strategi pengelolaan kekayaan daerah untuk meningkatkan kinerja pemerintah daerah
TRANSCRIPT
STRATEGI PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH UNTUK MENINGKATKAN KINERJA PEMERINTAH DAERAH
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Manajemen Keuangan Daerah
Disusun Oleh:Dede Nugraha (0607619)
Deden Tesar Noor I. (0607696)
JURUSAN AKUNTANSIFAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA2009/2010
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya. Berkat rahmat dan hidayah-Nya lah makalah ini dapat
selesai disusun dengan baik dan tepat waktu.
Selama menyusun makalah ini, penulis mengalami berbagai masalah dan
hambatan yang tidak dapat diselesaikan oleh penulis sendiri. Oleh Karen itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Budi S. Purnomo, SE, MM, M.Si, sebagai tim dosen mata kuliah
Manajemen Keuangan Daerah,
2. Kedua orang tua,
3. Teman-teman.
Yang telah ikut membantu secara langsung maupun tidak langsung
sehingga makalah ini dapat disusun dengan baik.
Dalam penyusunan makalah ini mungkin saja masih terdapat kekurangan
atau kesalahan. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang
membangun sehingga penulis dapat menyusun makalah yang lebih baik lagi
dilain waktu. Mudah-muadahan dengan disusunnya makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Bandung, 28 September 2009
ii
DAFTAR ISI
PRAKATA................................................................................................................. iiDAFTAR ISI............................................................................................................. iiiBAB I....................................................................................................................... 4PENDAHULUAN...................................................................................................... 4
1.1. LATAR BELAKANG......................................................................................4
1.2. RUMUSAN MASALAH................................................................................4
1.3. TUJUAN PENULISAN..................................................................................5
1.4. MANFAAT PENULISAN...............................................................................5
BAB II...................................................................................................................... 6KAJIAN PUSTAKA....................................................................................................6
2.1 PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH..........................................................6
2.2 KINERJA PEMERINTAH DAERAH................................................................8
BAB III...................................................................................................................14PEMBAHASAN.......................................................................................................14
3.1. PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH..............................14
3.1.1. PERENCANAAN...............................................................................143.1.2. PELAKSANAAN................................................................................153.1.3. PENGAWASAN................................................................................16
3.2. STRATEGI OPTIMALISASI PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH UNTUK
MENINGKATKAN KINERJA PEMERINTAH DAERAH.............................................16
BAB IV PENUTUP...................................................................................................194.1. KESIMPULAN..............................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan konsekuensi bertambahnya
kewenangan pemerintah daerah sebagai akibat dari pelimpahan urusan
(wewenang) yang semula dilakukan oleh pemerintah pusat yang kemidian
dialihkan kepada daerah. Salah satu contohnya adalah terjadinya perubahan
kewenagngan dalam hal pengelolaan asset Negara (pemerintah) yang semula
banyak ditangani oleh pemerintah pusat, maka dengan otonomi daerah,
pemerintah daerah akan mendapat pelimpahan kewenangan yang lebih besar
untuk melakukan pengelolaan asset Negara (pemerintah). Perubahan tersebut
meliputi terjadinya kenaikan jumlah maupun nilai kekayaan negara yang dikuasai
pemerintah daerah yang tadinya dimiliki/dikuasai pemerintah pusat.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam penulisan makalah ini penulis
mengemukakan rumusan masalah yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana prinsip dasar pengelolaan kekayaan daerah
2. Bagaimana strategi optimalisasi pengelolaan kekayaan daearah
4
1.3. TUJUAN PENULISAN
Tujuan yang ingin dicapai penulis adalah :
1. Mengetahui prinsip dasar pengelolaan kekayaan daerah.
2. Mengetahui strategi optimalisasi pengelolaan kekayaan daerah.
1.4. MANFAAT PENULISAN
Dengan tujuan di atas penulis berharap makalah ini dapat memberikan
manfaat, diantaranya adalah:
1. Dapat mengetahui prinsip dasar pengelolaan kekayaan daerah.
2. Dapat mengetahui strategi optimalisasi pengelolaan kekayaan daerah.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH
Apakah asset daerah? Terminologi “asset daerah” memiliki makna yang
sama dengan Barang Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan
Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah, namun memiliki makna yang lebih sempit dari “kekayaan
negara” dalam terminologi hukum dan mengandung makna yang lebih luas dari
“aset tetap“ yang biasa digunakan dalam terminologi akuntansi. Barang milik
daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau
berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Aset atau barang daerah merupakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh
daerah. Potensi ekonomi bermakna adanya manfaat finansial dan ekonomi yang
bisa diperoleh pada masa yang akan datang, yang bisa menunjang peran dan
fungsi pemerintah daerah sebagai pemberi pelayanan publik kepada masyarakat.
