strategi-menghadapi-aliran-sesat-ust-kholid-muslih.pdf
TRANSCRIPT
1
STRATEGI MENGHADAPI ALIRAN-ALIRAN SESAT DI SEKITAR KITA
Dr. M. Kholid Muslih, M.A1
Ada dua hal yang menurut Ibnu Qoyyim al-Jauziyah dianggap sebagai penyebab utama
kerusakan: Pertama: Fasad al-Ilmi Rusaknya Ilmu, dan Kedua: Fasad al-Qoshdi Rusaknya I’tikad
baik (motivasi). Rusaknya ilmu menyebabkan kesesatan (adh-dhalal), sementara rusaknya i’tikad
menyebabkan datangnya kemurkaan Allah (Ghadhabullah).
Sesat dalam bahasa Arab disebut adh-dhalal. Dari lafal dlalla-yadhillu-dhalal. Dhalal
bermakna: suluk tariqin la yuwasshiluhu ila al-mathlub (menapaki jalan yang tidak menyampaikan
kepada tujuan). Sementara Ad-dhal (orang yang tersesat) bermaknaKullu man inharafa ‘an
dinillah al-hanif (Setiap orang yang menyimpang dari jalan Allah yang lurus).2
Agama Allah (Islam) terdiri dari tiga (3) komponen utama: Pertama: Aqidah, Kedua: Syari’ah
dan Ketiga: Akhlaq. Ushul (Prinsip-prinsip dasar) ketiga unsur utama ini telah dijelaskan dengan
tuntas oleh al-Quran dan Sunnah. Sehinga menjadi hal yang paten dalam Islam, konstan dan tidak
dapat diubah-ubah. Selain itu (Prinsip-prinsip dasar) masuk dalam kategori furu’ (cabang) yang
bersifat mutaghayyir (tidak konstan/berubah-ubah), akan tetapi tetap harus merujuk kepada
prinsip-prinsip dasar. Seorang yang komitmen kepada prinsip-prinsip dasar Islam, serta
cabangnya yang masih dalam bingkai prinsip-prinsip dasar, dianggap berada dalam jalan yang
lurus, sementara keluar dari batas prinsip-prinsip dasar ajaran Islam tersebut dianggap telah
melenceng dari jalan yang lurus tersebut atau tersesat.
Munculnya beragam firqah (kelompok), madzhab, aliran, organisasi, partai mengakibatkan
banyak orang menjadi bingung; Mana yang benar (Mana jalan yang lurus) dan mana yang sudah
melenceng (sesat), karena masing-masing mengaku dirinya benar, sementara yang lain salah atau
dianggap salah.
Mensikapi hal ini perlu kiranya dijelaskan beberapa hal berikut:
Pertama: Dengan diutusnya Nabi Muhammad Saw, berarti telah berakhir pula rentetan
kenabian dan kerasulan yang dimulai sejak Nabi pertama Adas As. Yang berarti bahwa ajaran
Islam telah sampai kepada kesempurnaan, yang tidak membutuhkan penambahan dan
pengurangan.
“ ... Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)
Kedua: Disisi lain, merupakan salah satu sunnatullah dalam penciptaan adalah keragaman
atau pluralitas. Keragaman ini merupakan karasteristik seluruh makluk Allah di alam semesta;
yang tercermin dalam keragaman etnis dan bahasa3, jenis kelamin4, bangsa dan suku5, langit dan
bumi yang berjumlah tujuh6, hari yang juga berjumlah tujuh, bulan yang berjumlah dua belas7,
keragaman dalam undang-undang dan syariat8, keragaman dalam agama, kepercayaan atau
1 Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Aqidah Pascasarjana ISID Gontor Jawa Timur. 2 Majama’ al-lughah al-Arabiyah, Mu’jam al-Washith, (Kairo, Cet. IV, 2004), Hal. 542 3 Surat ar-Rum: 22 4 Surat al-Hujurat: 13 5 Surat al-Hujurat: 13 6 Surat al-Thalaq: 12 7 Surat at-Taubah: 36 8 Surat al-Maidah: 22
2
keyakinan9, pepohonan, bebatuan, tanah, gunung, bunga, buah-buahan, keragaman dalam cara
pandang, kecenderungan, corak berfikir dan seterusnya10.
Dalam pandangan Islam hanya dzat Allah saja yang bersifat tunggal atau esa, selebihnya
semuanya bersifat plural atau beragam11. Karakteristik keesaan yang unik ini selanjutnya melekat
erat kepada Islam, sehingga Islam dikenal sebagai agama Tauhid. Lebih dari itu, perhatian yang
cukup besar dari umat Islam terhadap masalah keesaan Allah ini memunculkan disiplin ilmu yang
secara khusus membahas tentang keesaan Allah ini baik dari sisi (dzat, sifat, uluhiyah, dan
rububiyah-Nya) yang kemudian dinamakan Ilmu Tauhid.
Di atas sunnatullah “keragaman” ini, terbangun sunnatullah lain yaitu “perbedaan dan
perselisihan” (wala yazaluna mukhtalifin - mereka senantiasa akan terus berselisih); Karena adanya
keragaman, secara otomatis akan mendorong masing-masing entitas untuk menegaskan dirinya
dengan cara menonjolkan karakter uniknya masing-masing. Hal ini tentu akan memicu terjadinya
benturan atau gesekan, akibat obsesi masing-masing entitas untuk mempertahankan dan
membesarkan ego serta eksistensinya. Dalam kondisi seperti ini perselisihan rasanya sulit untuk
dihindarkan.
Dalam surat Hud, secara gamblang Allah menjelaskan bahwa terjadinya perselisihan antara
umat manusia merupakan kehendak Ketuhanan, yang tak bisa dihindari:
"Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa
berselisih pendapat.Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan
mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) Telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam
dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (Hud: 118-119).
Sehingga dalam ranah sosial; fenomena perbedaan, perselisihan, perpecahan dan
persengketaan menjadi realitas yang tidak bisa dielakkan. Untuk itu memimpikan kesatuan secara
mutlak dalam segala hal adalah mustahil.
Walaupun demikian, perselisihan yang telah menjadi sunnatullah itu tidak terjadi di luar
proses kemanusiaan. Menurut Dr. Muhammad Abdurrahman, terjadinya perselisihan tersebut
disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya: 1. Rancunya obyek perbedaan itu sendiri; 2.
Fanatisme kelompok, madzhab dan aliran; 3. Konflik kepentingan; 4. Perbedaan kecenderungan
atau mood dan tabiat; 5. Perbedaan cara pandang, 6. Taqlid buta kepada para pendahulu, senior
atau nenek moyang, 7. Perbedaan daya fikir 8. Dan perebutan Kekuasaan politik12.
