tuhan,

itu ada wacana yang seperti itu. Makanya keluarlah fatwa ini.

S: Artinya bahwa perkawinan campuran pun dijelaskan juga di undang-

undang perkawinan tahun 74 pada pasal 57, mengatakan perkawinan campuran

itu antara dua orang yang masing-masing tunduk pada hukum yang berlainan

karena berbeda kewarganegaraan.

N: Kalau di MUI kalau perkawinan campuran dimaksud adalah perkawinan

beda agama.

S: Jadi alasan MUI menyatakan perkawinan campuran sebagai beda agama

karena?

N: Karena salah satu pengertian perkawinan campuran yang berkembang

pada saat itu.

S: Tapi fatwa ini lahir di tahun 80 sedangkan undang-undang lahir pada tahun

74.

N: Ya mungkin karena pihak non muslim itu selalu berupaya supaya

pernikahan beda agama itu jangan dilarang. Upaya-upaya itu terus berlanjut

sekurang-kurang secara praktek itu banyak kejadian yang menyatakan bahwa

kawin campur yaitu kawin beda agama. Nyatanya banyak nikah non muslim

Page 97: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

dengan muslim pada saat itu. Jadi di MUI saya bisa memastikan perkawinan

campuran itu adalah perkawinan beda agama. Bukan perkawinan campuran

karena kewarganegaraan.

S: Jadi tidak merujuk ke undang-undang perkawinan yah pak?

N: Tidak, kalau dilihat dari ayat yang dipakai itu ayat musyrikah, ayat di sini

adalah ayat ahli kitab, ayat di sini juga membahas tentang kafir, serta ayat di sini

membahas tentang keimanan. Jadi perkawinan campuran ini bisa dipastikan

perbedaan agama, bukan perkawinan beda kewarganegaraan yang mempunyai

hukum yang berbeda.

S: Kalau fatwa ini (1980) belum ada nomer-nomernya, berarti belum ada

pedomannya yah pak?

N: Itu hanya sebatas penulisan saja, zaman dahulu mufti semua jadi tidak

perlu ada pedoman. Karena pedoman itu lebih banyak sistematika penulisannya.

Kalau fatwa yang ini (1980) jarang sekali mengutip pendapat ulama. Mulai tahun

2000an setelah ada revisi, barulah itu pendapat-pendapat ulama disertakan ke

dalam pedoman. Jadi dilihat pada periode ini (1980) pedoman ulama nyaris tidak

dikutip dalam diskusi, kenapa? Karena pedomannya tidak memungkinkan. Karena

pedoman itu dibuat dalam rangka agar komisi fatwa menjadi lembaga ijtihad

mujtahid. Jadi saya pernah menanyakan kenapa pendapat ulama tidak

dicantumkan, supaya lembaga ini menjadi lembaga yang mufti meskipun mufti

jama’I itu yang mampu berijtihad. Jadi bukan muqallim. Kalau pendapat ulama

kan kesannya muqallim. Jadi ini mendorong betul-betul komisi fatwa itu mampu

meningkatkan ilmunya secara kolektif sudah menjadi syarat-syarat menjadi

mujtahid. Tapi ketika komisi fatwa dirubah diganti oleh kyai ma’ruf amin sebagai

tokoh NU mengenai bahtsul masail di NU, maka ketika itu beliau memimpin dan

meminta pedoman diakomodir maka muncullah pedoman yang terakhir tahun

2012. Jadi begini dan begitu baru berijtihad karena masanya sudah berbeda. Tidak

ada yang salah sebetulnya semuanya mempunyai semangat mujtahid.

S: Jadi di tahun 80 memang belum ada kepastian penetapan pedoman?

Page 98: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan

N: Saya tidak tahu persis, kemungkinan sudah ada di tahun 75 berdirinya

MUI. Walaupun dalam bentuk sederhana fatwanya dengan cara penulisannya

sangat sederhana pada saat itu. Baru mulai diterbitkan baru baru ini mempunyai

format penulisan fatwa sendiri seperti peraturan perundang-undangan di

Indonesia, adanya mengingat menimbang memperhatikan.

S: Jadi di sini juga artinya perkawinan campuran di MUI, itu tidak

kontradiktif isi dari perkawinan campuran dengan undang-undang perkawinan ya

pak?

N: Perkawinan campuran di sini (dalam fatwa) dalam arti perbedaan agama

dan sedangkan di undang-undang perbedaan agama termasuk perkawinan

campuran atau tidak?

S: Kalau beda agama di undang-undang atau hukum positif tidak

tercantumkan secara jelas.

N: Kalau dalam masyarakat mungkin belum tentu tahu kalau perkawinan

campuran hanya berbeda kewarganegaraan, tapi di masyarakat yang umum

dibicarakan perkawinan campuran itu perkawinan beda agama, bukan perkawinan

beda Negara. Fatwa itu mengikuti apa yang dipahami masyarakat walaupun tidak

sejalan dengan peraturan perundang-undangan. Jadi terindikasi dari ayat di fatwa

ini (1980) bahwa menurut MUI perkawinan itu adalah perkawinan beda agama

yang haram.

S: Karena pemahaman di masyarakat oleh perkawinan campuran itu artinya

beda agama, MUI berarti mengikuti pemahaman yang ada di masyarakat?

N: Biasanya kalau dikaitkan dengan undang-undang , bifatwa pun ada

memerhatikan permintaan atau pertanyaan yang sepeti peraturan undang-undang,

misalnya fatwa tentang zakat penghasilan itukan yang dulu pemerintah yang

meminta ketika menyusun undang-undang zakat, biasanya itu terekam dalam

fatwa. Hanya mungkin kadang-kadang kan sekarang asbabun nuzul itu bisa

diketahui meski tidak gamblang (jelas) misalnya permohonan dari IDI (Ikatan

Page 99: repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50256/1/SINATRYA... · Studi ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai substansi dari pengertian perkawinan