struktur makroskopik ginjal

Upload: grace-vanadia-parapak

Post on 19-Jul-2015

500 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Struktur Makroskopik Ginjal Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 am (4,7 hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci) dan beratnya sekitar 150 gram. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal (dibandingkan dengan pasangannya) yang lebih dari 1,5 cm (0,6 inci) atau perubahan bentuk merupakan tanda yang penting karena sebagian besar manifestasi penyakit ginjal adalah perubahan struktur. Permukaan anterior dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi lateral ginjal berbentuk cembung sedangkan tepi medialnya berbentuk cekung karena adanya hilus. Beberapa struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus adalah arteria dan vena renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter. Ginjal diliputi oleh suatu kapsula fibrosa tipis mengkilat yang berikatan longgar dengan jaringan yang ada di bawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal. Potongan longitudinal ginjal memperlihatkan dua daerah yang berbeda korteks di bagian luar dan medula bagian dalam. Medula terbagi-bagi menjadi baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut diselingi oleh bagian korteks yang disebut kolumna Bertini. Piramidpiramid tresebut tersebut tampak bercorak karena tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila (apeks) dari tiap piramid membentuk duktus papilaris Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis ginjal berbentuk seperti cawan yang disebut kaliks minor (L. Calix, cawan). Beberapa kaliks minor bersatu membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem pengumpul ginjal. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria. Pengetahuan mengenai anatomi ginjal merupakan dasar untuk memahami pembentukan urine. Pembentukan urine dimulai dalam korteks dan berlanjut selama bahan pembentukan urine tersebut mengalir melalui tubulus dan duktus pengumpul. Urine yang terbentuk kemudian mengalir ka dalam duktus papilaris Bellini, masuk kaliks minor, kaliks mayor, pelvis ginjal, dan akhirnya meninggalkan ginjal melalui ureter menuju vesika urinaria. Dinding kaliks, pelvis, dan ureter mengandung otot polos yang dapat berkontraksi secara berirama dan membantu mendorong urine melalui saluran kemih saluran kemih dengan gerakan peristaltik.

Suplai Pembuluh Darah Makroskopik Ginjal Arteria renalis berasal dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis II. Aorta terletak di sebelah kiri garis tengah sehingga arteria renalis kanan lebih panjang dari arteria renalis kiri. Setiap arteria renalis bercabang sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal. Vena renalis menyalurkan darah dari masing-masing ginjal ke dalam vena kava inferior yang terletak di sebelah kanan dari garis tengah. Akibatnya vena renalis kiri kira-kira dua kali lebih panjang dari vena renalis kanan. Gambaran anatomis ini menyebabkan ahli bedah transplantasi biasanya lebih suka memilih ginjal kiri donor yang kemudian diputar dan ditempatkan pada pelvis kanan resipien. Ada sedikit kesulitan bila arteria renalis pendek dan beranastomosis dengan arteria iliaka intrena (hipogastrika). Namun, vena renalis harus lebih panjang, karena ditanmakan langsung ke dalam iliaka eksterna. Saat arteria renalis masuk ke dalam hilus, arteria tersebut bercabang menjadi arteria interlobaris yang berjalan di antara piramid, selanjutnya membentuk percabangan arkuata yang melengkung melintasi basis piramid-piramid tersebut. Arteria arkuata kemudian membentuk arteriol-arteriol interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteriola interlobularis ini selanjutnya membentuk arteriola aferen. Masing-masing arteriol aferen akan menyuplai darah ke rumbai-rumbai kapiler yang disebut glomerulus (jam., gromeruli). Kapiler glomeruli bersatu membentuk arteriol eferen yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem jarinagn portal yang mengelilingi tubulus dankadang-kadang disebut kapiler peritubular. Sirkulasi ginjal tidak seperti biasa yang terbagi menjadi dua bantalan kapiler yang terpisah, tapi bantalan glomerulus dan bantalan kapiler peritubular terbentuk menjadi rangkaian sehingga semua darah ginjal melewati keduanya. Tekanan dalam bantalan kapiler yang pertama (tempat terjadi filtrasi) adalah lebih tinggi (40 hingga 59 mg Hg), sedangkan tekanan dalam kapiler peritubular (tempat reabsorbsi tubular kembali ke sirkualsi) adalah rendah (5 hingga 10 mm Hg) dan menyerupai kapiler di tempat lain dalam tubuh. Darah yang melewati jaringan portal ini mengalir ke jaringan vena interlobular, arkuata, interlobar, dan vena ginjal untuk mencapai vena kava inferior.

Gambaran Khusus Aliran darah Ginjal Ginjal diperfusi oleh sekitar 1.200 ml darah per menit suatu volume yang sama dengan 20% sampai 25% curah jantung (5.000 ml per menit). Kenyataan ini memang sangat menakjubkan, kalau kita pertimbangkan bahwa berat kedua ginjal kurang dari 1% dari berat seluruh tubuh. Lebih dari dari 90% darah yang masuk ke ginjal didistribusikan ke korteks, sedangkan sisanya didistribusikan ke medula (arti fisiologis hal ini terhadap urine akan dibahas kemudian). Sifat khusus aliran darah ginjal yang lain adalah autoregulasi aliran darah melalui ginjal. Arteriol afern mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat mengubah resistensunya sebgai respons terhadap perubahan tekanan darah arteria, dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus tetap konstan. Fungsi ini efektif pada tekanan arteria antara 80 sampai 180 mm Hg. Hasilnya adalah pencegahan terjadinya perubahan besar dalam eksresi zat terlarut dan air. Tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu autoregulasi ini dapat ditaklukkan, meskipun tekanan arteria masih dalam batas autoregulasi. Saraf-saraf renal dapat menyebabkan vasokonstriksi pada keadaan darurat dan mengalihkan darah dari ginjal ke jantung, otak, atau otot rangka dengan mengorbankan ginjal. Gangguan autoregulasi dan distribusi aliran darah intraranal mungkin penting dalam patogenesis gagal ginjaloliguria akut. Variasi Suplai Vaskular Ginjal Ginjal mendapatkan banyak darah dari arteria atau vena. Anomali arteria renalis jauh lebih sering ditemukan daripada kelainan vena. Kenyataannya, sekitar 25% dari populasi atau lebih memilki lebih dari satu arteria renalis yang menyuplai ginjal. Arteria-arteria tambahan ini biasanya berasal dari percabangan kecil-kecil dari aorta dan menyuplai kutub-kutub ginjal. Arteriogram suplai darah ginjal penting dilakukan pada donor sebelum pelaksanaan transplantasi ginjal, karena variasi seperti ini secara teknis dapat menyulitkan ahli bedah.

STRUKTUR MIKROSKOPIK GINJALNefron Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar satu juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai jumlah total dari fungsi semua nefron tersebut. Setiap nefron terdiri

dari kapsula Bowman yang mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus, kontortus proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul. Orang yan normal masih dapat bertahan (walaupun dengan susah payah) dengan jumlah nefron kurang dari 200.000 atau 1% dari massa nefron total. Dengan demikian, masih mungkin untuk transplantasi tanpa membahayakan kehidupan. Korpuskulus Ginjal Korpuskulus ginjal terdiri dari kapsula Bowman dan rumbai kapiler glomerulus. Istilah glomerulus seringkali digunakan juga untuk menyatakan korpuskulus ginjal,walaupun glomerulus lebih sesuai untuk menyatakan rumbai kapiler. Kapsula Bowman merupakan suatu inavigasi dari tubulus proksimal. Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan kapsula Bowman, dan ruang yang mengandung urine ini dikenal dengan nama ruang Bowman atau ruang kapsular. Kapsula Bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel parietalis berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar kapsula; sel epitel viseralis jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga melapisi bagian luar dari rumbai kapiler. Sel viseralis membentuk tonjolantonjolan atau kaki-kaki yang dikenal sebagai podosit, yang bersinggungan dengan membrana basalis pada jarak-jarak tertentu sehingga terdapat daerah-daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel. Daerah - daerah yang terdapat di antara podosit biasanya disebut celah pori-pori, lebarnya sekitar 400 (satuan Angstrom). Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit di antara sel-sel epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain. Membrana basalis kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari gel hidrasi yan g menjalin serat kolagen. Pada membrana basalis tidak tampak adanya pori-pori, kendati pun bersifat seakan-akan memilki pori-pori yang berdiameter sekitar 70 sampai 100. Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Tidak seperti sel-sel epitel, sel endotel langsung berkontak dengan membrana basalis. Nemun terdapat beberapa pelebaran seperti jendela (dikenal dengan nama fenestrasi) yang berdiameter sekitar 600. Sel-sel endotel berlanjut dengan endotel yang membatasi arteriola aferen dan eferen. Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel viseralis merupakan tiga lapisan yang membentuk filtrasi glomerulus. Membran filtrasi glomerulus memungkinkan ultra filtrasi darah melalui pemisahan unsur-unsur darah dan molekul-molekul protein besar ldari bagian plasma

lainnya, dan mengalirkan bagian plasa tersebut sebagai urine primer ke dalam ruang dari kapsula Bowman. Sifat diskriminatif ultrafiltrasi glomerulus timbul dari susunan struktur yang unik dan komposisi kimia dari sawar ultrafiltrasi. Membran basalis glomerulus tampaknya merupakan struktur yang membatasi lewatnya zat terlarut ke dalam ruangan urine berdasarkan seleksi ukuran molekul. Di samping itu, sawar filtrasi memiliki muatan negatif yang ditimbulkan oleh kumpulan makromolekul kaya anion pada membrana basalis dan melapisi batas epitel dan endotel. Muatan negatif inilah yang menjadi alasan mengapa secara normal albumin anionik (yang berdiameter sedikit lebih kecil daripada ukuran pori yang terkecil) tidak mampu masuk ke ruang urine. Molekulmolekul protein yang besar serta sel-sel darah dalam keadaan normal tidak ditemukan dalam filtrat maupun urine. Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium yang terdiri dari sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial membentuk jaringan yang berlanjut antara lengkung kapiler dari glomerulus dan diduga berfungsi sebagai kerangka jaringan penyokong. Sel mesangial bukan merupakan bagian dari membran filtrasi namun menyekresi matriks mesangial. Sel masangial memiliki aktivitas fagostik dan menyekresi prostaglandin. Sel mesangial mungkin berperan dalam memengaruhi kecepatan filtrasi glomerulus dengan mengatur aliran melalui kapiler karena sel mesangial memilki keampuan untuk berkontraksi dan terletak bersebelahan dengan kapiler glomerulus. Sel mesangial yang terletak di luar rumbai glomerular dekat dengan kutub vaskular glomerus (antara arteriola aferen dan eferen) disebut sel lacis.

Aparatus Jukstaglomerulus Aparatus jukstaglomerulus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang letaknya dekat dengan kutub vaskular masing-masing glomerulus yang berperan penting dalam mengatur pelepasan renin dan mengontrol volume cairan ekstraseluler (ECF) dan tekanan darah. JGA terdiri darii tiga macam sel: 1) Jukstaglomerulus (JG) atau sel granular (yang memproduksi dan menyimpan renin) pada dinding arteriol aferen. 2) Makula densa tubulus distal. 3) Mesangial akstraglomerrlar atau sel lacis. Makula densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai dengan pewarnaan khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan sel JG yang menyekresi renin.

Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor ekstrarenal dan intrarenal.dua mekanisme penting untuk mengontrol sekresi renin adalah sel JG dan makula densa. Setiap penurunan tegangan dinding aferiol aferen atau penurunan pengiriman Na ke makula densa dalam tubulus distal akan merangsang sel JG untuk melepaskan renin dalam granula tempat renin tersebut disimpan sel. Sel JG, yang mioepitelialnya secara khusus mengikat arteriol aferen, juga bertindak sebagai transduser tekanan miniatur, yaitu merasakan tekanan perfusi ginjal. Volume ECF atau volume sirkulasi efektif (ECV) yang sangat menurun menyebabkan menurunnya tekanan perfusi ginjal, yang dirasakan sebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian melepaskan renin ke dalam sirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan mekanisme renin-angiostensin-aldosteron. Mekanisme kontrol kedua untuk pelepasan berpusat di dalam sel makula densa, yang dapat berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida yang tedapat pada tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit natrium klorida (NaCl) dialirkan ke tubulus distal (karena banyak yang doabsorbsi dalam tubulus proksimal); kemudian timbal balik dari sel makula densa ke sel JG menyebabkan peningkatan pelepasan renin. Mekanisme sinyal klorida yang diartikan menjadi sekresi renin ini belum diketahui dengan pasti. Suatu peningkatan volume ECF yang menyebabkan peningkatan tekanan perfusi ginjal dan meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki efek yang berlawanan dari contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECF yaitu menekan sekresi renin. Faktor lain yang memengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal, yang merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta-adregenik dalam JGA dan angiostensin yang menghambat pelepasan renin. Banyak faktor sirkulasi lain yang juga mengubah sekresi renin, termasuk elektrolit plasma (kalsium dan natrium)dan berbagai hormon yaitu hormon natriuretik atrial, dopamin, hormon antidiuretik (ADH), hormon adrenokortikotropik (ACTH), dan nitrit oksida (dahulu dikenal sebagai faktor relaksasi yang berasal dari endotelium [EDRF]), dan prostaglandin. Hal ini terjadi mungkin karena JGA adalah tempat integrasi berbagai input dan sekresi renin itu mencerminkan interaksi dari semua faktor.

FISIOLOGI DASAR GINJALFungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi ECF dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorbsi, dan sekresi tubulus .

Ultrafiltrasi Glomerulus Pembentukan urine dimulai dengan proses filtrasi glomerulus plasma. Aliran darah ginjal (RBF) setara sengan dekitar 25% curah jantung atau 1.200 ml/menit. Bila hematokrit normal dianggap 45%, maka aliran plasma ginjal (RPF) sama dengan 660 ml/menit (0,55 x 1.200 = 660). Sekitar seperlima dari plasma atau 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula Bowman. Ini dikenal dengan istilah laju filtrasi glomerulus (GFR). Proses filtrasi pada glomerulus dinamakan ultrafiltrasi glomerulus, karena filtrat primer mempunyai komposisi sama seperti plasma kecuali tanpa protein. Sel-sel darah dan molekul-molekul protein yang besar atau protein bermuatan negatif (seperti albumin) secara efektif tertahan oleh seleksi ukuran dan seleksi muatan yang merupakan ciri khas dari sawar memban filtrasi glomerular, sedangkan molekul yang berukuran lebih kecil atau dengan beban yang netral atau positif (seperti air dan kristaloid) sudah langsung tersaring. Perhitungan menunjukkan bahwa 173 L cairan berhasil disaring melalui glomerulus dalam waktu sehari suatu jumlah yang menakjubkan untuk organ yang beban totalnya hanya sekitar 10 ons. Saat filtrat mengalir melalui tubulus, ditambahkan atau diambil berbagai zat dari filtrat, sehingga akhirnya hanya sekitar 1,5 L/hari yang dieksresi sebagai urine. Tekanan-tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus yang cepat ini seluruhnya bersifat pasif, dan tidak dibutuhkan energi metabolikdalam proses filtrasi tersebut. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terapat antara kapiler glomerulus dan kapsula Bowman. Tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula Bowman serta tekanan onkotik darah. Tekanan onkotik dalam kapsula Bowman pada hakekatnya adalah nol, karena filtrasi secara normal sama sekali tidak ada protein. Walaupun pada manusia tidak pernah diukur, tekanan kapiler glomerulus seperti yang diperkirakan oleh Pitts (1974) adalah sekitar 50 mmHg, dan tekanan intrakapsular sekitar 10 mmHg. Perkiraan ini didasarkan pada pengukuran yang dilakukan pada tikus. Tekanan onkotik darah besar-besaran sekitar 30 mmHg. Dengan demikian, tekanan filtrasi bersih dari glomerulus besarnya sekitar 10 mmHg . filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan fisik di atas, namun juga oleh permeabilitas membran membran filtrasi (Kf). Kf adalah hasil dari permeabilitas intrinsik kapiler glomerular dan daerah permukaan glomerulus untuk filtrasi. Laju filtrasi lebih tinggi dalam kapiler glomerulus dari pada kapiler lainnya, karena Kf kira-kira 100 kali lebih tinggi (173 L/hari melawan kira-kira 2 L/hari). Keseimbangan dari tekanan-tekanan yang berperang dalam proses ultrafiltrasi glomerulus dapat diringkas sebagai berikut : Tekanan hidrostatik Intrakapiler tekanan hidrostatik intrakapsular tekanan onkotik intrakapiler

GRF=Kf x

-

+

Cara yang paling akurat untuk mengukur GFR ialah dengan mengguanakan suatu zat seperti inulin, yang diflitrasi secara bebas pada glomerulus dan tidak disekresi maupun direabsorbsi oleh tubulus. Bersihan suatu zat adalah besarnya volume plasma dari zat yang dibersihkan secra total oleh ginjal per satuan waktu. Laju bersihan inulin sama dengan GFR, yang diukur dengan pemberian inulin dengan kecepatan tetesan intravena (IV) yang konstan untuk menjamin tingkat konsentrasi plasma yang konstan. Hasil pengukuran konsentrasi inulin dalam plasma (Pin) dalam mg/dl, dalam urine (Uin) dalam mg/dl, serta volume urine (V) dalam ml/menit, memungkinkan penghitungan bersihan inulin (Cin) dalam ml/menit. Hasilnya harus dikoreksi terhadap luas permukaan tubuh diperkirakan dengan menggunakan nomogram yang menghubungkan tinggi dan berat badan terhadap luas permukaan tubuh. Misalnya bila seseorang mengeluarkan urine dengan kecepatan 4,2 ml/menit, spesimen Uin sebesar 600 mg/dl. Dan Pin sebesar 25 mg/100 ml, maka: (Uin) 600 mg/dl x (V) 4,2 ml/menit GFR = Cin = (Pin) 25 mg/dl = 100 ml/menit GFR yang diperoleh dalam 100 ml/menit kemudian dinormalkan dengan mengoreksinya terhadap standar luas permukaan tubuh normal sebesar 1,73 m2. Koreksi ini memungkinkan kita membandingkan fungsi pada orang-orang yang berbeda keadaan fisiknya. GFR laki-laki muda normal berkisar 125 15 ml/menit/ 1,73 m2, sedangkan GFR perempuan muda normal adalah 110 15 ml/menit/ 1,73 m2.

Autoregulasi Aliran Plasma Ginjal dan Laju Filtrasi Glomerulus GFR tidak sepenuhnya bergantung pada kekuatan fifk yang bekerja di membran glomerulus. Ginjal memiliki kemampuan untuk mempertahankan GRF dan RPD pada tingkat yang relatif konstan walaupun terdapat fluktuasi harian normal dalam tekanan darah sistemik dan tekanan perfusi ginjal. Fenomena ini (bersifat intrinsik dalam ginjal) dinamakan autoregulasi. Tujuan mempertahankan GFR dalam kisaran yang sempit adalah untuk mencegah fluktuasi yang tidak sesuai bagi natrium dan sekresi air. Autoregulasi lebih efektif bila kisaran tekanan darah arteri sekitar 80 sampai 180 mm Hg namun dapat pula tidak efektif walaupun pada kisaran tersebut berada dalam keadaa patologis tertentu. Dua mekanisme yang sangat berperan dalam autoregulasi RPF dan GFR adalah:

1) Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vaskular arterior aferen. 2) Timbal balik tubuloglomerular (TGF).

Selain itu, norepinefrin, angiostensin II, dan hormon lain juga dapat memengaruhi autoregulasi. Kapiler gromerular berbeda dari bantalan kapiler lain dalam menempatkan diri di antara dua arteriol (aferen dan eferen). Sebagai akibatnya, tekanan hidrostatik intrakapiler (Pgc) ditentukan oleh tiga faktor: 1) Tekanan darah sistemik. 2) Resistensi pada arteriol aferen. 3) Resistensi pada arteriol eferen. Pengaturan ini mengikuti regulasi cepat GFR dengan mengubah resistensi dalam arteriol aferen dan eferen. Sebagai contoh , kenaikan tekanan darah sistemik dan tekanan perfusi ginjal dapat diharapkan untuk meningkatkan Pgc dan kemudian meningkatkan laju RPF dan GFR. Namun peningkatan tekanan perfusi ginjal akan dirasakan oleh reseptor regang miotonik dalam arteriol aferen yang mengakibatkan konstraksi dalam arteriol aferen. Tapi, arteriol aferen tidak merespon secara langsung perubahan dalam regangan sehingga tidak memperbesar respon miotonik. Akibat dari vasokonstriksi arteriol aferen tersebut adalah reduksi RPF, Pgc, dan GFR, sehinggamengimbangi peningkatan yang besar dalam GFR yang dapat diharapkan dengan meningkatkan tekanan perfusi ginjal. Di lain pihak, jika terdapat hipotesis sistemik, sistem renin-angiostensin diaktifkan dengan pembentukan angiostensin II. Angiostensin II menyebabkan vasokonstriksi arteriol aferen dan vasokonstriksi arteriol eferen namun pada derajat yan lebih rendah. Akibatnya adalah reduksi tekanan perfusi ginjal serta RPF (karena peningkatan resistensi arteriol aferen) dan peningkatan Pgc (karena peningkatan resistensi arteriol eferen). Akibat yang menguntungkan adalah bahwa angiostensin II meniadakan regulasi GFR : penurunan RPF cenderung meningkatkan GFR. Norepinefrin (dilepaskan dari saraf simpatik ginjal atau dari korteks adrenal) meningkatkan efek vasokonstriksi dari angiostensin II. Angiostensin II juga merangsang pelepasan prostaglansin vasodilator (misalnya PGI2, PGE2) dari glomerulus, yang meminimalkan kemungkinan terjadinya iskemi ginjal dalam keadaan hipotensi sistemik. Mekanisme kedua yang bertanggung jawab terhadap autoregulasi GFR (yaitu TGF) mengacu kepada perubahan yang dapat ditimbulkan oleh perubahan kecepatan aliran di tubulus distal. TGF diperantarai oleh sel makula densa dalam tubulus distal (bersebelahan dengan kutub glomerulus), yang sensitif terhadap komposisi klorida cairan tubulus. Angka NaCl yang tinggi dalam tubulus distal menyebabkan konstriksi arteriol aferen sehingga mengurangi GFR dalam nefron tersebut.

Berdasarkan mekanisme ini, nefron itu sendiri benar-benar suatu lengkung timbal balik. Peningkatan GFR menyebabkan peningkatan hantaran NaCl ke nefron distal dan oleh sebab itu akan

meningkatkan pemindahan natrium melewati sel makula densa. Kemudian akan diikuti oleh reduksi GFR. Sebaliknya bila GFR rendah, hanya sedikit natrium yang tersedia untuk berpindah melewati sel makula densa. Arteriol aferen berdilatasi, dan GFR meningkat.

Reabsorbsi dan Sekresi Tubulus Tiga kelas zat yang difiltrasi dalam glomerulus: elektrolit, nonelektrolit, dan air. Beberapa elektrolit yang paling penting adalah natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), bikarbonat (HCO3-), klorida (Cl-), dan fosfat (HPO4=). Nonelektrolit yang penting adalah glukosa,asam amino, dan metabolit yang merupakan produk akhir dari proses metabolisme protein: urea, asam urat, dan kreatinin. Langkah kedua dalam proses pembentukan urine setelah filtrasi adalah reabsorbsi selektif zat-zat yang sudah difiltrasi. Sebagian besar zat yang difiltrasi direabsorbsi melalui pori-pori kecil yang terdapat dalam tubulus sehingga akhirnya zat-zat tersebut kembali lagi ke dalam kapiler peritubulus yang mengelilingi tubulus. Di samping itu, beberapa zat disekresi pula dari pembuluh darah peritubulus sekitar ke dalam tubulus. Proses reabsorbsi dan sekresi ini berlangsung melalui mekanisme transpor aktif dan pasif. Suatu mekanisme disebut aktif bila zat berpindah melawan perbedaan elektrokimia (yaitu melawan perbedaan potensial listrik, potensial kimia, atau keduanya). Kerja langsung ditujukan pada zat yang direabsorbsi atau disekresi oleh sel-sel tubulus tersebut, dan energi ini dikeluarkan dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) (misalnya 3Na+ / 2K+ ATPase). Mekanisme transpor disebut pasif bila zat direabsorbsi atau disekresi bergerak mengikuti perbedaan elektrokimia yang ada. Selama proses perpindahan zat tersebut tidak dibutuhkan energi. Glukosa dan asam amino direabsorbsi seluruhnya di sepanjang tubulus proksimal melalui transpor aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorbsi secara aktif dan keduanya disekresi ke dalam tubulus distal. Sedikitnya dua pertiga dari jumlah natrium yang difiltrasi akan direabsorbsi secara aktif dalam tubulus proksimal. Proses reabsorbsi natrium berlanjut dalam lengkung Henle, tubulus distal dan pengumpul, sehingga kurang dari 1% beban yang difiltrasi dieksresikan dalam urine. Sebagian besar Ca2+ dan HPO4= direabsorbsi dalam tubulus proksimal dengan cara transpor aktif. Air, klorida, dan urea direabsorbsi dalam tubulus proksimal melalui transpor pasif. Dengan berpindahnya ion natrium yang bermuatan positif keluar lumen tubulus, maka ion klorida yang bermuatan negatif harus menyertai untuk mencapai kondisi listrik yang netral. Keluarnya sejumlah besar ion dan nonelektrolit dari cairan tubulus proksimal menyebabkan cairan

mengalami pengenceran osmotik dan akibatnya air berdifusi ke luar tubulus dan masuk ke darah peritubular. Urea kemudain berdifusi secara pasif mengikuti perbedaan konsentrasi yang terbentuk oleh reabsorbsi air. Ion hidrogen (H+), asam organi seperti para-amino-hipurat (PAH) dan penisilin, juga kreatinin (suatu basa organik) semuanya secara aktif dideekresi ke salam tubulus proksimal. Sekitar 90% dari bikarbonat direabsorbsi secara tak langsung dari tubulus proksimal melalui pertukaran Na+ - H+. H+ yang disekresi ke dalam luen tubulus (sebagai penukar Na+) akan berikatan dengan HCO3- yang terdapat dalam filtrat glomerulus sehingga terbentuk asam karbonat (H2CO3). H2CO3 akan berdisosiasi menjadi air dan karbon dioksida (CO2). CO2 maupun H2O akan berdifusi keluar dari lumen tubulus, masuk ke sel tubulus. Dalam sel tubulus tersebut, aekali lagi, karbonik anhidrase mengatalisis reaksi CO2 dengan H2O untuk membentuk H2CO3 sekali lagi. Disosiasi H2CO3 menghasilkan HCO3 dan H+. H+ disekresi kembali menjadi HCO3- akan masuk ke dalam darah peritubular bersama dengan Na+. Dalam lengkung Henle, Cl- ditranspor keluar secara aktif dari bagian asenden dan diikuti secara pasif oleh Na+. NaCl selanjutnya akan berdifusi secara masuk bagian lengkung desenden. Proses ini penting dalam pemekatan urine dan akan dibahas kemudain. Proses sekresi dan reabsorpsi selektif diselesaikan dalam tubulus dan duktus pengumpul. Dua fungs penting tubulus adalah pengaturan tahap akhir dari keseimbangan air dan asam basa. Pada fungsi sel yang normal, pH ECF harus dapat dipertahankan dalam batas sempit antara 7,35 sampai 7,45. Sejumlah mekanisme biologis bersama-sama membantu mempertahankan pH dalam batas normal. Dapar darah yang paling utama adalah sistem asam bikarbonat-karbonat yang dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

Karbonik anhidrase

CO2 + H2O

H2CO3

H+ + HCO3-

pH darah dinyatakan dalam persamaan Handerson-Hasselbach:[HCO3 ](ginjal)-

pH = pK + log[H2CO3](paru]

pK adalah konstanta disosiasi H2CO3-. Paru membuang CO2 yang terbentuk bila H+ didapat oleh HCO3(reaksi di atas bergeser ke kiri), dan dengan demikian berperan penting dalam

menstabilkan pH. Peran ginjal dalam mempertahankan keseimbangan asam basa adalah reabsorpsi sebagian besar HCO3- yang difiltrasi. Dalam mempertimbangkan gangguan asam-basa, seringkali perlu diingat bahwa pH serum sesungguhnya banyak bergantung pada rasio HCO3- / H2CO3, dan

faktor pembilang terutama diatur oleh mekanisme ginjal, sedangkan mekanisme paru mengatur penyebut (melalui maknisme pembuangan CO2). Perubahan faktor pembilang atau penyebut akan diikuti oleh perubahan faktor lainnya ke arah yang sama. Perubahan ini dikenal sebagai kompensasi dan berfungsi untuk mempertahankan pH. Selain reabsorpsi danpenyelamatan sebagian besar HCO3-, ginjal juga membuang H+ yang berlebihan. Setiap harinya tubuh membentuk sekitar 80 mEq asam yang bukan H2CO3. Asam-asam ini tidak dapat dibuang melalui paru sehingga disebut asam tetap. Asam-asam ini dibuang melalui cairan tubulus, sehingga urine dapat mencapai pH sampai serendah 4,5 (perbedaan ion hidrogen 800 kali lebih besar daripada perbedaan ion hidrogen dalam plasma). Di sepanjang tubulus, H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus. H+ disekresikan dalam bentuk kombinasi dengan HPO4= berbasa dua yang terfiltrasi atau dengan amonia (NH3). Dengan demikian H+ dieksresi sebagai garam asam berbasa satu yang dapat dititrasi (NaH2PO4+) atau sebagai ion amonium (NH4+). NH3 berdifusi dengan mudah ke dalam lumen tubulus, tetapi bila telah berikatan dengan H+ membentuk partikel NH4 yang bermuatan; tidak lagi dapat berdifusi kembali ke dalam sel tubulus. Karena pH urine minimal yang dapat dicapai adalah 4,5 maka jumlah H+ bebas yang dapat dieksresi terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, mekanisme amonium (dan mekanisme fosfat) berperan penting dalam dalam pembuangan beban asam, karena NH4+ tidak memengaruhi pH urine. Pendaparan H+ oleh NH3 atau HPO4= juga berefek pada penambahan HCO3- baru ke dalamplasma untuk setiap ion H+ yang dieksresi ke dalam urine. H+ yang disekresi berasal dari H2CO3 yang terdapat dalam sel tubulus, sehingga meninggalkan HCO3- dalam sel tubulus tersebut dalam jumlah ekuimolar. Sebaliknya, bilamana HCO3direabsorpsi dari cairan tubulus melalui mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya, maka HCO3sesungguhnya hanya diselamatkan, karena satu H+ akan dikembalikan ke dalam plasma untuk setiap plasma yang disekresi ke dalam cairan tubulus. Oleh karena itu, regenerasi HCO3- (yaitu sintesis denovo) melalui mekanisme dapat sangat penting dalam mencegah asidosis. Asam urat dan kalium disekresi ke dalam tubulus distal seperti telah disebutkan sebelumnya. Dalam keadaan normal sekitar 5% darikalium yang terfiltrasi diekskresikan ke dalam urine. Reabsorpsi air juga diselesaikan dalam tubulus distal dan duktus pengumpul. Beberapa hormon mengatur proses reabsorpsi dan sekresi terlarut dan air. Reabsorpsi air bergantung pada adanya hormon antidiuretik (ADH). Aldosteron memengaruhi reabsorpsi Na+ dan sekresi K+. Peningkatan aldosteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi Na+ dan peningkatan sekresi K+. Penurunan aldosteron mempunyai pengaruh sebaliknya. Peptida natriuretik atrium (ANP), yaitu satu hormon yang dihasilkan dan disimpan dalam miosit atrium jantung, memiliki efek

berlawanan dengan reabsorpsi Na+ terhadap aldosteron. ANP dilepaskan jika atrium teregang (yaitu ekspansi dari volume sirkulasi efektif [ECV]) dan meningkatkan sekresi Na+ dan air dalam duktus pengumpul. Hormon paratiroid (PTH) mengatur reabsorpsi Ca++ dan HPO4= di sepanjang tubulus. Penigkatan PTH menyebabkan peningkatan reabsorpsi Ca++ dan ekskresi HPO4=. Penurunan PTH mempunyai penagruh sebaliknya. Proses reabsorpsi selektif dan sekresi di sepanjang tubulus memungkinkan ginjal mengatur lingkungan dalam tubuh dengan cara yang tepat. Pengaruh Keseimbangan Air Konsentrasi total zat terlarut dalam cairan tubuh seorang normal sangat konstan meskipun fluktuasi asupan dan ekresi air dan zat terlarut cukup besar. Kadar plasma cairan tubuh dapat dipertahankan dalam batas-batas yang sempit melalui pembentukan urine yang jauh lebih pekat atau lebih encer dibandingkan plasma dari urine yang dibentuk. Cairan yang banyak diminum menyebabkan cairan tubuh menjadi encer. Urine menjadi encer dan kelebihan air akan dieksresikan dengan cepat. Sebaliknya, pada waktu tubuh kehilangan air arau asupan zat terlarut berlebihan menyebabkan cairan tubuh menjadi pekat, maka urine akan sangat pekatt sehingga banyak zat terlarut yang terbuang dalam kelebihan air. Air yang dipertahankan cenderung mengembalikan cairan tubuh kembali pada konsentrasi zat terlarut normal. Sebelum dapat mamahami proses-proses yang ikut berperan dalam dalam pengaturan keseimbangan cairan tubuh, maka perlu dipahami lebih dahulu konsep osmolalitas, yaitu istilah yang digunakan untuk menyatakan konsentrasi cairan tubuh. Konsentrasi Osmotik Konsentrasi osmotik (osmolalitas) menyatakan jumlah zat partikel yang larut dalam dalam suatu larutan. Jika zat terlarut ditambahkan ke dalam air, maka konsentrasi efektif (aktivitas) dari air relatif menurun dibandingkan dengan air murni. Aktivitas osmotik hanya dipengaruhi oleh jumlah relatif dari partkel-partikel zat terlarut dan pelarut, dan dalam keadaan ideal tidak bergantung pada sifat zat terlarut. Partiekl-partikel zat terlarut yang berbeda alam massa, bentuk dan muatan, tetap mempunyai efek yang sama terhadap aktivitas osmotik pelarut asalkan jumlahnya sama. Dengan demikian, enam ion natrium dan klorida yang berdisosiasi sempurna mempunyai pengaruh yang sama terhadap terhadap aktivitas osmotik seperti halnya enam enam molekul glukosa dalam 1 kg air, meskipun sangat berbeda, baik dalam massa, bentuk, maupun muatannya.

Sifat Koligatif Larutan

Penambahan pariktl zat terlarut ke dalam suatu pelarut akan menrunkan tekanan uap dan titik beku larutan serta meningkatkan titik didih serta osmotiknya. Fenomena ini dikenal sebagai sifat koligatif larutan. Seluruh sifat ini bergantung pada konsentrasi osmotik. Dua sifat koligatif yang pertama adalah penurunan tekanan uap dan penigkatan titik didih. Bila air dububuhi partikel-partikel , maka lebih sulit bagi air untuk lolos dari permukaan karena konsentrasi efektif air berkurang. Akibatnya air murni akan mendidih pada suhu 100 oC sedangkan larutan glukosa dalam air baru akan mendidih pada suhu di atas 100 oC. Jika air dibubuhi partikel-partikel zat terlarut tekanan osmotik akan meningkat, dan ini merupakan sifat koligatif ketiga dari larutan. Sebagai contoh, dua molekul glukosa dan enam molekul glukosa lainnya berada pada dua ruangan terpisah yang dibatasi membran semi-permeabel. Poripori membran terlalu kecil untuk memungkinkan difusi glukosa dengan mudah. Air yang lebih kacil molekulnya dapat berdifusi dengan mudah dari bagian yang memiliki konsentrasi osmotik rendah menuju bagian dengan kosentrasi osmotik lebih tinggi. Proses ini disebut osmosis. Sesungguhnya air bergerak dari daerah yang memilki konsentrasi air lebih tinggi ke daerah dengan konsentrasi lebih rendah. Jadi proses osmosis hanya merupakan suatu proses difsi khusus. Difusi akan terus berlangsung samapai tercapai keseimbanagn osmotik. Kekuatan pengendali air yang bergerak melalui membran semipermeabel disebut tekanan osmotik. Prinsip osmosis merupakan dasar dari pergerakan air antara ruang-ruang dalam tubuh. Prinsip ini juga berlaku pada dialisis dengan menempatkan glukoda berkonsentrasi tinggi dalam bak dialisis untuk mempermudah pembuangan cairan yang berlebihan dari tubuh yang tertimbun apabila ginjal tidak berfungsi secara memadai. Sifat koligatif larutan yang keempat adalah penurunan titik beku. Air yang dibubuhi partikelpartikel yang menyebabkan larutan membeku pada suhu yang lebih rendah daripada air murni yang membeku pada 0 oC.

