strategi peningkatan nilai tambah perdagangan kayu di...
TRANSCRIPT
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan merupakan bagian dari bumi yang dipenuhi oleh berbagai kekayaan
alam dan dapat memberikan banyak manfaat bagi kesejahteraan manusia dimana
hutan menjadi sumberdaya alam yang manfaatnya dapat dirasakan secara
langsung maupun tidak langsung (Tsujino 2016). Sebagai sumberdaya alam,
hutan berkontribusi besar dalam pembangunan nasional yang memiliki manfaat
nyata bagi bangsa Indonesia. Manfaat tersebut antara lain adalah manfaat
lingkungan, ekonomi dan sosial budaya yang dapat dioptimalkan dengan cara
yang tepat.
Pemanfaatan hutan agar dapat berjalan dengan baik maka pemerintah telah
menerbitkan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. Peraturan
perundang-undangan di bidang kehutanan dilandasi oleh 2 (dua) undang-undang
pokok yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan.
Kegiatan pemanfaatan hutan produksi adalah memanfaatkan hasil hutan
kayu dalam pengelolaan hutan di Indonesia mulai dilaksanakan secara ekonomis
pada zaman orde baru. Target utama dari pemanfaatan hasil hutan kayu pada masa
awal-awal pengelolaan adalah untuk pemulihan ekonomi (Sulaeli 2009). Pada
tahap awal pembangunan, penerimaan dari sector kehutanan menjadi sector
penghasil devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas (Prahasto dan Nurfatriani
2001). Tepat sekali apabila hutan disebut sebagai modal pembangunan nasional
yang memiliki manfaat nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia.
Dalam mengelola hutan di Indonesia yang merupakan sumber devisa
negara, pemerintah harus bijak dan tepat mengambil keputusan dan mengeluarkan
peraturan mengenai pengelolaan hutan (Siswoko 2008). Pada tahun 1980 telah
terbit kebijakan larangan ekspor kayu bulat pertama kali diberlakukan pada bulan
Mei melalui Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menteri Pertanian, Menteri
Perindustrian, dan Menteri Perdagangan). Larangan ekspor kayu bulat pada
awalnya diberlakukan secara bertahap, dan baru pada tahun 1985 diberlakukan
secara total. Sesudah krisis dan atas desakan IMF larangan dihentikan pada tahun
1998 tetapi diberlakukan kembali pada tahun 2001 sampai dengan saat ini.
Kebijakan larangan ekspor kayu bulat diberlakukan kembali melalui Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kehutanan Nomor 1132/ Kpt-II/ 2001 dan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 192/ MPP/ Kep/ 10/ 2001,
tertanggal 8 oktober 2001. Tujuannya disebutkan antara lain untuk mencegah
dimanfaatkannya kebijakan ekspor kayu bulat/bahan baku serpih oleh pelaku
penebang liar (illegal logging) dan perdagangan gelap (illegal trading) yang
mengancam kelestarian sumber daya hutan dan kerusakan lingkungan.
2
(%)
(Tahun)
Gambar 1 PDB kehutanan
Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa PDB sektor kehutanan
cenderung mengalami penurunan, pada tahun 2006 sebesar 0,9% hingga tahun
2015 hanya 0,69%. Badan Pusat Statistik pada tanggal 5 Mei 2016,
mengumumkan PDB kehutanan dan penebangan kayu kuartal I/ 2016 sebesar Rp
13,28 triliun. Nilai tersebut berkontribusi sebesar 0,64% dari total PDB nasional
yang mencapai Rp 2.262,64 triliun. Melorotnya PDB kehutanan dan penebangan
kayu pada kuartal I/2016 kontras dengan catatan tahun lalu yang mampu tumbuh
1,91 %.Subsektor kehutanan dan penebangan kayu sempat tergoncang pada
kuartal III/2015 menyusul kebakaran hutan dan lahan di Sumatra dan Kalimantan.
Kebakaran itu berdampak pula bagi pertumbuhan ekonomi kedua pulau.