Namun realitas yang memang sesuai dengan sunnatullah tersebut pada hakekatnya bukan
merupakan hal yang direstui atau diridlai-Nya, sebagaimana Allah menetapkan kekafiran namun
tidak merestuinya. Dalam bahasa Dr. Qardlawi "Perbedaan (al-ikhtilaf) itu legal (masyru') namun
perselisihan, pertikaian, persengketaan yang mengarah kepada perpecahan (at-tafarruq) itu tercela
(madzmum) atau sesuatu yang tidak diinginkan oleh Allah”.13 Artinya walaupun tercipta beragam
yang berkonsekwensi perpecahan, namun kesatuan atau (al-wihdah) merupakan harapan ideal
yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan, sehingga terwujud kesatuan dalam keragaman,
9 Surat at-Taghabun: 2 10 Buku paling komprehenship dalam menjelaskan masalah pluralitas dalam kesatuan ini adalah "Al-Islam wa At-
Ta’addudiyyah; Al-Ikhtilaf wa at-Tanawwu’ fi Ithar al-Wihdah”, Dr. Mohammad Emarah, (Kairo, Dar ar-Rasyad li an-
Nasr wa at-Tauzi’) 11 Lihat Surat al, Baqarah: 163, an-Nisa': 171, al-Maidah: 73, al-An'am: 19, Ibrahim: 52, an-Nahl: 22, 51, al-Kahfi: 110,
al-Anbiya': 108, al-Hajj: 34, Fushilat: 6, al-Ikhlas: 1, dll 12 Dr. Muhammad Abdurrahman, al-Madzahib wa al-Milal, (Makkah al-mukarramah, Ma'had al-Buhuts al-
Ilmiyah, 2001), p. 6-8 13 Dr. Yusuf al-Qardlawi, as-Shahwah al-Islamiyah baina al-ikhtilaf al-masyru’ wa at-tafarruq al-madzmum.
3
atau keragaman dalam kesatuan. Upaya mewujudkan kesatuan inilah yang menjadi titik penilaian
Allah, lahan kebaikan bagi umat manusia serta menjadi lahan ibadah bagi umat Islam:
"Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal."14
"Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat."15
Ketiga: Dihadapan keragaman yang menyebabkan banyak kalangan bingung ini, sejatinya
Allah telah memberikan rambu-rambu dalam al-Quran dan Sunnah, untuk memilih mana diantara
kelompok-kelompok ini yang mewakili kebenaran. Rambu-rambu tersebut dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa akan tetap ada
sekelompok dari umat Islam yang secara konsisten mereprentasikan kebenaran yang dibawa
oleh Islam.16
2. Ciri-ciri kelompok ini juga dijelaskan dengan gamblang oleh hadis lain yaitu: Ma alaihi Ana wa
Ashabi (Komitmen terhadap ajaran Rasul dan para Sahabat), atau Wahiya al-Jama’ah
(Komitmen terhadap jama’ah.)17Yang dimaksud dengan jama’ah adalah para sahabat dan
yang menghikuti jalan mereka hingga hari kiamat.
3. Karena kriteria-kriteria diatas (Ma alaihi Ana wa ashabi) dan (wahiya al-jama’ah), para ulama’
menamakan kelompok ini dengan sebutan: Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Perlu dijelaskan bahwa
penamaan ini, merupakan penamaan tambahan dari penamaan asli yang sesungguhnya
yaitu“muslim” atau “mukmin”.Dikarenakan kelompok-kelompok yang muncul ini walaupun
telah memiliki nama yang khusus, namun dalam kenyataannya mereka masih tetap
menisbatkan dirinya kepada Islam juga.
4. Siapa Ahlu Sunnah itu, dan apa karakteristiknya?. Berikut penjelasan lebih rinci mengenai hal
tersebut.
A. Definisi
a. Definisi Sunnah
Sunnah secara bahasa berarti Thariqah (jalan atau cara yang terpuji dan lurus), karenanya jika
disebutkan bahwa “Fulan min ahli as-sunnah” (si fulan termasuk orang ahlu sunna) -secara bahasa-
14 Surat al-Hujurat: 12 15 Surat al-Hujurat: 10 16 )البخاري(اھرین حتى یأتیھم أمر اللھ وھم ظاھرون عن المغیرة بن شعبة عن النبي صلى اللھ علیھ وسلم قال لا یزال طائفة من أمتي ظ 17 أب�و داود، (” وھ�ي الجماع�ة “: قی�ل ) الترم�ذي، الح�اكم (” ما علیھ أنا وأصحابي“لنار إال واحدة، قالوا ومن ھي؟ قال افترقت أمتي إلى ثالث وسبعین فرقة، كلھم في ا
) أبو داود، ابن ماجھ(علیكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدین المھدیین “) أحمد، ابن ماجة
4
maknanya: Seorang yang menempuh jalan atau cara yang lurus dan terpuji18. Sunnah juga
bermakna as-sirah (biografi) yang baik maupun yang buruk.19
Adapun menurut istilah, sunnah memiliki beberapa pengertian, diantaranya: Sunnah berarti
biografi Rasul20. Sunnah juga berarti: Apa yang datang dari Nabi berupa perkataan, perbuatan dan
keputusan.21Sunnah juga bermakna: Jalan yang ditempuh oleh Nabi dan para sahabatnya, yang
terhindar dari syubhat dan syahwat, terutama dalam hal keyakinan (iman kepada Allah, Malaikat,
Kitab, Rasul dan Hari Akhir, serta Qodar, keutamaan para sahabat … )22.
Sementara Ahlu Sunnah menurut Ibnu Hazm dan Ibnu Jauzi: "adalah orang yang berada
dalam kebenaran. Lawannya adalah ahlu bid'ah, mereka itu adalah para sahabat dan orang-orang
yang mengikuti jalan mereka dari kalangan orang-orang terbaik tabi'in, lalu ahli hadis, yang
selanjutnya diikuti oleh para fuqaha', dari masa ke masa hingga hari ini, serta orang-orang yang
mengikuti mereka dari timur hingga barat".
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ahlu Sunnah adalah mereka yang mengikuti dan
berpegang teguh pada sunnah; mereka itu adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik hingga hari akhir.
Penamaan Ahlu Sunnah menurut Ibnu Taimiyah dan Abu al-Mudzaffar al-Isfiraini muncul
karena mereka mengikuti sunnah Rasulullah Saw., berdasarkan sabda Rasulullah saat ditanya
tentang al-firqah an-najiyah (kelompok yang selamat) beliau menjawab: "Mereka adalah orang yang
mengikutiku dan para sahabatku".
Kriteria diatas –menurut al-Isfiraini- sangat relevan dengan kelompok Ahlu Sunnah yang ada
sekarang, karena merekalah orang-orang yang getol memahami, mengajarkan serta melaksanakan
Sunnah Rasulullah dan para Sahabat, sehingga orang-orang yang suka mencaci dan menghujat
para Sahabat dari kelompok Khowarij dan Syi'ah serta kelompok-kelompok lain, secara otomatis
tidak termasuk dalam kategori tersebut23.
b. Definisi Jama'ah
Ahlu Sunnah juga sering dijuluki al-Jama'ah, sehingga penyebutan yang lengkap bagi mereka
adalah ahlu as-sunnah wa al-jama'ah. Makna jama'ah sebagaimana dijelaskan oleh hadits Bukhari
dan Muslim adalah: Mereka yang selalu berusaha untuk menyatu (mengintegrasikan diri) dengan
komunitas umat Islam dan imamnya"24. Jamaah juga bermakna "Yang mengikutiku (Rasulullah
Saw) dan sahabat-sahabatku".25. Makna lain dari jama’ah adalah "Apa yang sesuai dengan
kebenaran walaupun engkau sendirian".26.
18 Jamaluddin Muhammad bin Makram bin Mandzur, Lisan al-Arab, (Kairo, at-Thab'ah al-Amiriyah, 1303 H) hal.
17/90 19Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi, Al-misbah al-munir, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1398 H), hal. 1/312;
H.R. Muslim, Kitab: al-ilm, Bab: Man sanna sunnatan hasanatan au sayyiatan, No. 4830 20Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Qazwini, Mu'jam Maqoyis al-Lughah, (Kairo-Mesir, Musthafa al-Babi a-Halaby,
Cet. II, 1389 H.), hal. 1/312; Muhammad bin Abi Bakar ar-Razi, Mukhtar as-Shihhah, (Beirut, Dar al-Kitab al-Arabi, cet. I.
1979), hal: 317.
21Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal. 13/245; al-jazairi, Taujih an-Nadzar, hal: 3 (ini adalah definisi para Ahli Hadits) 22Ibnu Hazm, al-Fishal, hal: 2/107; Ibnu Jauzi, Talbis al-Iblis, hal: 16
23Al-Isfiraini, al-Tabshirah fi ad-din, hal: 167
24(Dari Hudzaifah bin al-Yaman Rasulullah Saw bersabda: " … Hendaknya engkau bersama Jamaah (komunitas)
umat Islam dan imam mereka …) HR. Bukhari, Kitab: al-Manaqib, Bab: Alamat an-nubuwwah fi al-Islam, No: 3338;
Muslim, Kibab: al-Imarah, Bab: Wujub mulazamat jamaati al-muslimin, inda dzuhur al-fitan, No: 3434
25 HR. Tirmidzi, Kitab: al-iman an Rasulillah, Bab: Ma jaa fi iftiraq hadzihi al-ummah, No: 2565. 26 (Abu Syamah menjelaskan: "Dimana datang perintah untuk selalu bersama jama'ah, maknanya adalah perintah
untuk mengikuti kebenaran dan pengikutnya, walaupun jumlahnya sedikit sementara penentangnya cukup banyak,
5
Ibnu Hajar al-Asqalani di dukung oleh Ibnu Taimiyah menambahkan unsur lain dalam
makna jama'ah yaitu: unsur al-ijtima'wa adam at-tafarruq (pertemuan/kesatuan dan tidak berselisih),
dalam arti keinginan untuk selalu bersatu dalam komunitas muslim, dan berusaha keras untuk
menjauhi perselisihan dengan tetap dalam jama’ah dan berpegang teguh dengan al-Qur’an,
Sunnah serta Ijma’.27
Berdasarkan pemahaman ini, tahun di mana Imam Hasan turun tahta dan menyerahkan
tapuk kepemimpinan kepada Mu'awiyah –sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Bathutha- disebut am
al-jamaah (tahun persatuan).28
Dengan demikian pengertian al-jama'ah adalah komunitas yang berpegang kepada
kebenaran, dengan mengikuti Rasul dan para Sahabat, selalu menyatu (mengintegrasikan diri)
dengan komunitas umat Islam dan imamnya, mencintai persatuan dan membenci perselisihan.
c. Definisi Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jama'ah adalah
komunitas yang berpegang teguh kepada kebenaran, selalu berusaha untuk bersatu serta tidak
menyukai perselisihan.
Pengertian ini sesuai dan sejalan dengan makna sunnah sebagaimana dijelaskan di muka yaitu
jalan yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya, serta yang mengikuti
mereka hingga akhir zaman.
Dengan demikian lafal sunnah dan jama'ah jika berpisah maka maknanya sama atau satu,
namun jika bersatu maka maknanya berbeda; As-sunnah berarti jalan yang telah digariskan oleh
Rasulullah, sementara al-jama'ah artinya jamaatu al-muslimin (komunitas umat Islam) yang selalu
berpegang kepada kebenaran, yaitu para Sahabat, Tabi'in, dan yang mengikuti mereka hingga
akhir zaman. Untuk itu penyebutan ahlu sunnah wa al-jama'ah sering disingkat dengan ahlu sunnah
saja tanpa jama'ah, karena maknanya telah mencakup makna yang terkandung dalam lafal al-
jama'ah.
d. Kapan Pertama Kali Muncul Penamaan Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah adalah nama lain dari
Islam itu sendiri. Untuk itu istilah ini tentu saja tidak muncul dan tidak perlu dimunculkan di
awal-awal penyebaran Islam kecuali dalam batas penjelasan terhadap makna Islam itu sendiri;
karena kandungan lafal ahlu as-sunnah wa al-jama'ah sesungguhnya telah terangkum dalam lafal
Islam tersebut.
karena kebenaran adalah hal yang dipegang oleh komunitas pertama di masa Nabi Saw dan para sahabat, tanpa
melihat jumlah pengikut kebatilan setelahnya") Al-la lakai, Kaasifu al-ghummah fi I'tiqad Ahli Sunnah, hal: 9 27 Ibnu Taimiyah, al-Fatawa, hal: 3/346, 157 (Ibnu Taimiyah berkata: "Barang siapa berpegang pada al-Quran,
Sunnah dan Ijma', maka digolongkan kedalam kelompok Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah" "Karena jama'ah itu artinya al-
ijtima' (bersatu/bertemu), lawannya al-furqah (berselisih) … mereka selalu menakar seluruh perkataan dan perbuatan
manusia yang ada hubungannya dengan agama dengan tiga hal tersebut"); Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, hal: 7/73. (Dalam
menjelaskan perkataan Imam Ali : "Putuskan masalah itu seperti yang biasa kalian putuskan, karena sesungguhnya aku
membenci perselisihan, hingga manusia (bersatu)". Ibnu Hajar menjelaskan: Maksud dari "fainni akrahu al-ikhtilaf"
(sesungguhnya aku membenci perselisihan) artinya tidak suka hal yang menyebabkan perselisihan, Atau perbedaan
yang menyebabkan terjadinya perselisihan dan timbulnya fitnah) 28Ibnu Hajar, Fathu al-Bari, Ibid, hal: 13/63 (Dalam hal ini Ibnu Baththal –sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar-
berkata: "Imam Hasan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Mu'awiyah, dan membaiatnya untuk menegakkan
Kitab Allah dan Sunnah Nabi, maka saat Mu'awiyah memasuki kota Kufah, semua penduduk membaiatnya, karenanya
tahun itu disebut dengan tahun jamaah (persatuan) karena dengan itu umat Islam bersatu dan peperangan berhenti")
6
Ini artinya bahwa komunitas muslim awal tidak dijuluki kecuali dengan sebutan "Muslim"
saja, karena komunitas Muslim saat itu masih dalam koredor kebenaran, yaitu jalan yang
digariskan oleh Rasul dan para sahabat senior, sehingga mereka bersatu dalam keyakinan
(keimanan), manhajal-fikri (metodologi pemikiran/frame work), ide dan cita-cita, sistem, serta
bersama dalam gerak dan langkah. Belum dikenal saat itu Muslim Sunni atau Syi'i, atau Zaidi,
atau Khawariji, atau Mu'tazili dan seterusnya.
Penamaan ini baru muncul setelah terjadi perselisihan yang menyebabkan umat Islam
terpecah belah. Maka untuk mengidentifikasi kelompok yang tetap dalam jalan Rasul dan para
sahabat Ra, para ulama' merasa perlu untuk memunculkan penamaan terhadap kelompok ini
guna membedakannya dengan kelompok lain yang telah melenceng dari jalur yang benar atau
dari ajaran yang murni29.
Walaupun tidak menunjuk -secara spesifik- tahun munculnya termenologi Ahlu Sunnah wa al-
Jama'ah tersebut, namun Prof. Dr. Mustafa Hilmi –Guru Besar Filsafat Islam dari Darul Ulum,
Universitas Kairo Mesir- menengarai bahwa awal munculnya istilah ini adalah pasca terjadinya
peristiwa al-hakamain dalam perang Shiffin yang berakhir dengan munculnya kelompok pertama
dalam Islam yaitu "Khawarij", yang disusul dengan munculnya Syi'ah, dan beragam kelompok
lainnya seperti Murji’ah, Mu'tazilah, jabariyah, Qodariyah, Hasywiyah, Jahmiyyah, Zaidiyah, Ismailiyah,
dan seterusnya.30
Ditengah-tengah munculnya berbagai aliran keagamaan-politik, yang nota benenya telah
terkontaminasi dan terinfiltrasi dengan beragam ajaran dan pemikiran di luar Islam itulah para
ulama' perlu memunculkan nama khusus untuk membedakan dengan aliran-aliran tersebut.