Pemahaman akan aset bisa berbeda antara ilmu perencanaan, manajemen
keuangan, dan akuntansi.
Aset daerah diperoleh dari dua sumber, yakni dari APBD dan dari luar
APBD. Secara singkat, berikut pengertian dan implikasi kedua sumber aset ini:
6
1. Aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD merupakan
output/outcome dari terealisasinya belanja modal dalam satu tahun
anggaran. Namun, pengakuan besarnya nilai aset tidak sama dengan
besaran anggaran belanja modal. Penafsiran atas Permendagri
No.13/2006 memang memungkinkan kita menyataan bahwa besaran
belanja modal sama dengan besaran penambahan aset di neraca. Hal
ini kurang pas jika neraca dipandang dari konsep akuntansi, karena
penilaian suatu aset haruslah sebesar nilai perolehannya (konsep full
cost). Artinya, seluruh biaya yang dikeluarkan sampai aset tersebut
siap digunakan (ready to use) haruslah dihitung sebagai kos aset
bersangkutan. Dalam konsep anggaran kinerja, biaya yang dikeluarkan
adalam semua biaya yang menjadi masukan (input) dalam
pelaksanaan kegiatan yang menghasilkan aset ini. Dengan demikian,
termasuk di dalamnya belanja pegawai dan belanja barang & jasa,
selain dari belanja modal tentunya. Jadi, kos untuk aset adalah
seluruh pengeluaran untuk mencapai outcome.
2. Aset yang bersumber dari luar pelaksanaan APBD. Dalam hal ini,
pemerolehan aset tidak dikarenakan adanya realisasi anggaran
daerah, baik anggaran belanja modal maupun belanaj pegawai dan
belanja barang & jasa. Pemda sering menerima aset dari pihak lain,
seperti lembaga donor dan masyarakat. Saat ini, beberapa daerah
menerima penambahan aset yang cukup signifikan dari pihak lain,
7
seperti di Aceh, Sumut, dan DIY. Di Aceh, ALGAP dan LGSP
memberikan sumbangan peralatan kerja seperti komputer jinjing,
jaringan internet, dan printer. Belum lagi pembangunan gedung untuk
perkantoran dari NGO asing.
Pengelolaan aset daerah diatur dalam PP No.6/2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Daerah, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Permendagri
No.17/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Lingkup
pengelolaan aset dimaksud meliputi:
1. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran,
2. Pengadaan,
3. Penggunaan,
4. Pemanfaatan,
5. Pengamanan dan pemeliharaan,
6. Penilaian,
7. Penghapusan,
8. Pemindahtanganan,
9. Penatausahaan, dan
10. Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.
2.2 KINERJA PEMERINTAH DAERAH
Kinerja suatu organisasi dinilai baik jika organisasi yang bersangkutan
mampu melaksanakan tugas-tugas dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan pada setandar yang tinggi dengan biaya yang rendah. Kinerja yang
8
baik bagi suatu orhganisasi dicapai ketika admistrasi dan penyediaan jasa oleh
organisasi yang bersangkutan dilakukan pada tingkat yang ekonomis, efesiensi,
dan efektivitas.
Manajemen kinerja pemerintahan yang meliputi perancangan sistem,
pendeklarasian variabel, mekanisme penerapan, proses pelaporan serta evaluasi
dan tindak lanjut yang mencakup efisiensi, kualitas dan efektivitas program
pemerintah merupakan topik yang hangat dikupas di Amerika Serikat sepuluh
tahun yang lalu baik di level pemerintah federal, negara bagian maupun
pemerintahan lokal setingkat kota madya.
Penerapan manajemen kinerja pemerintahan ini didorong oleh empat
kekuatan utama yaitu The Government Performance and Results Act of 1993
(GPRA), The National Performance Review (NPR), Usaha tolok banding
(benchmarking) yang dilakukan oleh negara bagian dan komunitas masyarakat,
dan laporan yang diminta oleh The Governmental Accounting Standards Board
(GASB).
Dalam konteks penilaian kinerja pemerintahan Indonesia, variabel-
variabel pengukuran kinerja yang dapat diajukan di bawah ke empat perspektif
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perspektif Finansial
Pada dasarnya dalam perspektif finansial, tolok ukur dari
pengukuran kinerja pemerintahan adalah tercapainya ukuran-ukuran
perbaikan (improvement) di bidang finansial. Ukuran perbaikan ini dapat
9
diperbandingkan dengan pencapaian pada periode sebelumnya maupun
diperbandingkan dengan pencapaian negara lain. Bahkan dalam titik yang
lebih ekstrim, pencapaian pada beberapa variabel, pada suatu saat nanti,
sebaiknya diperbandingkan dengan pencapain terbaik (best practice/
best-in-class) dengan melakukan kaji banding (benchmarking) dengan
pencapaian di level dunia.
Variabel-variabel yang dapat digunakan dalam menilai kinerja
pemerintah yang termasuk dalam perspektif finansial ini misalnya
pertumbuhan ekonomi, penguatan nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing, penurunan laju inflasi atau laju inflasi yang stabil pada angka
terendah yang dapat dicapai pada periode waktu yang lama, peningkatan
pendapatan dan daya beli masyarakat relatif terhadap harga barang dan
jasa di dalam negeri maupun luar negeri, menyempitnya gap pendapatan
berbagai lapisan masyarakat di berbagai sektor dan bidang usaha,
peningkatan daya saing produk dan jasa yang dihasilkan dalam pasaran
internasional (pertumbuhan ekspor bukan karena penurunan nilai mata
uang), tumbuhnya investasi dari para pemodal baik dalam negeri maupun
luar negeri, penurunan biaya operasional yang digunakan oleh
pemerintah dalam melaksanakan berbagai program kerjanya (rasio biaya
yang dikeluarkan dengan keluaran yang dihasilkan, misalnya: biaya
kunjungan ke luar negeri terhadap investasi yang masuk, gaji dan fasilitas
10
yang dibayarkan terhadap hasil kerja, dsb), dan penggunaan sumber-
sumber finansial dari kekuatan sendiri, bukan dari hutang.
2. Perspektif Pelanggan
Dalam konteks negara, pelanggan utama pemerintah adalah
warga negara Indonesia (WNI) baik rakyat yang berdiam di wilayah
negara kesatuan Republik Indonesia maupun yang berdomisili di negara
lain. Setelah itu, pelanggan level berikutnya adalah negara lain yang
membina hubungan dalam berbagai bidang dengan RI termasuk di
dalamnya warga negara sahabat tersebut.
Pada perspektif pelanggan yang menyangkut rakyat yang menjadi
warga negara Indonesia, maka variabel ukuran kinerja pemerintah yang
dapat diukur keberhasilannya adalah antara lain: pemerataan hasil-hasil
pembangunan antara berbagai kawasan di Indonesia yang secara kasar
dapat diukur dari dua hal. Pertama, persentasi beredarnya uang di suatu
kawasan relatif terhadap seluruh uang yang beredar di negara tersebut
(di mana saat ini diperkirakan lebih dari 60% uang hanya beredar di
Jakarta). Kedua pemerataan lapangan kerja baik bagi orang-orang yang
terdidik maupun pekerja biasa ( di mana kecenderungan para lulusan S1
perguruan tinggi saat ini mayoritas ‘terpaksa’ menuju Jakarta, Surabaya,
Bandung dan Medan). Variabel yang termasuk ke dalam perspektif
pelanggan lainnya adalah meningkatnya kepuasan masyarakat terhadap
berbagai macam program pemerintah, kebijakan dan langkah riil
11
pemerintah yang dapat direpresentasikan dengan sedikitnya gejolak
kemasyarakatn yang terjadi, kualitas dan kuantitas demonstrasi yang
dihadapi pemerintah, teredamnya berbagai konflik sosial yang terjadi,
hilangnya rasa ketakutan mengeluarkan pendapat (termasuk di dalamnya
meningkatnya kesantunan dalam mengeluarkan pendapat baik oleh
berbagai kalangan masyarakat, politisi maupun media masa),
menurunnya kuantitas dan kualitas kriminalitas, meningkatnya level
kebutuhan masyarakat yang tidak hanya terus berkutat pada masalah
kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan saja tetapi pada
level yang lebih tinggi dan masih banyak lagi variabel yang dapat
diturunkan dalam perspektif pelanggan yang menyangkut kebutuhan
warga negara ini.
