referat struma
DESCRIPTION
strumaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh penambahan
jaringan kelenjar tiroid itu sendiri. Pembesaran kelenjar tiroid ini ada yang
menyebabkan perubahan fungsi pada tubuh dan ada juga yang tidak mempengaruhi
fungsi. Struma merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai sehari-hari, dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, struma dengan atau tanpa kelainan
fungsi metabolisme dapat didiagnosis secara tepat.(1,2)
Struma merupakan penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan yodium
sebagai unsur utama dalam pembentukan hormon T3 dan T4 sehingga untuk
mengimbangi kekurangan tersebut, kelenjar tiroid bekerja lebih aktif dan
memnimbulkan pembesaran yang mudah terlihat di kelenjar tiroid.1
Struma dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiologis yaitu termasuk di
dalamnya eutiroidisme, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Berdasarkan morfologi
dibedakan atas struma hyperplastica diffusa, struma colloides diffusa dan struma
nodular serta berdasarkan kliis dibedakan atas struma toksik dan struma non toksik.3
Penelitian Rebecca, et al di India tahun 2005 dilakukan pemeriksaan terhadap
505 perempuan dengan usia antara 20-80 tahun ditemukan 80 orang (15,8%)
menderita disfungsi tiroid, 425 orang (84,2%) eutiroidisme, 58 orang (11,5%)
hipotiroidisme, dan 9 orang (1,8%) hipertiroidisme.4
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR TIROID
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan tiroid, perlu diingat kembali tentang
anatomi tiroid. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali
sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu
penyakit atau kelainan.
A. Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid terdiri dari tiga lobus, yaitu lobus dextra, lobus sinistra dan
isthmus yang terletak di bagian tengah. Kadang- kadang dapat ditemukan bagian
keempat yaitu lobus piramidalis yang letaknya di atas isthmus agak ke kiri dari garis
tengah. Lobus ini merupakan sisa jaringan embrional tiroid yang masih tertinggal.4
Kelenjar tiroid mempunyai berat sekitar 25 – 30 gram dan terletak antara
tiroidea dan cincin trakea keenam. Seluruh jaringan tiroid dibungkus oleh suatu
lapisan yang disebut true capsule.(1,2,3)
2
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari :
. 1) A. Tiroidea superior yang merupakan cabang dari A. Carotis Externa
2) A. Tiroidea Inferior yang merupakan cabang dari A. Subclavia
3) A. Tiroidea Ima yang merupakan cabang dari Arcus Aorta
Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak di
dorsal tiroid sebelum masuk ke laring.
3
.
B. Fisiologi Tiroid
Kelenjar tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin yang mensekresikan
hormon Tiroksin atau T4, triiodotironin atau T3 dan kalsitonin. Di dalam darah
sebagian besar T3 dan T4 terikat oleh protein plasma yaitu albumin, Thyroxin
Binding Pre Albumin (TBPA) dan Thyroxin Binding Globulin (TGB). Sebagian kecil
T3 dan T4 bebas beredar dalam darah dan berperan dalam mengatur sekresi TSH.
Hormon tiroid dikendalikan oleh thyroid-stimulating hormone ( TSH ) yang
dihasilkan lobus anterior glandula hypofise dan pelepasannya dipengaruhi oleh
thyrotropine-releasing hormone ( TRH ). Kelenjar thyroid juga mengeluarkan
calcitonin dari parafolicular cell, yang dapat menurunkan kalsium serum
berpengaruh pada tulang.5
4
Fungsi hormon tiroid antara lain :
1) meningkatkan kecepatan metabolisme
2) efek kardiogenik
3) simpatogenik
4) pertumbuhan dan sistem saraf
2.2 STRUMA
Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek
fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi. Struma dapat dibagi menjadi
:
5
1) Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
a. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh
lobus, seperti yang ditemukan pada Grave’s disease.
b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai
salah satu lobus, seperti yang ditemukan pada Plummer’s disease.
2) Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis
pada tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
a. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter
b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid.6
Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :
1) Hiperplasia dan Hipertrofi
Setiap organ apabila dipicu untuk bekerja akan mengalami kompensasi
dengan cara memperbesar dan memperbanyak jumlah selnya.
Demikian juga dengan kelenjar tiroid pada saat pertumbuhan akan
dipacu untuk bekerja memproduksi hormon tiroksin sehingga lama
kelamaan akan membesar, misalnya saat pubertas dan kehamilan.
2) Inflamasi atau Infeksi
Proses peradangan pada kelenjar tiroid seperti pada tiroiditis akut,
tiroiditis subakut (de Quervain) dan tiroiditis kronis (Hashimoto).