Nama yang dianggap paling representatif disamping memiliki legalitas (syar'i) yang tinggi adalah
Ahlu Sunnah wa al-jama'ah.
Berbeda dengan pendapat Prof. Dr. Musthafa Hilmi, Prof. Dr. Mustafa Syak'ah menengarai
bahwa terminologi Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah baru muncul pada abad ke Tujuh Hijriyah, tepatnya
empat abad setelah wafatnya Imam Ahmad bin Hambal31. Sementara Amir Ali menyimpulkan
bahwa nama ini muncul pada masa khilafah Abbasia, tepatnya pada masa al-Mansur dan Harun
ar-Rasyid.32
Kedua pendapat ini dibantah oleh Dr. Nashir bin Abdullah Ali al-Qoffari. Menurutnya istilah
Ahlu Sunnah sudah mulai muncul pada saat terjadinya fitnah dan munculnya bid'ah di masa
kholifah Utsman bin Affan33.
Ini menunjukkan bahwa Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah tidak muncul dan berkembang
dikemudian hari seperti halnya kelompok-kelompok dan aliran lainnya, namun muncul seiring
dengan kemunculan Islam karena merupakan representasi dari Islam yang diajarkan oleh
Rasullullah dan Para Sahabat.
Namun demikian –menurut hemat penulis- jika yang dimaksud kemunculan di sini adalah
kepopuleran nama tersebut, maka pendapat Dr. Musthafa Sak'ah dan Amir Ali lebih tepat;Artinya
29 Ibnu Taimiyah, al-Fatawa, hal: 3/159 30Dr. Musthafa Hilmi, Nidham al-Khilafah fi al-fikri al-Islamy, hal: 284 31Dr. Musthafa Syak'ah, Islam bila madzhab, hal: 281 32Amir Ali, Ruh al-Islam, hal: 2/201 33Dr. Nashir bin Abdullah bin Ali al-Qoffari, Masalatu at-taqrib baina Ahlu as-Sunnah wa as-Syi'ah, (Riyadh, Dar
at-Thiba, Cet. VI, 1420 H) hal: 1/44 (Dr. Qoffari memperkuat argumennya dengan perkataan Ibnu Sirin –sebagaimana
dikutip oleh Imam Thabari-, yang mengatakan: "Mereka tidak bertanya tentang sanad, namun setelah terjadinya fitnah
mereka berkata: Sebutkan orang-orang yang meriwayatkan hadits kalian, apabila mereka termasuk ahlu sunnah, maka
haditsnya bisa diambil, jika tergolong Ahlu Bid'ah, maka haditsnya tidak boleh diambil". Al-Khotib, al-Kifayah, hal: 122 )
7
istilah Ahlu Sunnah ini sebenarnya telah muncul semenjak abad pertama hijriyah, namun baru
populer dan menjadi trade mark bagi sebuah kelompok dikemudian hari -sebagaimana
disinggung oleh Dr. Sak’ah dan Amir Ali di atas- akibat munculnya banyak kelompok yang telah
menyimpang.
e. Prinsip-prinsip dasar Pemikiran Ahlu Sunnah wa al-Jama'ah34
Untuk membedakan dengan kelompok dan aliran lainnya, Ahlu Sunnah mensepakati prinsip-prinsip aqidah dan pemikiran yang dijadikan basis dasar keyakinannya, yang diantaranya dapat dijelaskan dalam pokok-pokok masalah berikut:
1. Sumber hukum
a. Ahlu Sunnah berkeyakinan bahwa sumber dalam memahami Islam adalah al-Quran, sunnah dan Ijma’ salaf shaleh dan Qiyas. Dan apa yang termaktub dalam al-Quran merupakan syariat (ajaran atau tuntunan) bagi umat Islam yang wajib diikuti secara total tanpa terkecuali, demikian pula apa yang datang dari Rasulullah termasuk di dalamnya hadis ahad yang shaheh.
b. Untuk memahami ayat-ayat al-Quran dan sunnah, Ahlu Sunnah mengharuskan kembali kepada teks-teks yang menjelaskannya dalam bingkai pemahaman salaf shaleh serta orang-orang yang mengikuti metodologi mereka sepanjang sejarah.
c. Ahlu Sunnah juga berkeyakinan bahwa prinsip-prinsip dasar agama (dalam aqidah, syariah (ibadah dan muamalat) serta akhlak) telah dijelaskan oleh Rasulullah secara tuntas dan paripurna, sehingga siapapun tidak berhak untuk menambahkan atau mengurangi apapun dalam hal ini, demikian pula tidak diperkenankan untuk mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian.
d. Setiap pribadi menurut Ahlu Sunnah harus menyerahkan diri secara total (penuh) kepada Allah dan Rasul-Nya baik secara dhahir maupun batin, dengan tidak mempertentangkan apa yang ada dalam al-Quran dan sunnah yang (shaheh) dengan qiyas, dzauq atau kasf (ilmu yang diterima melalui ilham), perkatan syaikh maupun imam, tidak pula dengan perkataan lainnya.
e. Akal yang shareh (jelas/logis/tidak rancu) dalam pandangan Ahlu Sunnah, tidak bertentangan sama sekali dengan naql yang (shaheh), jika ada gejala atau dirasa ada pertentangan antara keduanya, maka naql harus didadulukan.
f. Kemaksuman menurut Ahlu Sunnah hanya dimiliki oleh Rasul, demikian pula umat secara keseluruhan juga dijaga oleh Allah untuk tidak bersepakat dalam kesesatan (laa yajtami’u ummati ala dhalalah), dan tidak ada jamiman kemaksuman bagi individu. Jika terjadi perselisihan antara individu, solusinya adalah dengan selalu kembali kepada kitab dan sunnah, serta mentolelir kesalahan pendapat yang dilakukan oleh para mujtahid yang kompeten di bidang tersebut.
g. Dalam menjelaskan masalah-masalah aqidah ahlu sunnah hanya menggunakan lafal yang masyru’ah (legal)atau tauqifiyah (dari al-Quran dan sunnah), serta menjauhkan dari pemakaian lafal yang baru (al-bid’iyyah).
h. Ar-Ru`yah as-shalehah (mimpi yang baik) adalah benar adanya, karena merupakan bagian dari kenabian. Sementara firasat yang benar juga benar ada, karena merupakan bagian dari karamah dan pemberi kabar baik, dengan syarat tidak bertentangan dengan syariat, namun bukan merupakan sumber hukum baik akidah maupun syariah.
34Al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Ahzab al-Mu’ashirah, (Riyadh, Dar an-Nadwah al-Alamiyah li
at-Thiba’ah wa an-Nasr wa at-Tauzi’, Cet. III), hal. 1/40-50; Dr. Nashir Abdu al-Karim al-Uql, Mujmal Ushul Ahlu As-
Sunnah wa al-Jama’ahfi al-Aqidah, (Kairo, Dar as-Shafwah li an-Nasr wa at-Tauzi’, Cet. II, 1412 H.)
8
i. Ahlu sunnah juga berkeyakinan bahwa setiap yang baru (bid’ah) dalam urusan agama adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu di neraka.
j. Ahlu sunnah juga meyakini tentang keharusan berpegang teguh kepada manhaj (matode) wahyu dalam menjawab berbagai syubhat, namun tidak diperkenankan untuk menolak bid’ah dengan bid’ah semisal, tidak pula menolak ekstrimitas (al-ghuluw) dengan at-tafrith (sikap meremehkan), tidak pula sebaliknya.
k. Berdebat kusir (bukan untuk mencari kebenaran dan yang tidak ada ujung pangkalnya) dalam masalah agama menurut pandangan Ahlu Sunnah merupakan hal yang tercela, adapun perdebatan dengan cara yang baik termasuk hal yang diperbolehkan bahkan terkadang dianjurkan.
