struma referat

26
1 BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Embriologi, Anatomi, dan Histologi Kelenjar Tiroid Embriologi Kelenjar Tiroid Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm yang berasal dari sulcus pharyngeus pertama dan kedua pada garis tengah atau lekukan faring antara branchial pouch pertama dan kedua. Mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm pada akhir bulan pertama ke Dari bagian tersebut timbul divertikulum yang kemudian membesar, jaringan endode turun ke leher sampai setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian memb lobus, yang akhirnya melepaskan diri dari faring. Penurunan ini terjadi pada gar Sebelum lepas, ia berbentuk sebagai duktus tiroglossus, yang berawal dari forame basis lidah. Pada umumnya duktus ini akan menghilang pada usia dewasa. Sisa ujun duktus tiroglossus lebih sering mengalami obliterasi menjadi lobus piram tiroid. Tetapi ada beberapa keadaan yang masih menetap, sehingga dapat terjadi k sepanjang jalan tersebut, yaitu antara kartilago tiroid dengan basis lidah. Deng kegagalan menutupnya duktus akan mengakibatkan terbentuknya kelenjar tiroid yang abnormal, dinamakan persisten duktus tiroglossus, dapat berupa kista duk tiroid lingual atau tiroid servikal. Sedangkan desensus yang terlalu jauh akan m tiroid substernal. Branchial pouch keempatpun akan ikut membentuk bagian kelenjar tiroid, dan merupakan asal mula sel-sel parafolikular atau sel C yang memprodu Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa keh intrauterin. Anatomi Kelenjar Tiroid Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri dari 2 lobus yang oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Setiap lobus tiroid berukuran p cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh be asupan yodium. Pada orang dewasa berat normalnya antara 10-20 gram. Pada sisi posterior melekat erat pada fasia pratrakea dan laring melalui k sehingga akan ikut bergerak kea rah cranial sewaktu menelan. Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (m. stern m. sternohioid) kanan dan kiri yang bertemupada midline . Pada sebelah yang lebih superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda dan

Upload: azzam-arazy

Post on 22-Jul-2015

1.025 views

Category:

Documents


20 download

TRANSCRIPT

BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Embriologi, Anatomi, dan Histologi Kelenjar Tiroid Embriologi Kelenjar Tiroid Kelenjar tiroid berkembang dari endoderm yang berasal dari sulcus pharyngeus pertama dan kedua pada garis tengah atau lekukan faring antara branchial pouch pertama dan kedua. Mulai terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm pada akhir bulan pertama kehamilan. Dari bagian tersebut timbul divertikulum yang kemudian membesar, jaringan endodermal ini turun ke leher sampai setinggi cincin trakea kedua dan ketiga yang kemudian membentuk 2 lobus, yang akhirnya melepaskan diri dari faring. Penurunan ini terjadi pada garis tengah. Sebelum lepas, ia berbentuk sebagai duktus tiroglossus, yang berawal dari foramen sekum di basis lidah. Pada umumnya duktus ini akan menghilang pada usia dewasa. Sisa ujung kaudal duktus tiroglossus lebih sering mengalami obliterasi menjadi lobus piramidalis kelenjar tiroid. Tetapi ada beberapa keadaan yang masih menetap, sehingga dapat terjadi kelenjar di sepanjang jalan tersebut, yaitu antara kartilago tiroid dengan basis lidah. Dengan demikian, kegagalan menutupnya duktus akan mengakibatkan terbentuknya kelenjar tiroid yang letakya abnormal, dinamakan persisten duktus tiroglossus, dapat berupa kista duktus tiroglossus, tiroid lingual atau tiroid servikal. Sedangkan desensus yang terlalu jauh akan menghasilkan tiroid substernal. Branchial pouch keempatpun akan ikut membentuk bagian kelenjar tiroid, dan merupakan asal mula sel-sel parafolikular atau sel C yang memproduksi kalsitonin. Kelenjar tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin.