Variabel untuk mengukur perspektif pelanggan dalam kaitannya
dengan negara lain di antaranya adalah pertama, banyaknya warga
negara lain yang ikut menikmati hasil kerja pemerintah yang misalnya
dapat diukur melalui jumlah, lama dan penyebaran kunjungan wisatawan
luar negeri, jumlah pekerja kelas menengah dan bawah yang mencari
nafkah ke Indonesia yang bukan merupakan paket dari bantuan asing
yang menyertainya tetapi karena memang adanya daya tarik secara
ekonomis maupun sosial. Kedua, terpeliharanya hubungan bilateral dan
multilateral yang saling menguntungkan di berbagai bidang: pendidikan,
perdagangan, industri, kesehatan dan tenaga kerja.
12
3. Perspektif Internal
Dalam perspektif internal, fokus utama ukuran yang dapat dipakai
untuk menilai kinerja pemerintah adalah lebih pada proses yang terjadi.
Beberapa variabel ukuran kinerja yang dapat diterapkan di antaranya
adalah efisisiensi pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang
misalnya dapat diukur dari proses perijinan yang harus ditempuh warga
negara dalam berbagai urusan baik menyangkut lama waktu pelayanan
maupun kompleksitas prosedur yang ditempuh; produktivitas aparat
dalam melaksanakan tugasnya; menurunnya/ tiadanya ongkos-ongkos
siluman yang harus dibayarkan dalam pengurusan berbagai macam
kebutuhan; peningkatan jumlah dan kualitas aturan-aturan yang
dikeluarkan yang berkaitan dengan jaminan berusaha yang adil dan
transparan; peningkatan daya saing sektor-sektor yang menjadi tanggung
jawab pemerintah seperti misalnya BUMN, Perguruan Tinggi, Pelayanan
Kesehatan dan sebagainya; rasio kebocoran anggaran; penggunaan
anggaran pada bidang yang tepat dan urgent (the right money for the
right needs); penurunan hutang; efektivitas komunikasi antara
pemerintah dengan rakyatnya.
4. Perspektif Pembelajaran dan Perkembangan
Dalam tataran yang paling dasar dari pengukuran kinerja
pemerintah adalah ukuran yang ditinjau dari perspektif pembelajaran dan
perkembangan. Perspektif ini, dalam beberapa variabel, selain lebih
13
berorientasi pada jangka panjang juga seringkali ukuran-ukuran yang
dpakai lebih bersifat kualitatif dari pada kuantitatif dan bahkan seringkali
lebih bersifat subjektif yang artinya dapat dirasakan namun sulit untuk
diungkapkan. Variabel yang dapat digunakan antara lain peningkatan
pemberdayaan masyarakat; peningkatan partisipasi masyarakat dalam
keamanan, penjagaan asets umum, pendidikan dan bisnis; keterlibatan
berbagai elemen masyarakat dalam proses pengambilan keputusan;
kesamaan hak dan kemampuan untuk mengakses berbagai sumber
informasi (misalnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang
murah terutama di jenjang sampai dengan level sekolah menengah atas,
informasi sektor usaha yang dapat dimasuki, tender-tender yang dapat
diikuti dan sebagainya); peningkatan daya kreativitas dan inisiatif dalam
berbagai bidang (seni, budaya, usaha); peningkatan sarana dan prasarana
serta pelayanan di bidang perhubungan, telekomunikasi, energi dan air
minum dan penghargaan yang layak atas pekerjaan yang dilakukan (gap
pendapatan antar berbagai jenjang karir dan profesi)
14
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH
3.1.1. PERENCANAAN
Untuk melaksanakan apa yang menjadi kewenangan wajibnya (tupoksi)
pemerintah daerah memerlukan barang atau kekayaan untuk menunjang
pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Untuk itu, pemerintah daerah perlu
membuat perencanaan kebutuhan asset yang akan digunakan/dimiliki. Setiap
pembelian barang atau asset baru harus dicatat dan terdokumentasi dengan baik
dalam system database kekayaan daerah.