Sektor kehutanan termasuk kedalam penyumbang 10 devisa negara terbesar
bagi Indonesia. Ketua APHI bidang Hutan Tanaman Industri Nana Suparna
mengatakan di pasar domestik pada September 2013, harga jual kayu dari hutan
alam hanya 50% dari harga di pasar dunia. Harga log dan kayu gergajian pada
jenis kayu tertentu seperti meranti sebenarnya memiliki harga jual yang tinggi bila
diekspor ke pasar Jepang yaitu pada kisaran US$ 300 - 315/m³, sehingga hal ini
dapat membantu peningkatan devisa negara. Namun adanya larangan ekspor kayu
berupa log yang diatur dalam SKB Menteri Kehutanan Nomor 1132/ Kpt-II /2001
dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 192/ MPP /Kep / 10 /2001
menjadi penghalang. Analisis terhadap kebijakan usaha kehutanan penting
dilakukan guna mencapai hutan yang lestari (Khan 2010).
Tabel 1 Produksi log dan sawn timber
Produk 2011 2012 2013 2014 2015
Log 47.429.335 49.258.255 45.770.454 44.963.519 35.290.288
Sawn Timber 967.318 1.100.096 992.867 1.458.624 1.765.080 Sumber BPS 2017
Dilihat pada Tabel 1 bahwa produksi log dan sawn timber di Indonesia
cukup besar dengan rataan sebesar 44.542.370/ m³ untuk produksi log dan
1.256.797/ m³ untuk sawn timber. Melihat data tersebut dapat diketahui bahwa
bahan baku hasil hutan kayu cukup besar dan perdagangan kayu di Indonesia
dapat dimaksimalkan potensinya dengan cara memilih produk hasil hutan yang
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
3
tepat, di mana produk tersebut memiliki nilai jual yang tinggi. Dengan memilih
produk yang memiliki nilai tertinggi maka diharapkan mampu meningkatkan nilai
penjualan hasil hutan kayu terutama di luar negeri, tentu saja dengan
memperhatikan kebijakan-kebijakan tertentu serta mempetimbangkan jumlah
permintaan produk hasil hutan kayu baik di dalam maupun luar negeri.
Diharapkan mampu meningkatkan kontribusi sektor kehutanan pada PDB
nasional.
Perumusan Masalah
Berdasarkan kebijakan mengenai larangan ekspor kayu berupa raw
material atau log yakni Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kehutanan
Nomor 1132/Kpt-II/2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
192/MPP/Kep/10/ 001, tertanggal 8 Oktober 2001. Sebetulnya log pada jenis kayu
tertentu seperti meranti memiliki harga jual yang cukup tinggi di pasar
internasional, dan mempertimbangkan rendemen dari produk olahan kayu yang
dapat mempengaruhi marjin penjualan produk tersebut. Maka dapat dirumuskan
beberapa hal, seperti berikut.
1. Jenis produk hasil hutan kayu manakah yang memberikan nilai marjin
pemasaran dan keuntungan tertinggi?
2. Strategi peningkatan nilai tambah manakah yang paling tepat bagi produk hasil
hutan kayu?
3. Adakah log dan sawn timber pada jenis kayu tertentu yang sebaiknya diekspor
oleh Indonesia?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
penulisan tesis ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis marjin pemasaran dan marjin keuntungan tertinggi dari log, sawn
timber, plywood, particle board dan furniture pada kelas kayu rimba
campuran, meranti dan mewah.
2. Menganalisis peningkatan nilai tambah yang terbaik bagi produk hasil hutan
berupa kayu.
3. Merekomendasikan jenis kayu tertentu sebaiknya dapat diberi izin ekspor
dalam bentuk log dan sawn timber.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pihak-pihak terkait
yaitu:
1. Pelaku usaha hasil hutan kayu dapat menyikapi SKB Menteri Kehutanan
Nomor 1132/ Kpt-II/ 2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
192/ MPP/ Kep/ 10/ 2001.
2. Pelaku usaha hasil hutan kayu dapat melakukan peningkatan nilai tambah yang
efektif dan efisien pada produksi hasil hutan kayu.
3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tentang pengembangan
strategi peningkatan nilai tambah dan menyikapi kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah terkait industri kayu di Indonesia.
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan SB-IPB