Anatomi Kelenjar Tiroid Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri dari 2 lobus yang dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Setiap lobus tiroid berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan asupan yodium. Pada orang dewasa berat normalnya antara 10-20 gram. Pada sisi posterior melekat erat pada fasia pratrakea dan laring melalui kapsul fibrosa, sehingga akan ikut bergerak kea rah cranial sewaktu menelan. Pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel otot pretrakealis (m. sternotiroid dan m. sternohioid) kanan dan kiri yang bertemu pada midline. Pada sebelah yang lebih superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia kolli profunda dan superfisialis yang1

membungkus m. sternokleidomastoideus dan vena jugularis eksterna. Sisi lateral berbatasan dengan a. karotis komunis, v. jugularis interna, trunkus simpatikus dan arteri tiroidea inferior. Posterior dari sisi medialnya terdapat kelenjar paratiroid, n. laringeus rekuren dan esophagus. Esofagus terletak di belakang trakea dan laring, sedangkan n.laringeus rekuren terletak pada sulkus trakeoesofagikus. Vaskularisasi kelenjar tiroid termasuk amat baik. A.tiroidea superior berasal dari a.karotis kommunis atau a.karotis eksterna, a.tiroidea inferior dari a.subklavia, dan a.tiroidea ima berasala dari a.brakhiosefalik salah sau cabang arkus aorta Aliran darah dalam kelenjar tiroid berkisar 4-6 ml/gram/menit, kira-kira 50 kali lebih banyak dibanding aliran darah di bagian tubuh lainnya. Pada keadaan hipertiroidisme, aliran darah ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop terdengar bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar. Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler dan limfatik, sedangkan system venanya berasal dari pleksus parafolikuler yang menyatu di permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Secara anatomis dari dua pasang kelenjar paratiroid, sepasang kelenjar paratiroid menempel di belakang lobus superior tiroid dan sepasang lagi di lobus medius. Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat berada di atas ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian ada yang langsung ke duktus torasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk menduga penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.

Gambar 1. Anatomi Tiroid

2

Gambar 2. Anatomi Tiroid Potongan Melintang

Histologi Kelenjar Tiroid Secara histologi, parenkim kelenjar ini terdiri atas: 1. Folikel-folikel dengan epithetlium simplex kuboideum yang mengelilingi suatu massa koloid. Sel epitel tersebut akan berkembang menjadi bentuk kolumner katika folikel lebih aktif (seperti perkembangan otot yang terus dilatih). 2. Cellula perifolliculares (sel C) yang terletak di antara beberapa folikel yang berjauhan.

Gambar 3. Histologi Kelenjar Tiroid3

1.2 Fisiologi Hormon Tiroid Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4). Bentuk aktif ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. Yodida anorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali yang afinitasnya sangat tinggi di jaringan tiroid. Yodida anorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau diyodotirosin (DIT). Senyawa atau konjugasi DIT dengan MIT atau dengan DIT yang lain akan menghasilkan T3 atau T4, yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian mengalami deyodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tiroid terikat pada protein, yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine binding prealbumine, TBPA). Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative feedback terhadap lobus anterior hipofisis, dan terhadap sekresi thyrotropine releasing hormone (TRH) dari hipotalamus. Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap tulang. Jadi, kesimpulan pembentukan hormon tiroksin melalui beberapa langkah, yaitu: 1. Iodide Trapping, yaitu pejeratan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase. 2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase. 3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase). 4. Perangkaian iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin) menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT (monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.4

5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada dalam sel folikel. 6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah. Proses ini dibantu oleh TSH. 7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi, dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan dalam proses ini. 8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan kompleks golgi.

Gambar 4. Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid5

1.3 Struma Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar sekali dan mengadakan penekanan pada trakea, membuat dilatasi sistem vena serta pembentukan vena kolateral. Morfologi dari pembesaran kelenjar tiroid ada berbagai macam. Struma difus adalah pembesaran yang merata dengan konsistensi lunak pada seluruh kelenjar tiroid. Struma nodusa adalah jika pembesaran tiroid terjadi akibat nodul, apabila nodulnya satu maka disebut uninodusa, apabila lebih dari satu, baik terletak pada satu atau kedua sisi lobus, maka disebut multinodusa. Ditinjau dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi hormon tiroksin, maka bisa kita bagi: 1. Hipertiroid, sering juga disebut sebagai toksika bila produksi hormon tiroksin berlebihan. 2. Eutiroid, bila produksi hormon tiroksin dalam batas normal 3. Hipotiroid, bila produksi hormon tiroksin kurang dari normal. Pada struma yang tanpa ada tanda-tanda hipertiroid, disebut struma non toksika. Dari aspek histopatologi kelenjar tiroid, maka timbulnya struma bisa kita jumpai akibat proses hiperplasia, keradangan atau inflamasi, neoplasma jinak dan neoplasma ganas. Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh: 1. Hiperplasi dan hipertrofi dari kelenjar tiroid Setiap organ apabila dipacu untuk bekerja lebih berat maka akan berkompensasi dengan jalan hipertrofi dan hiperplasi. Demikian pula dengan kelenjat tiroid pada saat masa pertumbuhan atau paa kondisi memerlukan hormon tiroksin lebih banyak, misal saat pubertas, gravid dan sembuh dari sakit parah. a. Non toxic goiter: difus, noduler b. Toxic goiter: noduler (Parrys disease), difus (Graves disease)/Morbus Basedow 2. Inflamasi atau infeksi kelenjar tiroid a. Tiroiditis akut b. Tiroiditis sub-akut (de Quervain) c. Tiroiditis kronis (Hashimotos disease dan struma Riedel) 3. Neoplasma a. Neoplasma jinak (adenoma)6