Pengadaan barang atau kekayaan daerah harus dilakukan berdasarkan
system tender. Hal tersebut supaya pemerintah daerah dan masyarakat tidak
dirugikan.
Pada dasarnya, kekayaan daerah dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Kekayaan yang sudah ada (eksis) sejak adanya daerah tersebut. Contohnya
adalah tanah, hutan,tambang, gunung, danau, pantai dan laut, sungai, dan
peninggalan bersejarah.
2. Kekayaan yang akan dimiliki baik yang berasal dari pembeliaan maupun yang
akan dibangun sendiri. Contohnya adalah jalan, jembatan, kendaraan, dan
barang modal lainnya.
15
Pemerintah daerah harus membuat perencanaan yang tepat terhadap
kedua jenis kekayaan tersebut. Perencanaan juga meliputi perencanaan
terhadap asset yang belum termanfaatkan atau masih berupa asset potensial.
Perencanaan yang dilakukan harus memperhatikan 3 hal, yaitu melihat kondisi
asset daerah dimasa lalu, asset yang dibutuhkan untuk masa sekarang, dan
perencanaan kebutuhan asset di masa yang akan datang.
Pemerintah daerah perlu menetapkan standar kekayaan minimum yang
harus dimiliki daerah untuk dapat memenuhi cakupan layanan yang dibutuhkan
masyarakat.
3.1.2. PELAKSANAAN
Kekayaan milik daerah harus dikelola secara optimal dengan
memperhatikan prinsip efisiensi, efektifitas, transparansi, dan akuntabilitas
publik. Pengelolaan menyangkut pendistribusian, pengamanan, dan perawatan.
Perlu ada unit pengelola kekayaan daerah yang professional agar tidak terjadi
overlapping tugas dan kewenangan dalam mengelola kekayaan daerah.
Pengamanan terhadap kekayaan daerah harus dilakukan secara memadai baik
pengamanan fisik, maupun melalui system akuntansi (sistem pengendalian
internal).
Pengelolaan kekayaan daerah harus memenuhi prinsip akuntabilitas
publik, yang paling tidak meliputi:
1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum
16
2. Akuntabilitas proses
3. Akuntabilitas kebijakan.
3.1.3. PENGAWASAN
Pengawasan yang ketat perlu dilakukan sejak tahap perencanaan hingga
penghapusan asset. Dalam hal ini peran serta masyarakat dan DPRD auditor internal
sangat penting. Keterlibatan auditor internal dalam proses pengawasan ini sangat
penting untuk menilai konsistensi antara praktik yang dilakukan oleh pemerintah daerah
dengan standar yang berlaku. Pengawasan diperlukan untuk menghindari
penyimpangan dalam perencanaan maupun pengelolaan asset yang dimiliki daearah.
3.2. STRATEGI OPTIMALISASI PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH
UNTUK MENINGKATKAN KINERJA PEMERINTAH DAERAH
Strategi optimalisasi pengelolaan kekayaan (asset) daerah meliputi:
1. Identifikasi dan inventarisasi nilai dan potensi asset daerah
Pemerintah daerah perlu mengetahui jumlah dan nilai kekayaan daerah yang
dimilikinya, baik yang saat ini dikuasai maupun yang msaih berupa potensi yang
belum dikuasai atau dimanfaatkan. Untuk itu, pemerintah daerah perlu
melakukan identifikasi dan inventarisasi nilai dan potensi asset daerah. Kegiatan
identifikasi dan inventarisasi dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang
akurat, lengkap, dan mutakhir mengenai kekayaan daerah yang dimiliki atau
dikuasai oleh pemerintah daerah. Identifikasi dan inventarisasi asset daerah
tersebut penting untuk pembuatan Neraca Kekayaan Daerah yang akan
dilaporkan kepada masyarakat. Untuk dapat melakukan identifikasi dan
17
inventarisasi asset daerah secara lebih efektif dan dapat diandalkan, pemerintah
daerah perlu memanfaatkan profesi auditor atau jasa penilaian yang
independen.