6
3) Neoplasma (2,3,4)
Jinak dan ganas
Struma menimbulkan gejala klinis dikarenakan oleh perubahan kadar hormon
tiroid di dalam darah. Kelenjar tiroid dapat menghasilkan hormon tiroid dalam kadar
berlebih atau biasa disebut hipertiroid maupun dalam kadar kurang dari normal atau
biasa disebut hipotiroid. Gejala yang timbul pada hipertiroid adalah :
Peningkatan nafsu makan dan penurunan berat badan
Tidak tahan panas dan hiperhidrosis
Palpitasi, sistolik yang tinggi dan diastolik yang rendah sehingga
menghasilkan tekanan nadi yang tinggi (pulsus celler) dan dalam
jangka panjang dapat menjadi fibrilasi atrium
Tremor
Diare
Infertilitas, amenorrhae pada wanita dan atrofi testis pada pria
Exophtalmus.7
Gejala yang timbul pada hipotiroid adalah kebalikan dari hipertiroid :
Nafsu makan menurun dan berat badan bertambah
Tidak tahan dingin dan kulit kering bersisik
Bradikardi, tekanan sistolik yang rendah dan tekanan nadi yang lemah
7
Gerak tubuh menjadi lamban dan edema pada wajah, kelopak mata
dan tungkai
2.2.1 Struma Difusa Toksik (2)
a. Definisi
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Grave’s Disease. Penyakit ini
juga biasa disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid
difus, hipertiroidi dan eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang
muda dengan gejala seperti berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya
toleransi terhafap panas, penurunan berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan
menstruasi berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering buang air besar ). Klinis
sering ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang terdapat juga
manifestasi pada mata berupa exophthalmus dan miopatia ekstrabulbi. Walaupun
etiologi penyakit Graves tidak diketahui pasti, tampaknya terdapat peran dari suatu
antibodi yang dapat ditangkap reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap
peningkatan hormon tiroid. Penyakit ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi
yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.8
8
Gambar : penderita penyakit Graves
b. Patofisiologi
Grave’s Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan
system imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai Thyroid
Receptor Antibodies. Zat ini menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan
menstimulasinya secara berlebiham, sehingga TSH tidak dapat menempati
reseptornya dan kadar hormone tiroid dalam tubuh menjadi meningkat.8
c. Gejala Klinis (1,2)
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan
metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat
jelas. Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan
seringkali asupan ( intake) kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi
penurunan berat badan secara drastis.
9
Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk
peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/ cardiac
output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat. Irama nadi
meningkat dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus celer; penderita
akan mengalami takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan saraf
autonom dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi
atrium, dan fibrilasi ventrikel.8
Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering
timbul polidefekasi dan diare.8
Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita
sulit tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan
emosi, kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang
sangat menggangu.8
Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea
yang tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal,
biasanya cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan
oleh gangguan elektrolit yang dipicu oleh adanya hipertiroidi tersebut. (1,2,3)
Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia.
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap
reseptor pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat dan
jaringan lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot
mata terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola
mata akibat keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.8
10
Gambar : Skema patogenesis penyakit Graves
d. Tatalaksana
Terapi penyakit Graves ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/
hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau
karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka
panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap
tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa
gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan
kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan
komplikasi yang minimal.9
11
2.2.2 Struma Nodosa Toksik (2,3)
a. Definisi
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus
yang disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi pada usia
dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20
tahun dapat menjadi toksik. Pertama kali dibedakan dari penyakit Grave’s oleh
Plummer, maka disebut juga Plummer’s disease.8
b. Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar
tiroid yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera
diobati, dalam 15-20 tahun dapat menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan dari nontoksik menjadi toksik antara lain adalah nodul
tersebut berubah menjadi otonom sendiri (berhubungan dengan penyakit autoimun),
pemberian hormon tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif sebagai pengobatan.9
c. Gejala Klinis
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Grave’s disease dengan
Plummer’s disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang
membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat
merasakan pembesaran yang hanya terjadi pada salah satu lobus.9
d. Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummer’s Disease juga sama dengan Grave’s
yaitu ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan
pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif
dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium
radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi 12
dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar
tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang
permanen meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang
minimal.9
2.2.3 Struma Difusa Nontoksik (1,2,3)
a. Definisi
Struma endemik Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan
pembesaran kelenjar tiroid yang terjadi pada suatu populasi, dan diperkirakan
berhubungan dengan defisiensi diet dalam harian. Epidemologi Endemik goiter
diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada populasi anak sekolah
dasar/preadolescent (6-12 tahun), seperti terbukti dari beberapa penelitian. Goiter
endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam diet. Kejadian goiter endemik sering
terjadi di derah pegnungan, seperti di himalaya, alpens, daerah dengan ketersediaan
yodium alam dan cakupan pemberian yodium tambahan belum terlaksana dengan
baik.8
b. Patofisiologi
Umumnya, mekanisme terjadinya goiter disebabkan oleh adanya
defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu, goiter juga dapat disebabkan oleh
kelainan sintesis hormon tiroid kongenital ataupun goitrogen (agen penyebab goiter
seperti intake kalsium berlebihan maupun sayuran familiBrassica). Kurangnya iodin
menyebabkan kurangnya hormon tiroid yang dapat disintesis. Hal ini akan memicu
peningkatan pelepasan TSH (thyroid-stimulating hormone) ke dalam darah sebagai
efek kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan terjadinya hipertrofi dan
hiperplasi dari sel folikuler tiroid, sehingga terjadi pembesaran tiroid secara
makroskopik. Pembesaran ini dapat menormalkan kerja tubuh, oleh karena pada efek 13
kompensatorik tersebut kebutuhan hormon tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada
beberapa kasus, seperti defisiensi iodin endemik, pembesaran ini tidak akan dapat
mengompensasi penyakit yang ada. Kondisi itulah yang dikenal dengan goiter
hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid mengikuti level dan durasi defisiensi hormon
tiroid yang terjadi pada seseorang.8
Goiter Difus
Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran
yang tampak tanpa membentuk nodul. Benttuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-
toksik (fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel.