b. Neoplasma ganas (adenocarcinoma) : papiliferum,folikularis, anaplastik Adapun klasifikasi klinisnya adalah ebagai berikut: a. Grade 0 : tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya normal

b. Grade IA : teraba struma, tapi tak terlihat c. Grade IB : teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi kepala menengadah d. Grade II : struma dapat dilihat dalam posisi biasa

e. Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak 6 meter f. Grade IV : struma yang amat besar

1.4 Struma Non Toksik 1.4.1 Etiologi Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid. Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : 1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism. 2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit tiroid autoimun 3. Goitrogen :

Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium

Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.

Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.

4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid 5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna

7

1.4.2 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Anamnesis yang telaten, pemeriksaan fisik yang seksama sering sudah cukup mendukung dalam menegakkan diagnosis kerja yang tajam untuk penderita struma. Selain hal-hal yang mendukung terjadinya struma akibat keradangan atau hiperplasi dan hipertrofi, maka perlu juga ditanyakan hal-hal yang diduga ada kaitannya dengan keganasan pada kelenjar tiroid, terutama pada struma uninodusa nontoksika antara lain: 1. Umur < 20 tahun atau > 50 tahun 2. Riwayat terpapar radiasi leher waktu kanak-kanak 3. Pembesaran kelenjar tiroid yang cepat 4. Disertai suara parau 5. Disertai disfagia 6. Disertai nyeri 7. Riwayat keluarga yang menderita kanker 8. Penderita struma hiperplasi, diterapi dengan hormone tiroksin tetap membesar 9. Disertai sesak nafas

Gambar 5. Pasien penderita struma multinodusa

Pada anamnesis dan pemerikasaan fisik untuk mengetahui adanya gangguan fungsi pada penderita struma, maka harus ditanyakan dan diperikasa hal-hal yang mendukung adanya hipertiroid, antara lain: 1. Berat badan turun, makannya banyak akan tetapi badan tetap kurus (Paradoxa Muller) 2. Kulit basah (hiperhidrosis), telapak tangan terasa hangat/panas/lembab dan kulit telapak tangan terasa halus akibat hipermetabolisme dan hiperhidrosis pada kelenjar keringat. Penderita tidak tahan terhadap hawa panas lebih tahan terhadap hawa dingin. 3. Takikardia, bila tidur nadinya tetap cepat, waspada ancaman atrial fibrilasi8

4. Tremor, gejala ini hamper selalu ada. Suruh penderita meluruskan lengannya ke depan dan merentangkan jari-jarinya, sambil memejamkan mata, diletakkan sehelai kertas diatas jari-jarinya, maka akan terlihat ada atau tidak tremor 5. Eksoptalmus, hampir 50% penderita, bisa bilateral atau unilateral. Patofisiologi belum jelas. Diduga akibat penambahan lemak dan infiltrasi limfosit retrobulbar a. Eksoptalmus ringan: melebarnya fisura palpebra superior (Steilwags sign) akibat retraksi otot palpebra superior. Apabila penderita kita suruh mengikuti gerakan tangan ke atas dan ke bawah dengan agak cepat tampak palpebra superior ketinggalan gerak. b. Eksoptalmus sedang: bila penderita menundukkan kepala kemudian kita suruh melirik ke atas, maka kerutan di dahi akan tampak sedikit sekali, bahkan tidak ada (Joffroys sign) c. Eksoptalmus berat: lemak retrobulber sudah menumpuk, ditambah edema retrobulber, sehingga dijumpai gejala kongestif itraorbital. Optamoplegia, kelemahan otot mata akibat protusi bola mata, sehingga bisa strabismus atau diplopia. Pada fase lanjut geraka konvergensi bola mata terganggu (Mobiuss sign) 6. Gelisah, hipermetabolisme system saraf membuat niali ambang saraf menurun, sehingga penderita menjadi iritabel, timbul tremor halus, depresi 7. Diare, hipereristaltik pada sitem pencernaan, mengakibatkan absorbsi tidak sempurna, dengan gejala akibatnya antara lain kekurangan vitamin dan mineral 8. Thyroid thrill, hipervaskular pada tiroid 9. Gangguan keseimbangan hormonal lain, gangguan pola menstruasi 10. Kelainan kulit, karena hipermetabolisme kulit, maka kulit hangat dan halus (fine texture) dan karena vasodilatasi, bila digores akan membekas (dermografi). 11. Basal Metabolisme Rate (BMR). Pengukuran mengguanakan Spirometri (Oxygen consumption rate) atau secara klinis kita bisa mengukur dengan rumus empiris: % BMR = 0,75 {0,74(s-d)+n}-72 s = sistole, d = diatole, n = nadi tensi dan nadi diukur pada keadaan basal harga normal (-)10% sampai (+)10% Biasanya penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipo atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma.9

Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada trakea. Pemeriksaan fisik pada pasien struma dilakukan secara sistematis (urut dari atas ke bawah), simetris (bandingkan kanan dan kiri), simultan (kanan dan kiri bersamaan). Secara rutin harus dievaluasi juga keadaan kelenjar getah bening lehernya, adakah pembesaran, dianjurkan penderita membuka bajunya. Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala penderita sedikit fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi, dengan demikan tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di tengkuk penderita sedang keempat jari yang lain dari arah lateral mengeveluasi tiroid serta mencari pole bawah kelenjar tiroid sewaktu penderita disuruh menelan. Pada struma yang besar dan masuk retrosternal, maka tidak dapat diraba trakea dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih bisa digerakkan ke arah lateral dan susah digerakkan ke arah vertikal. Struma menjadi terfiksir apabila sangat besar, keganasan yang sudah menembus kapsul, tiroiditis dan sudah ada jaringan fibrosis setelah operasi. Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu lobus (misalnya lobus kiri penderita), maka dilakukan dengan jari tangan kiri diletakkan di medial di bawah kartilago tiroid, lalu dorong benjolan tersebut ke kanan. Kemudian ibujari tangan kanan diletakkan di permukaan anterior benjolan. Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus

sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut. Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan: 1. lokasi: lobus kanan, lobus kiri, ismus 2. ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang 3. jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)10

4. konsistensi: kistik, lunak, kenyal, keras 5. nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi 6. mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus

sternokleidomastoideus 7. pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak

1.4.3 Pemeriksaan Penunjang Pemerikasaan penunjang yang digunakan dalam diagnosis penyakit tiroid terbagi atas: 1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi tiroid: Pemerikasaan hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay (RIA) dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma darah. Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6 nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadangkadang meningkat sampai 3 kali normal. 2. Pemeriksaan laboratorium untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid: Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum penderita dengan penyakit tiroid autoimun. - antibodi tiroglobulin - antibodi mikrosomal - antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies) - antibodi permukaan sel (cell surface antibody) - thyroid stimulating hormone antibody (TSA) 3. Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan Lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan dengan intubasi anastesinya. Bahkan tidak jarang untuk konfirmasi diagnostik tersebut sampai memerlukan CT-scan leher. 4. USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk: menentukan jumlah nodul membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik, mengukur volume dari nodul tiroid mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak11

Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan biopsi terarah Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.

5. Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji tangkap tiroid, yaitu dengan prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap radioaktivitas yang lebih tinggi. Metabolisme hormon tiroid sangat erat hubungannya dengan yodium, sehingga dengan yodium yang dimuati bahan radioaktif kita bisa mengamati aktivitas kelenjar tiroid maupun bentuk lesinya. 6. Pemeriksaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle aspiration biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja. 7. Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan pemeriksaan patologi anatomis untuk memastikan proses ganas atau jinak serta mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.

1.4.4 Diagnosis Dalam membuat diagnosis kerja pada penderita struma, maka hendaknya bisa menyampaikan kondisi struma tersebut dari aspek morfologi, aspek fungsi, dan kalau memang memungkinkan aspek histopatologinya. Dalam melakukan diagnosis untuk penderita struma, usahakan untuk bisa mencantumkan diagnosis mencakup ketiga aspek tersebut. Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinoduler pada saat dewasa. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita berusia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai bentuk involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh tiroksin. Sekitar 5 % dari struma nodosa mengalami keganasan. Tanda keganasan ialah setiap perubahan bentuk, perdarahan lokal dan tanda penyusupan di kulit, n. rekurens, trakea atau esofagus.

12

1.4.5 Penatalaksanaan Pilihan terapi nodul tiroid: a. Terapi supresi dengan hormon levotirosin b. Pembedahan c. Iodium radioaktif A. Terapi Supresi dengan Hormon Levothyroxine Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH (