strategi pencegahan hiv melalui program konseling dan pemeriksaan di indonesia
TRANSCRIPT
1. STRATEGI PENCEGAHAN HIV MELALUI PROGRAM KONSELING DAN
PEMERIKSAAN DI INDONESIA
A. Kebijakan umum
1. Upaya penanggulangan HIV AIDS harus memperhatikan nilai-nilai agama dan
budaya/norma kemasyarakatan dan kegiatannya diarahkan untuk mempertahankan
dan memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan keluarga.
2. Mengingat luasnya respon dan permasalahan, maka upaya penanggulangan AIDS
harus dilakukan melalui suatu gerakan secara nasional bersama sektor dan
komponen lain.
3. Upaya penanggulangan HIV AIDS harus menghormati harkat dan martabat
manusia serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.
4. Upaya pencegahan HIV AIDS pada anak sekolah, remaja dan masyarakat umum
diselenggarakan melalui kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi guna
mendorong kehidupan yang lebih sehat.
5. Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap
hubungan sex berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan HIV.
6. Upaya penanggulangan HIV AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari
peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan
perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap odha.
7. Upaya penanggulangan HIV AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah,
dan LSM menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban
mengarahkan, membimbing, dan menciptakan suasana yang mendukung
terselenggaranya upaya penanggulangan HIV AIDS.
8. Upaya penanggulangan HIV AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat
berperilaku risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat
yang rentan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok
marginal terhadap penularan HIV AIDS
10. Pengembangan pelayanan dilakukan secara bertahap pada seluruh pelayanan yang
ada sesuai dengan fungsi dan strata pelayanan dengan mempertimbangkan
kemampuan dan kesiapan sarana, tenaga dan dana.
11. Pencapaian target program nasional juga memperhatikan komitmen dan target
internasional.
C. Tujuan Program
Tujuan program secara umun juga dapat menjadi arah jalannya suatu program dan
indikator dalam melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan program.
Pada tingkat nasional tujuan program dirumuskan sebagai berikut :
1.Tujuan umum
mencegah dan rnengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA
serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV AIDS pada individu,
keluarga dan masyarakat.
2.Tujuan Khusus
a. Menyediakan dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan, pengobatan, dan
dukungan kepada ODHA yang terintegrasi dengan upaya pencegahan.
b. Menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan menciptakan suasana
kondusif untuk mendukung upaya penanggulangan HIV AIDS, dengan menitik
beratkan pencegahan pada sub-populasi berperilaku risiko tinggi dan
lingkungannya dengan tetap memperhatikan sub-populasi lainnya.
c. Meningkatkan peran serta remaja, perempuan, keluarga dan masyarakat umum
termasuk ODHA dalam berbagai upaya penanggulangan HIV AIDS.
d. Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara lembaga pemerintah,
LSM, sector swasta dan dunia usaha, organisasi profesi, dan mitra internasional
di pusat dan di daerah untuk meningkatkan respons nasional terhadap HIV
AIDS.
e. Meningkatkan koordinasi kebijakan nasional dan daerah serta inisiatif dalam
penanggulangan HIV AIDS
D. Universal Access
Peningkatan program dijabarkan lebih lanjut menjadi beberapa sasaran kunci, yang
juga sejalan dengan upaya mewujudkan universal access dalam mencapai MDG’s
tahun 2015
E. Sasaran Strategis Pengendalia HIV AIDS & IMS tahun 2010-2014 (Kemenkes
RI)
1. Menurunnya prevalensi HIV pada penduduk usia 15-49 tahun menjadi kurang dari
0,5%
2. Meningkatnya persentase penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan
komprehensif tentang HIV AIDS dari 65% menjadi 95%
3. Meningkatnya jumlah penduduk usia 15 tahun atau lebih yang menerima
konseling dan tes HIV dari 300.000 menjadi 700.000
4. Meningkatnya persentase kabupaten/kota yang melaksanakan pencegahan
penularan HIV sesuai pedoman dari 50% menjadi 100%.