2. Aqidah
a. Ahlu Sunnah mempercayai rukun iman yang enam yaitu: Beriman kepada Allah yang esa, tiada sekutu bagi-Nya dalam kerububiyahan-Nya, keuluhiyahan-Nya maupun nama dan sifat-sifat-Nya, beriman kepada Malaikat-Nya (Nama-namanya, sifat-sifatnya, tugas dan pekerjaannya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an), beriman kepada Kitab-kitab-Nya (yang diturunkan kepada para Rasul. Al-Quran adalah kitab yang terbesar diturunkan kepada Rasulullah Saw, yang isinya mencakup seluruh kitab-kitab terdahulu, termasuk kalamullah bukan makhluk serta mu’jizat yang menunjukkan kebenaran Rasulullah, dan dijaga dari perubahan hingga hari akhir), beriman kepada para Rasul-Nya (Utusan Allah), beriman kepada hari akhir beserta seluruh rentetan yang terkait dengannya seperti; (balasan-siksa kubur, kebangkitan, mahsyar, hisab (perhitungan/peradilan), timbangan, syafaat, haudh (kolam), sirath (jembatan), sorga dan neraka), termasuk diantaranya percaya
terhadap adanya arys, kursi, dst., serta mempercayai adanya Qadla dan Qadar (ketetapan
Allah yang baik maupun buruk).
b. Ahlu Sunnah juga meyakini bahwa Allah Swt memiliki semua sifat kesempurnaan seperti
yang Ia sifati terhadap diri-Nya sendiri, tanpa tasybih (menyerupakan) dengan lainnya,
dan tanpa ta’thil (menolak)nya. Disamping itu Ahlu Sunnah meyakini bahwa Allah benar-
benar terhindar dari seluruh sifat yang tercela.
c. Ahlu Sunah juga meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para Rasul, dan Nabi
terakhir.
d. Manusia -menurut Ahlu Sunnah- bebas menentukan pilihannya dengan segala kesadaran,
namun apapun yang diperbuatnya tidak terlepas dari kekuasaan Allah serta kehendak-
Nya.
e. Menurut Ahlu Sunnah orang-orang shaleh serta wali terkadang diberikan oleh Allah
karamah, namun tidak semua hal luar biasa yang terjadi diluar kebiasaan itu karamah,
karena bisa saja datang dari Setan. Untuk mengetahui hal itu standar kebenarannya adalah
Kitab dan Sunnah.
3. Tauhid
a. Ahlu Sunnah meyakini bahwa Allah itu esa tidak memiliki sekutu dalam kerububiyahan-
Nya, keuluhiyahan-Nya maupun nama dan sifat-sifat-Nya.
b. Ahlu Sunnah meyakini bahwa Allah memiliki seluruh sifat sempurna sebagaimana yang
Ia sifati terhadap dirinya sendiri dan terhindar dari segala sifat yang tercela. Tanpa tahrif
(distorsi), tasybih (penyerupaan), ta’wil (penakwilan) dan ta’thil (penolakan) (Salaf) atau
meyakini bahwa Allah memiliki sifat sempurna yang dapat disimpulkan dalam 20 sifat
9
serta terhindar dari sifat tercela tercela yang dapat disimpulkan ke dalam 20 sifat, dengan
menafsirkan ayat-ayat mutasyabih sesuai dengan keagungan dan kesucian Allah. (Khalaf)
c. Melakukan segala perbuatan yang bernuansa ibadah kepada selain Allah seperti: Do’a,
shalat, dzikir, memohon pertolongan, tawassul, nadzar, menyembelih/ berkorban, tawakkal,
takut, pengharapan, kecintaan dll., menurut Ahlu Sunnah merupakan bentuk
kemusyrikan, apapun tujuan dan maksudnya.
d. Dan berhukum kepada selain hukum Allah dalam pandangan Ahlu Sunnah
mengeluarkan yang bersangkutan dari Islam, jika meyakini kebolehannya serta menolak
berhukum kepada hukum Allah, selalu berhukum dengannya. Dan tidak kafir jika tidak
meyakini kebolehannya serta tidak berhukum dengan hukum selain Allah dalam kondisi
tertentu karena didorong oleh hawa nafsu namun secara umum masih tetap menerima
dan mengikuti syariat Allah lainnya.
e. Menurut Ahlu Sunnah membagi agama kepada hakekat yang dikhususkan untuk orang
tertentu, dan syariat untuk kaum awam, atau memisahkan masalah sosial-politik-ekonomi
dari agama adalah pandangan yang keliru. Dan apapun yang bertentangan dengan
syari’at baik hakekat maupun politik-sosial-ekonomi dan lainnya termasuk kesesatan
sesuai dengan derajatnya.
f. Menjadi keyakinan Ahlu Sunnah bahwa siapapun tidak akan mengetahui yang ghaib
kecuali Allah, kecuali beberapa Rasul yang diberi informasi tentang sebagian kecil dari
alam ghaib tersebut. Mayakini bahwa seseorang bisa mengetahu yang ghaib adalah
kekufuran.
g. Mempercayai kebenaran peramal dan dukun termasuk kemusyrikan, dan mendatangi
mereka termasuk dosa besar.
4. Keimanan
a. Ahlu Sunnah meyakini bahwa keimanan tidak hanya berupa keyakinan saja, namun
terdiri dari: Keyakinan dengan hati, kesaksian dengan lisan, dan pebuatan dengan badan
(dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan). Oleh karennya Iman
bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
b. Pelaku dosa besar -menurut Ahlu Sunnah- tidak keluar dari keimanannya, di dunia ia
termasuk mukmin yang kurang imannya, di akherat kelak berada di dalam kehendak
Allah, jika Ia berkehendak akan diampuni, jika tidak akan disiksa. Sementara orang-orang
yang beriman pada akhirnya akan dimasukkan ke sorga setelah mengalami penyiksaan di
neraka, namun mereka tidak kekal selamanya di dalamnya.
c. Kekafiran termasuk lafal yang sesuai dengan syariat dan dibagi menjadi dua: kekafiran
yang besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam (agama), dan kekafiran yang kecil
yang tidak mengeluarkannya dari agama (biasanya disebut kekafiran praktek)
d. Mengkafirkan orang lain merupakan hukum syariat yang asas dan pelaksanaanya harus
dikembalikan kepada Kitab dan Sunnah, maka tidak dibolehkan mengkafirkan Muslim
yang bersyahadat La ilaha illallah Muhammadan Rasulullah (Tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Utusan Allah); baik dengan perkataan maupun perbuatan, jika tidak
berdasarkan dalil-dalil tersebut. Untuk itu seorang Muslim atau kelompok tertentu tidak
diperkenankan untuk melakukan penkafiran terhadap Muslim lainnya atau kelompok
lainnya, kecuali jika syarat-syaratnya benar-benar telah terpenuhi serta seluruh
10
mawani’(hal-hal yang menghalanginya) telah hilang. Pengkafiran merupakan salah satu
proses hukum yang sangat berbahaya, karena itu perlu berhati-hati dalam menkafirkan
seorang muslim. Kesalahan karena tidak mengkafirkan 1000 muslim lebih ringan dari
mengkafirkan satu orang walaupun benar.