Pengukuran Konsentrasi Osmotik Terdapat dua jenis cara pengukuran konsentrasi osmotik cairan tubuh yang lazim dipakai. Pengukuran penurunan titik beku dengan alat osmometer merupakan pengukuran konsentrasi osmotik yang sesungguhnya, tetapi caranya rumit dan harus dilakukan dalam laboratorium. Pengukuran ini berdasarkan prinsip bahwa titik beku larutan yang mengandung 1 gram berat molekul (mole atau mol) dari zat yang tidak berdisosisasi dalam 1 kg air adalah -1,86 oC. Larutan seperti itu disebut larutan osmolal, mengandung 1 osmol-gram partikel zat terlarut (yaitu jumlah partikel yang diperlukan untuk menurunkan titik beku air sebanyak 1,86 oC). Perubahan suhu ini disebut konstanta titik beku (Kf) dan setara dengan satu osmol.

Bila tidak ada disosiasi, maka setiap molekul zat terlarut bertindak sebagai partikel tunggal. Ukuran molekul tidak mempengaruhi sifat koligatif sehingga pengaruh 1 gram-mol albumin (berat molekul 70.000) terhadap titik beku air sama dengan pengaruh 1 gram-mol glukosa (berat molekul 180). Bila terjadi disosisasi, misalnya NaCl, maka akan terbentuk dua ion, dan setiap molekul mempunyai pengaruh dari dua partikel. Dalam hal ini, 1 osmol sama dengan setengah berat molekul. Untuk dapat menghitung konsentrasi osmotik suatu larutan, maka hanya perlu mengukur penurunan titik beku air murni (T). Jumlah ini dibagi oleh Kf, yaitu konstanta titi beku molal:

T Osmolalitas = Kf Misalnya, plasma darah membeku pada -0,53 oC. Bilamana angka ini dibagi dengan -1,86 oC maka konsentrasi yang terhitung adalah 285 mOsm (1 miliosmol = 0,001 osm). Pada orang sehat, konsentrasi plasma adala 285 10 mOsm / kg H2O. Metode kedua untuk memperkirakan konsentrasi caian tubuh ialah dengan mengukur berat jenis munggunakan urinometer. Berat jenis bukan pengukuran konsentrasi yang sebenarnya, tetapi karena sederhana cara ini sering digunakan di unit klinis. Apa yang sesungguhnya diukur adalah densitas (yang bergantung pada berat partikel zat terlarut) dan bukan konsentrasi (yang bergantung pada jumlah partikel zar terlarut). Namun memperkirakan konsentrasi urine dengan mengukur berat jenis cukup teliti asalkan urine tersebut terdiri dari unsu-unsur yang normal.

Osmolalitas versus Osmolaritas Dalam literatur dan praktik, istilah osmolaritas seringkali dipakai sebagai ganti atau dapat dipertukarkan dengan istilah osmolalitas dalam pembahasan mengenai konsentrasi larutan IV atau cairan tubuh. Pertukaran ini seringkali membingungkan. Osmolalitas merupakan pernyataan konsentrasi dalam hitungan 1000 gram air. Oleh karena itu suhu maupun ruang yang ditempati oleh benda padat dalam larutan tidak memengaruhi nilai osmolalitas dan dapat dilakukan perbandingan langsung dengan berbagai jenis cairan tubuh dengan kandungan air atau benda padat yang berbeda. Sebaliknya, perbandingan seperti ini tidak mungkin dilakukan jika konsentrasi dinyatakan per 1 L larutan, yaitu osmolaritas. Jumlah air dalam 1 L larutan merupakan fungsi suhu maupun ruang yang ditempati oleh benda padat yang tredapat dalam larutan. Sifat koligatif hanya ditentukan oleh rasio partikel zat terlarut dan partikel zat pelarut sehingga osmolaritas berbagai cairan tubuh tidak dapat

dibandingkan secara langsung. Untuk membentuk larutan 1 osmol, maka 1 gram-mol partikel zat terlarut ditambahkan ke dalam suatu cawan yang tepat berisi 1000 g air. Dengan demikian volume larutan lebih besar dari satu liter. Larutan 1 osmolar dibuat dengan mula-mula menambhakan 1 gram-mol partikel zat trelarut ke dalam cawan, kemudian ditambahkan air hingga mencapai batas volume 1 L. Dengan demikian, volume zat terlarut sudak termasuk dalam larutan itu. Sudah jelas bahwa konsentrasi kedua larutan itu tidak sama. Perbedaan antara osmolalitas dan osmolaritas dapat diabaikan dalam rentang konsentrasi dan suhu cairan tubuh. Namun, perlu menggunakan unit konsentrasi osmolal pada saat menyiapkan larutan IV yang tepat. Fungsi ginjal adalah untuk mempertahankan konsentrasi cairan-cairan tubuh konstan pada 285 mOsm. Bagaimana keadaan ini dicapai akan digali lebih lanjut pada bagian-bagian berikut.

Reabsorpsi Isoosmotik dalam Tubulus Proksimal Ketika pertama kali masuk ke dalam tubulus proksimal, konsentrasi filtrat glomerulus sama dengan konsentrasi plasma yaitu 285 mOsm. Oleh karena itu disebut isoomatik. Di sepanjang tubulus proksimal, terdapat 6% - 80% filtrat direabsorpsi ke dalam kapiler peritubulus. Reabsorpsi ini bersifat isoosmotik karena baik air maupun zat terlarut direabsorpsi dalam proporsi yang sama seperti keadaannya dalam filtrat. Sehingga pada bagian akhir tubulus proksimal konsentrasi filtrat tetap 285 mOsm dan filtrat masih tersisa sekitar 20%. Meskipun aliran telah banyak berkurang (dari 125 menjadi 25 ml/menit), tetapi ekskresi urine yang langsung keluar dari tubulus proksimal kira-kira 1.500 ml/jam. Pada kecepatan ekskresi demikian kematian akan timbul dalam beberapa jam akibat dehidrasi, karena kehilangan 12% sampai 14% dari berat tubuh dalam bentuk air adalah fatal. Langkah berikutnya dalam proses pembentukan urine adalah mengurangi volume filtrat dalam jumlah yang besar sebelum dikeluarkan sebagai urine.

Mekanisme Aliran Balik Dalam ginjal terdapat dua jenis nefron; kortikal dan jukstamedularis. (letaknay dekat dengan medula). Nefron jukstamedularis mempunyai lengkung Henle yang jauh lebih panjang dibandingkan dengan nefron kortikal, dan suplai darah peritubularnya dalam bentuk lengkung sperti peniti, yang turun jauh ke bawah di samping lengkung Henle. Pembuluh darah ini disebut vasa rekta. Gambaran anatomis nefron jukstamedularis sangat berperan dalam penentuan konsentrasi urine. Kenyataannya, makin panjang lengkung, makin besar kemampuan memekatkan urine pada binatang. Tikus kanguru memilki lengkung yang panjang sekali dan dapat mengeluarkan urin berosmolalitas sekitas 6.000 mOsm. Pada manusia, sekitar satu dari tujuh nefron merupakan nefron