5. Meninggkatnya pengunaan kondom pada kelompok resiko tinggi dari 25% (P) dan
20% (L) menjadi 65% (P) dan 50% (L)
6. Meningkatnya persentase ODHA yang mendapatkan ARV dari 60% menjadi 90%
7. Meningkatnya persentase Rumah Sakit Pemerintah yang menyelenggarakan
rujukan bagi ODHA,menjadi 100%
F. Strategi Pencegahan HIV
Secara umum strategi atau langkah-langkah yang harus dilakukaan meliputi :
1. Meningkatkan dan mengembangkan program (program expansion strategy)
dengan memfokuskan akses layanan bermutu (konseling dantes HIV, perawatan
dukungan dan pengobatan/PDP, infeksi menular seksual/IMS, pengurangan
dampak buruk/PDB, program pencegahan dari ibu dan anak/PPIA, dll), penguatan
jejaring layanan, pelibatan semua penyedia layanan (care provider) dan merespon
tantangan baru seperti drug resistance, kolaborasi TB-HIV.
2. Meningkatkan dan memperkuat kebijakan dan kepemilikan program melalui
regulasi, standarisasi layanan program, mobilisasi dan harmonisasi sumberdaya
dan alokasi program
3. Meningkatkan dan memperkuat sistem kesehatan dan manajemen program,
melalui peningkatan kapasitas program, pengembangan SDM program yang
profesional, manajemen logistik, kegiatan M&E program dan promosi program.
4. Meningkatkan dan menguatkan system informasi strategis melalui pengembangan
kegiatan surveilans generasi kedua, penelitian operasional untuk memperoleh data
dan informasi bagi pengembangan program penanggulangan HIV dan AIDS.
5. Memberdayakan ODHA dan masyarakat dalam upaya pencegahan, perawatan,
dukungan, pengobatan dan upaya kegiatan program lainnya.
G. Kegiatan Strategi Program Konseling dan Tes HIV di Indonesia
1. Target Intervensi
Cara paling efisien untuk menurunkan penyebaran HIV dilakukan pada semua
populasi dan memprioritaskan target yang beresiko tinggi terinfeksi HIV, yaitu
pada kelompok penggunaan NAPZA suntik, kelompok pekerja sex, kelompok
laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki serta pasangan seksual. Epidemi
IDU dimulai dibeberapa Negara asia dan kemudian menyebar kepada kelompok
beresiko tinggi dan populasi umum. Program pengurangan dampak buruk (harm
reduction) dengan pencucuian alat suntik dan pertukaran alat suntik, serta terapi
rumatan dengan substitusi terbukti efektif menghambat penularan HIV diantara
pengguna NAPZA suntik. “akses ke VCT dan ARV harus tersedia disemua area
rumah sakit rujukan tingkat propinsi dan kabupaten/kota.
kita ketahui bahwa UTD PMI merupakan unit scrining untuk pemeriksaan donor darah.
Upaya yang dilakukan dapat berupa optimalisasi pengelolaan darah dalam suatu UTD
baik input proses maupun output. Penyediaan darah juga harus berstandarisasi dan
berkualitas sesuai dengan strategi I dari word healt organization (WHO), maka darahyang
tercemar HIV pada pemeriksaan awal akan segera dibuang. Optimalisasi pengelolaan
darah dalam hal input yang terpenting adalah disaat proses seleksi calon donor darah
sehingga didapatkan donor darah sukarela resiko rendah. Begitupun dalam pemeriksaan
dokter juga harus cermat ketika menilai kondisi kesehatan calon donor darah saat itu.
Penanganan input yang optirrtal merupakan awal dari penyediaan darah yang aman
dimana didapatkan bahan tarsebut dari donor. Saat ini tiap Unit Tranasfusi Darah Cabang
(UTDC) telah melakukan uji saring terhadap 4 penyakit manular berbahaya yaitu Sifilis,
Haipatitis B dan C dan HIV. Apabila ada donor darah yang dicurigai terinfeksi dengan
hasil tes yang mendukung, maka dirujuk ke Unit Tranfusi Darah Pusat (UTDP) untuk
dilakukan tes ulang darah donor tersebut. Hasilnya dikembalikan ka UTDC yang
bersangkutan. Unit Tranfuai Darh Daerah (UTDD) DKI Jakarta apabila dicurigai adanya
infeksi HIV AIDS maka dilakukan rujukan pasien ke rumah sakit yang manyediakan
layanan konseling dan tes HIV
4. Voluntary Counseling and Testing (VCT) sebagai strategi kesehatan masyarakat
VCT yang berkualitas baik tidak saja membuat orang mempunyai askes terhadap
berbagai pelayanan, tetapi juga efektif bagi pencegahan terhadap HIV. Pelayanan VCT
dapat digunakan untuk mengubah perilaku berisiko dan memberikan informasi tentang
pencegahan HIV. Klien dimungkinkan mendapat pengetahuan tentang cara penularan,
pencegahan, dan pengobatan terhadap HIV, seperti panggunaan kondam, tidak berbagi
alat suntik, dan penggunaan alat suntik steril. Konselor juga harus mampu mamberikan
pengetahuan tantang hubungan IMS dengan HIV dan merujuk klien ketika IMS nya perlu
dideteksi dan diobati lebih lanjut. Di banyak Negara pembagian kondom dilakukan
diklinik VCT dimana VCT merupakan komponen utama dalam program HIV dinegara-
negara industry akan tetapi belum mendapat perhatian baik dinegara-negara berkembang.