5. Qodha' dan Qadar
a. Salah satu rukun iman adalah beriman kepada qadha’ dan qadar (yang baik maupun yang
buruk) dari Allah yang meliputi: beriman dengan seluruh nas-nas tentang qadar beserta
levelnya (ilmu, tulisan, kehendak, dan penciptaan). Ketetapan Allah tidak bisa ditolak, dan
keputusan-Nya tidak bisa diganggu gugat.
b. Hidayah dan kesesatan hanya dari Allah; namun demikian mereka itu diberi hidayah oleh
Allah karena rahmat-Nya, dan tertimpa kesesatan karena keadilan-Nya.
c. Seluruh hamba berikut perbuatannya adalah merupakan ciptaan Allah, yang tiada
pencipta selain Dia, maka Allah-lah yang menciptakan perbuatan hamba, namun mereka
melakukan perbuatan tersebut dengan sebenarnya dan dengan kesadarannya.
d. Ahlu Sunnah juga meyakini adanya hikmah dibalik apa yang diperbuat oleh Allah, dan
menetapkan sebab-musabbab itu berdasarkan kehendak-Nya.
6. Jama’ah dan Imamah
a. Yang dimaksud jama’ah adalah para sahabat Nabi dan mereka yang mengikuti mereka
dengan baik, serta berpegang teguh dengan jalan mereka hingga hari akhir, mereka itu
termasuk kelompok yang selamat.
b. Semua orang yang mengikuti metode mereka termasuk bagian dari jama’ah, walaupun
terkadang melakukan kesalahan dalam beberapa hal.
c. Tidak dibolehkan berselisih dalam agama, juga membuat fitnah diantara umat Islam, jika
terjadi perselisihan maka hendaknya dikembalikan kepada al-quran dan sunah dan
pendapat para salaf shaleh.
d. Al-Khilafah al-udhma (al-Imamah al-Kubra) hanya bisa berdiri dengan kesepakatan umat atau
dengan baiat Ahli al-halli wa aqdi diantara mereka (dan bukan dengan nas dan wasiat),
namun jika ada yang menjadi penguasa kerena kekuatan, dan mendapat penerimaan dari
banyak kalangan, maka diwajibkan kepada umat untuk mendengar dan mematuhinya
dengan cara yang benar namun tetap menasehatinya. Dan dilarang menentangnya kecuali
jika nampak darinya kekufuran yang jelas dengan argumentasi yang cukup.
e. Para sahabat –menurut Ahlu Sunnah- seluruhnya dapat dipercaya (tidak cacat secara
moral), mereka adalah generasi terbaik umat Islam. Memberikan kesaksian terhadap
keimanan serta keutamaan mereka merupakan prinsip penting yang jelas-jelas merupakan
ajaran agama yang telah diketahui secara aksioma. Untuk itu mencintai mereka
merupakan bagian dari agama dan keimanan, sementara kebencian terhadap mereka
merupakan kekufuran dan kemunafikan, sembari menahan lisan untuk tidak
memperbincangkan perselisihan yang terjadi diantara mereka serta mendiskusikan hal
yang dapat menciderai martabat atau kedudukan mereka.
Inilah prinsip-prinsip dasar yang menjadi ciri khas (mainstream) pemikiran Ahlu Sunnah wal
jama’ah, yang bisa dikatakan -berdasarkan arahan-arahan dari Rasul di atas- menjadi representasi
dari Islam itu sendiri. Dalam arti prinsip-prinsip dasar ini bisa menjadi standar atau ukuran sejauh
11
mana sebuah kelompok atau organisasi atau madzhab berada dalam kebenaran atau telah
melenceng (sesat).
Sebagai contoh: Dalam masalah dzat Allah. Keluar dari mainstream Ahlu Sunnah (Allah itu
ada dan esa) berarti keluar dari agama Islam itu sendiri, yang berupa agama-agama laindan
kelompokateis.
Dalam masalah sifat dan nama-nama Allah. Mengeluarkan beberapa kelompok seperti
Mu’tazilah (yang meniadakan sifat diluar dzat-Nya), Mujassimah, Hasywiyah, Musyabbihah
(yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).
Dalam masalah uluhiyah Allah (peribadatan), dan Rububiyah Allah (kekuasaan), mengeluarkan
praktek-praktek perdukunan, para normal, praktek sihir, ritual-ritual keagamaan (seperti praktek
persembahan sesajen), memandikan barang-barang keramat, praktek-praktek ibadah yang tidak
diajarkan oleh Rasulullah seperti shalat dengan tarjamah dan lain sebagainya.
Dalam hubungannya dengan keimanan kepada malaikat, mengeluarkan kelompok-kelompok
yang mengaku dirinya malaikat jibril, atau orang yang mendapatkan wahyu dari Allah melalui
malaikat jibril, seperti pada kasus ajaran SalamullahLia Aminuddin (Lia Eden) dan yang
sejenisnya.
Dalam masalah keimanan kepada Kitab atau sumber hukum. Standar diatas mengeluarkan
sebagian kelompok Syi’ah 12 imamyang mempercayai bahwa al-Quran telah diubah, dan
beberapa kelompok yang menafsirkan al-Quran tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang benar,
seperti aliran (tren) kebatinan, tren rasionalisme, dan tren dhahiri (memahami al-Quran secara
dhahir saja).
Dalam masalah keimanan kepada kerasulan dan Kenabian, mengeluarkan kelompok
Ahmadiyah yang mempercayai adanya nabi setelah Nabi Muhammad, serta kelompok inkar
sunnah (mengingkari hadis) yang mempercayai hanya kepada al-Qur’an, dan kelompok Syi’ah12
imam yang menganggap bahwa para Imam mereka juga menjadi sumber dari hadis selain
Rasulullah, serta menolak periwayatan hadis oleh para Sahabat, yang pada gilirannya berakhir
pada penolakan hadis itu sendiri. karena mungkinkah hadis bisa diriwayatkan tanpa jalur mereka.
Dalam masalah keimanan kepada Qodardan Qodha’ (af’alu al-Ibad), mengeluarkan kelompok-
kelompok seperti Qadariyah (termasuk di dalamnya kelompok Mu’tazilah) yang mempercayai
bahwa manusia bebas memilih apa yang diperbuatnya secara mutlak tanpa campur tangan Allah,
di sisi lain mengeluarkan kelompok jabariyah yang meyakini bahwa semua perbuatan manusia
itu sejatinya adalah perbuatan Allah.
Dalam masalah keimanan kepada hari akhir, mengeluarkan kelompok dahriyah
(Materialisme) yang tidak meyakini adanya hari akhir.
Dan Dalam masalah imamah (politik), mengeluarkan kelompok Syi’ah 12 imam yang
menyatakan bahwa imam ditentukan melalui teks dan wasiat langsung, demikian pula dengan
kelompok Syi’ah Ismailiyah. Termasuk keluar dari mainstream Ahlu Sunnah ini secara tipis
kelompok Syi’ah Zaidiyah yang meyakini bahwa imam setelah wafatnya Rasul haruslah seorang
yang terbaik dibanding yang lainnya (al-fadhil) dalam hal ini (Imam Ali bin Abi Thalib), bukan
yang al-Mafdhul (tidak lebih baik dari lainnya). Namun demikian tidak mengapa al-mafdhul (bukan
orang terbaik) jika terpaksa memimpin karena alasan tertentu.