jukstamedularis, denhan lengkung yang pamjang dan konsentrasi maksimum urine adalah sekitar 1.400 mOsm. Mekanisme aliranbalik yang bertanggung jawab utnuk konservasi air oleh ginjal sesungguhnya mencakup dua proses dasar : 1) aliran balik lengkung Henle dan 2) penukar aliran balik dalam vasa rekta yang berbentuk lengkung seperti peniti. Lengkung Henle membentuk cairan interstisial dalam medula hiperosmotik, dan membuat cairan tubular yang keluar dari lengkung Henle dan masuk ke dalam tubulus distal menjadi hipoosmotik; perubahan ini memungkinkan kosentrasi urine tahap terakhir berubah-ubah dalam batas yang cukup luas. Pembuluh darah vasa rekta mencegah hilangnya perbedaan osmotik dalam cairan interstisial medula yang telah diciptakan oleh lengkung Henle. Sepanjang nefron, proses fundamental yang terlibat dalam pembentukan urine yang pekat atau encer adalah proses reabsorpsi aktif klorida di bagian asenden lengkung Henle dan berbagai permeabilitas terhadap difusi pasir air dan urea selama terdapat perbedaan konsentrasi. Pertama-tama, teliti dulu keseluruhan hubungan yang terjadi selama pembentukan urine yang pekat. Pada glomerulus tempat filtrasi dimulai, filtrat bersifat isoosmotik denganplasma pada angka 285 mOsm. Pada akhir tubulus proksimal, 80% filtrat telah direabsorpsi meskipun konsentrasinya masih tetap sebesar 285 mOsm. Saat filtrat bergerak ke bawah melalui bagian desendenlengkung Henle, konsentrasi filtrat mencapai maksimum pada ujung lengkung. Kemudian waktu filtrat bergerak ke atas melalui bagian asenden, konsentrasinya makin lama makin encer sehingga akhirnya menjadi hipoosmotik pada bagian ujung atas lengkung. Saat filtrat bergerak di sepanjang tubulus distal, filtrat menjadi semakin pekat sehingga akhirnya bersifat isoosmotik dengan plasma darah pada ujung duktus pengumpul, sekali lagi menjadi semakin pekat. Pada bagian akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorpsi atau sekitar 1%filtrat yang diekskresi sebagai urine. Perhatikan bahwa terdapat juga perbedaan konentrasi cairan intersistial yang semakin meningkat mulai dari korteks sampai ke medula. Vasa rekta yang berjalan ke bawah di sebelah lengkung Henle juga mempunyai perbedaan konsentrasi yang semakin meningkat pada bagian desenden dan berkurang pada bagian asenden, walaupun pengurangannya jauh lebih kecil daripada pengurangan yang terjadi pada bagian asenden lengkung Henle.perhatikan pula bahwa pada bagian lengkung Henle membentuk kolom-kolomparalel dan filtrat mengalir ke arah yang berlawanan. Inilah yang disebut aliran balik dan dengan demikian lengkung Henleberfungsi sebagai pengali aliran balik yang menciptakan perbedaan konsentrasi dalam interstisisal. Kerja pengali aliran balik pada lengkung Henle dimulai dengan proses transpor aktif klorida keluar dari bagian asenden. Proses ini mengakibatkan mengalirnya natrium secara pasif mengikuti perbedaan potensial yang ditimbulkan transfer aktif klorida. Namun karena bagian asenden tidak

bersifat permeabel terhadap air, maka air tidak dapat secara pasif mengikuti transpor NaCl. Dengan demikian semakin mendekat ujung bagian asenden, filtrat menjadi hipoosmotik. Cairan intersistial makin pekat, sehingga terbentuk perbedaan osmotik cairan intersistial dan bagian desenden lengkung Henle. Air keluar dari bagian desenden sedangkan natrium klorida masuk secara pasif sehingga filtrat menjadi semakin pekat. Dengan berlanjutnya proses ini tercipta perbedaan konsentrasi yang makin meningkat dari korteks ke medula pada bagian desenden lengkung Henle dan intersistial hingga mencapai keadaan seimbang. Vasa rekta melengkung ke bawah di samping lengkung Henle bertidak sebagai penukar aliran balik melalui difusi pasif (transpor aktif tidak ikut berperan). Darah dalam vasa rekta berada dalam keseimbangan osmotik dengancairan intersisitial. Ketika darah mengalir melalui bagian desenden vasa rekta, NaCl secara pasif bergerak masuk dan air keluar, sehingga darah makin pekat saat mencapai ujung lengkung. Pada bagian asenden vasa rekta terjadi peristiwa sebaliknya. Natrium secara pasif berdifusi keluar, masuk ke intersistial sedangkan air direabsorpsi ke pembuluh darah dan dikembalikan ke sirkulasi umum. Fakta bahwa aliran darah melalui vasa rekta lambat memungkinkan vasa rekta bertindak sebagai penukar yang efisien. Jika alirandarah sangat cepat, maka NaCl yang masuk ke dalam bagian desenden akan terbuang. Dengan demikian, vasa rekta bertindak sebagai penukar aliran listrik, mencegah hilangnya perbedaan konsentrasi dalam intersistial yang diciptakan oleh lengkung Henle sebagai pemekat aliran balik. Di sepanjang tubulus distal, Na+(Cl-) direabsorpsi secara aktif. Dalam keadaan antidiuresis, filtrat hipoosmotik pada permulaan tubulus distal menjai isoosmotik saat mencpai ujung duktus pengumpul. Pemekatan akhir urine berlangsung pada tubulus distal dan duktus pengumpul di bawah kontrol hormon antidiuretik (ADH). Tubulus distal dan duktus pengumpul bersifat permeabel terhadap air bila terdapat ADH. Air berdifusi ke arah luar ke dalam intersisitial sebagai respon terhadap gradien osmotik dalam medula. Air kemudian masuk ke dalam bagian asenden vasa rekta dan dikembalikan ke sirkulasi umum. Urine akhir yang terbentuk memiliki volume kecil namun tinggi konsentrasi osmotiknya. Sebaliknya dalam keadaan diuresis dan tanpa adanya ADH, tubulus distal dan duktus pengumpul sesungguhnya tidak bersifat permeabel terhadap air. Na+(Cl-) secara aktif direabsorpsi dari tubulus distal dan duktus pengumpul, tetapi air tidak berdifusi keluar untuk mempertahankan keseimbangan osmotik. Na+ mengalami reabsorpsi dan air tertinggal sehingga urine yang dihasilkan bervolume besar dan encer. Urine juga berdifusi keluar dari duktus pengumpul, masuk ke cairan interstisial tempat urea memegang peranan dalam pembentukan konsentrasi osmotik yang yang tinggidalam medula. Sebagian urea juga masuk ke dalam bagian desenden lengkung Henledan vasa rekta dan bersirkulasi

kembali. Pengaruhnya dalah untuk menahan urea dalam interstisial medula. Seseorang yang dietnya rendah protein tidak dapat memekatkan urine, demikian pula seseorang yang dietnya mengandung protein normal atau tinggi, karena urea merupakan hasil akhir dari metabolisme protein.