Namun peran pencegahan, penularan dan perbaikan akses ke pelayanan perawatan
merupakan gambaran bahwa VCT mulai dikenal dan dilaksanakan. Sampai dengan
Juni 2011 terdapat lebih kurang 7.000 konselor yang Telah dilatih oleh tim palatih VCT
Nasional dengan sertitfikasi yang difasilitasi oleh kementerian Kesehatan. Sementara itu
layanan VCT yang sudah ada sebanyak 388 layanan baik yang di Rumah Sakit maupun
klinik. Kemudian untuk Rumah Sakit rujukan ARV mulai tahun 2004 di bentuk di 25
RS, tahun 2006 dikembangkan di 75 RS dan tahun 2007 dikembangkan di 125 RS yang
sudah dilatih VCT Selain itu dalam rangka meningkatkan mutu layanan terutama yang
berkaitan dengan kualitas dan sistem layanan VCT. Subdit AIDS dan PMS Ditjen
P2PLP Kemenkes RI secara berkala melakukan monitoring dan mentoring terhadap
layanana-layanan VCT yang ada di lndonesia. Peningkatan kemampuan konselor juga
dilakukan dengan melalakukan pelatihan lanjutan VCT, pelatihan konseling Adherence
ART dan PITC dan pelatihan konseling terkait lainnya. Di samping itu dalam upaya
mengoptimalisasi sistem pelayanan VCT di indonesia saat ini dengan membentuk
asosiasi konselor VCT HIV lndonesia. PKVHI (Perhimpunan Konselor VCT HIV
indonesia). Perhimpunan ini mempunyai kepengurusan pusat maupun daerah serta secara
rutin melakukan musyawarah nasional maupuin wilayah. PKVHI berperan dalam
meningkatkan mutu konselor VCT.
5. Kaitan VCT dengan Provider Initiative Testing and Counseling/PITC Saat ini diberbagai
rumah sakit di lndonesia telah dilakukan layanan tes HIV melalui program PITC. PITC
adalah program yang dikembangkan dari layanan konseling dan tes HIV. PITC dan VCT
adalah satu kesatuan pendekatan dalam HIV konseling dan tes HIV. PITC bukanlah tes
mandatory karena mengedepankan prinsip 3C-2R yaitu lnformed Consent (persetujuan
setelah mandapat informasi dan memahaminya), counseling confidentiality
(konfidensialitas) serta report (pelaporan) dan referral (rujukan). Dalam PITC proses
konseling pra test dilakukan dalambentuk pemberian informasi pada hakekatnya layanan
PITC bekerjasama dengan VCT dalam konseling dukungan serta keduanya akan
terlaporkan dalam suatu system yang baku
6. Pencegahan positif dalam konseling dan tes HIV
Kementrian kesehatan mendukung upaya pencegahan positif melalui pendekatan
kolseling dan tes HIV pencegahan seharusnya merupakan tanggung jawab bersama,
termasuk pemerintah terlibat dalam program pencegahan positif. Pencegahan dan
perawatan HIV saling terkait dan tidak boleh saling bertentangan. Melibatkan orang yang
positif pada tiap tahap pengembangan dan implementasi program. Program pencegahan
HIV seharusnya dikembangkan tanpa stigmatisasi lebih jauh pada mereka yang sudah
termaginalisasi. Kunci pencegahan positif dalam konseling adalah :
a. Mencegah penularan HIV kepada orang lain
b. Mencegah penularan infeksi ulang HIV dan infeksi lainnya
c. Meniinggkatkan kualitas hidup terkait dengan rencana masa depan (termasuk
berkeluarga dan keluarga berencana)