Dapat juga disebut sebagai goiter koloid karena sel folikel yang membesar tesebut
umumnya dipenuhi oleh koloid. Kelainan ini muncul pada goiter endemik dan
sporadik.10
Goiter endemik muncul di tempat yang tanah, air, maupun suplai makanannya
mengandung sedikit iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin secara meluas di daerah
teresebut. Contoh daerahnya adalah daerah pegunungan Alps, Andes atau
Himalaya.10
Sementara itu, goiter sporadik muncul lebih jarang dan dapat disebabkan oleh
berbagai hal, yaitu konsumsi bahan yang menghambat sintesis hormon tiroid atau
gangguan enzim untuk sintesis hormon tiroid yang turun secara herediter.10
Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan
involusi koloid. Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus dan
simetris, walaupun pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150 gram).
Folikel-folikelnya dilapisi oleh sel kolumner yang banyak dan berdesakan.
Akumulasi sel ini tidak sama di keseluruhan kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi
iodin ditingkatkan atau kebutuhan tubuh akan hormon tiroid menurun, terjadi involusi
sel epitel folikel sehingga terbentuk folikel yang besar dan dipenuhi oleh koloid.
Biasanya secara makroskopik tiroid akan terlihat coklat dan translusen, sementara
14
secara histologis akan terlihat bahwa folikel dipenuhi oleh koloid serta sel epitelnya
gepeng dan kuboid.10
c. Gejala Klinis (3,4)
Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran kelenjar
tiroid. Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan eutiroid, namun sebagian
lagi mengalami keadaaan hipotiroid. Hipotiroidisme lebih sering terjadi pada anak-
anak dengan defek biosintetik sebagai penyebabnya, termasuk defek pada transfer
yodium.9
d. Tatalaksana
Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan struma
dan mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan pemberian SoL Lugoli
selama 4-6 bulan. Bila ada perbaikan, pengobatan dilanjutkan sampai tahun dan
kemudian tapering off dalam 4 minggu. Bila 6 bulan sesudah pengobatan struma
tidak juga mengecil maka pengobatan medikamentosa tidak berhasil dan harus
dilakukan tindakan operatif.9
2.2.4 Struma Nodosa Nontoksik (1,2,3)
a. Definisi
Struma nodosa nontoksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik
teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma
nodosa menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang
menyebabkan pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-
tanda toksisitas pada tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma
nodosa nontoksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus
diwaspadai tanda-tanda keganasan yang mungkin ada.11
15
b. Patofisiologi
Struma nodosa nontoksik dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika
goiter endemis terjadi 10% populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter
sporadis terjadi pada seseorang yang tidak tinggal di daerah endemik beryodium
rendah. Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan jelas, bisa terdapat
gangguan enzim yang penting dalam sintesis hormon tiroid atau konsumsi obat-
obatan yang mengandung litium, propiltiourasil, fenilbutazone, atau
aminoglutatimid.11
c. Gejala Klinis
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis Struma nodosa
nontoksik adalah tidak adanya gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar
hormon tiroid, dan pada palpasi dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada
salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang
menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-angsur,
struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar
penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke
depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya
bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke
arah kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan
pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai
akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar.
Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk
menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada trakea.11
d. Tatalaksana16
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada Struma nodosa
nontoksik. Macam-macam teknik operasinya antara lain :
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar
disisakan seberat 3 gram
b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh isthmus
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus kanan
dan sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior dilakukan untuk
mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N. Rekurens Laryngeus
2.2.6 Langkah-langkah Penegakkan Diagnosis Struma (2,3,4)
a. Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa
benjolan di leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid atau
hipotiroidnya. Jika pasien mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus digali
lebih jauh apakah pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai dengan
gangguan menelan, gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu baru
ditanyakan ada tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari kelenjer tiroid. Perlu
juga ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk mengetahui
apakah ada kecendrungan ke arah struma endemik. Sebaliknya jika pasien datang
dengan keluhan ke arah gejala-gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus
digali lebih jauh ke arah hiper atau hipo dan ada tidaknya benjolan di leher.6
b. Pemeriksaan Fisik17
Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling
pertama dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak,
timbul tanda-tanda gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau
tidak.6
Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan tersebut benar
adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat
pasien diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut
bergerak saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan
kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher. Pembesaran yang teraba harus
dideskripsikan:
- Lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus
- Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
- Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
- Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
- Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
- Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoidea
- Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak
c. Pemeriksaan Penunjang (1,2,3)
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit
tiroid terbagi atas :
1. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid. Pemeriksaan untuk
mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH paling sering
menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA) dan ELISA
dalam serum atau plasma darah. Kadar normal T4 total pada
18
orang dewasa adalah 50-120 ng/dl. Kadar normal untuk T3 pada
orang dewasa adalah 0,65-1,7 ng/dl.
2. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid yang ditemukan
pada serum penderita dengan penyakit tiroid autoimun. Seperti
antibodi tiroglobulin dan thyroid stimulating hormone antibody
3. Pemeriksaan radiologis
Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau
pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara
klinis pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan
lateral biasanya menjadi pilihan.
USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah
nodul, membedakan antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi
adanya jaringan kanker yang tidak menangkap iodium dan bisa
dilihat dengan scanning tiroid.
Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari I 131
yang didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan teraan
ukuran, bentuk lokasi dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian
tiroid (distribusi dalam kelenjar). Uptake normal 15-40% dalam
24 jam. Dari hasil scanning tiroid dapat dibedakan 3 bentuk,
yaitu cold nodule bila uptake nihil atau kurang dari normal
dibandingkan dengan daerah disekitarnya, ini menunjukkan
fungsi yang rendah dan sering terjadi pada neoplasma. Bentuk
yang kedua adalah warm nodule bila uptakenya sama dengan
sekitarnya, menunjukkan fungsi yang nodul sama dengan bagian
19
tiroid lain. Terakhir adalah hot nodule bila uptake lebih dari
normal, berarti aktifitasnya berlebih dan jarang pada neoplasma.
4. FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%. Hal ini
perlu diingat agar jangan sampai menentukan terapi definitif
hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
d. Tindakan Pembedahan
Indikasi operasi pada struma adalah :
1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
3. Struma dengan gangguan kompresi
4. Kosmetik
Kontraindikasi pada operasi struma :
1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain
yang belum terkontrol
3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit
digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang
demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek
prognosisnya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat
sekaligus dilakukanreseksi trakea atau laringektomi, tetapi
perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan
eksisi yang baik.20
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah
nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut
suspek maligna, maka dibedakan apakah kasus tersebut operable atau
inoperable.
Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan
biopsi insisi untuk keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan
tindakan debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul
tiroid suspek maligna yang operable atau suspek benigna dapat dilakukan
tindakan isthmolobektomi atau lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan
bahwa lesi tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus
ditentukan terlebih dahulu jenis karsinoma yang terjadi.
Komplikasi pembedahan tiroid :
a. Perdarahan dari A. Tiroidea superior
b. Dispneu
c. Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-oto laring
terjadi kelemahan
d. Paralisis N. Laryngeus Superior. Akibatnya suara penderita
menjadi lenih lemah dan sukar mengontrol suara nada
tinggi, karena terjadi pemendekan pita suara oleh karena
relaksasi M. Krikotiroid. Kemungkinan nervus terligasi
saat operasi
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Pendit, Brahm U., 2002. Buku Ajar Fisologi Kedokteran, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
2. Rebecca, et al., 2005. Thyroid of Puducherry. Indian Journl Of Clinical
Biochemistry, Vol. 24 , No. 1 hal 52-59.
http://www.unboundmedicine.com/medline.
3. Seymour I.S., 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
4. Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat,
Buku Dua, EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.
5. Liberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit
Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.
6. Aru W., Sudoyo, dkk, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta.
7. Haznam,M. W., 2006. Endokrinologi. Penerbit Angkasa Offset Merdeka,
Bandung.
8. Davis, Anu Bhalla., 2005. Goiter Toxic Nodular. eMedicine.
9. Ketut S., Nengah D.S., 2005. Penyakit Kelenjar Tiroid. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
10. Jonathan G., 2003. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
11. Pirce A.G. Neil R.B., 2006. Surgery at a Glance. Edisi 3. Penerbit Erlangga,
Jakarta.
22