2. Perlunya sitem informasimanajemen asset daerah
Untk mendukung asset pengelolaan asset daerah secara efesien dan efektif
serta menciptakan transparansi kebijakan pengelolaan asset daerah, maka
pmerintah daerah perlu memiliki atau mengembangkan system informasi
manajemen yang komprehensif dan handal sebagai alat untuk pengambilan
keputusan . Sistem Informasi manajemen asset daerah juga berisi database
asset yang dimiliki daerah. System tersebut bermanfaat untuk menghasilkan
laporan pertanggungjawaban. Selain itu, sitem informasi tersebut juga
bermanfaat untuk dasar pengembangan keputusan mengenai kebutuhan
pengadaan barang dan estimasi kebutuhan belanja pembangunan (modal)
dalam penyusunan APBD.
3. Pengawasan dan pengandalian pemanfaatan asset daerah
Pemanfaatan asset daerah harus diawasi dan dikendalikan secara ketat agar
tidak terjadi salah urus (miss management), kehilangan, dan tidak
termanfaatkan (idle). Untuk meningkatkan fungsi pengawasan tersebut, peran
masyarakat dan DPRD sangat penting. Pengawasan oleh masyarakat dan DPRD
tersebut harus menghasilkan feedback bagi pemerintah daerah berupa
perbaikan perencanaan dan pemenfaatan asset daerah.
4. Keterlibatan jasa penilai (Appraisal)
18
Pertambahan asset daerah dari tahun ke tahun perlu didata dan dinilai oleh
penilai yang independen. Peran profesi penilai secara aktif dalam pengelolaan
asset daerah antara lain:
a. Identifikasi dan inventarisasi asset daerah
b. Member informasi mengenai status hukum harta
c. Penilaian harta kekayaan daerah baik yang berwujud (tangible asset)
maupun yang tidak berwujud (intangible asset)
d. Analisis investasi dan set-up investasi/pembiayaan
e. Pemberian jasa konsultasi manajemen asset daerah (asset management
consultant)
Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan
yang lebih besar untuk mengelola kekayaan daerahnya. Untuk itu, pemerintah
daerah dituntut untuk dapat mengelola kekayaan daerah secara professional,
transparan, akuntabel, efisien, dan efektif.
19
BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dibahas sebelumnya, dapat disimpulkan:
Pada dasarnya, kekayaan daerah dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Kekayaan yang sudah ada (eksis) sejak adanya daerah tersebut.
2. Kekayaan yang akan dimiliki baik yang berasal dari pembeliaan maupun yang
akan dibangun sendiri.
Aset atau barang daerah merupakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah. Potensi
ekonomi bermakna adanya manfaat finansial dan ekonomi yang bisa diperoleh pada
masa yang akan datang, yang bisa menunjang peran dan fungsi pemerintah daerah
sebagai pemberi pelayanan publik kepada masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
strategi yang optimal dalam pengelolaan asset daerah tersebut.
Strategi optimalisasi pengelolaan kekayaan (asset) daerah meliputi:
1. Identifikasi dan inventarisasi nilai dan potensi asset daerah
2. Perlunya sitem informasimanajemen asset daerah
3. Pengawasan dan pengandalian pemanfaatan asset daerah
4. Keterlibatan jasa penilai (Appraisal)
20
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S. (2009). Optimalisasi Pengelolaan Aset Daerah. [Online]. Tersedia:
http://syukriy.wordpress.com/2009/04/25/optimalisasi-pengelolaan-aset-
daerah/. [28 September 2009].
Acuviarta. (2009). Mengelola Kekayaan Daerah. [Online]. Tersedia:
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?
mib=beritadetail&id=29936. [28 September 2009].
Mardiasmo. (2004). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
Pemerintah Republik Indonesia. (2006). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 6 Tahun 2006, Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Wibisono, D. (2008). Mengukur Kinerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah. [Online].
Tesedia: http://dermawanwibisono.wordpress.com/2008/07/15/mengukur-
kinerja-pemerintah-dan-pemerintah-daerah/. [28 September 2008]
21