Dalam masalah hubungan antara iman dan amal (perbuatan) seoarang hamba, mengeluarkan
kelompok Khawarij; yang meyakini bahwa seorang muslim yang berbuat dosa besar termasuk
kafir, karena dengan berbuat dosa berarti telah memisahkan perbuatan dari keimanan. Juga
12
mengeluarkan kelompok Murji’ah; yang meyakini bahwa dosa besar tidak akan merubah atau
mempengaruhi keimanan, karena antara keimanan dan perbuatan tidak ada hubungan
sedikitpun. Demikian pula mengeluarkan Mu’tazilah; yang meyakini bahwa pendosa besar
berada diposisi antara dua posisi (kafir dan mukmin).
Masalah lain yang juga memiliki hubungan dengan masalah aqidah adalah masalah
Pentakfiran, dimana pandangan Ahlu Sunnah di atas mengeluarkan kelompok-kelompok yang
mudah mengkafirkan kelompok lain yang bukan kelompoknya tanpa dalil yang tepat dan dapat
diterima. Seperti kelompok Khawarij, Syi’ah, LDII, NII, dan kelompok-kelompok lainnya.
Perlu digaris bawahi disini bahwa kesesatan itu tidak satu tingkat, tapi bertingkat-tingkat.
Sebagian mengeluarkan pelakunya dari Ahlu Sunnah dan Islam secara mutlak, sebagian
mengeluarkan secara parsial, namun tidak mengeluarkan secara mutlak dari Islam.
Strategi Menghadapi Aliran-aliran Sesat
Telah disebutkan dimuka bahwa penyebab utama kerusakan adalah adalah rusaknya ilmu
(fasad al-ilmi), dan rusaknya i’tikad baik (fasad al-qashdi) atau kemauan/motivasi.Rusaknya ilmu
dalam diri seseorang menyebabkan terjadinya kesesatan dalam bidang ilmu. Sehingga ia tidak
mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Yang salah –bisa jadi- dianggap
benar dan yang benar –bisa jadi- dianggap salah. Ilmu yang rusak tersebut jika mendorong
kemauannya untuk berbuat maka akan menghasilkan perbuatan yang sesat.
Berdasarkan kenyataan di atas, maka strategi yang diambil untuk menghadapi fenomena
kesesatan adalah melalui tiga hal yang menjadi lawan dari tiga penyebab kerusakan tersebut:
Pertama: Ta’lim (Pengajaran), Kedua: Tarbiyah (Tazkiyah) (Pendidikan pembinaan), selanjutnya
Ketiga: Dakwah. Namun proses awalnya harus dimulai dari Ilmu (pengajaran). Ilmu yang kokoh
akan menghasilkan iman yang kuat, dan iman yang kuat ditambah dengan ilmu yang kokoh yang
kemudian mendorong adanya motivasi menghasilkan amal perbuatan.
(Ketahuilah bahwa Tiada Tuhan selain Allah, maka mintalah ampun atas dosa-dosamu, dosa-dosa
orang mukmin dan mukminat. Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggal
kamu)35. (Muhammad: 19)
Lafal “fa’lam” (ketahuilah) menunjuk kepada ilmu, dan lafal “annahu lā Ilāha Illallāh” (tiada
Tuhan selain Allah) menunjuk kepada iman, yang artinya iman harus dibangun diatas ilmu dan
ilmu harus menjadi basis bagi keimanan. Sementara lafal “fastaghfir lidzanbika” (maka mintalah
ampun atas dosa-dosamu) menunjuk kepada amal perbuatan. Artinya ilmu yang benar dan iman
yang kokoh akan dapat memotivasi terjadinya amal perbuatan.
Ilmu juga berperan menimbulkan dan menguatkan motivasi, karena dengan ilmu seorang
mengetahui hakekat sesuatu, termasuk manfaat dan madzaratnya. Dengan pengetahuan ini ia
termotifasi untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat baginya serta menjauhi hal-hal yang
mendatangkan madharat baginya. Gabungan antara kekuatan ilmu dan kuatnya motivasi akan
melahirkan amal perbuatan.
Sebaliknya amal perbuatan yang tulus dan ikhlas juga berperan menyingkap ilmu, ini sebagai
akibat dari kedekatan dengan sang penyingkap ilmu. Dimana jika sang penyingkap ilmu berhasil
didekati melewati prestasi-prestasi amal perbuatan yang didasari oleh ilmu yang benar dan
35Muhammad:19 ( متقلبكمومثواكمفاعلمأنھلاإلھإلااللھواستغفرلذنبكوللمؤمنینوالمؤمناتواللھیعلم )
13
motivasi yang tulus, maka Ia akan menyingkapkan kepadanya ilmu baru yang belum pernah ia
ketahui.
“Bertaqwalah kamu kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarimu ilmu. Allah maha mengetahui
segala sesuatu”36. (al-Baqarah: 282)
Ilmu yang diajarkan oleh Allah sebagai karunia dari-Nya disebabkan oleh amal perbuatan
yang telah dilakukan ini bersifat ilhami atau hadsi atau Isyraqi (intuitif). Ketajaman ilmu ini
sebanding lurus dengan kebeningan hati. Menurut Imam Ghazali kebeningan hati seperti kaca
yang jernih, yang akan memantulkan gambar dengan jelas dan jernih. Pantulan gambar itu adalah
ilmu intuitif dari Allah, yang dapat menyingkap tabir yang sejatinya sedang tertutup ole debu-
debu materialisme dan duniawi.
Ibarat seorang raja, Ia memiliki keluarga, para menteri, prajurit, dan rakyat. Jika sang raja
ingin berbicara kepada rakyatnya biasanya rakyat diminta untuk berkumpul di halaman istana,
tidak dikumpulkan di dalam istana. Isi pembicaraan yang disampaikanpun bersifat umum, tidak
menyangkut strategi negara. Masalah strategi dan hal-hal yang menyangkut rahasia negara
biasanya hanya dibicarakan dengan para menteri atau pembantu-pembantu terdekat sang raja.
Sementara masalah-masalah yang bersifat pribadi dan sangat rahasia tidak pernah dibicakan
kecuali kepada orang-orang terdekatnya. Maka bila kedekatan seorang hamba bisa diraih
melewati amal perbuatannya, tidak heran jika sang pemilik alam semesta ini membukakan
kepadanya informasi dan ilmu yang tidak pernah dibukakan kepada orang lain.
Jadi hubungan antara empat hal ini adalah mutualis-simbiosis, saling mempengaruhi, mengisi,
melengkapi serta menguatkan. Sehingga jika salah satu dari empat hal tersebut mengalami
kepincangan akan berakibat pada lemahnya kontruksi bangunannya, sehingga akan menghasilkan
pribadi yang rapuh atau cacat.
Kerusakan dalam struktur keilmuan mengakibatkan terjadinya penyimpangan dalam berfikir,
hal ini akan mengakibatkan terjadinya kesesatan. Struktur keIlmuan yang benar memberikan
informasi mana yang benar dan mana yang salah secara tepat, namun jika struktur keilmuan ini
rusak, informasi yang diberikan menjadi keliru bahkan terbolak-balik; yang benar dianggap salah
dan yang salah dianggap benar. Tentu saja kesalahan dalam cara pandang ini akan mengakibatkan
terjadinya kesalahan dalam tindakan.