Mekanisme ADH dalam Mengatur Osmolalitas Plasma. Mekanisme ADH membantu mempertahankan volume dan osmolalitas ECF pada tingkat konstan dengan mengatur volume dan osmolalitas urine. Perubahan volume ECF atau osmolalitas dari niali normal mengontrol pengeluaran ADH. ADH dibentuk dalam nukleus supraoptik hipotalamus dan berjalan ke bawah di sepanjang serabut saraf menuju hipofisis posterior tempat ADH disimpan untuk dilepaskan kemudian. Pengeluaran ADH dikontrol oleh mekanisme umpan balik melalui dua jaras. Pengeluaran ADH dirangsang oleh osmolalitas ECF (dari nilai ideal 285 mOsm) atatu penurunan volume plasma. Sebagai contoh, peningkatan osmolalitas atau penurunan volume ECF dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti kekurangan air, kehilangan cairan karena muntah, luka bakar, diare, atau berkeringat; atau pergeseran cairan seperti pada asites. Perasaan haus subjektif juga dirangsang oleh penurunan volume ECF atau peningkatan osmolalitas ECF. Sebagai contoh, peningkatan rasa haus adalah gejala yang sering terjadi pada ornag yang mengalami perdarahan (penurunan volume ECF) atau pada orang yang baru saja memakan gula-gula (peningkatan volume ECF akibat peningkatan glukosa dalam darah). Sel osmoreseptor terletak dalam hipotalamus dekat dengan nukleus supraoptik yang merasakan sedikitnya 1% hinga 2% perubahan osmolalitas darah karena sirkulasi karotis interna. Sinyal neuronal dari osmoreseptor akan merangsang pelepasan ADH dari kelenjar hipofisis dan secara terus menerus merangsang rasa haus. Pusat yang menjadi perantara rasa haus terletak di dalam hipotalamus. Kerja ADH dalam ginjal meningkatkan proses utama yang terjadi dalam lengkung Henle melalui dua mekanisme yang berhubungan satu sama lain: 1) aliran darah melalui vasa rekta di medula berkurang bile terdapat ADH, sehingga memperkecil pengurangan zat dalam interstisium; dan 2) ADH meningkatkan permeabilitas duktus pengumpul dan tubulus distal sehingga makin banyak air yang berdifusi keluar untuk membentuk keseimbangan dengan cairan interstisial yang hiperosmotik. Efek akhir kedua mekanisme ini meningkatka reabsorpsi dan ekskresi sedikit volume dari urine yang pekat. Air minum dan air yang disimpan oleh ginjal keduanya membantu memulishkan osmolalitas ECF menjadi normal. Bila volume ECF menurun sekitar 10%, pengisian air diaktifkan sebagai cara memulihkan volume ECF tanpa menghiraukan osmolalitas ECF. Pada kasus ini baroreseptor pada sirkulasi arterial dan vena mernagsang pelepasan ADH melalui jalur neuron. Perangsangan ADH nonosmotik ini

timbul tanpa bergantung pada fungsi osmoreseptor. Rasa haus juga sirangsang namun mungkin diperantarai oleh angiostensin II. Volume ECF yang merangsang pelepasan ADK dapat menolak rangsangan osmotik., sehingga penurunan volume ECF yang bermakna adalah penyebab utama hiponatremia. Sebaliknya, osmolalitas ECF yang rendah ataupeningkatan volume akibat peningkatan asupan air mengaktifkan mekanisme yang mengatur kembali perlindungan air. Rasa haus tertekan, dan pelepasan ADH dirangsang. PGE2, yaitu prostaglandinyang dihasilkan dalam ginjal, menghambat aksi ADH pada duktus pengumpul. Efek akhir proses ini menurunkan asupan air dan meningkatkan ekskresi volume pengenceran urine. Bahkan pada kasus-kasus ekstrim dengan banyak sekali volume cairan yang diminum atau asupan sangat terbatas, manusis normal mempunyai fleksibilitas yang mengagumkan dalam mempertahankan osmolalitas cairan ekstraseluler pada tingkatan 285 mOsm yang konstan. Untuk mencapai ini kita dapat mengekskresi urine hingga seencer 40 mOsm sampai 1.400 mOsm. Seperti yang akan diperlihatkan kemudian, pasien insufisiensi ginjal kehilangan flesibilitas yang besar ini.

PENGATURAN KADAR NATRIUM TUBUHSistem Renin-Angiostensin-Aldosteron Pengaturan volume sirkulasi efektif (ECV) atau volume ECF secara primer dicapai melalui modifikasi ekskresi Na+ urine, berlawanan dengan pengaturan osmolalitas ECF yang dicapai melalui keseimbangan air. Pemeliharaan Na+ tidak langsung terlibat dalam osmoregulasi kecuali bila terdapat perubahan volume yang terjadi cecara bersamaan. Osmolalitas ditentukan olek rasio zat terlarut (terutama garam Na+ dan K+) terhadap air, sedangkan vlume ECF ditentukan oleh jumlah pasti Na+ dan air yang ada. Mekanisme renin-angiostensin-aldosteron berperan penting dalam pengaturan kadar Na+ dalam tubuh. Renin adalah enzim pertama dalam kaskade biokimia sistem renin-angiostensin-aldosteron. Fungsi sistem ini adalah mempertahankan volume ECF dan tekanan perfusi jaringan dengan mengubah resistensi pembuluh darah dan ekskresi Na+ dan air di ginjal. Hipoperfusi ginjal, yang dihasilkan oleh hipotensi dan penurunan volume, serta peningkatan aktivitas simpatetik adalah perangasang utama sekresi renin. Asupan dari JGA nefron, yang dijalankan sebagai baroreseptor intrarenal dan penghantar kemoreseptor tubulus distal telah dijelaskan sebelumnya. Asupan ke

sistem saraf pusat (CNS) diberikan oleh baroreseptor yang terletak di pusat melalui saraf vagus dan glosofaringeal, yang terletak dalam atrium jantung pembuluh darah paru bertekanan rendah

terutama merespon volume atau isi dari cabang pembuluh darah. Peningkatan volume intravaskular memperbesar atrium jantung dan menyebabkan penurunan aktivitas simpatik ginjal dan pelepasan peptida netriuretik atrium, keduanya meningkatkan ekskresi Na+ ginjal. Penurunan volume intravaskular memilki efek yang bertolak belakang. Baroreseptor terletak dalam arkus aorta dan sinus karotis bertekanan tinggi yang tertama berespon terhadap tekanan arteri darah. Penurunan tekanan darah menghasilkan peningkatan aktivitas simpatis ginjal, menyababkan retensi Na+ dan air. Peningkatan tekanan intravaskular memilki efek yang bertolak belakang. Pelepasan renin dari sel JG ke dalam sirkulasi mengawali rangkaian kejadian yang dimulai dengan pecahnya angiostensinogen substrat (glikopreotein serum yang dihasilkan hati) menjadi angiostensin I. Angiostensin I kemudian diubah menjdai agiostensin II oleh enzim pengubah angiostensin (ACE) yang ada di paru dalam konsentrasi tinggi tetapi ACE juga terdapat di tempat lain, termasuk ginjal. Begitu terbentuk, angiostensin II memiliki dua efek sistemik utama: vasokonstriksi arteriol serta meningkatkan reabsorpsi Na+ dan air ginjal oleh tubulus distal dan duktus pengumppul. Efek kedua diperantarai peningkatan sekresi aldosteron leh korteks adrenal, yang dirangsang oleh anhiostensin II. Kedua aksi ini cenderung akan mengoreksi hipovolemia atau hipotensi (sehingga memulihkan perfusi jaringan) yang biasanya bertanggung jawab untuk merangsang sekresi renin. Atrium jantung memiliki mekanisme tambahan antuk mengontrol ekskresi Na+ ginjal dan volume ECF yang berlawanan mengatur mekanisme renin-angiostensin-aldosteron. Atrium jantung menyintesis suatu hormon yang disebut peptida natriuretik atrial (ANP), yang kemudain disimpan dalam granula. ANP dilepaskan dari granula atrium sebagai respon terhadap regangan (yaitu peningkatan volume ECF). ANP meningkatkan ekskresi Na+ dan air oleh ginjal. Efek diuretik diperantarai oleh sifat vaodilatasinya, mengakibatkan peningkatan aliran darah ginjal (RBF) dan tindakan supresifnya pada sekresi ADH dan aldosteron.