Namun demikian kuatnya struktur keilmuan tidak serta merta menjadikan seseorang mampu
memproduk karya (amal perbuatan), sebab keduanya memiliki dimensi yang berbeda; dimensi
ilmu berkaitan dengan kerja kognetif yang hanya ada dalam otak dan alam pikiran, sementara amal
dimensinya pskomotorik yang berkaitan erat dengan kerja fisik. Kerja fisik ini dapat dihasilkan jika
ada stimulus dari alam pikiran, serta terdapat motivasi kuat yang datang dari hati. Artinya jika
seseorang kaya ilmu, namun ia miskin motivasi, maka tidak mungkin memproduk amal
perbuatan. Namun Jika ia miskin ilmu, tapi kaya motivasi akan melahirkan amal yang
kebanyakan keliru. Biasanya apa yang dirusak lebih besar dari apa yang diperbaiki seperti apa
yang disampaikan Umar bin Abdul Aziz “man amila bila ‘ilmin kāna mā yufsiduhu aktsar mimmā
yushlihuhu”. (Barang siapa melakukan sesuatu perbuatan tanpa ilmu, maka apa yang dirusak lebih
banyak dari apa yang diperbaiki).
Tidak hanya itu, perbuatan yang dilakukan tanpa dasar ilmu, akan tertolak, sehingga tidak
akan mendapatkan pahala apapun dari jerih payahnya itu. Seperti yang dijelaskan oleh Rasul.
“Segala perbuatan yang tidak didasarkan atas apa yang datang dari kami, maka ia akan ditolak”
36 Al-Baqarah: 282 (واتقوااللھویعلمكماللھواللھبكلشيءعلیم)
14
Lebih ironi lagi, amal perbuatan (terutama ibadah) yang tidak didasari ilmu, diklasifikasikan
ke dalam perbuatan “bid’ah”. Setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu di neraka.
Sementara rusaknya motivasi, lebih membahayakan lagi. Karena bisa mendorong seseorang
merubah setruktur keilmuan yang benar dan mapan, agar menjadi legitimsi bagi perbuatan yang
jelas-jelas keliru dan menyimpang. Sikap inilah yang seringkali dipraktekkan oleh bangsa Yahudi;
dimana setiap kali datang seorang Rasul yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, sebagian
mendustakan dan sebagian lagi membunuh mereka.
“Apakah setiap kali datang kepada kalian Rasul dengan membawa ajaran yang tidak sesuai dengan
keinginan kalian, kalian menyombongkan diri, lalu sebagian kalian mendustakannya, sebagian lagi
membunuhnya”37. (al-Baqarah: 87)
“Dan tatkala datang kepada mereka kitab dari sisi Allah yang membenarkan apa yang ada pada
mereka, sementara mereka itu sebelum itu meminta pertolongan kepada orang-orang kafir, namun
setelah datang kepada mereka apa yang mereka ketahui, mereka mengingkarinya, maka layaklah
laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang kafir”38 (al-Baqarah: 89)
Bangsa Yahudi disinyalir oleh al-Quran sebagai bangsa yang mengenal betul kakakteristik
kebenaran serta pelakunya: “Orang-orang yang diberikan (diturunkan) kepada mereka kitab, mengenal
(Muhammad) dengan baik sebaimana mereka mengenal anak kandung mereka sendiri ...” (al-Baqarah: 146)
, Hanya saja, karena rusaknya motivasi ini menyebabkan mereka cenderung menutupi kebenaran
itu “namun demikian sebagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran padahal sebenarnya mereka
mengetahui.”. (al-Baqarah: 146). Bahkan lebih dari itu cenderung menghalangi kebenaran serta
memusuinya.
Mengetahui kebenaran namun tidak mau melaksanakan, sangat dibenci atau dimurkai Allah.
Surat As-Shaf: 3 mensifatinya dengan “Sangat besar kemurkaan Allah”.
Untuk itu kerusakan motivasi lebih berbahaya dari kerusakan ilmu. Karena jika kerusakan
ilmu menjadikan seseorang tersesat, kerusakan motivasi bisa menjadikan orang menjadi “jahad”.
Jika seorang berbuat kesalahan karena ketidak tahuan terkadang bisa dimaklumi, namun
kesalahan yang dilakukan dengan sengaja, bukan karena ketidak tahuan, jelas didasari oleh i’tikad
yang jelek. Kesalahan seperti ini sangat jarang diampuni.
Untuk itu Allah menempatkan Orang-orang Yahudi pada rengking pertama dalam daftar
kelompok yang memusuhi Umat Islam, yang disusul dengan orang-orang musyrik. Sementara
orang-orang Nasrani ditempatkan dalam kelompok orang-orang yang paling dekat dengan Umat
Islam.39 Rahasia dibalik penempatan ini –sebagaimana disebut dimuka- adalah karena kaum
Yahuditahu kebenaran tapi tidak mau mengikutinya, malah menentangnya, sementara sebagian
dari orang-orang nasrani masih ada yang jujur, dan tidak tinggi hati. Kerusakan pada mativasi
hanya bisa ditanggulangi melalui sebuah proses yang oleh al-Quran disebutat-tazkiyah. Dua sisi
inilah (Ta’lim dan Tazkiyah) yang menjadi tugas utama kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad
Saw. (al-Jumua’ah: 2)
( یھم ویعلمھم الكتاب والحكمة وإن كانوا من قبل لفي ضلال مبینو الذي بعث في الأمیین رسولا منھم یتلو علیھم آیاتھ ویزكه )
37 Al-Baqarah: 87
بروحالقدسأفكلماجاءكمرسولبماالتھوىأنفسكماستكبرتمففریقاكذبتموفریقاتقتلونولقدآتیناموسىالكتابوقفینامنبعدھبالرسلوآتیناعیسىابنمریمالبیناتوأیدناھ38 Al-Baqarah: 89
كفروافلماجاءھمماعرفواكفروابھفلعنةاللھعلىالكافرینولماجاءھمكتابمنعنداللھمصدقلمامعھموكانوامنقبلیستفتحونعلىالذین39 Al-Maidah: 82
قالواإنانصارىذلكبأنمنھمقسیسینورھباناوأنھمالیستكبرونذینآمنواالذینلتجدنأشدالناسعداوةللذینآمنواالیھودوالذینأشركواولتجدنأقربھممودةلل
15
(Dialah yang telah mengutus dari kalangan kalian seroang Rasul, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-
Nya, mentazkiyah (mensucikan) mereka, serta mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah, dimana sebelum itu
mereka termasuk orang-orang yang berada dalam kesesatan yang nyata.)
Setelah masyarakat memahami kebenaran dan kebatilan, yang lurus dan yang sesat, serta
tidak dengan mudah tergiur oleh iming-iming yang diberikan oleh aliran-aliran sesat tersebut,
maka dengan sendirinya masyarakat muslim memiliki kekebalan pada dirinya untuk terus
menerus mencari kebenaran di satu waktu akan menghindari serta menolak dengan sendirinya
kesesatan.
Selain dua gerakan diatas (Ta’lim dan Tazkiyah/Tarbiyah), untuk menghadang laju penyebaran
aliran-aliran sesat perlu dilakukan gerakan dakwah (amar makruf nahi mungkar). Jika gerakan
Amar makruf dimaksudkan untuk meluaskan jangkauan kebaikan dan kebenaran, sementara
gerakan nahi mungkar berfungsi untuk membatasi dan gerak penyebaran aliran-aliran sesat
tersebut, sehingga tidak menyebar secara merajalela di masyarakat.
Kwajiban berdakwah ini selain dibebankan kepada komunitas muslim –sebagaimana
disebutkan oleh ayat 114 surat Ali Imran-, juga dibebankan kepada individu, sehingga jika setiap
individu memiliki tanggung jawab untuk melakukan dakwah, peduli dengan masyarakatnya,
maka secara komunitas akan tercipta suasana saling mengingatkan, saling menasehati, dan saling
tolong menolong diantara mereka. Kondisi inilah yang memancing turunnya rahmat dari Allah,
sehingga menjadi masyarakat yang baik yang selalu mendapatkan pengampunan dari Allah
(baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Wallahu A’lam.